Nami Cafe - Chapter 2

 

Chapter 2 NAMI CAFE

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

================================================


Sasuke keluar dari kamarnya di lantai dua lalu berjalan ke lantai satu. Dia sudah mengganti pakaiannya dan meminta pelayan untuk mencuci pakaian yang tadi dipakainya, pakaian yang dipinjamkan oleh Nami, Dewi penolongnya. Bibir Sasuke menyunggingkan senyum tipis saat membayangkan akan kembali bertemu Nami untuk mengembalikan pakaian itu. Dia jadi berpikir untuk memberikan sesuatu pada gadis pirang itu sebagai ucapan terima kasih, tidak berlebihan bukan?

Raut wajah Sasuke kembali datar saat memasuki ruang makan. Di sana hanya ada Shisui, kakak pertamanya dan Itachi, kakak keduanya. Kedua orang tua mereka sedang berada di Suna untuk urusan bisnis. Sasuke menarik kursi makan di sebelah Itachi dan meminta pelayan membuatkan secangkir kopi hitam.

"Kau tidak pulang semalam?" Shisui yang pertama bertanya dan Itachi hanya melirik adik bungsunya dengan senyum tipis.

"Aku terjebak badai dan mobilku rusak," jawab Sasuke singkat.

Shisui mengerutkan kening mendengar jawaban singkat sang adik. Dia pun kembali bertanya saat pelayan datang membawa secangkir kopi. "Kau tidak sarapan?"

Sasuke menggeleng. "Aku sudah sarapan tadi. Hanya butuh kopi untuk menyelesaikan pekerjaanku hari ini."

"Dan kenapa sejak tadi kau tersenyum, Itachi?" tanya Shisui ketika melihat wajah konyol adiknya.

"Kau tidak bertanya dimana Sasuke menginap semalam, Onii-sama?" Bukannya menjawab, Itachi malah melempar sebuah pertanyaan sembari mengerling jahil pada adik bungsunya. Membuat Sasuke mendengus dan menambah kerutan di kening Shisui.

"Kau juga tidak mau menceritakannya pada kami, Otouto? Bukannya kau semalam-,"

"Ck, jangan ikut campur urusanku Baka-Tachi," sela Sasuke dengan nada kesal.

"Jaga ucapanmu, Sasuke." Shisui langsung menegur ketidak sopanan adik bungsunya.

Sasuke berdecak kesal lalu meninggalkan meja makan sembari membawa cangkir kopinya. Itachi justru terbahak dibuatnya.

"Selera humor Sasuke masih saja buruk, padahal aku hanya menggodanya." Itachi menggeleng geli melihat kepergian Sasuke.

"Jangan menggodanya terus," kata Shisui memperingatkan adiknya lalu kembali menghabiskan sarapannya yang mulai mendingin. Tapi kemudian rasa penasaran membuat Shisui kembali bertanya pada Itachi. "Memangnya semalam Sasuke menginap dimana? Kenapa dia marah saat kau bertanya?"

"Ah, penasaran juga rupanya," kata Itachi sembari tersenyum. "Semalam, anak itu hanya mengirim pesan padaku kalau tidak bisa pulang karena terjebak badai. Lalu, tadi aku bertanya pada Sakon, dimana dia menjemput Sasuke. Dan ternyata ...," Itachi sengaja menjeda jawabannya dengan meneguk teh perlahan, membuat kakaknya berdecak kesal. Itachi memang terkenal paling jahil di keluarga Uchiha.

"Itachi," geram Shisui kemudian.

Itachi terkekeh sembari meletakkan gelasnya. "Sasuke menginap di Nami Café."

"Apa?!" Shisui terkejut mendengar jawaban Itachi. "Kau tidak bercanda?"

Itachi menggeleng mantap. "Bahkan Sakon bilang kalau Sasuke juga sarapan dengan santai bersama Hime-sama."

Menghela napas panjang, Shisui memijat sudut matanya. Sepertinya sulung Uchiha itu sudah tidak berselera menghabiskan sarapannya. "Apa mereka sudah pernah bertemu sebelumnya?"

"Aku rasa tidak. Melihat reaksi Sasuke yang biasa saja, aku bahkan mengira kalau Sasuke tidak tahu siapa sebenarnya Hime-sama," jawab Itachi sembari mendorong piringnya yang sudah kosong. Seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan segera mengambilnya dan membawanya ke dapur.

"Tapi bagaimana bisa Sasuke menginap disana?" tanya Shisui lagi.

Itachi mengangkat bahunya. "Aku tidak tahu."

"Semoga itu hanya pertemuan tidak sengaja yang tidak berkelanjutan," kata Shisui penuh harapan.

"Sepertinya tidak," jawab Itachi cepat.

"Kenapa? Apa Sasuke juga menyukai Hime-sama?" Shisui tampak khawatir dengan pikirannya sendiri.

"Sasuke tadi berpesan pada Sakon untuk mengantarnya ke Nami Café sore nanti." Itachi tersenyum pada kakaknya yang kini tampak pucat.

Menghela napas panjang, Shisui beranjak dari kursi makan dan meninggalkan sarapannya begitu saja. "Katakan pada Sakon untuk tidak menceritakan hal ini pada Otou-sama atau pun Ojii-sama," pesannya kemudian.

"Tentu," jawab Itachi dengan raut wajah lebih serius.

***

Naruto mengerjapkan mata perlahan saat suara ketukan pintu membawanya ke alam sadar. Ah, dia tertidur di sofa ruang tamu. Buku di atas pangkuannya terjatuh ketika dia bangun dan duduk bersandar pada sofa. "Masuk," serunya dengan suara parau. Kepalanya yang pusing terasa makin berdenyut sakit begitu melihat Tenten datang bersama seorang wanita cantik bersurai ungu dan mengenakan yukata berwarna merah marun.

"Silakan masuk, Senju-sama," kata Tenten mempersilakan.

Wanita bernama Senju Konan itu masuk dan langsung tersenyum melihat Naruto. Dia adalah istri dari Paman Naruto, Senju Nagato, yang adalah kakak dari ibunya, Senju Khusina.

"Apa kau sakit?" Konan langsung bertanya saat melihat wajah Naruto yang lesu.

"Tidak, Oba-sama. Aku baik-baik saja. Tenten, tolong buatkan ocha untuk kami," perintah Naruto.

"Baik." Tenten mengangguk hormat dan bergegas pergi.

"Maaf, aku tidak tahu kalau Oba-sama akan datang." Naruto memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih sopan.

Wanita itu tersenyum lalu duduk di sebelah Naruto. "Kau masih marah padaku?" tanyanya lembut.

"Tidak," jawab Naruto singkat. "Sebenarnya ada perlu apa sampai Oba-sama datang kesini?" tanya Naruto kemudian tanpa basa-basi.

"Untuk menjemputmu. Nenek sudah membatalkan pesta ulang tahunmu, jadi berhentilah marah. Ayo kita pulang," kata Konan dengan nada membujuk.

"Masih banyak yang harus aku urus. Setelah selesai aku akan pulang."

Wajah datar Naruto membuat wanita cantik itu menghela napas. "Nenek merindukanmu," lirihnya.

Naruto tersenyum tipis tapi tidak menjawab.

"Kami khawatir kalau kau di café terlalu lama. Terlebih kemarin Yamato mengatakan kalau kau seharian berada di pemakaman. Tidak ada yang menjagamu disini." Konan kembali membujuk sembari mengusap lembut surai panjang Naruto.

"Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sampaikan pada nenek kalau aku akan pulang setelah urusanku selesai." Gadis itu mengalihkan perhatiannya ke pintu saat Tenten datang membawa dua cangkir ocha dan lemon cake.

Dengan sopan Tenten menghidangkan makanan lalu kembali undur diri. Dia hampir saja tertawa saat melihat wajah Naruto yang masam. Sebenarnya Naruto sudah berpesan untuk tidak menerima tamu tapi Konan memaksa dan dia tidak berani membantah. Bahkan Fuu dengan curangnya langsung bersembunyi di dapur begitu melihat Nyonya Senju datang bersama dua pengawalnya.

"Kakakmu akan pulang dua hari lagi. Kau juga tidak mau menemuinya?" Konan mengambil cangkirnya lalu meneguk ocha perlahan. Dia tahu kalau Naruto cukup menurut pada Kurama.

Dalam diam Naruto mengamati bibinya yang tengah tersenyum sembari menikmati teh. "Oba-sama membujukku atau mengancamku?" Gadis itu melipat tangan di dada dan bersandar pada sofa. Naruto kesal karena Konan menggunakan kakaknya untuk membujuknya pulang.

Wanita itu langsung terkekeh mendengarnya. Dia meletakkan cangkir dengan anggun di meja lalu kembali menatap keponakan tersayangnya. "Tidak ada yang mengancammu. Aku hanya ingin kau pulang. Aku kesepian tanpamu," kata Konan membela diri.

"Ada Yahiko," sanggah Naruto begitu ingat kakak sepupunya yang budiman. Putra dari Nagato dan Konan.

"Yahiko sedang sibuk mengurus proyek baru bersama pamanmu." Konan juga tak kalah hebat membuat alasan. "Ayolah Naru-chan, kau satu-satunya anak manis yang bisa menemaniku." Kali ini Konan justru merengek pada keponakannya.

Naruto menghela napas lagi. "Ada Karin," katanya kemudian dengan nada enggan.

Wajah manis Konan langsung berubah saat Naruto menyebut nama keponakannya yang lain, putri dari adik suaminya, Sara. "Jangan sebut namanya. Nenekmu sudah menghukumnya untuk tidak boleh berkunjung ke istana selama dua bulan. Lagipula anak itu bukan keponakanku."

Naruto tersenyum miris mendengar perkataan Konan yang terdengar emosi. Dua minggu yang lalu, Karin, telah membuat istana gempar dengan berani membentak Naruto karena masalah pesta ulang tahun. Tentu saja Hashirama dan Mito, yang adalah kakek nenek Naruto, sangat marah. Naruto yang malas menghadapinya justru memilih pergi dan menghabiskan waktu di cafenya. Karena itulah Mito bersedih, cucu kesayangannya lagi-lagi memilih keluar istana.

"Pulanglah, Naru-chan." Konan menggunakan segenap kekuatannya untuk membujuk Naruto. "Hime, kumohon."

Menghela napas panjang, Naruto tahu kalau bibinya tidak akan menyerah sebelum dirinya berkata ya. "Katakan pada nenek, aku akan pulang lusa."

Jawaban Naruto langsung membuat Konan berbinar senang. "Ah, nenekmu pasti senang mendengarnya. Terima kasih Naru-chan."

Gadis itu hanya tersenyum tipis lalu meneguk ochanya perlahan.

***

Hari beranjak senja. Nami Café tampak ramai, Moegi dan Udon, tampak sibuk melayani pelanggan. Naruto tengah duduk di dapur dan melihat Fuu membuat adonan roti. Gadis itu meletakkan kepalanya di atas meja.

"Nona sakit?" tanya Darui setengah berbisik pada Choza Akimichi, juru masak café. Barista itu mengambil kopi di rak sembari melirik ke arah Naruto. Fuu yang memberi tanda isyarat tutup mulut membuat Darui mengangguk lalu segera keluar untuk kembali bekerja.

Choza pun menghampiri sang nona setelah menyelesaikan satu menu dan meletakkannya di meja display lalu menekan bel agar Moegi atau Udon mengambilnya.

"Istirahatlah di kamar Nami-chan. Kau demam?" kata Choza sembari meletakkan telapak tangannya di kening Naruto.

"Aku tidak apa-apa Oji-san, hanya mengantuk," jawab Naruto yang menarik tangan Choza dari keningnya.

Moegi masuk ke dapur untuk mengambil pesanan. "Nami-nee, ada yang mencarimu," kata gadis manis berambut coklat itu.

"Siapa?" tanya Naruto seraya menegakkan kepalanya.

"Dia bilang namanya Sasuke." Moegi mengambil pesanan di atas meja, "Apa aku harus mengusirnya?" tanyanya kemudian. Bukan berita baru kalau Naruto menolak tamu yang ingin bertemu dengannya secara pribadi.

Naruto menggeleng lalu beranjak dari kursi. "Aku akan menemuinya." Dia keluar dari dapur diikuti oleh Moegi.

"Sebenarnya ada apa dengan Nami-chan?" tanya Choza pada Fuu begitu Naruto menghilang di balik pintu.

"Tadi Senju-sama datang," jawab Fuu.

Choza langsung menatap Fuu dengan kening berkerut.

"Konan-sama," tegas Fuu kemudian. "Sepertinya beliau memaksa Nami pulang. Dia jadi sensitif sejak bibinya pulang."

"Ya, ya, aku mengerti." Choza mengangguk-angguk. Dia tahu benar kalau Naruto tidak nyaman tinggal di istana. "Lalu siapa Sasuke?" tanyanya lagi saat teringat dengan tamu yang ditemui oleh Naruto.

"Ah, kalau itu aku juga tidak tahu. Nami menolongnya semalam saat badai. Yang kutahu hanya dia salah satu anggota keluarga Uchiha." Fuu membanting adonan hingga membuat Choza berjenggit karena terkejut.

"Sepertinya penggemar Nami bertambah lagi," kata Choza sembari terkekeh. Dia pun kembali ke belakang meja dapur saat Tenten menyerukan pesanan melalui intercom.

Di depan, Naruto tengah duduk berhadapan dengan Sasuke di salah satu meja, di sudut ruangan. Sepertinya bungsu Uchiha itu tidak menyukai keramaian. Darui dan Ten Ten dengan kompak mencuri pandang ke arah keduanya.

"Kau sakit?" tanya Sasuke setelah mengamati wajah Naruto.

Gadis itu menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja."

"Flu? Kau juga kehujanan semalam," kata Sasuke. Dia khawatir saat melihat wajah pucat Naruto.

"Jangan khawatirkan aku." Naruto tampak tidak nyaman dengan perhatian Sasuke. "Ada perlu apa kau datang?" tanyanya kemudian tanpa basa basi. Matanya terasa panas dan dia ingin segera tidur.

"Ah itu," Sasuke kemudian meletakkan sebuah tas kertas ke atas meja. "Terima kasih sudah menolongku semalam."

Naruto tersenyum. "Tidak perlu sungkan, sudah kukatakan kalau aku hanya melakukan yang seharusnya."

Sesaat keduanya terdiam. Sasuke juga tidak tahu harus berkata apa karena Naruto hanya diam.

"Sebaiknya aku pulang sekarang, kau perlu istirahat, Nami." Sasuke pun beranjak dari kursinya. "Sekali lagi terima kasih, sampai jumpa lagi," katanya seraya membungkukkan badan.

Naruto mengamati kepergian pemuda itu dengan tatapan tanya. "Sampai jumpa katanya?" gumam gadis itu lirih.

***

Shisui duduk di belakang kemudi dengan tenang. Dia melihat bagaimana Sasuke keluar dari café lalu berjalan menyusuri trotoar yang cukup ramai. Melihat jam tangan, Shisui menghitung kalau Sasuke hanya sepuluh menit berada di dalam. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya. Setidaknya hubungan Sasuke dan Naruto tidak seakrab yang dibayangkannya. Dia juga tahu kalau Sasuke adalah orang yang introvert, yang pastinya tidak akan mudah untuk menjalin hubungan hanya dengan satu atau dua kali pertemuan. Dalam hati dia berdoa kalau ini adalah pertemuan terakhir mereka. Melihat Sasuke sudah berjalan cukup jauh, Shisui memutuskan untuk pulang.

Sementara itu di dalam café, Naruto memilih kembali ke kamarnya. Kepalanya semakin terasa melayang meski sudah meminum obat.

"Nona mau kubuatkan susu hangat?" Darui menawarkan sebelum Naruto menaiki tangga.

Sesaat gadis itu tampak berpikir. "Boleh," jawabnya kemudian.

"Kau belum makan malam Nami, mau kubuatkan sesuatu?" kali ini Fuu yang menawarkan.

"Tidak perlu, aku punya ramen di atas." Dan Naruto menaiki tangga tanpa mendengar cibiran Fuu tentang ramen instan dan kesehatan. Dia sudah sangat terbiasa mendengarnya.

"Ten Ten, tolong bujuk Nami-chan. Demamnya bisa makin parah jika tidak segera diobati." Choza tahu kalau Naruto tengah menahan sakitnya.

Fuu ikut menatap Ten Ten lalu mengangguk. "Ancam dia jika perlu. Aku akan gantikan tugasmu." tambahnya. Fuu sangat paham bagaimana keras kepalanya Naruto. Dia pun menggantikan Ten Ten di meja kasir.

Darui pun mulai memanaskan susu, sementara yang lain kembali pada tugas masing-masing.

Sesampainya di kamar, Naruto segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Ah, kenapa kepalaku jadi sakit sekali," keluhnya sembari memijat pelipisnya yang berdenyut tak nyaman. Padahal saat Konan datang tadi, dia hanya merasa pusing. Naruto juga merasakan kalau suhu tubuhnya semakin meningkat. Menghela napas panjang, gadis itu tengah berpikir tentang memanggil dokter tapi kemudian menggeleng. Jika sampai ada yang tahu kalau dirinya sakit maka kakek neneknya pasti akan langsung mengurungnya di istana.

Suara ketukan membuat Naruto menoleh ke arah pintu. "Masuk," serunya.

"Kau sakit Naru." Ten Ten masuk ke kamar lalu duduk di sisi tempat tidur. Gadis itu bukan hanya sekedar karyawan, Ten Ten adalah sahabat baik Naruto.

"Aku baik-baik saja," kata Naruto yang masih keras kepala.

Ten Ten menggeleng melihat tingkah Naruto. Dia meletakkan susu hangat buatan Darui ke meja nakas. Menarik selimut, Ten Ten menutupi tubuh Naruto hingga sebatas dada lalu beranjak keluar kamar untuk mencari obat. Tak lama kemudian dia kembali ke kamar dengan membawa kompres gel juga botol obat. Naruto tidak menolak saat kemudian sang sahabat menempelkan kompres gel ke kening.

"Aku sudah minum obat," kata Naruto pada Ten Ten yang hendak membuka botol obat.

"Kalau begitu minum susunya lalu tidur." Perlahan Ten Ten membantu Naruto duduk.

Naruto hanya sanggup menghabiskan setengah gelas. Dia menggeleng dan kembali berbaring saat kepalanya terasa semakin berat.

"Kau ingin aku memanggilkan seseorang?" tanya Ten Ten dengan hati-hati.

Menatap sang sahabat, Naruto kembali menggeleng.

"Bagaimana jika demammu makin parah? Kemarin kau tidak mendengarkanku dan Fuu, seharian berdiri di bawah hujan. Tolong jangan siksa diri seperti ini, Naru."

"Hentikan omong kosongmu, Ten Ten. Aku tidak menyiksa diri," bantah Naruto dengan suara paraunya.

"Lalu apa namanya?" desak Ten Ten.

"Aku hanya ingin tidur. Pergilah," jawab Naruto yang justru mengusir sahabatnya. Dia sedang tidak ingin mendengar ceramah.

"Apa aku harus menelepon Kurama?" Ten Ten belum menyerah. Dia khawatir dengan kondisi Naruto.

Naruto membulatkan matanya yang semakin memerah karena demam. "Kau mau dia terbang dari Suna malam ini?"

"Kalau begitu biarkan aku memanggil dokter." Ten Ten masih bersikeras.

"Tinggalkan aku sendiri Ten Ten, kumohon," pinta Naruto yang mulai lelah menghadapi sahabatnya.

Sejenak Ten Ten hanya diam dan melihat Naruto memijat pelipisnya. "Minato-jisan pasti sedih jika melihatmu seperti ini."

Naruto langsung diam seribu bahasa saat mendengar nama ayahnya di sebut. Dia memunggungi Ten Ten lalu meremas dadanya yang terasa sakit. Sesak, saat kilasan masa lalu itu kembali terbayang dalam ingatannya.

"Naru," panggil Ten Ten lirih sembari mengusap lembut bahu sahabatnya.

"Panggil Neji."

Senyum penuh kelegaan terukir di bibir Ten Ten. Dia tak lagi bicara dan langsung melesat ke luar kamar untuk mengambil handphone-nya di dapur.

***

"Hei, Naru, kau ingin hadiah apa di hari ulang tahun nanti?" tanya Minato sembari mengaduk adonan di dalam wadah.

Naruto menggeleng. Gadis kecil berusia sepuluh tahun itu tampak asik bermain dengan tepung dan sendok.

Tentu saja hal itu membuat Minato tersenyum. "Kau yakin tidak ingin sesuatu?" Minato kembali mengulangi penawarannya.

"Tidak Otou-sama," jawab Naruto kemudian.

"Baju baru?" Minato mencoba menarik perhatian putrinya.

Naruto menggeleng. Kini gadis itu tampak asik mencampur tepung dengan air.

Minato mematikan mixer lalu menuang adonan ke dalam loyang. "Otou-sama akan buatkan cake lemon yang lezat untukmu."

Gadis kecil itu tampak senang begitu mendengar sang ayah membuat cake lemon kesukaannya. "Nanti Naru yang menghias kuenya," serunya penuh semangat.

"Tentu, tentu, kau bisa menghias kuenya sesuka hatimu."

"Yeaayy," sorak Naruto girang di atas kursinya.

"Otou-sama," lirih Naruto di tengah kesadarannya yang menipis. Mimpi itu terasa begitu nyata baginya. Dia merindukan ayah juga ibunya.

"Naru-chanku cantik sekali," puji Kushina saat melihat gadis remaja itu berputar di depan cermin.

"Putri kita sudah besar." Minato tersenyum bangga pada putri bungsunya yang kini sudah berusia lima belas tahun.

"Benar Anata, tak terasa waktu begitu cepat berlalu."

"Otou-sama, Okaa-sama, ini hari ulang tahun Naru, kenapa kalian justru bersedih?" Gadis cantik berambut pirang itu menghampiri kedua orang tuanya lalu memeluk mereka.

"Wah, wah, wah, kalian bersenang-senang tanpa aku." Seorang pemuda muncul di ambang pintu kamar Naruto.

"Kemarilah Ku," Kushina memanggil putra sulungnya.

"Selamat ulang tahun, Imouto," Kurama mengecup kening sang adik lalu memeluknya.

"Terima kasih Ku-nii," ucap Naruto dengan senyum manisnya.

Lagi-lagi mimpi masa lalu itu datang. Kerinduan dan rasa bersalah pada kedua orang tuanya membuat dada Naruto terasa semakin sesak.

"Okaa-sama," igau Naruto lagi. Dia tidak tahu bahwa disebelahnya ada Fuu dan Ten Ten yang begitu mengkhawatirkannya.

"Kenapa Hyuga sensei lama sekali?" keluh Fuu yang semakin panik karena termometer menunjukkan angka 40 derajat.

"Tenang Fuu, kau membuatku ikut pusing," kata Ten Ten sembari menyeka keringat di kening Naruto. Sudah empat puluh menit berlalu sejak dia menghubungi Hyuga Neji, dokter yang juga adalah sahabat Naruto. Dia dan Fuu sudah mengikuti instruksi Neji untuk mengganti pakaian Naruto yang basah karena keringat, mengganti selimut Naru dengan yang lebih tipis lalu memberikan Naruto minum sebanyak yang dia bisa. Sayangnya, demam Naruto yang semakin tinggi membuat kesadaran gadis itu juga semakin menipis.

Sementara itu di jalan utama Konoha, Neji tengah memacu mobilnya agar bisa segera sampai di Nami Café. Dia baru saja selesai visit pasien terakhirnya saat Ten Ten menghubunginya dan mengatakan kalau Naruto sakit. Berhenti di lampu merah membuat Neji menghela napas panjang sejenak. Dia pun mengaktifkan speaker phone-nya dan menekan tombol panggil. Dua kali nada tunggu, panggilannya pun diangkat.

"Halo, Neji?" jawab suara di seberang sana.

"Shika, apa kau tugas malam?" tanya Neji sembari menekan pedal gas saat lampu lalu lintas berubah hijau.

"Tidak, tugasku sudah selesai sore tadi. Ada apa?" Mendengar nada serius Neji membuat pemuda bernama lengkap Nara Shikamaru itu siaga.

"Pergilah ke Nami Café sekarang, Naru sakit."

"Sakit? Tapi tadi Senju-sama baru saja mengunjunginya dan beliau mengatakan kalau Naru baik-baik saja." Shikamaru mengerutkan kening tak percaya.

"Aku juga tidak tahu, Ten Ten baru saja menghubungiku. Kau tahu sendiri bagaimana Naru, dia sangat ahli bersandiwara. Cepatlah pergi tapi jangan beritahu siapapun," tegas Neji.

"Oke." Shikamaru memutuskan sambungan telepon dan bergegas mengambil kunci motornya. Dia juga cemas dengan keadaan Naruto.

***

Hyuga Neji, pemuda pintar yang berprofesi sebagai dokter. Dia adalah putra sulung dari Hiashi Hyuga, pemilik Konoha Medical Center yang juga menjabat sebagai Kepala Dokter Kerajaan.

Nara Shikamaru, pemuda gesit, kuat dan jenius yang menjabat sebagai Kapten Divisi Pengintai dan Penembak Jitu Kerajaan. Dia adalah putra tunggal dari Menteri Pertahanan, Nara Shikaku.

Kedua pemuda hebat itu adalah sahabat Naruto sejak sekolah menengah. Selain sebagai sahabat, tugas mereka dulu adalah mendampingi dan melindungi Naruto saat berada di luar istana.

Neji tiba lebih dulu di Nami Café. Dia memarkirkan mobil di belakang café yang langsung disambut oleh Darui. Barista yang sudah mengenal Neji itu mengangguk hormat dan mempersilakan sang dokter untuk segera naik ke lantai dua. Dengan menjinjing tas besar, Neji bergegas menaiki tangga. Darui pun kembali pada tugasnya sebagai barista. Suasana di depan café tampak berjalan normal. Dan memang seharusnya begitu.

"Syukurlah Anda sudah datang Sensei," Fuu tampak lega begitu melihat Neji datang.

"Bagaimana keadaannya?" Meletakkan tasnya di lantai, Neji segera duduk di sisi Naruto.

"Demamnya 40 derajat, sejak tadi mengigau dan terus berkeringat," Ten Ten yang duduk di sisi lain tempat tidur menjelaskan sembari terus menyeka keringat di kening Naruto.

Neji melihat ke arah nakas lalu meraih botol Acetaminophen 350mg. "Naru sudah minum ini?" tanyanya seraya menunjukkan botol pada Ten Ten.

Gadis bercepol dua itu mengangguk lalu melihat ke arah jam dinding. "Sekitar tiga atau empat jam yang lalu," jawabnya sedikit ragu karena Naruto tidak mengatakan jam berapa dia meminum obatnya.

Neji mengangguk tanda mengerti. Dia pun segera membuka tas dan mengambil stetoskop, sphygmomanometer -tensimeter- juga thermometer infrared lalu mulai memeriksa Naruto.

Melihat angka 40,5 derajat membuat Neji menggeleng dengan wajah masam. Tekanan darah Naruto 80/60 mmHg. Gadis itu sama sekali tak terusik saat Neji kemudian memeriksannya dengan stetoskop.

"Otou-sama, Okaa-sama," lirih Naruto lagi. Gadis itu masih mengigau.

Sesaat Neji terpaku. Dia tidak lupa kalau kemarin adalah hari ulang tahun sekaligus hari meninggalnya kedua orang tua Naruto. Ini bukan yang pertama bagi Neji untuk menghadapi Naruto yang kolaps di hari ulang tahunnya. Kejadian sepuluh tahun yang lalu itu masih menyisakan trauma mendalam bagi Naruto.

"Dia tidak bisa minum?" tanya Neji lagi saat melihat botol air mineral di atas meja nakas tidak berkurang banyak.

Fuu dan Ten Ten mengangguk. Neji memeriksa pakaian Naruto yang basah dan meminta Ten Ten mengambil baju ganti. "Tolong ganti lagi pakaiannya," kata Neji pada Fuu juga Ten Ten. Dia pun keluar dari kamar dan membiarkan kedua gadis itu mengganti pakaian.

Tepat saat Neji menutup pintu, Shikamaru datang.

"Bagaimana?" tanya Shikamaru tanpa basa basi.

"Demamnya tinggi sekali. Aku akan coba memberinya Acetaminophen melalui infus malam ini. Tapi jika sampai empat jam tidak ada perubahan, kita harus segera membawanya ke rumah sakit."

Shikamaru mengangguk tanda mengerti. "Yamato melapor pada Hokage kemarin kalau Naru seharian berada di pemakaman."

"Di tengah hujan?" Neji menghela napas panjang saat Shikamaru mengangguk sebagai jawaban. "Tidak heran dia sakit."

"Hokage-sama dan Mito-sama sangat khawatir tapi tahu kalau Naru masih ingin sendiri. Beliau mengirim Konan-sama untuk melihat kondisi Naru siang tadi." Shikamaru kembali menjelaskan.

"Dan gadis itu pasti bersandiwara di depan bibinya." Dokter muda itu mengacak rambut dengan kesal.

"Hyuga Sensei, kami sudah selesai mengganti pakaian," lapor Fuu.

Neji pun kembali masuk ke dalam kamar bersama Shikamaru. Ten Ten dan Fuu menjauh dari tempat tidur untuk memberi ruang pada Neji.

"Otou-san, Okaa-san." Lagi-lagi Naruto mengigau. Wajahnya terlihat gelisah. Mereka semua bisa menebak apa yang tengah diimpikan oleh Naruto saat ini.

Dengan cepat Neji membuka tasnya dan mengeluarkan botol berisi Acetaminophen cair juga selang IV. Dia meminta Shikamaru untuk memegang tangan Naruto sementara dirinya mencari pembuluh darah untuk memasang selang IV. Tak butuh waktu lama sampai semua terpasang sempurna lalu Neji menggantung botol di atas tempat tidur.

"Apa Naru-hime akan baik-baik saja?" tanya Ten Ten khawatir. Jika di depan Naruto dia dan Fuu adalah sahabat tapi tidak di hadapan Neji juga Shikamaru. Bagaimana pun Naruto adalah nona mereka dan dihadapan orang lain, Ten Ten dan Fuu harus tahu menempatkan diri.

"Kita akan lihat reaksinya empat jam kedepan. Kalau tidak ada perubahan, aku akan membawanya ke rumah sakit," jelas Neji. Dia tahu bagaimana hubungan Naruto dengan kedua gadis itu. Mereka pasti sangat khawatir.

"Kau memberi tahu ayahmu?" tanya Shikamaru.

"Tidak," jawab Neji tenang. "Aku berharap kondisinya membaik," lanjutnya sembari menatap wajah pucat Naruto.

"Baiklah, sekarang kita hanya bisa menunggu." Shikamaru berjalan ke sisi lain tempat tidur lalu mendudukkan dirinya di sana. Menuai tatapan protes dari Neji. "Aku akan ikut menjaganya," Shikamaru beralasan. Dia pun mengalihkan perhatiannya pada Ten Ten dan Fuu, "Boleh minta secangkir ekspreso?"

"Tentu Nara-san, saya akan meminta Darui membuatnya untuk Anda," jawab Fuu sopan. "Anda ingin sesuatu Hyuga sensei?"

"Cappucino," jawab Neji singkat.

"Baik." Fuu dan Ten Ten pun kemudian meninggalkan kamar.

"Tubuhnya panas sekali." Shikamaru membelai kening Naruto yang masih ditempeli gel kompres.

Neji justru mendengkus melihatnya. "Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan, Shika."

Sang Kapten justru terkekeh pelan mendengarnya. "Jangan begitu, Neji. Kau juga menahan diri untuk tidak memeluknya kan?" Sudut bibirnya tertarik menjadi sebuah seringai dan membuat Neji kembali mendengkus.

"Aku disini sebagai dokter, Shika," elak Neji.

"Perasaan kita padanya bukanlah sebuah kesalahan Neji. Jadi tidak perlu menyiksa diri. Selama kita tahu bagaimana menempatkannya, bukankah itu tidak masalah?" Shikamaru duduk bersandar pada kepala tempat tidur sembari terus membelai lembut kepala Naruto.

Alih-alih menjawab, Neji justru beranjak dari duduknya. "Aku ke kamar mandi sebentar," katanya sambil lalu.

"Heh, keras kepala," ucap Shikamaru lirih saat Neji keluar dari kamar. Dia pun kembali memperhatikan wajah pucat Naruto. "Kau gadis yang kuat Hime. Cepatlah sembuh."

***

"Selamat datang, Tuan Muda," seorang pelayan menyambut Sasuke yang baru saja pulang.

Sasuke hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Maaf, Tuan Muda, Nyonya menunggu Anda di ruang keluarga," kata pelayan itu lagi saat Sasuke hendak berjalan ke lantai dua menuju kamarnya.

"Okaa-sama sudah pulang?" tanya Sasuke. Seingatnya ayah dan ibunya baru akan kembali besok.

"Nyonya dan Tuan baru saja tiba. Nyonya langsung mencari Anda Tuan Muda," pelayan itu menjelaskan.

"Baiklah, terima kasih." Sasuke pun mengurungkan niatnya kembali ke kamar lalu memutar arah menuju ruang keluarga. Ternyata kedua kakaknya juga sudah ada disana.

"Selamat malam Otou-sama, Okaa-sama, Onii-sama," Sasuke memberi salam.

"Ah, Sasuke, kau sudah kembali. Aku merindukanmu," Mikoto, ibu Sasuke, langsung menghampiri sang putra bungsu dan memeluknya. Sementara Fugaku hanya mengangguk untuk menjawab salam putranya.

"Aku juga rindu Okaa-sama," jawab Sasuke senang sembari membalas pelukan sang ibu. Bukan rahasia lagi di keluarga Uchiha kalau Sasuke adalah putra kesayangan Mikoto.

"Kau dari mana?" tanya Mikoto sembari menarik Sasuke untuk duduk di kursi.

Shisui dan Itachi langsung menatap Sasuke. Mereka penasaran dengan jawaban sang adik.

"Aku tadi bertemu seorang teman lalu berjalan-jalan ke taman kota sebentar," jawab Sasuke.

"Teman? Kau punya teman di Konoha?" Mikoto tampak terkejut. Pasalnya sejak sekolah menengah Sasuke tinggal di Oto bersama dengan pamannya, Izuna.

"Aku baru bertemu dengannya kemarin. Dia menolongku saat mobilku rusak di tengah badai," jelas Sasuke.

Mendengar itu membuat Shisui dan Itachi bertukar pandang. Keduanya langsung tampak salah tingkah. Tentu saja hal itu tidak luput dari perhatian Fugaku.

"Ada apa dengan kalian berdua?" tanya Fugaku.

Mendengar pertanyaan sang kepala keluarga membuat perhatian Sasuke juga Mikoto teralihkan. Shisui segera menggunakan kesempatan itu untuk menghentikan cerita Sasuke.

"Okaa-sama, aku sudah lapar. Bisakah kita makan sekarang? Bukankah Sasuke sudah pulang. Kau juga lapar kan Itachi?" Shisui menyenggol kaki Itachi sebagai kode agar bekerja sama dengannya.

Putra kedua itu terkekeh sembari menggaruk kepala. "Iya, Okaa-sama, aku juga sudah lapar."

Fugaku tahu ada yang tidak beres dengan kedua putranya tapi dia tidak mau ambil pusing. Dia pun beranjak dari kursi. "Aku juga lapar," katanya sambil lalu.

"Ah, baik, baik, maafkan aku, Anata. Ayo Sasuke, kita makan malam bersama." Mikoto bergegas menyusul sang suami ke meja makan.

Shisui dan Itachi menghela napas lega. Keduanya hanya tersenyum pada sang adik lalu pergi menyusul ibunya.

"Ada apa dengan mereka berdua?" gumam Sasuke di tengah langkahnya menuju ruang makan.

***

Sasuke duduk di atas tempat tidur lalu menatap handphone di tangannya dalam diam. Sejak tadi dia menunggu sebuah panggilan atau setidaknya sebuah pesan. "Sial, kenapa aku jadi seperti ini?" Dia mengacak rambutnya dengan kesal. "Seharusnya tadi aku meminta nomor teleponnya."

Bungsu Uchiha itu menghela napas panjang lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur. "Nami," gumamnya lirih. Apa dia tidak menerima kartu namaku? batinnya bertanya.

"Sasuke, kau sudah tidur?"

"Belum, masuklah," jawab Sasuke singkat saat mendengar suara Itachi di depan kamar. Dia pun kembali duduk begitu sang kakak membuka pintu.

"Kau sedang apa?" Itachi menghampiri Sasuke lalu duduk di sebelahnya.

"Tidak ada," jawabnya singkat. "Ada apa?"

"Bagaimana mobilmu? Sudah beres?" tanya Itachi yang kemudian justru berbaring di tempat tidur adiknya dan menggunakan kedua tangannya sebagai bantal.

Kening Sasuke berkerut melihat tingkah kakaknya. "Belum, Sakon bilang lusa." Bungsu Uchiha itu menoleh pada sang kakak. "Kau mau tidur di kamarku?"

Mendengar nada bicara Sasuke membuat Itachi terkekeh. "Kita sudah lama tidak mengobrol, apa kau tidak merindukanku?" goda Itachi.

"Ck, seperti anak-anak saja," gerutu Sasuke. Meski begitu dia justru ikut berbaring di sebelah Itachi, membuat sang kakak tersenyum geli. Sebenarnya diantara semua keluarga Uchiha justru Itachi lah yang paling dekat dengan Sasuke. Meski sejak remaja Sasuke tinggal bersama sang paman di Oto tapi mereka tetap berkomunikasi dengan baik. Itachi juga yang paling sering menjenguk Sasuke di Oto selain sang ibu.

"Kau tadi dari mana?" tanya Itachi kemudian. Mereka sama-sama menatap langit-langit kamar.

"Aku bertemu seorang teman tapi tak lama. Setelah itu aku berkeliling untuk mencari gedung, sejenak duduk di taman kota lalu pulang," jelas Sasuke.

"Ah, kau serius ingin membuka studio di Konoha? Menetap di sini?" Itachi memiringkan wajahnya untuk melihat ekspresi sang adik.

"Sepertinya begitu, Okaa-sama memintaku kembali tinggal di Konoha. Tapi seperti yang kau tahu, aku tidak suka tinggal di rumah."

"Ya, ya, aku mengerti," jawab Itachi santai. Adik bungsunya itu memang aneh. Di saat anak lain ingin menjadi bagian dari keluarga Uchiha, Sasuke justru merasa sesak tinggal di tengah keluarganya sendiri. Memang keluarga Uchiha masih begitu ketat mengenai aturan klan dan semacamnya, bahkan masa depan seorang anak sudah ditentukan sejak mereka bayi. Karena itulah Sasuke kemudian memilih tinggal bersama sang paman yang menurutnya memiliki pemikiran sama dengannya.

Izuna, sang paman, juga memilih jalan hidup yang berbeda dengan aturan klan dan memilih tinggal jauh di Oto. Dia adalah seorang pelukis yang suka mengeksplorasi alam. Sasuke sendiri suka dunia fotografi. Dia kuliah jurusan fotografi di Oto Academy lalu bekerja sebagai fotografer di sebuah agency. Dua tahun yang lalu Sasuke berhasil membuka studio foto sendiri bersama temannya Hozuki Suigetsu dan Jugo.

Sekarang, Sasuke berniat untuk pindah ke Konoha karena permintaan Mikoto. Sejak dulu, sang ibu selalu menuruti keinginannya termasuk mengijinkannya memilih jalan hidup sendiri. Maka dari itu, Sasuke berpikir untuk membahagiakan sang ibu karena saat ini dia sudah berhasil mewujudkan mimpinya. Nama Sasuke juga sudah cukup dikenal di dunia fotografi. Banyak perusahaan dan agency yang menggunakan jasanya.

"Aku bisa membantumu soal studio, bagaimana Otouto?" Itachi menawarkan.

Bungsu Uchiha itu langsung menoleh pada kakaknya. "Budget ku tidak banyak," jawab Sasuke to the point.

Itachi tertawa. "Kau ini."

Sebuah jentikan di kening membuat Sasuke tersenyum. Jujur saja, dia terkadang merindukan moment ini bersama kakaknya. Tidak seperti Shisui yang menuruni sifat sang ayah, Itachi lebih santai dan bersikap layaknya seorang kakak di hadapan Sasuke. Tentu saja Sasuke tidak akan mengakui itu di depan Itachi atau dia akan menjadi bahan olokan selama sisa hidupnya.

"Kau mau?" Itachi kembali bertanya.

"Terserah padamu," jawab Sasuke seraya kembali menatap langit-langit kamar dan pura-pura mengusap keningnya.

Melihat sifat tsundere sang adik membuat Itachi menggeleng geli. Sama seperti sang ayah juga Shisui, Sasuke juga memiliki gengsi yang tinggi. "Sasuke, boleh aku bertanya?"

"Hm?" gumam sang adik.

"Aku penasaran dengan teman yang kau ceritakan tadi. Boleh aku tahu siapa dia?" tanya Itachi. Sasuke tidak tahu kalau itu adalah tujuan utama Itachi mengajaknya ngobrol. Dia hanya ingin tahu sejauh mana Sasuke mengenal Naruto.

Mendengar pertanyaan sang kakak, membuat Sasuke kembali menoleh. "Kenapa kau ingin tahu? Apa karena Sakon memberitahumu kalau dia adalah seorang gadis cantik?" mata Sasuke memincing tajam menatap kakaknya.

"Ah, jadi benar dia adalah gadis yang cantik?" Itachi pura-pura penasaran. Tentu saja dia sudah mengenal Naruto.

Sasuke justru mendengkus.

"Hei, aku serius," Itachi berusaha terlihat sungguh-sungguh. "Dia cantik?" ulangnya.

"Iya, dia cantik," jawab Sasuke enggan.

"Dan ...,"

"Dan?" tanya Sasuke karena sang kakak menjeda ucapannya.

"Dan apakah kau tertarik padanya?" kali ini bukan pura-pura, tapi Itachi benar-benar ingin tahu.

Sesaat Sasuke terdiam, tampak sedang memikirkan jawaban yang tepat. "Entahlah," jawabnya kemudian.

Itachi menghela napas sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Itu bukan jawaban yang diinginkannya.

"Kenapa kau penasaran?" Sasuke menatap kakaknya penuh selidik.

"Hanya ingin tahu, Sasuke. Siapa tahu aku bisa membantumu," jawab Itachi asal.

Sasuke langsung bangun begitu mendengar jawaban Itachi. Bahkan sang kakak terkejut karenanya. "Benar kau mau membantuku?" Sasuke tahu kalau dirinya sulit mendekati wanita, berbeda dengan Itachi yang selalu menjadi idola para gadis.

"Ah, itu-." Melihat ekspresi Sasuke membuat Itachi merutuki mulutnya sendiri, dia sudah salah bicara.

"Onii-sama, kau akan membantuku?" desak Sasuke.

Itachi tergagap. Sasuke memanggilnya sopan, berarti anak itu serius meminta bantuannya.

"Hei, Onii-sama-,"

"Iya, iya, aku akan membantumu. Berhenti merengek dengan panggilan itu." Itachi melepaskan tangan Sasuke yang mencengkeramnya.

Adik bungsunya itu menyeringai. "Kau sudah janji Baka-Tachi, jadi jangan mengingkarinya."

"Aku tidak berjan-, ah, sudahlah." Itachi mengacak rambutnya karena sudah merasa dibodohi oleh sang adik.

Sasuke terkekeh melihatnya.

"Dasar, Otouto menyebalkan." Itachi bangun lalu menjentikkan jarinya ke kening sang adik. "Sekarang katakan padaku, seperti apa gadis itu?"

"Aku juga tidak tahu. Yang aku tahu gadis berambut pirang itu bernama Nami, dia memiliki café di blok D, distrik 10," jawab Sasuke.

"Hanya itu?" Itachi memincingkan mata tak percaya.

"Iya, hanya itu. Tadi aku kesana untuk mengembalikan pakaian yang dipinjamkannya padaku. Aku juga meninggalkan kartu namaku di dalamnya. Tapi sepertinya dia tidak tertarik padaku karena sampai sekarang Nami belum juga menghubungiku," jelas Sasuke panjang lebar.

"Apa kau bilang padanya kalau kau adalah bagian dari keluarga Uchiha?" Itachi mencoba mengorek informasi lebih banyak.

"Dia tahu. Dia bahkan sempat bertanya apakah aku bagian dari Uchiha Group saat kami pertama berkenalan." Sasuke merasa heran dengan reaksi Itachi saat mendengar ceritanya. "Memang kenapa kalau dia tahu aku adalah-, ah, atau karena itu dia tidak mau menghubungiku lagi? Dia takut karena aku adalah bagian dari keluarga Uchiha?" Sasuke menarik kesimpulan sendiri, membuat Itachi menggeleng geli.

"Apa dia mengatakan seperti itu?" Itachi terkekeh. Dia tahu kalau Naruto tidak masalah dengan keluarga Uchiha. Yang jadi masalah adalah kalau ketertarikan Sasuke pada Naruto diketahui oleh sang kakek, Madara Uchiha. Bisa dipastikan kalau adik bungsunya tidak akan hidup dengan tenang.

"Nami tidak mengatakannya tapi sikap dinginnya padaku tadi membuatku berpikir seperti itu." Sasuke melihat handphone-nya dan masih belum ada pesan masuk.

"Dia bersikap dingin?" Itachi cukup terkejut mendengarnya.

"Mungkin karena dia sedang tidak enak badan. Kemarin dia juga kehujanan," lanjut Sasuke.

Itachi terdiam. Dia tahu kalau kemarin adalah hari ulang tahun Naruto. Gadis itu pasti sedang sedih karena teringat akan kedua orang tuanya. "Apa kau berencana untuk mengunjunginya lagi?" tanya Itachi kemudian.

"Tentu saja. Kau pikir kenapa aku membutuhkan bantuanmu, Baka-Tachi." Sasuke tampak kesal mendengar pertanyaan konyol kakaknya.

"Ish, aku hanya bertanya, Baka-Otouto," balas Itachi. "Sudahlah, ini sudah malam, aku mau tidur." Dia pun menggeliat lalu beranjak dari tempat tidur. "Oh ya, mengenai ketertarikanmu pada Nami, sebaiknya ini menjadi rahasia diantara kita, bagaimana?"

"Aku setuju," jawab Sasuke cepat. Dia tidak tahu bagaimana reaksi sang ibu kalau sampai tahu dia menyukai seorang gadis.

"Bagus, kalau begitu selamat malam Baka-Otouto," Itachi pura-pura menguap lalu berjalan ke pintu.

"Selamat tidur, Baka-Tachi," jawab Sasuke seraya tersenyum pada pintu kamar yang tertutup.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 1<<

>>Nami Cafe - Chapter 3<<

A/N : Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments