Heart - Chapter 17

 

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

=========================================================================

Jealous by Labrinth

 

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

That falls upon your skin

Yang jatuh di kulitmu

It's closer than my hands have been

Lebih dekat dari tanganku

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

 

I'm jealous of the windu

Aku iri pada angin

That ripples through your clothes

Yang mengoyak bajumu

It's closer than your shadow

Lebih dekat dari bayanganmu

Oh, I'm jealous of the wind, cause

Oh aku iri pada angin, karena

 

[Chorus:]

I wished you the best of

Ku berharap yang terbaik untukmu

All this world could give

Segala hal dunia ini dapat memberimu

And I told you when you left me

Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku

There's nothing to forgive

Tak ada yang perlu dimaafkan

But I always thought you'd come back, tell me all you found was

Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah

Heartbreak and misery

Kehancuran dan kesedihan

It's hard for me to say, I'm jealous of the way

Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu

You're happy without me

Bahagia tanpaku

 

I'm jealous of the nights

Ku iri pada malam

That I don't spend with you

Yang tak kuhabiskan denganmu

I'm wondering who you lay next to

Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu

Oh, I'm jealous of the nights

Oh, aku iri pada malam

I'm jealous of the love

Aku iri pada cinta

 

***

 


Maya melenguh lirih saat mendengar suara yang memanggil namanya. Tepukan di pipi membuatnya semakin tertarik ke alam sadar. Gadis itu membuka mata tapi kembali menutupnya saat merasakan kepalanya berdenyut sakit.

“Maya,” panggil Masumi lirih, suaranya sarat kekhawatiran.

Mengenali suara yang memanggilnya, perlahan Maya kembali membuka mata. “Masumi?”

“Syukurlah, kau sudah sadar.” Menghela napas panjang, Masumi menjatuhkan keningnya di bahu sang kekasih, tangan Maya masih dalam genggamannya. “Kau membuatku sangat khawatir.” Pria itu masih bergeming di sisi tempat tidur Maya, bertumpu pada kedua lututnya.

Maya merasa bingung. Dia menatap sekeliling dan baru menyadari kalau dirinya berada di kamar, di apartemennya. Maya kemudian ingat, setelah pulang dari rumah sakit, dia pulang ke apartemen untuk menenangkan diri.

“Aku kenapa?” tanya gadis itu lirih. Hal terakhir yang diingat Maya adalah dia berada di bawah shower air dingin, dalam waktu yang lama. Mungkin memang benar-benar lama.

Masumi langsung mengangkat wajahnya. Matanya menatap Maya sendu. “Kau pingsan di dalam kamar mandi, di bawah shower yang menyala,” jelas Masumi dengan tenang. Dia tahu kalau kekasihnya masih bingung dengan apa yang terjadi.

“Pingsan?” kedua alis Maya berkerut.

Masumi mengangguk lalu membelai kening kekasihnya. Dia merasakan tubuh Maya semakin hangat, selimut menutupi sebagian tubuh gadis itu. Menarik tangan Maya yang masih dalam genggamannya, Masumi memberikan sebuah kecupan di punggung tangan dengan mata tak lepas memandang wajah sang kekasih. “Apa yang terjadi, hm?” tanyanya selembut mungkin.

Gadis itu terdiam saat kilasan memori melayang-layang dalam ingatannya. Ajakan Koji, pertemuannya dengan Dokter Hayate, lalu ancaman Koji padanya. Astaga, mendadak Maya merasa dadanya sesak.

“Kau baik-baik saja?” Ekspresi wajah Masumi mengeras begitu melihat Maya kembali memejamkan mata dengan ekspresi kesakitan. “Maya?”

Alih-alih menjawab, Maya justru terisak dan itu membuat Masumi semakin bingung. “Maya, kau kenapa? Tolong, katakan padaku.”

Maya menarik tangannya dari genggaman Masumi lalu menyusut air matanya. “Masumi, aku ….” gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan kalimat keluar dari bibir pucatnya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Maya menangis.

Membelai kepala kekasihnya dengan lembut, Masumi mencoba menenangkan Maya. Kali ini dia tidak bertanya. Lama keduanya terdiam, hanya terdengar isak tangis Maya yang membuat hati Masumi sakit.

“Maafkan aku,” ucap Maya kemudian saat isakannya mereda.

“Maaf?” tanya Masumi tidak mengerti. “Hei, hati-hati,” kata Masumi saat membantu Maya yang tiba-tiba bangun.

Gadis itu kembali menyusut air matanya saat Masumi kemudian duduk di tepi tempat tidur. “Maafkan aku,” ucap Maya lagi dan dia langsung memeluk Masumi.

Masumi benar-benar tidak mengerti dengan sikap Maya. Tapi mendesak gadis itu untuk bicara juga bukan pilihan bijak. Dia melihat kekasihnya tampak bingung, entah karena apa. Lagi-lagi Masumi hanya bisa mengusap punggung Maya, memeluknya, menenangkannya yang kembali menangis. Kekasihnya demam, Masumi merasakan tubuh Maya yang semakin panas dalam dekapannya.

Suara ketukan pintu membuat Masumi menoleh tapi tidak melepaskan pelukannya. Pintu kamar kemudian terbuka, Hijiri tidak bicara saat melihat Maya memangis dalam pelukan Masumi. Dia hanya mengangguk lalu kembali menutup pintu.

“Masumi, berjanjilah padaku,” lirih Maya dengan suara parau.

“Berjanji untuk apa?” Masumi sedikit merenggangkan pelukannya untuk melihat wajah sang kekasih. Diusapnya pipi yang memerah itu dengan lembut.

“Berjanjilah, apapun yang terjadi kau tidak akan membatalkan pernikahan kita.” Maya menggenggam erat kemeja di dada Masumi.

Masumi terdiam. Mata bulat itu memandangnya sendu. “Katakan padaku, sayang,” katanya tenang sembari menyingkirkan rambut basah Maya dari wajahnya. Kedua tangannya kini menangkup wajah pucat sang kekasih. “Apa yang terjadi?”

Maya menggeleng cepat, mengernyit saat sensasi sakit di kepalanya menjadi, tapi dia berusaha kembali fokus pada Masumi. “Tidak, kau harus berjanji dulu padaku. Berjanjilah untuk tidak akan pernah membatalkan pernikahan kita, apa pun alasannya. Berjanjilah, Masumi.”

“Aku berjanji, apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah membatalkan pernikahan kita.”

Dan Maya kembali memeluk kekasihnya dengan erat. “Aku pegang janjimu,” lirih gadis itu, “aku pegang janjimu,” ulangnya lagi.

“Maya?” Masumi mengeratkan pelukannya, mengusap punggung Maya yang kembali bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau menemui Dokter Hayate bersama dengan Koji?” akhirnya Masumi tak lagi menahan diri. Dia harus tahu apa yang terjadi pada kekasihnya hingga bertingkah aneh seperti itu.

“Kau tahu?” cicit gadis itu dengan wajah tersuruk di dada Masumi. Kedua tangannya mencengkram kemeja di punggung Masumi. “Bagaimana kau tahu aku pergi ke rumah sakit?” tanya Maya lagi tanpa mengangkat wajahnya.

Masumi menghela napas, dia merubah posisi duduknya agar Maya lebih nyaman dalam pelukannya. Dia tahu pembicaraan ini akan berlangsung lama. Dengan sikap aneh Maya, Masumi yakin ada masalah yang disembunyikan kekasihnya.

“Yukari datang mencarimu ke rumah siang tadi tapi kau berbohong dan mengatakan pergi ke kantor Daito,” kata Masumi mengawali ceritanya. Dia membiarkan Maya yang masih tidak mau menatapnya atau pun melepas pelukannya. Masumi merasakan tubuh kekasihnya menegang.

“Apa-,” Maya mencoba menebak, “-Yukari kemudian datang ke kantor Daito mencariku?”

“Iya,” jawab Masumi singkat. Tangannya kembali mengusap punggung Maya, membuat gadis itu sedikit lebih tenang. “Dan kau tahu betapa khawatirnya aku saat mendengar kau menghilang.”

Tiba-tiba Maya menarik diri lalu menatap Masumi lekat. “Maaf, sungguh aku tidak bermaksud berbohong. Aku, aku hanya tidak mau membuatmu khawatir,” jelasnya cepat.

Alis Masumi melengkung tinggi dengan ekspresi geli, membuat Maya kembali tertunduk.

“Ya, kau benar,” kata Maya yang mengerti arti tatapan Masumi padanya, “aku justru membuatmu semakin khawatir,” lirihnya.

“Aku menghubungi Rei, tapi ternyata kau juga tidak bersamanya,” Masumi melanjutkan ceritanya.

“Kenapa kau tidak langsung meneleponku?” tanya Maya kemudian.

“Aku melakukannya, puluhan kali, tapi handphone-mu mati,” jawab Masumi dengan alis berkerut.

“Oh,” Maya melenguh lirih. Gadis itu kembali tertunduk, dalam hati merutuki kebodohannya. Dia bahkan sama sekali tidak sadar kalau handphone-nya mati. “Maaf.”

Jemari Masumi meraih dagu Maya dan membuat gadis itu menatapnya.

“Aku tidak tahu kalau handphone-ku mati,” jawab Maya kemudian dengan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya.

Masumi mengulas senyum tipis, secara tersirat mengatakan tidak apa-apa. “Aku beruntung karena Hijiri memasang pelacak di handphone-mu.”

“Benarkah? Aku tidak tahu,” kata Maya tak percaya.

Dan kali ini Masumi terkekeh, “Tentu saja kau tidak tahu. Kau pasti akan membuang handphone-mu kalau tahu aku menyuruh Hijiri memasang pelacak untukmu.”

“Tidak lucu, Masumi,” protes Maya dengan bibir cemberut.

“Aku memang tidak sedang melucu. Kupikir kita sedang membahas masalah penting,” kata Masumi, masih dengan senyum di wajahnya.

“Ya, kita sedang membahas masalah penting,” ucap Maya mengulangi perkataan sang kekasih. Dia memalingkan wajah, menatap pintu kamar yang tertutup. “Karena alat pelacak itu kau tahu aku ada disini?” tanya Maya yang kembali ke topik pembicaraan mereka.

“Tentu tidak semudah itu karena handphone-mu mati,” jawab Masumi yang membuat Maya kembali menatapnya. “Saat Hijiri mencoba melacakmu, posisi terakhir yang terlihat adalah kau berada di rumah sakit. Dan itu alasan aku menghubungi Dokter Hayate. Karena aku berpikir kau bertemu dengannya.”

Mata Maya langsung membulat karena terkejut. dia mencengkram kedua lengan Masumi dengan kuat. “Ka-kau menghubungi Dokter Hayate?” Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang berlebihan. “Apa yang Dokter Hayate katakan padamu? Kau sudah tahu?” cecar Maya dengan pertanyaan yang lagi-lagi membuat kening Masumi berkerut.

“Tahu apa? Aku tidak mengerti maksudmu,” jawab Masumi. “Dokter Hayate juga sempat mengatakan hal aneh tentang kau yang akan menceritakan sesuatu, entah apa itu, tapi aku tidak memikirkannya. Yang membuatku lebih panik adalah kau yang menghilang bersama dengan Koji setelah bertemu dengan Dokter Hayate.”

“Aku tidak menghilang bersama Koji!” pekik Maya tiba-tiba.

“Hei, tenang,” Masumi mengusap kedua bahu Maya yang bergetar. “Aku tahu kau tidak bersamanya.”

“Kau tahu?” Maya menurunkan nada suaranya lalu menatap Masumi lekat.

“Iya, aku pergi ke apartemen Koji untuk mencarimu,” jawab Masumi jujur. Lagipula tidak ada gunanya menyembunyikan hal itu dari Maya. Gadis itu harus tahu kalau dia mengkhawatirkannya.

Lagi-lagi Maya tampak terkejut. “Apa yang Koji katakan padamu?”

“Tidak ada. Aku bertanya kau dimana tapi dia justru bertingkah aneh dan terus tertawa. Karena kesal, aku memberinya sedikit palajaran.” Masumi mengamati wajah Maya, menilai reaksinya.

“Kau berkelahi lagi dengannya? Apa kau terluka?” Mata Maya langsung memindai tubuh Masumi. Melihat kalau-kalau ada luka, lebam atau semacamnya.

Reaksi Maya membuat Masumi mengulum senyum. “Tidak, aku baik-baik saja dan ya … Koji sedikit terluka, mungkin,” jawab Masumi dengan nada pura-pura ragu di akhir kalimatnya.

“Harusnya kau juga mengajakku,” kata Maya dengan bibir cemberut. Dia menatap Masumi yang tampak tidak suka, “Aku juga ingin memukulnya,” jelasnya kemudian.

“Kau mau memukulnya?” Masumi tampak terkejut sekaligus geli mendengar perkataan Maya.

“Iya, aku ingin sekali menghajarnya,” kata Maya dengan kedua tangan terkepal lalu memukul selimut di atas lututnya.

“Kali ini apa yang Koji lakukan padamu? Dan kau juga belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau dan Koji menemui Dokter Hayate?” Masumi mengerutkan kening saat Maya justru memalingkan wajah. “Maya?” Masumi meraih dagu gadis itu dan membuat sepasang mata bulat menatapnya.

“Aku akan menceritakannya tapi berjanjilah untuk tidak mengingkari janjimu.” Maya menggenggam tangan Masumi dan menatap sang kekasih dengan tatapan memohon.

Masumi menghela napas lelah, “Ceritakan.”

***

Masumi duduk dalam diam. Bersandar pada kepala tempat tidur dengan Maya yang juga duduk bersandar di dadanya. Masumi terus menggenggam tangan Maya, memainkan jemari kecil sang kekasih sembari mendengarkan cerita, seolah gadis itu tengah mendongeng.

Maya sendiri berusaha menjelaskan semuanya setenang mungkin. Menahan air mata yang terasa ingin segera meluncur dari sudut matanya. Beruntung mereka tidak duduk berhadapan sehingga Masumi tidak harus melihat wajah Maya yang menyiratkan kesedihan juga kekecewaan pada sang sahabat. Tapi bukan Masumi namanya jika dia tidak mengerti apa yang tengah dirasakan sang kekasih saat ini.

“Kenapa kau tidak langsung datang padaku tadi, hm?” Masumi memeluk Maya begitu gadis itu selesai dengan ceritanya.

“Aku butuh waktu untuk menenangkan diri,” jawab Maya lirih. Tubuhnya lebih rilek dalam dekapan Masumi. Beban hatinya terasa berkurang karena sudah menceritakan semuanya.

Sesaat keduanya tenggelam dalam keheningan, sampai kemudian Masumi menyingkirkan rambut di bahu Maya lalu memberikan sebuah kecupan lembut di sana. “Aku mencintaimu,” bisiknya tepat di telinga sang kekasih.

“Aku tahu,” jawab Maya seraya menunduk lalu mengusap kedua lengan Masumi yang melingkar di perutnya.

“Jadi kau tidak boleh meragukan cintaku,” kata Masumi yang kemudian menyandarkan dagunya di bahu Maya. “Kalau kau berpikir aku rela kau menyerahkan diri pada Koji hanya demi donor hatiku, maka kau salah Maya,” lanjutnya.

Maya terdiam. Dia tahu, dalam hatinya Maya tahu itu. Hanya saja …., “Untuk sesaat aku berpikir harus melepaskanmu,” akhirnya Maya tidak lagi bisa menahan air mata.

Masumi mengeratkan pelukannya tapi tidak berkata apa-apa.

“Aku … aku merasa egois jika demi cinta ini aku membuang kesempatanmu untuk sembuh,” lanjut Maya di tengah isaknya, “tapi aku ingin, aku ingin jadi egois, Masumi.” Tangis Maya semakin keras begitu pula pelukan Masumi. Pria itu mencium pelipis Maya dalam diam.

“Ijinkan aku menjadi egois untuk memilikimu, Masumi,” gadis itu memohon. Dia berbalik lalu memeluk Masumi, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. “Maafkan aku, maafkan aku,” ucapnya dengan suara lirih.

Dengan lembut Masumi mengusap punggung Maya yang bergetar. “Terima kasih sudah mencintaiku sedalam ini, “ bisiknya. Dia pun menarik Maya hingga gadis itu kembali duduk di depannya. Jemarinya mengusap pipi Maya yang basah dan memerah.

Gadis itu mengangkat wajahnya saat Masumi menyentuh dagunya.

“Jadilah egois untukku,” pinta Masumi sebelum akhirnya mencium bibir mungil di depannya. Dan saat gadis itu memejamkan mata, Masumi tahu Maya adalah miliknya.

***

Hari beranjak malam. Masumi termenung di ruang tamu apartemen Maya. Dia sudah mendengar semua cerita dari kekasihnya. Setelahnya, Dokter Hayate datang untuk memeriksa kondisi Maya yang demam. Masumi pun mengkonfirmasi semua cerita Maya pada dokter pribadinya.

Hijiri sempat marah pada Dokter Hayate karena tidak mengatakan apa pun mengenai Koji yang mendaftar sebagai donor. Sedang sang dokter berdalih itu permintaan calon pendonor dan dia tidak bisa mengatakan apa pun sebelum hasil pemeriksaan keluar. Meski begitu, Dokter Hayate meminta maaf dan berjanji untuk kedepannya akan menginformasikan segala sesuatu mengenai kesehatan Masumi. Dia pun pulang setelah memastikan Maya baik-baik saja dan membuat gadis itu tertidur di bawah pengaruh obat.

“Apa saya perlu melakukan sesuatu?” tanya Hijiri menyela renungan panjang sang tuan.

Masumi menoleh lalu menggeleng. “Biarkan saja, Koji tidak bisa memaksakan apa pun kalau aku menolaknya.”

“Tapi, Nona-,”

“Itu tugasmu, pastikan Koji tidak menghubungi atau pun menemui Maya,” tegas Masumi yang langsung dijawab dengan anggukan oleh Hijiri.

“Baik, Tuan.”

“Apa pesananku sudah datang?” tanya Masumi kemudian.

“Sudah, Tuan.” Hijiri mengambil koper yang tadi diletakkannya di sudut ruang tamu. Dia meminta Bibi Harada menyiapkan pakaian ganti untuk Masumi dan Watanabe mengantarnya ke apartemen. Pakaian Masumi tadi basah karena menggendong Maya dan hanya sempat dikeringkan dengan menggunakan hair dryer.

“Tuan, apa tidak sebaiknya Anda mulai cuti besok? Jangan khawatirkan pekerjaan, Nona Maya lebih membutuhkan Anda saat ini,” saran Hijiri.

Direktur Daito itu menghela napas, Hijiri benar. Dia juga sudah merasa lelah dengan semua ini. “Baiklah, tolong kau atur semuanya. Sebagian besar dokumen sudah kuperiksa siang tadi. Mizuki juga sudah memisahkan beberapa kontrak yang harus direvisi.”

“Tentu Tuan, serahkan semuanya pada saya.” Pria kepercayaan Masumi itu pun mengangguk hormat. “Kalau begitu saya permisi Tuan.”

Masumi hanya mengangguk saat Hijiri kemudian meninggalkan apartemen. Setelah mengunci pintu, Masumi pun menyeret kopernya ke dalam kamar.

***

Koji memintaku menikah dengannya lalu dia akan menjadi donor hati untukmu.

Perkataan Maya terngiang di telinga Masumi. Dia bahkan masih bisa merasakan kepanikannya siang tadi saat menemukan Maya pingsan di kamar mandi. Sungguh bersyukur kekasihnya itu hanya demam. Masumi tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Maya.

Tuan Muda Hayami itu menatap langit malam dari balkon apartemen. Hatinya masih merasa geram dengan tingkah Koji yang konyol dan keras kepala. Masumi tersenyum miris, sungguh takdir begitu senang mempermainkan hidupnya. Kenapa harus Koji?

Masumi menoleh, melihat Maya tampak tenang dalam tidurnya. Demamnya sudah turun dan itu membuat Masumi sedikit lega. Hari ini terasa sangat melelahkan untuknya, tapi dia tidak bisa tidur. Banyak hal mengganggu pikirannya.

Ijinkan aku menjadi egois untuk memilikimu, Masumi.

Senyum tipis tersungging di wajah tampan Masumi saat perkataan Maya kembali terngiang dalam ingatannya. Andai Maya tahu, betapa bahagia hati Masumi mendengar gadis itu memohon padanya. Dia bahkan pernah merutuki dirinya sendiri karena merasa terlalu egois ingin memiliki Maya. Sekarang, bukankah mereka sama? Keduanya saling mencintai tapi entah mengapa semua terasa begitu sulit. Bahkan setelah semua waktu dan masalah yang telah terlewati, saat pernikahan ada di depan mata, masih saja ada kerikil yang mengganggu perjalanan cinta mereka.

Masumi berjalan ke tempat tidur setelah menutup pintu balkon. Dia berbaring di sebelah Maya lalu mendekap gadisnya yang terlelap ke dalam sebuah pelukan. Entah berapa lama dia bisa menikmati kebersamaan ini dengan Maya. Yang pasti Masumi tidak akan pernah sanggup untuk kehilangan gadis itu. Biarlah waktu yang menjawab semuanya. Dan biarlah saat ini Masumi menikmati keegoisannya untuk bersama, dan memiliki kekasih hatinya, Maya.

***

Pagi datang dengan cepat. Maya membuka mata dan berkedip saat cahaya matahari dari pintu balkon mengenai wajahnya. Suara tawa membuat gadis itu menoleh. Masumi, dengan tampannya berdiri di ambang pintu kamar mandi, menertawakannya.

Memiringkan tubuhnya, Maya memeluk guling lalu menikmati pemandangan di depannya, Masumi yang berjalan ke arahnya hanya berbalut bathrobe.

“Kau tidak tersipu malu atau berteriak seperti biasanya?” goda Masumi yang kemudian duduk di tepi ranjang, mengusap kepala Maya yang bersandar pada guling besar.

Maya tertawa. “Tidak, bukankah mulai sekarang aku harus mulai membiasakan diri melihatmu seperti ini?”

Senyum Masumi mengembang, dia memberikan kecupan manis di pelipis Maya. “Aku senang demammu sudah turun. Merasa lebih baik?”

“Hm, begitulah. Dokter Hayate membuatku tidur nyenyak.” Perlahan Maya bangun lalu memberikan kecupan di pipi Masumi. “Terima kasih sudah menjagaku semalam.”

“Aku lebih dari senang dengan ucapan terima kasihmu tapi percayalah, sebaiknya kau segera mandi, Maya,” kata Masumi sembari mendorong gadis itu agar sedikit menjauh.

“Biasanya kau yang menggodaku.” Alih-alih menjauh, Maya justru mengalungkan kedua lengannya di leher Masumi. Gadis itu berdiri dengan kedua lututnya di atas tempat tidur, di depan sang kekasih.

“Kau agresif sekali Nona Kitajima.” Masumi juga mengalungkan kedua lengannya di pinggul ramping Maya.

“Aku hanya merasa lebih bebas disini. Tidak ada Ayah, Paman Asa, Bibi Harada, dan pelayan-pelayanmu.”

“Jadi kau lebih suka disini, hm?”

Maya mengangguk lalu tertawa, merasa konyol dengan dirinya sendiri. Kemarin semua terasa begitu berat tapi hari ini hatinya lebih ringan. Dia bahagia bisa menikmati pagi ini bersama Masumi.

Gadis itu memekik saat Masumi mengangkat tubuh mungilnya lalu berjalan ke kamar mandi. Maya meronta dalam gendongannya. “Turunkan aku, Masumi,” pintanya sembari menghentakkan kaki.

“Tidak, sebelum kau sampai di kamar mandi,” kata Masumi.

“Hei, aku bercanda, aku tidak mau dimandikan olehmu,” Maya kembali protes.

Masumi tertawa dengan pemikiran kekasihnya. “Aku juga tidak berniat memandikanmu.” Dia pun menurunkan Maya tepat di bawah shower lalu memutar kran air hangat.

Pekikan Maya langsung mengisi ruangan, membuat Masumi terkekeh senang. Gadis itu mundur dua langkah hingga punggungnya bersandar pada dinding karena Masumi menghimpitnya. Matanya terasa buram karena guyuran air hangat dari shower.

“Lain kali, jangan berusaha menggodaku,” kata Masumi tepat di depan wajah Maya. Dan gadis itu tidak dapat menolak saat kemudian Masumi menciumnya dengan lembut.

Ah, pagi yang indah bukan?

***

>>Bersambung<<

>>Heart - Chapter 16<<

>>Heart - Chapter 18<<

Post a Comment

20 Comments

  1. whatttttt.... hehehe pinter mengaduk" perasaan ney writernya.

    ReplyDelete
  2. Ahhhhhhh kentang
    Coba yaa Masumi ngajak2 mo mukul Koji

    ReplyDelete
    Replies
    1. kentangnya digoreng mba wkwkwkwk
      besok kuajak tonjok Koji

      Delete
  3. Ahhhhhhh kentang
    Coba yaa Masumi ngajak2 mo mukul Koji

    ReplyDelete
  4. Duuuh senangnyaaa, setelah kmrn mau nonjok orang.

    Aku happy, makasih mbak agnes. Kecup basah

    ReplyDelete
  5. Hadoooohhhh yang tadinya udah remuk redam eh dikasihnya yg manis2 begini... Di luar dugaan ... Wkwkwk
    Udah dah cepetttt nikahhhh masumi maya

    ReplyDelete
    Replies
    1. sabar sabar, besok dipanggilin penghulu dulu wkkw

      Delete
    2. Panggilin kak panggilin dah... Udah kepalang tanggung... Ngarep koji nggak biking ulah lagi dah wkwkwkw

      Delete
  6. Waktu Maya bilangwow dalam sekali artinya❤❤❤!pemilihan kata2nya oke banget sis! Suka bangettt. Tetap menunggu updet cerita selanjutnya dengan tidak penuh kesabaran

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oops maksudnya waktu maya bilang:ijinkan aku menjadi egois untik memilikimu

      Delete
    2. hehehee, aku juga suka bagian itu, rasanya gimanaaaa gitu wkwkkwkw

      Delete
  7. baru buka FFTK ini lagi ternyata ada cerita baru doooong gustiii happy banget masih ada yang mau nulis
    thanks author

    ReplyDelete