Heart - Chapter 16

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

 =========================================================================

Jealous by Labrinth

 

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

That falls upon your skin

Yang jatuh di kulitmu

It's closer than my hands have been

Lebih dekat dari tanganku

I'm jealous of the rain

Aku iri pada hujan

 

I'm jealous of the windu

Aku iri pada angin

That ripples through your clothes

Yang mengoyak bajumu

It's closer than your shadow

Lebih dekat dari bayanganmu

Oh, I'm jealous of the wind, cause

Oh aku iri pada angin, karena

 

[Chorus:]

I wished you the best of

Ku berharap yang terbaik untukmu

All this world could give

Segala hal dunia ini dapat memberimu

And I told you when you left me

Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku

There's nothing to forgive

Tak ada yang perlu dimaafkan

But I always thought you'd come back, tell me all you found was

Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah

Heartbreak and misery

Kehancuran dan kesedihan

It's hard for me to say, I'm jealous of the way

Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu

You're happy without me

Bahagia tanpaku

 

I'm jealous of the nights

Ku iri pada malam

That I don't spend with you

Yang tak kuhabiskan denganmu

I'm wondering who you lay next to

Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu

Oh, I'm jealous of the nights

Oh, aku iri pada malam

I'm jealous of the love

Aku iri pada cinta

 

***

 


Matahari masih di atas kepala saat Maya turun dari taksi di depan apartemennya. Dia berjalan dalam diam menyusuri koridor. Aktris cantik itu mengabaikan beberapa orang yang berpapasan dengannya. Sembari membenahi kaca mata hitamnya, Maya mempercepat langkah.

Gadis itu tergesa memasuki apartemen. Ruangan gelap menyambutnya, Maya menghidupkan lampu ruang tamu lalu berjalan ke kamar. Setelah melepas jaket dan kaca mata, dia kemudian masuk ke kamar mandi. Maya butuh air dingin untuk menyejukkan pikirannya.

Batalkan pernikahanmu dan aku akan menyerahkan hatiku.

Kalimat itu terus berdengung di dalam kepala Maya. Gadis itu berdiri di bawah shower air dingin tanpa melepas pakaiannya. Air matanya tak lagi bisa dibendung, dadanya terasa sesak. Maya jatuh berlutut lalu tenggelam dalam isakan panjang.

Di kantor Daito, Masumi tengah memeriksa laporan saat kemudian tangannya tidak sengaja mengenai cangkir kopi hingga jatuh. Porselen cantik itu pecah saat menyentuh lantai.

“Tuan?” Mizuki bergegas memutari meja dan mengamati sekitar, “Anda baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja.” Masumi juga terkejut dengan apa yang terjadi.

“Saya akan panggilkan office boy.” Dengan cepat sekretaris itu menekan satu angka pada tombol panggilan cepat, meminta seorang office boy datang dengan membawa peralatan kebersihan.

“Tolong bereskan, aku ke kamar kecil sebentar.” Direktur Daito itu beranjak dari kursinya.

“Baik, Tuan,” jawab Mizuki sembari mengangguk hormat lalu memisahkan dokumen yang sudah ditanda tangani oleh Masumi.

Masumi mencuci tangan di wastafel lalu menatap wajahnya di depan cermin toilet. Perasaannya tidak tenang. Dia merasakan sesuatu yang salah sedang terjadi, tapi tidak tahu apa. Mata Masumi mengamati air kran yang deras mengalir. Hatinya kembali berdesir tidak nyaman. Seingatnya, semua pekerjaan sudah selesai dengan baik. Bahkan dua hari lagi dia bisa mulai cuti untuk benar-benar mempersiapkan diri dengan pernikahan.

Sebuah ketukan di pintu toilet membuat Masumi tergesa mematikan kran lalu membuka pintu.

“Ada apa?” tanyanya pada Mizuki yang menunggunya di depan pintu.

“Maaf, Tuan. Yukari datang dan mengatakan ingin bertemu dengan Nona. Apa Anda tahu dimana Nona Maya?” tanya sang sekretaris itu dengan hati-hati. Mizuki memiliki firasat tidak enak karena setahunya sang nona tidak berada di kantor dan Masumi juga tidak membicarakannya seharian ini.

“Apa maksudmu? Maya ada di rumah,” jawab Masumi bingung. Dia mengalihkan perhatiannya pada Yukari yang berdiri tidak jauh dari meja kerjanya. “Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.

Kekhawatiran semakin terlihat di wajah Yukari. Menejer itu menggeleng dengan tangan bertaut gelisah. “Saya dari mansion Hayami untuk menemui Nona Maya. Tapi Bibi Harada dan Tuan Asa mengatakan kalau Nona Maya pergi untuk mengurus kontrak di kantor Daito. Mereka justru bertanya kenapa saya tidak bersama Nona. Karena itu saya datang untuk memastikan Nona berada di sini.”

Tentu saja penjelasan Yukari membuat Masumi terkejut. Dia bergegas menuju meja kerjanya untuk mengambil handphone. Tapi belum sempat sang direktur itu membuat panggilan, Yukari kembali bicara-,

Handphone Nona Maya tidak aktif,” terangnya.

-dan Masumi tetap melakukan panggilan sampai suara operator membuatnya berdecak kesal. Dia pun mencoba menghubungi Asa. “Jam berapa kau datang mencari Maya?” tanya Masumi sembari menunggu panggilannya dijawab.

“Sekitar pukul 12.00,” jawab Yukari.

Masumi melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul 13.30. “Halo, Paman Asa?” katanya begitu panggilannya di angkat.

“Ada apa Tuan Muda?” tanya Asa dari seberang sana.

“Apa Paman tahu kemana Maya pergi?” Masumi tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.

“Jadi Nona Maya tidak pergi ke kantor Daito?” Asa justru balik bertanya.

Masumi mengeratkan genggamannya pada handphone. Jadi ini yang sejak tadi mengganggu perasaannya? “Jam berapa Maya pergi?” tanyanya berusaha untuk tetap tenang.

“Sekitar pukul 09.00, Nona mengatakan kalau ada masalah kontrak yang harus diselesaikan di kantor Daito. Dia bahkan memanggil taksi karena terburu-buru dan menolak diantar oleh sopir.” Asa menjelaskan. Dia juga khawatir dengan keadaan sang nona.

“Taksi?” Perasaan Masumi semakin tidak enak. Dia pun segera menutup panggilan setelah berjanji akan memberi kabar jika menemukan Maya. Menghela napas panjang, Masumi mengendurkan dasinya. “Dimana Hijiri?”

“Tuan Hijiri sedang rapat dengan divisi keuangan,” jawab Mizuki cepat.

Masumi tiba-tiba teringat akan Rei. Dia pun segera menghubungi sahabat Maya itu. Bukankah semalam dia bertelepon dengan Maya? Siapa tahu kekasihnya berada di sana.

“Halo, Nona Aoki,” sapa Masumi setenang mungkin. Mizuki dan Yukari menatapnya dalam diam.

“Ya, Tuan Masumi?” Dan Rei terdengar cukup terkejut dengan panggilan yang tidak biasa itu.

“Iya, ini aku Masumi. Maaf jika mengganggu waktumu,” ucap Masumi basa-basi. Tangannya terkepal di atas meja, berusaha menahan emosinya.

“Tidak apa-apa. Apakah ada sesuatu yang penting? Tidak biasanya Anda menghubungi saya,” Rei justru tidak basa-basi.

Masumi mengeratkan mata di tengah pikirannya yang berputar. Pertanyaan Rei sudah cukup menjelaskan kalau Maya tidak bersama dengannya. Masumi pun mencari alasan. “Tidak, aku hanya ingin memastikan. Apa Maya sudah memberitahumu mengenai upacara pernikahan minggu depan? Maya sangat ingin kau hadir sebagai pendampingnya.” Hanya itu alasan masuk akal yang bisa ditemukan Masumi.

“Sudah Tuan Masumi. Semalam Maya sudah menghubungi saya juga teman-teman teater lainnya. Anda jangan khawatir, saya pasti akan datang dan mendampingi Maya di hari bahagianya,” ucap Rei dengan tulus.

“Terima kasih. Sekali lagi maaf sudah mengganggu waktumu. Sampai jumpa, Nona Aoki.” Masumi pun mengakhiri panggilannya lalu menatap dua wanita di depannya. “Maya tidak bersama Rei,” gumamnya yang kemudian menghempaskan diri di atas kursi kerja.

“Maaf Tuan, apa Nona Maya tidak mengatakan apa pun pada Anda pagi ini?” tanya Mizuki pada Masumi yang kini melepas dasi juga kancing teratas kemejanya.

“Tidak,” jawab Masumi sembari menggeleng. “Maya justru mengatakan akan berada di rumah untuk membantu mengawasi pekerja yang sedang menata taman belakang.” Masumi sama sekali tidak punya bayangan kemana Maya pergi.

Geram dengan kebingungannya, Masumi kembali meraih handphone. Tak lama sampai panggilannya di jawab, “Hijiri, ke ruanganku sekarang!” perintah Masumi tanpa peduli dengan apa yang tengah dilakukan oleh wakil direkturnya itu. Saat ini dia butuh Hijiri.

***

Tiga puluh menit berlalu dan ketegangan di ruang kerja Masumi belum berkurang. Hijiri menghubungi anak buahnya, memerintahkan mereka untuk mencari Maya. Handphone Maya yang mati membuat Hijiri kesulitan melacak keberadaan sang nona. Dia sedang duduk di depan laptop dengan wajah serius. Sementara Masumi menunggu dengan gelisah di sebelahnya.

“Bagaimana?” tanya Masumi untuk kesekian kalinya pada Hijiri yang tengah mengutak-atik perangkat pencari untuk melacak keberadaan Maya. Kening Hijiri yang berkerut dalam membuat Masumi semakin tidak tenang. “Tunggu, ini-,” Masumi menjeda kalimatnya sementara telunjuknya menunjuk satu titik di layar  laptop. “Rumah sakit?” lirihnya ragu.

“Benar Tuan, lokasi terakhir Nona Maya terlacak di sekitar rumah sakit sekitar pukul 11.00. Setelahnya kemungkinan handphone Nona mati sehingga koneksi terputus.” Hijiri menjelaskan.

Handphone Maya memang terhubung dengan perangkat pelacak milik Hijiri. Tentu saja semua itu atas perintah Masumi untuk mengantisipasi hal semacam ini. Sayangnya, jika handphone mati maka koneksi juga akan terputus.

“Untuk apa Maya ke rumah sakit?” gumam Masumi kemudian.

“Apa Nona Maya sakit?” tanya Yukari.

Masumi menggeleng. “Pagi tadi dia terlihat baik-baik saja.”

“Atau Nona bertemu dengan Dokter Hayate?” kali ini Mizuki yang menarik kemungkinan lain.

Masumi dan Hijiri langsung bertukar pandang. Kembali membuka handphone, Masumi mencari satu nama di daftar lalu melakukan panggilan.

“Selamat siang, Dokter Hayate,” sapa Masumi.

“Selamat siang, Tuan Masumi. Anda baik-baik saja?” tanya suara di seberang sana. Tidak biasanya Tuan Muda Hayami itu menghubunginya. Dokter Hayate lebih sering berhubungan dengan Hijiri, Mizuki dan Maya jika menyangkut kesehatannya.

“Maaf, saya mungkin mengganggu waktu kerja Anda,” kata Masumi yang berusaha tetap tenang.

“Tidak, tidak apa-apa Tuan Masumi. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter itu lagi.

“Saya ingin bertanya, apa tadi Maya menemui Anda?” Masumi sendiri terdengar ragu akan pertanyannya.

“Ah, Nona Kitajima. Benar, tadi kami bertemu dan membicarakan beberapa hal. Apa Nona sudah menceritakan semuanya pada Anda?” Dokter Hayate juga cukup penasaran dengan jawaban Masumi mengenai proses transplantasinya. Dia berharap semua bisa berjalan dengan lancar.

Kening Masumi berkerut. Jadi benar Maya bertemu Dokter Hayate? batin Masumi. “Tidak, saya belum bertemu dengan Maya,” jawabnya. “Kalau boleh saya tahu, pukul berapa kira-kira Maya pulang dokter?”

“Sekitar pukul 11.00, kami tidak terlalu lama bertemu. Saya hanya menjelaskan beberapa hal lalu Nona Maya pulang bersama dengan Tuan Sakurakoji.”

“Sakurakoji?” seru Masumi tanpa sadar. Apalagi ini?

Semua perhatian langsung tertuju pada Masumi saat mendengar nama Koji disebut.

Mendengar reaksi Masumi membuat Dokter Hayate membatasi penjelasannya. Dia yakin kalau Masumi sama sekali belum tahu tentang rencana donor hati itu. “Benar, sebaiknya Anda bertemu dulu dengan Nona Maya dan mendengar penjelasannya bersama Tuan Sakurakoji. Saya tidak bisa banyak menjelaskan melalui telepon.”

“Terima kasih, Dokter.” Masumi pun mengakhiri panggilannya.

Suasana menjadi hening. Masumi menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa, memijat pangkal hidung untuk meredakan ketegangannya. Apa sekarang Maya bersama dengan Koji? Batinnya kalut.

Sementara Hijiri, Mizuki dan Yukari hanya bisa bertukar pandang dalam diam.

***

“Tuan, Anda yakin?” Hijiri bertanya saat melihat wajah serius Masumi. Keduanya sudah berada di dalam mobil, melaju di tengah padatnya lalu lintas kota Tokyo.

“Aku hanya ingin memastikan,” jawab Masumi. Tangannya masih sibuk dengan handphone untuk melakukan panggilan. Sayangnya handphone Maya masih tidak aktif. Bayangan terburuk Masumi saat ini adalah Maya sedang bersama dengan Koji. Dalam hati dia berdoa semoga dugaannya salah.

Dua puluh menit berlalu dan itu menjadi waktu yang sangat lama bagi Masumi. Mobil berhenti di basement apartement Koji. Masumi langsung turun meski Hijiri belum mematikan mesin mobil. Dengan langkah panjang dia menuju lift, menekan tombol dengan tergesa. Bahkan menunggu pintu lift terbuka menjadi sebuah penantian yang menyiksa bagi Masumi. Tak lama kemudian, Hijiri sudah berdiri di sebelahnya.

Pintu lift berdenting lalu terbuka di lantai lima belas. Langkah panjang Masumi tampak lebih tenang meski hatinya terasa semakin kacau. Direktur itu menghela napas begitu berhenti di depan sebuah pintu. Hijiri mengambil inisiatif untuk menekan bel.

Tak lama kemudian pintu terbuka, menampilkan senyum serupa seringai menyebalkan dari Koji. Sepertinya pemuda itu memang menunggu kedatangan Masumi.

Melihat ekspresi wajah Koji membuat pertahanan diri Masumi runtuh. Dengan kuat dia mendorong pintu hingga membuat pemuda itu ikut terdorong ke belakang, hampir terjatuh. Tidak sampai di situ, Masumi meraih leher kemeja Koji dan menatapnya tajam. Sementara Hijiri justru dengan tenang menutup pintu lalu menguncinya setelah memastikan tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu.

“Anda datang untuk ini?” seringai masih menghiasi wajah Koji.

“Dimana Maya?” desis Masumi penuh emosi tepat di depan wajah pemuda itu.

Kening Koji berkerut tapi kemudian pemuda itu terbahak, membuat Masumi melonggarkan cengkramannya. Koji dengan cepat menepis tangan Masumi, tawanya belum berhenti. “Jadi Maya pergi?”

“Kenapa kau dan Maya menemui Dokter Hayate?” tanya Masumi kemudian. Dia tidak mengerti dengan tingkah Koji. Sementara Hijiri masih mengamati dan menjaga jarak dari sang tuan.

Pemuda itu menggeleng dengan ekspresi geli, masih menatap Masumi dengan cara yang provokatif. “Jadi dia tidak mengatakan apa pun dan justru memilih untuk pergi?” Koji melanjutkan tawanya, sarkatis. “Aku tidak menyangka kau mencintainya sedalam itu, Maya,” katanya seolah Maya berada di depannya. Sayang, pemuda itu gagal menyembunyikan ekspresi terlukanya saat menyebut nama Maya.

Masumi merasa semakin geram melihat tingkah aneh Koji juga perkataannya yang membingungkan. “Katakan padaku, dimana Maya?” tanya Masumi lagi dengan kalimat yang penuh penekanan. Kesabarannya semakin menipis.

“Saya tidak tahu,” jawab Koji santai seraya mengedikkan bahu. “Tapi-,” pemuda itu menjeda perkataannya, melirik pada Hijiri yang masih tampak tenang, “-kalau pun saya tahu, saya tidak akan memberitahukannya pada Anda.”

Tepat saat Koji menyelesaikan perkataannya, tubuhnya tersungkur di lantai.

“Jangan memancing amarahku, Koji,” kata Masumi dengan nada geram.

Menyentuh rahangnya yang berdenyut nyeri, Koji mengangkat wajah untuk menatap Masumi. “Anda datang dengan kemarahan, Tuan Masumi. Bagian mana saya memancingnya?”

Masumi mengepalkan tangan, menahan tinjunya kembali melayang. Pria itu diam saat melihat Koji bangun dengan perlahan. Matanya mengamati setiap gerak pemuda yang kini berdiri di depannya.

“Saya tidak akan pernah menyerah,” desis Koji diiringi sebuah pukulan yang menyasar perut Masumi.

Sayangnya gerakan itu terbaca, Masumi dengan mudah menangkisnya dan berbalik memberikan sebuah pukulan. Tangan Koji yang berada dalam cengkramannya di tarik, Masumi memiringkan tubuhnya demi menghadiahi Koji sebuah pukulan dari lutut tepat di ulu hatinya. Sekali lagi pemuda itu jatuh berlutut, batuk dengan keras.

Tepukan di bahu membuat Masumi berjenggit. Dia menoleh dan mendapati Hijiri di sebelahnya.

“Sebaiknya kita pergi, Tuan,” kata Hijiri tenang. Dia merasa Masumi sudah cukup memberi Koji pelajaran. Jika tidak mengingat kondisi kesehatan sang tuan, Hijiri pasti akan membiarkan Masumi melampiaskan amarahnya.

Menghela napas perlahan, Masumi tahu harus segera mengendalikan diri. Dia melirik Koji yang masih terbatuk kemudian memutar langkah lalu berjalan ke arah pintu. Sepertinya memang percuma mencari jawaban dari Koji. Meski begitu, Masumi cukup senang bisa memberikan pemuda itu sedikit pelajaran. Ah, Masumi sedikit lebih tenang karena dugaannya salah. Maya tidak sedang bersama Koji. Tapi pertanyaannya juga belum terjawab, untuk apa Maya dan Koji menemui Dokter Hayate?

Perjalanan menuruni lift kali ini terasa singkat. Tepat saat Masumi keluar, sebuah pemikiran melintas di dalam kepalanya.

“Sial, kenapa aku tidak berpikir kalau Maya mungkin ada di apartemennnya?” kata Masumi tiba-tiba.

Dan perkataan Masumi juga seakan menampar Hijiri. Pria kepercayaan Masumi itu mendadak merasa jadi orang idiot. Dia juga tidak berpikir Maya akan berada di apartemennya. Tanpa menunggu perintah, Hijiri segera mengikuti langkah cepat sang tuan menuju mobil.

***

Hijiri membuka pintu apartemen Maya dengan kunci duplikat yang dimilikinya. Sejak tadi dia dan Masumi sudah menekan bel tapi tak ada tanda-tanda Maya berada di dalam. Perasaan Masumi semakin gelisah. Dia dan Hijiri bergegas masuk begitu pintu terbuka.

Ruang tamu tampak terang dan kosong. Masumi melihat pintu kamar terbuka dan segera melangkahkan kaki kesana. Gelap. Dia pun menyalakan lampu kamar.

“Kamar mandi,” kata Hijiri begitu mendengar suara kran.

“Maya?” Masumi mengetuk pintu kamar mandi. Mendengar tidak ada jawaban dari dalam, dia pun memutar handle pintu. Dan apa yang dilihatnya di dalam membuat kepanikan Masumi berada di tingkat tertinggi. “Maya!”

Hijiri segera mematikan kran shower sementara Masumi mengangkat tubuh Maya yang dingin dan terkulai lemas.

“Ambilkan handuk dan pakaian!” perintah Masumi pada Hijiri sembari menepuk-nepuk pipi kekasihnya. “Maya, bangunlah.”

Hijiri kembali ke kamar mandi dengan membawa dua buah handuk juga piyama. Dia membentangkan satu handuk di lantai kamar mandi yang kering lalu meminta Masumi membaringkan Maya disana.

Dengan hati-hati Masumi membaringkan kekasihnya. Hijiri berlutut di sisi lain Maya lalu membantu Masumi mengeringkan tubuh gadis itu dengan handuk. Masumi terpaku saat hendak membuka kancing pakaian Maya. Dia pun menoleh pada Hijiri.

“Maaf.” Hijiri cukup mengerti arti pandangan sang tuan. Dia pun memberikan handuk juga pakaian Maya pada Masumi lalu beranjak dari tempatnya.

“Hubungi Dokter Hayate,” kata Masumi.

“Baik Tuan.” Dan Hijiri pun menghilang di balik pintu.

Kembali memberikan perhatian penuh pada kekasihnya yang masih tidak sadarkan diri, Masumi membuka pakaian gadis itu dengan hati-hati. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri karena terpaksa harus melakukan hal ini. Masumi bahkan tidak dapat menahan wajahnya memanas saat harus membuka pakaian dalam Maya. Gadis itu sekarang terbaring polos. Masumi pasti hilang akal jika tidak melihat wajah pucat Maya juga buku-buku jari tangannya yang berkerut memutih.

“Ugh!” Masumi merasakan nyeri di perut saat baru saja selesai dengan piyama Maya. Dia bertumpu pada lutut, menekan perutnya perlahan. Masumi mengatur napas untuk mengendalikan rasa sakitnya. Tangannya menggenggam tangan Maya dan merasakan betapa dinginnya tangan gadis itu. Rasa khawatirnya lebih besar dibanding rasa sakitnya. Saat nyerinya mulai mereda, Masumi menghela napas lebih dalam, terduduk di lantai yang dingin. Perlahan, dia menggendong Maya dan membawanya ke kamar.

 ***

A/N : Sebenarnya pengen lanjut sampe dokter Hayate datang terus cerita ke Masumi. Tapi ... kayaknya enakan dipotong di sini aja wkwkwkwkw. Happy reading ya

>>Bersambung<<

>>Heart - Chapter 15<<

>>Heart - Chapter 17<<

Post a Comment

5 Comments

  1. Arrrgh makin penasaraaaan.
    Please jangan buarkan Masumi menderita mbaaak. Sakit hatikuuuu hiks.

    ReplyDelete
  2. Emang koji...
    eh baru ini nemu Koji yg rusuh... gpplah skali2 batu sandungannya si ioji

    ReplyDelete
  3. yaaaa tuhaaaannn... desperate berjamaah....
    nyesek-senyeseknya....
    nggak ngerti lagi....

    ReplyDelete
  4. Mba agnes, makasi buat updet nya, aku menunggu selalu tulisan mba, suka semua!!!

    ReplyDelete