Pure Love - Chapter 3

Setting : Maya 22 thn dan Masumi 33 thn
Warning : Jauhkan barang pecah belah di sekeliling anda saat membaca! :p



Alunan musik klasik terdengar merdu mengisi ruang dengar ballroom hotel bintang lima di pusat kota Tokyo. Di pintu masuk terpajang foto prewedding dengan rangkaian bunga cantik bertuliskan 'Pernikahan Peter Hamill dan Ayumi Himekawa'. Melihat siapa tuan rumah pesta besar itu, tidak heran jika ballroom hotel kini dipenuhi oleh jajaran tamu kelas atas. Elegan dan menawan, sungguh pesta yang pantas untuk putri cantik seperti Ayumi dan pangeran tampan bernama Peter Hamill.
Puluhan tamu yang datang tampak menyunggingkan senyum penuh pesona mereka akan megahnya pesta dan menawannya sang pengantin. Tidak terkecuali untuk sepasang tamu yang bahkan di pesta milik orang lain masih menjadi bintang dan hampir saja mengalahkan pesona pasangan pengantinnya. Siapa lagi kalau bukan pasangan Hayami. Pangeran Daito dan Putri Takatsu, sungguh perpaduan yang sempurna.
Malam itu, Masumi tampak sempurna dengan topeng pangerannya dan Shiori juga sukses dengan kemampuan akting kelas atasnya yang tak banyak diketahui orang, selain Masumi pastinya. Suaminya itu jelas tahu betapa hebatnya istri cantiknya itu dalam berakting. Shiori bahkan sanggup membuat hidup seorang Masumi hancur berantakan karena aktingnya.
Terlalu naif sebenarnya kalau menyalahkan Shiori sepenuhnya karena dalam hati Masumi juga menyadari kalau kepengecutannya juga turut andil dalam kehancuran hidupnya. Namun nasi sudah menjadi bubur, tidak ada yang bisa memutar waktu. Yang harus dilakukan sekarang hanyalah menjalani semuanya sebaik mungkin, memastikan hidupnya tidak lebih hancur lagi meski luka dihatinya tidak akan pernah terobati sampai kapanpun.
Shiori tengah menebar senyum penuh pesonanya kepada para tamu yang kini tengah beramah tamah dengannya dan Masumi. Tangannya melingkar mesra di lengan suaminya dan menunjukkan pada dunia bahwa Masumi adalah miliknya, garis bawahi, miliknya.
Sambil menyelam minum air? Tentu saja, Shiori tidak bodoh hingga dia tidak bisa memanfaatkan kesempatan yang ada untuk bisa menyentuh suaminya. Memamerkan kemesraan yang tidak pernah bisa dilakukannya saat mereka hanya berdua. Ironis memang tapi Shiori tak peduli, baginya selama status Nyonya Hayami masih disandangnya maka dia masih memiliki kesempatan untuk mendapatkan hati Masumi.
Satu persen, bahkan jika kesempatan itu hanya satu persen, Shiori akan tetap memperjuangkannya. Shiori hampir terbahak dengan pemikirannya sendiri, tidak percaya kalau sekarang dirinya menggunakan cara pikir seorang 'Maya' untuk memperjuangkan apa yang menjadi haknya. 'Maya' yang sebenarnya justru menjadi penghalang terbesar bagi hubungan mereka.
Seorang pelayan menghampiri Shiori dan Masumi begitu kedua tamu yang tadi mengobrol dengan mereka pergi, menawarkan untuk mengganti gelas tinggi mereka yang sekarang kosong dengan gelas baru yang berisi dengan cairan pink pucat beroma mawar segar.
Shiori mengambil satu gelas tapi alih-alih menyesapnya sendiri, dia justru memberikannya pada Masumi yang langsung ditanggapi dengan tautan alis sang suami yang berkerut penuh tanda tanya, jengah dengan perlakuan manis istrinya sepanjang pesta.
"Kau mau menolak istrimu sendiri di depan orang banyak Masumi?" Mulut Shiori kembali melempar sarkasmenya ketika Masumi tak kunjung menyambut gelas wine di tangan Shiori.
"Jangan coba mengancamku Shiori." Masumi memperingatkan. Nada suaranya lirih tapi jelas terdengar kekesalan didalamnya.
"Oh, aku tidak akan berani Tuan Hayami. Hanya melaksanakan tugas istri yang baik untuk melayani suaminya. Apa salah?"
Oke, pukulan telak untuk Masumi tapi sang suami berusaha untuk mengabaikannya. Shiori menyeringai tipis seraya melengkungkan alisnya, membuat wajah cantiknya menampakkan sisi asli dari seorang Shiori. Mau tak mau Masumi meraih gelas dari Shiori dan menyesap wine segar di dalamnya. Tapi sepertinya kekesalan Masumi sudah mengaburkan kenikmatan minuman cantik yang dipegangnya. Hambar.
Dengan penuh kebanggaan, Shiori mengeratkan pelukannya di lengan Masumi bahkan menyandarkan sisi wajahnya di sana, menikmati kenyamanan yang tidak pernah di dapatnya bahkan di kamar tidur mereka.
"Sepertinya aku harus meminta Mizuki untuk lebih banyak mengatur jadwal pesta untukmu sayang. Aku mulai menyukai pesta," kata Shiori ambigu.
Masumi tak berekspresi mendengarnya, membiarkan istrinya berimajinasi sendiri. Hati Masumi sedang gelisah dan dia tidak suka Shiori semakin membuatnya tak nyaman dengan sikap manjanya yang di ekspos ke muka umum. Dapat dipastikan kalau besok pagi namanya dan istrinya akan mendapat tempat di surat kabar pagi.
"Apa kau mencarinya Masumi? Alasan kenapa kau terlihat tidak tenang saat bersamaku?"
Masumi terdiam. Sekali lagi pertanyaan Shiori tepat pada sasarannya. Ya, Masumi gelisah menunggu Maya. Dia tahu gadisnya pasti datang. Ayumi adalah teman sekaligus rivalnya. Hanya saja...hati Masumi sepertinya tidak siap melihat kedatangan Maya. Kenapa?
Tidak perlu tanya alasannya. Wajah Masumi segera mengeras begitu manik matanya menangkap sosok gadis cantik yang baru saja masuk ke ballroom dan disebelahnya -sialnya adalah sumber dari kegelisahan Masumi- berdiri seorang pemuda tampan dengan balutan jas putih, Yuu Sakurakoji.
Maya tampak begitu anggun dengan balutan gaun putih panjang dengan hiasan renda yang menutupi bahu dan lengannya. Rambutnya di gelung rapi dengan hiasan mutiara yang berwarna senada dengan gaunnya. Tidak perlu make-up tebal untuk menampakkan kecantikan seorang Maya, hanya dengan tersenyum Maya sanggup menampakkan pesona dirinya. Jangan samakan Maya dengan gadis mungil lugu beberapa tahun yang lalu. Maya yang sekarang adalah aktris kelas satu yang sudah dibimbing dengan baik oleh manajemen Daito dan menjelma menjadi seorang putrid yang cantik –ya, meski terkadang masih juga ceroboh-. Malam itu, Maya tampil begitu serasi dengan pasangan disebelahnya. Apa mereka sekarang adalah sepasang kekasih? Jawabannya tetap tidak -dicetak dengan huruf tebal-. Koji sengaja menghadiahi Maya gaun putih yang sudah disesuaikan dengan setelan formalnya. Jadi ini bisa dibilang adalah salah satu usaha Koji untuk menaklukkan hati Maya.
Desahan napas berat Masumi membuat Shiori sadar suaminya tengah menahan marah. Tentu wanita itu tidak heran karena dia juga tahu siapa tamu yang baru saja datang dan langsung merebut seluruh perhatian Masumi darinya.
***

"Terima kasih Maya, Koji. Aku senang kalian berdua datang," kata Ayumi setelah Maya dan Koji mengucapkan selamat atas pernikahannya.
"Kau temanku dan ini adalah hari bahagiamu, tentu aku datang," jawab Maya seraya menyunggingkan senyum manisnya.
"Kalian berdua terlihat serasi," goda Ayumi dan sontak Maya salah tingkah dibuatnya. Koji terkekeh senang dengan pujian Ayumi bahkan Hamill yang tidak begitu lancar berbahasa Jepang pun jadi ikut menggoda Koji dan Maya.
Tidak tega melihat Maya yang tampaknya sudah tidak nyaman dengan godaan Ayumi dan Hamill, Koji pun mohon diri pada pasangan pengantin agar bisa menikmati pesta dengan sekali lagi mengucapkan selamat. Koji dan Maya pun berbaur dengan tamu lainnya.
"Terima kasih," ucap Maya ketika Koji mengulurkan segelas koktail. Keduanya baru saja selesai beramah tamah dengan beberapa tamu.
"Sejak tadi ku perhatikan kau gelisah Maya," kata Koji.
"Eh?! Gelisah?" Terlihat ya? Ugh, kenapa aku tidak bisa berakting dengan baik!
Koji hanya tersenyum tipis seraya menyesap anggur dari gelas tingginya. Maya tidak pandai berakting di luar panggung, dia tahu itu. Dia juga tahu Maya tidak bisa menjawab pertanyaannya.
"Apa aku membuatmu tidak nyaman?" Tanya Koji.
"Ah, tidak," jawab Maya cepat.
"Lalu?"
Maya kembali terdiam. Dia tidak mungkin menceritakan kegelisahannya pada Koji, alasan mengapa dirinya tidak tenang dan ingin segera pulang.
"Kau tidak nyaman karena banyak orang bicara tentang kita? Mengatakan kita serasi. Atau kau marah padaku karena memilih gaunmu dengan memaksakan keinginanku di dalamnya?" Koji mencoba membuat Maya bicara.
Maya mengulas sebuah senyum tipis lalu menggeleng.
"Aku minta maaf Maya kalau-,"
"Tidak Koji, bukan salahmu. Aku tidak apa-apa." Potong Maya cepat. Dia tidak mau terlibat pembicaraan yang lebih dalam dengan Koji. Bukan salah Koji kalau malam ini dirinya merasa gelisah. Maya merasa tidak tenang karena takut bertemu dengan seseorang yang sebenarnya sangat dia rindukan. Tentu tidak perlu bertanya siapa karena hanya satu orang yang bisa membuat Maya tergila-gila hingga rasanya dia ingin melanggar semua norma dan etika agar bisa bersama dengannya.
"Hei," lirih Koji seraya mengusap lembut lengan Maya. Membuat Maya menghentikan lamunan panjangnya, "apa kau butuh waktu untuk sendiri?" Tanya Koji kemudian. Tangannya mengambil gelas kosong di tangan Maya, mempertegas bahwa dirinya mengijinkan Maya menenangkan diri dari semua -yang entah apa itu- yang sedang dipikirkan Maya.
Maya menghela napas panjang dan mengangguk, "Terima kasih Koji."
Dan Koji hanya bisa menatap Maya yang berlalu pergi.
Salahkah jika aku masih berharap ada ruang untukku dihatimu Maya? Aku tahu...kau masih memikirkannya.
***

Langkah kaki kecil menggiring Maya keluar dari ballroom hotel dan menyepi ke sebuah taman. Maya memang merasa dirinya tidak pernah cocok dengan suasana pesta. Seberubah apapun dirinya, kemewahan bukanlah hal yang biasa untuknya.
Menghela napas panjang, Maya menyandarkan dirinya pada sebatang pohon besar di tepi kolam. Temaram lampu taman membuat suasana semakin terlihat sendu, bahkan langit juga terlihat kosong tanpa kerlap-kerlip bintang dan sinar bulan tertutup arak-arakan awan kelabu. Maya bersyukur jika di dalam tadi dia tidak bertemu dengan Masumi. Masih begitu berat baginya untuk bisa melihat Masumi bersanding dengan Shiori. Sekuat apapun dirinya mencoba, hatinya tetap saja terluka jika melihat Nyonya Muda itu bermanja pada suaminya. Tidak sekali dua kali dia melihat foto kemesraan pasangan suami istri itu diumbar di media cetak. Perih.
Kenapa rasanya hidupku semakin hampa? Apakah aku akan menghabiskan sisa hidupku dengan perasaan hancur seperti ini? Masumi…andai boleh memilih, mungkin aku lebih baik mati daripada harus terus meratapi kesedihanku….
“Maya,”
Maya seketika menegakkan tubuhnya. Telinganya tidak mungkin salah mengenali suara yang baru saja di dengarnya tapi rasanya Maya tidak memiliki keberanian untuk membalikkan tubuhnya.
“Maya,” panggil suara itu lagi, lirih.
Kedua tangan Maya terkepal di depan dadanya, menahan sesak.
Sebuah sentuhan lembut di bahu membuat Maya berjenggit. Mau tak mau dia berbalik dan matanya langsung menampakkan luka begitu melihat sosok pria yang kini tengah berdiri di hadapannya.
Ah, Masumi….
Keheningan menyela diantara keduanya. Maya dan Masumi sama-sama tidak tahu harus berkata apa.
“Apa kabar Maya?” tanya Masumi yang akhirnya jengah karena hanya bisa terpaku memandangi gadisnya. Dia tahu ini salah tapi hatinya begitu merindukan Maya. Akal sehatnya mengabur begitu dia melihat Maya berjalan sendiri meninggalkan ballroom.
“Ba, baik,” jawab Maya terbata seraya menundukkan kepalanya. Dia tahu akal sehatnya akan hilang jika terus memandang Masumi, apalagi pria yang ada di depannya itu kini sendiri.
“Kenapa Maya? Apa kau sangat membenciku sampai tidak mau melihat wajahku lagi?” tanya Masumi. Kakinya kembali melangkah dan memperkecil jarak diantara mereka.
Membenci? Ahh, aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku memiliki perasaan itu padanya. Rasanya hatiku sudah terlalu penuh dengan cinta sampai melupakan semua kebencianku padanya.
“Hei,” dengan lembut Masumi meraih dagu Maya dan membuat mata bulat gadis itu memandangnya.
Lama, Maya dan Masumi hanya terdiam dan saling memandang. Keduanya bergeming, rasa takut merayapi hati keduanya. Seolah ketika salah satu dari mereka memejamkan mata maka segalanya akan menghilang dan menyisakan kesendirian yang menyakitkan.
Entah mendapat keberanian dari mana, di ambang sadarnya, Masumi mendekatkan wajahnya pada Maya, meniadakan jarak diantara mereka. Lembut, perasaan itulah yang dirasakan oleh keduanya ketika bibir mereka bertemu. Menyampaikan setiap rasa yang tak terucap dan mengirimkan setiap getar hati yang mereka rasakan. Logika Masumi semakin mengabur ketika tak dirasakannya penolakan dari Maya, bahkan gadisnya kini terpejam dan menikmati kehangatan yang terjalin diantara keduanya.
Masumi membelai wajah gadisnya dan menjalankan jemarinya di sepanjang garis rahang Maya hingga tangannya berakhir di tengkuk gadis itu dan meremasnya lembut. Mendorongnya perlahan untuk memperdalam ciuman mereka.
“Ngghh,” Maya melenguh lirih ketika lidah Masumi mendesaknya untuk meminta akses lebih, mengklaim bahwa bibir mungil itu adalah milik Masumi seorang.
Tapi khayalan tak pernah seindah kenyataan. Lenguhan Maya justru menampar dirinya sendiri. Melemparkan kenyataan pahit yang ada di depan matanya.
Salah! Ini salah! Maya menjerit di dalam kepalanya.
Plak!
Masumi terkejut dan merasa dirinya bermimpi saat telapak tangan mungil itu menyentuh dengan keras kulit wajahnya. Maya menamparnya? Tak menyalahkannya, dalam hati Masumi merutuki dirinya sendiri yang lepas kendali.
"Apa maksud anda?" lirih Maya dengan bibir bergetar dan uraian air mata. Sekuat tenaga Maya masih berusaha untuk bisa menjaga sikapnya, semarah apapun dia pada pria yang ada dihadapannya kini, Maya tak pernah sanggup untuk memakinya. Tak menyalahkan Masumi sepenuhnya dengan apa yang baru saja terjadi tapi tetap saja Maya merasa bahwa semua adalah kesalahan.
Masumi terdiam.
"Apa hak anda melakukan hal itu pada saya Tuan Hayami?" kali ini suara Maya lebih tegas, menuntut sebuah jawaban alih-alih tatapan mata penuh penyesalan.
Perih, Masumi meringis sakit dalam hati. Bahkan sekarang Maya tidak memanggil namanya. 'Tuan Hayami', rasanya Masumi semakin membenci nama keluarga yang membuat hidupnya terkekang sampai saat ini. Nama itu selalu saja membuatnya sesak, tak bisa bernapas.
"Jawab Tuan Hayami? Tidakkah semuanya sudah jelas? Anda dan saya? Jangan biarkan saya berharap lagi Tuan Hayami...," Maya mundur dua langkah, semakin terisak, "saya mohon...jangan...," kepala Maya menggeleng lemah menegaskan perkataannya.
Masumi hanya bisa terpaku saat akhirnya Maya berbalik dan berlari meninggalkannya.
Bug! Emosi Masumi terlampiaskan pada pohon besar disebelahnya, kulit tangannya memerah, mengelupas tapi tidak ada rasa sakit disana. Hatinya sudah merenggut rasa sakit di seluruh tubuhnya.
"Kau menyakitinya lagi Masumi....bodoh!" desisnya marah pada dirinya sendiri dan matanya menatap kosong pada kerlip lampu taman yang sekarang sama sekali tidak terlihat indah di matanya.
Dan keduanya sama sekali tidak menyadari kalau ada dua orang lainnya yang melihat kemesraan mereka dari tempat yang berbeda.
***

“Dasar wanita jalang!” maki Shiori di dalam kamarnya. Dia baru saja kembali dari pesta dan Masumi justru memilih untuk melenggang ke ruang kerjanya daripada menemani istrinya di dalam kamar. Kemarahan Shiori semakin memuncak ketika dirinya membayangkan suaminya kini tengah memutar ulang memori ‘kemesraan terlarangnya’ bersama mantan kekasihnya.
Fakta bahwa Maya akhirnya menampar Masumi masih belum cukup membuat Shiori tenang. Baginya selama Maya masih hidup maka Masumi tidak akan pernah menjadi miliknya. Maya sudah menawan jiwa dan hati Masumi tanpa menyisakan sedikitpun untuknya, bahkan keberadaan tubuhnya di sisi Masumi tak lebih dari sekedar pajangan yang hanya bisa dilihat tanpa pernah disentuh.
Malam ini, rasanya kesabaran Shiori sudah sampai pada puncaknya. Dia tidak rela terus diabaikan oleh suaminya sendiri. Beragam rencana muncul di dalam kepalanya.
Jangan panggil aku Shiori kalau aku tidak bisa mendapatkanmu Masumi!
Dan dengan kemarahan menguasai hatinya Shiori mulai mempersiapkan rencana awalnya.
***

Masumi tertegun ketika kembali ke kamarnya. Kosong. Padahal jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari dan biasanya istrinya sudah terlelap.
Mungkin Shiori sedang bersama Takigawa, pikir Masumi yang akhirnya memilih untuk membersihkan dirinya.
“Shiori?” Masumi mengernyit heran begitu keluar dari kamar mandi dan melihat istrinya duduk di sofa panjang kamar mereka dengan posisi yang, ehm, menggoda. Tak hanya itu, Shiori juga mengenakan lingerie pendek terbaiknya malam itu sehingga setiap lekuk tubuh indahnya terekspos dengan sempurna. Nyonya Hayami yang masih begitu marah di dalam hatinya itu menyesap sebuah anggur dari gelas tinggi yang di genggam anggun di antara jemarinya.
Masumi bergeming di tempatnya dengan mata masih mengamati setiap gerakan Shiori yang kini tengah berjalan ke arahnya.
“Kau mabuk?” tanya Masumi datar, “Kau tahu kalau alkohol tidak baik untuk kesehatanmu, Shiori?”
Shiori yang sekarang sudah berdiri di depan Masumi terkekeh. Seolah apa yang dikatakan suaminya itu adalah sebuah lelucon.
“Ayolah Masumi, jangan perlakukan aku seperti anak-anak. Sudah cukup kau mengabaikanku, tidak bisakah kau memberikan kehangatan padaku malam ini?” Shiori merapatkan dirinya dan melingkarkan satu lengannya ke leher Masumi, memaksa untuk memeluknya.
“Shiori hentikan,” Masumi menarik lengan Shiori yang melingkarinya dan mengambil jarak dari wanita yang sekarang tampak tidak sadar dengan apa yang dilakukannya.
“Kenapa Masumi? Apa aku sebegitu menjijikkannya bagimu sampai kau tidak mau menyentuhku?” Shiori kembali mendekat tapi reflek kaki Masumi mundur dan itu kembali menyulut kemaahan Shiori.
“Brengsek kau Masumi!” makinya keras, “Kau memandang jijik padaku tapi kau mencium gadis itu dengan penuh nafsu! Kau menginginkannya kan?! Kau ditampar olehnya tapi kau masih saja mengharapkannya! Aku tidak menyangka kau serendah itu Masumi! Kau SUAMIKU! INGAT ITU!” raung Shiori penuh emosi.
Masumi terhenyak dalam kebisuannya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Shiori melihat semuanya. Meski begitu dia tidak marah pada apa yang diucapkan oleh istrinya.
“Kenapa kau diam Masumi?”
Langkah Shiori mulai goyang, mau tak mau Masumi meraih pinggul istrinya sebelum wanita itu benar-benar terjatuh. Aroma manis anggur langsung kuat tercium oleh Masumi, entah sudah berapa banyak istrinya itu minum.
“Sebaiknya kau istirahat, Shiori,” Masumi akhirnya memapah Shiori ke tempat tidur mereka.
Shiori sambil terus marah dan sesekali terkekeh karena makiannya sendiri hanya bisa menurut saat Masumi membawanya.
“Setidaknya temani aku minum Masumi,” ucap Shiori seraya mengulurkan gelasnya dan duduk di tepi tempat tidur.
Ya, ada baiknya aku habiskan anggur ini sebelum Shiori yang menghabiskannya.
Masumi meraih gelas dari tangan Shiori dan meneguk habis anggur di dalamnya. Dia meletakkan gelas di atas nakas dan tidak memperhatikan ketika Shiori menyeringai tipis ke arahnya. Shiori tiba-tiba berdiri di depan Masumi ketika suaminya itu berbalik.
"Shi...ori?!" Masumi terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Dengan penuh percaya diri, Shiori menyentakkan kedua tali lingerienya yang terikat di bahu. Membuat kain tipis nan indah itu meluncur turun dan jatuh di kakinya, menampakkan tubuh polos menawan tanpa cela. Masumi menelan ludah perlahan atas pemandangan yang tersaji di hadapannya. Tentu saja, Masumi pria normal. Dengan napas tertahan Masumi menggeleng, menyingkirkan pemikiran gila yang melintas sekaligus mengumpulkan kontrol dirinya yang hampir berserak. Tanpa sadar Masumi mundur satu langkah, menjauh dari istrinya, menghindarkannya dari hal yang tidak diinginkannya. Semenarik apapun godaan yang ada di depannya, Masumi masih berusaha untuk kuat. Hatinya tidak terbagi dan dia juga tidak berniat membagi tubuhnya meski itu untuk seorang Shiori yang pada kenyataannya adalah istrinya sendiri, wanita yang berhak atas dirinya.
"Kau yakin tidak menginginkanku sayang?" Goda Shiori dengan suara penuh rayu.
"Hentikan Shiori, ini hanya akan menyakitimu. Aku tidak mencintaimu," jawab Masumi datar, masih berusaha mempertahankan kesadaran dirinya, menahan matanya untuk tidak menjelajah setiap lekuk tubuh yang menggodanya.
Shiori tertawa dengan nada sarkastik, "Kau bisa mencium gadis itu dengan segala gairahmu, kenapa tidak denganku? Kau tahu, aku tidak peduli lagi kau mencintaiku atau tidak. Aku hanya ingin kau menjadi milikku, hanya milikku." Ujarnya diiringi dengan seringai tipis yang menghias bibir merah jambunya.
"Aku mencintai Maya. Dulu, sekarang dan sampai kapanpun hal itu tidak akan berubah. Aku sudah mengatakan hal itu berkali-kali padamu, resiko dari pernikahan kita. Sekarang kau mengeluh dan menuntut hakmu? Kau boleh bilang aku kejam Shiori tapi aku tidak akan menghianati Mayaku," jelas Masumi tanpa ragu. Matanya terpaku lurus pada sepasang mata penuh luka di hadapannya. Ya, sekali lagi Masumi melukai Shiori tapi tidak ada kata kompromi bagi Masumi dalam hal ini. Tidak!
Anehnya, Shiori justru tersenyum senang dengan perkataan Masumi. Suaminya itu mulai merasakan ada sesuatu yang aneh.
"Apa? A-apa yang kau lakukan Shiori?" Tanya Masumi gugup.
Shiori tertawa senang, "Aku ingin lihat, apa kau bisa menahannya Masumi? Sekuat apa cintamu itu."
Masumi merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, sesuatu seperti bergerak di dalam dirinya. Rasa hangat yang kemudian berubah menjadi panas, membuat sebuah dorongan aneh dan membuatnya...akh...!
Menyadari sesuatu, Masumi mengumpat keras seraya berpaling pada gelas kosong di atas nakas.
"Ka-kau...kau gila Shiori!" Masumi kembali mundur beberapa langkah hingga kakinya terantuk pada nakas. Ruang geraknya semakin kecil saat Shiori justru maju dan menghilangkan jarak diantara mereka. Menyandarkan tubuh polosnya dan melingkarkan lengannya di kedua pinggang kekar suaminya.
Shiori memuaskan dirinya dengan mencium aroma segar suaminya yang baru saja mandi. Aroma yang mampu menyerakkan kesadarannya. Masumi terpaku, berusaha menahan hasrat tertahannya dengan napas yang memburu. Sentuhan Shiori pada tubuhnya membuat kepalanya seakan berputar.
"Kau-gila-Shiori," lirih Masumi yang masih berusaha untuk tetap sadar.
"Bukankah ini ide yang bagus Masumi. Kau sudah merasakannya? Kau ingin memilikiku? Lakukan Masumi, jadikan aku milikmu. Kita penuhi keinginan keluarga kita yang menginginkan keturunan,"
Shiori menyapukan bibirnya di dada bidang Masumi yang masih tertutup piyama satin. Kecupan-kecupan kecil ternyata cukup mempengaruhi Masumi yang sepertinya semakin hilang kesadaran akibat anggur yang diminumnya. Anggur? Ya, sebenarnya tidak ada yang salah dengan anggurnya. Masumi memiliki toleransi tinggi terhadap alkohol dan satu gelas anggur tidak akan membuatnya mabuk. Tapi siapa yang bisa menahan efek dari obat perangsang dosis tinggi?
Sebut saja Shiori memang gila namun apa yang bisa dikatakan jika seorang wanita yang notabene adalah seorang istri merasa begitu frustasi karena diabaikan suaminya sendiri. Suami yang beberapa jam lalu justru mencium seorang gadis yang sebelas tahun lebih muda dengan segala hasrat dan cinta. Hal yang sangat didambanya. Jika ada yang bilang bahwa cinta itu buta maka jangan lupa juga kalau cinta itu gila. Shiori sudah gila karena Masumi.
Tangan Shiori mulai bergerak membelai punggung Masumi, menekan tubuhnya lebih merapat dan merasakan tekanan di perutnya akibat reaksi obat yang diminum Masumi. Lagi-lagi Shiori menyeringai senang begitu melihat wajah Masumi memerah dengan napas memburu.
"Akh...," Masumi mengerang lirih saat Shiori menggoyangkan pinggulnya dengan provokatif. Bahkan meski masih dibalut piyama, kulit tubuh Masumi menjadi begitu sensitif.
Shiori melepaskan dekapannya dan mulai menjalankan jemarinya ke dada bidang Masumi, mencoba membuka setiap kancing. Kesadaran Masumi menipis di bawah pengaruh obat, napasnya tertahan begitu merasakan bibir Shiori menyentuh kulit dadanya.
"Shio...ri," Masumi merasa sekelilingnya berputar.
"Ya Masumi, ini aku...jadilah milikku," perlahan Shiori menjalankan jemarinya ke belakang kepala suaminya. Menekan lembut tengkuk pria kokoh itu dan membuatnya merendah untuk mempertemukan bibir mereka.
"Ahhh," hasrat Shiori seakan membuncah begitu merasakan kehangatan bibir Masumi yang melumatnya dengan lembut. Tak hanya itu, tangan Masumi tak lagi hanya diam. Jemari-jemari panjang itu mulai membelai setiap lekuk tubuh Shiori yang bisa dikatakan sempurna.
Sukses, kesadaran Masumi semakin menipis. Gairahnya seakan terbakar dan meminta untuk dilepaskan. Seumur hidup, dia belum pernah merasakan hal seperti ini. Bahkan saat bersama Maya sekalipun, dia selalu bisa menahan dirinya. Tampaknya strategi Shiori kali ini benar-benar jitu, Masumi tak berdaya di buatnya. Tidak peduli kalau dirinya harus memiliki Masumi di bawah pengaruh obat. Baginya yang terpenting adalah memiliki Masumi, apapun caranya. Jika dalam keadaan sadar hal itu tidak mungkin maka Shiori akan membuat suaminya tidak sadar untuk bisa membuatnya menjadi mungkin.
"Ugh!" Shiori melenguh nikmat ketika ciuman Masumi tak lagi puas hanya dengan bibirnya, kecupan-kecupan kecil mulai menjelajah sepanjang rahang dan garis leher jenjang Shiori, "Masumi...," lirih Shiori penuh nikmat. Sudah lama dia menantikan hal ini. Sentuhan Masumi membuatnya begitu terbuai.
Tubuh Masumi bergetar, menahan gejolak di dalam dirinya. Oke, jangan tertawa jika tahu sebuah fakta bahwa seorang Masumi Hayami, Direktur Utama Daito, pria dewasa berusia tiga puluh tiga tahun adalah seorang perjaka. Bagaimana hebatnya dia menahan diri selama ini dan sekarang...sungguh ironis jika akhirnya dia jatuh dalam sebuah perangkap yang dibuat oleh istrinya sendiri.
Shiori masih terbuai dengan cumbuan suaminya dan Masumi masih menikmati setiap inchi tubuh istrinya. Entah bagaimana keduanya sudah terbaring di atas ranjang dengan Masumi menindih Shiori. Sang istri dengan tubuh polos indahnya dan sang suami dengan piyama yang sudah terbuka sempurna.
"Ahh...," Shiori kembali melenguh ketika Masumi semakin memperdayanya dengan setiap cumbuan dan belaian. Sepertinya pengaruh obat sudah menenggelamkan kesadaran seorang Masumi.
"Masumi...," Shiori mendesahkan nama suaminya dengan penuh hasrat.
Masumi menghentikan cumbuannya tepat sebelum dia menyentuh bagian paling intim istrinya. Sejenak tertegun, Masumi memfokuskan pandangan pada sosok wanita yang tengah di dekapnya. Sensasi berputar menyambangi kepalanya.
"Masumi...?" Shiori merasa kehilangan saat Masumi merenggangkan pelukannya, "Masumi?!"
Masumi...Masumi....
Sebuah panggilan berteriak di dalam kepala Masumi, mengembalikan kesadarannya yang sejenak terhilang.
Masumi...Masumi....Tuan Hayami....
"SIAL!!" Seketika Masumi berdiri dan merapatkan kembali piyamanya.
"Masumi!" Pekik Shiori.
Napas Masumi memburu tapi sekuat tenaga dia menahan hasratnya. Kini matanya menatap tajam sosok istrinya yang masih terbaring dengan kondisi yang entah bagaimana mendiskripsikannya. Sadar akan permainan istrinya dan tidak mau terjebak lebih jauh lagi, Masumi bergegas melangkahkan kakinya, menyambar mantel yang tergantung di dekat pintu dan membanting pintu kamarnya dengan bunyi bedebam keras. Membawa pergi segala gejolak amarah dan hasrat yang siap meledak.
Sementara Shiori menahan perih di hatinya karena sekali lagi dia gagal untuk mendapatkan suaminya. Gagal memiliki seorang Masumi Hayami.
"BRENGSEK KAU MASUMI!!"
***

Sedan mewah Masumi membelah kegelapan malam dengan kecepatan tinggi.
"Brengsek!" Entah untuk yang keberapa kali Masumi memaki dirinya sendiri. Merutuki dirinya yang hampir lepas kendali. Masih terbayang jelas dikepalanya bagaimana ekspresi Shiori saat memanggil namanya.
Malam ini Masumi benar-benar dibuat meradang. Terbakar amarah dan gairah secara bersamaan. Dan entah karena masih dalam pengaruh obat atau karena kemarahannya, Masumi mendapat sebuah keberanian besar untuk memarkirkan mobilnya di basement sebuah apartemen.
Maya....
Tak berpikir lagi, Masumi merapatkan mantelnya dan turun dari mobil. Bukan hal yang sulit bagi Masumi untuk melewati bagian keamanan. Siapa yang tidak kenal Masumi? Dengan sebuah kalimat maka penjaga keamanan akan diam seribu bahasa dan tidak akan bertanya alasan keberadaan Direktur Daito di apartemen artisnya, artis kelas satu, artis istimewanya, kekasih hatinya, Maya Kitajima.
Teet! Teet!
Masumi cukup sabar menunggu di depan pintu. Memantapkan hati untuk tetap bertemu gadisnya. Siap dengan segala konsekuensinya.
Teet! Teet!
Sekali lagi Masumi menekan bel. Ini adalah apartemen mewah yang khusus dibelinya untuk Maya. Tidak perlu takut dirinya akan tertangkap paparazi atau bahkan terlihat oleh penghuni apartemen lain. Apartemen Maya terletak di lantai khusus, bukan Masumi namanya jika dia tidak mempersiapkan segalanya dengan baik untuk Maya. Meski sebenarnya sangat tidak sopan untuk pria beristri sepertinya mengunjungi seorang gadis saat dini hari dan hanya mengenakan piyama berbalut mantel tapi sepertinya Masumi sudah mengabaikan fakta tentang status dan nama keluarganya. Kakinya tetap tegak berdiri di depan pintu, menunggu gadisnya membuka pintu.
Teet! Teet!
Ketiga kalinya Masumi menekan bel dan dirinya masih sabar menunggu. Beberapa saat kemudian pintu masih saja bergeming. Tangannya sudah terulur untuk menekan bel yang keempat kalinya sebelum akhirnya tangannya menggantung di udara karena pintu terbuka dan seorang gadis dengan rambut hitam, wajah lelah dan mata merah menyambutnya.
"Masu-," Sang gadis menangkupkan tangan ke mulutnya, terkejut, "Tu-tuan Hayami?" Koreksinya cepat.
"Maya," jawab Masumi datar, berusaha menutupi gejolak yang ada di dalam dirinya saat ini. "Boleh aku masuk?" Pintanya.
Maya yang tampak bingung tidak kuasa menolak kehadiran seorang Masumi. Diapun mempersilakan Masumi masuk dengan kepala dipenuhi beragam pertanyaan yang tak terucap.
"A-ada perlu apa sampai anda datang dini hari seperti ini Tuan Hayami?" Tanya Maya ketika keduanya sudah duduk berhadapan di ruang tamu.
Masumi menghela napas panjang, sekali lagi menahan pengaruh obat sialan yang bahkan masih bereaksi ketika melihat Maya berbalut piyama satin berwarna kuning gading yang membentuk dengan indah tubuh mungilnya. Sekuat tenaga Masumi menghentikan imajinasi liarnya.
"Aku...," Masumi berpikir, "Aku hanya ingin minta maaf," jawab Masumi bodoh. Ternyata obat perangsang juga mempengaruhi kinerja otaknya.
Maya mengernyit bingung dengan jawaban Masumi, "Minta maaf?"
Masumi berdehem pelan, mengalihkan pikirannya yang kembali menari dengan bayangan Maya dalam pelukannya.
"Soal semalam, di pesta Ayumi," terangnya tenang, berusaha tenang tepatnya.
Maya hanya ber-oh pelan, berusaha memahami keanehan pria di depannya. Bukan hanya aneh tapi juga ajaib kalau seorang Masumi datang ke apartemennya dini hari dengan memakai piyama hanya untuk meminta maaf...bahkan pada gadis yang sudah menamparnya.
"Ng, anda tidak sedang mabuk kan Tuan Hayami?" Tanya Maya ragu ketika menerka sebuah alasan masuk akal atas kedatangan Masumi yang tiba-tiba. Dirinya bahkan baru saja memejamkan mata saat bel berdentang tiga kali. Jangan salahkan matanya yang tak mau terpejam tapi salahkan pikirannya yang tidak mau berhenti berputar sejak kepulangannya dari pesta Ayumi. Apalagi kalau bukan gara-gara 'serangan mendadak Masumi'.
"Aku tidak mabuk Maya," jawab Masumi, kali ini dia mulai gelisah. Dia menyilangkan kakinya dan berusaha tetap duduk tenang, meski sebenarnya hasrat dalam dirinya berteriak ingin keluar.
Sial!! Apa yang akan aku lakukan sekarang?
"Ng, anda baik-baik saja Tuan Hayami?" Tanya Maya yang melihat Masumi tidak tenang.
"I, iya, aku baik," jawab Masumi sedikit gugup.
Entah obat apa yang diberikan Shiori padanya. Apapun itu dia mengutuk obat sialan dengan segala efeknya yang menyebalkan itu. Maksudnya, oke...dia punya istri tapi dia tidak menginginkan istrinya. Gilanya lagi, sekarang dia berada di hadapan gadis yang sangat diinginkannya namun tidak bisa disentuhnya.
Akhirnya Masumi memaki juga dirinya karena dengan seenaknya menuruti keinginan hatinya untuk datang menemui Maya. Bukankah dirinya sekarang bak singa yang siap menerkam? Kenapa juga dia justru membahayakan Maya dengan dirinya yang bisa sewaktu-waktu lepas kendali. Sepertinya dalam hati, Masumi mengharapkan Maya akan menyambutnya, memberinya dekapan sayang dan hasratnya akan mereda begitu melihat gadis pujaannya. Tapi ternyata harapan dan prediksinya meleset, hasratnya justru semakin tak tertahan melihat Maya, gadis mungilnya, kekasih hatinya.
"Tuan Hayami?" Maya berusaha menarik kembali Masumi ke alam sadar. Jelas terlihat pria itu tengah melamun.
"Ah, ya?" Masumi tergagap.
"Ini sudah dini hari," tegas Maya.
Masumi menelan ludah perlahan atas kode yang adalah usiran halus untuknya. Dia tidak berniat pulang, setidaknya tidak sekarang. Dia tidak mau melihat Shiori dengan tubuh indahnya...menggodanya. Dia ingin Maya-nya...Maya...akh...!
Sial! Masumi  kembali memaki dirinya sendiri.
"Tuan Hayami?!" Maya menaikkan nada suaranya untuk meminta fokus dari lawan bicaranya.
Masumi menatap Maya, gadisnya tampak kesal sekarang. Dia tidak peduli, sekarang Masumi ingin menjadi begitu egois dan memaksakan kehendaknya.
"Boleh aku menginap disini?" Tanya Masumi kemudian.
Mulut Maya menganga karena terkejut, "Anda apa?" Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya, Maya meminta Masumi mengulangi perkataannya.
"Boleh aku menginap disini?” Tegas Masumi, “Dan kumohon Maya, jangan bicara formal denganku, jangan membuatku merasa bodoh dengan paggilan Tuan. Panggilah namaku...seperti dulu," Masumi juga tampak sama frustasinya dengan Maya.
"Saya tidak mengerti apa yang anda inginkan Tuan Hayami?" Maya semakin merasa kesal. Belum juga habis sensasi ciuman yang dirasanya semalam, sekarang harus ditambah dengan Masumi yang dengan bodohnya meminta ijin untuk menginap di apartemennya. Gila!
"Maya, ku mohon," Masumi terlihat semakin gelisah dalam duduknya.
"Tidak," tegas Maya.
"Maya...,"
"Semua sudah berubah Masumi! Kau sudah menikah! Kau sudah menentukan pilihanmu! Jangan membuatku lebih sakit dengan mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin untuk ku miliki!" Potong Maya dengan suara tingginya, gadis itu bahkan sudah berdiri dari duduknya.
Masumi terhenyak. Perkataan Maya menamparnya sekaligus memberikan angin segar padanya. Maya masih mencintainya, gadis itu hanya takut untuk berharap dan kecewa.
"Hentikan, Masumi, kumohon...hentikan semua kegilaan ini." Jawab Maya, kali ini menahan isakannya keluar.
Masumi berdiri, berjalan menghampiri gadisnya yang beberapa menit lalu tampak marah tapi kemudian tampak begitu rapuh. Tanpa bertanya ataupun meminta ijin, Masumi merengkuh Maya dalam dekapannya. Dan Maya...dalam kerapuhannya...tidak menolak. Dia menerima lengan kokoh yang mendekapnya.
Sejenak air mata Maya membuat pikiran Masumi teralihkan dari hasratnya yang hampir mengamuk tanpa pelampiasan. Kedua lengannya memeluk Maya penuh kasih, telapak tangannya mengusap lembut punggung Maya. Membiarkan gadisnya menangis di dadanya.
Beberapa menit berlalu dan Masumi kembali merutuk dalam hati ketika sentuhan tangan Maya yang memeluk pinggangnya kembali membangunkan singa yang tertidur di dalam dirinya.
Akh...Maya...aku bisa gila!
Maya tampak terkejut ketika Masumi menarik lengannya dan menjauhkan tubuhnya tiba-tiba.
"Maaf, boleh aku pinjam kamar mandimu?" Tanya Masumi dengan napas tertahan, tidak mau menampakkan kegilaannya di depan Maya. Sayangnya hanya satu cara yang terpikirkan oleh Masumi untuk bisa melepaskan diri dari pengaruh obat sialan yang diberi oleh Shiori.
"Si, silakan," kata Maya dengan kening berkerut.
Tidak perlu bertanya dimana letak kamar mandi karena dialah yang memilih apartemen Maya. Mengabaikan keheranan Maya, Masumi dengan cepat menghilang di balik pintu kamar mandi, melepaskan hasratnya seraya membisikkan lirih nama kekasih hatinya. Sungguh malam yang menyiksa untuk seorang Masumi.
***

Masumi membasuh wajahnya dengan air dingin. Mengurangi warna merah akibat pelepasan yang tak pernah dibayangkannya. Sejenak menatap dirinya di cermin, Masumi menyeringai pada dirinya sendiri.
"Sungguh menyedihkan kau Masumi," gumamnya dan sesaat kemudian menertawakan dirinya sendiri.
Selesai membersihkan diri, Masumi keluar dari kamar mandi. Dia juga tidak tahu sudah berapa lama dirinya berada di dalam. Pergi dengan tergesa dan penuh dengan hasrat dan amarah membuat Masumi lupa akan handphone dan jam tangannya.
Bibir Masumi menyunggingkan sebuah senyum ketika kembali ke ruang tamu. Gadis mungilnya sudah tertidur di sofa. Berlutut di sebelah Maya, Masumi mengusap perlahan kepala Maya, mengecup keningnya dengan sayang.
"Maafkan aku," lirihnya.
Tidak mau membuat kekasihnya sakit karena tidur di luar, Masumi akhirnya menggendong Maya dan membaringkannya di kamar.
"Maya, apa yang harus aku lakukan? Aku sama sekali tidak bisa melupakanmu. Aku ingin bersamamu."
Sekali lagi Masumi mengusap kepala Maya dengan sayang seraya menghela napas panjang. Merendahkan kepalanya, Masumi memberi Maya sebuah kecupan lembut di kening dan setelahnya segera berdiri lalu meninggalkan kamar. Membiarkan gadisnya beristirahat.
***

Maya menggeliat panjang menyambut matahari pagi yang masuk melalui celah tirai jendela. Seketika Maya tertegun begitu otaknya mengingat sebuah memori yang terjadi sebelum dirinya memejamkan mata. Dalam hitungan detik Maya melompat dari tempat tidur, berlari namun seketika berhenti tepat di depan pintu. Mengatur napasnya dan perlahan membuka pintu. Melalui celah pintu, Maya mengedarkan pandangannya. Matanya membulat begitu menemukan sosok yang dicarinya. Masumi tertidur di sofa panjang lengkap dengan menggunakan mantel dan piyamanya. Kembali menutup pintu, Maya menghela napas panjang menenangkan dirinya.
"Sebenarnya ada apa sampai Masumi datang ke tempatku? Apa dia bertengkar dengan istrinya lalu diusir dari rumah?" Maya cenberut lalu menggeleng sendiri dengan pemikirannya.
"Mana mungkin Nyonya Shiori melakukan hal seperti itu." Maya mengomeli dirinya sendiri.
Sekali lagi mendesah panjang karena tidak juga bisa menemukan alasan masuk akal akan keberadaan Masumi, Maya pun memutuskan untuk membangunkan yang bersangkutan dan bertanya secara langsung.
"Masumi, Masumi," Maya menggoncangkan perlahan bahu Masumi. Ingat kalau semalam tamu tak diundangnya itu tidak suka di panggil dengan sebutan Tuan, Mayapun kembali memanggilnya seperti biasa, seperti dulu sebelum kekasih hatinya itu menjadi milik orang lain.
"Ngh," Masumi melenguh lirih sebelum membuka matanya. Matanya mengerjap beberapa kali sebelum fokus melihat Maya yang berlutut di depannya.
"Jangan bilang kau lupa sudah bertamu di apartemenku?" Kata Maya ketika melihat keterkejutan di mata Masumi.
Sebuah senyum tipis langsung terulas di bibir Masumi, "Maaf," ucapnya seraya bangun dan duduk bersandar pada sofa, menggeliat panjang tanpa melepaskan pandangannya dari Maya, "Selamat pagi, Maya."
Maya hanya bisa menahan senyumnya melebar melihat tingkah mantan kekasihnya itu. Mantan? Entahlah.
"Aku akan siapkan air untukmu. Mandilah, sementara aku akan membuatkan sarapan. Ada pesanan khusus Tuan Hayami?" Tanya Maya seraya kembali berdiri dan berjalan ke kamar mandi.
"Jangan mulai lagi Maya, aku benci mendengarmu memanggilku seperti itu," keluh Masumi.
Maya terkekeh pelan tanpa berkomentar lagi sementara Masumi mengikutinya ke kamar mandi. Berdiri dengan tangan bersilang di dada, Masumi bersandar pada tiang pintu, tersenyum melihat Maya menyiapkan air mandi untuknya.
"Menikmati pemandangan Tuan Hayami?" Lagi-lagi Maya melempar sarkasmenya tanpa menatap Masumi. Dia sudah tahu pasti bahwa dirinya tengah diamati.
"Pemandangan yang indah Maya." Jawab Masumi santai.
Maya mendesah perlahan, dia tahu Masumi tengah menggodanya. Dia senang, tentu saja, Maya jujur pada perasaannya kalau dirinya senang sekali. Hanya saja dia merasa...hhmm, pantaskah? Masumi bukan lagi kekasihnya. Dia bahkan sudah menikah. Entahlah, hati dan pikiran Maya selalu berdebat untuk hal ini.
Selesai dengan airnya, Maya berbalik dan mendapati Masumi berdiri di ambang pintu, mengamatinya sambil tersenyum. Pria itu tidak pernah meninggalkan pesonanya, bahkan saat ini, ketika dia hanya berbalut piyama satin dengan rambut berantakan sehabis tidur. Masumi justru terlihat sangat menggoda bagi Maya. Wajar saja, Maya adalah gadis dewasa dan pesona Masumi terlalu sulit untuk di abaikan.
"Aku menebak kau tidak membawa pakaian ganti." Kata Maya begitu berdiri di hadapan Masumi yang masih bergeming di tempatnya.
"Tidak," jawab Masumi santai.
Maya mendesah pelan, "Ada pakaian Rei kalau kau tidak keberatan. Semoga ada ukuran yang cocok denganmu,"
Masumi tersenyum tipis, "Terserah Maya, asal kau tidak mengusirku pulang."
Mengabaikan sindiran Masumi, Maya melenggang begitu saja meninggalkan kamar mandi dan menuju kamarnya untuk mengambil pakaian ganti dan handuk bersih. Sebuah T-shirt dan celana training adalah satu set pakaian yang berhasil di temukan Maya. Menurutnya itu ukuran paling besar yang ada di lemari. Rei memang meninggalkan beberapa pakaian di apartemennya agar dia tidak perlu repot jika sewaktu-waktu harus menginap untuk menemani Maya.
"Ini," Maya memberikan apa yang dibawanya pada Masumi yang masih saja belum beranjak dari tempatnya tadi.
"Terima kasih, Maya," ucap Masumi senang. Senang karena dirinya diterima dan tidak diusir.
"Cepat mandi, aku akan membuatkan sarapan." Kata Maya cepat sebelum Masumi sempat melemparkan pertanyaan lain yang akan membuatnya kesulitan menjawab.
Maya memandang telur dadarnya dengan mata sendu. Menyiapkan sarapan untuk Masumi, di apartemennya...Maya menghela napas panjang, mimpikah? Maya enggan untuk berharap lebih. Dia tidak mau terluka lagi, lebih tepatnya, dia sudah tidak sanggup untuk menerima luka lagi. Kenangan tentang perpisahan mereka masih begitu membekas dihati. Hari itu, hampir sama dengan hari ini. Satu hari yang indah namun berakhir pahit. Ya, hari itu...satu hari di Izu...
***

Izu, satu minggu sebelum pernikahan Masumi.
"Wah, indah sekali," Maya tampak terpesona dengan hamparan laut yang terbentang di depannya.
"Kau suka?" Tanya Masumi yang sudah berdiri di sebelah Maya, mengamati wajah bahagia kekasihnya.
Maya mengangguk, Masumi tersenyum.
"Kemarilah," Masumi mengulurkan tangannya, Maya balas tersenyum dan menyambut tangan Masumi, menggenggamnya erat.
Masumi membawa Maya berjalan menyusuri garis pantai. Kaki telanjang mereka dibiarkan basah terkena riak ombak kecil di tepi pantai. Tak ada yang bicara, keduanya menikmati kebersamaan mereka dalam diam. Tak ada artinya kata saat ini. Perasaan mereka sudah sangat jelas bahkan akhir dari hubungan merekapun sudah pasti. Perpisahan.
Namun begitu, tidak satupun dari keduanya mau mengingat hal itu. Mereka telah sepakat untuk melupakan kata itu sejenak. Hari ini, Masumi hanya milik Maya dan Maya hanya milik Masumi. Sampai matahari terbit esok hari, mereka akan saling memiliki.
"Maya," panggil Masumi lirih ketika keduanya sudah terlalu lama terdiam.
"Ya?" Maya mengangkat kepalanya dan menoleh pada Masumi.
"Kau sudah lelah? Kita ke vila sekarang?" Tanya Masumi. Keduanya sudah berjalan cukup jauh dan Masumi tidak ingin kekasihnya kelelahan.
Maya tersenyum simpul lalu mengangguk.
"Ayo," Masumi balas tersenyum, mengeratkan genggaman tangannya.
Maya kembali terpesona ketika sampai di vila Masumi. Vila itu tidak mewah tapi terkesan hangat dan nyaman. Yang membuat Maya lebih terpesona adalah rangkaian bunga mawar ungu yang di tata indah di dalam vas di berbagai sudut ruangan.
Maya berjenggit saat tiba-tiba Masumi melingkarkan kedua tangannya di pinggul ramping Maya, mencium belakang kepala Maya.
"Hei," Maya terkikik dengan apa yang dilakukan kekasihnya.
"Hmm," Masumi bergumam di sela-sela rambut hitam Maya.
"Terima kasih," ucap Maya senang. Diapun menyandarkan tubuhnya di dada Masumi.
"Untukmu sayang," bisik Masumi di telinga Maya.
Hati Maya membuncah bahagia karena sikap Masumi, terlebih mendengar panggilan sayang untuknya. Jika boleh serakah, Maya ingin lebih tapi dia tahu dia tidak boleh.
Cukupkan dirimu dengan ini Maya, kata Maya dalam hati, mengomeli dirinya sendiri.
"Masumi, aku lapar," kata Maya, berusaha mengalihkan pikirannya dengan hal lain.
Masumi merenggangkan pelukannya, Maya memutar tubuhnya diantara kedua lengan Masumi.
"Kita makan sekarang? Aku sudah membuat bekal tadi," ucap Maya.
Maya dan Masumi menyiapkan makan siang mereka di ruang makan. Wajah Maya memerah ketika Masumi terus menggodanya karena bento yang dibuatnya.
"Ini apa? Batman? Kau membuatkanku bento Batman?" Masumi menahan tawanya tidak meledak lagi karena sepertinya gadisnya mulai kesal.
"Bukan! Itu...hhmm, itu sebenarnya...aku berusaha membuat wajahmu sebagai pahlawan bertopeng tapi sepertinya...gagal, ehm, total." Terang Maya dengan wajah tertunduk.
Tawa Masumi kembali meledak tak tertahankan. Maya yang duduk di sebelahnya makin berkerut tidak senang.
"Maaf," kata Masumi kemudian ketika tawanya sudah berganti menjadi cekikikan kecil.
Maya sudah mengerucutkan bibirnya dengan lucu. Masumi tersenyum dan meraih dagu Maya, mengangkatnya dan memintanya untuk menatapnya. Pipi Maya merah sempurna. Napasnya seketika tercekat ketika Masumi tiba-tiba mendekatkan wajahnya.
"Bernapas Maya," bisik Masumi di depan bibir Maya.
Dan Maya menghembuskan napas perlahan ketika Masumi kemudian memagut bibirnya. Menciumnya dengan lembut. Ketegangan Maya langsung mencair seiring ciuman mereka yang semakin dalam.
"Maaf," bisik Masumi setelah melepas bibir Maya.
Maaf? Maya tidak mengerti untuk apa permintaan maaf itu. Karena mengejek bentonya? Atau karena ciuman mereka? Maya merasa kedua hal itu sama sekali tidak layak untuk dihadiahi ucapan maaf. Dia tidak keberatan, sangat tidak keberatan.
"Aku mencintaimu Maya," bisik Masumi.
Maya tersenyum, "Aku juga mencintaimu, Masumi."
Masumi menenggelamkan Maya dalam pelukannya dan begitulah hari itu berlalu hingga akhirnya malam membuat mereka tenggelam dalam keheningan.
***

Masumi keluar dari kamar mandi dengan tampilan paling konyol seumur hidupnya. T-Shirt biru yang melekat ketat di tubuhnya dan celana training panjang yang nyatanya kurang panjang untuknya sehingga hanya menutupi sampai batas betisnya. Sungguh benar-benar bukan tampilan seorang Masumi tapi dia sama sekali tidak memperdulikannya. Semua itu jauh lebih baik daripada dia harus pulang ke rumah dan bertemu dengan Shiori yang...akh! Masumi masih begitu kesal dengan kejadian tadi malam.
Berjalan ke dapur dan Masumi mendapati sarapan sudah tertata rapi di atas meja makan. Secangkir kopi, roti bakar yang sedikit gosong, telur dadar yang bentuknya...ya, anggap saja cantik lalu sosis goreng yang dibentuk seperti...hmm, bunga? Gurita? Masumi terkikik geli melihat sarapan yang tersaji di depannya.
Meski begitu hatinya membuncah penuh rasa haru dan bahagia. Sarapan itu disiapkan oleh Maya, pasti dengan sepenuh hati. Tawa geli itu berubah menjadi senyum penuh ucapan syukur. Inilah yang sebenarnya diinginkannya. Hidup bersama dengan kekasih hatinya. Getir kembali merayapi hati Masumi ketika mengingat bahwa kenyataan hidupnya seratus delapan puluh derajat berbeda dengan impiannya.
"Ah, kau sudah selesai mandi rupanya. Makanlah dulu, tidak perlu menungguku." Kata Maya yang tiba-tiba masuk ke ruang makan entah dari mana.
"Kau dari mana?" Tanya Masumi.
"Membuang kantong sampah," jawab Maya santai seraya mencuci tangannya, "untung saja ini sabtu pagi dan jadwalku kosong. Jadi aku bisa menyiapkan sarapan untukmu. Aku mau mandi. Makanlah sebelum dingin." Kata Maya sambil berlalu pergi.
Masumi diam mengamati kepergian Maya. Gadisnya itu tampak sekali menjaga jarak. Ya, sudah sangat jelas alasannya. Menarik kursi makan, Masumi menghempaskan dirinya disana. Menghela napas panjang berkali-kali dan menimbang kembali apa yang baru saja diputuskannya. Masumi menikmati kopinya masih dengan pemikiran panjang di dalam kepalanya.
"Kau belum makan juga?" Maya menghentikan pemikiran Masumi. Gadis itu datang dengan rambut basah segarnya. Tubuh rampingnya di balut T-shirt warna violet dengan celana pendek yang pas membungkus kakinya sampai batas lutut.
“Menunggumu,” Masumi berkilah.
Maya menarik kursi makan di hadapan Masumi, mengucapkan selamat makan dan mulai menyantap sarapannya yang jelas sudah dingin. Dia sengaja membuat sarapan sebelum mandi agar tidak perlu sarapan bersama Masumi. Dalam dia Maya merutuki kebodohannya sendiri, mana mungkin juga Masumi tidak menunggunya.
Masumi masih terus mengamati Maya yang hanya diam dan menundukkan kepala.
“Kau marah Maya?” tanya Masumi kemudian.
Maya mengangkat wajahnya, menelan potongan sosis yang baru saja dimakannya lalu menggeleng, “Untuk apa aku marah?”
“Karena aku datang mengganggumu.” Masumi memberi sebuah alasan.
Maya menggeleng lagi, “Tidak datang pun kau akan tetap menggangguku.”
Masumi menarik sudut bibirnya menjadi senyum tipis. Dia mengerti itu adalah cara Maya mengatakan bahwa dirinya masih memikirkan Masumi. Tak ada lagi pertanyaan sampai mereka menyelesaikan sarapan. Masumi membiarkan Maya mengambil piring kotornya.
“Terima kasih untuk sarapannya, terutama sosis guritanya,” goda Masumi.
Maya mencibir, “Itu bunga.”
Masumi terbahak, suka melihat wajah kesal Maya yang tampak semakin manis. Maya membiarkan saja Masumi menertawakannya dan menyibukkan diri untuk membersihkan piring.
“Hei!” pekik Maya terkejut ketika tiba-tiba Masumi memeluknya dari belakang, menyandarkan kepalanya di bahu Maya. Ingin rasanya Maya menempelkan tangannya yang penuh sabun itu ke wajah Masumi tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Toh dalam hati Maya bersorak girang, senang dengan perlakukan Masumi.
“Jangan marah,” bisik Masumi lirih seraya memberi kecupan di pipi Maya.
Maya hanya diam. Kecupan Masumi sudah merontokkan akal sehatnya dan membuatnya tak lagi bisa berpikir jernih.
“Maya,” bisik Masumi lagi.
“Hhmm,” Maya hanya bergumam dengan tangan masih sibuk membersihkan piring.
“Menikahlah denganku,”
Praangg!! Piring terlepas dari tangan Maya yang kini hanya bisa membatu.
***
>>Bersambung<<

Post a Comment

24 Comments

  1. Whoooaaaaa....Chapter 3 hadirrrrr
    lama ya? hahahaa, maaf ya, saya lagi ga mood untuk bergadang tiap malam :D
    Chapter kali ini sedikit...ehm...bikin emosi, wkwkwk
    Ya semoga MM Lover suka lah
    Jangan lupa tinggalin komennya dong, biar semangat lagi nulisnya, heheee
    Happy reading...arigatooo

    ReplyDelete
  2. Hoaaaaaaaaaaaa..... tahan napas baca nyaaaaa... untung itu ga di bablasin masumi n shiori nya... klo bablas alamt ganti hp aq ini sist....hahahahaaa....
    jangan lama" lanjutannya ya say... semangaaaaaatttt....

    ReplyDelete
  3. Hahahahha.....antara seneng ma kasian liat masumi
    Waspada donk kang mas tau shiomay jahir mujahir hiiiyyyyyyy

    ReplyDelete
  4. Huuuhhfft.. hampir saja masuk perangkap.. ayo maya bilang " iya " saja hehehe lanjut ya kak agnes makin seru nich..

    ReplyDelete
  5. hahhhhh...apa????jgn buat maya jd yg muda mba agnes...buat shiori nya pergi dlu aja...buat mereka cerai dlu aja ...hihihi

    ReplyDelete
  6. Mbak agnes iki uapikkkk buanget... aku sukaaaaakkkkk.. terutama bagian shiomay gatot tiwul.. rasain... hahahahaha

    ReplyDelete
  7. Haduhhhh....kenapa abis sebelum maya jawab mbak..hiks.keren abis lho mbak agnes,lanjutannya jgn lama2 yahhh..pliz

    ReplyDelete
  8. Ko katanya aku ga rela ya, sedih banget tau. Sangat menguras perasaan. 😢
    Jangan lama-lama part sedihnya ya..

    ReplyDelete
  9. Kereeeen abizzz mba agnes...plz jgn lama2 ya lanjutannya...:)

    ReplyDelete
  10. Bagus say... saya sukaaa....saya sukaaaaa.... next chapter please make it asap. So sorry for being selfish to force u to make the next chapter. Terimakasih ya darling.... Kereeennn...!!!
    - Fitria GW -

    ReplyDelete
  11. Mauu lgi ceritany... Bagus bgt. Klo bisa 10 chapter lsg... Alurny trus ngebacany enak bgt.... Please update lgi yaaa... Segera... Trimakasih...

    ReplyDelete
  12. keren sist...aku ga sabar nii nunggu lanjutannya. gpp deh MM selingkuh..lha wong cinta sejati ga akan terpisahkan, sekalipun itu sama obat perangsang haha.. lempar shiori ke segitiga bermuda

    ReplyDelete
  13. Bagusss nih mba.... Next chapter pliz.... Ditunggu adegan hot maya masumi... Hahaha

    ReplyDelete
  14. geregetan iihh.. Untung gak lanjut, kalo gak aku bisa mimpi buruk nii mba Agnes..hehehe ditunggu yaa lanjutannya ;)

    ReplyDelete
  15. Aaiiii... Shioriii betul2.. Hrrrr... Lanjutkan mbak agnes, ak setia menanti hehehe...

    ReplyDelete
  16. Huaaaahhh baguuuss, alurnya jg bagus ga bertele tele... Mantap nih. Lanjutannya jangan lama2 pliiizzz... Keriting niih sebulan ini nunggu update-an ceritanyaa... Hahahahaha. Ganbate!!!

    ReplyDelete
  17. Mbak Agnes, aku padamu pokoknya. Bacanya ampe nahan nafas, takut Masumi kebablasan hehe.
    Bagus banget mbak. Ga sabar baca lanjutannya.

    ReplyDelete
  18. Mbak Agnes, aku padamu pokoknya. Bacanya ampe nahan nafas, takut Masumi kebablasan hehe.
    Bagus banget mbak. Ga sabar baca lanjutannya.

    ReplyDelete
  19. AAAAAAARRRRRRGGHHHHHH. .. plis ddong yg entu bisa d crop gak.. remuk hati inii membaca nya..
    prRaangg..!! aahh.. apa ini..!! jemuran penuh jangan d gantung" in dong.. huhuhu..

    next chap tag lagi ya ka.. ^_*

    ReplyDelete
  20. Waaaa... jawab iya Maya, plissss... mba agnes kereeeen banget inih... jangan lama2 apdetannya yaaa...

    Ive aka dippe purwanto

    ReplyDelete
  21. Kesaaal.... shioriii... nggak mau, jawab iya maya, tinggalkan semua demi kebahagian kalian MM.. ayo wujudkan

    ReplyDelete
  22. ini....namanya nulis cantik...pengendalian moral tingkat tinggi, thanks mba agnes, gpp lama, tp makin berkualitas, semua mengikuti alur sm, yg gak menghalal kan segala cara bwt mm....love will find away....semangat ya mba....sy suka yg model pelik begini, klw catur mah...permainan tingkat tinggi...good luck mba...

    ReplyDelete
  23. Duh...gak sabar nunggu lanjutannya. Good job sis...

    ReplyDelete
  24. Pesona masumi hayami memang tak pernah pudar... #lap ingus...
    Sukaaaaa....

    ReplyDelete