Mizuki
merubah wajahnya menjadi ekspresi kesal dan menyesali keputusannya untuk datang
ke ruangan wakil Direktur Daito. Hanya demi rasa penasarannya akan sikap
Masumi, dia jadi lupa kalau dia baru saja masuk ke dalam gua singa. Awalnya Mizuki
berpikir kalau sikap dingin Hijiri padanya masih berlanjut hingga dia merasa
aman tapi ternyata perkiraannya salah. Hijiri kembali menjadi sosok menyebalkan
yang memaksakan perasaannya.
“Kenapa
diam?” tanya Hijiri dengan senyum masih mengembang di wajahnya, “Aku kan hanya
bertanya, apa kau merindukanku sampai repot-repot datang ke ruanganku?”
ekspresi jahil Hijiri membuat tingkat kekesalan Mizuki semakin berlipat ganda.
“Maaf
Tuan Hijiri, anda salah paham. Bukankah saya tadi sudah mengatakan tujuan saya
datang menemui anda?” jawab Mizuki dengan nada tegas.
“Hhmm,
aku hanya tidak percaya kau menggunakan alasan itu untuk bisa menemuiku,”
Hijiri menyeringai senang.
“Tidak,
tidak, ini tidak seperti-,”
“Sudahlah
Saeko, mau sampai kapan kau membohongi perasaanmu sendiri? Kau tidak akan mati
hanya karena mengakui kalau kau juga mencintaiku, justru sebaliknya, kita berdua bisa hidup bahagia,” potong Hijiri disertai kalimat panjang yang membuat
Mizuki semakin kesal.
“Anda
tidak tahu bagaimana isi hati saya Tuan, jadi jangan seenaknya menyimpulkan. Apa
dan bagaimana bisa anda mengatakan bahwa saya juga jatuh cinta pada anda
sedangkan kita bahkan baru saja saling mengenal?” jawab Mizuki. Dengan masih
berdiri di tempatnya, Mizuki menatap lekat Hijiri yang duduk di hadapannya. Dia
masih bergeming saat kemudian Hijiri bangkit dari kursinya, berjalan memutari
meja dan berhenti tepat di depannya. Wajah mereka begitu dekat sampai Mizuki
bisa merasakan hembusan napas hangat Hijiri di kulit wajahnya.
“Kau
keras kepala,” gumam Hijiri tepat di depan wajah Mizuki.
“Saya
memang terlahir seperti ini dan anda tidak bisa protes karenanya,” balas Mizuki
dengan mata menatap lurus ke dalam mata Hijiri. Entah kenapa kali ini dia
merasa tidak perlu menghindar dari Hijiri.
“Kau
mau membuatku menunggu berapa lama lagi?” tanya Hijiri.
“Perasaan
itu sesuatu hal yang tidak bisa dipaksaan Tuan, jadi anda harus bersabar. Kalau
tidak bisa, silakan berbalik dan pergi,” jawab Mizuki tenang.
“Jadi
itu maumu? Bersabar?” Hijiri mengerutkan kening atas pernyataan Mizuki. Mata mereka
masih bertaut dan mencoba menerka jalan pikiran satu sama lain.
“Itu
pilihan untuk anda Tuan, yang pasti saya tidak suka segala sesuatu yang
dipaksakan. Biarkan semua mengalir apa adanya,” Mizuki menyeringai di akhir
kalimatnya. Dia mundur dua langkah lalu mengangguk hormat pada Hijiri, “Saya
mohon maaf untuk apa yang saya lakukan hari Sabtu yang lalu, saya tahu saya
tidak seharusnya melakukan itu,” Mizuki mengulas sebuah senyum ketika kembali
berdiri, “saya permisi Tuan Hijiri, terima kasih,” dengan itu Mizuki berbalik
dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Hijiri yang bergeming di tempatnya tanpa
menjawab apapun.
***
Shiori
duduk dengan tenang di ruang keluarga kediaman Takamiya. dia meneguk teh dengan
santainya, tidak terganggu dengan pandangan menyelidik kakeknya yang duduk di
hadapannya.
"Berhentilah bersandiwara di depanku Shiori," kata Tuan Besar Takamiya.
"Berhentilah bersandiwara di depanku Shiori," kata Tuan Besar Takamiya.
Shiori
dengan tenang mengangkat wajahnya lalu tersenyum pada kakeknya, "Apa
maksud Kakek?"
Tuan
Besar Takamiya menghela napas panjang. Dia tahu cucunya itu tidak akan bicara
kalau tidak di desak. "Aku sudah bertemu Masumi juga istri barunya,"
katanya kemudian.
Sesaat
Shiori tampak mengerutkan kening tapi kemudian kembali terlihat tenang.
"Oh ya? Bagaimana kabar mantan suamiku itu? Apa dia terlihat lebih
bahagia?" Shiori terkekeh dengan nada datar lalu kembali meneguk tehnya.
"Jadi
benar kalau wanita itu yang membuat Masumi menceraikanmu?" Tanya Tuan
Besar Takamiya lagi.
Shiori
menggeleng, "Tidak Kakek, sejak awal Masumi memang tidak mencintaiku, jadi
ada atau tidaknya wanita itu tetap saja semuanya akan berakhir sama,"
jawabnya santai.
"Jangan
mencoba membela Masumi di depanku, Shiori," Tuan Besar Takamiya tak lagi
sabar menghadapi sikap Shiori yang seolah tak peduli. Padahal dia tahu kalau
cucunya itu merasa sakit hati dengan semua yang terjadi.
"Aku
tidak membelanya Kakek, hanya mengatakan yang sebenarnya," Shiori
menyeringai di balik cangkir tehnya.
"Aku
bisa membalaskan sakit hatimu Shiori. Mintalah padaku dan aku akan melakukan
semuanya untukmu."
Shiori
tertawa kali ini. "Jadi ini tujuan kakek? Membalaskan sakit hatiku?"
Tuan
Besar Takamiya menatap miris cucunya. Dia sama sekali tidak ingin cucunya itu
bersedih. Dia bahkan rela mengotori tangannya demi membuat Shiori kembali
tersenyum. Tuan Besar Takamiya tersentak ketika Shiori tiba-tiba beranjak dari
duduknya.
"Aku
tidak akan meminta kakek untuk membalaskan sakit hatiku tapi kalau kakek ingin
melakukannya maka aku akan melihatnya sambil tersenyum," Shiori
benar-benar tersenyum di akhir kalimatnya dan berlalu begitu saja meninggalkan
kakeknya yang kini tengah menyeringai senang.
"Wada!"
Serunya kemudian. Seorang pria berpakaian hitam muncul dari balik pintu lalu
membungkuk hormat.
"Ya
Tuan Besar."
"Siapkan
orangmu dan temui aku di ruang kerja!" perintah Tuan Besar Takamiya. Pria
bernama Wada itupun kembali mengangguk hormat dan berbalik pergi.
"Masumi,
jangan pikir aku akan diam. kau salah mencari lawan," desis Tuan Besar
Takamiya penuh emosi.
***
Jam
berdetak terlalu lambat, begitu pikir Maya ketika dia mencoba untuk duduk dengan tenang
di sofa panjang ruang keluarga kediaman Hayami. Seorang pelayan datang dan
membawakannya secangkir teh juga sepotong orange cake dalam piring kecil.
"Silakan
Nyonya," kata pelayan itu sopan seraya membungkukkan badan.
"Terima
kasih," jawab Maya sama sopannya. Maya yang memang merasa lapar langsung
menikmati hidangan yang disajikan. Pikirnya hal itu tak masalah sembari dirinya
menunggu Eisuke datang. Namun tanpa sepengetahuannya, Eisuke mengamati Maya
dari balik tirai di ujung ruangan.
"Gadis
itu masih saja polos. Apa dia tidak merasa takut atau setidaknya waspada aku
akan meracuni makanannya? Dia tidak sadar datang kemana," Eisuke
menggeleng dengan tingkah laku Maya sementara Asa justru tersenyum.
"Kalau
boleh saya ingatkan, dia bukan lagi seorang gadis Tuan. Ya meski kepolosannya
tetap sama. Tidakkah anda senang memiliki menantu sepertinya?" kata Asa
yang membuat Eisuke menghela napas.
"Aku
masih tidak percaya Masumi tergila-gila padanya bahkan rela menentangku dan
mengabaikan keluarga Takamiya," gumam Eisuke dengan nada kesal juga geli.
"Bukankah
keras kepala Tuan Masumi sama dengan anda, Tuan Besar?" Asa tersenyum
diujung kalimatnya dan Eisuke tertawa pelan, tidak mau Maya mendengar.
"Kau
memang selalu bisa membuat pikiranku lurus Asa. Kali ini aku ikuti maumu. Kita
akan lihat sejauh mana anak dan menantuku yang keras kepala itu bisa
bertahan," kata Eisuke yang kemudian menjalankan kursi rodanya memasuki
ruang keluarga.
Maya
tersedak pada suapan terakhir cakenya saat melihat Eisuke datang bersama Asa.
Dengan tergesa dia meneguk teh untuk melegakan tenggorokannya dan menyeka
bibirnya dengan sapu tangan. Eisuke dan Asa menahan diri untuk tidak tertawa
melihat tingkah Maya. Eisuke pun membalas dengan santai salam hormat Maya.
"Duduklah,
kuharap aku tidak mengganggu jadwal padatmu dengan tiba-tiba mengundangmu
datang ," kata Eisuke pada Maya yang masih membungkuk hormat padanya.
"Ti-tidak
Tuan Besar, anda tida-"
"Ayah,"
sela Eisuke cepat. Maya yang kini duduk dihadapan Eisuke mengerutkan kening
dengan heran.
"Maaf?"
Maya merasa tidak mengerti dengan ucapan Eisuke.
Eisuke
menghela napas seraya menggeleng, "Kau sudah jadi menantuku Maya, untuk
itu jangan panggil aku Tuan Besar, panggil aku Ayah," jelas Eisuke.
Untuk
sesaat Maya tampak terkejut tapi beberapa saat kemudian dia justru menangis dan
Eisuke juga Asa dibuat bingung olehnya.
"Maaf,
maaf," jawab Maya ketika Eisuke menanyakan alasannya menangis. "Saya
hanya terlalu senang. Kemarin anda marah dan saya takut karena anda memanggil
saya tiba-tiba. Sekarang anda justru meminta saya memanggil Ayah,-" Maya
menyeka air matanya dengan masih terisak, "saya tidak pernah tahu
bagaimana rasanya punya ayah, saya senang sekali."
Eisuke
dan Asa diam mendengar penjelasan Maya tapi kemudian dia kembali bicara.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu. Masumi bisa menghancurkan Daito kalau aku melakukannya," kata Eisuke.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu. Masumi bisa menghancurkan Daito kalau aku melakukannya," kata Eisuke.
Maya
menyeka air matanya lagi lalu memberanikan diri menatap ayah mertuanya.
"Jadi, ayah sudah menerimaku sebagai menantu?" tanya Maya dengan mata berbinar penuh harapan.
"Jadi, ayah sudah menerimaku sebagai menantu?" tanya Maya dengan mata berbinar penuh harapan.
"Hmmm,"
gumam Eisuke.
Maya
tersenyum senang dan menganggap gumaman Eisuke sebagai jawaban ya.
Maya berkedip lalu mengambil piring kosong di atas meja. "Ayah, boleh aku minta lagi Cakenya? Aku masih lapar," ucap Maya seraya mengangkat piring dan senyum lebar terkembang diwajahnya.
Maya berkedip lalu mengambil piring kosong di atas meja. "Ayah, boleh aku minta lagi Cakenya? Aku masih lapar," ucap Maya seraya mengangkat piring dan senyum lebar terkembang diwajahnya.
Eisuke
tak lagi bisa menahan tawanya, "Asa, minta Harada menyiapkan makan
siang," perintah Eisuke disela tawanya.
***
Maya
tersipu malu ketika duduk di meja makan dengan berbagai hidangan yang tersaji
di depannya.
“Kau
tidak perlu malu, bukankah dulu kita sudah sering makan bersama?” tanya Eisuke.
Maya
terkekeh, dia jadi ingat dengan gelar kakek baik hati yang dia berikan kepada
Eisuke. Image itu memang sempat berubah begitu dia tahu kalau Eisuke adalah ayah
dari Masumi dan telah menjodohkan Masumi dengan Shiori. Maya sama sekali tidak
pernah berpikir kalau akhirnya Eisuke bisa menerimanya sebagai menantu.
“Setelah
apa yang terjadi kemarin, aku tidak menyangka ayah bisa menerimaku secepat ini.
Aku pikir ayah akan membenciku karena membuat Masumi dan Nona Shiori berpisah,”
kata Maya terus terang.
Eisuke
tersenyum maklum dengan pendapat menantunya. Memang tidak ada yang salah dengan
pendapat Maya. Kemarin dia masih marah dengan keputusan Masumi dan tidak habis pikir dengan tingkah Masumi yang nekat menikahi Maya. Hanya saja, setelah melihat sikap Masumi dan perbincangan mereka semalam suntuk ditambah nasehat Asa padanya, Eisuke jadi menimbang kembali semuanya. Sebenarnya dia sadar kalau semua kekacauan ini bukan sepenuhnya salah Masumi. Eisuke hanya terlalu shock dengan keputusan Masumi yang tiba-tiba menikahi Maya tanpa sepengetahuannya. Bahkan Hijiri yang sengaja dia angkat di Daito untuk mengawasi Masumi juga sudah berbalik setia.
Eisuke tidak bodoh untuk tahu sejauh mana Hijri sudah membantu Masumi selama ini. Dia hanya ingin menguji keduanya dan ternyata dugaannya tepat. Masumi justru berhasil menikahi Maya dengan bantuan Hijiri juga Mizuki. Lagi-lagi dia tak habis pikir dengan tingkah mantan sekretaris dan mata-mata kesayangannya itu.
"Ayah?" panggil Maya.
Eisuke tersadar dari lamunan panjangnya, "Ah iya, maaf. Sudah lupakan soal kemarin, aku tidak mau membahasnya. Yang penting sekarang kau sudah menjadi menantuku dan menyandang nama Hayami," jawab Eisuke seraya tersenyum dan langsung disambut pelukan hangat dari Maya. Eisuke terkekeh pelan menerima perlakuan lembut menantunya itu. Entah sudah berapa tahun lamanya dia tidak merasakan hangatnya sebuah pelukan. Memang siapa yang akan memeluknya? Tentu tidak mungkin Shiori atau Masumi melakukannya. Asa yang mengamati keduanya dari ambang pintu ruang makan tersenyum senang.
"Habiskan makananmu lalu kita bisa mengobrol di halaman belakang," kata Eisuke begitu Maya melepaskan pelukannya.
Maya mengangguk senang, "Baik ayah." Maya pun kembali duduk di kursinya dengan perasaan lega dan wajah bahagia. Dalam hati dia merasa tidak sabar untuk bertemu dengan Masumi dan menceritakan semuanya.
***
>>Bersambung<<
"Habiskan makananmu lalu kita bisa mengobrol di halaman belakang," kata Eisuke begitu Maya melepaskan pelukannya.
Maya mengangguk senang, "Baik ayah." Maya pun kembali duduk di kursinya dengan perasaan lega dan wajah bahagia. Dalam hati dia merasa tidak sabar untuk bertemu dengan Masumi dan menceritakan semuanya.
***
"Ng, Ayah, bolehkah aku bertanya?"
tanya Maya di sela-sela makannya setelah mereka tenang cukup lama.
"Hhmm, tentu saja," jawab Eisuke yang
juga masih menikmati makan siangnya. Makan berdua bersama Maya ternyata
menambah selera makannya.
"Sebenarnya apa yang Ayah dan Masumi
bicarakan semalam? Apa itu tentang aku? Alasan kenapa Ayah bisa langsung
menerimaku?" tanya Maya dengan nada ragu.
Sesaat Eisuke menghentikan makannya lalu
menatap menantunya itu dengan kening berkerut. Tapi kemudian dia menghela napas
panjang. "Ya sedikit banyak kami memang membicarakanmu tapi bukan, bukan
itu pokok masalahnya," Eisuke menegaskan kalimat terakhirnya dengan
sungguh-sungguh.
"Masalah? Ada masalah lain? Apakah ini
soal keluarga Takamiya? Ada hubungannya dengan kedatangan Tuan Besar Takamiya
kemarin?" tanya Maya lagi tanpa rasa sungkan. Rupanya sejak semalam Maya
sudah menyimpan banyak pertanyaan di dalam kepalanya tapi tidak tahu harus
bertanya pada siapa. Pasalnya, Masumi pasti melarang semua orang disekeliling Maya
untuk bercerita.
"Jadi Masumi tidak menceritakan apapun
padamu?" Eisuke terdengar heran dengan pertanyaan Maya tapi kemudian dia
teringat betapa posesif dan protektifnya Masumi pada istri mungilnya itu.
"Ah, anak itu pasti mengatakan semua baik-baik saja dan membohongimu
dengan seribu satu alasan," kata Eisuke yang kemudian kembali melanjutkan
makan siangnya.
Maya yang mendengar itu langsung menundukkan kepala. Dugaannya benar, ada sesuatu yang terjadi dan Masumi menyembunyikan semua itu darinya. Tidak, tidak, Maya tidak marah karena dibohongin Masumi, dia hanya sedih karena dia merasa tidak mampu melakukan hal berguna untuk membantu suaminya. Padahal menurut Maya semua masalah ini juga disebabkan olehnya.
Maya yang mendengar itu langsung menundukkan kepala. Dugaannya benar, ada sesuatu yang terjadi dan Masumi menyembunyikan semua itu darinya. Tidak, tidak, Maya tidak marah karena dibohongin Masumi, dia hanya sedih karena dia merasa tidak mampu melakukan hal berguna untuk membantu suaminya. Padahal menurut Maya semua masalah ini juga disebabkan olehnya.
"Kau kenapa Maya?" tanya Eisuke yang
lagi-lagi berhenti makan karena melihat wajah muram menantunya. Maya sendiri
sepertinya sudah kehilangan selera makan.
Maya menggeleng lalu menyuap satu sendok makanan ke dalam mulut, mengunyahnya dalam diam.
Maya menggeleng lalu menyuap satu sendok makanan ke dalam mulut, mengunyahnya dalam diam.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, Masumi
tahu dengan pasti apa konsekuensinya kalau menikahimu. Aku pikir dia sudah siap
untuk itu. Aku benci mengakui kalau anak itu sudah tumbuh di luar ekspektasiku.
Dia selalu berpikir sepuluh langkah ke depan sebelum menentukan pilihan,"
kata Eisuke dengan nada datar.
Maya kembali mengangkat wajahnya lalu menatap
Eisuke, "Aku hanya menjadi beban buatnya," gumam Maya sedih tapi
kalimat itu justru membuat Eisuke terkekeh.
"Kau terlalu polos Maya," ucap Eisuke
kemudian, "selesaikan dulu makanmu, kita bisa bicara banyak setelah ini di
halaman belakang. Ah, ku harap Masumi tidak mengganggu kita nanti,"
lanjutnya.
"Eh?" Maya tampak bingung, "Apa
Masumi juga akan datang?" tanyanya dan Eisuke kembali harus tertawa dengan
pertanyaan Maya.
"Setelah para pengawalmu melaporkan kalau
kau datang ke sini? Aku malah heran kenapa dia lambat dan belum juga
datang," jawab Eisuke di sela tawanya.
"Pengawal? Maksud Ayah Masato dan Nona
Midori? Ah, benar juga, mereka pasti melaporkan itu pada Masumi," kata
Maya setuju.
"Jangan bilang padaku kalau kau tidak tahu
apa tugas Masato dan Midori yang sebenarnya? Mereka bukan hanya sopir dan
menejer pribadimu," Eisuke menggeleng geli melihat Maya yang ternyata
memang tidak tahu apa-apa. Masumi benar-benar mengendalikan hidup Maya, begitu
pikirnya.
"Memangnya siapa mereka? Aku hanya tahu
kalau mereka orang yang dipekerjakan Daito untukku," gumam Maya lirih.
"Daito? Masumi memang pintar berbohong
atau kau yang memang terlalu bodoh untuk mengetahuinya?" Eisuke terkekeh
lagi.
Maya cemberut lalu kembali makan tanpa menjawab
pertanyaan Eisuke. Dia memang selalu merasa bodoh karena tidak pernah tahu
apa-apa.
"Sudah, sudah, habiskan dulu makanmu.
Kalau Masumi datang nanti, dia pasti-,"
"Aku pasti apa?"
Eisuke dan Maya tersentak bersamaan begitu
mendengar suara bernada tinggi di belakang mereka. Maya langsung menoleh
sementara Eisuke memutar kursi rodanya dan menemukan Masumi sudah berjalan ke
arah mereka dengan raut wajah kesal.
"Masumi," Maya justru memekik girang
memanggil nama suaminya dan mengabaikan peluh di kening Masumi yang menunjukkan
betapa dia bekerja keras untuk bisa sampai di kediaman Hayami.
"Akhirnya datang juga," Eisuke tidak
tampak terkejut lalu kembali memutar kursi rodanya.
"Kau datang?" Maya tersenyum saat Masumi sudah berdiri di sebelahnya. Eisuke sendiri tampak tidak terusik dengan kekesalan Masumi.
"Kau datang?" Maya tersenyum saat Masumi sudah berdiri di sebelahnya. Eisuke sendiri tampak tidak terusik dengan kekesalan Masumi.
Menghela napas panjang, Masumi mengacak surai
gelapnya lalu mengamati istrinya lekat dari kepala hingga ujung kaki. "Kau
baik-baik saja?" tanya Masumi dengan suara yang sudah berubah lembut.
"Aku baik, kenapa?" Maya justru balik
bertanya.
"Jaga bicaramu Masumi. Apa kau pikir aku
akan melukai Maya?" Eisuke tampak tersinggung dengan pertanyaan Masumi
namun tetap melanjutkan makannya.
"Ah, kau pasti khawatir padaku. Maaf aku
tidak minta ijin dulu padamu. Ayah menjemputku tiba-tiba dan aku pikir, aku
memang perlu berbicara empat mata dengan Ayah. Jadi aku ikut saja tanpa pikir
panjang," terang Maya kemudian dengan senyum yang masih mengembang di
wajahnya.
"Ayah?" Masumi terheran-heran
mendengar Maya memanggil Eisuke dengan sebutan ayah. Seingatnya semalam Eisuke
masih marah atas pernikahan mereka dan menyalahkan dirinya habis-habisan karena
ulah Takamiya yang mulai membuat Daito kacau.
Eisuke diam-diam menyeringai di balik cangkir tehnya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya.
Eisuke diam-diam menyeringai di balik cangkir tehnya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya.
"Iya," Maya mengangguk senang,
"Ayah sudah menerimaku. Aku senang sekali," ucapnya girang dan Masumi
langsung menoleh ke arah Eisuke. Memberikan tatapan dengan pertanyaan tak
terucap apa-rencana-ayah?
"Jangan pikir aku sepicik itu. Lebih baik
kau pikirkan bagaimana cara menyelamatkan Daito dari serangan Takamiya atau kau
harus menerima konsekuensi dariku kalau sampai terjadi hal buruk pada
Daito," Eisuke dengan lihai membaca pikiran Masumi.
Maya menatap bingung dua orang pria yang ada dihadapannya
tapi tidak berani bertanya. Masumi mendesah kesal lalu menempatkan dirinya
untuk duduk di sebelah Maya. Ayahnya benar, Daito sedang kacau karena ulah
Takamiya dan dia harus bekerja keras karena itu. Kalau bukan demi Maya tadi,
dia pasti tidak akan meninggalkan kursinya barang sedetikpun.
Maya yang masih mengamati gerak-gerik Masumi akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"
Maya yang masih mengamati gerak-gerik Masumi akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"
Menyadari kekhawatiran istrinya, Masumi segera
merubah ekspresinya. Dia tersenyum seraya mengacak poni Maya, "Tenang
saja, semua baik-baik saja. Aku hanya terkejut tadi saat tahu kau pergi sendiri
ke rumah Ayah," jawab Masumi dengan suara tenang.
"Hah, kau jangan memperlakukan istrimu
seperti anak-anak begitu Masumi. Dia berhak tahu semuanya," sela Eisuke
dan Maya segera mengangguk tanda setuju dengan perkataan ayahnya. Masumi
lagi-lagi melemparkan tatapan kesal pada ayahnya.
"Aku mungkin memang tidak bisa banyak
membantu tapi setidaknya bagilah bebanmu denganku," kata Maya yang mencoba
meyakinkan Masumi.
"Tidak, tidak, jangan dengarkan apa kata
ayah. Semua masih bisa ku atasi dan aku tidak mau membuatmu khawatir dengan hal
yang tidak seharusnya kau pikirkan," kata Masumi. Dia meraih gelas Maya
yang berisi orange juice dan menghabiskan isinya begitu saja.
"Tapi kalau kau diam, aku justru semakin
khawatir. Katanya Tuan Besar Takamiya mulai melakukan sesuatu pada Daito, apa
itu buruk?" Maya masih bersikeras membujuk suaminya.
"Astaga Ayah!" Masumi menggeleng
seraya mengacak rambutnya, "Seingatku semalam kau sudah setuju untuk tidak
mengatakan apa-apa dan tidak mengganggu Maya," sungutnya.
Eisuke berdecih kesal, "Pertama, aku belum
mengatakan apapun pada istrimu. Dia sudah bisa menebak sendiri semuanya. Maya
itu polos bukannya bodoh, kau seharusnya mengerti dimana perbedaannya,"
dan Masumi harus melengkungkan alis tinggi mendengar perkataan ayahnya
sementara Maya sempat menganga lalu menunduk malu, lagi-lagi merasa bodoh.
"Kedua, aku sama sekali tidak mengganggu
Maya," tegas Eisuke lagi sembari mengalihkan pandangannya ke arah Maya,
"apa kau merasa terganggu Maya?"
Maya menggeleng dengan cepat,
"Tidak," Maya lalu memutar tubuhnya menghadap Masumi, "aku
memang sempat takut tadi tapi percayalah, ayah tidak melakukan hal buruk
padaku. Aku justru senang karena ayah sekarang mau menerimaku," lanjutnya.
Merasa kalau semua perdebatan ini sia-sia,
Eisuke memutar kursi rodanya dan berniat pergi. "Habiskan makanmu Maya dan
kita bisa melanjutkan rencana kita tadi di halaman belakang atau kau bisa
memilih untuk ikut suamimu pulang." Entah untuk yang keberapa
kalinya Eisuke meminta Maya menghabiskan makanannya.
Melirik piring makannya yang masih tersisa
setengah Maya kemudian kembali fokus pada Masumi. "Ijinkan aku
menghabiskan waktu bersama ayah siang ini. Kau bisa menjemputku sore nanti atau
aku akan meminta Masato menjemputku."
Masumi melihat ayahnya yang sudah pergi
meninggalkan ruang makan lalu menghilang setelah berbelok di koridor. Menghela
napas panjang, Masumi sadar kalau kekhawatirannya berlebihan. "Berjanjilah
untuk menghubungiku kalau terjadi sesuatu," lirih Masumi seraya mengusap
sisi wajah istrinya.
Maya menumpukan tangannya di atas tangan Masumi
di sisi wajahnya lalu mengangguk senang. "Aku akan baik-baik saja,"
Maya kembali meyakinkan Masumi.
"Baiklah, aku harus kembali bekerja
sekarang. Tetap disini sampai aku menjemputmu."
"Iya."
Keduanya tersenyum dan Masumi masih sempat
memberikan kecupan sayang di kening dan bibir istrinya sebelum akhirnya pergi
meninggalkan kediaman Hayami.
***
Siang berubah cepat menjadi senja. Sementara pemandangan
kota tampak hangat dengan bayang jingga, di sebuah restoran di pusat kota,
Shiori justru sedang menguarkan aura dinginnya. Dia tengah menatap sengit
lembaran foto yang tersebar di atas meja di depannya. Andai saja dia tidak
sedang berada di tempat umum, mungkin Shiori akan langsung merobek-robek
belasan foto yang telah sukses memancing amarahnya itu. Meski berada di dalam
private room, Shiori masih waras untuk mengingat kalau dirinya menyandang nama
besar Takamiya.
"Jadi apa maumu?" tanya Shiori tenang pada seorang pria yang kini tengah duduk di seberang meja.
"Anda pasti tahu apa yang saya inginkan Nyonya," jawab pria itu. "Saya berjanji, dengan imbalan yang setimpal saya akan membuat nama pasangan Hayami hancur berantakan."
"Jadi apa maumu?" tanya Shiori tenang pada seorang pria yang kini tengah duduk di seberang meja.
"Anda pasti tahu apa yang saya inginkan Nyonya," jawab pria itu. "Saya berjanji, dengan imbalan yang setimpal saya akan membuat nama pasangan Hayami hancur berantakan."
Shiori menyeringai, "Aku akui kau punya
nyali yang besar hingga berani menemuiku untuk menawarkan hal kotor seperti
ini, tapi tidak," tegas Shiori, "aku tidak akan merusak reputasi
keluarga Takamiya juga Hayami dengan hal kotor dan tidak beretika. Kau hanya
wartawan murahan yang menebak-nebak apa yang terjadi diantara kami tanpa tahu
yang sebenarnya lalu berusaha mencari keuntungan dengan skandal konyol dan menggelikan."
Wartawan itu berjenggit dengan perkataan tegas
Shiori. Dia tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini. Image Shiori yang
ada di dalam kepalanya jauh dari apa yang ada dihadapannya.
"Apa kau membayangkan kalau aku adalah
janda Hayami yang akan meratapi perceraianku lalu menangisi pernikahan mantan
suamiku dengan wanita lain? Kau berharap aku menyimpan dendam dan akan membalas
sakit hatiku pada mereka?" Shiori kembali menyeringai begitu berhasil
membaca raut wajah sang wartawan yang mulai ketakutan. Ya, dia tahu pasti
itulah yang dipikirkan pria yang kini tampak gelisah di depannya. Bahkan Shiori
yakin, itu juga yang dipikirkan oleh semua orang di Jepang mengenai dirinya.
Tapi sekali lagi Shiori tidak sudi dunia menertawakan lukanya. Dia sakit hati?
Tentu saja! Tapi Shiori tidak harus melakukan pembalasan karena sang penguasa
Takamiya bahkan sudah menyiapkan semuanya. Untuk apa dia menerima tawaran
wartawan kelas teri yang nantinya justru mengambil keuntungan darinya dengan
seribu satu strategi liciknya.
"Ma-maaf, saya-,"
"Tidak perlu minta maaf, bawa pergi semua
foto ini dan enyahlah dari hadapanku. Kalau sampai satu saja dari lembaran foto
rekayasa ini tersebar di media, maka kau orang pertama yang akan aku
cari," suara dingin dan tegas Shiori membuat sang wartawan semakin
bergidik ngeri. Dia segera membereskan lembaran foto yang menunjukkan berbagai
pose tak senonoh yang memang hasil editannya untuk menggemparkan media dan
mencemarkan nama baik Masumi juga Maya. Sang wartawan dengan wajah pucat pasi meninggalkan
Shiori yang masih bergeming di tempatnya dengan aura gelap mengelilinginya.
"Wada!" Seru Shiori pada pengawal
yang sejak tadi menemaninya.
"Ya Nyonya," Wada maju beberapa
langkah dan berdiri di belakang Shiori.
"Kirim anak buahmu, aku yakin kau tahu apa
yang seharusnya kau lakukan pada tikus got tadi," kata Shiori datar.
"Baik Nyonya," Wada membungkuk hormat
lalu meminta ijin untuk melakukan panggilan sementara Shiori dengan tenang
menikmati teh yang dipesannya.
"Maya, Masumi," gumamnya lirih di
sela-sela sesapan tehnya, "hhmm, tehnya enak juga," gumamnya lagi
dengan seringai muncul di sudut bibirnya.
***
Bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu
membuat Masumi mendesah lega. Jam tangannya menunjukkan angka enam dan Masumi
senang karena bisa segera pulang dan bertemu dengan Maya. Mizuki yang melihat
binar lain di mata atasannya sudah bisa menebak apa yang tengah dipikirkan
Direktur Daito itu.
“Jadi kepanikan anda siang tadi sia-sia, Tuan?”
tanya Mizuki seraya menahan rasa gelinya saat mengingat bagaimana Masumi keluar
dari ruangannya siang tadi.
Masumi hanya melirik pada sekretarisnya lalu
kembali fokus pada dokumen terakhir yang baru saja ditandatanganinya. “Jangan
menggodaku Mizuki,” ucapnya dan Mizuki sukses terkikik senang.
“Saya tidak menggoda anda,” jawab Mizuki sopan.
Masumi melengkungkan bibirnya menjadi senyum
tipis tanpa menatap Mizuki. Dia sendiri merasa lucu dengan reaksi impulsifnya
siang tadi.
“Jadi sekarang semua baik-baik saja?” tanya
Mizuki seraya mengambil dokumen yang diulurkan Masumi.
“Selain masalah Daito, semuanya berjalan dengan
baik,” Masumi masih mengulas senyum tipisnya.
“Syukurlah, saya senang mendengarnya. Setidaknya
sekarang anda bisa fokus untuk menyelesaikan masalah Daito.” Mizuki juga
tesenyum lega untuk menegaskan perasaannya.
“Hhmm, apa Hijiri sudah kembali dari
pertemuannya dengan Tuan Besar Tanaka?” tanya Masumi kemudian begitu melihat
Mizuki bersiap keluar dari ruangannya.
“Sepertinya belum,” Mizuki menatap Masumi yang
kini mengerutkan keningnya, “apa anda takut kesepakatannya gagal?”
“Tidak, aku yakin Hijiri bisa meyakinkan Tuan Besar
Tanaka. Sudah lama dia menyimpan sakit hati dengan Grup Takatsu jadi aku sama
sekali tidak berpikir kesepakatan ini akan gagal,” jawab Masumi penuh
keyakinan.
“Dan yang membuat anda khawatir adalah?” Mizuki
kembali melontarkan pertanyaan.
“Aku hanya sedang memikirkan reaksi Tuan Besar
Takamiya setelah kesepakatan ini dibuat dan menimbang setiap langkah yang harus
Daito ambil.”
“Saya mengerti,” Mizuki mengangguk paham. Diapun
permisi keluar dan membiarkan Masumi kembali merenungi semua rencananya. Sungguh
Mizuki yakin kalau sebentar lagi dia akan melihat perang besar terjadi di
Tokyo.
***
Masumi mengernyitkan kening begitu Bibi Harada,
kepala pelayan keluarga Hayami mempersilakannya masuk ke ruang keluarga. Dari koridor
dia bisa mendengar suara gelak tawa Maya juga ayahnya. Entah apa yang terjadi
hingga dia bisa mendengar ayahnya tertawa sekeras itu. Bahkan selama menjadi
anak angkat di keluarga Hayami, Masumi jarang melihat Eisuke tersenyum.
“Ah, Masumi, kau sudah datang,” Maya langsung
beranjak dari sofa dan menghampiri Masumi yang baru saja masuk.
“Iya,” Masumi mengulas senyum lebar melihat
Maya menyambutnya, “sepertinya aku baru saja melewatkan banyak kesenangan?”
tanya Masumi seraya melirik ke arah ayahnya yang duduk di atas kursi roda dengan
wajah bahagia.
“Iya,” Maya menarik Masumi untuk duduk di sofa,
“ayah tadi bercerita banyak soal masa kecilmu,” kata Maya masih dengan semangat
yang menggebu.
“Masa kecilku?” Masumi tampak terkejut. Bagaimana
mungkin seorang Eisuke Hayami menceritakan soal masa kecilnya? Dan bagian mana
dari hidupnya yang bisa membuat Maya tergelak?
“Ayah bilang kau dulu suka bermain baseball
dengan teman-teman sekolahmu dan pulang dengan wajah penuh kotoran bahkan ibumu
sampai marah melihatnya,” kata Maya yang masih terus bercerita tanpa
mempedulikan keheranan Masumi.
“Eh?” Masumi makin heran mendengar penuturan
Maya. Diapun menatap ayahnya dengan padangan tanya.
“Jangan pikir aku tidak memperhatikanmu,
Masumi. Sejak dulu kau saja yang tidak memperhatikan sekelilingmu,” celetuk
Eisuke dengan senyum miringnya.
Masumi terdiam. Dia tidak percaya dengan ucapan
Eisuke tapi apa yang diceritakannya pada Maya itu benar. Masumi tidak habis
pikir, bagaimana dulu dia tidak tahu kalau Eisuke selalu memperhatikannya.
“Masumi?” Maya menggoyangkan lengan Masumi. Membuyarkan
semua renungannya.
“Ah, iya sayang?” Masumi kembali tersenyum pada
istrinya.
“Kenapa melamun? Kau pasti lelah bekerja
seharian ini,” ucap Maya penuh simpati.
“Tidak sayang, aku hanya terkejut mendengar
ayah bisa bercerita padamu tentang masa kecilku,” jawab Masumi seraya melirik
ayahnya yang tampak tenang saja mendengar sindiran halusnya, “kau masih mau
disini atau kita pulang sekarang?” tanya Masumi sambil mngusap tangan Maya yang
bergelayut manja di lengannya.
“Kita pulang saja,” Maya tersenyum senang lalu
mengalihkan perhatiannya pada Eisuke, “Ayah, aku pulang dulu. Kami akan
berkunjung lagi lain waktu.”
Eisuke hanya mengangguk menanggapinya. Maya masih
sempat memberikan sebuah pelukan sayang untuk ayah mertuanya, membuat mata
Masumi membola dan dia setengah mati menahan diri untuk tidak menarik Maya. Sungguh
sekarang dia menyesal membiarkan Maya seharian bersama ayahnya. Astaga!
***
“Sebenarnya apa yang ayah lakukan sampai kau
terus tersenyum bahagia seperti itu? Dan lagi, kenapa kau harus memeluk ayah?”
Masumi yang sedang mengemudi gagal menyembunyikan rasa kesalnya melihat Maya
yang terus tersenyum sejak keluar dari kediaman Hayami.
Maya langsung menoleh dan menatap suaminya. Tak
lama kemudian dia tergelak, “Jangan bilang kau cemburu?” canda Maya.
Masumi menghela napas panjang, “Apa salahnya
kalau aku cemburu?” sungutnya pelan tapi itu justru membuat Maya makin
tergelak.
“Jangan konyol Masumi, dia ayahmu dan tidak
mungkin juga aku menganggapnya lebih dari itu,” kata Maya dengan masih tertawa.
Ah, benar juga, batin Masumi membenarkan. Entah
kenapa hari ini dia selalu bertingkah menggelikan.
“Aku tidak percaya ayah bisa bersikap semanis
itu padamu,” celetuk Masumi untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Hhmm, begitukah? Sebenarnya aku tidak terlalu
terkejut. Kami pernah beberapa kali makan es krim bersama, justru aku terkejut
saat tahu kalau ternyata kakek es krim adalah ayahmu, pemilik Daito yang
kabarnya begitu menyeramkan,” terang Maya.
“Apa katamu tadi? Kakek es krim? Apa yang kau
maksud adalah kakek yang kau ceritakan saat kita bertemu di penginapan Ibu
Mayuko?” Masumi berusaha memutar ulang memorinya.
“Eh?” Maya langsung menutup mulutnya dengan
kedua tangan. Tidak seharusnya dia cerita itu. Dia pasti akan malu kalau Masumi
tahu saat itu dia justru mengatai Masumi di depan ayahnya sendiri. Tapi Maya sudah
terlanjur bicara dan mau tak mau Maya mengangguk.
“Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya. Kemarin
aku takut sekali melihat ayah marah seperti itu tapi sekarang aku sudah lega
karena ternyata ayah sudah menerimaku,” lanjut Maya dan tiba-tiba Masumi
tergelak.
“Ya ampun, Ayah. Jadi seperti ini permainanmu?”
kata Masumi lebih kepada diri sendiri. Dia benar-benar baru menyadari semuanya.
Apa yang dikatakan ayahnya tadi ternyata memang benar. Dirinyalah yang tidak
peka dengan sekeliling sampai tidak tahu kalau ternyata di belakangnya sang
ayah terus mengawasinya bahkan sampai menemui Maya tanpa sepengetahuannya. Sekarang
dia paham kenapa ayahnya sampai merancangkan rencana besar untuknya dan Maya
juga Daito.
“Aku tidak mengerti Masumi?” tanya Maya yang
tampak bingung dengan reaksi suaminya.
Masumi menoleh begitu mobil berhenti di lampu
merah lalu tersenyum pada Maya, “Kau pasti akan mengerti nanti,” ucapnya dan
Maya langsung mengerucutkan bibirnya. Kesal karena lagi-lagi Masumi menyimpan rahasia
darinya. “Kenapa?” tanya Masumi begitu melihat istrinya cemberut.
“Kau masih saja merahasiakan semuanya,” sungut
Maya.
Masumi terkekeh, “Jangan marah, tiba saatnya
nanti aku akan menceritakan semuanya padamu,” Masumi menarik tangan Maya lalu
mengecup jemarinya.
Maya menghela napas panjang. Dia hanya bisa
menunggu. Percuma memaksa Masumi karena sekeras apapun dirinya memaksa, suami
over protektifnya itu tidak akan pernah mau buka mulut.
Masumi kembali fokus memperhatikan jalan begitu
lampu berubah hijau. Belum lama mobil kembali melaju, handphone Masumi
berdering, menampilkan nama Hijiri di layar.
“Sayang, tolong jawab telepon Hijiri, minta dia
menghubungiku lagi nanti,” pinta Masumi seraya mengulurkan handphonenya pada
Maya. Dia sedang ingin cepat sampai di rumah dan tidak mau perjalanannya terganggu
oleh telepon.
Maya yang menerima handphone Masumi segera
menjawab panggilan Hijiri, “Halo, Kak Hijiri-,”
“Nyonya?!” potong Hijiri dengan nada terkejut. Kening
Maya berkerut mendengar deru napas Hijiri yang terdengar kasar di speaker
phone. “Nyonya katakan pada Tuan Masumi untuk jangan kembali ke kondominium. Cepat
berbalik dari jalan kalian sekarang!” kata Hijiri dengan nada tinggi dan Maya
bisa menebak kalau saat ini Hijiri tengah berlari. Maya menjauhkan handphone
dari telinganya yang berdenging. Telepon terputus.
“Ada Apa?” Masumi heran melihat ekspresi wajah
Maya yang tampak terkejut sekaligus bingung.
“Kak Hijiri meminta kita untuk tidak kembali ke
kondo dan meminta kita berbalik arah sekarang juga,” jawab Maya cepat.
Masumi langsung menangkap itu sebagai sinyal
bahaya untuknya dan Maya. Dengan segera dia melihat sekitar melalui kaca spion
dan bersiap untuk memutar arah.
“Masumi!!” Maya berteriak begitu melihat sebuah
mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah mereka dan Masumi dengan reflek
yang bagus bisa menghidar dengan membanting kemudi ke arah berlawanan. Namun sayang,
mobil di belakang mereka tidak siap dengan gerakan cepat mobil Masumi yang
tiba-tiba berubah haluan sehingga tabrakan tak lagi bisa dihindari. Mobil Masumi
dihantam dengan keras dari belakang, sempat berputar dua kali sebelum akhirnya
menghantam pembatas jalan.
Maya berkedip demi menyadarkan dirinya dari
shock akibat kejadian cepat dan mengejutkan itu, namun pandangannya buram. Dia hanya
bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipinya hingga telinganya
kemudian berdenging lalu menuli dan dalam sekejap semua berubah menjadi gelap.
***
13 Comments
Maaf, lama-lama apdetnya. ehhehee
ReplyDeletebanyak kerjaan dan tugas yang nggak bisa ditinggal.
Chapter ini pendek ya...soalnya sengaja mau potong disitu biar pada nggak bisa tidur. hahaha
Chapter depan lebih panjang tapi apdet nunggu aku lega ya, wkkwkw
happy reading...jangan lupa yang baca kasih komen ya biar semangat XD
Mba agnesss jahaattttt
ReplyDeleteTega ihh motongnya bikin ga bisa tidur ini
Motongnya pas bener ya.. Bikin orang ga bisa tidur beneran! (Tidur siangku terganggu mikirin bagaimana nasib maya masumiku... 😢)
ReplyDeleteYa ampuuuun, hiks hiks.
ReplyDeleteDuh...semoga bs sabar nunggu lanjutannya...kok ya pas...banget
ReplyDeleteWoahhh mayaaaa.... tidakkkkk......😰
ReplyDeleteOohhh tidaaaaakkkk... Jgn sedih2 ya hiks
ReplyDeleteCeeee.......tega bener sih dirimu memotong cerita dengan berbagai macam pertanyaan besar :'(
ReplyDeleteItu cairan di pipi Maya itu DARAH?
Gimana keadaan Masumi?
Bagaimana nasib Maya?
Aduuuhhhh kenapa sih akhir-akhir ini disuguhi cerita yang bikin dada sesek?
Kemaren nonton drakor penulis skenarionya juga gitu.....apa kalian para penulis lagi terkontaminasi aura panas Pilkada apa ya?
Semua nya pada sirik banget sama tokoh utama
Lagi seneng-seneng, honeymoon, tiba-tiba kecelakaan
Hadeeeewwwww......tisu mana tisu :'(
Huaaaaa......:'(
BTW FYI penulisan kata 'anda' harus e huruf awal e pake huruf besar ya "Anda"
DeleteKeep on improvement say
Terus beberapa penempatan spasi yang ga pada tempatnya
Next time deh aku act as your editor yak
Not now
Aku mo nangisin tokoh-tokoh utama ku yang disiksa author nya
:'(
Iya ce, anda itu huruf besar. Wah kalo ff ni banyak typo pasti. Coz nulis di hp baru pindahin ke Pc, kadang dah ga sempet ngeditnya lagi. Wah dengan senang hati ku terima tawaranmu Ce...my private editor.arigato ce....next time kuperhatikan lagi lebih detail semuanya biar yang baca enak kan😘
DeleteSemangat mb Agness ������
ReplyDeleteBagussss bikin penasaran nihh hahaa..thank you kak Agnes. Semangaaatttt
ReplyDeleteYa ampuun kak.. bikin sediiih.. lanjuut kak agnes
ReplyDelete