Incredible Love - Chapter 3

Disclaimer : JK Rowling
For my beloved Daddy Sev, I always love u
Summary : Sesederhana apapun cinta, dia selalu bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.

*********************************************************************************




Tiga hari berlalu dan Hermione semakin penasaran dengan perubahan sikap Harry, terutama padanya. Instingnya sebagai wanita sangat tajam, Hermione tahu Harry sedang menyembunyikan sesuatu darinya. Setelah ujian Hermione memang jarang bertemu Harry.

Pemuda itu sibuk latihan sepak bola bersama Ron, mengingat akhir pekan nanti mereka akan bertanding tentu bukan hal yang aneh. Tapi sekarang, itu aneh bagi Hermione karena sejak pertemuan terakhir mereka di taman, Harry seperti enggan bicara padanya, bahkan email atau pesan singkat yang di kirim Hermione tidak di balasnya. Sibuk dan lelah karena latihan, itulah yang dikatakan Harry padanya ketika kemudian Hermione meneleponnya. Berusaha memahami alasan Harry, Hermione pun tidak memaksanya bicara.

Sore itu, Hermione tengah melamun di balkon flatnya ketika suara bel pintu menariknya ke alam sadar. Melihat jam yang melingkar dipergelangan tangannya, Hermione sudah bisa menebak siapa tamunya.

Seorang pria langsung masuk begitu Hermione membuka pintu. Tepat ketika pintu kemudian tertutup, sebuah kecupan singkat dibibir mengganti sapaan yang seharusnya terucap.

"Sev," Hermione melirihkan sebuah nama ketika sang pria menjauhkan bibirnya.

Severus, pria yang menjadi kekasih hati Hermione itu hanya menyeringai tipis melihat wajah kekasihnya yang merona. Keduanya pun berjalan ke sofa ruang tamu dan Hermione merebahkan dirinya di pangkuan sang kekasih.

"Ada apa?" tanya Severus ketika dilihatnya Hermione menghela napas panjang.

"Harry," hanya nama itu yang terucap dari bibir merah Hermione.

"Kau masih memikirkannya?" Severus membelai lembut puncak kepala Hermione, memainkan jarinya di sela-sela rambut coklat kekasihnya yang lembut.

"Aku yakin dia menghindariku," jawab Hermione.

Severus terdiam, tangannya terus membelai kepala Hermione di atas pangkuannya.

"Sev?" Hermione menatap sepasang mata hitam di atasnya, "Kau tahu sesuatu kan?"

Severus berhenti memainkan rambut Hermione dan sebagai gantinya dia menyisir rambutnya sendiri.
Hermione bangun dan duduk menghadap kekasihnya. Tak menjawab, Severus hanya menatap Hermione.


"Sev?" Gadis muda itu semakin yakin kalau Severus tahu sesuatu tentang Harry.

"Entahlah Mione, itu hanya dugaanku saja." Jawab Severus pada kekasihnya. Mione? Ya, sejak mereka resmi menjalin hubungan sebagai kekasih, Severus memiliki panggilan sayang tersendiri untuk gadisnya, tentunya hanya digunakan saat mereka hanya berdua -sekali lagi penekanan hanya berdua-.

"Maksudmu, er...Harry tahu tentang...kita?" Tanya Hermione ragu.

Severus mengangguk, "Sepertinya dia mulai curiga."

Hermione terdiam, otaknya mulai berputar. Apa masalahnya? Sepicik itukah Harry?

"Itu hanya dugaanku Mione, jangan terlalu dipikirkan. Aku akan coba bicara dengannya nanti. Sudah tiga hari dia selalu pulang malam karena latihan sepak bola, aku harap malam ini dia akan pulang lebih awal." Severus berusaha menenangkan Hermione yang tampak resah.

Sang gadis pun hanya bisa menghela napas panjang. Sepertinya dengan alasan sepak bola Harry juga menghindari ayahnya. Meski sebenarnya Hermione cukup diuntungkan dengan itu karena selama tiga hari ini Severus bisa singgah sebentar ke flatnya usai kerja dan pulang sebelum waktu makan malam tiba.

"Aku tidak habis pikir kalau sampai Harry tidak setuju dengan hubungan kita." Kata Hermione kemudian.

Severus melengkungkan alisnya.

"Sev, dia sudah dewasa untuk bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya memiliki kekasih. Kau berhak." Kata Hermione.

Severus terdiam. Dia tidak lupa bahwa Hermione adalah gadis yang kerasa kepala, tentu saja dia pasti keberatan pendapatnya dibantah. Sayangnya keras kepalanya itu juga serupa dengan yang dimiliki Harry. Severus tidak bisa membayangkan kalau sampai dugaannya benar, melihat Harry dan Hermione beradu pendapat pasti akan menguras banyak tenaga. Hermione mengerutkan kening ketika Severus kemudian beranjak dari sofa lalu mengecup keningnya.

"Kau mau pergi?" Tanyanya kecewa.

Severus mengangguk dan Hermione tidak lagi membantah saat kekasihnya melangkahkan kaki ke arah pintu. Diapun hanya mengikuti Severus dari belakang.

"Tidak usah dipikirkan," pesan Severus sebelum akhirnya menghilang di balik pintu yang tertutup.

***
Severus tertegun ketika memarkirkan mobil di garasinya, mobil sport merah milik Harry sudah ada disana. Dengan tenang dia melangkah memasuki mansion. Dobby baru saja menuruni tangga ketika berpapasan dengannya.

"Tuan," Dobby memberi salam hormat.

"Harry sudah pulang?" Tanya Severus, memastikan dugaannya.

"Sudah Tuan."

Severus kemudian mengangguk dan berlalu menuju kamarnya. Membersihkan diri sebelum makan malam. Keluar dari kamar menuju ruang makan, Severus mengerutkan kening melihat Harry yang sudah duduk di ruang makan.

"Dad," sapa Harry singkat.

"Kau baik-baik saja? Wajahmu pucat." Severus mengamati gurat lelah di wajah putranya.

Harry meringis lebar seraya mengangguk, "Hanya lelah," jawabnya berkilah.

Severus berdecak kesal mendengar jawaban Harry sekaligus memberi peringatan akan melarangnya mengikuti pertandingan final kalau putranya itu tidak menjaga kondisi tubuhnya.

"Aku hanya butuh tidur Dad," jawab Harry yang kembali membela diri sendiri.

"Aku tidak main-main dengan peringatanku Son," ancam Severus lagi.

Sekali lagi Harry hanya meringis lebar menanggapi perkataan ayahnya. Selesai dengan ancaman dan pembelaan diri, keduanyapun menghabiskan makan malam dengan tenang.

Di sela-sela makannya, mata Severus terus mengamati Harry yang tampak pucat dan lesu. Dia yakin kalau putranya itu pasti memaksakan diri untuk terus mengikuti jadwal latihan yang padat menjelang pertandingan. Dalam hati Severus mendesah kesal, dalam keadaan seperti ini tidak mungkin dirinya mengajak Harry bicara masalah Hermione. Alhasil Severus justru memerintahkan putranya untuk segera beristirahat di kamarnya setelah makan malam selesai. Harry tak membantah sepatah katapun dan segera masuk ke kamarnya.

Termenung di dalam kamar, Harry masih sulit memejamkan mata meski tubuhnya terasa lelah. Sudah tiga hari dia terus menyibukkan diri dengan latihan sepak bola hanya untuk mengalihkan pikirannya. Ada ketakutan muncul di dalam hatinya ketika membayangkan kalau ayahnya memiliki hubungan khusus dengan Hermione. Ketakutan yang dia sendiri tidak mengerti kenapa. Harry memijit pelipisnya yang berdenyut.

Akh! Semua ini sungguh melelahkan, keluhnya. Sebuah ketukan pintu menyentakkan Harry dari lamunannya. Yakin kalau ayahnya yang mengetuk pintu, Harry justru memejamkan mata begitu mendengar pintu terbuka.

Severus berdiri di ambang pintu mengamati Harry yang tertidur, pura-pura tidur tepatnya. Diapun kembali menutup pintu kamar dan tidak mendengar lagi ketika Harry menghela napas panjang dengan mata terbuka.

***
Siang yang terik di tengah hiruk pikuk penonton di tribun stadion sepak bola. Ya, akhirnya tiba saat pertandingan final University Cup, Hogawarts University melawan Dumstrangs University. Hingga hari itu tiba Severus masih belum punya kesempatan untuk bicara dengan Harry. Melihat kesibukan putranya, Severus memutuskan untuk membicarakannya setelah Harry selesai dengan pertandingannya. Setidaknya Harry dan dirinya memiliki waktu selama libur musim panas.

Severus duduk di kursi yang sudah disiapkan Harry untuknya, dekat dengan base pemain di sayap kanan lapangan. Matanya menjelajah ke sekitar tempatnya berada dan sebuah seringai tipis menghias bibirnya ketika manik mata hitamnya menemukan sosok gadis yang tengah dicarinya. Hermione yang duduk berjarak beberapa meter dengannya hanya mengulas sebuah senyum samar untuk membalas tatapan sang profesor. Perhatian keduanya kemudian teralihkan ketika pertandingan di mulai.

Tiga puluh menit pertama, Severus terus menerus mengamati Harry yang berlari di lapangan mengejar bola. Mahasiswa Hogwarts terus berteriak memberi semangat dan para gadis terus meneriakkan nama Harry, sang kapten idola. Harry memang terlihat berbeda jika sudah berada di lapangan sepak bola. Dia tidak lagi memakai kaca mata bulat yang biasanya khas bertengger di hidungnya melainkan menggantinya dengan lensa kontak dan membuat mata hijau terangnya terlihat jelas. Wajah tampannya yang berpeluh membuat Harry layak untuk dikagumi oleh para gadis.

Lima menit sebelum babak pertama selesai, Severus mulai menangkap keanehan dalam gerakan tubuh putranya. Harry yang berada di posisi penyerang dan sudah berhasil mencetak dua gol sehingga membuat sorakan mahasiswa Hogwarts menggema di udara kini terlihat kepayahan. Severus semakin intens mengamati gerakan Harry hingga peluit panjang tanda babak pertama selesai berbunyi, dengan hasil sementara 2-1 untuk Hogawats.

Melihat Harry melambai dan tersenyum padanya, Severus menahan diri untuk tidak keluar tribun penonton dan menemui Harry yang kemudian masuk ke ruang pemain di basement. Dalam hatinya hanya berharap bahwa Harry baik-baik saja.

Babak kedua di mulai dan sepuluh menit pertama Harry sudah jatuh dua kali akibat tackle dari penyerang Dumstrangs. Severus merutuk dalam hati ketika melihat Harry jatuh untuk yang ketiga kalinya di menit ke tiga puluh. Putranya itu tampak terhuyung saat mencoba kembali berdiri dengan dibantu Ron dan salah seorang temannya yang lain. Tapi bukan Harry namanya kalau dia menyerah begitu saja. Pertandingan hanya tersisa lima belas menit lagi dan kedudukan di babak pertama belum juga berubah. Para pemain dari kedua belah pihak tampak berusaha keras untuk merebut gelar juara.

Pertandingan hanya tinggal lima menit, Harry terus maju menggiring bola mendekati wilayah gawang Dumstrangs. Tepat ketika Harry menendang dan mengoper bola pada Ron yang berada dalam posisi bebas, seorang pemain Dumstrangs mentackle kakinya dan membuat tubuh Harry kembali terhempas ke tanah berumput untuk yang ke empat kalinya. Sontak Severus berdiri dari kursinya ketika suara hu panjang yang kemudian dengan cepat berganti menjadi teriakan dan sorakan membahana di udara seiiring dengan di tiupnya peluit panjang. Hasil akhir 3 - 1 untuk Hogwarts.

Petugas medis berlari memasuki lapangan dan seketika sorak sorai teredam. Harry yang tidak lagi bangun setelah terhempas segera ditandu keluar lapangan. Perayaan kemenangan Hogwarts sejenak terhenti tapi sorakan kembali menggema ketika Harry sudah di bawa keruang perawatan. Tidak terpengaruh euforia di sekitarnya, Severus segera meninggalkan kursinya untuk melihat keadaan Harry. Tanpa disadarinya, Hermione mengikutinya dari belakang dengan langkah tergesa, sama cemasnya.

"Profesor-,"

"Bagaimana keadaannya?" Severus menyela dengan cepat sapaan Ron padanya begitu dirinya tiba di depan ruang perawatan.

"Dokter Pomfrey sedang memeriksanya Snape," jawab Hagrid mewakili Ron yang tampak bingung.

Severus terpaku. Menatap dosen jurusan olah raga sekaligus pelatih sepak bola tim Hogwarts University.


"Maaf Snape, sebenarnya aku sudah melarangnya bermain tapi dia terlalu keras kepala. Kau tahu, putramu itu, sulit untuk dilarang." Tambah Hagrid.

"Seharusnya aku yang melarangnya, aku tahu dia sedang tidak dalam kondisi primanya," kata Severus yang jelas tampak menyesali keputusannya membiarkan Harry bermain.

"Hermione?" Ron terkejut melihat Hermione tiba-tiba muncul dan sepertinya tidak hanya Ron, Severus juga tampak terkejut dengan kedatangan kekasihnya. Tapi perhatian semua orang seketika teralihkan begitu pintu ruang perawatan terbuka.

"Bagaimana keadaannya Pomfrey?" Tanya Severus cepat pada dokter yang sudah sangat dikenalnya karena kebiasaan Harry yang selalu saja cedera ketika bertanding.

"Tenang Snape, Harry sudah ditangani dengan baik. Bahu kanannya cedera, beruntung tidak patah, sekarang dia masih beristirahat dan sebaiknya biarkan dia tenang satu sampai dua jam baru kau bisa membawanya pulang." Terang Pomfrey, pandangannya kemudian beralih pada Hagrid, "Lain kali Hagrid," lanjutnya dengan nada memperingatkan, "lain kali aku akan melaporkanmu jika membiarkan anak didikmu yang sedang sakit memaksakan diri untuk bermain. Tekanan darah Harry di bawah normal untuk dia bisa ikut bertanding dan kau masih mengijinkannya? Tidak bisa ku percaya." Dokter Pomfrey mengakhiri kalimat -omelannya- dengan gelengan kepala.

"Er, kau tahu Pomfrey...dia, Harry terkadang sangat keras kepala." Hagrid berkilah.

"Itu bukan alasan." Dokter Pomfrey menolak alasan Hagrid.

"Boleh aku melihatnya?" Severus segera menyela perdebatan dokter dan pelatih itu. Merasa jengah dan sudah tidak sabar untuk melihat keadaan Harry.

Dokter Pomfrey mengangguk, "Tapi jangan bangunkan dia."

Severus hanya mengangguk tanda setuju dan segera masuk ke ruang perawatan diikuti Ron juga Hermione yang sejak tadi hanya diam.

Penyesalan di wajah Severus jelas tersirat begitu melihat Harry yang tengah terbaring dengan wajah pucat di tempat tidur. Tubuh bagian atasnya terbuka dan bahu kanannya di bebat dengan kain.

"Dia akan baik-baik saja," bisik Hermione yang langsung berdiri di sebelah Severus.

Severus menghela napas panjang, "Aku tahu," gumamnya dan Ron hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal melihat Severus menggenggam tangan sahabat perempuannya.

***
Harry mengernyit menahan sakit ketika Severus membantunya berbaring di tempat tidur. Keduanya sudah berada di rumah setelah Dokter Pomfrey menyarankan memeriksakan kondisi Harry lebih lanjut ke rumah sakit.

"Aku baik-baik saja Dad," kata Harry begitu melihat gurat kecemasan di wajah ayahnya.

"Jangan menganggapku bodoh dengan mengatakan baik-baik saja."

Harry kembali memamerkan deretan gigi putihnya yang kemudian diabaikan oleh Severus. Sang ayah lebih memilih memeriksa obat-obat yang baru saja diminum putranya.

"Istirahatlah," perintah Severus.

Harry hanya bisa menurut kali ini karena tidak mau membuat ayahnya semakin khawatir sekaligus kesal. Dalam hitungan menit, desah napas dalam dan teratur mengisi kesunyian di kamar Harry. Severus menaikkan selimut menutupi dada putranya, mematikan lampu lalu berjalan ke luar ruangan.
"Miss Granger menunggu Tuan di ruang keluarga."

Perkataan Dobby membuat Severus mengerutkan kening, meski begitu dia tidak bertanya apapun dan segera berjalan ke ruang keluarga.

"Mione?"

Gadis berambut ikal coklat itu segera berdiri dan menatap Severus dengan kening berkerut.

"Harry sudah tidur," kata Severus menjawab keheranan Hermione atas panggilan sayangnya.


Hermione tersenyum seraya mengangguk, kembali duduk begitu Severus menempatkan diri di sebelahnya.


"Ada apa?" Tanya Severus kemudian.

"Aku khawatir pada Harry," jawab Hermione, gagal menyembunyikan kecemasan dalam suaranya.

"Tulang bahunya sedikit bergeser dan anemia ringan. Dokter mengatakan dia harus istirahat satu minggu penuh tanpa aktivitas berat. Aku akan pastikan itu," terang Severus.

Hermione tersenyum tipis lalu mengangguk tapi sepertinya jawaban Severus tidak cukup melegakan hatinya.


"Ada apa?" Severus tahu ada sesuatu yang mengganggu Hermione saat ini.

"Aku-," Hermione menggeleng.

Severus tampak tidak suka dengan sikap Hermione yang sepertinya enggan untuk bercerita.

"Apa Harry terlalu memaksakan diri karena berusaha menghindari...kita?" tanyanya ragu.


Severus terdiam, hal yang sama juga sempat terlintas dalam pikirannya.

Dia meraih tangan Hermione yang mengepal di atas lutut, meremasnya lembut. "Tidak perlu kau pikirkan, oke?"


"Tapi-,"

"Jangan khawatir, setelah keadaannya membaik, aku akan mencoba bicara padanya."

Hermione menghela napas lalu mengangguk. "Boleh aku menemuinya besok?"

Severus mengangguk dan Hermione menyunggingkan senyum tipis.

"Baiklah, sudah malam, sebaiknya aku pulang," Hermione melepas tangannya dari genggaman Severus dan meraih tasnya, bersiap untuk pergi.

"Aku antar," kata Severus singkat dan mengabaikan tatapan protes kekasihnya.

***
Suara air yang jatuh menerpa kaca jendela membuat pemuda yang tengah terlelap terusik. Hujan. Perlahan dia membuka kelopak matanya, menampakkan sepasang iris berwarna hijau terang yang indah.

Harry mengerjapkan mata perlahan, mengumpulkan kesadarannya yang masih berserak dan mendesah pelan saat rasa nyeri menjalari bahunya. Harry teringat peristiwa kemarin. Tidak seperti biasanya dimana Harry bisa langsung bangun dan beraktifitas menikmati harinya, kali ini dia justru mengerang lirih saat berusaha untuk bangun. Suara pintu yang terbuka membuatnya mengalihkan perhatian dan mengurungkan niatnya untuk berusaha bangun.

"Pagi Dad," sapa Harry.

"Pagi son, bagaimana keadaanmu?"

Suara tenang dan dalam khas namun sarat kecemasan itu membuat Harry tersenyum.

"Buruk kurasa. Bahuku nyeri sekali," kali ini Harry jujur.

Severus menarik kursi belajar Harry dan duduk di sebelah tempat tidurnya, "Bisa bangun?"

Harry menggeleng. Severus mengerti dan langsung membantu putra kesayangannya untuk bangun dan duduk dengan bersandar pada bantal yang disusun tinggi. Harry melirik kantung silikon yang ada tergeletak di nakas sebelah tempat tidurnya.

"Semalam kau demam," terang Severus yang mengerti arti pandangan putranya. Harry ber-oh pelan. "Kepalamu masih pusing?" Tanya Severus.

Harry menggeleng. Dia bisa melihat kilas kelegaan di mata ayahnya. "Maaf," kata itu tiba-tiba meluncur begitu saja dari bibir Harry, menuai kerutan di kening Severus.

"Untuk apa?" Severus tidak mengerti.

"Karena tidak berhati-hati dan aku cedera," jawab Harry.

Sudut bibir Severus tertarik hingga menyerupai sebuah senyum tipis, "Well, kali ini aku tidak akan menceramahimu. Sebagai gantinya aku sudah mengatakan pada Hagrid kalau kemarin adalah pertandingan terakhirmu."

"Hah?!" Sepasang iris hijau Harry membulat seketika, "Oh tidak," lenguhnya putus asa.

Severus menyeringai menahan gelinya melihat ekspresi Harry.

"Dad," Harry memelas dengan jurus mata kucing terbuang andalannya. Jurus itu selalu berhasil untuk membuat Severus menuruti keinginannya.

"Tidak," jawab Severus santai.

Harry mencebik kesal dan melupakan nyeri di bahunya begitu melihat ayahnya tidak luluh dengan jurus andalannya.

"Semester depan kau sudah harus fokus pada tugas akhir skripsimu dan aku tidak mau kegiatan klubmu mengganggu."

Harry makin putus asa saat Severus mengutarakan alasannya. Ayahnya memang benar. Semester depan dirinya harus mulai fokus pada tugas akhirnya. Sedih rasanya harus meninggalkan -sementara, Harry meyakinkan dirinya sendiri- hobi sepak bolanya.

"Berhentilah mengerutkan kening sebelum kerutan itu berubah menjadi permanen," tegur Severus ketika melihat Harry tampak berpikir keras. Pemuda itu menghela napas panjang, menyerah. "Mau ke kamar mandi? Aku bisa membantumu. Setelah itu kau harus sarapan dan minum obatmu."

"Baiklah."

Dan Severus dengan hati-hati merawat putra kesayangannya.

***
Hujan belum juga berhenti meski sudah tengah hari, bahkan sepertinya masih deras saja. Suara halilintar beberapa kali menggema di langit, membuat Harry sulit memejamkan mata. Pintu kamar Harry diketuk tiga kali, menyentakkan pemuda bersurai hitam itu dari lamunannya tentang hujan.

"Masuk," serunya dan muncullah dari balik pintu sang kepala pelayan yang telah mengasuhnya sejak bayi.

"Maaf mengganggu istirahat anda Tuan Muda."

"Tidak apa-apa Uncle Dobby? Ada apa?" Harry berusaha bangun dari pembaringannya. Sedikit menahan nyeri tapi dia berhasil duduk tanpa bantuan.

"Mr. Weasley datang dan sedang menunggu di ruang tamu," lapor Dobby.

"Ah, Ron ya. Kenapa menunggu di ruang tamu? Biasanya dia langsung masuk?" Harry mengernyit heran.

"Tuan sedang bicara dengannya," jawab Dobby.

"Daddy?" Kerutan di kening Harry bertambah. Meski Ron adalah sahabatnya namun hubungannya dengan Severus tidaklah dekat. Sikap dingin ayahnya selalu mampu membuatn Ron bergidik.

Perlahan Harry turun dari tempat tidur lalu berjalan keluar kamarnya. Dobby sendiri dengan patuh mengikuti tuan mudanya menuju ruang tamu.

Tiba-tiba langkah Harry berhenti beberapa langkah sebelum masuk ke ruang tamu. Dia berdiri di sebelah lemari di koridor yang menghubungkan ruang tengah dan ruang tamu.

"Tuan Muda, anda-,"

Harry menaikkan tangannya dan seketika Dobby berhenti bicara. Keduanya kini memasang telinga dengan baik guna mendengarkan percakapan di ruang tamu.

"Jadi yang ku lihat itu benar Hermione?" Suara Ron terdengar begitu berat.

"Ya Tuhan Ron, harus berapa kali ku katakan padamu, jangan membahas hal itu lagi, apalagi disini, tidak," jawab Hermione dengan nada tidak suka.

"Hei, jangan salahkan aku. Sejak kemarin kau tidak mengangkat teleponku dan hanya membalas satu kali emailku," sungut Ron, "lagipula Profesor sedang mencari buku pesananmu itu, kita hanya berdua, tidak ada salahnya kalau aku bertanya," Ron masih membela dirinya.

"Kau ini menyebalkan," gerutu Hermione kemudian.

Harry terpaku mendengar kedua sahabatnya beradu mulut di ruang tamu. Hermione pasti baru saja datang untuk meminjam buku atau apalah itu yang berhubungan dengan buku seperti apa yang Ron katakan tapi Harry sama sekali tidak mengerti apa inti pembicaraan mereka.

"Kau yang lebih menyebalkan Hermione," Ron masih berminat melanjutkan perdebatan mereka.

Meski tak melihat, Harry yakin kalau saat ini Ron tengah mendapat glare mematikan dari sahabat perempuannya itu. Hermione biasa melakukan itu untuk menunjukkan kekesalannya tanpa kata.

"Oh ayolah, aku berhak tahu, kau kan sahabatku," kali ini Ron bernada merajuk seperti anak TK.

"Diam Ron, curiosity killed the cat-," mulut pintar Hermione berulah.

"Aku tidak punya kucing, kau yang punya, jadi tidak masalah," jawab Ron asal dan jika dalam kondisi normal Harry pasti tergelak karenanya. Sayangnya rasa penasaran Harry juga sudah membunuh selera humornya. "Her-mi-o-ne," Ron mengeja nama sahabat perempuannya dengan nada kesal, "haruskah aku bertanya pada Harry?"

Dan Harry yang berjenggit karena namanya disebut semakin terkejut mendengar bentakan Hermione.
"Hei, tenang, aku kan hanya penasaran," Ron membela diri lagi dari kemarahan Hermione, "aku hanya ingin jawaban pasti, apa benar kau menjalin hubungan dengan profesor? Kau kan tinggal menjawab ya atau tidak," suara Ron melirih di akhir kalimatnya tapi sebaliknya bagi Harry. Pertanyaan Ron didukung dengan petir yang menggema di langit London membuat Harry kehilangan fokusnya. Sungguh alam pun mendukung dramatisasi keterkejutan Harry akan pertanyaan Ron.

"Son?"

Belum sempat Harry mencerna semua yang terjadi, suara ayahnya membuatnya berbalik. Severus berdiri di belakangnya dan Dobby dengan ekspresi yang membuat Harry lagi-lagi mengerutkan kening.

"Kenapa berdiri di sini?"

Pertanyaan Severus mengalihkan perhatian Harry, "Ah itu, Uncle Dobby bilang Ron datang dan aku ingin menemuinya," jawab Harry setenang mungkin.

Sekarang justru Severus yang mengerutkan kening, "Ku pikir dia sudah ke kamarmu," jawabnya dan Harry dalam diam mengikuti ayahnya ke ruang tamu.

Bisa Harry lihat keterkejutan Ron dan Hermione melihat kedatangan keduanya atau lebih tepatnya melihat Harry. Perdebatan mereka tadi berhenti karena keduanya mendengar suara Severus dan lebih mengejutkan lagi suara Harry. Hermione gagal menyembunyikan rasa cemasnya sementara Ron terlalu terlihat salah tingkah.

"Hai Harry, bagaimana keadaanmu? Lebih baik?" Ron dengan gaya canggungnya segera menghampiri Harry dengan rentetan pertanyaan dan di akhir kalimatnya dia memberikan pelukan persahabatan yang sukses membuat Harry mengernyit kesakitan dan membuat Severus ingin menendang pemuda berambut merah itu agar tidak menyentuh putranya.

"Sorry mate, terlalu merindukanmu," Ron meringis lebar dan Harry yang pikirannya sedang penuh hanya bisa tersenyum canggung.

Pandangan Harry beralih pada Hermione yang menatapnya dengan ... entahlah, Harry sulit mengartikannya.

"Hai Harry, sudah lebih baik?" Tanya Hermione tenang.

Harry mengangguk, lalu mengalihkan fokusnya pada sang ayah yang berdiri tak jauh dari Hermione dengan membawa dua buah buku tebal yang Harry tak peduli apa judulnya.

"Sebaiknya kau kembali ke kamar Son. Kau masih harus banyak istirahat," kata Severus ketika dirasanya Harry menatapnya terlalu lama.

Harry justru tersenyum dengan ekspresi yang sulit diartikan, "Kalian perlu waktu berdua? Privasi?"
Tidak ada yang tidak terkejut dengan pertanyaan Harry bahkan Severus yang terkenal dengan ketenangannya sesaat tampak melebarkan mata tak percaya.

"Son?" tegur Severus dengan nada ragu.

Harry terkekeh, "Ah maaf, maaf kalau aku tidak sopan Dad."

Hermione yang tahu pasti maksud ucapan Harry tampak cemas, "Harry aku-,"

"Sudahlah Hermione, sebaiknya aku pergi. Ayo Ron," Harry berbalik dan baru saja hendak melangkah pergi saat suara datar Severus memanggilnya.

"Ada apa sebenarnya?" Severus meminta penjelasan atas sikap Harry yang tidak biasa.

"Ada apa?" Jawab Harry datar, bola matanya berputar untuk melirik Hermione yang masih terpaku dan Ron yang berdiri di depannya bergantian, "Tidak ada Dad, tidak ada apa-apa."

"Kau mendengar percakapan kami kan?" Hermione menyela dengan cepat sebelum Harry benar-benar pergi ke kamarnya. Rupanya dia sudah benar-benar tidak tahan dengan sikap dingin Harry.

Dan Hermione menang, fokus Harry sepenuhnya beralih padanya. Pemuda berkacamata itu sekarang menghadap tegak padanya dangan tatapan tajam.


"Dan apa penjelasanmu atas itu?" Harry tak basa-basi lagi. Dia bisa melihat ayahnya mengerutkan kening tapi sesaat kemudian wajahnya kembali datar.

"Aku ...," Hermione dengan ragu menoleh sesaat pada Severus, "dan Profesor ...," lalu kembali menatap Harry.

"Miss Granger adalah kekasihku," Severus sudah mengerti sepenuhnya dengan apa yang terjadi. Hermione sempat menahan napas saat mendengar pengakuan Severus. Ron bahkan menganga dengan tidak elitnya sementara Harry masih tetap dengan ekspresi dinginnya. Dobby yang berdiri di sudut ruang tamu hanya menatap miris keluarga itu, lagi-lagi suara guntur di luar sana menambah kesan dramatis pada drama keluarga yang terjadi.

Kekehan dengan nada datar dari Harry melenyapkan keheningan diantara mereka. Berbanding terbalik dengan suara tawa yang dikeluarkannya, wajah Harry sekarang tampak menyedihkan.

"Jadi begitu ya," Harry menggeleng geli dengan wajah sendu, tangan kirinya yang bebas memegang kepalanya yang terasa berdenyut. Sungguh pengakuan Severus serasa membalikkan dunianya, "sejak kapan Dad? Dan begitu bodohnya aku tidak tahu. Astaga," Harry melayangkan padangannya pada ayahnya dan Hermione bergantian, "kau dan daddyku?" Harry menggeleng lagi, wajahnya tampak semakin kacau.

"Son, aku akan menjelaskannya pada-,"

"Menjelaskan apa Dad?!" Nada tinggi yang tiba-tiba dilontarkan Harry membuat semua orang berjenggit kecuali Severus yang menatap lekat putra kesayangannya.

"Menjelaskan apa?!" Sentak Harry lagi dengan nada suara yang sama tingginya. Harry merasakan dadanya sesak karena emosi, napasnya memburu, Harry terhuyung hingga mundur satu langkah ketika merasakan sensasi berputar pada kepalanya. Severus sudah melangkahkan kakinya untuk mendekat sebelum Harry kembali membentak dengan gestur tubuh menolak.

"Dia sahabatku Dad! Kenapa Daddy melakukannya? Usia kalian bahkan-," suara Harry tercekat dan kembali menggeleng dengan memegang kepalanya, "astaga ...," lenguhnya dengan nada panjang, "apa yang kalian berdua pikirkan?”

Severus mematung memperhatikan reaksi putranya sementara Hermione berdiri dengan gelisah. Harry lepas kendali dan Ron juga Dobby menatap miris pada pemuda berambut hitam acak yang kini terlihat semakin berantakan.

"Harry aku-,"

"Aku tidak perlu penjelasan darimu!"

"Son!" Severus berseru dengan cukup lantang  meski ekspresi wajahnya masih tampak tenang.

Tiba-tiba Harry terkekeh lagi, "Kenapa Dad? Tidak terima aku marah pada kekasihmu?"

"Jaga bicaramu Harry Potter-Snape!" Suara Severus yang dalam dan tenang membuat suasana di ruang tamu semakin menggelap.

Sepertinya syok membuat Harry tak terpengaruh akan intimidasi dari sikap ayahnya. Mata hijau jamrud yang sejak tadi menatap sang ayah kini bergulir pada sang sahabat perempuan yang juga tampak begitu syok dengan reaksi Harry.

"Kau-," dengan tangannya yang bebas dari perban Harry menunjuk Hermione.

Hermione tersentak dengan sikap Harry. Dia tidak menyangka Harry akan seimpulsif dan sekacau ini begitu mengetahui hubungannya dengan Severus. Sekarang bahkan otak pintarnya terasa buntu, tidak tahu bagaimana cara menenangkan Harry. Pemuda itu masih menatap tajam padanya dengan tangan teracung.


"Jangan harap aku merestui hubungan kalian." Dan suara halilintar kembali membuat dramatisasi dalam perang keluarga ini semakin tampak miris. Sepertinya langit mendukung kemarahan Harry.

Hermione tampak syok. Mengatupkan kedua tangan ke mulutnya, dia menahan isakannya keluar. Memandang Harry dengan tatapan terluka, Hermione berbalik dan setengah berlari meninggalkan ruang tamu setelah menyambar tas kecilnya di sofa.

"Mione!" Severus seketika tampak panik dan tak peduli lagi dengan tetek bengek cara dia memanggil kekasihnya. Hemione yang pergi di tengah hujan deras yang mengguyur London membuatnya cemas.
"Aku tahu kau kecewa, tapi tidak seharusnya kau berkata seperti itu."

Harry terpaku di tempatnya dan menatap kosong ke arah pintu dimana ayahnya baru saja menghilang untuk mengejar kekasihnya. Sesaat dia masih bisa mendengar suara Dobby yang menanyakan keadaannya sebelum telinganya menuli dan semuanya menggelap dalam pandangan Harry.

***


>>Bersambung<<
>>Incredible Love - Chapter 4<<


Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

2 Comments

  1. Ini juga! Ayo lanjuttttttt... 😂😂😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. wkkwkwk....kau ni yah, main lanjut2 aja...ayo temenin begadang

      Delete