Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
“Boleh saya bicara empat
mata dengan Anda?” ucap Norie begitu Maya berdiri dan berniat meninggalkan stage.
Syuting baru saja selesai.
Maya menatap Norie dengan
kening berkerut, sejenak mempertimbangkan lalu mengangguk. Norie pun
mengikutinya dalam diam. Yukari dan Maki tampak waspada begitu melihat Maya
keluar stage bersama Norie.
“Tidak apa-apa, aku ingin
bicara sebentar dengannya,” ucap Maya kemudian.
“Baik Nona.” Yukari dan
Maki mengangguk bersamaan lalu mengikuti sang nona tanpa bertanya apa-apa.
Keduanya menunggu di depan ruang rias sementara Maya masuk bersama Norie.
“Apa yang ingin kau
bicarakan?” tanya Maya begitu dia duduk di kursi. Norie yang berdiri di
depannya tiba-tiba membungkuk dalam. “Eh, apa yang-,”
“Tolong maafkan saya,”
ucap Norie.
“Berdirilah, kenapa
tiba-tiba meminta maaf?” Maya segera menegakkan tubuh Norie dan menatap gadis
itu dengan heran.
“Saya belum sempat minta
maaf pada Anda atas semua kesalahan saya,” jawab Norie.
Maya menghela napas lalu
kembali duduk di kursinya. “Kejadian itu sudah lama sekali, kenapa masih
mengingatnya.” Rasanya aneh bagi Maya jika saat ini mereka membicarakan masa
lalu.
“Anda sudah
melupakannya?” Norie justru heran melihat reaksi Maya.
Aktris cantik itu menatap
Norie lalu tersenyum. “Aku hanya tidak ingin membicarakannya. Biarlah masa lalu
berada pada tempatnya.”
“Tapi-,” Norie menatap
Maya ragu, “sampai saat ini saya masih merasa bersalah pada Anda,” lirihnya.
“Aku sudah memaafkanmu,”
kata Maya kemudian.
“Anda sudah …,” Norie
justru terkejut mendengarnya.
“Sebenarnya aku tidak
pernah menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Mungkin bagi orang lain aku terlalu
naif tapi menurutku semua yang terjadi juga karena aku yang tidak hati-hati dan
kondisiku yang …,” Maya terdiam saat teringat bagaimana ibunya meninggal. Gadis
itu menghela napas perlahan. “Aku bersyukur bisa melalui semuanya dengan baik. Ya,
masa masa sulit memang selalu berhasil membuatku melangkah lebih jauh.”
Norie tertunduk di
hadapan Maya. Dia tahu pasti bagaimana Maya menghadapi masa-masa itu. Semua
kejadian yang sudah diatur untuk menghancurkan gadis itu, Norie merasa begitu
bodoh dan menyesali semuanya. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, dia masih
belum bisa melupakan semuanya.
“Saya sudah mendapat balasannya,”
lirih Norie kemudian.
Maya menatap gadis
dihadapannya dengan kening berkerut. Jujur saja dia tidak pernah tahu apa yang
terjadi pada Norie setelah mengambil perannya.
“Shangrilla, Satoko, saya
berhasil memerankan semua itu dengan baik karena saya meniru Anda. Tapi
setelahnya, semua peran saya adalah kegagalan. Akhirnya saya tahu kalau akting
di atas panggung bukanlah permainan. Anda dan Nona Himekawa memberikan saya pelajaran
berharga.”
“Ayumi?” Maya justru tampak
bingung mendengarnya.
Norie terkekeh pelan
melihat reaksi Maya. Aktris di depannya ini memang naif. Maya bahkan tidak tahu
jika Ayumi membalas perbuatannya dan menghancurkan karirnya dalam sekejap mata.
“Anda dan Nona Himekawa
memang layak menjadi aktris besar.” Norie kemudian berdiri lalu membungkuk
hormat pada Maya. “Terima kasih karena sudah memaafkan saya.”
Maya hanya tersenyum
sembari mengangguk. Dia tidak bertanya lagi saat akhirnya Norie keluar dari
ruang gantinya.
***
“Apa yang kau lakukan di
ruang ganti Maya?”
Norie mengerutkan kening
saat melihat seorang laki-laki berdiri di ujung koridor pintu keluar studio.
Dia menoleh ke kanan dan kekiri tapi tidak ada orang lain selain dirinya.
“Kau bertanya padaku?”
Norie menunjuk hidungnya dan berjalan mendekat ke arah laki-laki itu. “Sakurakoji?”
Gadis itu tampak terkejut saat mengenali sosok di hadapannya.
“Norie Otobe,” kata Koji
dengan nada datar. “Ada apa kau menemui Maya Kitajima?” ulangnya dengan mata
menyipit tajam.
“Apa pun itu tidak ada
urusannya denganmu,” jawab Norie sambil lalu. Dia sudah malas berhadapan dengan
aktor atau aktris besar yang terkadang sok berkuasa.
“Aku sahabatnya, jangan
coba menyakiti Maya lagi.”
Perkataan Koji membuat
Norie berhenti melangkah lalu menoleh dengan kening berkerut. “Tidak perlu
repot mengingatkanku. Aku bukan orang bodoh yang akan melakukan kesalahan yang
sama.”
“Syukurlah kalau kau
tahu,” jawab Koji yang kini justru melenggang meninggalkan Norie dengan wajah
kesalnya.
“Sialan,” desis Norie kesal
sembari menghentakkan langkah menuju pintu keluar.
***
Iwaguchi berdiri di depan
ruang ganti Maya sementara Yukari juga Maki sedang berkemas dan membantu Maya
berganti pakaian. Iwaguchi memperhatikan sekitar dengan waspada karena tadi Koji
tiba-tiba menghilang dari pengawasannya
“Akhirnya dia datang,” lirih
Iwaguchi lega begitu melihat seseorang yang muncul dari tikungan di ujung
koridor ruang ganti Maya. Setidaknya kali ini dia bisa menghalangi Koji dan
mencegah kejadian seperti beberapa minggu yang lalu. Dia masih merasa menyesal
karena tidak bisa melindungi Maya.
Sebuah seringai muncul di
wajah Koji saat melihat sopir Maya bergegas menghampirinya. Langkah kakinya
terhenti saat Iwaguchi berhenti dua langkah di depannya dengan waspada.
“Anda tidak boleh menemui
Nona Maya,” larang Iwaguchi tanpa basa basi.
“Ini perintah dari
Tuanmu?” Koji masih santai berdiri dengan dua tangan di dalam saku jaketnya.
“Tanpa perintah sekali
pun, saya akan tetap menjaga Nona Maya,” jawab Iwaguchi. Matanya mengamati
kedua tangan Koji, tentunya dia mengantisipasi hal terburuk yang mungkin saja
terjadi.
Melihat sikap Iwaguchi
membuat Koji tertawa lalu mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku. “Kau
takut aku membawa senjata lalu menyerang Nonamu?” tanyanya dengan masih
terkekeh geli. “Konyol,” ejeknya kemudian.
Iwaguchi merasa lega
karena ternyata dugaannya salah tapi hal itu tidak menurunkan tingkat
kewaspadaannya. Dia yakin kalau Koji tidak akan menyerah begitu saja dengan
larangannya.
“Katakan saja pada Maya
kalau aku ingin bertemu. Dengan begitu semuanya akan lebih mudah,” perintah
Koji.
“Maaf Tuan Sakurakoji,”
tegas Iwaguchi. Dia bergeser satu langkah untuk menghalangi Koji yang ingin
melewatinya.
“Kau berani menghalangiku?”
Mata Koji memincing tajam dengan kedua tangan terkepal. Maya sama sekali tidak
menjawab teleponnya, itu sudah cukup menyiksanya, tidak perlu ditambah dengan
Iwaguchi yang mempersulitnya untuk bertemu Maya. Koji bahkan sudah bersusah
payah untuk mencari tahu jadwal kerja gadis kesayangannya.
“Saya tidak punya alasan
untuk takut pada Anda,” jawab Iwaguchi tenang.
“Sialan!” Baru saja Koji
hendak melayangkan tinjunya saat sebuat suara menghetikan tindakannya. Dia pun
berbalik dan berdecih saat melihat Masumi berjalan bersama dengan Hijiri.
“Apa yang kau lakukan
disini?” tanya Masumi dengan nada datar. Dia harus menahan diri agar tidak
memancing keributan.
“Bertemu Maya, apalagi?”
jawab Koji santai.
“Kau pikir Maya mau
bertemu denganmu?” Masumi menarik sudut bibirnya menjadi seringai.
“Saya hanya akan
mendengar jawaban dari Maya, bukan dari Anda, Tuan Masumi.”
Hijiri melirik reaksi
Masumi yang kini tampak kesal. Dalam hati dia merasa khawatir dengan kondisi
tuannya. Di lain sisi Koji justru terlihat semakin menantang Masumi.
“Anda memberikan saya
waktu satu bulan, bukan begitu?” lanjut Koji kemudian. “Tidak adil kalau
akhirnya Anda melarang saya untuk bertemu Maya.”
Kedua tangan Masumi
terkepal menahan emosi. Apa yang dikatakan Koji memang benar, tapi dia tidak
rela kalau sampai Koji bertemu Maya. Perhatiannya teralihkan saat pintu ruang
ganti Maya terbuka dan Masumi bisa melihat ekspresi terkejut kekasihnya.
Tidak menyia-nyiakan
kesempatan, Koji langsung menghampiri Maya dengan wajah berbinar. “Akhirnya aku
bisa bertemu denganmu,” ucapnya penuh kelegaan.
Maya menatap Masumi yang
masih bergeming di tempatnya lalu memberikan perhatian penuh pada Koji. “Ada
apa Koji?” tanya Maya dengan nada datar.
“Aku ingin bicara
denganmu. Aku sadar sudah menjadi sahabat yang menyebalkan, aku ingin minta
maaf. Tolong jangan menjauhiku.” Koji langsung menyatakan semuanya tanpa basa basi.
Menatap Koji dalam diam,
Maya menghela napas perlahan. Dia pun berlalu begitu saja dari hadapan Koji
lalu berjalan menghampiri kekasihnya. Masumi tentu saja langsung menyunggingkan
senyum manisnya menyambut Maya. Direktur Daito itu bahkan langsung melingkarkan
lengannya di pinggang ramping Maya sembari memberikan kecupan hangat di kening.
“Apa semuanya sudah
selesai?” tanya Masumi.
“Iya, kami baru saja
selesai.” Maya berjinjit lalu memberikan kecupan di pipi, sesuatu yang tidak
pernah dilakukannya di depan umum, dan itu membuat Masumi semakin senang.
Hijiri menyeringai sembari menatap Koji yang tampak kesal.
Maya berbalik lalu tersenyum
pada sahabatnya. “Maaf Koji, aku harus pulang sekarang. Mungkin lain kali kau
bisa membuat janji lebih dulu agar aku bisa meluangkan waktu. Terima kasih
sudah datang.” Gadis itu menolak Koji tanpa basa basi. “Iwaguchi, tolong antar
Yukari dan Maki.”
“Baik, Nona.” Iwaguchi
mengangguk hormat, begitu juga Yukari dan Maki. Ketiganya segera pergi sesuai
perintah Maya.
“Kita pulang sekarang?”
tanya Masumi kemudian yang sepenuhnya mengabaikan kekesalan Koji.
“Tentu.” Maya mengangguk
lalu mengamit lengan kekasihnya.
“Tu-tunggu Maya.” Koji
berusaha menahan Maya agar tidak pergi.
“Aku harus pulang Koji,
kita bisa bicara lain waktu.” Maya kembali menolak. Dia tidak ingin bicara
dengan Koji di hadapan Masumi.
“Tapi Tuan Masumi
membuatku sulit menemuimu,” Koji kembali membuat alasan.
Maya langsung menoleh
pada kekasihnya. Masumi hanya menyeringai seraya mengendikkan bahu, membuat
Maya tersenyum geli. Gadis itu kembali memberi perhatian pada sahabatnya. Koji
tampak semakin kesal melihat interaksi sepasang kekasih itu.
“Setelah apa yang kau
lakukan padaku, Masumi berhak melarangmu. Dia calon suamiku,” tegas Maya.
Dan skak mat, Koji terdiam
meski dalam hati kembali merutuki kebodohannya tempo hari. “Maya … maaf-, aku
…,” Koji mengepalkan kedua tangan menahan emosinya. Dia sendiri bingung
bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Maya. Menurutnya dia hanya terlalu
mencintai gadis itu. Itu tidak salah bukan?
Batinnya membela diri.
“Pulanglah,” kata Maya
yang membuat Koji tersentak dari renungannya. Dia melihat wajah Masumi yang
tampak lelah, berdebat di depan Koji saat ini bukanlah pilihan bagus.
“Maya ….” Koji kembali
memelas.
“Temui aku jika kau sudah
sadar dengan kesalahanmu.” Maya mengamit lengan Masumi lalu menarik pria itu
untuk pergi. Hijiri mengikuti keduanya dalam diam.
“Maya, aku tidak pernah
merasa bersalah karena mencintaimu.” Koji masih keras kepala.
Perkataan itu membuat
Maya dan Masumi menghentikan langkahnya. Keduanya langsung berbalik dan menatap
Koji dengan kening berkerut. Demi apa mereka harus kembali berhadapan dengan
kekeras kepalaan Koji.
“Aku sudah mengatakannya
padamu. Aku mencintaimu, tidak ada yang salah dengan itu.” Pemuda itu masih
bersikeras dengan perasaannya.
“Koji, aku-,”
“Justru kau yang
seharusnya kembali berpikir tentang rencana pernikahanmu, Maya,” katanya
menyela perkataan Maya.
“Jangan memaksakan
perasaanmu pada Maya.” Kali ini Masumi yang menjawab. Sudah cukup dia menahan
diri sejak tadi.
“Saya hanya ingin
membuatnya sadar. Jika Anda memang bisa membahagiakan Maya, saya tidak akan
bertindak sejauh ini,” jawab Koji dengan mata menatap tajam lawan bicaranya.
“Hentikan Koji!” Suara
Maya meninggi. “Aku bahagia bersama Masumi, berhentilah-,”
“Bahagia macam apa yang
kau harapkan kalau akhirnya kau hanya akan menjadi janda di usia muda?” Koji
kembali menyela perkataan Maya. “Tuan Masumi tidak-,”
Plak! Sebuah tamparan membuat
Koji diam. Pemuda itu terkejut dan melihat mata Maya yang memerah menahan air
mata.
“Maya, tenanglah,” bisik
Masumi saat memeluk tubuh kekasihnya yang gemetar karena amarah. Sungguh, dia
tidak suka melihat Maya seperti ini.
“Tuan Sakurakoji, sebaiknya
Anda pergi sekarang,” Hijiri juga sudah merasa geram. Dia berdiri di depan Maya
dan meminta Koji untuk pergi.
“Berapa kali harus
kukatakan padamu,” kata Maya dengan suara bergetar. Dia mengeratkan tanggannya
pada lengan Masumi yang memeluknya. “Aku tidak mencintaimu Koji,” kata Maya
diiringin deraian air mata.
Koji masih terdiam,
terpaku mendengar perkataan Maya. Dia melihat gadis pujaannya menangis dalam
pelukan Masumi. Hatinya merasa tidak terima.
“Sstt, saying, tenanglah.”
Masumi kembali menenangkan kekasihnya. Ingin rasanya Masumi memukul Koji tapi
dia tidak mau membuat Maya semakin sedih dan memancing keributan di studio.
Selain itu perkataan Koji juga membuat hatinya sakit. Bukankah Koji benar? Batinnya bertanya.
Hijiri tak lagi menahan
diri. Dia segera menarik lengan Koji dan menggiring pemuda itu menjauh. Koji
juga tidak melawan, dia hanya diam sembari membayangkan wajah Maya yang basah
karena air mata.
***
“Lebih baik?” Masumi
merengkuh bahu Maya sembari menyeka air mata gadis itu dengan sapu tangan.
Keduanya sudah duduk di dalam mobil sementara Hijiri mengemudi.
Maya mengangguk. “Maaf,”
lirihnya.
“Maaf?” tanya Masumi
dengan kening berkerut. “Kenapa harus meminta maaf?”
“Perkataan Koji tadi, aku
… aku…,” Maya tidak bisa melanjutkan perkataannya dan hanya bisa menggenggam erat
tangan Masumi.
“Kau tidak perlu meminta
maaf,” Masumi memaksakan diri untuk tersenyum. Dia menyelipkan rambut panjang
Maya ke belakang telinga lalu mengecup keningnya, melandaikan tubuh mungil itu
kedalam pelukannya. Mereka pernah membahas masalah itu dan Masumi tidak mau
membahasnya lagi. “Terima kasih sudah mencintaiku,” kata Masumi. Maya pun hanya
diam sembari mengeratkan pelukannya.
Mobil berhenti di lampu
merah, Hijiri mencuri pandang melalui kaca spion tengah. Hatinya gelisah saat
melihat ekspresi wajah Masumi yang datar. Dia sudah sangat mengenal direktur
Daito itu. Saat ini Masumi pasti tengah bergelut dengan perasaanya sendiri
karena perkataan Koji tadi.
Suasana di dalam mobil
menjadi begitu hening sampai akhirnya mereka tiba di mansion Hayami. Masumi
melepaskan pelukannya dan keluar lebih dulu. Dia menghela napas panjang saat
rasa sakit kembali menyambangi perutnya. Dengan tenang Masumi berjalan ke sisi
lain mobil.
Hijiri yang juga keluar
segera membukakan pintu untuk Maya. Masumi mengulurkan tangan untuk membantu kekasihnya
tapi tiba-tiba semua terasa berputar. Masumi segera bersandar pada sisi mobil,
membuat Maya memekik karena terkejut dan Hijiri segera menyangga tubuhnya.
“Aku tidak apa-apa,” kata
Masumi saat melihat wajah panik kekasihnya. Dia merenggangkan dasi sembari
menarik napas panjang.
“Jangan berbohong.” Maya
menggunakan sapu tangan untuk menyeka kening Masumi yang berkeringat. Dia tahu
Masumi tengah menahan sakit.
“Sebaiknya Anda segera beristirahat,”
Hijiri membantu Masumi untuk kembali berdiri tegak.
Maya mengamit lengan
Masumi yang lain dan membantunya berjalan dengan hati-hati. Tapi sepertinya
Masumi tak sanggup lagi berjalan. Rasa sakit di perutnya semakin berlipat
hingga membuatnya menggigit bibir bagian dalam untuk menahan nyeri. Dia hampir
jatuh berlutut kalau saja Hijiri dan Maya tidak kuat menahannya.
"Ma-Masumi?"
Maya panik saat melihat Masumi kesakitan, begitu juga Hijiri.
"Tuan, sebaiknya
kita segera ke rumah sakit," saran Hijiri saat melihat wajah Masumi yang
semakin pucat. Dia menahan tubuh Masumi yang mulai lemas dengan kedua
lengannya.
"Ti-tidak,"
jawab Masumi dengan napas terengah. “Aku ingin istirahat … di rumah saja.”
"Jangan keras kepala
Masumi, kumohon," bujuk Maya yang semakin khawatir melihat kondisi
kekasihnya. Masumi memejamkan mata seraya menekan perutnya yang terasa nyeri. "Kak
Hijiri, kita ke rumah sakit sekarang," perintah Maya kemudian.
Hijiri mengangguk lalu
memapah Masumi kembali ke dalam mobil. Maya dengan cepat membuka pintu mobil
dan membantu Masumi duduk. Direktur Daito itu tak lagi bisa membantah saat rasa
sakit semakin mengusai tubuhnya. Pandangannya bahkan mulai mengabur. Masumi
kembali memejamkan mata saat kepalanya terasa sakit dan sekelilingnya menjadi
gelap.
"Masumi, Masumi, kau mendengarku?" Maya mencoba membuat Masumi tetap sadar. Sayangnya sang kekasih tak lagi bisa menjawab panggilannya. "Kak Hijiri tolong cepat, aku akan menghubungi dokter Hayate," kata Maya di tengah kepanikannya karena Masumi tidak sadarkan diri. Dia langsung menghubungi dokter Hayate dan memberitahukan kondisi Masumi. Hijiri memacu mobil sembari menenangkan Maya yang kini mulai menangis memeluk Masumi.
***
Maya memeluk dirinya saat
merasakan tubuhnya kembali gemetar. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha
mengendalikan ketakutan dan pikiran negatif yang beterbangan di dalam
kepalanya. Masumi sedang ditangani oleh dokter. Dia dan Hijiri tengah menunggu
di luar emergency room.
Hijiri melepas jasnya dan
menggunakannya untuk menutupi bahu Maya. “Anda ingin secangkir teh?” tanyanya
saat Maya menoleh dan menatapnya dengan mata merah. Sang Nona hanya mengangguk,
Hijiri bergegas pergi. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menenangkan Maya
saat ini.
Tak lama kemudian Hijiri
kembali dengan secangkir teh. "Nona, minumlah."
“Terima kasih.” Maya
menangkupkan kedua tangan di sekeliling gelas yang terasa hangat lalu mulai
meneguk teh perlahan. “Kenapa dokter lama sekali?” keluhnya dengan suara lirih,
matanya menatap pintu emergency room
yang masih tertutup. Maya pun menoleh pada Hijiri yang masih menatapnya.
“Tuan Masumi pasti bisa
melewati ini, Nona jangan bersedih,” ucap Hijiri yang mencoba menenangkan Maya.
“Aku takut,” kata Maya
sembari kembali menunduk dan menatap ke dalam cangkir tehnya. “Wajahnya pucat
sekali dan dia terlihat kesakitan.” Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan
isakan, setetes air lolos dari sudut matanya.
Hijiri tak bisa menjawab.
Dia melihat ke arah koridor dan berharap Mizuki segera datang. Sudah tiga puluh
menit berlalu sejak dirinya menghubungi sekretaris itu dan memintanya segera ke
rumah sakit.
“Apa siang tadi Masumi
baik-baik saja?”
Pertanyaan itu membuat
Hijiri kembali mengalihkan perhatiannya pada Maya. “Sebenarnya setelah rapat
petang tadi, Tuan sudah merasa pusing. Saya berinisiatif untuk menjemput Anda
tapi Tuan bersikeras menjemput Anda sendiri.”
“Apa kalian tahu kalau
Koji mencariku?” Maya kembali bertanya.
Pria kepercayaan Masumi
itu mengangguk. “Iwaguchi memberitahu saya saat melihat Tuan Sakurakoji
memasuki Gedung HTC.”
Maya menghela napas
panjang. Dia tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Koji setelah ini.
Sahabatnya itu masih saja keras kepala. Yang membuatnya semakin sedih adalah
masalah ini akan berdampak pada kesehatan Masumi.
“Selamat malam Nona, Tuan
Hijiri.” Mizuki datang menyela pembicaraan keduanya.
“Nona Mizuki,” sapa Maya
dengan senyum yang dipaksakan. Gadis itu mengucapkan terima kasih saat Mizuki
kemudian duduk di sebelahnya.
“Tolong temani Nona Maya,
aku harus mengurus beberapa administrasi rumah sakit.” Hijiri merasa lebih
tenang karena ada Mizuki.
“Baik, Tuan.” Sekretaris
itu mengangguk hormat atas perintah Hijiri.
“Anda tampak lelah, Nona.
Apa Anda sudah makan malam?” tanya Mizuki begitu mengamati wajah Maya.
Nona muda itu menggeleng
pelan. “Aku tidak lapar, Nona Mizuki.”
Mizuki memahami perasaan
Maya. Mana mungkin gadis itu bisa makan sementara kekasihnya sedang sakit di
dalam sana. “Tuan Masumi pasti baik-baik saja,” katanya kemudian.
“Ya, dia pasti baik-baik
saja,” ulang Maya dengan suara lirih. Keduanya kini menatap pintu emergency room yang masih saja
bergeming.
***
Jam dinding menunjukkan
pukul enam pagi. Hijiri merenggangkan otot lehernya yang terasa kaku karena
semalaman tertidur di kursi. Dia melihat Masumi yang masih tenang dalam
tidurnya. Melihat ke sisi lain, ada Maya yang juga masih tidur di sofa. Gadis
itu tampak kelelahan tapi akhirnya bisa tidur juga setelah kondisi Masumi
dinyatakan stabil. Dokter sengaja memberi Masumi obat tidur agar pria keras
kepala itu bisa istirahat lebih lama dan tidak merengek pulang.
Beranjak dari kursi, Hijiri
pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Dia harus segera bersiap karena hari
ini dia harus menggantikan semua jadwal kerja Masumi.
“Selamat pagi.”
Hijiri yang baru saja
keluar dari kamar mandi terkejut saat Maya menyapanya. Gadis itu sudah duduk di
sofa dengan wajah sayunya. “Selamat pagi, Nona. Anda baik-baik saja?” tanyanya
penuh simpati.
“Ya, aku baik-baik saja
Kak Hijiri, terima kasih.” Maya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah
Masumi yang masih terlelap.
“Tuan Masumi baik-baik
saja, Anda tidak perlu khawatir,” kata Hijiri tenang.
“Iya, aku lega dia
baik-baik saja,” ucapnya sembari beranjak dari sofa dan menghampiri ranjang
kekasihnya.
“Nona Mizuki sudah
meminta Yukari untuk membawakan pakaian ganti Anda. Mungkin sebentar lagi dia sampai.
Saya juga sudah memberitahu Tuan Asa dan bibi Harada.”
Maya mengangguk tanpa
menjawab. dia mengusap lembut sisi wajah Masumi yang masih terlelap.
“Anda ingin sesuatu untuk
sarapan pagi ini?” Hijiri tahu nonanya melewatkan makan malam.
“Tidak,” jawab Maya
singkat. Gadis itu menoleh pada Hijiri dan memberikan senyum terbaiknya sebagai
tanda terima kasih. “Kak Hijiri jangan khawatir, Yukari akan membantuku nanti.”
“Baiklah, Nona.” Hijiri
mengangguk lalu melihat jam tangannya. “Saya harus pergi sekarang. Hubungi saya
atau Nona Mizuki jika Anda butuh bantuan.”
“Terima kasih.” Sekali
lagi Maya tersenyum saat kemudian Hijiri pergi.
Suasana di dalam ruangan
terasa begitu hening. Maya duduk di sisi ranjang sembari menggenggam lembut
tangan Masumi.
“Hei, Tuan Muda Hayami,
bangunlah! Kau sudah membuatku khawatir,” lirih gadis itu sembari tersenyum
sedih. Hatinya hancur melihat Masumi terbaring lemah seperti ini. Masumi yang
dikenalnya adalah sosok pria keras dan penuh ambisi. Pria yang juga selalu
melindunginya dari balik bayangan.
“Mulai saat ini aku yang
akan menjagamu. Aku akan selalu berada di sampingmu,” lanjut gadis itu. Dia
menangkupkan telapak tangan Masumi ke sisi wajahnya. “Aku mencintaimu.”
***
Langit-langit berwarna
putih adalah yang pertama dilihat Masumi saat membuka mata. Dia mengamati
sekitar dan menyadari kalau dirinya tengah berada di kamar rumah sakit. Mencoba
untuk bangun tapi kepala yang berdenyut sakit membuatnya kembali berbaring. Suara
pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya.
“Eh?!” sesaat Maya
terpaku di ambang pintu tapi kemudian bergegas menghampiri kekasihnya. “Kau
sudah bangun?” tanyanya dengan penuh kelegaan.
“Maya?” lirih Masumi
dengan suara parau. Keningnya berkerut saat mencoba mengingat apa yang terjadi
semalam. “Aku pingsan?” tanyanya kemudian.
Maya mengangguk lalu
mengusap lembut kening Masumi. “Bagaimana rasanya sekarang? Apa masih terasa
sakit?”
“Tidak, aku merasa lebih
baik. Maaf sudah membuatmu khawatir,” jawab Masumi. Tentu saja dia berbohong,
kepalanya masih terasa berat dan dadanya sedikit sesak. Masumi kembali melihat
ke sekeliling kamar. “Kau menjagaku semalaman? Sendirian?”
“Tentu saja tidak. Semalam
ada Kak Hijiri dan Nona Mizuki yang menemaniku. Aku meminta Nona Mizuki pulang tapi
Kak Hijiri menjagamu sampai pagi. Aku tertidur di sofa.” Maya menunjuk sofa di
sudut ruangan. “Pagi tadi Kak Hijiri pergi untuk menggantikanmu di kantor. Yukari
baru saja pulang karena harus mengurus undangan pernikahan kita.”
Mendengar penuturan Maya
membuat Masumi merasa bersalah. “Maafkan aku sudah merepotkan kalian semua.”
“Hei, kenapa bicara
seperti itu? Tidak ada yang merasa direpotkan. Terlebih aku,” jawab Maya
sembari mengusap lembut sisi wajah Masumi. “Aku calon istrimu, sudah kewajibanku
menjagamu.”
Masumi menarik sudut
bibirnya menyerupai senyum. “Seharusnya aku yang menjagamu,” lirihnya.
“Kau selalu melakukannya
Masumi.” Gadis itu tersenyum saat Masumi menatapnya dengan kening berkerut. “Mawar
ungu, kau selalu menjagaku.”
Sesaat keduanya terdiam. Maya
bisa menebak apa yang dipikirkan oleh calon suaminya itu. Masumi memang lebih sensitif
sejak sakit.
“Aku mencintaimu, kau
percaya?” tanya Maya kemudian.
Masumi tersenyum
mendengar pertanyaan kekasihnya. “Aku percaya.”
Sebuah kecupan mendarat
di kening Masumi. “Sebaiknya aku beritahu perawat. Dokter Hayate berpesan untuk
memanggilnya saat kau bangun. Kau ingin sesuatu?” Maya menaikkan selimut Masumi
sebatas dada lalu mengusap lengannya dengan sayang.
“Aku lapar, mungkin
semangkuk sup hangat bisa membuatku merasa lebih segar.”
“Aku akan tanya perawat
soal itu. Tunggu sebentar, aku segera kembali.” Maya pun berjalan ke pintu,
hingga sebuah panggilan membuatnya berhenti dan menoleh. “Ya?”
“Terima kasih,” ucap
Masumi diiringi dengan senyum manis, “Aku mencintaimu, Nona Kitajima.”
Dan Maya tidak sanggup
menahan rona merah di pipinya karena pernyataan cinta Masumi.
***
“Enak?” Maya menilai
ekspresi Masumi, gadis itu tengah menyuapi kekasihnya dengan sup ayam. Bibi Harada
yang membawakan sup ayam untuk sang tuan muda.
Masumi justru terkekeh
melihat mata bulat Maya.
“Hei, apa yag lucu?” Maya
mengerucutkan bibirnya.
“Kau ini, aku jadi
seperti anak umur lima tahun yang sedang di suapi oleh ibunya.”
“Ah, begitukah?” Maya
jadi terkekeh mendengarnya. “Kalau begitu, jadilah anak manis dan habiskan
supnya.”
“Tidak, tidak, aku tidak
mau jadi anak manis. Bagaimana kalau jadi suami yang manis?” goda Masumi yang
langsung memekik saat Maya mencubit lengannya.
“Jangan bercanda, ayo
cepat habiskan supnya,” perintah Maya sembari membulatkan matanya.
“Kau tidak cocok marah
dengan mata bulat seperti itu,” kata Masumi yang kemudian mengambil mangkuk supnya
dari tangan Maya. “Aku akan makan sendiri.”
“Terserah Tuan Muda, cepat
habiskan, lalu minum obat.”
Masumi memakan supnya
sambil mengamati Maya yang kini tengah menyipakan obatnya di atas cawan kecil. “Sayang?”
“Ya?” gadis itu menoleh
dan memberikan perhatian penuh pada kekasihnya.
“Tolong bujuk Dokter
Hayate agar mengijinkanku pulang sore ini,” pinta Masumi. Dokter Hayate memang sudah
memeriksanya tadi, tapi belum mengijinkannya untuk pulang.
“Tidak,” tolak Maya cepat.
Dia lalu duduk di sisi ranjang Masumi. “Aku akan menemanimu di sini sampai
besok. Jadi, istirahatlah yang tenang. Jangan pikirkan apa pun, oke?”
“Aku lebih suka tidur di
rumah, terlebih di kamarmu,” ucap Masumi yang mengedipkan mata sebelum kembali
menyuap supnya.
“Ah, calon suamiku sekarang
pintar menggoda,” kata Maya dengan nada sing
a song. “Aku tetap tidak akan mengijinkanmu pulang meskipun kau
menjanjikanku pelukan hangat sepanjang malam.”
Masumi menggeleng geli
dengan perkataan Maya, memilih untuk tidak lagi berkomentar dan menikmati
supnya. Menghabiskan waktu bersama Maya memang selalu membuatnya merasa senang.
Ah, entah sampai kapan dia bisa menikmati waktu-waktu seperti ini. Akankah dia
berumur panjang? Perkataan Koji semalam kembali terngiang di dalam kepalanya.
“Masumi? Masumi?” Maya
menggoyangkan lengan Masumi yang tampak melamun.
“Ah, ya?” Mengulas senyum
canggung, Masumi memberikan mangkuknya pada Maya.
“Kau baik-baik saja?”
tanya Maya khawatir. Dia meletakkan mangkuk ke atas nakas lalu mengambil
segelas air putih.
“Iya, aku baik-baik saja.
Hanya teringat soal pekerjaan,” jawab Masumi memberi alasan. Dia segera meneguk
air minum yang diberikan Maya.
Gadis itu menggeleng
dengan wajah masam. “Jangan pikirkan pekerjaan. Kak Hijiri dan Nona Mizuki
pasti sudah membereskan semuanya. Istirahatlah dengan tenang.”
“Iya, iya, aku mengerti. Sekarang,
tolong berikan obatku Nona Kitajima.” Masumi mencoba mengalihkan topik
pembicaraan.
Dengan senyum manis Maya
memberikan obat pada Masumi. “Merasa lebih baik?” tanyanya setelah sang kekasih
selesai dengan obatnya dan kembali berbaring.
“Bagaimana mungkin aku
merasa tidak baik jika dirawat oleh kekasih mungilku, hm?”
Maya pun tertawa
mendengarnya. “Jangan merayuku. Istiharatlah,” ucapnya sembari menaikkan
selimut Masumi.
“Maya, kau belum makan
siang,” tegur Masumi saat teringat kalau kekasihnya sejak tadi hanya sibuk
merawatnya.
“Aku belum lapar.” Maya duduk
di sisi ranjang Masumi lalu menggenggam tangannya. “Jangan khawatir, Bibi
Harada juga membawakanku bekal.”
“Aku tidak mau kau sakit
karena merawatku.” Mengulurkan tangan, Masumi mengusap sisi wajah kekasihnya. Dia
melihat kantung mata Maya, “Kau terlihat lelah.”
Maya mengulas senyum untuk
menenangkan kekasihnya. “Tidak Masumi, aku baik-baik saja.”
Ketukan di pintu menyela
percakapan Maya dan Masumi. Dua orang perawat masuk untuk mengecek kondisi
Masumi. Maya pun menjauh dari ranjang untuk memberi ruang pada perawat. Bersamaan
dengan itu, handphone Maya berdering.
Dengan bahasa isyarat gadis itu memberi kode pada Masumi untuk keluar dari
kamar.
Melihat nama yang muncul
di layar membuat Maya menghela napas. Koji. Mengabaikan panggilan itu juga
tidak menyelesaikan masalah, Koji akan terus mengejarnya.
“Halo,” sapa Maya datar
pada sahabatnya di seberang sana.
“Akhirnya kau menjawab
teleponku,” Koji terdengar begitu senang.
“Ada apa lagi Koji?” Koji
benar-benar menguji kesabaran Maya.
“Aku ingin bertemu
denganmu. Tolong beri aku kesempatan Maya,” pinta Koji.
Maya menatap ke arah
pintu kamar dimana Masumi dirawat. “Maaf Koji, aku hanya mencintai Masumi.
Tolong jangan memaksaku. Aku benar-benar tidak ingin merusak persahabatan di
antara kita.”
“Tapi hubungan kalian
tidak akan berhasil Maya. Kau tidak akan bahagia. Aku tidak rela kalau harus
melihatmu bersedih di kemudian hari. Tolong, batalkan saja pernikahan itu dan beri
aku kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.” Koji benar-benar tidak
menyerah untuk memperjuangkan cintanya. Dia bersikeras bahwa semua itu demi
kebahagiaan Maya.
Pip! Maya lelah. Dia tidak
menjawab rengekan Koji dan lebih memilih untuk mengakhiri percakapan itu. Kembali
menghela napas panjang untuk menenangkan diri, Maya mencoba tersenyum sebelum
kembali masuk menemui Masumi.
Yang tidak Maya tahu
adalah Koji yang berdiri di ujung koridor dan mengamati bagaimana gadis itu
melangkah masuk setelah mengakhiri panggilannya. Tangannya menggenggam erat handphone untuk melampiaskan emosinya. Maya.
Koji yakin kalau hanya dirinya yang bisa membuat gadis mungil itu bahagia.
“Tuan Sakurakoji?” seorang
perawat memanggil Koji yang masih bergeming meski sudah tiga kali di panggil.
“Ah, iya, maaf,” jawab
Koji setelah sadar dari lamunannya.
“Silakan ikut saya,
Dokter Hayate sudah menunggu Anda.”
“Baik, terima kasih.” Dan
Koji mengikuti perawat itu dengan langkah mantap.
***
7 Comments
Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
ReplyDeleteGemesh banget 😡😡😡😡😡
Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
ReplyDeleteGemesh banget 😡😡😡😡😡
Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
ReplyDeleteGemesh banget 😡😡😡😡😡
Mom Dina komen sampe tiga kali 😁😁😁😁
ReplyDeleteWuahahahaha error kayanya pas komen
DeleteAkhirnyaaaaaa, yg ditunggu-tunggu.... koji bener-bener ngotot yak.
ReplyDeleteLho? Kok koji dipanggil dr hayate? Jangan2 koji juga sakit? Ga mungkin kan koji mau donor organ buat masumi😅
ReplyDelete