Disclaimer : Garasu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
=========================================================================
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Maya melenguh lirih saat mendengar
suara yang memanggil namanya. Tepukan di pipi membuatnya semakin tertarik ke
alam sadar. Gadis itu membuka mata tapi kembali menutupnya saat merasakan
kepalanya berdenyut sakit.
“Maya,” panggil Masumi
lirih, suaranya sarat kekhawatiran.
Mengenali suara yang
memanggilnya, perlahan Maya kembali membuka mata. “Masumi?”
“Syukurlah, kau sudah
sadar.” Menghela napas panjang, Masumi menjatuhkan keningnya di bahu sang
kekasih, tangan Maya masih dalam genggamannya. “Kau membuatku sangat khawatir.”
Pria itu masih bergeming di sisi tempat tidur Maya, bertumpu pada kedua
lututnya.
Maya merasa bingung. Dia
menatap sekeliling dan baru menyadari kalau dirinya berada di kamar, di
apartemennya. Maya kemudian ingat, setelah pulang dari rumah sakit, dia pulang
ke apartemen untuk menenangkan diri.
“Aku kenapa?” tanya gadis
itu lirih. Hal terakhir yang diingat Maya adalah dia berada di bawah shower air
dingin, dalam waktu yang lama. Mungkin memang benar-benar lama.
Masumi langsung
mengangkat wajahnya. Matanya menatap Maya sendu. “Kau pingsan di dalam kamar
mandi, di bawah shower yang menyala,” jelas Masumi dengan tenang. Dia tahu
kalau kekasihnya masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Pingsan?” kedua alis
Maya berkerut.
Masumi mengangguk lalu
membelai kening kekasihnya. Dia merasakan tubuh Maya semakin hangat, selimut
menutupi sebagian tubuh gadis itu. Menarik tangan Maya yang masih dalam
genggamannya, Masumi memberikan sebuah kecupan di punggung tangan dengan mata
tak lepas memandang wajah sang kekasih. “Apa yang terjadi, hm?” tanyanya
selembut mungkin.
Gadis itu terdiam saat
kilasan memori melayang-layang dalam ingatannya. Ajakan Koji, pertemuannya
dengan Dokter Hayate, lalu ancaman Koji padanya. Astaga, mendadak Maya merasa
dadanya sesak.
“Kau baik-baik saja?”
Ekspresi wajah Masumi mengeras begitu melihat Maya kembali memejamkan mata
dengan ekspresi kesakitan. “Maya?”
Alih-alih menjawab, Maya
justru terisak dan itu membuat Masumi semakin bingung. “Maya, kau kenapa? Tolong,
katakan padaku.”
Maya menarik tangannya
dari genggaman Masumi lalu menyusut air matanya. “Masumi, aku ….” gadis itu
menggigit bibir bawahnya, menahan kalimat keluar dari bibir pucatnya. Dia tidak
tahu harus berkata apa. Maya menangis.
Membelai kepala kekasihnya
dengan lembut, Masumi mencoba menenangkan Maya. Kali ini dia tidak bertanya.
Lama keduanya terdiam, hanya terdengar isak tangis Maya yang membuat hati
Masumi sakit.
“Maafkan aku,” ucap Maya kemudian
saat isakannya mereda.
“Maaf?” tanya Masumi tidak
mengerti. “Hei, hati-hati,” kata Masumi saat membantu Maya yang tiba-tiba
bangun.
Gadis itu kembali
menyusut air matanya saat Masumi kemudian duduk di tepi tempat tidur. “Maafkan
aku,” ucap Maya lagi dan dia langsung memeluk Masumi.
Masumi benar-benar tidak
mengerti dengan sikap Maya. Tapi mendesak gadis itu untuk bicara juga bukan
pilihan bijak. Dia melihat kekasihnya tampak bingung, entah karena apa.
Lagi-lagi Masumi hanya bisa mengusap punggung Maya, memeluknya, menenangkannya
yang kembali menangis. Kekasihnya demam, Masumi merasakan tubuh Maya yang semakin
panas dalam dekapannya.
Suara ketukan pintu
membuat Masumi menoleh tapi tidak melepaskan pelukannya. Pintu kamar kemudian terbuka,
Hijiri tidak bicara saat melihat Maya memangis dalam pelukan Masumi. Dia hanya
mengangguk lalu kembali menutup pintu.
“Masumi, berjanjilah
padaku,” lirih Maya dengan suara parau.
“Berjanji untuk apa?”
Masumi sedikit merenggangkan pelukannya untuk melihat wajah sang kekasih.
Diusapnya pipi yang memerah itu dengan lembut.
“Berjanjilah, apapun yang
terjadi kau tidak akan membatalkan pernikahan kita.” Maya menggenggam erat
kemeja di dada Masumi.
Masumi terdiam. Mata
bulat itu memandangnya sendu. “Katakan padaku, sayang,” katanya tenang sembari
menyingkirkan rambut basah Maya dari wajahnya. Kedua tangannya kini menangkup
wajah pucat sang kekasih. “Apa yang terjadi?”
Maya menggeleng cepat,
mengernyit saat sensasi sakit di kepalanya menjadi, tapi dia berusaha kembali
fokus pada Masumi. “Tidak, kau harus berjanji dulu padaku. Berjanjilah untuk
tidak akan pernah membatalkan pernikahan kita, apa pun alasannya. Berjanjilah,
Masumi.”
“Aku berjanji, apa pun
yang terjadi, aku tidak akan pernah membatalkan pernikahan kita.”
Dan Maya kembali memeluk
kekasihnya dengan erat. “Aku pegang janjimu,” lirih gadis itu, “aku pegang janjimu,”
ulangnya lagi.
“Maya?” Masumi
mengeratkan pelukannya, mengusap punggung Maya yang kembali bergetar. “Apa yang
sebenarnya terjadi? Kenapa kau menemui Dokter Hayate bersama dengan Koji?”
akhirnya Masumi tak lagi menahan diri. Dia harus tahu apa yang terjadi pada
kekasihnya hingga bertingkah aneh seperti itu.
“Kau tahu?” cicit gadis
itu dengan wajah tersuruk di dada Masumi. Kedua tangannya mencengkram kemeja di
punggung Masumi. “Bagaimana kau tahu aku pergi ke rumah sakit?” tanya Maya lagi
tanpa mengangkat wajahnya.
Masumi menghela napas,
dia merubah posisi duduknya agar Maya lebih nyaman dalam pelukannya. Dia tahu
pembicaraan ini akan berlangsung lama. Dengan sikap aneh Maya, Masumi yakin ada
masalah yang disembunyikan kekasihnya.
“Yukari datang mencarimu
ke rumah siang tadi tapi kau berbohong dan mengatakan pergi ke kantor Daito,” kata
Masumi mengawali ceritanya. Dia membiarkan Maya yang masih tidak mau menatapnya
atau pun melepas pelukannya. Masumi merasakan tubuh kekasihnya menegang.
“Apa-,” Maya mencoba
menebak, “-Yukari kemudian datang ke kantor Daito mencariku?”
“Iya,” jawab Masumi
singkat. Tangannya kembali mengusap punggung Maya, membuat gadis itu sedikit
lebih tenang. “Dan kau tahu betapa khawatirnya aku saat mendengar kau
menghilang.”
Tiba-tiba Maya menarik
diri lalu menatap Masumi lekat. “Maaf, sungguh aku tidak bermaksud berbohong.
Aku, aku hanya tidak mau membuatmu khawatir,” jelasnya cepat.
Alis Masumi melengkung
tinggi dengan ekspresi geli, membuat Maya kembali tertunduk.
“Ya, kau benar,” kata
Maya yang mengerti arti tatapan Masumi padanya, “aku justru membuatmu semakin khawatir,”
lirihnya.
“Aku menghubungi Rei,
tapi ternyata kau juga tidak bersamanya,” Masumi melanjutkan ceritanya.
“Kenapa kau tidak
langsung meneleponku?” tanya Maya kemudian.
“Aku melakukannya,
puluhan kali, tapi handphone-mu
mati,” jawab Masumi dengan alis berkerut.
“Oh,” Maya melenguh
lirih. Gadis itu kembali tertunduk, dalam hati merutuki kebodohannya. Dia
bahkan sama sekali tidak sadar kalau handphone-nya
mati. “Maaf.”
Jemari Masumi meraih dagu
Maya dan membuat gadis itu menatapnya.
“Aku tidak tahu kalau handphone-ku mati,” jawab Maya kemudian
dengan rasa bersalah tergambar jelas di wajahnya.
Masumi mengulas senyum
tipis, secara tersirat mengatakan tidak apa-apa. “Aku beruntung karena Hijiri
memasang pelacak di handphone-mu.”
“Benarkah? Aku tidak
tahu,” kata Maya tak percaya.
Dan kali ini Masumi
terkekeh, “Tentu saja kau tidak tahu. Kau pasti akan membuang handphone-mu kalau tahu aku menyuruh
Hijiri memasang pelacak untukmu.”
“Tidak lucu, Masumi,”
protes Maya dengan bibir cemberut.
“Aku memang tidak sedang
melucu. Kupikir kita sedang membahas masalah penting,” kata Masumi, masih
dengan senyum di wajahnya.
“Ya, kita sedang membahas
masalah penting,” ucap Maya mengulangi perkataan sang kekasih. Dia memalingkan
wajah, menatap pintu kamar yang tertutup. “Karena alat pelacak itu kau tahu aku
ada disini?” tanya Maya yang kembali ke topik pembicaraan mereka.
“Tentu tidak semudah itu
karena handphone-mu mati,” jawab Masumi
yang membuat Maya kembali menatapnya. “Saat Hijiri mencoba melacakmu, posisi
terakhir yang terlihat adalah kau berada di rumah sakit. Dan itu alasan aku
menghubungi Dokter Hayate. Karena aku berpikir kau bertemu dengannya.”
Mata Maya langsung
membulat karena terkejut. dia mencengkram kedua lengan Masumi dengan kuat.
“Ka-kau menghubungi Dokter Hayate?” Wajahnya menyiratkan kekhawatiran yang
berlebihan. “Apa yang Dokter Hayate katakan padamu? Kau sudah tahu?” cecar Maya
dengan pertanyaan yang lagi-lagi membuat kening Masumi berkerut.
“Tahu apa? Aku tidak
mengerti maksudmu,” jawab Masumi. “Dokter Hayate juga sempat mengatakan hal
aneh tentang kau yang akan menceritakan sesuatu, entah apa itu, tapi aku tidak
memikirkannya. Yang membuatku lebih panik adalah kau yang menghilang bersama
dengan Koji setelah bertemu dengan Dokter Hayate.”
“Aku tidak menghilang
bersama Koji!” pekik Maya tiba-tiba.
“Hei, tenang,” Masumi
mengusap kedua bahu Maya yang bergetar. “Aku tahu kau tidak bersamanya.”
“Kau tahu?” Maya menurunkan
nada suaranya lalu menatap Masumi lekat.
“Iya, aku pergi ke
apartemen Koji untuk mencarimu,” jawab Masumi jujur. Lagipula tidak ada gunanya
menyembunyikan hal itu dari Maya. Gadis itu harus tahu kalau dia
mengkhawatirkannya.
Lagi-lagi Maya tampak
terkejut. “Apa yang Koji katakan padamu?”
“Tidak ada. Aku bertanya
kau dimana tapi dia justru bertingkah aneh dan terus tertawa. Karena kesal, aku
memberinya sedikit palajaran.” Masumi mengamati wajah Maya, menilai reaksinya.
“Kau berkelahi lagi
dengannya? Apa kau terluka?” Mata Maya langsung memindai tubuh Masumi. Melihat
kalau-kalau ada luka, lebam atau semacamnya.
Reaksi Maya membuat
Masumi mengulum senyum. “Tidak, aku baik-baik saja dan ya … Koji sedikit
terluka, mungkin,” jawab Masumi dengan nada pura-pura ragu di akhir kalimatnya.
“Harusnya kau juga
mengajakku,” kata Maya dengan bibir cemberut. Dia menatap Masumi yang tampak
tidak suka, “Aku juga ingin memukulnya,” jelasnya kemudian.
“Kau mau memukulnya?”
Masumi tampak terkejut sekaligus geli mendengar perkataan Maya.
“Iya, aku ingin sekali
menghajarnya,” kata Maya dengan kedua tangan terkepal lalu memukul selimut di
atas lututnya.
“Kali ini apa yang Koji
lakukan padamu? Dan kau juga belum menjawab pertanyaanku, kenapa kau dan Koji menemui
Dokter Hayate?” Masumi mengerutkan kening saat Maya justru memalingkan wajah.
“Maya?” Masumi meraih dagu gadis itu dan membuat sepasang mata bulat
menatapnya.
“Aku akan menceritakannya
tapi berjanjilah untuk tidak mengingkari janjimu.” Maya menggenggam tangan
Masumi dan menatap sang kekasih dengan tatapan memohon.
Masumi menghela napas
lelah, “Ceritakan.”
***
Masumi duduk dalam diam.
Bersandar pada kepala tempat tidur dengan Maya yang juga duduk bersandar di
dadanya. Masumi terus menggenggam tangan Maya, memainkan jemari kecil sang
kekasih sembari mendengarkan cerita, seolah gadis itu tengah mendongeng.
Maya sendiri berusaha
menjelaskan semuanya setenang mungkin. Menahan air mata yang terasa ingin
segera meluncur dari sudut matanya. Beruntung mereka tidak duduk berhadapan
sehingga Masumi tidak harus melihat wajah Maya yang menyiratkan kesedihan juga
kekecewaan pada sang sahabat. Tapi bukan Masumi namanya jika dia tidak mengerti
apa yang tengah dirasakan sang kekasih saat ini.
“Kenapa kau tidak
langsung datang padaku tadi, hm?” Masumi memeluk Maya begitu gadis itu selesai
dengan ceritanya.
“Aku butuh waktu untuk
menenangkan diri,” jawab Maya lirih. Tubuhnya lebih rilek dalam dekapan Masumi.
Beban hatinya terasa berkurang karena sudah menceritakan semuanya.
Sesaat keduanya tenggelam
dalam keheningan, sampai kemudian Masumi menyingkirkan rambut di bahu Maya lalu
memberikan sebuah kecupan lembut di sana. “Aku mencintaimu,” bisiknya tepat di
telinga sang kekasih.
“Aku tahu,” jawab Maya
seraya menunduk lalu mengusap kedua lengan Masumi yang melingkar di perutnya.
“Jadi kau tidak boleh
meragukan cintaku,” kata Masumi yang kemudian menyandarkan dagunya di bahu
Maya. “Kalau kau berpikir aku rela kau menyerahkan diri pada Koji hanya demi donor
hatiku, maka kau salah Maya,” lanjutnya.
Maya terdiam. Dia tahu,
dalam hatinya Maya tahu itu. Hanya saja …., “Untuk sesaat aku berpikir harus
melepaskanmu,” akhirnya Maya tidak lagi bisa menahan air mata.
Masumi mengeratkan
pelukannya tapi tidak berkata apa-apa.
“Aku … aku merasa egois
jika demi cinta ini aku membuang kesempatanmu untuk sembuh,” lanjut Maya di
tengah isaknya, “tapi aku ingin, aku ingin jadi egois, Masumi.” Tangis Maya
semakin keras begitu pula pelukan Masumi. Pria itu mencium pelipis Maya dalam
diam.
“Ijinkan aku menjadi egois
untuk memilikimu, Masumi,” gadis itu memohon. Dia berbalik lalu memeluk Masumi,
menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. “Maafkan aku, maafkan aku,”
ucapnya dengan suara lirih.
Dengan lembut Masumi
mengusap punggung Maya yang bergetar. “Terima kasih sudah mencintaiku sedalam
ini, “ bisiknya. Dia pun menarik Maya hingga gadis itu kembali duduk di
depannya. Jemarinya mengusap pipi Maya yang basah dan memerah.
Gadis itu mengangkat
wajahnya saat Masumi menyentuh dagunya.
“Jadilah egois untukku,” pinta
Masumi sebelum akhirnya mencium bibir mungil di depannya. Dan saat gadis itu
memejamkan mata, Masumi tahu Maya adalah miliknya.
***
Hari beranjak malam. Masumi
termenung di ruang tamu apartemen Maya. Dia sudah mendengar semua cerita dari
kekasihnya. Setelahnya, Dokter Hayate datang untuk memeriksa kondisi Maya yang
demam. Masumi pun mengkonfirmasi semua cerita Maya pada dokter pribadinya.
Hijiri sempat marah pada Dokter
Hayate karena tidak mengatakan apa pun mengenai Koji yang mendaftar sebagai
donor. Sedang sang dokter berdalih itu permintaan calon pendonor dan dia tidak
bisa mengatakan apa pun sebelum hasil pemeriksaan keluar. Meski begitu, Dokter
Hayate meminta maaf dan berjanji untuk kedepannya akan menginformasikan segala
sesuatu mengenai kesehatan Masumi. Dia pun pulang setelah memastikan Maya
baik-baik saja dan membuat gadis itu tertidur di bawah pengaruh obat.
“Apa saya perlu melakukan
sesuatu?” tanya Hijiri menyela renungan panjang sang tuan.
Masumi menoleh lalu
menggeleng. “Biarkan saja, Koji tidak bisa memaksakan apa pun kalau aku
menolaknya.”
“Tapi, Nona-,”
“Itu tugasmu, pastikan
Koji tidak menghubungi atau pun menemui Maya,” tegas Masumi yang langsung
dijawab dengan anggukan oleh Hijiri.
“Baik, Tuan.”
“Apa pesananku sudah
datang?” tanya Masumi kemudian.
“Sudah, Tuan.” Hijiri
mengambil koper yang tadi diletakkannya di sudut ruang tamu. Dia meminta Bibi
Harada menyiapkan pakaian ganti untuk Masumi dan Watanabe mengantarnya ke
apartemen. Pakaian Masumi tadi basah karena menggendong Maya dan hanya sempat dikeringkan
dengan menggunakan hair dryer.
“Tuan, apa tidak
sebaiknya Anda mulai cuti besok? Jangan khawatirkan pekerjaan, Nona Maya lebih
membutuhkan Anda saat ini,” saran Hijiri.
Direktur Daito itu
menghela napas, Hijiri benar. Dia juga sudah merasa lelah dengan semua ini. “Baiklah,
tolong kau atur semuanya. Sebagian besar dokumen sudah kuperiksa siang tadi. Mizuki
juga sudah memisahkan beberapa kontrak yang harus direvisi.”
“Tentu Tuan, serahkan
semuanya pada saya.” Pria kepercayaan Masumi itu pun mengangguk hormat. “Kalau
begitu saya permisi Tuan.”
Masumi hanya mengangguk
saat Hijiri kemudian meninggalkan apartemen. Setelah mengunci pintu, Masumi pun
menyeret kopernya ke dalam kamar.
***
Koji
memintaku menikah dengannya lalu dia akan menjadi donor hati untukmu.
Perkataan Maya terngiang
di telinga Masumi. Dia bahkan masih bisa merasakan kepanikannya siang tadi saat
menemukan Maya pingsan di kamar mandi. Sungguh bersyukur kekasihnya itu hanya
demam. Masumi tidak bisa membayangkan hal buruk terjadi pada Maya.
Tuan Muda Hayami itu
menatap langit malam dari balkon apartemen. Hatinya masih merasa geram dengan
tingkah Koji yang konyol dan keras kepala. Masumi tersenyum miris, sungguh
takdir begitu senang mempermainkan hidupnya. Kenapa harus Koji?
Masumi menoleh, melihat
Maya tampak tenang dalam tidurnya. Demamnya sudah turun dan itu membuat Masumi
sedikit lega. Hari ini terasa sangat melelahkan untuknya, tapi dia tidak bisa
tidur. Banyak hal mengganggu pikirannya.
Ijinkan
aku menjadi egois untuk memilikimu, Masumi.
Senyum tipis tersungging di
wajah tampan Masumi saat perkataan Maya kembali terngiang dalam ingatannya. Andai
Maya tahu, betapa bahagia hati Masumi mendengar gadis itu memohon padanya. Dia bahkan
pernah merutuki dirinya sendiri karena merasa terlalu egois ingin memiliki
Maya. Sekarang, bukankah mereka sama? Keduanya saling mencintai tapi entah
mengapa semua terasa begitu sulit. Bahkan setelah semua waktu dan masalah yang
telah terlewati, saat pernikahan ada di depan mata, masih saja ada kerikil yang
mengganggu perjalanan cinta mereka.
Masumi berjalan ke tempat
tidur setelah menutup pintu balkon. Dia berbaring di sebelah Maya lalu mendekap
gadisnya yang terlelap ke dalam sebuah pelukan. Entah berapa lama dia bisa menikmati
kebersamaan ini dengan Maya. Yang pasti Masumi tidak akan pernah sanggup untuk
kehilangan gadis itu. Biarlah waktu yang menjawab semuanya. Dan biarlah saat
ini Masumi menikmati keegoisannya untuk bersama, dan memiliki kekasih hatinya,
Maya.
***
Pagi datang dengan cepat.
Maya membuka mata dan berkedip saat cahaya matahari dari pintu balkon mengenai
wajahnya. Suara tawa membuat gadis itu menoleh. Masumi, dengan tampannya
berdiri di ambang pintu kamar mandi, menertawakannya.
Memiringkan tubuhnya,
Maya memeluk guling lalu menikmati pemandangan di depannya, Masumi yang
berjalan ke arahnya hanya berbalut bathrobe.
“Kau tidak tersipu malu
atau berteriak seperti biasanya?” goda Masumi yang kemudian duduk di tepi
ranjang, mengusap kepala Maya yang bersandar pada guling besar.
Maya tertawa. “Tidak, bukankah
mulai sekarang aku harus mulai membiasakan diri melihatmu seperti ini?”
Senyum Masumi mengembang,
dia memberikan kecupan manis di pelipis Maya. “Aku senang demammu sudah turun. Merasa
lebih baik?”
“Hm, begitulah. Dokter Hayate
membuatku tidur nyenyak.” Perlahan Maya bangun lalu memberikan kecupan di pipi
Masumi. “Terima kasih sudah menjagaku semalam.”
“Aku lebih dari senang
dengan ucapan terima kasihmu tapi percayalah, sebaiknya kau segera mandi, Maya,”
kata Masumi sembari mendorong gadis itu agar sedikit menjauh.
“Biasanya kau yang
menggodaku.” Alih-alih menjauh, Maya justru mengalungkan kedua lengannya di
leher Masumi. Gadis itu berdiri dengan kedua lututnya di atas tempat tidur, di
depan sang kekasih.
“Kau agresif sekali Nona
Kitajima.” Masumi juga mengalungkan kedua lengannya di pinggul ramping Maya.
“Aku hanya merasa lebih
bebas disini. Tidak ada Ayah, Paman Asa, Bibi Harada, dan pelayan-pelayanmu.”
“Jadi kau lebih suka
disini, hm?”
Maya mengangguk lalu
tertawa, merasa konyol dengan dirinya sendiri. Kemarin semua terasa begitu
berat tapi hari ini hatinya lebih ringan. Dia bahagia bisa menikmati pagi ini
bersama Masumi.
Gadis itu memekik saat Masumi
mengangkat tubuh mungilnya lalu berjalan ke kamar mandi. Maya meronta dalam
gendongannya. “Turunkan aku, Masumi,” pintanya sembari menghentakkan kaki.
“Tidak, sebelum kau
sampai di kamar mandi,” kata Masumi.
“Hei, aku bercanda, aku
tidak mau dimandikan olehmu,” Maya kembali protes.
Masumi tertawa dengan
pemikiran kekasihnya. “Aku juga tidak berniat memandikanmu.” Dia pun menurunkan
Maya tepat di bawah shower lalu
memutar kran air hangat.
Pekikan Maya langsung
mengisi ruangan, membuat Masumi terkekeh senang. Gadis itu mundur dua langkah
hingga punggungnya bersandar pada dinding karena Masumi menghimpitnya. Matanya terasa
buram karena guyuran air hangat dari shower.
“Lain kali, jangan
berusaha menggodaku,” kata Masumi tepat di depan wajah Maya. Dan gadis itu
tidak dapat menolak saat kemudian Masumi menciumnya dengan lembut.
Ah, pagi yang indah
bukan?
***
20 Comments
whatttttt.... hehehe pinter mengaduk" perasaan ney writernya.
ReplyDeletekan biar seru pake diaduk2 wkwkwk
DeleteLanjuuttttt👍👍👍
ReplyDeleteya ya ya
DeleteAhhhhhhh kentang
ReplyDeleteCoba yaa Masumi ngajak2 mo mukul Koji
kentangnya digoreng mba wkwkwkwk
Deletebesok kuajak tonjok Koji
Ahhhhhhh kentang
ReplyDeleteCoba yaa Masumi ngajak2 mo mukul Koji
Duuuh senangnyaaa, setelah kmrn mau nonjok orang.
ReplyDeleteAku happy, makasih mbak agnes. Kecup basah
aku juga happy dikecup basah wkwkw
DeleteHadoooohhhh yang tadinya udah remuk redam eh dikasihnya yg manis2 begini... Di luar dugaan ... Wkwkwk
ReplyDeleteUdah dah cepetttt nikahhhh masumi maya
sabar sabar, besok dipanggilin penghulu dulu wkkw
DeletePanggilin kak panggilin dah... Udah kepalang tanggung... Ngarep koji nggak biking ulah lagi dah wkwkwkw
DeleteAw aw aw....
ReplyDeleteaw aw aw juga mba wkwkwk
DeleteWaktu Maya bilangwow dalam sekali artinya❤❤❤!pemilihan kata2nya oke banget sis! Suka bangettt. Tetap menunggu updet cerita selanjutnya dengan tidak penuh kesabaran
ReplyDeleteOops maksudnya waktu maya bilang:ijinkan aku menjadi egois untik memilikimu
Deletehehehee, aku juga suka bagian itu, rasanya gimanaaaa gitu wkwkkwkw
DeleteLanjut thor
ReplyDeleteoke
Deletebaru buka FFTK ini lagi ternyata ada cerita baru doooong gustiii happy banget masih ada yang mau nulis
ReplyDeletethanks author