Rate : 20 thn +
Masumi merasakan semua oksigen keluar dari paru-paru dan jantungnya berhenti berdetak. Rei berdiri di depannya dengan wajah panik, tubuhnya kuyup karena hujan. Rei terlihat seperti kehilangan akal sehatnya karena baru saja membuat kehebohan dengan menggedor pintu rumah Hayami padahal jam menunjukkan pukul dua pagi.
"Apa maksudmu Nona Aoki?!" Masumi masih berharap dia salah mendengar perkataan Rei.
Wajah Rei semakin memucat, "Jadi Maya tidak disini?! Dia sudah pergi sejak pulang dari pesta untuk menemui anda,"
Menutup mata dan berusaha mengatur napasnya, Masumi membuka matanya dan menatap tajam pada Rei. Tapi sedetik kemudian pandangannya beralih pada para pelayan dan petugas keamanan yang mengelilingi mereka.
"Kalian semua, kembalilah ke kamar masing-masing! Tidak ada yang perlu di khawatirkan dia temanku," perintah Masumi lantang. Sejenak semuanya saling berpandangan namun dengan cepat mereka membungkuk hormat lalu membubarkan diri secara bersamaan.
Masumi kembali menatap Rei, "Tunggu sebentar, aku akan ganti baju," kata Masumi tegas.
Rei hanya mengangguk dan belum sepenuhnya mengerti apa maksud ucapan Masumi. Dia hanya mematung di tempatnya sambil mengamati Masumi yang mengenakan piyama dan jubah tidurnya berlari dan menghilang saat menaiki tangga. Suara gemuruh dan petir yang menggelegar di langit semakin melipat gandakan kekhawatiran Rei.
Maya, kau dimana?
***
Hampir pukul lima pagi, mobil Masumi menyusuri setiap jalanan kota Tokyo. Dia dan Rei berusaha mencari Maya. Semua tempat yang sering dikunjungi Maya sudah didatangi, termasuk taman favoritnya. Hasilnya masih nihil, sementara hujan masih meninggalkan gerimis kecil.
"Hijiri!" Masumi membentak panik melalui handphonenya. Rei hanya diam, memandang ngeri kepanikan pria yang duduk disebelahnya. Masumi terlihat sangat tidak biasa bagi Rei, topeng pangeran tampan, tenang dan dingin yang biasa ditampakkannya sekarang pecah dan hancur berkeping-keping, kekhawatiran jelas tergambar di wajah Masumi. Dia seperti harimau yang siap menerkam siapa saja yang mendekat padanya.
"Maaf Tuan, saya juga belum menemukan Nona Maya," suara penuh penyesalan dari Hijiri membuat jantung Masumi semakin berpacu. Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Hijiri.
"Tuan?" Hijiri bingung saat tuannya hanya diam dan tidak menjawab. Meski sebenarnya dia lebih dari sekedar mengerti kalau Masumi saat ini sedang di telan kepanikan.
"Teruslah mencari Hijiri, temukan dia! Temukan Maya!" Kata Masumi kemudian. Suaranya tenang namun sarat emosi.
"Baik Tuan. Tapi maaf Tuan, saya harus mengingatkan anda," jawab Hijiri tenang.
"Mengingatkan? Apa?" Masumi gagal mengerti maksud anak buahnya.
"Maaf Tuan, pukul sembilan pagi ini anda sudah harus berada di gereja untuk upacara pernikahan anda dan Nona Takamiya," tukas Hijiri tanpa basa-basi.
Sekali lagi Masumi seperti dihantam oleh bola besi ratusan kilo sekaligus ditusuk belati pada saat yang bersamaan. Pernikahannya dengan Shiori? Dia sama sekali tidak ingat.
"Aku mengerti, teruslah mencari dan kabari aku setiap perkembangannya," suara Masumi kembali tenang tapi kali ini terdengar datar dan dingin.
"Baik Tuan,"
Masumi mematikan handphonenya dan menatap kosong ke luar jendela. Hujan sudah berhenti dan semburat warna jingga mulai terlihat di langit meski masih disembunyikan oleh sisa-sisa awan mendung.
"Aku akan mencoba memutar dan mengulang rute kita tadi, siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk. Kau keberatan? Sudah lelah?" Masumi menoleh pada gadis tampan disebelahnya.
"Ten, tentu saja tidak Pak," kata Rei terbata. Tatapan mata Masumi mengintimidasinya, dia belum pernah berada sedekat ini dengan Masumi dalam waktu yang lama. Dalam hati dia bertanya-tanya, kenapa Maya bisa jatuh cinta dengan pria seperti Masumi. Rei kemudian teringat mawar ungu. Mungkin Pak Masumi memiliki kepribadian ganda, pikirnya.
Masumi mengabaikan ekspresi bingung Rei dan segera memutar mobilnya. Sekali lagi, sekali lagi dia ingin mengerahkan usaha terakhirnya untuk menemukan Maya. Dia dikejar waktu tapi dia belum mau menyerah.
Matahari sudah menampakkan wujudnya secara utuh. Waktu tepat menunjukkan pukul tujuh pagi. Handphone di saku Masumi terus bergetar, dia tahu itu adalah Eisuke, jendral tertinggi, yang sedang mencarinya. Masumi kehabisan waktu.
Ekspresi Masumi semakin gelap saat menurunkan Rei di depan rumah kontrakannya.
"Hijiri akan terus mencari Maya. Kau juga tolong kabari aku jika mendapat kabar apapun tentang Maya," Masumi mengulurkan kartu nama pada Rei, memberikan nomor telepon pribadinya.
Rei mencoba membaca ekspresi wajah Masumi sebelum akhirnya mengangguk hormat, "Terima kasih, anda sudah membantu saya untuk mencari Maya."
"Maaf, ada yang harus aku lakukan jadi aku harus segera pergi," jawab Masumi, dalam hati dia menyesali keterbatasan waktunya dan kegagalannya menemukan Maya.
"Saya mengerti Pak. Saya doakan semoga anda bahagia," ucap Rei kemudian, dia tahu kalau Masumi akan menikah pagi itu.
Sejenak Masumi terdiam lalu menekan bibirnya menjadi garis keras, "Aku hanya akan menikah Nona Aoki tapi tidak untuk bahagia. Permisi!" Masumi kembali masuk ke mobilnya dan segera pergi, meninggalkan Rei yang tercengang dengan ucapannya.
***
"KE MANA SAJA KAU !!" Teriakan Eisuke menyambutnya saat Masumi menginjakkan kaki di rumah. Sudah hampir setengah delapan pagi.
"Ada hal yang harus aku lakukan Ayah," jawab Masumi datar.
"Pelayan dan petugas keamanan bilang ada seorang pria datang dan membuat keributan dini hari tadi?" Tanya Masumi.
Pria?! Masumi kemudian sadar bahwa yang dimaksud adalah gadis tampan, Rei Aoki. Masumi lega dan bersyukur pelayan-pelayan bodohnya tidak mengenali Rei sebagai seorang gadis.
"Tidak apa-apa ayah, semua sudah selesai." Tukas Masumi cepat.
Eisuke memandang penuh selidik pada Masumi.
"Permisi ayah, aku harus segera bersiap," Masumi segera berlalu dari hadapan ayahnya. Tidak mau menerima introgasi lainnya. Kontrol dirinya sedang dalam keadaan labil sekarang, hilangnya Maya membuatnya kacau.
Maya, kau dimana?
Masumi duduk di kursi dan mencengkram kuat rambut dengan jari-jarinya. Frustasi. Matanya memandang marah pada tuxedo putih yang terpajang pada manekin di sudut kamarnya.
Waktuku sudah habis
***
Masumi tiba di chapel tiga puluh menit sebelum upacara pernikahannya dimulai. Dia sengaja turun di pintu belakang chapel. Mizuki sudah menunggunya dan dia sempat terkejut melihat Masumi dengan tuxedo putih berjalan ke arahnya. Bahkan sekretaris yang setiap hari bersamanya pun bisa terpesona melihat Masumi yang begitu tampan dengan tuxedo pernikahannya.
Mizuki membungkuk hormat, "Selamat datang Pak Masumi,"
Masumi hanya mengangguk dengan ekspresi datar, tidak ada ekspresi kebahagiaan layaknya pengantin pada umumnya.
"Apa semuanya sudah siap?" Tanya Masumi.
"Sudah Pak. Nona Shiori juga baru saja tiba. Mungkin ada satu hal yang harus anda tahu sebelum masuk,"
Masumi memandang heran sekretarisnya.
"Nona Shiori mengundang beberapa media untuk meliput upacara pernikahan ini," terang Mizuki tanpa menunggu atasannya bertanya.
"Apa?" Desis Masumi terkejut, "Bukankah keluarga Takamiya mengatakan semua berita akan diembargo hingga Shiori benar-benar sehat?"
"Sepertinya ini adalah keinginan Nona Shiori sendiri sehingga Tuan besar Takamiya bahkan tidak bisa menolaknya. Menurut saya Nona Shiori ingin semua orang tahu kalau anda adalah suaminya,"
Masumi tertegun sejenak.
Tidak semua orang, dia hanya ingin Maya tahu
"Apa Maya akan datang Pak Masumi?" Pertanyaan Mizuki menyentakkan Masumi. Sekretaris kritis yang juga pintar membaca ekspresi wajah atasannya itu tahu sesuatu telah terjadi.
"Ada apa Pak?" Selidik Mizuki.
"Maya menghilang sejak semalam dan aku tidak tahu dimana dia sekarang," kecemasan kembali terlihat di wajah Masumi.
"Maya menghilang?" Tanya Mizuki selirih mungkin, tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.
Belum sempat Masumi menjawab Asa datang menghampiri keduanya.
"Sudah waktunya Tuan Muda," katanya dengan sopan.
Masumi hanya diam dan mengangguk. Asa berbalik dan kembali masuk ke dalam chapel.
"Semoga anda bahagia Pak," Mizuki membungkuk hormat ketika Masumi melintas di depannya. Sontak hal itu menghentikan langkah kaki Masumi. Untuk sesaat keduanya saling menatap.
"Kau tahu itu tidak mungkin Mizuki,"
Masumi berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi dan Mizuki hanya bisa menatap punggung Masumi dengan tatapan prihatin.
***
Berdiri di altar, semua mata menatap Masumi penuh kagum. Tidak heran karena Masumi memang terlihat menawan. Senyum palsu dari topeng pangerannya berhasil mengelabui para tamu dan media. Ya, seperti apa yang Mizuki katakan, ada beberapa media yang meliput upacara pernikahan secara langsung.
Jantung Masumi semakin berpacu saat pintu chapel tiba-tiba terbuka dan musik mulai mengalun lembut.
Seorang wanita cantik dengan gaun pengantin indah berjalan memasuki ruangan. Setiap langkahnya disesuaikan dengan iringan musik yang mengalun merdu. Masumi terpaku menatap Shiori yang terlihat tersenyum dari balik cadarnya. Bukan karena terpesona namun karena dia sedang menghitung setiap detik menjelang kehancuran hidupnya. Satu langkah Shiori bergerak maju maka satu langkah kehancuran bagi Masumi.
Aku tidak akan rela kau menjadi milik wanita lain....
Masumi tiba-tiba tersentak, sebuah suara berbisik di telinganya. Dia memutar mata mencari sumber suara tapi kemudian dia tersadar, di altar hanya ada dirinya dan pastor. Shiori masih setengah perjalanan menuju altar dengan di dampingi ayahnya.
Kau hanya milikku, hanya milikku....
Suara itu kembali berbisik di telinga Masumi dan kali ini dia gagal menyembunyikan keterkejutannya.
Maya...?
Masumi mengenali suara lembut wanita yang berbisik di telinganya.
"Anda tidak apa-apa Tuan Hayami?" Tanya pastor setangah berbisik.
Masumi menatap pastor yang berdiri disebelahnya dan menepis kebodohan otaknya yang berpikir telah mendengar suara Maya.
Ini pasti karena aku terlalu mengkhawatirkannya, Masumi meyakinkan dirinya sendiri.
"Ah iya Pastor, saya tidak apa-apa," kata Masumi seraya berusaha mengambil kembali ketenangannya.
Pandangan Masumi kembali beralih pada Shiori yang hampir sampai di altar. Namun Masumi merasa dirinya gila sekarang, bukan karena suara Maya, lebih gila lagi karena sekarang dia melihat Maya berdiri dengan mengenakan gaun panjang putih dan berjalan di sebelah Shiori.
Masumi menyipitkan matanya dan mengedip beberapa kali untuk memastikan kalau apa yang dilihatnya adalah sebuah halusinasi. Maya tersenyum padanya dan jantung Masumi hampir berhenti berdetak karenanya.
Duaarrr!!
Sebuah guntur menggelegar dan mengejutkan semuanya, tidak terkecuali Masumi. Untuk sesaat fokus Masumi beralih menatap jendela dan memang terlihat langit gelap gulita. Dan saat dirinya kembali menatap Shiori yang sudah berdiri di ujung tangga bayangan Maya sudah menghilang.
Ditelan oleh kekecewaan yang dalam bahwa dirinya memang benar hanya berhalusinansi, Masumi memaksakan diri untuk tersenyum. Tidak ada gunanya menyesal sekarang. Semua sudah terlanjur terjadi dan dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan pernikahannya. Shiori sudah menunggunya, keluarga Takamiya sudah berjajar di deretan kursi terdepan dan di sisi lain ayahnya juga sudah duduk dengan tenang dan menantikan penyatuan dua perusahaan seperti apa yang telah diharapkannya selama ini.
Melangkah turun, wajah Masumi tersenyum seraya mengulurkan tangan pada Shiori dan membantunya menaiki anak tangga. Dari balik cadar Shiori menyunggingkan senyumnya, jelas dia terlihat bahagia. Keduanya sekarang berdiri di altar, menghadap pastor untuk mengucapkan janji setia mereka sebagai suami istri.
Musik berhenti mengalun dan pastor memulai upacara pernikahannya. Namun baru saja pastor hendak berbicara guntur kembali menggelegar di langit. Beberapa tamu sempat memekik karena terkejut. Shiori bahkan terhuyung dan dengan cepat Masumi menangkap tubuhnya yang limbung.
"Kau tidak apa-apa Shiori?" Tanya Masumi cemas.
"I, iya aku, aku baik-baik saja," kata Shiori terbata. Dengan cepat diapun kembali berdiri tegak. Beberapa kru media tampak menggeleng geli melihat pengantin wanitanya hampir jatuh namun mereka berusaha menyembunyikannya. Tahu hal itu akan sangat membahayakan bagi kelangsungan pekerjaan mereka.
Setelah semua tenang pastor kembali memulai upacara pernikahannya. Ada beberapa ayat dibacakan dan beberapa nasehat diutarakan, sampai akhirnya tiba saat untuk mengucap janji pernikahan.
"Masumi Hayami, bersediakah kau menerima Shiori Takamiya sebagai istrimu? Pendamping hidup dikala suka dan dukamu, dikala sehat dan sakitmu? Menerima segala kelebihan dan kekurangannya? Berjanji untuk saling menghormati dan mengasihi? Bersama selamanya sampai waktu Tuhan sendiri yang memisahkan?"
Masumi mengeratkan tangannya. Bibirnya berat untuk terbuka dan lidahnya kelu untuk menjawab. Sejenak Masumi merasakan suasana di sekelilingnya menegang dan dia tahu semua sedang menunggu jawabannya. Tidak ada pilihan lagi baginya.
Maafkan aku Maya...
"Ya, saya bersedia," ucap Masumi dan sebuah desahan lega samar terdengar dari kursi para tamu dibelakangnya.
Semuanya sudah benar-benar berakhir. Maafkan aku Maya....
Sekarang giliran pastor bertanya pada Shiori.
"Shiori Takamiya, bersediakah kau menerima Masumi Hayami sebagai suamimu? Pendamping hidup dikala suka dan dukamu, dikala sehat dan sakitmu? Menerima segala kelebihan dan kekurangannya? Berjanji untuk saling menghormati dan mengasihi? Bersama selamanya sampai waktu Tuhan sendiri yang memisahkan?"
"Aku tidak bersedia!" Jawab Shiori setengah berteriak.
Masumi menoleh cepat pada wanita yang berdiri di sampingnya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dan efek itu tidak hanya padanya, semua orang yang berada di ruangan itu tercengang tidak percaya.
"Shiori, apa maksudmu?" Tanya Masumi lirih. Batinnya bersorak tapi dia tahu belum saatnya untuk merayakan hal itu, dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Shiori memutar tubuhnya menghadap Masumi, membuka cadarnya sendiri sehingga sekarang wajahnya terlihat jelas.
Keluarga Takamiya terlihat bingung dan para pengawal yang berjaga meminta media berhenti meliput meski terlambat karena penolakan Shiori sudah disiarkan ke seluruh Jepang.
"Biarkan saja kameranya menyala! Aku ingin seluruh Jepang tahu apa yang akan aku katakan!" Teriak Shiori ke arah pengawal yang mencoba menghentikan media untuk meliput.
Semua orang terhenyak termasuk keluarga Takamiya. Eisuke mengeratkan tangannya ke kursi roda menahan amarah karena rencananya hancur berantakan.
"Shiori!" Masumi meraih kedua lengan Shiori dan sedikit mengguncangnya, seolah wanita itu sedang dalam keadaan tidak sadar meski matanya terbuka lebar dan menatapnya tajam. Shiori menepis kedua tangan Masumi dengan kasar.
"Kenapa Tuan Muda Hayami? Anda terkejut saya menolak untuk menjadi istri anda?" Kata Shiori dengan nada tinggi.
Masumi tercengang.
"Tidak perlu terkejut Tuan Muda, aku hanya akan menyelamatkan hidup kita berdua," kata Shiori kemudian, nada suaranya sedikit menurun sekarang.
Shiori sekali lagi memutar tubuhnya menghadap para tamu dan mengabaikan keterkejutan Masumi. Wanita itu membungkuk hormat dan saat tubuhnya kembali tegak senyum tipis terpahat di wajahnya.
"Saya mohon maaf jika sudah tidak sopan dan mengejutkan anda sekalian. Tapi seperti apa yang saya katakan tadi, saya hanya ingin membebaskan diri saya dan Tuan Muda Hayami dari semua permainan ini." Kata Shiori tenang, matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada yang berkomentar, bahkan keluarganya sekalipun.
"Faktanya, saya dan Tuan Muda Hayami tidak saling mencintai. Anda sekalian pasti tahu kalau kami berdua di jodohkan dan saya rasa bukan rahasia lagi apa tujuan di balik perjodohan ini. Saya hanya tidak ingin menghabiskan hidup dengan pria yang tidak mencintai saya dan saya rasa Tuan Muda Hayami juga pasti berpikir demikan. Karena itu saya mohon maaf kepada seluruh keluarga Takamiya dan Hayami. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Semua orang terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Shiori menoleh pada Masumi lalu tersenyum.
"Aku akan pergi Masumi, kau juga pergilah dan tunggulah gadismu kembali," katanya lirih.
Masumi terkesiap. Dia hanya bisa memandang Shiori yang akhirnya turun dari altar dan berjalan keluar. Tepat diambang pintu ganda chapel guntur kembali menggelegar dan Shiori tiba-tiba jatuh pingsan. Suasana kembali kacau tapi kru media tersenyum lebar. Acara luar biasa yang disiarkan secara langsung itu akan menjadi acara dengan rating tertinggi setidaknya dalam beberapa minggu ke depan dan headline untuk surat kabar besok pagi jelas sudah tergambar jelas. Huruf besar dan tercetak tebal.
***
KURANG AJAR!! Dia pikir siapa dirinya? Berani-beraninya mempermalukanku seperti itu? Aku tidak akan pernah memaafkannya! Masumi! Jangan pernah lagi temui wanita itu. Meski dia adalah keluarga Takamiya, aku tidak peduli lagi!
Masumi duduk dikursi kerjanya dan merenung menatap langit mendung melalui jendela kantornya. Kemarahan Eisuke kemarin masih terngingang di telinganya. Dia tidak marah, sama sekali tidak. Kali ini perkataan Eisuke justru seperti nyanyian merdu baginya, jendral tertinggi telah melarangnya berhubungan dengan Shiori dan itu adalah kabar paling menggembirakan dalam hidupnya.
"Apakah saya harus mengucapkan selamat atau saya harus ikut berduka dengan tragedi pernikahan anda Pak Masumi?"
Masumi memutar kursinya dan melihat pada sumber suara yang mengganggu renungannya. Mizuki, sekretarisnya, sudah berdiri di depan mejanya dengan membawa secangkir kopi lalu meletakkannya di meja.
"Kali kau boleh mengucapkan selamat padaku," kata Masumi datar seraya meraih kopinya.
"Di lobi banyak sekali wartawan yang ingin mewawancarai anda bahkan beberapa stasiun TV ingin menampilkan secara ekslusif pernyataan anda mengenai kejadian kemarin," terang Mizuki.
"Katakan pada mereka aku tidak akan mengeluarkan pernyataan apapun. Apa yang dikatakan Shiori kemarin sudah lebih dari cukup," Masumi meneguk kopinya dengan tenang.
"Mengenai berita di surat kabar pagi ini, apakah anda juga tidak berniat mengklarifikasinya?"
Masumi melirik surat kabar di atas mejanya, menarik sudut bibirnya menjadi seringai tipis. Foto dirinya yang berdiri di altar dan ditinggalkan oleh Shiori terpampang besar di halaman utama dengan headline yang tercetak besar PANGERAN DAITO GAGAL MENCAPAI TAHTANYA.
Sebelumnya memang sudah beredar kabar kalau Masumi akan menjadi pewaris keluarga Takamiya setelah pernikahannya dengan Shiori. Tapi sekarang Masumi tidak peduli dengan semua itu. Gagalnya pernikahan dirinya dengan Shiori lebih membuatnya bahagia daripada menjadi pewaris keluarga Takamiya.
"Aku tidak peduli dengan semua pemberitaan itu Mizuki," kata Masumi kemudian.
"Apa anda tidak merasa aneh dengan semua kejadian ini Pak?"
"Aneh? Apakah semua ini masih layak dikatakan aneh Mizuki? Maya menghilang lalu tunanganku yang sebelumnya sudah dua kali mencoba bunuh diri karena tidak ingin membatalkan pernikahan tiba-tiba menolak menikah dan meninggalkanku di altar seperti orang bodoh."
Masumi menggeleng tak percaya.
"Ya anda benar semua ini benar-benar membingungkan. Apa anda sudah bertemu dengan Nona Shiori?"
Masumi menggeleng lagi, "Tadi pagi tuan besar Takamiya meneleponku dan memintaku datang ke rumahnya siang ini. Aku tidak bisa mengatakan hal ini pada Ayah karena dia sangat marah dengan keluarga Takamiya dan melarangku menemui Shiori lagi,"
"Jadi anda akan pergi siang ini?"
"Iya,"
"Apa sudah ada kabar terbaru mengenai Maya?"
Mizuki mengganti topik pembicaraannya dan ekspresi Masumipun langsung mengeras karenanya.
"Belum, semalam aku juga sudah mencoba mencarinya."
Mizuki menatap Masumi dengan prihatin. Dua hari yang lalu bosnya itu begitu sedih karena harus meninggalkan Maya dan menikah dengan Shiori. Sekarang saat pernikahannya batal, gadis yang dicintainya justru menghilang. Entah dilema apalagi yang harus dihadapi bosnya kali ini.
"Jika Maya tidak segera di temukan, publik pasti akan bertanya-tanya,"
"Aku tahu. Aku sudah minta Aoki untuk tidak mengatakan apapun jika ada yang bertanya tentang Maya."
"Bagaimana jika Maya tidak juga ditemukan?"
"Tidak!" Tukas Masumi, "Aku pasti akan menemukannya! Pasti!"
***
Masumi tiba di rumah Takamiya tepat saat istirahat makan siang. Tuan besar Takamiya sudah menunggunya.
"Aku berterima kasih kau masih mau datang setelah kejadian kemarin Masumi," katanya.
"Saya mengerti apa yang dilakukan Shiori Tuan Besar, saya tidak menyalahkannya," jawab Masumi sopan.
Menyalahkan? Aku justru sangat bersyukur karenanya.
Tuan Besar Takamiya terdiam.
"Maaf, ada apa Tuan Besar?" Tanya Masumi yang terheran dengan ekspresi pria tua dihadapannya.
"Sulit menjelaskannya. Ikutlah denganku, kau akan mengerti sendiri nanti," katanya.
Dengan penuh tanda tanya Masumi mengikuti tuan besar. Masumi tahu dia akan dibawa kemana.
Kamar Shiori!
Dan benar apa yang dipikirkan Masumi, mereka berhenti tepat di depan kamar Shiori. Masumi mendengar suara tangis dari dalam.
"Ada apa?" Tanya Masumi bingung.
Tuan besar Takamiya menggeser pintu dan Masumi terkejut saat melihat Shiori menangis keras di atas tempat tidurnya.
Ada apa ini?
"Masumi!!" Pekik Shiori terkejut ketika melihat Masumi di ambang pintu. Shiori melompat turun dari tempat tidurnya dan menghambur memeluk Masumi.
"A,ada apa Shiori?" Tanya Masumi bingung.
"Maafkan aku! Aku sama sekali tidak sadar apa yang aku katakan," kata Shiori yang terisak di dada Masumi. Shiori memeluknya tapi tangan Masumi tak bergerak sedikitpun untuk membalas pelukan itu.
Masumi meraih kedua bahu Shiori dan menjauhkan tubuh wanita itu darinya.
"Apa maksudmu?" Masumi semakin bingung, sejenak matanya menatap semua orang yang ada disana. Semuanya tampak sama bingungnya, Masumipun kembali menatap Shiori yang masih terisak.
"Aku, aku tidak tahu apa yang aku lakukan kemarin. Aku sungguh-sungguh tidak sadar saat mengucapkan semuanya. Sama sekali! Aku sama sekali tidak ingin membatalkan pernikahan kita," jelas Shiori dengan terbata di sela tangisannya.
Masumi terhenyak, "Shiori apa maksudnya? Aku tidak mengerti?"
"Takigawa, bawa Shiori kembali beristirahat!" seru Tuan Besar Takamiya bahkan sebelum Shiori membuka mulutnya untuk kembali menjelaskan maksud perkataannya.
"Kakek," lirih Shiori, dia menolak untuk kembali ketempat tidur.
"Cukup Shiori! Kau memang cucu kesayanganku tapi ini semua sudah keterlaluan! Kau memintaku memanggil Masumi untuk meminta maaf padanya bukan untuk mempermainkannya! Tidakkah kau tahu apa akibat dari perbuatanmu?" Tuan besar Takamiya tampak kesal dengan cucu kesayangannya itu. "Mari kita pergi Masumi," Shiori akhirnya menurut untuk kembali ke tempat tidur dan Masumi kembali mengikuti Tuan Besar Takamiya dengan keheranan.
"Maaf Tuan Besar, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Masumi ketika mereka sudah kembali ke ruang tamu.
Tuang besar Takamiya menghela napas panjang dan berat, "Kemarin setelah Shiori sadar dari pingsannya tiba-tiba dia meracau ingin menikah denganmu. Dia terus menangis dan tidak percaya saat kami menceritakan bahwa dia sendirilah yang menggagalkan pernikahannya. Setelah melihat siaran di televisi barulah dia percaya dengan apa yang kami katakan tapi dia bilang kalau dia tidak ingat sudah mengatakan semua itu,"
Masumi terdiam, semua ini sangat tidak masuk akal baginya.
"Kau tidak perlu khawatir Masumi. Aku tidak akan memaksamu menikah dengan Shiori kali ini. Aku tahu dia sudah keterlaluan dan aku tahu ayahmu pasti sangat marah dengan semua ini,"
"Lalu bagaimana dengan Shiori?"
"Orang tuanya akan membawa Shiori ke psikiater. Aku mengundangmu datang hari ini hanya untuk menuruti keinginannya yang mengatakan akan meminta maaf padamu tapi sepertinya dia berubah pikiran dan malah ingin memperbaiki hubungan denganmu. Seluruh warga Jepang sudah tahu apa yang telah diperbuatnya dan aku tidak mau dia membuat kehebohan lagi dengan merengek-rengek untuk kembali menikah denganmu. Secara pribadi aku mohon maaf atas semua ini Masumi."
"Jangan begitu Tuan Besar."
Tuan Besar Takamiya yang membungkuk meminta maaf pada Masumi justru membuatnya tidak enak.
"Aku akan datang secara pribadi untuk meminta maaf pada ayahmu tapi sekali lagi aku ingin kau memaafkanku juga Shiori,"
"Saya sudah memaafkan semuanya Tuan Besar, anda tidak perlu seperti ini,"
Tuan besar Takamiya menghela napas lega mendengar pernyataan Masumi.
"Terima kasih, aku tahu kau pria yang baik,"
Masumi hanya tersenyum dan mengangguk hormat. Tanda tanya besar masih bersandar di kepalanya.
Shiori tidak ingat semuanya?
***
"Bagaimana Hijiri?" Masumi gelisah saat menerima telepon dari anak buah kepercayaannya itu.
"Maaf Tuan, saya belum berhasil menemukan Nona Maya," jawab Hijiri dengan suara penuh sesal.
"Apa sama sekali tidak ada jejak?" Tanya Masumi cemas.
"Tidak Tuan. Menurut Nona Aoki, Nona Maya pergi tanpa membawa dompet ataupun handphonenya. Jadi sangat sulit melacak keberadaannya." terang Hijiri.
"Teruslah mencari Hijiri. Aku mau Maya ditemukan." Perintah Masumi, dia tidak mau ada kata gagal dalam tugas kali ini.
"Baik Tuan, saya akan terus mencari,"
"Terima kasih Hijiri,"
Dengan kasar Masumi melempar handphonenya ke jok disebelahnya. Lelah. Masumi juga sudah sangat lelah. Hampir tengah malam, sejak pulang dari rumah Takamiya Masumi tidak kembali lagi ke kantornya, dia mencari Maya.
Sayang, kau dimana?
Masumi mengeratkan matanya, angannya melayang mengingat semua kebersamaannya dengan Maya saat di Izu. Begitu indah, semua begitu indah. Sekarang tidak ada lagi penghalang bagi mereka untuk bersatu tapi justru Maya menghilang tanpa jejak.
Dia juga masih mengingat bisikan yang dia dengar di chapel sesaat sebelum upacara pernikahannya. Bisikan itu terdengar nyata dan dia yakin itu suara Maya.
Aku tidak akan rela kau menjadi milik wanita lain....
Kau hanya milikku, hanya milikku....
Masumi menghela napas.
Maya, kembalilah...aku merindukanmu
Cettar! Duarrr! Kilat dan guntur bergemuruh di langit Tokyo mengejutkan Masumi. Hampir tengah malam dan langit memberi tanda akan menurunkan airnya ke bumi. Akhirnya Masumi memutuskan untuk pulang.
Dengan langkah gontai Masumi memasuki kamarnya. Dituangnya wisky yang selalu tersedia di lemari es kamarnya, penat. Masumi menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk. Menit demi menit berlalu, Masumi duduk di kursinya dan menatap derasnya hujan dari jendela kamar. Tanpa sadar Masumi sudah menghabiskan setengah dari isi botolnya.
Masumi sudah merasa pening, diapun bangkit dari kursi dan menghempaskan dirinya ke tempat tidur.
Maya...Maya...kau dimana sayang....
Masumi jatuh tertidur.
Ketenangan Masumi tiba-tiba terusik saat dia merasakan sebuah tangan mungil membelai wajahnya dengan lembut.
"Masumi, bangun," sebuah suara lembut berbisik di telinga Masumi.
"Hhmmm," Masumi menggeser kepalanya tanpa membuka mata, dia merasa sangat lelah.
"Hei, bangun sayang," suara lembut itu kembali berbisik.
Dan kembali sebuah belaian di kepala Masumi mengusik ketenangannya. Dengan berat Masumi mencoba membuka matanya. Kepalanya terasa pusing. Saat sebuah senyuman menyambutnya, mata Masumi langsung melebar.
"Maya!" Seru Masumi dan reflek lengannya langsung merengkuh tubuh mungil yang berdiri di sebelah tempat tidur.
"Kau kemana saja? Aku sangat khawatir, aku mencarimu kemana-mana," kata Masumi yang masih memeluk Maya dengan erat, seolah gadisnya akan pergi lagi.
Maya mendorong tubuh Masumi menjauh darinya lalu tersenyum. Keduanya duduk di atas tempat tidur.
"Aku tidak kemana-mana. Maaf sudah membuatmu khawatir," Jawab Maya.
Masumi menangkupkan kedua tangannya di wajah Maya. Menatapnya lekat.
"Aku sangat merindukanmu," kata Masumi.
"Aku juga," jawab Maya.
"Jangan pergi lagi, aku mohon. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi kita. Shiori sudah membatalkan pernikahan,"
Maya hanya tersenyum tipis.
"Sudah ku katakan kau milikku, hanya milikku,"
Masumi kembali memeluk Maya, "Ya, aku hanya milikmu dan kau juga hanya milikku,"
Sadar akan sesuatu, tiba-tiba Masumi melepaskan pelukannya dan keningnya berkerut menatap Maya.
"Ada apa?" Tanya Maya bingung.
"Aku tidak sedang bermimpi kan? Kau disini? Di...kamarku?" Tanya Masumi yang juga bingung.
Maya tertawa, "Menurutmu?"
Masumi mencubit punggung tangannya, "Aww," serunya lirih.
Ini bukan mimpi? Tapi Maya ada dihadapanku? Dikamarku?
Maya hanya tersenyum melihat Masumi yang kebingungan.
"Bisakah kau melupakan semuanya sebentar saja dan menikmati kebersamaan kita?"
"Aku...,"
"Hanya kau dan aku sekarang," Maya memotong ucapan Masumi.
Sejenak Masumi berpikir kemudian mengangguk.
"Kalaupun ini mimpi biarkan aku bermimpi lebih lama lagi," kata Masumi.
Maya kembali menyunggingkan senyum termanisnya, "Mulai sekarang, jika kita bertemu lagi kau tidak boleh menanyakan apa dan kenapa."
"Kenapa? Eh, maksudku aku tidak mengerti apa yang kau katakan,"
"Kau masih ingin bertemu denganku?"
"Tentu saja, aku ingin selalu bersamamu,"
"Kalau begitu turuti saja yang aku katakan. Kita bisa terus bertemu asalkan kau tidak bertanya apapun padaku,"
Masumi semakin bingung, "Apapun?"
Maya mengangguk, "Apapun!" Tegas Maya.
"Aku tidak boleh bertanya kemana kau pergi?"
Maya menggeleng.
"Dimana kau tinggal sekarang?"
Maya menggeleng.
"Kenapa kau bisa berada dikamarku?"
Maya menggeleng lagi.
"Maya, ada apa sebenarnya?"
Maya menggeleng lagi dan kali ini telunjuknya terangkat.
"Jika kau mendesakku bicara maka kita tidak akan bertemu lagi," ancam Maya.
"Maya, tapi ini.....,"
"Hanya kau dan aku Masumi, aku hanya mau ada kau dan aku, tidak yang lainnya," potong Maya lagi.
Masumi terdiam. Dia memang ingin bisa terus bersama Maya tapi semua yang dikatakan Maya terasa sangat ganjil baginya.
"Kau juga tidak boleh mengatakan tentang pertemuan kita pada siapapun," tambah Maya.
"Jika aku tidak bertanya dan tidak mengatakan apapun pada orang lain kau akan datang menemuiku?"
"Ya, disini, setiap hari,"
"Setiap hari?"
"Ya. Kau mau berjanji kan?"
Masumi terdiam tapi kemudian logikanya berhenti bekerja. Keinginannya untuk selalu bisa bertemu dengan Maya mengalahkan semua tanda tanya dalam otaknya. Dia tidak peduli apa, kenapa atau bagaimana Maya bisa berada di kamarnya. Yang penting baginya, dia bisa berada bersama dengan Maya, kekasihnya.
"Aku berjanji," kata Masumi kemudian.
Maya tersenyum, tiba-tiba tangannya terulur dan melepas dasi dari leher Masumi.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Tanya Masumi terkejut.
"Melepas dasimu," jawab Maya santai.
Masumi menyeringai geli menatap Maya.
"Singkirkan pikiran mesummu Tuan Hayami dan segera bersihkan dirimu," kata Maya.
Masumi mengernyit dan melihat dirinya sendiri, ya dia memang terlihat berantakan.
"Baiklah Nona Kitajima, aku akan mandi tapi berjanjilah kau tidak akan pergi,"
Maya mengacungkan dua jarinya, "Aku janji,"
Masumi mengecup kening Maya lalu segera pergi ke kemar mandi.
Masumi sudah mengenakan piyamanya saat keluar dari kamar mandi. Matanya melebar dengan panik saat Maya sudah tidak ada di atas tempat tidurnya.
"Maya," panggilnya.
Hujan masih deras di luar kamarnya, membuatnya semakin panik memikirkan Maya pergi di tengah hujan deras.
"Maya!" Serunya, kali ini suaranya lebih keras.
Masumi mencari ke sekeliling kamarnya, ke ruang gantinya bahkan juga di dalam lemari besarnya. Dia baru saja memutar handle pintu saat dua lengan mungil memeluknya dari belakang. Masumi mematung sejenak dan dengan cepat memutar tubuhnya.
"Maya!" Serunya senang, Masumi langsung mendekap Maya, takut gadisnya akan menghilang lagi. "Aku pikir kau sudah pergi,"
"Aku kan sudah janji," kata Maya dalam pelukan Masumi.
Masumi menyadari sesuatu. Melepaskan pelukannya, Masumi menatap lekat kekasihnya, "Kau dari mana? Kenapa tubuhmu dingin sekali? Kau juga tidak mengenakan jaket, di luar hujan deras," tanyanya saat melihat Maya hanya mengenakan gaun panjang berwana putih tanpa mantel ataupun jaket.
Maya mengacungkan telunjuknya dan menggoyangkannya. Masumi teringat janjinya.
"Baiklah aku tidak akan bertanya tapi katakan kalau kau baik-baik saja," kata Masumi, kecemasan jelas terdengar dalam suaranya.
"Aku baik-baik saja. Ayo, kau pasti lelah, istirahatlah," Maya menarik Masumi dan membawanya kembali ke tempat tidur.
"Kau mau tidur disini? Bersamaku?" Masumi mematung heran melihat Maya naik ke tempat tidurnya.
Maya menoleh dan menatap Masumi yang masih berdiri di sisi tempat tidur.
"Kau keberatan? Seingatku kita pernah tidur bersama," jawab Maya yang sekarang duduk bersimpuh dan melipat tangannya di dada.
"Keberatan? Kau bercanda sayang? Aku lebih dari sekedar senang kau mau menemaniku malam ini," Masumi merangkak naik dan duduk di sebelah Maya.
"Kalau begitu berhentilah bertanya dan cepatlah tidur," perintah Maya.
"Tidur? Aku pikir kita bisa melakukan hal lain," Masumi mengerlingkan mata pada Maya.
"Hei tuan mesum, hentikan rayuanmu dan cepatlah tidur,"
Masumi tertawa, membaringkan dirinya dan menarik Maya ke dalam dekapannya.
"Kalau memeluk sepanjang malam boleh?" Bisik Masumi di telinga Maya.
Maya tersenyum lalu membaringkan kepalanya di lengan Masumi.
"Tidurlah Masumi, aku tidak punya banyak waktu," kata Maya lirih.
"Apa mak...,"
Maya menempelkan jarinya di bibir Masumi.
"Jangan bertanya, tidurlah. Kita akan bertemu lagi besok," kata Maya.
Masumi akhirnya diam, mendekap Maya dalam pelukannya, melupakan semua pertanyaannya. Keduanya saling memeluk di tengah dinginnya malam dan keduanya terlelap.
***
"Uugghh!" Masumi memijit kepalanya yang sakit. Sinar matahari pagi sudah bersinar memasuki kamarnya melalui jendela.
Masumi memandang langit-langit kamarnya, mengumpulkan kesadarannya. Dia merasa seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Tersentak dengan ingatannya tentang kejadian semalam, Masumi bangun dan matanya menyapu seluruh ruangan kamar.
"Maya!" Panggilnya.
Masumi melompat dari tempat tidur berlari ke kamar mandi mencari Maya tapi kamar mandi kosong. Ruang gantinya pun kosong. Tanpa pikir panjang Masumi berlari keluar kamar dengan masih mengenakan piyama. Beberapa pelayan memekik karena terkejut melihat Masumi yang tidak seperti biasanya.
"Apa kau melihat seorang gadis keluar dari kamarku?" Tanya Masumi pada pelayannya.
"Ga, gadis? Tidak Tuan Muda," jawab pelayannya.
Melihat ekspresi wajah pelayannya Masumi baru menyadari kebodohannya.
"Ah, maaf, mungkin aku terlalu banyak minum semalam," Masumi bergegas kembali ke kamarnya.
"Sepertinya Tuan Muda sangat terpukul dengan pembatalan pernikahannya ya. Dia jadi berimajinasi seperti itu," bisik pelayannya. Masumi mendengarnya tapi memilih untuk mengabaikannya.
Dengan bingung Masumi masuk ke kamarnya.
Apa semalam memang hanya mimpi?
Masumi melihat dirinya sendiri dengan bingung. Dia masih ingat bagaimana dia bisa memakai piyamanya lalu Maya tidur dalam pelukannya. Semua itu terasa begitu nyata baginya tapi kenapa saat bangun Maya sudah tidak ada lagi di sampingnya.
"Ahh! Apa yang sebenarnya terjadi? Maya! Kau membuatku gila!" Kata Masumi frustasi seraya menyisir kasar rambutnya.
***
Belasan mata memandang ngeri pada wajah dingin Masumi yang bahkan tidak bereaksi saat para stafnya menyapa. Sepertinya suasana hatinya sedang benar-benar tidak bersahabat.
"Selamat pagi Pak Masumi," sapa Mizuki.
Masumi hanya mengangguk dan berlalu begitu saja.
Ada apa lagi dengannya? Apa terjadi sesuatu dengan Maya?
Masumi menghempaskan dirinya dengan kasar ke kursi kerjanya. Kebingungannya atas kejadian semalam benar-benar membuatnya frustasi.
Apa iya aku hanya bermimpi karena terlalu memikirkannya?
Tok! Tok!
"Masuk!" Jawab Masumi cepat sambil membenahi posisi duduknya.
Mizuki muncul dari balik pintu dan seperti biasa membawa secangkir kopi. Mata Masumi menatap tajam padanya, tahu kalau sekretarisnya itu pasti akan melemparkan pertanyaan yang tidak akan bisa dijawabnya.
"Anda baik-baik saja Pak?"
Masumi menghela napas, dugaannya benar.
"Aku baik-baik saja Mizuki. Bisa tolong tinggalkan aku sendiri? Dan tolong tahan semua telepon untukku dua jam kedepan." Perintah Masumi.
"Apa telah terjadi sesuatu pada Maya Pak?" Tanya Mizuki tanpa basa basi lagi.
Masumi mendengus kesal, "Tidak terjadi apa-apa Mizuki. Jangan bertanya lagi dan tolong tinggalkan aku sendiri,"
Mizuki akhirnya mengalah dan keluar dari ruangan Masumi. Sementara Masumi masih berkutat dengan rasa frustasinya.
Sepertinya aku memang hanya bermimpi semalam, lagipula mana mungkin Maya bisa ada dikamarku
"Maya...sebenarnya dimana dirimu sekarang?" Gumam Masumi putus asa.
Akhirnya Masumi memilih berkutat dengan pekerjaannya dan menggeser sejenak pemikirannya tentang Maya.
***
Rei dan Hijiri menelepon Masumi siang itu, keduanya juga belum mendapatkan kabar apapun mengenai Maya. Sudah dua hari Maya menghilang dan Masumi juga harus memikirkan cara menutupi hilangnya Maya dari publik. Wartawan pasti akan mencari-cari masalah jika tahu Maya hilang, belum lagi dengan Mayuko, gurunya. Dia bisa terkena serangan jantung jika tahu murid kesayangannya menghilang. Masumi belum juga keluar dari ruang kerjanya hingga hari berganti petang.
"Pulanglah Mizuki, masih banyak yang ingin aku selesaikan hari ini," usir Masumi saat Mizuki masuk dan mengingatkan kalau hari sudah petang. Sekretaris itu hanya menurut kali ini, tidak mau memperburuk suasana hati bosnya yang memang sedang kacau.
"Saya permisi pak," kata Mizuki undur diri.
Masumi hanya mengangguk tanpa melihatnya dan terus menekuri pekerjaannya.
Waktu berlalu begitu saja dan tidak terasa sudah pukul sepuluh malam. Masumi menutup dokumen terakhir yang baru saja selesai diperiksanya. Merenggangkan tubuhnya, Masumi merasa lelah. Pekerjaan telah berhasil mengalihkan pikirannya yang frustasi karena Maya.
Menghela napas panjang, Masumi membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Handphone yang berdering membuatnya terkejut.
"Aoki?" Gumam Masumi heran, diapun segera mengangkatnya.
"Selamat malam Pak Masumi, maaf saya mengganggu malam-malam," sapa Rei sopan.
"Tidak apa-apa Nona Aoki, apa ada kabar tentang Maya?" Tanya Masumi penuh harap.
"Belum Pak," jawab Rei lesu.
Masumi tertegun sejenak, "Ada apa Nona Aoki?"
"Ini tentang Bu Mayuko, beliau menelepon saya siang tadi dan mengeluhkan tentang Maya yang tidak menjawab teleponnya. Dia meminta Maya untuk menemuinya besok siang,"
"Besok siang?"
"Benar Pak, bagaimana? Apa saya harus menceritakan yang sebenarnya kalau Maya hilang?"
"Tidak, jangan katakan apapun padanya mengenai hilangnya Maya,"
"Lalu bagaimana?"
Masumi berpikir sejenak.
"Nona Aoki, kau keberatan kalau aku datang ke rumahmu sekarang?"
"Ti, tidak Pak,"
"Baiklah, aku kesana sekarang, terima kasih,"
Masumi mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan kantor.
"Selamat malam Pak Masumi," sapa Rei sopan saat membukakan pintu untuk Masumi.
"Selamat malam Nona Aoki, maaf mengganggumu malam-malam," Masumi mengangguk sopan.
"Tidak Pak, silakan,"
Keduanya duduk di ruang tamu dan Rei masih terlihat gelisah.
"Tolong berikan surat ini pada Bu Mayuko," Masumi meletakkan sebuah surat dengan amplop berwarna ungu di atas meja.
"Surat apa ini?"
"Ini surat dari mawar ungu, katakan saja kalau Maya sedang berlibur bersamanya. Isi surat itu akan menjelaskan semuanya pada Bu Mayuko," jelas Masumi tenang.
"Tapi...sampai kapan kita akan menyembunyikan semua ini Pak? Bagaimana jika Maya...,"
"Tidak! Aku akan menemukannya! Apapun caranya, aku pasti akan menemukannya," potong Masumi.
"Anda...,"
"Aku tidak akan menyerah Nona Aoki, aku pasti bisa menemukannya. Aku hanya butuh waktu dan aku mohon bantuanmu untuk mengulur waktu."
Keduanya terdiam. Rei masih ragu dengan semuanya tapi tidak ada pilihan lain baginya selain percaya pada Masumi.
"Baiklah Pak, saya akan usahakan semampu saya," kata Rei kemudian.
Masumi terlihat lega, "Terima kasih Nona Aoki, kalau begitu aku permisi,"
"Maaf Pak, boleh saya bertanya sesuatu?" Kata Rei cepat sebelum Masumi beranjak.
"Ya?" Masumi kembali duduk di atas zabutonnya.
"Hhmm, maaf, apa anda benar-benar....mencintai Maya?" Tanya Rei ragu. Ragu kalau pria tampan dihadapannya ini benar mencintai sahabatnya dan bukan hanya memanfaatkannya demi mendapat hak pementasan yang selama ini diincarnya.
"Kenapa kau bertanya tentang hal itu Nona Aoki?" Masumi menatap tajam Rei, mencoba menerka pikiran gadis itu.
"Maaf kalau saya tidak sopan, hanya saja, anda yang selama ini saya kenal bukanlah seseorang yang bisa jatuh cinta pada seorang gadis seperti Maya kecuali karena...,"
"Hak pementasan Bidadari Merah?" Lagi-lagi Masumi memotong perkataan Rei.
Gadis itu mengangguk, "Tapi jika anda adalah Mawar Ungu Maya, saya jadi bingung bagaimana harus menilai anda. Kalau dipikir lagi semua yang anda lakukan memang semua demi kebaikan Maya bahkan saat anda bersikap sangat kasar pada Maya sekalipun hasilnya justru akan membuat Maya semakin bersemangat untuk maju. Saya tidak mengerti kenapa anda harus menjadi seorang Masumi yang kasar dan dingin juga menjadi mawar ungu yang lembut dan dermawan di saat yang bersamaan?"
Masumi menyeringai tipis, "Apa mungkin bagi seorang direktur dingin dan gila kerja sepertiku menunjukkan perhatiannya pada aktris yang usianya sebelas tahun lebih muda? Semua orang tahu kalau aku mengincar hak pementasan itu, meski aku sudah jatuh hati padanya sebelum dia menjadi kandidat resmi bidadari merah."
Rei menatap dalam mata Masumi yang tenang dan memancarkan kelembutan. Belum pernah dia melihat Direktur Daito seperti ini.
"Aku hanya ingin melindungi dan membantunya meraih impiannya Nona Aoki. Melihatnya bahagia itu sudah cukup bagiku." Masumi akhirnya beranjak, "Permisi," katanya.
"Tapi Maya sangat mencintai anda Pak!" Seru Rei. Masumi berhenti di ambang pintu.
"Aku tahu," kata Masumi tanpa membalikkan badannya.
"Malam itu sebelum pergi Maya mengatakan bahwa dia tidak rela melepaskan anda." Lanjut Rei.
Terkesiap, Masumi membalikkan tubuhnya menatap Rei yang masih duduk di atas zabutonnya.
"Dia bilang begitu?"
Rei mengangguk, "Dia tidak rela anda menikah dengan Nona Takamiya,"
Masumi terdiam.
"Apakah anda juga mencintai Maya seperti itu?"
Tersenyum tipis, Masumi kembali berbalik dan meninggalkan Rei tanpa menjawab pertanyaannya.
Maya...aku pasti akan menemukanmu dan aku akan menjadikan kau milikku, selamanya...
***
Masumi berhenti melangkah di depan pintu kamarnya. Apa yang dikatakan Maya kemarin malam padanya masih teringat dengan jelas.
...Kita akan bertemu lagi besok...
Menghela napas dengan frustasi akhirnya Masumi membuka pintu kamarnya, jantungnya berdebar, hati kecilnya berharap dia melihat Maya di kamarnya. Berharap kalau apa yang terjadi semalam bukan sekedar mimpi.
Kosong. Seperti biasa kamarnya kosong. Masumi melempar tas kerja dan jasnya dengan kesal ke sofa lalu segera ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dengan memakai piyamanya, Masumi melihat jam, pukul setengah dua belas malam. Dia belum mengantuk, Masumi berjalan ke arah sofa dan terkejut saat akan mengambil tas kerja yang tadi dilemparnya. Tas kerja dan jasnya tidak ada. Masumi mengedarkan pandangan dengan bingung ke seluruh kamarnya, tidak ada siapapun di sana.
"Maya?" Masumi akhirnya memanggil nama kekasihnya. Merasa bodoh dan bingung.
Apa mungkin memang benar Maya? Akh! Aku gila!
Berjalan dengan kesal Masumi duduk dengan kasar di tepi tempat tidurnya. Sekali lagi melihat ke sekeliling kamarnya tapi tetap saja tidak ada orang lain disana.
"Maya...," lirihnya putus asa.
"Kau membuatku menunggu terlalu lama Pak Masumi!"
Masumi terhenyak mendengar suara dari balik punggungnya. Dia berbalik dan Maya sudah berbaring di atas tempat tidurnya, seperti kemarin, dia memakai gaun panjang berwarna putih.
"Maya?" Masumi bingung dengan apa yang dilihatnya.
"Apanya yang Maya? Kau pulang terlalu larut, hampir saja aku pergi," kata Maya kesal, melipat tangannya didada tapi dia masih bergeming di tempat tidur, bersandar pada bantal.
Masumi merangkak ke atas tempat tidur dengan bingung. Duduk di sebelah Maya, Masumi mengulurkan tangannya dan mengusap wajah kekasihnya tapi Maya menepisnya.
"Aku masih marah!" Seru Maya, dia membuang muka dengan cemberut.
Masumi terdiam karena masih bingung.
"Maaf Maya aku...," Masumi memandang Maya dan urung mengatakan alasan keterlambatannya.
Aku tidak bermimpi, dia memang Maya. Tapi bagaimana mungkin?
"Kenapa Masumi? Kau masih tidak percaya ini aku?" Tanya Maya. Sekarang dia bangun dan duduk berhadapan dengan Masumi.
"Kau pikir semalam hanya mimpi? Bahwa aku tidak nyata? Bahwa aku hanya khayalan?" Kata Maya menyuarakan isi kepala Masumi.
"Jadi semalam itu bukan mimpi?" Tanya Masumi ragu.
Maya menggeleng dan tiba-tiba menubrukkan dirinya pada Masumi, membuat pria gagah itu terjatuh di tempat tidur dengan Maya di atas dadanya.
"Kau masih berpikir semua ini mimpi?" Kata Maya.
"Maya...jujur aku bingung dengan semua ini. Aku dan Hijiri mencarimu kemana-mana tapi tiba-tiba kau muncul di kamarku dan paginya kau menghilang begitu saja," Masumi mencoba menjelaskan pemikirannya.
Maya mendesah dan wajahnya berubah sendu, "Waktuku tidak banyak Masumi, tidak ada waktu untuk menjelaskan semua yang terjadi. Aku hanya mohon, berhentilah berpikir dan jangan bertanya. Karena hanya dengan begitu aku bisa terus menemuimu sampai....," Maya terdiam.
"Sampai apa Maya?"
Maya menggeleng, "Lupakan, aku hanya ingin bersamamu Masumi. Ku mohon jangan bertanya lagi," Maya merebahkan kepalanya di dada Masumi, terdengar olehnya detak jantung kekasihnya yang berpacu.
Masumi melingkarkan tangannya ke tubuh Maya, memeluknya. Keduanya terdiam cukup lama.
"Aku sudah menunggumu sejak tadi," keluh Maya lirih.
"Maaf," Masumi membelai kepala Maya, "Aku menemui Rei tadi, Bu Mayuko ingin bertemu denganmu dan aku harus memberi alasan karena kau menghilang,"
"Aku tahu," gumam Maya di dada Masumi.
"Kau tahu?" Masumi mengangkat sedikit kepalanya, mencoba melihat wajah Maya yang berbaring di atasnya.
"Iya," Maya mengangguk.
"Kau tahu aku menemui Rei dan membuat surat untuk Bu Mayuko?" Tanya Masumi lagi tidak percaya.
"Sudah tidak perlu dibahas, aku tahu semuanya. Aku tahu semua yang kau kerjakan hari ini."
Kening Masumi berkerut, dia bangun dan menyangga tubuh dengan sikunya, membuat Maya mendongak menatapnya.
"Jangan bertanya kenapa dan bagaimana," Maya memperingatkan dan kerutan di kening Masumi menghilang.
"Baiklah Nona cantik," kata Masumi kemudian. Diapun duduk dan Maya jadi meringkuk di pangkuannya.
"Nah, begitu lebih baik," Maya tersenyum, "Besok berjanjilah untuk pulang lebih awal sehingga aku tidak terlalu lama menunggumu,"
"Baiklah, besok aku akan pulang lebih awal," Masumi mengusap lembut wajah Maya.
"Sekarang tidurlah, sudah larut. Kau pasti lelah," kata Maya.
"Aku belum mengantuk," kata Masumi.
Maya terkikik.
"Kenapa?" Masumi berhenti membelai rambut panjang Maya dan menatapnya.
"Kau memang tidak punya lelah ya, padahal ini sudah larut dan kau sudah bekerja seharian. Kalau aku pasti sudah mimpi entah kemana,"
Masumi tersenyum, "Kalau kau sudah menjadi istriku nanti, aku tidak akan membiarkanmu tidur cepat,"
"Eh? Istri?!" Pekik Maya.
Masumi mengangguk dan Maya terbahak. Menarik dirinya dari pelukan Masumi lalu merebahkan dirinya di tempat tidur, masih terbahak.
"Apa yang lucu?" Masumi ikut berbaring di sebelah Maya dengan siku menyangga kepalanya.
"Kau lucu Masumi. Kau membicarakan soal pernikahan kita padahal kau baru saja gagal menikah. Apa kata orang nanti?" Maya masih tergelak.
"Aku tidak peduli. Aku sudah tidak sabar untuk memilikimu. Aku tidak mau menunda lagi," kata Masumi, wajahnya tampak serius.
"Kau sudah memilikiku Masumi," jawab Maya. Dia mengulurkan tangannya mengusap lembut wajah kekasihnya.
"Tidak Maya, sebelum aku menikah denganmu. Aku belum memilikimu seutuhnya." Masumi juga mengusapkan lembut jari-jarinya menelusuri garis wajah Maya. "Katakan Maya, apa kau mau menikah denganku?"
Maya tersenyum, "Kau harus buktikan dulu kalau kau mencintaiku dan aku adalah satu-satunya wanita di hatimu,"
"Kau tidak percaya padaku?"
Maya menggeleng, "Alasan aku bisa berada di tempat ini adalah karena aku percaya padamu. Tapi kalau kau memang ingin kita bersama selamanya maka kau harus membuktikan besarnya cintamu padaku,"
"Bagaimana caranya? Apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Kau akan tahu nanti jika sudah waktunya,"
Masumi terdiam, "Aku tidak boleh bertanya?"
Maya menggeleng.
"Hhhh, Maya kau membuatku bingung," Masumi menghempaskan dirinya di sebelah Maya. Keduanya berbaring bersebelahan dan saling memandang.
"Aku mencintaimu," kata Masumi kemudian.
"Aku tahu," jawab Maya, "Tapi kau tetap harus membuktikannya."
Masumi menarik Maya dalam pelukannya, "Kau membuatku gila Kitajima," bisik Masumi.
Maya tersenyum, "Aku lebih dari gila karenamu Masumi,"
Masumi menarik dagu Maya dan mendekatkan bibirnya pada bibir Maya.
"Boleh?" Bisik Masumi.
"Aku terkejut kau bisa begitu sopan Pak Masumi,"
Masumi tersenyum dan segera memagut bibir Maya. Dia sudah terlalu merindukan gadisnya.
"Aku sangat mencintaimu Maya, jangan tinggalkan aku," desah Masumi saat melepaskan bibir Maya.
"Aku rela melintasi batas ruang dan waktu hanya untukmu Masumi, aku tidak akan meninggalkanmu," Maya menangkupkan kedua tangannya ke wajah Masumi, menariknya dan kembali mencium Masumi dengan lembut. Keduanya melupakan dunia.
***
Masumi tertegun saat membuka matanya di pagi hari. Maya sudah tidak lagi disampingnya meski dia bisa mengingat dengan jelas kalau gadisnya itu semalaman berada dalam pelukannya. Bahkan kelembutan bibir Maya masih terasa di bibirnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Semua perkataan Maya bagaikan sebuah teka-teki baginya.
Apa maksudnya aku harus membuktikan cintaku? Kenapa Maya bilang dia melintasi ruang dan waktu?
Masumi kembali dibuat bingung dengan semua tentang Maya. Diapun bangun dari tempat tidurnya. Mata Masumi melebar saat melihat ke arah sofa. Dia melompat dari tempat tidur dan berjalan ke sofa. Pakaian, dasi dan tas kerjanya sudah siap. Semuanya sudah rapi.
Maya?
Sebuah ketukan di pintu mengejutkan Masumi.
"Sarapan sudah siap Tuan Muda," kata pelayannya saat Masumi membuka pintu.
"Aku segera turun, terima kasih," kata Masumi yang kembali menutup pintu.
Mengabaikan semua kebingungannya, Masumi akhirnya masuk ke kamar mandi untuk bersiap.
Hari itu, sekali lagi Masumi berangkat ke kantor dengan perasaan bingung meski tidak frustasi seperti kemarin. Begitu banyak benang kusut dalam kepalanya dan dia tidak tahu bagaimana menguraikannya.
"Mizuki, apakah kau tahu bagaimana cara membuktikan cinta?" Tanya Masumi tiba-tiba saat dia dan Mizuki baru saja selesai membahas beberapa permasalahan Daito.
Mizuki menahan tawanya atas pertanyaan Masumi, "Apa maksud anda Pak?"
"Ya, seperti yang aku katakan, bagaimana kita bisa membuktikan cinta kita yang besar dan tulus pada orang yang kita cintai?"
Mizuki kemudian diam dan berpikir, dia tidak punya pengalaman sama sekali tentang hal itu. Dari banyak hal yang dia kuasai, cinta bukanlah salah satunya. Tapi dia tahu beberapa hal yang sering dilakukan pria pada wanita yang dicintainya dari buku ataupun film.
"Anda jelas tahu bagaimana pengalaman saya mengenai hal itu," wajah Mizuki sedikit masam sekarang.
"Ya, setidaknya kau wanita. Kira-kira apa yang kau inginkan dari pria yang mencintaimu?" Tanya Masumi.
"Anda mengejek saya Pak?" Kata mizuki sedikit tersinggung.
"Aku serius Mizuki!" Seru Masumi kesal dengan Mizuki yang tiba-tiba menjadi begitu sensitif.
Melihat wajah serius Masumi, Mizuki tahu bosnya itu tidak sedang bercanda.
"Baiklah, kalau itu saya, hhhmmm... mungkin saya akan minta apartemen atau mobil mewah untuk membuktikan cintanya," jawab Mizuki.
Masumi mengernyit, "Maya bukan gadis seperti itu, dia tidak akan meminta apartemen atau mobil. Heh, ternyata kau suka juga hal seperti itu," Masumi kemudian menyeringai geli.
"Anda kan bertanya pendapat saya sebagai seorang wanita, kenapa anda jadi membandingkan saya dengan Maya? Lagipula jika ini tentang Maya kenapa anda bertanya pada saya?" Mizuki lebih tersinggung lagi sekarang.
Masumi menahan tawanya, "Maaf, maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."
Mizuki menghela napas meredakan kekesalannya.
"Apa anda sudah menemukan Maya?" Mizuki menatap Masumi heran. Setahunya Maya masih menghilang.
Kau juga tidak boleh mengatakan tentang pertemuan kita pada siapapun
Perkataan Maya terngiang di kepala Masumi. Diapun menggeleng untuk menjawab pertanyaan Mizuki.
"Lalu? Kenapa anda membahas tentang hal itu sementara Maya belum ditemukan?" Tanya Mizuki yang semakin heran. Sekarang giliran Masumi yang bertambah bingung.
"Aku hanya ingin tahu," jawab Masumi sekenanya. "Sudah katakan saja saranmu, jangan bertanya macam-macam soal Maya," tambah Masumi.
Mizuki mendengus kesal tapi dengan perlahan, "Kalau ini tentang Maya pasti lebih simpel. Berikan saja buket mawar ungu padanya, dia akan melompat ke langit karenanya,"
Ya, Maya memang selalu suka bunga mawar ungu tapi....
"Lainnya? Kali ini ku rasa bunga tidak akan cukup," kata Masumi.
Mizuki mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari-jari panjangnya. Sulit baginya menilai apa yang mungkin diinginkan Maya dari Masumi, gadis itu sangat polos dan tidak akan menilai sebuah hadiah sebagai bukti cinta.
"Setahu saya Maya suka mawar ungu, taiyaki, burger dan drama. Selebihnya saya tidak pernah tahu Maya menginginkan hal lain terlebih dari anda," Mizuki menggeleng putus asa.
Masumi menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mizuki memang benar, Maya tidak pernah tertarik dengan apapun kecuali drama.
"Anda buka saja toko Taiyaki untuknya," celetuk Mizuki.
"Jangan bercanda," kata Masumi kesal.
"Memberinya kontrak film atau drama terkenal?"
"Tidak,"
"Menikahinya!"
Masumi melotot.
"Menikah? Anda tidak setuju?"
"Sudah, sudah, kau keluar saja dan biarkan aku berpikir,"
Mizuki masih terheran dengan pokok pembicaraan yang tidak biasa itu tapi dia tidak bisa menolak saat Masumi mengusirnya.
Maya, Maya, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Masumi mendesah putus asa saat Mizuki meninggalkannya.
***
Tepat pukul lima sore Masumi sudah bersiap untuk pulang. Mizuki kembali hanya bisa menatap heran kepergian bosnya.
Sebenarnya ada apa? Kenapa Pak Masumi jadi aneh seperti itu?
Bukan hanya Mizuki yang heran. Setibanya di rumah, pelayan juga terheran melihat Masumi pulang cepat.
"Tolong bawakan makan malamku ke kamar dan siapkan semuanya dalam dua porsi," perintah Masumi sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
"Dua porsi?" Pelayannya terheran.
"Apa perintahku kurang jelas?" Tanya Masumi yang berhenti di tangga saat mendengar pelayannya bergumam.
"Ah, ti, tidak Tuan Muda, kami akan sediakan sesuai permintaan anda," pelayan itu tergagap saat Masumi menatap tajam padanya.
"Bagus," dan Masumi segera menuju kamarnya. Dia masih bisa mendengar saat pelayannya kembali menghubungkan permintaan anehnya dengan masalah batalnya pernikahan tapi Masumi mengabaikannya.
Membuka pintu dengan semangat tapi Masumi langsung kecewa saat kamarnya ternyata kosong.
"Maya! Maya!" Panggilnya seperti orang bodoh. Seolah kekasihnya itu adalah jin botol yang bisa datang kapan saja saat dirinya memanggil. Masumi terdiam saat Maya tidak juga muncul dihadapannya.
"Maya!" Panggilnya lagi. Dan tetap tidak ada jawaban.
Masumi akhirnya memilih untuk membersihkan dirinya dulu sebelum pelayannya datang membawakan makan malam.
Keluar dari kamar mandi, Masumi masih mendapati kamarnya kosong. Hatinya jadi bertanya-tanya.
Apa Maya benar akan datang malam ini?
Tiba-tiba otak warasnya yang masih tersisa sedikit memikirkan sesuatu. Masumi membuka pintu balkonnya dan berdiri memandang ke sekitar halaman belakang rumahnya.
Aneh, semua ini benar-benar aneh. Bagaimana Maya bisa keluar masuk kamarku begitu saja tanpa seorangpun tahu?
Masumi melihat ke bawah, kamarnya berada di lantai dua. Jarak dari balkon cukup tinggi dan menurutnya mustahil Maya bisa naik turun ke kamarnya dalam waktu yang singkat. Masumi menggeleng bingung. Semua masih terasa begitu ganjil baginya tapi Maya melarangnya untuk bertanya. Matahari sudah terbenam dan Masumi kembali masuk ke dalam kamar.
Pintu kamarnya di ketuk, pelayan membawakannya makan malam. Setelah mereka menyiapkan makan malam di meja, Masumi meminta mereka untuk tidak mengganggunya sampai besok pagi. Meski bingung para pelayan itu hanya bisa mengangguk lalu pergi.
Masumi duduk dan memandangi makan malamnya. Entah apa yang dipikirkannya tadi sehingga dia meminta dua porsi untuk makan malamnya. Apa dia berharap bisa makan malam bersama Maya? Masumi mendesah panjang, sekarang dia meragukan kewarasan otaknya.
"Menungguku Pak Masumi?"
Masumi tersentak. Maya tiba-tiba sudah duduk dihadapannya, tersenyum menatapnya.
"Maya?!" Desisnya tak percaya.
Maya tertawa, "Siapa lagi? Kau mengharapkan orang lain yang datang?"
Masumi terdiam dan mengedip beberapa kali. Maya berdiri lalu menghampiri Masumi, melandaikan tubuhnya, Maya mengecup lembut bibir Masumi.
"Aku merindukanmu," bisik Maya.
Masumi menarik Maya dan gadisnya itu jatuh ke atas pangkuannya. Tanpa bicara dan meminta ijin Masumi langsung mencium Maya. Rasa frustasi Masumi sudah berubah menjadi hasrat kerinduan pada kekasihnya.
Wajah Maya merona dan napasnya terengah saat Masumi melepaskan bibirnya.
"Maya....,"
Maya langsung menempelkan jarinya dibibir Masumi. Dia tahu Masumi akan bertanya mengenai keberadaannya.
"Kau mau mengajakku makan malam kan?"
Masumi membisu. Maya bengun dari pangkuan Masumi lalu duduk dikursi. Mengambil sumpitnya dan dengan mata berbinar mengucapkan selamat makan pada Masumi.
"Kalau kau tidak makan, aku akan habiskan semuanya sendiri," kata Maya karena Masumi masih terdiam memandangnya.
Masumi menghela napas panjang, melihat kekasihnya.
Pakaiannya masih sama
Tiba-tiba Masumi membungkuk dan mengamati kaki Maya.
"Kenapa?" Tanya Maya bingung, mulutnya masih mengunyah makanan.
"Kakimu menyentuh lantai, berarti kau bukan hantu kan?"
"Uhuk! Uhuk!" Maya tersedak makanannya mendengar perkataan Masumi.
Dengan cepat Masumi mengulurkan gelas berisi air pada Maya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Kau bilang aku apa?" Maya melotot pada Masumi.
"Aku salah, hantu tidak bisa makan dan tersedak," jawab Masumi tanpa dosa.
Maya terbahak melihat ekspresi wajah Masumi yang kebingungan.
"Apa aku membuatmu gila?" Tanya Maya yang masih cekikikan.
"Sepertinya memang begitu," jawab Masumi, diapun kembali duduk di kursinya.
Maya hanya tersenyum, "Kau tidak makan?"
Senyum Maya akhirnya menular dan Masumi menyerah untuk berpikir, dia mulai menikmati makanannya.
Sisa malam itu berlalu dengan tenang. Keduanya berbicara banyak hal dan tentunya Mayalah yang paling banyak bercerita mengenai kehidupannya selama ini. Masumi tersenyum, tertawa atau bahkan cemberut ketika ceritanya berkenaan dengan Koji atau lawan main Maya lainnya.
Malam semakin larut dan seperti biasa keduanya berpelukan hingga terlelap. Masumi terlihat tenang dan bernapas dengan teratur, menandakan dia sudah tertidur pulas.
Maya membuka matanya dan perlahan keluar dari kungkungan lengan Masumi. Membenahi selimut menutupi tubuh kekasihnya, Maya turun dari tempat tidur.
"Sudah waktunya Kitajima," sebuah suara terdengar bersamaan dengan munculnya cahaya terang, sebuah pintu terbuka. Seorang laki-laki berdiri diambang pintu. Dia mengenakan baju putih panjang seperti Maya, wajahnya tampan, rambutnya sepanjang bahu berwarna kuning keemasan dengan ikat kepala emas di keningnya, dia juga membawa tongkat kayu dengan ukiran cantik disepanjang bilahnya.
"Tidak bisakah aku menunggu sebentar lagi?" Pinta Maya.
"Hampir fajar dan kau tahu perjanjiannya. Kau tidak boleh terlihat saat siang hari atau energi kehidupanmu akan habis sebelum waktunya," jawab pria itu.
"Baiklah," Maya beranjak dengan berat hati. Dia masih sempat menoleh melihat Masumi yang terlelap sebelum akhirnya pergi dan menghilang dibalik pintu cahaya.
***
>>Bersambung<<
>>Secret Angel - Chapter 2<<
>>Secret Angel - Chapter 4<<
Masumi merasakan semua oksigen keluar dari paru-paru dan jantungnya berhenti berdetak. Rei berdiri di depannya dengan wajah panik, tubuhnya kuyup karena hujan. Rei terlihat seperti kehilangan akal sehatnya karena baru saja membuat kehebohan dengan menggedor pintu rumah Hayami padahal jam menunjukkan pukul dua pagi.
"Apa maksudmu Nona Aoki?!" Masumi masih berharap dia salah mendengar perkataan Rei.
Wajah Rei semakin memucat, "Jadi Maya tidak disini?! Dia sudah pergi sejak pulang dari pesta untuk menemui anda,"
Menutup mata dan berusaha mengatur napasnya, Masumi membuka matanya dan menatap tajam pada Rei. Tapi sedetik kemudian pandangannya beralih pada para pelayan dan petugas keamanan yang mengelilingi mereka.
"Kalian semua, kembalilah ke kamar masing-masing! Tidak ada yang perlu di khawatirkan dia temanku," perintah Masumi lantang. Sejenak semuanya saling berpandangan namun dengan cepat mereka membungkuk hormat lalu membubarkan diri secara bersamaan.
Masumi kembali menatap Rei, "Tunggu sebentar, aku akan ganti baju," kata Masumi tegas.
Rei hanya mengangguk dan belum sepenuhnya mengerti apa maksud ucapan Masumi. Dia hanya mematung di tempatnya sambil mengamati Masumi yang mengenakan piyama dan jubah tidurnya berlari dan menghilang saat menaiki tangga. Suara gemuruh dan petir yang menggelegar di langit semakin melipat gandakan kekhawatiran Rei.
Maya, kau dimana?
***
Hampir pukul lima pagi, mobil Masumi menyusuri setiap jalanan kota Tokyo. Dia dan Rei berusaha mencari Maya. Semua tempat yang sering dikunjungi Maya sudah didatangi, termasuk taman favoritnya. Hasilnya masih nihil, sementara hujan masih meninggalkan gerimis kecil.
"Hijiri!" Masumi membentak panik melalui handphonenya. Rei hanya diam, memandang ngeri kepanikan pria yang duduk disebelahnya. Masumi terlihat sangat tidak biasa bagi Rei, topeng pangeran tampan, tenang dan dingin yang biasa ditampakkannya sekarang pecah dan hancur berkeping-keping, kekhawatiran jelas tergambar di wajah Masumi. Dia seperti harimau yang siap menerkam siapa saja yang mendekat padanya.
"Maaf Tuan, saya juga belum menemukan Nona Maya," suara penuh penyesalan dari Hijiri membuat jantung Masumi semakin berpacu. Tapi dia juga tidak bisa menyalahkan Hijiri.
"Tuan?" Hijiri bingung saat tuannya hanya diam dan tidak menjawab. Meski sebenarnya dia lebih dari sekedar mengerti kalau Masumi saat ini sedang di telan kepanikan.
"Teruslah mencari Hijiri, temukan dia! Temukan Maya!" Kata Masumi kemudian. Suaranya tenang namun sarat emosi.
"Baik Tuan. Tapi maaf Tuan, saya harus mengingatkan anda," jawab Hijiri tenang.
"Mengingatkan? Apa?" Masumi gagal mengerti maksud anak buahnya.
"Maaf Tuan, pukul sembilan pagi ini anda sudah harus berada di gereja untuk upacara pernikahan anda dan Nona Takamiya," tukas Hijiri tanpa basa-basi.
Sekali lagi Masumi seperti dihantam oleh bola besi ratusan kilo sekaligus ditusuk belati pada saat yang bersamaan. Pernikahannya dengan Shiori? Dia sama sekali tidak ingat.
"Aku mengerti, teruslah mencari dan kabari aku setiap perkembangannya," suara Masumi kembali tenang tapi kali ini terdengar datar dan dingin.
"Baik Tuan,"
Masumi mematikan handphonenya dan menatap kosong ke luar jendela. Hujan sudah berhenti dan semburat warna jingga mulai terlihat di langit meski masih disembunyikan oleh sisa-sisa awan mendung.
"Aku akan mencoba memutar dan mengulang rute kita tadi, siapa tahu kita bisa menemukan petunjuk. Kau keberatan? Sudah lelah?" Masumi menoleh pada gadis tampan disebelahnya.
"Ten, tentu saja tidak Pak," kata Rei terbata. Tatapan mata Masumi mengintimidasinya, dia belum pernah berada sedekat ini dengan Masumi dalam waktu yang lama. Dalam hati dia bertanya-tanya, kenapa Maya bisa jatuh cinta dengan pria seperti Masumi. Rei kemudian teringat mawar ungu. Mungkin Pak Masumi memiliki kepribadian ganda, pikirnya.
Masumi mengabaikan ekspresi bingung Rei dan segera memutar mobilnya. Sekali lagi, sekali lagi dia ingin mengerahkan usaha terakhirnya untuk menemukan Maya. Dia dikejar waktu tapi dia belum mau menyerah.
Matahari sudah menampakkan wujudnya secara utuh. Waktu tepat menunjukkan pukul tujuh pagi. Handphone di saku Masumi terus bergetar, dia tahu itu adalah Eisuke, jendral tertinggi, yang sedang mencarinya. Masumi kehabisan waktu.
Ekspresi Masumi semakin gelap saat menurunkan Rei di depan rumah kontrakannya.
"Hijiri akan terus mencari Maya. Kau juga tolong kabari aku jika mendapat kabar apapun tentang Maya," Masumi mengulurkan kartu nama pada Rei, memberikan nomor telepon pribadinya.
Rei mencoba membaca ekspresi wajah Masumi sebelum akhirnya mengangguk hormat, "Terima kasih, anda sudah membantu saya untuk mencari Maya."
"Maaf, ada yang harus aku lakukan jadi aku harus segera pergi," jawab Masumi, dalam hati dia menyesali keterbatasan waktunya dan kegagalannya menemukan Maya.
"Saya mengerti Pak. Saya doakan semoga anda bahagia," ucap Rei kemudian, dia tahu kalau Masumi akan menikah pagi itu.
Sejenak Masumi terdiam lalu menekan bibirnya menjadi garis keras, "Aku hanya akan menikah Nona Aoki tapi tidak untuk bahagia. Permisi!" Masumi kembali masuk ke mobilnya dan segera pergi, meninggalkan Rei yang tercengang dengan ucapannya.
***
"KE MANA SAJA KAU !!" Teriakan Eisuke menyambutnya saat Masumi menginjakkan kaki di rumah. Sudah hampir setengah delapan pagi.
"Ada hal yang harus aku lakukan Ayah," jawab Masumi datar.
"Pelayan dan petugas keamanan bilang ada seorang pria datang dan membuat keributan dini hari tadi?" Tanya Masumi.
Pria?! Masumi kemudian sadar bahwa yang dimaksud adalah gadis tampan, Rei Aoki. Masumi lega dan bersyukur pelayan-pelayan bodohnya tidak mengenali Rei sebagai seorang gadis.
"Tidak apa-apa ayah, semua sudah selesai." Tukas Masumi cepat.
Eisuke memandang penuh selidik pada Masumi.
"Permisi ayah, aku harus segera bersiap," Masumi segera berlalu dari hadapan ayahnya. Tidak mau menerima introgasi lainnya. Kontrol dirinya sedang dalam keadaan labil sekarang, hilangnya Maya membuatnya kacau.
Maya, kau dimana?
Masumi duduk di kursi dan mencengkram kuat rambut dengan jari-jarinya. Frustasi. Matanya memandang marah pada tuxedo putih yang terpajang pada manekin di sudut kamarnya.
Waktuku sudah habis
***
Masumi tiba di chapel tiga puluh menit sebelum upacara pernikahannya dimulai. Dia sengaja turun di pintu belakang chapel. Mizuki sudah menunggunya dan dia sempat terkejut melihat Masumi dengan tuxedo putih berjalan ke arahnya. Bahkan sekretaris yang setiap hari bersamanya pun bisa terpesona melihat Masumi yang begitu tampan dengan tuxedo pernikahannya.
Mizuki membungkuk hormat, "Selamat datang Pak Masumi,"
Masumi hanya mengangguk dengan ekspresi datar, tidak ada ekspresi kebahagiaan layaknya pengantin pada umumnya.
"Apa semuanya sudah siap?" Tanya Masumi.
"Sudah Pak. Nona Shiori juga baru saja tiba. Mungkin ada satu hal yang harus anda tahu sebelum masuk,"
Masumi memandang heran sekretarisnya.
"Nona Shiori mengundang beberapa media untuk meliput upacara pernikahan ini," terang Mizuki tanpa menunggu atasannya bertanya.
"Apa?" Desis Masumi terkejut, "Bukankah keluarga Takamiya mengatakan semua berita akan diembargo hingga Shiori benar-benar sehat?"
"Sepertinya ini adalah keinginan Nona Shiori sendiri sehingga Tuan besar Takamiya bahkan tidak bisa menolaknya. Menurut saya Nona Shiori ingin semua orang tahu kalau anda adalah suaminya,"
Masumi tertegun sejenak.
Tidak semua orang, dia hanya ingin Maya tahu
"Apa Maya akan datang Pak Masumi?" Pertanyaan Mizuki menyentakkan Masumi. Sekretaris kritis yang juga pintar membaca ekspresi wajah atasannya itu tahu sesuatu telah terjadi.
"Ada apa Pak?" Selidik Mizuki.
"Maya menghilang sejak semalam dan aku tidak tahu dimana dia sekarang," kecemasan kembali terlihat di wajah Masumi.
"Maya menghilang?" Tanya Mizuki selirih mungkin, tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka.
Belum sempat Masumi menjawab Asa datang menghampiri keduanya.
"Sudah waktunya Tuan Muda," katanya dengan sopan.
Masumi hanya diam dan mengangguk. Asa berbalik dan kembali masuk ke dalam chapel.
"Semoga anda bahagia Pak," Mizuki membungkuk hormat ketika Masumi melintas di depannya. Sontak hal itu menghentikan langkah kaki Masumi. Untuk sesaat keduanya saling menatap.
"Kau tahu itu tidak mungkin Mizuki,"
Masumi berlalu tanpa mengatakan apa-apa lagi dan Mizuki hanya bisa menatap punggung Masumi dengan tatapan prihatin.
***
Berdiri di altar, semua mata menatap Masumi penuh kagum. Tidak heran karena Masumi memang terlihat menawan. Senyum palsu dari topeng pangerannya berhasil mengelabui para tamu dan media. Ya, seperti apa yang Mizuki katakan, ada beberapa media yang meliput upacara pernikahan secara langsung.
Jantung Masumi semakin berpacu saat pintu chapel tiba-tiba terbuka dan musik mulai mengalun lembut.
Seorang wanita cantik dengan gaun pengantin indah berjalan memasuki ruangan. Setiap langkahnya disesuaikan dengan iringan musik yang mengalun merdu. Masumi terpaku menatap Shiori yang terlihat tersenyum dari balik cadarnya. Bukan karena terpesona namun karena dia sedang menghitung setiap detik menjelang kehancuran hidupnya. Satu langkah Shiori bergerak maju maka satu langkah kehancuran bagi Masumi.
Aku tidak akan rela kau menjadi milik wanita lain....
Masumi tiba-tiba tersentak, sebuah suara berbisik di telinganya. Dia memutar mata mencari sumber suara tapi kemudian dia tersadar, di altar hanya ada dirinya dan pastor. Shiori masih setengah perjalanan menuju altar dengan di dampingi ayahnya.
Kau hanya milikku, hanya milikku....
Suara itu kembali berbisik di telinga Masumi dan kali ini dia gagal menyembunyikan keterkejutannya.
Maya...?
Masumi mengenali suara lembut wanita yang berbisik di telinganya.
"Anda tidak apa-apa Tuan Hayami?" Tanya pastor setangah berbisik.
Masumi menatap pastor yang berdiri disebelahnya dan menepis kebodohan otaknya yang berpikir telah mendengar suara Maya.
Ini pasti karena aku terlalu mengkhawatirkannya, Masumi meyakinkan dirinya sendiri.
"Ah iya Pastor, saya tidak apa-apa," kata Masumi seraya berusaha mengambil kembali ketenangannya.
Pandangan Masumi kembali beralih pada Shiori yang hampir sampai di altar. Namun Masumi merasa dirinya gila sekarang, bukan karena suara Maya, lebih gila lagi karena sekarang dia melihat Maya berdiri dengan mengenakan gaun panjang putih dan berjalan di sebelah Shiori.
Masumi menyipitkan matanya dan mengedip beberapa kali untuk memastikan kalau apa yang dilihatnya adalah sebuah halusinasi. Maya tersenyum padanya dan jantung Masumi hampir berhenti berdetak karenanya.
Duaarrr!!
Sebuah guntur menggelegar dan mengejutkan semuanya, tidak terkecuali Masumi. Untuk sesaat fokus Masumi beralih menatap jendela dan memang terlihat langit gelap gulita. Dan saat dirinya kembali menatap Shiori yang sudah berdiri di ujung tangga bayangan Maya sudah menghilang.
Ditelan oleh kekecewaan yang dalam bahwa dirinya memang benar hanya berhalusinansi, Masumi memaksakan diri untuk tersenyum. Tidak ada gunanya menyesal sekarang. Semua sudah terlanjur terjadi dan dia juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan pernikahannya. Shiori sudah menunggunya, keluarga Takamiya sudah berjajar di deretan kursi terdepan dan di sisi lain ayahnya juga sudah duduk dengan tenang dan menantikan penyatuan dua perusahaan seperti apa yang telah diharapkannya selama ini.
Melangkah turun, wajah Masumi tersenyum seraya mengulurkan tangan pada Shiori dan membantunya menaiki anak tangga. Dari balik cadar Shiori menyunggingkan senyumnya, jelas dia terlihat bahagia. Keduanya sekarang berdiri di altar, menghadap pastor untuk mengucapkan janji setia mereka sebagai suami istri.
Musik berhenti mengalun dan pastor memulai upacara pernikahannya. Namun baru saja pastor hendak berbicara guntur kembali menggelegar di langit. Beberapa tamu sempat memekik karena terkejut. Shiori bahkan terhuyung dan dengan cepat Masumi menangkap tubuhnya yang limbung.
"Kau tidak apa-apa Shiori?" Tanya Masumi cemas.
"I, iya aku, aku baik-baik saja," kata Shiori terbata. Dengan cepat diapun kembali berdiri tegak. Beberapa kru media tampak menggeleng geli melihat pengantin wanitanya hampir jatuh namun mereka berusaha menyembunyikannya. Tahu hal itu akan sangat membahayakan bagi kelangsungan pekerjaan mereka.
Setelah semua tenang pastor kembali memulai upacara pernikahannya. Ada beberapa ayat dibacakan dan beberapa nasehat diutarakan, sampai akhirnya tiba saat untuk mengucap janji pernikahan.
"Masumi Hayami, bersediakah kau menerima Shiori Takamiya sebagai istrimu? Pendamping hidup dikala suka dan dukamu, dikala sehat dan sakitmu? Menerima segala kelebihan dan kekurangannya? Berjanji untuk saling menghormati dan mengasihi? Bersama selamanya sampai waktu Tuhan sendiri yang memisahkan?"
Masumi mengeratkan tangannya. Bibirnya berat untuk terbuka dan lidahnya kelu untuk menjawab. Sejenak Masumi merasakan suasana di sekelilingnya menegang dan dia tahu semua sedang menunggu jawabannya. Tidak ada pilihan lagi baginya.
Maafkan aku Maya...
"Ya, saya bersedia," ucap Masumi dan sebuah desahan lega samar terdengar dari kursi para tamu dibelakangnya.
Semuanya sudah benar-benar berakhir. Maafkan aku Maya....
Sekarang giliran pastor bertanya pada Shiori.
"Shiori Takamiya, bersediakah kau menerima Masumi Hayami sebagai suamimu? Pendamping hidup dikala suka dan dukamu, dikala sehat dan sakitmu? Menerima segala kelebihan dan kekurangannya? Berjanji untuk saling menghormati dan mengasihi? Bersama selamanya sampai waktu Tuhan sendiri yang memisahkan?"
"Aku tidak bersedia!" Jawab Shiori setengah berteriak.
Masumi menoleh cepat pada wanita yang berdiri di sampingnya. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dan efek itu tidak hanya padanya, semua orang yang berada di ruangan itu tercengang tidak percaya.
"Shiori, apa maksudmu?" Tanya Masumi lirih. Batinnya bersorak tapi dia tahu belum saatnya untuk merayakan hal itu, dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Shiori memutar tubuhnya menghadap Masumi, membuka cadarnya sendiri sehingga sekarang wajahnya terlihat jelas.
Keluarga Takamiya terlihat bingung dan para pengawal yang berjaga meminta media berhenti meliput meski terlambat karena penolakan Shiori sudah disiarkan ke seluruh Jepang.
"Biarkan saja kameranya menyala! Aku ingin seluruh Jepang tahu apa yang akan aku katakan!" Teriak Shiori ke arah pengawal yang mencoba menghentikan media untuk meliput.
Semua orang terhenyak termasuk keluarga Takamiya. Eisuke mengeratkan tangannya ke kursi roda menahan amarah karena rencananya hancur berantakan.
"Shiori!" Masumi meraih kedua lengan Shiori dan sedikit mengguncangnya, seolah wanita itu sedang dalam keadaan tidak sadar meski matanya terbuka lebar dan menatapnya tajam. Shiori menepis kedua tangan Masumi dengan kasar.
"Kenapa Tuan Muda Hayami? Anda terkejut saya menolak untuk menjadi istri anda?" Kata Shiori dengan nada tinggi.
Masumi tercengang.
"Tidak perlu terkejut Tuan Muda, aku hanya akan menyelamatkan hidup kita berdua," kata Shiori kemudian, nada suaranya sedikit menurun sekarang.
Shiori sekali lagi memutar tubuhnya menghadap para tamu dan mengabaikan keterkejutan Masumi. Wanita itu membungkuk hormat dan saat tubuhnya kembali tegak senyum tipis terpahat di wajahnya.
"Saya mohon maaf jika sudah tidak sopan dan mengejutkan anda sekalian. Tapi seperti apa yang saya katakan tadi, saya hanya ingin membebaskan diri saya dan Tuan Muda Hayami dari semua permainan ini." Kata Shiori tenang, matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada yang berkomentar, bahkan keluarganya sekalipun.
"Faktanya, saya dan Tuan Muda Hayami tidak saling mencintai. Anda sekalian pasti tahu kalau kami berdua di jodohkan dan saya rasa bukan rahasia lagi apa tujuan di balik perjodohan ini. Saya hanya tidak ingin menghabiskan hidup dengan pria yang tidak mencintai saya dan saya rasa Tuan Muda Hayami juga pasti berpikir demikan. Karena itu saya mohon maaf kepada seluruh keluarga Takamiya dan Hayami. Saya tidak bisa melanjutkan pernikahan ini."
Semua orang terpaku dan tidak tahu harus berbuat apa. Shiori menoleh pada Masumi lalu tersenyum.
"Aku akan pergi Masumi, kau juga pergilah dan tunggulah gadismu kembali," katanya lirih.
Masumi terkesiap. Dia hanya bisa memandang Shiori yang akhirnya turun dari altar dan berjalan keluar. Tepat diambang pintu ganda chapel guntur kembali menggelegar dan Shiori tiba-tiba jatuh pingsan. Suasana kembali kacau tapi kru media tersenyum lebar. Acara luar biasa yang disiarkan secara langsung itu akan menjadi acara dengan rating tertinggi setidaknya dalam beberapa minggu ke depan dan headline untuk surat kabar besok pagi jelas sudah tergambar jelas. Huruf besar dan tercetak tebal.
***
KURANG AJAR!! Dia pikir siapa dirinya? Berani-beraninya mempermalukanku seperti itu? Aku tidak akan pernah memaafkannya! Masumi! Jangan pernah lagi temui wanita itu. Meski dia adalah keluarga Takamiya, aku tidak peduli lagi!
Masumi duduk dikursi kerjanya dan merenung menatap langit mendung melalui jendela kantornya. Kemarahan Eisuke kemarin masih terngingang di telinganya. Dia tidak marah, sama sekali tidak. Kali ini perkataan Eisuke justru seperti nyanyian merdu baginya, jendral tertinggi telah melarangnya berhubungan dengan Shiori dan itu adalah kabar paling menggembirakan dalam hidupnya.
"Apakah saya harus mengucapkan selamat atau saya harus ikut berduka dengan tragedi pernikahan anda Pak Masumi?"
Masumi memutar kursinya dan melihat pada sumber suara yang mengganggu renungannya. Mizuki, sekretarisnya, sudah berdiri di depan mejanya dengan membawa secangkir kopi lalu meletakkannya di meja.
"Kali kau boleh mengucapkan selamat padaku," kata Masumi datar seraya meraih kopinya.
"Di lobi banyak sekali wartawan yang ingin mewawancarai anda bahkan beberapa stasiun TV ingin menampilkan secara ekslusif pernyataan anda mengenai kejadian kemarin," terang Mizuki.
"Katakan pada mereka aku tidak akan mengeluarkan pernyataan apapun. Apa yang dikatakan Shiori kemarin sudah lebih dari cukup," Masumi meneguk kopinya dengan tenang.
"Mengenai berita di surat kabar pagi ini, apakah anda juga tidak berniat mengklarifikasinya?"
Masumi melirik surat kabar di atas mejanya, menarik sudut bibirnya menjadi seringai tipis. Foto dirinya yang berdiri di altar dan ditinggalkan oleh Shiori terpampang besar di halaman utama dengan headline yang tercetak besar PANGERAN DAITO GAGAL MENCAPAI TAHTANYA.
Sebelumnya memang sudah beredar kabar kalau Masumi akan menjadi pewaris keluarga Takamiya setelah pernikahannya dengan Shiori. Tapi sekarang Masumi tidak peduli dengan semua itu. Gagalnya pernikahan dirinya dengan Shiori lebih membuatnya bahagia daripada menjadi pewaris keluarga Takamiya.
"Aku tidak peduli dengan semua pemberitaan itu Mizuki," kata Masumi kemudian.
"Apa anda tidak merasa aneh dengan semua kejadian ini Pak?"
"Aneh? Apakah semua ini masih layak dikatakan aneh Mizuki? Maya menghilang lalu tunanganku yang sebelumnya sudah dua kali mencoba bunuh diri karena tidak ingin membatalkan pernikahan tiba-tiba menolak menikah dan meninggalkanku di altar seperti orang bodoh."
Masumi menggeleng tak percaya.
"Ya anda benar semua ini benar-benar membingungkan. Apa anda sudah bertemu dengan Nona Shiori?"
Masumi menggeleng lagi, "Tadi pagi tuan besar Takamiya meneleponku dan memintaku datang ke rumahnya siang ini. Aku tidak bisa mengatakan hal ini pada Ayah karena dia sangat marah dengan keluarga Takamiya dan melarangku menemui Shiori lagi,"
"Jadi anda akan pergi siang ini?"
"Iya,"
"Apa sudah ada kabar terbaru mengenai Maya?"
Mizuki mengganti topik pembicaraannya dan ekspresi Masumipun langsung mengeras karenanya.
"Belum, semalam aku juga sudah mencoba mencarinya."
Mizuki menatap Masumi dengan prihatin. Dua hari yang lalu bosnya itu begitu sedih karena harus meninggalkan Maya dan menikah dengan Shiori. Sekarang saat pernikahannya batal, gadis yang dicintainya justru menghilang. Entah dilema apalagi yang harus dihadapi bosnya kali ini.
"Jika Maya tidak segera di temukan, publik pasti akan bertanya-tanya,"
"Aku tahu. Aku sudah minta Aoki untuk tidak mengatakan apapun jika ada yang bertanya tentang Maya."
"Bagaimana jika Maya tidak juga ditemukan?"
"Tidak!" Tukas Masumi, "Aku pasti akan menemukannya! Pasti!"
***
Masumi tiba di rumah Takamiya tepat saat istirahat makan siang. Tuan besar Takamiya sudah menunggunya.
"Aku berterima kasih kau masih mau datang setelah kejadian kemarin Masumi," katanya.
"Saya mengerti apa yang dilakukan Shiori Tuan Besar, saya tidak menyalahkannya," jawab Masumi sopan.
Menyalahkan? Aku justru sangat bersyukur karenanya.
Tuan Besar Takamiya terdiam.
"Maaf, ada apa Tuan Besar?" Tanya Masumi yang terheran dengan ekspresi pria tua dihadapannya.
"Sulit menjelaskannya. Ikutlah denganku, kau akan mengerti sendiri nanti," katanya.
Dengan penuh tanda tanya Masumi mengikuti tuan besar. Masumi tahu dia akan dibawa kemana.
Kamar Shiori!
Dan benar apa yang dipikirkan Masumi, mereka berhenti tepat di depan kamar Shiori. Masumi mendengar suara tangis dari dalam.
"Ada apa?" Tanya Masumi bingung.
Tuan besar Takamiya menggeser pintu dan Masumi terkejut saat melihat Shiori menangis keras di atas tempat tidurnya.
Ada apa ini?
"Masumi!!" Pekik Shiori terkejut ketika melihat Masumi di ambang pintu. Shiori melompat turun dari tempat tidurnya dan menghambur memeluk Masumi.
"A,ada apa Shiori?" Tanya Masumi bingung.
"Maafkan aku! Aku sama sekali tidak sadar apa yang aku katakan," kata Shiori yang terisak di dada Masumi. Shiori memeluknya tapi tangan Masumi tak bergerak sedikitpun untuk membalas pelukan itu.
Masumi meraih kedua bahu Shiori dan menjauhkan tubuh wanita itu darinya.
"Apa maksudmu?" Masumi semakin bingung, sejenak matanya menatap semua orang yang ada disana. Semuanya tampak sama bingungnya, Masumipun kembali menatap Shiori yang masih terisak.
"Aku, aku tidak tahu apa yang aku lakukan kemarin. Aku sungguh-sungguh tidak sadar saat mengucapkan semuanya. Sama sekali! Aku sama sekali tidak ingin membatalkan pernikahan kita," jelas Shiori dengan terbata di sela tangisannya.
Masumi terhenyak, "Shiori apa maksudnya? Aku tidak mengerti?"
"Takigawa, bawa Shiori kembali beristirahat!" seru Tuan Besar Takamiya bahkan sebelum Shiori membuka mulutnya untuk kembali menjelaskan maksud perkataannya.
"Kakek," lirih Shiori, dia menolak untuk kembali ketempat tidur.
"Cukup Shiori! Kau memang cucu kesayanganku tapi ini semua sudah keterlaluan! Kau memintaku memanggil Masumi untuk meminta maaf padanya bukan untuk mempermainkannya! Tidakkah kau tahu apa akibat dari perbuatanmu?" Tuan besar Takamiya tampak kesal dengan cucu kesayangannya itu. "Mari kita pergi Masumi," Shiori akhirnya menurut untuk kembali ke tempat tidur dan Masumi kembali mengikuti Tuan Besar Takamiya dengan keheranan.
"Maaf Tuan Besar, apa yang sebenarnya terjadi?" Tanya Masumi ketika mereka sudah kembali ke ruang tamu.
Tuang besar Takamiya menghela napas panjang dan berat, "Kemarin setelah Shiori sadar dari pingsannya tiba-tiba dia meracau ingin menikah denganmu. Dia terus menangis dan tidak percaya saat kami menceritakan bahwa dia sendirilah yang menggagalkan pernikahannya. Setelah melihat siaran di televisi barulah dia percaya dengan apa yang kami katakan tapi dia bilang kalau dia tidak ingat sudah mengatakan semua itu,"
Masumi terdiam, semua ini sangat tidak masuk akal baginya.
"Kau tidak perlu khawatir Masumi. Aku tidak akan memaksamu menikah dengan Shiori kali ini. Aku tahu dia sudah keterlaluan dan aku tahu ayahmu pasti sangat marah dengan semua ini,"
"Lalu bagaimana dengan Shiori?"
"Orang tuanya akan membawa Shiori ke psikiater. Aku mengundangmu datang hari ini hanya untuk menuruti keinginannya yang mengatakan akan meminta maaf padamu tapi sepertinya dia berubah pikiran dan malah ingin memperbaiki hubungan denganmu. Seluruh warga Jepang sudah tahu apa yang telah diperbuatnya dan aku tidak mau dia membuat kehebohan lagi dengan merengek-rengek untuk kembali menikah denganmu. Secara pribadi aku mohon maaf atas semua ini Masumi."
"Jangan begitu Tuan Besar."
Tuan Besar Takamiya yang membungkuk meminta maaf pada Masumi justru membuatnya tidak enak.
"Aku akan datang secara pribadi untuk meminta maaf pada ayahmu tapi sekali lagi aku ingin kau memaafkanku juga Shiori,"
"Saya sudah memaafkan semuanya Tuan Besar, anda tidak perlu seperti ini,"
Tuan besar Takamiya menghela napas lega mendengar pernyataan Masumi.
"Terima kasih, aku tahu kau pria yang baik,"
Masumi hanya tersenyum dan mengangguk hormat. Tanda tanya besar masih bersandar di kepalanya.
Shiori tidak ingat semuanya?
***
"Bagaimana Hijiri?" Masumi gelisah saat menerima telepon dari anak buah kepercayaannya itu.
"Maaf Tuan, saya belum berhasil menemukan Nona Maya," jawab Hijiri dengan suara penuh sesal.
"Apa sama sekali tidak ada jejak?" Tanya Masumi cemas.
"Tidak Tuan. Menurut Nona Aoki, Nona Maya pergi tanpa membawa dompet ataupun handphonenya. Jadi sangat sulit melacak keberadaannya." terang Hijiri.
"Teruslah mencari Hijiri. Aku mau Maya ditemukan." Perintah Masumi, dia tidak mau ada kata gagal dalam tugas kali ini.
"Baik Tuan, saya akan terus mencari,"
"Terima kasih Hijiri,"
Dengan kasar Masumi melempar handphonenya ke jok disebelahnya. Lelah. Masumi juga sudah sangat lelah. Hampir tengah malam, sejak pulang dari rumah Takamiya Masumi tidak kembali lagi ke kantornya, dia mencari Maya.
Sayang, kau dimana?
Masumi mengeratkan matanya, angannya melayang mengingat semua kebersamaannya dengan Maya saat di Izu. Begitu indah, semua begitu indah. Sekarang tidak ada lagi penghalang bagi mereka untuk bersatu tapi justru Maya menghilang tanpa jejak.
Dia juga masih mengingat bisikan yang dia dengar di chapel sesaat sebelum upacara pernikahannya. Bisikan itu terdengar nyata dan dia yakin itu suara Maya.
Aku tidak akan rela kau menjadi milik wanita lain....
Kau hanya milikku, hanya milikku....
Masumi menghela napas.
Maya, kembalilah...aku merindukanmu
Cettar! Duarrr! Kilat dan guntur bergemuruh di langit Tokyo mengejutkan Masumi. Hampir tengah malam dan langit memberi tanda akan menurunkan airnya ke bumi. Akhirnya Masumi memutuskan untuk pulang.
Dengan langkah gontai Masumi memasuki kamarnya. Dituangnya wisky yang selalu tersedia di lemari es kamarnya, penat. Masumi menghabiskan isi gelasnya dalam sekali teguk. Menit demi menit berlalu, Masumi duduk di kursinya dan menatap derasnya hujan dari jendela kamar. Tanpa sadar Masumi sudah menghabiskan setengah dari isi botolnya.
Masumi sudah merasa pening, diapun bangkit dari kursi dan menghempaskan dirinya ke tempat tidur.
Maya...Maya...kau dimana sayang....
Masumi jatuh tertidur.
Ketenangan Masumi tiba-tiba terusik saat dia merasakan sebuah tangan mungil membelai wajahnya dengan lembut.
"Masumi, bangun," sebuah suara lembut berbisik di telinga Masumi.
"Hhmmm," Masumi menggeser kepalanya tanpa membuka mata, dia merasa sangat lelah.
"Hei, bangun sayang," suara lembut itu kembali berbisik.
Dan kembali sebuah belaian di kepala Masumi mengusik ketenangannya. Dengan berat Masumi mencoba membuka matanya. Kepalanya terasa pusing. Saat sebuah senyuman menyambutnya, mata Masumi langsung melebar.
"Maya!" Seru Masumi dan reflek lengannya langsung merengkuh tubuh mungil yang berdiri di sebelah tempat tidur.
"Kau kemana saja? Aku sangat khawatir, aku mencarimu kemana-mana," kata Masumi yang masih memeluk Maya dengan erat, seolah gadisnya akan pergi lagi.
Maya mendorong tubuh Masumi menjauh darinya lalu tersenyum. Keduanya duduk di atas tempat tidur.
"Aku tidak kemana-mana. Maaf sudah membuatmu khawatir," Jawab Maya.
Masumi menangkupkan kedua tangannya di wajah Maya. Menatapnya lekat.
"Aku sangat merindukanmu," kata Masumi.
"Aku juga," jawab Maya.
"Jangan pergi lagi, aku mohon. Sekarang tidak ada lagi yang menghalangi kita. Shiori sudah membatalkan pernikahan,"
Maya hanya tersenyum tipis.
"Sudah ku katakan kau milikku, hanya milikku,"
Masumi kembali memeluk Maya, "Ya, aku hanya milikmu dan kau juga hanya milikku,"
Sadar akan sesuatu, tiba-tiba Masumi melepaskan pelukannya dan keningnya berkerut menatap Maya.
"Ada apa?" Tanya Maya bingung.
"Aku tidak sedang bermimpi kan? Kau disini? Di...kamarku?" Tanya Masumi yang juga bingung.
Maya tertawa, "Menurutmu?"
Masumi mencubit punggung tangannya, "Aww," serunya lirih.
Ini bukan mimpi? Tapi Maya ada dihadapanku? Dikamarku?
Maya hanya tersenyum melihat Masumi yang kebingungan.
"Bisakah kau melupakan semuanya sebentar saja dan menikmati kebersamaan kita?"
"Aku...,"
"Hanya kau dan aku sekarang," Maya memotong ucapan Masumi.
Sejenak Masumi berpikir kemudian mengangguk.
"Kalaupun ini mimpi biarkan aku bermimpi lebih lama lagi," kata Masumi.
Maya kembali menyunggingkan senyum termanisnya, "Mulai sekarang, jika kita bertemu lagi kau tidak boleh menanyakan apa dan kenapa."
"Kenapa? Eh, maksudku aku tidak mengerti apa yang kau katakan,"
"Kau masih ingin bertemu denganku?"
"Tentu saja, aku ingin selalu bersamamu,"
"Kalau begitu turuti saja yang aku katakan. Kita bisa terus bertemu asalkan kau tidak bertanya apapun padaku,"
Masumi semakin bingung, "Apapun?"
Maya mengangguk, "Apapun!" Tegas Maya.
"Aku tidak boleh bertanya kemana kau pergi?"
Maya menggeleng.
"Dimana kau tinggal sekarang?"
Maya menggeleng.
"Kenapa kau bisa berada dikamarku?"
Maya menggeleng lagi.
"Maya, ada apa sebenarnya?"
Maya menggeleng lagi dan kali ini telunjuknya terangkat.
"Jika kau mendesakku bicara maka kita tidak akan bertemu lagi," ancam Maya.
"Maya, tapi ini.....,"
"Hanya kau dan aku Masumi, aku hanya mau ada kau dan aku, tidak yang lainnya," potong Maya lagi.
Masumi terdiam. Dia memang ingin bisa terus bersama Maya tapi semua yang dikatakan Maya terasa sangat ganjil baginya.
"Kau juga tidak boleh mengatakan tentang pertemuan kita pada siapapun," tambah Maya.
"Jika aku tidak bertanya dan tidak mengatakan apapun pada orang lain kau akan datang menemuiku?"
"Ya, disini, setiap hari,"
"Setiap hari?"
"Ya. Kau mau berjanji kan?"
Masumi terdiam tapi kemudian logikanya berhenti bekerja. Keinginannya untuk selalu bisa bertemu dengan Maya mengalahkan semua tanda tanya dalam otaknya. Dia tidak peduli apa, kenapa atau bagaimana Maya bisa berada di kamarnya. Yang penting baginya, dia bisa berada bersama dengan Maya, kekasihnya.
"Aku berjanji," kata Masumi kemudian.
Maya tersenyum, tiba-tiba tangannya terulur dan melepas dasi dari leher Masumi.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Tanya Masumi terkejut.
"Melepas dasimu," jawab Maya santai.
Masumi menyeringai geli menatap Maya.
"Singkirkan pikiran mesummu Tuan Hayami dan segera bersihkan dirimu," kata Maya.
Masumi mengernyit dan melihat dirinya sendiri, ya dia memang terlihat berantakan.
"Baiklah Nona Kitajima, aku akan mandi tapi berjanjilah kau tidak akan pergi,"
Maya mengacungkan dua jarinya, "Aku janji,"
Masumi mengecup kening Maya lalu segera pergi ke kemar mandi.
Masumi sudah mengenakan piyamanya saat keluar dari kamar mandi. Matanya melebar dengan panik saat Maya sudah tidak ada di atas tempat tidurnya.
"Maya," panggilnya.
Hujan masih deras di luar kamarnya, membuatnya semakin panik memikirkan Maya pergi di tengah hujan deras.
"Maya!" Serunya, kali ini suaranya lebih keras.
Masumi mencari ke sekeliling kamarnya, ke ruang gantinya bahkan juga di dalam lemari besarnya. Dia baru saja memutar handle pintu saat dua lengan mungil memeluknya dari belakang. Masumi mematung sejenak dan dengan cepat memutar tubuhnya.
"Maya!" Serunya senang, Masumi langsung mendekap Maya, takut gadisnya akan menghilang lagi. "Aku pikir kau sudah pergi,"
"Aku kan sudah janji," kata Maya dalam pelukan Masumi.
Masumi menyadari sesuatu. Melepaskan pelukannya, Masumi menatap lekat kekasihnya, "Kau dari mana? Kenapa tubuhmu dingin sekali? Kau juga tidak mengenakan jaket, di luar hujan deras," tanyanya saat melihat Maya hanya mengenakan gaun panjang berwana putih tanpa mantel ataupun jaket.
Maya mengacungkan telunjuknya dan menggoyangkannya. Masumi teringat janjinya.
"Baiklah aku tidak akan bertanya tapi katakan kalau kau baik-baik saja," kata Masumi, kecemasan jelas terdengar dalam suaranya.
"Aku baik-baik saja. Ayo, kau pasti lelah, istirahatlah," Maya menarik Masumi dan membawanya kembali ke tempat tidur.
"Kau mau tidur disini? Bersamaku?" Masumi mematung heran melihat Maya naik ke tempat tidurnya.
Maya menoleh dan menatap Masumi yang masih berdiri di sisi tempat tidur.
"Kau keberatan? Seingatku kita pernah tidur bersama," jawab Maya yang sekarang duduk bersimpuh dan melipat tangannya di dada.
"Keberatan? Kau bercanda sayang? Aku lebih dari sekedar senang kau mau menemaniku malam ini," Masumi merangkak naik dan duduk di sebelah Maya.
"Kalau begitu berhentilah bertanya dan cepatlah tidur," perintah Maya.
"Tidur? Aku pikir kita bisa melakukan hal lain," Masumi mengerlingkan mata pada Maya.
"Hei tuan mesum, hentikan rayuanmu dan cepatlah tidur,"
Masumi tertawa, membaringkan dirinya dan menarik Maya ke dalam dekapannya.
"Kalau memeluk sepanjang malam boleh?" Bisik Masumi di telinga Maya.
Maya tersenyum lalu membaringkan kepalanya di lengan Masumi.
"Tidurlah Masumi, aku tidak punya banyak waktu," kata Maya lirih.
"Apa mak...,"
Maya menempelkan jarinya di bibir Masumi.
"Jangan bertanya, tidurlah. Kita akan bertemu lagi besok," kata Maya.
Masumi akhirnya diam, mendekap Maya dalam pelukannya, melupakan semua pertanyaannya. Keduanya saling memeluk di tengah dinginnya malam dan keduanya terlelap.
***
"Uugghh!" Masumi memijit kepalanya yang sakit. Sinar matahari pagi sudah bersinar memasuki kamarnya melalui jendela.
Masumi memandang langit-langit kamarnya, mengumpulkan kesadarannya. Dia merasa seperti baru bangun dari tidur yang panjang. Tersentak dengan ingatannya tentang kejadian semalam, Masumi bangun dan matanya menyapu seluruh ruangan kamar.
"Maya!" Panggilnya.
Masumi melompat dari tempat tidur berlari ke kamar mandi mencari Maya tapi kamar mandi kosong. Ruang gantinya pun kosong. Tanpa pikir panjang Masumi berlari keluar kamar dengan masih mengenakan piyama. Beberapa pelayan memekik karena terkejut melihat Masumi yang tidak seperti biasanya.
"Apa kau melihat seorang gadis keluar dari kamarku?" Tanya Masumi pada pelayannya.
"Ga, gadis? Tidak Tuan Muda," jawab pelayannya.
Melihat ekspresi wajah pelayannya Masumi baru menyadari kebodohannya.
"Ah, maaf, mungkin aku terlalu banyak minum semalam," Masumi bergegas kembali ke kamarnya.
"Sepertinya Tuan Muda sangat terpukul dengan pembatalan pernikahannya ya. Dia jadi berimajinasi seperti itu," bisik pelayannya. Masumi mendengarnya tapi memilih untuk mengabaikannya.
Dengan bingung Masumi masuk ke kamarnya.
Apa semalam memang hanya mimpi?
Masumi melihat dirinya sendiri dengan bingung. Dia masih ingat bagaimana dia bisa memakai piyamanya lalu Maya tidur dalam pelukannya. Semua itu terasa begitu nyata baginya tapi kenapa saat bangun Maya sudah tidak ada lagi di sampingnya.
"Ahh! Apa yang sebenarnya terjadi? Maya! Kau membuatku gila!" Kata Masumi frustasi seraya menyisir kasar rambutnya.
***
Belasan mata memandang ngeri pada wajah dingin Masumi yang bahkan tidak bereaksi saat para stafnya menyapa. Sepertinya suasana hatinya sedang benar-benar tidak bersahabat.
"Selamat pagi Pak Masumi," sapa Mizuki.
Masumi hanya mengangguk dan berlalu begitu saja.
Ada apa lagi dengannya? Apa terjadi sesuatu dengan Maya?
Masumi menghempaskan dirinya dengan kasar ke kursi kerjanya. Kebingungannya atas kejadian semalam benar-benar membuatnya frustasi.
Apa iya aku hanya bermimpi karena terlalu memikirkannya?
Tok! Tok!
"Masuk!" Jawab Masumi cepat sambil membenahi posisi duduknya.
Mizuki muncul dari balik pintu dan seperti biasa membawa secangkir kopi. Mata Masumi menatap tajam padanya, tahu kalau sekretarisnya itu pasti akan melemparkan pertanyaan yang tidak akan bisa dijawabnya.
"Anda baik-baik saja Pak?"
Masumi menghela napas, dugaannya benar.
"Aku baik-baik saja Mizuki. Bisa tolong tinggalkan aku sendiri? Dan tolong tahan semua telepon untukku dua jam kedepan." Perintah Masumi.
"Apa telah terjadi sesuatu pada Maya Pak?" Tanya Mizuki tanpa basa basi lagi.
Masumi mendengus kesal, "Tidak terjadi apa-apa Mizuki. Jangan bertanya lagi dan tolong tinggalkan aku sendiri,"
Mizuki akhirnya mengalah dan keluar dari ruangan Masumi. Sementara Masumi masih berkutat dengan rasa frustasinya.
Sepertinya aku memang hanya bermimpi semalam, lagipula mana mungkin Maya bisa ada dikamarku
"Maya...sebenarnya dimana dirimu sekarang?" Gumam Masumi putus asa.
Akhirnya Masumi memilih berkutat dengan pekerjaannya dan menggeser sejenak pemikirannya tentang Maya.
***
Rei dan Hijiri menelepon Masumi siang itu, keduanya juga belum mendapatkan kabar apapun mengenai Maya. Sudah dua hari Maya menghilang dan Masumi juga harus memikirkan cara menutupi hilangnya Maya dari publik. Wartawan pasti akan mencari-cari masalah jika tahu Maya hilang, belum lagi dengan Mayuko, gurunya. Dia bisa terkena serangan jantung jika tahu murid kesayangannya menghilang. Masumi belum juga keluar dari ruang kerjanya hingga hari berganti petang.
"Pulanglah Mizuki, masih banyak yang ingin aku selesaikan hari ini," usir Masumi saat Mizuki masuk dan mengingatkan kalau hari sudah petang. Sekretaris itu hanya menurut kali ini, tidak mau memperburuk suasana hati bosnya yang memang sedang kacau.
"Saya permisi pak," kata Mizuki undur diri.
Masumi hanya mengangguk tanpa melihatnya dan terus menekuri pekerjaannya.
Waktu berlalu begitu saja dan tidak terasa sudah pukul sepuluh malam. Masumi menutup dokumen terakhir yang baru saja selesai diperiksanya. Merenggangkan tubuhnya, Masumi merasa lelah. Pekerjaan telah berhasil mengalihkan pikirannya yang frustasi karena Maya.
Menghela napas panjang, Masumi membereskan mejanya dan bersiap untuk pulang. Handphone yang berdering membuatnya terkejut.
"Aoki?" Gumam Masumi heran, diapun segera mengangkatnya.
"Selamat malam Pak Masumi, maaf saya mengganggu malam-malam," sapa Rei sopan.
"Tidak apa-apa Nona Aoki, apa ada kabar tentang Maya?" Tanya Masumi penuh harap.
"Belum Pak," jawab Rei lesu.
Masumi tertegun sejenak, "Ada apa Nona Aoki?"
"Ini tentang Bu Mayuko, beliau menelepon saya siang tadi dan mengeluhkan tentang Maya yang tidak menjawab teleponnya. Dia meminta Maya untuk menemuinya besok siang,"
"Besok siang?"
"Benar Pak, bagaimana? Apa saya harus menceritakan yang sebenarnya kalau Maya hilang?"
"Tidak, jangan katakan apapun padanya mengenai hilangnya Maya,"
"Lalu bagaimana?"
Masumi berpikir sejenak.
"Nona Aoki, kau keberatan kalau aku datang ke rumahmu sekarang?"
"Ti, tidak Pak,"
"Baiklah, aku kesana sekarang, terima kasih,"
Masumi mengambil tasnya dan bergegas meninggalkan kantor.
"Selamat malam Pak Masumi," sapa Rei sopan saat membukakan pintu untuk Masumi.
"Selamat malam Nona Aoki, maaf mengganggumu malam-malam," Masumi mengangguk sopan.
"Tidak Pak, silakan,"
Keduanya duduk di ruang tamu dan Rei masih terlihat gelisah.
"Tolong berikan surat ini pada Bu Mayuko," Masumi meletakkan sebuah surat dengan amplop berwarna ungu di atas meja.
"Surat apa ini?"
"Ini surat dari mawar ungu, katakan saja kalau Maya sedang berlibur bersamanya. Isi surat itu akan menjelaskan semuanya pada Bu Mayuko," jelas Masumi tenang.
"Tapi...sampai kapan kita akan menyembunyikan semua ini Pak? Bagaimana jika Maya...,"
"Tidak! Aku akan menemukannya! Apapun caranya, aku pasti akan menemukannya," potong Masumi.
"Anda...,"
"Aku tidak akan menyerah Nona Aoki, aku pasti bisa menemukannya. Aku hanya butuh waktu dan aku mohon bantuanmu untuk mengulur waktu."
Keduanya terdiam. Rei masih ragu dengan semuanya tapi tidak ada pilihan lain baginya selain percaya pada Masumi.
"Baiklah Pak, saya akan usahakan semampu saya," kata Rei kemudian.
Masumi terlihat lega, "Terima kasih Nona Aoki, kalau begitu aku permisi,"
"Maaf Pak, boleh saya bertanya sesuatu?" Kata Rei cepat sebelum Masumi beranjak.
"Ya?" Masumi kembali duduk di atas zabutonnya.
"Hhmm, maaf, apa anda benar-benar....mencintai Maya?" Tanya Rei ragu. Ragu kalau pria tampan dihadapannya ini benar mencintai sahabatnya dan bukan hanya memanfaatkannya demi mendapat hak pementasan yang selama ini diincarnya.
"Kenapa kau bertanya tentang hal itu Nona Aoki?" Masumi menatap tajam Rei, mencoba menerka pikiran gadis itu.
"Maaf kalau saya tidak sopan, hanya saja, anda yang selama ini saya kenal bukanlah seseorang yang bisa jatuh cinta pada seorang gadis seperti Maya kecuali karena...,"
"Hak pementasan Bidadari Merah?" Lagi-lagi Masumi memotong perkataan Rei.
Gadis itu mengangguk, "Tapi jika anda adalah Mawar Ungu Maya, saya jadi bingung bagaimana harus menilai anda. Kalau dipikir lagi semua yang anda lakukan memang semua demi kebaikan Maya bahkan saat anda bersikap sangat kasar pada Maya sekalipun hasilnya justru akan membuat Maya semakin bersemangat untuk maju. Saya tidak mengerti kenapa anda harus menjadi seorang Masumi yang kasar dan dingin juga menjadi mawar ungu yang lembut dan dermawan di saat yang bersamaan?"
Masumi menyeringai tipis, "Apa mungkin bagi seorang direktur dingin dan gila kerja sepertiku menunjukkan perhatiannya pada aktris yang usianya sebelas tahun lebih muda? Semua orang tahu kalau aku mengincar hak pementasan itu, meski aku sudah jatuh hati padanya sebelum dia menjadi kandidat resmi bidadari merah."
Rei menatap dalam mata Masumi yang tenang dan memancarkan kelembutan. Belum pernah dia melihat Direktur Daito seperti ini.
"Aku hanya ingin melindungi dan membantunya meraih impiannya Nona Aoki. Melihatnya bahagia itu sudah cukup bagiku." Masumi akhirnya beranjak, "Permisi," katanya.
"Tapi Maya sangat mencintai anda Pak!" Seru Rei. Masumi berhenti di ambang pintu.
"Aku tahu," kata Masumi tanpa membalikkan badannya.
"Malam itu sebelum pergi Maya mengatakan bahwa dia tidak rela melepaskan anda." Lanjut Rei.
Terkesiap, Masumi membalikkan tubuhnya menatap Rei yang masih duduk di atas zabutonnya.
"Dia bilang begitu?"
Rei mengangguk, "Dia tidak rela anda menikah dengan Nona Takamiya,"
Masumi terdiam.
"Apakah anda juga mencintai Maya seperti itu?"
Tersenyum tipis, Masumi kembali berbalik dan meninggalkan Rei tanpa menjawab pertanyaannya.
Maya...aku pasti akan menemukanmu dan aku akan menjadikan kau milikku, selamanya...
***
Masumi berhenti melangkah di depan pintu kamarnya. Apa yang dikatakan Maya kemarin malam padanya masih teringat dengan jelas.
...Kita akan bertemu lagi besok...
Menghela napas dengan frustasi akhirnya Masumi membuka pintu kamarnya, jantungnya berdebar, hati kecilnya berharap dia melihat Maya di kamarnya. Berharap kalau apa yang terjadi semalam bukan sekedar mimpi.
Kosong. Seperti biasa kamarnya kosong. Masumi melempar tas kerja dan jasnya dengan kesal ke sofa lalu segera ke kamar mandi. Keluar dari kamar mandi dengan memakai piyamanya, Masumi melihat jam, pukul setengah dua belas malam. Dia belum mengantuk, Masumi berjalan ke arah sofa dan terkejut saat akan mengambil tas kerja yang tadi dilemparnya. Tas kerja dan jasnya tidak ada. Masumi mengedarkan pandangan dengan bingung ke seluruh kamarnya, tidak ada siapapun di sana.
"Maya?" Masumi akhirnya memanggil nama kekasihnya. Merasa bodoh dan bingung.
Apa mungkin memang benar Maya? Akh! Aku gila!
Berjalan dengan kesal Masumi duduk dengan kasar di tepi tempat tidurnya. Sekali lagi melihat ke sekeliling kamarnya tapi tetap saja tidak ada orang lain disana.
"Maya...," lirihnya putus asa.
"Kau membuatku menunggu terlalu lama Pak Masumi!"
Masumi terhenyak mendengar suara dari balik punggungnya. Dia berbalik dan Maya sudah berbaring di atas tempat tidurnya, seperti kemarin, dia memakai gaun panjang berwarna putih.
"Maya?" Masumi bingung dengan apa yang dilihatnya.
"Apanya yang Maya? Kau pulang terlalu larut, hampir saja aku pergi," kata Maya kesal, melipat tangannya didada tapi dia masih bergeming di tempat tidur, bersandar pada bantal.
Masumi merangkak ke atas tempat tidur dengan bingung. Duduk di sebelah Maya, Masumi mengulurkan tangannya dan mengusap wajah kekasihnya tapi Maya menepisnya.
"Aku masih marah!" Seru Maya, dia membuang muka dengan cemberut.
Masumi terdiam karena masih bingung.
"Maaf Maya aku...," Masumi memandang Maya dan urung mengatakan alasan keterlambatannya.
Aku tidak bermimpi, dia memang Maya. Tapi bagaimana mungkin?
"Kenapa Masumi? Kau masih tidak percaya ini aku?" Tanya Maya. Sekarang dia bangun dan duduk berhadapan dengan Masumi.
"Kau pikir semalam hanya mimpi? Bahwa aku tidak nyata? Bahwa aku hanya khayalan?" Kata Maya menyuarakan isi kepala Masumi.
"Jadi semalam itu bukan mimpi?" Tanya Masumi ragu.
Maya menggeleng dan tiba-tiba menubrukkan dirinya pada Masumi, membuat pria gagah itu terjatuh di tempat tidur dengan Maya di atas dadanya.
"Kau masih berpikir semua ini mimpi?" Kata Maya.
"Maya...jujur aku bingung dengan semua ini. Aku dan Hijiri mencarimu kemana-mana tapi tiba-tiba kau muncul di kamarku dan paginya kau menghilang begitu saja," Masumi mencoba menjelaskan pemikirannya.
Maya mendesah dan wajahnya berubah sendu, "Waktuku tidak banyak Masumi, tidak ada waktu untuk menjelaskan semua yang terjadi. Aku hanya mohon, berhentilah berpikir dan jangan bertanya. Karena hanya dengan begitu aku bisa terus menemuimu sampai....," Maya terdiam.
"Sampai apa Maya?"
Maya menggeleng, "Lupakan, aku hanya ingin bersamamu Masumi. Ku mohon jangan bertanya lagi," Maya merebahkan kepalanya di dada Masumi, terdengar olehnya detak jantung kekasihnya yang berpacu.
Masumi melingkarkan tangannya ke tubuh Maya, memeluknya. Keduanya terdiam cukup lama.
"Aku sudah menunggumu sejak tadi," keluh Maya lirih.
"Maaf," Masumi membelai kepala Maya, "Aku menemui Rei tadi, Bu Mayuko ingin bertemu denganmu dan aku harus memberi alasan karena kau menghilang,"
"Aku tahu," gumam Maya di dada Masumi.
"Kau tahu?" Masumi mengangkat sedikit kepalanya, mencoba melihat wajah Maya yang berbaring di atasnya.
"Iya," Maya mengangguk.
"Kau tahu aku menemui Rei dan membuat surat untuk Bu Mayuko?" Tanya Masumi lagi tidak percaya.
"Sudah tidak perlu dibahas, aku tahu semuanya. Aku tahu semua yang kau kerjakan hari ini."
Kening Masumi berkerut, dia bangun dan menyangga tubuh dengan sikunya, membuat Maya mendongak menatapnya.
"Jangan bertanya kenapa dan bagaimana," Maya memperingatkan dan kerutan di kening Masumi menghilang.
"Baiklah Nona cantik," kata Masumi kemudian. Diapun duduk dan Maya jadi meringkuk di pangkuannya.
"Nah, begitu lebih baik," Maya tersenyum, "Besok berjanjilah untuk pulang lebih awal sehingga aku tidak terlalu lama menunggumu,"
"Baiklah, besok aku akan pulang lebih awal," Masumi mengusap lembut wajah Maya.
"Sekarang tidurlah, sudah larut. Kau pasti lelah," kata Maya.
"Aku belum mengantuk," kata Masumi.
Maya terkikik.
"Kenapa?" Masumi berhenti membelai rambut panjang Maya dan menatapnya.
"Kau memang tidak punya lelah ya, padahal ini sudah larut dan kau sudah bekerja seharian. Kalau aku pasti sudah mimpi entah kemana,"
Masumi tersenyum, "Kalau kau sudah menjadi istriku nanti, aku tidak akan membiarkanmu tidur cepat,"
"Eh? Istri?!" Pekik Maya.
Masumi mengangguk dan Maya terbahak. Menarik dirinya dari pelukan Masumi lalu merebahkan dirinya di tempat tidur, masih terbahak.
"Apa yang lucu?" Masumi ikut berbaring di sebelah Maya dengan siku menyangga kepalanya.
"Kau lucu Masumi. Kau membicarakan soal pernikahan kita padahal kau baru saja gagal menikah. Apa kata orang nanti?" Maya masih tergelak.
"Aku tidak peduli. Aku sudah tidak sabar untuk memilikimu. Aku tidak mau menunda lagi," kata Masumi, wajahnya tampak serius.
"Kau sudah memilikiku Masumi," jawab Maya. Dia mengulurkan tangannya mengusap lembut wajah kekasihnya.
"Tidak Maya, sebelum aku menikah denganmu. Aku belum memilikimu seutuhnya." Masumi juga mengusapkan lembut jari-jarinya menelusuri garis wajah Maya. "Katakan Maya, apa kau mau menikah denganku?"
Maya tersenyum, "Kau harus buktikan dulu kalau kau mencintaiku dan aku adalah satu-satunya wanita di hatimu,"
"Kau tidak percaya padaku?"
Maya menggeleng, "Alasan aku bisa berada di tempat ini adalah karena aku percaya padamu. Tapi kalau kau memang ingin kita bersama selamanya maka kau harus membuktikan besarnya cintamu padaku,"
"Bagaimana caranya? Apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Kau akan tahu nanti jika sudah waktunya,"
Masumi terdiam, "Aku tidak boleh bertanya?"
Maya menggeleng.
"Hhhh, Maya kau membuatku bingung," Masumi menghempaskan dirinya di sebelah Maya. Keduanya berbaring bersebelahan dan saling memandang.
"Aku mencintaimu," kata Masumi kemudian.
"Aku tahu," jawab Maya, "Tapi kau tetap harus membuktikannya."
Masumi menarik Maya dalam pelukannya, "Kau membuatku gila Kitajima," bisik Masumi.
Maya tersenyum, "Aku lebih dari gila karenamu Masumi,"
Masumi menarik dagu Maya dan mendekatkan bibirnya pada bibir Maya.
"Boleh?" Bisik Masumi.
"Aku terkejut kau bisa begitu sopan Pak Masumi,"
Masumi tersenyum dan segera memagut bibir Maya. Dia sudah terlalu merindukan gadisnya.
"Aku sangat mencintaimu Maya, jangan tinggalkan aku," desah Masumi saat melepaskan bibir Maya.
"Aku rela melintasi batas ruang dan waktu hanya untukmu Masumi, aku tidak akan meninggalkanmu," Maya menangkupkan kedua tangannya ke wajah Masumi, menariknya dan kembali mencium Masumi dengan lembut. Keduanya melupakan dunia.
***
Masumi tertegun saat membuka matanya di pagi hari. Maya sudah tidak lagi disampingnya meski dia bisa mengingat dengan jelas kalau gadisnya itu semalaman berada dalam pelukannya. Bahkan kelembutan bibir Maya masih terasa di bibirnya.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Semua perkataan Maya bagaikan sebuah teka-teki baginya.
Apa maksudnya aku harus membuktikan cintaku? Kenapa Maya bilang dia melintasi ruang dan waktu?
Masumi kembali dibuat bingung dengan semua tentang Maya. Diapun bangun dari tempat tidurnya. Mata Masumi melebar saat melihat ke arah sofa. Dia melompat dari tempat tidur dan berjalan ke sofa. Pakaian, dasi dan tas kerjanya sudah siap. Semuanya sudah rapi.
Maya?
Sebuah ketukan di pintu mengejutkan Masumi.
"Sarapan sudah siap Tuan Muda," kata pelayannya saat Masumi membuka pintu.
"Aku segera turun, terima kasih," kata Masumi yang kembali menutup pintu.
Mengabaikan semua kebingungannya, Masumi akhirnya masuk ke kamar mandi untuk bersiap.
Hari itu, sekali lagi Masumi berangkat ke kantor dengan perasaan bingung meski tidak frustasi seperti kemarin. Begitu banyak benang kusut dalam kepalanya dan dia tidak tahu bagaimana menguraikannya.
"Mizuki, apakah kau tahu bagaimana cara membuktikan cinta?" Tanya Masumi tiba-tiba saat dia dan Mizuki baru saja selesai membahas beberapa permasalahan Daito.
Mizuki menahan tawanya atas pertanyaan Masumi, "Apa maksud anda Pak?"
"Ya, seperti yang aku katakan, bagaimana kita bisa membuktikan cinta kita yang besar dan tulus pada orang yang kita cintai?"
Mizuki kemudian diam dan berpikir, dia tidak punya pengalaman sama sekali tentang hal itu. Dari banyak hal yang dia kuasai, cinta bukanlah salah satunya. Tapi dia tahu beberapa hal yang sering dilakukan pria pada wanita yang dicintainya dari buku ataupun film.
"Anda jelas tahu bagaimana pengalaman saya mengenai hal itu," wajah Mizuki sedikit masam sekarang.
"Ya, setidaknya kau wanita. Kira-kira apa yang kau inginkan dari pria yang mencintaimu?" Tanya Masumi.
"Anda mengejek saya Pak?" Kata mizuki sedikit tersinggung.
"Aku serius Mizuki!" Seru Masumi kesal dengan Mizuki yang tiba-tiba menjadi begitu sensitif.
Melihat wajah serius Masumi, Mizuki tahu bosnya itu tidak sedang bercanda.
"Baiklah, kalau itu saya, hhhmmm... mungkin saya akan minta apartemen atau mobil mewah untuk membuktikan cintanya," jawab Mizuki.
Masumi mengernyit, "Maya bukan gadis seperti itu, dia tidak akan meminta apartemen atau mobil. Heh, ternyata kau suka juga hal seperti itu," Masumi kemudian menyeringai geli.
"Anda kan bertanya pendapat saya sebagai seorang wanita, kenapa anda jadi membandingkan saya dengan Maya? Lagipula jika ini tentang Maya kenapa anda bertanya pada saya?" Mizuki lebih tersinggung lagi sekarang.
Masumi menahan tawanya, "Maaf, maaf, aku tidak bermaksud seperti itu."
Mizuki menghela napas meredakan kekesalannya.
"Apa anda sudah menemukan Maya?" Mizuki menatap Masumi heran. Setahunya Maya masih menghilang.
Kau juga tidak boleh mengatakan tentang pertemuan kita pada siapapun
Perkataan Maya terngiang di kepala Masumi. Diapun menggeleng untuk menjawab pertanyaan Mizuki.
"Lalu? Kenapa anda membahas tentang hal itu sementara Maya belum ditemukan?" Tanya Mizuki yang semakin heran. Sekarang giliran Masumi yang bertambah bingung.
"Aku hanya ingin tahu," jawab Masumi sekenanya. "Sudah katakan saja saranmu, jangan bertanya macam-macam soal Maya," tambah Masumi.
Mizuki mendengus kesal tapi dengan perlahan, "Kalau ini tentang Maya pasti lebih simpel. Berikan saja buket mawar ungu padanya, dia akan melompat ke langit karenanya,"
Ya, Maya memang selalu suka bunga mawar ungu tapi....
"Lainnya? Kali ini ku rasa bunga tidak akan cukup," kata Masumi.
Mizuki mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari-jari panjangnya. Sulit baginya menilai apa yang mungkin diinginkan Maya dari Masumi, gadis itu sangat polos dan tidak akan menilai sebuah hadiah sebagai bukti cinta.
"Setahu saya Maya suka mawar ungu, taiyaki, burger dan drama. Selebihnya saya tidak pernah tahu Maya menginginkan hal lain terlebih dari anda," Mizuki menggeleng putus asa.
Masumi menghela napas panjang. Apa yang dikatakan Mizuki memang benar, Maya tidak pernah tertarik dengan apapun kecuali drama.
"Anda buka saja toko Taiyaki untuknya," celetuk Mizuki.
"Jangan bercanda," kata Masumi kesal.
"Memberinya kontrak film atau drama terkenal?"
"Tidak,"
"Menikahinya!"
Masumi melotot.
"Menikah? Anda tidak setuju?"
"Sudah, sudah, kau keluar saja dan biarkan aku berpikir,"
Mizuki masih terheran dengan pokok pembicaraan yang tidak biasa itu tapi dia tidak bisa menolak saat Masumi mengusirnya.
Maya, Maya, apa yang harus aku lakukan sekarang?
Masumi mendesah putus asa saat Mizuki meninggalkannya.
***
Tepat pukul lima sore Masumi sudah bersiap untuk pulang. Mizuki kembali hanya bisa menatap heran kepergian bosnya.
Sebenarnya ada apa? Kenapa Pak Masumi jadi aneh seperti itu?
Bukan hanya Mizuki yang heran. Setibanya di rumah, pelayan juga terheran melihat Masumi pulang cepat.
"Tolong bawakan makan malamku ke kamar dan siapkan semuanya dalam dua porsi," perintah Masumi sebelum menaiki tangga menuju kamarnya.
"Dua porsi?" Pelayannya terheran.
"Apa perintahku kurang jelas?" Tanya Masumi yang berhenti di tangga saat mendengar pelayannya bergumam.
"Ah, ti, tidak Tuan Muda, kami akan sediakan sesuai permintaan anda," pelayan itu tergagap saat Masumi menatap tajam padanya.
"Bagus," dan Masumi segera menuju kamarnya. Dia masih bisa mendengar saat pelayannya kembali menghubungkan permintaan anehnya dengan masalah batalnya pernikahan tapi Masumi mengabaikannya.
Membuka pintu dengan semangat tapi Masumi langsung kecewa saat kamarnya ternyata kosong.
"Maya! Maya!" Panggilnya seperti orang bodoh. Seolah kekasihnya itu adalah jin botol yang bisa datang kapan saja saat dirinya memanggil. Masumi terdiam saat Maya tidak juga muncul dihadapannya.
"Maya!" Panggilnya lagi. Dan tetap tidak ada jawaban.
Masumi akhirnya memilih untuk membersihkan dirinya dulu sebelum pelayannya datang membawakan makan malam.
Keluar dari kamar mandi, Masumi masih mendapati kamarnya kosong. Hatinya jadi bertanya-tanya.
Apa Maya benar akan datang malam ini?
Tiba-tiba otak warasnya yang masih tersisa sedikit memikirkan sesuatu. Masumi membuka pintu balkonnya dan berdiri memandang ke sekitar halaman belakang rumahnya.
Aneh, semua ini benar-benar aneh. Bagaimana Maya bisa keluar masuk kamarku begitu saja tanpa seorangpun tahu?
Masumi melihat ke bawah, kamarnya berada di lantai dua. Jarak dari balkon cukup tinggi dan menurutnya mustahil Maya bisa naik turun ke kamarnya dalam waktu yang singkat. Masumi menggeleng bingung. Semua masih terasa begitu ganjil baginya tapi Maya melarangnya untuk bertanya. Matahari sudah terbenam dan Masumi kembali masuk ke dalam kamar.
Pintu kamarnya di ketuk, pelayan membawakannya makan malam. Setelah mereka menyiapkan makan malam di meja, Masumi meminta mereka untuk tidak mengganggunya sampai besok pagi. Meski bingung para pelayan itu hanya bisa mengangguk lalu pergi.
Masumi duduk dan memandangi makan malamnya. Entah apa yang dipikirkannya tadi sehingga dia meminta dua porsi untuk makan malamnya. Apa dia berharap bisa makan malam bersama Maya? Masumi mendesah panjang, sekarang dia meragukan kewarasan otaknya.
"Menungguku Pak Masumi?"
Masumi tersentak. Maya tiba-tiba sudah duduk dihadapannya, tersenyum menatapnya.
"Maya?!" Desisnya tak percaya.
Maya tertawa, "Siapa lagi? Kau mengharapkan orang lain yang datang?"
Masumi terdiam dan mengedip beberapa kali. Maya berdiri lalu menghampiri Masumi, melandaikan tubuhnya, Maya mengecup lembut bibir Masumi.
"Aku merindukanmu," bisik Maya.
Masumi menarik Maya dan gadisnya itu jatuh ke atas pangkuannya. Tanpa bicara dan meminta ijin Masumi langsung mencium Maya. Rasa frustasi Masumi sudah berubah menjadi hasrat kerinduan pada kekasihnya.
Wajah Maya merona dan napasnya terengah saat Masumi melepaskan bibirnya.
"Maya....,"
Maya langsung menempelkan jarinya dibibir Masumi. Dia tahu Masumi akan bertanya mengenai keberadaannya.
"Kau mau mengajakku makan malam kan?"
Masumi membisu. Maya bengun dari pangkuan Masumi lalu duduk dikursi. Mengambil sumpitnya dan dengan mata berbinar mengucapkan selamat makan pada Masumi.
"Kalau kau tidak makan, aku akan habiskan semuanya sendiri," kata Maya karena Masumi masih terdiam memandangnya.
Masumi menghela napas panjang, melihat kekasihnya.
Pakaiannya masih sama
Tiba-tiba Masumi membungkuk dan mengamati kaki Maya.
"Kenapa?" Tanya Maya bingung, mulutnya masih mengunyah makanan.
"Kakimu menyentuh lantai, berarti kau bukan hantu kan?"
"Uhuk! Uhuk!" Maya tersedak makanannya mendengar perkataan Masumi.
Dengan cepat Masumi mengulurkan gelas berisi air pada Maya sambil menepuk-nepuk punggungnya.
"Kau bilang aku apa?" Maya melotot pada Masumi.
"Aku salah, hantu tidak bisa makan dan tersedak," jawab Masumi tanpa dosa.
Maya terbahak melihat ekspresi wajah Masumi yang kebingungan.
"Apa aku membuatmu gila?" Tanya Maya yang masih cekikikan.
"Sepertinya memang begitu," jawab Masumi, diapun kembali duduk di kursinya.
Maya hanya tersenyum, "Kau tidak makan?"
Senyum Maya akhirnya menular dan Masumi menyerah untuk berpikir, dia mulai menikmati makanannya.
Sisa malam itu berlalu dengan tenang. Keduanya berbicara banyak hal dan tentunya Mayalah yang paling banyak bercerita mengenai kehidupannya selama ini. Masumi tersenyum, tertawa atau bahkan cemberut ketika ceritanya berkenaan dengan Koji atau lawan main Maya lainnya.
Malam semakin larut dan seperti biasa keduanya berpelukan hingga terlelap. Masumi terlihat tenang dan bernapas dengan teratur, menandakan dia sudah tertidur pulas.
Maya membuka matanya dan perlahan keluar dari kungkungan lengan Masumi. Membenahi selimut menutupi tubuh kekasihnya, Maya turun dari tempat tidur.
"Sudah waktunya Kitajima," sebuah suara terdengar bersamaan dengan munculnya cahaya terang, sebuah pintu terbuka. Seorang laki-laki berdiri diambang pintu. Dia mengenakan baju putih panjang seperti Maya, wajahnya tampan, rambutnya sepanjang bahu berwarna kuning keemasan dengan ikat kepala emas di keningnya, dia juga membawa tongkat kayu dengan ukiran cantik disepanjang bilahnya.
"Tidak bisakah aku menunggu sebentar lagi?" Pinta Maya.
"Hampir fajar dan kau tahu perjanjiannya. Kau tidak boleh terlihat saat siang hari atau energi kehidupanmu akan habis sebelum waktunya," jawab pria itu.
"Baiklah," Maya beranjak dengan berat hati. Dia masih sempat menoleh melihat Masumi yang terlelap sebelum akhirnya pergi dan menghilang dibalik pintu cahaya.
***
>>Bersambung<<
>>Secret Angel - Chapter 2<<
>>Secret Angel - Chapter 4<<
10 Comments
happy reading chapter 3 ya
ReplyDeletesedikit lain nuansa ceritanya, moga ga bosen bacanya
ditunggu komennya... :)
agak2 dingiiin yah.....misteri.....dan ....sesuatu yg tertutup...lanjut ya mba....penasaran nih..
ReplyDeleteapaaaaannnn sih ini say???? jadi was was baca nya ih..... hiks... kalo kata manga... ini genre mistery kah??? hadeeeeehhhhh 4 tumb up buat daya imaginasi mu yg TOPBGT bingitzzzz.... n for this time, i desperately cant wait any longer for the next chap...... cepetaaaaaannnn.... jgn ampe seminggu atuh update nya say..... pliiissssssss....
ReplyDeleteWooow misteri ya
ReplyDeleteTpi maya msh hidup kan?
Ini maya nya masih hidup kan ya mba agnes...jgn smpe maya knp2...
ReplyDeleteNah looh knp jd cerita misterius ini. Si maya kok jd tiba2 luwes n agresif gituu. Hahahaha kebayang ini cerita klo dibikin komik kayak apa muka masumi yg kaget liat maya tiba2 muncul. Tp scr pribadi agak kurang suka nih klo berbau bau misteri critanya maya masumi, tp gapapalah cukup menghibur secara pengarang aslinya gak kasih2 endingnya pdhl dah ditungguin bertahun tahun ;(
ReplyDeleteGa papa sih mau genre komedi kek, misteri kek, asal heli ending hahahaha.... Ga sabar ni pengen tau apa yg sebenarnya terjadi ama Maya.... jangan lama2 apdetnya ya mba
ReplyDeleteagak2 dingiiin yah.....misteri.....dan ....sesuatu yg tertutup...lanjut ya mba....penasaran nih..
ReplyDeleteMbak Angel.. agak-agak spooky gitu ya.. apalagi kalo dibaca tengah malem hehehe.. anyway.. top bangetttss :)
ReplyDeleteKo ky gak nyambung pas di chapter 4. 🤔
ReplyDelete