Heart - Chapter 1

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.

Happy Brithday Masumi-sama
Makin ganteng, makin sukses, nggak lemot lagi 'n cepet nikah ma Maya ya XD. Maaf kalau kau harus sengsara di hari ultahmu XP.

*********************************************************************************


Jealous by Labrinth


I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
That falls upon your skin
Yang jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan

I'm jealous of the windu
Aku iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh aku iri pada angin, karena

[Chorus:]
I wished you the best of
Ku berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku

I'm jealous of the nights
Ku iri pada malam
That I don't spend with you
Yang tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh, aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku iri pada cinta

***






"Jaga dia untukku," suara Masumi yang berat selaras dengan apa yang dirasakan hatinya saat ini. Direktur Daito yang biasanya tampak tenang dan bersahaja itu sekarang begitu terpuruk karena keadaan yang harus dihadapinya.

"Tuan, anda tidak harus melakukan ini." Sang pengawal setia, Hijiri, tampak tidak senang dengan perintah yang baru saja di berikan oleh tuannya itu.

Masumi berdiri dalam diam dengan mata memandang jauh ke lautan lepas sementara Hijiri hanya bisa diam memandangi punggung tuannya. Keduanya tengah berada di vila Masumi, di pulau Izu. Tempat keramat bagi seorang Masumi karena di tempat itulah dia bisa merasa bebas sebagai seorang manusia.

Keheningan diantara kedua pria itu diselingi oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki tebing. Biasanya, Hijiri tidak akan berkata tidak pada setiap perintah yang diberikan Masumi tapi kali ini dia merasa perintah tuannya itu adalah sebuah kesalahan.

"Tuan tolong anda pikirkan lagi. Ini-,"

"Tidak." Tegas Masumi. Tangannya mengerat di pagar balkon vilanya.

"Tapi Tuan-,"

"TIDAK HIJIRI!" Bentak Masumi.

Kembali, hening tercipta diantara mereka hingga sebuah helaan napas panjang dari sang tuan membuat Hijiri waspada.

"Anda baik-baik saja Tuan?" Tanyanya khawatir.

"Pergilah, tidak perlu mengkhawatirkan aku," perintah Masumi lagi tanpa menoleh sedikitpun pada Hijiri.

"Saya tidak akan meninggalkan anda sendiri dalam keadaan seperti sekarang Tuan," jawab Hijiri tanpa ragu dan tiba-tiba Masumi terkekeh dengan nada datar yang terdengar aneh di telinga Hijiri.

"Kenapa Hijiri? Kau takut aku terjun dari tebing ini?" Tanya Masumi disela kekehan sumbangnya, "Tenang saja, aku pasti masih hidup saat kau kembali menjemputku besok."

Hijiri terdiam, melihat ekspresi wajah Masumi yang dingin. Tahu jika dirinya tidak bisa lagi membantah Hijiri pun membungkuk hormat.

"Saya permisi, jaga diri anda baik-baik Tuan."

Masumi hanya mengangguk dan tak berkata apa-apa saat Hijiri kemudian pergi meninggalkannya. Masih menatap luasnya laut yang membentang di hadapannya, Masumi memejamkan mata dan menghirup napas panjang. Raut wajahnya menyiratkan rasa sakit seiring tangannya yang menekan lembut sisi kanan perutnya.

"Maya," sebuah nama lolos dari bibir Masumi dalam suara lirih penuh kesakitan, "semuanya memang harus berakhir, aku tidak bisa membawamu dalam kehancuran. Hiduplah bahagia ... tanpaku."

***
Hijiri memacu mobilnya dalam kecepatan tinggi begitu meninggalkan pelabuhan. Baru kali ini dia merasa begitu berat meninggalkan Masumi sendiri di pulau Izu. Terlebih sekarang sang tuan sudah membuat sebuah keputusan yang menurutnya salah. Fokus pada jalan di depannya, Hijiri menambah laju mobilnya, berharap bisa sampai lebih cepat ke tempat tujuannya.

Matahari sudah benar-benar tenggelam ketika Hijiri tiba di depan sebuah apartemen mewah di pusat kota Tokyo. Sejenak termenung menatap tingginya gedung apartemen, Hijiri sekali lagi menimbang langkah yang akan diambilnya. Namun, saat dirasanya tak ada lagi pilihan, Hijiri segera keluar dari mobil dan melangkah memasuki gedung apartemen dengan membawa sebuah buket bunga mawar ungu dan sebuah kado di masing-masing tangannya.

Hijiri berdiri di depan sebuah pintu dengan label nama Kitajima di sisi kanan, menekan bel dua kali dan menunggu sang tuan rumah, Maya Kitajima. Seraut wajah dengan ekspresi terkejut segera menyambut Hijiri ketika pintu apartemen terbuka.

"Kak Hijiri?" Sadar akan keteledorannya, Maya menangkup mulutnya dengan kedua tangan, menoleh ke kanan dan ke kiri, memeriksa apakah ada yang mendengar sapaannya.

Hijiri tersenyum maklum melihat tingkah sang nona, "Selamat malam Nona Maya, tidak usah takut, tidak ada orang," Hijiri mengangguk penuh hormat dengan senyum masih tersungging di bibirnya.

Maya menarik napas lega sebelum akhirnya mempersilakan Hijiri masuk, duduk di salah satu sofa mewah di ruang tamunya. Mewah? Jangan heran, sejak Maya memenangkan peran Bidadari Merah dan mementaskannya dengan luar biasa, kehidupan Maya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Gurunya, Mayuko, sudah meninggal setelah pementasan Bidadari Merah tahun lalu dan sekarang Maya menjalani karirnya dengan baik sebagai aktris kelas satu di bawah manejemen Daito.

Teman-teman Maya pun semakin sukses dengan teater mereka masing-masing. Bukan tanpa alasan Maya tidak kembali bergabung dengan teater Tsukikage dan memilih menjadi aktris Daito. Semua karena pesan mendiang gurunya yang melarang Maya untuk kembali menjadi anggota teater dan memintanya untuk berkembang di bawah bendera Daito. Maya sesungguhnya tak mengerti apa tujuan sebenarnya dari sang guru memintanya melakukan hal itu, meski begitu Maya tidak berani untuk mendebat dan hanya menurut saja, dirinya tidak keberatan menjalankan perintah itu. Dan buktinya, dalam waktu kurang dari setahun, nama Maya semakin melambung tinggi.

Sayangnya, semua itu tak sesempurna kelihatannya. Nama besar, popularitas, kekayaan dan semua yang dimiliki Maya saat ini tidak sanggup membuatnya bahagia. Hatinya masih merasa kosong karena tak kunjung menemukan belahan jiwanya, seseorang yang diharapkan akan menjadi pelengkap hidupnya, separuh nyawanya.

"Kenapa Nona tampak murung?" Tanya Hijiri ketika melihat Maya yang menatap sendu buket bunga yang di bawanya.

Maya menggeleng lalu menghela napas panjang perlahan, "Aku hanya sedang bertanya pada diriku sendiri," ucapnya tanpa melepaskan pandangannya pada buket bunga yang masih berada dalam pangkuan Hijiri.

Hijiri menautkan alis, tidak mengerti dengan maksud perkataan Maya, "Maaf Nona, saya tidak mengerti maksud anda," kata Hijiri kemudian.

"Tidak, tidak, hal ini memang sulit untuk dimengerti bahkan oleh diriku sendiri," tambah Maya dan perkataannya sukses membuat Hijiri semakin bingung.

"Apa ini mengenai Mawar Ungu?" Hijiri mencoba menebak pikiran Maya.

Maya mengalihkan pandangannya dari buket bunga mawar ungu pada Hijiri yang meski keheranan tapi tetap menjaga ekspresi tenangnya.

"Bunga itu untukku?" Tiba-tiba Maya mengalihkan topik pembicaraan.

Hijiri yang masih merasa bingung dengan sikap Maya hanya bisa mengangguk lalu memberikan buket bunga itu padanya. Setelah itu, Hijiri juga memberikan sebuah kado yang di bungkus apik dengan pita berwarna merah marun. Maya memeluk buket bunga itu dengan sayang seolah bunga itu adalah sosok yang di kasihinya.

"Nona, ini surat dari tuan untuk anda," mengambil dari balik saku jasnya, Hijiri memberikan sebuah amplop putih kepada Maya.

Masih memeluk buket bunga dengan tangan kiri, tangan kanan Maya terulur untuk menerima surat dari Hijiri. Surat tanpa segel itu dibuka dengan mudah oleh Maya.

Untuk : Maya Kitajima


Selamat untuk Penghargaan Aktris Terbaik yang telah kau menangkan kemarin. Aku melihatmu dan kau begitu mempesona. Tidak terasa, Beth kecilku sekarang sudah menjelma menjadi Bidadari cantik yang menawan.


Beth kecilku?
Maya tertegun saat julukan itu bergema di dalam pikirannya.
Apakah sejak dulu kau memang menganggap bahwa aku milikmu? Lalu kenapa kau tak juga menunjukkan dirimu padaku?
Menarik napas panjang, Maya melanjutkan membaca surat dari penggemar setianya.

Aku bangga padamu dan terima kasih kau telah mewujudkan mimpiku untuk melihat Bidadari Merahmu dan melihatmu bersinar di panggung. Menjadi pengagum setiamu adalah hal terindah dalam hidupku.
Kau mungkin bertanya-tanya, kenapa sampai sekarang aku masih saja menyembunyikan identitasku.


Jantung Maya berdebar lebih kencang saat membaca barisan kalimat itu.
Apakah kau akan menemuiku?
Diapun melanjutkan membaca surat itu dengan harapan besar bahwa Mawar Ungu-nya sudi untuk bertemu.

Ada banyak hal yang membuatku tidak bisa bertemu denganmu tapi percayalah, aku selalu melihatmu dan akan tetap seperti itu. Dari jauh aku tetap akan selalu melihatmu, mengagumimu. Bahkan kalaupun ini adalah surat terakhir dan bunga terakhir dariku, bukan berarti aku melupakanmu.

Mata Maya melebar di akhir kalimat. Debaran jantungnya semakin kencang.
Apakah kau ingin mengakhiri semua ini? Batin Maya kalut.

Teruslah berjuang Maya, Bidadari Merah-ku. Jalanmu masih panjang dan bintangmu akan semakin bersinar. Ini adalah kado terakhir dariku. Selamat tinggal.


Dari pengagum setiamu
Mawar Ungu


Lembaran kertas berwarna peach itu lolos begitu saja dari tangan Maya. Dia terlalu shock dengan apa yang baru saja dibacanya. Mawar Ungu-nya mengucapkan selamat tinggal, perpisahan.

"Nona, anda baik-baik saja?" Hijiri mulai cemas ketika Maya hanya terpaku memandang kosong kertas yang kini tergeletak di lantai. Hijiri tahu apa yang terjadi, dia tahu pasti apa isi surat itu, hanya saja dia tidak tahu apa yang sekarang Maya pikirkan selain kesedihan karena mawar ungu meninggalkannya.

"Inilah yang aku tidak mengerti Kak Hijiri," ucap Maya lirih, dipeluknya erat buket bunga itu seraya menyandarkan punggungnya pada sofa.

Hijiri diam saat Maya memberi jeda pada ucapannya. Dia tahu tindakan paling tepat saat ini hanyalah mendengar.

"Delapan tahun lamanya dia mendukungku, melindungiku dari balik layar. Aku hanya berharap dia mau bertemu denganku agar aku bisa mengucapkan terima kasih padanya dan terlebih aku ingin menyatakan perasaanku padanya," mata Maya menatap langit-langit tinggi ruang tamunya, pikirannya melayang membayangkan semua hal indah yang dulu diangankannya kini hancur berantakan bahkan tanpa pernah terwujud.

Keheningan menjadi jeda yang cukup panjang hingga akhirnya suara isakan terdengar dan lagi-lagi Hijiri hanya bisa diam.

"Apa salah kalau aku mencintainya?" Tanya Maya entah pada siapa karena meski dihadapannya ada Hijiri Maya masih saja asik menyandarkan kepalanya pada sofa dan memandang langit-langit seraya memeluk buket bunganya.

"Aku mencintainya dan aku yakin dia tahu hal itu. Apa karena itu dia meninggalkanku? Aku tak pantas untuknya," Maya memejamkan mata di akhir kalimatnya, "kenapa dia masih saja keras kepala? Kenapa dia masih bersikeras menyembunyikan semuanya? Apa aku harus datang menemuinya dan memintanya bicara? Apa aku harus memaksanya?" Maya terus menggumam bak menghapal naskah drama dengan penuh penghayatan dan Hijiri terhenyak mendengar untaian pertanyaan yang Maya ucapkan.

"No-nona, apakah anda tahu sia-,"

"Siapa Mawar Ungu sebenarnya?" Dengan tenang Maya mengangkat kepalanya dan memotong pertanyaan Hijiri, matanya tajam menatap Hijiri yang masih tampak terkejut.

Maya terkekeh dengan nada sumbang. Hijiri merasa de javu. Jelas saja, saat ini dia melihat Maya dengan kondisi yang sama seperti tuannya yang sekarang tengah berada di Izu.

"Aku bukan lagi gadis kecil berusia tiga belas tahun yang lugu dan bodoh Kak Hijiri. Bahkan sejak sebelum aku berangkat ke kampung halaman bidadari merah, aku sudah tahu siapa dia."

Hijiri kehilangan kata-katanya, dia tidak menyangka kalau Maya sudah tahu identitas Mawar ungu selama itu.

"Apa yang terjadi di Astoria adalah perasaanku yang sebenarnya. Apa yang aku katakan padanya di rumah sakit itu juga adalah perasaanku yang sebenarnya," lagi-lagi Maya menghela napas panjang, "aku masih menyimpan keyakinan kalau dia akan menungguku seperti yang dia janjikan. Aku sangat mengharapkan hal itu, terlebih saat dia memutuskan untuk membatalkan pertunangannya dan Nona Shiori pergi ke Kanada. Tapi rupanya semua itu hanya mimpi belaka. Akhirnya dia mengingkari janjinya untuk menungguku dan justru meninggalkanku," tanpa sadar air mata sudah menggantung di kedua sudut mata Maya, satu persatu lolos dan membasahi pipinya.

"Mawar ungu, dia-," kalimat Hijiri tertelan kembali. Dia sudah berjanji pada Masumi untuk tidak mengatakan apapun.

"Maaf Kak Hijiri, tidak seharusnya aku mengatakan perasaanku padamu. Anggap saja kau tak mendengar apapun dan tolong rahasiakan apa yang aku katakan pada mawar ungu atau tuanmu itu," kata Maya yang kemudian berdiri, meletakkan mawar ungunya di atas meja lalu menatap Hijiri seraya mengembangkan senyumnya.

"Sudah malam," ucapnya singkat.

Hijiri mengerti dan segera beranjak dari duduknya. Membungkuk hormat lalu mengucapkan salam sebelum akhirnya keluar dari apartemen Maya. Pintu yang kemudian tertutup di belakangnya membuat langkah Hijiri semakin berat untuk meninggalkan apartemen Maya. Perasaan sama yang dirasakannya siang tadi sebelum meninggalkan Masumi.

Kenapa semua jadi seperti ini?

***
Heningnya malam terpecah oleh suara detak jarum jam yang menunjukkan pukul dua belas malam. Maya tertegun di atas ranjang dengan surat Mawar Ungu di atas pangkuannya. Entah sudah berapa kali dia membacanya, berharap untaian kalimat itu akan berubah namun jelas itu tidak mungkin. Tak ada air mata, Maya sudah tidak sanggup lagi menangis.

Satu setengah tahun terlewati sejak Maya menyatakan perasaannya melalui akting Akoya pada Masumi di atas kapal Astoria. Sejak itu dia terus menunggu, menunggu Masumi, menunggu belahan jiwanya. Harapannya sempat melambung tinggi saat pertunangan Masumi batal enam bulan lalu dan Shiori pergi ke Kanada tapi nyatanya justru kini Maya harus menelan pil pahit karena Mawar Ungu, Masumi-nya justru mengatakan selamat tinggal. Tidak ada harapan lagi, itulah yang dipikirkan Maya saat ini.

Dengan langkah gontai Maya turun dari tempat tidur dan berdiri di sebelah meja kamarnya dimana terdapat setangkai mawar ungu di dalam vas kaca. Dipandangnya tangkai bunga yang selama ini menjadi penyemangat hidupnya.

"Aku mencintaimu," ucap Maya lirih. Sekali lagi menatap surat yang masih dibawanya, Maya meremas surat dalam genggamannya. Menghela napas panjang seraya memejamkan mata, "Selamat tinggal."


Di waktu yang sama di pulau Izu, seorang pria tengah mengerang di atas ranjang. Keringat dingin membanjiri kening dan seluruh tubuhnya. Erangannya semakin keras seiring rasa sakit yang terus bertambah kuat.

"Maya...," lirihnya di tengah sakit yang mendera, seolah nama itu bisa menjadi penawar rasa sakitnya, "Maya...."

***
"Cut! Oke, selesai!"

Maya turun dari kursi tempatnya berakting tadi setelah sang sutradara meneriakkan kata selesai. Hari ini cukup melelahkan. Setelah pagi tadi dia melakukan interview untuk sebuah majalah, siangnya dia harus syuting acara talk show lalu sore ini berakhir dengan syuting iklan sebuah produk kecantikan.
Sang menejer, Yukari Kondoo, segera menghampiri Maya dan membawanya ke tempat istirahat yang telah disediakan.

"Hari ini jadwal kita sudah selesai Nona dan beruntung jadwal anda besok tidak padat. Hanya mengisi sebuah acara di radio dan satu sesi pemotretan dengan majalah," terang Yukari.
Maya tampak berpikir begitu mendengar jadwal kerja yang dibacakan menejernya, "Yukari, boleh aku minta tolong?" Pinta Maya kemudian.

Yukari yang awalnya masih fokus pada agenda di tangannya, mengangkat kepala dan menatap Maya antusias, "Tentu Nona, apa yang bisa saya bantu?"

"Bisakah kau atur pertemuanku dengan Direktur Daito? Aku ingin bertemu dengannya setelah jadwalku selesai besok."

Dan permintaan Maya yang tidak biasa itu membuat Yukari terkejut.

"Kau tidak bisa?" Tanya Maya yang membaca ekspresi wajah Yukari.

"Ah, ma-maaf Nona, akan saya usahakan," Yukari dengan cepat mencatat permintaan Maya ke dalam agendanya lalu mulai membereskan semua perlengkapan Maya dibantu dengan asisten Maya lainnya, Maki Saitoo.

Tak perlu waktu lama untuk mereka membereskan semuanya, ketiganya segera meninggalkan lokasi syuting dan supir Maya, Iwaguchi Katoo, sudah menunggu di tempat parkir.

Baru saja Maya duduk di kursi belakang mobil, handphonenya berdering dan setelah melihat nama yang muncul di layar Maya menjawab panggilannya.

"Ya Koji?"

Suara kekehan terdengar dari ujung telepon, "Kau terdengar lesu sekali. Apa hari ini melelahkan?" Tanya Koji.

"Begitulah, seperti biasa," jawab Maya datar. Suasana hatinya sedang sangat tidak bagus hari ini dan jangan salahkan kalau Maya menjadi malas untuk berbasa-basi bahkan dengan sahabatnya sekalipun.

"Aku jadi tidak tega mengajakmu keluar hari ini. Bagaimana kalau besok? Apa kau ada waktu, kita bisa pergi ma-,"

"Maaf Koji, jadwalku juga penuh untuk besok," Maya melihat dari sudut matanya kalau Yukari tengah mengamatinya, pandangannya lalu beralih ke depan dimana mobil mulai berjalan meninggalkan tempat parkir.

"Oh," Koji terdengar kecewa, "kalau begitu kabari aku kalau jadwalmu kosong. Sudah lama kita tidak pergi untuk sekedar makan ataupun bercerita," lanjut Koji yang berusaha menepis rasa kecewanya.
"Baiklah, lain kali aku akan menghubungimu kalau jadwalku kosong," ucap Maya yang lagi-lagi dengan nada datar.

Di seberang sana, Koji menahan desah kecewanya mendengar reaksi Maya. Koji merasa sedih dengan perubahan sikap Maya sekarang. Sejak ditetapkan sebagai aktris terbaik dan menjadi aktris nomor satu di bawah naungan Daito, sikap Maya sangatlah berbeda. Dia bukan lagi gadis manis yang ramah tapi berubah menjadi gadis dewasa yang sedikit dingin.

Sebenarnya sedikit banyak Koji sudah tahu alasannya. Apa yang pernah dilihatnya di rumah sakit pelabuhan waktu itu cukup menjelaskan semuanya. Belum lagi Maya yang sudah mengembalikan kalung liontin lumba-lumbanya setelah pementasan Bidadari Merah dan menyatakan keputusannya untuk tidak bisa menerima dirinya sebagai kekasih. Koji bukannya tidak mau menyerah, hanya saja dia tidak rela Maya menjadi pribadi yang berbeda seperti sekarang. Dia hanya ingin mengembalikan Maya yang dulu. Maya yang hangat dan ceria.

"Baiklah, maaf sudah mengganggumu. Jangan lupa aku menunggu jadwal kosongmu," kata Koji kemudian.

"Hhmm, terima kasih Koji," dan tanpa basa-basi lagi Maya memutuskan sambungan teleponnya.

Yukari yang duduk di sebelah Maya hanya bisa diam melihat sang nona yang kini sibuk menatap keluar jendela. Sementara Maki dan Iwaguchi yang duduk di kursi depan juga tak berani berkomentar.

"Iwaguchi, tolong putar arah ke planetarium," perintah Maya tiba-tiba.

Iwaguchi sempat terkejut dengan perintah itu tapi kemudian menurut dan memutar arah mobil.

"Baik Nona."

***
Maya tak berkedip menatap lautan bintang di atas kepalanya. Perlahan air mata turun membasahi pipinya saat semua kenangan berkelebat di dalam kepalanya. Kenangan melihat bintang di padang rumput di kampung halaman Bidadari Merah, melihat bintang di atas kapal Astoria, bahkan kenangan dimana dia pergi ke planetarium -tempat yang sama dimana Maya duduk saat ini- semua kenangan itu berputar di dalam kepalanya seiring langit berbintang yang berputar di atasnya.

"Aku ingin bertemu denganmu ... ingin," lirihnya di tengah isak tertahannya.

Yukari, Maki dan Iwaguchi yang menunggu di mobil tampak gelisah melihat Nona mereka bersedih hati.

"Apa kita harus melaporkan hal ini pada Tuan Hijiri?" Tanya Maki.

"Aku akan menghubunginya nanti. Nona Maya memintaku untuk membuat janji dengan Tuan Masumi, aku tidak tahu ada masalah apa sampai Nona Maya ingin bertemu dengannya," Yukari tampak berpikir keras.

"Ada baiknya kau segera menghubungi Tuan Hijiri. Bukankah dia selalu meminta semua laporan detail mengenai Nona Maya," Iwaguchi ikut mengutarakan pendapatnya.

"Hhmm, ya kau benar," Yukari mengangguk setuju.

Obrolan mereka terhenti saat melihat Maya yang mengenakan mantel tebal dan kaca mata hitam keluar dari planetarium.

"Maaf kalian harus menunggu lama," kata Maya setelah dirinya duduk di kursi belakang.

"Tidak apa-apa Nona, apa anda sudah merasa lebih baik?" Tanya Yukari.

Maya melepas kacamatanya lalu sejenak menatap Yukari dan tiba-tiba dia terkekeh, "Apa aku terlihat begitu kacau sampai kau khawatir seperti itu Yukari?"

"Ah, tidak Nona, hanya perasaan saya mengatakan kalau anda sedang ada masalah," Yukari tersenyum canggung pada Maya.

Maya tersenyum tipis lalu berpaling dan melayangkan pandangannya ke luar jendela.

"Masalah ya?" Maya menggumam lirih, "Tidak, tidak ada masalah. Ayo pulang Iwaguchi, aku sudah lelah," perintah Maya kemudian.

Dan saat mobil mulai berjalan, tidak ada lagi yang berkomentar.

***

Masumi diam seribu bahasa ketika Mizuki selesai membacakan jadwal kerjanya. Sekretaris andalan Masumi itu memandang penuh tanya pada atasannya yang sejak tadi bergeming.

"Anda baik-baik saja Tuan?" Tanya Mizuki sopan.

"Jadi dia ingin bertemu denganku?" Masumi balik bertanya.

"Itulah yang disampaikan menejernya. Bagaimana? Anda akan menemuinya? Seperti yang saya katakan tadi, jadwal anda kosong pukul dua sampai pukul empat sore ini," terang Mizuki lagi.

Masumi masih bergeming dengan pandangan tertuju pada tumpukan dokumen di atas mejanya.

"Anda tidak bisa terus seperti ini Tuan Masumi," kata Mizuki tiba-tiba yang sukses membuat Masumi mengalihkan fokusnya. Mata Masumi tajam menatap sekretarisnya seolah mengatakan peringatan jangan-ikut-campur. Sayangnya tatapan tajam itu tidak berpengaruh banyak pada Mizuki yang sudah -sangat- terbiasa menghadapi Masumi.

"Anda berniat menghindarinya? Sampai kapan anda sanggup melakukannya? Beberapa bulan terakhir ini anda terus mengelak saat dia meminta waktu untuk bertemu. Anda tahu dia-,"

"Cukup Mizuki," potong Masumi cepat, "aku sedang tidak berminat mendengar ceramahmu. Katakan pada Yukari aku akan menemuinya, satu jam tidak lebih," mengambil dokumen teratas dari tumpukan di atas mejanya, Masumi melambaikan tangan sebagai isyarat agar Mizuki meninggalkannya.

Sang sekretarispun hanya mengangguk lalu berbalik meninggalkan ruangan Masumi. "Dasar keras kepala," ucap Mizuki sambil lalu.

"Aku mendengarnya Mizuki," protes Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen yang di pegangnya.

"Memang itu tujuan saya," balas Mizuki sebelum akhirnya menghilang di balik pintu.

Masumi menarik sudut bibirnya menyerupai senyum seraya menggeleng melihat sikap Mizuki. "Aku memang keras kepala Mizuki," ucapnya pada diri sendiri.



***
>>Bersambung<<

AN :
*Cerita ini request dari Cece Valentina yang minta cerita Masumi suicide :'(, requestnya Mba Upee Blue yang minta lagunya Labrinth - Jealous, juga request nya Kitajima Maya yang minta Masumi sakit ... kebetulan pas semua ide digabung jadi satu (paket hemat ya XD). Harusnya ini one shoot, tapi berhubung saya meriang n belum pulih sampe hari ini jadilah saya bikin multi chapter, hahhahaaaa.
Bagaimana endingnya? Sad-end? Happy-end? kita lihat aja nanti, hihihiihhiii

Follow me on :
Facebook : Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

16 Comments

  1. Masih utang Pure Love? Abaikan....hahahaaa
    Ga mungkin ku bilang happy reading juga lah ya...met menikmati ajalah kalo gitu, terserah mau ikut mewek apa ga, wkwkwkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum mewek nieh, cm berkaca2 aja , tissue msh utuh heheheh

      Delete
    2. dah ga kuat ngetiknya mba, wkwkwkkw

      Delete
  2. Makasih c
    Luar biasa,biar lagi ga enak badan masih sempet ngetik
    Kado ulang tahun yang special banget
    Harus siapin tisu segepok nih
    Tetap hidup ya Mas 😘😘😘😘

    ReplyDelete
  3. Heeeeee...pinter mba agnes motongnya
    Bikin penasaran
    Seperti biasa TOP bgt
    Mksh mba agnes, sehat terus ya muaaacchhhhh

    ReplyDelete
  4. I can feel the frustration from the beginning very well. Fragile protagonists and gloomy flow. What can I say? You nailed it, girl! Great job! 👏 👏

    Your head really is full of brilliant ideas, eh! Sad ending, happy ending or open ending, whatever it is. I know it'll be a yummy story in your hand. Thanks for sharing. Keep up your work! 👍👍

    PS. Look after yourself and get well soon.

    ReplyDelete
  5. Sumpaaaahhh deh......akuuu sukaaa ,,,,awal yang makin mengenaaa dengan typenya bebeb masumi, membiarkan maya terbang tinggi..lanjutiin lagi yah mbaaa

    ReplyDelete
  6. Masumi kenapaaaa,sakit kah? Knp menghindari Maya?

    Aaah, makin penasaraaaan.

    Makasih byk mbak Agnes, tolong jangan sad endi g ya mbak mmuach.

    ReplyDelete
  7. Aaaaaarrrrggggghhhh......kurang banyaaaaakkk...

    ReplyDelete
  8. Lanjuuuut...😉 Obat rindu sm masumi heheh

    ReplyDelete
  9. Mba agnes lekas sehat ya... Makasih kisah baru nya... Mengharu biru as always... No sad ending ya pliss hehehe

    ReplyDelete
  10. Lah lah knp lagi nih masumi sama.. huufft bener2 mengaduk2 hati ceritanya, gregeeeeeeett, kurang banyaak atuh kak agnes...btw suka bgt gambar maya nya cocok dgn cetitanya.. mchuaaaah

    ReplyDelete
  11. Nice.... Mau HE mau SE asal cerita MM ayok ajah neng.. Tengkiyu say��

    ReplyDelete
  12. huaaa...hikss sedih bngettt but the story so cool as usual.

    ReplyDelete
  13. Waaa telat banget aku baru baca. Maaf sist. Siap nunggu Lanjutannya nih..

    ReplyDelete
  14. Sis agnes,, kutunggu kelanjutan cerita2nyaa... uda lama nii ga baca karyanya

    ReplyDelete