Heart - Chapter 18

 

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.

 =========================================================================

Jealous by Labrinth

 

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

That falls upon your skin

Yang jatuh di kulitmu

It's closer than my hands have been

Lebih dekat dari tanganku

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

 

I'm jealous of the windu

Aku iri pada angin

That ripples through your clothes

Yang mengoyak bajumu

It's closer than your shadow

Lebih dekat dari bayanganmu

Oh, I'm jealous of the wind, cause

Oh aku iri pada angin, karena

 

[Chorus:]

I wished you the best of

Ku berharap yang terbaik untukmu

All this world could give

Segala hal dunia ini dapat memberimu

And I told you when you left me

Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku

There's nothing to forgive

Tak ada yang perlu dimaafkan

But I always thought you'd come back, tell me all you found was

Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah

Heartbreak and misery

Kehancuran dan kesedihan

It's hard for me to say, I'm jealous of the way

Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu

You're happy without me

Bahagia tanpaku

 

I'm jealous of the nights

Ku iri pada malam

That I don't spend with you

Yang tak kuhabiskan denganmu

I'm wondering who you lay next to

Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu

Oh, I'm jealous of the nights

Oh, aku iri pada malam

I'm jealous of the love

Aku iri pada cinta

 

***


“Tuan Masumi menolak donor dari Anda. Maaf, hanya itu yang bisa saya katakan.” Dokter Hayate menatap Koji yang duduk di depan meja kerjanya dengan tenang. Hijiri sudah memberitahunya garis besar masalah antara Masumi, Maya, dan Koji. Menurutnya tidak salah kalau Masumi menolak.

Ekspresi wajah Koji mengeras. Dia marah, tentu saja. Ini adalah rencana terakhirnya untuk memisahkan Maya dan Masumi. Sekarang apalagi yang harus dilakukannya? Maya dan Masumi tidak boleh menikah. Tidak boleh!

“Apa Anda tidak bisa melakukan sesuatu? Bukankah nyawa pasien Anda dipertaruhkan disini, Dokter?” Koji masih berusaha memaksakan kehendaknya.

Dokter Hayate menggeleng. “Keputusan tetap berada di tangan Tuan Masumi. Saya tidak bisa memaksa meski pun nyawa taruhannya.”

Tahu bahwa dia tidak bisa beradu argumen, Koji pun undur diri. Dia yakin kalau Dokter Hayate tidak akan pernah membantunya. Koji keluar dari ruangan dokter dengan perasaan kesal. Bagaimana mungkin rencananya bisa gagal? Dia pikir Maya begitu mencintai Masumi hingga rela mengorbankan apa pun. Apa gadis itu tidak ingin Masumi sembuh?

Langkah kaki Koji terhenti saat menyadari kebodohan terbesarnya. Maya mencintai Masumi, itu benar. Maya akan mengorbankan segalanya demi Masumi, ya … Koji benci fakta itu tapi itu memang benar. Tapi dia lupa satu hal. Lupa kalau Masumi juga sangat mencintai Maya, tentu saja! Mana mungkin dia mau menukar Maya dengan hatinya. Dia yakin kalau Masumi memilih mati daripada harus kehilangan Maya.

Koji kembali berjalan, menghentakkan kaki dengan kesal di sepanjang koridor rumah sakit. Dalam hati merutuki dirinya sendiri. Sekarang dia harus memikirkan rencana baru. Dan waktunya semakin sedikit. Pernikahan Maya juga Masumi tinggal empat hari lagi.

***

Maya membuka mata dengan terkejut. Gadis itu langsung bangun lalu bersandar pada kepala tempat tidur, menarik napas panjang untuk meredakan debaran jantungnya.

“Maya?” Masumi menghidupkan lampu tidur di atas nakas lalu menatap kekasihnya. Dia terkejut saat Maya yang tidur dalam pelukannya tiba-tiba terbangun.

“Aku-,” Maya menatap Masumi dengan khawatir. Dia mengusap wajah pria itu lalu kembali menghela napas panjang. “Air, tolong, aku ingin minum.”

Masumi langsung turun dari tempat tidur, berjalan ke arah meja di sudut ruangan dekat pintu balkon lalu menuang segelas air dari pitcher kaca. “Kau baik-baik saja?” tanyanya seraya mengulurkan segelas air pada kekasihnya.

Maya hanya mengangguk lalu meneguk air perlahan. Sensasi dingin di tenggorokan sedikit membuatnya lebih rilek. “Terima kasih,” ucapnya yang kemudian meletakkan gelas di atas nakas. Gadis itu kembali bersandar pada kepala tempat tidur lalu menghela napas panjang. Mengabaikan tatapan khawatir Masumi yang duduk di depannya, di tepi tempat tidur.

“Kau yakin baik-baik saja?” tanya Masumi kemudian setelah melihat kekasihnya lebih tenang.

“Aku baik-baik saja, hanya-,” Maya menatap Masumi saat menjeda perkataannya, “-aku mimpi buruk. Bersyukur itu hanya mimpi.” Matanya berkedip lalu tersenyum, “Maaf sudah mengganggu tidurmu.” Gadis itu melihat ke arah jam dinding, pukul 02.00 dini hari.

“Mimpi apa?” tanya Masumi penasaran. Melihat reaksi Maya tadi, dia yakin itu pasti mimpi yang buruk sekali.

“Tidak, aku tidak ingin membicarakannya.” Maya menggeleng dengan kuat. Dia pun kembali berbaring lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya. “Waktunya tidur.”

Menatap Maya dalam diam, Masumi menurut saat gadis itu menarik tangannya untuk kembali berbaring. Dia pikir juga masih terlalu pagi untuk berdebat tentang mimpi buruk. Masumi pun kembali berbaring.

“Kau berhutang cerita padaku, besok,” gumam Masumi saat kembali mendekap Maya ke dalam pelukannya.

“Hm,” jawab Maya dengan senyum simpulnya. Dia tahu kalau Masumi khawatir padanya.

“Kau mendengarku?” tanya Masumi lagi.

“Tidurlah.” Gadis itu memeluk Masumi lalu menyurukkan wajahnya di dada bidang sang kekasih. Maya semakin merasa tenang saat Masumi mengeratkan pelukannya. Setidaknya gadis itu tahu kalau Masumi bersamanya.

Rasa kantuk membuat Masumi dengan cepat kembali tertidur. Sayangnya tidak dengan Maya. Gadis itu justru kembali membuka mata saat yakin Masumi sudah terlelap. Dia mengusap lembut wajah Masumi, berhati-hati agar tidak membangunkannya. Maya masih merasa ngeri dengan mimpinya. Dia melihat Masumi terbaring di atas tempat tidur dengan tubuh penuh darah. Sungguh, mimpi itu sangat mengganggunya. Maya mengucap doa dalam hati. Semoga itu hanya bunga tidur. Semua pasti baik-baik saja, ucapnya dalam hati sebelum akhirnya memejamkan mata, mencoba untuk kembali tidur.

***


Halaman belakang mansion Hayami sudah disulap menjadi tempat pesta kebun yang cantik. Meja-meja bundar tertata rapi, tiang-tiang dekorasi, berbagai lampu hias, lantai dansa, tidak ketinggalan rangkaian bunga-bunga yang indah.

“Kau suka?” tanya Masumi ketika melihat Maya tak berhenti menatap para pekerja yang tengah menyelesaikan dekorasi.

Maya mengulas senyum termanisnya. “Ini luar biasa, Masumi,” lirihnya.

“Aku senang kau menyukainya,” kata Masumi. Dia melingkarkan tangannya di pinggul Maya, membuat gadis itu semakin merapat padanya.

“Terima kasih, Masumi,” ucap Maya seraya bersandar manja pada calon suaminya.

“Jangan berterima kasih, sayang. Ini semua tidak seberapa dibandingkan dengan kebahagiaan yang kau berikan padaku.” Masumi mengecup kening Maya ketika gadis itu mengangkat wajahnya.

“Aku juga bahagia,” kata Maya.

Senyum Masumi mengembang. “Rasanya aku sudah tidak sabar untuk memilikimu,” katanya seraya mengusap sisi wajah Maya. “Kenapa tiga hari terasa begitu lama?” lanjutnya dengan nada mengeluh yang terdengar jelas.

Maya justru terkikik mendengarnya. “Kau sudah memilikiku, Masumi.”

Kali ini Masumi kembali memeluk tubuh mungil kekasihnya. “Ya, kau benar. Kau milikku.”

Sepasang calon suami istri itu tidak menyadari kalau kemesraan mereka menjadi perhatian para pekerja, pelayan mansion, juga Eisuke dan Asa.

“Dasar anak muda,” gerutu Eisuke dari atas kursi rodanya. Dia dan Asa juga sedang melihat para pekerja dari teras belakang mansion.

Asa tertawa, “Tapi Tuan Muda bahagia.”

“Ya, kau benar. Aku belum pernah melihatnya seperti itu,” kata Eisuke yang kemudian juga tersenyum melihat putra dan calon menantunya bahagia.

“Semoga Tuan Masumi dan Nona Maya bahagia selalu,” Asa berdoa setulus hati. Eisuke yang tiba-tiba menghela napas membuat Asa menatap tuannya khawatir. “Ada apa Tuan?”

“Bagaimana masalah aktor itu? Apa dia masih mengganggu Maya?” tanya Eisuke tiba-tiba.

Ternyata Eisuke juga sudah tahu masalah antara Masumi, Maya dan Koji. Maya yang tiba-tiba hilang kemarin membuatnya curiga. Apalagi setelah itu Maya demam dan dirawat Masumi di apartemennya. Langsung saja Tuan Besar Hayami itu memanggil Hijiri. Atas ijin Masumi, akhirnya Hijiri menceritakan garis besar masalah antara ketiganya.

“Sejauh ini semua terkendali, Tuan.”

“Baguslah, aku tidak mau anak itu merusak pernikahan Masumi dan Maya. Pastikan juga Maya tidak keluar sendiri sampai hari pernikahannya.”

“Baik, Tuan.”

Eisuke kembali melihat ke arah taman. Maya dan Masumi kini tengah mengobrol dengan penanggung jawab wedding organizer, entah apa yang mereka bicarakan. “Aku ingin istirahat,” katanya kemudian.

Asa mengangguk lalu mendorong kursi roda menuju kamar.

Sementara itu, Koji di apartemen sedang gelisah memikirkan rencananya. Pemuda itu masih belum mau menyerah. Otaknya terus bekerja memikirkan cara untuk memisahkan Maya juga Masumi. Di atas tempat tidur berserak foto Maya dari berbagai pentasnya. Koji mengacak rambutnya kasar, frustasi. Hingga beberapa saat kemudian seringai menghiasi wajah lelahnya. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu apa yang tengah direncanakan pemuja Maya itu.

***

“Hei, kau melamun.”

Maya tersentak saat Masumi menyentuh bahunya. Gadis itu menoleh dan langsung tersenyum saat melihat wajah khawatir Masumi. Keduanya sedang duduk di balkon kamar, menikmati waktu berdua usai makan malam.

“Kau melamun,” ulang Masumi.

“Maaf, hanya sedang memikirkan sesuatu,” jawab Maya. Dia meraih tangan Masumi lalu menggenggamnya erat.

“Kau masih belum mau menceritakan mimpimu semalam?” tanya Masumi saat Maya bersandar pada lengannya.

Gadis itu terdiam, pandangannya kembali menerawang jauh.

“Maya?” Masumi mengusap lembut pelipis Maya.

“Itu hanya bunga tidur, tidak ada yang perlu diceritakan,” elak Maya. “Masumi, besok Rei akan datang. Bolehkah dia menginap disini sampai acara pernikahan kita?” tanyanya yang berusaha mengalihkan perhatian Masumi.

“Tentu saja boleh. Bilang pada Bibi Harada untuk meminta pelayan menyiapkan kamar tamu,” jawab Masumi.

“Terima kasih.” Gadis itu menarik tengkuk Masumi lalu mendaratkan sebuah kecupan di sudut bibirnya. Sungguh trik pengalihan yang jitu.

Masumi tersenyum. Dia tentu saja tidak melewatkan kesempatan itu. Menahan tangannya di punggung Maya, kali ini Masumi langsung mencium bibir mungil kekasihnya. Hanya dalam sekejap sepasang kekasih itu terlarut dalam ciuman dalam nan manis. Maya bahkan tidak bisa menyembunyikan wajah merahnya ketika Masumi melepaskan tautan bibirnya.

“Sudah kubilang jangan menggodaku,” bisik Masumi di depan bibir Maya.

Gadis itu berkedip lalu tersenyum. “Aku tidak menggodamu, Tuan Hayami.”

“Lalu? Hanya berusaha mengalihkan perhatianku?” kata Masumi diiringi seringai di sudut bibirnya.

Maya tertawa. “Aku hanya tidak ingin membicarakannya. Itu merusak suasana hatiku.”

Alih-alih menanggapi alasan kekasihnya, Masumi justru menarik gadis itu untuk duduk di atas pangkuaannya, merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.

“Aku tidak akan menanyakannya lagi,” kata Masumi kemudian.

“Senang mendengarnya,” jawab Maya sembari mengalungkan kedua tangannya ke leher Masumi. Dia menyatukan keningnya dengan kening Masumi hingga ujung hidung mereka saling bersentuhan.

“Boleh aku menciummu lagi?” lirih Masumi yang tergoda dengan bibir manis Maya. Hembusan nafas gadis itu menerpa wajahnya dengan lembut.

“Kau sopan sekali.” Maya menahan senyumnya melebar saat Masumi kemudian memiringkan wajah lalu kembali memagut bibir merah mudanya.

Keduanya kembali tersesat dalam ciuman manis.

Perlahan Masumi melepaskan bibir Maya saat hasratnya semakin terbakar. Dia tidak boleh hilang kendali. “Bisakah kita menikah besok pagi?” tanya Masumi di tengah napasnya yang memburu.

Dan Maya tertawa mendengarnya.

***


Pagi hari berikutnya, para pelayan mansion Hayami tampak sibuk dengan berbagai kiriman yang datang. Kimono, gaun pengantin Maya, dan banyak hadiah datang bersamaan. Manekin gaun pengantin di letakkan di kamar Maya sementara kimono pengantin disimpan rapi dalam kotak, di dalam lemari.

Maya tidak berhenti protes pada Masumi saat bermacam-macam kotak kaca tertata rapi di dalam kamarnya. Perhiasan, pakaian, sepatu, juga tas dan banyak lagi hadiah lainnya, membuat Maya berkali-kali menghela napas panjang.

“Itu hadiah pernikahan untukmu, dari Ayah juga dari kolega Daito,” kata Masumi saat melihat calon istrinya mencebik.

“Kenapa harus sebanyak ini?” Maya bahkan tidak berani menghitung berapa banyak hadiah untuknya.

“Kau tanya saja pada mereka.” Masumi tersenyum geli melihat reaksi calon istrinya. “Biasakan dirimu dengan semua ini, Maya. Besok pasti lebih banyak hadiah datang. Jangan lupa kalau kau adalah Bidadari Merah, aktris kelas satu Jepang.”

“Undangan sudah dibatasi Masumi, kenapa masih banyak hadiah datang. Yukari juga bilang banyak kado datang di kantor Daito dari para penggemar,” keluh gadis itu seolah menerima hadiah adalah sebuah beban baginya.

“Bukankah kau seharusnya senang? Banyak yang sayang padamu,” kata Masumi yang berusaha menenangkan kekasihnya.

Maya menggeleng pelan. “Aku akan mengecewakan mereka,” lirihnya dengan helaan napas panjang.

“Apa maksudmu?” Masumi menautkan alis mendengar perkataan Maya.

Gadis itu menatap Masumi lalu duduk di tepi tempat tidur.

“Maya? Kau tidak sedang merencanakan sesuatu kan?” Masumi berdiri di depan Maya dengan tatapan menuntut.

“Aku berencana ingin mundur dari dunia akting setelah menikah.”

Masumi terkejut, tentu saja. Seingatnya mereka pernah membahas ini, dulu. “Jangan bercanda Maya!”

Maya sudah menebak reaksi Masumi, karena itu dia tidak pernah mau mendiskusikan keputusannya. “Aku tidak bercanda. Aku hanya tidak mau pekerjaan membuatku sulit menghabiskan waktu bersamamu.” Ya, alasan yang simple untuk seorang Maya.

“Kau mengorbankan impianmu demi aku?” desis Masumi tidak suka. Dia mencengkram kedua lengan Maya, memaksa gadis itu menatapnya.

“Impianku adalah menjadi Bidadari Merah lalu hidup bahagia denganmu,” jawab Maya tenang, “Aku sudah mendapatkannya.”

Melepaskan lengan Maya, Masumi berusaha menahan emosinya dengan duduk di sebelah sang kekasih. Keduanya terdiam. Maya menatap hadiahnya satu per satu tapi tidak lagi berkomentar.

“Kau tidak boleh melakukannya,” kata Masumi setelah hening yang panjang.

“Tapi-,”

“Tidak ada tapi Maya.” Masumi mengangkat tangannya. Pria itu lalu beranjak dan berjalan keluar kamar. Meninggalkan Maya yang hanya bisa diam menatap punggungnya menghilang di balik pintu.

***

Masumi merasa marah, tentu saja. Dia menatap halaman belakang mansion dari balkon kamarnya. Masumi sungguh tidak sabar untuk menunggu hari pernikahan mereka, sayangnya perkataan Maya membuat mood-nya berada di level terendah.

Entah berapa lama Masumi termenung. Pria itu tersentak saat sepasang lengan memeluknya dari belakang.

“Maaf,” bisik Maya dengan wajah bersandar pada punggung Masumi. Usapan lembut di kedua tangannya membuat gadis itu tersenyum. “Jangan marah,” lirihnya lagi.

“Aku tidak marah,” jawab Masumi datar, tentu saja itu bohong.

Maya kembali tersenyum sembari mengeratkan pelukannya. “Sungguh?”

“Hm,” gumam Masumi pelan. Dia masih betah memandang halaman belakang meski tangannya terus mengusap lembut kedua lengan Maya di atas perutnya.

“Kau tahu kalau menjadi artis itu melelahkan?” tanya Maya tenang. “Meski begitu aku menyukainya,” lanjutnya.

Masumi cukup paham untuk tidak menyela dan memilih untuk membiarkan kekasihnya bicara.

“Dunia panggung, adalah dunia keduaku. Di sana aku hidup dengan sejuta warna. Aku masih ingat pertama kali aku naik panggung. Peranku sebagai Beth kecil, kau juga pasti masih ingat kan, Masumi?” Maya bisa merasakan tubuh Masumi menegang. “Setelah peran itu, aku mendapat bunga mawar ungu dari penggemar pertamaku. Satu-satunya orang yang menghargai kerja kerasku sementara para kritikus berkata bohong soal pentas perdana kami.”

Maya menghela napas perlahan, masa-masa itu cukup sulit baginya.

“Mawar Ungu membuatku bersemangat, membuatku merasa harus berusaha sebaik mungkin untuk semua peranku. Aku tidak peduli kalau semua orang membenciku, tapi aku tidak ingin mengecewakan Mawar Ungu. Semua usaha dan impianku adalah balasan untuk semua dukungan yang dia berikan. Aku bahkan sempat berpikir, apakah aku pernah benar-benar berjuang untuk diriku sendiri?” Maya melepaskan pelukannya lalu menarik bahu Masumi.

Masumi menatap Maya sendu. Dia tahu pasti kemana arah pembicaraan ini. Bahkan saat Maya meraih tangannya dan menangkupkan telapak tangan besar itu ke sisi wajahnya, Masumi masih diam.

“Kau adalah alasanku tetap bertahan di atas panggung,” lanjut Maya dengan mata tak lepas memandang kekasihnya, “Bahkan setelah aku berhasil memenangkan hak pementasan Bidadari Merah, alasan itu tetap sama.”

Senyum tipis Maya membuat Masumi berkedip. “Keputusanku untuk berada di bawah manajemen Daito juga dengan alasan yang sama.”

“Dan sekarang kau berencana membuang karirmu demi aku? Kau merasa lebih penting menghabiskan waktu bersamaku karena aku sekarat dan bisa mati kapan saja?” tanya Masumi dengan suara beratnya.

Kepala Maya langsung tegak dengan alis berkerut. “Kau pikir begitu?”

“Tentu saja,” jawab Masumi tanpa ragu.

Maya justru tersenyum. “Aku sudah memilikimu. Saat pusat duniaku ada dihadapanku, apalagi yang aku inginkan?” Dia kembali memeluk Masumi.

Masumi bergeming, mencerna setiap kata yang Maya ucapkan.

“Bisakah kita lupakan topik ini? Setidaknya sampai kita benar-benar siap membicarakannya. Aku tidak mau merusak moment bahagia kita dengan pertengkaran,” pinta Maya.

Helaan napas Masumi membuat Maya melepaskan pelukannya. Gadis itu terkejut saat Masumi tiba-tiba menangkupkan kedua tangannya ke wajah lalu memberinya sebuah ciuman lembut.

“Jangan berhenti berakting, kumohon,” bisik Masumi di depan bibir Maya.

***

Hari menjelang siang saat Rei datang membawa tas pakaiannya. Maya menyambut sahabat baiknya dengan wajah ceria, pertengkarannya dengan Masumi sudah terlewatkan. Saat ini kedua sahabat itu sedang menikmati waktu di kamar Maya, sementara Masumi berada di ruang kerja bersama dengan Mizuki.

“Aku tidak percaya kau benar-benar akan menikah besok. Lihat, gaun pengantinmu cantik sekali,” kata Rei sembari melihat gaun pengantin yang terpajang pada manekin di sudut ruangan.

“Aku juga merasa semua seperti mimpi,” jawab Maya dengan senyum lebarnya. “Kau sudah lihat halaman belakang?” tanyanya kemudian.

“Tentu saja sudah, Bibi Harada yang memberitahuku tadi. Kau bahagia Maya?” Rei duduk di sebelah Maya, di tepi tempat tidur.

“Kau bercanda Rei? Bagaimana mungkin aku tidak bahagia?” Gadis itu tertawa.

“Ya, ya, terlihat jelas,” Rei ikut tertawa melihat pipi Maya yang memerah. “Mina, Sayaka dan yang lainnya akan datang saat resepsi besok. Oh ya, selain aku, apa Koji juga akan datang ke upacara pernikahanmu di kuil?”

Pertayaan Rei membuat Maya berhenti tertawa. Dia sudah melupakan masalah Koji dan sekarang Rei justru menyebut namanya dan membuat Maya kembali merasa kecewa. “Ng, sepertinya tidak,” jawab Maya sembari tersenyum tipis.

“Kenapa? Apa Tuan Masumi masih cemburu padanya?” tanya Rei dengan kening berkerut. Dia tahu pasti kalau sahabat Maya itu masih menyimpan rasa, jadi wajar saja kalau Masumi cemburu pada Koji.

“Kau tahu Masumi kan, aku hanya tidak mau membuat suasana hatinya buruk di hari pernikahan kami,” jawab Maya yang seolah membenarkan dugaan Rei soal kecemburuan Masumi.

“Ya, aku mengerti. Dan sekarang aku jadi tahu kenapa dia menitipkan kado untukmu alih-alih memberikannya sendiri pada resepsi besok.” Rei pun mengambil tasnya yang terletak di dekat kaki tempat tidur Maya.

“Kado?” Maya cukup terkejut mendengarnya.

“Hm,” Rei mengangguk lalu memberikan sebuah kotak berwarna coklat dengan pita merah. “Dia bilang kau harus membukanya sebelum upacara pernikahan.”

Kening Maya berkerut saat menerima kotak yang terasa ringan itu. Firasatnya tidak enak tapi Maya berusaha tetap tenang di depan Rei.

“Kau baik-baik saja?” tanya Rei yang heran melihat Maya terdiam memandangi kotak kadonya.

“Ah, iya, aku baik-baik saja.” Maya tersenyum lalu meletakkan kadonya begitu saja di atas tempat tidur. “Sebaiknya kita ke kamar tamu dan kau bisa beristirahat untuk acara besok.” Maya mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Hei, kau pengantinnya, kenapa aku yang harus beristirahat.” Rei tertawa saat Maya mendorongnya keluar kamar sembari membawa tas pakaiannya.

“Kau pendampingku, jelas kau juga harus beristirahat,” jawab Maya berkilah.

“Ah, bilang saja kau ingin kembali berduaan dengan calon suamimu,” goda Rei di tengah tawanya ketika Maya membuka pintu kamar.

“Rei!” pekik Maya dengan nada merajuk dan pipi merah.

***

>>Bersambung<<

>>Heart - Chapter 17<<

>>Heart - Chapter 19<<

A/N : Maaf ya belum tamat-tamat wkwkwkkwwk.....sekitar dua chapter lagi kayaknya, hihihiiiii

Chapter depan happy wedding heheheee.....see you

Post a Comment

7 Comments

  1. Apa isi kadonyaaaa
    Koji tetep aja ya keras kepala

    ReplyDelete
  2. Duh aku cemaaaas. Pleaaseee jangan sad ending hiks.

    ReplyDelete
  3. Sampe keselek pas liat ada update-an baru... Bacanya udah dilama2in biar nggak abis2 wkwkw... Duh ngeri mereka nggak jd merit... Nggak sanggup aja bacanya... Koji nih... Ada aja kan usahanya ... Liciknya dah ngalah2in shiori aja..

    ReplyDelete
  4. Hadiah kojiiiiii
    Apa lagi rencana nyaaaa

    ReplyDelete
  5. Makasi mba Agnes buat updetnya! Udah kutunggu² sekian lama😉😘. Wahh isi kado dari Koji apa yaa? Moga2 pernikahan MM tetap berlanjuttt

    ReplyDelete
  6. Asikkk updet lagiii! Makasiiiii😘😘! Semoga sehat selalu ya mba supaya bisa baca sampai tamat, ku tunggu lanjutannya dengan tidak sabar😆😆😆

    ReplyDelete
  7. Lam kenal mba Agnes 🙏 btw chapter 19 Lom ad y? Penasaran bingit nih...

    ReplyDelete