Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Matahari masih di atas
kepala saat Maya turun dari taksi di depan apartemennya. Dia berjalan dalam
diam menyusuri koridor. Aktris cantik itu mengabaikan beberapa orang yang
berpapasan dengannya. Sembari membenahi kaca mata hitamnya, Maya mempercepat
langkah.
Gadis itu tergesa
memasuki apartemen. Ruangan gelap menyambutnya, Maya menghidupkan lampu ruang
tamu lalu berjalan ke kamar. Setelah melepas jaket dan kaca mata, dia kemudian
masuk ke kamar mandi. Maya butuh air dingin untuk menyejukkan pikirannya.
Batalkan
pernikahanmu dan aku akan menyerahkan hatiku.
Kalimat itu terus
berdengung di dalam kepala Maya. Gadis itu berdiri di bawah shower air dingin tanpa melepas
pakaiannya. Air matanya tak lagi bisa dibendung, dadanya terasa sesak. Maya
jatuh berlutut lalu tenggelam dalam isakan panjang.
Di kantor Daito, Masumi
tengah memeriksa laporan saat kemudian tangannya tidak sengaja mengenai cangkir
kopi hingga jatuh. Porselen cantik itu pecah saat menyentuh lantai.
“Tuan?” Mizuki bergegas
memutari meja dan mengamati sekitar, “Anda baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja.”
Masumi juga terkejut dengan apa yang terjadi.
“Saya akan panggilkan office boy.” Dengan cepat sekretaris itu
menekan satu angka pada tombol panggilan cepat, meminta seorang office boy datang dengan membawa
peralatan kebersihan.
“Tolong bereskan, aku ke
kamar kecil sebentar.” Direktur Daito itu beranjak dari kursinya.
“Baik, Tuan,” jawab
Mizuki sembari mengangguk hormat lalu memisahkan dokumen yang sudah ditanda
tangani oleh Masumi.
Masumi mencuci tangan di
wastafel lalu menatap wajahnya di depan cermin toilet. Perasaannya tidak
tenang. Dia merasakan sesuatu yang salah sedang terjadi, tapi tidak tahu apa.
Mata Masumi mengamati air kran yang deras mengalir. Hatinya kembali berdesir
tidak nyaman. Seingatnya, semua pekerjaan sudah selesai dengan baik. Bahkan dua
hari lagi dia bisa mulai cuti untuk benar-benar mempersiapkan diri dengan
pernikahan.
Sebuah ketukan di pintu
toilet membuat Masumi tergesa mematikan kran lalu membuka pintu.
“Ada apa?” tanyanya pada
Mizuki yang menunggunya di depan pintu.
“Maaf, Tuan. Yukari
datang dan mengatakan ingin bertemu dengan Nona. Apa Anda tahu dimana Nona
Maya?” tanya sang sekretaris itu dengan hati-hati. Mizuki memiliki firasat
tidak enak karena setahunya sang nona tidak berada di kantor dan Masumi juga
tidak membicarakannya seharian ini.
“Apa maksudmu? Maya ada
di rumah,” jawab Masumi bingung. Dia mengalihkan perhatiannya pada Yukari yang
berdiri tidak jauh dari meja kerjanya. “Apa yang terjadi?” tanyanya kemudian.
Kekhawatiran semakin
terlihat di wajah Yukari. Menejer itu menggeleng dengan tangan bertaut gelisah.
“Saya dari mansion Hayami untuk menemui Nona Maya. Tapi Bibi Harada dan Tuan
Asa mengatakan kalau Nona Maya pergi untuk mengurus kontrak di kantor Daito.
Mereka justru bertanya kenapa saya tidak bersama Nona. Karena itu saya datang
untuk memastikan Nona berada di sini.”
Tentu saja penjelasan
Yukari membuat Masumi terkejut. Dia bergegas menuju meja kerjanya untuk
mengambil handphone. Tapi belum
sempat sang direktur itu membuat panggilan, Yukari kembali bicara-,
“Handphone Nona Maya tidak aktif,” terangnya.
-dan Masumi tetap
melakukan panggilan sampai suara operator membuatnya berdecak kesal. Dia pun
mencoba menghubungi Asa. “Jam berapa kau datang mencari Maya?” tanya Masumi
sembari menunggu panggilannya dijawab.
“Sekitar pukul 12.00,”
jawab Yukari.
Masumi melihat jam
tangannya yang menunjukkan pukul 13.30. “Halo, Paman Asa?” katanya begitu
panggilannya di angkat.
“Ada apa Tuan Muda?”
tanya Asa dari seberang sana.
“Apa Paman tahu kemana
Maya pergi?” Masumi tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya.
“Jadi Nona Maya tidak
pergi ke kantor Daito?” Asa justru balik bertanya.
Masumi mengeratkan
genggamannya pada handphone. Jadi ini
yang sejak tadi mengganggu perasaannya? “Jam berapa Maya pergi?” tanyanya
berusaha untuk tetap tenang.
“Sekitar pukul 09.00,
Nona mengatakan kalau ada masalah kontrak yang harus diselesaikan di kantor
Daito. Dia bahkan memanggil taksi karena terburu-buru dan menolak diantar oleh
sopir.” Asa menjelaskan. Dia juga khawatir dengan keadaan sang nona.
“Taksi?” Perasaan Masumi
semakin tidak enak. Dia pun segera menutup panggilan setelah berjanji akan
memberi kabar jika menemukan Maya. Menghela napas panjang, Masumi mengendurkan
dasinya. “Dimana Hijiri?”
“Tuan Hijiri sedang rapat
dengan divisi keuangan,” jawab Mizuki cepat.
Masumi tiba-tiba teringat
akan Rei. Dia pun segera menghubungi sahabat Maya itu. Bukankah semalam dia
bertelepon dengan Maya? Siapa tahu kekasihnya berada di sana.
“Halo, Nona Aoki,” sapa
Masumi setenang mungkin. Mizuki dan Yukari menatapnya dalam diam.
“Ya, Tuan Masumi?” Dan
Rei terdengar cukup terkejut dengan panggilan yang tidak biasa itu.
“Iya, ini aku Masumi.
Maaf jika mengganggu waktumu,” ucap Masumi basa-basi. Tangannya terkepal di
atas meja, berusaha menahan emosinya.
“Tidak apa-apa. Apakah
ada sesuatu yang penting? Tidak biasanya Anda menghubungi saya,” Rei justru tidak
basa-basi.
Masumi mengeratkan mata
di tengah pikirannya yang berputar. Pertanyaan Rei sudah cukup menjelaskan
kalau Maya tidak bersama dengannya. Masumi pun mencari alasan. “Tidak, aku
hanya ingin memastikan. Apa Maya sudah memberitahumu mengenai upacara
pernikahan minggu depan? Maya sangat ingin kau hadir sebagai pendampingnya.”
Hanya itu alasan masuk akal yang bisa ditemukan Masumi.
“Sudah Tuan Masumi.
Semalam Maya sudah menghubungi saya juga teman-teman teater lainnya. Anda
jangan khawatir, saya pasti akan datang dan mendampingi Maya di hari bahagianya,”
ucap Rei dengan tulus.
“Terima kasih. Sekali
lagi maaf sudah mengganggu waktumu. Sampai jumpa, Nona Aoki.” Masumi pun
mengakhiri panggilannya lalu menatap dua wanita di depannya. “Maya tidak
bersama Rei,” gumamnya yang kemudian menghempaskan diri di atas kursi kerja.
“Maaf Tuan, apa Nona Maya
tidak mengatakan apa pun pada Anda pagi ini?” tanya Mizuki pada Masumi yang
kini melepas dasi juga kancing teratas kemejanya.
“Tidak,” jawab Masumi
sembari menggeleng. “Maya justru mengatakan akan berada di rumah untuk membantu
mengawasi pekerja yang sedang menata taman belakang.” Masumi sama sekali tidak
punya bayangan kemana Maya pergi.
Geram dengan kebingungannya,
Masumi kembali meraih handphone. Tak
lama sampai panggilannya di jawab, “Hijiri, ke ruanganku sekarang!” perintah
Masumi tanpa peduli dengan apa yang tengah dilakukan oleh wakil direkturnya
itu. Saat ini dia butuh Hijiri.
***
Tiga puluh menit berlalu
dan ketegangan di ruang kerja Masumi belum berkurang. Hijiri menghubungi anak
buahnya, memerintahkan mereka untuk mencari Maya. Handphone Maya yang mati membuat Hijiri kesulitan melacak
keberadaan sang nona. Dia sedang duduk di depan laptop dengan wajah serius.
Sementara Masumi menunggu dengan gelisah di sebelahnya.
“Bagaimana?” tanya Masumi
untuk kesekian kalinya pada Hijiri yang tengah mengutak-atik perangkat pencari
untuk melacak keberadaan Maya. Kening Hijiri yang berkerut dalam membuat Masumi
semakin tidak tenang. “Tunggu, ini-,” Masumi menjeda kalimatnya sementara
telunjuknya menunjuk satu titik di layar
laptop. “Rumah sakit?” lirihnya ragu.
“Benar Tuan, lokasi
terakhir Nona Maya terlacak di sekitar rumah sakit sekitar pukul 11.00.
Setelahnya kemungkinan handphone Nona
mati sehingga koneksi terputus.” Hijiri menjelaskan.
Handphone
Maya memang terhubung dengan perangkat pelacak milik Hijiri. Tentu saja semua
itu atas perintah Masumi untuk mengantisipasi hal semacam ini. Sayangnya, jika handphone mati maka koneksi juga akan
terputus.
“Untuk apa Maya ke rumah
sakit?” gumam Masumi kemudian.
“Apa Nona Maya sakit?”
tanya Yukari.
Masumi menggeleng. “Pagi
tadi dia terlihat baik-baik saja.”
“Atau Nona bertemu dengan
Dokter Hayate?” kali ini Mizuki yang menarik kemungkinan lain.
Masumi dan Hijiri
langsung bertukar pandang. Kembali membuka handphone,
Masumi mencari satu nama di daftar lalu melakukan panggilan.
“Selamat siang, Dokter
Hayate,” sapa Masumi.
“Selamat siang, Tuan
Masumi. Anda baik-baik saja?” tanya suara di seberang sana. Tidak biasanya Tuan
Muda Hayami itu menghubunginya. Dokter Hayate lebih sering berhubungan dengan
Hijiri, Mizuki dan Maya jika menyangkut kesehatannya.
“Maaf, saya mungkin
mengganggu waktu kerja Anda,” kata Masumi yang berusaha tetap tenang.
“Tidak, tidak apa-apa
Tuan Masumi. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya dokter itu lagi.
“Saya ingin bertanya, apa
tadi Maya menemui Anda?” Masumi sendiri terdengar ragu akan pertanyannya.
“Ah, Nona Kitajima.
Benar, tadi kami bertemu dan membicarakan beberapa hal. Apa Nona sudah
menceritakan semuanya pada Anda?” Dokter Hayate juga cukup penasaran dengan
jawaban Masumi mengenai proses transplantasinya. Dia berharap semua bisa
berjalan dengan lancar.
Kening Masumi berkerut. Jadi benar Maya bertemu Dokter Hayate?
batin Masumi. “Tidak, saya belum bertemu dengan Maya,” jawabnya. “Kalau boleh
saya tahu, pukul berapa kira-kira Maya pulang dokter?”
“Sekitar pukul 11.00,
kami tidak terlalu lama bertemu. Saya hanya menjelaskan beberapa hal lalu Nona
Maya pulang bersama dengan Tuan Sakurakoji.”
“Sakurakoji?” seru Masumi
tanpa sadar. Apalagi ini?
Semua perhatian langsung
tertuju pada Masumi saat mendengar nama Koji disebut.
Mendengar reaksi Masumi
membuat Dokter Hayate membatasi penjelasannya. Dia yakin kalau Masumi sama
sekali belum tahu tentang rencana donor hati itu. “Benar, sebaiknya Anda
bertemu dulu dengan Nona Maya dan mendengar penjelasannya bersama Tuan
Sakurakoji. Saya tidak bisa banyak menjelaskan melalui telepon.”
“Terima kasih, Dokter.”
Masumi pun mengakhiri panggilannya.
Suasana menjadi hening.
Masumi menghela napas lalu menyandarkan tubuhnya pada sofa, memijat pangkal
hidung untuk meredakan ketegangannya. Apa
sekarang Maya bersama dengan Koji? Batinnya kalut.
Sementara Hijiri, Mizuki
dan Yukari hanya bisa bertukar pandang dalam diam.
***
“Tuan, Anda yakin?” Hijiri
bertanya saat melihat wajah serius Masumi. Keduanya sudah berada di dalam
mobil, melaju di tengah padatnya lalu lintas kota Tokyo.
“Aku hanya ingin
memastikan,” jawab Masumi. Tangannya masih sibuk dengan handphone untuk melakukan panggilan. Sayangnya handphone Maya masih tidak aktif. Bayangan terburuk Masumi saat ini
adalah Maya sedang bersama dengan Koji. Dalam hati dia berdoa semoga dugaannya
salah.
Dua puluh menit berlalu
dan itu menjadi waktu yang sangat lama bagi Masumi. Mobil berhenti di basement apartement Koji. Masumi
langsung turun meski Hijiri belum mematikan mesin mobil. Dengan langkah panjang
dia menuju lift, menekan tombol dengan tergesa. Bahkan menunggu pintu lift
terbuka menjadi sebuah penantian yang menyiksa bagi Masumi. Tak lama kemudian,
Hijiri sudah berdiri di sebelahnya.
Pintu lift berdenting
lalu terbuka di lantai lima belas. Langkah panjang Masumi tampak lebih tenang
meski hatinya terasa semakin kacau. Direktur itu menghela napas begitu berhenti
di depan sebuah pintu. Hijiri mengambil inisiatif untuk menekan bel.
Tak lama kemudian pintu
terbuka, menampilkan senyum serupa seringai menyebalkan dari Koji. Sepertinya
pemuda itu memang menunggu kedatangan Masumi.
Melihat ekspresi wajah
Koji membuat pertahanan diri Masumi runtuh. Dengan kuat dia mendorong pintu
hingga membuat pemuda itu ikut terdorong ke belakang, hampir terjatuh. Tidak
sampai di situ, Masumi meraih leher kemeja Koji dan menatapnya tajam. Sementara
Hijiri justru dengan tenang menutup pintu lalu menguncinya setelah memastikan
tidak ada seorang pun yang melihat kejadian itu.
“Anda datang untuk ini?”
seringai masih menghiasi wajah Koji.
“Dimana Maya?” desis
Masumi penuh emosi tepat di depan wajah pemuda itu.
Kening Koji berkerut tapi
kemudian pemuda itu terbahak, membuat Masumi melonggarkan cengkramannya. Koji
dengan cepat menepis tangan Masumi, tawanya belum berhenti. “Jadi Maya pergi?”
“Kenapa kau dan Maya
menemui Dokter Hayate?” tanya Masumi kemudian. Dia tidak mengerti dengan
tingkah Koji. Sementara Hijiri masih mengamati dan menjaga jarak dari sang
tuan.
Pemuda itu menggeleng
dengan ekspresi geli, masih menatap Masumi dengan cara yang provokatif. “Jadi
dia tidak mengatakan apa pun dan justru memilih untuk pergi?” Koji melanjutkan
tawanya, sarkatis. “Aku tidak menyangka kau mencintainya sedalam itu, Maya,”
katanya seolah Maya berada di depannya. Sayang, pemuda itu gagal menyembunyikan
ekspresi terlukanya saat menyebut nama Maya.
Masumi merasa semakin
geram melihat tingkah aneh Koji juga perkataannya yang membingungkan. “Katakan
padaku, dimana Maya?” tanya Masumi lagi dengan kalimat yang penuh penekanan.
Kesabarannya semakin menipis.
“Saya tidak tahu,” jawab
Koji santai seraya mengedikkan bahu. “Tapi-,” pemuda itu menjeda perkataannya,
melirik pada Hijiri yang masih tampak tenang, “-kalau pun saya tahu, saya tidak
akan memberitahukannya pada Anda.”
Tepat saat Koji
menyelesaikan perkataannya, tubuhnya tersungkur di lantai.
“Jangan memancing
amarahku, Koji,” kata Masumi dengan nada geram.
Menyentuh rahangnya yang
berdenyut nyeri, Koji mengangkat wajah untuk menatap Masumi. “Anda datang
dengan kemarahan, Tuan Masumi. Bagian mana saya memancingnya?”
Masumi mengepalkan
tangan, menahan tinjunya kembali melayang. Pria itu diam saat melihat Koji bangun
dengan perlahan. Matanya mengamati setiap gerak pemuda yang kini berdiri di
depannya.
“Saya tidak akan pernah
menyerah,” desis Koji diiringi sebuah pukulan yang menyasar perut Masumi.
Sayangnya gerakan itu
terbaca, Masumi dengan mudah menangkisnya dan berbalik memberikan sebuah
pukulan. Tangan Koji yang berada dalam cengkramannya di tarik, Masumi memiringkan
tubuhnya demi menghadiahi Koji sebuah pukulan dari lutut tepat di ulu hatinya.
Sekali lagi pemuda itu jatuh berlutut, batuk dengan keras.
Tepukan di bahu membuat
Masumi berjenggit. Dia menoleh dan mendapati Hijiri di sebelahnya.
“Sebaiknya kita pergi,
Tuan,” kata Hijiri tenang. Dia merasa Masumi sudah cukup memberi Koji
pelajaran. Jika tidak mengingat kondisi kesehatan sang tuan, Hijiri pasti akan
membiarkan Masumi melampiaskan amarahnya.
Menghela napas perlahan,
Masumi tahu harus segera mengendalikan diri. Dia melirik Koji yang masih
terbatuk kemudian memutar langkah lalu berjalan ke arah pintu. Sepertinya
memang percuma mencari jawaban dari Koji. Meski begitu, Masumi cukup senang
bisa memberikan pemuda itu sedikit pelajaran. Ah, Masumi sedikit lebih tenang
karena dugaannya salah. Maya tidak sedang bersama Koji. Tapi pertanyaannya juga
belum terjawab, untuk apa Maya dan Koji
menemui Dokter Hayate?
Perjalanan menuruni lift
kali ini terasa singkat. Tepat saat Masumi keluar, sebuah pemikiran melintas di
dalam kepalanya.
“Sial, kenapa aku tidak
berpikir kalau Maya mungkin ada di apartemennnya?” kata Masumi tiba-tiba.
Dan perkataan Masumi juga
seakan menampar Hijiri. Pria kepercayaan Masumi itu mendadak merasa jadi orang
idiot. Dia juga tidak berpikir Maya akan berada di apartemennya. Tanpa menunggu
perintah, Hijiri segera mengikuti langkah cepat sang tuan menuju mobil.
***
Hijiri membuka pintu
apartemen Maya dengan kunci duplikat yang dimilikinya. Sejak tadi dia dan
Masumi sudah menekan bel tapi tak ada tanda-tanda Maya berada di dalam. Perasaan
Masumi semakin gelisah. Dia dan Hijiri bergegas masuk begitu pintu terbuka.
Ruang tamu tampak terang
dan kosong. Masumi melihat pintu kamar terbuka dan segera melangkahkan kaki
kesana. Gelap. Dia pun menyalakan lampu kamar.
“Kamar mandi,” kata
Hijiri begitu mendengar suara kran.
“Maya?” Masumi mengetuk
pintu kamar mandi. Mendengar tidak ada jawaban dari dalam, dia pun memutar handle pintu. Dan apa yang dilihatnya di
dalam membuat kepanikan Masumi berada di tingkat tertinggi. “Maya!”
Hijiri segera mematikan kran
shower sementara Masumi mengangkat
tubuh Maya yang dingin dan terkulai lemas.
“Ambilkan handuk dan
pakaian!” perintah Masumi pada Hijiri sembari menepuk-nepuk pipi kekasihnya. “Maya,
bangunlah.”
Hijiri kembali ke kamar
mandi dengan membawa dua buah handuk juga piyama. Dia membentangkan satu handuk
di lantai kamar mandi yang kering lalu meminta Masumi membaringkan Maya disana.
Dengan hati-hati Masumi
membaringkan kekasihnya. Hijiri berlutut di sisi lain Maya lalu membantu Masumi
mengeringkan tubuh gadis itu dengan handuk. Masumi terpaku saat hendak membuka
kancing pakaian Maya. Dia pun menoleh pada Hijiri.
“Maaf.” Hijiri cukup
mengerti arti pandangan sang tuan. Dia pun memberikan handuk juga pakaian Maya pada
Masumi lalu beranjak dari tempatnya.
“Hubungi Dokter Hayate,”
kata Masumi.
“Baik Tuan.” Dan Hijiri
pun menghilang di balik pintu.
Kembali memberikan
perhatian penuh pada kekasihnya yang masih tidak sadarkan diri, Masumi membuka
pakaian gadis itu dengan hati-hati. Dalam hati dia merutuki dirinya sendiri
karena terpaksa harus melakukan hal ini. Masumi bahkan tidak dapat menahan
wajahnya memanas saat harus membuka pakaian dalam Maya. Gadis itu sekarang terbaring
polos. Masumi pasti hilang akal jika tidak melihat wajah pucat Maya juga
buku-buku jari tangannya yang berkerut memutih.
“Ugh!” Masumi merasakan
nyeri di perut saat baru saja selesai dengan piyama Maya. Dia bertumpu pada lutut,
menekan perutnya perlahan. Masumi mengatur napas untuk mengendalikan rasa sakitnya.
Tangannya menggenggam tangan Maya dan merasakan betapa dinginnya tangan gadis
itu. Rasa khawatirnya lebih besar dibanding rasa sakitnya. Saat nyerinya mulai
mereda, Masumi menghela napas lebih dalam, terduduk di lantai yang dingin. Perlahan,
dia menggendong Maya dan membawanya ke kamar.
***
A/N : Sebenarnya pengen lanjut sampe dokter Hayate datang terus cerita ke Masumi. Tapi ... kayaknya enakan dipotong di sini aja wkwkwkwkw. Happy reading ya
>>Bersambung<<
5 Comments
Arrrgh makin penasaraaaan.
ReplyDeletePlease jangan buarkan Masumi menderita mbaaak. Sakit hatikuuuu hiks.
Emang koji...
ReplyDeleteeh baru ini nemu Koji yg rusuh... gpplah skali2 batu sandungannya si ioji
yaaaa tuhaaaannn... desperate berjamaah....
ReplyDeletenyesek-senyeseknya....
nggak ngerti lagi....
Mba agnes, makasi buat updet nya, aku menunggu selalu tulisan mba, suka semua!!!
ReplyDeleteEp 17 Mba Agnes. Mkasih
ReplyDelete