Pure Love - Chapter 9



Cinta, adalah rasa yang seharusnya membuat hidup kita menjadi lebih bahagia, menjadi lebih sempurna, namun apa mau dikata jika kenyataannya justru membawa beribu luka. Miris. Hal itulah yang bisa dikatakan jika melihat wanita yang kini tengah duduk di tepi sebuah kolam di belakang rumahnya. Wanita yang merasakan betapa sakitnya mencintai. Wanita yang tidak diinginkan lalu merasa terbuang. Wanita yang kini menumbuhkan di dalam hatinya bibit kebencian untuk mengalihkan semua sakit yang dirasanya.
Shiori, wanita itu masih bisa tersenyum kala melihat ikan-ikan Koi di dalam kolamnya berebut makanan saat dia melempar remah-remah roti tawar yang seharusnya menjadi menu sarapannya pagi itu. Enggan untuk menghabiskan menunya, Shiori memilih untuk membaginya dengan ikan-ikan kesayangan kakeknya itu.
"Shiori," sebuah panggilan lembut membuat wanita itu menoleh dan menghentikan sejenak aktivitasnya. Seulas senyum tertoreh saat melihat sosok yang memanggilnya, diapun kembali melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti dengan mengambil lagi roti tawar baru dari atas piringnya dan mulai merobek-robeknya.
"Jangan terlalu banyak, nanti kalau ikannya mati kakek bisa marah," ucap seorang wanita paruh baya yang tadi memanggilnya. Kini wanita itu sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Shiori, melihat sekilas ke atas meja yang diisi dengan roti tawar, piring porselen, teko teh dan dua cangkir kosong, lalu beralih ke arah kolam ikan dimana banyak ikan sedang berkumpul di tempat dimana Shiori melempar potongan rotinya.
"Kakek tidak akan marah padaku, Bu," jawab Shiori tenang, wajahnya masih saja dihiasi senyum tipis, seolah kegiatan yang dilakukannya saat ini adalah sesuatu yang sangat menyenangkan.
"Lebih tepatnya tidak bisa," jawab wanita itu yang adalah ibu dari Shiori. Sang anakpun tertawa mendengar jawaban ibunya, tidak ada yang salah, kakeknya memang 'tidak akan pernah bisa' marah padanya.
"Ibu senang kau sudah lebih baik sekarang," kata sang ibu lagi seraya memandangi wajah tenang putri semata wayangnya.
"Hhmm?" Shiori meletakkan sisa roti dalam tangannya lalu memandang ibunya.
Sang ibu tersenyum, "Sejak bercerai dengan Masumi kau terlihat murung. Ibu tidak tahu masalah yang terjadi diantara kalian karena kau tidak pernah mau menceritakannya tapi sekarang ibu sudah lega karena kau tampak sudah kembali menjadi Shiori yang dulu," terangnya dengan mata yang tak lepas dari tatapan sang anak. Diapun meraih teko dan menuangnya ke dalam cangkir teh kosong di hadapannya.
"Aku sudah dewasa ibu, apapun yang terjadi diantara kami biarlah itu menjadi urusan kami berdua. Awalnya aku masih merasa kalau keputusanku adalah salah tapi seiring berjalannya waktu aku justru merasa sebaliknya, inilah yang terbaik untuk kami berdua bu. Sekarang aku hanya tidak mau memberatkan diriku dengan piikiran tidak berguna dan ingin menata kembali masa depanku," Shiori ikut mengisi cangkir kosongnya dan meneguk tehnya.
"Ya, ibu lega mendengarnya," sang ibu hanya bisa mengulas senyum untuk menanggapinya.
Seorang pelayan datang menghampiri keduanya lalu membungkukkan tubuh dengan hormat.
"Maaf Nyonya, ada telepon dari Tuan untuk anda," katanya.
Shiori memandang ibunya yang tampak enggan meninggalkan tempatnya, "Aku baik-baik saja Bu, percayalah," Shiori berusaha meyakinkan ibunya yang dia yakin masih khawatir padanya. Padahal sudah hampir empat bulan semua itu berlalu tapi sang ibu masih begitu mengkhawatirkannya.
Sang Ibu menghela napas perlahan, "Baiklah, maaf kalau ibu tidak bisa menemanimu lebih lama."
Shiori hanya tersenyum saat akhirnya sang ibu kembali masuk ke dalam mansion dan meninggalkannya untuk menikmati pagi yang tenang seperti kebiasaannya beberapa waktu terakhir.
"Bibi Takigawa," panggil Shiori.
"Ya Nyonya," jawab wanita paruh baya yang sudah menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk melayani keluarga Takamiya.
"Pagi ini indah ya," kata Shiori tiba-tiba.
Takigawa hanya bisa terdiam dengan kepala tertunduk, tidak merespon apapun pernyataan sang nyonya muda, sementara Shiori menikmati kembali tehnya dengan seringai yang tak luntur di wajahnya.

***

"Aaaa!"
Masumi tersentak kala mendengar suara melengking yang dia yakin adalah milik istrinya. Dia yang baru saja keluar dari kamar mandi bergegas menuju tempat dimana istrinya berada.
"Maya?" Masumi menautkan alis heran dan menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat Maya berdiri di atas meja dapur sambil membawa spatula di tangan kanannya.
"Masumiiii!" Rengek Maya dengan wajah memelas.
"Ada apa?" Masumi yang tak lagi panik kini berjalan menghampiri istrinya.
"Ada kecoa," lirih Maya sambil menunduk begitu Masumi berdiri di hadapannya.
"Hhmm?" Satu alis Masumi melengkung tinggi dengan sudut bibirnya sedikit naik menahan seringaian.
"Ada kecoa," kata Maya lagi dengan nada lebih tinggi. Kali ini dia mengangkat wajahnya dan menatap Masumi yang seperti mengejeknya dengan pandangan kesal.
"Kecoa?" Ulang Masumi.
Maya mengangguk mantap, "Disana," tunjuk Maya dengan spatulanya ke arah lemari es, "jangan menertawakanku!" seru Maya ketika Masumi justru tertawa.
"Jangan katakan kalau istriku yang galak dan selalu mengataiku 'kecoa' ini ternyata takut."
Maya menggembungkan pipinya dengan kesal, "Bukan takut, jijik," elaknya.
Masumi semakin tergelak dan baru berhenti saat Maya memukul lengannya dengan spatula.
"Aww, maaf, maaf," ucapnya kemudian, "biar ku lihat," Masumi pun berjalan ke arah lemari es kemudian berlutut untuk bisa melihat binatang kecil yang memang identik dengan kata 'menjijikkan' itu. Sedikit menggerutu dalam hati, Masumi heran dengan adanya kecoa di kondominium mewahnya.
"Kyaaa!!" Maya menjerit dan melompat dari atas meja ketika binatang yang dicari oleh Masumi justru terbang ke arahnya.
Masumipun segera mengambil sapu dan memukul sumber keributan di dapurnya.
"Selesai," Masumi membuang kecoa hasil pukulannya itu ke tempat sampah dan Maya hanya bisa menatapnya dengan pandangan ngeri. Setelah membersihkan tangannya dan mengembalikan sapu ke tempatnya Masumi menghampiri istrinya.
"Aku heran kenapa di tempat semewah ini masih ada binatang menjijikkan seperti itu," gerutu Maya kemudian.
"Nanti aku akan mengajukan komplain pada pihak pengelola. Mungkin saja petugas cleaning service yang kita sewa kurang teliti membersihkan dapur," kata Masumi.
"Jangan menertawakanku," seru Maya saat melihat senyum geli suaminya.
"Tidak, tidak, aku hanya tak habis pikir. Kau yang selalu mengataiku 'kecoa' ternyata takut dengan binatang kecil itu," jelas Masumi yang menggeleng seraya menahan tawanya, "beruntung kau tak takut padaku," goda Masumi yang langsung membuat wajah istrinya merona. Masumi menarik Maya ke dalam pelukannya dan Maya semakin menggembungkan pipinya kesal saat Masumi membisikkan sesuatu padanya.
"Ya Tuan Hayami, kau memang 'menggelikan'," Maya memukul dada Masumi lalu menghentakkan kakinya keluar dari dapur diiringi tawa lepas sang suami.
Ya, Masumi dan kecoa memang memiliki sebuah persamaan yaitu sama-sama 'menggelikan' bagi Maya tentu saja dalam konteks yang berbeda.

***

Masumi meletakkan sumpitnya dan mengucapkan terima kasih atas makanan yang tersedia, disambut senyum bahagia Maya. Maya pun segera membereskan meja makan dan mencuci piring sarapan mereka sementara Masumi yang masih duduk di meja makan menikmati secangkir kopi sambil membaca koran pagi.
"Kau masuk surat kabar lagi sayang," komentar Masumi saat membaca kolom berita entertainment dan melihat judul besar dengan nama istrinya.
"Hhmm?" Maya sedikit menoleh lalu kembali fokus pada piring di tangannya.
"Tertulis mengenai totalitasmu saat syuting Aishiteru di Kyoto dan ulasan mengenai pendapat penggemarmu yang sudah tidak sabar menunggu film ini karena kau kembali bermain bersama Ayumi dan Koji," jelas Masumi.
Maya ber-oh pelan ketika meletakkan piring terakhirnya di rak lalu duduk di sebelah Masumi, menikmati kembali ocha nya yang mulai dingin.
"Mereka sempat mewawancaraiku kemarin," kata Maya.
Masumi tampak mengangguk dan tersenyum senang akan tanggapan publik mengenai produksi filmnya, terlebih banyak hal positif mengenai Maya.
"Sepertinya keputusanku untuk memakai Ayumi dan Koji tidak salah," tambah Masumi.
Maya tiba-tiba tergelak mendengarnya dan Masumi dengan tatapan heran bertanya 'kenapa' pada istrinya.
"Kalau saja kau tidak menyetujui peran Koji mungkin aku tidak akan ada disini dan menyandang status sebagai istrimu," jelas Maya masih dengan tawa yang renyah. Masumi pun ikut tertawa dan dia merasa tidak menyesal dengan itu meski tampaknya begitu konyol.
"Ya, itu satu hal yang harus aku syukuri," timpal Masumi seraya melipat kembali surat kabar dan meletakkannya di meja.
Maya berhenti tertawa lalu menyeringai senang, meneguk habis ochanya dan kembali sibuk untuk mencuci gelasnya. Masumi tersenyum melihat tingkah istrinya.
"Sayang," panngil Masumi kemudian.
"Ya?" Maya berbalik setelah meletakkan cangkirnya.
"Apa ada yang kau perlukan?" Tanya Masumi.
"Perlukan?" Maya mengernyit heran atas pertanyaan Masumi.
Masumi beranjak lalu menghampiri istrinya yang masih berdiri di depan sink, "Sesuatu untuk keperluanmu sehari-hari. Kita bisa pergi berbelanja hari ini," Masumi menyematkan poni Maya yang mulai memanjang ke belakang telinga.
"Berbelanja? Ke mana?" Maya tampak ragu.
Masumi tersenyum, "Terserah padamu. Mall atau supermarket dimana kau biasa berbelanja bersama Rei atau Nona Midori."
"Denganmu? Kau yakin?" Maya terlihat semakin ragu.
Masumi terkekeh, mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh istrinya, "Sudah ku katakan kau bukan simpananku Maya. Aku ingin seluruh dunia tahu bahwa kau adalah milikku."
Maya tersenyum canggung, tidak yakin dengan rencana suaminya, "Aku hanya takut kalau nama baikmu rusak karena aku."
"Hei, kau ini bicara apa? Kau adalah anugrah terindah dari Tuhan untukku, jangan berkata seolah kau adalah aib. Aku tidak suka mendengarnya," protes Masumi. Melihat ekspresi wajah Maya yang masih ragu membuat Masumi menghela napas panjang, direngkuhnya tubuh mungil itu dalam dekapannya.
"Aku tahu semua ini tidak akan mudah tapi kita akan menghadapinya bersama-sama. Percayalah kalau aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah melepaskanmu," ucap Masumi diakhiri dengan kecupan sayang di puncak kepala istrinya.
Mendengar penuturan sang suami yang penuh kesungguhan membuat dada Maya menghangat, "Terima kasih sudah mencintaiku," lirih Maya penuh haru.
Masumi hanya mengulum senyum di sela-sela helaian rambut hitam Maya.

***

Terik matahari musim panas tak menghalangi niat Masumi siang itu. Dia bahkan tak meminta Masato untuk mengantarnya, dengan semangat dia mengemudikan sendiri mobilnya dengan Maya yang duduk gelisah di sebelahnya.
"Tenanglah sayang, dunia tidak akan kiamat hanya karena kemunculan kita," Masumi mencoba berkelakar untuk mengurai rasa takut Maya.
"Ah, lelucon yang bagus Tuan Hayami," celetuk Maya kesal dan langsung disambut kekehan senang Masumi karena melihat istrinya merajuk.
Masumi memarkirkan mobilnya di basement sebuah pusat perbelanjaan besar di Ginza. Menghela napas panjang, Maya akhirnya turun dari mobil mengikuti suaminya.
"Ku kira aku harus membukakan pintumu Nyonya," canda Masumi lagi.
"Aku bukan Nyonya yang manja," jawab Maya.
Masumi tersenyum, segera meraih tangan Maya dan menggenggamnya lembut. Mengecup punggung tangannya sekilas lalu memberikan sebuah kerlingan mata.
"Hei, siapa kau? Kemana Tuan Hayami yang dingin dan menyebalkan itu?" Cibir Maya akan sikap suaminya yang kelewat lembut.
"Hmm?" Masumi meninggikan alisnya, "Kau lebih suka aku yang dingin dan menyebalkan?"
"Ya untuk saat ini," jawab Maya.
Masumi terkekeh dan tanpa basa-basi lagi langsung membawa Maya memasuki pusat perbelanjaan.
Pasangan suami istri itu memainkan perannya dengan baik. Seolah dunia milik berdua, mereka mengabaikan puluhan atau bahkan ratusan pasang mata yang tampak terkejut. Maya bukanlah sosok asing bagi mereka. Wajah cantiknya yang sering menghiasi layar kaca membuatnya begitu familiar di tengah masyarakat. Sedangkan sosok Masumi sendiri sangat menarik perhatian, bukan karena status dirinya yang adalah penerus keluarga Hayami ataupun sebagai Direktur Daito tapi karena pesona seorang Masumi memang terlalu sulit untuk abaikan. Postur tubuhnya yang tinggi tegap dengan wajah tampan, bersanding dengan seorang aktris nomor satu berpostur mungil tentu menjadi daya tarik tersendiri. Tak sedikit dari para penonton itu yang akhirnya mengambil ponsel pintar mereka dan mengabadikan setiap momen Maya-Masumi. Tak sedikit pula yang berani mendekati Maya, menyapanya dan meminta tanda tangan atau sekedar berjabat tangan. Maya menebar senyum manisnya kepada setiap orang yang menyapanya dan Masumi yakin kalau wajah mereka berdua besok akan memenuhi semua media, bahkan Masumi yakin tak lama lagi foto-fotonya bersama Maya dan penggemarnya akan terpajang di halaman media sosial.
Masih dengan bergandengan tangan, Maya dan Masumi keluar masuk toko untuk membeli beberapa perlengkapan yang mereka butuhkan. Ya meski kondominium mereka sudah lengkap dan tertata rapi berkat bantuan Mizuki dan Hijiri, tetap saja Maya membutuhkan beberapa perlengkapan untuk keperluan pribadinya, begitu juga dengan Masumi. Sepasang pengantin baru itu begitu menikmati setiap moment dimana mereka saling memberi masukan untuk setiap barang yang mereka beli. Masumi tertawa girang dalam hati saat dirinya merasa begitu normal sebagai seorang pria, seorang suami, terlepas dari semua atribut Hayami dan Daito yang selama ini melekat padanya. Mungkin jika tidak melihatnya sendiri, akan banyak orang tidak percaya jika seorang Masumi Hayami bisa tersenyum tulus, menggenggam tangan seorang wanita dan berbelanja di pusat perbelanjaan besar dan ramai seperti masyarakat umum lainnya.



"Masumi lihat itu," kata Maya menunjuk sebuah toko perlengkapan bayi yang memajang box bayi besar berwarna biru dengan gambar bulan dan bintang berwarna kuning terang.
"Box bayi?" Masumi cukup terkejut dengan apa yang ditunjukkan oleh istrinya.
Maya mengangguk senang dan dengan semangat menarik lengan Masumi agar mengikutinya, lupa kalau kedua tangan Masumi bahkan penuh dengan kantong belanjaan mereka.
"Wah, cantik sekali," ucap Maya penuh kagum ketika dirinya sudah benar-benar berdiri di sebelah box bayi yang tadi dilihatnya.
Kekaguman Maya tidaklah berlebihan, dilihat dari jarak dekat box bayi itu memang tampak cantik. Bahan kayu yang kokoh dibalut kain lembut berwarna biru, diahiasi dengan renda berbagai pernak pernik khas bayi dan gambar bulan bintang berwarna kuning terang yang tampak kontras dengan warna dasar biru membuatnya semakin cantik. Di bagian atasnya terdapat tirai halus transparan berwarna biru langit dan sebuah mainan gantung dengan berbagai bentuk lucu yang bisa berputar dan memainkan musik pengantar tidur yang indah.
"Selamat datang Tuan, Nyonya, silakan melihat-melihat, ini adalah salah satu produk unggulan kami yang dibuat dalam jumlah terbatas," ucap seorang wanita yang adalah pelayan toko perlengkapan bayi itu.
Maya tersenyum dan tampak antusias menjawab sapaan sang pelayan toko.
Melihat istrinya yang begitu tertarik dengan box bayi mau tak mau membuat Masumi berpikir. Apakah Maya berencana ingin memiliki bayi dalam waktu dekat? Yah, jika itu adalah keinginan Maya maka Masumi tidak akan menolaknya. Saat Masumi membayangkan rencananya sendiri, seketika itu juga dia justru merutuki dirinya sendiri karena berpikiran tidak pada tempatnya. Istrinya tengah asik bertanya tentang box bayi sementara dirinya justru sibuk memikirkan bagaimana caranya agar box bayi itu bisa segera terisi oleh makhluk mungil menawan yang kelak akan memanggilnya ayah.
"Kau menyukainya?" Tanya Masumi kemudian.
Maya mengalihkan perhatiannya dan menatap heran suaminya.
"Kau begitu semangat menanyakan box bayi ini, apa kau menyukainya? Kau mau membelinya?" Tanya Masumi lagi, merasa heran karena istrinya tampak bingung dengan pertanyaannya.
"Eh? Membelinya? Aku hanya menyukainya, tidak berpikir akan membelinya. Setidaknya tidak sekarang," jawab Maya.
"Kenapa?" Tanya Masumi lagi. Tentu menurutnya aneh kalau Maya bertanya ini itu dan menyibukkan sang pelayan toko tapi ternyata tidak berniat membeli, bukankah itu tindakan sia-sia dan membuang-buang waktu?
"Kenapa apanya?" Tanya Maya polos.
Masumi menggeleng dengan ekspresi geli melihat istrinya yang tidak menyadari perbuatannya, "Sayang, kau sudah merepotkan nona ini dengan bertanya ini itu, menghabiskan waktunya untuk melayanimu tapi kau tidak berniat untuk membeli box bayi ini dan hanya tertarik saja, begitu?"
Seketika mata Maya melebar karena terkejut, "Ah maaf," ucapnya spontan, diapun segera membungkuk hormat pada sang pelayan, "Apa aku merepotkanmu?" Tanyanya.
Sang pelayan toko justru terkejut dengan sikap Maya. Dia tidak bodoh untuk tahu siapa Maya dan Masumi hanya saja dia menahan diri dan tetap bersikap sopan karena tidak mau membuat pelanggannya tidak nyaman jika dia menunjukkan histeria yang berlebihan.
"Ah, Nyonya, tidak perlu seperti itu. Tidak apa-apa, ini sudah menjadi tugas saya," kata sang pelayan kemudian.
"Maya, kau boleh membelinya kalau memang menyukainya," sela Masumi dan Maya langsung menggeleng.
"Tidak, untuk apa kita membelinya. Kita bahkan tidak punya bayi," tolak Maya.
Masumi tersenyum geli, merasa konyol akan kalimat yang akan diucapkannya sendiri, "Kita kan bisa membuatnya," katanya tanpa dosa.
Seketika Maya menganga dengan wajah merah padam dan tak hanya dia, sang pelayan pun sukses menunduk malu untuk menyembunyikan wajah merahnya akibat perkataan Masumi. Terjawab sudah pertanyaan dalam hatinya yang merasa keheranan dengan hubungan sosok idola dihadapannya. Bahkan sedari tadi Maya tidak menolak ketika dirinya dipanggil dengan sebutan Nyonya.
"Masumi!" Maya memukul lengan suaminya, "kau pikir anak itu kue?"
Masumi terkekeh, tidak peduli beberapa pengunjung yang menonton mereka karena suara Maya yang cukup keras. Alhasil wajah Maya semakin merah saat menyadari kebodohannya yang berteriak di dalam toko dan membuatnya semakin menjadi pusat perhatian.
"Kami ambil satu, bisa tolong bantu?" Kata Masumi kemudian. Dengan tersenyum dia mengulurkan kartu kreditnya pada sang pelayan.
"Te-tentu Tuan, saya bantu, mohon menunggu sebentar," sang pelayan sampai tergagap karena mendapat senyum manis Masumi. Dengan tergesa dia menerima kartu dari Masumi dan setengah berlari menuju meja kasir.
Maya dan Masumi sempat mendengar pekik tertahan petugas kasir ketika sang pelayan tampak berbisik padanya, tidak perlu tanya kenapa, keduanya sudah cukup paham dengan apa yang terjadi. Maya hanya bisa menghela napas panjang melihat situasi yang dihadapinya.
"Kau akan membuatku repot Tuan Hayami," ucapnya kemudian.
Menyandarkan lengan besarnya di bahu Maya, Masumi membuang jarak diantara mereka, "Semua akan baik-baik saja."
Dan Maya sekali lagi menghela napas panjang, pasrah ketika lagi-lagi para pengunjung sibuk mengabadikan kebersamaan dirinya dan Masumi.

***

"Makan malam di luar?!" Maya hampir menjerit ketika Masumi mengutarakan idenya. Mereka sudah pulang dan tengah menikmati sore yang tenang di ruang tengah sambil melihat acara televisi. Dan Maya yang tadinya bersandar manja pada bahu sang suami, kini duduk tegak sambil menatap kesal Masumi.
"Ya ampun, apalagi rencanamu Tuan Hayami?" Gerutu Maya.
Kening Masumi berkerut tidak senang karena kebiasaan Maya yang menganggapnya 'tuan besar' jika sedang kesal.
"Kau juga bermarga Hayami nyonya," balas Masumi.
Maya mendengus kesal, "Jangan mengalihkan pembicaraan Masumi."
"Baiklah, baiklah, sekarang katakan apa masalahnya?" Tanya Masumi yang pura-pura tidak mengerti pemikiran istrinya.
"Kau baru saja menggemparkan Ginza dan sekarang mau membuat kehebohan lagi di tempat lain?" Jawab Maya dengan kesal.
Seketika Maya tersentak saat Masumi dengan tiba-tiba meraih tengkuknya dan mempertemukan bibir mereka, membuat napas Maya berhenti sesaat ketika kemudian dengan lembut Masumi mengulum bibirnya, menyesapnya bak kupu-kupu yang tengah menikmati manisnya madu. Gigitan lembut di bibir bawah membuat Maya membuka belahan bibirnya lebih lebar dan kesempatan itu tidak disia-siakan Masumi. Dia melesakkan lidahnya dan memperdalam ciumannya hingga Maya tak bisa menahan desahan lirih di dalam mulutnya.
Wajah Maya merah padam dengan napas tak beraturan begitu Masumi selesai dengan 'serangannya'. Mata mereka saling bertaut dan Maya dapat melihat kesungguhan dalam mata suaminya.
"Aku bukan lagi Masumi yang pengecut, yang hanya bisa menyerah pada keadaan. Kali ini aku akan buktikan kalau aku sanggup melawan dunia untukmu dan aku akan tunjukkan pada semua orang betapa aku mencintaimu, memujamu."
Maya terdiam, bungkam seribu bahasa. Tiba-tiba matanya terasa panas ketika perkataan Masumi jauh menghujam hatinya dan membuatnya sesak menahan haru.
"Sstt, jangan menangis sayang," segera saja Masumi menangkup kedua sisi wajah Maya dan mengusap air mata yang mulai berderai dengan ibu jarinya.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu dan berjanjilah kalau kau tidak akan meninggalkan aku," Maya menarik kedua tangan Masumi dari wajahnya dan seketika menjatuhkan dirinya ke dada bidang Masumi, memeluk suaminya dengan erat dan tangis yang tak lagi tertahan.
"Aku juga mencintaimu Maya dan aku berjanji akan selalu bersamamu, menjagamu, selamanya," bisik Masumi di puncak kepala Maya.
"Selamanya?" ulang Maya meminta kepastian.
"Ya sayang, selamanya," jawab Masumi penuh janji.




***

Dan setelah drama sore yang cukup menguras tenaga, mau tak mau lagi-lagi Maya hanya bisa menurut ketika Masumi mengajaknya makan malam di sebuah restoran mewah di pusat kota Tokyo.
"Selamat datang Tuan Hayami. Silakan, meja anda sudah siap," sang menejer hotel langsung menyambut secara pribadi tamu istimewanya malam itu. Masumi memang sudah mereservasi tempat lebih dulu, tentu saja dengan bantuan sang sekretaris handal, Mizuki.
Maya menahan diri untuk tidak berbalik pulang begitu melihat puluhan pasang mata pengunjung restoran menatapnya. Betapa tidak kalau sebagian besar tamu yang datang ternyata mengenalnya. Masumi dengan tenang mengusap punggung tangan Maya yang bersandar di lengannya seraya mengulas sebuah senyum. Ketegangan itu baru berakhir ketika Maya sampai di ruangan yang dipesan Masumi, sebuah private room yang sudah dipersiapkan secara khusus dengan hiasan mawar ungu.
"Ini berlebihan," gumam Maya namun masih bisa terdengar oleh Masumi dan membuatnya terkekeh lirih.
"Tidak sayang, sejak menikah aku belum memberikan apa-apa padamu. Sekarang saatnya kita merayakan berdua. Bahkan setelah syutingmu selesai nanti aku akan membawamu liburan sebagai hadiah bulan madu kita."
Maya langsung mendongak dan menatap Masumi dengan mata berkedip bingung. Dirinya bahkan tak memikirkan apapun mengenai hal itu. Bagi Maya bisa bersama dengan Masumi itu sudah cukup, tidak peduli dengan segala tetek bengek perayaan dan bulan madu.
"Jangan dipikirkan, aku mau kita makan dengan tenang malam ini, oke?" Masumi membawa Maya menuju kursi, menariknya dan memintanya untuk duduk.
"Apa kau tahu kalau malam ini banyak aktris dan aktor datang ke tempat ini?" Tanya Maya kemudian, mengganti topik pembicaraan.
"Ini tempat umum Maya dan melihat reputasi tempat ini tentu tidak heran jika tamunya adalah orang-orang kalangan atas. Mungkin kau saja aktris terkenal yang tidak suka makan di tempat berbintang dan lebih suka makan okonomiyaki atau ramen di kedai," jawab Masumi santai.
"Hei, jangan menghina seleraku," sungut Maya.
Masumi tertawa melihat istrinya mencebik kesal.
"Sudahlah, abaikan soal mereka dan kita nikmati malam kita," Masumi tersenyum memandang Maya dan sukses merubah mood sang istri. Ketika makan malam datang keduanya menikmati hidangan dengan tenang dan sesekali mengobrol tentang beberapa hal.
Usai makan malam Maya kembali di kejutkan dengan adanya banyak wartawan yang mencarinya di lobi restoran. Masumi dengan begitu posesif memeluk bahu Maya untuk melindunginya. Para wartawan tak bisa berkutik ketika Masumi melempar tatapan tajam pada mereka. Beberapa dari mereka langsung mundur dengan teratur.
"Tuan Masumi, tolong beri penjelasan, apakah benar sekarang anda menjalin hubungan dengan Maya Kitajima?" Salah satu wartawan masih terus memaksa dan mengabaikan ekspresi tidak suka Masumi, tidak peduli sang Direktur Daito itu akan marah.



Menghentikan langkah kakinya, Masumi yang masih merangkul bahu Maya memandang kesal pada wartawan yang sudah merusak malam romantisnya bersama Maya. Dia berjanji dalam hati untuk membuat perhitungan pada siapa saja yang sudah mengundang para wartawan 'tak beradab' itu.
"Kalian akan mendapat informasinya secara resmi besok, jadi berhentilah mengganggu kami," tegas Masumi dan tanpa basa-basi lagi dia langsung membawa Maya yang membisu untuk masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan oleh petugas valet.
Sedan mewah Masumi melaju meninggalkan restoran, menyisakan para wartawan yang mulai berkasak-kusuk karena perkataan Masumi.
"Hhmm, menarik. Aku pasti akan membuat berita ini menjadi hebat," seorang wartawan pria dengan seringai tipisnya menatap puas pada sedan hitam yang terlihat semakin kecil dan menghilang di ramainya jalanan kota Tokyo.


***

"Saya benar-benar terkejut tadi. Tapi saya yakin kalau mereka sekarang sedang menjalin hubungan atau bahkan mereka sudah menikah. Keduanya memakai cincin di jari manis dan sepakat untuk membeli box bayi, salah satu produk unggulan toko kami," seorang pelayan wanita tersenyum lebar di layar kaca ketika wartawan dari sebuah acara infotainment mewawancarainya.
"Ya, berdasarkan keterangan pelayan tadi dan beberapa bukti lainnya, sepertinya memang benar kalau Masumi Hayami dan Maya Kita-,"
Bip!
Maya melempar remot televisi ke tempat kosong di sebelahnya, membaringkan dirinya di sofa panjang. Maya mengamati Masumi yang masih sibuk dengan handphone-nya, berdiri di balkon yang berada di depan ruang keluarga. Beberapa menit kemudian Masumi masuk dan tersenyum melihat Maya yang tengah berbaring.
"Infotainment malam ini penuh dengan berita kita," kata Maya.
Masih mempertahankan senyumnya, Masumi menghampiri istrinya. Alih-alih menanggapi perkataan Maya, Masumi justru melandaikan tubuhnya tepat di atas Maya dengan kedua tangan dan lutut menyangga tubuhnya di sofa.
"Masumi," protes Maya saat merasa terperangkap dalam kungkungan lengan dan kaki suaminya.
"Hhmm?" Masumi tersenyum geli.
"Jangan bercanda, bagaimana aku akan menghadapi semua pemberitaan itu?" Kata Maya.
"Aku sudah mengatakannya ratusan kali, kita akan menghadapi ini bersama-sama. Kau tidak perlu takut sayang," jawab Masumi yang diakhiri dengan kecupan sayang di puncak hidung mungil istrinya.
"Apa semua ini adalah rencanamu?" Maya melotot dengan sia-sia kepada suaminya.
"Ya untuk bagian dimana aku ingin mempublikasikan hubungan kita. Tapi drama picisan para wartawan murahan itu tidak," jawab Masumi santai dan dengan tenangnya mengecupi sisi wajah Maya hingga telinga, membuat sang istri menggeliat kegelian.
"Hentikan Masumi, geli," Maya mulai lupa dengan kekesalannya dan sibuk mendorong tubuh suaminya agar menjauh.
"Aku menginginkanmu sayang," bisik Masumi di telinga Maya dan membuatnya menerima dorongan lebih kuat dari istrinya.
"Kau ini! Sekarang bukan saatnya untuk bermesraan," protes Maya.
Tapi bukan Masumi namanya jika dia menurut begitu saja pada Maya. Alih-alih menghentikan godaannya, Masumi justru semakin gencar menciumi garis leher Maya hingga bagian bahunya yang terbuka. Memberikan sebuah hisapan lembur di lekuk leher istrinya, Masumi sukses membuat Maya mendesah lirih. Senyum tipis terukir di bibir Masumi.
"Tenang saja, aku sudah meminta Mizuki untuk mengatur konferensi pers besok," bisik Masumi di bawah telinga Maya.
Dan bagai tersengat listrik, Maya tersentak dengan perkataan Masumi, tanpa sadar dia mendorong suaminya yang mulai lengah hingga membuatnya jatuh terjerembab dari sofa.
"Masumi!" Maya terkejut sendiri atas perbuatannya ketika mendengar Masumi mengaduh kesakitan.
"Maya, apa kau mau menjadi janda secepat ini?" Kata Masumi yang segera berdiri dari posisi tidak elitnya dan mengusap pantatnya yang baru saja bercumbu dengan lantai. Ya, meski berkarpet tetap saja itu menyakitkan.
"Maaf, aku terkejut tadi," lirih Maya penuh penyesalan seraya beranjak dari sofa dan membantu suaminya mengusap pantatnya yang sakit.
"Hei, bagian depan juga sakit sayang," lagi-lagi Masumi menyeringai jahil. Entah salah makan apa sang Direktur Daito itu hingga berubah menjadi sosok mesum yang suka sekali menggoda istrinya.
Wajah Maya langsung merona dan sebuah pukulan di lengan membuat Masumi tergelak. Belum sempat Maya menjauh, Masumi sudah menarik istrinya ke dalam pelukannya.
"Kau mudah sekali marah akhir-akhir ini," kata Masumi yang masih mempertahankan Maya dalam pelukannya.
"Kau menyebalkan Masumi, setidaknya katakan padaku apa rencanamu," jawab Maya kesal, "kau tahu? Aku takut. Takut sesuatu terjadi padamu karena keluarga Takamiya ataupun ayahmu," mata Maya berkaca-kaca tapi alih-alih berusaha melepaskan diri dari pelukan suaminya, Maya justru balas memeluk Masumi makin erat.
"Sshh, tenang sayang. Tidak akan terjadi apa-apa, semua pasti baik-baik saja," Masumi mengusap lembut punggung istrinya yang mulai bergetar karena tangis.
"Aku takut Masumi...aku takut," lirih Maya di tengah isakannya dengan lengan yang makin erat memeluk suaminya.
Sementara itu di dua tempat yang berbeda terdapat dua sosok yang sama-sama sedang terpaku di depan televisi. Menatap marah pada tayangan yang ditampilkan layar kaca di hadapan mereka.
"Masumi...,"

***

Maya menggeliat panjang, mengerjapkan mata beberapa kali untuk menyesuaikan pandangannya. Menoleh ke samping, Maya mendapati Masumi masih terlelap dan dirinya baru menyadari kalau ternyata mereka tidur beralaskan karpet di depan perapian di ruang keluarga.
Meraih kepala suaminya, Maya mengusap lembut surai lebat Masumi. Sepertinya Masumi terlalu lelah hingga tak terusik dengan belaian Maya.
"Jika mencintaimu berarti mati, maka aku tidak akan pernah keberatan, hanya saja berjanjilah kalau kau akan terus hidup. Setidaknya untuk mengenangku," lirih Maya. Entah kenapa perasaan Maya terus mengatakan jika akan banyak hal berat yang akan mereka alami setelah ini. Maya juga tidak mengerti kenapa dia merasa begitu takut untuk menghadapi semuanya.
Lamunan Maya terhenti saat melihat kelopak mata dihadapannya terbuka, menampakkan sepasang iris kelam nan menawan.
"Pagi sayang," menarik tangan Maya dari kepalanya, Masumi mencium telapak tangan istrinya seraya kembali memejamkan mata.
"Aku mencintaimu," Maya mengulas senyum manis untuk Masumi.
Mata Masumi langsung terbuka begitu mendengar deklarasi cinta Maya. Masumi memiringkan tubuhnya dan membawa Maya ke dalam pelukannya.
"Hari ini kau tidak bekerja?" Tanya Maya dengan wajah masih bersandar pada dada suaminya. Berbaring dalam dekapan Masumi adalah hal yang disukainya.
"Tidak, Hijiri sudah merencanakan semuanya. Siang ini kita akan menghadiri konferensi pers di Daito," jawab Masumi santai seraya mengusap lembut punggung Maya.
"Oh," Maya bergumam lirih.
"Kau siap?" Tanya Masumi setelah keduanya diam cukup lama.
"Mau tidak mau, aku harus siap," Maya mengangkat wajahnya dan tersenyum pada Masumi, "bukan waktunya untuk takut apalagi bersembunyi," lanjutnya.
Masumi mengusap pipi Maya dengan punggung jemarinya, "Ya kau benar."
Tersenyum bersamaan, keduanya saling berbagi kekuatan. Satu keyakinan dalam hati mereka, cinta suci tidak akan pernah kalah.



***



Kasak-kusuk di gedung Daito pagi itu membuat Mizuki jengah. Sengaja dia menghentakkan high heelnya lebih keras ketika melewati koridor untuk membubarkan koloni-koloni para wanita yang sempat-sempatnya bergosip di tengah pekerjaan yang menggunung. Kekesalan Mizuki bahkan semakin berlipat ketika dia sampai di ruangannya.
"Pagi Nona Mizuki," sapaan ramah sang wakil Direktur langsung menyambutnya.
"Selamat pagi Tuan Hijiri," balas Mizuki sopan meski hatinya kesal.
"Tolong siapkan semua bahan meeting pagi ini dan tolong cek ulang persiapan konferensi pers siang nanti. Terutama masalah keamanan, Tuan Masumi tidak mau terjadi keributan. Wartawan yang diijinkan masuk hanyalah wartawan yang kita undang secara resmi," tanpa basa-basi Hijiri langsung menjabarkan tugas yang harus dilakukan Mizuki.
"Saya mengerti," Mizuki mengangguk hormat.
Membalas singkat anggukan Mizuki, Hijiri pun pergi meninggalkan ruangan Mizuki tanpa sepatah katapun.
Heran, itulah ekspresi wajah Mizuki saat ini. Sejak kemarin Mizuki melihat sang Wakil Direktur begitu dingin padanya. Bukan dirinya protes atas sikap baru sang atasan, hanya saja ... senang? Entahlah, Mizuki justru merasa ada yang kurang jika Hijiri tidak mengganggunya atau ... menggodanya.
"Apa dia marah?" Gumam Mizuki kemudian. Ingatannya memutar ulang memori sabtu lalu dimana dirinya sengaja membiarkan Hijiri berdiri di depan pintu apartemennya selama berjam-jam. Mizuki sendiri juga tidak tahu kenapa dia melakukan hal kekanakan seperti itu, menyiksa orang yang jelas-jelas menyukainya bahkan sudah menyatakan cinta padanya. Hanya saja Mizuki merasa Hijiri terlalu memaksanya, belum lagi posisi Hijiri yang kerap membuat dirinya tak berkutik. Malam itu Mizuki hanya berniat untuk sedikit memberi pelajaran tanpa bermaksud menyakitinya. Jika mau jujur, Mizuki bukannya menolak pesona seorang Hijiri, hanya saja paksaan bukanlah dasar dari hubungan yang ingin dibangunnya. Berdecih kesal, Mizuki merasa sedikit menyesal dengan perbuatannya.
"Mungkin aku harus minta maaf padanya," gumamnya lagi tanpa sadar tapi beberapa detik kemudian wajahnya kembali terlihat kesal, "kenapa aku harus minta maaf padanya?" Protesnya pada diri sendiri.
"Sudahlah, aku bisa gila kalau memikirkannya. Pekerjaanku masih banyak dan masalah Tuan Masumi lebih banyak dari sebelumnya," Mizuki mulai menggerutu pada dirinya sendiri, merasa bodoh karena sudah terlalu sentimentil memikirkan Hijiri.
Tanpa disadarinya, sepasang mata tengah menatapnya dalam binar bahagia melalui celah pintu yang belum tertutup dan senyum simpul yang tersungging manis di bibirnya. Sang pengintai itupun segera berbalik meninggalkan sang wanita pujaan yang sepertinya masih sibuk menggerutu.
"Andai kau mau jujur dengan hatimu," lirihnya seraya tersenyum makin lebar sebelum menghilang di ujung koridor menuju ruangan dengan tulisan terpampang di pintu "Wakil Direktur".

***

"Rei! Rei!"
Sang pemilik nama tersentak ketika suara bernada tinggi menyapa telinganya.
"Ah, maaf Koji," Rei menatap Koji lalu memperhatikan sekelilingnya dan baru menyadari kalau mereka tengah berhenti di lampu merah.
Pagi itu Koji yang sedang libur sengaja menjemput Rei dan mengantarnya ke studio latihan untuk pementasan drama musim gugurnya.
"Kau kenapa?" Tanya Koji yang tampak cemas melihat Rei yang sejak tadi hanya diam dengan wajah lesu, "Kau sakit?"
Rei menggeleng, "Tidak, aku baik-baik saja, hanya sedang memikirkan sesuatu," jawabnya tak bersemangat.
"Memikirkan sesuatu?" Koji mengulang lirih kalimat Rei, sejenak melirik ke arah lampu yang masih merah lalu berpaling pada Rei yang duduk di sebelahnya, "Maya?" Tebaknya kemudian.
Rei langsung mengangguk, "Aku khawatir padanya. Sejak semalam semua media memberitakannya, bahkan surat kabar pagi sudah penuh dengan berita dan fotonya."
Lampu berubah warna menjadi hijau dan Koji segera menekan pedal gas lalu melaju dengan kecepatan sedang, "Kau tenang saja, aku yakin Tuan Masumi sudah memikirkan semua ini. Dia akan baik-baik saja," ucapnya dengan mata menatap lurus jalanan di depannya.
Rei yang awalnya melihat pemandangan di luar jendela langsung menoleh pada Koji dengan kerutan di dahinya, "Kau optimis sekali? Biasanya kau yang paling khawatir jika sesuatu terjadi pada Maya."
Melirik gadis tampan disebelahnya, Koji kembali menatap ke depan seraya terkekeh, "Ya, itu dulu, saat aku berpikir bahwa Maya memang harus dilindungi. Sekarang berbeda, mau tidak mau aku harus mengakui kalau Tuan Masumi memanglah yang terbaik untuknya. Aku tidak perlu khawatir lagi karena aku yakin Tuan Masumi akan menjaga dan melindunginya."
Rei menghela napas, "Ya, kau benar, hanya aku merasa ... entahlah, aku merasa Maya tidak seharusnya mengalami semua ini. Dia terlalu baik untuk selalu mengalami hal pahit dalam hidupnya."
Mobil kembali berhenti di lampu merah dan Koji kembali menatap Rei.
"Sejak awal jalan yang dia pilih tidak pernah mudah. Maya tahu konsekuensi dari apa yang dipilihnya. Maya kuat. Jika dulu dia bisa bertahan ketika dunia akting membuangnya kenapa tidak dengan sekarang dimana justru ada orang-orang kuat berada di sekelilingnya. Tuan Masumi, Tuan Hijiri, kita, keluarga Himekawa, Tuan Kuronuma, kau pikir Maya akan sendiri?"
Rei mengulas sebuah senyum atas perkataan Koji, "Ya kau benar. Aku tahu Maya kuat tapi terkadang aku merasa tidak berguna sebagai sahabat ketika melihatnya takut lalu menangis."
"Sekarang kita tidak akan membiarkannya kan?" Koji perlahan meraih tangan Rei di atas pangkuannya lalu menggenggamnya lembut.
Rei tersentak, diperhatikannya tangan Koji yang menggenggamnya lalu kembali mengangkat wajah dan menatap sepasang mata coklat dengan kilat kesungguhan di dalamnya.
"Kita?" Rei bertanya dengan ragu pada pria yang kini tengah tersenyum padanya.
"Ya, kita. Kau mau?" Ucap Koji masih dengan senyum di wajahnya.
"Ma-maksudmu?" Rei tergagap dan tampak salah tingkah di bawah tatapan lekat Koji.
"Kau tahu maksudku Rei. Aku tahu ini terlalu cepat, hanya saja aku ingin kau tahu bagaimana perasaanku," jawab Koji lembut.
"Tapi kau kan ... ?" Rei menelan kembali pertanyaannya dan Koji mengerutkan kening melihat Rei menundukkan kepala.
Suara klakson menyentakkan keduanya dan Koji tak sempat bertanya karena harus segera menjalankan mobilnya, pembicaraan mereka membuat Koji tak menyadari kalau lampu sudah berubah hijau. Tak lama berjalan, Koji menepikan mobilnya di bahu jalan lalu kembali fokus pada gadis di sebelahnya. Gadis yang dalam waktu singkat berhasil menarik perhatiannya.
"Rei," panggil Koji dan sosok yang dipanggilpun menoleh ke arahnya, "kau tidak percaya padaku?"
"Koji, ini pertama kalinya bagiku. Belum pernah ada pemuda yang menyatakan perasaanya padaku, aku-,"
Tawa Koji seketika memotong perkataan Rei.
"Apa yang lucu?" Rei tampak tersinggung ketika Koji justru tertawa.
"Maaf, maaf, aku tidak bisa menahannya. Hanya saja aku tidak heran hal itu terjadi. Bagaimana bisa para pemuda menyatakan perasaannya padamu sementara mereka justru merasa tersaingi oleh ketampananmu dan sederet gadis selalu mengantri untuk meminta tanda tanganmu," terang Koji dan kali ini sukses membuat Rei mencebik kesal.
"Kau pikir mauku memiliki wajah seperti ini?" Protes Rei.
Koji menghentikan kekehan gelinya begitu menyadari Rei marah.
"Hei, aku tak bermaksud menyinggungmu. Maaf," ucapnya kemudian dan kembali meraih tangan Rei tapi kali ini ditepis halus oleh sang gadis.
"Kau marah?" Tanya Koji dengan nada menyesal.
"Jangan bersandiwara di depanku. Aku tahu kau masih menertawakanku," jawab Rei.
"Tidak, tidak, sungguh. Aku tidak bermaksud menertawakanmu dan aku tidak bersandiwara dengan perasaanku," Koji berusaha meyakinkan Rei tentang perasaannya.
Rei menghela napas panjang, menenangkan dirinya. Entah kenapa dia merasa kesal atas perkataan Koji padahal semua yang dikatakannya adalah fakta. Bukankah selama ini memang seperti itu. Apa dirinya kecewa karena Koji melihatnya seperti itu? Apa dia ingin Koji memandangnya berbeda.
"Kau berbeda di mataku."
Rei terkesiap mendengarnya. Curiga kalau Koji bisa membaca isi hatinya.
"Apa yang membuatku berbeda di matamu? Dan aku tidak yakin perasaanmu saat ini nyata, bukan sebuah kamuflase akibat patah hati yang kau alami beberapa hari lalu," Rei menyipitkan matanya menatap Koji tapi sang pemuda justru terkekeh senang.
"Aku tahu kau pasti akan berpikir seperti itu. Aku sudah lama patah hati karena Maya. Dia selalu menolakku. Ya, mungkin kau hadir di saat yang tepat. Maya menemukan cinta sejatinya, apa salah kalau kemudian aku juga mencari cintaku sendiri?" Koji mengerlingkan mata pada Rei yang mulai melunakkan ekspresinya, "Terlalu cepat? Entahlah, aku juga tidak bisa memilih kepada siapa aku melabuhkan hati ini. Rasa ini tiba-tiba saja muncul.”
Rei mencibir, “Konyol,” katanya seraya memalingkan wajah dan melipat kedua tangan di depan dada.
Koji tersenyum lalu kembali meraih kemudi, “Terserah apa katamu tapi aku lega sudah mengatakannya.”
Keduanya tak lagi bicara saat mobil melaju membelah jalanan ramai kota Tokyo.

***

"Tuan Besar, sudah waktunya minum obat," Asa masuk ke dalam ruang kerja Eisuke dan mendapati tuannya tengah fokus pada sebuah acara di televisi. Menggeleng pelan, Asa tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Eisuke saat ini.
"Mereka akan mengadakan konferensi pers siang ini," kata Asa kemudian seraya meletakkan nampan berisi obat ke meja.
"Hhmm," Eisuke hanya menggumam tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.
"Tuan Besar, ini obatnya," Asa mengulurkan sebuah cawan berisi beberapa pil berwarna putih dan kuning.
Tak ada kata yang terucap, Eisuke meraih cawan itu dan meminum obatnya dengan segelas air yang diulurkan Asa bergantian. Selesai dengan obatnya, Eisuke menghela napas panjang.
"Rasanya tidak ada gunanya aku meminum semua obat ini. Masumi akan membuatku mati lebih cepat," ucapnya kemudian.
"Tuan Besar jangan berkata seperti itu. Anda pasti akan selalu sehat dan panjang umur," jawab Asa penuh hormat seraya membereskan gelas dan cawan bekas obat.
Eisuke mendengus kesal, "Untuk apa? Untuk apa aku panjang umur kalau hanya untuk melihat anak yang kubesarkan sebagai pewaris menjadi seorang pembangkang dan mempermalukan nama keluarga," kata Eisuke penuh kegeraman.
Sesaat Asa terdiam menatap sang Tuan Besar, mengamati setiap ekspresi di wajah tua itu, "Kalau boleh saya berpendapat, Tuan Masumi layak mendapatkannya," katanya kemudian.
Eisuke langsung melempar pandangan tajam pada asisten setianya itu, "Apa maksudmu? Kau juga mau menentangku?"
Asa menundukkan kepala penuh hormat, "Maaf Tuan Besar, bukan itu maksud saya. Saya hanya berpikir kalau selama ini Tuan Masumi sudah cukup menuruti anda, bahkan menikah dengan Nona Takamiya sampai akhirnya Nona Takamiya sendiri yang meminta untuk bercerai-,"
"ASA!" Geram Eisuke.
"Maaf Tuan Besar, itulah kenyataannya. Tuan Masumi tidak pernah bahagia di rumah ini. Jadi sekali ini saya mohon anda untuk membiarkan Tuan Masumi memiliki kehidupannya, kebahagiannya," Asa membungkuk hormat pada Eisuke lalu pergi meninggalkan ruangan dengan membawa nampan dan membiarkan Eisuke menatap marah padanya.
"Omong kosong!" Desis Eisuke tidak setuju.

***

Lobi gedung Daito siang itu penuh dengan para wartawan yang begitu antusias menanti konferensi pers. Kasak-kusuk mereka seperti lebah berdengung yang lagi-lagi membuat kepala Mizuki sakit mendengarnya. Tim keamanan bekerja ekstra untuk menyaring para penyusup yang berusaha masuk untuk mendapatkan berita. Seperti yang diperintahkan Masumi, hanya wartawan resmi dari media besar saja yang diundang dan diijinkan masuk. Masumi tidak mau beritanya digembar-gemborkan oleh media kacangan yang hanya menjual omong kosong. Karenanya siang itu Mizuki bekerja dengan siaga penuh.
"Apa semua berjalan lancar?" Hijiri yang baru saja turun ikut mengedarkan pandangannya ke arah lobi yang penuh dengan wartawan.
"Ya Tuan, semua berjalan lancar. Apa Tuan Masumi dan Nyonya Maya sudah datang?" Mizuki balik bertanya.
Hijiri menoleh dan menatap sepasang manik yang tampak sayu, "Kau sakit?"
"Eh?!" Mizuki terkejut dengan pertanyaan Hijiri, "Ti-tidak," jawabnya gugup dan segera memalingkan wajahnya, "anda belum menjawab pertanyaan saya," Mizuki berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Sebentar lagi mereka datang. Jawab pertanyaanku Nona Mizuki, kau sakit?" Hijiri masih saja mengamati Mizuki yang kini tampak salah tingkah.
"Tidak, saya baik-baik saja. Terima kasih untuk perhatian anda. Maaf saya permisi dulu, ada yang harus saya selesaikan," Mizuki mengangguk cepat dan tanpa menatap wajah Hijiri dia bergegas pergi menemui para petugas keamanan.
Hijiri menghela napas melihat wanitanya masih saja menjaga jarak. Sungguh mendekati Mizuki bukanlah hal yang mudah. Tak heran kenapa, Hijiri tahu semua kisah masa lalu Mizuki. Bertahun-tahun bekerja sebagai mata-mata Daito membuatnya memiliki akses tanpa batas untuk bisa mendapatkan informasi.
Getar handphone memaksa Hijiri mengakhiri renungannya, melihat nama yang muncul di layar membuatnya berjalan beberapa langkah menjauh dari kerumunan.
"Hijiri, selamat siang Tuan Besar," salamnya penuh hormat.
"Temui aku setelah konferensi pers," perintah Eisuke to the point bahkan tanpa membalas salam Hijiri.
"Baik Tuan Besar," jawab Hijiri tanpa ragu.
"Datanglah bersama Tuan dan Nyonya barumu."
Hijiri terkesiap mendengarnya. Dia tahu tidak ada kata 'tidak' bagi Eisuke.
"Baik Tuan Besar," jawabnya lagi dan sambungan telepon pun segera terputus.
Hijiri menggenggam handphone erat, geram dengan permintaan Eisuke dan dia tidak bisa berkutik karenanya. Lagi-lagi handphonenya bergetar tapi hanya sebuah pesan yang masuk.

Kami sudah sampai

Mengetik pesan balasan dengan cepat, Hijiri setengah berlari menyusuri koridor. Masumi dan Maya sengaja datang melalui pintu belakang untuk menghindari keributan. Langkah Hijiri seketika melambat ketika derap langkah high heels Mizuki mengejarnya.
"Sudah sampai?" Tanya Mizuki dengan raut wajah tegang.
Hijiri mengangguk, "Ya."
Dan keduanya menyamakan langkah menuju pintu belakang.

***

Para wartawan diam seribu bahasa begitu semua kursi di panggung terisi penuh. Beberapa mengernyit heran melihat keluarga Himekawa dan Kuronuma duduk di sebelah kanan dan kiri Maya-Masumi yang duduk di tengah.
Mizuki menyampaikan beberapa hal sebelum akhirnya Masumi bicara dan membuat semua kamera juga alat rekam fokus padanya.
"Selamat siang, saya ucapkan terima kasih atas kedatangan semua rekan media. Sebelumnya kami, saya dan Nona Kitajima mohon maaf karena sudah membuat keributan di media. Bukan kami tidak mau berbagi informasi atau semacamnya, terlebih Nona Kitajima adalah publik figur, hanya saja kami ingin sedikit privasi dalam hal ini," Masumi melayangkan pandangannya ke setiap wartawan yang fokus menatapnya, seolah menebar intimidasi bahwa apa yang akan dikatakannya bukanlah sesuatu yang bisa di debat apalagi di sangkal. Kedatangan mereka tak lebih hanyalah alat untuk Masumi mempublikasikan hubungannya. Pernikahannya dan Maya bukanlah hal yang ingin di sajikan ke publik sebagai bahan gosip murahan atau sesuatu yang layak untuk dikonfrontasi.
"Dalam konferensi pers ini saya ingin mengklarifikasi pemberitaan mengenai kami," Masumi melirik Maya yang duduk tenang di sebelahnya, meski begitu dia masih bisa melihat kalau tangan Maya menggenggam gaunnya erat di atas lutut. Masumi memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih tegak dan menarik tangan kanan Maya dalam genggamannya, membawanya ke atas meja dan memperlihatkan cincin platina bertahtakan permata ungu yang indah yang bentuknya identik dengan cincin yang dikenakan Masumi. Hal ini tak luput dari perhatian para wartawan.
"Dengan ini saya mengumumkan bahwa Nona Maya Kitajima sudah resmi menjadi istri sah saya. Kami sudah menikah di Kyoto dua minggu yang lalu disaksikan oleh Keluarga Himekawa, Tuan Kuronuma, Tuan Sakurakoji juga Nona Aoki."
Langsung saja suara dengung lebah kembali terdengar di dalam ruangan konferensi dengan blitz kamera yang tak berhenti berkedip, mengabadikan setiap momen dimana Masumi masih menggenggam tangan Maya.
"Selamat siang," Maya mulai buka suara dan seketika menghentikan kasak-kusuk para wartawan, "sekali lagi saya mengucapkan terima atas kehadiran semua rekan media. Sungguh bukan maksud saya untuk menyembunyikan semua hal ini, hanya saja kami sepakat bahwa pernikahan kami adalah hal yang sakral dan kami hanya ingin menikmati moment tersebut bersama-sama orang terdekat kami. Saya minta maaf kalau ternyata hal ini justru menimbulkan pemberitaan yang simpang siur dan membuat semua fans kecewa. Tapi saya pikir meskipun saya adalah seorang publik figur, saya juga memiliki hak untuk memilih jalan hidup dan kebahagiaan saya. Saya sudah memilih Tuan Masumi-," seketika Maya merasakan genggaman di tangannya mengerat dan Maya menoleh untuk sejenak melempar senyum pada suaminya, "saya bahagia bisa menjadi istri seorang Masumi, bukan karena dia adalah pewaris Hayami atau karena dia adalah Direktur Utama Daito-," ucap Maya dengan mata masih terpaut pada sepasang manik suaminya, "tapi karena saya mencintainya."
Suasana benar-benar hening setelah penuturan Maya dan semua fokus terpusat pada Maya ketika aktris kelas satu itu tiba-tiba berdiri dan membungkuk hormat ke arah kamera. Konferensi pers mereka ditayangkan secara langsung melalui stasiun TV ternama di Tokyo.
"Saya mohon doa restu dari semua fans untuk kami. Semoga pernikahan kami bahagia selamanya. Terima kasih,"
Masih tidak ada satupun yang bereaksi meski Maya kini sudah kembali duduk di kursinya, tak terkecuali Masumi yang ikut terkejut dengan perkataan istrinya. Dia tidak menyangka kalau Maya akan bicara dan mengatakan hal seperti itu dihadapan publik. Sungguh jika tidak mengingat status dan reputasinya, Masumi pasti sudah menerjang Maya dan menghujani sang istri dengan pelukan dan kecupan sayang.
"Kami keluarga Himekawa begitu tersanjung dapat menjadi saksi di hari bahagia Tuan Masumi dan Nyonya Maya. Sungguh kami berharap kalau mereka bisa bahagia selamanya," sebuah kalimat yang meluncur dari sang sutradara ternama Himekawa langsung merubah suasana di dalam ruangan. Fokus beralih dan beberapa dari wartawan mulai sibuk angkat tangan untuk bertanya dan Mizuki mulai beraksi untuk mengendalikan acara.
"Maya berhak memilih bahagia untuk hidupnya dan kita hanya harus mendoakannya. Sebagai salah satu orang terdekatnya, tentu saya mengharapkan yang terbaik untuknya dan saya kira semua fans Maya juga demikian," kalimat bernada santai namun terkesan tegas itu dilontarkan oleh Kuronuma dan sangat membantu Mizuki untuk mengakhiri sesi tanya jawab.
Maya dan Masumi berdiri dan membungkuk hormat ke arah kamera diikuti semua yang duduk di panggung. Satu persatu mereka meninggalkan ruangan konferensi pers dan tidak memberi kesempatan pada para wartawan untuk bertanya lebih lanjut.
Masumi-Maya, keluarga Himekawa juga Kuronuma menuju ruang kerja Masumi. Mereka memasuki lift dan mengabaikan tatapan penuh tanya beberapa staf Daito yang berpapasan di koridor.
Bruk!
"Maya!" Masumi dan yang lainnya terkejut melihat Maya yang tiba-tiba merosot jatuh, terduduk di lantai begitu pintu lift tertutup.
"Kau baik-baik saja?" Masumi segera merengkuh bahu istrinya, memindai seluruh tubuh Maya dengan pandangannya, mencari bagian yang terluka.
Maya menggeleng dan tanpa canggung langsung memeluk Masumi. Segera saja suara isakan lirih menyapa pendengaran mereka.
"Sshh, tenang sayang, semua baik-baik saja," Masumi akhirnya mengerti apa yang dirasakan Maya. Ketegangan, ketakutan, tekanan akan rasa intimidasi ditambah lonjakan adrenalin karena suasana menantang saat konferensi pers membuat emosi Maya campur aduk.
Yang lain pun hanya bisa melihat dan memaklumi kondisi Maya, membiarkan saja Masumi menenangkan istrinya.
Bunyi ping keras seiiring pintu yang terbuka menyadarkan Masumi akan posisinya. Diapun segera merengkuh Maya dengan kedua lengan dan membawanya ke luar menyusul yang lain.
"Sebaiknya kami pulang, Maya butuh istirahat dan suasana yang lebih tenang," ucap Ayumi begitu keluar dari lift, bahkan belum sempat mereka masuk ke dalam kantor Masumi,. Yang lainpun mengangguk setuju dan Masumi hanya bisa mengucapkan terima kasih untuk mengiringi kepulangan mereka.
"Jaga Maya baik-baik," pesan Kuronuma sebelum akhirnya ikut pergi bersama keluarga Himekawa.
Masumi menatap sang istri yang masih menyurukkan wajah di dadanya dengan sisa isakan yang masih terdengar. Masih tetap menggendong Maya, Masumi masuk ke dalam ruangannya. Perlahan dia duduk di kursi tamu dan meletakkan Maya dalam pangkuannya. Dengan lembut diusapnya wajah sang istri yang basah oleh air mata.
"Sudah lebih tenang?" Tanya Masumi.
Maya mengangguk pelan disambut senyum menenangkan Masumi.
"Apa aku tadi terlihat bodoh?" Tanya Maya dengan suara parau seraya mengusap sudut mata dengan jemarinya.
Masumi menggeleng, "Kau hebat tadi, aku tidak menyangka kau akan mengatakan hal seperti itu," sekali lagi Masumi mengulum senyumnya.
"Benarkah? Aku tidak tahu harus melakukan apa, aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan," lanjut Maya.
Masumi terkekeh, "Itulah Maya-ku, selalu penuh kejutan."
"Aku tidak mau hanya berpangku tangan melihatmu memperjuangkan semuanya." Kata Maya, dilingkarkannya kedua tangan mungil itu di leher Masumi, memiringkan kepala, Maya mengecup lembut bibir sang suami, membuat keduanya sama-sama memejamkan mata.
Masumi membiarkan saja istrinya melakukan apa yang diinginkannya, bahkan ketika Maya semakin memperdalam ciumannya, Masumi dengan sukarela membuka kedua belah bibirnya.
Maya mulai menggeliat di atas pangkuan Masumi, menyamankan posisinya tanpa melepas pagutannya. Maya mulai melupakan dimana dirinya berada dan apa yang baru saja terjadi, dirinya hanya ingin menikmati kebersamaannya bersama sang suami. Tangan Maya mencengkram lembut rambut di tengkuk Masumi ketika suaminya itu balas mengulum lembut bibirnya. Masumi sendiri mulai lepas kendali, tangannya mulai bergerak membelai setiap inchi tubuh istrinya hingga meremas lembut beberapa bagian tubuh yang sudah dihapalnya merupakan titik sensitif tubuh Maya.
"Ahh," Maya memekik pelan dan menarik bibirnya dari pagutan Masumi kala tangan sang suami dengan nakal menyelinap masuk ke dalam gaunnya dan membelai bagian dalam bawah tubuhnya.
Wajah Maya merona hebat dengan napas tersengal sementara Masumi menyeringai senang menatap ekspresi terkejut Maya.
"Kau membuatku hilang akal," ucap Masumi dengan suara yang mulai terdengar berat.
Maya justru tersenyum mendengarnya.
"Jangan menggodaku atau aku tidak akan menahan diri lagi," Masumi melayangkan ancamannya ketika Maya justru tampak senang dengan apa yang dilakukannya. Dibawah gaun satin Maya, jemari Masumi terus memberikan belaian.
Maya justru mengecup bagian bawah telinga Masumi dan berbisik lembut padanya, "Aku tidak memintamu menahan diri Tuan Hayami. Buat aku melupakan semua ini walau hanya sesaat."
Seringai Masumi makin lebar begitu Maya mendaratkan beberapa kecupan di garis rahangnya.
"Kau mulai nakal Nyonya Hayami," suara Masumi semakin berat, tubuhnya dengan nyaman bersandar pada sofa dan membiarkan Maya memanjanya.
Maya menahan kekehan gelinya dan masih menjalankan aksinya, "Kau yang mengajariku Tuan Hayami."
Masumi tertawa lalu tak menahan diri lagi, segera saja dipagutnya lagi bibir istrinya, melumat lembut bibir mungil berwarna merah muda itu. Maya merasa sesuatu mulai terbakar di dalam dirinya ketika Masumi mulai membelai lembut kulit tubuhnya di bawah gaun berwarna peach yang dikenakannya.
"Ma-aahhh," Maya gagal mengucap nama suaminya saat Masumi tiba-tiba menghisap kuat bahu kanannya yang polos. Kembali seringai kemenangan menghiasi wajah tampan Masumi.
Dan siang itu Masumi memenuhi permintaan Maya untuk membuatnya lupa akan apa yang baru saja terjadi.


***


Masumi baru saja membaringkan Maya di sofa panjang dan menyelimutinya dengan jas yang dikenakannya, melihat jejak air mata yang masih tersisa sekaligus senyum tipis yang tampak meski samar di bibir mungil istrinya.
"Maaf, jika karenaku kau selalu mengalami hal yang berat. Aku berjanji sayang, aku akan selalu menjaga dan melindungimu," lirih Masumi seiring kecupan lembut di pelipis Maya.
Beranjak dari sisi Maya, Masumi merapikan kembali kemejanya yang 'sedikit' kusut juga dasinya yang longgar. Dalam hati dia terbahak juga dengan apa yang baru saja terjadi. Siapa yang menyangka kalau istri imut dan polosnya itu akan meminta hal 'istimewa' untuk melepaskan emosinya, ya meski Masumi juga tidak keberatan karena faktanya hal itu juga membantunya lebih rilek dan tentunya bahagia.
Baru saja Masumi membuka laptop untuk memeriksa beberapa pekerjaan, suara ketukan pintu membuatnya mengalihkan perhatian.
"Masuk," seru Masumi, sejenak melirik ke arah istrinya yang masih terlelap, Masumi melihat Hijiri masuk dengan raut wajah datarnya.
"Maaf mengganggu istirahat anda dan Nyonya," Hijiri mengangguk hormat seperti kebiasaannya saat bertemu Masumi.
"Tidak apa-apa, ada apa?" Tanya Masumi yang bisa mencium masalah dari tatapan mata Hijiri.
"Semua pemberitaan tentang anda dan Nyonya sudah diatur. Tidak akan ada pemberitaan negatif tentang Nyonya Maya," lapor Hijiri.
Masumi mengangguk dengan eskpresi puas, lagi-lagi melirik ke arah istrinya yang tampak damai tak terusik, rupanya Maya benar-benar dibuat kelelahan olehnya.
"Bagus, ada masalah lain?" Tanya Masumi lagi.
Hijiri mengangguk, "Tuan Besar meminta saya untuk menemuinya bersama dengan anda dan juga Nyonya."
Seketika ekspresi Masumi mengeras, "Tepat seperti dugaanku. Ayah bereaksi lebih cepat daripada keluarga Takamiya," Masumi beranjak dari kursinya lalu berjalan ke arah sofa dimana Maya masih terlelap, sedikit merapikan jasnya yang hampir jatuh.
"Siapkan semuanya sore ini, pastikan Masato dan Nona Midori siaga untuk Maya," perintah Masumi.
"Baik Tuan," Hijiri berbalik dan segera meninggalkan ruangan.
"Sebentar lagi badai akan datang," gumam Masumi seraya memandang ke luar jendela, menatap luasnya langit musim panas.

***
>>Bersambung<<

Post a Comment

17 Comments

  1. Ini baru separo ya, lanjutannya senin ya...da ga sempet mau ngerjainnya, masih banyak kerjaan n besok juga ada acara. Monggo ya mau baca, moga suka :D

    ReplyDelete
  2. Sipp...diam tenang blm menunjukkan gejala perlawanan....smg siori tenang di alam pikirannyaa.
    😁😁😁

    ReplyDelete
  3. Asyiiiiikkk
    Baby MM
    Can't wait till Monday nih 😍
    Makasih c Agnes cantique 😘

    ReplyDelete
  4. As I expected from you! It's a beautiful story. Well done! 👏👏👏
    The way you convey the details is exceptional, no details overlooked. I adore it! 👍
    Great job, Agnes! Love you tons! 😘

    ReplyDelete
  5. Wkwkwkkwk suka banget nehba agnes
    Masumi mesuuuuuummmm, perjuangan maya msh panjang sepanjang cerita sebenarnya hhhhhmmmmmmmm
    Jempol bwt mba agnes

    ReplyDelete
  6. Rey & koji? boleh lah..👍
    Maya kecil atau masumi kecil? Harus itu. 👪

    ReplyDelete
  7. Suka banget liat kemesraan Maya ma Masumi. Semoga nanti mrk kuat ya, badai sebentar lg bakal melanda nih.

    Hijiri na Mizuki jg banyakin y mbak. Seruuuu

    ReplyDelete
  8. Mbak Agnes bagus banget nih tapi lebih bagus lagi kalo ceritanya ini nanti sampai box bayinya terisi beneran yaa... Ga mau tau pokoknya harus.... Maksaaa.. Wakakak

    ReplyDelete
  9. salut sist sampe kepikiran bwt jodohin koji sama rei. menurutku juga koji kurang serasi ya kalo sama mai. sepuluh jempol bwt kang mas masumi yg mau membuka hubungannya sama maya ke publik. duh semoga ga dikasi cobaan yg berat2 lagi ya.. thanks a lot sist agneessa....

    ReplyDelete
  10. Aku telat dua hari...tp syukur lah jd ga kelamaan nunggu ke senin... moga ga meleset...hahahaa.... four thumb up

    ReplyDelete
  11. Dah lanjut ya....kalo kurang panjang ya sabar aja buat lanjutannya...makin banyak komen makin cepat apdet nih, wkwkkwkwkk....met baca :D

    ReplyDelete
  12. Woohoo, Asa keren euy. Mengharapkan asa yg terbaik buat Masumi. Sesuai namanya euy, Asa! 👏👏👏

    ReplyDelete
  13. Aslinya kurang panjang sis....dibanding penantian yg lumayan panjang dr chap 8 kemarin... wkwkwkwkwwk.. sepertinya sist agnes mau mulai banting" emosi qta nih diliat dr alurnya....😌😌😌... ditunggu update nya lagiiiiiiiiii...😘😘😘

    ReplyDelete
  14. Masih kurang sist...ayo dilanjut , jgn lama2 ya keburu tuir ��

    ReplyDelete
  15. Ya ampunnn mba agnes aq jd maluuuu...tp kurang ya hahahaha
    eisuke mo ngapain yaa

    ReplyDelete
  16. Pagi pagi dah panaaaas, ternyata Maya berani juga main di luar wkwkwk.

    Siap siap menantang badai nih.

    ReplyDelete
  17. Hidup ini kadang tidak seindah cerita... Haha... #ngarep. Btw bgs kak cerita ny... Alhasil aku bc ny dini hari... Krn syndrom masumi akut haha... Gak kebayang tuh ko_rei gmn nti ny... M shiori pasti dgn hasrat kebodohan ny memunculkan aksi jahat ny lg. N eisuke entah apa yg diharapkan ny lg pdhal bkn kah bid merah yg terpenting buat ny. Hrs ny dia happy dunk yakkk,??? Sekian n trims...

    ReplyDelete