Pure Love - Chapter 11



Mizuki merubah wajahnya menjadi ekspresi kesal dan menyesali keputusannya untuk datang ke ruangan wakil Direktur Daito. Hanya demi rasa penasarannya akan sikap Masumi, dia jadi lupa kalau dia baru saja masuk ke dalam gua singa. Awalnya Mizuki berpikir kalau sikap dingin Hijiri padanya masih berlanjut hingga dia merasa aman tapi ternyata perkiraannya salah. Hijiri kembali menjadi sosok menyebalkan yang memaksakan perasaannya.
“Kenapa diam?” tanya Hijiri dengan senyum masih mengembang di wajahnya, “Aku kan hanya bertanya, apa kau merindukanku sampai repot-repot datang ke ruanganku?” ekspresi jahil Hijiri membuat tingkat kekesalan Mizuki semakin berlipat ganda.
“Maaf Tuan Hijiri, anda salah paham. Bukankah saya tadi sudah mengatakan tujuan saya datang menemui anda?” jawab Mizuki dengan nada tegas.
“Hhmm, aku hanya tidak percaya kau menggunakan alasan itu untuk bisa menemuiku,” Hijiri menyeringai senang.
“Tidak, tidak, ini tidak seperti-,”
“Sudahlah Saeko, mau sampai kapan kau membohongi perasaanmu sendiri? Kau tidak akan mati hanya karena mengakui kalau kau juga mencintaiku, justru sebaliknya, kita berdua bisa hidup bahagia,” potong Hijiri disertai kalimat panjang yang membuat Mizuki semakin kesal.
“Anda tidak tahu bagaimana isi hati saya Tuan, jadi jangan seenaknya menyimpulkan. Apa dan bagaimana bisa anda mengatakan bahwa saya juga jatuh cinta pada anda sedangkan kita bahkan baru saja saling mengenal?” jawab Mizuki. Dengan masih berdiri di tempatnya, Mizuki menatap lekat Hijiri yang duduk di hadapannya. Dia masih bergeming saat kemudian Hijiri bangkit dari kursinya, berjalan memutari meja dan berhenti tepat di depannya. Wajah mereka begitu dekat sampai Mizuki bisa merasakan hembusan napas hangat Hijiri di kulit wajahnya.
“Kau keras kepala,” gumam Hijiri tepat di depan wajah Mizuki.
“Saya memang terlahir seperti ini dan anda tidak bisa protes karenanya,” balas Mizuki dengan mata menatap lurus ke dalam mata Hijiri. Entah kenapa kali ini dia merasa tidak perlu menghindar dari Hijiri.
“Kau mau membuatku menunggu berapa lama lagi?” tanya Hijiri.
“Perasaan itu sesuatu hal yang tidak bisa dipaksaan Tuan, jadi anda harus bersabar. Kalau tidak bisa, silakan berbalik dan pergi,” jawab Mizuki tenang.
“Jadi itu maumu? Bersabar?” Hijiri mengerutkan kening atas pernyataan Mizuki. Mata mereka masih bertaut dan mencoba menerka jalan pikiran satu sama lain.
“Itu pilihan untuk anda Tuan, yang pasti saya tidak suka segala sesuatu yang dipaksakan. Biarkan semua mengalir apa adanya,” Mizuki menyeringai di akhir kalimatnya. Dia mundur dua langkah lalu mengangguk hormat pada Hijiri, “Saya mohon maaf untuk apa yang saya lakukan hari Sabtu yang lalu, saya tahu saya tidak seharusnya melakukan itu,” Mizuki mengulas sebuah senyum ketika kembali berdiri, “saya permisi Tuan Hijiri, terima kasih,” dengan itu Mizuki berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Hijiri yang bergeming di tempatnya tanpa menjawab apapun.

***
Shiori duduk dengan tenang di ruang keluarga kediaman Takamiya. dia meneguk teh dengan santainya, tidak terganggu dengan pandangan menyelidik kakeknya yang duduk di hadapannya.
"Berhentilah bersandiwara di depanku Shiori," kata Tuan Besar Takamiya.
Shiori dengan tenang mengangkat wajahnya lalu tersenyum pada kakeknya, "Apa maksud Kakek?"
Tuan Besar Takamiya menghela napas panjang. Dia tahu cucunya itu tidak akan bicara kalau tidak di desak. "Aku sudah bertemu Masumi juga istri barunya," katanya kemudian.
Sesaat Shiori tampak mengerutkan kening tapi kemudian kembali terlihat tenang. "Oh ya? Bagaimana kabar mantan suamiku itu? Apa dia terlihat lebih bahagia?" Shiori terkekeh dengan nada datar lalu kembali meneguk tehnya.
"Jadi benar kalau wanita itu yang membuat Masumi menceraikanmu?" Tanya Tuan Besar Takamiya lagi.
Shiori menggeleng, "Tidak Kakek, sejak awal Masumi memang tidak mencintaiku, jadi ada atau tidaknya wanita itu tetap saja semuanya akan berakhir sama," jawabnya santai.
"Jangan mencoba membela Masumi di depanku, Shiori," Tuan Besar Takamiya tak lagi sabar menghadapi sikap Shiori yang seolah tak peduli. Padahal dia tahu kalau cucunya itu merasa sakit hati dengan semua yang terjadi.
"Aku tidak membelanya Kakek, hanya mengatakan yang sebenarnya," Shiori menyeringai di balik cangkir tehnya.
"Aku bisa membalaskan sakit hatimu Shiori. Mintalah padaku dan aku akan melakukan semuanya untukmu."
Shiori tertawa kali ini. "Jadi ini tujuan kakek? Membalaskan sakit hatiku?"
Tuan Besar Takamiya menatap miris cucunya. Dia sama sekali tidak ingin cucunya itu bersedih. Dia bahkan rela mengotori tangannya demi membuat Shiori kembali tersenyum. Tuan Besar Takamiya tersentak ketika Shiori tiba-tiba beranjak dari duduknya.
"Aku tidak akan meminta kakek untuk membalaskan sakit hatiku tapi kalau kakek ingin melakukannya maka aku akan melihatnya sambil tersenyum," Shiori benar-benar tersenyum di akhir kalimatnya dan berlalu begitu saja meninggalkan kakeknya yang kini tengah menyeringai senang.
"Wada!" Serunya kemudian. Seorang pria berpakaian hitam muncul dari balik pintu lalu membungkuk hormat.
"Ya Tuan Besar."
"Siapkan orangmu dan temui aku di ruang kerja!" perintah Tuan Besar Takamiya. Pria bernama Wada itupun kembali mengangguk hormat dan berbalik pergi.
"Masumi, jangan pikir aku akan diam. kau salah mencari lawan," desis Tuan Besar Takamiya penuh emosi.

***
Jam berdetak terlalu lambat, begitu pikir Maya ketika dia mencoba untuk duduk dengan tenang di sofa panjang ruang keluarga kediaman Hayami. Seorang pelayan datang dan membawakannya secangkir teh juga sepotong orange cake dalam piring kecil.
"Silakan Nyonya," kata pelayan itu sopan seraya membungkukkan badan.
"Terima kasih," jawab Maya sama sopannya. Maya yang memang merasa lapar langsung menikmati hidangan yang disajikan. Pikirnya hal itu tak masalah sembari dirinya menunggu Eisuke datang. Namun tanpa sepengetahuannya, Eisuke mengamati Maya dari balik tirai di ujung ruangan.
"Gadis itu masih saja polos. Apa dia tidak merasa takut atau setidaknya waspada aku akan meracuni makanannya? Dia tidak sadar datang kemana," Eisuke menggeleng dengan tingkah laku Maya sementara Asa justru tersenyum.
"Kalau boleh saya ingatkan, dia bukan lagi seorang gadis Tuan. Ya meski kepolosannya tetap sama. Tidakkah anda senang memiliki menantu sepertinya?" kata Asa yang membuat Eisuke menghela napas.
"Aku masih tidak percaya Masumi tergila-gila padanya bahkan rela menentangku dan mengabaikan keluarga Takamiya," gumam Eisuke dengan nada kesal juga geli.
"Bukankah keras kepala Tuan Masumi sama dengan anda, Tuan Besar?" Asa tersenyum diujung kalimatnya dan Eisuke tertawa pelan, tidak mau Maya mendengar.
"Kau memang selalu bisa membuat pikiranku lurus Asa. Kali ini aku ikuti maumu. Kita akan lihat sejauh mana anak dan menantuku yang keras kepala itu bisa bertahan," kata Eisuke yang kemudian menjalankan kursi rodanya memasuki ruang keluarga.
Maya tersedak pada suapan terakhir cakenya saat melihat Eisuke datang bersama Asa. Dengan tergesa dia meneguk teh untuk melegakan tenggorokannya dan menyeka bibirnya dengan sapu tangan. Eisuke dan Asa menahan diri untuk tidak tertawa melihat tingkah Maya. Eisuke pun membalas dengan santai salam hormat Maya.
"Duduklah, kuharap aku tidak mengganggu jadwal padatmu dengan tiba-tiba mengundangmu datang ," kata Eisuke pada Maya yang masih membungkuk hormat padanya.
"Ti-tidak Tuan Besar, anda tida-"
"Ayah," sela Eisuke cepat. Maya yang kini duduk dihadapan Eisuke mengerutkan kening dengan heran.
"Maaf?" Maya merasa tidak mengerti dengan ucapan Eisuke.
Eisuke menghela napas seraya menggeleng, "Kau sudah jadi menantuku Maya, untuk itu jangan panggil aku Tuan Besar, panggil aku Ayah," jelas Eisuke.
Untuk sesaat Maya tampak terkejut tapi beberapa saat kemudian dia justru menangis dan Eisuke juga Asa dibuat bingung olehnya.
"Maaf, maaf," jawab Maya ketika Eisuke menanyakan alasannya menangis. "Saya hanya terlalu senang. Kemarin anda marah dan saya takut karena anda memanggil saya tiba-tiba. Sekarang anda justru meminta saya memanggil Ayah,-" Maya menyeka air matanya dengan masih terisak, "saya tidak pernah tahu bagaimana rasanya punya ayah, saya senang sekali."
Eisuke dan Asa diam mendengar penjelasan Maya tapi kemudian dia kembali bicara.
"Tidak perlu takut, aku tidak akan menyakitimu. Masumi bisa menghancurkan Daito kalau aku melakukannya," kata Eisuke.
Maya menyeka air matanya lagi lalu memberanikan diri menatap ayah mertuanya.
"Jadi, ayah sudah menerimaku sebagai menantu?" tanya Maya dengan mata berbinar penuh harapan.
"Hmmm," gumam Eisuke.
Maya tersenyum senang dan menganggap gumaman Eisuke sebagai jawaban ya.
Maya berkedip lalu mengambil piring kosong di atas meja. "Ayah, boleh aku minta lagi Cakenya? Aku masih lapar," ucap Maya seraya mengangkat piring dan senyum lebar terkembang diwajahnya.
Eisuke tak lagi bisa menahan tawanya, "Asa, minta Harada menyiapkan makan siang," perintah Eisuke disela tawanya.

***
Maya tersipu malu ketika duduk di meja makan dengan berbagai hidangan yang tersaji di depannya.
“Kau tidak perlu malu, bukankah dulu kita sudah sering makan bersama?” tanya Eisuke.
Maya terkekeh, dia jadi ingat dengan gelar kakek baik hati yang dia berikan kepada Eisuke. Image itu memang sempat berubah begitu dia tahu kalau Eisuke adalah ayah dari Masumi dan telah menjodohkan Masumi dengan Shiori. Maya sama sekali tidak pernah berpikir kalau akhirnya Eisuke bisa menerimanya sebagai menantu.
“Setelah apa yang terjadi kemarin, aku tidak menyangka ayah bisa menerimaku secepat ini. Aku pikir ayah akan membenciku karena membuat Masumi dan Nona Shiori berpisah,” kata Maya terus terang.
Eisuke tersenyum maklum dengan pendapat menantunya. Memang tidak ada yang salah dengan pendapat Maya. Kemarin dia masih marah dengan keputusan Masumi dan tidak habis pikir dengan tingkah Masumi yang nekat menikahi Maya. Hanya saja, setelah melihat sikap Masumi dan perbincangan mereka semalam suntuk ditambah nasehat Asa padanya, Eisuke jadi menimbang kembali semuanya. Sebenarnya dia sadar kalau semua kekacauan ini bukan sepenuhnya salah Masumi. Eisuke hanya terlalu shock dengan keputusan Masumi yang tiba-tiba menikahi Maya tanpa sepengetahuannya. Bahkan Hijiri yang sengaja dia angkat di Daito untuk mengawasi Masumi juga sudah berbalik setia.
Eisuke tidak bodoh untuk tahu sejauh mana Hijri sudah membantu Masumi selama ini. Dia hanya ingin menguji keduanya dan ternyata dugaannya tepat. Masumi justru berhasil menikahi Maya dengan bantuan Hijiri juga Mizuki. Lagi-lagi dia tak habis pikir dengan tingkah mantan sekretaris dan mata-mata kesayangannya itu.
"Ayah?" panggil Maya.
Eisuke tersadar dari lamunan panjangnya, "Ah iya, maaf. Sudah lupakan soal kemarin, aku tidak mau membahasnya. Yang penting sekarang kau sudah menjadi menantuku dan menyandang nama Hayami," jawab Eisuke seraya tersenyum dan langsung disambut pelukan hangat dari Maya. Eisuke terkekeh pelan menerima perlakuan lembut menantunya itu. Entah sudah berapa tahun lamanya dia tidak merasakan hangatnya sebuah pelukan. Memang siapa yang akan memeluknya? Tentu tidak mungkin Shiori atau Masumi melakukannya. Asa yang mengamati keduanya dari ambang pintu ruang makan tersenyum senang.
"Habiskan makananmu lalu kita bisa mengobrol di halaman belakang," kata Eisuke begitu Maya melepaskan pelukannya.
Maya mengangguk senang, "Baik ayah." Maya pun kembali duduk di kursinya dengan perasaan lega dan wajah bahagia. Dalam hati dia merasa tidak sabar untuk bertemu dengan Masumi dan menceritakan semuanya.

***
"Ng, Ayah, bolehkah aku bertanya?" tanya Maya di sela-sela makannya setelah mereka tenang cukup lama.
"Hhmm, tentu saja," jawab Eisuke yang juga masih menikmati makan siangnya. Makan berdua bersama Maya ternyata menambah selera makannya.
"Sebenarnya apa yang Ayah dan Masumi bicarakan semalam? Apa itu tentang aku? Alasan kenapa Ayah bisa langsung menerimaku?" tanya Maya dengan nada ragu.
Sesaat Eisuke menghentikan makannya lalu menatap menantunya itu dengan kening berkerut. Tapi kemudian dia menghela napas panjang. "Ya sedikit banyak kami memang membicarakanmu tapi bukan, bukan itu pokok masalahnya," Eisuke menegaskan kalimat terakhirnya dengan sungguh-sungguh.
"Masalah? Ada masalah lain? Apakah ini soal keluarga Takamiya? Ada hubungannya dengan kedatangan Tuan Besar Takamiya kemarin?" tanya Maya lagi tanpa rasa sungkan. Rupanya sejak semalam Maya sudah menyimpan banyak pertanyaan di dalam kepalanya tapi tidak tahu harus bertanya pada siapa. Pasalnya, Masumi pasti melarang semua orang disekeliling Maya untuk bercerita.
"Jadi Masumi tidak menceritakan apapun padamu?" Eisuke terdengar heran dengan pertanyaan Maya tapi kemudian dia teringat betapa posesif dan protektifnya Masumi pada istri mungilnya itu. "Ah, anak itu pasti mengatakan semua baik-baik saja dan membohongimu dengan seribu satu alasan," kata Eisuke yang kemudian kembali melanjutkan makan siangnya.
Maya yang mendengar itu langsung menundukkan kepala. Dugaannya benar, ada sesuatu yang terjadi dan Masumi menyembunyikan semua itu darinya. Tidak, tidak, Maya tidak marah karena dibohongin Masumi, dia hanya sedih karena dia merasa tidak mampu melakukan hal berguna untuk membantu suaminya. Padahal menurut Maya semua masalah ini juga disebabkan olehnya.
"Kau kenapa Maya?" tanya Eisuke yang lagi-lagi berhenti makan karena melihat wajah muram menantunya. Maya sendiri sepertinya sudah kehilangan selera makan.
Maya menggeleng lalu menyuap satu sendok makanan ke dalam mulut, mengunyahnya dalam diam.
"Kau tidak perlu merasa bersalah, Masumi tahu dengan pasti apa konsekuensinya kalau menikahimu. Aku pikir dia sudah siap untuk itu. Aku benci mengakui kalau anak itu sudah tumbuh di luar ekspektasiku. Dia selalu berpikir sepuluh langkah ke depan sebelum menentukan pilihan," kata Eisuke dengan nada datar.
Maya kembali mengangkat wajahnya lalu menatap Eisuke, "Aku hanya menjadi beban buatnya," gumam Maya sedih tapi kalimat itu justru membuat Eisuke terkekeh.
"Kau terlalu polos Maya," ucap Eisuke kemudian, "selesaikan dulu makanmu, kita bisa bicara banyak setelah ini di halaman belakang. Ah, ku harap Masumi tidak mengganggu kita nanti," lanjutnya.
"Eh?" Maya tampak bingung, "Apa Masumi juga akan datang?" tanyanya dan Eisuke kembali harus tertawa dengan pertanyaan Maya.
"Setelah para pengawalmu melaporkan kalau kau datang ke sini? Aku malah heran kenapa dia lambat dan belum juga datang," jawab Eisuke di sela tawanya.
"Pengawal? Maksud Ayah Masato dan Nona Midori? Ah, benar juga, mereka pasti melaporkan itu pada Masumi," kata Maya setuju.
"Jangan bilang padaku kalau kau tidak tahu apa tugas Masato dan Midori yang sebenarnya? Mereka bukan hanya sopir dan menejer pribadimu," Eisuke menggeleng geli melihat Maya yang ternyata memang tidak tahu apa-apa. Masumi benar-benar mengendalikan hidup Maya, begitu pikirnya.
"Memangnya siapa mereka? Aku hanya tahu kalau mereka orang yang dipekerjakan Daito untukku," gumam Maya lirih.
"Daito? Masumi memang pintar berbohong atau kau yang memang terlalu bodoh untuk mengetahuinya?" Eisuke terkekeh lagi.
Maya cemberut lalu kembali makan tanpa menjawab pertanyaan Eisuke. Dia memang selalu merasa bodoh karena tidak pernah tahu apa-apa.
"Sudah, sudah, habiskan dulu makanmu. Kalau Masumi datang nanti, dia pasti-,"
"Aku pasti apa?"
Eisuke dan Maya tersentak bersamaan begitu mendengar suara bernada tinggi di belakang mereka. Maya langsung menoleh sementara Eisuke memutar kursi rodanya dan menemukan Masumi sudah berjalan ke arah mereka dengan raut wajah kesal.
"Masumi," Maya justru memekik girang memanggil nama suaminya dan mengabaikan peluh di kening Masumi yang menunjukkan betapa dia bekerja keras untuk bisa sampai di kediaman Hayami.
"Akhirnya datang juga," Eisuke tidak tampak terkejut lalu kembali memutar kursi rodanya.
"Kau datang?" Maya tersenyum saat Masumi sudah berdiri di sebelahnya. Eisuke sendiri tampak tidak terusik dengan kekesalan Masumi.
Menghela napas panjang, Masumi mengacak surai gelapnya lalu mengamati istrinya lekat dari kepala hingga ujung kaki. "Kau baik-baik saja?" tanya Masumi dengan suara yang sudah berubah lembut.
"Aku baik, kenapa?" Maya justru balik bertanya.
"Jaga bicaramu Masumi. Apa kau pikir aku akan melukai Maya?" Eisuke tampak tersinggung dengan pertanyaan Masumi namun tetap melanjutkan makannya.
"Ah, kau pasti khawatir padaku. Maaf aku tidak minta ijin dulu padamu. Ayah menjemputku tiba-tiba dan aku pikir, aku memang perlu berbicara empat mata dengan Ayah. Jadi aku ikut saja tanpa pikir panjang," terang Maya kemudian dengan senyum yang masih mengembang di wajahnya.
"Ayah?" Masumi terheran-heran mendengar Maya memanggil Eisuke dengan sebutan ayah. Seingatnya semalam Eisuke masih marah atas pernikahan mereka dan menyalahkan dirinya habis-habisan karena ulah Takamiya yang mulai membuat Daito kacau.
Eisuke diam-diam menyeringai di balik cangkir tehnya. Dia sudah menyelesaikan makan siangnya.
"Iya," Maya mengangguk senang, "Ayah sudah menerimaku. Aku senang sekali," ucapnya girang dan Masumi langsung menoleh ke arah Eisuke. Memberikan tatapan dengan pertanyaan tak terucap apa-rencana-ayah?
"Jangan pikir aku sepicik itu. Lebih baik kau pikirkan bagaimana cara menyelamatkan Daito dari serangan Takamiya atau kau harus menerima konsekuensi dariku kalau sampai terjadi hal buruk pada Daito," Eisuke dengan lihai membaca pikiran Masumi.
Maya menatap bingung dua orang pria yang ada dihadapannya tapi tidak berani bertanya. Masumi mendesah kesal lalu menempatkan dirinya untuk duduk di sebelah Maya. Ayahnya benar, Daito sedang kacau karena ulah Takamiya dan dia harus bekerja keras karena itu. Kalau bukan demi Maya tadi, dia pasti tidak akan meninggalkan kursinya barang sedetikpun.
Maya yang masih mengamati gerak-gerik Masumi akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya, "Apa terjadi sesuatu?"
Menyadari kekhawatiran istrinya, Masumi segera merubah ekspresinya. Dia tersenyum seraya mengacak poni Maya, "Tenang saja, semua baik-baik saja. Aku hanya terkejut tadi saat tahu kau pergi sendiri ke rumah Ayah," jawab Masumi dengan suara tenang.
"Hah, kau jangan memperlakukan istrimu seperti anak-anak begitu Masumi. Dia berhak tahu semuanya," sela Eisuke dan Maya segera mengangguk tanda setuju dengan perkataan ayahnya. Masumi lagi-lagi melemparkan tatapan kesal pada ayahnya.
"Aku mungkin memang tidak bisa banyak membantu tapi setidaknya bagilah bebanmu denganku," kata Maya yang mencoba meyakinkan Masumi.
"Tidak, tidak, jangan dengarkan apa kata ayah. Semua masih bisa ku atasi dan aku tidak mau membuatmu khawatir dengan hal yang tidak seharusnya kau pikirkan," kata Masumi. Dia meraih gelas Maya yang berisi orange juice dan menghabiskan isinya begitu saja.
"Tapi kalau kau diam, aku justru semakin khawatir. Katanya Tuan Besar Takamiya mulai melakukan sesuatu pada Daito, apa itu buruk?" Maya masih bersikeras membujuk suaminya.
"Astaga Ayah!" Masumi menggeleng seraya mengacak rambutnya, "Seingatku semalam kau sudah setuju untuk tidak mengatakan apa-apa dan tidak mengganggu Maya," sungutnya.
Eisuke berdecih kesal, "Pertama, aku belum mengatakan apapun pada istrimu. Dia sudah bisa menebak sendiri semuanya. Maya itu polos bukannya bodoh, kau seharusnya mengerti dimana perbedaannya," dan Masumi harus melengkungkan alis tinggi mendengar perkataan ayahnya sementara Maya sempat menganga lalu menunduk malu, lagi-lagi merasa bodoh.
"Kedua, aku sama sekali tidak mengganggu Maya," tegas Eisuke lagi sembari mengalihkan pandangannya ke arah Maya, "apa kau merasa terganggu Maya?"
Maya menggeleng dengan cepat, "Tidak," Maya lalu memutar tubuhnya menghadap Masumi, "aku memang sempat takut tadi tapi percayalah, ayah tidak melakukan hal buruk padaku. Aku justru senang karena ayah sekarang mau menerimaku," lanjutnya.
Merasa kalau semua perdebatan ini sia-sia, Eisuke memutar kursi rodanya dan berniat pergi. "Habiskan makanmu Maya dan kita bisa melanjutkan rencana kita tadi di halaman belakang atau kau bisa memilih untuk ikut suamimu pulang." Entah untuk yang keberapa kalinya Eisuke meminta Maya menghabiskan makanannya.
Melirik piring makannya yang masih tersisa setengah Maya kemudian kembali fokus pada Masumi. "Ijinkan aku menghabiskan waktu bersama ayah siang ini. Kau bisa menjemputku sore nanti atau aku akan meminta Masato menjemputku."
Masumi melihat ayahnya yang sudah pergi meninggalkan ruang makan lalu menghilang setelah berbelok di koridor. Menghela napas panjang, Masumi sadar kalau kekhawatirannya berlebihan. "Berjanjilah untuk menghubungiku kalau terjadi sesuatu," lirih Masumi seraya mengusap sisi wajah istrinya.
Maya menumpukan tangannya di atas tangan Masumi di sisi wajahnya lalu mengangguk senang. "Aku akan baik-baik saja," Maya kembali meyakinkan Masumi.
"Baiklah, aku harus kembali bekerja sekarang. Tetap disini sampai aku menjemputmu."
"Iya."
Keduanya tersenyum dan Masumi masih sempat memberikan kecupan sayang di kening dan bibir istrinya sebelum akhirnya pergi meninggalkan kediaman Hayami.

***
Siang berubah cepat menjadi senja. Sementara pemandangan kota tampak hangat dengan bayang jingga, di sebuah restoran di pusat kota, Shiori justru sedang menguarkan aura dinginnya. Dia tengah menatap sengit lembaran foto yang tersebar di atas meja di depannya. Andai saja dia tidak sedang berada di tempat umum, mungkin Shiori akan langsung merobek-robek belasan foto yang telah sukses memancing amarahnya itu. Meski berada di dalam private room, Shiori masih waras untuk mengingat kalau dirinya menyandang nama besar Takamiya.
"Jadi apa maumu?" tanya Shiori tenang pada seorang pria yang kini tengah duduk di seberang meja.
"Anda pasti tahu apa yang saya inginkan Nyonya," jawab pria itu. "Saya berjanji, dengan imbalan yang setimpal saya akan membuat nama pasangan Hayami hancur berantakan."
Shiori menyeringai, "Aku akui kau punya nyali yang besar hingga berani menemuiku untuk menawarkan hal kotor seperti ini, tapi tidak," tegas Shiori, "aku tidak akan merusak reputasi keluarga Takamiya juga Hayami dengan hal kotor dan tidak beretika. Kau hanya wartawan murahan yang menebak-nebak apa yang terjadi diantara kami tanpa tahu yang sebenarnya lalu berusaha mencari keuntungan dengan skandal konyol dan menggelikan."
Wartawan itu berjenggit dengan perkataan tegas Shiori. Dia tidak menyangka akan mendapat respon seperti ini. Image Shiori yang ada di dalam kepalanya jauh dari apa yang ada dihadapannya.
"Apa kau membayangkan kalau aku adalah janda Hayami yang akan meratapi perceraianku lalu menangisi pernikahan mantan suamiku dengan wanita lain? Kau berharap aku menyimpan dendam dan akan membalas sakit hatiku pada mereka?" Shiori kembali menyeringai begitu berhasil membaca raut wajah sang wartawan yang mulai ketakutan. Ya, dia tahu pasti itulah yang dipikirkan pria yang kini tampak gelisah di depannya. Bahkan Shiori yakin, itu juga yang dipikirkan oleh semua orang di Jepang mengenai dirinya. Tapi sekali lagi Shiori tidak sudi dunia menertawakan lukanya. Dia sakit hati? Tentu saja! Tapi Shiori tidak harus melakukan pembalasan karena sang penguasa Takamiya bahkan sudah menyiapkan semuanya. Untuk apa dia menerima tawaran wartawan kelas teri yang nantinya justru mengambil keuntungan darinya dengan seribu satu strategi liciknya.
"Ma-maaf, saya-,"
"Tidak perlu minta maaf, bawa pergi semua foto ini dan enyahlah dari hadapanku. Kalau sampai satu saja dari lembaran foto rekayasa ini tersebar di media, maka kau orang pertama yang akan aku cari," suara dingin dan tegas Shiori membuat sang wartawan semakin bergidik ngeri. Dia segera membereskan lembaran foto yang menunjukkan berbagai pose tak senonoh yang memang hasil editannya untuk menggemparkan media dan mencemarkan nama baik Masumi juga Maya. Sang wartawan dengan wajah pucat pasi meninggalkan Shiori yang masih bergeming di tempatnya dengan aura gelap mengelilinginya.
"Wada!" Seru Shiori pada pengawal yang sejak tadi menemaninya.
"Ya Nyonya," Wada maju beberapa langkah dan berdiri di belakang Shiori.
"Kirim anak buahmu, aku yakin kau tahu apa yang seharusnya kau lakukan pada tikus got tadi," kata Shiori datar.
"Baik Nyonya," Wada membungkuk hormat lalu meminta ijin untuk melakukan panggilan sementara Shiori dengan tenang menikmati teh yang dipesannya.
"Maya, Masumi," gumamnya lirih di sela-sela sesapan tehnya, "hhmm, tehnya enak juga," gumamnya lagi dengan seringai muncul di sudut bibirnya.

***
Bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu membuat Masumi mendesah lega. Jam tangannya menunjukkan angka enam dan Masumi senang karena bisa segera pulang dan bertemu dengan Maya. Mizuki yang melihat binar lain di mata atasannya sudah bisa menebak apa yang tengah dipikirkan Direktur Daito itu.
“Jadi kepanikan anda siang tadi sia-sia, Tuan?” tanya Mizuki seraya menahan rasa gelinya saat mengingat bagaimana Masumi keluar dari ruangannya siang tadi.
Masumi hanya melirik pada sekretarisnya lalu kembali fokus pada dokumen terakhir yang baru saja ditandatanganinya. “Jangan menggodaku Mizuki,” ucapnya dan Mizuki sukses terkikik senang.
“Saya tidak menggoda anda,” jawab Mizuki sopan.
Masumi melengkungkan bibirnya menjadi senyum tipis tanpa menatap Mizuki. Dia sendiri merasa lucu dengan reaksi impulsifnya siang tadi.
“Jadi sekarang semua baik-baik saja?” tanya Mizuki seraya mengambil dokumen yang diulurkan Masumi.
“Selain masalah Daito, semuanya berjalan dengan baik,” Masumi masih mengulas senyum tipisnya.
“Syukurlah, saya senang mendengarnya. Setidaknya sekarang anda bisa fokus untuk menyelesaikan masalah Daito.” Mizuki juga tesenyum lega untuk menegaskan perasaannya.
“Hhmm, apa Hijiri sudah kembali dari pertemuannya dengan Tuan Besar Tanaka?” tanya Masumi kemudian begitu melihat Mizuki bersiap keluar dari ruangannya.
“Sepertinya belum,” Mizuki menatap Masumi yang kini mengerutkan keningnya, “apa anda takut kesepakatannya gagal?”
“Tidak, aku yakin Hijiri bisa meyakinkan Tuan Besar Tanaka. Sudah lama dia menyimpan sakit hati dengan Grup Takatsu jadi aku sama sekali tidak berpikir kesepakatan ini akan gagal,” jawab Masumi penuh keyakinan.
“Dan yang membuat anda khawatir adalah?” Mizuki kembali melontarkan pertanyaan.
“Aku hanya sedang memikirkan reaksi Tuan Besar Takamiya setelah kesepakatan ini dibuat dan menimbang setiap langkah yang harus Daito ambil.”
“Saya mengerti,” Mizuki mengangguk paham. Diapun permisi keluar dan membiarkan Masumi kembali merenungi semua rencananya. Sungguh Mizuki yakin kalau sebentar lagi dia akan melihat perang besar terjadi di Tokyo.

***
Masumi mengernyitkan kening begitu Bibi Harada, kepala pelayan keluarga Hayami mempersilakannya masuk ke ruang keluarga. Dari koridor dia bisa mendengar suara gelak tawa Maya juga ayahnya. Entah apa yang terjadi hingga dia bisa mendengar ayahnya tertawa sekeras itu. Bahkan selama menjadi anak angkat di keluarga Hayami, Masumi jarang melihat Eisuke tersenyum.
“Ah, Masumi, kau sudah datang,” Maya langsung beranjak dari sofa dan menghampiri Masumi yang baru saja masuk.
“Iya,” Masumi mengulas senyum lebar melihat Maya menyambutnya, “sepertinya aku baru saja melewatkan banyak kesenangan?” tanya Masumi seraya melirik ke arah ayahnya yang duduk di atas kursi roda dengan wajah bahagia.
“Iya,” Maya menarik Masumi untuk duduk di sofa, “ayah tadi bercerita banyak soal masa kecilmu,” kata Maya masih dengan semangat yang menggebu.
“Masa kecilku?” Masumi tampak terkejut. Bagaimana mungkin seorang Eisuke Hayami menceritakan soal masa kecilnya? Dan bagian mana dari hidupnya yang bisa membuat Maya tergelak?
“Ayah bilang kau dulu suka bermain baseball dengan teman-teman sekolahmu dan pulang dengan wajah penuh kotoran bahkan ibumu sampai marah melihatnya,” kata Maya yang masih terus bercerita tanpa mempedulikan keheranan Masumi.
“Eh?” Masumi makin heran mendengar penuturan Maya. Diapun menatap ayahnya dengan padangan tanya.
“Jangan pikir aku tidak memperhatikanmu, Masumi. Sejak dulu kau saja yang tidak memperhatikan sekelilingmu,” celetuk Eisuke dengan senyum miringnya.
Masumi terdiam. Dia tidak percaya dengan ucapan Eisuke tapi apa yang diceritakannya pada Maya itu benar. Masumi tidak habis pikir, bagaimana dulu dia tidak tahu kalau Eisuke selalu memperhatikannya.
“Masumi?” Maya menggoyangkan lengan Masumi. Membuyarkan semua renungannya.
“Ah, iya sayang?” Masumi kembali tersenyum pada istrinya.
“Kenapa melamun? Kau pasti lelah bekerja seharian ini,” ucap Maya penuh simpati.
“Tidak sayang, aku hanya terkejut mendengar ayah bisa bercerita padamu tentang masa kecilku,” jawab Masumi seraya melirik ayahnya yang tampak tenang saja mendengar sindiran halusnya, “kau masih mau disini atau kita pulang sekarang?” tanya Masumi sambil mngusap tangan Maya yang bergelayut manja di lengannya.
“Kita pulang saja,” Maya tersenyum senang lalu mengalihkan perhatiannya pada Eisuke, “Ayah, aku pulang dulu. Kami akan berkunjung lagi lain waktu.”
Eisuke hanya mengangguk menanggapinya. Maya masih sempat memberikan sebuah pelukan sayang untuk ayah mertuanya, membuat mata Masumi membola dan dia setengah mati menahan diri untuk tidak menarik Maya. Sungguh sekarang dia menyesal membiarkan Maya seharian bersama ayahnya. Astaga!

***
“Sebenarnya apa yang ayah lakukan sampai kau terus tersenyum bahagia seperti itu? Dan lagi, kenapa kau harus memeluk ayah?” Masumi yang sedang mengemudi gagal menyembunyikan rasa kesalnya melihat Maya yang terus tersenyum sejak keluar dari kediaman Hayami.
Maya langsung menoleh dan menatap suaminya. Tak lama kemudian dia tergelak, “Jangan bilang kau cemburu?” canda Maya.
Masumi menghela napas panjang, “Apa salahnya kalau aku cemburu?” sungutnya pelan tapi itu justru membuat Maya makin tergelak.
“Jangan konyol Masumi, dia ayahmu dan tidak mungkin juga aku menganggapnya lebih dari itu,” kata Maya dengan masih tertawa.
Ah, benar juga, batin Masumi membenarkan. Entah kenapa hari ini dia selalu bertingkah menggelikan.
“Aku tidak percaya ayah bisa bersikap semanis itu padamu,” celetuk Masumi untuk mengalihkan topik pembicaraan.
“Hhmm, begitukah? Sebenarnya aku tidak terlalu terkejut. Kami pernah beberapa kali makan es krim bersama, justru aku terkejut saat tahu kalau ternyata kakek es krim adalah ayahmu, pemilik Daito yang kabarnya begitu menyeramkan,” terang Maya.
“Apa katamu tadi? Kakek es krim? Apa yang kau maksud adalah kakek yang kau ceritakan saat kita bertemu di penginapan Ibu Mayuko?” Masumi berusaha memutar ulang memorinya.
“Eh?” Maya langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Tidak seharusnya dia cerita itu. Dia pasti akan malu kalau Masumi tahu saat itu dia justru mengatai Masumi di depan ayahnya sendiri. Tapi Maya sudah terlanjur bicara dan mau tak mau Maya mengangguk.
“Kami pernah bertemu beberapa kali sebelumnya. Kemarin aku takut sekali melihat ayah marah seperti itu tapi sekarang aku sudah lega karena ternyata ayah sudah menerimaku,” lanjut Maya dan tiba-tiba Masumi tergelak.
“Ya ampun, Ayah. Jadi seperti ini permainanmu?” kata Masumi lebih kepada diri sendiri. Dia benar-benar baru menyadari semuanya. Apa yang dikatakan ayahnya tadi ternyata memang benar. Dirinyalah yang tidak peka dengan sekeliling sampai tidak tahu kalau ternyata di belakangnya sang ayah terus mengawasinya bahkan sampai menemui Maya tanpa sepengetahuannya. Sekarang dia paham kenapa ayahnya sampai merancangkan rencana besar untuknya dan Maya juga Daito.
“Aku tidak mengerti Masumi?” tanya Maya yang tampak bingung dengan reaksi suaminya.
Masumi menoleh begitu mobil berhenti di lampu merah lalu tersenyum pada Maya, “Kau pasti akan mengerti nanti,” ucapnya dan Maya langsung mengerucutkan bibirnya. Kesal karena lagi-lagi Masumi menyimpan rahasia darinya. “Kenapa?” tanya Masumi begitu melihat istrinya cemberut.
“Kau masih saja merahasiakan semuanya,” sungut Maya.
Masumi terkekeh, “Jangan marah, tiba saatnya nanti aku akan menceritakan semuanya padamu,” Masumi menarik tangan Maya lalu mengecup jemarinya.
Maya menghela napas panjang. Dia hanya bisa menunggu. Percuma memaksa Masumi karena sekeras apapun dirinya memaksa, suami over protektifnya itu tidak akan pernah mau buka mulut.
Masumi kembali fokus memperhatikan jalan begitu lampu berubah hijau. Belum lama mobil kembali melaju, handphone Masumi berdering, menampilkan nama Hijiri di layar.
“Sayang, tolong jawab telepon Hijiri, minta dia menghubungiku lagi nanti,” pinta Masumi seraya mengulurkan handphonenya pada Maya. Dia sedang ingin cepat sampai di rumah dan tidak mau perjalanannya terganggu oleh telepon.
Maya yang menerima handphone Masumi segera menjawab panggilan Hijiri, “Halo, Kak Hijiri-,”
“Nyonya?!” potong Hijiri dengan nada terkejut. Kening Maya berkerut mendengar deru napas Hijiri yang terdengar kasar di speaker phone. “Nyonya katakan pada Tuan Masumi untuk jangan kembali ke kondominium. Cepat berbalik dari jalan kalian sekarang!” kata Hijiri dengan nada tinggi dan Maya bisa menebak kalau saat ini Hijiri tengah berlari. Maya menjauhkan handphone dari telinganya yang berdenging. Telepon terputus.
“Ada Apa?” Masumi heran melihat ekspresi wajah Maya yang tampak terkejut sekaligus bingung.
“Kak Hijiri meminta kita untuk tidak kembali ke kondo dan meminta kita berbalik arah sekarang juga,” jawab Maya cepat.
Masumi langsung menangkap itu sebagai sinyal bahaya untuknya dan Maya. Dengan segera dia melihat sekitar melalui kaca spion dan bersiap untuk memutar arah.
“Masumi!!” Maya berteriak begitu melihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi ke arah mereka dan Masumi dengan reflek yang bagus bisa menghidar dengan membanting kemudi ke arah berlawanan. Namun sayang, mobil di belakang mereka tidak siap dengan gerakan cepat mobil Masumi yang tiba-tiba berubah haluan sehingga tabrakan tak lagi bisa dihindari. Mobil Masumi dihantam dengan keras dari belakang, sempat berputar dua kali sebelum akhirnya menghantam pembatas jalan.
Maya berkedip demi menyadarkan dirinya dari shock akibat kejadian cepat dan mengejutkan itu, namun pandangannya buram. Dia hanya bisa merasakan sesuatu yang hangat mengalir di pipinya hingga telinganya kemudian berdenging lalu menuli dan dalam sekejap semua berubah menjadi gelap.

***


>>Bersambung<<

Post a Comment

13 Comments

  1. Maaf, lama-lama apdetnya. ehhehee
    banyak kerjaan dan tugas yang nggak bisa ditinggal.
    Chapter ini pendek ya...soalnya sengaja mau potong disitu biar pada nggak bisa tidur. hahaha
    Chapter depan lebih panjang tapi apdet nunggu aku lega ya, wkkwkw
    happy reading...jangan lupa yang baca kasih komen ya biar semangat XD

    ReplyDelete
  2. Mba agnesss jahaattttt
    Tega ihh motongnya bikin ga bisa tidur ini

    ReplyDelete
  3. Motongnya pas bener ya.. Bikin orang ga bisa tidur beneran! (Tidur siangku terganggu mikirin bagaimana nasib maya masumiku... 😢)

    ReplyDelete
  4. Ya ampuuuun, hiks hiks.

    ReplyDelete
  5. Duh...semoga bs sabar nunggu lanjutannya...kok ya pas...banget

    ReplyDelete
  6. Woahhh mayaaaa.... tidakkkkk......😰

    ReplyDelete
  7. Oohhh tidaaaaakkkk... Jgn sedih2 ya hiks

    ReplyDelete
  8. Ceeee.......tega bener sih dirimu memotong cerita dengan berbagai macam pertanyaan besar :'(
    Itu cairan di pipi Maya itu DARAH?
    Gimana keadaan Masumi?
    Bagaimana nasib Maya?
    Aduuuhhhh kenapa sih akhir-akhir ini disuguhi cerita yang bikin dada sesek?
    Kemaren nonton drakor penulis skenarionya juga gitu.....apa kalian para penulis lagi terkontaminasi aura panas Pilkada apa ya?
    Semua nya pada sirik banget sama tokoh utama
    Lagi seneng-seneng, honeymoon, tiba-tiba kecelakaan
    Hadeeeewwwww......tisu mana tisu :'(
    Huaaaaa......:'(

    ReplyDelete
    Replies
    1. BTW FYI penulisan kata 'anda' harus e huruf awal e pake huruf besar ya "Anda"
      Keep on improvement say
      Terus beberapa penempatan spasi yang ga pada tempatnya
      Next time deh aku act as your editor yak
      Not now
      Aku mo nangisin tokoh-tokoh utama ku yang disiksa author nya
      :'(

      Delete
    2. Iya ce, anda itu huruf besar. Wah kalo ff ni banyak typo pasti. Coz nulis di hp baru pindahin ke Pc, kadang dah ga sempet ngeditnya lagi. Wah dengan senang hati ku terima tawaranmu Ce...my private editor.arigato ce....next time kuperhatikan lagi lebih detail semuanya biar yang baca enak kan😘

      Delete
  9. Semangat mb Agness ������

    ReplyDelete
  10. Bagussss bikin penasaran nihh hahaa..thank you kak Agnes. Semangaaatttt

    ReplyDelete
  11. Ya ampuun kak.. bikin sediiih.. lanjuut kak agnes

    ReplyDelete