Disclaimer : Garasu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku iri pada cinta
***
=========================================================================
Malam yang tenang, Masumi
berdiri di ambang pintu balkon, menatap taman belakang yang disinari oleh
lampu. Sudah dua hari dia menghabiskan waktu di rumah setelah keluar dari rumah
sakit. Tentu saja itu adalah aturan dari Maya. Kekasih mungilnya itu melarang
Masumi untuk bekerja sebelum kondisinya benar-benar sehat. Menggelikan, entah
definisi sehat seperti apa yang ada dalam bayangan Maya saat ini. Dalam hati
Masumi menertawakan dirinya sendiri.
“Apa yang aku lakukan
sebenarnya?” gumamnya lirih pada dirinya sendiri.
Di dalam kepalanya masih
terngiang teriakan Koji. Pemuda itu membuat segalanya tampak begitu konyol.
Pernikahan dan segala hal tentang cinta yang diagungkannya, Masumi menyeringai,
apa arti semua itu? Batinnya
bertanya.
Bukankah benar jika
hubungan ini hanya akan memberi luka yang dalam pada Maya? Bisakah dia mati
dalam damai dan meninggalkan Maya sendiri? Masumi lagi-lagi membenarkan
perkataan Koji. Dirinya memang egois. Dia hanya akan membuat Maya menderita.
“Tuhan, apa yang harus
aku lakukan sekarang?” lirihnya seraya memandang langit malam tanpa bintang.
Ah, bukankah langit itu seperti hatinya saat ini? Dingin dan kelam. “Akankah
Kau mengampuniku, jika aku ingin bersikap egois untuk memilikinya?”
Tiba-tiba Masumi terkekeh
saat sebuah ide melintas di dalam kepalanya. “Atau, jika aku mati sekarang, apa
itu akan menyelesaikan semuanya?” lirihnya dengan suara parau. Sekali lagi dia
menatap ke langit, berharap Tuhan segera menjawab pertanyaannya.
***
Maya berputar anggun di
depan cermin besar. Gaun pengantin berwarna putih gading yang di kenakannya
tampak begitu cocok dengan tubuh mungilnya. Senyum gadis itu mengembang. Mizuki
dan Koto, sang designer, yang berdiri tak jauh darinya ikut tersenyum. Perhatian
Maya teralihkan pada sosok calon suaminya yang duduk di sofa panjang.
"Masumi?"
panggil Maya saat menyadari pria itu tengah melamun.
Sesaat Masumi tampak
terkejut tapi dengan cepat ekspresinya kembali tenang. Mengamati Maya dalam
balutan gaun pengantin, Masumi tersenyum simpul. "Kau sangat cantik. Gaun
itu cocok denganmu," komentarnya.
"Tapi kau melamun
sejak tadi. Apa ada masalah?" tanya Maya yang mengabaikan pujian calon
suaminya. Dia lebih khawatir dengan kondisi Masumi.
"Tidak, tidak ada
masalah. Semua baik-baik saja," jawab Masumi meyakinkan. Dia berdiri lalu
berjalan menghampiri calon istrinya. Mengabaikan keberadaan Mizuki dan Koto,
Masumi meraih pinggul Maya dan memberikan sebuah kecupan di kening. "Aku
tidak sabar melihatmu memakainya di hari pernikahan kita," ucapnya.
Wajah Maya langsung
merona. "Hm," gumamnya lirih. Dari sudut mata Maya bisa melihat
Mizuki yang menyeringai tipis dan designer yang ikut merona melihat sikap
Masumi.
"Jadi, Anda berdua
sudah cocok dengan gaun juga tuxedo pengantinnya?" sela Mizuki yang
langsung membuat Masumi menoleh padanya.
Direktur Daito itu
mengangguk. "Bagaimana denganmu, Maya?"
"Aku suka gaun ini.
Mungkin hanya sedikit perbaikan di beberapa tempat. Selebihnya tak
masalah," jawabnya.
Koto tentunya senang mendengar
hal itu. Pernikahan Masumi dan Maya hanya tinggal seminggu lagi, akan sangat
merepotkan kalau keduanya melakukan banyak perubahan. Dia sudah cukup
dipusingkan dengan permintaan Maya yang tiba-tiba mempercepat penikahannya. "Tunjukkan
pada saya bagian yang ingin Anda perbaiki, Nona Kitajima," ucapnya
kemudian.
Masumi melepaskan
lengannya dari pinggul Maya dan memberikan ruang untuk Koto menandai beberapa
bagian yang ingin di rubah. Dia kembali duduk di sofa diikuti oleh Mizuki.
Menghela napas perlahan, Masumi merasakan hatinya tidak tenang saat memandang
Maya.
"Apa Anda akan
kembali ke kantor setelah ini?" Pertanyaan Mizuki membuat fokus Masumi teralihkan.
"Ya, bukankah ada
rapat sore ini?" tanya Masumi memastikan jadwalnya.
Mizuki mengangguk sopan.
"Tapi Tuan Hijiri bisa menggantikan jika Anda memang tidak bisa
hadir," terangnya. Mizuki tahu kalau kondisi Masumi belum pulih sepenuhnya
pasca keluar dari rumah sakit tiga hari yang lalu.
"Tidak perlu. Aku
masih sanggup," jawab Masumi datar. Dia tahu Mizuki mengkhawatirkannya
tapi Masumi tidak mau seenaknya melepas tanggung jawab jika bukan dalam kondisi
terdesak.
Maya yang berjalan menghampiri
Masumi membuat Mizuki diam.
"Aku akan berganti
pakaian," kata Maya saat Masumi kembali menatapnya dan mengulas senyum.
"Baiklah, aku menunggu
disini," jawab Masumi. Dilihatnya Maya berjalan ke ruang ganti bersama
Koto, kembali meninggalkannya berdua dengan Mizuki. Keduanya hanya menunggu
dalam diam.
"Mizuki?"
panggil Masumi lirih. Matanya masih menatap pintu ruang ganti yang tertutup.
Mizuki yang berdiri di
sebelah Masumi tampak heran dengan sikap sang atasan. "Ya, Tuan?"
"Apakah aku egois
jika ingin memilikinya?" tanya Masumi dengan nada datar.
Sekretaris cantik itu
mengernyit bingung dengan ucapan Masumi. "Maksud Anda-,"
"Lupakan," sela
Masumi cepat seraya berdiri hingga membuat Mizuki terkejut dan mundur satu
langkah. Masumi langsung menghampiri Maya yang baru saja keluar dari ruang
ganti.
"Aku akan
mengantarmu ke studio lalu kembali ke kantor." Masumi membantu Maya memakai
mantel panjangnya.
"Oke," jawab
Maya seraya mengikat tali mantelnya.
Mizuki terpaku mengamati
Masumi yang kini tampak biasa saja mengobrol dengan Maya dan Koto. Apa maksud pertanyaan tadi? pikir
Mizuki. Firasatnya tidak enak saat melihat ekspresi Masumi.
"Nona Mizuki?"
panggil Maya.
"Ah, iya."
Mizuki terkejut saat melihat Maya dan Masumi sudah berdiri di depannya.
Ternyata dia sempat melamun.
"Aku akan mengantar
Maya. Iwaguchi yang akan mengantarmu ke kantor," kata Masumi.
"Aku pinjam Tuan
Direktur sebentar ya," canda Maya hingga membuat Masumi terkekeh. Mizuki
hanya tersenyum lalu mengangguk hormat pada keduanya.
"Selamat jalan,
hati-hati," ucap Mizuki yang di balas lambaian tangan Maya. Masumi
menatapnya sekilas lalu berbalik pergi bersama calon istrinya.
"Mereka pasangan
yang serasi ya, aku jadi iri," ucap Koto yang tiba-tiba sudah berdiri di
sebelah Mizuki.
Sekretaris cantik itu
terkekeh pelan. "Ya, mereka memang pasangan serasi," ucapnya mantap.
Dalam hati Mizuki berdoa tidak ada lagi halangan untuk keduanya bahagia.
Semoga.
***
“Masumi?” Maya mengamati
kekasihnya yang sejak tadi tampak sibuk membaca pesan di handphone.
“Ya, sayang?” Merasa
sudah mengabaikan Maya, Masumi segera menutup handphone-nya. “Maaf,” ucapnya.
Maya menggeleng lalu
tersenyum. “Tidak, tidak, aku tidak masalah jika kau memang sedang sibuk.”
“Hanya memeriksa beberapa
laporan dari Hijiri.” Masumi merengkuh bahu Maya dan membuat gadis itu
bersandar di dadanya. Dia mencium aroma segar dari rambut Maya. “Apa malam ini
kau syuting sampai malam?” tanyanya kemudian.
“Semoga tidak, hanya
beberapa scene untuk iklan. Setelah ini semua pekerjaanku resmi selesai,” jelas
Maya.
“Kau tampak senang.”
Masumi memberi kecupan ringan di puncak kepala Maya.
“Tentu saja, setelah ini
aku bisa fokus pada pernikahan kita.” Maya menoleh dan menatap Masumi dengan
mata bulatnya, “Seminggu lagi kita akan menikah.”
Melihat ekspresi Maya
justru membuat Masumi terkekeh. “Kau terlihat bersemangat.”
“Tentu saja, apa kau
tidak bersemangat dengan pernikahan kita?” tanya Maya yang kemudian menegakkan
tubuhnya.
“Apa aku terlihat
begitu?” goda Masumi.
Sesaat Maya terdiam, dia
lalu memeluk lengan Masumi tanpa menjawab pertanyaannya.
“Maya?” Masumi justru
heran dengan tingkah kekasihnya. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyanya
seraya menyingkirkan rambut dari pipi Maya.
“Harusnya aku yang
bertanya seperti itu,” lirih Maya.
“Apa maksudmu?” perlahan
Masumi mengangkat dagu Maya hingga gadis itu menatapnya.
“Kau sedang memikirkan
sesuatu, benar bukan?” tanya Maya dengan mata lekat menatap kekasihnya.
“Aku memikirkan pernikahan
kita,” jawab Masumi setenang mungkin.
“Jangan berbohong,
Masumi.”
“Kenapa aku harus
berbohong?”
Melepaskan lengan Masumi,
Maya memilih bersandar pada jok mobil lalu menatap keluar jendela. Hatinya
dengan yakin mengatakan kalau Masumi menyembunyikan sesuatu.
“Maya?”
Gadis itu menoleh lalu
menghela napas panjang. “Kau yakin tidak mau menceritakannya padaku?”
“Cerita apa?” Masumi
justru balik bertanya. Dia tahu Maya merasakan kegalauan hatinya tapi Masumi
tidak mau membahas hal itu.
“Apapun itu yang nengganggu
pikiranmu saat ini,” jawab Maya.
Direktur tampan itu
justru tersenyum dan kembali menarik Maya ke dalam pelukannya. Tak hanya itu,
dia meraih dagu kekasihnya dan membuat mereka saling bertatapan. Tidak peduli
dengan Watanabe yang mungkin mencuri pandang ke arah mereka, Masumi mencium
bibir Maya dengan lembut. Meski terkejut tapi Maya tidak menolak. Gadis itu
memejamkan mata dan menikmati cara Masumi memujanya. Bibir mereka bertaut penuh
kelembutan. Maya merasa kehilangan saat Masumi melepas ciumannya.
“Cium aku lagi,” bisik
gadis itu di depan bibir kekasihnya.
Masumi menarik sudut
bibirnya dengan geli tapi tidak juga menolak permintaan Maya. Kali ini dia
menarik Maya ke atas pangkuannya dan kembali menciumnya. Maya dan Masumi sama
sekali tak melihat saat Watanabe kemudian mengendurkan dasinya dengan kening
penuh keringat.
***
Maya menyeka keringat
saat scene terakhir selesai. Syuting iklan ini adalah proyek terakhirnya.
Seperti harapannya, setelah ini Maya bisa fokus pada rencana pernikahannya.
“Proyek kita selesai
dengan baik, terima kasih semua atas kerja samanya,” ucap sang sutradara.
Maya pun membungkuk
hormat bersama para pemeran dan kru. Mereka sama-sama mengucapkan terima kasih.
Maki mengulurkan handuk
dan botol air mineral saat Maya duduk di kursi untuk beristirahat. Gadis itu
tampak kelelahan setelah beberapa kali mengulang scene terakhir.
“Anda baik-baik saja?”
tanya Yukari.
“Ah, iya, aku baik-baik
saja, hanya sedikit lelah,” jawab Maya sembari tersenyum. “Setelah ini aku
boleh pulang kan?”
“Tentu Nona, semua
pekerjaan telah selesai dengan baik. Anda bisa beristirahat dengan tenang.”
Yukari juga ikut tersenyum. Dia lega semua perkerjaan selesai sesuai target.
Sang manajer itu kini tinggal fokus pada tugasnya membantu Hijiri juga Mizuki
untuk persiapan pernikahan.
“Kalau begitu tolong
minta Iwaguchi bersiap sementara aku mandi dan berganti pakaian. Aku akan pergi
ke Daito.” Maya pun beranjak diikuti oleh Maki sementara Yukari menghubungi
Iwaguchi.
Satu jam kemudian, Maya
sudah dalam perjalanan menuju Daito.
***
Semua mata langsung
tertuju pada Maya saat gadis itu memasuki Gedung Daito. Beberapa karyawan yang
berpapasan dengannya langsung memberi hormat. Maya justru merasa geli dengan
situasi saat ini. Bukankah sebulan yang lalu dia datang ke Gedung Daito untuk
memutuskan kontrak? Tapi sekarang dia kembali ke sana justru dengan status sebagai
calon istri Masumi. Sungguh takdir Tuhan tidak dapat ditebak.
Sengaja tidak memberitahu
Masumi mengenai kedatangannya, Maya ingin memberi kejutan. Dia datang sendiri setelah
mengantar Yukari juga Maki ke apartemen mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul
16.00 saat Maya tiba di depan kantor Masumi. Mizuki yang tengah berbicara di
telepon juga terkejut melihat kedatangan sang nona. Maya hanya tersenyum
melihatnya.
“Anda datang Nona,” sambut
Mizuki setelah mengakhiri teleponnya. Sekretaris itu menghampiri Maya lalu
memberi salam.
“Pekerjaanku selesai lebih
awal dan aku ingin memberi kejutan pada Masumi,” kata Maya menjelaskan
kedatangannya.
“Anda bisa menunggu di
dalam. Tuan sedang rapat.” Mizuki membuka kantor Masumi dan mempersilakan Maya
untuk menunggu di dalam.
“Terima kasih, Nona
Mizuki.” Maya pun duduk di sofa dan meletakkan tasnya di meja.
“Anda ingin teh atau
kopi?” Mizuki menawarkan.
“Teh saja,” jawab Maya.
Dia pun duduk dengan santai saat Mizuki kemudian meninggalkan ruangan. “Ah,
rasanya lelah sekali,” gumam gadis itu sembari menggeliat panjang lalu
menyandarkan kepala pada lengan sofa.
Sementara itu di luar
ruangan, Masumi, Hijiri dan dua orang koleganya tengah berjalan beriringan keluar
dari ruang rapat. Mereka baru saja selesai rapat dengan beberapa kepala divisi
dan berniat untuk mengobrol lebih banyak di ruangan Masumi.
“Dimana Mizuki?” tanya
Masumi lirih saat tidak melihat sang sekretaris berada di tempatnya.
“Mungkin sedang mengurus
beberapa hal, Nona Mizuki tidak ijin keluar,” jawab Hijiri setengah berbisik.
Masumi hanya mengangguk menanggapinya.
“Tuan Hayami, sepertinya
saya memang tertarik dengan presentasi Kepala Divisi Pemasaran tadi. Idenya
cemerlang dan saya yakin produk kami akan berhasil jika bekerja sama dengan
Daito.” Salah seorang kolega Masumi kembali membicarakan mengenai presentasi
dalam rapat. Membuat mereka berhenti sejenak tepat di depan pintu ruangan.
“Tak hanya itu, ide Wakil
Direktur Hijiri mengenai perubahan target pasar juga sepertinya akan berhasil.
Kami berdua jadi tidak sabar untuk membahas semuanya lebih detail,” kata salah
seorang kolega lain dengan antusias.
Masumi dan Hijiri
tersenyum penuh arti. Keduanya sudah memprediksi hasil rapat sebelumnya.
“Kalau begitu sebaiknya
kita bahas mengenai kesepakatan lebih lanjut di dalam.” Masumi mempersilakan
kedua koleganya masuk saat Hijiri membuka pintu.
Namun tiba-tiba semuanya
terpaku. Masumi yang paling terkejut saat melihat Maya tertidur di ruang
tamunya. Gadis itu tampak nyaman bergelung di sudut sofa. Dengan cepat Masumi
melepas jasnya lalu menghampiri sang kekasih, menyelimutinya dengan hati-hati.
Saat berbalik, Masumi bisa melihat kedua koleganya menahan tawa.
“Mohon maaf atas ketidak
nyamanannya,” ucap Masumi sembari membungkuk meminta maaf. Hijiri pun melakukan
hal yang sama.
“Tidak apa-apa Tuan
Hayami, kami cukup mengerti, bukan begitu?” ucap kolega itu sembari tersenyum
simpul pada rekannya. Mereka tahu kalau minggu depan Masumi akan menikah.
“Ya, ya, ya, kami
mengerti.” Keduanya terkekeh pelan karena takut membangunkan Maya.
“Sebaiknya kita pindah ke
ruangan lain. Direktur, saya akan kembali ke ruang rapat.” Hijiri segera mengendalikan
situasi. Tidak mau koleganya semakin menertawakan kekonyolan ini.
Masumi mengangguk dan
mempersilakan koleganya kembali ke ruang rapat bersama Hijiri.
“Anda tidak perlu
terburu-buru, Tuan Hayami,” salah satu kolega itu kembali menggodanya sebelum
keluar dari ruangan. Hijiri menutup pintu tapi Masumi masih bisa mendengar tawa
mereka.
“Konyol sekali,” gumam
Masumi sembari terkekeh geli dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap
Maya yang masih terlelap lalu duduk di sebelahnya. Perhatian Masumi teralihkan
saat pintu ruangannya kembali terbuka. Mizuki datang dengan membawa secangkir
teh.
“Nona tertidur?” tanya
Mizuki yang juga terkejut melihat Maya sudah bergelung di sofa berselimutkan
jas.
“Kau darimana?” Masumi
justru balik bertanya.
“Nona meminta teh jadi
saya-,” Mizuki berhenti bicara saat sebuah pemikiran melintas di dalam
kepalanya. “Tadi saya bertemu dengan Tuan Hijiri di koridor bersama dengan Direktur
HNM. Jangan-jangan mereka-,” sang sekretaris itu tampak syok saat membayangkan
kejadian konyol yang baru saja dialami Masumi. “Maaf, saya seharusnya-,”
“Sudah tidak apa-apa,
bukan salahmu,” potong Masumi cepat. Sang Direktur itu justru kembali tersenyum
saat melihat Maya. “Kapan Maya datang?” tanyanya pada Mizuki yang tengah
meletakkan cangkir teh di meja.
“Belum lama Tuan, mungkir
sekitar sepuluh menit.” Mizuki jadi ikut memperhatikan Maya yang tertidur.
“Dia pasti lelah, hari
ini adalah syuting terakhirnya,” gumam Masumi sembari menaikkan jasnya agar
menutupi bahu Maya. “Sebaiknya aku kembali ke ruang rapat. Tolong jangan
ijinkan siapapun masuk ke ruanganku.”
Mizuki mengangguk. “Baik,
Tuan.” Dan sang sekretaris itu hanya bisa menghela napas panjang saat kemudian
Masumi keluar dari ruangan. Dia tidak bisa membayangkan betapa malunya Masumi
tadi.
***
Suara keybord yang
berbunyi teratur menarik Maya dari alam bawah sadar. Gadis itu mengerjapkan
mata dan sedikit bingung saat melihat sekeliling ruangan. Dia juga mengamati
jas Masumi. Maya pun ingat kalau dirinya tengah berada di kantor Masumi. Dia
menoleh ke arah meja dimana Masumi tampak begitu serius bekerja di depan
laptop.
“Masumi?”
Panggilan Maya membuat
fokus Masumi teralihkan. Senyumnya mengembang begitu melihat kekasih hatinya.
“Kau sudah bangun.” Meninggalkan pekerjaannya, Masumi berjalan menghampiri
Maya.
“Maaf aku tertidur,” ucap
Maya saat Masumi duduk di sebelahnya.
“Tidak apa-apa, kau
terlihat lelah.” Tangan Masumi terulur untuk mengusap rambut panjang kekasihnya.
“Sedikit, ada beberapa
scene sulit hingga harus diulang beberapa kali. Tapi akhirnya semua selesai
dengan baik.” Maya menceritakan pekerjaannya tadi. Dia pun melihat ke arah jam
dinding dan langsung mengerutkan kening. “Aku tidur lama sekali,” katanya
terkejut. Ya, saat ini sudah pukul 19.00 yang artinya Maya tidur hampir tiga jam.
Masumi yang terkekeh geli
membuat Maya mengerucutkan bibirnya. “Kenapa kau tidak membangunkanku.”
“Kenapa aku harus
membangunkanmu, hm? Kau terlihat nyenyak sekali,” jawab Masumi.
“Memalukan,” kata Maya
yang menutup wajahnya dengan telapak tangan.
“Apa yang membuatmu malu?
Kau bahkan terlihat cantik saat tidur.” Masumi mencoba untuk menghibur. Tentu
saja dia tidak akan bercerita tentang insiden sore tadi.
“Jangan coba merayuku,” kata
Maya lagi.
“Aku tidak merayumu.”
Masumi lalu mengambil handphone dari sakunya. “Lihat, kau cantik bukan?”
Maya membulatkan mata
terkejut saat melihat foto dirinya yang meringkuk nyaman di sudut sofa sudah
menjadi wallpaper di handphone
Masumi. “Masumi, itu memalukan,” rengek Maya yang kini berusaha merebut
handphone dari tangan Masumi. Dia ingin menghapusnya.
Sayangnya Masumi justru
menjauhkan benda itu dari jangkauan sang kekasih. “Kau tidak boleh
menghapusnya,” kata Masumi seraya terkekeh senang melihat Maya melompat-lompat
di depannya, berusaha meraih gadget dalam genggamannya.
Keduanya terus berebut
sampai Maya tersandung kakinya sendiri. Masumi langsung menangkap tubuh Maya
dan menariknya agar tidak jatuh, sayangnya hal itu justru membuat keduanya
terhempas ke sofa. Sesaat keduanya terdiam karena terkejut. Maya yang saat ini
menindih Masumi tampak mengerjapkan mata dengan lucu. Keduanya pun tertawa
bersamaan.
“Kau baik-baik saja?”
tanya Masumi setelah selesai dengan tawanya. Dia menyelipkan rambut Maya yang
berantakan ke belakang telinga.
“Aku tidak apa-apa.” Maya
kembali duduk dengan benar lalu menarik tangan Masumi agar ikut duduk dengan
benar. “Apa aku menyakitimu?” tanyanya seraya memeriksa lengan dan tubuh
Masumi.
“Tidak,” jawab Masumi
tenang. “Jangan berlebihan, aku belum sekarat, Maya.”
“Hei, jangan bicara
seperti itu. Aku khawatir karena aku sayang padamu, oke?” kata Maya yang
berusaha mengembalikan mood Masumi. Seketika suasana menjadi canggung.
Direktur Daito itu kemudian
tersenyum. Dia mendekatkan wajahnya pada Maya lalu mencuri sebuah kecupan di
sudut bibir. Belum sempat Maya berkomentar, Masumi sudah beranjak lalu berjalan
ke arah meja kerjanya. Maya hanya menatapnya dalam diam.
“Kita pulang,” kata
Masumi sembari mematikan laptopnya.
***
Suara tawa memenuhi kamar
Maya saat Masumi membuka pintu. Calon istrinya itu tengah berbaring dengan
santai dan berbicara -entah dengan siapa- di telepon. Masumi tersenyum saat
Maya melambaikan tangan lalu menepuk tempat kosong di sebelahnya. Gadis itu
dengan polos mengundangnya berbaring di sebelahnya. Tepat saat Masumi sudah berbaring
di sisinya, Maya mematikan telepon.
“Aku baru saja menghubungi
Rei dan teman-teman yang lain. Mereka justru menggodaku,” Maya menjelaskan
tanpa menunggu Masumi bertanya.
“Kau mengundang mereka bukan?”
tanya Masumi kemudian.
“Tentu saja, mereka adalah
sahabat-sahabatku.” Maya merentangkan lengan Masumi lalu menggunakannya sebagai
bantal.
“Kau manja sekali Nona
Kitajima,” celetuk Masumi saat melihat tingkah kekasihnya yang semakin berani.
“Kau keberatan Tuan
Hayami?” tanya Maya dengan alis melengkung tinggi.
Melihat ekspresi Maya
justru membuat Masumi tertawa. Memiringkan tubuhnya, kini pria tampan itu
justru memeluk kekasihnya. “Aku menyukainya,” bisik Masumi di telinga Maya. Dia
bisa merasakan gadis itu tersenyum dalam dekapannya.
“Aku tidak sabar menunggu
hari pernikahan kita,” lirih Maya dengan wajah bersandar di dada bidang Masumi,
jemari kecilnya membuat bulatan-bulatan di bahu sang kekasih. Maya sepertinya
tidak tahu efek dari perbuatannya itu pada Masumi.
“Tinggal satu minggu
lagi, sayang,” ucap Masumi yang berusaha mengendalikan dirinya. Sayangnya hembusan
napas Maya di lehernya membuat pria itu menghela napas berat. Dia pun
melepaskan pelukannya.
“Ada apa?” Maya
menatapnya penuh tanya.
Masumi menangkap
pergelangan tangan Maya lalu mengecup jemari mungil itu. “Jangan menggodaku,”
bisik Masumi disertai dengan kerlingan mata.
“Menggodamu?” Maya
mengerjapkan mata tidak mengerti. Dia sedikit bergeser agar bisa melihat wajah
kekasihnya lebih jelas, sayangnya gerakan kakinya justru mengenai sesuatu milik
Masumi di bawah sana. Maya terpaku.
“Mengerti maksudku?” Masumi
menyeringai penuh arti.
Maya menjerit lalu menarik
bantal dan menyembunyikan wajah merahnya disana, membuat Masumi tergelak
dibuatnya. Alih-alih merasa malu, Masumi justru menyingkirkan bantal dan
menarik sang kekasih ke dalam pelukannya.
“Aku tidak bermaksud
seperti itu,” cicit Maya.
“Aku tahu, aku tahu,”
jawab Masumi di tengah gelak tawanya.
Dan Maya akhirnya
mengerti efek dari kemanjaannya pada Masumi.
***
Pagi datang dengan cepat.
Maya turun dari tempat tidur dengan hati-hati karena tidak mau membangunkan
Masumi. Dia pun berjalan ke kamar mandi. Gadis itu terpaku saat melihat
wajahnya di cermin. Rona merah menjalari pipinya saat teringat kejadian malam
tadi. Ah, rasanya malu sekali.
Maya memutuskan untuk
segera mandi dan menyiapkan sarapan Masumi. Hari ini ada pekerja yang akan
datang untuk menata kebun belakang mansion Hayami menjadi tempat pesta kebun untuk
resepsi mereka.
Tidak butuh waktu lama
bagi Maya untuk bersiap. Gadis itu keluar dari kamar mandi dengan tampilan yang
lebih segar. Dia mengenakan dress lengan pendek berwarna peach dengan motif
bunga di bagian tepinya. Maya tersenyum saat melihat Masumi masih terlelap. Tidak
berniat membangunkan sang kekasih, Maya justru menaikkan selimut Masumi,
memberikan kecupan ringan di kening lalu meninggalkannya ke dapur.
Yang tidak Maya tahu
adalah Masumi yang tersenyum begitu pintu kamar tertutup. Tuan Muda Hayami itu
sudah bangun sejak tadi, hanya tidak mau merusak suasana. Dia masih ingat betapa
merah wajah Maya semalam. Beruntung dia tidak diusir dari kamar. Masumi pun
beranjak dari tempat tidur untuk kembali ke kamarnya. Dia juga harus segera
bersiap. Ah, malamnya terasa menyenangkan, batin Masumi bahagia.
Tak lama kemudian, Maya
kembali ke kamarnya. “Masumi sudah bangun,” gumam gadis itu saat mendapati
tempat tidurnya kosong. Dia pun berbalik dan mengetuk kamar Masumi. Karena tak
ada jawaban, Maya pun membuka pintu. Tepat saat gadis itu masuk, Masumi keluar
dari kamar mandi dengan berbalut handuk.
“Ah, maaf, maaf.” Maya
langsung keluar dan menutup pintu dengan keras. Gadis itu mengusap dadanya yang
berdebar kencang. “Se-segeralah turun, sarapan sudah siap,” seru Maya kemudian.
Masumi kembali terkekeh
dengan tingkah kekasihnya. “Aku segera turun,” teriaknya untuk menjawab Maya.
Setelah mendengar jawaban
Masumi, Maya kembali ke lantai satu. Di sana dia bertemu Eisuke dan segera
memberi salam. Maya mendorong kursi roda sang ayah mertua menuju meja makan. Hingga
tak lama kemudian, Masumi ikut bergabung bersama mereka.
“Hari ini akan ada pekerja
yang menata taman,” kata Eisuke pada kedua calon pengantin.
“Iya, Paman. Nona Mizuki
sudah memberitahuku,” jawab Maya.
“Kau jangan pulang larut,
Masumi,” pesan Eisuke pada putranya. Dia tidak mau Masumi sakit menjelang hari bahagianya.
“Tidak, Ayah,” jawab
Masumi singkat.
“Paman tidak perlu
khawatir, Masumi sudah sehat. Bukan begitu?” Maya memiringkan kepala dan
tersenyum pada kekasihnya. Dia tahu kalau Masumi tidak suka orang lain khawatir
berlebihan padanya.
“Aku punya perawat
pribadi yang luar biasa,” jawab Masumi sembari tersenyum
Hal itu membuat Eisuke
terkekeh senang. “Ya, ya, aku senang mendengarnya.” Dia tampak senang melihat
interaksi Maya dan Masumi.
“Oh ya, Paman-,”
“Sebaiknya mulai sekarang
kau biasakan diri memanggilku ayah, Maya,” Eisuke mengoreksi panggilannya.
Maya pun tersenyum malu. “Baik,
ayah.”
“Aku lebih suka mendengar
panggilan itu,” Eisuke tertawa.
Suasana sarapan pagi itu
pun terasa lebih hangat.
***
Para pekerja taman datang
tepat saat Masumi akan berangkat ke kantor. Masumi masih sempat mengamati para
pekerja yang menurunkan beberapa tiang lampu sebelum Maya mengantarnya sampai
pintu depan.
“Jadi seperti ini rasanya
diantar oleh istri,” goda Masumi saat keduanya berdiri di ambang pintu.
“Jangan menggodaku lagi
Masumi,” keluh Maya sembari mencubit lengan Masumi. “Anggap saja aku sedang
latihan menjadi istri yang baik.” Gadis itu terkekeh sendiri dengan
perkataannya.
“Ah, benar juga. Kalau
begitu nanti malam kau juga bisa latihan lagi agar tidak terkejut seperti-,”
“Aish, Tuan Direktur, ini
masih terlalu pagi untuk membicarakan hal memalukan itu lagi.” Maya kini
mendorong Masumi untuk memasuki mobilnya. Watanabe membuka pintu sembari
menunduk untuk menyembunyikan senyum gelinya. “Selamat bekerja dan hati-hati di
jalan,” ucap Maya saat Masumi sudah duduk dengan tenang di dalam mobil.
Senyum Masumi mengembang,
dia menarik tangan Maya agar kekasihnya itu sedikit menunduk lalu mencuri
sebuah ciuman di pipi. Wajah Maya memerah karenanya. Sepasang calon pengantin
itu benar-benar tidak menganggap keberadaan Watanabe. Sepertinya supir malang
itu harus segera beradaptasi dengan keromantisan tuan dan nyonyanya.
Mobil akhirnya
meninggalkan pelataran mansion Hayami. Masumi berjanji untuk pulang lebih awal dan
itu membuat Maya senang. Gadis itu kembali masuk ke dalam mansion. Sebuah panggilan
menghentikan langkahnya di ruang tamu, Maya pun mengambil handphone dari sakunya.
“Koji?” gumam Maya dengan
nada putus asa. Apalagi yang diinginkan sahabatnya itu?
Maya menolak panggilan
Koji. Dia tidak mau merusak harinya dengan rengekan Koji yang tidak masuk akal.
Baru berapa langkah Maya berjalan, handphone-nya
kembali berdenting, sebuah pesan masuk. Nama Koji kembali tertera di layar
depan. Penasaran dengan apa yang diinginkan sahabatnya, Maya pun membuka
pesannya.
Siang
ini pukul 10.00 aku akan bertemu dengan Dokter Hayate di rumah sakit. Kau yakin
tidak mau datang?
Tanda tanya besar muncul
dipikiran Maya. “Ada perlu apa Koji menemui Dokter Hayate?” gumam Maya gelisah.
Haruskah dia datang?
***
>>Bersambung<<
5 Comments
Kezzeeellll banget ma koji ya ampuunnnn
ReplyDeleteEhh tp jd kasian ma Watanabe wkwkkwkw
Itu Maya nyenggol apaan??
Stiker yg digigit bkn? 😂😂😂😂😂
wkwkkwkw....ya itu hasil dari stiker digigit euy
DeleteDuh seminggu lagi pan mau nikah, jangan ada drama lagi pleaaseeee.
ReplyDeleteKojiiii, belum pernah ditenggelamkan yaak ish kesewel
Kenapa yg 15 g bisa dibuka
ReplyDeleteHati suka ikut berbunga ... kalau baca Masumi Maya lagi beromansa manis gini...
ReplyDelete