"Apa tidak masalah membiarkannya seperti itu? Sudah tiga hari dia hanya duduk diam dan tidak melakukan apapun," Amanda terlihat khawatir mengamati Maya yang duduk melamun di depan perapian ruang keluarga. Di sebelahnya berdiri Christ yang sedang menggendong Kevin, putra mereka.
"Sementara ini biarkan saja. Beberapa hari lagi dia akan disibukkan dengan kegiatan syuting jadi lebih baik kalau sekarang dia beristirahat total untuk memulihkan kondisi kesehatannya," jawab Christ.
Amanda berkerut mendengar jawaban suaminya, "Kau yakin? Sama sekali tidak terdengar seperti Christ,"
Christ menyeringai tipis menatap istrinya, "Memang jawaban apa yang kau harapkan sayang? Kau pikir kita bisa melakukan sesuatu? Hanya Masumi yang bisa mengembalikan senyum Maya, sedangkan kita sama-sama tahu hal itu tidak mungkin. Setidaknya untuk saat ini."
Amanda mendesah panjang, "Ya kau benar tapi aku tidak tega melihatnya. Maya pasti sangat sedih sekarang. Aku masih berharap kau mau menceritakan semua masalah yang terjadi sehingga aku juga tidak dibuat bingung dengan semua ini."
"Maaf sayang. Aku tidak bisa menceritakan apapun sekarang. Percayalah semua akan baik-baik saja." Christ membelai bahu istrinya.
"Ya terserah padamu. Ku harap kau dan Masumi bisa cepat menyelesaikan semua masalah ini. Apapun itu," Amanda melipat tangannya menahan kesal karena Christ tidak mau berbagi cerita mengenai masalah Maya. Bahkan Clara dan Michael juga ikut tutup mulut dan hanya membiarkan Maya menikmati waktu kesendiriannya.
"Daddy, aunty," Kevin menyela obrolan kedua orang tuanya dan menunjuk ke arah Maya. Christ dan Amanda kembali memperhatikan Maya. Adik kesayangan mereka itu tengah terisak memeluk lututnya.
"Oh Tuhan," Amanda tidak lagi diam, mengambil Kevin dari gendongan Christ, "C'mon boy,"
"Mommy, c'mon," Kevin mengulangi ucapan mamanya.
"Yes, good boy," Amanda beralih pada Christ, "aku akan menghiburnya."
Christ mengangguk dan membiarkan Amanda menghibur Maya. Dia sendiri memilih untuk pergi karena tidak tahan juga melihat Maya. Christ mengambil handphone dari sakunya dan dengan cepat mengetik sebuah pesan.
Cepat selesaikan semuanya, aku tidak yakin bisa menahan diri lebih lama.
***
Alunan musik mengalun indah di sebuah pesta ulang tahun salah satu perusahaan TV swasta. Acaranya berlangsung meriah. Banyak tamu yang diundang, tidak hanya aktris dan aktor papan atas tapi juga sutradara dan produser.
"Sepertinya anda sedang tidak bersemangat Tuan Masumi," Mizuki memberikan segelas sampagne pada bosnya yang tengah berdiri dengan waspada mengawasi sekeliling.
"Kau tahu kenapa Mizuki," jawab Masumi datar yang kemudian menyesap sampagne warna pink pucat dan berharap itu bisa meredakan hatinya yang sedang panas.
"Apa kesehatan Nyonya memburuk?"
"Tidak, kesehatannya sudah lebih baik tapi dia belum mau bicara denganku. Kabar terakhir dari Christ membuatku ingin cepat terbang ke New York."
Mizuki tersenyum. Sangat memahami apa yang dirasakan bosnya saat ini.
"Ya, anda harus bersabar sebentar lagi." Mizuki memiringkan kepala, melihat ke arah belakang Masumi.
"Aku harap dia orang yang sudah ku tunggu," kata Masumi.
"Apa wajah saya kurang menyebalkan untuk menunjukkan tanda kehadirannya?" Mizuki mendengus pada dirinya sendiri dan menyesap sampagne di tangannya.
"Baguslah, aku sudah terlalu lama membuang waktu," Masumi memberikan gelas sampagnenya pada Mizuki, "layar sudah dibuka, kau siap bermain Mizuki?"
"Dengan senang hati Tuan,"
Masumi berbalik, meninggalkan Mizuki. Sekretaris cantik itu hanya mengamati bosnya yang sekarang sedang berjalan menghampiri seorang wanita cantik dan seksi bergaun merah marun.
"Selamat malam. Lama tidak berjumpa, bagaimana kabar anda?" Sapa Masumi ramah.
"Ah, Tuan Hayami?!" Wanita cantik dan seksi itu sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya karena sapaan Masumi.
"Ya Nona Ono. Bagaimana kabar anda?" Masumi mengulum senyum termanisnya.
"Baik Tuan Hayami." Yurie tersipu di bawah tatapan lembut Masumi.
"Maukah anda berdansa dengan saya?" Masumi mengulurkan tangannya.
Yurie menyeringai tipis, "Apa anda datang sendiri malam ini?"
"Apa itu penting?" Masumi menarik kembali tangannya dan menatap Yurie penuh tanya.
"Tentu saja Tuan Hayami, bukankah anda selalu menolak saya ketika bersama dengan Nyonya."
Masumi tertawa, berakting adalah salah satu keahliannya.
"Jadi apa sekarang anda berniat membalas saya Nona Ono, dengan menolak uluran tangan saya?"
"Seingat saya, anda sudah menolak saya tiga kali. Itu sangat menyakitkan Tuan Hayami. Anda tidak berpikir saya wanita baik dan murah hati kan?"
Seperti dugaanku. Masumi melangkah lebih dekat, sekarang dia hanya berjarak dua kaki dari Yurie, "Apa yang bisa saya lakukan untuk menebus semua itu Nona Ono?" Bisik Masumi sambil tersenyum.
"Hhmm, akan saya pikirkan. Sampai bertemu lain waktu Tuan Hayami." Yurie memutar dengan anggun dan meninggalkan Masumi begitu saja. Seringai tipis di bibir Masumi mengiringi kepergiannya. Diapun kembali menemui Mizuki.
"Giliranmu. Pastikan dia menerimanya," perintah Masumi pada sekretaris andalannya.
"Serahkan pada saya," Mizuki segera menjalankan tugasnya sementara Masumi bergegas meninggalkan pesta.
Mizuki memeriksa sekeliling sebelum menjalankan perannya. Menunggu targetnya dalam kondisi yang tepat. Tidak butuh waktu lama, Yurie akhirnya sendiri setelah beramah tamah dengan beberapa produser muda. Mizuki segera menghampiri targetnya yang sekarang sedang mengambil minuman di meja buffet.
"Selamat malam Nona Ono," Mizuki menyapa Yurie dengan hormat.
"Selamat malam. Maaf, apa saya mengenal anda?" Tanya Yurie. Matanya mengamati Mizuki dari kepala hingga kaki, mencoba mengenali tamu asingnya.
Mizuki tersenyum, "Kita sudah dua kali bertemu Nona Ono. Saya Mizuki, sekretaris Tuan Hayami,"
"Ah ya aku ingat. Sungguh aku tidak mengenalimu dengan gaun pesta dan gaya rambut yang berbeda," Yurie langsung mengubah gaya bicaranya begitu mengenali Mizuki.
Wah, wah, dia menghinaku. Mizuki merutuk dalam hatinya.
"Ada perlu apa kau menemuiku. Apa Tuan Hayami yang menyuruhmu?" Yurie mengambil segelas anggur putih dan menyesapnya dengan gaya yang menurut Mizuki sangat menyebalkan. Kalau bukan karena tugas penting Masumi dia pasti tidak akan mau bicara dengan Yurie yang sombong.
"Benar Nona Ono. Tuan Hayami meminta saya menyampaikan ini untuk anda. Beliau juga meminta saya untuk menyampaikan permohonan maafnya. Tuan Hayami tidak bisa menyampaikan semua ini secara langsung. Anda tentu mengerti posisinya," dengan ketenangan yang masih terjaga Mizuki memberikan sebuah tas cantik dengan pita merah juga setangkai mawar merah.
Yurie tertawa, "Apa ini lelucon?"
Mizuki tersenyum tipis, "Saya sudah bekerja pada Tuan Hayami selama lebih dari sepuluh tahun dan beliau bukanlah orang yang senang dengan lelucon Nona Ono."
Yurie terdiam dengan jawaban Mizuki, "Jadi Tuan Hayami serius untuk memperbaiki kesalahannya?" Tanyanya ragu.
"Seperti yang anda lihat." Jawab Mizuki.
"Apa yang merubah pikirannya secepat ini?" Yurie menatap Mizuki penuh selidik.
"Maaf Nona Ono, bukan kapasitas saya untuk menjawab hal itu. Hanya saja perlu anda ketahui kalau Tuan Masumi sangat jarang memberikan hadiah kepada seseorang. Anda tentu mengerti maksud saya," Mizuki mengangguk hormat pada Yurie, "tapi jika anda memang tidak berkenan dengan hadiah permintaan maaf ini maka saya akan sampaikan hal itu. Saya permi-,"
"Tunggu," potong Yurie cepat, "berikan padaku,"
Mizuki memberikan tas yang dibawanya.
"Sampaikan terima kasihku untuk Tuan Hayami," kata Yurie.
"Saya akan sampaikan. Permisi Nona Ono." Sekali lagi Mizuki mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan Yurie yang masih mematung dengan tas ditangannya.
Mizuki mengambil handphone dari dalam tasnya dan segera mengirim laporan pada Masumi.
Satu tugas telah selesai.
***
Di sebuah restoran tidak jauh dari tempat pesta. Masumi meletakkan handphonenya di meja setelah membaca pesan dari Mizuki.
"Apa semua berjalan lancar Masumi?" Shiori meletakkan cangkir teh yang baru saja di teguknya.
"Ya," jawab Masumi pelan. Jari panjangnya memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Kenapa Masumi?"
Masumi menatap tajam Shiori atas pertanyaannya, "Mr. Weasley sudah berangkat ke New York, berarti sekarang Yurie bergerak sendiri. Kau tidak boleh lengah lagi atau semua rencana ini akan berantakan,"
"Iya, aku akan lebih berhati-hati," jawab Shiori.
"Aku akan menemui Yurie beberapa hari lagi jadi ku harap kau bisa mainkan bagianmu sampai semua ini selesai," kata Masumi yang masih terlihat begitu serius.
"Tentu." Shiori mengangguk mantap.
"Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang. Maaf tidak bisa mengantarmu pulang, terlalu beresiko jika sampai anak buah Yurie melihat kita berdua."
"Aku mengerti."
Masumi mengangguk sopan pada Shiori lalu meninggalkan meja.
"Masumi," panggil Shiori ketika Masumi membuka pintu private room.
Masumi hanya menoleh pada Shiori.
"Terima kasih sudah percaya padaku," ucap Shiori.
Masumi menyeringai, "Terima kasih juga karena kau mau bekerja sama denganku," menutup pintu, Masumi segera pergi meninggalkan restoran.
Pukul sebelas malam, mobil Masumi memasuki halaman rumah Hayami. Dengan langkah malas dia berjalan menuju kamarnya. Kesunyian langsung menyambutnya begitu Masumi memasuki kamar.
Selamat datang!
Suara Maya terngiang di telinganya. Biasanya istrinya itu akan menyambutnya dengan riang atau jika dia sudah tertidur, maka Masumi akan memberinya kecupan sebagai ucapan selamat malam.
Masumi menghela napas panjang dan duduk di sisi tempat tidur dimana biasanya Maya berbaring. Mengusapnya, Masumi menggumamkan nama istrinya dengan sedih. Ini adalah pertama kalinya Masumi jauh dari Maya setelah mereka menikah.
Maya, aku merindukanmu sayang.
Masumi merebahkan dirinya. Mencoba mengistirahatkan tubuhnya yang lelah tapi sepertinya itu sia-sia. Dia terus terjaga. Otaknya bahkan tidak berhenti memikirkan semua rencana yang sedang dijalankannya.
***
Siang hari setelah keberangkatan Maya ke New York.
"Tuan, anda tidak boleh masuk! Nona sedang istirahat," Takigawa panik melihat Masumi menerobos kediaman Takamiya dan memaksa untuk bertemu dengan Shiori.
"Shiori!" Masumi mengabaikan peringatan Takigawa dan langsung berteriak begitu sampai di depan kamar. Beruntung tuan besar Takamiya dan orang tua Shiori sedang tidak di rumah sehingga Masumi dapat melampiaskan kekesalannya.
Shiori tersentak bangun begitu mendengar Masumi berteriak di depan kamarnya.
"Ada apa?" Tanya Shiori yang bingung pada pelayan yang sedang menemaninya. Dia semakin bingung karena mendengar suara tinggi Takigawa tapi kemudian mengerti begitu mengenali teriakan lain dari Masumi.
Sraakkk! Masumi membuka paksa pintu kamar dan terdiam saat melihat Shiori duduk di atas futon dengan mengenakan yukata.
"Masuklah Masumi," kata sang pemilik kamar kemudian.
"Nona...,"
"Tidak apa-apa Bi. Tolong tinggalkan kami. Ada beberapa hal penting yang pasti ingin dibicarakan oleh Masumi denganku." Sela Shiori.
Takigawa akhirnya hanya bisa diam dan meninggalkan keduanya. Masumi duduk bersimpuh di sebelah futon Shiori. Matanya menatap tajam wanita yang terlihat pucat di depannya itu.
"Halo Masumi. Aku tahu kau pasti akan mencariku tapi tidak ku duga akan secepat ini." Shiori mengulum senyum tipis.
"Maya baru saja terbang ke New York. Apa yang sebenarnya sudah kau katakan padanya?"
"Secepat itu?" Shiori terkejut, "Aku tidak menyangka dia begitu percaya padaku,"
Masumi menghela napas panjang, "Jadi benar dugaanku kalau kau menceritakan semua yang terjadi pada Maya," lirihnya. Masumi menunduk, kedua tangannya mengepal kuat di atas pangkuannya.
Shiori menatap Masumi penuh tanya, "Kau...sudah tahu?"
Mengangkat wajahnya, ekspresi Masumi melembut, "Soal kesepakatanmu dengan Yurie yang bertujuan untuk melindungi kami?"
Shiori terdiam.
"Alasan sama yang digunakan Maya untuk mengambil keputusan meninggalkanku. Sepertinya kali ini aku sudah salah membiarkannya bertindak terlalu jauh," Masumi menggeleng atas pernyataannya.
"Sejak kapan kau tahu mengenai Yurie?"
"Setelah kita bertemu di rumah sakit dan kau memecat perawat pribadimu."
Shiori menghela napas panjang, "Ya, ternyata perawat itu yang melakukan semuanya. Dia tahu semua tentangku. Dia tahu aku mengirim kue-kue untuk Maya, dialah yang meracuni kue yang dikirim Maya atas namaku. Dia juga yang mengatur pertemuan di hotel dan menjebak kita berdua."
Masumi menatap Shiori dalam diam.
"Foto itu...foto itulah yang akhirnya digunakan Yurie untuk menekanku. Dia memaksaku untuk memisahkan kau dan Maya. Dia tahu masa lalu kita dan dia tahu pasti kalau menyakiti Maya adalah cara paling efektif untuk menyakitimu. Aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya Yurie menyimpan dendam padamu,"
"Aku menolaknya." Kata Masumi kemudian.
"Menolak? Jadi dia mencoba merayumu?" Shiori terkejut.
"Iya, tapi tujuannya bukan hanya aku melainkan Daito. Aku terkejut waktu tahu kalau kau ditekan olehnya. Meski begitu aku tetap harus terlihat marah padamu karena jika aku melakukan sebaliknya maka Yurie akan curiga kalau aku sudah tahu rencananya. Hanya saja aku terlalu meremehkannya," Masumi terdengar begitu menyesal.
"Perawatku jugalah yang mencuri handphoneku dan mengancam Maya malam itu. Dia dibayar mahal oleh Yurie untuk melakukannya. Sayangnya aku terlambat mengetahui semuanya dan aku sudah terlanjur masuk dalam jebakan Yurie." Jelas Shiori.
"Yurie menggunakanmu sebagai orang ketiga untuk menjauhkan Maya dariku. Dia menginginkan aku dan Daito."
"Aku tidak menyangka kalau Maya akan percaya pada ceritaku dan langsung pergi ke New York."
"Sejak awal Maya percaya padamu. Aku tahu ini sulit baginya. Dia tahu kalau dia tetap di Tokyo maka Yurie akan semakin menekanmu juga pasti akan menyakitinya lagi. Setidaknya sekarang aku tahu Maya percaya padaku. Dia hanya melanjutkan permainanmu dan membiarkanku menyelesaikan semuanya."
"Sebenarnya aku mengatakan pada Maya kalau dia pergi maka akan lebih mudah untukku menghadapi Yurie. Aku bisa leluasa melawannya tanpa takut Yurie menyakiti Maya. Meski aku tahu kau overprotective padanya tapi melihat Maya berhasil menemuiku tanpa sepengetahuanmu membuat aku memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya pada Maya. Setidaknya Christ tidak akan membiarkan Maya keluar. Aku masih ingat bagaimana sulitnya menyentuh Maya yang ada dalam pengawasan Christ di New York."
Keduanya terdiam beberapa saat.
"Ku pikir sekarang semua kesalahpahaman kita sudah selesai. Maafkan semua sikap kasarku," kata Masumi seraya membungkuk hormat pada Shiori.
"Tidak apa-apa Masumi. Salahku juga bisa masuk dalam jebakan wanita itu. Aku juga minta maaf sudah membuatmu repot. Sebaiknya anak buahmu bekerja sama dengan anak buahku. Dugaanku Yurie tidak bekerja sendiri."
Masumi tertegun, "Kau menyelidiki juga tentang masalah ini?"
"Tentu saja. Aku marah dia memperalatku dan menyakiti Maya. Aku menahan diri hanya karena Maya. Sekarang Maya aman jadi aku bisa bergerak. Yurie telah salah memilih teman bermain." Terang Shiori dengan wajah kesal.
Tiba-tiba Masumi tertawa.
"Kenapa?" Shiori keheranan melihat reaksi Masumi.
"Tidak apa-apa, maaf. Hanya saja aku masih merasa aneh melihatmu begitu peduli pada istriku."
Shiori menghela napas panjang, "Aku serius waktu ku bilang aku bahagia melihat kalian berdua."
"Terima kasih Shiori. Dan mengenai Yurie, dia bekerja sama dengan Mr. Weasley."
Shiori menganga tak percaya, "Mr. Weasley? Lawan main Maya? Berarti Maya dalam bahaya."
Masumi menggeleng, "Tenang saja. Christ dan Ryan juga Alex tahu pasti apa yang harus dilakukannya. Maya tidak tahu hal ini, karena dia pasti akan ketakutan kalau tahu Mr. Weasley mengincarnya."
"Aku tidak percaya Christ masih diam padahal sudah tahu semua ini," kata Shiori.
"Ada waktunya Shiori, Mr. Weasley mengincar Maya untuk menaklukkan keluarga Anderson. Jadi sebelum Mr. Weasley bergerak maka kami tidak bisa menyerangnya."
"Ternyata semuanya begitu rumit." Gumam Maya.
"Hanya sementara. Aku pasti akan menyelesaikan semua ini," tegas Masumi.
Shiori mengangguk.
"Baiklah. Sebaiknya aku pulang sekarang. Maaf sudah mengganggu istirahatmu."
Shiori hanya tersenyum lega menjawabnya.
***
Maya membuka mata ketika mendengar pintu kamarnya di buka.
"Maaf, aku membangunkanmu?" Christ tersenyum melihat adiknya yang terkejut.
"Christ?" Maya bangun dan duduk bersandar pada bantal.
Christ menarik kursi dan duduk di sebelah tempat tidur Maya. "Bagaimana keadaanmu?" Tanyanya.
"Baik," jawab Maya singkat.
"Kau bisa meledak kalau menyimpan semuanya sendiri,"
Maya tertegun menatap kakaknya.
"Kenapa diam? Biasanya kau akan berteriak padaku," Christ tersenyum.
"Tidak usah menghiburku. Aku tahu saat ini aku hanya bisa merepotkan kalian semua." Lirih Maya.
"Itu hanya ada di dalam otakmu."
"Itu kenyataannya Christ,"
Menghela napas panjang, Christ menggeleng melihat adiknya yang pesimis. "Hei, meski aku tidak takut pada Masumi tapi apa kau pikir aku akan terima jika dia memakiku karena membiarkanmu bersedih seperti ini?"
"Eh?" Maya mengangkat wajahnya.
"Kau aman disini, jadi berhentilah memikirkan semuanya."
"Kau tidak mengerti." Lirih Maya lagi.
"Apa yang tidak ku mengerti?" Christ menaikkan alis menatap Maya.
"Perasaanku,"
"Sudah ku bilang kalau semua itu bukan salahmu." Kata Christ menenangkan.
Maya menggeleng, "Semua salahku. Kalau saja waktu itu aku menurut dan tidak memakan kue itu maka Masumi juga Nona Shiori tidak akan kesulitan seperti sekarang. Mereka masuk ke dalam jebakan Nona Ono karena aku."
"Sejak awal wanita sialan itu memang sudah mengincar Masumi dan Daito, jadi itu bukan salahmu. Berhentilah memikirkannya."
"Tapi...,"
"Sudah tidak perlu pakai tapi-tapi. Masumi pasti bisa mengatasi semuanya." Potong Christ.
"Kalian semua sudah tahu masalah ini tapi kenapa menyembunyikannya dariku?"
"Itu karena kami tidak mau kau melakukan hal bodoh. Kau sendiri, kenapa justru pergi menemui Shiori? Kau tahu itu berbahaya."
"Itu karena...," Maya terdiam.
"Maya? Kau masih belum menceritakan padaku alasan kau menemui Shiori siang itu," kata Christ.
"Aku hanya ingin memastikan kalau bukan dia yang meracuniku. Ternyata Nona Shiori justru menceritakan semuanya padaku."
"Ya, aku masih kesal dengan wanita itu yang seenaknya saja menceritakan semuanya padamu."
Maya terdiam lagi.
"Lalu kenapa kau tidak mau menghubungi Masumi?" Tanya Christ lagi. Maya tersentak. Hatinya berdenyut sakit.
Maya, foto itu adalah jebakan. Saat ini ada hal yang lebih penting daripada itu. Yurie, dialah dalang dari semua ini. Dia berpikir bisa menggunakanku untuk memisahkan kalian berdua.
Perkataan Shiori kembali terngingang di telinga Maya. Bukan hanya masalah Yurie yang membuatnya tidak tenang tapi juga masalah foto Shiori dan Masumi. Meski faktanya Maya tahu semua foto itu hanya jebakan tapi bahkan sampai saat ini Maya masih merasa sakit hati. Dia tidak mungkin mengatakan hal ini pada Christ. Kakaknya itu pasti akan marah besar. Maya juga tahu kalau Masumi dan Hijiri merahasiakan masalah foto itu.
"Apa sebelum berangkat kau bertengkar dengannya?" Tanya Christ lagi. Dia masih merasa heran karena Maya hanya diam.
Maya menggeleng, "Aku hanya butuh waktu untuk menenangkan diri."
"Oh ya? Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kau selalu tenang bersamanya?"
Maya mendengus dengan perkataan kakaknya.
"Sudah malam, tidurlah." Christ mengacak poni Maya seraya berdiri dari kursinya.
Maya diam saat kakaknya memberikan kecupan selamat malam dikeningnya.
"Selamat malam Maya."
Sepeninggal Christ Maya masih tidak bisa memejamkan mata. Dia melirik jam dinding di kamarnya, pukul sepuluh malam, itu berarti sudah pukul dua belas siang di Tokyo.
Masumi...kau sedang apa? Aku merindukanmu....
***
Waktu yang sama di Tokyo. Kantor Daito.
Masumi menghela napas panjang menhamati wallpaper laptopnya.
"Kenapa anda tidak mencoba menghubungi Nyonya? Mungkin saat ini kemarahannya sudah reda," usul Mizuki melihat kegalauan atasannya.
Masumi menggeleng, "Dia tidak hanya marah karena aku menyembunyikan semuanya tapi...," Masumi hanya bisa mendengus ketika membayangkan fotonya bersama Shiori. Bagaimanapun caranya dia harus menghanguskan foto itu sebelum Yurie menggunakannya lebih jauh.
"Tapi?" Mizuki cukup penasaran dengan kalimat menggantung atasannya yang biasanya selalu tegas itu.
"Tidak apa-apa. Bukan sesuatu yang bisa aku bagikan denganmu." Jawab masumi tenang. "Oh ya, bagaimana persiapan untuk malam ini?"
"Semuanya sudah siap Tuan."
"Baguslah. Sekarang dia harus mengikuti skenarioku,"
Keduanya hanya saling memandang penuh arti.
***
Keesokan paginya di rumah keluarga Anderson.
Maya tertawa riang pagi itu. Dia sedang bercanda bersama Kevin, keponakannya.
"Nah, adikku sudah tertawa," gumam Christ ketika memasuki ruang keluarga sebelum berangkat kerja.
Maya menoleh pada kakaknya lalu melempar sebuah senyuman. Michael dan Clara yang juga belum berangkat tersenyum senang melihat keriangan Maya dan Kevin.
"Hari ini aku libur, jadi aku dan Kevin akan menemani Maya di rumah," kata Amanda pada suaminya.
"Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Kau mau Kevin sayang?"
Kevin yang mengerti arti ucapan Maya langsung melompat kegirangan. Tapi sebaliknya dengan Christ.
"Apa arti kerutan di kening itu? Jangan bilang kau akan melarang kami keluar," kata Maya pada kakaknya.
"Tidak hanya Christ Maya, aku juga tidak akan mengijinkan kau untuk keluar," kata Michael.
"Papa?"
"Jangan melihatku seperti itu. Selain syuting, aku tidak akan mengijinkanmu keluar," tegas Michael lagi.
"Papa...," Maya merengek.
"Jangan begitu Maya, kesehatanmu baru saja pulih. Jadi jangan sampai kau kelelahan sebelum syuting lusa," tambah Clara.
"Mama juga?" Maya cemberut. "Tapi siang ini aku akan pergi ke studio Sony Pictures untuk membahas beberapa persiapan untuk syuting besok," kata Maya.
"Kau tidak usah pergi. Biar Rose yang mengurus semuanya. Kau baru boleh pergi untuk syuting besok." Tegas Christ.
Maya kembali mengerucutkan bibirnya, "Apalagi ini? Jangan bilang kau akan mengurungku di rumah. Kalau kau melakukannya, aku akan menginap di hotel bersama Ayumi." Ancam Maya.
"Jangan keras kepala Maya." Kata Michael.
"Tapi Pa-," Maya menatap papanya dengan heran. "Ada yang kalian sembunyikan dariku?"
"Tidak," jawab Christ cepat.
"Tidak apa-apa Maya, aku akan menemanimu hari ini," hibur Amanda dan Kevin melakukan hal yang sama dengan langsung melompat ke pangkuan Maya.
Maya menyerah dan hanya bisa mendesah kesal ketika semua sepakat melarangnya pergi. Amanda hanya tertawa melihat kekesalan adik iparnya.
***
Restoran mewah di tengah kota Tokyo. Masumi turun dari mobil, petugas valet membukakan kursi penumpang dan seorang wanita cantik keluar dengan wajah berbinar senang.
"Silakan Nona Ono," Masumi dengan sopan mempersilakan Yurie untuk berjalan bersamanya. Keduanya menuju meja yang sudah di reservasi oleh Mizuki.
"Ruang terbuka?" Yurie terkejut dengan pilihan tempat Masumi.
"Pemandangan di sini indah," jawab Masumi tenang. Bahaya jika bersamamu di private room.
Yurie tersenyum senang saat Masumi menarik kursi untuknya. Mereka duduk di depan jendela kaca besar dengan pemandangan indah menghadap laut di musim dingin.
"Tempat yang luar biasa Tuan Hayami," puji Yurie seraya menyesap anggur warna merah dari gelas tingginya.
"Syukurlah kalau anda suka," dengan ketenangan yang terjaga Masumi juga menyesap anggurnya.
"Jadi, apa anda sekarang berubah pikiran mengenai kesepakatan kerja kita?" Tanya Yurie.
Masumi tersenyum, "Tempat ini terlalu indah untuk membicarakan kesepakatan kerja Nona Ono. Lagipula secara teknis jam kerja saya juga sudah selesai."
"Oh ya? Sepertinya apa yang saya dengar tentang anda salah."
"Memang apa yang anda dengar?"
"Direktur dingin dan gila kerja."
"Apa menurut Anda saya begitu?"
"Dingin? Hhmm, pada awalnya tapi saya rasa pendapat itu bisa dirubah seiring berjalannya waktu. Bukan begitu?"
Masumi tertawa, "Saya harap tidak mengecewakan Anda." Mengangkat lagi gelasnya, Masumi menyesap anggurnya dengan anggun tanpa melepaskan tatapan matanya dari Yurie. Lawan bicaranya itu sepertinya sudah meleleh di bawah tatapan mata Masumi.
"Lalu...bagaimana dengan opini orang mengenai Anda yang sangat mencintai Nyonya? Apa image itu juga bisa dirubah?" Tanya Yurie dengan gaya yang sama anggunnya.
Sial! Dia benar-benar memancingku.
"Apa yang anda harapkan Nona Ono?" Tanya Masumi dengan senyum simpul menghiasi wajah tampannya.
Yurie tertawa pelan, "Saya tidak berani berharap Tuan Hayami."
"Maya akan berada di New York untuk sementara waktu." Kata Masumi kemudian.
"Jadi saya adalah pengisi waktu luang?" Yurie menyeringai dengan sarkasmenya.
Dasar! Kau ingin aku mengakuimu!
"Semua ada waktunya Nona Ono. Tindakan yang gegabah juga tidak akan membuahkan hasil." Jawab Masumi tenang. Yurie tertawa.
Sejenak pembicaraan mereka di sela oleh pelayan yang datang menghidangkan makanan. Masumi merutuk dalam hati ketika melihat Yurie menggodanya dengan menyuap hidangan apatizernya secara provokatif.
Menghela napas perlahan, Masumi berusaha menenangkan dirinya. Yurie yang menyadari hal itu menyembunyikan seringainya di balik sesapan gelas anggurnya.
Ternyata kau tidak setangguh itu Masumi. Aku ingin lihat sejauh mana kau bisa bertahan.
"Hidangan yang luar biasa," puji Yurie kemudian.
"Saya senang jika anda menyukainya," kata Masumi sopan.
Pelayan kembali datang dan menghidangkan menu utama. Lagi-lagi Yurie makan tanpa melepas pandangannya dari Masumi. Cara makannya yang anggun terlihat begitu seksi dan Masumi semakin jengah di buatnya.
Sial! Dia membuatku mual! Kau pikir aku akan tertarik dengan keseksianmu! Bagiku Maya jauh lebih anggun dan menarik dibandingkan dirimu!
Lagi-lagi Masumi hanya bisa merutuk dalam hati dan tetap mempertahankan topeng pangeran esnya terpasang sempurna.
Yurie mencoba membangun kemesraan dengan Masumi dengan menanyakan banyak hal. Sampai akhirnya makan malam selesai, Yurie terlihat begitu puas dengan reaksi Masumi.
"Jadi, kira-kira apa yang bisa saya lakukan untuk membalas makan malam yang luar biasa ini Tuan Hayami?" Yurie tersenyum lebar pada Masumi.
"Sebuah malam yang sempurna," kata Masumi tegas.
Yurie menganga dengan cara yang tidak sopan ketika mendengar ucapan Masumi. Sama sekali tidak menyangka direktur utama Daito itu akan jatuh begitu saja ke dalam tangannya.
Apa dia serius?! Yurie bahkan merasa itu adalah mimpi atau halusinasinya saja.
"Anda keberatan Nona Ono?" Masumi mengembangkan senyumnya.
Sial! Haruskah aku menolaknya? Aku sudah menahan diri untuk menjaga jarak dari pangeran tampan ini dan sekarang dia menginginkanku? Gila! "Untuk anda Tuan Hayami, saya sangat senang bisa memenuhinya." Jawab Yurie yang jelas gagal menyembunyikan kegirangannya.
Masumi tersenyum lalu bangkit dari kursinya. Mengulurkan tangannya, Masumi mengajak Yurie untuk pergi. Keduanya berjalan keluar dari restoran. Dengan berani Yurie meraih lengan Masumi dan memeluknya. Masumi terkejut tapi kemudian membiarkan Yurie melakukannya.
Wanita ini benar-benar predator. Menyebalkan. Shiori! Aku akan sangat marah padamu kalau tidak datang tepat waktu.
Masumi terus menggerutu dalam hatinya. Dia memberi kode pada petugas valet untuk menyiapkan mobilnya, sementara itu keduanya menunggu di depan pintu masuk hotel.
"Kemana kita akan pergi malam ini?" Bisik Yurie seraya bergelayut manja di lengan Masumi. Mengabaikan staf hotel yang mengamati mereka.
Masumi hanya mengulum senyumnya.
"Apa anda akan memberi saya kejutan Tuan Hayami?" Tanya Yurie.
"Masumi. Bisakah kau panggil namaku saja? Terdengar aneh ketika kita bersikap formal sementara kau mengodaku seperti ini." Bisik Masumi di telinga Yurie.
Sontak Yurie tertawa, "As you wish my prince," bisiknya kemudian.
Masumi mengusap jemari Yurie yang melingkar pada lengannya. Sungguh dalam hati dia merutuk dirinya sendiri karena hal ini.
"Kenapa mobil kita lama sekali?" Yurie sudah terlihat tidak sabar.
Tepat saat itu sebuah sedan mewah berwarna hitam berhenti di depan mereka. Seorang wanita cantik keluar dengan anggunnya. Masumi bersorak dalam hati.
"Shiori?" Masumi pura-pura terkejut melihat Shiori datang. Mata Yurie langsung berkilat tidak senang.
"Selamat malam Masumi." Sapa Shiori datar. Dia hanya mengangguk pada Yurie tanpa menyapanya. Seolah menganggap remeh kehadiran wanita itu.
Sialan! Apa maumu Shiori! Yurie memaki dalam hati dengan sikap Shiori.
"Malam yang indah Masumi?" Shiori melempar sindirannya dan terkikik pelan.
Masumi hanya menyeringai tipis.
"Apa kau tidak ingin memperkenalkan teman spesialmu padaku Masumi?" Kata Shiori kemudian.
"Teman spesial?" Yurie tersentak dengan perkataan Shiori.
"Tentu saja. Sebuah hal yang jarang melihat Direktur Daito berjalan sedekat ini dengan wanita," jelas Shiori.
"Itu bukan urusanmu Shiori." Tukas Masumi cepat. Yurie tersenyum senang.
"Ah ya, bukan urusanku." Shiori berjalan masuk ke arah lobi tapi kemudian menghentikan langkahnya tepat di depan Masumi.
"Bayangkan jika Maya tahu hal ini." Bisik Shiori cukup keras sehingga Yuriepun bisa mendengarnya dengan jelas.
Masumi diam dengan wajah menegang marah dan Yurie mengeratkan tangannya di lengan Masumi.
Shiori tertawa datar lalu masuk ke lobi. Bersamaan dengan itu mobil Masumi datang. Dengan kesal Masumi meraih kunci mobil dari tangan petugas valet dan segera meminta Yurie untuk masuk.
"Apa kau marah Masumi? Pada wanita itu?" Tanya Yurie saat mereka setengah perjalanan.
"Aku hanya tidak suka dia mencampuri urusanku." Jawab Masumi.
"Kalau boleh aku tahu, siapa wanita itu?"
Bercanda?! Kau benar-benar melebihi seorang aktris Yurie.
"Kau tidak mengenalnya?" Masumi memiringkan kepala melihat Yurie. Wanita itu menggeleng. Sungguh jika Masumi tidak tahu mengenai kebusukan rencana Yurie dia juga pasti akan tertipu dengan aktingnya. Tidak heran banyak produser kaya yang bertekuk lutut padanya.
Masumi mengehela napas panjang, "Dia Shiori Takamiya, cucu pemilik grup Takatsu sekaligus mantan tunanganku,"
"Oh?!" Yurie pura-pura terkejut.
"Kenapa?"
"Tidak, hanya terkejut mendengar mantan tunanganmu adalah orang sehebat itu. Kenapa kalian berpisah? Apa itu sepadan dengan istrimu?" Tanya Yurie.
Tutup mulutmu Yurie!! Jangan pancing amarahku dengan membandingkan Maya!
Masumi tertawa, sekali lagi memainkan perannya, "Apa kau tidak tahu siapa istriku Yurie?"
"Setahuku Nyonya Maya adalah aktris kelas satu, pemegang sebuah hak pementasan yang prestisius, hhmm, Bidadari Merah?"
"Ya kau benar."
"Hanya karena itu kau meninggalkan pewaris grup Takatsu."
"Ada hal lain,"
Yurie mengerutkan keningnya. Dia memang ingin memancing informasi sebanyak-banyaknya dari Masumi.
"Maya adalah putri angkat keluarga Anderson. Konglomerat Amerika pemilik grup ACA. Kekuasannya jauh di atas keluarga Takamiya."
Yurie tertawa, "Jadi karena itu?"
"Apalagi?" Masumi mengendikkan bahunya.
"Kau memang luar biasa dalam membangun image. Apa yang ku dengar di luar sana sama sekali berbeda." Yurie masih menahan tawanya meledak.
Ternyata kau sama saja denganku Masumi, batin Yurie senang.
Yurie berhenti tertawa ketika menyadari wajah masam Masumi.
"Kau kenapa? Apa Nona Takamiya menghancurkan moodmu?" Tanya Yurie.
"Sepertinya begitu. Maaf Yurie, sepertinya malam ini aku tidak bisa bersamamu," kata Masumi kemudian.
Apa?! Sialan Shiori!
"Maksudmu?" Yurie menahan dirinya untuk tidak berteriak.
Masumi melirik Yurie tapi dengan cepat kembali melihat ke jalan. Dia menangkap kekecewaan di wajah wanita itu.
"Aku hanya sedang ingin sendiri sekarang. Besok aku akan menjemputmu. Bagaimana?" Tanya Masumi.
"Kau akan menjemputku?"
"Iya."
Oh Masumi! Demi apa aku harus mensyukuri semua ini.
"Baiklah." Jawab Yurie senang.
Masumi hanya tersenyum dan akhirnya mengantar Yurie pulang.
***
Senyum penuh kepuasan masih menghiasi wajah Yurie saat dia memasuki rumahnya. Pembicaraannya dengan Masumi tadi membuatnya sangat bersemangat. Dia bangga bisa menaklukkan Masumi dengan triknya.
Ternyata hanya dengan menjauhkan Masumi dari istrinya bisa membuat semuanya berjalan semudah ini.
Lihat saja, Daito pasti akan menjadi milikku dan kau Masumi...ku pastikan kau bertekuk lutut di kakiku besok.
"Jadi kau berhasil menaklukkan?" Tuan Ono berdiri di depan jendela dan melihat Masumi mengantar Yurie.
"Seperti yang terlihat ayah." Yurie tertawa senang.
"Apa kau yakin?" Tuan Ono melihat putrinya dengan tatapan penuh selidik.
"Kenapa ayah? Kau meragukanku?"
"Masumi bukan orang seperti itu. Selama ini dia tidak pernah tertarik dengan wanita. Apa kau pikir dia akan menyerah padamu begitu saja?"
Yurie terkekeh, "Semua laki-laki sama saja ayah. Dia bersikap begitu hanya karena belum menemukan wanita yang tepat. Ayah lihat saja, besok Masumi dan Daito akan benar-benar menjadi milikku,"
"Semoga ini bukanlah jebakan karena dia sudah tahu semua rencana kita." Gumam tuan Ono.
"Tidak mungkin Ayah. Semua rencanaku berjalan lancar. Aku lihat bagaimana kesalnya Maya waktu pergi dengan pesawat pribadinya dan baru saja aku lihat hubungan Masumi dan Shiori semakin buruk karena foto itu."
Tuan Ono hanya diam ketika putrinya itu meninggalkannya ke kamar. Dia terlalu yakin dengan semua rencananya. Yurie mengambil handphonenya dan mengetik sebuah pesan.
Semua berjalan lancar disini. Sang pangeran akan menjadi milikku besok. Mainkan peranmu dan buat Nyonya muda itu tidak pernah kembali ke Jepang.
Yurie tertawa puas sambil melempar handphonenya ke atas tempat tidur.
***
"Maya!"
Ayumi dan Koji menyapa Maya yang baru saja datang ke lokasi syuting di studio Sony Pictures.
"Ayumi! Koji!" Maya menyapa keduanya dengan riang. Rose dan Alex mengikuti Maya dan sesuai intruksi, tidak membiarkan Nyonyanya itu lepas dari pengawasan mereka.
"Hei, kau terlihat lebih kurus," kata Koji.
"Benar. Ada apa dengan liburan di Paris sampai berat badanmu berkurang seperti ini," komentar Ayumi.
Maya tertawa pelan, sahabatnya itu tidak tahu kalau dia batal pergi ke Paris.
"Aku tidak jadi pergi ke Paris karena tidak enak badan." Jawab Maya.
"Oh, kau sakita Maya?" Tanya Koji.
"Hanya kurang istirahat. Sekarang aku baik-baik saja," Maya tersenyum pada Koji.
"Syukurlah. Jadwal kita padat sekali selama satu bulan ini, jadi pasti akan menguras banyak tenaga." Tambah Ayumi.
"Iya,"
Ketiganya berjalan memasuki studio. Koji dan Ayumi bercerita tentang liburan tahun baru mereka dan Maya sedikit sedih karenanya. Dia menghabiskan malam tahun baru di rumah sakit. Meski begitu Maya tetap berusaha tertawa di depan sahabatnya. Setidaknya cerita Koji dan Ayumi sedikit mengalihkan perhatiannya dari permasalahan Yurie dan Shiori.
"Halo semua,"
Maya, Ayumi dan Koji yang sedang duduk bersantai segera menoleh begitu mendengar sapaan ramah dari teman mereka.
"Halo David, apa kabar," Koji dan David langsung berhi-five ria sementara Ayumi dan Maya menyapanyanya ramah.
"Bagaimana liburan kalian?" David langsung duduk di sebelah Maya.
"Menyenangkan," jawab Koji semangat.
"Ya, meski gagal liburan aku senang bisa menghabiskan tahun baru bersama keluargaku," jawab Maya.
"Kau tidak jadi pergi ke Paris?" Tanya David.
Maya menggeleng, "Aku sakit,"
"Oh! Kenapa tidak ada yang memberitahuku?" David terlihat terkejut. Berakting sudah menjadi kesehariannya.
Koji mengendikkan bahu.
"Kami juga tidak tahu," Ayumi menimpali.
Maya hanya tertawa kemudian minta maaf karena tidak memberitahu. Dia tidak ingin merusak liburan sahabatnya.
"Seperti biasa, selalu baik hati," gumam David dan Maya hanya tersenyum menanggapinya.
Ayumi mengamati raut wajah David yang begitu senang melihat Maya. Dalam hati, dia masih menyimpan curiga dengan aktor tampan itu. Maya kadang masih terlalu polos untuk bisa mengetahui bahaya yang bisa saja mengincarnya. Dugaannya diperkuat ketika menyadari Alex dan Rose sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari Maya.
Seruan dari asisten sutradara menghentikan obrolan mereka. Sudah saatnya mereka bersiap untuk syuting. Beruntung pengambilan gambar kali ini di lakukan di dalam studio sehingga Maya tidak harus menghadapi dinginnya salju di luar sana. Selesai dengan semua make up dan persiapan syuting, semua pemain sudah siap dan mendengarkan instruksi dari sutradara.
"Kamera siap! Action!"
Maya dan Ayumi tengah berakting dengan serius. Keduanya yang berperan sebagai Megumi dan Hitomi sedang bertengkar karena memperebutkan pria yang mereka cintai yaitu Robert yang diperankan oleh David. Ayumi menampar Maya dan tepat saat itu David datang untuk membawa Maya. Karena sakit hati Ayumi termakan hasutan Shin, yang adalah Koji sang tokoh antagonis. Shin yang juga mencintai Megumi jadi menghasut Hitomi untuk memisahkan Megumi dan Robert.
Sutradara berdecak kagum dengan kehebatan para aktornya. Mereka tidak banyak mengulang tiap scene sehingga syuting berjalan lancar dan lebih cepat dari perkiraan.
Hari menjelang petang ketika syuting akhirnya selesai. Maya duduk di kursinya di temani Rose.
"Anda terlihat lelah Nyonya," kata Rose seraya mengulurkan secangkir teh hangat.
"Terima kasih." Maya menerima tehnya dan mendesah lega ketika kehangatan menjalari tenggorokannya, "Syuting hari ini memang cukup melelahkan," gumam Maya kemudian.
"Maya," David tiba-tiba muncul mengejutkan Maya.
"David?"
Rose dan Alex saling berpandangan melihat tamu tidak diundang mereka.
"Kau ada waktu? Bagaimana kalau kita minum teh di cafe dekat sini?" Ajak David.
Maya tertegun sejenak, "Kelihatannya ide bagus," kata Maya kemudian.
"Nyonya!" Rose menyela dengan nada ketidaksetujuannya.
"Apa? Christ akan melarangku keluar kalau aku pulang. Jadi biarkan aku menikmati hari ini." Kata Maya.
"Nyonya, anda juga harus ingat pesan dokter. Anda masih harus banyak istirahat." Rose kembali memperingatkan.
"Oh ayolah Rose. Aku hanya akan minum teh. Apa bahayanya dengan itu? Aku tidak keberatan kau dan Alex ikut," Maya bersikeras.
David hanya tersenyum pada Rose ketika manajer itu menumbukkan mata kesalnya.
"Bisa kita pergi sekarang?" Kata David kemudian.
"Tentu," Maya segera beranjak dari kursinya.
Mau tidak mau Rose dan Alex mengikuti keinginan Maya. Mereka pergi ke cafe yang tidak jauh dari studio.
"Apa mereka selalu harus sedekat itu denganmu?" Bisik David ketika dia dan Maya duduk berhadapan di cafe. Matanya melirik pada Rose dan Alex yang duduk tidak jauh dari meja mereka.
"Rose dan Alex?" Tanya Maya mempertegas pertanyaan David.
"Iya. Mereka terlihat seperti baby sittermu daripada manajer dan pengawal." Dengus David.
Maya terkikik mendengarnya, "Mereka sudah seperti keluarga bagiku,"
"Sedekat itu?" David tampak terkejut.
Maya mengangguk, "Alex bahkan pernah menyelamatkan nyawaku," ingatan Maya memutar kembali kenangannya waktu Alex juga datang bersama Ryan dan Hijiri menyelamatkannya di gudang.
"Tunggu! Maksudmu kau pernah dalam bahaya seperti itu?"
Maya tersenyum tipis, "Aku sudah sering mengalaminya."
"Oh ya? Aku tidak pernah mendengar hal itu sebelumnya,"
"Tentu saja tidak. Hal itu bukan untuk konsumsi publik. Lagipula keluargaku tidak akan membiarkan hal seperti itu tersebar keluar." kata Maya.
Ah, keluarga...topik yang tepat. David tersenyum senang dalam hatinya.
"Oh ya, mengenai kau dan keluargamu. Sepertinya mereka sangat menyayangimu." Kata David.
Maya tertawa senang kali ini.
"Apa yang lucu?" David heran melihat kegirangan Maya.
"Ah tidak, maaf. Hanya saja kau membuatku ingat kalau mereka pasti akan marah jika melihatku duduk denganmu disini,"
"Kenapa? Apa aku orang yang berbahaya?"
Maya menggeleng, "Semua keluargaku memang selalu overprotective apalagi Christ dan Masumi,"
Ah, aku jadi ingat Masumi. Dia sedang apa ya? Sudah satu minggu aku tidak bicara dengannya.
"Maya?"
"Ah, maaf, aku melamun ya?" Maya meringis lalu meneguk tehnya yang mulai dingin.
"Boleh aku bertanya lagi?"
"Hhmm," gumam Maya sambil memakan potongan cake coklatnya.
"Maaf kalau pertanyaanku tidak sopan tapi aku masih penasaran dengan satu hal. Aku dengar Tuan Christian dulu pernah tertarik padamu tapi kenapa keluarga Anderson justru mengangkatmu sebagai anak?"
Maya benar-benar terbahak kali ini.
"Itu gosip masa lalu. Hubunganku dengan Christ tidak seperti itu." Maya geli sendiri karena dia juga sempat salah paham pada awalnya.
"Oh ya?"
"Sejak awal Christ memang menganggapku sebagai adiknya. Hanya saja publik sempat salah paham dengan kedekatan kami."
"Benar-benar adik?"
Maya mengangguk.
"Jadi Tuan Christian dan Tuan Hayami tidak pernah bersaing mendapatkanmu?" Tanya David lagi.
Maya menggeleng dan kali ini menahan tawanya. Semua gosip itu memang benar adanya sebelum hubungan Maya dan Masumi terungkap dan sebelum pengumuman resmi dari keluarga Anderson soal adopsinya. Bagian dari sandiwara Christ dan Maya.
"Ternyata kita tidak bisa mempercayai media begitu saja ya," David tertawa.
"Kau aktor, pasti tahu itu,"
"Ya, kau benar. Aku hanya penasaran, kalau keluargamu itu overprotective lalu apa yang mungkin mereka lakukan jika terjadi sesuatu padamu?"
"Hhmm, jangan menanyakan hal itu. Aku tidak suka membayangkannya. Christ akan membalik langit dan bumi untuk bisa menghindarkan hal itu dariku. Kau tidak lihat bagaimana Rose dan Alex menjagaku?" jawab Maya.
"Oh ya?" David tertawa lagi, "Bagaimana dengan suamimu?"
"Ah Masumi, percaya atau tidak, dia akan memindahkan surga dan neraka untukku,"
"Wah, wah. Aku tidak menyangka mereka akan seperti itu." Gumam David.
"Ya semua keluargaku memang begitu,"
"Kau seperti mutiara berharga yang terbungkus cangkang kerang."
Maya tertegun dengan perumpamaan yang dibuat David. "Ya, mungkin kau benar," gumamnya kemudian.
David segera mengalihkan topik pembicaraan pada hal lain seputar perkembangan dunia hiburan dan Maya menjadi sangat terhibur karenanya.
***
Kau seperti mutiara berharga yang terbungkus cangkang kerang.
Tit! Christ mematikan rekaman dari alat penyadap milik Alex. Malam itu, Alex sedang melaporkan pertemuan David dan Maya.
"Pintar. Dia menilai posisi Maya dalam keluarga ini." Gumam Christ.
"Ini data lengkap David Weasley yang sudah digabungkan dengan hasil penyelidikan Hijiri," Ryan menyerahkan sebuah map berwarna biru tua pada Christ. Kening Christ langsung berkerut begitu membacanya.
"Sial! Sekarang semuanya masuk akal!" Christ terlihat menahan amarahnya, "Alex, apa selain laki-laki sialan itu tidak ada orang lain yang mencurigakan di sekitar Maya?"
"Sejauh ini belum ada Tuan. Tapi saya akan terus waspada dan memperkecil ruang lingkup Nyonya," jawab Alex.
Christ kembali membaca laporannya, "Kalian berdua keluarlah, aku akan menghubungi Masumi untuk membahas hal ini."
"Baik Tuan," Ryan dan Alex meninggalkan Christ di ruang kerjanya.
Saat yang sama di Tokyo. Masumi sedang membaca email dari Christ di kantornya. Dia baru saja selesai rapat pagi. Masumi segera menghubungi Christ melalui video call.
"Kau sudah membacanya?" Tanya Christ tanpa basa-basi begitu melihat wajah Masumi di layar laptopnya.
"Sudah. Jadi David sudah merencanakan ini sejak lama?" Tanya Masumi.
"Kemungkinan seperti itu. Ryan baru saja mendapat informasi mengenai masa lalunya sebelum dia diadopsi oleh keluarga Weasley. Aku sama sekali tidak menyangka kalau keluarganya dulu adalah saingan grup ACA."
Sial! Kalau begitu Maya benar-benar dalam bahaya. Akan lebih mudah kalau saja dia bukan lawan main Maya. Batin Masumi meradang.
"Sulit menjauhkan Maya darinya selama syuting." Kata Masumi kemudian.
"Tidak kalau produksi filmnya dibatalkan." Jawab Christ santai.
"Apa?!" Masumi sampai berdiri dari kursinya mendengar perkataan gila kakak iparnya.
"Kenapa? Kau tidak suka? Daito memang akan rugi banyak karena pembatalan proyek ini. Aku baru saja selesai menghitungnya termasuk denda yang harus dibayar Daito karena pembatalan kerja sama sepihak tapi ku pikir itu sepadan dengan keselamatan Maya."
"Christ sahammu di Daito-,"
"Atas nama Maya. Aku tahu. Untuk itu kau yang harus batalkannya. Sisanya biar aku urus dari sini. Aku berani menjamin, selain masalah denda pihak Sony Pictures tidak akan mempermasalahkan apapun. Besok pagi sekretarisku akan mengurusnya."
Masumi terdiam.
"Bagaimana dengan 'kutu pengganggu' disana? Kau sudah membereskannya?" Tanya Christ.
"Malam ini. Malam ini aku akan bekerja sama dengan Shiori untuk membereskannya."
Christ mendesah kesal, "Aku masih tidak mengerti kenapa kau melambat dan harus bekerja sama dengan wanita itu?"
Itu karena aku harus menghilangkan foto sialan itu! Kau akan membunuhku kalau sampai melihatnya!
"Tenang saja. Aku akan membereskannya."
Christ menepiskan tangannya di udara. "Terserah padamu,"
Masumi menghela napas panjang dan menlonggarkan dasinya, "Bagaimana keadaan Maya?"
"Sejauh ini baik. Dia tidak lagi merasa mual dan sudah makan lebih baik."
"Syukurlah."
"Dan apa salahmu sampai Maya tidak mau bicara? Apa hanya karena kau menyembunyikan masalah ini, dia bisa begitu marah?" Tatapan Christ penuh selidik.
"Tidak apa-apa. Dia hanya perlu waktu untuk menenangkan diri." Jawab Masumi.
Christ tertawa, "Kau memang sangat memahami istrimu. Dia mengatakan hal yang sama padaku kemarin."
Masumi tersenyum, "Aku lebih mengenalnya daripada dia mengenali dirinya sendiri Christ,"
"Ah ya, aku lupa kau pengintai sejatinya." Christ kembali tertawa.
"Hentikan omong kosong ini dan biarkan aku bekerja. Aku perlu rapat dengan bagian produksi untuk membatalkan kontrak."
"Oke. Ku serahkan padamu."
Masumi segera menekan tombol interkom setelah mengakhiri video callnya.
"Mizuki, tolong bawakan kontrak kerja sama kita dengan pihak Sony Pictures."
Tak lama kemudian, sekretaris Masumi itu datang membawa apa yang diminta.
"Letakkan dokumen itu di meja," Masumi sedang berdiri memandang keluar jendela. Menenangkan sejenak pikirannya. Dia menghisap sebatang rokok yang sudah lama ditinggalkannya karena Maya.
"Nyonya akan marah kalau melihat anda merokok lagi Tuan," Mizuki memperingatkannya.
"Maya tidak disini. Kalaupun dia tahu itu pasti karena sekretarisku terlalu sulit untuk mengunci mulutnya," gerutu Masumi.
Mizuki tertawa di balik telapak tangannya, "Saya tidak akan berani Tuan Masumi."
"Baguslah. Jangan sampai kau membuat Maya tidak mau kembali ke Jepang karena mulut pintarmu itu."
Mizuki menahan tawanya. Masumi terlihat begitu kesal, tidak bijak kalau dia memancing emosinya sekarang.
Masumi kembali duduk di mejanya setelah mematikan puntung rokoknya. Mizuki masih siaga menunggu di depan meja.
"Anda yakin malam ini Nona Ono akan masuk ke dalam jebakan kita?" Mizuki menyela Masumi yang sedang membaca kontrak kerja.
"Tentu saja. Semalam akting Shiori sudah sangat meyakinkan. Aku bahkan tidak percaya kami bersandiwara seperti ini." Masumi kembali kesal begitu mengingat kejadian malam tadi.
"Semoga semua berjalan sesuai rencana."
Masumi mengangguk setuju.
"Kenapa anda tiba-tiba mempejari kontrak Sony Pictures?"
Masumi menyeringai, "Panggil Direktur produksi dan bagian legal. Aku akan membatalkan kontrak ini,"
Mizuki menganga seketika.
***
"Selamat malam Nona Ono," Hijiri mengangguk hormat ketika menjemput Yurie dari rumahnya.
"Apa kau staf Masumi?" Tanya Yurie.
"Benar Nona. Tuan meminta saya menjemput anda." Jawab Hijiri yang sedang berperan sebagai sopir malam itu.
"Hhmm, dimana Masumi?"
"Tuan hanya berpesan kalau beliau sedang mempersiapkan kejutan untuk anda. Silakan Nona,"
Kejutan? Sepertinya Masumi terlalu bersemangat. Yurie tersenyum senang dan langsung menurut ketika Hijiri mempersilakannya masuk ke mobil. Sedan mewah warna hitam itu melaju meninggalkan kediaman Ono. Beberapa menit setelahnya sebuah mobil kembali terparkir di halaman rumah keluarga Ono. Seorang pria dengan setelan jas gelap turun bersama seorang wanita yang membawa sebuah map hitam.
Seorang pelayan membuka pintu setelah bel berdentang dua kali.
"Selamat malam, kami ingin bertemu dengan Tuan Ono," kata sang wanita dengan sopan.
"Maaf, apa anda sekalian sudah membuat janji? Tuan besar sedang beristirahat." Jawab sang pelayan.
Tamu pria yang tadi diam langsung melangkahkan kaki ke depan, dengan tajam menatap sang pelayan.
"Sampaikan pada Tuan Besarmu, Masumi Hayami ingin bertemu." Tegasnya dan sang pelayan dengan tergagap segera berbalik pergi memanggil tuannya.
***
"Kita akan kemana?" Yurie mengamati jalan asing yang belum pernah dilihatnya.
"Tempat peristirahatan Tuan Besar Hayami," jawab Hijiri tenang. Sejenak dia mengamati Yurie dari kaca spion tengah. Wanita itu terlihat begitu senang, sepertinya pikirannya sedang membayangkan sesuatu yang membahagiakan.
Mobil berhenti di sebuah rumah dengan pagar tinggi. Ini adalah rumah peristirahatan Eisuke yang sengaja dipinjamkannya untuk membantu Masumi. Hijiri turun dan membukakan pintu belakang mobil lalu mempersilakan Yurie masuk. Rumah besar bergaya tradisional Jepang itu terlihat begitu sepi. Yurie menyusuri jalan setapak yang dihiasi kerikil berwarna putih.
"Apa Masumi sudah datang?" Tanya Yurie begitu mereka memasuki genkan (bagian depan rumah tempat melepas alas kaki).
"Tuan akan sampai sebentar lagi. Silakani." Hijiri kemudian membawa Yurie ke sebuah washitsu yang ditata sebagai kamar tidur lengkap dengan futon yang sudah terbentang rapi. Yurie memandang tak percaya pemandangan di depannya.
Jadi Masumi benar-benar serius?
"Silakan anda menunggu di sini," kata Hijiri. Mengangguk hormat, Hijiri meninggalkan Yurie sendiri.
"Wah, wah! Ternyata Direktur Utama itu tidak bisa lagi menahan hasratnya sampai harus membawaku ke tempat seperti ini." Yurie berlutut dan mengusap futon lembut di depannya. Seringai penuh kebanggaan kembali terlihat di wajah Yurie ketika dia melihat Yukata yang terlipat di sebelah futon. Seketika tawanya meledak.
"Dasar pria!"
Hijiri yang ternyata masih berdiri di depan pintu menyeringai tipis dan segera berlalu pergi.
Yurie memakai yukatanya dan duduk menunggu di kamar. Hijiri bahkan sudah menghidangkan secangkir teh dan beberapa kue untuk menjamu tamunya.
Tepat satu jam Yurie menunggu, dia sudah mulai kesal.
"Kenapa Masumi lama sekali?" Gerutunya. Tepat saat itu Hijiri menggeser pintu.
"Kemana Tuanmu? Kenapa lama sekali!" Bentak Yurie kesal.
"Aku sudah datang," Masumi tiba-tiba muncul. Kedua pria gagah itu berdiri dengan tatapan tajam di pintu.
"Masumi!" Yurie terlihat senang dan segera bangkit untuk menghampiri pria pujaannya. Langkah kaki Yurie seketika berhenti saat pintu terbuka lebih lebar, Shiori berdiri di sana dengan wajah yang sama tidak ramahnya.
Mundur beberapa langkah, Yurie tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, "A, apa-apaan ini?" Suaranya bahkan bergetar.
Masumi dan Shiori berjalan masuk sementara Hijiri berbalik pergi.
"Ka, kalian...?"
Shiori menyeringai tipis menatap wanita yang sekarang mulai gemetar, "Kenapa Yurie? Apa otak pintarmu tidak bisa bekerja sekarang?"
"Sialan! Kalian menjebakku!" Teriaknya penuh amarah. Kedua tangannya mengerat, gemetar menahan amarah.
Masumi tertawa, "Siapa menjebak siapa Yurie? Kami hanya melanjutkan permainanmu."
"Kurang ajar kau Masumi!" Yurie menghentakkan kaki dengan tangan terkepal hendak memukul Masumi tapi seketika kakinya melemas dan dia terduduk di atas tatami.
"Oh, jadi racunnya mulai bekerja," Shiori menggumam senang.
Mata Yurie melebar, "Racun?!" Dia langsung melihat ke arah gelas tehnya yang sudah kosong dan beberapa sisa kue yang sudah dimakannya.
"Bagaimana rasanya?" Masumi berjongkok di depan Yurie dengan wajah sedingin es, "Itu belum seberapa dengan sakit yang dirasakan Maya karena racun arsenik yang kau berikan padanya."
Yurie terdiam, keringat dingin mulai membasahi keningnya.
"Tidak perlu ketakutan seperti itu Nona. Efek racun itu tidak akan sampai membuatmu mati hanya saja bisa membuatmu lumpuh seumur hidup." Kata Shiori yang sekarang bisa tersenyum puas.
Yurie menyangga tubuh dengan kedua tangan agar bisa tetap duduk dengan tegak. Seluruh tubuhnya sekarang seperti tak bertulang.
"A, apa, mau, ka, kalian?" Tanyanya terbata.
Masumi melempar map hitam ke hadapan Yurie, dia sendiri masih bergeming di depan wanita itu sementara Shiori berdiri menikmati pemandangan di depannya.
"A, apa ini?" Tangan Yurie sudah terlalu lemas untuk meraih map yang sebenarnya tidak jauh darinya itu.
"Ini adalah dokumen pengalihan saham TV Eiji yang sudah di tanda tangani oleh ayahmu," jawab Masumi.
"Apa?!" Yurie menatap Masumi tak percaya.
"Di dalamnya juga ada daftar nama orang-orang yang bekerja sama denganmu untuk menyabotase beberapa proyek Daito termasuk orang yang kau bayar untuk meracuni Maya."
Menelan ludahnya perlahan, Yurie tidak sanggup lagi melakukan perlawanan.
"Sudah ku bilang dari awal. Kau salah memilih teman bermain Yurie. Beraninya kau memanfaatkanku!" Shiori yang meradang tidak lagi menahan kekesalannya.
Yurie menyeringai, "Kalian sudah dapatkan bukti juga sudah mendapatkanku, apalagi?"
"Belum semuanya. Masih ada yang aku inginkan darimu," kata Masumi.
Yurie mengangkat wajahnya, menatap pria yang sejak tadi ekspresinya sanggup membekukan seluruh Tokyo.
"Katakan dimana kau simpan foto kami berdua dan semua salinannya." Mata Masumi berkilat penuh kemarahan.
Perkataan Masumi seperti menggelitik Yurie. Dia jatuh dan terbahak dengan tubuh terlentang di atas tatami.
"Kalian tahu, dengan sekali menekan tombol di handphoneku maka foto kalian akan langsung terbit di surat kabar besok pagi." Katanya dengan nada tinggi penuh kebanggaan meski faktanya tubuh Yurie sudah tergeletak tanpa daya.
"Kalau yang kau maksud adalah wartawan kacangan surat kabar pagi maka dapat ku pastikan dia tidak bisa bergerak untuk sementara waktu sampai kondisinya pulih. Setelah itu dia akan berpikir seribu bahkan sejuta kali untuk mau bermain api dengan Masumi Hayami." jelas Masumi.
Yurie mengerutkan keningnya tapi kemudian dia kembali tertawa dengan lengan menutup wajahnya.
"Kami perlu file asli dan semua salinan yang lain," tegas Shiori yang geram melihat tingkah Yurie.
"Jadi kalian akan mendesakku bicara?" Yurie masih tergelak, entah bagian mana yang dianggapnya lucu.
"Jangan memancing amarahku Yurie. Kau tidak tahu apa yang bisa aku lakukan untuk memaksa seseorang bicara." Masumi memperingatkan dengan nada serius.
"Oh Tuan Hayami, aku takut mendengarnya," Yurie kembali tergelak.
"Sialan! Kau pikir siapa kami mau menuruti permainan busukmu itu!" Shiori berteriak keras, "Kalau kau tidak bicara juga maka aku yang akan bertindak."
Yurie memutar mata melihat Shiori yang masih berdiri di sebelah Masumi.
"Shiori, Shiori, kenapa kau begitu munafik! Kau masih mencintai mantan tunanganmu ini kan? Kau bisa memilikinya lagi kalau saja kau mau mengikuti rencanaku," kata Yurie.
"Tutup mulutmu!" Bentak Shiori.
Yurie tertawa.
Masumi semakin geram melihat Yurie yang masih tidak mau menyerah. Diapun mengambil map hitam di depannya dan mengangkatnya ke sisi wajahnya.
"Kau lihat ini Yurie. Kalau kau tidak memberitahu dimana foto itu maka malam ini juga aku akan mengambil alih TV Eiji tepat di depan matamu dan memporak-porandakan bisnis kebanggaan keluargamu. Tidak hanya itu, ayahmu sedang bersama anak buahku sekarang, jika kau masih tidak bicara maka aku akan membawa ayahmu pada polisi dan melimpahkan semua kasus ini padanya." Tegas Masumi.
Yurie berhenti tertawa, wajahnya memucat.
"Percobaan pembunuhan pada aktris kelas satu sekaligus istri Direktur Utama Daito yang juga adalah putri keluarga Anderson ditambah dengan tuduhan pemerasan pada putri keluarga Takamiya. Kau bisa bayangkan hukuman apa yang akan di terima ayahmu. Seumur hidup dia akan mendekam di dalam penjara. Keluarga Anderson dan Takamiya tidak akan melepaskanmu bahkan juga anggota keluargamu yang lain. Dengan kata lain keluarga Ono akan berakhir pada generasi ini." Keseriusan ucapan Masumi membuat Yurie bergidik.
"BERANINYA KAU!!" Yurie berteriak dengan sisa kekuatannya.
Masumi menyeringai, "Beraninya kau bermain api denganku Yurie. Bahkan sampai menyakiti istriku. Aku tidak pernah keberatan menjadi iblis jika itu bisa melindungi Maya."
Sial! Sebesar itu dia mencintai istrinya? Aku sudah tertipu mentah-mentah, aku kalah telak.
"Katakan!" Tegas Masumi lagi.
"Brangkas di dalam kamarku, sebuah flashdisk berwarna hitam. Nomor kombinasinya 15 kekanan, 23 kekiri dan 86 ke kanan. Tidak ada salinan lain selain yang sudah kau ambil pada wartawan itu." Jawab Yurie dengan mata kosong memandang langit-langit ruangan.
"Apa David memilikinya?" Tanya Masumi lagi.
Dia juga tahu soal David? "David?" Yurie pura-pura tidak tahu ketika matanya kembali menatap Masumi.
"Jangan pura-pura! Kau dan aktor kelas teri itu," tegas Masumi lagi.
Yurie menggeleng, "Tidak, dia tidak memilikinya."
Masumi dan Shiori terlihat lega. Foto itu bisa menjadi sumber kehebohan di Jepang kalau sampai tersebar keluar.
"Hijiri!" Seru Masumi. Yang dipanggil segera muncul di ambang pintu, ternyata sejak tadi dia menunggu dan mendengar semua percakapan itu, "Lakukan tugasmu. Pastikan kau memusnahkannya," perintah Masumi dengan masih menatap tajam wanita yang terbaring pucat di atas tatami.
"Baik Tuan," Hijiri segera menghilang untuk melaksanakan tugasnya.
Suasana menjadi hening setelah Hijiri pergi dan tidak ada lagi yang bicara.
"Sekarang apa yang akan kalian lakukan? Membunuhku?" Kata Yurie, manatap Shiori dan Masumi bergantian.
"Membunuhmu? Itu hanya akan mengotori tangan kami lagipula itu terlalu mudah." Kata Shiori.
Masumi berdiri dengan membawa mapnya, "Aku akan mengambil alih TV Eiji besok pagi dan para penghianat di Daito itu menjadi bagianku. Sisanya termasuk wanita ini, ku serahkan padamu. Apapun tuduhannya itu terserah padamu tapi jangan bawa nama Maya dalam hal ini,"
Yurie terhenyak mendengar perkataan Masumi pada Shiori.
"Sial! Aku sudah mengatakan dimana foto itu, jangan sentuh TV Eiji dan keluargaku!" Teriak Yurie.
Masumi berbalik, sama seperti Shiori, mata tajamnya tidak menyiratkan belas kasihan sama sekali.
"Kalau-kalau kau salah mengerti Yurie, apa aku tadi menjanjikan untuk tidak melakukannya kalau kau memberi tahuku dimana foto itu? Ini hanya masalah waktu. Kau tutup mulut maka semuanya berakhir malam ini tapi karena kau sudah bicara maka aku akan menundanya sampai besok pagi."
Yurie tahu dunianya sudah hancur berkeping-keping sekarang. Tapi alih-alih menangis, wanita itu justru tertawa. Masumi dan Shiori hanya diam mengamatinya.
"Kalian mungkin berhasil mengalahkanku tapi ada satu musuh lagi yang harus kalian bereskan di belahan dunia sana. Dia tidak punya sesuatu yang bisa kalian ancam dan istrimu yang kau lindungi itu...," Yurie tertawa pelan, "Kau bisa gila kalau tahu apa yang direncanakannya. Pria itu lebih gila dariku,"
Kedua tangan Masumi mengepal kuat. Segera dia meraih handphonenya.
"Mizuki! Siapkan penerbanganku dan suruh mereka batalkan produksinya. Sekarang!" Kata Masumi tegas. Mengabaikan Yurie yang masih tertawa, Masumi kembali fokus pada Shiori.
"Pergilah. Aku dan anak buahku yang akan membereskannya. Sampaikan salamku pada Maya." Kata Shiori menjawab tatapan mata Masumi.
"Terima kasih Shiori."
Shiori hanya mengangguk seraya tersenyum. Masumi pergi tanpa menoleh lagi pada Yurie.
"Tidakkah rasanya menyakitkan? Melihatnya pergi begitu saja?" Lirih Yurie begitu Shiori duduk di sebelahnya. Meski sudah tidak memiliki kekuatan tapi mulut Yurie masih sama berbisanya dengan ular beracun.
Shiori hanya menyeringai, "Saat aku masih sepertimu, ya, itu menyakitkan tapi tidak sekarang. Aku sudah menemukan cintaku yang lain dan untuk itu aku berhutang seluruh hidupku pada Maya. Jadi sekarang sebaiknya kau tutup mulutmu." Tegas Shiori.
Bersamaan dengan itu beberapa pria berpakaian serba hitam masuk ke dalam kamar. Yurie terdiam, sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Racun yang diberikan Shiori sudah melumpuhkan kaki tangannya dengan sempurna.
"Siapapun yang menyakiti Maya, akan berhadapan denganku juga keluarga Takamiya." Mata Shiori berkilat penuh kemarahan menatap Yurie, "Pengawal, bawa wanita ini."
***
Pukul sebelas malam, Masumi segera terbang ke New York setelah memberitahukan semua yang terjadi pada Christ. Saat yang sama di New York, pukul sembilan pagi.
Maya sudah berada di lokasi syuting bersama Rose dan Alex. Dia sedang mengobrol dengan Ayumi dan Koji juga David ketika sang sutradara datang bersama produser dari Sony Pictures.
"Sepertinya ada sesuatu yang penting. Tidak biasanya produser datang pagi-pagi." Gumam Koji.
Ayumi menoleh pada Maya dengan tatapan penuh tanya.
"Aku juga tidak tahu," jawab Maya pada Ayumi seraya mengendikkan bahunya.
Sutradara meminta semua staf yang terlibat dalam produksi untuk berkumpul, kemudian mempersilakan produser untuk bicara.
"Kami baru saja menerima telepon dari Daito pukul tujuh pagi ini. Dengan sangat menyesal saya katakan bahwa pihak Daito membatalkan kontrak kerja sama dengan Sony Pictures dengan kata lain produksi film ini dihentikan,"
Keriuhan langsung terjadi. Semua tampak terkejut, tidak terkecuali Maya.
"Maya?" Seru Ayumi dan Koji bersamaan.
Mata Maya melebar, dengan cepat dia menggeleng, "Masumi tidak mengatakan apapun padaku." Gumamnya bingung.
Ada apa ini?
Maya memutar mata melihat Rose dan Alex yang berdiri tidak jauh darinya. Dia segera menghampiri Rose untuk meminta handphonenya diikuti oleh Ayumi dan Koji. Ketiganya mengabaikan keriuhan yang terjadi di antara para staf. Produser dan sutradara juga beberapa staf penting sudah pergi, sepertinya mereka akan mengadakan rapat.
Maya mendesah kesal saat panggilan teleponnya ke Masumi tidak terhubung, handphone Masumi tidak aktif. Akhirnya dia mengetik sebuah pesan.
Produksi film dihentikan. Apa yang terjadi?
Maya kembali menyerahkan handphonenya pada Rose.
"Ada apa ini?" Gumam Maya masih dengan wajah kesalnya.
"Kau sama sekali tidak tahu?" Tanya Ayumi lagi.
Maya menggeleng.
"Tuan Masumi tidak mengatakan apapun? Masalah atau sejenisnya?" Tanya Koji.
Maya menggeleng. Aku sudah tidak bicara dengannya satu minggu.
"Rose, apa kau tahu masalah ini?" Maya bertanya pada manajer yang biasanya tahu segalanya itu.
"Tidak Nyonya, saya juga terkejut mendengar ini." Jawab Rose.
Ketiganya kemudian terdiam. Hanya bisa menunggu untuk bisa tahu alasan jelasnya. Sementara itu di toilet pria seseorang tengah merutuk dengan keras setelah menghilang dari keriuhan di luar.
Sial! Pasti sudah terjadi sesuatu di Tokyo sampai Daito menghentikan produksi film. Mungkinkah rencana Yurie sudah terbongkar? Kalau sampai kami berhenti syuting maka rencanaku akan berantakan.
"David? Kau sedang apa?" Tiba-tiba seorang staf lighting masuk dan menyela kekesalan David, "Kau kesal dengan pembatalan produksi ya? Tenang saja, katanya Daito bersedia membayar kita sesuai perjanjian jadi kerja keras kita tidak sia-sia," pria itu tertawa tanpa tahu penyebab kekesalan David.
"Oh ya?" David menanggapinya datar.
"Iya. Entah apa yang ada di dalam pikiran Direktur Utama Daito itu. Tiba-tiba menghentikan produksi film yang sudah berjalan tujuh puluh persen bahkan rela menanggung semua denda dan kerugian yang besar." Staf pria itu meringis lebar.
David menyadari sesuatu, "Tunggu! Kau bilang tadi Direktur Utama yang membatalkan produksi film?"
Pria itu mengangguk, "Ku dengar tadi seperti itu."
Sialan! Kalau Masumi sampai menghentikan produksi film berarti kemungkinan besar dia sudah tahu rencanaku. Argh! Kenapa Yurie tidak bisa dihubungi?! Tapi sekarang memang masih dini hari di Tokyo. Dia sedang tidur atau malah sedang bersenang-senang dengan produser muda?! Argh!! Menyebalkan!
David mengabaikan ocehan staf lighting tadi yang masih berbicara dengan rekannya yang baru saja masuk. Otaknya berputar dengan cepat. Begitu kembali ke studio, matanya mencari sosok Maya. David kembali merutuk saat melihat Alex dan Rose terlalu ketat menjaga Maya. Dia menduga kedua orang itu sengaja melakukannya.
Aku harus menjauhkan Maya dari mereka. Hanya itu satu-satunya cara membalas dendam pada keluarga Anderson.
Sebuah ide terlintas dalam benak David, aku tahu bagaimana caranya. Diapun memanggil seorang wanita berambut pirang dari bagian kostum.
Rose membereskan semua barang Maya. Alex yang baru saja mematikan telepon menghampirinya.
"Tuan Christ meminta kita membawa Nyonya pulang sekarang. Tuan Masumi juga sedang dalam perjalanan ke New York." Bisik Alex pada Rose. Menejer cantik itu mengangguk. Keduanya sengaja merahasiakan bahaya yang mengincar Maya karena Nyonyanya itu mudah sekali terbawa perasaan dan bisa langsung ketakutan kalau tahu kejadian yang sebenarnya.
"Nyonya, ayo kita pulang," ajak Rose kemudian.
"Aku ingin ke toilet sebentar," kata Maya seraya bangkit dari kursinya, "Hei, kalian tidak perlu ikut," Maya terlihat tidak suka ketika Rose dan Alex mengikutinya.
"Kali ini tidak boleh menolak Nyonya, atau kami akan di pecat." Ancam Rose.
Maya menyerah jika Rose sudah mengancamnya seperti itu. Merekapun berjalan ke toilet dalam diam. Seorang petugas kebersihan wanita berambut coklat mendorong tempat sampah besar dan masuk ke dalam toilet wanita tepat ketika dia melihat Maya datang.
Dugaanku tepat, dia selalu pergi ke toilet sebelum pulang.
Tapi senyum penuh kemenangan yang menghiasi wajahnya itu langsung menghilang begitu melihat Maya masuk bersama manajernya. Toilet sepi, mereka hanya bertiga di dalam. Petugas kebersihan wanita itu sekarang berpura-pura membersihkan kaca sementara Maya masuk ke dalam salah satu bilik. Rose mengeluarkan bedak dari dalam tasnya dan memperbaiki make up nya. Dengan santai sang wanita menyemprotkan spray ke kain yang dipegangnya sambil tersenyum. Rose terlambat menghindar ketika wanita itu tiba-tiba membekap mulutnya. Meronta tapi gagal melepaskan diri, Rose terkulai lemas saat kesadarannya hilang. Perlahan, wanita berambut coklat itu membaringkan Rose di lantai tepat saat Maya keluar dari bilik.
"Eh? Rose!" Maya segera berlutut di sebelah Rose, "Apa yang terjadi?" Tanya Maya pada petugas kebersihan gadungan itu.
Alih-alih menjawab, wanita itu justru tersenyum. Maya menatapnya heran.
"Selamat tidur Nyonya," katanya lirih tapi gagal menyamarkan suara baritonnya.
"Eh?! Kau...ugh!" Maya tak sadarkan diri sebelum dia sempat berteriak.
Tidak lagi membuang waktu, wanita itu membungkus Maya dengan selimut dan dengan mudahnya memasukkan tubuh mungil itu ke dalam tempat sampah besar. Alex masih menunggu di depan pintu ketika petugas kebersihan itu keluar dengan mendorong tempat sampah besar. Kepalanya menunduk menghindari tatapan mata Alex yang tengah mengamatinya. Senyumnya langsung mengembang begitu Alex masih bergeming dan sama sekali tidak curiga.
Setelah berbelok di lorong, dia segera mempercepat langkahnya menuju tempat parkir melalui pintu belakang yang lebih sepi. Merasa aman karena tidak ada yang melihatnya, wanita itu melepas wig dan seragamnya. David Weasley. Pria itu segera membawa Maya pergi dengan mobilnya.
Lima menit. Alex melihat jam tangannya dan mulai merasa gelisah.
"Rose!" Serunya dari depan pintu.
Tidak mendengar jawaban setelah dua kali memanggil, Alex langsung mendorong pintu. Rose yang tergeletak di lantai membuatnya mengumpat keras. Dengan cepat dia menyadari keadaan dan berbalik keluar mengejar petugas kebersihan. Sampai di pintu belakang dia hanya menemukan tempat sampah besar dan seragam petugas kebersihan yang berserak di lantai. Tidak menunda lagi, Alex segera mengambil handphonenya. Wajahnya menegang menahan marah.
"Ryan, kode merah!"
***
>>Bersambung<<
>>Every Day I Love You - Chapter 7<<
>>Every Day I Love You - Chapter 9 end<<
9 Comments
Ketemu lagi di tahun baru ya
ReplyDeleteAkhirnya bisa lanjut chapter 8
maaf kalo yang ini kelewat lama, hahahaha.
next chapter terakhir ya
Happy reading n ditunggu komennya.. :)
Arigatooo
Setiap kali baca nama David Weasley otakku otomatis ngerekam dia bawa tongkat sihir dong, wkwkwk #digetok
ReplyDeletehaiiiiissshhh... cerita yang belum tamat itu berasa di PHP loh, keseeeeelll... cepetan tamatin napa?
Dirimu hebat loh klo bikin konflik kriminal gini, dari fic awal yang aku baca selalu ada yang begini, ga capek mikir ya? jujur klo aku paling males bikin konflik begini, ribet. 4 jempol untukmu, Nes (berhubung aku yg lebih "ehem" dewasa "ehem" jadi aku panggil nama aja yak? ).
ditunggu CHAPTER TERAKHIR nya looohhh.... #lemparciumkeMasumi
Aku juga bikinnya kadang bayangin Ron nih
DeleteAku emang suka yang ribet2 say...wkwkwkk
Ah, dari awal aku uda nglunjak jadi enak ajalah panggil nama, hihihihi
tenang, chap terakhirnya uda jadi kok
thanks da baca ya :)
Waah kak agnes makasih ya dah tag saya, makain seru dan mendebarkan ah rasanya masih kuraang kak lagi seru2 nya, gak sabar menanti pertemuan maya dn masumi nya.. lanjut gak pake lama ya kak hihihi
ReplyDeleteTenang aja, kali ini ga lama lanjutannya :)
Deletemakasih uda baca ya
Hahahha knp jd ron weasley...
ReplyDeleteAduhh aseek dh ada lanjutannya
iya sista, aku pinjem nama keluarga dia soalnya
Deletemauku juga sosok David kaya Ron di Deathly Hollow waktu marah sama Harry n Harmione,wkkwkwkwk
Mba agnes keren banget...hadehh baca nya tegang trs neh...ehh pas di akhir kirain lngsng lanjut ke chapter 9..tp tyt blm ya...
ReplyDeleteManteb bgt mbak agnes... motongnya passssss bgt jd bikin penasaran tingkat dewa ��
ReplyDelete