Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Note : Special untuk Mba Tati Diana yang minta FFTK untuk kado ultah. Ya mumpung bisa bikin. Happy Brithday ya sista meski kadonya telat. Hahahaa
Picturenya karya Sista Mary Regina ya....love it, sorry kalo ijinnya telat XP...thank u sista
"KITA PUTUS!" Teriak Maya.
Masumi menganga dibuatnya. "Apa?! Lagi?"
"Iya!" Raung Maya.
"Tapi Maya-,"
Maya mengangkat tangannya dan Masumi berhenti bicara. Dia berputar cepat dengan tumitnya dan menghentakkan kaki meninggalkan kantor Masumi.
Brakk! Pintu di tutup dengan keras dan Masumi hanya bisa membeku melihat kekasihnya pergi. Belum sempat Masumi menghela napas atas kemarahan Maya, Mizuki muncul dari balik pintu.
"Anda putus lagi Tuan Masumi?" Tanya Mizuki seraya meletakkan secangkir kopi di meja.
Masumi mendesah panjang dan menghempaskan dirinya di kursi kerja, "Kau pasti dengar sendiri kan teriakannya."
"Ini sudah yang keempat kalinya dalam bulan ini. Sekarang apa lagi masalahnya?" Tanya Mizuki.
"Ini," Masumi menunjuk majalah yang tadi di bawa Maya sebagai alasan kemarahannya.
"Ini? Aika Sato?" Kening Mizuki berkerut, "Apa masalahnya dengan ini?" Mizuki menatap heran pada halaman majalah yang memajang foto Masumi sedang berdansa dengan salah satu penyanyi terbaik Daito, Aika Sato, dalam acara pesta peluncuran album barunya.
"Pertanyaan yang sama Mizuki, apa masalahnya?" Masumi menggosok kening dengan jari-jari panjangnya.
Mizuki juga tampak berpikir, "Anda akan menikah bulan depan tapi kenapa justru Maya terus menerus meminta putus dari anda?"
Masumi terdiam menatap sekretarisnya. Dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Hubungan keduanya baik-baik saja selama setahun belakangan ini, bahkan ketika akhirnya publik tahu kalau keduanya sepasang kekasih Maya sama sekali tidak terpengaruh pada pemberitaan media. Tapi sekarang, justru saat keduanya tengah mempersiapkan pernikahan mereka Maya terus menerus bersikap aneh. Marah tanpa sebab dan berulang kali meminta putus darinya hanya karena masalah sepele.
"Aku sama bingungnya denganmu Mizuki," keluh Masumi lirih.
***
Teet! Teet!
Maya berwajah sendu berdiri di depan pintu sebuah apartemen. Pintu terbuka dan wajah gadis tampan menyambutnya.
"Maya?" Rei terkejut melihat Maya yang datang tiba-tiba. Sejak Maya resmi menjadi penerus Bidadari Merah dan menjadi aktris Daito, mereka memang tinggal terpisah. Belum lagi sekarang Maya sudah berstatus tunangan Masumi, pastinya bos Daito itu memberikan fasilitas nomor satu baginya.
"Apa aku tidak boleh masuk?" Maya cemberut karena Rei hanya bergeming menatapnya.
"Ah iya maaf, ayo masuk," Rei membuka pintu lebih lebar dan melambaikan tangannya. Melihat wajah Maya dia sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Maya menghempaskan dirinya di sofa panjang ruang tamu seraya mendesah panjang.
"Kau bertengkar lagi dengan Tuan Masumi?" Tebak Rei dan tebakan itu seratus persen benar. Dengan kesal Maya melipat tangannya di dada.
"Ya ampun Maya, apalagi masalahnya sekarang?" Rei menggeleng tak percaya melihat sahabatnya yang terus bertengkar menjelang hari pernikahan.
"Ini salahnya," dengus Maya kesal.
"Kau kan memang selalu menyalahkannya. Kemarin karena Tuan Masumi pergi ke Kyoto terlalu lama lalu karena Tuan Masumi meeting makan siang dengan produser wanita dan terakhir kau marah juga karena Tuan Masumi memberikan pernyataan mengenai aktris baru Daito dari teater Undine. Sekarang apalagi?" Rei dengan rinci menjelaskan kemarahan Maya yang tidak masuk akal selama satu bulan terakhir.
"Kau tidak lihat majalah ya?" Kata Maya dengan masih cemberut dan melipat tangan.
"Majalah? Tidak. Aku belum membeli majalah apapun. Ada apa dengan majalahnya?"
"Masumi berdansa dengan Aika Sato dan terlihat begitu mesra. Menyebalkan," dengus Maya lagi.
"Heh?! Hanya itu?" Rei mengerutkan kening.
"Hanya itu?" Protes Maya, "Apa kau pikir pantas dia berdansa dengan aktris-aktris muda dan cantik padahal satu bulan lagi kami akan menikah?"
Rei menghela napas panjang lalu beranjak dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Ambil minum. Kau bisa meledak jika terus menerus seperti itu," sahut Rei seraya berjalan ke dapur.
Rei meletakkan dua buah minuman kaleng dingin di meja, "Semoga ini bisa mendinginkan kepalamu,"
Maya menyipitkan mata pada sahabatnya, "Sepertinya kau terus membelanya. Kau ini sahabatku atau sahabat Masumi?" Protes Maya lagi.
"Maya, dewasalah,"
"Aku sudah dewasa, dua puluh dua tahun. Apalagi?"
Rei tertawa, "Sebulan terakhir ini kau lebih seperti balita yang minta perhatian lebih dari ayahnya,"
"Rei!"
"Maya, kenapa tidak kau katakan saja yang sebenarnya,"
Menghela napas, Maya memalingkan wajahnya dari Rei. Matanya mulai menghangat.
"Memang apa yang mau aku katakan," lirih Maya. Membuka kaleng, Maya meneguk minumannya. Sensasi dingin dari minuman sedikit menenangkannya.
"Sebenarnya kau hanya takut kan?" Rei memiringkan kepalanya menatap Maya.
Maya mendesah panjang, bersandar pada sofa lalu menempelkan minuman kaleng dingin di keningnya.
"Maya?" Rei meminta jawaban.
"Entahlah Rei," lirih Maya, matanya menatap langit-langit ruang tamu.
"Kau benar-benar tidak seperti Maya yang ku kenal. Maya sahabatku orang yang kuat, optimis, berani dan tidak takut apapun,"
Maya memiringkan kepalanya dan melirik Rei, "Itu aku di atas panggung. Hidup ini tidak seperti panggung sandiwara,"
"Kau sendiri yang sekarang membuatnya seperti panggung sandiwara. Apa kau pikir Tuan Masumi tidak bingung dengan perubahan sikapmu?"
"Ahhhh!" Pekik Maya kesal, "Kenapa dia tidak mengerti aku!" Serunya.
"Dia bukan pria sentimentil Maya. Tidak mungkin dia tahu apa yang kau pikirkan jika kau tidak mengatakannya. Bahkan aku sendiri kadang tidak mengerti dirimu,"
Blug! Maya melempar Rei dengan bantal sofa.
"Hei Maya, aku hanya mengatakan yang sebenarnya," protes Rei.
"Seharusnya kau menghiburku bukan membuatku makin kesal dan putus asa," dengus Maya lagi.
"Bukankah lebih baik kalau kau bicara dengan Tuan Masumi. Dia pasti bisa menenangkanmu, paling tidak mengurangi semua ketakutan tidak masuk akalmu itu," kata Rei menyarankan.
"Tidak masuk akal?" Maya melotot pada Rei.
"Kau cemburu pada para aktris dan juga pekerjaan Tuan Masumi, apa itu masuk akal?" Rei mempertanyakan logika Maya.
"Tapi aktris-aktris itu begitu cantik dan Masumi begitu mencintai pekerjaannya. Bagaimana jika nanti setelah menikah dia mengabaikanku dan lebih memilih pekerjaannya atau berpesta bersama para aktris cantik itu!" Maya menggosok wajahnya dengan kedua tangan, frustasi, beragam ketakutan memenuhi pikirannya saat ini.
"Nah itu bagian tidak masuk akal lainnya. Kau sendiri tahu kalau Tuan Masumi sangat mencintaimu. Kau lupa berapa lama dia menunggumu? Sembilan tahun Maya, sembilan tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Tidak masuk akal kalau dia menunggu selama itu hanya untuk mengabaikanmu," kali ini Rei berusaha meluruskan logika Maya.
Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perkataan Rei benar, terlebih Masumi adalah mawar ungunya. Mengingat panjangnya perjalanan cinta yang telah mereka lalui rasanya memang mustahil kalau Masumi akan mengabaikannya. Namun tetap saja ketakutan Maya tidak berkurang sedikitpun. Maya merasa rendah diri jika dibandingkan dengan aktris-aktris Daito yang lain. Padahal dirinya juga termasuk aktris kelas A dan pewaris hak pementasan Bidadari Merah. Bahkan Eisuke Hayami yang tadinya menentang habis-habisan hubungannya dengan Masumi kini luruh juga karena melihat Maya sebagai Bidadari Merah. Namun bagi Maya, Bidadari Merah hanyalah sebuah peran di atas panggung. Di dunia nyata dia adalah wanita mungil -ya meski sudah lebih dewasa sekarang-, ceroboh dan juga tidak punya keahlian apappun selain akting.
"Sudah, sudah, tidak usah dipikirkan terlalu dalam." Rei menepuk bahu Maya seraya beranjak dari duduknya.
Maya hanya mendongak menatap sahabat baiknya itu.
"Apa kau lapar? Aku akan buat sesuatu di dapur untuk makan siang," tanya Rei.
Maya mengangguk lemah dan ketika Rei pergi ke dapur Maya hanya bisa mendesah panjang.
***
Angin musim semi berhembus menerpa wajah Maya. Dia sedang duduk di balkon apartemen mewahnya. Sendiri. Merenung. Kesepian.
Berkali-kali terdengar helaan napas panjang. Wajah Maya lesu, dia seperti sedang digelayuti ribuan ton masalah. Nyatanya apa yang dipikirkannya adalah Masumi, kekasih hatinya. Calon suaminya. Orang yang sangat dicintainya. Tapi sekarang dia ragu. Ragu untuk melangkah. Ragu akan kesetiaan pasangannya. Ragu akan dirinya sendiri.
Ah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku meneruskan semua ini?
Maya melirik majalah yang tergeletak di meja sebelahnya. Masumi terlihat begitu menikmati keberadaannya di tengah para aktris cantik Daito. Hati Maya menjadi ciut. Mampukah dirinya bersaing dengan semua aktris cantik itu? Lagi-lagi Maya hanya bisa menghela napas panjang. Kali ini dia menatap handphonenya yang juga tak bergeming. Sejak pertengkarannya tadi pagi, Masumi belum juga menghubunginya.
Apa kau tidak ingat padaku? Apa pekerjaanmu membuatmu melupakanku?
Maya bertanya-tanya sendiri dengan kediaman Masumi. Dia tidak pernah ingin berpisah dari kekasihnya tapi terkadang melihat Masumi begitu sibuk dengan pekerjaannya dan juga dikagumi aktris-aktris cantik membuatnya ragu.
Masumi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa benar kata Rei kalau aku hanya ketakutan? Apa benar aku berlebihan?
Maya memeluk kakinya di atas kursi, menengadah menatap langit. Tidak ada bintang di Tokyo.
Aku tidak bisa melihat bintang di langit Tokyo sama sepertimu. Rasanya kau begitu jauh dan terselubung awan.
Maya mendesah panjang.
Sementara itu di kantor Daito hal yang sama terjadi pada Masumi.
Ting! Es batu berdenting di dasar gelas ketika Masumi meneguk habis anggur dalam gelasnya. Tumpukan dokumen dimejanya sudah selesai dia kerjakan. Biasanya dia akan mengunjungi apartemen Maya jika pekerjaannya selesai lebih awal tapi kali ini dia sedang ingin sendiri. Memikirkan semuanya. Kemarahan Maya tadi pagi membuatnya memutar kembali semua perjalanan cinta yang pernah dilaluinya.
Setelah dia nekat membatalkan pertunangannya dengan Shiori, Masumi tidak lagi menutupi perasaannya pada Maya. Dia tidak peduli lagi apa opini publik dan juga kemarahan Eisuke padanya. Nyatanya, Maya sanggup membuktikan kemampuannya dengan menjadi pemenang hak pementasan Bidadari Merah mengalahkan Ayumi. Prestasi Maya mampu membungkam opini publik dan meluruhkan hati Eisuke, bahkan hubungan mereka sudah mendapat restu dari Mayuko. Hampir dua tahun Maya dan Masumi menjalin hubungan. Satu tahun lalu keduanya resmi bertunangan dan musim semi kali ini mereka berencana untuk menikah.
Apa yang terjadi satu bulan terakhir ini membuat Masumi geleng kepala. Maya berubah. Kekasihnya itu menjadi mudah meledak, ya meski biasanya memang begitu tapi ini lebih parah. Mereka jadi sering bertengkar hanya karena hal sepele. Belum lagi ini sudah yang keempat kalinya Maya meminta putus dan itu membuat Masumi semakin kebingungan. Dia sangat mencintai Maya. Sama sekali tidak pernah terlintas dipikirannya untuk berpisah dengan gadis pujaannya itu. Sembilan tahun dia menunggu pernikahan ini dan ketika semua mimpinya hampir menjadi nyata Maya justru membuat langkahnya meragu.
Sayang, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Dari jendela kantornya Masumi menatap langit Tokyo. Ada sebuah bintang yang bersinar.
Dulu kau adalah bintang yang begitu jauh untuk ku raih tapi sekarang...ketika aku begitu bahagia kau berada dalam pelukanku, kenapa kau justru ingin pergi lagi? Apakah aku memang hanya bisa memandangmu? Mayaku....
***
Suara jam beker memaksa mata Maya terbuka. Hari sudah pagi dan dia harus bersiap untuk pergi ke lokasi syuting. Masih ada dua kontrak iklan yang harus diselesaikannya sebelum hari pernikahannya.
Pernikahan? Kening Maya berkerut ketika mengingat hari pernikahannya. Kemarin dia bertengkar dengan Masumi dan dia masih belum tahu apa yang akan dilakukannya sekarang.
Alih-alih memikirkan pernikahannya, Maya justru segera turun dari tempat tidur dan segera bersiap. Dia tidak mau terlambat. Menejernya akan menjemputnya sebentar lagi.
"Selamat pagi Nona Maya,"
"Selamat pagi Mitsuko," Maya menyapa ramah manajernya.
"Apa anda sudah siap?" Tanya Mitsuko.
Maya mengangguk. Sebenarnya dia belum sarapan tapi selera makannya sedang menghilang. Mitsuko membawa tas Maya dan keduanya segera meninggalkan apartemen menuju lokasi syuting.
"Jadwal anda cukup padat hari ini Nona. Setelah syuting iklan pagi ini, siang nanti anda ada wawancara dengan majalah White lalu sore harinya anda akan syuting offair untuk acara talk show keluarga di TV Daichi bersama Tuan Masumi,"
Maya menepuk dahinya, dia lupa kalau ada jadwal bersama Masumi. Berarti sore ini dia akan bertemu dengan kekasihnya itu.
"Ada apa Nona?" Mitsuko terlihat bingung dengan reaksi Maya.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya lupa kalau ada acara di TV Daichi bersama Masumi," jelas Maya.
"Oh, tenang saja Nona, Tuan Masumi tidak lupa. Tadi Nona Mizuki sudah mengkonfirmasi mengenai jadwal kosong beliau dan meminta saya menyesuaikan. Anda akan berangkat ke studio TV Daichi bersama Tuan Masumi,"
"Eh? Begitukah?" Maya kembali terkejut. Masumi tidak bilang apa-apa padanya.
"Ya, Nona Mizuki mengatakan Tuan Masumi yang memintanya." Jelas Mitsuko lagi.
"Masumi yang minta?" Apa dia tidak marah padaku karena masalah kemarin?
Mitsuko mengangguk, "Benar, Tuan Masumi beranggapan karena itu adalah acara talk show keluarga maka akan bagus imagenya jika Nona dan Tuan yang sebentar lagi akan menikah datang bersamaan. Terkesan lebih kompak juga romantis."
Ekspresi Maya langsung masam. Jadi hanya karena image? Lagi-lagi hanya pekerjaan yang dipikirkannya. Maya mendesah pelan.
"Anda baik-baik saja?"
"Ya Mitsuko, aku baik,"
Mitsuko hanya diam melihat Maya melamun melihat ke luar jendela.
***
Fanfiction by Agnes Kristi
Note : Special untuk Mba Tati Diana yang minta FFTK untuk kado ultah. Ya mumpung bisa bikin. Happy Brithday ya sista meski kadonya telat. Hahahaa
Picturenya karya Sista Mary Regina ya....love it, sorry kalo ijinnya telat XP...thank u sista
"KITA PUTUS!" Teriak Maya.
Masumi menganga dibuatnya. "Apa?! Lagi?"
"Iya!" Raung Maya.
"Tapi Maya-,"
Maya mengangkat tangannya dan Masumi berhenti bicara. Dia berputar cepat dengan tumitnya dan menghentakkan kaki meninggalkan kantor Masumi.
Brakk! Pintu di tutup dengan keras dan Masumi hanya bisa membeku melihat kekasihnya pergi. Belum sempat Masumi menghela napas atas kemarahan Maya, Mizuki muncul dari balik pintu.
"Anda putus lagi Tuan Masumi?" Tanya Mizuki seraya meletakkan secangkir kopi di meja.
Masumi mendesah panjang dan menghempaskan dirinya di kursi kerja, "Kau pasti dengar sendiri kan teriakannya."
"Ini sudah yang keempat kalinya dalam bulan ini. Sekarang apa lagi masalahnya?" Tanya Mizuki.
"Ini," Masumi menunjuk majalah yang tadi di bawa Maya sebagai alasan kemarahannya.
"Ini? Aika Sato?" Kening Mizuki berkerut, "Apa masalahnya dengan ini?" Mizuki menatap heran pada halaman majalah yang memajang foto Masumi sedang berdansa dengan salah satu penyanyi terbaik Daito, Aika Sato, dalam acara pesta peluncuran album barunya.
"Pertanyaan yang sama Mizuki, apa masalahnya?" Masumi menggosok kening dengan jari-jari panjangnya.
Mizuki juga tampak berpikir, "Anda akan menikah bulan depan tapi kenapa justru Maya terus menerus meminta putus dari anda?"
Masumi terdiam menatap sekretarisnya. Dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Hubungan keduanya baik-baik saja selama setahun belakangan ini, bahkan ketika akhirnya publik tahu kalau keduanya sepasang kekasih Maya sama sekali tidak terpengaruh pada pemberitaan media. Tapi sekarang, justru saat keduanya tengah mempersiapkan pernikahan mereka Maya terus menerus bersikap aneh. Marah tanpa sebab dan berulang kali meminta putus darinya hanya karena masalah sepele.
"Aku sama bingungnya denganmu Mizuki," keluh Masumi lirih.
***
Teet! Teet!
Maya berwajah sendu berdiri di depan pintu sebuah apartemen. Pintu terbuka dan wajah gadis tampan menyambutnya.
"Maya?" Rei terkejut melihat Maya yang datang tiba-tiba. Sejak Maya resmi menjadi penerus Bidadari Merah dan menjadi aktris Daito, mereka memang tinggal terpisah. Belum lagi sekarang Maya sudah berstatus tunangan Masumi, pastinya bos Daito itu memberikan fasilitas nomor satu baginya.
"Apa aku tidak boleh masuk?" Maya cemberut karena Rei hanya bergeming menatapnya.
"Ah iya maaf, ayo masuk," Rei membuka pintu lebih lebar dan melambaikan tangannya. Melihat wajah Maya dia sudah bisa menebak apa yang terjadi.
Maya menghempaskan dirinya di sofa panjang ruang tamu seraya mendesah panjang.
"Kau bertengkar lagi dengan Tuan Masumi?" Tebak Rei dan tebakan itu seratus persen benar. Dengan kesal Maya melipat tangannya di dada.
"Ya ampun Maya, apalagi masalahnya sekarang?" Rei menggeleng tak percaya melihat sahabatnya yang terus bertengkar menjelang hari pernikahan.
"Ini salahnya," dengus Maya kesal.
"Kau kan memang selalu menyalahkannya. Kemarin karena Tuan Masumi pergi ke Kyoto terlalu lama lalu karena Tuan Masumi meeting makan siang dengan produser wanita dan terakhir kau marah juga karena Tuan Masumi memberikan pernyataan mengenai aktris baru Daito dari teater Undine. Sekarang apalagi?" Rei dengan rinci menjelaskan kemarahan Maya yang tidak masuk akal selama satu bulan terakhir.
"Kau tidak lihat majalah ya?" Kata Maya dengan masih cemberut dan melipat tangan.
"Majalah? Tidak. Aku belum membeli majalah apapun. Ada apa dengan majalahnya?"
"Masumi berdansa dengan Aika Sato dan terlihat begitu mesra. Menyebalkan," dengus Maya lagi.
"Heh?! Hanya itu?" Rei mengerutkan kening.
"Hanya itu?" Protes Maya, "Apa kau pikir pantas dia berdansa dengan aktris-aktris muda dan cantik padahal satu bulan lagi kami akan menikah?"
Rei menghela napas panjang lalu beranjak dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Ambil minum. Kau bisa meledak jika terus menerus seperti itu," sahut Rei seraya berjalan ke dapur.
Rei meletakkan dua buah minuman kaleng dingin di meja, "Semoga ini bisa mendinginkan kepalamu,"
Maya menyipitkan mata pada sahabatnya, "Sepertinya kau terus membelanya. Kau ini sahabatku atau sahabat Masumi?" Protes Maya lagi.
"Maya, dewasalah,"
"Aku sudah dewasa, dua puluh dua tahun. Apalagi?"
Rei tertawa, "Sebulan terakhir ini kau lebih seperti balita yang minta perhatian lebih dari ayahnya,"
"Rei!"
"Maya, kenapa tidak kau katakan saja yang sebenarnya,"
Menghela napas, Maya memalingkan wajahnya dari Rei. Matanya mulai menghangat.
"Memang apa yang mau aku katakan," lirih Maya. Membuka kaleng, Maya meneguk minumannya. Sensasi dingin dari minuman sedikit menenangkannya.
"Sebenarnya kau hanya takut kan?" Rei memiringkan kepalanya menatap Maya.
Maya mendesah panjang, bersandar pada sofa lalu menempelkan minuman kaleng dingin di keningnya.
"Maya?" Rei meminta jawaban.
"Entahlah Rei," lirih Maya, matanya menatap langit-langit ruang tamu.
"Kau benar-benar tidak seperti Maya yang ku kenal. Maya sahabatku orang yang kuat, optimis, berani dan tidak takut apapun,"
Maya memiringkan kepalanya dan melirik Rei, "Itu aku di atas panggung. Hidup ini tidak seperti panggung sandiwara,"
"Kau sendiri yang sekarang membuatnya seperti panggung sandiwara. Apa kau pikir Tuan Masumi tidak bingung dengan perubahan sikapmu?"
"Ahhhh!" Pekik Maya kesal, "Kenapa dia tidak mengerti aku!" Serunya.
"Dia bukan pria sentimentil Maya. Tidak mungkin dia tahu apa yang kau pikirkan jika kau tidak mengatakannya. Bahkan aku sendiri kadang tidak mengerti dirimu,"
Blug! Maya melempar Rei dengan bantal sofa.
"Hei Maya, aku hanya mengatakan yang sebenarnya," protes Rei.
"Seharusnya kau menghiburku bukan membuatku makin kesal dan putus asa," dengus Maya lagi.
"Bukankah lebih baik kalau kau bicara dengan Tuan Masumi. Dia pasti bisa menenangkanmu, paling tidak mengurangi semua ketakutan tidak masuk akalmu itu," kata Rei menyarankan.
"Tidak masuk akal?" Maya melotot pada Rei.
"Kau cemburu pada para aktris dan juga pekerjaan Tuan Masumi, apa itu masuk akal?" Rei mempertanyakan logika Maya.
"Tapi aktris-aktris itu begitu cantik dan Masumi begitu mencintai pekerjaannya. Bagaimana jika nanti setelah menikah dia mengabaikanku dan lebih memilih pekerjaannya atau berpesta bersama para aktris cantik itu!" Maya menggosok wajahnya dengan kedua tangan, frustasi, beragam ketakutan memenuhi pikirannya saat ini.
"Nah itu bagian tidak masuk akal lainnya. Kau sendiri tahu kalau Tuan Masumi sangat mencintaimu. Kau lupa berapa lama dia menunggumu? Sembilan tahun Maya, sembilan tahun. Itu bukan waktu yang singkat. Tidak masuk akal kalau dia menunggu selama itu hanya untuk mengabaikanmu," kali ini Rei berusaha meluruskan logika Maya.
Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perkataan Rei benar, terlebih Masumi adalah mawar ungunya. Mengingat panjangnya perjalanan cinta yang telah mereka lalui rasanya memang mustahil kalau Masumi akan mengabaikannya. Namun tetap saja ketakutan Maya tidak berkurang sedikitpun. Maya merasa rendah diri jika dibandingkan dengan aktris-aktris Daito yang lain. Padahal dirinya juga termasuk aktris kelas A dan pewaris hak pementasan Bidadari Merah. Bahkan Eisuke Hayami yang tadinya menentang habis-habisan hubungannya dengan Masumi kini luruh juga karena melihat Maya sebagai Bidadari Merah. Namun bagi Maya, Bidadari Merah hanyalah sebuah peran di atas panggung. Di dunia nyata dia adalah wanita mungil -ya meski sudah lebih dewasa sekarang-, ceroboh dan juga tidak punya keahlian apappun selain akting.
"Sudah, sudah, tidak usah dipikirkan terlalu dalam." Rei menepuk bahu Maya seraya beranjak dari duduknya.
Maya hanya mendongak menatap sahabat baiknya itu.
"Apa kau lapar? Aku akan buat sesuatu di dapur untuk makan siang," tanya Rei.
Maya mengangguk lemah dan ketika Rei pergi ke dapur Maya hanya bisa mendesah panjang.
***
Angin musim semi berhembus menerpa wajah Maya. Dia sedang duduk di balkon apartemen mewahnya. Sendiri. Merenung. Kesepian.
Berkali-kali terdengar helaan napas panjang. Wajah Maya lesu, dia seperti sedang digelayuti ribuan ton masalah. Nyatanya apa yang dipikirkannya adalah Masumi, kekasih hatinya. Calon suaminya. Orang yang sangat dicintainya. Tapi sekarang dia ragu. Ragu untuk melangkah. Ragu akan kesetiaan pasangannya. Ragu akan dirinya sendiri.
Ah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Haruskah aku meneruskan semua ini?
Maya melirik majalah yang tergeletak di meja sebelahnya. Masumi terlihat begitu menikmati keberadaannya di tengah para aktris cantik Daito. Hati Maya menjadi ciut. Mampukah dirinya bersaing dengan semua aktris cantik itu? Lagi-lagi Maya hanya bisa menghela napas panjang. Kali ini dia menatap handphonenya yang juga tak bergeming. Sejak pertengkarannya tadi pagi, Masumi belum juga menghubunginya.
Apa kau tidak ingat padaku? Apa pekerjaanmu membuatmu melupakanku?
Maya bertanya-tanya sendiri dengan kediaman Masumi. Dia tidak pernah ingin berpisah dari kekasihnya tapi terkadang melihat Masumi begitu sibuk dengan pekerjaannya dan juga dikagumi aktris-aktris cantik membuatnya ragu.
Masumi, apa yang harus aku lakukan sekarang? Apa benar kata Rei kalau aku hanya ketakutan? Apa benar aku berlebihan?
Maya memeluk kakinya di atas kursi, menengadah menatap langit. Tidak ada bintang di Tokyo.
Aku tidak bisa melihat bintang di langit Tokyo sama sepertimu. Rasanya kau begitu jauh dan terselubung awan.
Maya mendesah panjang.
Sementara itu di kantor Daito hal yang sama terjadi pada Masumi.
Ting! Es batu berdenting di dasar gelas ketika Masumi meneguk habis anggur dalam gelasnya. Tumpukan dokumen dimejanya sudah selesai dia kerjakan. Biasanya dia akan mengunjungi apartemen Maya jika pekerjaannya selesai lebih awal tapi kali ini dia sedang ingin sendiri. Memikirkan semuanya. Kemarahan Maya tadi pagi membuatnya memutar kembali semua perjalanan cinta yang pernah dilaluinya.
Setelah dia nekat membatalkan pertunangannya dengan Shiori, Masumi tidak lagi menutupi perasaannya pada Maya. Dia tidak peduli lagi apa opini publik dan juga kemarahan Eisuke padanya. Nyatanya, Maya sanggup membuktikan kemampuannya dengan menjadi pemenang hak pementasan Bidadari Merah mengalahkan Ayumi. Prestasi Maya mampu membungkam opini publik dan meluruhkan hati Eisuke, bahkan hubungan mereka sudah mendapat restu dari Mayuko. Hampir dua tahun Maya dan Masumi menjalin hubungan. Satu tahun lalu keduanya resmi bertunangan dan musim semi kali ini mereka berencana untuk menikah.
Apa yang terjadi satu bulan terakhir ini membuat Masumi geleng kepala. Maya berubah. Kekasihnya itu menjadi mudah meledak, ya meski biasanya memang begitu tapi ini lebih parah. Mereka jadi sering bertengkar hanya karena hal sepele. Belum lagi ini sudah yang keempat kalinya Maya meminta putus dan itu membuat Masumi semakin kebingungan. Dia sangat mencintai Maya. Sama sekali tidak pernah terlintas dipikirannya untuk berpisah dengan gadis pujaannya itu. Sembilan tahun dia menunggu pernikahan ini dan ketika semua mimpinya hampir menjadi nyata Maya justru membuat langkahnya meragu.
Sayang, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Dari jendela kantornya Masumi menatap langit Tokyo. Ada sebuah bintang yang bersinar.
Dulu kau adalah bintang yang begitu jauh untuk ku raih tapi sekarang...ketika aku begitu bahagia kau berada dalam pelukanku, kenapa kau justru ingin pergi lagi? Apakah aku memang hanya bisa memandangmu? Mayaku....
***
Suara jam beker memaksa mata Maya terbuka. Hari sudah pagi dan dia harus bersiap untuk pergi ke lokasi syuting. Masih ada dua kontrak iklan yang harus diselesaikannya sebelum hari pernikahannya.
Pernikahan? Kening Maya berkerut ketika mengingat hari pernikahannya. Kemarin dia bertengkar dengan Masumi dan dia masih belum tahu apa yang akan dilakukannya sekarang.
Alih-alih memikirkan pernikahannya, Maya justru segera turun dari tempat tidur dan segera bersiap. Dia tidak mau terlambat. Menejernya akan menjemputnya sebentar lagi.
"Selamat pagi Nona Maya,"
"Selamat pagi Mitsuko," Maya menyapa ramah manajernya.
"Apa anda sudah siap?" Tanya Mitsuko.
Maya mengangguk. Sebenarnya dia belum sarapan tapi selera makannya sedang menghilang. Mitsuko membawa tas Maya dan keduanya segera meninggalkan apartemen menuju lokasi syuting.
"Jadwal anda cukup padat hari ini Nona. Setelah syuting iklan pagi ini, siang nanti anda ada wawancara dengan majalah White lalu sore harinya anda akan syuting offair untuk acara talk show keluarga di TV Daichi bersama Tuan Masumi,"
Maya menepuk dahinya, dia lupa kalau ada jadwal bersama Masumi. Berarti sore ini dia akan bertemu dengan kekasihnya itu.
"Ada apa Nona?" Mitsuko terlihat bingung dengan reaksi Maya.
"Ah, tidak apa-apa. Aku hanya lupa kalau ada acara di TV Daichi bersama Masumi," jelas Maya.
"Oh, tenang saja Nona, Tuan Masumi tidak lupa. Tadi Nona Mizuki sudah mengkonfirmasi mengenai jadwal kosong beliau dan meminta saya menyesuaikan. Anda akan berangkat ke studio TV Daichi bersama Tuan Masumi,"
"Eh? Begitukah?" Maya kembali terkejut. Masumi tidak bilang apa-apa padanya.
"Ya, Nona Mizuki mengatakan Tuan Masumi yang memintanya." Jelas Mitsuko lagi.
"Masumi yang minta?" Apa dia tidak marah padaku karena masalah kemarin?
Mitsuko mengangguk, "Benar, Tuan Masumi beranggapan karena itu adalah acara talk show keluarga maka akan bagus imagenya jika Nona dan Tuan yang sebentar lagi akan menikah datang bersamaan. Terkesan lebih kompak juga romantis."
Ekspresi Maya langsung masam. Jadi hanya karena image? Lagi-lagi hanya pekerjaan yang dipikirkannya. Maya mendesah pelan.
"Anda baik-baik saja?"
"Ya Mitsuko, aku baik,"
Mitsuko hanya diam melihat Maya melamun melihat ke luar jendela.
***
"Anda
tidak suka makan siangnya Nona?" Tanya Mitsuki ketika melihat makan
siang Maya hanya berkurang sedikit. Dia baru saja selesai syuting iklan.
"Bukan, aku hanya sedang tidak nafsu makan," Maya beralasan.
"Tapi anda harus makan Nona. Jadwal anda padat hari ini. Jangan sampai anda sakit,"
Maya menggeleng dan mendorong piringnya menjauh. Dia hanya meneguk habis minumannya dan mengabaikan perkataan Mitsuko.
Selesai dengan makan siangnya, Mitsuko mengantar Maya ke kantor redaksi Majalah White untuk wawancara. Seorang wartawan cantik bernama Kirei Yamanaka menyambut Maya dengan senyum hangat. Ini pertama kalinya dia mewawancarai Maya.
"Selamat siang Nona Maya,"
"Selamat siang Nona Kirei,"
"Mari silakan," Kirei melambaikan tangan menuju ruang tamu. Maya dan Mitsuko duduk bersamaan.
"Bisa kita mulai wawancaranya Nona?" Tanya Kirei yang sudah siap dengan buku catatan dan alat perekamnya.
"Tentu," Maya melempar senyum tipis.
"Sebelumnya boleh saya bertanya?"
"Ya?"
"Saya menyiapkan beberapa pertanyaan lain yang mungkin sedikit berbeda dengan yang sudah disepakati. Bolehkah?" Kirei memiringkan kepala dengan sopan menatap Maya.
Maya menoleh pada manajernya.
"Nona Maya hanya akan menjawab jika dia mau. Jika tidak maka anda tidak boleh memaksa," jelas Mitsuko.
"Tentu, saya mengerti. Terima kasih. Oke, kita mulai sekarang," Kirei menyalakan alat perekamnya, "Nona Maya, sebentar lagi anda akan menikah dengan Direktur Utama Daito yang tampan, incaran para wanita muda kelas atas. Bagaimana perasaan anda mengenai hal itu?"
Kening Maya berkerut. Bukankah pertanyaan itu yang sedang menjadi dilema dalam dirinya saat ini?
"Ya mengenai hal itu tentu saja aku bahagia. Aku sungguh beruntung mendapat suami seperti Masumi," akhirnya Maya menjawab juga.
"Tuan Masumi Hayami terkenal dingin terhadap wanita. Hanya dua wanita yang pernah memiliki hubungan khusus dengannya, pertama Nona Takamiya dan kedua adalah anda. Menurut anda apa yang membuat Tuan Hayami begitu mencintai anda sampai akhirnya melamar anda?"
Maya kembali berkerut dengan pertanyaan Kirei. "Haruskah aku menjawab pertanyaan ini?"
"Anda tidak ingin menjawabnya?" Kirei memandang heran pada Maya begitu juga Mitsuko. Maya menggeleng keras. Kirei mengendikkan bahu dan melewatkan pertanyaannya.
"Bagaimana dengan pengagum rahasia anda, si Mawar Ungu? Apa dia tahu kalau anda akan menikah?" Tanya Kirei.
"Ya dia tahu," Dialah yang akan menikah denganku.
"Lalu apa tanggapan penggemar anda itu? Apa sampai sekarang anda masih belum pernah bertemu dengannya?"
Maya menyeringai. Masumi memang melarang Maya mengatakan identitas asli mawar ungu tapi membicarakan mawar ungu dan Masumi sebagai dua orang yang berbeda terasa sangat menggelikan bagi Maya.
"Dia bilang dia senang karena saya akan menikah. Dia mendoakan yang terbaik bagi saya dan kami sudah bertemu," jawab Maya.
"Wah, para fans anda mengira mawar ungu adalah orang yang membuat anda bisa sukses seperti sekarang. Apa itu benar?"
"Ya itu benar,"
"Anehnya dulu anda dan Tuan Hayami bermusuhan lalu kenapa sekarang justru kalian akan menikah?"
Maya terlihat kesal dengan pertanyaan itu tapi berusaha tetap tenang, "Ya begitulah cinta, siapa yang tahu,"
Kirei menyeringai tipis dan melanjutkan pertanyaannya, "Sebagian fans mengatakan bahwa mereka menyarankan anda menikah dengan mawar ungu dibanding dengan Tuan Hayami mengingat pengagum rahasia anda yang katanya orang kaya itu telah begitu banyak membantu hidup anda. Tidakkah anda merasa berhutang budi padanya?"
Maya tersentak, "Apa maksudnya?"
Mitsuko juga terlihat tidak senang dengan pertanyaan itu.
"Ya, maksudnya ketika kami melakukan survei pada para fans anda mereka menyarankan anda menikah dengan mawar ungu sebagai bentuk terima kasih anda atas semua dukungan dan kebaikannya selama ini,"
"Maaf Nona kirei, pertanyaan anda tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah di buat sebelumnya," protes Mitsuko yang juga terlihat kesal dengan wartawan yang asal bicara itu.
Maya marah sekarang, "Maaf, saya rasa wawancara ini kita batalkan saja," Maya mengambil tasnya dan langsung berdiri diikuti oleh Mitsuko.
"Eh, maaf tapi-," Kirei gagal menghalangi Maya dan Mitsuko pergi meninggalkan ruangan. Tapi sedetik kemudian dia menyeringai tipis seraya mematikan alat perekamnya. Diapun mengambil hanphonenya dan melakukan panggilan.
"Tugas sudah terlaksana dengan baik Nona. Maya terlihat marah dan sepertinya semua akan berjalan lancar," sejenak Kirei terdiam mendengar lawan bicaranya tapi kemudian senyumnya kembali mengembang saat mematikan teleponnya.
"Bukan, aku hanya sedang tidak nafsu makan," Maya beralasan.
"Tapi anda harus makan Nona. Jadwal anda padat hari ini. Jangan sampai anda sakit,"
Maya menggeleng dan mendorong piringnya menjauh. Dia hanya meneguk habis minumannya dan mengabaikan perkataan Mitsuko.
Selesai dengan makan siangnya, Mitsuko mengantar Maya ke kantor redaksi Majalah White untuk wawancara. Seorang wartawan cantik bernama Kirei Yamanaka menyambut Maya dengan senyum hangat. Ini pertama kalinya dia mewawancarai Maya.
"Selamat siang Nona Maya,"
"Selamat siang Nona Kirei,"
"Mari silakan," Kirei melambaikan tangan menuju ruang tamu. Maya dan Mitsuko duduk bersamaan.
"Bisa kita mulai wawancaranya Nona?" Tanya Kirei yang sudah siap dengan buku catatan dan alat perekamnya.
"Tentu," Maya melempar senyum tipis.
"Sebelumnya boleh saya bertanya?"
"Ya?"
"Saya menyiapkan beberapa pertanyaan lain yang mungkin sedikit berbeda dengan yang sudah disepakati. Bolehkah?" Kirei memiringkan kepala dengan sopan menatap Maya.
Maya menoleh pada manajernya.
"Nona Maya hanya akan menjawab jika dia mau. Jika tidak maka anda tidak boleh memaksa," jelas Mitsuko.
"Tentu, saya mengerti. Terima kasih. Oke, kita mulai sekarang," Kirei menyalakan alat perekamnya, "Nona Maya, sebentar lagi anda akan menikah dengan Direktur Utama Daito yang tampan, incaran para wanita muda kelas atas. Bagaimana perasaan anda mengenai hal itu?"
Kening Maya berkerut. Bukankah pertanyaan itu yang sedang menjadi dilema dalam dirinya saat ini?
"Ya mengenai hal itu tentu saja aku bahagia. Aku sungguh beruntung mendapat suami seperti Masumi," akhirnya Maya menjawab juga.
"Tuan Masumi Hayami terkenal dingin terhadap wanita. Hanya dua wanita yang pernah memiliki hubungan khusus dengannya, pertama Nona Takamiya dan kedua adalah anda. Menurut anda apa yang membuat Tuan Hayami begitu mencintai anda sampai akhirnya melamar anda?"
Maya kembali berkerut dengan pertanyaan Kirei. "Haruskah aku menjawab pertanyaan ini?"
"Anda tidak ingin menjawabnya?" Kirei memandang heran pada Maya begitu juga Mitsuko. Maya menggeleng keras. Kirei mengendikkan bahu dan melewatkan pertanyaannya.
"Bagaimana dengan pengagum rahasia anda, si Mawar Ungu? Apa dia tahu kalau anda akan menikah?" Tanya Kirei.
"Ya dia tahu," Dialah yang akan menikah denganku.
"Lalu apa tanggapan penggemar anda itu? Apa sampai sekarang anda masih belum pernah bertemu dengannya?"
Maya menyeringai. Masumi memang melarang Maya mengatakan identitas asli mawar ungu tapi membicarakan mawar ungu dan Masumi sebagai dua orang yang berbeda terasa sangat menggelikan bagi Maya.
"Dia bilang dia senang karena saya akan menikah. Dia mendoakan yang terbaik bagi saya dan kami sudah bertemu," jawab Maya.
"Wah, para fans anda mengira mawar ungu adalah orang yang membuat anda bisa sukses seperti sekarang. Apa itu benar?"
"Ya itu benar,"
"Anehnya dulu anda dan Tuan Hayami bermusuhan lalu kenapa sekarang justru kalian akan menikah?"
Maya terlihat kesal dengan pertanyaan itu tapi berusaha tetap tenang, "Ya begitulah cinta, siapa yang tahu,"
Kirei menyeringai tipis dan melanjutkan pertanyaannya, "Sebagian fans mengatakan bahwa mereka menyarankan anda menikah dengan mawar ungu dibanding dengan Tuan Hayami mengingat pengagum rahasia anda yang katanya orang kaya itu telah begitu banyak membantu hidup anda. Tidakkah anda merasa berhutang budi padanya?"
Maya tersentak, "Apa maksudnya?"
Mitsuko juga terlihat tidak senang dengan pertanyaan itu.
"Ya, maksudnya ketika kami melakukan survei pada para fans anda mereka menyarankan anda menikah dengan mawar ungu sebagai bentuk terima kasih anda atas semua dukungan dan kebaikannya selama ini,"
"Maaf Nona kirei, pertanyaan anda tidak sesuai dengan kesepakatan yang sudah di buat sebelumnya," protes Mitsuko yang juga terlihat kesal dengan wartawan yang asal bicara itu.
Maya marah sekarang, "Maaf, saya rasa wawancara ini kita batalkan saja," Maya mengambil tasnya dan langsung berdiri diikuti oleh Mitsuko.
"Eh, maaf tapi-," Kirei gagal menghalangi Maya dan Mitsuko pergi meninggalkan ruangan. Tapi sedetik kemudian dia menyeringai tipis seraya mematikan alat perekamnya. Diapun mengambil hanphonenya dan melakukan panggilan.
"Tugas sudah terlaksana dengan baik Nona. Maya terlihat marah dan sepertinya semua akan berjalan lancar," sejenak Kirei terdiam mendengar lawan bicaranya tapi kemudian senyumnya kembali mengembang saat mematikan teleponnya.
***
Maya terlihat masih kesal ketika masuk ke dalam mobil.
"Maaf Nona, saya tidak menyangka Nona Kirei akan bertanya seperti itu,"
"Sudahlah tidak perlu dibahas. Aku hanya butuh sedikit ketenangan sekarang," jawab Maya.
Mitsuko melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam tersisa karena sesi wawancara yang gagal. Sedangkan Masumi baru akan menjemput Maya sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati.
"Apa anda ingin kita minum kopi atau teh dicafe sekitar sini sambil menunggu Tuan Masumi menjemput anda?" Mitsuki memberikan sarannya.
"Bukan ide yang buruk," jawab Maya dan Mitsuko tersenyum kemudian menjalankan mobilnya.
Keduanya sampai di sebuah cafe yang tak jauh dari kantor redaksi majalah White. Mitsuko memilih tempat di sudut ruangan yang tidak begitu ramai.
Maya melepaskan mantel coklat panjang dan kaca mata hitam yang dikenakannya lalu duduk bersebelahan dengan Mitsuko. Manajernya itu memesankan black tea untuk Maya.
"Anda baik-baik saja?" Mitsuko memiringkan kepalanya melihat Maya yang terlihat lesu.
"Ya,"
"Tuan Masumi akan menjemput anda satu jam lagi. Saya akan kirim pesan pada Nona Mizuki untuk memberitahukan alamat cafe," Mitsuko mengambil handphonenya dan mulai mengetik pesan.
"Hhmmm Mitsuko, boleh aku bertanya?" Maya memainkan jarinya di atas meja tanpa melihat Mitsuko.
"Tentu,"
"Apa menurutmu aku adalah pasangan yang cocok untuk Masumi?"
"Eh?! Kenapa Nona bertanya seperti itu?"
"Jawab saja,"
"Tentu saja anda cocok dengan Tuan Masumi. Bukankah Tuan sudah memilih anda,"
"Bukan itu yang ku maksud,"
"Lalu?"
"Apa menurut pandanganmu aku ini cocok sebagai pendamping Masumi?"
Mitsuko menggaruk kepalanya.
"Apa?"
"Hhmmm, Nona, apa anda sedang terkena Prewedding Syndrome?"
"Apa itu?" Maya menoleh pada menejernya.
"Merasa takut menghadapi pernikahan sehingga anda berpikir apakah anda cocok, apakah ini tepat atau tidak dan sebagainya,"
Maya tertegun mendengarnya, benarkah itu? Maya tersentak ketika tiba-tiba Mitsuko mengusap lengannya.
"Percayalah bahwa pilihan anda sudah yang terbaik. Saya belum pernah melihat Tuan Masumi bahagia seperti bersama dengan anda. Saya rasa andapun demikian. Jadi abaikan saja semua perkataan orang dan nikmati hidup anda,"
Menghela napas panjang, Maya menyunggingkan senyum. "Terima kasih Mitsuko,"
Mitsuko tersenyum dan ketika minuman datang obrolan mereka menjadi lebih santai.
Baru tiga puluh menit berlalu, mobil Masumi yang melaju dengan kecepatan tinggi sudah terparkir di depan cafe. Dengan tergesa dia masuk ke cafe dan mencari Maya.
"Kau baik-baik saja?" Sergah Masumi pada Maya yang sedang meneguk tehnya.
Maya dan Mitsuko saling bertukar pandang dengan bingung.
"Iya aku baik-baik saja, kenapa?" Jawab Maya.
"Syukurlah," Masumi menyapukan tangannya ke rambut dan mendesah lega.
"Ada apa?" Maya penasaran.
"Mitsuko bilang kau ada masalah dengan wartawan majalah White dan membatalkan wawancara. Aku pikir sudah terjadi sesuatu yang buruk denganmu," jelas Masumi.
Mitsuko tersenyum melihat kekhawatiran Masumi pada kekasihnya sementara Maya masih berwajah bingung.
"Saya permisi ke kamar kecil sebentar," Mitsuko beranjak dari bangkunya, tentu saja dengan maksud memberi waktu keduanya untuk bicara.
Maksud itu dimengerti oleh Masumi karena setelah Mitsuko pergi, dia segera menempatkan dirinya di sebelah kekasihnya. Maya beringsut tidak nyaman di tempatnya.
"Kau masih marah?" Tanya Masumi seraya memiringkan kepala mencari wajah Maya yang berusaha disembunyikannya.
"Marah?" Maya melirik Masumi.
"Kau marah tanpa sebab padaku kemarin pagi,"
Tidak lagi hanya melirik, Maya memutar tubuhnya menghadap Masumi dan melotot padanya, "Marah tanpa sebab?" Dengusnya.
Alis Masumi bertaut heran, "Jujur Maya, sampai sekarang aku masih belum mengerti kenapa kau marah padaku,"
Maya melipat tangan di dada.
"Maya, ku mohon, jangan marah lagi. Bisa kita bicarakan masalah ini setelah kita selesai syuting?" Masumi menarik tangan Maya dan menggenggamnya.
Maya hanya diam.
"Sayang," bujuk Masumi.
"Baiklah," gumam Maya kemudian. Masumi terlihat lega.
Mitsuko yang datang mengalihkan perhatian keduanya.
"Ayo kita pergi sekarang," celetuk Maya kemudian.
Masumi mendongak melihat Maya yang berdiri di sebelahnya. "Sekarang?"
"Iya, aku tidak mau terlambat," jawab Maya datar.
"Baiklah," tidak bertanya lagi Masumi langsung menggenggam tangan Maya dan membawanya menuju mobil, membuat Maya cemberut. Mitsuko mengikuti keduanya ke tempat parkir.
Maya masih diam seribu bahasa. Masumi sengaja membawa mobil sendiri karena tidak mau kebersamaannya dengan Maya diganggu.
"Sampai kapan kau akan terus diam seperti itu?" Celetuk Masumi.
"Apa pedulimu?" Jawab Maya.
"Tentu aku peduli Maya."
"Oh ya?"
Masumi menghela napas melihat Maya masih merajuk. Akhirnya dia hanya diam karena tidak mau memicu pertengkaran. Tak lama kemudian mereka sampai di stasiun TV Daichi.
"Maya, bisakah kau tidak berwajah masam? Kita datang untuk acara talk show keluarga kan?" Kata Masumi.
"Tenang saja Tuan Hayami, aku tidak akan merusak imageku sebagai aktris kelas A dan mempermalukanmu," dan tanpa menunggu Masumi membuka pintu untuknya, Maya segera keluar dari mobil.
Masumi tahu bukan waktu yang tepat untuk mendebat Maya. Alhasil dia hanya bisa diam dan mengikuti Maya.
Sikap Maya langsung berubah ketika memasuki studio. Tidak heran dia menjadi aktris hebat. Aktingnya bersama Masumi benar-benar meyakinkan. Keduanya terlihat seperti pasangan yang benar-benar bahagia menjelang pernikahan. Hari menjelang senja ketika keduanya selesai syuting dan sikap Maya kembali berubah. Dia langsung menjauh dari Masumi begitu keluar dari studio.
"Maaf, apa anda sedang bertengkar dengan Nona?" Tanya Mitsuko pada Masumi yang tengah tertegun menatap Maya yang berjalan ke kamar mandi.
Masumi mengendikkan bahu, "Entahlah Mitsuko, Maya bersikap aneh belakangan ini,"
"Ah jadi benar dugaan saya kalau Nona Maya mengalami Prewedding Syndrome," gumam Mitsuko.
"Prewedding Syndrome?" Alis Masumi berkerut.
"Nona Maya takut menghadapi pernikahannya. Dia bertanya pada saya apakah dia cocok untuk anda, sepertinya dia merasa rendah diri. Akhir-akhir ini dia menjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung,"
"Begitukah?"
Mitsuko mengangguk.
"Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan?"
"Bersabar Tuan. Luangkan waktu lebih banyak untuk Nona, terus beri perhatian padanya dan buat dia mengerti bahwa dia adalah orang paling penting dalam hidup anda. Jujur, mungkin kesibukan anda pada pekerjaan membuat Nona merasa di abaikan," jelas Mitsuko.
Masumi mengusap dagunya dan mengangguk-angguk. Hatinya sedikit lega menemukan jawaban atas sikap Maya yang aneh. Menjelang pernikahan dia memang sibuk karena harus menyelesaikan semua pekerjaan sebelum cuti panjangnya. Penjelasan Mitsuko terdengar masuk akal baginya. Mungkin kecemburuan Maya yang tidak masuk akal itu juga akibat dari rasa rendah dirinya.
Seorang pria dengan seragam petugas keamanan berlari dengan tergesa menghampiri Masumi dan Mitsuko.
"Tuan Hayami, Nona Kitajima pingsan di kamar mandi dan sekarang sedang dibawa ke ruang kesehatan," lapornya dengan napas terengah dan wajah panik.
"Apa?!" Seru Masumi dan Mitsuko bersamaan. Keduanyapun segera berlari menuju ruang kesehatan mengikuti petugas keamanan.
"Tekanan darahnya turun, mungkin karena kelelahan. Nona Kitajima harus istirahat dan makan dengan baik agar kondisinya cepat pulih," kata dokter jaga yang baru saja selesai memeriksa Maya.
"Itulah masalahnya. Akhir-akhir ini Nona tidak makan dengan baik. Dia hampir tidak menyentuh makanannya siang tadi," keluh Mitsuko.
"Maya tidak mau makan?" Masumi terkejut. Dia tahu benar kalau Maya mudah sekali kelaparan. Kehilangan nafsu makan jelas menandakan kalau Maya sedang dalam kondisi tidak baik.
Mitsuko hanya mengangguk lemah menjawabnya.
"Baiklah, saya akan meresepkan obat dan beberapa vitamin untuk Nona Kitajima," dokter menuliskan resep dalam kertas lalu memberikannya pada Masumi.
"Boleh saya menemuinya?" Tanya Masumi.
"Ya Tuan, silakan. Nona Kitajima sudah sadar," jawab Dokter. "Saya permisi dulu," dokter itupun meninggalkan ruang kesehatan.
"Anda perlu sesuatu Tuan Hayami?" Tanya salah satu staf perempuan TV Daichi yang ikut membantu mengurus Maya tadi. Pingsannya Maya cukup membuat heboh studio.
"Tidak terima kasih," jawab Masumi.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi," staf dan dua rekannya kemudian berbalik pergi.
Masumi menatap resep di tangannya, "Mitsuko tolong urus ini dan antar ke apartemen Maya. Aku yang akan mengantarnya pulang," perintah Masumi seraya memberikan resep pada Mitsuko.
"Baik Tuan," Mitsuko tidak banyak tanya lagi dan segera menjalankan perintah atasannya.
Masumi sendiri kemudian masuk ke kamar di mana Maya dirawat tadi. Kekasihnya itu tengah terbaring dan pandangannya kosong menatap jendela.
"Maya,"
Maya tersentak ketika Masumi mengusap kepalanya.
"Masumi?" Lirihnya.
Masumi tersenyum, "Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bilang kalau sedang tidak enak badan?" Tanya Masumi lembut.
Maya merona di bawah tatapan mata kekasihnya. "A, aku, tidak apa-apa," jawab Maya.
Masumi menggeleng, meski sedang sakit tetap saja kekasihnya itu keras kepala.
"Apa kau sudah cukup kuat untuk pulang?"
"Iya. Sudah ku bilang kan kalau aku tidak apa-apa," Maya tiba-tiba bangun tapi ternyata dia belum cukup kuat. Kepalanya berputar ketika dia memaksa bergerak. "Ugh!"
"Nah, masih bilang tidak apa-apa?" Masumi tersenyum geli.
"Kyaaa! Masumi turunkan aku," Maya memekik terkejut ketika Masumi tiba-tiba mengangkat tubuhnya.
"Aku tidak mau kau pingsan lagi," Masumi beralasan dan mengabaikan Maya yang memukuli dadanya.
"Kau akan tambah malu kalau tidak menurut," bisik Masumi.
Benar saja, beberapa orang terkikik geli ketika melihat Maya, keduanya sedang berjalan melintasi koridor untuk keluar dari studio. Akhirnya Maya hanya diam dan menunduk dengan wajah merah. Sejujurnya, andai saja dia sedang tidak marah pada Masumi, Maya tidak keberatan. Berada dalam pelukan Masumi adalah hal paling membahagiakan baginya. Tapi sebulan terakhir sejak keduanya disibukkan oleh urusan pekerjaan dan persiapan pernikahan, Masumi jarang sekali memperhatikannya. Ditambah Masumi sering menghadiri pesta dan paginya akan terpampang fotonya bersama aktris cantik. Semua itu membuat Maya meradang.
Dengan hati-hati Masumi menurunkan Maya di jok depan mobilnya lalu memasangkan sabuk pengaman padanya. Mata Maya mengikuti Masumi saat dia berjalan memutari mobil kemudian duduk di belakang kemudi.
"Ada apa?" Tanya Masumi ketika menyadari Maya tengah mengamatinya.
"Ti, tidak," Maya membuang muka menatap keluar jendela.
Masumi menahan diri untuk tidak bertanya lebih dan mulai menjalankan mobilnya. Faktanya Maya memang kelelahan, dia tertidur saat baru setengah perjalanan menuju apartemennya. Maya benar-benar terlelap dan ketika Masumi memarkirkan mobilnya di basement dia punya banyak waktu untuk mengamati wajah Maya yang terlihat begitu tenang.
Tangan Masumi terulur menyingkirkan rambut hitam Maya dari wajahnya, Maya bergerak tapi tetap terlelap. Masumi tersenyum melihatnya.
"Sayang, tahukah kau kalau hanya dirimu yang bisa membuatku gila seperti ini." Gumam Masumi seraya mengusap lembut wajah Maya dengan buku-buku jarinya.
"Berhentilah merajuk. Jangan ragukan cintaku karena aku hidup hanya untukmu," gumamnya lagi. Melepas sabuk pengamannya, Masumi melandaikan tubuhnya dan mengecup sudut bibir Maya.
"Aku tidak sabar untuk menjadikanmu milikku, selamanya," desahnya.
"Ngghh,"
Masumi menarik dirinya ketika Maya bergerak. Tapi kekasihnya itu tetap tidak bangun. Masumi tersenyum sendiri dengan apa yang dilakukannya. Kebiasaan lamanya yang suka sekali mencuri ciuman dari Maya ternyata tidak juga hilang.
Tanpa kesulitan Masumi membawa Maya ke apartemennya. Kekasihnya itu masih belum juga bangun ketika Masumi membaringkannya di tempat tidur. Diapun menyelimuti Maya lalu keluar dari kamar.
Bel pintu berbunyi.
"Selamat malam Tuan, ini obat Nona Maya. Apa Nona sudah tidur?" Tanya Mitsuko. Dia berdiri diambang pintu bersama dengan Masumi.
"Ya dia sudah tidur. Terima kasih Mitsuko," ucap Masumi.
"Senang bisa membantu Tuan. Oh ya, Nona belum makan siang tadi, saya menduga dia tidak makan sejak pagi,"
"Biar aku yang mengurusnya,"
Mitsuko tersenyum, "Baik Tuan, kalau begitu saya permisi. Jadwal Nona kosong besok jadi itu baik untuknya beristirahat,"
Masumi hanya mengangguk dan Mitsuko berbalik pergi. Menutup pintu dan menguncinya, Masumi kembali ke ruang tamu lalu melepas jas dan dasinya, meletakkannya dengan rapi di sofa.
Maya belum makan, jadi sebaiknya ku buatkan sesuatu untuknya.
Diapun berjalan ke dapur dan membuka lemari es. Menggulung lengan kemejanya, Masumi mulai sibuk.
***
"Maaf Nona, saya tidak menyangka Nona Kirei akan bertanya seperti itu,"
"Sudahlah tidak perlu dibahas. Aku hanya butuh sedikit ketenangan sekarang," jawab Maya.
Mitsuko melirik jam tangannya. Masih ada waktu satu jam tersisa karena sesi wawancara yang gagal. Sedangkan Masumi baru akan menjemput Maya sesuai dengan jadwal yang sudah disepakati.
"Apa anda ingin kita minum kopi atau teh dicafe sekitar sini sambil menunggu Tuan Masumi menjemput anda?" Mitsuki memberikan sarannya.
"Bukan ide yang buruk," jawab Maya dan Mitsuko tersenyum kemudian menjalankan mobilnya.
Keduanya sampai di sebuah cafe yang tak jauh dari kantor redaksi majalah White. Mitsuko memilih tempat di sudut ruangan yang tidak begitu ramai.
Maya melepaskan mantel coklat panjang dan kaca mata hitam yang dikenakannya lalu duduk bersebelahan dengan Mitsuko. Manajernya itu memesankan black tea untuk Maya.
"Anda baik-baik saja?" Mitsuko memiringkan kepalanya melihat Maya yang terlihat lesu.
"Ya,"
"Tuan Masumi akan menjemput anda satu jam lagi. Saya akan kirim pesan pada Nona Mizuki untuk memberitahukan alamat cafe," Mitsuko mengambil handphonenya dan mulai mengetik pesan.
"Hhmmm Mitsuko, boleh aku bertanya?" Maya memainkan jarinya di atas meja tanpa melihat Mitsuko.
"Tentu,"
"Apa menurutmu aku adalah pasangan yang cocok untuk Masumi?"
"Eh?! Kenapa Nona bertanya seperti itu?"
"Jawab saja,"
"Tentu saja anda cocok dengan Tuan Masumi. Bukankah Tuan sudah memilih anda,"
"Bukan itu yang ku maksud,"
"Lalu?"
"Apa menurut pandanganmu aku ini cocok sebagai pendamping Masumi?"
Mitsuko menggaruk kepalanya.
"Apa?"
"Hhmmm, Nona, apa anda sedang terkena Prewedding Syndrome?"
"Apa itu?" Maya menoleh pada menejernya.
"Merasa takut menghadapi pernikahan sehingga anda berpikir apakah anda cocok, apakah ini tepat atau tidak dan sebagainya,"
Maya tertegun mendengarnya, benarkah itu? Maya tersentak ketika tiba-tiba Mitsuko mengusap lengannya.
"Percayalah bahwa pilihan anda sudah yang terbaik. Saya belum pernah melihat Tuan Masumi bahagia seperti bersama dengan anda. Saya rasa andapun demikian. Jadi abaikan saja semua perkataan orang dan nikmati hidup anda,"
Menghela napas panjang, Maya menyunggingkan senyum. "Terima kasih Mitsuko,"
Mitsuko tersenyum dan ketika minuman datang obrolan mereka menjadi lebih santai.
Baru tiga puluh menit berlalu, mobil Masumi yang melaju dengan kecepatan tinggi sudah terparkir di depan cafe. Dengan tergesa dia masuk ke cafe dan mencari Maya.
"Kau baik-baik saja?" Sergah Masumi pada Maya yang sedang meneguk tehnya.
Maya dan Mitsuko saling bertukar pandang dengan bingung.
"Iya aku baik-baik saja, kenapa?" Jawab Maya.
"Syukurlah," Masumi menyapukan tangannya ke rambut dan mendesah lega.
"Ada apa?" Maya penasaran.
"Mitsuko bilang kau ada masalah dengan wartawan majalah White dan membatalkan wawancara. Aku pikir sudah terjadi sesuatu yang buruk denganmu," jelas Masumi.
Mitsuko tersenyum melihat kekhawatiran Masumi pada kekasihnya sementara Maya masih berwajah bingung.
"Saya permisi ke kamar kecil sebentar," Mitsuko beranjak dari bangkunya, tentu saja dengan maksud memberi waktu keduanya untuk bicara.
Maksud itu dimengerti oleh Masumi karena setelah Mitsuko pergi, dia segera menempatkan dirinya di sebelah kekasihnya. Maya beringsut tidak nyaman di tempatnya.
"Kau masih marah?" Tanya Masumi seraya memiringkan kepala mencari wajah Maya yang berusaha disembunyikannya.
"Marah?" Maya melirik Masumi.
"Kau marah tanpa sebab padaku kemarin pagi,"
Tidak lagi hanya melirik, Maya memutar tubuhnya menghadap Masumi dan melotot padanya, "Marah tanpa sebab?" Dengusnya.
Alis Masumi bertaut heran, "Jujur Maya, sampai sekarang aku masih belum mengerti kenapa kau marah padaku,"
Maya melipat tangan di dada.
"Maya, ku mohon, jangan marah lagi. Bisa kita bicarakan masalah ini setelah kita selesai syuting?" Masumi menarik tangan Maya dan menggenggamnya.
Maya hanya diam.
"Sayang," bujuk Masumi.
"Baiklah," gumam Maya kemudian. Masumi terlihat lega.
Mitsuko yang datang mengalihkan perhatian keduanya.
"Ayo kita pergi sekarang," celetuk Maya kemudian.
Masumi mendongak melihat Maya yang berdiri di sebelahnya. "Sekarang?"
"Iya, aku tidak mau terlambat," jawab Maya datar.
"Baiklah," tidak bertanya lagi Masumi langsung menggenggam tangan Maya dan membawanya menuju mobil, membuat Maya cemberut. Mitsuko mengikuti keduanya ke tempat parkir.
Maya masih diam seribu bahasa. Masumi sengaja membawa mobil sendiri karena tidak mau kebersamaannya dengan Maya diganggu.
"Sampai kapan kau akan terus diam seperti itu?" Celetuk Masumi.
"Apa pedulimu?" Jawab Maya.
"Tentu aku peduli Maya."
"Oh ya?"
Masumi menghela napas melihat Maya masih merajuk. Akhirnya dia hanya diam karena tidak mau memicu pertengkaran. Tak lama kemudian mereka sampai di stasiun TV Daichi.
"Maya, bisakah kau tidak berwajah masam? Kita datang untuk acara talk show keluarga kan?" Kata Masumi.
"Tenang saja Tuan Hayami, aku tidak akan merusak imageku sebagai aktris kelas A dan mempermalukanmu," dan tanpa menunggu Masumi membuka pintu untuknya, Maya segera keluar dari mobil.
Masumi tahu bukan waktu yang tepat untuk mendebat Maya. Alhasil dia hanya bisa diam dan mengikuti Maya.
Sikap Maya langsung berubah ketika memasuki studio. Tidak heran dia menjadi aktris hebat. Aktingnya bersama Masumi benar-benar meyakinkan. Keduanya terlihat seperti pasangan yang benar-benar bahagia menjelang pernikahan. Hari menjelang senja ketika keduanya selesai syuting dan sikap Maya kembali berubah. Dia langsung menjauh dari Masumi begitu keluar dari studio.
"Maaf, apa anda sedang bertengkar dengan Nona?" Tanya Mitsuko pada Masumi yang tengah tertegun menatap Maya yang berjalan ke kamar mandi.
Masumi mengendikkan bahu, "Entahlah Mitsuko, Maya bersikap aneh belakangan ini,"
"Ah jadi benar dugaan saya kalau Nona Maya mengalami Prewedding Syndrome," gumam Mitsuko.
"Prewedding Syndrome?" Alis Masumi berkerut.
"Nona Maya takut menghadapi pernikahannya. Dia bertanya pada saya apakah dia cocok untuk anda, sepertinya dia merasa rendah diri. Akhir-akhir ini dia menjadi lebih sensitif dan mudah tersinggung,"
"Begitukah?"
Mitsuko mengangguk.
"Lalu menurutmu apa yang harus aku lakukan?"
"Bersabar Tuan. Luangkan waktu lebih banyak untuk Nona, terus beri perhatian padanya dan buat dia mengerti bahwa dia adalah orang paling penting dalam hidup anda. Jujur, mungkin kesibukan anda pada pekerjaan membuat Nona merasa di abaikan," jelas Mitsuko.
Masumi mengusap dagunya dan mengangguk-angguk. Hatinya sedikit lega menemukan jawaban atas sikap Maya yang aneh. Menjelang pernikahan dia memang sibuk karena harus menyelesaikan semua pekerjaan sebelum cuti panjangnya. Penjelasan Mitsuko terdengar masuk akal baginya. Mungkin kecemburuan Maya yang tidak masuk akal itu juga akibat dari rasa rendah dirinya.
Seorang pria dengan seragam petugas keamanan berlari dengan tergesa menghampiri Masumi dan Mitsuko.
"Tuan Hayami, Nona Kitajima pingsan di kamar mandi dan sekarang sedang dibawa ke ruang kesehatan," lapornya dengan napas terengah dan wajah panik.
"Apa?!" Seru Masumi dan Mitsuko bersamaan. Keduanyapun segera berlari menuju ruang kesehatan mengikuti petugas keamanan.
"Tekanan darahnya turun, mungkin karena kelelahan. Nona Kitajima harus istirahat dan makan dengan baik agar kondisinya cepat pulih," kata dokter jaga yang baru saja selesai memeriksa Maya.
"Itulah masalahnya. Akhir-akhir ini Nona tidak makan dengan baik. Dia hampir tidak menyentuh makanannya siang tadi," keluh Mitsuko.
"Maya tidak mau makan?" Masumi terkejut. Dia tahu benar kalau Maya mudah sekali kelaparan. Kehilangan nafsu makan jelas menandakan kalau Maya sedang dalam kondisi tidak baik.
Mitsuko hanya mengangguk lemah menjawabnya.
"Baiklah, saya akan meresepkan obat dan beberapa vitamin untuk Nona Kitajima," dokter menuliskan resep dalam kertas lalu memberikannya pada Masumi.
"Boleh saya menemuinya?" Tanya Masumi.
"Ya Tuan, silakan. Nona Kitajima sudah sadar," jawab Dokter. "Saya permisi dulu," dokter itupun meninggalkan ruang kesehatan.
"Anda perlu sesuatu Tuan Hayami?" Tanya salah satu staf perempuan TV Daichi yang ikut membantu mengurus Maya tadi. Pingsannya Maya cukup membuat heboh studio.
"Tidak terima kasih," jawab Masumi.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi," staf dan dua rekannya kemudian berbalik pergi.
Masumi menatap resep di tangannya, "Mitsuko tolong urus ini dan antar ke apartemen Maya. Aku yang akan mengantarnya pulang," perintah Masumi seraya memberikan resep pada Mitsuko.
"Baik Tuan," Mitsuko tidak banyak tanya lagi dan segera menjalankan perintah atasannya.
Masumi sendiri kemudian masuk ke kamar di mana Maya dirawat tadi. Kekasihnya itu tengah terbaring dan pandangannya kosong menatap jendela.
"Maya,"
Maya tersentak ketika Masumi mengusap kepalanya.
"Masumi?" Lirihnya.
Masumi tersenyum, "Bagaimana keadaanmu? Kenapa kau tidak bilang kalau sedang tidak enak badan?" Tanya Masumi lembut.
Maya merona di bawah tatapan mata kekasihnya. "A, aku, tidak apa-apa," jawab Maya.
Masumi menggeleng, meski sedang sakit tetap saja kekasihnya itu keras kepala.
"Apa kau sudah cukup kuat untuk pulang?"
"Iya. Sudah ku bilang kan kalau aku tidak apa-apa," Maya tiba-tiba bangun tapi ternyata dia belum cukup kuat. Kepalanya berputar ketika dia memaksa bergerak. "Ugh!"
"Nah, masih bilang tidak apa-apa?" Masumi tersenyum geli.
"Kyaaa! Masumi turunkan aku," Maya memekik terkejut ketika Masumi tiba-tiba mengangkat tubuhnya.
"Aku tidak mau kau pingsan lagi," Masumi beralasan dan mengabaikan Maya yang memukuli dadanya.
"Kau akan tambah malu kalau tidak menurut," bisik Masumi.
Benar saja, beberapa orang terkikik geli ketika melihat Maya, keduanya sedang berjalan melintasi koridor untuk keluar dari studio. Akhirnya Maya hanya diam dan menunduk dengan wajah merah. Sejujurnya, andai saja dia sedang tidak marah pada Masumi, Maya tidak keberatan. Berada dalam pelukan Masumi adalah hal paling membahagiakan baginya. Tapi sebulan terakhir sejak keduanya disibukkan oleh urusan pekerjaan dan persiapan pernikahan, Masumi jarang sekali memperhatikannya. Ditambah Masumi sering menghadiri pesta dan paginya akan terpampang fotonya bersama aktris cantik. Semua itu membuat Maya meradang.
Dengan hati-hati Masumi menurunkan Maya di jok depan mobilnya lalu memasangkan sabuk pengaman padanya. Mata Maya mengikuti Masumi saat dia berjalan memutari mobil kemudian duduk di belakang kemudi.
"Ada apa?" Tanya Masumi ketika menyadari Maya tengah mengamatinya.
"Ti, tidak," Maya membuang muka menatap keluar jendela.
Masumi menahan diri untuk tidak bertanya lebih dan mulai menjalankan mobilnya. Faktanya Maya memang kelelahan, dia tertidur saat baru setengah perjalanan menuju apartemennya. Maya benar-benar terlelap dan ketika Masumi memarkirkan mobilnya di basement dia punya banyak waktu untuk mengamati wajah Maya yang terlihat begitu tenang.
Tangan Masumi terulur menyingkirkan rambut hitam Maya dari wajahnya, Maya bergerak tapi tetap terlelap. Masumi tersenyum melihatnya.
"Sayang, tahukah kau kalau hanya dirimu yang bisa membuatku gila seperti ini." Gumam Masumi seraya mengusap lembut wajah Maya dengan buku-buku jarinya.
"Berhentilah merajuk. Jangan ragukan cintaku karena aku hidup hanya untukmu," gumamnya lagi. Melepas sabuk pengamannya, Masumi melandaikan tubuhnya dan mengecup sudut bibir Maya.
"Aku tidak sabar untuk menjadikanmu milikku, selamanya," desahnya.
"Ngghh,"
Masumi menarik dirinya ketika Maya bergerak. Tapi kekasihnya itu tetap tidak bangun. Masumi tersenyum sendiri dengan apa yang dilakukannya. Kebiasaan lamanya yang suka sekali mencuri ciuman dari Maya ternyata tidak juga hilang.
Tanpa kesulitan Masumi membawa Maya ke apartemennya. Kekasihnya itu masih belum juga bangun ketika Masumi membaringkannya di tempat tidur. Diapun menyelimuti Maya lalu keluar dari kamar.
Bel pintu berbunyi.
"Selamat malam Tuan, ini obat Nona Maya. Apa Nona sudah tidur?" Tanya Mitsuko. Dia berdiri diambang pintu bersama dengan Masumi.
"Ya dia sudah tidur. Terima kasih Mitsuko," ucap Masumi.
"Senang bisa membantu Tuan. Oh ya, Nona belum makan siang tadi, saya menduga dia tidak makan sejak pagi,"
"Biar aku yang mengurusnya,"
Mitsuko tersenyum, "Baik Tuan, kalau begitu saya permisi. Jadwal Nona kosong besok jadi itu baik untuknya beristirahat,"
Masumi hanya mengangguk dan Mitsuko berbalik pergi. Menutup pintu dan menguncinya, Masumi kembali ke ruang tamu lalu melepas jas dan dasinya, meletakkannya dengan rapi di sofa.
Maya belum makan, jadi sebaiknya ku buatkan sesuatu untuknya.
Diapun berjalan ke dapur dan membuka lemari es. Menggulung lengan kemejanya, Masumi mulai sibuk.
***
"Sayang, bangunlah," Masumi mengusap lembut wajah Maya.
"Hhmm," Maya melenguh tapi tetap terpejam.
"Sayang," Masumi mengguncang perlahan bahu Maya.
Kelopak mata Maya terbuka dan dengan malas matanya berkedip menyesuaikan pandangan.
"Masumi, aku lelah," gumamnya seraya berputar dan memeluk guling besar disebelahnya. Sepertinya Maya belum sadar apa yang terjadi.
"Kau belum makan seharian. Bangunlah dulu, aku sudah membuatkanmu makan malam. Setelah minum obatmu kau bisa tidur lagi," kata Masumi.
Maya yang tadi kembali terpejam langsung membuka matanya. Obat? Dia mulai ingat sesuatu.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Maya. Nada suaranya berubah ketus.
"Merawat kekasihku yang sedang sakit. Apalagi?" Jawab Masumi santai.
Maya bangun dan memincingkan mata menatap Masumi. "Apa malam ini kau tidak bekerja atau tidak ada pesta yang harus kau hadiri?"
Masumi terkekeh. Ternyata apa yang dibilang Mitsuko tentang Maya itu benar.
"Tidak sayang, aku akan menemanimu malam ini," jawab Masumi selembut mungkin.
"Malam...ini?" Maya mendesis tak percaya.
"Iya, kau tidak mau?" Masumi melengkungkan alisnya, "Aku tidak akan pergi meski kau mengusirku,"
"Kau akan menginap?" Tanya Maya masih tak percaya.
"Ya,"
Mata Maya melebar tapi sedetik kemudian ekspresinya melembut.
"Kenapa Nona Kitajima? Bukankah kalau aku menginap kau bisa puas memarahiku sepanjang malam?" Goda Masumi.
"Ya, aku akan memarahimu sepanjang malam karena kau begitu menyebalkan," cibir Maya.
"Oh ya? Rasanya akan menyenangkan kalau kau memarahiku disini daripada di kantor," Masumi menarik sudut bibirnya menjadi senyum menggoda.
"Bagiku sama saja. Dimanapun, kau tetap saja menyebalkan," cibir Maya lagi.
Meraih dagu Maya, Masumi mengangkat wajah cantik itu mendongak menatapnya.
"Bagiku tidak sama karena kalau kau memarahiku disini, aku punya cara untuk membungkam mulut cerewetmu ini,"
Dan Maya gagal protes apalagi menolak ketika tiba-tiba bibir Masumi dengan lembut menekan bibirnya. Sentuhan bibir hangat Masumi meluruhkan amarah Maya. Masumi mengulum lembut bibir mungil itu, membuat Maya kehabisan napas. Kedua tangan Maya mencengkram kuat lengan Masumi sementara tangan Masumi sudah melingkar di pinggul Maya. Masumi merasakan hasratnya memanas, diapun menghentikan ciumannya. Wajah Maya sudah semerah kepiting rebus.
"Apa sekarang aku sudah dimaafkan?" Bisik Masumi dibibir Maya.
Maya menahan senyumnya seraya mengatur napas, "Hhmm," gumamnya.
"Kita tidak putus kan?" Goda Masumi lagi.
"Kau ini," Maya memukul dada Masumi dan menyurukkan wajahnya ke dada Masumi, kedua lengannya memeluk tubuh kekar kekasihnya. Masumi tersenyum senang dan mengusap kepala Maya.
"Maafkan aku," bisiknya.
"Maaf?" Maya bergumam di dada masumi.
"Karena kurang memperhatikanmu. Aku sibuk dengan pekerjaanku."
Masumi menunduk dan melihat Maya tersenyum senang.
Mencium puncak kepala Maya, Masumi kembali berbisik, "Percayalah, hanya kau wanita yang ada dihatiku. Aku mencintaimu Maya,"
Maya mengeratkan pelukannya, tiba-tiba ketakutan kembali melitas di dalam kepalanya.
"Kenapa sayang? Kau tidak percaya?"
Maya menggeleng, "Aku takut," akhirnya Maya jujur dengan apa yang dirasakannya.
"Takut?" Masumi menarik dirinya.
Maya mengangguk.
"Apa yang kau takutkan?" Masumi memancing Maya untuk bicara.
Maya menunduk dalam dan mengaitkan jemarinya di depan dada dengan gelisah, "Aku takut kau mengabaikanku setelah menikah. Kau begitu suka pekerjaanmu dan disekelilingmu begitu banyak aktris cantik berbakat. Bagaimana kalau nanti kau bosan denganku lalu...," Maya menggeleng dengan pemikirannya sendiri, "Aku takut kau meninggalkanku," lirihnya kemudian.
Masumi terdiam, dia baru tahu kalau Maya memikirkan hal semacam itu. Ternyata kesibukannya pada pekerjaan benar-benar sudah membuat Maya merasa diduakan.
Maya mengangkat wajahnya, ekspresi Masumi melembut.
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?" Tanya Masumi.
"Kenapa?" Maya mendesah lemah, "Lihat aku," tangan Maya melambai pada tubuhnya.
"Aku lihat, apa yang salah?" Masumi balik bertanya.
"Aku tidak cantik,"
"Lalu?"
"Aku juga pendek,"
"Lalu?"
"Selain akting aku tidak punya keahlian apapun,"
"Lalu?"
Maya menatap heran kekasihnya, "Lalu?"
"Iya, lalu apa masalahnya dengan semua itu?" Masumi memperjelas maksudnya.
"Aku tidak layak untukmu," tegas Maya.
"Siapa bilang?" Jawab Masumi tak acuh.
"Aku pikir aku...,"
"Nah itulah kuncinya," potong Masumi cepat. Kening Maya berkerut.
"Ini," Masumi menempelkan telunjuk di kening Maya. "Di dalam sini kau berpikir berlebihan. Mayaku tidak pernah seperti itu tapi dia selalu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan ini," Masumi kembali menunjuk dada Maya.
Maya masih terdiam. Hatiku? Ya, hatiku...
"Apa kau mencintaiku Kitajima?" Tanya Masumi kemudian.
"Tentu saja aku mencintaimu," jawab Maya cepat.
"Apa hatimu begitu yakin kalau kau mencintaiku?" Tanya Masumi lagi.
"Ya, aku belum pernah mencintai orang sedalam ini selain dirimu dan aku tidak pernah menginginkan orang lain menjadi pendamping hidupku selain dirimu," jelas Maya.
"Dan apa hatimu ragu kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kau rasakan?"
Kali ini Maya terdiam dan kembali menunduk.
"Kau meragukanku?"
Maya menggeleng. "Aku percaya padamu hanya saja aku berpikir-,"
"Cukup. Sudah jelas kan masalahnya? Pikiranmu sendirilah yang membuatmu bingung," tegas Masumi. "Lihat aku sayang," pinta Masumi dan Maya melakukan seperti apa yang diminta kekasihnya.
"Jangan pernah ragukan aku. Aku hanya ingin hidup bersamamu. Kau tidak akan bisa dibandingkan dengan siapapun, Shiori atau Aika Sato sekalipun tidak akan menggoyahkan cintaku padamu,"
Mata Maya menghangat mendengar penuturan Masumi. Air matanyapun mulai menetes. Ibu jari Masumi menyeka air mata Maya dan sebuah kecupan lembut di kedua sudut mata Maya menghentikan tangisannya.
"Jangan menangis, aku sedih kalau melihatmu menangis. Aku mencintaimu Maya," Masumi mengulangi deklarasi cintanya.
"Aku juga mencintaimu Masumi,"
Masumi kembali menarik Maya dalam pelukannya.
Kruyyuuukkk! Suara perut Maya menyela semua kemesraan itu.
Masumi tertawa, "Nah, kau butuh makan sekarang," goda Masumi.
Maya cemberut sambil menahan senyum malunya.
"Kapan terakhir kali kau makan?" Tanya Masumi.
Maya terdiam sejenak mengingat kapan terakhir kali dia makan, "Hhhmm, kemarin siang di apartemen Rei,"
Masumi mendesah dan menggeleng menatap Maya, "Tidak heran kau pingsan," Masumi kemudian berdiri dan membungkuk hormat pada Maya, dia berakting seperti pelayan.
"Dimana anda ingin makan Nona?"
"Di ruang makan," Maya kembali mengulum senyum.
Masumi mengulurkan tangan pada Maya, "Mari saya antar,"
Maya menggeleng dengan ekspresi geli. Tangan Masumi membeku di udara dan wajahnya berkerut.
"Aku tidak kuat berjalan ke meja makan," kata Maya.
Sontak Masumi terkekeh, mengerti maksud kekasihnya.
"Nona yang manja," bisik Masumi yang sedetik kemudian sudah merengkuh Maya dalam gendongannya. Dan untuk pertama kalinya setelah entah sudah berapa lama, Maya tertawa senang. Kembali merasa bahagia dalam pelukan Masumi.
"Aku juga mau disuapi," kata Maya yang kepalanya bersandar manja di dada Masumi.
"Your wish my command, Miss," Masumi mendaratkan kecupan lembut di bibir Maya dan keduanya tertawa menuju ruang makan.
***
"Hhmm," Maya melenguh tapi tetap terpejam.
"Sayang," Masumi mengguncang perlahan bahu Maya.
Kelopak mata Maya terbuka dan dengan malas matanya berkedip menyesuaikan pandangan.
"Masumi, aku lelah," gumamnya seraya berputar dan memeluk guling besar disebelahnya. Sepertinya Maya belum sadar apa yang terjadi.
"Kau belum makan seharian. Bangunlah dulu, aku sudah membuatkanmu makan malam. Setelah minum obatmu kau bisa tidur lagi," kata Masumi.
Maya yang tadi kembali terpejam langsung membuka matanya. Obat? Dia mulai ingat sesuatu.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Maya. Nada suaranya berubah ketus.
"Merawat kekasihku yang sedang sakit. Apalagi?" Jawab Masumi santai.
Maya bangun dan memincingkan mata menatap Masumi. "Apa malam ini kau tidak bekerja atau tidak ada pesta yang harus kau hadiri?"
Masumi terkekeh. Ternyata apa yang dibilang Mitsuko tentang Maya itu benar.
"Tidak sayang, aku akan menemanimu malam ini," jawab Masumi selembut mungkin.
"Malam...ini?" Maya mendesis tak percaya.
"Iya, kau tidak mau?" Masumi melengkungkan alisnya, "Aku tidak akan pergi meski kau mengusirku,"
"Kau akan menginap?" Tanya Maya masih tak percaya.
"Ya,"
Mata Maya melebar tapi sedetik kemudian ekspresinya melembut.
"Kenapa Nona Kitajima? Bukankah kalau aku menginap kau bisa puas memarahiku sepanjang malam?" Goda Masumi.
"Ya, aku akan memarahimu sepanjang malam karena kau begitu menyebalkan," cibir Maya.
"Oh ya? Rasanya akan menyenangkan kalau kau memarahiku disini daripada di kantor," Masumi menarik sudut bibirnya menjadi senyum menggoda.
"Bagiku sama saja. Dimanapun, kau tetap saja menyebalkan," cibir Maya lagi.
Meraih dagu Maya, Masumi mengangkat wajah cantik itu mendongak menatapnya.
"Bagiku tidak sama karena kalau kau memarahiku disini, aku punya cara untuk membungkam mulut cerewetmu ini,"
Dan Maya gagal protes apalagi menolak ketika tiba-tiba bibir Masumi dengan lembut menekan bibirnya. Sentuhan bibir hangat Masumi meluruhkan amarah Maya. Masumi mengulum lembut bibir mungil itu, membuat Maya kehabisan napas. Kedua tangan Maya mencengkram kuat lengan Masumi sementara tangan Masumi sudah melingkar di pinggul Maya. Masumi merasakan hasratnya memanas, diapun menghentikan ciumannya. Wajah Maya sudah semerah kepiting rebus.
"Apa sekarang aku sudah dimaafkan?" Bisik Masumi dibibir Maya.
Maya menahan senyumnya seraya mengatur napas, "Hhmm," gumamnya.
"Kita tidak putus kan?" Goda Masumi lagi.
"Kau ini," Maya memukul dada Masumi dan menyurukkan wajahnya ke dada Masumi, kedua lengannya memeluk tubuh kekar kekasihnya. Masumi tersenyum senang dan mengusap kepala Maya.
"Maafkan aku," bisiknya.
"Maaf?" Maya bergumam di dada masumi.
"Karena kurang memperhatikanmu. Aku sibuk dengan pekerjaanku."
Masumi menunduk dan melihat Maya tersenyum senang.
Mencium puncak kepala Maya, Masumi kembali berbisik, "Percayalah, hanya kau wanita yang ada dihatiku. Aku mencintaimu Maya,"
Maya mengeratkan pelukannya, tiba-tiba ketakutan kembali melitas di dalam kepalanya.
"Kenapa sayang? Kau tidak percaya?"
Maya menggeleng, "Aku takut," akhirnya Maya jujur dengan apa yang dirasakannya.
"Takut?" Masumi menarik dirinya.
Maya mengangguk.
"Apa yang kau takutkan?" Masumi memancing Maya untuk bicara.
Maya menunduk dalam dan mengaitkan jemarinya di depan dada dengan gelisah, "Aku takut kau mengabaikanku setelah menikah. Kau begitu suka pekerjaanmu dan disekelilingmu begitu banyak aktris cantik berbakat. Bagaimana kalau nanti kau bosan denganku lalu...," Maya menggeleng dengan pemikirannya sendiri, "Aku takut kau meninggalkanku," lirihnya kemudian.
Masumi terdiam, dia baru tahu kalau Maya memikirkan hal semacam itu. Ternyata kesibukannya pada pekerjaan benar-benar sudah membuat Maya merasa diduakan.
Maya mengangkat wajahnya, ekspresi Masumi melembut.
"Kenapa kau berpikiran seperti itu?" Tanya Masumi.
"Kenapa?" Maya mendesah lemah, "Lihat aku," tangan Maya melambai pada tubuhnya.
"Aku lihat, apa yang salah?" Masumi balik bertanya.
"Aku tidak cantik,"
"Lalu?"
"Aku juga pendek,"
"Lalu?"
"Selain akting aku tidak punya keahlian apapun,"
"Lalu?"
Maya menatap heran kekasihnya, "Lalu?"
"Iya, lalu apa masalahnya dengan semua itu?" Masumi memperjelas maksudnya.
"Aku tidak layak untukmu," tegas Maya.
"Siapa bilang?" Jawab Masumi tak acuh.
"Aku pikir aku...,"
"Nah itulah kuncinya," potong Masumi cepat. Kening Maya berkerut.
"Ini," Masumi menempelkan telunjuk di kening Maya. "Di dalam sini kau berpikir berlebihan. Mayaku tidak pernah seperti itu tapi dia selalu mempertimbangkan segala sesuatunya dengan ini," Masumi kembali menunjuk dada Maya.
Maya masih terdiam. Hatiku? Ya, hatiku...
"Apa kau mencintaiku Kitajima?" Tanya Masumi kemudian.
"Tentu saja aku mencintaimu," jawab Maya cepat.
"Apa hatimu begitu yakin kalau kau mencintaiku?" Tanya Masumi lagi.
"Ya, aku belum pernah mencintai orang sedalam ini selain dirimu dan aku tidak pernah menginginkan orang lain menjadi pendamping hidupku selain dirimu," jelas Maya.
"Dan apa hatimu ragu kalau aku juga merasakan hal yang sama dengan apa yang kau rasakan?"
Kali ini Maya terdiam dan kembali menunduk.
"Kau meragukanku?"
Maya menggeleng. "Aku percaya padamu hanya saja aku berpikir-,"
"Cukup. Sudah jelas kan masalahnya? Pikiranmu sendirilah yang membuatmu bingung," tegas Masumi. "Lihat aku sayang," pinta Masumi dan Maya melakukan seperti apa yang diminta kekasihnya.
"Jangan pernah ragukan aku. Aku hanya ingin hidup bersamamu. Kau tidak akan bisa dibandingkan dengan siapapun, Shiori atau Aika Sato sekalipun tidak akan menggoyahkan cintaku padamu,"
Mata Maya menghangat mendengar penuturan Masumi. Air matanyapun mulai menetes. Ibu jari Masumi menyeka air mata Maya dan sebuah kecupan lembut di kedua sudut mata Maya menghentikan tangisannya.
"Jangan menangis, aku sedih kalau melihatmu menangis. Aku mencintaimu Maya," Masumi mengulangi deklarasi cintanya.
"Aku juga mencintaimu Masumi,"
Masumi kembali menarik Maya dalam pelukannya.
Kruyyuuukkk! Suara perut Maya menyela semua kemesraan itu.
Masumi tertawa, "Nah, kau butuh makan sekarang," goda Masumi.
Maya cemberut sambil menahan senyum malunya.
"Kapan terakhir kali kau makan?" Tanya Masumi.
Maya terdiam sejenak mengingat kapan terakhir kali dia makan, "Hhhmm, kemarin siang di apartemen Rei,"
Masumi mendesah dan menggeleng menatap Maya, "Tidak heran kau pingsan," Masumi kemudian berdiri dan membungkuk hormat pada Maya, dia berakting seperti pelayan.
"Dimana anda ingin makan Nona?"
"Di ruang makan," Maya kembali mengulum senyum.
Masumi mengulurkan tangan pada Maya, "Mari saya antar,"
Maya menggeleng dengan ekspresi geli. Tangan Masumi membeku di udara dan wajahnya berkerut.
"Aku tidak kuat berjalan ke meja makan," kata Maya.
Sontak Masumi terkekeh, mengerti maksud kekasihnya.
"Nona yang manja," bisik Masumi yang sedetik kemudian sudah merengkuh Maya dalam gendongannya. Dan untuk pertama kalinya setelah entah sudah berapa lama, Maya tertawa senang. Kembali merasa bahagia dalam pelukan Masumi.
"Aku juga mau disuapi," kata Maya yang kepalanya bersandar manja di dada Masumi.
"Your wish my command, Miss," Masumi mendaratkan kecupan lembut di bibir Maya dan keduanya tertawa menuju ruang makan.
***
"Selamat pagi Nona Kitajima," Masumi mengecup kening Maya ketika kekasihnya itu membuka mata keesokan harinya.
"Selamat pagi Tuan Hayami," Maya menggeliat panjang. Semalam dia tidur nyenyak sekali. Mungkin ini adalah tidur paling nyenyaknya selama sebulan terakhir.
"Bagaimana keadaanmu?" Masumi menyelipkan rambut ke belakang telinga Maya.
"Lebih baik," Maya melempar senyum manisnya.
"Masih pusing?"
Maya menggeleng.
"Obatnya bekerja dengan baik,"
Maya terkekeh, "Kaulah obatku,"
Masumi menyeringai tipis lalu bangun dengan siku menyangga tubuhnya disisi Maya, "Jangan menggodaku Maya, aku sudah menahan diri sejak semalam. Rasanya sudah tidak sabar menjadikanmu milikku selamanya. Menjadikanmu Nyonya Hayami," Masumi melandaikan tubuhnya di atas Maya, membuat hidung mereka bersentuhan.
"Hanya tinggal beberapa minggu lagi," gumam Maya.
"Rasanya lama sekali," keluh Masumi. Menarik dirinya, Masumi duduk di sebelah Maya.
"Kau tidak sabaran sekarang," Mayapun ikut bangun dan keduanya duduk berhadapan.
"Kau yang membuatku tidak sabar,"
"Aku?"
"Ya, aku takut kau minta putus lagi lalu marah-marah padaku," goda Masumi.
"Masumi!" Maya mencubit lengan Masumi karena menggodanya. Masumi tertawa lalu mencium bibir Maya yang cemberut.
"Sebaiknya aku segera mandi dan pergi sebelum hilang kendali," kata Masumi. Maya hanya tersenyum lalu mengangguk.
***
Masumi tiba di kantornya dengan senyum manis dan Mizuki keheranan dibuatnya. Tapi bukan Mizuki namanya jika dia tidak tahu alasan dibalik senyum Masumi.
"Selamat Tuan, sepertinya hubungan anda dan Maya sudah membaik," katanya seraya meletakkan kopi dan surat kabar pagi di meja.
"Aku terima ucapan selamatmu karena hatiku sedang senang hari ini tapi jangan mengintrogasiku lebih jauh Mizuki. Sebaiknya kau segera siapkan dokumen yang harus aku kerjakan agar aku bisa pulang cepat sore ini," jawab Masumi.
Mizuki terkikik, "Tentu Tuan,"
Hari itu Masumi larut dalam pekerjaannya dan berharap semuanya selesai tepat waktu. Dia sudah berjanji akan mengajak Maya makan malam.
Pukul empat sore diapartemen Maya. Gadis manis itu sedang sibuk di kamarnya memilih gaun yang akan digunakannya untuk makan malam bersama Masumi. Sudah lama dia memilah-milah gaun di lemari tapi masih saja belum bisa menentukan pilihannya.
"Gaun mana ya?" Gumamnya bingung tapi kemudian matanya berbinar melihat gaun ungu muda yang sudah lama tidak dipakainya. Dia ingat gaun itu baru dipakainya sekali saat ulang tahun Masumi tahun lalu. Mayapun mengambil gaun itu dan mematut dirinya di depan cermin.
"Kira-kira Masumi suka tidak ya?"
Aku mencintaimu Maya
Maya tersenyum dengan pipi merona, dia teringat kata-kata cinta Masumi semalam.
"Ah, apa yang aku pikirkan. Dia pasti suka apapun yang aku pakai," Maya memantapkan pilihannya dan segera bersiap.
Tepat pukul enam sore Maya sudah siap. Gaun ungu mudanya terlihat begitu pas dibadan, memperlihatkan tubuh indah Maya yang tidak bisa disebut mungil lagi. Handphone Maya berdering dan nama Masumi muncul di layar.
"Halo sayang," sapa Maya girang.
"Halo Maya. Maaf sayang, bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku sedikit terlambat menjemputmu, masih ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan,"
"Ah, iya tidak apa-apa, aku akan menunggumu,"
"Terima kasih sayang, sampai nanti,"
"Sampai nanti," Maya mendesah panjang ketika menutup teleponnya.
Selalu saja pekerjaannya mengganggu, keluh Maya. Ah, apa sih yang aku pikirkan? Itukan hanya pekerjaan, apa yang harus aku khawatirkan. Maya menggeleng, mengusir pemikiran negatifnya.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide di kepalanya. Kenapa aku tidak datang saja ke kantor Daito? Dia kan tidak harus menjemputku dan kami bisa langsung pergi setelah pekerjaanya selesai. Maya tersenyum lebar, meraih tas dan kunci mobilnya. Dia akan membawa mobil sendiri kali ini.
***
"Selamat pagi Tuan Hayami," Maya menggeliat panjang. Semalam dia tidur nyenyak sekali. Mungkin ini adalah tidur paling nyenyaknya selama sebulan terakhir.
"Bagaimana keadaanmu?" Masumi menyelipkan rambut ke belakang telinga Maya.
"Lebih baik," Maya melempar senyum manisnya.
"Masih pusing?"
Maya menggeleng.
"Obatnya bekerja dengan baik,"
Maya terkekeh, "Kaulah obatku,"
Masumi menyeringai tipis lalu bangun dengan siku menyangga tubuhnya disisi Maya, "Jangan menggodaku Maya, aku sudah menahan diri sejak semalam. Rasanya sudah tidak sabar menjadikanmu milikku selamanya. Menjadikanmu Nyonya Hayami," Masumi melandaikan tubuhnya di atas Maya, membuat hidung mereka bersentuhan.
"Hanya tinggal beberapa minggu lagi," gumam Maya.
"Rasanya lama sekali," keluh Masumi. Menarik dirinya, Masumi duduk di sebelah Maya.
"Kau tidak sabaran sekarang," Mayapun ikut bangun dan keduanya duduk berhadapan.
"Kau yang membuatku tidak sabar,"
"Aku?"
"Ya, aku takut kau minta putus lagi lalu marah-marah padaku," goda Masumi.
"Masumi!" Maya mencubit lengan Masumi karena menggodanya. Masumi tertawa lalu mencium bibir Maya yang cemberut.
"Sebaiknya aku segera mandi dan pergi sebelum hilang kendali," kata Masumi. Maya hanya tersenyum lalu mengangguk.
***
Masumi tiba di kantornya dengan senyum manis dan Mizuki keheranan dibuatnya. Tapi bukan Mizuki namanya jika dia tidak tahu alasan dibalik senyum Masumi.
"Selamat Tuan, sepertinya hubungan anda dan Maya sudah membaik," katanya seraya meletakkan kopi dan surat kabar pagi di meja.
"Aku terima ucapan selamatmu karena hatiku sedang senang hari ini tapi jangan mengintrogasiku lebih jauh Mizuki. Sebaiknya kau segera siapkan dokumen yang harus aku kerjakan agar aku bisa pulang cepat sore ini," jawab Masumi.
Mizuki terkikik, "Tentu Tuan,"
Hari itu Masumi larut dalam pekerjaannya dan berharap semuanya selesai tepat waktu. Dia sudah berjanji akan mengajak Maya makan malam.
Pukul empat sore diapartemen Maya. Gadis manis itu sedang sibuk di kamarnya memilih gaun yang akan digunakannya untuk makan malam bersama Masumi. Sudah lama dia memilah-milah gaun di lemari tapi masih saja belum bisa menentukan pilihannya.
"Gaun mana ya?" Gumamnya bingung tapi kemudian matanya berbinar melihat gaun ungu muda yang sudah lama tidak dipakainya. Dia ingat gaun itu baru dipakainya sekali saat ulang tahun Masumi tahun lalu. Mayapun mengambil gaun itu dan mematut dirinya di depan cermin.
"Kira-kira Masumi suka tidak ya?"
Aku mencintaimu Maya
Maya tersenyum dengan pipi merona, dia teringat kata-kata cinta Masumi semalam.
"Ah, apa yang aku pikirkan. Dia pasti suka apapun yang aku pakai," Maya memantapkan pilihannya dan segera bersiap.
Tepat pukul enam sore Maya sudah siap. Gaun ungu mudanya terlihat begitu pas dibadan, memperlihatkan tubuh indah Maya yang tidak bisa disebut mungil lagi. Handphone Maya berdering dan nama Masumi muncul di layar.
"Halo sayang," sapa Maya girang.
"Halo Maya. Maaf sayang, bisakah kau menunggu sebentar lagi? Aku sedikit terlambat menjemputmu, masih ada sedikit urusan yang harus aku selesaikan,"
"Ah, iya tidak apa-apa, aku akan menunggumu,"
"Terima kasih sayang, sampai nanti,"
"Sampai nanti," Maya mendesah panjang ketika menutup teleponnya.
Selalu saja pekerjaannya mengganggu, keluh Maya. Ah, apa sih yang aku pikirkan? Itukan hanya pekerjaan, apa yang harus aku khawatirkan. Maya menggeleng, mengusir pemikiran negatifnya.
Tiba-tiba terlintas sebuah ide di kepalanya. Kenapa aku tidak datang saja ke kantor Daito? Dia kan tidak harus menjemputku dan kami bisa langsung pergi setelah pekerjaanya selesai. Maya tersenyum lebar, meraih tas dan kunci mobilnya. Dia akan membawa mobil sendiri kali ini.
***
Wajah Masumi tidak bersahabat menatap tamu yang datang menyela waktunya.
Tamu tak diundang diluar jadwal bukanlah hal yang disukai Masumi
meskipun tamu itu adalah penyanyi papan atas dan cantik, Aika Sato. Mizuki
harus menerima omelan Masumi karena membiarkan wanita itu masuk ke
kantornya.
"Maaf, saya tidak punya banyak waktu Nona Sato jadi sebaiknya jelaskan apa tujuan anda datang tanpa janji sebelumnya," kata Masumi tanpa basa-basi. Dia harus segera menjemput Maya dan dia tidak mau membuang waktu.
"Sebenarnya tidak ada Tuan Hayami, saya baru saja selesai syuting video klip dan tiba-tiba saya teringat anda, jadi saya mampir dan berniat mengajak anda makan malam," jawab Aika yang duduk di sofa tamu dengan menyilangkan kaki di depan Masumi. Kaki panjangnya terekspos sempurna.
Sialan! Apa maksud wanita ini?
"Maaf Nona Sato, saya tidak bisa memenuhi permintaan anda." Kata Masumi dengan ekspresi datar.
"Anda menolak saya?" Aika gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Menolak? Maaf Nona Sato sebelumnya ada dua hal yang perlu anda tahu. Pertama saya tidak pernah makan malam dengan aktris atau penyanyi selain urusan pekerjaan dan kedua saya tidak pernah tertarik dengan anda jadi berhentilah menggoda saya dengan cara yang tidak pantas," tandas Masumi.
Aika menganga karena terkejut. Dia tidak menyangka kalau Masumi akan berkata seperti itu padanya.
"Tapi malam itu anda-,"
"Mengenai dansa malam itu? Itu hanya hubungan profesional sebagai produser dan penyanyinya tidak ada maksud lain. Saya sudah cukup bertoleransi dengan membiarkan anda mengekspos foto dansa itu ke media tapi jika anda mengartikan kediaman saya sebagai sesuatu yang lebih, itu jelas salah," terang Masumi datar.
"Jadi maksud anda saya sudah salah paham dengan keramahan anda?"
"Ya, kelihatannya begitu,"
Aika menarik bibirnya menjadi seringai tipis. "Saya rasa tidak Tuan Hayami. Saya tahu anda tidak tertarik dengan saya. Hanya satu hal yang saya tidak mengerti kenapa anda bisa jatuh cinta pada seorang Kitajima yang tidak ada apa-apanya."
"Apa maksud anda Nona Sato?" Masumi yang tadinya duduk bersandar langsung menegakkan tubuhnya dan menggeram marah.
Aika berdiri dan berjalan sambil tersenyum memutari meja tamu lalu duduk di sebelah Masumi.
"Saya tahu anda tidak bisa melepaskan Kitajima tapi bagaimana jika Kitajima yang melepaskan anda? Saya tahu jika Kitajima sedang mengalami Prewedding Syndrome. Dia marah-marah kemarin di kantor redaksi White ketika ditanya mengenai pernikahannya,"
"Jadi semua pertanyaan jebakan itu sengaja untuk membuat Maya marah?" Tebak Masumi.
Aika terkekeh, "Tentu saja. Saya hanya ingin tahu sejauh mana Prewedding syndrome yang dialaminya. Sepertinya cukup parah. Menurut anda bagaimana reaksinya jika dia melihat berita besok pagi mengenai kita berdua?"
Mata Masumi melebar dan segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan Aika. Sontak Aika tertawa.
"Tidak ada gunanya Tuan Hayami," kata Aika, tangannya dengan gemulai mulai membuka kancing blouse yang dikenakannya.
"Apa yang anda lakukan?" Seru Masumi panik.
Aika terkekeh dan mendorong blousenya melewati bahu sehingga blouse itu jatuh ke lantai, membuatnya setengah telanjang. Mata Masumi melebar melihatnya.
"Hentikan! Pakai kembali pakaian anda!" Masumi segera melepas jasnya dan berjalan mendekat pada Aika. Namun saat tangan Masumi terulur untuk mengenakan jas, Aika justru menangkapnya lalu menarik Masumi jatuh bersamanya di sofa tamu. Masumi gagal menghindar dan jatuh menindih tubuh Aika yang setengah telanjang.
"Kyaaa!!" Aika tiba-tiba menjerit dan Masumi terkejut.
Pintu kantor mendadak terbuka dan Mizuki muncul dari balik pintu. Sekretaris Masumi itu langsung menganga melihat bosnya menindih Aika. Tapi bukan hanya Mizuki yang terkejut, Maya yang sudah sampai di kantor Masumi dan sekarang berdiri disebelah Mizuki merasa dunianya berhenti dan hancur berkeping-keping.
"Ma...sumi...," lirih Maya tak percaya. Kedua tangan menutup mulutnya, menahan isakannya mengeras.
Melihat Maya, Masumi langsung menegakkan tubuhnya, wajah dingin dan bersahaja yang biasa terlihat kini menjadi pucat dan panik.
"Maya!" Masumi segera berlari ketika melihat Maya berbalik dengan berurai air mata.
"Mizuki, urus wanita itu!" Kata Masumi sebelum dia mempercepat larinya, meninggalkan ruangan mengejar Maya yang salah paham dengan apa yang dilihatnya.
Mizuki segera menutup pintu di belakangnya. Aika sedang berakting, dia menangis tergugu di sofa.
"Kau lihat Mizuki, apa yang telah dilakukan Tuan Hayami padaku. Maukah kau menjadi saksi agar aku bisa menebus kembali kehormatanku?" Kata Aika seraya terisak-isak palsu.
Mizuki menyeringai lalu membungkuk, mengambil blouse Aika yang tergeletak di lantai.
"Anda bermain dengan orang yang salah Nona Sato," kata Mizuki.
"Eh?!" Aika tersentak dan langsung mengangkat wajahnya.
"Hampir sepuluh tahun saya bekerja dengan Tuan Masumi dan atasan saya itu tidak akan pernah melakukan perbuatan rendah seperti ini."
Aika melotot, "Apa kau buta? Kau tidak lihat apa yang dilakukannya padaku?"
Mizuki terkekeh, "Tentu saya lihat Nona Sato. Tapi bukankah sebuah situasi itu bisa diciptakan? Sekarang pakai blouse ini atau besok pagi anda akan melihat semua album anda akan ditarik dari pasaran,"
Aika gemetar mendengarnya dan segera menarik blouse dari tangan Mizuki yang terulur. Mizuki berbalik dan membuka pintu kantor.
"Lain kali anda harus tahu dengan siapa anda bermain Nona Sato. Silakan pergi dan jangan pernah lagi temui Tuan Masumi," Mizuki melambaikan tangan kepintu dan Aika dengan wajah semerah kepiting rebus pergi meninggalkan kantor Masumi.
Sementara itu drama lain terjadi di basement kantor Daito.
"Maya dengarkan aku!" Masumi mengetuk kaca mobil Maya. "Aku mohon, itu tidak seperti apa yang kau lihat," Masumi memohon, langkahnya semakin cepat karena Maya mulai menjalankan mobilnya dan mengabaikan bujukan Masumi.
Masumi masih menempel pada mobil Maya bahkan ketika mobil keluar dari basement menuju jalan raya. Dia masih mengetuk kaca mobil Maya, memintanya berhenti. Dia melihat Maya terus menangis sambil mengemudi dan membayangkan Maya membawa mobil dengan keadaan seperti itu membuat Masumi semakin panik.
"Maya aku mohon, hentikan mobilnya. Kau tidak stabil, bahaya jika kau membawa mobil sendiri," Masumi kembali merengek tapi Maya mengabaikannya. Bukannya dia tidak mendengar tapi apa yang baru saja dilihatnya sudah menutup semua pendengaran Maya.
Maya menekan pedal gas dan menambah kecepatan mobilnya untuk masuk ke jalan raya.
"Maya!" Masumi gagal menghentikan Maya. Mobil Maya meluncur ke jalan raya. Masumi mempercepat larinya dan berusaha mengejar ke jalan namun sia-sia. Dia terengah dan berhenti mengejar.
Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa padanya.
Masumi merapal doa dengan masih menatap mobil Maya yang masih terlihat. Namun kekhawatiran Masumi tidak pada tempatnya, kepanikan membuatnya ceroboh.
Tinnnn! Suara klakson panjang menyadarkan Masumi, dia berdiri di tengah jalan raya. Tidak sempat menghindar, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi berjalan kearahnya.
Ckiiittt!! Braakk!! Tubuh Masumi terpelanting keras ke aspal.
Maya....
Suara benturan keras mengalihkan perhatian Maya. Dari kaca spion tengahnya dia melihat tubuh Masumi tertabrak mobil. Kaki Maya reflek menginjak rem.
Masumi...
"Tidaaaaakkkk!" Maya meraung di dalam mobilnya.
***
"Maaf, saya tidak punya banyak waktu Nona Sato jadi sebaiknya jelaskan apa tujuan anda datang tanpa janji sebelumnya," kata Masumi tanpa basa-basi. Dia harus segera menjemput Maya dan dia tidak mau membuang waktu.
"Sebenarnya tidak ada Tuan Hayami, saya baru saja selesai syuting video klip dan tiba-tiba saya teringat anda, jadi saya mampir dan berniat mengajak anda makan malam," jawab Aika yang duduk di sofa tamu dengan menyilangkan kaki di depan Masumi. Kaki panjangnya terekspos sempurna.
Sialan! Apa maksud wanita ini?
"Maaf Nona Sato, saya tidak bisa memenuhi permintaan anda." Kata Masumi dengan ekspresi datar.
"Anda menolak saya?" Aika gagal menyembunyikan keterkejutannya.
"Menolak? Maaf Nona Sato sebelumnya ada dua hal yang perlu anda tahu. Pertama saya tidak pernah makan malam dengan aktris atau penyanyi selain urusan pekerjaan dan kedua saya tidak pernah tertarik dengan anda jadi berhentilah menggoda saya dengan cara yang tidak pantas," tandas Masumi.
Aika menganga karena terkejut. Dia tidak menyangka kalau Masumi akan berkata seperti itu padanya.
"Tapi malam itu anda-,"
"Mengenai dansa malam itu? Itu hanya hubungan profesional sebagai produser dan penyanyinya tidak ada maksud lain. Saya sudah cukup bertoleransi dengan membiarkan anda mengekspos foto dansa itu ke media tapi jika anda mengartikan kediaman saya sebagai sesuatu yang lebih, itu jelas salah," terang Masumi datar.
"Jadi maksud anda saya sudah salah paham dengan keramahan anda?"
"Ya, kelihatannya begitu,"
Aika menarik bibirnya menjadi seringai tipis. "Saya rasa tidak Tuan Hayami. Saya tahu anda tidak tertarik dengan saya. Hanya satu hal yang saya tidak mengerti kenapa anda bisa jatuh cinta pada seorang Kitajima yang tidak ada apa-apanya."
"Apa maksud anda Nona Sato?" Masumi yang tadinya duduk bersandar langsung menegakkan tubuhnya dan menggeram marah.
Aika berdiri dan berjalan sambil tersenyum memutari meja tamu lalu duduk di sebelah Masumi.
"Saya tahu anda tidak bisa melepaskan Kitajima tapi bagaimana jika Kitajima yang melepaskan anda? Saya tahu jika Kitajima sedang mengalami Prewedding Syndrome. Dia marah-marah kemarin di kantor redaksi White ketika ditanya mengenai pernikahannya,"
"Jadi semua pertanyaan jebakan itu sengaja untuk membuat Maya marah?" Tebak Masumi.
Aika terkekeh, "Tentu saja. Saya hanya ingin tahu sejauh mana Prewedding syndrome yang dialaminya. Sepertinya cukup parah. Menurut anda bagaimana reaksinya jika dia melihat berita besok pagi mengenai kita berdua?"
Mata Masumi melebar dan segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan Aika. Sontak Aika tertawa.
"Tidak ada gunanya Tuan Hayami," kata Aika, tangannya dengan gemulai mulai membuka kancing blouse yang dikenakannya.
"Apa yang anda lakukan?" Seru Masumi panik.
Aika terkekeh dan mendorong blousenya melewati bahu sehingga blouse itu jatuh ke lantai, membuatnya setengah telanjang. Mata Masumi melebar melihatnya.
"Hentikan! Pakai kembali pakaian anda!" Masumi segera melepas jasnya dan berjalan mendekat pada Aika. Namun saat tangan Masumi terulur untuk mengenakan jas, Aika justru menangkapnya lalu menarik Masumi jatuh bersamanya di sofa tamu. Masumi gagal menghindar dan jatuh menindih tubuh Aika yang setengah telanjang.
"Kyaaa!!" Aika tiba-tiba menjerit dan Masumi terkejut.
Pintu kantor mendadak terbuka dan Mizuki muncul dari balik pintu. Sekretaris Masumi itu langsung menganga melihat bosnya menindih Aika. Tapi bukan hanya Mizuki yang terkejut, Maya yang sudah sampai di kantor Masumi dan sekarang berdiri disebelah Mizuki merasa dunianya berhenti dan hancur berkeping-keping.
"Ma...sumi...," lirih Maya tak percaya. Kedua tangan menutup mulutnya, menahan isakannya mengeras.
Melihat Maya, Masumi langsung menegakkan tubuhnya, wajah dingin dan bersahaja yang biasa terlihat kini menjadi pucat dan panik.
"Maya!" Masumi segera berlari ketika melihat Maya berbalik dengan berurai air mata.
"Mizuki, urus wanita itu!" Kata Masumi sebelum dia mempercepat larinya, meninggalkan ruangan mengejar Maya yang salah paham dengan apa yang dilihatnya.
Mizuki segera menutup pintu di belakangnya. Aika sedang berakting, dia menangis tergugu di sofa.
"Kau lihat Mizuki, apa yang telah dilakukan Tuan Hayami padaku. Maukah kau menjadi saksi agar aku bisa menebus kembali kehormatanku?" Kata Aika seraya terisak-isak palsu.
Mizuki menyeringai lalu membungkuk, mengambil blouse Aika yang tergeletak di lantai.
"Anda bermain dengan orang yang salah Nona Sato," kata Mizuki.
"Eh?!" Aika tersentak dan langsung mengangkat wajahnya.
"Hampir sepuluh tahun saya bekerja dengan Tuan Masumi dan atasan saya itu tidak akan pernah melakukan perbuatan rendah seperti ini."
Aika melotot, "Apa kau buta? Kau tidak lihat apa yang dilakukannya padaku?"
Mizuki terkekeh, "Tentu saya lihat Nona Sato. Tapi bukankah sebuah situasi itu bisa diciptakan? Sekarang pakai blouse ini atau besok pagi anda akan melihat semua album anda akan ditarik dari pasaran,"
Aika gemetar mendengarnya dan segera menarik blouse dari tangan Mizuki yang terulur. Mizuki berbalik dan membuka pintu kantor.
"Lain kali anda harus tahu dengan siapa anda bermain Nona Sato. Silakan pergi dan jangan pernah lagi temui Tuan Masumi," Mizuki melambaikan tangan kepintu dan Aika dengan wajah semerah kepiting rebus pergi meninggalkan kantor Masumi.
Sementara itu drama lain terjadi di basement kantor Daito.
"Maya dengarkan aku!" Masumi mengetuk kaca mobil Maya. "Aku mohon, itu tidak seperti apa yang kau lihat," Masumi memohon, langkahnya semakin cepat karena Maya mulai menjalankan mobilnya dan mengabaikan bujukan Masumi.
Masumi masih menempel pada mobil Maya bahkan ketika mobil keluar dari basement menuju jalan raya. Dia masih mengetuk kaca mobil Maya, memintanya berhenti. Dia melihat Maya terus menangis sambil mengemudi dan membayangkan Maya membawa mobil dengan keadaan seperti itu membuat Masumi semakin panik.
"Maya aku mohon, hentikan mobilnya. Kau tidak stabil, bahaya jika kau membawa mobil sendiri," Masumi kembali merengek tapi Maya mengabaikannya. Bukannya dia tidak mendengar tapi apa yang baru saja dilihatnya sudah menutup semua pendengaran Maya.
Maya menekan pedal gas dan menambah kecepatan mobilnya untuk masuk ke jalan raya.
"Maya!" Masumi gagal menghentikan Maya. Mobil Maya meluncur ke jalan raya. Masumi mempercepat larinya dan berusaha mengejar ke jalan namun sia-sia. Dia terengah dan berhenti mengejar.
Ya Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa padanya.
Masumi merapal doa dengan masih menatap mobil Maya yang masih terlihat. Namun kekhawatiran Masumi tidak pada tempatnya, kepanikan membuatnya ceroboh.
Tinnnn! Suara klakson panjang menyadarkan Masumi, dia berdiri di tengah jalan raya. Tidak sempat menghindar, sebuah mobil dengan kecepatan tinggi berjalan kearahnya.
Ckiiittt!! Braakk!! Tubuh Masumi terpelanting keras ke aspal.
Maya....
Suara benturan keras mengalihkan perhatian Maya. Dari kaca spion tengahnya dia melihat tubuh Masumi tertabrak mobil. Kaki Maya reflek menginjak rem.
Masumi...
"Tidaaaaakkkk!" Maya meraung di dalam mobilnya.
***
Masumi terbaring di tempat tidur. Kepalanya terbentur keras dan mengalami
pendarahan hebat, membuatnya dalam keadaan koma. Maya dengan wajah sarat
kesedihan duduk di sebelah tempat tidur Masumi. Kekasihnya itu tengah
berjuang mempertahankan hidup dibantu dengan semua peralatan yang
dipasang pada tubuhnya. Suasana hening, hanya suara monitor jantung yang
terdengar.
"Nona Maya, sebaiknya anda pulang dan istirahat. Sudah empat jam anda di sini," Mitsuko menatap prihatin nonanya yang tengah sedih itu.
Maya menggeleng, tangannya semakin erat menggenggam tangan Masumi. Sejak tadi Maya tidak mau meninggalkan Masumi sedetikpun. Dia tidak lagi menangis. Hatinya begitu sakit melihat Masumi terbaring hingga membuatnya tidak bisa lagi meneteskan air mata.
"Nona, saya mohon. Anda harus makan dan beristirahat," bujuk Mitsuko lagi.
Maya kembali menggeleng, "Pulanglah Mitsuko, ini sudah larut malam. Aku akan menjaga Masumi di sini...sampai dia sadar," kata Maya tanpa menatap Mitsuko, matanya terpaku pada wajah Masumi yang pucat pasi.
"Tapi Nona-," Rei menyentuh bahu Mitsuko dan menggeleng padanya.
"Percuma, dia tidak akan pergi. Sebaiknya anda pulang. Saya akan menjaga Maya disini," kata Rei.
Dengan berat hati Mitsuko mengangguk. Di ruang tamu kamar rawat Masumi dia melihat Eisuke ditemani Asa dan Mizuki, mereka juga masih menunggu dengan cemas.
"Maya tidak mau pulang?" Tanya Eisuke.
"Nona Maya bersikeras ingin tetap tinggal sampai Tuan Masumi sadar," jawab Mitsuko.
Eisuke tersenyum kecut, "Keras kepala. Dokter bahkan tidak tahu kapan Masumi akan sadar," gumamnya. "Mizuki,"
"Ya Tuan Besar,"
"Kabari aku semua perkembangan Masumi dan tolong urus semua keperluannya termasuk juga Maya. Jaga juga Bidadari Merah yang keras kepala itu," perintah Eisuke.
"Baik Tuan Besar,"
"Asa, kita pulang sekarang. Tidak ada gunanya kita disini," Eisuke memutar kursi rodanya.
"Baik Tuan Besar," Asa segera mendorong kursi roda itu meninggalkan kamar Masumi. Mizuki dan Mitsuko membungkuk hormat mengantar kepergiannya.
"Aku tidak tega meninggalkan Nona seperti itu," kata Mitsuko kemudian, dia melihat Maya dari pintu kaca ruang tamu.
"Percuma kau membujuknya, Maya tidak akan menurut," jawab Mizuki.
Keduanyapun terdiam.
***
"Nona Maya, sebaiknya anda pulang dan istirahat. Sudah empat jam anda di sini," Mitsuko menatap prihatin nonanya yang tengah sedih itu.
Maya menggeleng, tangannya semakin erat menggenggam tangan Masumi. Sejak tadi Maya tidak mau meninggalkan Masumi sedetikpun. Dia tidak lagi menangis. Hatinya begitu sakit melihat Masumi terbaring hingga membuatnya tidak bisa lagi meneteskan air mata.
"Nona, saya mohon. Anda harus makan dan beristirahat," bujuk Mitsuko lagi.
Maya kembali menggeleng, "Pulanglah Mitsuko, ini sudah larut malam. Aku akan menjaga Masumi di sini...sampai dia sadar," kata Maya tanpa menatap Mitsuko, matanya terpaku pada wajah Masumi yang pucat pasi.
"Tapi Nona-," Rei menyentuh bahu Mitsuko dan menggeleng padanya.
"Percuma, dia tidak akan pergi. Sebaiknya anda pulang. Saya akan menjaga Maya disini," kata Rei.
Dengan berat hati Mitsuko mengangguk. Di ruang tamu kamar rawat Masumi dia melihat Eisuke ditemani Asa dan Mizuki, mereka juga masih menunggu dengan cemas.
"Maya tidak mau pulang?" Tanya Eisuke.
"Nona Maya bersikeras ingin tetap tinggal sampai Tuan Masumi sadar," jawab Mitsuko.
Eisuke tersenyum kecut, "Keras kepala. Dokter bahkan tidak tahu kapan Masumi akan sadar," gumamnya. "Mizuki,"
"Ya Tuan Besar,"
"Kabari aku semua perkembangan Masumi dan tolong urus semua keperluannya termasuk juga Maya. Jaga juga Bidadari Merah yang keras kepala itu," perintah Eisuke.
"Baik Tuan Besar,"
"Asa, kita pulang sekarang. Tidak ada gunanya kita disini," Eisuke memutar kursi rodanya.
"Baik Tuan Besar," Asa segera mendorong kursi roda itu meninggalkan kamar Masumi. Mizuki dan Mitsuko membungkuk hormat mengantar kepergiannya.
"Aku tidak tega meninggalkan Nona seperti itu," kata Mitsuko kemudian, dia melihat Maya dari pintu kaca ruang tamu.
"Percuma kau membujuknya, Maya tidak akan menurut," jawab Mizuki.
Keduanyapun terdiam.
***
Sudah tiga hari Masumi di rawat dan dia belum juga sadar. Selama itu
pula Maya selalu berada disisi Masumi. Tidak ada kegiatan lain yang
dilakukannya selain duduk disisi kekasihnya. Sesekali Maya bercerita
panjang mengenai sandiwara atau drama favoritnya, berharap Masumi akan
sadar ketika mendengar ceritanya. Tangannya terus menggenggam erat
tangan Masumi.
Sore itu seperti biasa Maya menjaga Masumi.
"Maya, makanlah dulu, kau belum makan apapun sejak pagi," bujuk Rei.
"Tidak Rei, aku tidak lapar," jawab Maya lirih. Nafsu makannya benar-benar lenyap sekarang.
"Maya, jangan begitu. Kau juga harus pikirkan kesehatanmu," bujuk Rei lagi.
Maya menggeleng tanpa menatap sahabatnya, "Aku baik-baik saja Rei,"
Rei menyerah dan keluar dari kamar Masumi lalu menunggu di ruang tamu bersama Mitsuko dan Mizuki.
Maya mengusap lembut tangan Masumi, menempelkan tangan besar itu ke sisi wajahnya.
"Sayang, bangunlah. Maafkan aku," lirih Maya. "Maafkan aku," ucap Maya lagi.
Masumi masih bergeming, hanya suara monitor yang mengisi kesunyian di ruangan itu.
"Masumi, Nona Yamada dari Ai Bridal meneleponku. Katanya lusa aku diminta untuk fitting gaun pernikahanku. Kau tahu, aku ingin kau menemaniku. Apa aku akan cantik dengan gaun itu? Kau harus melihatnya dan memberikan penilaianmu. Aku tidak mau ditertawakan orang saat berdiri di altar nanti," Maya mendesah panjang, "Sayang, bangunlah. Aku merindukanmu. Aku rindu saat kau memarahiku karena kecerobohanku. Aku rindu kau merayuku saat aku marah. Aku rindu mendengar tawamu yang sangat jarang itu. Aku rindu melihat senyummu. Maafkan aku yang tidak percaya padamu. Maukah kau memaafkanku sayang? Bangunlah Masumi, aku akan menebus semua kesalahanku dengan menjadi milikmu selamanya," setetes air mata mulai muluncur di sudut mata Maya tapi dengan cepat Maya menyekanya.
"Aku tidak boleh menangis. Kau akan sedih kalau aku menangis kan? Kalau begitu aku tidak akan menangis lagi, aku tidak akan membuatmu sedih. Aku akan menurut padamu, aku akan berusaha jadi istri yang baik juga jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu," Maya mengulum senyum pahit menatap wajah tampan Masumi yang masih terlihat tenang.
Nyatanya Maya tidak bisa membendung air matanya. Dia membaringkan kepalanya di tempat tidur, di atas telapak tangan Masumi dan mulai menangis.
"Bangunlah sayang, aku tidak akan marah lagi padamu." Kata Maya di tengah isak tangisnya.
"Masumi, bangunlah. Kau pernah bilang akan membahagiakan aku. Kau harus tepati janjimu padaku. Bangunlah. Aku tidak mau menikah dengan orang lain selain dirimu. Aku mencintaimu Masumi,"
"Aku...juga...,"
Maya terhenyak, dia langsung mengangkat wajahnya ketika mendengar suara lirih menjawab perkataannya. Masumi tersenyum pada Maya.
"Masumi," Maya menganga tak percaya di tengah isakannya.
"Aku...juga...mencintaimu...Maya," Masumi mengulangi perkataannya dengan terbata.
"Kau cantik sekali sayang,"
Maya merona mendengar pujian Masumi padanya.
"Kau juga tampan sekali. Rasanya seperti mimpi," kata Maya.
Masumi menggeleng dengan jari telunjuk terangkat, "Aku tidak mau ini hanya sekedar mimpi. Sudah terlalu lama aku memimpikanmu, hari ini mimpiku menjadi nyata. Menjadikanmu milikku selamanya,"
Maya tersenyum, "Kita akan bersama selamanya,"
"Selamanya," kata Masumi. Dia membungkuk dan mendekatkan bibirnya pada Maya.
"Tuan Masumi !!"
Sebuah teriakan menghentikan bibir Masumi mencium Maya. Mizuki dan Mitsuko berdiri dengan berkacak pinggang di ambang pintu.
"Kalian mengganggu," dengus Masumi yang kemudian menarik dirinya menjauh.
"Tidak seharusnya anda di sini. Pengantin pria tidak boleh menemui pengantin wanita sebelum upacara pernikahan." Omel Mitsuki.
"Kembali ke tempat anda Tuan. Semua orang sedang mencari anda sekarang. Bukankah seharusnya anda sudah berada di altar," tambah Mizuki.
Maya terkikik geli, "Pergilah,"
"Apa anda tidak bisa bersabar sebentar lagi? Setelah upacara pernikahan kalian akan terus bersama sampai bosan," keluh Mizuki.
Masumi menautkan alis, "Jika denganmu tentu membosankan Mizuki tapi tidak jika dengan istriku yang cantik ini,"
"Calon istri, Tuan Masumi. Maya masih calon istri anda dan dia tidak akan pernah menjadi seorang istri jika anda tidak segera pergi dan berdiri di altar," omel Mizuki lagi.
Masumi tertawa, "Ya kali ini kau benar dan aku akan menurut padamu." Masumi melirik pada Maya sambil mengedipkan sebelah matanya, "Sampai nanti sayang. Aku akan membayar ciuman tertunda tadi di altar,"
"Tuan Masumi!!" Pekik Mizuki dan Mitsuko yang jengah dengan perkataan Masumi, Maya tertawa.
"Calon suami anda gila Nona Maya," keluh Mitsuko setelah Masumi dan Mizuki pergi.
"Aku senang dia gila," kata Maya girang.
"Eh?!"
Maya tersenyum simpul seraya mengambil buket bunga di atas meja, "Jika Masumi tidak gila, dia akan berpikir seribu kali untuk menikah denganku,"
Mitsuko menggeleng geli, "Mari Nona," dia mengulurkan tangannya dan membimbing Maya ke gereja.
Pintu terbuka dan musik mengalun indah. Maya melangkah masuk ke dalam gereja. Semua tamu berdiri dan menatap kagum pada pengantin wanita. Maya begitu anggun dengan balutan gaun pernikahan panjang berwarna ungu. Meski wajahnya tertutup kerudung tranparan berwarna ungu muda tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Tangannya menggenggam buket bunga mawar ungu.
Masumi berdiri di altar dengan wajah penuh kebahagian, menanti kekasih hatinya. Belahan jiwanya. Masumi turun dari altar dan mengulurkan tangannya pada Maya. Keduanya menaiki anak tangga dan berdiri berhadapan di altar. Pendeta memulai upacara pernikahan dan mempersilakan Masumi dan Maya mengucap janji setianya.
"Maya Kitajima, bersediakah kau menjadi istriku? Mendampingiku dalam suka dan duka dalam sehat dan sakitku? Aku berjanji akan berada disisimu, menjaga dan mencintaimu selalu. Bersama dalam suka dan dukamu, dalam sehat dan sakitmu sampai tangan Tuhan memisahkan kita," ucap Masumi.
Jantung Maya berdebar kencang, dia menghela napas kemudian menyimpulkan sebuah senyum, "Ya, aku bersedia,"
Masumi terlihat lega dan desahan lega juga terdengar dari bangku para tamu.
"Masumi, aku bukanlah wanita sempurna tapi bersediakah kau menjadi suamiku? Mendampingiku dalam suka dan duka dalam sehat dan sakitku? Aku berjanji akan berada disisimu, mencintaimu selalu. Bersama dalam suka dan dukamu, dalam sehat dan sakitmu sampai tangan Tuhan memisahkan kita," Maya mengucapkan janji setianya.
"Aku bersedia," jawab Masumi tanpa ragu.
"Anda boleh mencium istri anda Tuan Hayami," kata pendeta.
Masumi membuka kerudung Maya, "Hutangku lunas Nyonya Hayami," bisik Masumi dan dengan lembut dia mencium Maya.
"Kau milikku, selamanya." Bisik Masumi di bibir Maya.
"Ya, selamanya," jawab Maya yang kemudian balas mencium suaminya. Suami tercintanya. Belahan jiwanya. Tidak ada ragu dan takut lagi. Dia yakin hatinya hanya ingin satu. Hanya ingin Masumi. Satu dan selamanya.
***
-Special Thanks with love from Agnes Kristi-
Sore itu seperti biasa Maya menjaga Masumi.
"Maya, makanlah dulu, kau belum makan apapun sejak pagi," bujuk Rei.
"Tidak Rei, aku tidak lapar," jawab Maya lirih. Nafsu makannya benar-benar lenyap sekarang.
"Maya, jangan begitu. Kau juga harus pikirkan kesehatanmu," bujuk Rei lagi.
Maya menggeleng tanpa menatap sahabatnya, "Aku baik-baik saja Rei,"
Rei menyerah dan keluar dari kamar Masumi lalu menunggu di ruang tamu bersama Mitsuko dan Mizuki.
Maya mengusap lembut tangan Masumi, menempelkan tangan besar itu ke sisi wajahnya.
"Sayang, bangunlah. Maafkan aku," lirih Maya. "Maafkan aku," ucap Maya lagi.
Masumi masih bergeming, hanya suara monitor yang mengisi kesunyian di ruangan itu.
"Masumi, Nona Yamada dari Ai Bridal meneleponku. Katanya lusa aku diminta untuk fitting gaun pernikahanku. Kau tahu, aku ingin kau menemaniku. Apa aku akan cantik dengan gaun itu? Kau harus melihatnya dan memberikan penilaianmu. Aku tidak mau ditertawakan orang saat berdiri di altar nanti," Maya mendesah panjang, "Sayang, bangunlah. Aku merindukanmu. Aku rindu saat kau memarahiku karena kecerobohanku. Aku rindu kau merayuku saat aku marah. Aku rindu mendengar tawamu yang sangat jarang itu. Aku rindu melihat senyummu. Maafkan aku yang tidak percaya padamu. Maukah kau memaafkanku sayang? Bangunlah Masumi, aku akan menebus semua kesalahanku dengan menjadi milikmu selamanya," setetes air mata mulai muluncur di sudut mata Maya tapi dengan cepat Maya menyekanya.
"Aku tidak boleh menangis. Kau akan sedih kalau aku menangis kan? Kalau begitu aku tidak akan menangis lagi, aku tidak akan membuatmu sedih. Aku akan menurut padamu, aku akan berusaha jadi istri yang baik juga jadi ibu yang baik untuk anak-anakmu," Maya mengulum senyum pahit menatap wajah tampan Masumi yang masih terlihat tenang.
Nyatanya Maya tidak bisa membendung air matanya. Dia membaringkan kepalanya di tempat tidur, di atas telapak tangan Masumi dan mulai menangis.
"Bangunlah sayang, aku tidak akan marah lagi padamu." Kata Maya di tengah isak tangisnya.
"Masumi, bangunlah. Kau pernah bilang akan membahagiakan aku. Kau harus tepati janjimu padaku. Bangunlah. Aku tidak mau menikah dengan orang lain selain dirimu. Aku mencintaimu Masumi,"
"Aku...juga...,"
Maya terhenyak, dia langsung mengangkat wajahnya ketika mendengar suara lirih menjawab perkataannya. Masumi tersenyum pada Maya.
"Masumi," Maya menganga tak percaya di tengah isakannya.
"Aku...juga...mencintaimu...Maya," Masumi mengulangi perkataannya dengan terbata.
"MASUMI !!" Pekik Maya keras seraya memeluk Masumi.
Teriakan Maya membuat Rei, Mizuki dan Mitsuko terkejut. Ketiganya segera masuk ke kamar. Tapi apa yang mereka lihat adalah kebalikan dari apa yang mereka khawatirkan. Masumi tengah tersenyum memeluk Maya yang menangis keras di dadanya.
***
Teriakan Maya membuat Rei, Mizuki dan Mitsuko terkejut. Ketiganya segera masuk ke kamar. Tapi apa yang mereka lihat adalah kebalikan dari apa yang mereka khawatirkan. Masumi tengah tersenyum memeluk Maya yang menangis keras di dadanya.
***
Maya merona mendengar pujian Masumi padanya.
"Kau juga tampan sekali. Rasanya seperti mimpi," kata Maya.
Masumi menggeleng dengan jari telunjuk terangkat, "Aku tidak mau ini hanya sekedar mimpi. Sudah terlalu lama aku memimpikanmu, hari ini mimpiku menjadi nyata. Menjadikanmu milikku selamanya,"
Maya tersenyum, "Kita akan bersama selamanya,"
"Selamanya," kata Masumi. Dia membungkuk dan mendekatkan bibirnya pada Maya.
"Tuan Masumi !!"
Sebuah teriakan menghentikan bibir Masumi mencium Maya. Mizuki dan Mitsuko berdiri dengan berkacak pinggang di ambang pintu.
"Kalian mengganggu," dengus Masumi yang kemudian menarik dirinya menjauh.
"Tidak seharusnya anda di sini. Pengantin pria tidak boleh menemui pengantin wanita sebelum upacara pernikahan." Omel Mitsuki.
"Kembali ke tempat anda Tuan. Semua orang sedang mencari anda sekarang. Bukankah seharusnya anda sudah berada di altar," tambah Mizuki.
Maya terkikik geli, "Pergilah,"
"Apa anda tidak bisa bersabar sebentar lagi? Setelah upacara pernikahan kalian akan terus bersama sampai bosan," keluh Mizuki.
Masumi menautkan alis, "Jika denganmu tentu membosankan Mizuki tapi tidak jika dengan istriku yang cantik ini,"
"Calon istri, Tuan Masumi. Maya masih calon istri anda dan dia tidak akan pernah menjadi seorang istri jika anda tidak segera pergi dan berdiri di altar," omel Mizuki lagi.
Masumi tertawa, "Ya kali ini kau benar dan aku akan menurut padamu." Masumi melirik pada Maya sambil mengedipkan sebelah matanya, "Sampai nanti sayang. Aku akan membayar ciuman tertunda tadi di altar,"
"Tuan Masumi!!" Pekik Mizuki dan Mitsuko yang jengah dengan perkataan Masumi, Maya tertawa.
"Calon suami anda gila Nona Maya," keluh Mitsuko setelah Masumi dan Mizuki pergi.
"Aku senang dia gila," kata Maya girang.
"Eh?!"
Maya tersenyum simpul seraya mengambil buket bunga di atas meja, "Jika Masumi tidak gila, dia akan berpikir seribu kali untuk menikah denganku,"
Mitsuko menggeleng geli, "Mari Nona," dia mengulurkan tangannya dan membimbing Maya ke gereja.
Pintu terbuka dan musik mengalun indah. Maya melangkah masuk ke dalam gereja. Semua tamu berdiri dan menatap kagum pada pengantin wanita. Maya begitu anggun dengan balutan gaun pernikahan panjang berwarna ungu. Meski wajahnya tertutup kerudung tranparan berwarna ungu muda tapi tetap tidak bisa menyembunyikan kecantikannya. Tangannya menggenggam buket bunga mawar ungu.
Masumi berdiri di altar dengan wajah penuh kebahagian, menanti kekasih hatinya. Belahan jiwanya. Masumi turun dari altar dan mengulurkan tangannya pada Maya. Keduanya menaiki anak tangga dan berdiri berhadapan di altar. Pendeta memulai upacara pernikahan dan mempersilakan Masumi dan Maya mengucap janji setianya.
"Maya Kitajima, bersediakah kau menjadi istriku? Mendampingiku dalam suka dan duka dalam sehat dan sakitku? Aku berjanji akan berada disisimu, menjaga dan mencintaimu selalu. Bersama dalam suka dan dukamu, dalam sehat dan sakitmu sampai tangan Tuhan memisahkan kita," ucap Masumi.
Jantung Maya berdebar kencang, dia menghela napas kemudian menyimpulkan sebuah senyum, "Ya, aku bersedia,"
Masumi terlihat lega dan desahan lega juga terdengar dari bangku para tamu.
"Masumi, aku bukanlah wanita sempurna tapi bersediakah kau menjadi suamiku? Mendampingiku dalam suka dan duka dalam sehat dan sakitku? Aku berjanji akan berada disisimu, mencintaimu selalu. Bersama dalam suka dan dukamu, dalam sehat dan sakitmu sampai tangan Tuhan memisahkan kita," Maya mengucapkan janji setianya.
"Aku bersedia," jawab Masumi tanpa ragu.
"Anda boleh mencium istri anda Tuan Hayami," kata pendeta.
Masumi membuka kerudung Maya, "Hutangku lunas Nyonya Hayami," bisik Masumi dan dengan lembut dia mencium Maya.
"Kau milikku, selamanya." Bisik Masumi di bibir Maya.
"Ya, selamanya," jawab Maya yang kemudian balas mencium suaminya. Suami tercintanya. Belahan jiwanya. Tidak ada ragu dan takut lagi. Dia yakin hatinya hanya ingin satu. Hanya ingin Masumi. Satu dan selamanya.
***
-Special Thanks with love from Agnes Kristi-


6 Comments
Another one shoot about MM
ReplyDeleteHappy reading
arigatoooo....muahhh
suka..suka...suka banget. ditunggu cerita berikutnya.
ReplyDeleteSemangat trs yaa say.... we count on you..... #bighug#
ReplyDeleteBagussss bgt mbak.. ngarep dibuat sekuelnya smp beranak cucu hehehe 😊
ReplyDeleteArigatooo,agnes
ReplyDeleteDiabetessss akutuuuuu
ReplyDelete