Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
=========================================================================
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
=========================================================================
Pagi datang dengan cepat.
Maya masih merasa lelah saat sinar matahari menyelinap dan mengganggu tidurnya.
Dia pun bangun sembari menggosok lehernya yang pegal. Melihat jam di atas nakas,
Maya bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pukul 6.45, Maya tidak
mau terlambat untuk menyiapkan sarapan dan obat untuk kekasihnya.
Setengah jam kemudian,
Maya keluar dari kamar dan langsung melihat ke arah pintu kamar Masumi yang
masih tertutup rapat. Alih-alih membangunkan sang kekasih, Maya memilih untuk
menemui Harada lebih dulu.
“Anda sudah bangun,
Nona?” Harada tampak terkejut melihat Maya datang. Tentu saja reaksi Harada
membuat Maya mengernyitkan kening. “Ah, maaf.” Kepala pelayan itu langsung
membungkuk hormat saat menyadari perkataannya mungkin menyinggung perasaan sang
nona. Padahal sebenarnya, Maya hanya tidak mengerti kenapa Harada terkejut
melihatnya.
“Tidak apa Bibi, aku
memang bangun lebih siang dari biasanya,” jawab Maya kemudian.
“Maaf, bukan itu maksud
saya. Semalam Tuan Masumi mengatakan kalau Anda sedang tidak enak badan dan
kami dilarang mengganggu istrirahat Nona,” terang Harada. Wanita paruh baya itu
pun tersenyum, “Tapi saya senang melihat Anda baik-baik saja,” lanjutnya.
Ah, Maya mengerti. Gadis
itu lalu tersenyum, “Terima kasih, Bibi Harada, tapi aku baik-baik saja.”
“Apa Nona ingin menu
khusus untuk sarapan?” tanya Harada penuh perhatian.
Maya langsung menggeleng.
“Tidak perlu. Aku hanya ingin menanyakan sarapan Masumi sebelum
membangunkannya. Kami akan sarapan bersama Paman di ruang makan.”
Harada tampak berpikir.
“Semalam Tuan Masumi pergi lalu pulang hingga pukul tiga pagi. Apa Nona yakin
akan sarapan bersama di ruang makan?”
“Pergi?” Maya terkejut
mendengarnya. Harada mengangguk sebagai jawaban. Maya tidak bertanya lagi,
gadis itu langsung berbalik dan bergegas menuju kamar Masumi. Dia khawatir
begitu mendengar Masumi pergi dan pulang hingga pagi.
Tanpa mengetuk, Maya
langsung membuka pintu kamar yang memang tidak dikunci. Dia melihat Masumi
masih terlelap dalam balutan selimut. Perlahan dia menutup pintu lalu
menghampiri kekasihnya. Maya terkejut begitu duduk di tepi tempat tidur, ada
luka lebam di rahang dan pipi kiri Masumi. Gadis itu tampak khawatir. Matanya
melihat obat dan kantung kompres yang tergeletak di meja nakas, di sebelah
tempat tidur.
Masumi yang bergerak
membuat Maya tersentak. Gadis itu langsung beranjak dari sisi tempat tidur,
tidak mau mengganggu Masumi yang kini kembali terlelap. Tapi sayangnya, rasa
penasaran membuat Maya gelisah. Pikirannya menebak-nebak tentang apa yang
terjadi. Baru saja Maya berpikir untuk menghubungi Hijiri, Masumi justru
terbangun.
“Maya?” tanya Masumi
dengan suara parau. Sepertinya pria itu juga terkejut melihat kekasihnya
berdiri mematung di sebelah tempat tidur.
“Kau baik-baik saja?”
tanya Maya khawatir sembari kembali duduk di sebelah Masumi.
“Aku-, ugh!” Masumi
melenguh sakit saat mencoba untuk bangun.
“Masumi?!” Gadis itu
membantu kekasihnya untuk kembali berbaring. “Sebenarnya apa yang terjadi?”
Masumi terdiam, menikmati
sensasi kepala dan rusuknya yang berdenyut.
“Masumi.” Maya tampak
semakin khawatir. “Aku akan hubungi dokter Hayate.”
“Tidak-, ugh, jangan Maya,”
kata Masumi cepat. “Aku baik-baik saja.”
“Apanya yang baik,
Masumi? Kau kesakitan dan apa ini?” seru Maya menunjuk pada luka lebam
kekasihnya.
“Tidak apa-apa, aku hanya
terjatuh semalam,” jawab Masumi.
“Terjatuh dimana? Dan
kemana kau pergi semalam?” tanya Maya bertubi.
Pertanyaan Maya membuat
Masumi menautkan alis. “Aku tidak-,”
“Jangan berbohong, Bibi
Harada bilang kau pergi semalam dan baru pulang pukul tiga pagi.”
Masumi mengumpat dalam
hati. Dia lupa meminta Harada untuk tutup mulut. Semalam dia tidak bisa
berpikir jernih karena emosi.
“Masumi?” panggil Maya yang
menarik Masumi dari lamunannya. “Apa aku perlu menghubungi Hijiri juga?”
Tatapan mata yang
menuntut membuat Masumi menghela napas panjang. Sebenarnya dia tidak ingin Maya
tahu, tapi berbohong juga bukan solusi. “Aku pergi ke apartemen Koji,” akunya
jujur.
Mata Maya membulat karena
terkejut. Koji? “Ko-Koji?” tanya Maya
terbata.
Suasana menjadi hening. Maya
dan Masumi hanya saling menatap dalam diam. Gadis itu kemudian beranjak dan
keluar dari kamar tanpa mengatakan sepatah kata pun. Masumi hanya bisa menghela
napas panjang saat melihat gadisnya menghilang dibalik pintu.
***
Masumi baru saja selesai
berganti pakaian saat Maya kembali masuk ke kamarnya diikuti seorang pelayan
yang membawa nampan makanan. Dia mengamati kekasihnya yang tampak biasa saja
menyiapkan sarapan di meja. Perlahan, Masumi berjalan ke sofa saat pelayan
keluar dari kamar.
“Aku bisa sarapan di meja
makan,” kata Masumi seraya duduk di sebelah Maya.
“Dengan wajah seperti
itu? Dan membuat Paman khawatir?” jawab Maya tanpa menatap kekasihnya.
Masumi tidak menjawab,
dia justru menyandarkan kepala pada sofa. Kepalanya kembali berdenyut tidak
nyaman. Dia tahu kalau kekasihnya sedang marah.
Diamnya Masumi membuat Maya
menoleh dan mendapati kekasihnya tengah memejamkan mata. Kekesalannya langsung
berganti menjadi kekhawatiran. “Bagaimana lukamu?”
Mendengar pertanyaan Maya
membuat Masumi membuka mata. Dia langsung menghindar saat Maya akan menyentuh
rahangnya. “Tidak apa-apa, hanya luka kecil.”
Sesaat gadis itu terdiam
tapi tidak mendebat. “Kalau begitu cepat habiskan sarapannya.” Maya memberikan
semangkuk nasi dan sumpit. Masumi dengan patuh menerimanya dan makan dalam
diam.
Maya mengamati wajah kekasihnya
yang tampak pucat. Dia segera beranjak lalu berjalan ke arah nakas dan
mengambil obat Masumi. “Dokter Hayate akan datang untuk memeriksa lukamu.”
Masumi merlirik Maya yang
berdiri di depan nakas memunggunginya, tidak berkomentar dan melanjutkan makan
dengan tenang. Dia juga bergeming saat Maya kembali duduk di sebelahnya.
Sayangnya ketenangan itu tidak berlangsung lama. Masumi menjatuhkan sumpit dan
langsung meletakkan mangkuk nasinya yang tersisa setengah. Bibir pucatnya
mendesis lirih saat rasa nyeri menyambangi perutnya.
“Masumi?” Maya semakin
khawatir melihat Masumi kesakitan. Dengn cepat dia menyandarkan Masumi ke sofa,
memintanya menghela napas panjang. “Bisa minum obatmu?” tanyanya kemudian.
Tanpa menunggu jawaban kekasihnya, Maya langsung mengambil cawan berisi obat
juga segelas air putih. Dengan hati-hati dia membantu Masumi meminum obatnya.
“Maaf, aku tidak bisa
menghabiskan sarapannya,” ucap Masumi setelah meminum obatnya. Dia
kembali bersandar pada sofa lalu memejamkan mata, menikmati rasa sakit yang
masih melilit perutnya.
“Tidak apa-apa, sebaiknya
kau berbaring di tempat tidur.”
Masumi tidak menolak saat
Maya memapahnya untuk berbaring. Gadis itu menarik selimut untuk menutupi tubuh
Masumi yang terasa dingin. Melihat kondisi kekasihnya membuat sudut mata Maya
basah. Gadis itu merasa begitu kesal tapi juga sedih. Dia kembali teringat saat
Koji menciumnya semalam dan perasaannya makin kacau saat membayangkan Masumi
melihatnya.
“Maya,” panggil Masumi
saat melihat kekasihnya menangis. Dia mengulurkan tangan dan Maya yang mengerti
bahasa tubuh Masumi langsung jatuh ke dalam pelukannya.
***
Masumi
mengacak rambutnya frustasi. Eisuke berhasil memancing lagi emosinya. Dia pikir
mengirim Hijiri untuk memata-matai Maya adalah ide bagus dan bisa membuatnya
sedikit lebih tenang. Tapi ternyata hal itu tidak berguna sama sekali, ditambah
ejekan ayahnya, ah … Masumi semakin gelisah dibuatnya. Melirik jam dinding,
pukul 19.00, Masumi meninggalkan pekerjaannya lalu mengambil kunci mobil.
Tiba
di pelataran parkir restoran pukul 20.10, Masumi mengamati sekitarnya yang
sepi. Dia tidak keluar dari mobil, akan sangat mencolok jika dia masuk dan
menemui Hijiri. Masumi pun memilih menunggu dengan sabar di dalam mobil.
Sungguh kekanakan sekali, tapi hatinya tidak tenang jika hanya duduk diam di
rumah. Bahkan pekerjaan tidak sanggup mengalihkan pikirannya dari Maya.
Tiga
puluh menit berlalu. Jantung Masumi bertalu saat melihat Koji dan Maya memasuki
pelataran parkir. Jarak mereka cukup jauh tapi Masumi masih bisa melihat senyum
Maya saat gadis itu tersorot lampu penerangan yang tepat berada di sebelah
mobilnya. Dia melihat Iwaguchi yang bergegas membukakan pintu.
Setelahnya,
semua terjadi begitu cepat. Masumi bahkan terpaku saat melihat Maya mendorong
Koji dan menamparnya. Sungguh, Masumi merasakan dunia disekitarnya berhenti
berputar. Pikirannya kosong dan hatinya penuh amarah. Dia ingin keluar dan
menghajar Koji tapi langsung mengurungkan niatnya begitu melihat mobil Maya
keluar dari pelataran parkir. Tidak jauh dari sana tampak Koji berjalan
menghampiri Hijiri. Entah apa yang mereka bicarakan, Masumi hanya bisa
mengeratkan tangan pada kemudi lalu menginjak pedal gas.
Sesampainya
di Mansion Hayami, Masumi bergegas mencari Maya yang ternyata belum tiba di
rumah. Dia segera menghubungi Hijiri. Kemarahannya semakin berlipat saat
kemudian Hijiri berbohong padanya. Masumi menenangkan diri di ruang kerja
hingga dua puluh menit kemudian Maya pulang.
Dengan
langkah lebar Masumi menghampiri Maya sebelum gadis itu menutup pintu. Hatinya
berdenyut sakit saat melihat kekasihnya bersandiwara. Maya tersenyum dan
berakting seolah semua baik-baik saja. Semua itu membuat Masumi menahan diri.
Dia ingin Maya tenang dan beristirahat.
Rencananya
berhasil, Maya akhirnya tidur dengan tenang. Tepat tengah malam, Masumi
memeriksa kekasihnya yang terlelap sebelum akhirnya pergi. Dia menghubungi
Hijiri dan memintanya untuk datang ke apartemen Koji. Malam itu, Masumi
merasakan emosi yang bergejolak. Cinta segitiga memang selalu membuat hidup
menjadi rumit.
***
"Seharusnya kau
tidak perlu menemuinya. Lagipula kenapa kau juga ikut memata-mataiku?"
Maya mengeratkan pelukannya sementara kepalanya masih bersandar di dada Masumi.
Dia mendengarkan cerita Masumi sembari menikmati degub jantung kekasihnya yang
bertalu. Maya tahu Masumi masih marah. Keduanya kini berbaring di ranjang besar
sambil berpelukan.
"Aku hanya tidak
tenang membiarkanmu berdua dengan Koji. Dan firasatku benar bukan? Seharusnya
aku tidak mengijinkannya bertemu denganmu. Maafkan aku." Masumi membelai
lembut rambut panjang Maya kemudian mengecup puncak kepalanya.
Maya mengangkat wajahnya
lalu membelai luka lebam di rahang Masumi. "Aku tidak menyalahkanmu."
“Rasanya aku ingin
membunuh Koji," ucap Masumi saat matanya bertemu dengan manik mata bulat
kekasihnya.
“Sstt, jangan berkata
seperti itu.” Maya perlahan bangun lalu menumpukan tubuhnya di lengan Masumi. “Aku
tidak mau mempunyai kekasih seorang pembunuh,” lirihnya. Gadis itu lalu
mengikis jarak diantara mereka.
Masumi sempat terkejut
saat Maya tiba-tiba menciumnya tapi tidak menolak. Dia justru memejamkan mata
dan memperdalam ciuman mereka. Tangannya mengusap lembut tengkuk Maya.
Maya berkedip saat
melepas tautan bibir mereka lalu tersenyum. “Aku mencintaimu,” katanya kemudian
sembari kembali menyandarkan kepalanya di dada Masumi. Dia hanya sedang
berusaha meredam emosi kekasihnya.
"Aku marah saat
melihatnya menciummu," lirih Masumi di tengah wajahnya yang tersuruk di
puncak kepala Maya. "Aku marah saat Hijiri tidak melakukan apapun untukmu.
Aku marah melihatmu menangis dan menahan semuanya demi aku."
Maya terdiam sembari
mengusap lembut dada Masumi. Dia membiarkan Masumi mencurahkan isi hatinya.
Maya senang karena Masumi tidak lagi menyimpan semuanya sendiri.
"Dia terobsesi
padamu. Itu membuatku semakin takut kehilanganmu," lanjut Masumi,
pelukannya semakin mengerat, menegaskan perasaannya yang tidak rela kehilangan
sang kekasih.
Sesaat suasana begitu
hening hingga Maya melepas pelukan Masumi lalu kembali duduk dihadapan
kekasihnya. Tangan mungilnya menangkup wajah Masumi yang tampak sedih.
"Aku minta maaf
karena sudah menceritakan tentang kesehatanmu padanya. Tapi percayalah, semua
yang Koji katakan itu tidak benar. Aku mencintaimu, bukan kasihan padamu. Hidup
bersama denganmu adalah kebahagiaanku." Gadis itu tersenyum demi
menenangkan Masumi.
"Maaf menjadikanmu
taruhan," ucap Masumi sembari menggenggam tangan Maya.
Maya menggeleng.
"Aku mengerti kalau kau hanya berusaha menghentikannya. Aku juga tidak
keberatan untuk mempercepat pernikahan kita. Semua akan baik-baik saja, jangan
biarkan Koji menghancurkan kepercayaan di antara kita."
Tangan besar Masumi
mengusap lembut wajah kekasihnya. “Aku sangat mencintaimu.”
“Aku juga sangat mencintaimu,
jangan ragukan cintaku,” ucap Maya sembari tersenyum tipis.
Masumi menarik tangan
Maya hingga gadis itu kembali jatuh dalam pelukannya. Dia tidak peduli pada
lebam diperutnya yang berdenyut karena tertindih tubuh mungil kekasihnya. Rasa
nyeri diperutnya juga sudah jauh berkurang karena pengaruh obat.
Sesaat mereka hanya
saling tatap hingga Masumi tidak tahan untuk tidak mencium Maya. Bibir pucat
itu kembali bertemu dengan bibir merah muda kekasihnya. Maya pun membiarkan
Masumi menciumnya. Bibir mereka bertaut penuh hasrat. Maya merasakan lehernya
meremang saat Masumi memperdalam ciuman mereka dan jemari panjang Masumi
mengusap lembut lehernya. Saat tautan keduanya terlepas, Masumi menatap Maya
dalam.
“Aku tidak sabar untuk
menikah denganmu.” Entah kenapa pernyataan itu terdengar seperti keluhan bagi
Maya hingga gadis itu justru terkekeh dibuatnya. “Apa yang lucu?” tanya Masumi
bingung saat melihat reaksi Maya atas ucapannya.
“Kenapa kita tidak
menikah besok saja?” celetuk Maya yang membuat kening Masumi berkerut.
“Mizuki bisa terkena
serangan jantung kalau aku bersikeras menikahimu besok pagi,” jawab Masumi
sembari tersenyum tipis.
Maya kembali tertawa.
Gadis itu kembali menyandarkan kepalanya di dada Masumi. “Kalau begitu aku akan
bersabar, Tuan Hayami.”
Masumi meraih dagu Maya
dan membuat gadis itu menatapnya. “Boleh aku menciummu lagi?”
Belum sempat Maya
menjawab, sebuah ketukan pintu menyela momen indah itu. “Tuan, Nona, Dokter
Hayate sudah tiba.” Terdengar suara Harada dari balik pintu.
Helaan napas panjang
Masumi membuat Maya tergelak. “Sepertinya kau juga harus bersabar, Tuan
Hayami.” Gadis itu memberikan ciuman sekilas di sudut bibir Masumi lalu
bergegas turun dari tempat tidur. Dia tersenyum saat Masumi memperhatikannya
merapikan baju dan rambutnya. Maya berjalan ke arah pintu sembari menahan tawa
saat mendengar kekasihnya kembali menghela napas panjang.
***
“Berapa lama Masumi akan
tertidur Dokter?” tanya Maya begitu melihat kekasihnya terlelap di bawah
pengaruh obat.
Dokter Hayate membereskan
alat injeksinya lalu menatap Maya. “Empat jam, Nona. Maaf saya terpaksa memberi
Tuan Masumi obat tidur agar bisa beristirahat lebih lama.”
“Tidak apa-apa, Dokter.
Saya tahu bagaimana Masumi, dia memang tidak akan beristirahat kalau Dokter
tidak memberinya obat tidur. Tapi bagaimana dengan lukanya?” tanya Maya
kemudian. Tadi dia melihat kalau perut Masumi juga terdapat luka lebam.
Pikirannya jadi melayang jauh membayangkan bagaimana Masumi dan Koji berkelahi
karenanya.
“Lebamnya akan hilang
dalam beberapa hari. Saya juga sudah meresepkan obatnya. Hubungi saya
secepatnya jika keluhan sakit di perut Tuan Masumi semakin sering.”
Maya mengangguk tanda
mengerti lalu menerima resep yang diberikan Dokter Hayate. Dia mengucapkan
terima kasih lalu mengantarnya ke pintu depan dan membiarkan Masumi menikmati
istirahatnya.
“Bagaimana kondisinya?”
Maya menoleh saat
mendengar suara Eisuke. Gadis itu tersenyum lalu menghampiri calon ayah
mertuanya. “Masumi baik-baik saja. Paman tidak perlu khawatir.” Maya mendorong
kursi roda Eisuke ke taman belakang.
“Dia memang bodoh,
berkelahi hanya karena sebuah makan malam. Bagaimana kalau berita ini sampai ke
media?” sungut Eisuke.
Tentu saja Maya berbohong
pada Eisuke. Bagaimana mungkin dia mengatakan kalau Masumi marah karena Koji
menciumnya. Gadis itu tidak ingin menyiram minyak ke atas api. “Bukankah itu
tandanya Masumi sangat mencintaiku?” kata Maya yang berusaha mengurai kekesalan
Eisuke.
Pria paruh baya itu hanya
menghela napas, matanya mengamati ikan-ikan Koi kesayangannya. Eisuke dan Maya
sudah tiba di tepi kolam, di halaman belakang. “Aku tahu dia sangat
mencintaimu, tapi aku tidak suka dia bertindak bodoh dan membahayakan dirinya
sendiri.”
Maya tersenyum
mendengarnya. Dia mengerti kalau Eisuke sebenarnya juga menyayangi Masumi. Dengan
lembut Maya mengusap bahu Eisuke hingga pria itu mengangkat wajah, menatapnya
teduh.
“Tolong jaga dia. Aku
tidak pernah membuatnya bahagia. Semoga bersamamu, Masumi bisa bahagia dan
tidak menyerah menghadapi kondisinya.” Permintaan Eisuke membuat hati Maya
menghangat.
“Aku mungkin tidak bisa
menjanjikan dia akan selalu bahagia bersamaku. Tapi Paman tidak perlu khawatir,
apa pun kondisi Masumi, aku akan mendampinginya sampai akhir,” janji Maya
sembari menggenggam erat tangan Eisuke di atas pangkuannya. Gadis itu kini
berlutut di depan calon ayah mertuanya.
“Aku percaya padamu,
Maya.” Eisuke tersenyum lalu mengusap lembut puncak kepala Maya.
Tinggalnya Maya di
Mansion Hayami membuat hubungan keduanya semakin akrab. Eisuke bahkan sudah
menganggap Maya sebagai putrinya. Dia jadi merasa bodoh karena selama ini
mengejar sesuatu yang sia-sia. Ternyata memiliki sebuah keluarga adalah hal
yang penting. Rasa bersalah kadang menghantui saat dia menyadari sudah
menghancurkan hidup Masumi demi obsesinya pada Bidadari Merah. Sungguh
beruntung kalau akhirnya Masumi bisa bertemu Maya. Meski sedikit terlambat,
Eisuke ingin memperbaiki semuanya. Di sisa hidupnya, dia ingin menikmati hidup
bersama anaknya. Menebus semua kesalahannya di masa muda.
“Terima kasih sudah hadir
di keluarga Hayami, Maya,” kata Eisuke dengan sudut mata yang mulai basah.
“Tidak, Paman. Aku yang
berterima kasih karena sudah diterima di keluarga ini,” jawab Maya yang
kemudian menyandarkan wajahnya di atas pangkuan Eisuke.
Yang tidak mereka sadari,
Asa dan Harada melihat interaksi ayah dan calon menantu itu dari ambang pintu
belakang. Keduanya turut merasa bahagia dengan kehadiran Maya di keluarga Hayami.
“Semoga Tuan Besar
panjang umur agar bisa melihat Tuan Masumi dan Nona Maya bahagia,” ucap Harada
penuh haru yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Asa.
***
Koji melihat jam dinding
yang menunjukkan pukul 10.00. Dia baru saja mendapat ceramah panjang dari
managernya karena luka memar di tubuh dan wajahnya. Jadwal syutingnya beberapa
hari kedepan menjadi kacau. Aktor muda itu beralasan membela diri saat ada yang
mengganggunya di bar. Dia tidak mungkin menceritakan perkelahiannya dengan
Masumi.
“Ugh.” Pemuda itu
melenguh lirih saat kembali mengompres memar di wajahnya dengan es batu. Dia
benci mengakui Masumi berhasil mengalahkannya dan membuatnya babak belur. Koji tidak
menyangka kalau Direktur Daito itu ternyata bisa beladiri.
Suara bel yang berdenting
membuat Koji dengan enggan melangkah ke pintu. Dia memang memesan makanan
dengan layanan antar karena tidak mungkin baginya keluar dengan wajah seperti
itu. Tanpa melihat ke layar intercom, Koji membuka pintu.
“Selamat pagi, Koji.”
Aktor muda itu terpaku di
ambang pintu. Dia merasa déjà vu. Bukankah dini hari tadi dia juga mendapat
tamu tak diundang? Sapaan bernada datar itu menggelitik telinganya.
“Ma-Maya?”
***
Mungkin baru kali ini
Maya merasa begitu kesal saat bertemu dengan sahabatnya, Koji. Saat ini dirinya
sudah duduk di sofa ruang tamu dan mengamati Koji yang tampak kikuk duduk di
depannya.
“Kau mau minum sesuatu?”
tanya Koji untuk memecah suasana canggung diantara mereka.
Maya menggeleng pelan.
“Aku datang kesini bukan untuk minum bersamamu.”
Koji terdiam, dia tidak
tahu harus menjawab apa. Maya yang duduk didepannya memancarkan aura gelap,
gadis itu tampak marah. Ah, siapa yang tidak marah jika dicium secara paksa?
Dan perkelahiannya dengan Masumi … apa Maya juga tahu? Atau itulah alasan utama
Maya datang menemuinya? Koji merasa bingung.
“Aku kecewa padamu,
Koji.” Maya menatap tajam lawan bicaranya. Memar di wajah Koji sama sekali
tidak membuatnya iba. Dia justru merasa senang karena Masumi ternyata cukup
memberi sahabatnya itu pelajaran. Ya, meski dia tidak suka melihat Masumi juga
terluka.
“Aku mencintaimu.” Koji lagi-lagi
mengucapkan kata saktinya.
Mata Maya memincing
tajam. “Kau pikir dengan mengatakan cinta maka bisa membenarkan semua
tindakanmu?”
“Jujur saja Maya, kau
hanya kasihan pada Tuan Masumi. Kau tidak benar-benar mencintainya,” kata Koji
yang masih bersikeras pada pendapatnya.
“Aku mencintainya jauh
sebelum dia sakit Koji,” jawab Maya tegas.
“Lalu apa yag kau
harapkan darinya? Kau ingin menjadi janda Hayami di usia muda?”
“Koji!” seru Maya dengan
nada tinggi. Gadis itu berdiri dengan emosi dan membiarkan tasnya jatuh ke
lantai begitu saja. “Aku tidak menyangka kau tega berkata seperti itu.”
“Aku hanya berusaha
menyadarkanmu sebelum terlambat.” Koji ikut berdiri, emosinya ikut terpancing
karena karena kemarahan Maya.
“Kau yang seharusnya
sadar. Semua pikiranmu itu salah,” ucap Maya membantah perkataan Koji.
“Lalu kenapa kalau aku
salah? Aku mencintaimu dan berjanji akan selalu membahagiakanmu. Apa itu tidak
cukup untukmu meninggalkan Tuan Masumi? Aku mungkin tidak sekaya keluarga
Hayami tapi aku-,”
“Hentikan omong kosongmu,
Koji!” kali ini Maya berteriak. Dia menutup telinga dan menatap Koji dengan
tatapan tajam. Maya tidak mengenal sosok di depannya. Pemuda itu jauh berbeda
dengan Koji yang dikenalnya dulu.
Koji berjalan mendekat
tapi Maya langsung mengambil langkah mundur. Setelah mendengar perkataan Koji,
Maya jadi takut dekat dengan sahabatnya itu. Melihat Maya menjaga jarak membuat
Koji berhenti melangkah.
“Jangan takut padaku,
beri aku kesempatan. Ijinkan aku membuktikan cintaku,” lirih Koji dengan nada
memohon. Sungguh dia belum ingin menyerah dengan perjuangan cintanya.
“Tidak ada yang perlu kau
buktikan Koji.” Maya menghela napas untuk menenangkan dirinya dari gejolak
emosi dan ketakutan. “Awalnya aku datang untuk menegaskan perasaanku dan
memintamu untuk tidak mengganggu hubunganku dengan Masumi. Tapi sepertinya itu sulit.
Kau dan pikiranmu, aku bahkan sama sekali tidak mengerti.”
“Kau yang tidak mengerti
perasaanku.” Koji masih bersikeras.
“Sejak dulu kita hanya
sahabat, Koji,” jawab Maya yang kembali menegaskan hubungan mereka berdua.
“Dulu kau telah memilih Mai. Bahkan saat kau kembali mengejarku, aku sudah
menegaskan perasaanku. Kenapa sekarang kau memaksa?”
Koji terdiam. Dia terpaku
menatap Maya yang kini mengambil tas di lantai lalu berjalan memutari meja dan
berhenti tepat di belakangnya.
“Aku mencintai Masumi dan
aku akan menikah dengannya,” kata Maya tanpa menatap lawan bicaranya. Keduanya
saling memunggungi. Koji masih terpaku, menikmati rasa sakit karena pernyataan
Maya.
Suara pintu yang tertutup
membuat Koji mengepalkan tangan menahan amarah. “Tidakkah ada kesempatan kedua
bagiku, Maya?”
***
Maya menarik napas
panjang begitu berdiri di luar pintu apartemen Koji.
“Anda baik-baik saja,
Nona?” tanya Hijiri yang ternyata sejak tadi menunggu Maya di luar apartemen.
“Sebaiknya kita pergi,”
perintah Maya tanpa menjawab pertanyaan Hijiri. Keduanya kini berjalan
berdampingan. Tak lupa Maya mengenakan kaca mata hitamnya.
“Dia tidak menyakiti
Anda, Nona?” Hijiri kembali bertanya saat mereka berada di dalam lift.
Maya langsung menggeleng.
“Tapi aku sama sekali tidak mengerti dengan pikirannya. Dia keras kepala.”
“Sebaiknya Nona tidak
menemuinya lagi. Saya sudah berjanji pada Tuan untuk tidak berbohong mengenai
Anda.”
Gadis itu menoleh lalu
tersenyum pada pengawal yang sudah dianggap sebagai kakaknya itu. “Aku tahu,
maafkan aku karena sudah merepotkanmu.”
“Saya senang bisa
membantu, Anda. Sayangnya Tuan Masumi terkadang bertindak di luar kendali jika
menyangkut tentang Nona.”
“Kupikir kau sudah
terbiasa dengannya.”
“Saya tidak masalah
dengan kemarahan Tuan. Hanya saja kondisinya membuat saya khawatir.”
Maya terdiam, matanya
mengamati angka berwarna merah yang bergerak turun. “Ya, kau benar.”
Lift berdenting lalu
pintu terbuka. Keduanya berjalan dengan tenang, mengabaikan beberapa orang yang
berpapasan dan menatap penasaran pada Maya. Dengan cepat Iwaguchi keluar dari
mobil saat melihat Maya dan Hijiri datang.
“Terima kasih sudah
menemaniku,” ucap Maya pada Hijiri seraya mengangguk.
“Sudah tugas saya menjaga,
Nona.” Hijiri juga mengangguk hormat pada nonanya yang kemudian masuk ke dalam
mobil. Setelah Maya pergi, dia juga bergegas kembali ke kantor untuk
menyelesaikan pekerjaannya. Handphone-nya
berdenting tepat sebelum Hijiri menginjak pedal gas. Sebuah pesan dari Mizuki
membuat pria itu tersenyum.
Saeko
Mizuki
Rencana
pernikahan dipercepat satu bulan? Anda tidak bercanda Tuan Hijiri?
Hijiri membayangkan
Mizuki yang panik saat menerima email yang berisi rincian tugas untuk menghubungi
pihak wedding organizer dan mengatur percepatan rencana pernikahan. Ya, setelah
ini mereka pasti akan sangat sibuk.
***
“Nona Koto meneleponku,
dia bilang tidak masalah dengan gaun dan tuxedo-nya. Semua akan selesai satu
minggu sebelum pernikahan.” Maya bercerita sembari mengupas apel untuk Masumi
yang tengah menghabiskan makan siangnya. Kekasihnya itu tampak lebih segar
setelah cukup beristirahat.
“Itu bagus,” jawab Masumi
singkat.
“Tapi aku menolak rencana
Nona Mizuki yang ingin membuat konferensi pers soal percepatan rencana
pernikahan.”
Masumi menatap Maya
penasaran. “Kenapa?”
“Aku hanya malas menghadapi
para wartawan. Biarkan saja mereka tahu saat undangan sudah dibagikan nanti.” Maya
meletakkan potongan apel di atas piring kecil lalu meletakkannya di atas meja. “Lagipula
para wartawan itu hanya akan mengganggu Nona Mizuki dan Kak Hijiri. Mereka sudah
cukup pusing mengatur semuanya untuk kita.”
“Ya, terserah padamu,”
jawab Masumi santai. Dia meletakkan mangkuk kosongnya di meja lalu menurut saat
Maya memberinya obat dan segelas air putih.
“Merasa lebih baik?”
tanya Maya kemudian saat Masumi bersandar pada sofa setelah meminum obatnya.
Pria itu tersenyum lalu
mengangguk. “Terima kasih,” ucap Masumi pada kekasihnya. “Panggil saja pelayan,”
katanya lagi saat melihat Maya membereskan meja.
“Tidak apa-apa. Aku akan
membawanya ke bawah.” Maya pun keluar dari kamar dengan membawa nampan makan.
Sambil menunggu Maya,
Masumi membaca pesan dari Hijiri dan Mizuki. Dia juga memeriksa email dan
membaca beberapa laporan pekerjaan. Perhatiannya teralihkan saat handphone Maya yang tergeletak di atas meja
bergetar. Sepertinya Maya memasang mode silent.
Masumi mengambil handphone dan
matanya menyipit saat melihat nama yang muncul di layar. Yuu Sakurakoji.
***
16 Comments
Uhuyyyy.... Comment Pertamax lagi ahhhhh
ReplyDeleteWkwkwkwkwkkw
Aku pada mu mba Agnes ❤️❤️❤️
Koji nyebelin ngapain ya nelp2 Maya lagi? Ishhhhh.. sebel
DeleteEkwkwkwke gercep mom
DeleteNungguin yaaaaa
Uhuyyyy.... Comment Pertamax lagi ahhhhh
ReplyDeleteWkwkwkwkwkkw
Aku pada mu mba Agnes ❤️❤️❤️
Uhuyyyy.... Comment Pertamax lagi ahhhhh
ReplyDeleteWkwkwkwkwkkw
Aku pada mu mba Agnes ❤️❤️❤️
Nyepam dia 🤣🤣🤣
DeleteDuh semalem ketiduraaan.
ReplyDeleteAku ga sabaaar nunggu hari pernikahaan. Yang mau nikah mereka, aku yg deg-degan haha.
Itu si Koji mau ngapain lagi sih?
Iya Koji mo ngapain lagi seh
DeleteTuhh sama2 kita ketiduran...koji masih memperjuangkan cinta 🤣🤣
DeleteSebelum janur kuning melengkung masih milik bersama 🤣
Koji ga kapok2 yaa
ReplyDeleteDasar batu ihhhhhh
Lama2 sama kaya c shiomay
Ya berhubung shiomay menyerah jadi ganti Koji lah yang aku ublek2 🤣
DeleteWaaaa mana chapter 12....😍🤭
ReplyDeleteSabarrrr 🤣🤣
DeletePenasaran....ditunggu updatenya mbak Agnes....
ReplyDeleteSemangatttt... Lanjut yu konflike panasnya udahan apa belom nih...
ReplyDeleteDemen banget dah kalo masumi terus terang soal apa yg dirasa sm Maya.... Marathon langsung 2 chapterrr... Semangat kak Agnes.
ReplyDelete