Heart - Chapter 13

Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi

FanFiction by Agnes Kristi

Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

=========================================================================



“Boleh saya bicara empat mata dengan Anda?” ucap Norie begitu Maya berdiri dan berniat meninggalkan stage. Syuting baru saja selesai.

Maya menatap Norie dengan kening berkerut, sejenak mempertimbangkan lalu mengangguk. Norie pun mengikutinya dalam diam. Yukari dan Maki tampak waspada begitu melihat Maya keluar stage bersama Norie.

“Tidak apa-apa, aku ingin bicara sebentar dengannya,” ucap Maya kemudian.

“Baik Nona.” Yukari dan Maki mengangguk bersamaan lalu mengikuti sang nona tanpa bertanya apa-apa. Keduanya menunggu di depan ruang rias sementara Maya masuk bersama Norie.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Maya begitu dia duduk di kursi. Norie yang berdiri di depannya tiba-tiba membungkuk dalam. “Eh, apa yang-,”

“Tolong maafkan saya,” ucap Norie.

“Berdirilah, kenapa tiba-tiba meminta maaf?” Maya segera menegakkan tubuh Norie dan menatap gadis itu dengan heran.

“Saya belum sempat minta maaf pada Anda atas semua kesalahan saya,” jawab Norie.

Maya menghela napas lalu kembali duduk di kursinya. “Kejadian itu sudah lama sekali, kenapa masih mengingatnya.” Rasanya aneh bagi Maya jika saat ini mereka membicarakan masa lalu.

“Anda sudah melupakannya?” Norie justru heran melihat reaksi Maya.

Aktris cantik itu menatap Norie lalu tersenyum. “Aku hanya tidak ingin membicarakannya. Biarlah masa lalu berada pada tempatnya.”

“Tapi-,” Norie menatap Maya ragu, “sampai saat ini saya masih merasa bersalah pada Anda,” lirihnya.

“Aku sudah memaafkanmu,” kata Maya kemudian.

“Anda sudah …,” Norie justru terkejut mendengarnya.

“Sebenarnya aku tidak pernah menyalahkanmu atas apa yang terjadi. Mungkin bagi orang lain aku terlalu naif tapi menurutku semua yang terjadi juga karena aku yang tidak hati-hati dan kondisiku yang …,” Maya terdiam saat teringat bagaimana ibunya meninggal. Gadis itu menghela napas perlahan. “Aku bersyukur bisa melalui semuanya dengan baik. Ya, masa masa sulit memang selalu berhasil membuatku melangkah lebih jauh.”

Norie tertunduk di hadapan Maya. Dia tahu pasti bagaimana Maya menghadapi masa-masa itu. Semua kejadian yang sudah diatur untuk menghancurkan gadis itu, Norie merasa begitu bodoh dan menyesali semuanya. Bahkan setelah sekian tahun berlalu, dia masih belum bisa melupakan semuanya.

“Saya sudah mendapat balasannya,” lirih Norie kemudian.

Maya menatap gadis dihadapannya dengan kening berkerut. Jujur saja dia tidak pernah tahu apa yang terjadi pada Norie setelah mengambil perannya.

“Shangrilla, Satoko, saya berhasil memerankan semua itu dengan baik karena saya meniru Anda. Tapi setelahnya, semua peran saya adalah kegagalan. Akhirnya saya tahu kalau akting di atas panggung bukanlah permainan. Anda dan Nona Himekawa memberikan saya pelajaran berharga.”

“Ayumi?” Maya justru tampak bingung mendengarnya.

Norie terkekeh pelan melihat reaksi Maya. Aktris di depannya ini memang naif. Maya bahkan tidak tahu jika Ayumi membalas perbuatannya dan menghancurkan karirnya dalam sekejap mata.

“Anda dan Nona Himekawa memang layak menjadi aktris besar.” Norie kemudian berdiri lalu membungkuk hormat pada Maya. “Terima kasih karena sudah memaafkan saya.”

Maya hanya tersenyum sembari mengangguk. Dia tidak bertanya lagi saat akhirnya Norie keluar dari ruang gantinya.

***

“Apa yang kau lakukan di ruang ganti Maya?”

Norie mengerutkan kening saat melihat seorang laki-laki berdiri di ujung koridor pintu keluar studio. Dia menoleh ke kanan dan kekiri tapi tidak ada orang lain selain dirinya.

“Kau bertanya padaku?” Norie menunjuk hidungnya dan berjalan mendekat ke arah laki-laki itu. “Sakurakoji?” Gadis itu tampak terkejut saat mengenali sosok di hadapannya.

“Norie Otobe,” kata Koji dengan nada datar. “Ada apa kau menemui Maya Kitajima?” ulangnya dengan mata menyipit tajam.

“Apa pun itu tidak ada urusannya denganmu,” jawab Norie sambil lalu. Dia sudah malas berhadapan dengan aktor atau aktris besar yang terkadang sok berkuasa.

“Aku sahabatnya, jangan coba menyakiti Maya lagi.”

Perkataan Koji membuat Norie berhenti melangkah lalu menoleh dengan kening berkerut. “Tidak perlu repot mengingatkanku. Aku bukan orang bodoh yang akan melakukan kesalahan yang sama.”

“Syukurlah kalau kau tahu,” jawab Koji yang kini justru melenggang meninggalkan Norie dengan wajah kesalnya.

“Sialan,” desis Norie kesal sembari menghentakkan langkah menuju pintu keluar.

***

Iwaguchi berdiri di depan ruang ganti Maya sementara Yukari juga Maki sedang berkemas dan membantu Maya berganti pakaian. Iwaguchi memperhatikan sekitar dengan waspada karena tadi Koji tiba-tiba menghilang dari pengawasannya

“Akhirnya dia datang,” lirih Iwaguchi lega begitu melihat seseorang yang muncul dari tikungan di ujung koridor ruang ganti Maya. Setidaknya kali ini dia bisa menghalangi Koji dan mencegah kejadian seperti beberapa minggu yang lalu. Dia masih merasa menyesal karena tidak bisa melindungi Maya.

Sebuah seringai muncul di wajah Koji saat melihat sopir Maya bergegas menghampirinya. Langkah kakinya terhenti saat Iwaguchi berhenti dua langkah di depannya dengan waspada.

“Anda tidak boleh menemui Nona Maya,” larang Iwaguchi tanpa basa basi.

“Ini perintah dari Tuanmu?” Koji masih santai berdiri dengan dua tangan di dalam saku jaketnya.

“Tanpa perintah sekali pun, saya akan tetap menjaga Nona Maya,” jawab Iwaguchi. Matanya mengamati kedua tangan Koji, tentunya dia mengantisipasi hal terburuk yang mungkin saja terjadi.

Melihat sikap Iwaguchi membuat Koji tertawa lalu mengeluarkan kedua tangannya dari dalam saku. “Kau takut aku membawa senjata lalu menyerang Nonamu?” tanyanya dengan masih terkekeh geli. “Konyol,” ejeknya kemudian.

Iwaguchi merasa lega karena ternyata dugaannya salah tapi hal itu tidak menurunkan tingkat kewaspadaannya. Dia yakin kalau Koji tidak akan menyerah begitu saja dengan larangannya.

“Katakan saja pada Maya kalau aku ingin bertemu. Dengan begitu semuanya akan lebih mudah,” perintah Koji.

“Maaf Tuan Sakurakoji,” tegas Iwaguchi. Dia bergeser satu langkah untuk menghalangi Koji yang ingin melewatinya.

“Kau berani menghalangiku?” Mata Koji memincing tajam dengan kedua tangan terkepal. Maya sama sekali tidak menjawab teleponnya, itu sudah cukup menyiksanya, tidak perlu ditambah dengan Iwaguchi yang mempersulitnya untuk bertemu Maya. Koji bahkan sudah bersusah payah untuk mencari tahu jadwal kerja gadis kesayangannya.

“Saya tidak punya alasan untuk takut pada Anda,” jawab Iwaguchi tenang.

“Sialan!” Baru saja Koji hendak melayangkan tinjunya saat sebuat suara menghetikan tindakannya. Dia pun berbalik dan berdecih saat melihat Masumi berjalan bersama dengan Hijiri.

“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Masumi dengan nada datar. Dia harus menahan diri agar tidak memancing keributan.

“Bertemu Maya, apalagi?” jawab Koji santai.

“Kau pikir Maya mau bertemu denganmu?” Masumi menarik sudut bibirnya menjadi seringai.

“Saya hanya akan mendengar jawaban dari Maya, bukan dari Anda, Tuan Masumi.”

Hijiri melirik reaksi Masumi yang kini tampak kesal. Dalam hati dia merasa khawatir dengan kondisi tuannya. Di lain sisi Koji justru terlihat semakin menantang Masumi.

“Anda memberikan saya waktu satu bulan, bukan begitu?” lanjut Koji kemudian. “Tidak adil kalau akhirnya Anda melarang saya untuk bertemu Maya.”

Kedua tangan Masumi terkepal menahan emosi. Apa yang dikatakan Koji memang benar, tapi dia tidak rela kalau sampai Koji bertemu Maya. Perhatiannya teralihkan saat pintu ruang ganti Maya terbuka dan Masumi bisa melihat ekspresi terkejut kekasihnya.

Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Koji langsung menghampiri Maya dengan wajah berbinar. “Akhirnya aku bisa bertemu denganmu,” ucapnya penuh kelegaan.

Maya menatap Masumi yang masih bergeming di tempatnya lalu memberikan perhatian penuh pada Koji. “Ada apa Koji?” tanya Maya dengan nada datar.

“Aku ingin bicara denganmu. Aku sadar sudah menjadi sahabat yang menyebalkan, aku ingin minta maaf. Tolong jangan menjauhiku.” Koji langsung menyatakan semuanya tanpa basa basi.

Menatap Koji dalam diam, Maya menghela napas perlahan. Dia pun berlalu begitu saja dari hadapan Koji lalu berjalan menghampiri kekasihnya. Masumi tentu saja langsung menyunggingkan senyum manisnya menyambut Maya. Direktur Daito itu bahkan langsung melingkarkan lengannya di pinggang ramping Maya sembari memberikan kecupan hangat di kening.

“Apa semuanya sudah selesai?” tanya Masumi.

“Iya, kami baru saja selesai.” Maya berjinjit lalu memberikan kecupan di pipi, sesuatu yang tidak pernah dilakukannya di depan umum, dan itu membuat Masumi semakin senang. Hijiri menyeringai sembari menatap Koji yang tampak kesal.

Maya berbalik lalu tersenyum pada sahabatnya. “Maaf Koji, aku harus pulang sekarang. Mungkin lain kali kau bisa membuat janji lebih dulu agar aku bisa meluangkan waktu. Terima kasih sudah datang.” Gadis itu menolak Koji tanpa basa basi. “Iwaguchi, tolong antar Yukari dan Maki.”

“Baik, Nona.” Iwaguchi mengangguk hormat, begitu juga Yukari dan Maki. Ketiganya segera pergi sesuai perintah Maya.

“Kita pulang sekarang?” tanya Masumi kemudian yang sepenuhnya mengabaikan kekesalan Koji.

“Tentu.” Maya mengangguk lalu mengamit lengan kekasihnya.

“Tu-tunggu Maya.” Koji berusaha menahan Maya agar tidak pergi.

“Aku harus pulang Koji, kita bisa bicara lain waktu.” Maya kembali menolak. Dia tidak ingin bicara dengan Koji di hadapan Masumi.

“Tapi Tuan Masumi membuatku sulit menemuimu,” Koji kembali membuat alasan.

Maya langsung menoleh pada kekasihnya. Masumi hanya menyeringai seraya mengendikkan bahu, membuat Maya tersenyum geli. Gadis itu kembali memberi perhatian pada sahabatnya. Koji tampak semakin kesal melihat interaksi sepasang kekasih itu.

“Setelah apa yang kau lakukan padaku, Masumi berhak melarangmu. Dia calon suamiku,” tegas Maya.

Dan skak mat, Koji terdiam meski dalam hati kembali merutuki kebodohannya tempo hari. “Maya … maaf-, aku …,” Koji mengepalkan kedua tangan menahan emosinya. Dia sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan semuanya pada Maya. Menurutnya dia hanya terlalu mencintai gadis itu. Itu tidak salah bukan? Batinnya membela diri.

“Pulanglah,” kata Maya yang membuat Koji tersentak dari renungannya. Dia melihat wajah Masumi yang tampak lelah, berdebat di depan Koji saat ini bukanlah pilihan bagus.

“Maya ….” Koji kembali memelas.

“Temui aku jika kau sudah sadar dengan kesalahanmu.” Maya mengamit lengan Masumi lalu menarik pria itu untuk pergi. Hijiri mengikuti keduanya dalam diam.

“Maya, aku tidak pernah merasa bersalah karena mencintaimu.” Koji masih keras kepala.

Perkataan itu membuat Maya dan Masumi menghentikan langkahnya. Keduanya langsung berbalik dan menatap Koji dengan kening berkerut. Demi apa mereka harus kembali berhadapan dengan kekeras kepalaan Koji.

“Aku sudah mengatakannya padamu. Aku mencintaimu, tidak ada yang salah dengan itu.” Pemuda itu masih bersikeras dengan perasaannya.

“Koji, aku-,”

“Justru kau yang seharusnya kembali berpikir tentang rencana pernikahanmu, Maya,” katanya menyela perkataan Maya.

“Jangan memaksakan perasaanmu pada Maya.” Kali ini Masumi yang menjawab. Sudah cukup dia menahan diri sejak tadi.

“Saya hanya ingin membuatnya sadar. Jika Anda memang bisa membahagiakan Maya, saya tidak akan bertindak sejauh ini,” jawab Koji dengan mata menatap tajam lawan bicaranya.

“Hentikan Koji!” Suara Maya meninggi. “Aku bahagia bersama Masumi, berhentilah-,”

“Bahagia macam apa yang kau harapkan kalau akhirnya kau hanya akan menjadi janda di usia muda?” Koji kembali menyela perkataan Maya. “Tuan Masumi tidak-,”

Plak! Sebuah tamparan membuat Koji diam. Pemuda itu terkejut dan melihat mata Maya yang memerah menahan air mata.

“Maya, tenanglah,” bisik Masumi saat memeluk tubuh kekasihnya yang gemetar karena amarah. Sungguh, dia tidak suka melihat Maya seperti ini.

“Tuan Sakurakoji, sebaiknya Anda pergi sekarang,” Hijiri juga sudah merasa geram. Dia berdiri di depan Maya dan meminta Koji untuk pergi.

“Berapa kali harus kukatakan padamu,” kata Maya dengan suara bergetar. Dia mengeratkan tanggannya pada lengan Masumi yang memeluknya. “Aku tidak mencintaimu Koji,” kata Maya diiringin deraian air mata.

Koji masih terdiam, terpaku mendengar perkataan Maya. Dia melihat gadis pujaannya menangis dalam pelukan Masumi. Hatinya merasa tidak terima.

“Sstt, saying, tenanglah.” Masumi kembali menenangkan kekasihnya. Ingin rasanya Masumi memukul Koji tapi dia tidak mau membuat Maya semakin sedih dan memancing keributan di studio. Selain itu perkataan Koji juga membuat hatinya sakit. Bukankah Koji benar? Batinnya bertanya.

Hijiri tak lagi menahan diri. Dia segera menarik lengan Koji dan menggiring pemuda itu menjauh. Koji juga tidak melawan, dia hanya diam sembari membayangkan wajah Maya yang basah karena air mata.

***

“Lebih baik?” Masumi merengkuh bahu Maya sembari menyeka air mata gadis itu dengan sapu tangan. Keduanya sudah duduk di dalam mobil sementara Hijiri mengemudi.

Maya mengangguk. “Maaf,” lirihnya.

“Maaf?” tanya Masumi dengan kening berkerut. “Kenapa harus meminta maaf?”

“Perkataan Koji tadi, aku … aku…,” Maya tidak bisa melanjutkan perkataannya dan hanya bisa menggenggam erat tangan Masumi.

“Kau tidak perlu meminta maaf,” Masumi memaksakan diri untuk tersenyum. Dia menyelipkan rambut panjang Maya ke belakang telinga lalu mengecup keningnya, melandaikan tubuh mungil itu kedalam pelukannya. Mereka pernah membahas masalah itu dan Masumi tidak mau membahasnya lagi. “Terima kasih sudah mencintaiku,” kata Masumi. Maya pun hanya diam sembari mengeratkan pelukannya.

Mobil berhenti di lampu merah, Hijiri mencuri pandang melalui kaca spion tengah. Hatinya gelisah saat melihat ekspresi wajah Masumi yang datar. Dia sudah sangat mengenal direktur Daito itu. Saat ini Masumi pasti tengah bergelut dengan perasaanya sendiri karena perkataan Koji tadi.

Suasana di dalam mobil menjadi begitu hening sampai akhirnya mereka tiba di mansion Hayami. Masumi melepaskan pelukannya dan keluar lebih dulu. Dia menghela napas panjang saat rasa sakit kembali menyambangi perutnya. Dengan tenang Masumi berjalan ke sisi lain mobil.

Hijiri yang juga keluar segera membukakan pintu untuk Maya. Masumi mengulurkan tangan untuk membantu kekasihnya tapi tiba-tiba semua terasa berputar. Masumi segera bersandar pada sisi mobil, membuat Maya memekik karena terkejut dan Hijiri segera menyangga tubuhnya.

“Aku tidak apa-apa,” kata Masumi saat melihat wajah panik kekasihnya. Dia merenggangkan dasi sembari menarik napas panjang.

“Jangan berbohong.” Maya menggunakan sapu tangan untuk menyeka kening Masumi yang berkeringat. Dia tahu Masumi tengah menahan sakit.

“Sebaiknya Anda segera beristirahat,” Hijiri membantu Masumi untuk kembali berdiri tegak.

Maya mengamit lengan Masumi yang lain dan membantunya berjalan dengan hati-hati. Tapi sepertinya Masumi tak sanggup lagi berjalan. Rasa sakit di perutnya semakin berlipat hingga membuatnya menggigit bibir bagian dalam untuk menahan nyeri. Dia hampir jatuh berlutut kalau saja Hijiri dan Maya tidak kuat menahannya.

"Ma-Masumi?" Maya panik saat melihat Masumi kesakitan, begitu juga Hijiri.

"Tuan, sebaiknya kita segera ke rumah sakit," saran Hijiri saat melihat wajah Masumi yang semakin pucat. Dia menahan tubuh Masumi yang mulai lemas dengan kedua lengannya.

"Ti-tidak," jawab Masumi dengan napas terengah. “Aku ingin istirahat … di rumah saja.”

"Jangan keras kepala Masumi, kumohon," bujuk Maya yang semakin khawatir melihat kondisi kekasihnya. Masumi memejamkan mata seraya menekan perutnya yang terasa nyeri. "Kak Hijiri, kita ke rumah sakit sekarang," perintah Maya kemudian.

Hijiri mengangguk lalu memapah Masumi kembali ke dalam mobil. Maya dengan cepat membuka pintu mobil dan membantu Masumi duduk. Direktur Daito itu tak lagi bisa membantah saat rasa sakit semakin mengusai tubuhnya. Pandangannya bahkan mulai mengabur. Masumi kembali memejamkan mata saat kepalanya terasa sakit dan sekelilingnya menjadi gelap.

"Masumi, Masumi, kau mendengarku?" Maya mencoba membuat Masumi tetap sadar. Sayangnya sang kekasih tak lagi bisa menjawab panggilannya. "Kak Hijiri tolong cepat, aku akan menghubungi dokter Hayate," kata Maya di tengah kepanikannya karena Masumi tidak sadarkan diri. Dia langsung menghubungi dokter Hayate dan memberitahukan kondisi Masumi. Hijiri memacu mobil sembari menenangkan Maya yang kini mulai menangis memeluk Masumi.

***

Maya memeluk dirinya saat merasakan tubuhnya kembali gemetar. Kedua tangannya terkepal erat, berusaha mengendalikan ketakutan dan pikiran negatif yang beterbangan di dalam kepalanya. Masumi sedang ditangani oleh dokter. Dia dan Hijiri tengah menunggu di luar emergency room.

Hijiri melepas jasnya dan menggunakannya untuk menutupi bahu Maya. “Anda ingin secangkir teh?” tanyanya saat Maya menoleh dan menatapnya dengan mata merah. Sang Nona hanya mengangguk, Hijiri bergegas pergi. Dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menenangkan Maya saat ini.

Tak lama kemudian Hijiri kembali dengan secangkir teh. "Nona, minumlah."

“Terima kasih.” Maya menangkupkan kedua tangan di sekeliling gelas yang terasa hangat lalu mulai meneguk teh perlahan. “Kenapa dokter lama sekali?” keluhnya dengan suara lirih, matanya menatap pintu emergency room yang masih tertutup. Maya pun menoleh pada Hijiri yang masih menatapnya.

“Tuan Masumi pasti bisa melewati ini, Nona jangan bersedih,” ucap Hijiri yang mencoba menenangkan Maya.

“Aku takut,” kata Maya sembari kembali menunduk dan menatap ke dalam cangkir tehnya. “Wajahnya pucat sekali dan dia terlihat kesakitan.” Maya menggigit bibir bawahnya untuk menahan isakan, setetes air lolos dari sudut matanya.

Hijiri tak bisa menjawab. Dia melihat ke arah koridor dan berharap Mizuki segera datang. Sudah tiga puluh menit berlalu sejak dirinya menghubungi sekretaris itu dan memintanya segera ke rumah sakit.

“Apa siang tadi Masumi baik-baik saja?”

Pertanyaan itu membuat Hijiri kembali mengalihkan perhatiannya pada Maya. “Sebenarnya setelah rapat petang tadi, Tuan sudah merasa pusing. Saya berinisiatif untuk menjemput Anda tapi Tuan bersikeras menjemput Anda sendiri.”

“Apa kalian tahu kalau Koji mencariku?” Maya kembali bertanya.

Pria kepercayaan Masumi itu mengangguk. “Iwaguchi memberitahu saya saat melihat Tuan Sakurakoji memasuki Gedung HTC.”

Maya menghela napas panjang. Dia tidak tahu lagi bagaimana harus menghadapi Koji setelah ini. Sahabatnya itu masih saja keras kepala. Yang membuatnya semakin sedih adalah masalah ini akan berdampak pada kesehatan Masumi.

“Selamat malam Nona, Tuan Hijiri.” Mizuki datang menyela pembicaraan keduanya.

“Nona Mizuki,” sapa Maya dengan senyum yang dipaksakan. Gadis itu mengucapkan terima kasih saat Mizuki kemudian duduk di sebelahnya.

“Tolong temani Nona Maya, aku harus mengurus beberapa administrasi rumah sakit.” Hijiri merasa lebih tenang karena ada Mizuki.

“Baik, Tuan.” Sekretaris itu mengangguk hormat atas perintah Hijiri.

“Anda tampak lelah, Nona. Apa Anda sudah makan malam?” tanya Mizuki begitu mengamati wajah Maya.

Nona muda itu menggeleng pelan. “Aku tidak lapar, Nona Mizuki.”

Mizuki memahami perasaan Maya. Mana mungkin gadis itu bisa makan sementara kekasihnya sedang sakit di dalam sana. “Tuan Masumi pasti baik-baik saja,” katanya kemudian.

“Ya, dia pasti baik-baik saja,” ulang Maya dengan suara lirih. Keduanya kini menatap pintu emergency room yang masih saja bergeming.

***

Jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Hijiri merenggangkan otot lehernya yang terasa kaku karena semalaman tertidur di kursi. Dia melihat Masumi yang masih tenang dalam tidurnya. Melihat ke sisi lain, ada Maya yang juga masih tidur di sofa. Gadis itu tampak kelelahan tapi akhirnya bisa tidur juga setelah kondisi Masumi dinyatakan stabil. Dokter sengaja memberi Masumi obat tidur agar pria keras kepala itu bisa istirahat lebih lama dan tidak merengek pulang.

Beranjak dari kursi, Hijiri pergi ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Dia harus segera bersiap karena hari ini dia harus menggantikan semua jadwal kerja Masumi.

“Selamat pagi.”

Hijiri yang baru saja keluar dari kamar mandi terkejut saat Maya menyapanya. Gadis itu sudah duduk di sofa dengan wajah sayunya. “Selamat pagi, Nona. Anda baik-baik saja?” tanyanya penuh simpati.

“Ya, aku baik-baik saja Kak Hijiri, terima kasih.” Maya tersenyum lalu mengalihkan pandangannya ke arah Masumi yang masih terlelap.

“Tuan Masumi baik-baik saja, Anda tidak perlu khawatir,” kata Hijiri tenang.

“Iya, aku lega dia baik-baik saja,” ucapnya sembari beranjak dari sofa dan menghampiri ranjang kekasihnya.

“Nona Mizuki sudah meminta Yukari untuk membawakan pakaian ganti Anda. Mungkin sebentar lagi dia sampai. Saya juga sudah memberitahu Tuan Asa dan bibi Harada.”

Maya mengangguk tanpa menjawab. dia mengusap lembut sisi wajah Masumi yang masih terlelap.

“Anda ingin sesuatu untuk sarapan pagi ini?” Hijiri tahu nonanya melewatkan makan malam.

“Tidak,” jawab Maya singkat. Gadis itu menoleh pada Hijiri dan memberikan senyum terbaiknya sebagai tanda terima kasih. “Kak Hijiri jangan khawatir, Yukari akan membantuku nanti.”

“Baiklah, Nona.” Hijiri mengangguk lalu melihat jam tangannya. “Saya harus pergi sekarang. Hubungi saya atau Nona Mizuki jika Anda butuh bantuan.”

“Terima kasih.” Sekali lagi Maya tersenyum saat kemudian Hijiri pergi.

Suasana di dalam ruangan terasa begitu hening. Maya duduk di sisi ranjang sembari menggenggam lembut tangan Masumi.

“Hei, Tuan Muda Hayami, bangunlah! Kau sudah membuatku khawatir,” lirih gadis itu sembari tersenyum sedih. Hatinya hancur melihat Masumi terbaring lemah seperti ini. Masumi yang dikenalnya adalah sosok pria keras dan penuh ambisi. Pria yang juga selalu melindunginya dari balik bayangan.

“Mulai saat ini aku yang akan menjagamu. Aku akan selalu berada di sampingmu,” lanjut gadis itu. Dia menangkupkan telapak tangan Masumi ke sisi wajahnya. “Aku mencintaimu.”

***

Langit-langit berwarna putih adalah yang pertama dilihat Masumi saat membuka mata. Dia mengamati sekitar dan menyadari kalau dirinya tengah berada di kamar rumah sakit. Mencoba untuk bangun tapi kepala yang berdenyut sakit membuatnya kembali berbaring. Suara pintu yang terbuka mengalihkan perhatiannya.

“Eh?!” sesaat Maya terpaku di ambang pintu tapi kemudian bergegas menghampiri kekasihnya. “Kau sudah bangun?” tanyanya dengan penuh kelegaan.

“Maya?” lirih Masumi dengan suara parau. Keningnya berkerut saat mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. “Aku pingsan?” tanyanya kemudian.

Maya mengangguk lalu mengusap lembut kening Masumi. “Bagaimana rasanya sekarang? Apa masih terasa sakit?”

“Tidak, aku merasa lebih baik. Maaf sudah membuatmu khawatir,” jawab Masumi. Tentu saja dia berbohong, kepalanya masih terasa berat dan dadanya sedikit sesak. Masumi kembali melihat ke sekeliling kamar. “Kau menjagaku semalaman? Sendirian?”

“Tentu saja tidak. Semalam ada Kak Hijiri dan Nona Mizuki yang menemaniku. Aku meminta Nona Mizuki pulang tapi Kak Hijiri menjagamu sampai pagi. Aku tertidur di sofa.” Maya menunjuk sofa di sudut ruangan. “Pagi tadi Kak Hijiri pergi untuk menggantikanmu di kantor. Yukari baru saja pulang karena harus mengurus undangan pernikahan kita.”

Mendengar penuturan Maya membuat Masumi merasa bersalah. “Maafkan aku sudah merepotkan kalian semua.”

“Hei, kenapa bicara seperti itu? Tidak ada yang merasa direpotkan. Terlebih aku,” jawab Maya sembari mengusap lembut sisi wajah Masumi. “Aku calon istrimu, sudah kewajibanku menjagamu.”

Masumi menarik sudut bibirnya menyerupai senyum. “Seharusnya aku yang menjagamu,” lirihnya.

“Kau selalu melakukannya Masumi.” Gadis itu tersenyum saat Masumi menatapnya dengan kening berkerut. “Mawar ungu, kau selalu menjagaku.”

Sesaat keduanya terdiam. Maya bisa menebak apa yang dipikirkan oleh calon suaminya itu. Masumi memang lebih sensitif sejak sakit.

“Aku mencintaimu, kau percaya?” tanya Maya kemudian.

Masumi tersenyum mendengar pertanyaan kekasihnya. “Aku percaya.”

Sebuah kecupan mendarat di kening Masumi. “Sebaiknya aku beritahu perawat. Dokter Hayate berpesan untuk memanggilnya saat kau bangun. Kau ingin sesuatu?” Maya menaikkan selimut Masumi sebatas dada lalu mengusap lengannya dengan sayang.

“Aku lapar, mungkin semangkuk sup hangat bisa membuatku merasa lebih segar.”

“Aku akan tanya perawat soal itu. Tunggu sebentar, aku segera kembali.” Maya pun berjalan ke pintu, hingga sebuah panggilan membuatnya berhenti dan menoleh. “Ya?”

“Terima kasih,” ucap Masumi diiringi dengan senyum manis, “Aku mencintaimu, Nona Kitajima.”

Dan Maya tidak sanggup menahan rona merah di pipinya karena pernyataan cinta Masumi.

***

“Enak?” Maya menilai ekspresi Masumi, gadis itu tengah menyuapi kekasihnya dengan sup ayam. Bibi Harada yang membawakan sup ayam untuk sang tuan muda.

Masumi justru terkekeh melihat mata bulat Maya.

“Hei, apa yag lucu?” Maya mengerucutkan bibirnya.

“Kau ini, aku jadi seperti anak umur lima tahun yang sedang di suapi oleh ibunya.”

“Ah, begitukah?” Maya jadi terkekeh mendengarnya. “Kalau begitu, jadilah anak manis dan habiskan supnya.”

“Tidak, tidak, aku tidak mau jadi anak manis. Bagaimana kalau jadi suami yang manis?” goda Masumi yang langsung memekik saat Maya mencubit lengannya.

“Jangan bercanda, ayo cepat habiskan supnya,” perintah Maya sembari membulatkan matanya.

“Kau tidak cocok marah dengan mata bulat seperti itu,” kata Masumi yang kemudian mengambil mangkuk supnya dari tangan Maya. “Aku akan makan sendiri.”

“Terserah Tuan Muda, cepat habiskan, lalu minum obat.”

Masumi memakan supnya sambil mengamati Maya yang kini tengah menyipakan obatnya di atas cawan kecil. “Sayang?”

“Ya?” gadis itu menoleh dan memberikan perhatian penuh pada kekasihnya.

“Tolong bujuk Dokter Hayate agar mengijinkanku pulang sore ini,” pinta Masumi. Dokter Hayate memang sudah memeriksanya tadi, tapi belum mengijinkannya untuk pulang.

“Tidak,” tolak Maya cepat. Dia lalu duduk di sisi ranjang Masumi. “Aku akan menemanimu di sini sampai besok. Jadi, istirahatlah yang tenang. Jangan pikirkan apa pun, oke?”

“Aku lebih suka tidur di rumah, terlebih di kamarmu,” ucap Masumi yang mengedipkan mata sebelum kembali menyuap supnya.

“Ah, calon suamiku sekarang pintar menggoda,” kata Maya dengan nada sing a song. “Aku tetap tidak akan mengijinkanmu pulang meskipun kau menjanjikanku pelukan hangat sepanjang malam.”

Masumi menggeleng geli dengan perkataan Maya, memilih untuk tidak lagi berkomentar dan menikmati supnya. Menghabiskan waktu bersama Maya memang selalu membuatnya merasa senang. Ah, entah sampai kapan dia bisa menikmati waktu-waktu seperti ini. Akankah dia berumur panjang? Perkataan Koji semalam kembali terngiang di dalam kepalanya.

“Masumi? Masumi?” Maya menggoyangkan lengan Masumi yang tampak melamun.

“Ah, ya?” Mengulas senyum canggung, Masumi memberikan mangkuknya pada Maya.

“Kau baik-baik saja?” tanya Maya khawatir. Dia meletakkan mangkuk ke atas nakas lalu mengambil segelas air putih.

“Iya, aku baik-baik saja. Hanya teringat soal pekerjaan,” jawab Masumi memberi alasan. Dia segera meneguk air minum yang diberikan Maya.

Gadis itu menggeleng dengan wajah masam. “Jangan pikirkan pekerjaan. Kak Hijiri dan Nona Mizuki pasti sudah membereskan semuanya. Istirahatlah dengan tenang.”

“Iya, iya, aku mengerti. Sekarang, tolong berikan obatku Nona Kitajima.” Masumi mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Dengan senyum manis Maya memberikan obat pada Masumi. “Merasa lebih baik?” tanyanya setelah sang kekasih selesai dengan obatnya dan kembali berbaring.

“Bagaimana mungkin aku merasa tidak baik jika dirawat oleh kekasih mungilku, hm?”

Maya pun tertawa mendengarnya. “Jangan merayuku. Istiharatlah,” ucapnya sembari menaikkan selimut Masumi.

“Maya, kau belum makan siang,” tegur Masumi saat teringat kalau kekasihnya sejak tadi hanya sibuk merawatnya.

“Aku belum lapar.” Maya duduk di sisi ranjang Masumi lalu menggenggam tangannya. “Jangan khawatir, Bibi Harada juga membawakanku bekal.”

“Aku tidak mau kau sakit karena merawatku.” Mengulurkan tangan, Masumi mengusap sisi wajah kekasihnya. Dia melihat kantung mata Maya, “Kau terlihat lelah.”

Maya mengulas senyum untuk menenangkan kekasihnya. “Tidak Masumi, aku baik-baik saja.”

Ketukan di pintu menyela percakapan Maya dan Masumi. Dua orang perawat masuk untuk mengecek kondisi Masumi. Maya pun menjauh dari ranjang untuk memberi ruang pada perawat. Bersamaan dengan itu, handphone Maya berdering. Dengan bahasa isyarat gadis itu memberi kode pada Masumi untuk keluar dari kamar.

Melihat nama yang muncul di layar membuat Maya menghela napas. Koji. Mengabaikan panggilan itu juga tidak menyelesaikan masalah, Koji akan terus mengejarnya.

“Halo,” sapa Maya datar pada sahabatnya di seberang sana.

“Akhirnya kau menjawab teleponku,” Koji terdengar begitu senang.

“Ada apa lagi Koji?” Koji benar-benar menguji kesabaran Maya.

“Aku ingin bertemu denganmu. Tolong beri aku kesempatan Maya,” pinta Koji.

Maya menatap ke arah pintu kamar dimana Masumi dirawat. “Maaf Koji, aku hanya mencintai Masumi. Tolong jangan memaksaku. Aku benar-benar tidak ingin merusak persahabatan di antara kita.”

“Tapi hubungan kalian tidak akan berhasil Maya. Kau tidak akan bahagia. Aku tidak rela kalau harus melihatmu bersedih di kemudian hari. Tolong, batalkan saja pernikahan itu dan beri aku kesempatan untuk memulai lagi semuanya dari awal.” Koji benar-benar tidak menyerah untuk memperjuangkan cintanya. Dia bersikeras bahwa semua itu demi kebahagiaan Maya.

Pip! Maya lelah. Dia tidak menjawab rengekan Koji dan lebih memilih untuk mengakhiri percakapan itu. Kembali menghela napas panjang untuk menenangkan diri, Maya mencoba tersenyum sebelum kembali masuk menemui Masumi.

Yang tidak Maya tahu adalah Koji yang berdiri di ujung koridor dan mengamati bagaimana gadis itu melangkah masuk setelah mengakhiri panggilannya. Tangannya menggenggam erat handphone untuk melampiaskan emosinya. Maya. Koji yakin kalau hanya dirinya yang bisa membuat gadis mungil itu bahagia.

“Tuan Sakurakoji?” seorang perawat memanggil Koji yang masih bergeming meski sudah tiga kali di panggil.

“Ah, iya, maaf,” jawab Koji setelah sadar dari lamunannya.

“Silakan ikut saya, Dokter Hayate sudah menunggu Anda.”

“Baik, terima kasih.” Dan Koji mengikuti perawat itu dengan langkah mantap.

***

>>Bersambung<<

Post a Comment

7 Comments

  1. Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
    Gemesh banget 😡😡😡😡😡

    ReplyDelete
  2. Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
    Gemesh banget 😡😡😡😡😡

    ReplyDelete
  3. Kuingin berkata kasar......itu c koji minta disleding
    Gemesh banget 😡😡😡😡😡

    ReplyDelete
  4. Mom Dina komen sampe tiga kali 😁😁😁😁

    ReplyDelete
  5. Akhirnyaaaaaa, yg ditunggu-tunggu.... koji bener-bener ngotot yak.

    ReplyDelete
  6. Lho? Kok koji dipanggil dr hayate? Jangan2 koji juga sakit? Ga mungkin kan koji mau donor organ buat masumi😅

    ReplyDelete