Heart - Chapter 10


Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

========================================================================

Jealous by Labrinth


I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
That falls upon your skin
Yang jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan

I'm jealous of the windu
Aku iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh aku iri pada angin, karena

[Chorus:]
I wished you the best of
Ku berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku

I'm jealous of the nights
Ku iri pada malam
That I don't spend with you
Yang tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh, aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku iri pada cinta

***


Maya menyeka air matanya lalu menghela napas panjang. Dalam diam dia menatap Iwaguchi yang tiba-tiba berhenti di bahu jalan.

“Anda baik-baik saja, Nona?” tanya Iwaguchi yang ternyata mengkhawatirkan kondisi nonanya.

“Aku tidak apa-apa. Tolong rahasiakan semua yang kau lihat malam ini, termasuk pada Yukari dan Maki,” kata Maya dengan suara parau.

“Tentu, Nona,” jawab Iwaguchi penuh janji. “Tapi bagaimana dengan Tuan Masumi? Anda, maaf, terlihat kacau. Apa sebaiknya Anda kembali ke apartemen saja?”

Maya kembali menyeka air matanya yang menetes. Dia tidak menjawab karena tidak tahu harus bagaimana. Gadis itu berjenggit karena terkejut saat handphone-nya tiba-tiba berdering. Nama Hijiri muncul di layar.

“Halo?” sapanya pelan.

“Anda baik-baik saja, Nona?” Suara Hijiri terdengar begitu khawatir.

“Kak Hijiri melihatnya?” tanya Maya kemudian.

“Maafkan saya,” jawab Hijiri penuh sesal.

“Tidak, tidak, aku tidak menyalahkan Kak Hijiri,” jawab Maya cepat. “Semua terjadi tiba-tiba, Koji … dia-,” Maya terdiam saat kejadian itu kembali terbayang dalam benaknya. “Bisakah Kak Hijiri rahasiakan hal ini? Aku tidak mau Masumi tahu,” pintanya kemudian.

“Tentu Nona, saya tidak akan melaporkan hal ini pada Tuan. Tapi, apakah Anda siap bertemu Tuan malam ini?” Hijiri merasa cemas karena melihat betapa marahnya Maya saat membanting pintu mobil.

“Semoga Masumi sudah tidur,” lirih Maya penuh harap.

“Tidak, Tuan belum tidur. Tuan Masumi baru saja menelepon saya dan menanyakan kenapa Anda belum juga kembali,” terang Hijiri.

Maya terdiam lalu menatap ke luar jendela, dimana mobil masih ramai berlalu lalang. Kembali ke apartemen juga bukan solusi karena Masumi pasti akan curiga. Dia pun melihat jam tangan yang saat ini menunjukkan pukul sembilan malam.

“Nona?” Diamnya Maya membuat Hijiri semakin khawatir.

“Tidak apa-apa, aku akan berakting semua baik-baik saja. Terima kasih sudah menjagaku.” Tanpa menunggu jawaban lawan bicaranya, Maya langsung mematikan telepon. Dia pun meminta Iwaguchi untuk kembali ke mansion Hayami.

***

Dengan langkah tenang Maya menyusuri koridor lantai dua menuju kamarnya. Sedikit lega saat mendapati pintu kamar Masumi sudah tertutup. Dia pun mempercepat langkah agar bisa segera mandi dan beristirahat.

“Kau baru pulang?”

Maya hampir saja menjerit saat mendengar suara Masumi di belakangnya. Gadis itu baru saja membuka pintu.

“Maaf, maaf, apa aku mengejutkanmu?” Masumi terkekeh lalu memeluk Maya dari belakang, memuaskan diri untuk mencium rambut panjang kekasihnya.

“Kau dari mana? Kenapa belum tidur?” Maya justru balas bertanya. Dia merasa sedikit tegang saat Masumi memeluknya. Masumi sendiri tampaknya tidak peduli kalau mereka masih berdiri di ambang pintu kamar.

“Aku sejak tadi di ruang kerja, masih menunggumu,” bisik Masumi sebagai jawaban.

Maya beruntung saat ini tengah membelakangi Masumi. Dia mengusap lembut tangan Masumi yang melingkar di perutnya, membuatnya sedikit merasa nyaman. “Bukankah aku sudah bilang untuk tidak perlu menunggu.”

“Hhmm,” gumam Masumi. Dia kini justru asik menyandarkan kepala di bahu Maya.

“Masumi,” panggil Maya lembut sembari tersenyum. Merasa geli dengan tingkah manja kekasihnya.

“Kau pergi terlalu lama. Apa makan malamnya menyenangkan?” tanya Masumi yang membuat senyum Maya melebar.

Gadis itu merenggangkan pelukan Masumi lalu berputar, membuat keduanya kini berhadapan. “Sepertinya ada yang cemburu,” goda Maya. Sebisa mungkin dia menutupi perasaan sedihnya.

“Apa terdengar seperti itu?” Masumi tersenyum lembut sembari mengusap wajah Maya. Ekspresinya menyendu saat jemari panjang itu menyentuh sudut mata Maya. “Kau terlihat lelah sekali, matamu merah,” lirihnya. Spontan Maya menarik tangan Masumi dan segera memalingkan wajahnya. Tentu saja hal itu membuat Masumi terkejut. “Ada apa?” tanyanya khawatir.

“Ti, tidak apa-apa,” jawab Maya terbata. Dalam hati gadis itu menjerit frustasi karena gagal berakting di depan Masumi. “Kau benar, aku merasa lelah sekali. Sebaiknya kita segera tidur,” lanjutnya untuk mengalihkan perhatian kekasihnya.

“Kita? Apa kau ingin aku tidur di sini lagi malam ini?” Masumi terkekeh saat ekspresi Maya tampak terkejut.

“Bukan itu maksudku,” kata gadis itu dengan pipi memerah.

Masumi kembali terkekeh. “Aku mengerti.” Pria itu meraih tengkuk Maya dengan tiba-tiba. “Boleh aku menciummu sebagai ucapan selamat malam?” bisiknya tepat di depan bibir sang kekasih. Sayangnya Maya tak sempat berpikir atau menjawab, Masumi langsung menciumnya dengan lembut.
Tentu saja perbuatan Masumi semakin membuat perasaan Maya kacau balau, air matanya kembali menetes. Masumi yang menyadari kekasihnya menangis, segera melepaskan pagutannya.
“Maaf, apa aku menyakitimu?” tanyanya dengan ekspresi wajah menyesal.

Maya menggeleng cepat. Gadis itu tampak semakin kebingungan. “Tidak, bukan begitu. Aku hanya-,” dia tidak tahu harus menjelaskan apa dan berakhir dengan memeluk Masumi erat. “-entahlah. Mungkin aku terlalu bahagia dengan semua ini,” lanjutnya dengan wajah tersuruk di dada bidang kekasihnya.

Wajah Masumi justru menyendu. Dia merengkuh Maya dengan kedua lengannya hingga gadis itu melayang di dalam pelukannya. Maya sempat memekik tapi tidak protes, sebagai gantinya gadis itu justru mengeratkan pelukannya saat Masumi membawanya ke atas tempat tidur. Dia merasa begitu lelah dengan semua yang terjadi.

Perlahan Masumi membaringkan Maya di atas tempat tidur. “Istirahatlah,” ucapnya seraya kembali mengusap pipi Maya yang terasa hangat.

“Terima kasih, aku mencintaimu,” jawab Maya kemudian.

Masumi mengecup kening sang kekasih dengan lembut. “Selamat tidur, aku juga sangat mencintaimu.”

Kalimat itu membuat perasaan Maya lebih tenang. Dia hanya bisa tersenyum saat kemudian Masumi menarik selimut untuknya. “Mimpikan aku malam ini,” kata Masumi dengan senyum simpulnya lalu berjalan ke arah pintu.

Sejenak Masumi menatap Maya lalu menutup pintu dan membiarkan kekasihnya beristirahat. Yang tidak Maya tahu adalah ekspresi wajah Masumi yang tiba-tiba mengeras begitu pintu tertutup rapat. Kedua tangannya terkepal erat, seolah menahan emosi yang tengah bergejolak. Ingatannya memutar kembali memori siang tadi dimana dia bertemu dengan Koji.

***

Siang itu, sebuah pesan undangan membuat Masumi penasaran. Dia sengaja mengendarai mobilnya sendiri dan datang ke sebuah restoran di pusat kota. Koji menunggunya disana. Begitu memasuki restoran, seorang pelayan langsung menyambutnya. Mengantarnya ke sebuah private room yang sudah di pesan.

"Selamat siang, Tuan Masumi. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk saya." Koji memberi salam seraya mengangguk hormat.

Masumi mengangguk sembari menjawab salam Koji. Keduanya duduk berhadapan di sebuah meja bundar. "Aku cukup terkejut membaca pesanmu tadi. Apa ada hal penting sampai kau mengundangku secara pribadi seperti ini?" tanya Masumi kemudian.

Koji menatap tajam lawan bicaranya. "Maaf kalau saya lancang. Tapi apakah berita mengenai rencana pernikahan Anda dan Maya itu benar?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Kau pasti sudah melihat konferensi pers kami bukan?" Meski terlihat tenang tapi dalam hati Masumi merasa gelisah. Kenapa tiba-tiba Koji membahas masalah pernikahannya? Dia tahu kalau Koji mencintai Maya. Tapi Masumi lebih tahu kalau Maya tidak mencintai Koji.

Koji pun mengangguk mantap. "Hal itulah yang membuat saya heran."

"Heran?" Masumi menatap Koji dengan alis bertaut.

"Beberapa minggu lalu saya menemani Maya yang tampak begitu kacau. Maya yang patah hati dan patah semangat. Dia menangis dan terluka. Meski Maya tidak mengatakan semua itu karena Anda tapi perasaan saya mengatakan bahwa itu semua ada hubungannya dengan Anda. Tapi sekarang-,"

"Apapun yang terjadi diantara kami, itu bukan urusanmu," tegas Masumi memotong ucapan Koji. Tangannya mengepal tanpa sadar di atas pangkuannya.

Apa yang dikatakan Koji membawanya pada memori beberapa minggu silam. Saat-saat dimana dirinya merasa kacau dan tidak tahu harus berbuat apa. Jika Koji melihat Maya menangis dan patah hati, dirinya justru lebih parah karena merasa ingin mati. Wajah terkejut Koji membuat Masumi menghela napas perlahan. Sadar kalau dirinya lepas kendali.

"Maaf, tapi seperti yang aku katakan. Apapun yang terjadi diantara kami berdua bukanlah urusanmu," Masumi mengulangi perkataannya dengan lebih tenang.

Koji menghela napas perlahan sembari memejamkan mata. Dia juga tampak menahan diri. Sesaat kemudian, dia kembali menatap tajam Masumi. "Saya mencintai Maya."

Masumi justru tersenyum tipis mendengar pengakuan Koji.

"Anda pasti tahu bagaimana perasaan saya pada Maya," lanjut Koji lagi.

"Tentu saja aku tahu." Tuan Muda Hayami itu meraih gelas tinggi berisi air putih di depannya. Meneguknya perlahan lalu kembali meletakkannya di meja. Sikapnya terlihat begitu tenang. Ah, keduanya bahkan belum memesan apapun pada pelayan yang sekarang pasti sedang berdiri di depan private room, menunggu panggilan. "Jadi, sebenarnya apa tujuanmu mengundangku?" tanya Masumi dengan tegas.

"Saya hanya ingin bertemu dengan Maya," pinta Koji.

Masumi merasa aneh saat mendengar permintaan pemuda di depannya. “Kenapa harus meminta padaku?”

“Saya tidak bisa menghubungi Maya. Dia juga tidak tinggal di apartemennya, bahkan Nona Yukari tidak mau mengatakan dimana Maya tinggal sekarang,” jelas Koji. Dalam hati dia merasa kesal karena setelah ini pasti Maya akan semakin sulit ditemui.

“Hanya itu?” tanya Masumi lagi. Koji hanya mengangguk sebagai jawaban. Masumi tampak berpikir tapi rasanya memang tidak adil kalau harus membatasi ruang gerak Maya untuk bertemu dengan Koji. “Baiklah, kau boleh mengajaknya makan malam. Temui Yukari di Studio 10 Daito petang nanti.”

“Terima kasih, Tuan Masumi,” ucap Koji penuh hormat.

***

Malam yang dingin di tengah kota Tokyo. Masumi bersandar pada mobil sembari menikmati sebatang rokok dan menatap ke arah bangunan apartemen yang menjulang tinggi didepannya. Ekspresi tenangnya berbanding terbalik dengan perasaannya yang kini bergejolak penuh amarah. Tak lama kemudian sebuah mobil berhenti di dekatnya. Hijiri berjalan keluar dari mobil lalu membungkuk hormat di depannya.

Masumi masih menikmati rokoknya, seolah tidak mempedulikan kehadiran pria yang kini berdiri tegap di sampingnya. “Kau terlambat sepuluh menit,” katanya kemudian dengan nada dingin. Tak ada emosi yang ditampilkan pada wajah tampan itu.

Hijiri kembali membungkuk hormat. “Maaf sudah membuat Anda menunggu, Tuan. Panggilan Anda-,”

“Aku mengerti. Tidak seperti biasanya bukan?” Masumi membuang rokok lalu menginjaknya.

Hijiri diam. Dia tahu Masumi sedang marah. Entah bagaimana sang Tuan bisa tahu, padahal Iwaguchi juga sudah dilarang untuk bicara.

“Kenapa diam? Kau pasti tahu alasanku mengundangmu ke tempat ini,” tuntut Masumi dengan nada tegas.

“Maafkan saya.” Hanya itu yang bisa Hijiri ucapkan.

Masumi menyeringai. “Aku hanya ingin tahu, apa yang Koji katakan padamu sampai kau berani berbohong padaku?”

“Saya berjanji pada Nona Maya-,”

“Dan kau menurut pada Maya? Membuat Maya bersedih karena harus bersandiwara di depanku?” Masumi berdecak kesal. “Aku tidak menyangka kau sebodoh itu.”

Perkataan Masumi membuat Hijiri dihantam rasa bersalah. Dia tidak ingin Maya bersedih seorang diri tapi di sisi lain, dia juga tidak mau membuat Masumi lepas kendali karena Koji. Reaksi Masumi saat ini bahkan sudah diprediksi olehnya.

“Kau mau melindungiku dengan mengorbankan Maya?” kata Masumi lagi.

“Maaf, Tuan. Tapi saya tidak pernah berpikir untuk membuat Nona Maya bersedih,” jawab Hijiri masih dengan kepala tertunduk.

“Sayangnya, itulah yang kau lakukan saat ini,” tegas Masumi lagi.

Hijiri mengangkat wajahnya dan melihat kilat kemarahan yang semakin besar di mata Masumi.

“Ingat, tugasmu adalah menjaga Maya, bukan aku. Bahkan setelah aku mati nanti, aku tidak pernah berpikir untuk membebaskanmu dari tugas itu. Kau yang akan menjaga Maya selamanya. Itu adalah pembayaran hutang yang aku minta darimu setelah semua kehidupan yang sudah keluarga Hayami berikan untukmu.”

Hijiri terjegil. Dia sadar bahwa Maya adalah pusat kehidupan Masumi. Tuannya itu tidak akan pernah peduli dengan dirinya sendiri kalau akhirnya Maya yang menjadi taruhannya.

“Apa aku bisa percaya padamu, Hijiri?” Masumi menuntut kepastian.

“Saya tidak akan mengecewakan Anda lagi,” jawab Hijiri penuh keyakinan.

Masumi menoleh ke arah apartemen lalu menghela napas panjang. “Bagus,” gumamnya dengan perasan lega.

Hijiri ikut mengalihkan perhatiannya ke arah apartemen. “Anda juga berada di restoran malam tadi,” tebaknya kemudian. Itu adalah alasan paling masuk akal dari kemarahan Masumi saat ini.

Masumi terdiam, sepertinya tidak berniat untuk menjawab.

“Tuan?” Sang Pengawal setia itu kembali menoleh pada tuannya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang Koji katakan padamu?” Masumi justru balik bertanya.

“Dia ingin saya menyampaikan salam untuk Anda,” jawab Hijiri. Berbohong tidak akan menyelesaikan apa pun dan justru akan semakin membuat Masumi marah.

Kedua tangan Masumi terkepal menahan marah. “Jadi anak itu memang menantangku,” gumamnya penuh emosi. Tak lagi bertanya, Masumi berjalan memasuki area apartemen, meninggalkan Hijiri yang terpaku dalam rasa bersalah.

***

Masumi dengan tenang berdiri di dalam lift. Matanya yang tajam mengamati setiap angka berwarna merah yang bergerak ke atas. Hingga akhirnya lift berdenting dan berhenti di lantai lima belas. Sang Tuan Muda melangkah keluar, berjalan di koridor apartemen yang sepi.

***

Waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Koji masih terjaga di ruang tamu apartemen mewahnya, beberapa kaleng bir berserak. Tapi dia tidak mabuk. Koji masih sadar sembari memikirkan apa yang sudah terjadi. Pemuda itu mengusap pipinya. Tamparan Maya sama sekali tidak sakit, tapi hal itu justru menghancurkan hatinya. Gadis tersayangnya menangis karena keegoisannya.

Renungan panjang Koji terputus saat bel apartemennya berdenting. Keningnya berkerut begitu melihat jam dinding di ruang tamunya. Meski begitu, dia tetap berjalan ke arah pintu. Matanya membulat saat melihat ke layar intercom. Dengan cepat dia membuka pintu. Pemuda itu berwajah datar seolah tidak terkejut dengan kedatangan tamu tak diundangnya.

“Selamat malam, Tuan Masumi,” sambutnya tenang.

“Malam Koji, senang melihatmu tidak terkejut dengan kedatanganku. Atau kau memang sudah menungguku?” Masumi menarik sudut bibirnya menjadi seringai tajam.

“Hanya tidak menyangka Anda datang secepat ini,” jawab Koji datar.

“Aku memang orang yang tidak suka menunda waktu.” Tanpa dipersilakan, Masumi memasuki apartemen Koji dengan langkah tenang.

Koji hanya diam saat Masumi melintas di depannya begitu saja. Pria itu kini berdiri di ruang tamunya, mengamati beberapa kaleng bir yang berserak di lantai.

“Menikmati malam, huh?” Masumi memiringkan kepala dan melihat Koji berjalan ke arahnya setelah menutup pintu.

“Jadi, pengawal Anda sudah memberi laporan?” Koji berhenti tepat di belakang Masumi.

Pertanyaan itu membuat Masumi membalikkan tubuhnya. Keduanya kini berhadapan dengan tatapan tajam. “Kau salah. Aku melihatnya sendiri,” ucap Masumi dengan nada tegas.

Kening Koji langsung berkerut mendengarnya. “Anda-,”

Bug! Sebuah pukulan telak di ulu hati membuat Koji tidak bisa melanjutkan perkataannya. Pemuda itu langsung terduduk di lantai.

Koji mengangkat wajahnya, menatap Masumi dengan mata memerah. Kedua tangannya memeluk tubuh dengan napas tersengal menahan sakit. Dia kemudian berusaha kembali berdiri.

Masumi menyeringai senang saat lawannya kembali berdiri tegak. Dia hampir tertawa saat melihat Koji melayangkan tinju yang dengan mudah ditangkapnya.

“Sudah saya katakan kalau saya mencintai Maya,” desis Koji geram sembari berusaha menarik tangannya yang berada dalam cengkraman Masumi.

Jawaban itu justru membuat Masumi terbahak. “Dasar bodoh!” maki Masumi sembari mendorong Koji hingga pemuda itu mundur beberapa langkah. Dia tidak habis pikir dengan tingkah Koji yang berani menantangnya.

“Saya yang lebih dulu mencintai Maya,” kata Koji lagi. Pemuda itu masih tidak mau mengalah.

Masumi menahan tawanya karena lelucon Koji. “Kau pikir aku peduli dengan perasaanmu? Yang penting disini adalah perasaan Maya!”

Koji terdiam. Dalam hati kecilnya, dia tahu sudah kalah telak dengan Masumi. Tapi otaknya masih tidak mau menerima. “Maya dulu juga mencintai saya!” ucapnya lantang.

Tawa Masumi kembali pecah. “Iya, sebelum kau meninggalkannya karena keluargamu dan memilih Mai.” Direktur Daito itu kembali menyeringai saat ekpresi kekalahan terbaca jelas di wajah Koji.

Bug! Bug! Kali ini dua pukulan membuat Koji tersungkur di lantai.

“Ugh!” rintihan itu lolos dari bibir Koji. Pukulan Masumi tidak main-main, dia merasakan perutnya kram dan bahunya berdenyut sakit.

Masumi berlutut di depan Koji, mencengkram keras rahang pemuda yang masih berani menatapnya tajam. “Hanya orang bodoh yang membuat gadis yang dicintainya terluka. Karena itu aku menahan diri saat melihatmu mencium Maya.”

Mata Koji membulat karena terkejut. Dia tidak menyangka kalau Masumi melihat sendiri apa yang sudah dilakukannya semalam.

“Kau menyesal?” tanya Masumi dengan seringai angkuh di wajahnya. Dia melepaskan cengkramannya dari rahang Koji. “Andai bukan karena Maya, aku pasti sudah membunuhmu.”

Keras kepala, itu ungkapan yang cocok untuk Koji saat ini. Dia belum mau menyerah. Dengan susah payah pemuda itu berusaha berdiri. Masumi hanya mendengus melihatnya.

“Saya … akan terus mencintai Maya,” ucapnya terbata. Kedua tangannya yang terkepal kembali melayangkan pukulan. Dua, tiga kali, semuanya dengan mudah ditangkis oleh Masumi, membuat Koji semakin geram. Lawannya kini seolah tak berniat membalas. Masumi hanya sibuk menghindari pukulan juga tendangannya. Hingga satu kesempatan, Koji berhasil mendaratkan sebuah tendangan di perut Masumi.

“Sial,” desis Masumi lirih. Pandangannya sedikit kabur karena kelelahan hingga dia tidak bisa menghindar dari tendangan Koji.

“Mari kita buktikan, siapa yang lebih layak memiliki Maya,” ucap Koji dengan angkuhnya.

Masumi berdecih. “Ternyata kau memang bodoh. Maya bukanlah barang untuk diperebutkan. Kalau kau seperti ini, maka sampai mati sekali pun, aku tidak akan pernah rela melepas Maya untukmu,” kata Masumi penuh amarah. Sepertinya memang tidak ada gunanya dia menahan diri, Koji sudah terobsesi untuk memiliki Maya. Masumi berhenti mempertimbangkan perasaan keksihnya dan kini balas menyerang dengan pukulan bertubi, membuat Koji kewalahan menghindar.

Prang! Sebuah vas bunga terjatuh dan pecah saat Koji terpukul mundur dan mengenai meja. Masumi menghela napas perlahan saat melihat pemuda itu tersuruk di lantai sembari memeluk dirinya. Beberapa bagian wajahnya mulai memerah karena pukulan Masumi. Meski begitu, Koji masih berani mengangkat wajahnya dan menatap Masumi dengan tajam.

“Jangan menantangku lebih dari ini,” Masumi memperingatkan. “Kau bahkan tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Aku bisa menjadi iblis jika itu demi Maya.”

Koji terkekeh pelan di tengah napasnya yang tersengal. “Maya hanya kasihan pada Anda.”

Pernyataan itu membuat Masumi terpaku. Koji kini terbahak dan kembali berdiri di depan Masumi. Pemuda itu bisa membaca keterkejutan di wajah sang Tuan Muda. “Benar bukan?” tantangnya.

“Yuu Sakurakoji,” desis Masumi menahan amarah.

“Ya, saya tahu semuanya. Itu sebabnya saya tidak akan menyerah karena Maya tidak akan bahagia bersama dengan Anda!” Bug! Sebuah pukulan berhasil mendarat di rahang kiri Masumi. Cukup membuat Direktur Daito itu mundur dua langkah.

“Maya hanya akan bersedih. Biarkan dia bahagia bersama saya!” Pemuda itu berteriak untuk meluapkan emosinya.

Masumi meludahkan darah lalu menatap Koji dalam diam. Kali ini bukan karena dia tidak bisa menghindar, tapi perkataan Koji membuatnya kembali meragukan perasaan Maya. Jika apa yang Koji katakan adalah kebenaran maka dirinyalah yang patut mendapat pukulan karena sudah mengorbankan Maya. Tidak! Batinnya berteriak. Dia tidak boleh tertipu. Itu pasti hanya permainan Koji yang menggunakan kelemahannya. Masumi berusaha berpikir tenang.

“Jika saya egois, maka bagaimana saya seharusnya menyebut Anda, Tuan Masumi?” kilat emosi di mata Koji belum surut. Tapi Masumi masih saja membisu. “Katakan, saya atau Anda yang sebenarnya menyakiti Maya?”

“Buktikan padaku,” kata Masumi kemudian. Ekspresi wajahnya lebih tenang meski sebenarnya tangannya masih ingin menghajar Koji. Tapi dia sadar kalau perkelahian tidak akan menyelesaikan masalah mereka.

“Apa yang harus saya buktikan?” tanya Koji tidak mengerti.

“Buktikan kalau Maya hanya kasihan padaku.”

Koji menyeringai senang. “Baik, saya akan buktikan kalau-,”

“Buktikan juga kalau Maya mencintaimu, maka aku akan melepaskannya,” sela Masumi tegas. Hatinya bergejolak saat mengatakan akan melepaskan Maya. Sanggupkah dia?

Kali ini pemuda itu terdiam, dalam hati Koji memaki Masumi yang kini balas menyeringai padanya. Dia mengamati setiap langkah Masumi yang mendekat dan berhenti tepat satu langkah di depannya.

“Sebelum kau bisa membuktikan apa pun, Maya adalah milikku. Sekali lagi kau membuatnya menangis maka aku tidak akan segan menghancurkan semua yang kau miliki,” tegas Masumi. Puas melihat reaksi Koji atas tantangannya, Masumi langsung berbalik pergi. Langkahnya kembali terhenti saat akan membuka handle pintu. “Ingat waktumu hanya satu bulan. Karena setelah Maya menikah denganku, bukti apa pun yang kau berikan tidak akan membuatku melepaskannya.”

“Satu bulan?! Bukankah pernikahan Anda masih dua bulan lagi?” Raut wajah Koji semakin keruh dengan tenggang waktu yang diberikan Masumi.

Masumi menoleh hanya untuk menunjukkan seringai kemenangannya. “Aku baru saja berubah pikiran.”

Koji hanya bisa menggeram marah saat akhirnya Masumi menghilang di balik pintu yang tertutup.

***
>>Bersambung<<
>>Heart - Chapter 9<<
>>Heart - Chapter 11<<

A/N : Na na na na .... happy reading ajalah ya dan doakan chapter 11 selesai dengan cepat wkwkwkwk.

Post a Comment

15 Comments

  1. Ya begitulah Masumi klo mslh Maya bisa terprovokasi ish ish ish nyebelin pisan
    Masumi Masumi kapan sadar sehhh
    Gemesh aqu tuh

    ReplyDelete
  2. Aaahhh... Lg seruu..abiisss.. Gemesssh sm masumi..ko masih ragu sm prsaan maya.. Koji jg.. Ko super myebelliin seeh.. Episode ini cm sdkit tp ngurass energi.. Top markotob lah.. Tq mba Agnes.. Lanjutkan..😀😀😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngeditnya juga bolak balik...syukurlah kalo emosinya tersampaikan 😁

      Delete
  3. Kok link chapter 11 nya ngga bisa di klik ya
    Wkwkwkwkwk...
    *Kodekeras

    Btw aku kok ngga rajin komen disini ya?
    Mulai skrg boleh spam gak mba Agnes 😁😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waahhhh seneng lah kalo rajin nyepam disini 🤣🤣🤣

      Delete
    2. Aku baca ulang lagi dari awal tau mba
      Terus pas bgt td pagi nyampe ke chap 9, eh ada yg nyolek di FB kalo chap 10 dah up ❤️❤️❤️ seneng bangetzzzzz

      Delete
    3. Iyaaaaaa
      Apalagi kalo bis ini tetiba ada chap 11
      Wkwkwkwkkw

      Delete
  4. Ish, kurang babak belur ituuuh. Hajaaaar

    ReplyDelete
  5. Terlambat update huaaaa.... Tp gpp deh sambil nunggu yg 11 ngulang2 yg lain dulu... Semangatttt kak. Selalu menunggu...

    ReplyDelete