Kado Valentine-ku?


Maya berlari dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan di sepanjang pusat perbelanjaan Ginza. Matanya dengan awas mengamati setiap toko yang dilewati. Butuh konsentrasi tinggi untuk melakukannya, menjaga keseimbangan tubuh agar tidak jatuh terjerembab dan tidak membuka penyamaran yang dengan susah payah dibuatnya pagi tadi.
Ah ya, kalau diperhatikan Maya memang tidak terlihat seperti Maya. Rambut hitam panjangnya sudah berganti menjadi rambut coklat pendek sebahu. Kacamata hitam bertengger di hidung mungilnya. Mengenakan coats warna abu-abu sepanjang lutut dan tote bags bermotif bunga, Maya tampak elegan dan dewasa. Usianya memang sudah dua puluh dua. Maya bukan lagi gadis kecil tapi sudah menjelma menjadi Bidadari Merah yang anggun, aktris kelas satu di Jepang.
Dan sebenarnya apa yang dilakukan Maya di tempat seramai itu dengan penyamaran, bahkan tanpa pengawal seorangpun. Bayangkan bagaimana jika penyamarannya terbongkar? Dia pasti akan dikejar puluhan atau bahkan ratusan fans-nya. Sayangnya hal itu tak lagi terpikir oleh Maya. Dia sedang melakukan misi penting demi kelangsungan masa depannya. Apa maksudnya? Ah iya, mari sedikit bercerita.
Pagi ini Maya bangun kesiangan karena terlalu lelah setelah syuting hingga larut malam. Sebenarnya hal itu tidak masalah. Hari ini, 14 Februari 2017, kekasih Maya mengosongkan semua jadwal kerjanya dan memintanya duduk manis di apartemen. Tujuannya? Tentu saja merayakan hari Valentine berdua. Tapi justru itulah yang menjadi masalah. Jadwal syuting yang padat membuat Maya lupa hari spesial itu. Dia sama sekali belum menyiapkan apapun sebagai kado untuk kekasih tercintanya. Alhasil, begitu Maya bangun dan melihat lingkaran hati berwarna merah di kalendernya, Maya langsung panik dan bergegas keluar untuk menyiapkan segala sesuatunya sebelum sang kekasih datang ke apartemennya. Ya berharap saja dia tidak terlambat.
Dengan napas terengah Maya berhenti di depan sebuah toko bertuliskan Cake and Choco. Tanpa pikir panjang, dia langsung masuk dan melihat deretan cake juga coklat yang dipajang di etalase. Senyum Maya mengembang saat pandangannya tertumbuk pada cake berbentuk hati dengan krim putih dan dihiasi dengan strawberry segar di bagian atasnya. Maya yakin kekasihnya pasti akan menyukai cake pilihannya. Ya, meski pada dasarnya kekasih Maya itu memang akan menerima apapun yang diberikan Maya padanya. Dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya, Maya meminta waitress membungkus cake pilihannya. Maya pun keluar dari toko dengan lebih santai.


·       
Menoleh ke kiri dan ke kanan, Maya mengerutkan kening karena merasa seseorang tengah memperhatikannya. Maya pun merapikan wig dan tasnya, memastikan penyamarannya aman dan memilih untuk melanjutkan perjalanan, mengabaikan apapun yang sempat membuatnya curiga tadi. Saat ini ada hal yang lebih penting untuk dilakukannya.
Maya kembali menghentikan langkahnya di depan sebuah toko jam tangan. Sejenak menimang lalu memantapkan langkahnya memasuki toko.
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu Nona?” tanya pelayan yang menyambutnya di pintu masuk.
“Ah iya, saya membutuhkan sebuah jam tangan untuk kado,” jawab Maya ramah.
Sang pelayan pun dengan semangat menggiring Maya ke salah satu etalase dan mulai mengoceh soal beberapa jam tangan yang dipajang di sana. Sayangnya Maya sama sekali tidak tampak tertarik dengan penjelasan sang pelayan toko.
“Maaf, apakah ada jam tangan unik yang bisa dijadikan kado untuk orang spesial? Jam tangan yang kau sebutkan tadi terlalu biasa, dia pasti sudah punya ratusan di laci rumahnya,” Maya akhirnya menyela sang pelayan untuk berceloteh lebih panjang. Waktunya tidak banyak. Dia ingat kalau kekasihnya mengatakan akan datang setelah makan siang dan sekarang sudah jam sebelas siang.
Sang pelayan sempat tampak kesal dengan perkataan Maya tapi kemudian mengulum senyum -yang jelas tampak dipaksakan- dan menggiring Maya ke sebuah etalase di tengah ruangan. Etalase itu memang terlihat lebih mewah dibandingkan dengan etalase lainnya. Ditengah etalase itu terdapat sebuah bantalan beludru warna merah dan di atasnya terdapat sepasang jam tangan. Maya tertegun memandang jam tangan itu.
“Apa kelebihan jam tangan ini?” tanya Maya kemudian.
“Ah, jam tangan ini lain daripada yang lain Nona. Ini produk spesial toko kami dan Nona beruntung karena biasanya customer harus melakukan pre-order untuk produk ini,” jawab sang pelayan.
Maya mengerucutkan bibirnya, “Anda tidak menjawab pertanyaan saya. Saya bertanya, apa kelebihan jam tangan ini, tolong cepat jelaskan karena waktu saya terbatas,” katanya tidak sabar.
“Maaf,” sang pelayan tersenyum canggung, “begini Nona, jam tangan ini di-desaign khusus untuk pasangan. Di bagian belakangnya terdapat panel digital khusus yang bisa menyamakan jadwal sekaligus sebagai alarm pengingat janji yang langsung terhubung dengan jam pasangannya. Sehingga tidak ada alasan salah satu pasangan melupakan janjinya.”
Seketika ekspresi Maya berubah senang. Dia merasa jam tangan itu cocok untuknya dan sang kekasih yang memiliki jadwal padat dan sering melupakan janji yang mereka buat. Ya, meski kebanyakan Maya lah yang melakukannya, seperti pagi ini contohnya.
“Aku ambil jam tangan ini,” seru Maya cepat dan sang pelayang sempat menganga dengan terkejut.
“A-anda tidak bertanya soal harganya?” tanya sang pelayan keheranan.
Maya mengerutkan kening, “Untuk apa? Aku punya uang. Harganya tidak mungkin setara dengan satu mobil mewah keluaran terbaru kan?”
Sang pelayan menggeleng cepat dan matanya melebar begitu Maya mengulurkan kartu kreditnya. “Ma-Maya Kitajima?” desisnya tidak percaya.
“Sstt!” Maya memperingatkan sambil melirik ke kanan dan ke kiri, beruntung tidak banyak pengunjung berdiri di sekeliling mereka. “Lakukan tugasmu dan jangan sebut namaku,” katanya tegas.
Sang pelayan mengangguk lalu segera melakukan perintah Maya. Dengan sebuah bonus tanda tangan, Maya mendapatkan apa yang diinginkannya dengan cepat dan dia melangkah keluar dari toko dengan senyum lebar.
“Sudah jam dua belas, aku harus segera pulang,” Maya mempercepat langkahnya seraya mencari taksi.

***
Macet. Maya terus menggerutu sepanjang perjalanan. Waktunya tak banyak lagi, tinggal tiga puluh menit dan Maya sama sekali tidak ingin kekasihnya datang sebelum dirinya siap. Ah, andai dia sudah memiliki jam tangan itu sebelumnya pasti hal ini tidak akan terjadi, sungutnya dalam hati. Kelegaan menjalari hati Maya saat kemacetan terurai dan taksi melaju kencang menuju apartemennya.
Taksi berhenti di depan sebuah apartemen mewah dan Maya tak banyak membuang waktu lagi. Setelah membayar dia segera melompat turun dan berlari ke dalam apartemen. Sayangnya Maya tidak menyadari sebuah kantong kecil tertinggal di jok belakang.
Maya terpaku begitu melihat sesosok pria berdiri di depan pintu apartemennya. Melihat jam tangannya, Maya merasa begitu sial hari ini.
“Maya? Wah penyamaranmu bagus juga,” senyum sang pria langsung menyambutnya dan Maya mengulas senyumnya dengan terpaksa.
“Hhmm, ada apa kau datang Koji? Seingatku kita tidak punya janji,” ucap Maya tanpa repot menyapa sahabatnya lebih dulu.
Koji, sahabat dekat Maya, mengerutkan kening mendengar nada bicara gadis yang biasanya santun itu. “Kau tidak suka aku datang? Aku sudah menunggumu daritadi,” protes Koji.
Menyadari ketidaksopanannya, Maya hanya menggaruk kepalannya yang tidak gatal, “Maaf, aku ada sedikit urusan jadi keluar sebentar,” jawab Maya. Koji pun menyingkir dari pintu dan Maya mempersilakannya masuk. Keduanya duduk di ruang tamu dan Maya meletakkan kotak cake-nya di meja. Masih belum menyadari kalau kotak hadiahnya tertinggal di dalam taksi.
“Kau ada janji?” tebak Koji dengan nada jahil saat melihat wajah kusut Maya. Koji menduga sesuatu yang tidak beres pasti sudah terjadi. “Dan aku yakin, kau melupakan janjimu atau apapun itu rencanamu hari ini dan aku datang mengganggumu,” tebak Koji jitu.
Maya mengerucutkan bibirnya seraya melepas wig dan kacamatanya. Rambut hitamnya tergerai indah di bahu.
“Benar?” desak Koji pada Maya yang tak kunjung menjawab. Dia tahu pasti tabiat sahabatnya yang teledor dan pelupa itu. Beruntung kekasih Maya adalah orang paling sabar seantero Jepang. Jadi seteledor dan sepelupa apapun Maya, kekasihnya itu tidak akan marah.
Maya mengangguk dan Koji tergelak.
“Jangan menertawakanku. Katakan apa maumu dan cepat pulang. Dia datang sebentar lagi,” sungut Maya atas reaksi Koji yang menurutnya menyebalkan dan sangat tidak menghibur itu.
“Iya, iya, maaf,” Koji menyeka air di sudut mata. Sungguh menggelikan melihat seorang gadis melupakan hari Valentine. Padahal dirinya yang seorang pria pun mengingatnya. “Sebenarnya aku datang untuk meminta pendapatmu. Malam ini aku ingin mengajak Rei pergi untuk merayakan Valentine tapi aku bingung mau mengajaknya ke mana. Kau kan sahabatnya, kau bisa membantuku? Kira-kira Rei lebih suka kalau aku mengajaknya ke mana? Makan? Menonton film atau menonton drama Valentine di teater Daito?”
Maya menghela napas panjang. Sungguh ironis, disaat acara Valentine-nya terancam berantakan, Koji justru datang meminta saran. Dalam hati Maya sempat menggerutu, kenapa Koji harus datang dan tidak bertanya lewat telepon saja.Tapi bagaimanapun juga Koji adalah sahabatnya, tidak mungkin Maya mengeluh atas kedatangannya.
“Maya? Aku akan langsung pulang setelah mendengar saranmu,” ucap Koji dengan senyum lebar.
Lagi-lagi Maya menghela napas panjang, “Jangan ke teater Daito. Bukankah malam ini Mai yang menjadi peran utama? Kau tidak mau melihatnya menangis karena melihatmu kencan dengan Rei kan?”
Koji memukul keningnya, “Aku lupa,” sesalnya merutuki kebodohannya sendiri.
“Rei tidak begitu suka suasana formal jadi kalau kau mau mengajaknya makan malam jangan di restoran mewah. Dia lebih suka suasana kafe. Menonton film juga bukan ide buruk tapi Rei penyuka film horor, kau harus tahu itu,” terang Maya kemudian. Dia melihat jam dinding dan tinggal lima menit tersisa sebelum kekasihnya datang.
Koji menggaruk kepalanya dan masih tampak bingung.
“Sekarang pulanglah, aku harus bersiap sebelum dia datang,” Maya langsung mengusir Koji.
“Iya, iya,” Koji menyerah dan menurut saja saat Maya menggiringnya ke arah pintu depan.
“Eh?” Koji terkejut, lebih tepatnya mereka terkejut. Tepat ketika pintu terbuka, seorang pria dengan setelan jas mahal dan wajah super duper tampan berdiri dan menatap heran pada keduanya. Dalam hati Koji mulai menyesali kedatangannya. Memang sejak tadi disebutkan kalau kekasih Maya adalah orang paling baik dan paling sabar seantero Jepang. Hanya saja hal itu hanya berlaku pada Maya, tidak dengan yang lainnya.
Memang siapa yang tidak mengenal Masumi Hayami? Pangeran es dari Daito. Topeng esnya itu hanya akan meleleh di depan Maya. Koji berdoa semoga kejadian ini tidak mempengaruhi kontrak kerjanya. Dia masih membutuhkan banyak uang apalagi mengingat rencananya untuk menikahi Rei tahun ini. Ah, salahkan sifat over protective dan pencemburu Tuan Masumi kalau sampai rencana itu gagal karena uang tabungannya tidak cukup.
“Ma-Masumi, kau sudah datang?” Maya dengan segera melewati Koji dan berdiri di depannya. Maya paham benar bagaimana pencemburunya Masumi.
“Hhhmm, dan sedang apa Koji di sini?” tanya Masumi tanpa basa-basi.
“Ah itu, Koji datang untuk minta pendapatku karena malam ini dia mau mengajak Rei merayakan Valentine,” jawab Maya cepat. Koji hanya bisa tersenyum lalu mengangguk hormat pada orang yang setengahnya menggenggam masa depannya itu.
“Begitu?” Masumi tampak meragukan jawaban Maya dan sang aktris kelas satu langsung beraksi dengan jurus mencebiknya.
“Kau tidak percaya padaku? Lagipula Koji itu sahabatku, kau ini keterlaluan,” sungut Maya yang pura-pura kesal. Koji menahan senyumnya melebar begitu melihat ekspresi Masumi yang langsung melunak.
“Hei, bukan begitu sayang. Aku hanya merasa heran kenapa di hari spesial seperti ini Koji ada di sini bersamamu, bukankah semalam kau bahkan mengeluh padaku soal jam istirahat dan melarangku datang?” jawab Masumi.
Maya menghela napas, “Sudah, sudah, tidak perlu dibahas lagi. Koji, pulanglah,” perintah Maya.
“Maaf kalau saya sudah mengganggu Tuan Masumi, saya permisi,” Koji pun mengangguk hormat sebagai salam lalu meninggalkan Maya juga Masumi. Dia tidak mau terlibat perdebatan sepasang kekasih yang sudah terkenal keunikannya di seluruh dunia itu.
Sepeninggal Koji, Maya langsung menghentakkan kaki memasuki apartemennya dan Masumi mengikuti dengan sebelumnya memastikan pintu tertutup dengan benar.
“Hei jangan marah,” sampai di ruang tamu, Masumi segera menarik Maya ke dalam pelukannya lalu memberikan kecupan sayang di puncak kepala Maya.
Maya mendengus dalam pelukan Masumi, meski begitu dia membalas pelukan kekasihnya dengan erat. Wajahnya bersandar manja di dada bidang Masumi.
“Kau menyebalkan,” lirih Maya dan Masumi justru terkekeh mendengar gerutuan itu.
“Aku hanya terlalu mencintaimu dan terlalu takut kehilanganmu sayang,” jawab Masumi dengan sambil mengusap kepala Maya dalam dekapannya.
“Bukan begitu juga caranya, Koji adalah sahabatku. Kau tidak boleh menjauhkanku dengan sahabat-sahabatku. Mereka bahkan sudah bersamaku sebelum aku mengenalmu,” gerutu Maya lagi.
Masumi melepaskan pelukannya dan menjauhkan Maya sejangkauan tangannya. Kedua matanya menatap lurus ke dalam bola mata bulat kekasihnya. “Apa aku terlalu mengekangmu?”
“Dengan Koji? Iya,” jawab Maya.
“Yang lain? Rei, Mina, Sayaka?” tanya Masumi lagi. Maya menggeleng dan Masumi menghela napas lega.
“Ku kira aku mengekangmu. Kalau soal Koji kau tidak bisa mendebatnya Maya. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah membebaskanmu berduaan dengannya.” Melepaskan bahu Maya, Masumi berjalan ke sofa ruang tamu dan membiarkan Maya yang kembali mengerucutkan bibirnya.
“Masumi! Koji akan menikah dengan Rei, berhentilah cemburu padanya, aku tidak punya perasaan apa-apa lagi padanya,” Maya mengikuti langkah Masumi dan duduk di sebelahnya.
“Sayangnya kau dulu pernah mempunyai perasaan itu, mungil,” Masumi mencolek ujung hidung Maya, “dan cara paling efektif untuk menghindari rasa itu kembali adalah dengan membatasi interaksi kalian. Bagus kalau dia akan menikah, paling tidak Rei bisa bekerja sama denganku dalam hal ini.”
“Astaga, kau Direktur konyol yang menyebalkan dan jangan panggil aku mungil lagi,” kata Maya masih dengan bibir yang cemberut.
Masumi terkekeh, “Sudahlah, kita tinggalkan pembahasan ini. Bukankah ini hari Valentine? Aku sudah pulang lebih awal dan mengosongkan semua jadwal kerjamu. Sia-sia kalau kita menghabiskannya untuk berdebat.”
Mendengar perkataan Masumi, Maya jadi ingat dengan perjuangannya di Ginza pagi tadi. Ah, setidaknya dia punya cake dan kado. Perayaan Valentine mereka tidak buruk juga kan? Karena pastinya akan lebih buruk kalau mereka keluar. Paparazi dan fans selalu membuat kencan mereka berantakan dan selalu sukses membuat Maya sesak napas.
“Kau memikirkan apa?” Masumi melambaikan tangan di depan wajah Maya yang tampak terpaku menatap kotak cake di meja.
“Tidak,” Maya menggeleng.
“Kau keberatan kita hanya merayakannya di apartemen?” tanya Masumi, menilai ekspresi Maya yang tampak murung.
“Kau ini bicara apa,” Maya kemudian tersenyum pada Masumi dan kembali menjatuhkan dirinya ke atas dada bidang kekasihnya, “asalkan berdua denganmu, dimanapun aku tidak masalah.”
Masumi merengkuh tubuh mungil Maya dalam pelukannya, mengulas senyum tipis, “Begitukah Nona? Kau membuatku tersanjung,” dan Masumi menghadiahi Maya sebuah kecupan penuh sayang di pelipis kanan. Maya tersenyum puas.
Suasana berubah hanya dalam hitungan detik kala Maya mengangkat wajahnya dan Masumi balas menatapnya. Pandangan yang saling bertaut seolah menjadi magnet bagi keduanya untuk bergerak lebih dekat. Maya memejamkan mata kala Masumi mendaratkan sebuah kecupan lembut di bibirnya. Lembut dan ringan, Maya terbuai.
“Aku mencintaimu sayang,” bisik Masumi di depan bibir Maya.
Membuka mata dengan senyum yang mengembang, Maya memberikan kecupan singkat, “Aku juga mencintaimu, sekarang dan selamanya, hanya kau.” Keduanya kembali berbagi pelukan.
“Mana kado Valentine-ku?” Masumi tersenyum pada kekasihnya yang masih tampak merona akibat kemesraan mereka.
“Ah iya,” Maya langsung beranjak dan meraih kotak cake di meja dengan semangat. “Aku tidak sempat membuat cake, hhmm, yang pasti aku tidak bisa membuatnya,” Maya tersenyum lebar, “jadi kau membelinya tadi.”
Masumi tersenyum geli dengan tingkah Maya.
“Jangan menertawakanku, kau tidak keberatan kan makan cake buatan toko?” kata Maya.
Masumi menggeleng, “Tidak sayang, aku akan makan apapun yang kau siapkan,” jawab Masumi.
Maya bersorak, memberikan Masumi sebuah kecupan lalu berlari ke dapur dengan membawa kotak cake-nya. Masumi menunggu dengan tenang. Baru saja Masumi hendak meraih remot televisi untuk sekedar mengisi waktu, Maya berteriak dari dapur. Secepat kilat Masumi berlari untuk melihat apa yang terjadi.
“Ada apa sayang?” tanya Masumi cemas pada Maya yang berwajah sendu dengan mata memerah dan penuh genangan air mata.
“Masumiiii!” Maya berlari memeluk Masumi sambil menangis, tangannya menunjuk kotak cake di meja tanpa menatapnya. Masumi langsung menghela napas lega. Tahu apa yang menjadi sumber teriakan Maya.
“Sstt, sudahlah, tidak apa-apa. Itu hanya cake. Kita bisa membeli yang baru,” Masumi mengusap punggung Maya, menenangkannya. Matanya melihat cake yang separuhnya sudah hancur berantakan. Sebenarnya Masumi ingin tertawa saat membayangkan bagaimana kekasih mungilnya membawa kotak cake hingga isinya bisa rusak seperti itu tapi melihat Maya sudah menangis, dia tidak tega juga.
“Aku memang bodoh,” Maya merutuki dirinya sendiri.
“Hei,” Masumi menarik dirinya, menatap wajah Maya lalu menyeka air mata dengan kedua ibu jarinya, “jangan berkata seperti itu. Itu hanya kecelakaan. Aku bisa menelepon toko cake langganan keluarga dan mengirimkan yang sama seperti itu, bagaimana?” Masumi tersenyum saat Maya balas menatapnya.
“Ahhhh!” Maya justru berteriak kesal dan Masumi tampak bingung.
“Kenapa?” tanya Masumi.
“Kenapa tadi pagi aku tidak berpikir untuk delivery saja? Kenapa aku harus berlari-lari ke Ginza untuk membelinya? Aku memang bodoh,” lagi-lagi Maya merutuki dirinya sendiri.
 “Ginza? Kau pergi ke Ginza?” Masumi setengahh berteriak dan Maya langsung membekap mulutnya sendiri. Kembali merasa bodoh untuk yang kesekian kalinya karena sudah salah bicara.
“Kau pergi dengan siapa? Tidak ada body guard-mu yang memberitahuku kalau kau pergi. Jangan katakan padaku kalau kau pergi sendiri?” Wajah lembut Masumi langsung berubah keras dalam seketika. Oh, jangan heran. Keselamatan Maya adalah prioritas utama bagi seorang Masumi Hayami dan jangan heran kalau setelah ini body guard Maya akan diganti karena dirasa tidak becus dalam menjaga.
“A-aku tadi menyamar dan menyelinap keluar,” lirih Maya dengan kepala tertunduk.
“Menyamar? Astaga! Maya Kitajima, kau tahu betapa berbahayanya itu? Kau ingat bagaimana kau hampir diculik tahun lalu? Kau itu selain aktris juga tunangan seorang Hayami, kau lupa berapa banyak orang yang mengincar keselamatanmu?” kata Masumi dengan nada yang semakin meninggi dan membuat Maya semakin menunduk.
“Maaf,” lirih Maya lagi.
Masumi menghela napas panjang untuk meredakan emosinya, “Sudahlah, yang penting kau baik-baik saja,” katanya seraya kembali menarik Maya ke dalam pelukannya, “maafkan aku karena berteriak padamu.”
Maya mengangguk tanpa menjawab.
“Kau mau kita membeli cake baru?” tanya Masumi kemudian.
Maya menggeleng, masih tidak bersuara.
“Aku sudah tidak marah sayang, bicaralah,” Masumi melepaskan pelukannya.
“Kau keberatan kalau kita makan bagian yang tidak rusak?” tanya Maya.
“Tentu saja tidak. Aku membayangkan kau berlari di Ginza sambil membawanya. Bagaimana aku tega mengabaikan kerja keras kekasihku sendiri,” jaweb Masumi.
Maya yang merasa begitu tersanjung dengan perkataan Masumi langsung mengembangkan senyumnya, “Tunggulah di depan, aku akan menyiapkannya,” kata Maya.
Memberikan kecupan sayang di kening, Masumi menuruti perintah Maya dengan kembali ke ruang tamu.
Tak lama Masumi menunggu, Maya kembali dengan membawa sebuah nampan berisi sepiring cake dan dua cangkir minuman. Keduanya lalu duduk bersebelahan di sofa.
“Lain kali,” Masumi menegaskan kata itu seraya memotong cake dengan garpu, “berjanjilah untuk tidak pergi keluar sendiri. Apalagi sampai mengelabui body guard-mu,” lanjutnya yang kemudian menyuapkan sepotong cake untuk Maya.
Maya mengangguk dengan mulut penuh lalu mengambil garpu dari tangan Masumi dan melakukan hal yang sama. Keduanya terkekeh senang. Maya dan Masumi menikmati kebersamaan yang sederhana itu hingga menghabiskan dua potong besar cake. Sampai akhirnya piring kosong dan Maya teringat akan kadonya.
“Kau tadi bertanya kado kan? Aku punya kado untukmu,” kata Maya penuh semangat. Diapun meraih tote bag-nya yang masih tergeletak di meja dan mulai mengobrak-abrik isinya. Seketika senyum di wajah Maya menghilang saat dia tak juga menemukan kantong kecil berisi kotak jam tangannya.
“Kemana?” gumam Maya yang mulai panik. Dia bahkan menumpahkan isi task e atas sofa dan kepanikannya semakin berlipat karena barang yang dicarinya benar-benar tidak ada. Masumi yang awalnya hanya diam mulai buka suara.
“Apa yang kau cari sayang?”
Maya bahkan menunduk untuk melihat kolong meja dan sofa meski mustahil barang yang dicarinya terjatuh di sana. Tak menjawab pertanyaan Masumi, Maya memutar otaknya untuk mengingat-ingat kejadian siang tadi.
“TAKSI!” teriak Maya yang langsung berdiri tapi sedetik kemudian kakinya lemas dan dia terduduk di lantai. Sadar kadonya hilang, Maya menangis lagi.
“Masumiiii!!” kali ini Maya menangis keras.
“Hei, kau kenapa?” Masumi langsung ikut merosot ke lantai dan merengkuh bahu Maya.
“Kadoooo! Hiksss! Kado untukmu … untuk kita … hikss … aku menghilangkannya … pasti tertinggal di taksi … hikss … aku bodoh … hikss! Masumiiii!” Maya menangis semakin keras dan Masumi sedikit banyak sudah paham dengan apa yang terjadi. Bukan Maya namanya jika dia tidak satu paket dengan kecerobohannya.
“Sudah, sudah, jangan menangis. Aku akan membelikanmu yang baru, jangan sedih lagi,” kata Masumi yang berusaha menenangkan kekasihnya.
“Aku merusak semuanya, hikss!” kata Maya. “Sebenarnya pagi ini aku lupa kalau kau akan datang untuk merayakan Valentine, hikss, jadi aku langsung pergi untuk membeli cake dan kado. Hikss, aku membelikanmu jam tangan unik, hikss,” jelas Maya ditengah tangisnya, “jam tangan itu untuk kita sebenarnya, agar aku tidak lagi lupa janji, hiks, hiks, tapi, tapi, hiks, aku menghilangkannyaaaaa!” Maya menangis keras lagi dan Masumi hanya bisa menghela napas panjang.
Tak menjawab apapun, Masumi mengangkat tubuh mungil Maya lalu kembali duduk di sofa dan membiarkan Maya menagis puas di atas pangkuannya, di dalam pelukannya. Ini adalah cara paling ampuh untuk menenangkan Maya, membiarkannya puas menangis.
Entah berapa lama sampai akhirnya Maya berhenti menangis. Masumi dengan sabar masih mengusap lembut punggung kekasihnya dan Maya yang masih menyisakan tangisnya bersandar manja di bahu Masumi.
“Maafkan aku,” lirih Maya dengan suara parau.
Masumi meraih dagu kekasihnya, meminta Maya memandangnya. “Dengarkan aku sayang, Valentine itu bukan tentang cake dan kado. Ini tentang kau dan aku, tentang kita. Bagaimana kita menghabiskan dan menikmati waktu berdua. Ini memang perayaan satu hari dan aku ingin merayakannya denganmu tapi lebih dari itu, aku tidak butuh cake dan kado. Aku hanya butuh kau sayang. Setiap hari akan jadi hari Valentine untuk kita, berhentilah memusingkan hal itu, oke?” kata Masumi dengan suara lembut.
Maya mengengguk pelan meski sebenarnya belum mencerna dengan benar apa yang dikatakan Masumi.
“Sebenarnya aku ingin melakukannya malam ini dengan suasana yang lebih romantis tapi melihatmu seperti ini, aku rasa ini waktu yang tepat,” kata Masumi lagi dan kali ini Maya benar-benar tidak mengerti dengan ucapan kekasihnya.
Masumi sedikit menggeser Maya tapi tidak membiarkannya turun dari atas pangkuannya. Dia meraih sesuatu dari saku jasnya dan mata Maya terbelalak melihat kotak beludru berwarna ungu yang dibuka Masumi. Sebuah cincin tersemat di dalamnya.
“Aku tidak akan memintamu untuk menjadi kekasih Valentine-ku tapi aku akan bertanya, maukah kau menikah denganku?”
Maya kembali meneteskan air matanya. Tak menjawab dia justru mengalungkan erat tangannya ke leher Masumi.
“Hei, kau belum menjawab lamaranku Nona?” Masumi terkekeh saat Maya justru terisak semakin keras di lekuk lehernya.
“Jangan banyak bicara, hiks. Pakaikan saja cincinnya,” kata Maya dengan masih menangis. Dia mengulurkan tangannya tanpa mengangkat kepala dari atas bahu Masumi.
Masumi hanya bisa terkekeh melihat kekasih yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu. Diapun menyematkan cincin di jari manis Maya dan memberikan kecupan lembut di atasnya, “Terima kasih,” ucap Masumi bahagia.
Maya menarik tangannya dari genggaman Masumi lalu kembali memeluknya.
“Berhentilah menangis sayang,” bisik Masumi.
“Aku menangis bahagia,” jawab Maya dengan suara yang hampir teredam di leher Masumi.
Masumi hanya bisa tersenyum hingga suara handphone yang berdering menyela suasana hening diantara mereka. Nama Hijiri tertera di layar.
“Ya Hijiri?” jawab Masumi dan Maya langsung mengangkat kepalanya, menyeka air matanya dan menatap Masumi dengan penuh rasa penasaran. Beberapa saat dia terdiam dan membiarkan Masumi bicara hingga akhirnya telepon di tutup dan Maya tak lagi bisa menahan rasa penasarannya.
“Ada masalah?” tanya Maya yang tahu kalau Hijiri adalah tangan kanan Masumi dalam segala hal termasuk soal dirinya.
Masumi justru tersenyum lalu mencolek hidung Maya, “Berterima kasihlah pada Hijiri yang siaga menjagamu dua puluh empat jam. Dia melapor kalau tadi dia mengikutimu ke Ginza dan kadomu yang seharga ratusan ribu yen itu ada ditangannya. Ya ampun sayang, aku tidak menyangka kau membeli barang seperti itu,” jelas Masumi seraya menggeleng menatap Maya.
Maya langsung bersorak girang, “Yeeaayy, aku cinta Kak Hijiri!” serunya senang dan wajah Masumi seketika berubah masam.
“Jaga bicaramu sayang,” katanya memperingatkan, “kau bahkan baru saja setuju untuk menjadi Nyonya Hayami,” lanjutnya kesal.
“Ah, Masumi aku mencintaimu juga,” jawab Maya dengan konyolnya dan langsung mencium bibir Masumi.

***
-Happy End and Happy Valentine-
Valentine bukan tentang kado dan perayaan tapi tentang sejauh mana kau mengerti arti cinta yang sebenarnya untuk orang-orang yang ada di sekelilingmu.
Love u all <3

Post a Comment

9 Comments

  1. Holaaaa...holaaaa...kado valentine
    Moga suka n jangan lupa komennya buat yang udah baca, muaahhhh

    ReplyDelete
  2. Wkwkwkwkwk udh deg2an aja takut bukan ma masumi
    Love U mba agnes

    ReplyDelete
    Replies
    1. Awalnya aku emang mau bikin koji atau hijiri lo mba...cuma dipikir2 lagi, masa iya aku mau bikin MM lover mewek pas valentine hahhahaa

      Delete
  3. Light and sweet one shot story! Thank you 💖
    Sesaat gw bayangin, gimana klo 'cake' diganti 'bolu'. Ternyata ga cocok 😂
    Good job as always!👍👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wkwkwwk...aku sempet ketik kue dan ternyata ga cocok juga. Ternyata dalam beberapa kasus sisipan bahasa asing emang diperlukan ������

      Delete
  4. Wahhh mau juga dong dapat kado dari Masumi �� Ngimpiii😅

    ReplyDelete
  5. Masumiiii, mau cincinnya3juga dooong

    ReplyDelete
  6. Terima kasih "hadiah valentin" nya.

    ReplyDelete
  7. I'm very sorry c
    Gara-gara laptopku ngambek jadi ada one-shot yang kelewat
    So sweet banget sih Prince Masumi
    Keteledoran Maya, kecemburuan Masumi dan kekonyolan-kekonyolan dalam hubungan MM tetap asyik buat dinikmati sampai kapanpun
    Tapi aku paling suka closing quote mu....
    "Valentine bukan tentang kado dan perayaan tapi tentang sejauh mana kau mengerti arti cinta yang sebenarnya untuk orang-orang yang ada di sekelilingmu."
    Love you too dear

    ReplyDelete