Nami Cafe - Chapter 1

Disclaimer Naruto by Masashi Kishimoto.

Fanfiction by Agnes Kristi. Main pair SasuFemNaru.

Happy reading.

===========================================================

Malam yang dingin di kota Konoha. Ada badai sejak sore tadi. Hujan deras dan angin kencang ditambah dengan petir, membuat kota yang biasanya indah itu kini terlihat suram. Jalanan tampak sepi karena semua orang memilih untuk tetap berada di rumah setelah peringatan badai di siarkan di televisi siang tadi.

Tapi nampaknya malam itu ada orang yang kurang beruntung. Seorang pria yang kini berdiri di tepi jalan, menggunakan mantel di depan kap mobilnya yang terbuka. Sepertinya mobil yang dikendarainya rusak di waktu yang tidak tepat. Melihat sekeliling, pria itu mengumpat lirih saat tidak melihat seorang pun. Bahkan café yang ada tepat di depannya pun sudah tutup. Lebih sialnya lagi, handphone pria itu mati sehingga dia tidak bisa meminta bantuan kepada keluarga atau temannya. Dia kembali mengumpat saat melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam.

Baru saja pria itu menutup kap mobil saat melihat seseorang berjalan ke arahnya. Dalam hati dia berdoa semoga orang itu bisa membantunya. Bisa-bisa dia terkena hipotermia jika berdiam diri dalam badai. Diluar dugaan, orang itu justru menghampiri sang pria malang dan bertanya lebih dulu. Sepertinya dewa mendengar doanya.

"Ada yang bisa kubantu?" teriak orang itu dengan suara nyaring ditengah deru angin yang kencang. Dia merapatkan topi dan bagian depan mantel untuk melindungi wajahnya.

"Mobilku rusak dan handphoneku mati. Aku sudah berusaha mencari bantuan tapi tidak ada orang di sekitar sini." Pria itu menjelaskan keadaannya dengan suara sama nyaringnya.

Orang itu mengangguk tanda mengerti lalu memberi isyarat agar sang pria mengikutinya. Tak punya pilihan lain, pria itu pun mengikutinya tanpa bertanya. Betapa terkejutnya dia saat orang itu berjalan ke arah café yang ada di depannya. NAMI CAFÉ, begitu yang tertulis di neon box besar di depan bangunan. Pria itu lega saat mereka akhirnya berada di dalam ruangan, angin kencang membuat telinganya berdenging tidak nyaman.

"Terima kasih, kau te-," ucapan pria itu terpotong saat melihat sosok di depannya yang kini tengah melepas topi dan mantel hujan yang dikenakannya. Rambut pirang panjang adalah hal yang pertama kali dilihatnya. Begitu sosok itu berbalik, mata bulat dengan manik berwarna biru membuatnya lupa untuk berkedip. Ternyata penolongnya adalah malaikat cantik.

"Saranku, sebaiknya kau segera melepas mantel basah itu."

Kalimat bernada perintah membuat sang pria tersadar dari lamunannya. Tanpa menjawab dia melepas mantelnya yang basah kuyup.

"Letakkan saja di gantungan," kata sang wanita pirang seraya menunjuk tiang kayu di dekat pintu masuk. Sekali lagi pria itu menurut tanpa mengatakan sepatah kata pun. "Silakan duduk, aku akan buatkan minuman," perintahnya lagi sebelum menghilang di balik pintu bertuliskan staff only.

Baru saja pria itu duduk, pintu kembali terbuka dan sang wanita menatapnya. "Kau keberatan dengan teh jahe?" tanyanya.

"Tidak, terima kasih."

"Oke, tunggu sebentar." Wanita itu kembali menghilang di balik pintu.

Duduk dalam diam, sang pria mengamati café tempatnya berada. Café itu cukup luas dengan puluhan kursi dan meja yang terbuat dari kayu berbentuk bulat. Lemari display yang terbuat dari kaca menampilkan piring-piring cantik yang beberapa terisi dengan potongan cake aneka warna. Lemari display lainnya menyajikan ragam pastry juga bakery yang tampak enak. Lalu ada meja bar yang dibelakangnya terpajang beragam gelas berbagai ukuran. Suasana café terlihat cukup nyaman dengan konsep minimalis namun elegan. Terpajang beberapa lukisan mozaik di dinding juga beberapa pot tanaman hias yang cantik. Selain itu juga ada lemari kaca besar di sudut belakang yang penuh dengan buku. Satu hal lain yang menarik perhatiannya adalah panggung kecil di sudut tengah ruangan dengan piano berwarna coklat mengkilat. Kegiatannya mengamati café harus berhenti saat wanita berambut pirang tadi datang dengan membawa dua gelas minuman di tangannya.

"Silakan."

"Terima kasih," ucap pria itu pada wanita yang kini duduk di depannya. Dia pun segera meneguk minuman itu perlahan, sensasi hangat langsung menjalar ke tenggorokannya. Jujur saat ini dia tengah kedinginan karena ternyata baju yang dikenakannya juga basah. Semoga saja dia tidak demam atau pun terkena flu esok harinya. Terlalu menikmati minuman membuat pria itu lupa pada wanita di depannya. Dia pun segera meletakkan gelasnya dan kembali mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih banyak karena sudah menolongku."

Wanita yang juga tengah menikmati minumannya itu pun langsung menatap pria di depannya. "Tidak masalah, aku hanya melakukan yang seharusnya," jawabnya sopan dan kembali meneguk minuman di tangannya.

Pria itu mengamati buku-buku jari sang wanita yang tampak keriput dan memutih. Dia menduga kalau wanita itu juga cukup lama berada di bawah guyuran hujan sama sepertinya. Pasti dia juga sedang kedinginan, batinnya iba. Dan entah mengapa tiba-tiba pria itu ingin memeluk sang wanita untuk menghangatkannya. Ah, aku pasti sudah gila karena terlalu lama kehujanan, batinnya menggurutu atas pemikirannya yang kelewat batas. Tiba-tiba dia ingat kalau belum memperkenalkan diri, padahal wanita itu sudah menolong bahkan sudah menjamunya dengan baik.

"Maaf, boleh tahu siapa namamu? Aku Sasuke, Uchiha Sasuke."

Mendengar sang pria mengenalkan namanya membuat wanita itu langsung mengangkat wajah dan menatap lekat sosok di depannya. "Uchiha?" tanyanya kemudian. "Uchiha yang itu?"

"Uchiha yang itu?" Pria bernama Sasuke itu mengulang pertanyaan dengan ekspresi bingung.

"Ah, maaf," ucap sang wanita sembari terkekeh pelan. "Aku terkejut mendengar nama keluargamu. Apakah kau salah satu anggota keluarga Uchiha dari Uchiha Grup?" tanyanya sembari meletakkan gelas di meja.

Sesaat Sasuke tampak ragu untuk menjawab tapi kemudian dia mengangguk. "Hanya saja aku tidak bekerja di sana. Ayah dan saudara-saudaraku yang mengembangkan bisnis itu," terangnya. Dia tidak heran kalau ada yang terkejut dengan nama yang disandangnya. Keluarga Uchiha adalah keluarga terpandang di Negara Hi, terlebih di kota Konoha sebagai ibukota Negara. Keluarganya memiliki bisnis yang menggurita di bidang transportasi dan elektronik. Bahkan belakangan ini dia mendengar kalau keluarganya membangun kerja sama untuk bisnis property dan peternakan sapi.

Wanita pirang itu mengamati penampilan Sasuke yang mengenakan T-shirt putih berbalut hoddy tanpa lengan berwarna hitam. Dia pun mengamati rambut hitam Sasuke yang sedikit berantakan lalu menatap mata sehitam langit malam di depannya. Sebuah senyum terulas di bibir cherry wanita itu.

"Senang berkenalan dengan Anda, Tuan Uchiha-,"

"Sasuke, panggil saja Sasuke. Jujur, aku tidak pernah nyaman di panggil Tuan Uchiha. Dan satu lagi, jangan bicara formal padaku," potong Sasuke.

"Oh, begitu." Wanita itu kembali tersenyum lalu meraih kembali gelasnya.

"Maaf, kau-,"

"Nami, panggil saja Nami," katanya yang balas memotong perkataan Sasuke. Tanpa sadar keduanya tersenyum. Wanita bernama Nami itu kembali meneguk minumannya.

"Café ini milikmu?" tanya Sasuke kemudian. Dia cukup tertarik dengan café itu atau dengan pemiliknya juga?

"Warisan. Café ini milik mendiang ayah dan aku mencoba untuk tetap mempertahankannya," jawab Nami sembari tersenyum.

"Maaf," ucap Sasuke yang merasa tidak enak atas pertanyaannya.

"Tidak masalah. Ayah meninggal sepuluh tahun lalu. Dia sudah bahagia di surga sana. Tidak ada alasan bagiku untuk bersedih," jawab Nami sembari mengulas senyum tipis. Sayangnya mulut manis itu tidak dapat menutupi pancaran matanya yang kini meredup dan itu membuat Sasuke dalam hati mengomeli dirinya sendiri.

"Oh ya, apa kau tidak tahu kalau akan ada badai? Kenapa berkendara sampai malam?" tanya Nami yang jelas berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

"Tidak. Pagi tadi aku masih berada di Oto lalu pulang saat siang dan sama sekali tidak menonton televisi. Baru sadar kalau baterai handphone mati begitu terjebak badai saat memasuki Konoha. Kupikir masih bisa menerobos badai dan kembali ke rumah. Sayangnya mobilku rusak," terang Sasuke.

"Oh begitu-." Nami terdiam begitu mendengar Sasuke bersin dua kali. Dia baru sadar kalau pakaian pria itu juga basah.

"Maaf," ucap Sasuke yang langsung menarik dua lembar tissue di atas meja dan menutupi mulutnya yang kembali bersin.

Nami melihat keluar melalui jendela cafenya. Badai tidak akan reda dalam waktu dekat, bahkan petir masih menyambar di langit sana. Merasa kasihan dengan pria di depannya, Nami akhirnya menawarkan bantuan. "Kau tidak keberatan kalau bermalam disini?"

"Eh?" Sasuke cukup terkejut dengan penawaran Nami. Dia bahkan tidak berpikir untuk menginap. Tapi kemudian Sasuke melihat keluar. Rasanya memang tidak mungkin aku bisa pulang, batinnya. Tidak mungkin juga dia menghubungi teman atau keluarga untuk menjemputnya di tengah badai seperti ini. Lagi-lagi Sasuke tidak punya pilihan selain menerima tawaran Nami untuk bermalam di cafenya. Dia pun mengamati beberapa bangku panjang yang ada di dekat lemari buku.

"Jangan berpikir untuk tidur di sana. Kau bisa mati kedinginan," celetuk Nami begitu melihat arah pandangan Sasuke dan menebak apa yang dipikirkan pria itu.

"Aku tidak ingin merepotkan," jawabnya sungkan. Meski begitu dalam hati dia setuju dengan perkataan Nami karena udara terasa semakin dingin sekarang.

Nami menghela napas sebelum beranjak dari bangku. "Ayo," ajaknya.

Sasuke tidak bisa menolak. Dia mengikuti Nami yang kini berjalan ke arah tangga spiral di sudut belakang cafe. Keduanya menaiki tangga dalam diam hingga Sasuke kembali bersin dan membuat Nami menoleh padanya.

"Aku baik-baik saja," ucap Sasuke sungkan.

Nami hanya tersenyum lalu melanjutkan langkahnya. Keduanya berhenti di depan sebuah pintu berwarna kuning gading. Nami mengambil kunci dari saku celana panjangnya lalu mempersilakan Sasuke masuk.

Ternyata lantai dua café itu adalah rumah tinggal. Sebuah ruang tamu beralas karpet tebal dengan sofa panjang tanpa kaki adalah tempat dimana Sasuke duduk sekarang. Dia bersyukur karena ada penghangat di ruangan itu. Nami menghilang di balik pintu yang bertuliskan Jangan Masuk, Ada Rubah Galak, Sasuke tersenyum geli membacanya. Tak lama kemudian Nami keluar dengan membawa pakaian juga handuk.

"Pakaianmu basah. Silakan pakai, kalau tidak keberatan. Kamar mandi di sebelah sana. Ada shower dengan air hangat," kata Nami sembari menunjuk letak kamar mandi.

"Terima kasih." Sasuke tidak tahu harus berkata apa lagi atas kebaikan Nami padanya. Padahal mereka baru saja bertemu.

Wanita itu hanya tersenyum sebelum kembali ke kamarnya dan membiarkan Sasuke mandi lebih dulu. Bersandar pada pintu yang tertutup, Nami bersin tiga kali. "Sepertinya aku juga terkena flu," gumamnya. Baru saja dia membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti, handphonenya berdering dan membuatnya menghela napas panjang. Dia tahu siapa yang menghubunginya malam-malam seperti ini.

"Halo, Onii-sama," sapa Nami dengan nada datar.

"Dasar Anak Nakal! Aku meneleponmu seratus kali sejak pagi," gerutu suara di seberang sana.

Nami menghela napas panjang. "Ku-nii tahu aku dimana, kenapa harus khawatir?"

"Andai aku ada di Konoha sekarang, aku pasti sudah menarik telingamu itu sampai merah. Yamato bilang kau tidak mau pulang. Seharian di pemakaman lalu pulang di tengah badai dengan berjalan kaki. Kau gila!" Omelan panjang itu justru membuat Nami menggeleng sembari mengulas senyum. Benar dugaannya kalau Yamato, pengawal keluarganya itu melapor pada kakaknya yang saat ini tengah berada di Negara Kaze, tepatnya kota Suna.

"Aku bersyukur Ku-nii tidak ada di Konoha, setidaknya telingaku aman," kelakar Nami yang membuat geram sang kakak di seberang sana.

"Aku tidak sedang bercanda NA-RU-TO!" geramnya lagi dengan mengeja nama adiknya dengan nada kesal.

Nami yang memang memiliki nama asli Naruto itu terkekeh. Dia senang membuat kakak laki-lakinya itu marah. "Ayolah, Tuan Muda Kurama, kau akan cepat tua jika terus menerus marah padaku."

Tahu kalau kemarahannya tidak berguna membuat Ku atau lebih tepatnya Kurama menghela napas panjang. "Aku akan memberimu pelajaran saat pulang nanti," ancamnya. "Sekarang katakan padaku kalau kau baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja Onii-sama, kau tidak perlu khawatir. aku bahkan sudah berada di dalam kamar," jawabnya. Setidaknya jawaban itu akan membuat kakaknya tidur nyenyak malam ini.

"Kau tidak bohong? Apa kau sendiri di café?" tanya Kurama.

Sesaat Naruto melihat ke arah pintu lalu tersenyum. "Tidak Onii-sama, aku tidak sendiri," jawabnya yang menuai desahan lega dari sang kakak. Kurama tidak tahu kalau ternyata sang adik tengah bersama dengan orang asing.

"Jaga dirimu, kau tahu aku sangat menyayangimu, imouto." Kali ini nada suara Kurama melembut.

"Aku juga menyayangimu, Ku-nii," jawab Naruto, terselip rindu dalam hatinya karena sudah satu bulan keduanya tidak bertemu.

"Sebaiknya kau istirahat, ini sudah malam."

"Iya, Ku-nii juga harus istirahat."

Tanpa Naruto tahu kakaknya tengah tersenyum di seberang sana tapi kemudian wajah tampan itu menyendu. "Oyasumi, Naru-chan dan ... selamat ulang tahun, semoga panjang-." Panggilan yang terputus membuat Kurama menghela napas panjang.

Sementara itu di dalam kamar, Naruto menggenggam erat handphone-nya dengan ekspresi tak terbaca. Dia mengeratkan mata saat sebuah memori melintas di dalam kepalanya. Menarik napas panjang, Naruto berusaha meredakan detak jantungnya yang berpacu. Ini adalah alasan kenapa dia tidak membawa handphone seharian dan mengabaikan semua telepon juga pesan yang masuk. 10 Oktober. Naruto benci hari ulang tahunnya.

***

Badai telah berlalu, menyisakan pagi yang sejuk. Matahari mulai mengintip di balik awan. Sepertinya hari ini akan cerah. Fuu dan Ten Ten menatap Naruto dengan mata memincing tajam. Chef pastry dan petugas kasir itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Keduanya baru saja datang saat Naruto dan Sasuke selesai dengan sarapan mereka. Dua orang pria datang menjemput Sasuke. Dan disinilah Naruto sekarang, duduk manis di meja bar, di depan dua pegawai tersayangnya yang penasaran tingkat dewa dengan apa yang terjadi.

"Aku hanya menolongnya, tidak lebih. Dan tidak terjadi apa-apa semalam, mengerti?" Naruto menatap dua wanita di depannya bergantian.

"Kau bilang dia Uchiha Sasuke?" tanya Tenten penasaran.

Naruto hanya mengangguk. Tangannya sibuk mengaduk teh yang tadi dibuat oleh Fuu.

"Dan kalian tidak saling kenal sebelumnya?" kali ini Fuu yang bertanya.

"Kau pikir aku artis terkenal hingga semua keluarga Uchiha harus mengenalku?" Naruto terkekeh di akhir kalimatnya.

"Faktanya semua Uchiha sering mencarimu. Aku benar kan, Fuu?" Tenten mencari pembelaan saat Naruto memincingkan mata padanya.

"Itachi, Obito, Sai, bahkan Tuan Fugaku. Lalu ... siapa nama kakek tua itu?" Fuu memukul meja saat mengingat nama terakhir yang ingin disebutkannya. "Madara, Madara Uchiha."

"Sasuke itu, berasal dari Uchiha mana hingga tidak mengenal Nona Muda kita ini?" lanjut Ten Ten.

Naruto menggeleng geli melihat tingkah dua pegawainya. Mereka selalu saja penasaran dengan pria-pria yang kerap datang mencarinya. "Aku tidak peduli dari mana Sasuke berasal. Sekali lagi kukatakan kalau aku hanya menolongnya semalam, tidak lebih." Wanita muda itu meneguk tehnya perlahan. menikmati sensasi hangat yang menjalar ke tenggorokannya. "Sudahlah, aku ke atas dulu. Kalian sebaiknya bekerja dan siapa pun yang mencariku hari ini-,"

"Katakan kalau Nona Nami sedang keluar," potong Ten Ten dan Fuu bersamaan.

"Pintar," puji Naruto sembari tersenyum lalu pergi meninggalkan kedua pegawainya.

***

>>Bersambung<<

>>Nami Cafe - Chapter 2<<

A/N : Sampai jumpa di chapter selanjutnya. Selamat membaca.

You can support the author at Trakteer or Ko-fi. Klik link website Trakteer or Ko-fi on my profile.

Thank you *deep_bow

Post a Comment

0 Comments