Maya Kitajima.
Nama itu langsung melekat dihati sejak pertama kali aku membaca komiknya, Topeng
kaca. Saat itu usiaku dua belas tahun, kelas enam sekolah dasar. Perjuangan Maya
Kitajima untuk meraih mimpinya menjadi seorang aktris menginspirasiku. Betapa
sebuah mimpi itu memerlukan usaha agar bisa terwujud. Semangat dan tekad dapat
merubah sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin bahkan jika kita hanya
memiliki 1% kesempatan.
Sama seperti
Maya Kitajima yang meninggalkan ibunya untuk belajar akting. Aku melakukan hal
yang sama setelah lulus Sekolah Menengah Pertama. Aku tinggal di daerah Magelang dan memutuskan
untuk melanjutkan sekolah menengahku di Yogyakarta. Kedua orang tuaku tidak
setuju karena aku ingin sekolah jurusan bahasa dan melanjutkan kuliah di bidang
jurnalistik. Sayangnya niatanku itu benar-benar tidak di sambut baik.
Bagi kedua
orang tuaku, terlalu sulit membayangkan aku bisa berkembang di bidang itu meski
mereka tahu aku sangat suka menulis. Akhirnya aku mengganti pilihanku. Aku
mengambil jurusan seni tari di salah satu sekolah menengah negeri di
Yogyakarta. Kali ini aku tidak menunggu persetujuan mereka, melainkan langsung
mendaftar dan mengikuti tes. Baru setelah aku dinyantakan lolos, aku
memberitahukan hal itu pada orang tuaku. Kesal pada awalnya tapi akhirnya mau
tidak mau mereka memberikan ijin dan merelakan putri sulungnya untuk sekolah di
Yogyakarta.
Sekolah di
dunia seni memang sangat menyenangkan tapi ternyata semuanya tidak semudah
membalikkan telapak tangan. Latihan keras harus dijalani untuk bisa mengusai
teknik dasar tari. Tak jarang kami harus mengikuti pelajaran jam ke 0 yang
diadakan pukul 5 pagi untuk latihan teknik dasar. Saat itu kembali sosok Maya
Kitajima memberikanku kekuatan. Melihat perjuangan Maya Kitajima dalam belajar
peran rasanya apa yang aku lakukan belum seberapa. Sebenarnya sangat
menggelikan, mengingat dia adalah tokoh fiktif. Tapi Suzue Miuchi memanglah
seorang komikus yang hebat sampai bisa membuat karakter Maya Kitajima Kitajima
seolah hidup dan nyata.
Secara fisik
aku merasa bernasib sama dengan Maya Kitajima. Aku pendek. Kalau boleh memuji
diri sendiri maka aku bilang aku imut-imut, bukannya liliput. Awalnya aku
rendah diri karena melihat semua orang yang sukses di dunia seni tari rata-rata
berpawakan tinggi dan cantik. Tapi satu hal yang aku sadari kemudian adalah
bukan fisik yang membawamu pada tangga kesuksesan tapi tekad dan semangatmu.
Sebagaimana Maya Kitajima begitu mencintai akting dan berjuang untuk bisa tetap
berada di dalamnya begitu pula aku meniru caranya. Ketika kepercayaan diriku
mulai muncul maka semua terasa lebih mudah untuk di lakukan.
Aku memang
tidak tinggi tapi ternyata itu tidak membuatku didiskriminasi. Tak jarang juga
aku mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai event besar seni tari untuk
menyambut para petinggi negeri. Mungkin bukan apa-apa bagi orang lain tapi
bagiku saat itu sudah merupakan prestasi. Hal lain yang akhirnya sangat
membanggakan ke dua orang tuaku adalah selama tiga tahun aku bersekolah tidak
sekalipun posisiku bergeser dari juara umum. Dari semester ke semester nilaiku
selalu menduduki nomor satu. Hal itu membawaku untuk bisa masuk ke salah satu
perguruan tinggi negeri di Yogyakarta tanpa melalui tes, bahkan aku sudah
dinyatakan berstatus mahasiswa meski hasil Ujian Nasional belum diumumkan. Beruntung
aku lulus saat Ujian Nasional sehingga sama sekali tidak terkendala untuk
melanjutkan studiku.
Ada hal lain
yang menarik dari sisi kehidupan Maya Kitajima. Menurutku justru ini kisah
paling menariknya, yaitu kisah cintanya bersama Direktur muda Daito, Masumi
Hayami. Pria tampan yang berusia sebelas tahun di atasnya tapi sangat mencintai
Maya Kitajima bahkan rela menjadi bayangan untuk bisa mencintai dan melindungi
gadisnya.
Kelihatannya
itu sebuah kisah klasik tapi kisah cinta adalah sesuatu yang tidak pernah bosan
untuk dibahas. Sayangnya aku juga harus mengalami apa yang dialami oleh Maya
Kitajima. Apakah ini kebetulan? Entahlah.
Aku jatuh
cinta pada seorang pria yang usianya sepuluh tahun di atasku. Sama juga seperti
Maya Kitajima, si pendek yang jatuh cinta pada si jangkung. Aku yang hanya 145
cm memiliki kekasih yang tinggi badannya 180 cm. Menggelikan? Tidak bagiku saat
itu. Dia orang yang baik, lembut, perhatian, lucu dan bagiku dulu dia adalah
segalanya. Mungkin aku lebih beruntung dibandingkan dengan Maya Kitajima, pada
awalnya. Cintaku bersambut karena dia juga memiliki perasaan yang sama
denganku. Masih bisa ku ingat bagaimana manisnya saat itu. Tapi pada akhirnya semua selesai begitu saja.
Kedua orang
tuaku menganggap terlalu banyak perbedaan diantara kami. Tidak hanya usia tapi
banyak hal yang membuat mereka tidak setuju. Hanya sekali dia bertemu dengan
ibuku dan semuanya berakhir. Ironis. Ketika sebuah cinta disetarakan dengan
logika rasanya memang hanya tinggal luka yang tersisa. Duniaku serasa hancur
berkeping-keping saat itu.
Kami
akhirnya berpisah karena tidak mau menyakiti hati orang tua. Sampai akhirnya
dia memilih menikah dengan wanita lain karena tidak mungkin baginya untuk
menungguku, dia juga sudah didesak orang tuanya untuk segera berkeluarga. Kisah
cinta manisku berakhir. Semua hanya tinggal kenangan.
Kepahitan
lain yang harus aku alami adalah meninggalnya ayahku secara mendadak karena
sebuah kecelakaan. Itu juga titik terberat dalam hidupku. Pahit. Ya, tapi sekali
lagi aku harus belajar sebuah ketegaran dari seorang Maya Kitajima. Dia tegar
bahkan saat dia hidup sebatang kara setelah ditinggal ibunya. Setidaknya aku
masih punya ibu dan adik-adikku.
Itulah
hidup. Sebuah perjalanan yang tidak pernah bisa kita duga. Tapi apapun itu aku
menyadari bahwa Tuhan itu baik. Sepahit apapun hidup yang kita alami selalu ada
perlindungan, kekuatan dan penghiburan bagi kita. Sekarang aku sudah bahagia
hidup dengan suami dan anakku. Kisah hidupku belum berakhir, rasanya masih
panjang. Aku masih ingin melihat anakku tumbuh dewasa dan hidup bahagia.
Kali ini
sama sepertiku, perjalanan Maya Kitajima belum selesai dan aku masih menunggu
akhir dari kisah ini. Hanya berharap kisah cinta Maya Kitajima dan Masumi tidak
berakhir tragis seperti kisah cinta pertamaku.
Mungkin
banyak orang beranggapan kalau membaca komik adalah sebuah hal sia-sia dan
membuang waktu tapi tidak bagiku. Banyak cerita kehidupan yang bisa kita
pelajari di dalamnya. Bahkan sesederhana apapun kisah itu pasti ada makna di
dalamnya. So, ayo membaca dan temukan hal baru dalam setiap kata yang bisa
membuat hidupmu lebih berwarna.
***
Gramedia Blogger Competition
#GBC November
-Agnes Kristi-
3 Comments
Duh mba Agnes trnyata mba punya perjalanan hidup yg hebat ya.. saya salut betapa mba bisa menjadikan semuanya pelajaran yg berharga. Mba beruntung krn tidak setiap org bisa begitu memknai & menjadikan hidup ini berarti sprti mba.. pokoknya semangat terus mba,kutunggu update MM nya lagi yaa...
ReplyDeleteManteb mbak... dulu menurut ortu, baca komik itu katanya tak ada ilmunya.. tp saya tetep baca juga sembunyi2 hehe... karena komik tu seru, penuh fantasi, menyenangkan, menghibur, trus ada poin bagus yg bisa kita petik hikmahnya.. ganbate mbak agnes
ReplyDeleteSaya pertama baca TK kelas 5 SD...semangat MK meraih cita2 nya memang luar biasa.itu jg menginspirasi saya dlm meraih cita2.Alhamdulillah sdh jd dokter.sampai skrg saya masih ngikuti.krn lama bgt update dari suzue miuchi,saya jg jd sering baca fftk.karya mb agnes,favorite saya...
ReplyDelete