Disclaimer : Garasu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
“Tuan Masumi menolak
donor dari Anda. Maaf, hanya itu yang bisa saya katakan.” Dokter Hayate menatap
Koji yang duduk di depan meja kerjanya dengan tenang. Hijiri sudah
memberitahunya garis besar masalah antara Masumi, Maya, dan Koji. Menurutnya
tidak salah kalau Masumi menolak.
Ekspresi wajah Koji
mengeras. Dia marah, tentu saja. Ini adalah rencana terakhirnya untuk
memisahkan Maya dan Masumi. Sekarang apalagi yang harus dilakukannya? Maya dan
Masumi tidak boleh menikah. Tidak boleh!
“Apa Anda tidak bisa
melakukan sesuatu? Bukankah nyawa pasien Anda dipertaruhkan disini, Dokter?” Koji
masih berusaha memaksakan kehendaknya.
Dokter Hayate menggeleng.
“Keputusan tetap berada di tangan Tuan Masumi. Saya tidak bisa memaksa meski
pun nyawa taruhannya.”
Tahu bahwa dia tidak bisa
beradu argumen, Koji pun undur diri. Dia yakin kalau Dokter Hayate tidak akan
pernah membantunya. Koji keluar dari ruangan dokter dengan perasaan kesal.
Bagaimana mungkin rencananya bisa gagal? Dia pikir Maya begitu mencintai Masumi
hingga rela mengorbankan apa pun. Apa gadis itu tidak ingin Masumi sembuh?
Langkah kaki Koji
terhenti saat menyadari kebodohan terbesarnya. Maya mencintai Masumi, itu
benar. Maya akan mengorbankan segalanya demi Masumi, ya … Koji benci fakta itu
tapi itu memang benar. Tapi dia lupa satu hal. Lupa kalau Masumi juga sangat
mencintai Maya, tentu saja! Mana mungkin dia mau menukar Maya dengan hatinya. Dia
yakin kalau Masumi memilih mati daripada harus kehilangan Maya.
Koji kembali berjalan,
menghentakkan kaki dengan kesal di sepanjang koridor rumah sakit. Dalam hati
merutuki dirinya sendiri. Sekarang dia harus memikirkan rencana baru. Dan
waktunya semakin sedikit. Pernikahan Maya juga Masumi tinggal empat hari lagi.
***
Maya membuka mata dengan
terkejut. Gadis itu langsung bangun lalu bersandar pada kepala tempat tidur,
menarik napas panjang untuk meredakan debaran jantungnya.
“Maya?” Masumi
menghidupkan lampu tidur di atas nakas lalu menatap kekasihnya. Dia terkejut
saat Maya yang tidur dalam pelukannya tiba-tiba terbangun.
“Aku-,” Maya menatap
Masumi dengan khawatir. Dia mengusap wajah pria itu lalu kembali menghela napas
panjang. “Air, tolong, aku ingin minum.”
Masumi langsung turun
dari tempat tidur, berjalan ke arah meja di sudut ruangan dekat pintu balkon
lalu menuang segelas air dari pitcher kaca. “Kau baik-baik saja?” tanyanya
seraya mengulurkan segelas air pada kekasihnya.
Maya hanya mengangguk
lalu meneguk air perlahan. Sensasi dingin di tenggorokan sedikit membuatnya
lebih rilek. “Terima kasih,” ucapnya yang kemudian meletakkan gelas di atas nakas.
Gadis itu kembali bersandar pada kepala tempat tidur lalu menghela napas
panjang. Mengabaikan tatapan khawatir Masumi yang duduk di depannya, di tepi
tempat tidur.
“Kau yakin baik-baik saja?”
tanya Masumi kemudian setelah melihat kekasihnya lebih tenang.
“Aku baik-baik saja,
hanya-,” Maya menatap Masumi saat menjeda perkataannya, “-aku mimpi buruk.
Bersyukur itu hanya mimpi.” Matanya berkedip lalu tersenyum, “Maaf sudah
mengganggu tidurmu.” Gadis itu melihat ke arah jam dinding, pukul 02.00 dini
hari.
“Mimpi apa?” tanya Masumi
penasaran. Melihat reaksi Maya tadi, dia yakin itu pasti mimpi yang buruk
sekali.
“Tidak, aku tidak ingin
membicarakannya.” Maya menggeleng dengan kuat. Dia pun kembali berbaring lalu
menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Waktunya tidur.”
Menatap Maya dalam diam,
Masumi menurut saat gadis itu menarik tangannya untuk kembali berbaring. Dia
pikir juga masih terlalu pagi untuk berdebat tentang mimpi buruk. Masumi pun
kembali berbaring.
“Kau berhutang cerita
padaku, besok,” gumam Masumi saat kembali mendekap Maya ke dalam pelukannya.
“Hm,” jawab Maya dengan
senyum simpulnya. Dia tahu kalau Masumi khawatir padanya.
“Kau mendengarku?” tanya
Masumi lagi.
“Tidurlah.” Gadis itu
memeluk Masumi lalu menyurukkan wajahnya di dada bidang sang kekasih. Maya
semakin merasa tenang saat Masumi mengeratkan pelukannya. Setidaknya gadis itu
tahu kalau Masumi bersamanya.
Rasa kantuk membuat Masumi
dengan cepat kembali tertidur. Sayangnya tidak dengan Maya. Gadis itu justru
kembali membuka mata saat yakin Masumi sudah terlelap. Dia mengusap lembut
wajah Masumi, berhati-hati agar tidak membangunkannya. Maya masih merasa ngeri
dengan mimpinya. Dia melihat Masumi terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh
penuh darah. Sungguh, mimpi itu sangat mengganggunya. Maya mengucap doa dalam
hati. Semoga itu hanya bunga tidur. Semua
pasti baik-baik saja, ucapnya dalam hati sebelum akhirnya memejamkan mata,
mencoba untuk kembali tidur.
***
Halaman belakang mansion
Hayami sudah disulap menjadi tempat pesta kebun yang cantik. Meja-meja bundar
tertata rapi, tiang-tiang dekorasi, berbagai lampu hias, lantai dansa, tidak
ketinggalan rangkaian bunga-bunga yang indah.
“Kau suka?” tanya Masumi ketika melihat Maya
tak berhenti menatap para pekerja yang tengah menyelesaikan dekorasi.
Maya mengulas senyum
termanisnya. “Ini luar biasa, Masumi,” lirihnya.
“Aku senang kau
menyukainya,” kata Masumi. Dia melingkarkan tangannya di pinggul Maya, membuat
gadis itu semakin merapat padanya.
“Terima kasih, Masumi,”
ucap Maya seraya bersandar manja pada calon suaminya.
“Jangan berterima kasih,
sayang. Ini semua tidak seberapa dibandingkan dengan kebahagiaan yang kau
berikan padaku.” Masumi mengecup kening Maya ketika gadis itu mengangkat
wajahnya.
“Aku juga bahagia,” kata
Maya.
Senyum Masumi mengembang.
“Rasanya aku sudah tidak sabar untuk memilikimu,” katanya seraya mengusap sisi
wajah Maya. “Kenapa tiga hari terasa begitu lama?” lanjutnya dengan nada mengeluh
yang terdengar jelas.
Maya justru terkikik
mendengarnya. “Kau sudah memilikiku, Masumi.”
Kali ini Masumi kembali
memeluk tubuh mungil kekasihnya. “Ya, kau benar. Kau milikku.”
Sepasang calon suami
istri itu tidak menyadari kalau kemesraan mereka menjadi perhatian para
pekerja, pelayan mansion, juga Eisuke dan Asa.
“Dasar anak muda,” gerutu
Eisuke dari atas kursi rodanya. Dia dan Asa juga sedang melihat para pekerja
dari teras belakang mansion.
Asa tertawa, “Tapi Tuan
Muda bahagia.”
“Ya, kau benar. Aku belum
pernah melihatnya seperti itu,” kata Eisuke yang kemudian juga tersenyum
melihat putra dan calon menantunya bahagia.
“Semoga Tuan Masumi dan
Nona Maya bahagia selalu,” Asa berdoa setulus hati. Eisuke yang tiba-tiba
menghela napas membuat Asa menatap tuannya khawatir. “Ada apa Tuan?”
“Bagaimana masalah aktor
itu? Apa dia masih mengganggu Maya?” tanya Eisuke tiba-tiba.
Ternyata Eisuke juga sudah
tahu masalah antara Masumi, Maya dan Koji. Maya yang tiba-tiba hilang kemarin
membuatnya curiga. Apalagi setelah itu Maya demam dan dirawat Masumi di
apartemennya. Langsung saja Tuan Besar Hayami itu memanggil Hijiri. Atas ijin
Masumi, akhirnya Hijiri menceritakan garis besar masalah antara ketiganya.
“Sejauh ini semua
terkendali, Tuan.”
“Baguslah, aku tidak mau
anak itu merusak pernikahan Masumi dan Maya. Pastikan juga Maya tidak keluar
sendiri sampai hari pernikahannya.”
“Baik, Tuan.”
Eisuke kembali melihat ke
arah taman. Maya dan Masumi kini tengah mengobrol dengan penanggung jawab wedding organizer, entah apa yang mereka bicarakan. “Aku ingin istirahat,”
katanya kemudian.
Asa mengangguk lalu
mendorong kursi roda menuju kamar.
Sementara itu, Koji di
apartemen sedang gelisah memikirkan rencananya. Pemuda itu masih belum mau
menyerah. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk memisahkan Maya juga
Masumi. Di atas tempat tidur berserak foto Maya dari berbagai pentasnya. Koji
mengacak rambutnya kasar, frustasi. Hingga beberapa saat kemudian seringai
menghiasi wajah lelahnya. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa yang tengah
direncanakan pemuja Maya itu.
***
“Hei, kau melamun.”
Maya tersentak saat
Masumi menyentuh bahunya. Gadis itu menoleh dan langsung tersenyum saat melihat
wajah khawatir Masumi. Keduanya sedang duduk di balkon kamar, menikmati waktu
berdua usai makan malam.
“Kau melamun,” ulang
Masumi.
“Maaf, hanya sedang
memikirkan sesuatu,” jawab Maya. Dia meraih tangan Masumi lalu menggenggamnya
erat.
“Kau masih belum mau
menceritakan mimpimu semalam?” tanya Masumi saat Maya bersandar pada lengannya.
Gadis itu terdiam,
pandangannya kembali menerawang jauh.
“Maya?” Masumi mengusap
lembut pelipis Maya.
“Itu hanya bunga tidur,
tidak ada yang perlu diceritakan,” elak Maya. “Masumi, besok Rei akan datang.
Bolehkah dia menginap disini sampai acara pernikahan kita?” tanyanya yang
berusaha mengalihkan perhatian Masumi.
“Tentu saja boleh. Bilang
pada Bibi Harada untuk meminta pelayan menyiapkan kamar tamu,” jawab Masumi.
“Terima kasih.” Gadis itu
menarik tengkuk Masumi lalu mendaratkan sebuah kecupan di sudut bibirnya.
Sungguh trik pengalihan yang jitu.
Masumi tersenyum. Dia
tentu saja tidak melewatkan kesempatan itu. Menahan tangannya di punggung Maya,
kali ini Masumi langsung mencium bibir mungil kekasihnya. Hanya dalam sekejap
sepasang kekasih itu terlarut dalam ciuman dalam nan manis. Maya bahkan tidak
bisa menyembunyikan wajah merahnya ketika Masumi melepaskan tautan bibirnya.
“Sudah kubilang jangan
menggodaku,” bisik Masumi di depan bibir Maya.
Gadis itu berkedip lalu
tersenyum. “Aku tidak menggodamu, Tuan Hayami.”
“Lalu? Hanya berusaha
mengalihkan perhatianku?” kata Masumi diiringi seringai di sudut bibirnya.
Maya tertawa. “Aku hanya
tidak ingin membicarakannya. Itu merusak suasana hatiku.”
Alih-alih menanggapi
alasan kekasihnya, Masumi justru menarik gadis itu untuk duduk di atas
pangkuaannya, merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.
“Aku tidak akan
menanyakannya lagi,” kata Masumi kemudian.
“Senang mendengarnya,”
jawab Maya sembari mengalungkan kedua tangannya ke leher Masumi. Dia menyatukan
keningnya dengan kening Masumi hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan.
“Boleh aku menciummu
lagi?” lirih Masumi yang tergoda dengan bibir manis Maya. Hembusan nafas gadis
itu menerpa wajahnya dengan lembut.
“Kau sopan sekali.” Maya
menahan senyumnya melebar saat Masumi kemudian memiringkan wajah lalu kembali memagut
bibir merah mudanya.
Keduanya kembali tersesat
dalam ciuman manis.
Perlahan Masumi melepaskan
bibir Maya saat hasratnya semakin terbakar. Dia tidak boleh hilang kendali. “Bisakah
kita menikah besok pagi?” tanya Masumi di tengah napasnya yang memburu.
Dan Maya tertawa
mendengarnya.
***
Pagi hari berikutnya,
para pelayan mansion Hayami tampak sibuk dengan berbagai kiriman yang datang. Kimono,
gaun pengantin Maya, dan banyak hadiah datang bersamaan. Manekin gaun pengantin
di letakkan di kamar Maya sementara kimono pengantin disimpan rapi dalam kotak,
di dalam lemari.
Maya tidak berhenti
protes pada Masumi saat bermacam-macam kotak kaca tertata rapi di dalam
kamarnya. Perhiasan, pakaian, sepatu, juga tas dan banyak lagi hadiah lainnya,
membuat Maya berkali-kali menghela napas panjang.
“Itu hadiah pernikahan
untukmu, dari Ayah juga dari kolega Daito,” kata Masumi saat melihat calon
istrinya mencebik.
“Kenapa harus sebanyak
ini?” Maya bahkan tidak berani menghitung berapa banyak hadiah untuknya.
“Kau tanya saja pada mereka.”
Masumi tersenyum geli melihat reaksi calon istrinya. “Biasakan dirimu dengan
semua ini, Maya. Besok pasti lebih banyak hadiah datang. Jangan lupa kalau kau
adalah Bidadari Merah, aktris kelas satu Jepang.”
“Undangan sudah dibatasi
Masumi, kenapa masih banyak hadiah datang. Yukari juga bilang banyak kado datang
di kantor Daito dari para penggemar,” keluh gadis itu seolah menerima hadiah
adalah sebuah beban baginya.
“Bukankah kau seharusnya
senang? Banyak yang sayang padamu,” kata Masumi yang berusaha menenangkan
kekasihnya.
Maya menggeleng pelan.
“Aku akan mengecewakan mereka,” lirihnya dengan helaan napas panjang.
“Apa maksudmu?” Masumi
menautkan alis mendengar perkataan Maya.
Gadis itu menatap Masumi
lalu duduk di tepi tempat tidur.
“Maya? Kau tidak sedang
merencanakan sesuatu kan?” Masumi berdiri di depan Maya dengan tatapan
menuntut.
“Aku berencana ingin
mundur dari dunia akting setelah menikah.”
Masumi terkejut, tentu
saja. Seingatnya mereka pernah membahas ini, dulu. “Jangan bercanda Maya!”
Maya sudah menebak reaksi
Masumi, karena itu dia tidak pernah mau mendiskusikan keputusannya. “Aku tidak
bercanda. Aku hanya tidak mau pekerjaan membuatku sulit menghabiskan waktu
bersamamu.” Ya, alasan yang simple
untuk seorang Maya.
“Kau mengorbankan
impianmu demi aku?” desis Masumi tidak suka. Dia mencengkram kedua lengan Maya,
memaksa gadis itu menatapnya.
“Impianku adalah menjadi
Bidadari Merah lalu hidup bahagia denganmu,” jawab Maya tenang, “Aku sudah
mendapatkannya.”
Melepaskan lengan Maya,
Masumi berusaha menahan emosinya dengan duduk di sebelah sang kekasih. Keduanya
terdiam. Maya menatap hadiahnya satu per satu tapi tidak lagi berkomentar.
“Kau tidak boleh
melakukannya,” kata Masumi setelah hening yang panjang.
“Tapi-,”
“Tidak ada tapi Maya.”
Masumi mengangkat tangannya. Pria itu lalu beranjak dan berjalan keluar kamar.
Meninggalkan Maya yang hanya bisa diam menatap punggungnya menghilang di balik
pintu.
***
Masumi merasa marah,
tentu saja. Dia menatap halaman belakang mansion dari balkon kamarnya. Masumi
sungguh tidak sabar untuk menunggu hari pernikahan mereka, sayangnya perkataan
Maya membuat mood-nya berada di level terendah.
Entah berapa lama Masumi
termenung. Pria itu tersentak saat sepasang lengan memeluknya dari belakang.
“Maaf,” bisik Maya dengan
wajah bersandar pada punggung Masumi. Usapan lembut di kedua tangannya membuat
gadis itu tersenyum. “Jangan marah,” lirihnya lagi.
“Aku tidak marah,” jawab
Masumi datar, tentu saja itu bohong.
Maya kembali tersenyum
sembari mengeratkan pelukannya. “Sungguh?”
“Hm,” gumam Masumi pelan.
Dia masih betah memandang halaman belakang meski tangannya terus mengusap
lembut kedua lengan Maya di atas perutnya.
“Kau tahu kalau menjadi
artis itu melelahkan?” tanya Maya tenang. “Meski begitu aku menyukainya,”
lanjutnya.
Masumi cukup paham untuk
tidak menyela dan memilih untuk membiarkan kekasihnya bicara.
“Dunia panggung, adalah
dunia keduaku. Di sana aku hidup dengan sejuta warna. Aku masih ingat pertama
kali aku naik panggung. Peranku sebagai Beth kecil, kau juga pasti masih ingat
kan, Masumi?” Maya bisa merasakan tubuh Masumi menegang. “Setelah peran itu,
aku mendapat bunga mawar ungu dari penggemar pertamaku. Satu-satunya orang yang
menghargai kerja kerasku sementara para kritikus berkata bohong soal pentas
perdana kami.”
Maya menghela napas perlahan,
masa-masa itu cukup sulit baginya.
“Mawar Ungu membuatku
bersemangat, membuatku merasa harus berusaha sebaik mungkin untuk semua
peranku. Aku tidak peduli kalau semua orang membenciku, tapi aku tidak ingin
mengecewakan Mawar Ungu. Semua usaha dan impianku adalah balasan untuk semua
dukungan yang dia berikan. Aku bahkan sempat berpikir, apakah aku pernah
benar-benar berjuang untuk diriku sendiri?” Maya melepaskan pelukannya lalu
menarik bahu Masumi.
Masumi menatap Maya
sendu. Dia tahu pasti kemana arah pembicaraan ini. Bahkan saat Maya meraih
tangannya dan menangkupkan telapak tangan besar itu ke sisi wajahnya, Masumi
masih diam.
“Kau adalah alasanku
tetap bertahan di atas panggung,” lanjut Maya dengan mata tak lepas memandang
kekasihnya, “Bahkan setelah aku berhasil memenangkan hak pementasan Bidadari
Merah, alasan itu tetap sama.”
Senyum tipis Maya membuat
Masumi berkedip. “Keputusanku untuk berada di bawah manajemen Daito juga dengan
alasan yang sama.”
“Dan sekarang kau
berencana membuang karirmu demi aku? Kau merasa lebih penting menghabiskan
waktu bersamaku karena aku sekarat dan bisa mati kapan saja?” tanya Masumi
dengan suara beratnya.
Kepala Maya langsung
tegak dengan alis berkerut. “Kau pikir begitu?”
“Tentu saja,” jawab
Masumi tanpa ragu.
Maya justru tersenyum. “Aku
sudah memilikimu. Saat pusat duniaku ada dihadapanku, apalagi yang aku
inginkan?” Dia kembali memeluk Masumi.
Masumi bergeming,
mencerna setiap kata yang Maya ucapkan.
“Bisakah kita lupakan
topik ini? Setidaknya sampai kita benar-benar siap membicarakannya. Aku tidak
mau merusak moment bahagia kita dengan pertengkaran,” pinta Maya.
Helaan napas Masumi
membuat Maya melepaskan pelukannya. Gadis itu terkejut saat Masumi tiba-tiba
menangkupkan kedua tangannya ke wajah lalu memberinya sebuah ciuman lembut.
“Jangan berhenti
berakting, kumohon,” bisik Masumi di depan bibir Maya.
***
Hari menjelang siang saat
Rei datang membawa tas pakaiannya. Maya menyambut sahabat baiknya dengan wajah
ceria, pertengkarannya dengan Masumi sudah terlewatkan. Saat ini kedua sahabat
itu sedang menikmati waktu di kamar Maya, sementara Masumi berada di ruang
kerja bersama dengan Mizuki.
“Aku tidak percaya kau
benar-benar akan menikah besok. Lihat, gaun pengantinmu cantik sekali,” kata
Rei sembari melihat gaun pengantin yang terpajang pada manekin di sudut
ruangan.
“Aku juga merasa semua
seperti mimpi,” jawab Maya dengan senyum lebarnya. “Kau sudah lihat halaman
belakang?” tanyanya kemudian.
“Tentu saja sudah, Bibi
Harada yang memberitahuku tadi. Kau bahagia Maya?” Rei duduk di sebelah Maya,
di tepi tempat tidur.
“Kau bercanda Rei?
Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?” Gadis itu tertawa.
“Ya, ya, terlihat jelas,”
Rei ikut tertawa melihat pipi Maya yang memerah. “Mina, Sayaka dan yang lainnya
akan datang saat resepsi besok. Oh ya, selain aku, apa Koji juga akan datang ke
upacara pernikahanmu di kuil?”
Pertayaan Rei membuat Maya
berhenti tertawa. Dia sudah melupakan masalah Koji dan sekarang Rei justru
menyebut namanya dan membuat Maya kembali merasa kecewa. “Ng, sepertinya tidak,”
jawab Maya sembari tersenyum tipis.
“Kenapa? Apa Tuan Masumi
masih cemburu padanya?” tanya Rei dengan kening berkerut. Dia tahu pasti kalau
sahabat Maya itu masih menyimpan rasa, jadi wajar saja kalau Masumi cemburu
pada Koji.
“Kau tahu Masumi kan, aku
hanya tidak mau membuat suasana hatinya buruk di hari pernikahan kami,” jawab
Maya yang seolah membenarkan dugaan Rei soal kecemburuan Masumi.
“Ya, aku mengerti. Dan
sekarang aku jadi tahu kenapa dia menitipkan kado untukmu alih-alih memberikannya
sendiri pada resepsi besok.” Rei pun mengambil tasnya yang terletak di dekat
kaki tempat tidur Maya.
“Kado?” Maya cukup
terkejut mendengarnya.
“Hm,” Rei mengangguk lalu
memberikan sebuah kotak berwarna coklat dengan pita merah. “Dia bilang kau
harus membukanya sebelum upacara pernikahan.”
Kening Maya berkerut saat
menerima kotak yang terasa ringan itu. Firasatnya tidak enak tapi Maya berusaha
tetap tenang di depan Rei.
“Kau baik-baik saja?”
tanya Rei yang heran melihat Maya terdiam memandangi kotak kadonya.
“Ah, iya, aku baik-baik
saja.” Maya tersenyum lalu meletakkan kadonya begitu saja di atas tempat tidur.
“Sebaiknya kita ke kamar tamu dan kau bisa beristirahat untuk acara besok.”
Maya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Hei, kau pengantinnya,
kenapa aku yang harus beristirahat.” Rei tertawa saat Maya mendorongnya keluar
kamar sembari membawa tas pakaiannya.
“Kau pendampingku, jelas
kau juga harus beristirahat,” jawab Maya berkilah.
“Ah, bilang saja kau
ingin kembali berduaan dengan calon suamimu,” goda Rei di tengah tawanya ketika
Maya membuka pintu kamar.
“Rei!” pekik Maya dengan
nada merajuk dan pipi merah.
***
>>Bersambung<<
A/N : Maaf ya belum tamat-tamat wkwkwkkwwk.....sekitar dua chapter lagi kayaknya, hihihiiiii
Chapter depan happy wedding heheheee.....see you
7 Comments
Apa isi kadonyaaaa
ReplyDeleteKoji tetep aja ya keras kepala
Duh aku cemaaaas. Pleaaseee jangan sad ending hiks.
ReplyDeleteSampe keselek pas liat ada update-an baru... Bacanya udah dilama2in biar nggak abis2 wkwkw... Duh ngeri mereka nggak jd merit... Nggak sanggup aja bacanya... Koji nih... Ada aja kan usahanya ... Liciknya dah ngalah2in shiori aja..
ReplyDeleteHadiah kojiiiiii
ReplyDeleteApa lagi rencana nyaaaa
Makasi mba Agnes buat updetnya! Udah kutunggu² sekian lama😉😘. Wahh isi kado dari Koji apa yaa? Moga2 pernikahan MM tetap berlanjuttt
ReplyDeleteAsikkk updet lagiii! Makasiiiii😘😘! Semoga sehat selalu ya mba supaya bisa baca sampai tamat, ku tunggu lanjutannya dengan tidak sabar😆😆😆
ReplyDeleteLam kenal mba Agnes 🙏 btw chapter 19 Lom ad y? Penasaran bingit nih...
ReplyDelete