Rate : 20 thn +
Warning : For Adult Only, love and kiss, bed scene, mature relationship.
(Mohon perhatikan warningnya. Yang belum cukup umur dan tidak berkenan tidak usah membaca. Thanks)
Minggu pertama April. Malam musim semi yang indah. Maya dan Masumi tengah bersiap untuk menghadiri resepsi pernikahan Koji dan Mai.
Maya menyematkan hiasan di rambut hitamnya yang tergelung rapi. Masumi yang berdiri di belakang Maya mengamati wajah cantik istrinya melalui cermin meja rias.
"Kau terlalu cantik," kata Masumi tidak setuju.
Mata bulat Maya berkedip bingung dengan perkataan suaminya. Masumi mengalungkan lengannya melalui bahu Maya dan mencium puncak kepala istrinya.
"Kau akan mengalahkan kecantikan pengantin wanitanya. Itu tidak sopan," gumamnya.
Maya tertawa, "Kau ini bicara apa."
Menarik tangan Masumi dari bahunya, Maya berdiri dan berputar menghadap Masumi. Gaun panjang warna peach dari satin sutra yang dikenakan Maya terlihat begitu cocok di tubuh mungilnya. Masumi tidak salah, Maya terlihat begitu anggun. Di tambah syal sutra panjang yang menggantung di lengannya, Maya benar-benar terlihat bak seorang dewi.
"Kau juga tampan sayang. Apa kau pikir Koji tidak akan tersinggung dengan itu?" Maya mengusap tuxedo hitam yang dikenakan Masumi. Kalau dirinya terlihat bagai seorang dewi maka layaklah Masumi sebagai dewanya. Keduanya terlihat begitu sempurna.
"Bukankah aku memang lebih tampan daripada Koji?" Masumi melingkarkan satu tangannya di pinggul Maya.
Maya terkikik, "Sejak kapan kau suka membanggakan diri seperti itu?"
Masumi mengecup kening Maya, "Sejak aku memilikimu. Aku tidak mau terlihat jelek sehingga istriku ini punya kesempatan untuk melirik pria lain. Aku hanya ingin kau melihatku. Hanya aku. Karena kau milikku."
Maya tertawa dengan jawaban posesif suaminya, "Ya, aku milikmu sayang. Tidak ada pria lain yang sanggup membuatku berpaling darimu."
Masumi tersenyum, "Aku senang mendengarnya meski masih sedikit khawatir dengan acara malam ini."
Maya menyeringai, "Koji? Dia sudah menikah pagi tadi. Memang apa yang kau harapkan? Dia lari kepadaku bahkan sebelum malam pertama pernikahannya?"
"Melihatmu seperti ini Maya, aku tidak heran jika dia melakukannya." Masumi menyusuri garis wajah Maya dengan jemarinya.
Maya tertawa, "Oh ayolah sayang. Aku tidak memiliki pesona sedahsyat itu,"
"Ya kau punya sayangku," Masumi mencium sekilas bibir Maya, "dan aku punya hadiah untukmu karena kau begitu cantik malam ini." Kata Masumi. Melepaskan Maya, dia berjalan ke lemari dan mengeluarkan sebuah kotak.
"Cantik," puji Maya senang begitu melihat kotak itu dibuka di depannya. Sebuah kalung berlian berwarna senada dengan gaun yang dikenakannya.
"Ini tidak cantik." Bantah Masumi. Dia mengambil kalung itu dan memakaikannya di leher Maya, "Sekarang baru cantik. Kecantikanmu membuat kalungnya terlihat bersinar."
Maya tersipu, "Kau semakin pandai merayu."
"Begitu? Tapi kau suka kan?"
Maya mengangguk dengan wajah merahnya. Dia berjinjit, mengecup bibir Masumi, "Terima kasih."
Masumi menghela napas panjang, "Ayo kita berangkat sekarang, sebelum aku berubah pikiran dan memutuskan untuk melakukan hal lain yang pastinya lebih menyenangkan daripada sebuah resepsi pernikahan."
Tawa Maya kembali meledak ketika Masumi meraih tangannya dan membawanya keluar.
Sebagian besar tamu sudah datang ketika Maya dan Masumi tiba di hotel tempat resepsi. Kedatangan keduanya langsung menyita perhatian para tamu.
"Kau benar Masumi, sepertinya aku terlalu berlebihan malam ini. Semua orang memperhatikanku." Gumam Maya.
Masumi tersenyum, mengusap lembut tangan Maya yang melingkar di lengannya, "Tenang saja. Kau memang pantas jadi pusat perhatian."
Maya mendongak menatap Masumi, "Itu bukan jawaban yang menenangkan."
Masumi terkikik pelan, "Sudahlah sayang, nikmati saja."
Maya menghela napas, mengabaikan puluhan pasang mata yang mengamatinya berjalan untuk menemui pengantin.
"Selamat Koji, Mai, semoga bahagia," ucap Maya dan Masumi bersamaan.
"Terima kasih Tuan Masumi, Maya," jawab Koji.
"Sungguh kehormatan bagi kami Tuan dan Nyonya Hayami bisa hadir." Ucap Mai.
"Jangan begitu Mai. Kami senang bisa ikut merayakan hari bahagia kalian berdua." Jawab Maya diiringi senyum manisnya.
"Terima kasih Tuan Hayami, berkat anda pesta ini akhirnya bisa digelar di waktu yang tepat." Kata Koji seraya mengangguk hormat.
"Jangan sungkan Koji. Kau sahabat Maya, aku hanya melakukan yang seharusnya aku lakukan. Manajermulah yang melakukan tugasnya dengan baik." Jawab Masumi.
Kening Maya langsung berkerut dalam ketika matanya bertemu pandang dengan Masumi.
"Ah Maya, sebaiknya kita jangan memonopoli pengantinnya. Pasti masih banyak tamu yang harus mereka jamu. Kami permisi Koji, Mai," Masumi segera mengalihkan perhatian Maya sebelum istrinya itu mengomel di depan Koji.
"Selamat menikmati pestanya," Koji dan Mai sekali lagi memberi hormat pada keduanya. Maya masih melempar senyum pada keduanya sebelum pergi tapi kemudian langsung cemberut begitu dia hanya berdua dengan Masumi.
"Apa yang tidak aku tahu?" Tanya Maya kesal.
"Jangan marah sayang." Kata Masumi seraya mengambil segelas koktail dari meja buffet dan mengulurkannya pada Maya.
"Aku tidak marah tapi apa maksud perkataan Koji tadi? Apalagi yang kau sembunyikan dariku?" Maya justru melipat tangannya dan menolak koktail dari Masumi.
"Itu hanya masalah kontrak kerja sayang. Koji menerima tawaran Daito untuk melanjutkan produksi film Winter Love. Karena itulah aku menyarankan agar dia segera menggelar resepsi pernikahannya. Dia akan ada di New York selama tiga bulan untuk produksi itu." Jelas Masumi.
"Winter Love? Kau memperbaharui kontrak dengan Sony Pictures?" Maya mendesis kesal, menahan dirinya untuk tidak berteriak.
"Ya," jawab Masumi singkat, dia meneguk sendiri koktail yang diambilnya untuk Maya.
"Dan tidak memberitahuku?" Desis Maya lagi.
"Ya,"
Maya melebarkan matanya.
"Kau tidak akan ikut dalam produksi kali ini," terang Masumi kemudian.
"Apa?!" Kali ini Maya memekik cukup keras. Beberapa tamu langsung menoleh padanya, alhasil Maya menunduk malu.
"Kenapa?" Bisik Maya kemudian. Wajahnya tertekuk kesal.
Masumi menarik tangan Maya, membuat istrinya itu merapat padanya, "Kau pikir aku akan mengijinkanmu pergi ke New York selama tiga bulan? Jangan harap Nyonya. Aku akan buatkan film besar untukmu, di sini, jadi jangan memprotes keputusanku."
Maya mendesah kesal, "Dasar Direktur Daito menyebalkan."
Meraih dagu Maya, Masumi mengecup bibir istrinya, tidak peduli berapa orang tengah melihatnya sekarang.
"Demi keselamatanmu, aku tidak keberatan menjadi orang yang menyebalkan."
Maya tersenyum, ya, dia tidak bisa protes. Begitulah suaminya, tidak akan pernah berubah.
"Masih marah?" Tanya Masumi ketika Maya berbalik dan mengambil minuman untuk dirinya sendiri.
"Tidak, untuk apa aku marah." Katanya. Tepat ketika Maya akan meneguk minumannya, Masumi mencekal pergelangan tangannya.
"Itu sampagne," Masumi memperingatkan.
"Aku tahu. Sedikit tidak apa kan? Lagipula suamiku yang overprotective ini pasti akan menggendongku pulang kalau aku mabuk." Maya mengerlingkan matanya dan meneguk sampagne warna pink pucat dari gelas tingginya.
"Kau memang Nyonya muda yang keras kepala," gerutu Masumi ditengah senyum gelinya.
"Kau tidak bisa protes untuk hal itu Tuan Hayami karena kau sudah menandatangani kontrak seumur hidup denganku."
Masumi mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, "Aku tidak akan berani Nyonya."
"Kalau begitu berhenti tertawa sekarang Tuan, itu Ayumi dan Hamill. Ayo kita sapa dia. Tuan Direktur yang overprotective dan Nyonya Muda yang keras kepala." Canda Maya di sambut tawa Masumi.
***
Maya mengerjapkan matanya berkali-kali ketika mobil berhenti di halaman rumah Hayami.
"Apa kita sudah sampai sayangku?" Maya bergelayut manja pada lengan suaminya.
"Ya ampun Maya, seharusnya tidak ku biarkan kau minum tadi," Masumi menggeleng melihat istrinya.
"Minum? Kenapa aku tidak boleh minum? Aku haus." Maya terkikik sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
Fujiwara melihat Maya dari kaca spion tengah dan menggigit bibirnya agar tidak tertawa. Ini pertama kalinya dia melihat nyonyanya mabuk.
"Jaga matamu dan besok jaga mulutmu Fujiwara, kecuali kau sudah bosan berada di sini," ancam Masumi begitu matanya bertumbukan dengan pandangan Fujiwara di kaca spion.
Fujiwara berjenggit mendengarnya, "Ba, baik Tuan."
Masumi turun dari mobil tanpa menunggu Fujiwara membuka pintu. Di rengkuhnya tubuh mungil istrinya yang sudah tidak bisa berdiri tegak itu.
"Aku, bisa, jalan," kata Maya sambil cekikikan di sela-sela kalimatnya.
"Ya, kau bisa jalan dalam imajinasimu Nyonya," Masumi jadi ikut terkikik melihat istrinya. Dia sendiri belum pernah melihat Maya mabuk, sebelumnya Maya justru pingsan setelah meminum sake pernikahan mereka.
Masumi melewati ruang tamu dan bertemu dengan Harada yang masih menunggu Tuan dan Nyonyanya. Dia terlihat heran begitu melihat Masumi masuk menggendong Maya.
"Tidak apa-apa Bi, Maya baik-baik saja." Kata Masumi sebelum pengasuh sekaligus kepala pelayannya itu bertanya tentang Maya.
"Ah, hai Bibi Harada. Kau cantik malam ini. Apa kau punya kue? Perutku lapar." Maya mengoceh.
Harada menutup mulutnya yang menganga karena terkejut. Sedangkan Masumi menyipitkan mata melihat Maya yang tersenyum lebar padanya.
"Kau benar-benar lapar sayang?" Masumi bahkan menganggap serius ucapan Maya.
"Lapar sekali. Aku ingin makan kue coklat. Yang manis. Di suapi olehmu, menggunakan bibir ini." Maya mengusapkan jemarinya di bibir Masumi. Suaminya itu terkejut bukan kepalang dengan ucapan Maya. Harada sudah terlanjur mendengarnya dan sekuat tenaga Masumi menekan rasa malunya meski dia sadar wajahnya pasti sudah berwarna merah marun sekarang.
"Ng, maaf Tuan, apa-,"
"Dia mabuk Bi," Masumi cepat-cepat menerangkan kondisi Maya untuk menekan rasa malunya. Ternyata ocehan Maya benar-benar tidak terkendali saat mabuk.
"Maksud saya, apakah perlu saya siapkan kue untuk Nyonya? Kebetulan tadi Misae membuat choco lava kesukaan Nyonya." Harada juga segera mengoreksi ucapannya. Meski batinnya tergelak hingga berguling-guling tapi menertawakan Masumi yang sedang malu bukanlah tindakan yang bijak. Dia tahu betul bagaimana tabiat Tuannya itu.
Masumi menghela napas dan mengangguk pada Harada. Diapun segera berlalu menuju kamarnya.
Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi, "Sayang," lirihnya manja.
"Hhmm," Masumi hanya menggumam. Dengan hati-hati dia menaiki tangga ke lantai dua.
"Apa aku cantik?" Maya mengangkat wajahnya dan menarik dagu suaminya agar menatapnya.
"Iya kau cantik sayang," jawab Masumi.
"Ah kau bohong. Aku pendek dan tidak cantik," Maya melambai-lambaikan tangannya di udara dan menggumamkan kata pendek tiga kali, seolah mengatai dirinya sendiri.
Masumi tertawa melihat tingkah Maya.
"Nah kan. Kau menertawakanku." Maya langsung mengerucutkan bibirnya, "Aku jelek dan pendek, iya kan?"
Masumi melipat bibir bawahnya dan menahan tawanya meledak. Masuk ke dalam kamar, Masumi membaringkan Maya di tempat tidur.
"Aku jelek dan pendek, iya kan?" Maya mengulangi pertanyaannya. Tidur terlentang, mata Maya berkedip-kedip menatap suaminya.
"Tidak sayang, kau cantik, sangat cantik." Jawab Masumi seraya berusaha melepaskan hiasan rambut Maya, menarik selendang yang melilit lengan Maya lalu melepaskan sepatu hak tingginya. Diapun berjalan ke meja dan menuang segelas air dengan sebelumnya meletakkan semua barang Maya di sofa.
"Ayo bangun, minum dulu," Masumi membantu Maya duduk dan memintanya meminum air.
"Aku tidak mau minum," Maya menutup mulutnya.
"Hei kau harus minum air, sedikit saja," bujuk Masumi.
Maya menggeleng. Dia malah melepaskan diri dari dekapan Masumi dan berguling menjauh hingga ke sisi lain tempat tidur.
"Hei, kau jatuh nanti," Masumi dengan masih memegang gelasnya segera berjalan memutari tempat tidur dan duduk di sisi Maya. Menghalangi istrinya itu berguling lagi.
Maya terlentang dan tersenyum lebar pada suaminya.
"Kau tampan Tuan Masumi." Pujinya tiba-tiba.
"Minum dulu Maya," Masumi mengabaikan pujian istrinya.
Maya menggeleng, "Aku, tidak, mau," Maya melambai-lambaikan tangannya di depan Masumi untuk menegaskan penolakannya.
Masumi mendesah panjang. Bukan Masumi Hayami namanya kalau dia sampai kehabisan akal menghadapi Maya. Dia meneguk air di dalam gelas hingga bersisa setengah, melandaikan tubuhnya di atas Maya, Masumi meminumkan air itu dengan cara 'hanya Masumi yang bisa melakukannya'.
Maya tertawa saat semua air yang diberikan Masumi habis tertelan.
"Tuan Masumi, kau nakal sekali," Maya tergelak-gelak sendiri karenanya.
Masumi mengabaikan tawa Maya dan menghabiskan isi gelasnya. Meletakkan gelas kosong itu di atas nakas sebelum akhirnya dia kembali menuangkan air ke dalam mulut Maya. Tepat ketika Maya menelan semua airnya, tangan Maya melingkar di leher Masumi dan menahannya tidak bergerak.
Maya membalas perbuatan suaminya dengan ciuman penuh hasrat. Masumi tersentak tapi itu hanya sesaat, ketika Maya melenguh di dalam mulutnya, Masumi justru membalas ciuman istrinya. Bibir keduanya saling berpaut mesra. Mendesahkan nama masing-masing belahan jiwa mereka ketika sesaat bibir keduanya terlepas untuk sejenak mengambil napas.
Masumi merasakan hasrat dalam dirinya terbakar. Maya yang mabuk jauh lebih agresif dari biasanya. Lidah Maya begitu lincah menari di dalam mulut Masumi dan membuatnya semakin hilang kendali. Maya menjalankan tangan mungilnya ke sepanjang bahu lebar Masumi hingga berakhir dengan sebuah cengkraman di tengkuk suaminya ketika Masumi juga memanjakan bibir Maya dengan kelembutannya.
Tok! Tok! Tok!
Masumi tersentak, seketika melepaskan bibir Maya, napasnya berat tidak beraturan. Mata Masumi berkedip melihat Maya yang terbaring di bawahnya dengan wajah semerah strawberry dan napas kacau seperti dirinya.
"Jangan pergi," Maya menahan tangan Masumi ketika suaminya itu berusaha menegakkan tubuhnya.
"Itu Bibi Harada, membawakan kuemu," bisik Masumi di depan bibir Maya.
"Kue?" Sepertinya Maya tidak ingat akan permintaannya tadi.
Masumi menyeringai tipis melihat istrinya.
"Kue coklat untukmu," tegasnya.
Kali ini dia benar-benar beranjak karena Harada kembali mengetuk pintu kamarnya. Merapikan tuxedonya yang sedikit berantakan, Masumi membuka pintu. Harada masuk dan meletakkan nampan di atas meja. Sejenak dia mengamati Maya yang terlentang di atas tempat tidur. Nyonyanya itu melambai bahkan memintanya untuk berbaring di sebelahnya.
"Nyonya benar-benar mabuk. Kenapa anda membiarkannya minum Tuan?" Harada sedikit mengomel pada Masumi.
"Aku juga tidak tahu kalau dia bisa separah itu kalau mabuk. Padahal hanya minum dua gelas sampagne." Masumi juga menggeleng melihat istrinya yang sekarang bahkan sedang berguling-guling di atas tempat tidur.
"Maya hentikan, kau bisa ja-,"
Bruk!
"Maya!" Masumi segera berlari dan berlutut di sebelah istrinya yang jatuh ke lantai bersama guling besarnya. Beruntung Maya jatuh di atas guling. Harada tidak lagi bisa menahan tawanya.
"Tuan, sebaiknya anda segera membuat Nyonya tidur atau dia bisa melompat dari balkon dan menyangka dirinya kupu-kupu," kata Harada.
Masumi mengusap kepala Maya yang masih berbaring di atas gulingnya dan berakting seolah dirinya sedang menaiki perahu.
"Ya, Bibi benar."
"Anda masih membutuhkan sesuatu Tuan?"
"Tidak Bi. Istirahatlah. Terima kasih,"
Harada mengangguk hormat lalu pergi meninggalkan kamar.
Masumi mengangkat tubuh Maya dan kembali membaringkannya ke atas tempat tidur.
"Kau masih mau makan kuemu sayang?" Tanya Masumi.
"Kue!" Maya langsung bangun dan duduk tegak di depan Masumi. Suaminya itu sontak terbahak melihat tingkah konyol istrinya.
"Maya, Maya. Aku benar-benar akan menjauhkanmu dari alkohol." Katanya geli.
Maya memiringkan kepalanya, cemberut menatap Masumi, "Kue." Serunya keras.
"Iya, iya. Aku ambil kuemu." Masumi beranjak dan berjalan ke meja. Dia melepas tuxedonya, mansetnya, meletakkannya di sofa bersama barang Maya yang lain. Menggulung kemejanya sampai siku, Masumi mengambil satu choco lava ke dalam piring kecil.
"Nah makanlah Nyonya," Masumi memotong choco lava dengan garpu kecil dan menyuapkannya pada Maya.
Bibir Maya berkerut dan dia menggeleng. Kening Masumi ikut berkerut, bingung.
"Aku mau di suapi seperti tadi." Kata Maya.
"Eh?"
Belum habis keterkejutan Masumi, Maya meraih tangan suaminya dan menyuapkan potongan choco lava itu ke dalam mulut Masumi. Sekali lagi Masumi terlambat menghindar ketika Maya akhirnya memagut bibir Masumi yang terkena lelehan coklat. Lidah Maya dengan lincahnya mengambil potongan kue itu dari mulut suaminya.
Menarik dirinya, Maya tersenyum senang seraya menjalankan lidahnya memoles bibirnya yang penuh dengan lelehan coklat.
"Enak!" Seru Maya girang.
Dalam keterkejutannya, Masumi menahan hasrat yang sudah mulai menari di dalam dirinya. Mata gelapnya mengamati Maya yang masih asik mengunyah choco lava di dalam mulutnya.
"Lagi," kata Maya begitu dia menelan choco lavanya. Bibirnya sudah kembali berwarna merah muda tanpa lumuran coklat.
"Lagi?" Masumi tersenyum jahil. Bodoh! Kenapa aku jadi mengerjai istriku sendiri? Dia sedang mabuk. Masumi jadi merutuk dirinya.
Namun pemikirannya kali ini tidak sepaham dengan Maya. Tiba-tiba Maya meraih pergelangan tangan Masumi, menggerakkannya untuk memotong choco lava lalu menyuapkannya, lagi, ke dalam mulut Masumi. Dan Maya mengulangi apa yang sudah di lakukannya lagi.
Astaga Maya, kau tidak sadar apa yang telah kau lakukan. Kau membuatku kewalahan.
"Maya," Masumi melirih begitu Maya melepaskan bibirnya.
Mengabaikan lirihan Masumi, Maya kembali memagut bibir suaminya. Dalam sekejap bibir mungil itu tenggelam dalam kelembutan bibir Masumi. Keduanya kembali tersesat dalam ciuman panas mereka.
"Whoa Maya," Masumi memekik ketika Maya mendorongnya hingga terlentang ke tempat tidur. Dia mengangkat tinggi tangan kirinya yang masih memegang piring.
Masumi segera bangun sebelum piringnya jatuh. Diapun meletakkan piring itu ke atas nakas dan menggeleng melihat Maya yang duduk dengan mata bulat berbinar. Memandangnya.
Maya menarik tangan Masumi, membuatnya duduk di tepi tempat tidur, di hadapannya.
"Kau mabuk Maya," Masumi menangkupkan tangan kanannya ke wajah istrinya. Maya menyandarkan kepalanya pada telapak tangan lebar itu tanpa melepaskan pandangannya dari mata Masumi. Tangannya tertangkup di atas tangan suaminya.
"Aku menginginkanmu," lirih Maya.
Masumi menelan ludahnya perlahan. Hal yang sama dirasakannya tapi melihat istrinya mabuk, Masumi menahan dirinya.
"Aku.ingin.kau." Maya mengucapkan setiap kata dengan tegas.
"Tapi kau sedang mabuk sayang," Masumi masih berusaha mempertahankan akal sehatnya.
Melepaskan tangan Masumi, Maya mencondongkan tubuhnya dan melingkarkan lengannya melewati bahu lebar suaminya, menautkan jemarinya erat di belakang kepala.
Berdiri dengan lututnya di atas tempat tidur, Maya memberikan sebuah kecupan di kening Masumi.
"Aku.cinta.padamu." Ucapnya dengan masing-masing sebuah kecupan di wajah Masumi si sela-sela ucapannya.
Maya menumpukan hidung mungilnya di atas hidung suaminya. Bibirnya menyunggingkan senyum manis. Masumi merasakan desahan nafas hangat Maya di wajahnya. Aroma Maya yang bercampur dengan manisnya aroma sampagne.
"Ya ampun Maya, kau membuatku gila." Masumi menumpukan tangannya di kedua pinggul Maya, "Aku juga mencintaimu sayang," seiring ucapannya, Masumi menarik tubuh Maya merapat dan langsung merenggut bibir mungil istrinya.
Sementara bibir Masumi masih sibuk memetakan setiap inchi bibir Maya yang terasa begitu manis dan memabukkan dengan aroma sampagnenya, tangannya Masumi juga terus membelai setiap inchi tubuh Maya.
"Nghhh," Maya mengerang lirih saat bibir Masumi menggigit bibir bawahnya. Menyusuri garis rahangnya hingga ke telinganya dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di belakang telinga dengan menyibakkan rambut lebat Maya ke sisi lain bahunya. Membiarkan leher polos itu terekspos sempurna.
Masumi mengulum senyumnya ketika merasakan tubuh Maya melemas dalam pelukannya. Perlahan dia bergeser, mendudukkan Maya di tepi tempat tidur dan Masumi berdiri di depannya. Napas Maya terengah begitu Masumi melepaskan bibir hangatnya dari kulit tubuhnya yang sudah sangat sensitif. Matanya yang bulat beberapa kali berkedip dan tampak tidak setuju Masumi menjauh.
"Masumi...," Maya memanggil suaminya dengan nada permohonan yang Masumi tahu tidak bisa di tolaknya. Sekali lagi Masumi mengulum senyumnya.
"Tenang sayang," Masumi mencondongkan tubuhnya lalu mengecup kening Maya, sedang jemarinya menapaki bahu Maya yang dihiasi dua utas tali dari gaun satin warna peachnya. Tangan lincahnya berjalan menyusuri leher polos Maya, Masumi melepaskan kalung berlian yang tadi di berikannya.
Sekali lagi dia melihat rasa kehilangan di wajah istrinya begitu Masumi menjauhkan dirinya untuk meletakkan kalung itu di atas nakas. Kembali ke depan istrinya, Masumi mengulurkan tangannya.
"Bisa berdiri sayang?" Tanyanya lembut.
Maya mengangguk. Menyambut uluran tangan Masumi lalu berdiri. Tubuh Maya bergoyang begitu dia berdiri di atas kakinya. Reflek satu lengan Masumi memeluk pinggul Maya, menjaganya agar tidak jatuh.
"Aku bisa, aku bisa," Maya menggumam disambut tawa Masumi.
"Ya, kau bisa menjatuhkan dirimu," goda Masumi. Sungguh dia merasa sedang bermain dengan sebuah boneka sekarang.
"Berputar sayang," bisik Masumi di telinga Maya.
Maya mendongak, tersenyum, lalu dengan patuh memutar tubuhnya di dalam jangkauan lengan Masumi. Sedikit merenggangkan pelukannya, tangan bebas Masumi menarik turun sleting gaun Maya. Mendorong kedua tali yang menggantung di bahu Maya hingga gaun peach itu jatuh terpuruk dan berkumpul di kakinya. Tubuh sintal Maya terlihat indah hanya dengan balutan korset dan celana dalam berenda indah juga tali garter yang terpasang pada stokingnya.
Masumi berlutut dengan satu tangan masih memegang pinggul Maya. Menjaganya agar tidak jatuh, sementara tangannya yang lain melepaskan masing-masing tali garter.
"Pegangan sayang," kata Masumi. Maya yang mabuk ternyata cukup patuh. Nyonya kecil itu sedikit membungkuk dan berpegangan pada tempat tidur sementara Masumi dengan leluasa melepaskan kedua stoking Maya. Melemparnya begitu saja keduanya ke lantai. Masumi tersenyum geli saat menyadari pantat indah Maya hanya berada beberapa senti di depannya, dia bahkan sudah bisa mencium aroma harum istrinya. Pahanya yang putih bak porselen itu terekspos sempurna di depan matanya.
Maya menjerit ketika Masumi tiba-tiba meremas pinggulnya dan mencium kedua pantat indahnya.
"Aku mengejutkanmu?" Masumi memiringkan kepalanya ketika Maya tegak dan menoleh padanya. Diapun berdiri dan melanjutkan aksinya. Melepaskan setiap kaitan korsetnya dan sama seperti yang lainnya, membiarkannya jatuh ke lantai begitu saja.
"Oke, kau membuatku benar-benar menginginkanmu sekarang. Maafkan aku ya, kalau aku memilikimu saat kau tidak sadar seperti ini." Melingkarkan tangannya di pinggul Maya, masumi menciumu bahu polos istrinya.
"Aku, sadar," jawab Maya terbata.
Masumi tersenyum sambil menyibakkan rambut Maya ke sisi kanan bahunya dan memuaskan dirinya untuk menikmati leher indah dan bahu polos Maya. Setiap sentuhan bibir Masumi membuat Maya mengerang lirih.
Jemari Masumi menyusur setiap inchi perut Maya dan terus naik hingga kedua tangannya tertangkup di atas ke dua payudara Maya yang masih terbungkus bra indah dengan renda berwarna senada dengan gaunnya. Dengan lembut Masumi meremas keduanya dan memberikan sebuah gigitan lembut di lekuk leher Maya. Istrinya itu terpejam dengan lenguhan panjang yang membuat Masumi semakin terbuai.
"Berputar," lagi-lagi Masumi memerintah dan dengan patuh Maya segera berputar.
Senyum Masumi melebar ketika melihat wajah Maya yang merona bak buah plum merah. Tak lama-lama terpesona, Masumi melanjutkan tugasnya. Dia melepaskan bra Maya dan melemparnya ke lantai. Kedua payudara yang sudah mengencang indah itu sungguh sanggat menggoda untuk di rayu tapi Masumi masih menahan dirinya. Dia kemudian menunduk dan melepaskan celana dalam berenda milik Maya. Kedua benda terakhir itu telah lepas dan sekarang tubuh Maya polos sempurna. Masumi bahkan memanjakan matanya dengan pemandangan itu. Jika dalam kondisi sadar Maya pasti akan menggunakan ke dua tangannya untuk menutupi payudara indah itu setiap Masumi memandanginya tapi kali ini, dia bahkan berdiri dengan posisi sangat provokatif tanpa berniat menutupi apapun.
Haruskah aku bersyukur dengan itu? Masumi menggeleng geli dengan pemikiran nakalnya.
"Kau masih pakai baju sayang," kata Maya seraya tersenyum.
Kali ini tanpa di perintah Maya mengulurkan tangannya dan membuka setiap kancing kemeja Masumi. Jarinya lincah bekerja, mendorong kemeja melewati bahu lebarnya, kemeja itu menggantung di pinggul Masumi karena bagian ujungnya masih terikat pada celana.
Tiba-tiba Maya berlutut di depan Masumi dan tangannya kembali dengan lincah bergerak. Dia membuka ikat pinggang Masumi dan membuka sleting celana panjangnya, membiarkannya jatuh ke lantai bersama kemeja putihnya. Mata Maya berkedip saat dia mendongak dan melihat Masumi yang tengah mengamatinya.
Tiba-tiba Maya berlutut di depan Masumi dan tangannya kembali dengan lincah bergerak. Dia membuka ikat pinggang Masumi dan membuka sleting celana panjangnya, membiarkannya jatuh ke lantai bersama kemeja putihnya. Mata Maya berkedip saat dia mendongak dan melihat Masumi yang tengah mengamatinya.
Masumi melangkahkan kaki keluar dari celananya, menendang celana itu menjauh dan kembali berdiri di depan Maya. Istrinya itu tersenyum lebar dan tangannya kembali meraih tepian boxer yang menjadi satu-satu baju yang tersisa. Tanpa ragu Maya menariknya turun, membiarkan milik suaminya terbebas. Masumi sengaja diam dan menunggu apa yang akan di lakukan istrinya.
"Aku suka tubuhmu sayang. Aku pasti adalah wanita paling beruntung karena bisa memilikimu," Maya menjalankan jarinya di sepanjang garis pinggul Masumi. Membelai setiap inchi kulit yang bisa di sentuhnya. Bulu halus di kulit Masumi berdiri dengan hormat atas sentuhan Maya.
Mengulum senyumnya, Masumi menikmati apa yang dilakukan istrinya. Dia masih bergeming.
"Aku ingin memilikimu," senyum Maya diiringin dengan gerakan tangan lincahnya, membuat Masumi tersentak. Maya benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dia memiliki Masumi dengan bibir mungilnya.
"Maya...," Masumi mendesahkan nama istrinya dengan hasrat bergolak dalam dirinya. Kedua tangannya memegang lembut kepala Maya yang bergerak dengan ritme pelan dan sangat memabukkan. Masumi benar-benar di buai olehnya. Dalam hati Masumi menarik ucapannya yang berjanji akan menjauhkan Maya dari alkohol. Pikiran gilanya ternyata sangat menikmati Maya yang mabuk. Istrinya itu menjadi begitu agresif dan tidak pemalu saat mabuk. Sedikit tersadar, Masumi mengomeli dirinya sendiri.
"Maaf sayang," lirihnya kemudian.
Sontak Maya melepaskan Masumi begitu mendengar permintaan maaf suaminya. Matanya berkedip bingung sementara Masumi menghela napas panjang penuh kepuasan.
"Kau tidak suka?" Tanya Maya.
Masumi tertawa, tangannya meraih kedua bahu Maya dan memintanya berdiri.
"Tidak sayang, aku suka sekali, hanya saja aku jadi merasa bersalah karena sepertinya aku sangat memanfaatkanmu yang sedang mabuk," kata Masumi.
Lagi-lagi mata Maya berkedip bingung.
"Aku tidak mabuk." Tegas Maya, "Aku sadar siapa diriku dan kau suamiku. Apa salahnya?" Protes Maya.
Lagi-lagi Masumi tertawa, dalam keadaan sadar Mayanya tidak akan berkeras dalam hal ini.
"Oke sayang, tidak ada salahnya. Jadi aku juga tidak akan menahan diri lagi. Aku menginginkanmu," Masumi menarik tubuh Maya merapat padanya. Miliknya menekan perut Maya dan si Nyonya Mabuk itu sengaja menggoyangkan pinggulnya dengan provokatif menggoda Masumi. Tawa masumi kembali meledak.
"Aku akan membalasmu," bisik Masumi.
Maya terseyum lebar saat Masumi mendorong lembut Maya untuk kembali duduk di tepi tempat tidur. Masumi berlutut di depannya dan membuat tinggi keduanya sejajar.
"Tahukah kau Maya. Rasanya sekarang aku ingin melupakan dunia dan memilikimu untukku sendiri," kata Masumi seraya menjalankan jemarinya di wajah merah istrinya.
"Kalau begitu lakukanlah. Aku akan sangat bahagia menjadi satu-satunya wanita yang kau inginkan di bumi ini." Ujar Maya. Meraih tangan Masumi, Maya memberikan sebuah kecupan di telapak tangan suaminya.
"As you wish. I love you Maya," Masumi tersenyum.
Kembali, dengan kelembutan Masumi mengklaim bibir Maya menjadi miliknya sendiri. Memetakan lagi setiap inchi wajah dan tubuh Maya yang sudah sering dilakukannya tapi tak pernah bosan untuk mengulangi setiap jejaknya. Maya mengerang panjang ketika bibir Masumi menyapu kulit bahunya, memberinya beberapa gigitan lembut dengan jemari Masumi membelai dan meninggalkan jejak kehangatan di setiap inchi tubuh Maya.
Tangan Masumi melebar di punggung Maya, menjaganya tetap tegak dalam duduknya sementara satu tangannya yang lain mengklaim tubuh Maya sebagai miliknya. Jemarinya menari seiring dengan ciumannya yang semakin memanas, melumerkan tubuh Maya.
"Ahhh, Masumi...," Maya mendesahkan nama suaminya dengan hormat ketika tangan Masumi menemukan payudaranya. Meremasnya dengan lembut, memanjakannya. Maya terpejam dan benar-benar melupakan dunianya. Tubuhnya reflek bergerak sesuai ritme yang di ciptakan suaminya.
"Aakkhh!" Maya menjerit saat bibir Masumi sampai pada puncak payudaranya yang sudah mengencang. Mengulumnya dengan lembut. Begantian memuja keduanya dengan kelembutan yang terjaga.
"Masumiii," lagi-lagi Maya merapal nama suaminya layaknya sebuah doa. Masumi bahkan sempat tersenyum kala bibirnya berada di puncak indah itu. Melihat Maya memujanya adalah hal terindah dalam hidupnya. Sungguh dia akan melakukan apapun agar dapat terus mendengar Maya memujanya seperti itu.
Maya benar-benar di buat lemas oleh Masumi. Perlahan Masumi membaringkan Maya dengan kaki masih menggantung pada tepian tempat tidur. Napas Maya kacau ketika Masumi kembali menyapukan kelembutan di setiap bagian tubuh indahnya.
"Masumi, jangan," lirih Maya dengan mata terpejam. Kedua tangannya mencengkram erat sprei di sisi tubuhnya. Maya sepertinya dapat membaca apa yang akan di lakukan suaminya kala Masumi menuruni tubuh Maya dengan ciumannya.
"Sudah ku katakan aku akan membalasmu sayang," bisiknya di pusat perut Maya. Mengecupnya dan menyapukan lidahnya lembut.
Otot bagian bawah tubuh Maya mengejang kuat ketika Masumi melebarkan kakinya. Membuatnya terekspos pada bagian terdalam tubuhnya.
"Jangaann," Maya melirih lagi.
Masumi menggeleng dan tersenyum. Mencondongkan tubuhnya lebih rendah, Masumi menyapukan lidahnya dan membuat istrinya melayang dengan kelembutannya. Maya merintih dalam kenikmatan, refleknya pinggulnya bergerak mengikuti gerakan lidah Masumi.
"Aahhh," Maya mengerang panjang saat lidah Masumi memasuki tubuhnya. Membelai pusat sensitif yang merobek Maya menjadi berkeping-keping.
Masumi berdiri dan membaringkan tubuhnya di sisi Maya, membelai lembut kepala Maya dan mencium ke dua matanya yang basah karena air mata.
"Kau membuatku gila," lirih Maya diiringi senyuman di sudut bibirnya.
"Begitukah? Kau melakukan hal yang sama padaku," jawab Masumi lembut. Melandaikan kepala di sisi Maya, Masumi menciumi telinga Maya.
"Hhmm," Maya menggumam.
"Ijinkan aku memilikimu," bisikan Masumi begitu lembut mendesah di telinga Maya.
"Kau sudah memiliku sejak tadi," memutar kepalanya, Maya menyunggingkan senyum lebar ketika matanya bertaut pandang dengan Masumi.
Senyum Maya menular, Masumi bangkit dengan siku menyangga tubuhnya.
"Apa yang kau ingin aku lakukan sayang?" Masumi menyusuri garis wajah Maya dengan telunjuknya dan menyapukannya di bibir mungil istrinya yang sekarang terlihat membengkak. Maya berkedip dan tiba-tiba dia bangun lalu mendorong Masumi hingga jatuh terlentang. Tubuh mungil Maya menindih Masumi yang sekarang tertawa dengan serangan istrinya yang tiba-tiba.
"Tuan Masumi, hari ini kau banyak sekali tertawa." Maya menyeringai tipis menatap suaminya.
"Kau membuatku sangat senang Nyonya Maya," jawab Masumi.
"Kalau begitu ijinkan aku membuatmu lebih senang lagi malam ini." Ucap Maya. Masumi tertawa.
Tawa Masumi langsung berhenti begitu Maya melakukan apa yang diucapkannya. Bibir mungil itu sekarang dengan lembut menyapukan kehangatan di lekuk leher Masumi.
"Kau lebih memabukkan dari sampagne yang ku minum sayang," bisik Maya.
Masumi tidak bisa lagi tertawa. Kedua tangannya memeluk erat tubuh Maya yang tak hanya menghangatkannya tapi sudah membakarnya. Maya terus menapaki dada bidang Masumi dengan kelembutan bibirnya.
"Maya," sekarang giliran Masumi yang mendesah panjang memanggil nama istrinya. Maya meninggalkan kiss mark di dada bidang suaminya. Masumi tidak peduli. Dia tidak pernah keberatan dengan itu, dia adalah milik Maya sepenuhnya.
Masumi menyapukan belaian lembut di punggung polos Maya ketika istrinya itu tengah membuai bagian sensitif di dadanya. Mengulumnya dan memainkannya dengan lidahnya yang terasa panas.
Maya terengah ketika mengangkat wajahnya menatap suaminya. Rambut panjangnya berantakan di kedua sisi wajahnya. Masumi yang napasnya sama kacaunya hanya bisa tersenyum.
Maya menegakkan tubuhnya dan duduk di atas perut Masumi yang setiap ototnya terpahat indah. Kedua tangannya menangkup rambut panjangnya dan membawanya ke satu sisi bahunya, membuatnya jatuh terurai dan menutupi sebelah payudaranya.
Masumi dapat membaca apa yang akan di lakukan istrinya. Diapun mengulurkan kedua tangannya ke depan.
"Perlahan, biar aku membantumu," kata Masumi lembut.
Maya menyambut uluran tangan itu. Senyum keduanya mengembang penuh arti. Mengangkat tubuh mungilnya, Maya perlahan turun dan mengisi bagian dirinya dengan milik suaminya. Keduanya mendesahkan napas dengan lembut secara bersamaan.
"Aku suka tubuhmu sayang. Aku pasti adalah wanita paling beruntung karena bisa memilikimu," Maya menjalankan jarinya di sepanjang garis pinggul Masumi. Membelai setiap inchi kulit yang bisa di sentuhnya. Bulu halus di kulit Masumi berdiri dengan hormat atas sentuhan Maya.
Mengulum senyumnya, Masumi menikmati apa yang dilakukan istrinya. Dia masih bergeming.
"Aku ingin memilikimu," senyum Maya diiringin dengan gerakan tangan lincahnya, membuat Masumi tersentak. Maya benar-benar melakukan apa yang dikatakannya. Dia memiliki Masumi dengan bibir mungilnya.
"Maya...," Masumi mendesahkan nama istrinya dengan hasrat bergolak dalam dirinya. Kedua tangannya memegang lembut kepala Maya yang bergerak dengan ritme pelan dan sangat memabukkan. Masumi benar-benar di buai olehnya. Dalam hati Masumi menarik ucapannya yang berjanji akan menjauhkan Maya dari alkohol. Pikiran gilanya ternyata sangat menikmati Maya yang mabuk. Istrinya itu menjadi begitu agresif dan tidak pemalu saat mabuk. Sedikit tersadar, Masumi mengomeli dirinya sendiri.
"Maaf sayang," lirihnya kemudian.
Sontak Maya melepaskan Masumi begitu mendengar permintaan maaf suaminya. Matanya berkedip bingung sementara Masumi menghela napas panjang penuh kepuasan.
"Kau tidak suka?" Tanya Maya.
Masumi tertawa, tangannya meraih kedua bahu Maya dan memintanya berdiri.
"Tidak sayang, aku suka sekali, hanya saja aku jadi merasa bersalah karena sepertinya aku sangat memanfaatkanmu yang sedang mabuk," kata Masumi.
Lagi-lagi mata Maya berkedip bingung.
"Aku tidak mabuk." Tegas Maya, "Aku sadar siapa diriku dan kau suamiku. Apa salahnya?" Protes Maya.
Lagi-lagi Masumi tertawa, dalam keadaan sadar Mayanya tidak akan berkeras dalam hal ini.
"Oke sayang, tidak ada salahnya. Jadi aku juga tidak akan menahan diri lagi. Aku menginginkanmu," Masumi menarik tubuh Maya merapat padanya. Miliknya menekan perut Maya dan si Nyonya Mabuk itu sengaja menggoyangkan pinggulnya dengan provokatif menggoda Masumi. Tawa masumi kembali meledak.
"Aku akan membalasmu," bisik Masumi.
Maya terseyum lebar saat Masumi mendorong lembut Maya untuk kembali duduk di tepi tempat tidur. Masumi berlutut di depannya dan membuat tinggi keduanya sejajar.
"Tahukah kau Maya. Rasanya sekarang aku ingin melupakan dunia dan memilikimu untukku sendiri," kata Masumi seraya menjalankan jemarinya di wajah merah istrinya.
"Kalau begitu lakukanlah. Aku akan sangat bahagia menjadi satu-satunya wanita yang kau inginkan di bumi ini." Ujar Maya. Meraih tangan Masumi, Maya memberikan sebuah kecupan di telapak tangan suaminya.
"As you wish. I love you Maya," Masumi tersenyum.
Kembali, dengan kelembutan Masumi mengklaim bibir Maya menjadi miliknya sendiri. Memetakan lagi setiap inchi wajah dan tubuh Maya yang sudah sering dilakukannya tapi tak pernah bosan untuk mengulangi setiap jejaknya. Maya mengerang panjang ketika bibir Masumi menyapu kulit bahunya, memberinya beberapa gigitan lembut dengan jemari Masumi membelai dan meninggalkan jejak kehangatan di setiap inchi tubuh Maya.
Tangan Masumi melebar di punggung Maya, menjaganya tetap tegak dalam duduknya sementara satu tangannya yang lain mengklaim tubuh Maya sebagai miliknya. Jemarinya menari seiring dengan ciumannya yang semakin memanas, melumerkan tubuh Maya.
"Ahhh, Masumi...," Maya mendesahkan nama suaminya dengan hormat ketika tangan Masumi menemukan payudaranya. Meremasnya dengan lembut, memanjakannya. Maya terpejam dan benar-benar melupakan dunianya. Tubuhnya reflek bergerak sesuai ritme yang di ciptakan suaminya.
"Aakkhh!" Maya menjerit saat bibir Masumi sampai pada puncak payudaranya yang sudah mengencang. Mengulumnya dengan lembut. Begantian memuja keduanya dengan kelembutan yang terjaga.
"Masumiii," lagi-lagi Maya merapal nama suaminya layaknya sebuah doa. Masumi bahkan sempat tersenyum kala bibirnya berada di puncak indah itu. Melihat Maya memujanya adalah hal terindah dalam hidupnya. Sungguh dia akan melakukan apapun agar dapat terus mendengar Maya memujanya seperti itu.
Maya benar-benar di buat lemas oleh Masumi. Perlahan Masumi membaringkan Maya dengan kaki masih menggantung pada tepian tempat tidur. Napas Maya kacau ketika Masumi kembali menyapukan kelembutan di setiap bagian tubuh indahnya.
"Masumi, jangan," lirih Maya dengan mata terpejam. Kedua tangannya mencengkram erat sprei di sisi tubuhnya. Maya sepertinya dapat membaca apa yang akan di lakukan suaminya kala Masumi menuruni tubuh Maya dengan ciumannya.
"Sudah ku katakan aku akan membalasmu sayang," bisiknya di pusat perut Maya. Mengecupnya dan menyapukan lidahnya lembut.
Otot bagian bawah tubuh Maya mengejang kuat ketika Masumi melebarkan kakinya. Membuatnya terekspos pada bagian terdalam tubuhnya.
"Jangaann," Maya melirih lagi.
Masumi menggeleng dan tersenyum. Mencondongkan tubuhnya lebih rendah, Masumi menyapukan lidahnya dan membuat istrinya melayang dengan kelembutannya. Maya merintih dalam kenikmatan, refleknya pinggulnya bergerak mengikuti gerakan lidah Masumi.
"Aahhh," Maya mengerang panjang saat lidah Masumi memasuki tubuhnya. Membelai pusat sensitif yang merobek Maya menjadi berkeping-keping.
Masumi berdiri dan membaringkan tubuhnya di sisi Maya, membelai lembut kepala Maya dan mencium ke dua matanya yang basah karena air mata.
"Kau membuatku gila," lirih Maya diiringi senyuman di sudut bibirnya.
"Begitukah? Kau melakukan hal yang sama padaku," jawab Masumi lembut. Melandaikan kepala di sisi Maya, Masumi menciumi telinga Maya.
"Hhmm," Maya menggumam.
"Ijinkan aku memilikimu," bisikan Masumi begitu lembut mendesah di telinga Maya.
"Kau sudah memiliku sejak tadi," memutar kepalanya, Maya menyunggingkan senyum lebar ketika matanya bertaut pandang dengan Masumi.
Senyum Maya menular, Masumi bangkit dengan siku menyangga tubuhnya.
"Apa yang kau ingin aku lakukan sayang?" Masumi menyusuri garis wajah Maya dengan telunjuknya dan menyapukannya di bibir mungil istrinya yang sekarang terlihat membengkak. Maya berkedip dan tiba-tiba dia bangun lalu mendorong Masumi hingga jatuh terlentang. Tubuh mungil Maya menindih Masumi yang sekarang tertawa dengan serangan istrinya yang tiba-tiba.
"Tuan Masumi, hari ini kau banyak sekali tertawa." Maya menyeringai tipis menatap suaminya.
"Kau membuatku sangat senang Nyonya Maya," jawab Masumi.
"Kalau begitu ijinkan aku membuatmu lebih senang lagi malam ini." Ucap Maya. Masumi tertawa.
Tawa Masumi langsung berhenti begitu Maya melakukan apa yang diucapkannya. Bibir mungil itu sekarang dengan lembut menyapukan kehangatan di lekuk leher Masumi.
"Kau lebih memabukkan dari sampagne yang ku minum sayang," bisik Maya.
Masumi tidak bisa lagi tertawa. Kedua tangannya memeluk erat tubuh Maya yang tak hanya menghangatkannya tapi sudah membakarnya. Maya terus menapaki dada bidang Masumi dengan kelembutan bibirnya.
"Maya," sekarang giliran Masumi yang mendesah panjang memanggil nama istrinya. Maya meninggalkan kiss mark di dada bidang suaminya. Masumi tidak peduli. Dia tidak pernah keberatan dengan itu, dia adalah milik Maya sepenuhnya.
Masumi menyapukan belaian lembut di punggung polos Maya ketika istrinya itu tengah membuai bagian sensitif di dadanya. Mengulumnya dan memainkannya dengan lidahnya yang terasa panas.
Maya terengah ketika mengangkat wajahnya menatap suaminya. Rambut panjangnya berantakan di kedua sisi wajahnya. Masumi yang napasnya sama kacaunya hanya bisa tersenyum.
Maya menegakkan tubuhnya dan duduk di atas perut Masumi yang setiap ototnya terpahat indah. Kedua tangannya menangkup rambut panjangnya dan membawanya ke satu sisi bahunya, membuatnya jatuh terurai dan menutupi sebelah payudaranya.
Masumi dapat membaca apa yang akan di lakukan istrinya. Diapun mengulurkan kedua tangannya ke depan.
"Perlahan, biar aku membantumu," kata Masumi lembut.
Maya menyambut uluran tangan itu. Senyum keduanya mengembang penuh arti. Mengangkat tubuh mungilnya, Maya perlahan turun dan mengisi bagian dirinya dengan milik suaminya. Keduanya mendesahkan napas dengan lembut secara bersamaan.
Tak ada lagi kalimat yang terucap, yang terdengar hanyalah rintihan Maya yang terbuai oleh nikmatnya kasih yang terjalin antara keduanya. Napas keduanya semakin memburu. Maya merasa kepalanya berputar karena sensasi yang menghantamnya. Pengaruh alkohol membuatnya limbung.
Masumi melepaskan genggaman tangannya pada Maya dan menangkap tubuh mungil yang jatuh terengah di dadanya. Kepala Maya naik turun seirama dengan napas Masumi. Perlahan Masumi berguling dengan masih berada di dalam Maya, membalikkan posisinya dan membaringkan istrinya dengan lembut.
Masumi menatap Maya yang tersenyum seraya mengatur napasnya.
"I love you," bisik Masumi lagi dan dia mulai bergerak perlahan. Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi mencari sesuatu untuk di cengkeramnya hingga menemukan rambut lebat suaminya. Kuku-kuku Maya mengerat kuat di bahu kokoh suaminya dan mencengkram rambut lebatnya seiring dengan hentakan Masumi ke dalam tubuhnya. Semakin lama keduanya bergerak semakin keras dengan ritme yang selaras.
"Oh sayang, kau milikku," Masumi mendesis di sela-sela giginya saat merasakan Maya terlepas di bawahnya.
"Masumiiii," Maya menjerit ketika dirinya mencapai puncak kenikmatan bersama dengan suaminya.
"Mayaku." Masumi mendesah dengan suara lembut. Segera dia menyangga tubuhnya dengan kedua sikunya sebelum dia jatuh menindih Maya.
Air mata mengalir di kedua sudut mata Maya akibat kebahagiaan yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Segera, Maya terlelap dalam pengaruh alkohol dan kenikmatan yang baru saja di capainya.
Masumi mengatur napasnya, meredakan getaran dalam dirinya. Perlahan dia menarik dirinya keluar, menyapukan sebuah kecupan hangat di kening dan kedua mata Maya yang basah. Terakhir, sekali lagi dia mengulum lembut bibir istrinya yang tengah terlelap.
"Terima kasih sayang,"
Berbaring di sisi istrinya, menarik selimut menutupi tubuh polos keduanya, Masumi juga terlelap dengan membawa Maya dalam dekapannya.
***
"Kepalaku sakit," Maya mengeluh lirih di dalam kamar mandi keesokan paginya. Beruntung itu adalah akhir pekan dan jadwalnya kosong.
"Pusing?"
Maya tersentak ketika Masumi tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar mandi. Maya mengangguk.
"Mabuk hanya karena dua gelas sampagne, sepertinya aku harus benar-benar menjauhkanmu dari alkohol." Masumi menghampiri istrinya yang masih mengenakan jubah mandi. Kali ini Masumi serius meski pengalamnnya semalam sungguh menyenangkan.
"Maaf," ucap Maya lirih, "Ugh," Maya menangkupkan kedua tangan di mulutnya.
"Hei, kau-,"
Belum selesai Masumi bicara Maya sudah membungkuk ke wastafel dan memuntahkan isi perutnya.
"Kau sakit sayang?" kata Masumi, memegang kening Maya, hangat.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Sanggah Maya.
"Aku akan telepon dokter Yamada." Masumi berkeras.
"Masumi! Aku baik-baik saja. Ini hanya karena minuman semalam." Protes Maya.
"Baiklah, kalau begitu cepat ganti baju, kita sarapan." Masumi menyerah. Terselip juga rasa bersalah dalam hatinya.
Maya mengangguk, melakukan apa yang diperintahkan Masumi.
"Selamat pagi ayah," sapa Maya dan Masumi pada Eisuke yang sudah duduk di meja makan.
"Selamat pagi Maya, Masumi. Semalam sepertinya kalian pulang larut," kata Eisuke.
"Iya Ayah, pestanya meriah dan istriku sangat menikmatinya semalam jadi kami terlambat pulang," jawab Masumi.
Maya mencubit paha Masumi di bawah meja karena menyindirnya. Masumi justru menggenggam tangan mungil itu di atas pahanya.
"Aku terlalu asik mengobrol dengan Ayumi dan teman-teman yang lain ayah," kata Maya membela dirinya sendiri. Dia kemudian menoleh pada Masumi dan cemberut padanya, "Lepaskan," desisnya.
Masumi tersenyum geli dan melepaskan tangan Maya karena para pelayan sudah membawakan sarapan mereka. Aroma harum tercium dari sop miso yang dihidangkan di meja tapi Maya justru merasa mual karenanya. Dengan cepat Maya beranjak dari kursinya dan berlari ke kamar mandi.
"Maya?" Masumi terkejut.
"Kenapa Maya?" Tanya Eisuke sama terkejutnya.
"Dia minum sampagne semalam," jawab Masumi yang kemudian mengejar Maya.
"Ya, itu cukup menjelaskan." Gumam Eisuke. Dia jelas masih ingat Maya yang pingsan di hari pernikahannya karena minum sake. "Harada, tanyakan pada Maya apa yang diinginkannya untuk sarapan dan minta Misae segera membuatkannya." Perintah Eisuke.
"Baik Tuan," Harada meninggalkan ruang makan dan menemui Maya.
Sementara itu di kamar mandi yang tidak jauh dari ruang keluarga, Maya terlihat kepayahan.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Masumi cemas melihat Maya yang tiba-tiba pucat.
"Iya. Aku akan ingat untuk lain kali tidak menyentuh apapun itu yang berbau alkohol. Menyebalkan." Gerutu Maya. Kedua tangannya menyangga tubuhnya di wastafel.
Masumi meraih handuk dan memberikannya pada Maya. Diapun berjalan keluar dengan berpegangan pada lengan Masumi.
"Maaf Nyonya, Tuan Besar meminta saya menanyakan apa yang anda inginkan untuk sarapan pagi ini?" Kata Harada ketika Masumi mendudukkan Maya di ruang keluarga.
"Sepertinya aku tidak ingin makan." Jawab Maya.
"Mana bisa seperti itu? Kau harus makan. Katakan, kau mau makan apa?" Kata Masumi tidak setuju.
Maya menggeleng, "Aku benar-benar tidak ingin makanan tapi rasanya aku ingin minum jus stawberry sekarang."
Masumi mengalihkan pandangan pada Harada, "Tolong buatkan Bi dan siapkan juga roti bakar dengan selai stawberry." Perintahnya.
"Baik Tuan."
"Tidak biasanya kau mau minum jus pagi-pagi." Masumi menatap heran istrinya.
Maya mengendikkan bahu, "Entahlah, mungkin karena mual ini. Aku hanya ingin sesuatu yang segar sekarang."
Hari beranjak siang. Masumi sedang mengurus pekerjaan di ruang kerjanya. Mizuki datang dan membawa beberapa dokumen penting yang harus di tanda tangani. Alhasil Maya jadi menyibukkan diri di taman belakang. Di temani Harada, Maya memetik bunga di taman untuk dirangkai di kamarnya. Mawar ungunya sudah mekar dengan indah. Masumi sengaja meminta tukang kebun untuk membuat taman khusus bunga mawar ungu untuk Maya.
"Hati-hati durinya Nyonya." Harada memperingatkan.
"Iya Bi." Maya menggunting setangkai mawar lagi dan meletakkannya di keranjang. "Sepertinya sudah cukup." Maya melihat keranjangnya sudah terisi bunga cukup banyak. Maya membungkuk untuk mengambil keranjangnya tapi tiba-tiba dia merasa sekelilingnya berputar. Harada menjerit saat Maya jatuh tidak sadarkan diri.
Sementara itu, Masumi dan Mizuki baru saja keluar dari ruang kerja.
"Kirim email padaku untuk laporannya," perintah Masumi sambil menutup pintu.
"Baik Tuan," Mizuki mengangguk hormat.
Suara derap kaki di lorong mengalihkan perhatian keduanya.
"Ada apa Naoko?" Masumi menyipitkan matanya pada pelayan yang sekarang terengah-engah di depannya.
"Nyo-, maaf Tuan," Naoko membungkuk dalam, "Nyonya pingsan di halaman bel-," belum selesai Naoko bicara, Masumi langsung pergi meninggalkannya dengan wajah cemas.
Fujiwara menggendong Maya menaiki tangga teras belakang saat Masumi muncul.
"APA YANG TERJADI?" Bentak Masumi marah. Dengan cepat dia merengkuh Maya yang tidak sadar ke dalam pelukannya dan segera berlari ke kamar. Mizuki, Harada dan Naoko mengikutinya.
"Naoko, telepon Dokter Yamada." Perintah Masumi.
Bibi Harada memberikan minyak aromaterapi pada Masumi.
"Apa yang terjadi Bi?" Tanya Masumi dengan masih fokus menyadarkan Maya.
"Maafkan saya Tuan. Nyonya sedang memetik bunga dan sama sekali tidak mengeluh apapun pada saya. Tiba-tiba saja Nyonya pingsan." Jelas Harada.
"Apa Nyonya sakit Tuan?" Tanya Mizuki.
Masumi menggeleng, "Sejak pagi dia memang pusing dan terus merasa mual tapi ku pikir itu karena semalam dia mabuk." Masumi tidak dapat menyembunyikan kecemasannya, matanya menyiratkan ketakutan karena Maya tak juga bangun.
"Sayang, sadarlah," lirih Masumi seraya mengusap sisi wajah istrinya, "Maya," panggilnya lagi.
Maya masih belum juga sadar. Masumi meraih tangan Maya, dingin.
"Tangannya dingin sekali," gumam Masumi terkejut. Dia menaikkan selimut sampai ke dada Maya dan memasukkan tangannya ke bawah selimut. Mizuki dan Harada hanya bisa diam di ujung tempat tidur.
"Maya sayang," panggil Masumi lagi. Maya masih saja tak bergerak.
"Tuan, apa tidak sebaiknya kalau Nyonya langsung di bawa ke rumah sakit? Wajah Nyonya pucat sekali." Mizuki menyarankan.
Masumi menoleh pada Mizuki.
"Tuan," Naoko masuk dengan tergesa, "Dokter Yamada sedang melakukan operasi, jadi beliau tidak bisa segera datang."
Masumi tertegun sejenak kemudian beralih memandang istrinya yang memang terlihat pucat.
"Ungg," Maya melirih. Bola mata Maya bergerak-gerak, kelopak matanya terbuka.
Desahan napas lega terdengar dari ketiganya.
"Syukurlah kau sudah sadar," Masumi memeluk dan mencium kening Maya.
"Masumi...aku kenapa?" Maya merasa bingung karena terbangun di kamar.
"Maya kau pingsan, apa yang kau rasakan? Katakan dimana yang sakit?" Tanya Masumi lembut.
"Pingsan?" Maya memutar mata dan melihat Mizuki dan Harada di ujung tempat tidur.
"Aku...aku tidak tahu, tiba-tiba rasanya pusing," aku Maya.
"Kita akan ke rumah sakit." Kata Masumi kemudian.
Maya berkedip menatap suaminya, "Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit."
Masumi menatap Maya dalam diam.
"Ku mohon, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku baik-baik saja, hanya...,"
"Hanya apa?"
"Hanya perlu istirahat. Ini pasti karena aku semalam mabuk dan kurang tidur." Maya beralasan.
Masumi menghela napas panjang.
"Naoko, tolong buatkan teh untuk Maya. Bibi temani Maya sebentar," kata Masumi. Dia mengusap kepala Maya, "istirahatlah."
Maya tersenyum dan mengangguk senang karena Masumi tidak memaksanya untuk pergi ke rumah sakit.
"Mizuki, ikut aku," Masumi keluar dari kamar.
"Permisi Nyonya, semoga cepat sembuh," kata Mizuki sebelum mengikuti Masumi.
"Anda yakin tidak apa-apa Tuan?" Tanya Mizuki.
"Kau tahu bagaimana Maya kan? Lebih baik ku biarkan saja dia istirahat sebentar. Nanti akan ku coba lagi membujuknya. Aku hanya takut kalau-kalau kondisinya kali ini berhubungan dengan efek racun yang pernah di minumnya. Itu sudah enam bulan yang lalu tapi tetap saja aku khawatir," terang Masumi.
Mizuki bisa memahami pemikiran Masumi. Bagi bosnya itu Maya adalah segalanya. Dia hanya bisa berharap semua baik-baik saja dan Maya hanya sakit karena mabuk. Diapun segera pamit pergi setelah mendengar beberapa instruksi bosnya.
Masumi segera kembali ke kamar. Keningnya berkerut ketika melihat Maya dan Harada sedang menata bunga di dalam vas bukannya beristirahat seperti apa yang diperintahkannya.
"Apa yang kau lakukan?"
Maya berbalik dan langsung tersenyum melihat suaminya. Harada langsung permisi keluar.
"Merangkai bunga, lihat Masumi, cantik kan?" Jawab Maya girang.
"Maksudku kenapa kau justru merangkai bunga bukannya istirahat. Biarkan pelayan yang melakukannya. Lihat wajahmu masih pucat." Masumi menarik Maya mendekat padanya, membelai wajah mungil istrinya.
Maya menarik tangan Masumi dan menggenggamnya di depan dadanya, "Aku tidak apa-apa. Percayalah."
"Pusing. Muntah. Pingsan. Apanya yang baik-baik saja? Ayolah Maya, kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kesehatanmu." Bujuk Masumi.
"Kau terlalu khawatir. Aku sudah lebih baik. Sudah ku bilang itu karena aku mabuk semalam." Kata Maya.
"Bagaimana kalau bukan karena itu?" Tanya Masumi.
"Maksudmu?"
"Bagaimana kalau itu mungkin karena efek racun ars-,"
"Sstt," Maya melekatkan telunjuk mungilnya di bibir Masumi, "Kau takut?"
"Aku mengkhawatirkanmu sayang. Kalau sampai terjadi sesuatu padamu dan aku terlambat mengetahuinya, itu...Maya mengertilah. Banyak hal terjadi selama setengah tahun ini dan aku hanya ingin memastikan kau baik. Itu saja."
Maya menghela napas panjang. Maya memahami kekhawatiran suaminya. Masumi hanya ingin dirinya baik.
"Berjanjilah untuk tenang kalau aku pergi ke rumah sakit."
"Kau mau?"
"Hanya agar suamiku tenang dan tidak berpikir berlebihan."
Masumi langsung mendesah lega, "Kita pergi sekarang?"
"Besok?"
Masumi cemberut dan langsung meraih tangan Maya, "Tidak. Sekarang."
***
Maya dan Masumi terdiam dan memperhatikan reaksi tenang Yamada setelah Maya menceritakan gejala yang di alaminya.
"Jadi menurut anda itu hanya karena dua gelas sampagne?" Tanya Yamada kemudian.
Maya mengangguk, "Saya rasa begitu dokter."
"Yang saya takutkan adalah kemungkinan kondisi Maya berhubungan dengan efek racun enam bulan yang lalu dokter," Masumi menjelaskan ketakutannya.
"Baiklah, kita akan tahu apa penyebabnya setelah diperiksa. Silakan Nyonya Maya," Yamada mempersilakan Maya mengikutinya dan meminta Masumi untuk menunggu.
Maya masuk ke dalam ruang periksa dan seorang perawat membantunya berbaring.
"Tekanan darah anda rendah Nyonya, inilah kenapa anda merasa pusing." Jelas Yamada setelah perawatnya memeriksa tekanan darah Maya.
Yamada kemudian mengambil alat utrasonografi. "Tapi saya rasa mual anda bukan karena mabuk atau efek racun."
Maya hanya mengangguk dalam diam ketika Yamada mulai memeriksanya. Jujur, sebenarnya dia juga takut kalau dugaan Masumi benar. Dia sudah berusaha melupakan semua kejadian enam bulan yang lalu dan hanya bisa berharap semua baik-baik saja.
Masumi sendiri tengah menunggu dengan gelisah. Setelah enam bulan, ini pertama kalinya Maya terlihat tidak sehat. Itu membuatnya sangat khawatir. Masumi sepertinya memiliki trauma yang lebih dalam tentang semua kejadian buruk yang menimpa Maya dibandingkan dengan Maya sendiri.
Seorang perawat datang memanggil Masumi untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Jantung Masumi serasa berhenti berdetak begitu melihat Maya yang masih duduk di atas tempat tidur menangis di balik telapak tangannya.
"Maya, kau kenapa?" Segera Masumi menghampiri istrinya dan memeluknya, "Dokter, apa yang terjadi dengan istri saya?" Tanya Masumi cemas.
"Maaf Tuan Masumi, mulai sekarang saya tidak bisa lagi menangani Nyonya Maya." Kata Yamada dengan tenang.
"Apa?" Masumi menautkan alis memandang Yamada dengan aneh, "Apa maksud anda dokter? Anda adalah dokter keluarga ka-,"
"Masumi...," sela Maya cepat. Dia menengadah menatap suaminya dengan mata masih berurai air mata.
Masumi miris melihat air mata Maya. Disekanya air mata itu dengan jari panjangnya. Yamada hanya tersenyum melihat Masumi yang begitu khawatir dengan kondisi istrinya.
"Aku hamil," kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Maya. Tangan Masumi membeku dan ekspresinya kosong.
"Kau...apa?" Tanya Masumi kemudian setelah diam beberapa saat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
Air mata kembali lolos dari sudut mata Maya, "Aku hamil." Ulang Maya dengan suara yang semakin parau. Masumi baru menyadari, meski menangis tapi mata Maya jelas terlihat berbinar.
"Kau hamil? Aku, aku akan jadi...ayah?" Masumi hampir tersedak kebahagiaannya sendiri.
Maya mengangguk, kali ini senyumnya mengembang dan Masumi segera memeluknya. Menenggelamkan Maya ke dalam dadanya. Keduanya larut dalam kebahagiaan sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Masumi bahkan meneteskan air matanya.
"Mulai sekarang dokter Amamiya akan membantu anda Nyonya Maya." Kalimat itu hanya disambut anggukan keduanya.
"Aku tidak percaya," gumam Masumi di mobil ketika keduanya dalam perjalanan pulang menuju kediaman Hayami.
"Aku juga," senyum Maya mengembang tanpa bisa di tahan, dia bahkan hampir menangis lagi.
Masumi membelai lembut perut Maya, "Anakku," gumamnya dengan penuh kebahagian.
"Anak kita," koreksi Maya.
Masumi tersenyum, mengecup pelipis Maya, "Ya, anak kita. Terima kasih sayang,"
Kehebohan langsung terjadi di rumah Hayami. Eisuke bahkan tertawa dengan kerasnya begitu mendengar berita kehamilan Maya.
"Aku akan menjadi kakek? Rasanya tidak percaya. Kau dengar Asa, aku akan menjadi seorang kakek," kata Eisuke senang.
"Iya Tuan Besar, selamat untuk anda. Selamat juga untuk Tuan dan Nyonya," ucap Asa pada Masumi dan Maya.
"Terima kasih Paman." Jawab keduanya.
Ucapan selamat juga diberikan oleh Harada dan semua pelayan yang turut berbahagia dengan berita itu. Clara dan Michael bahkan langsung menangis begitu Maya menelepon dan membagi berita kebahagiaan itu pada mereka.
Akhirnya kau berhasil juga Masumi.
Kalimat lancang itu diucapkan oleh Christ dan kali ini Masumi hanya tertawa keras tanpa berniat merutuk ucapan kakak iparnya itu.
"Semua orang bahagia hari ini." Kata Masumi. Bersandar di tempat tidur, Masumi memeluk Maya yang bersandar di dadanya. Malam itu, Maya dan Masumi belum juga bisa memejamkan mata karena semua euforia di rumah Hayami.
"Ya dan hari ini juga cukup melelahkan." Jawab Maya.
Kedua tangan Masumi yang melingkari pinggul Maya tertangkup di perutnya, membelainya dengan lembut.
"Nanti perutku akan semakin besar," kata Maya tiba-tiba.
"Tentu saja," sahut Masumi.
"Aku akan jadi gemuk," kata Maya lagi.
Masumi terkikik, "Apa maksud ucapanmu Maya? Apa kau tidak mau menjadi gemuk karena bayi kita?"
Maya menggeleng, "Bukan, mana mungkin aku begitu. Aku sangat senang akhirnya Tuhan menjawab doa kita dan aku bisa hamil lagi. Aku hanya merasa lucu membayangkan tubuh kecilku ini mengembang. Aku akan terlihat seperti bola,"
Masumi mengetukkan telunjuknya di kening Maya sambil tertawa keras, "Hentikan imajinasi konyolmu itu."
Maya ikut tertawa.
"Masumi, aku bahagia sekali," kata Maya setelah tawanya mereda.
"Aku juga sangat bahagia Maya. Kau dan calon bayi kita ini adalah harta paling berharga dalam hidupku."
Maya tersenyum senang dengan penuturan suaminya.
"Tidurlah, ini sudah malam," Masumi membelai kepala Maya dan mengecup keningnya. Membaringkan Maya di sebelahnya dan kembali memeluknya. Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas malam.
"Masumi," Maya bergumam dengan menyembunyikan wajahnya di dada suaminya.
"Hhmm," gumam Masumi yang sudah setengah terpejam.
"Aku ingin makan Taiyaki," bisik Maya.
Mata Masumi melebar seketika, "Ta, Taiyaki?"
"Hhmm,"
Maya meringis lebar ketika Masumi mengangkat wajahnya.
"Taiyaki ya?" Senyum geli Masumi tidak bisa di sembunyikan. Dia pernah mendengar tentang seorang istri yang ngidam ketika hamil tapi tak menyangka dirinya juga akan mengalami hal itu.
"Dan...," Maya berkedip malu.
"Oh ada lagi?"
"Ice cream coklat,"
Masumi tertawa saat wajah Maya berubah semerah kepiting rebus.
***
3 November, pukul enam pagi di kediaman Hayami. Menjelang akhir musim gugur.
"Nyonya, biar saya yang menyelesaikannya. Anda tidak boleh kelelahan atau Tuan akan marah," Misae mengikuti Maya yang berjalan ke sana kemari di dapur untuk menyiapkan makanan dengan perut besarnya.
"Tidak apa-apa Misae. Ini ulang tahun Masumi, jadi aku ingin menyiapkan sarapan dan kue untuknya." Maya tidak mengacuhkan larangan Misae. Harada pun hanya bisa menggelengkan kepala melihat Nyonyanya yang keras kepala, menunggu Masumi datang dan memarahi mereka. Dia tahu Nyonyanya itu bangun diam-diam pagi tadi.
"Hati-hati Nyonya, itu panas," Misae kembali bergidik melihat Maya mengeluarkan kue dari pemanggang dan meletakkannya di meja dapur.
"Aduh!" Maya mengelus perutnya.
"Nyonya!" Seru Misae dan Harada terkejut.
"Anda tidak apa-apa Nyonya?" Harada terlihat cemas.
"Tidak Bi," Maya meringis lebar, "aku hanya terkejut karena bayiku menendang keras."
Harada dan Misae mendesah lega.
"MAYA!"
Sebuah teriakan yang menggema di ruang tengah menyentakkan ketiganya.
"Nah suamiku sudah bangun." Maya terkikik.
Harada dan Misae saling berpandangan. Tak lama kemudian Masumi muncul di dapur dengan wajah masam.
"Ya ampun sayang, apa yang kau lakukan disini?" Masumi menyisir rambut lebatnya yang masih berantakan. Dia bahkan masih mengenakan piyama, meski begitu Masumi terlihat begitu tampan.
Maya hanya terkikik. Masumi mengabaikan Harada juga Misae, dia langsung mengalungkan lengannya ke bahu Maya yang tengah sibuk menghias kue.
"Apa yang kau lakukan sayang? Pagi-pagi sudah menghilang." Bisik Masumi di telinga Maya setelah mendaratkan sebuah kecupan lembut di pelipisnya.
Maya memutar dalam kungkungan lengan Masumi. Mau tidak mau Masumi melepaskan lengannya karena perut Maya yang besar membuat jarak antara mereka.
"Selamat ulang tahun sayang." Maya berjinjit dan mencium bibir Masumi.
Masumi tersenyum, dia baru ingat kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Masumi memiringkan kepala melihat kue ulang tahun yang belum selesai dihias Maya.
"Kau bangun pagi-pagi hanya karena ini?" Alis Masumi bertaut memandang istrinya.
Maya mengangguk.
"Kau tidak perlu melakukannya,"
"Aku mau,"
Masumi tersenyum lebar lalu berlutut dan menangkupkan kedua tangannya di perut Maya.
"Selamat pagi sayang, semoga nanti kau tidak keras kepala seperti ibumu ya," katanya seraya mencium perut Maya dan seketika itu juga bayi dalam perut Maya bergerak keras. Membuat keduanya tertawa. Maya dan Masumi membuat Harada dan Misae merasa seperti serangga pengganggu.
"Jangan terlalu lelah, biarkan Misae yang mengerjakannya," kata Masumi begitu dia kembali berdiri.
"Sudah, kau cepatlah mandi. Tinggal sedikit lagi, biarkan aku menyelesaikannya," jawab Maya.
Masumi menyerah, "Baiklah Nyonya." Diapun kembali ke kamarnya dengan sebelumnya memberikan kecupan di kening istrinya. Maya mengusap perutnya yang mengejang.
"Nyonya kenapa?" Harada mengamati Maya yang tiba-tiba mengeratkan mata.
"Tidak apa-apa Bi." Maya melempar senyumnya dan kembali menghias kue ulang tahun Masumi, "Misae tolong lanjutkan untuk sarapannya ya, rasanya aku tidak akan kuat kalau lebih dari ini."
"Baik Nyonya." Misaepun segera melakukan apa yang diperintahkan sementara Harada membantu Maya.
みɑややƴ ßίя†hϑɑƴ Ma
Tulisannya belum selesai tapi tangan Maya tiba-tiba gemetar dan dia menjatuhkan spet penghias kue di tangannya.
"Aarggghh!"
"Nyonya!" Harada terkejut dan segera memegang Maya yang merintih kesakitan.
"Bi...sakit...," Maya memegangi perutnya yang tiba-tiba mangalami kontraksi.
"Bibi Harada, itu...," Misae menjerit sambil menunjuk ke arah kaki Maya. Cairan bening mengalir di kaki Maya.
"Misae, panggil Tuan Masumi! Minta Naoko menyiapkan semua keperluan Nyonya dan minta Fujiwara juga Satoshi untuk menyiapkan mobil. CEPAT!!" Perintah Harada. Mengendalikan kepanikannya sendiri, Harada membantu Maya untuk duduk di kursi dapur.
"Bibi...sakit," Maya kembali merintih ketika kontraksi perutnya semakin kuat. Dia bersandar pada tubuh Harada agar tidak terjatuh.
Di kamar, Masumi baru saja selesai mandi dan masih mengenakan jubah handuknya saat Misae mengetuk dengan keras pintu kamar.
"Apa?" Masumi membuka pintu dengan wajah kesal karena ketidak sopanan pelayanannya.
"Nyo, Nyonya Tuan...Nyonya akan melahirkan." Kata Misae panik.
Masumi segera berlari.
"Tuan anda...," belum memakai baju. Misae menelan sendiri perkataannya saat Masumi dengan cepat menghilang dari pandangannya.
Di dapur Maya sudah terengah menahan sakitnya.
"Nyonya bertahanlah," Harada mencoba menguatkan Maya.
"Ngghhhh! Sakit Bi, akkhhh!" Maya menjerit ketika kontraksi di perutnya bertambah kuat.
"Maya!" Masumi datang dengan wajah paniknya.
"Sudah waktunya Tuan," jelas Harada yang melihat kebingungan di wajah Masumi.
"Tapi bagaimana bisa? Bukankah seharusnya masih dua minggu lagi?"
"Itu biasa terjadi Tuan. Sebaiknya anda segera membawa Nyonya ke rumah sakit. Saya sudah minta Fujiwara menyiapkan mobil. Naoko juga akan menyiapkan semua keperluan Nyonya." Jelas Harada cepat.
"Masumiiiii, sakiiit," Maya merintih keras dan Masumi segera membawa Maya dalam gendongannya.
Keluar di ruang keluarga, Masumi bertemu dengan ayahnya dan Asa yang juga terlihat panik setelah mendengar kabar dari pelayan.
"Kau akan kerumah sakit?" Tanya Eisuke.
"Iya ayah." Jawab Masumi sambil lalu, dia tidak tahan mendengar Maya menjerit kesakitan, "Sayang bertahanlah." Bisik Masumi.
Eisuke dan Asa segera mengikuti Masumi ke pintu depan. Naoko berlari di belakangnya dengan membawa tas besar. Fujiwara dan Satoshi sudah siap di depan pintu.
"Masumi, kau...," Eisuke baru menyadari kalau Masumi hanya berbalut jubah mandinya tapi melihat kepanikan putranya juga menantunya yang tengah kesakitan dia tidak tahu harus bicara apa. Sungguh situasi yang membingungkan.
"Akhhh!" Sekali lagi Maya menjerit karena kontraksinya. Masumi bergerak dengan cepat, semua pelayan hanya saling memandang bingung ketika Masumi masuk ke mobil bersama Fujiwara. Mobilpun melaju meninggalkan halaman rumah Hayami.
Eisuke menghela napas panjang dan menggeleng.
"Harada, pergilah bersama Naoko dan bawakan baju Masumi. Aku akan menyusul sebentar lagi." Perintah Eisuke. "Anak itu...memalukan," gumamnya di akhir kalimatnya.
Naoko yang memang sudah menyiapkan baju Masumi di dalam tas yang dibawanya menahan diri untuk tidak tertawa.
***
Puluhan pasang mata memandang tak berkedip dengan mulut menganga begitu Masumi tiba di rumah sakit. Para petugas medis segera membawa Maya dengan stretcher.
"Masumi...sakiiittt...," Maya merintih kesakitan memegangi perutnya. Stretcher melaju dengan cepat dan Masumi mengimbangi dengan langkah panjangnya.
"Iya sayang, bertahanlah." Masumi berusaha menenangkan, meski dirinya sendiri tidak yakin.
Midori Amamiya, dokter spesialis kandungan yang selama ini menangani Maya segera menyambutnya di ruang bersalin. Matanya tak berkedip begitu melihat Masumi. Dia sangat memahami bagaimana paniknya suami istri yang baru pertama kali menghadapi proses kelahiran tapi melihat seorang direktur sekelas Masumi mengenakan jubah mandi di rumah sakit membuatnya menggeleng geli. Tentunya dia tidak berani tertawa. Dia yakin Masumi tidak menyadari keadaannya saat ini. Para perawat yang tengah menangani Maya juga sekuat tenaga menahan tawanya.
"Tuan Masumi, apa anda ingin menemani Nyonya?" Tanya Amamiya.
"Tentu saja dokter," jawab Masumi cepat. Dia sudah berdiri di samping Maya dan menggenggam erat tangannya.
"Jangan, pergi...," lirih Maya di tengah kesakitannya.
"Tidak sayang, aku tidak akan pergi. Aku di sini bersamamu," Masumi mengeratkan genggamannya dan mengusap lembut kepala Maya yang sudah basah dengan keringat dingin.
Amamiya tersenyum dan dia segera memeriksa Maya yang sudah dalam posisi siap untuk melahirkan.
"Pembukaan tujuh, saya rasa prosesnya tidak akan lama lagi." Amamiya mengamati Maya dan mulai memeriksa semua catatan yang sudah dibuat oleh perawat tadi.
"Tekanan darah, kadar HB...," Amamiya bergumam dan membaca semua catatan dengan seksama. "Oke, semuanya baik. Nyonya Maya, anda sedang dalam proses melahirkan. Tolong tenang dan dengarkan intsruksi saya." Kata Amamiya lembut.
Maya hanya bisa mengangguk tanpa bisa mencerna kalimat itu lebih jauh lagi. Rasa sakit yang di alaminya sudah membuat otaknya buntu.
"Dia akan baik-baik saja kan dokter?" Tanya Masumi cemas.
"Tenang Tuan Masumi, sejauh ini semua berjalan normal." Jawab dokter wanita itu tenang.
"Akkhhh!" Maya kembali menjerit ketika kontraksinya semakin kuat. Masumi mengeratkan genggaman tangannya. Berharap dengan begitu bisa menguatkan Maya.
"Pembukaan sembilan dokter," kata seorang perawat.
"Baiklah, sudah waktunya." Amamiya menempatkan diri di ujung tempat tidur Maya.
"Akkkhhh!" Jeritan Maya semakin keras dan itu membuat keringat dingin membanjiri kening Masumi.
"Sayang, bertahanlah. Kau kuat, kau pasti bisa," lirihnya putus asa. Masumi tidak tahu bagaimana caranya untuk mengurangi sakit yang Maya rasakan.
"Dengarkan aba-aba saya Nyonya, Tarik napas panjang lalu dorong bayinya,"
Maya melakukan apa yang diperintahkan ditambah dengan teriakan keras bersama dengan usahanya mendorong bayinya.
"Sekali lagi Nyonya, tarik napas panjang lalu dorong."
"Arrgghh!" Maya berteriak lagi.
Amamiya terus memandu Maya untuk mendorong bayinya.
"Aarrgggghhhh!!" dan sebuah teriakan panjang dari Maya berakhir dengan sebuah tangisan keras dari seorang bayi yang baru saja lahir.
"Selamat Tuan, Nyonya, bayinya laki-laki."
Air mata meleleh di mata Maya dan Masumi. Kesakitan Maya berakhir sudah dan penantian panjang mereka terbayarkan. Masumi menciumi wajah Maya, "Kau berhasil sayang, kau berhasil," bisiknya penuh haru seraya menciumi wajah istrinya. Maya yang masih kepayahan hanya bisa tersenyum, air mata mewakili perasaannya.
"Anakku," lirih Maya dengan sisa tenaganya.
Amamiya datang dengan menggendong seorang bayi yang terbungkus kain berwarna biru. Dengan hati-hati dia memberikan bayi itu pada ayahnya.
"Bayi yang tampan," puji Amamiya.
"Terima kasih dokter." Kata Masumi. Mata Masumi mengamati bayi mungil dalam gendongannya. Putranya itu tengah terlelap dengan bibirnya bergerak lucu. Tak disadari air mata lolos dari sudut mata Masumi.
"Maya, lihatlah putramu," Masumi menunjukkan putra mereka pada istrinya.
"Putra kita," koreksi Maya. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipi merah putranya, "Aku ingin memeluknya."
Masumi melempar pandangannya pada Amamiya yang masih mengamati mereka. Amamiya mengangguk seraya tersenyum. Masumi pun membaringkan putranya dalam pelukan Maya, "Dia tampan, seperti dirimu," kata Maya.
"Matanya bulat seperti matamu," Masumi tersenyum senang.
Maya kemudian mengamati suaminya yang masih tenggelam dalam kebahagiaannya. Mata Maya berkedip beberapa kali, memastikan bahwa matanya tidak salah.
"Sayang, apa sejak tadi kau seperti itu?" Maya menunjukkan jarinya.
"Eh?!" Kening Masumi berkerut heran lalu mengamati dirinya sendiri. Matanya melebar dengan terkejut, Masumi merasakan wajahnya memanas.
"Aku, aku baru saja selesai mandi tadi," kata Masumi setengah berbisik. Kelelahan Maya tersapu dalam sekejap. Maya menunduk melihat putranya yang masih terlelap, "Kau lihat sayang, gara-gara kau ayahmu sampai lupa memakai bajunya."
Mengabaikan dokter juga para perawat di sekeliling mereka, Maya dan Masumi justru tertawa dalam kebahagiaan.
***
Masumi duduk di sebelah tempat tidur Maya. Mengamati istrinya yang yang tertidur karena kelelahan dengan proses sakit melahirkan yang baru saja dilaluinya. Dia kemudian melayangkan pandangannya ke sudut lain ruangan dimana Eisuke dengan wajah tua penuh kebahagiannya menggendong putranya ditemani oleh Asa, Naoko dan Harada. Masumi tersenyum, meraih tangan Maya, dia memberikan sebuah kecupan sayang dipunggung tangan istrinya.
"Hai sayang," sapa Masumi lembut saat mata bulat Maya terbuka dan menatapnya.
"Hai," Maya mengembangkan senyumnya. Matanya kemudian berputar, melihat keributan di sudut kamarnya. "Ayah terlihat senang sekali." Gumamnya.
Sebuah kecupan di punggung tangan Maya membuatnya kembali menatap suaminya.
"Terima kasih," ucap Masumi.
"Untuk apa?"
"Untuk putra kita. Juga untuk semua kebahagiaan yang sudah kau berikan untuk keluarga Hayami. Ini adalah kado ulang tahun terindah yang pernah ku terima sepanjang hidupku."
Maya tersenyum. Dia bergerak bangun, matanya mengerat ketika merasakan nyeri pada bagian bawah tubuhnya.
"Hati-hati sayang," Masumi memperingatkan. Diapun membantu Maya untuk duduk dengan posisi yang lebih nyaman.
"Lebih baik?" Tanya Masumi. Maya mengangguk.
Bangunnya Maya mengalihkan perhatian semuanya. Eisuke menghampiri tempat tidur Maya dengan tawa bahagianya.
"Maya, terima kasih Maya. Kau sudah melengkapi kebahagiaan orang tua ini. Selamat untuk kalian berdua dan juga selamat untukku sendiri yang sekarang menjadi seorang kakek." Perkataan Eisuke membuat semuanya tertawa.
"Selamat Tuan, Nyonya," ucap Asa, Harada juga Naoko.
"Terima kasih," Maya melebarkan senyumnya.
"Oh ya, siapa nama cucu tampanku ini?"
Maya dan Masumi saling berpandangan lalu melihat putra tampan mereka dalam gendongan Eisuke.
"Ryoichi," jawab mereka bersamaan.
***
7 tahun kemudian.
Masumi duduk dengan kening berkerut menatap putranya yang tampak serius di meja kerja yang tidak jauh dari tempatnya.
"Apa kau tidak bosan Ryo?" Menyangga kepala dengan kepalan tangannya, Masumi menggeleng dengan keseriusan putranya.
"Apanya yang bosan Ayah? Laporan kerja Daito selalu menyenangkan untuk di baca." Jawabnya tenang. Mata bulatnya memandang ayahnya sejenak lalu kembali fokus membaca.
Sebuah ketukan pintu terdengar, sang sekretaris muncul dari balik pintu.
"Ini kopi anda Tuan Masumi dan ini coklat panas untuk anda Tuan Muda Ryo."
"Terima kasih Saeko," jawab Masumi yang langsung menikmati kopinya.
"Terima kasih Nyonya Hijiri," Ryo melempar senyumnya untuk mempertegas ucapan terima kasihnya.
"Tuan Masumi, mengenai laporan produksi divisi kesenian Daito bulan lalu apakah sudah selesai anda periksa?" Tanya Saeko.
Masumi menghela napas, meneguk kopinya lagi seraya menunjuk dengan matanya dimana laporan yang ditanyakan oleh sekretarisnya itu.
"Oh itu, aku sedang membacanya Nyonya Hijiri," sela Ryo.
Mizuki langsung melihat dokumen yang terbuka di meja Ryo.
"Aku sudah membacanya dan sekarang sedang mempelajarinya. Secara garis besar memang semua produksi divisi kesenian Daito sangat menguntungkan. Tapi secara detail aku lihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya seperti promosi Girl Band Fairy yang menghabiskan biaya cukup besar, aku rasa itu tidak perlu. Mereka sudah mencapai batas popularitasnya, tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar ini untuk mempromosikan mereka. Bukankah lebih baik kalau dana itu di alokasikan untuk pengorbitan Girl Band baru? Itu akan lebih menguntungkan. Dan juga ini-," Ryo menatap ayahnya dan Saeko lalu menggeleng.
"Teater Undine, semua drama di sana dipentaskan oleh aktris dan aktor hebat kelas atas. Bahkan drama yang dipentaskan juga adalah drama-drama bagus yang menelan biaya produksi besar tapi kenapa Teater Undine hanya berada di peringkat dua? Bahkan di kompetisi tingkat Nasional kita juga tidak meraih juara. Bukankah juara dua itu memalukan untuk Daito?" Wajah Ryo tertekuk kesal.
Masumi tertawa dengan penuturan putranya sedangkan Saeko hanya bisa menggeleng geli melihat anak usia tujuh tahun menceramahinya.
"Kau kan tahu kenapa Teater Undine tidak bisa berada di peringkat satu Ryo," kata Masumi.
Ryo mengetuk-ngetukkan jari kecilnya di pelipis, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat, "Ah iya, Teater Niji. Aku masih heran dengan hal itu."
"Itu teater milik Nyonya Maya, Ibu anda, apa yang aneh Tuan Muda? Anda sendiri tahu bagaimana hebatnya Ibu anda dalam melatih aktris dan aktor." Jawab Saeko.
Masumi hanya tersenyum sambil menikmati kopinya.
"Apa anda berniat mengalahkan Teater Niji Tuan Muda?" Seringai tipis menghiasi bibir Saeko.
"Tentu saja." Jawab Ryo cepat.
"Hah?" Mulut Saeko menganga seketika dan Masumi langsung tersedak kopinya.
"Apa yang salah?" Komentar Ryo. "Di rumah memang dia Ibuku tapi di dalam dunia bisnis, teaternya tetap saingan kita." Jawab Ryo santai.
Saeko dan Masumi saling berpandangan.
Ryo kembali menggumamkan strateginya, "Ibuku itu tidak begitu pandai dalam manajemen tapi teaternya selalu mengalahkan teater kita. Malam ini, aku akan menanyakan pada Ibu bagaimana caranya dia bisa mengembangkan teater Niji hingga terus menerus menjadi peringkat satu."
Masumi menepuk keningnya seraya terbahak.
"Tidakkah menggelikan Tuan? Putra anda itu," Saeko melipat tangannya dengan kesal.
"Dia akan membuatku pensiun dini," jawab Masumi.
Ryo menatap ayahnya dan Saeko bergantian lalu tersenyum, "Aku hanya bercanda Nyonya Hijiri. Aku memang akan mewarisi Daito dan posisi ayahku tapi aku tidak berniat mewarisi predikat ayahku. Direktur dingin dan gila kerja," Ryo tertawa sambil memberikan laporan kerjanya pada Saeko.
"Rasanya anda mendapat saingan berat kali ini Tuan Masumi."
Masumi tertawa, "Aku tidak keberatan Saeko."
"Apa anda benar-benar sudah memeriksa laporan ini Tuan?" Tanya Saeko kemudian.
"Aku sudah membaca dan menandatanginya Saeko. Ryo hanya membacanya tadi." Jawab Masumi.
"Baiklah kalau begitu saya permisi. Ini sudah melebihi jam kerja saya."
Ryo langsung merapikan mejanya begitu Saeko keluar, "Ayo ayah, kita harus cepat berangkat. Aku tidak mau terlambat."
Masumi tersenyum, "Baiklah."
Keduanya berjalan beriringan keluar dari kantor.
"Saya sudah minta Fujiwara menyiapkan mobil," kata Saeko begitu melihat Masumi dan Ryo keluar.
"Terima kasih Saeko,"
Saeko mengangguk hormat mengantar kepergian bosnya, kening Saeko berkerut saat tiba-tiba Ryo berhenti di depannya.
"Ada apa Tuan Muda?" Tatapan mata Ryo membuat Saeko siaga. Tuan mudanya itu pasti akan melancarkan serangan lain dengan mulut pintarnya.
"Jam kerja sudah selesai jadi aku akan berpesan sebagai keponakanmu. Bibi Saeko, cepatlah pulang, Paman Kataro sudah menunggumu di rumah,"
Masumi tertawa dan segera menarik putranya pergi sebelum Saeko memarahinya.
"Ryo!"
***
Gedung pertunjukan Daito terlihat begitu ramai. Puluhan karangan bunga sudah memenuhi lobi dengan nama Maya terangkai di sana. Tentu saja karangan bunga paling besar dan paling mencolok adalah rangkaian bunga mawar ungu.
Kening Ryo berkerut begitu melihat karangan bunga yang tingginya mencapai tiga kali tinggi badannya itu. Dia menatap buket bunga mawar merah di tangannya yang tadi di belinya ketika dalam perjalanan. Rasanya aneh melihat buket bunganya setelah melihat bunga raksasa di depannya.
"Ayah, apa ini tidak terlalu berlebihan?" Bisiknya.
"Apanya?" Masumi menoleh bingung pada putranya.
"Bunga itu, mawar ungu. Sebesar itu, apa tidak terlalu berlebihan?" Ryo menunjuk bunga raksasa yang sekarang menjadi pusat perhatian para tamu yang datang. Dia tahu itu bunga dari ayahnya. Hanya ayahnya yang selalu memberikan bunga mawar ungu untuk ibunya.
"Tentu saja tidak. Ini adalah penampilan Bidadari Merah setelah sembilan tahun, apanya yang berlebihan? Kalau saja diijinkan, ayah akan memenuhi lobi ini dengan mawar ungu." Jawab Masumi santai. Matanya juga menikmati bunga raksasa yang dirangkai indah dengan nama istrinya.
Ryo masih menatap ayahnya dengan heran, baru saja dia akan bertanya tapi manajer gedung menyelanya.
"Selamat datang Tuan Hayami dan Tuan Muda," sang menejer membungkuk hormat pada keduanya.
Masumi mengangguk, begitu juga Ryo yang membungkuk memberi salam.
"Silakan Tuan, kursi anda sudah di siapkan," katanya kemudian.
"Ayo Ryo,"
"Ya Ayah,"
Keduanya berjalan berdampingan. Ryo melayangkan matanya ke loket dan berdecak karenanya.
"Ibuku memang luar biasa." Gumam Ryo seraya menggeleng melihat barisan panjang di depan loket.
"Masih berniat mengalahkan Ibumu?" Celetuk Masumi.
Ryo menggaruk kepalanya seraya meringis lebar, "Aku kan hanya bercanda Ayah."
Masumi tersenyum melihat putranya. Sang menejer membawa mereka ke barisan kursi VVIP, tempat paling strategis untuk menikmati pertunjukan panggung.
"Hati-hati bunganya," Masumi memperingatkan putranya yang baru saja duduk. Tangan kiri Ryo memeluk buket bunga mawar merah. Ryo jadi teringat pertanyaannya yang tertunda tadi.
"Ayah, kenapa Ibu suka sekali mawar ungu tapi hanya boleh Ayah yang memberikannya?" Ryo memiringkan kepala seraya berbisik pada ayahnya.
"Kenapa kau tidak tanya pada Ibu?" Masumi justru balik bertanya.
"Aku sudah tanya seratus kali pada Ibu dan Ibu juga seratus kali menjawab dengan kalimat yang sama, 'Ibu akan menceritakannya kalau kau sudah dewasa',"
Masumi menahan dirinya untuk tidak tertawa, "Dan apa sekarang kau sudah merasa dewasa?"
Ryo mendengus pada ayahnya, "Sampai aku tua nanti juga Ayah dan Ibu tidak akan menganggapku dewasa,"
Masumi tertawa pelan melihat putranya yang kesal. Ryo memang pintar dan lebih dewasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Daripada bermain dengan teman sebayanya, Ryo lebih suka menghabiskan waktu di kantor bersama ayahnya. Alasannya, dia merasa bertanggung jawab sebagai penerus keluarga Hayami. Kalau dipikir lagi dia memang sangat mirip dengan Masumi kecil hanya saja Ryo belajar atas dasar kerelaan bukan paksaan.
Ryo banyak menuruni sifat Maya yang berani dan banyak bicara juga keras kepala tapi secara fisik dan kepintaran dia seperti duplikat ayahnya. Meski masih berusia tujuh tahun dia memiki aura yang kuat sebagai penerus keluarga Hayami.
"Ayah, sepertinya Daito harus membangun gedung pertunjukan yang lebih besar untuk Ibu,"
Perkataan Ryo membuat Masumi ikut-ikutan menoleh ke belakang seperti putranya. Benar saja, banyak penonton yang rela berdiri untuk menonton Maya.
"Ini pementasan Bidadari Merah, tidak heran gedung ini jadi penuh sesak." Jawab Masumi.
"Aku jadi semakin penasaran dengan Bidadari Merah. Seperti apa Ibu akan memerankannya? Apakah benar yang di katakan kakek dulu bahwa mereka bahkan lupa tepuk tangan dan merasa berada di alam lain bahkan setelah tirai panggung tertutup?" Tanya Ryo lagi.
"Iya itu benar. Kau beruntung bisa melihatnya sekarang. Andai kakekmu masih hidup dia pasti akan sangat bahagia." Masumi mengulas senyum. Terbesit kerinduan dalam hatinya pada sosok ayahnya yang meninggal dua tahun lalu itu. Tapi Masumi lega dengan melihat Ryo, setidaknya ayahnya itu sudah melihat cucu laki-lakinya dan meninggal dalam lingkupan kasih yang melimpah dari sebuah keluarga bersamanya juga Maya.
Seruan dari pengeras suara bahwa pentas akan dimulai mengalihkan perhatian Masumi. Ryo menatap tegang tirai panggung yang masih tertutup.
"Apa yang ibu lakukan sampai kita tidak boleh menemuinya sebelum pentas?" Tanyanya seraya melirik pada ayahnya.
Masumi menyeringai tipis, "Ibu hanya ingin menyiapkan dirinya, itu saja."
Ryo hanya mengangguk-angguk. Matanya kemudian kembali terpaku pada tirai yang perlahan mulai dibuka. Suara kotsuzumi -sejenis gendang kecil- menggema memenuhi ruangan. Ryo terkesiap ketika merasakan suasana panggung bahkan tribun penonton berubah seketika. Sunyi. Semua mata tertuju ke panggung, memandang tanpa berkedip pada sosok wanita yang berdiri dengan gaun merah. Seorang dewi. Sang Bidadari Merah.
Ryo menganga tanpa ingat menutup mulutnya.
Itu bukan Ibu. Jantung Ryo berdegub seirama dengan tarian yang dibawakan oleh sang Bidadari.
Inikah pentas Bidadari Merah? Atau Ibuku memang benar seorang dewi?
Masumi pun sudah melupakan dunianya. Yang ada di depannya saat ini hanyalah Bidadari Merah.
Bidadariku....
***
Tirai panggung tertutup. Ryo bergeming dengan air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tidak hanya dia, seluruh penonton juga bergeming. Mereka yang berdiri bahkan mematung, melupakan dunia mereka dan terhisap dalam pesona Akoya.
Tirai kembali terbuka, Maya muncul kembali dengan memukul kotsuzumi. Suara nyaring yang menggema itu seolah mematahkan mantranya. Masumi menjadi orang pertama yang melakukan standing ovation, disusul gemuruh membahana dari seluruh penonton yang menggelegar memenuhi gedung pertunjukan. Masumi teringat putranya dan langsung menoleh pada Ryo yang masih menangis di kursinya. Masumi tersenyum, memahami apa yang dirasakan putranya. Diapun membungkuk, mengusap lembut kepala Ryo dan berbisik di telinganya.
"Bunga untuk Ibu,"
Ryo segera menyadari tugasnya. Dia mengangguk, dengan cepat menyeka air matanya dan berjalan turun dari tribun penonton, berjalan ke arah panggung.
Senyum Maya mengembang begitu melihat putra semata wayangnya datang. Mengulurkan bunga, Ryo memberikan kecupan dan pelukan sayang untuk Ibunya. Air matanya kembali mengalir.
"Ibu luar biasa." Pujinya.
"Terima kasih sayang,"
Gemuruh tepuk tangan masih menggema bahkan setelah tirai panggung tertutup. Maya mengusap lembut rambut lebat putranya seraya tersenyum senang.
"Ryo, kau datang juga rupanya. Bagaimana pertunjukannya?" Tanya Koji di belakang panggung setelah dia dan Maya selesai dengan ucapan selamat dari semua pemain dan para kru.
"Luar biasa Paman Koji. Aku bahkan lupa kalau aku sedang melihat sebuah pertunjukan." Jawab Ryo penuh semangat.
Maya tertawa.
"Benar Ibu. Aku merasa benar-benar melihat Bidadari tadi," kata Ryo pada Ibunya.
"Begitukah? Senangnya, terima kasih sayang," ucap Maya.
"Ibumu memang Bidadari Ryo,"
Ketiganya langsung menoleh dan melihat Masumi yang datang bersama Kuronuma. Senyum Maya kembali mengembang begitu Masumi menghampirinya dan memberikan kecupan di keningnya.
"Kau luar biasa," pujinya.
"Terima kasih," Maya tersipu.
Ryo membungkuk memberi hormat pada Kuronuma.
"Kau kagum pada Ibumu Ryo?" Tanya Kuronuma.
"Aku adalah penggemar nomor satu Ibu, Paman Kuronuma," jawab Ryo mantap.
"Kau yakin? Ibumu sudah memiliki penggemar nomor satu sejak usianya tiga belas tahun. Kau penggemar nomor duanya," Kuronuma tertawa bersama Koji juga Maya dan Masumi.
Alis Ryo langsung bertaut heran dengan candaan yang tidak dia mengerti itu.
"Oh, sepertinya kau belum tahu tentang rahasia penggemar sejati Ibumu ya?" Koji menangkap alis Ryo yang bertaut. Anak itu menggeleng. Koji dan Kuronuma langsung memandang Maya dan Masumi.
"Banyak tragedi dalam kisah itu, aku akan menceritakannya setelah dia cukup dewasa," Maya berkilah. Ryo langsung cemberut karenanya.
"Sebaiknya kau segera bersiap sayang. Kau juga Koji. Pesta premier akan segera di mulai." Kata Masumi.
Keduanya mengangguk setuju dan segera pergi menuju ruang ganti masing-masing. Masumi meminta Rose menemani Ryo di ruang tunggu. Dia sendiri yang akan membantu Maya bersiap. Ryo menertawakan perintah ayahnya yang dianggapnya hanya sebuah alasan agar dirinya tidak mengganggu kedua orang tuanya yang sedang ingin berdua. Masumi menghadiahinya sebuah pukulan di kepala dan Ryo berhenti tertawa lalu menurut pergi bersama Rose dan Alex.
"Masumi, apa menurutmu Ryo bisa memahami kisah masa lalu kita jika aku menceritakan padanya sekarang?" Tanya Maya yang duduk di depan cermin meja rias dan menatap Masumi yang sibuk membantunya melepas hiasan rambutnya.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau merahasiakan semuanya dari Ryo. Kau tahu dia anak yang cerdas. Dia selalu bertanya padaku mengenai cerita mawar ungu." Jawab Masumi seraya melempar senyum pada istrinya melalui cermin.
Maya berdiri dan memutar tubuhnya menghadap Masumi sementara suaminya itu melepaskan kostum bidadarinya.
"Seperti yang ku katakan tadi, begitu banyak tragedi yang terjadi di masa lalu kita. Aku takut itu mempengaruhinya."
Masumi tersenyum, dia menangkap kekhawatiran itu dalam mata Maya. Berhenti sibuk dengan kostum Maya, Masumi membelai wajah istrinya yang meski sekarang sudah berusia kepala tiga tapi masih terlihat seperti remaja.
"Jangan khawatir, dia lebih dewasa dari yang kau perkirakan."
Sebuah kecupan di bibir Maya mengurai kecemasan di matanya.
"Pestaku hampir di mulai Tuan Hayami," Maya menyeringai pada Masumi yang menatapnya dengan provokatif.
"Kau lebih menyenangkan daripada pesta itu," Masumi mendorong kostum Maya hingga terjatuh di bawah kakinya. Meninggalkan tubuh polos Maya yang hanya mengenakan salah satu koleksi pakaian dalamnya yang berenda cantik.
Maya menutup mata Masumi dengan telapak tangannya dan segera berjalan menjauh setelah mengambil kostumnya di lantai.
"Jangan berpikir macam-macam," katanya sambil lalu.
Masumi tertawa, "Kau mematahkan semangatku, Nyonya,"
"Semangatmu muncul di saat yang tidak tepat Tuan. Kemarilah, bantu aku memakai gaun ini," perintah Maya setelah dia dengan cepat memakai gaun merah indah miliknya.
Masumi cemberut begitu melihat Maya tertutup rapat dengan gaunnya.
"Aku lebih suka melihatmu seperti tadi," goda Masumi.
"Ah, sejak kapan suamiku jadi mesum begitu?" Ejek Maya.
"Itu hanya karena aku sedang bersama istriku cantik di ruangan sempit yang membuatku semakin panas karena melihatnya dengan pakaian dalam berendanya." Masumi memeluk Maya dari belakang. Maya mencibir perkataan Masumi.
"Ku rasa aku akan mengijinkanmu meminum sampagne malam ini," bisik Masumi di telinga Maya dan istrinya itu segera tergelak dengan candaan Masumi.
Wajah Ryo langsung dihiasi seringai tipis begitu melihat kedua orang tuanya datang. Maya menyandarkan tangannya di lengan Masumi dan dengan posesifnya Masumi terus mengusap lembut tangan mungil istrinya.
"Nona Rose, aku masih heran kenapa sampai sekarang aku tidak memiliki adik padahal ke dua orang tuaku itu selalu saja menebar keromantisan di manapun mereka berada," kata Ryo dengan setengah berbisik pada Rose. Seketika tawa Rose meledak dengan cara yang tidak sopan.
"Ada apa?" Maya mengamati Rose yang lepas kontrol.
"Tidak, tidak apa-apa Nyonya," jawab Rose dengan masih menyisakan tawa di sela-sela ucapannya.
"Ayo Ayah, Ibu, semua sudah menunggu." Ryo berlalu begitu saja dan Rose bergegas mengikutinya. Masumi mengendikkan bahunya pada Maya yang menatapnya bingung. Keduanyapun berjalan menuju ballroom tempat pesta premier berlangsung.
Tepuk tangan meriah langsung menyambut kedatangan Maya dan Masumi. Ucapan selamat atas suksesnya pementasan Bidadari Merah terus berdatangan untuk Maya.
Masumi yang berdiri di sebelah Maya, mengamati binar bahagia di wajah istrinya. Senyumnya tidak berhenti mengembang. Istrinya itu terlihat begitu bersinar dan tak pernah berhenti membuatnya terpukau. Sungguh setiap hari dalam hidupnya, Masumi bersyukur memiliki Maya sebagai istrinya. Entah berapa banyak kebahagiaan yang sudah dicurahkan wanita mungil itu untuknya. Tak jauh dari tempatnya, Masumi melihat putra semata wayangnya, Ryo. Putranya itu begitu percaya diri berada di lingkungan sosial yang bahkan dulu selalu dibencinya. Tapi itu dulu, sekarang Masumi bersyukur berada di tempat ini bersama istri dan anaknya. Hidup melimpah dengan kasih sayang dan kedamaian.
Ayah, setelah sekian lama, bahkan sekarang kau sudah tiada, aku mengucapkan terima kasih telah menjadikanku bagian dari keluarga Hayami. Terima kasih ayah.
"Sayang, kau tidak apa-apa?"
Maya menyentakkan suaminya dari lamunan panjangnya. Masumi terkejut ketika Maya mengulurkan sapu tangan ke sudut matanya.
"Apa kau teringat ayah?" Tanya Maya lembut. Masumi baru menyadari kalau dirinya menangis.
"Kau tahu," jawab Masumi. Matanya berputar mengamati sekelilingnya, kalau-kalau ada yang melihat dirinya menangis.
"Aku istrimu, tentu saja aku tahu. Selain aku, hanya ayah yang bisa membuatmu meneteskan air mata. Tapi kita sedang tidak dalam masalah sekarang jadi aku menduga kau pasti merindukan ayah,"
Masumi tersenyum dan mengecup kening istrinya, "Kau yang terbaik sayang." Masumi memuji ketajaman insting Maya.
Ryo datang menyela obrolan keduanya. Tiba-tiba saja putranya itu mengulurkan tangannya.
"Berdansalah denganku Bu," pintanya dengan senyum manis yang tidak bisa ditolak Maya.
Masumi menautkan alis pada putranya yang hanya di balas kerlingan mata oleh Ryo.
"Dia hanya putramu, bersabarlah," kata Maya sambil berlalu bersama putranya.
Keduanya turun ke lantai dansa diiringi dengan tepuk tangan para tamu. Meski masih berusia tujuh tahun tapi Ryo sudah setinggi bahu Maya.
"Kau sangat menyukai pesta ya, sama seperti ayahmu." Kata Maya seraya mengikuti langkah kaki putranya yang seirama dengan musik yang mengalun indah.
"Aku menyukai pesta Bu tapi tidak dengan ayah. Dia hanya menikmatinya saat bersama Ibu." Jawab Ryo.
Maya melayangkan pandangannya pada Masumi yang sedang mengobrol dengan beberapa tamu. Masumi mengangkat gelasnya dengan senyum indah begitu mata mereka saling berpaut.
"Benar kan? Bahkan saat bersama tamu lainnya, Ayah hanya memperhatikan ibu," Ryo menggeleng sendiri dengan perkataannya.
Maya terkikik, "Dan kau sendiri, kenapa begitu menyukai pesta?" Tanya Maya mengalihkan perhatian putranya sebelum Ryo menyerangnya lagi dengan mulut pintarnya.
"Karena aku putra ayah dan ibu, penerus keluarga Hayami. Apalagi?" Ryo menatap ibunya.
"Apa menjadi putra kami membuatmu terbeban?" Tanya Maya.
Ryo tertawa dengan cara yang sopan, "Ibu bercanda? Berapa banyak anak di luar sana yang ingin terlahir seperti aku? Putra Komisaris Daito Group dan Aktris Internasional pemenang piala Academy Award juga cucu dari pemilik ACA Group, bodohnya aku kalau tidak bersyukur dengan itu."
Maya tersenyum, "Jangan tinggi hati,"
"Tidak Bu. Orang tinggi hati tidak akan pernah bisa berada di atas, itu yang kakek katakan padaku," jawab Ryo.
Maya terdiam mengamati putranya, apa yang dikatakan Masumi memang benar. Sudah saatnya dia menceritakan kisah masa lalunya. Ryo akan belajar banyak dari itu semua.
"Tapi sebenarnya aku takut," lirih Ryo kemudian.
"Takut?"
"Aku takut tidak bisa menjadi putra yang membanggakan untuk Ayah dan Ibu, untuk keluarga Hayami juga untuk keluarga Anderson,"
Maya mengangkat wajah putranya yang tertunduk dan menatapnya lekat, "Kau tahu Ryo, kau tidak akan pernah bisa memenuhi semua harapan kami."
Alis Ryo bertaut. Keduanya masih bergerak mengikuti irama musik meski obrolan mereka semakin dalam.
"Kau akan lelah sendiri pada akhirnya kalau hanya berusaha membanggakan kami. Jadilah dirimu sendiri sayang. Buatlah kami bangga dengan apa yang ada padamu. Bukan karena kau adalah pewaris Hayami atau karena kau adalah cucu konglomerat Anderson, tapi karena kau adalah Ryoichi, putra Maya dan Masumi."
Ryo terdiam ketika Maya memeluknya.
"Maukah kau mendengar sebuah cerita Ryo?" Tanya Maya setelah melepaskan pelukannya. Ryo mengangguk.
"Tapi mungkin akan sedikit lama, jadi kita akan berdansa dua lagu bagaimana?"
Ryo menyeringai, "Aku tidak setua Ayah jadi aku rasa aku sanggup memenuhinya."
Maya tertawa mendengarnya. Keduanya kembali berdansa dan Maya mulai bercerita.
***
"Ryo terlihat berbeda setelah pesta. Apa yang kau bicarakan dengannya? Kalian bahkan berdansa sampai tiga lagu," Masumi merangkak naik ke atas tempat tidur dan memandang Maya yang bersandar pada bantal. Duduk di sebelah Maya, Masumi merentangkan tangannya dan Maya langsung bersandar pada pelukan suaminya.
"Kisah masa lalu Maya Kitajima dalam versi singkat." jawab Maya seraya tersenyum.
"Oh, jadi kau sudah menceritakan padanya?"
Maya mengangguk. Masumi mengecup puncak kepala istrinya dengan sayang. Sebuah ketukan pintu menyela obrolan mesra keduanya. Itu suara Ryo.
"Masuk sayang," seru Maya.
Keduanya bergeming di tempat tidur. Ryo sudah biasa melihat keromantisan orang tuanya. Ryo masuk dengan sudah mengenakan piyamanya tapi wajahnya terlihat serius. Tiba-tiba dia membungkuk hormat di ujung tempat tidur ke dua orang tuanya. Maya menengadahkan kepalanya dan bertukar pandangan bingung dengan suaminya.
"Maaf aku mengganggu istirahat ayah dan ibu tapi ada hal penting yang ingin aku sampaikan malam ini." kata Ryo dengan nada serius. Kembali menegakkan tubuhnya, Ryo menatap lurus kedua orang tuanya.
"Mendengar apa yang diceritakan Ibu tadi membuatku banyak merenung. Ayah dan Ibu sudah melewati banyak hal untuk bisa pada titik ini. Mungkin saat ini aku masih berusia tujuh tahun dan belum mengerti sepenuhnya tapi aku sudah mengambil keputusan." Ryo menghela napas perlahan, "Mohon bimbingannya ayah, ibu, saat ini aku mungkin masih akan banyak merepotkan ayah dan ibu tapi aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin dengan sepenuh kekuatanku untuk menjadi seorang putra yang bisa membanggakan ayah ibu. Aku Ryoichi putra Masumi dan Maya, penerus keluarga Hayami."
Maya langsung melompat turun dari tempat tidur dengan mata berurai air mata, memeluk putranya.
"Kau ini, kata-katamu terlalu panjang untuk anak usia tujuh tahun," kata Maya.
Ryo hanya tersenyum lebar dan menyeka air mata ibunya. Sama seperti Masumi, Ryo juga tidak tahan melihat Maya menangis.
"Jadi tekadmu sudah bulat? Ayah tidak akan memaksamu jika kau memang tidak mau mengurus Daito." Masumi sudah berdiri di sebelah Maya dan menatap putranya yang sekarang terlihat begitu teguh dengan pendiriannya.
"Tidak ayah. Aku akan menjadi penerus ayah. Apa yang sudah kakek bangun selama ini juga apa yang sudah ayah dan ibu pertahankan, semuanya akan aku jaga. Termasuk juga Bidadari Merah. Aku akan melanjutkan untuk menjaganya." Ryo menatap ayahnya penuh keyakinan.
Maya kembali memeluk putranya, "Terima kasih sayang." dan Masumi memeluk keduanya dengan penuh rasa haru.
"Sudah Bu, jangan menangis lagi," kata Ryo.
Maya melepaskan pelukannya dan menatap putranya, dengan lembut Masumi merengkuh bahu Maya dalam pelukannya.
"Apa anakku ini salah makan sayang? Dia dewasa sebelum waktunya. Dulu saat aku seusianya aku hanya tahu tentang mie soba." kata Maya.
Ryo menepuk keningnya dan Masumi tertawa.
"Andai bukan Ibuku aku pasti tidak percaya kalau ibu yang menjadi Bidadari Merah tadi,"
Masumi sekali lagi memukul kepala putranya yang mengejek Maya, kali ini Maya yang tertawa.
"Maaf," gumam Ryo.
"Sudah sana kembali ke kamarmu. Ini sudah malam," kata Masumi pada putranya.
Menatap kedua orang tuanya bergantian, Ryo menghela napas, "Sebenarnya masih ada hal yang ingin aku sampaikan, lebih tepatnya aku ingin menyampaikan sebuah permintaan."
"Apa itu sayang?" tanya Maya.
"Ng, bisakah ayah dan ibu memberiku seorang adik perempuan? Rasanya menggelikan kalau aku harus menggoda ibu setiap hari. bukankah lebih menyenangkan kalau aku menggoda adik perempuanku?"
"RYO!!" seru Maya dan Masumi bersamaan dan putranya itu segera berlari keluar dari kamar dengan terbahak-bahak.
"Ya ampun, anak itu," Maya duduk di tepi tempat tidur dengan menggeleng geli atas sikap putranya.
Masumi yang sudah kembali duduk bersandar pada kepala tempat tidur menarik Maya untuk mendekat padanya.
"Kau terlihat senang suamiku?" Goda Maya.
"Tentu saja aku senang. Sekarang aku tidak harus pusing memikirkan siapa yang akan mengurusi Daito saat aku tua nanti. Ya, setidaknya aku lebih beruntung daripada ayah," jawab Masumi, "Aww!!" Masumi berteriak ketika Maya mencubit perutnya, "Sakit sayang," keluhnya dengan bibir menahan tawa.
"Apa yang ada di otak kalian, para pria di rumah ini, itu hanya Daito dan pekerjaan? Dasar!" dengus Maya.
Masumi menarik Maya kembali dalam pelukannya, "Kenapa kau jadi marah sayang. Aku bercanda."
Maya mencibir suaminya.
"Tapi kalau dipikir lagi perkataan Ryo ada benarnya juga," kata Masumi.
"Apa? Daito lagi?" dengus Maya.
Masumi menggeleng, "Bukan sayang tapi tentang permintaannya tadi,"
"Eh?"
Masumi tersenyum jahil pada istrinya, "Aku rasa aku akan mencoba memenuhi permintaannya."
"Apa sih maksudmu? Kalau soal anak, bukankah kita juga sudah berusaha. Kau pikir, bagaimana caranya kita bisa memenuhi permintaan Ryo sekarang?"
"Tentunya dengan melepaskan gaun tidur ini dari tubuhmu sayang. Ku rasa semangatku sudah kembali," goda Masumi yang kemudian mendorong Maya jatuh terlentang di tempat tidur lalu menarik ujung gaun tidurnya.
"Masumi!!!"
***
-END-
-With love from Agnes-
Masumi melepaskan genggaman tangannya pada Maya dan menangkap tubuh mungil yang jatuh terengah di dadanya. Kepala Maya naik turun seirama dengan napas Masumi. Perlahan Masumi berguling dengan masih berada di dalam Maya, membalikkan posisinya dan membaringkan istrinya dengan lembut.
Masumi menatap Maya yang tersenyum seraya mengatur napasnya.
"I love you," bisik Masumi lagi dan dia mulai bergerak perlahan. Maya melingkarkan tangannya di leher Masumi mencari sesuatu untuk di cengkeramnya hingga menemukan rambut lebat suaminya. Kuku-kuku Maya mengerat kuat di bahu kokoh suaminya dan mencengkram rambut lebatnya seiring dengan hentakan Masumi ke dalam tubuhnya. Semakin lama keduanya bergerak semakin keras dengan ritme yang selaras.
"Oh sayang, kau milikku," Masumi mendesis di sela-sela giginya saat merasakan Maya terlepas di bawahnya.
"Masumiiii," Maya menjerit ketika dirinya mencapai puncak kenikmatan bersama dengan suaminya.
"Mayaku." Masumi mendesah dengan suara lembut. Segera dia menyangga tubuhnya dengan kedua sikunya sebelum dia jatuh menindih Maya.
Air mata mengalir di kedua sudut mata Maya akibat kebahagiaan yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Segera, Maya terlelap dalam pengaruh alkohol dan kenikmatan yang baru saja di capainya.
Masumi mengatur napasnya, meredakan getaran dalam dirinya. Perlahan dia menarik dirinya keluar, menyapukan sebuah kecupan hangat di kening dan kedua mata Maya yang basah. Terakhir, sekali lagi dia mengulum lembut bibir istrinya yang tengah terlelap.
"Terima kasih sayang,"
Berbaring di sisi istrinya, menarik selimut menutupi tubuh polos keduanya, Masumi juga terlelap dengan membawa Maya dalam dekapannya.
***
"Kepalaku sakit," Maya mengeluh lirih di dalam kamar mandi keesokan paginya. Beruntung itu adalah akhir pekan dan jadwalnya kosong.
"Pusing?"
Maya tersentak ketika Masumi tiba-tiba sudah berdiri di pintu kamar mandi. Maya mengangguk.
"Mabuk hanya karena dua gelas sampagne, sepertinya aku harus benar-benar menjauhkanmu dari alkohol." Masumi menghampiri istrinya yang masih mengenakan jubah mandi. Kali ini Masumi serius meski pengalamnnya semalam sungguh menyenangkan.
"Maaf," ucap Maya lirih, "Ugh," Maya menangkupkan kedua tangan di mulutnya.
"Hei, kau-,"
Belum selesai Masumi bicara Maya sudah membungkuk ke wastafel dan memuntahkan isi perutnya.
"Kau sakit sayang?" kata Masumi, memegang kening Maya, hangat.
"Tidak. Aku baik-baik saja." Sanggah Maya.
"Aku akan telepon dokter Yamada." Masumi berkeras.
"Masumi! Aku baik-baik saja. Ini hanya karena minuman semalam." Protes Maya.
"Baiklah, kalau begitu cepat ganti baju, kita sarapan." Masumi menyerah. Terselip juga rasa bersalah dalam hatinya.
Maya mengangguk, melakukan apa yang diperintahkan Masumi.
"Selamat pagi ayah," sapa Maya dan Masumi pada Eisuke yang sudah duduk di meja makan.
"Selamat pagi Maya, Masumi. Semalam sepertinya kalian pulang larut," kata Eisuke.
"Iya Ayah, pestanya meriah dan istriku sangat menikmatinya semalam jadi kami terlambat pulang," jawab Masumi.
Maya mencubit paha Masumi di bawah meja karena menyindirnya. Masumi justru menggenggam tangan mungil itu di atas pahanya.
"Aku terlalu asik mengobrol dengan Ayumi dan teman-teman yang lain ayah," kata Maya membela dirinya sendiri. Dia kemudian menoleh pada Masumi dan cemberut padanya, "Lepaskan," desisnya.
Masumi tersenyum geli dan melepaskan tangan Maya karena para pelayan sudah membawakan sarapan mereka. Aroma harum tercium dari sop miso yang dihidangkan di meja tapi Maya justru merasa mual karenanya. Dengan cepat Maya beranjak dari kursinya dan berlari ke kamar mandi.
"Maya?" Masumi terkejut.
"Kenapa Maya?" Tanya Eisuke sama terkejutnya.
"Dia minum sampagne semalam," jawab Masumi yang kemudian mengejar Maya.
"Ya, itu cukup menjelaskan." Gumam Eisuke. Dia jelas masih ingat Maya yang pingsan di hari pernikahannya karena minum sake. "Harada, tanyakan pada Maya apa yang diinginkannya untuk sarapan dan minta Misae segera membuatkannya." Perintah Eisuke.
"Baik Tuan," Harada meninggalkan ruang makan dan menemui Maya.
Sementara itu di kamar mandi yang tidak jauh dari ruang keluarga, Maya terlihat kepayahan.
"Kau yakin tidak apa-apa?" Tanya Masumi cemas melihat Maya yang tiba-tiba pucat.
"Iya. Aku akan ingat untuk lain kali tidak menyentuh apapun itu yang berbau alkohol. Menyebalkan." Gerutu Maya. Kedua tangannya menyangga tubuhnya di wastafel.
Masumi meraih handuk dan memberikannya pada Maya. Diapun berjalan keluar dengan berpegangan pada lengan Masumi.
"Maaf Nyonya, Tuan Besar meminta saya menanyakan apa yang anda inginkan untuk sarapan pagi ini?" Kata Harada ketika Masumi mendudukkan Maya di ruang keluarga.
"Sepertinya aku tidak ingin makan." Jawab Maya.
"Mana bisa seperti itu? Kau harus makan. Katakan, kau mau makan apa?" Kata Masumi tidak setuju.
Maya menggeleng, "Aku benar-benar tidak ingin makanan tapi rasanya aku ingin minum jus stawberry sekarang."
Masumi mengalihkan pandangan pada Harada, "Tolong buatkan Bi dan siapkan juga roti bakar dengan selai stawberry." Perintahnya.
"Baik Tuan."
"Tidak biasanya kau mau minum jus pagi-pagi." Masumi menatap heran istrinya.
Maya mengendikkan bahu, "Entahlah, mungkin karena mual ini. Aku hanya ingin sesuatu yang segar sekarang."
Hari beranjak siang. Masumi sedang mengurus pekerjaan di ruang kerjanya. Mizuki datang dan membawa beberapa dokumen penting yang harus di tanda tangani. Alhasil Maya jadi menyibukkan diri di taman belakang. Di temani Harada, Maya memetik bunga di taman untuk dirangkai di kamarnya. Mawar ungunya sudah mekar dengan indah. Masumi sengaja meminta tukang kebun untuk membuat taman khusus bunga mawar ungu untuk Maya.
"Hati-hati durinya Nyonya." Harada memperingatkan.
"Iya Bi." Maya menggunting setangkai mawar lagi dan meletakkannya di keranjang. "Sepertinya sudah cukup." Maya melihat keranjangnya sudah terisi bunga cukup banyak. Maya membungkuk untuk mengambil keranjangnya tapi tiba-tiba dia merasa sekelilingnya berputar. Harada menjerit saat Maya jatuh tidak sadarkan diri.
Sementara itu, Masumi dan Mizuki baru saja keluar dari ruang kerja.
"Kirim email padaku untuk laporannya," perintah Masumi sambil menutup pintu.
"Baik Tuan," Mizuki mengangguk hormat.
Suara derap kaki di lorong mengalihkan perhatian keduanya.
"Ada apa Naoko?" Masumi menyipitkan matanya pada pelayan yang sekarang terengah-engah di depannya.
"Nyo-, maaf Tuan," Naoko membungkuk dalam, "Nyonya pingsan di halaman bel-," belum selesai Naoko bicara, Masumi langsung pergi meninggalkannya dengan wajah cemas.
Fujiwara menggendong Maya menaiki tangga teras belakang saat Masumi muncul.
"APA YANG TERJADI?" Bentak Masumi marah. Dengan cepat dia merengkuh Maya yang tidak sadar ke dalam pelukannya dan segera berlari ke kamar. Mizuki, Harada dan Naoko mengikutinya.
"Naoko, telepon Dokter Yamada." Perintah Masumi.
Bibi Harada memberikan minyak aromaterapi pada Masumi.
"Apa yang terjadi Bi?" Tanya Masumi dengan masih fokus menyadarkan Maya.
"Maafkan saya Tuan. Nyonya sedang memetik bunga dan sama sekali tidak mengeluh apapun pada saya. Tiba-tiba saja Nyonya pingsan." Jelas Harada.
"Apa Nyonya sakit Tuan?" Tanya Mizuki.
Masumi menggeleng, "Sejak pagi dia memang pusing dan terus merasa mual tapi ku pikir itu karena semalam dia mabuk." Masumi tidak dapat menyembunyikan kecemasannya, matanya menyiratkan ketakutan karena Maya tak juga bangun.
"Sayang, sadarlah," lirih Masumi seraya mengusap sisi wajah istrinya, "Maya," panggilnya lagi.
Maya masih belum juga sadar. Masumi meraih tangan Maya, dingin.
"Tangannya dingin sekali," gumam Masumi terkejut. Dia menaikkan selimut sampai ke dada Maya dan memasukkan tangannya ke bawah selimut. Mizuki dan Harada hanya bisa diam di ujung tempat tidur.
"Maya sayang," panggil Masumi lagi. Maya masih saja tak bergerak.
"Tuan, apa tidak sebaiknya kalau Nyonya langsung di bawa ke rumah sakit? Wajah Nyonya pucat sekali." Mizuki menyarankan.
Masumi menoleh pada Mizuki.
"Tuan," Naoko masuk dengan tergesa, "Dokter Yamada sedang melakukan operasi, jadi beliau tidak bisa segera datang."
Masumi tertegun sejenak kemudian beralih memandang istrinya yang memang terlihat pucat.
"Ungg," Maya melirih. Bola mata Maya bergerak-gerak, kelopak matanya terbuka.
Desahan napas lega terdengar dari ketiganya.
"Syukurlah kau sudah sadar," Masumi memeluk dan mencium kening Maya.
"Masumi...aku kenapa?" Maya merasa bingung karena terbangun di kamar.
"Maya kau pingsan, apa yang kau rasakan? Katakan dimana yang sakit?" Tanya Masumi lembut.
"Pingsan?" Maya memutar mata dan melihat Mizuki dan Harada di ujung tempat tidur.
"Aku...aku tidak tahu, tiba-tiba rasanya pusing," aku Maya.
"Kita akan ke rumah sakit." Kata Masumi kemudian.
Maya berkedip menatap suaminya, "Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit."
Masumi menatap Maya dalam diam.
"Ku mohon, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku baik-baik saja, hanya...,"
"Hanya apa?"
"Hanya perlu istirahat. Ini pasti karena aku semalam mabuk dan kurang tidur." Maya beralasan.
Masumi menghela napas panjang.
"Naoko, tolong buatkan teh untuk Maya. Bibi temani Maya sebentar," kata Masumi. Dia mengusap kepala Maya, "istirahatlah."
Maya tersenyum dan mengangguk senang karena Masumi tidak memaksanya untuk pergi ke rumah sakit.
"Mizuki, ikut aku," Masumi keluar dari kamar.
"Permisi Nyonya, semoga cepat sembuh," kata Mizuki sebelum mengikuti Masumi.
"Anda yakin tidak apa-apa Tuan?" Tanya Mizuki.
"Kau tahu bagaimana Maya kan? Lebih baik ku biarkan saja dia istirahat sebentar. Nanti akan ku coba lagi membujuknya. Aku hanya takut kalau-kalau kondisinya kali ini berhubungan dengan efek racun yang pernah di minumnya. Itu sudah enam bulan yang lalu tapi tetap saja aku khawatir," terang Masumi.
Mizuki bisa memahami pemikiran Masumi. Bagi bosnya itu Maya adalah segalanya. Dia hanya bisa berharap semua baik-baik saja dan Maya hanya sakit karena mabuk. Diapun segera pamit pergi setelah mendengar beberapa instruksi bosnya.
Masumi segera kembali ke kamar. Keningnya berkerut ketika melihat Maya dan Harada sedang menata bunga di dalam vas bukannya beristirahat seperti apa yang diperintahkannya.
"Apa yang kau lakukan?"
Maya berbalik dan langsung tersenyum melihat suaminya. Harada langsung permisi keluar.
"Merangkai bunga, lihat Masumi, cantik kan?" Jawab Maya girang.
"Maksudku kenapa kau justru merangkai bunga bukannya istirahat. Biarkan pelayan yang melakukannya. Lihat wajahmu masih pucat." Masumi menarik Maya mendekat padanya, membelai wajah mungil istrinya.
Maya menarik tangan Masumi dan menggenggamnya di depan dadanya, "Aku tidak apa-apa. Percayalah."
"Pusing. Muntah. Pingsan. Apanya yang baik-baik saja? Ayolah Maya, kita pergi ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kesehatanmu." Bujuk Masumi.
"Kau terlalu khawatir. Aku sudah lebih baik. Sudah ku bilang itu karena aku mabuk semalam." Kata Maya.
"Bagaimana kalau bukan karena itu?" Tanya Masumi.
"Maksudmu?"
"Bagaimana kalau itu mungkin karena efek racun ars-,"
"Sstt," Maya melekatkan telunjuk mungilnya di bibir Masumi, "Kau takut?"
"Aku mengkhawatirkanmu sayang. Kalau sampai terjadi sesuatu padamu dan aku terlambat mengetahuinya, itu...Maya mengertilah. Banyak hal terjadi selama setengah tahun ini dan aku hanya ingin memastikan kau baik. Itu saja."
Maya menghela napas panjang. Maya memahami kekhawatiran suaminya. Masumi hanya ingin dirinya baik.
"Berjanjilah untuk tenang kalau aku pergi ke rumah sakit."
"Kau mau?"
"Hanya agar suamiku tenang dan tidak berpikir berlebihan."
Masumi langsung mendesah lega, "Kita pergi sekarang?"
"Besok?"
Masumi cemberut dan langsung meraih tangan Maya, "Tidak. Sekarang."
***
Maya dan Masumi terdiam dan memperhatikan reaksi tenang Yamada setelah Maya menceritakan gejala yang di alaminya.
"Jadi menurut anda itu hanya karena dua gelas sampagne?" Tanya Yamada kemudian.
Maya mengangguk, "Saya rasa begitu dokter."
"Yang saya takutkan adalah kemungkinan kondisi Maya berhubungan dengan efek racun enam bulan yang lalu dokter," Masumi menjelaskan ketakutannya.
"Baiklah, kita akan tahu apa penyebabnya setelah diperiksa. Silakan Nyonya Maya," Yamada mempersilakan Maya mengikutinya dan meminta Masumi untuk menunggu.
Maya masuk ke dalam ruang periksa dan seorang perawat membantunya berbaring.
"Tekanan darah anda rendah Nyonya, inilah kenapa anda merasa pusing." Jelas Yamada setelah perawatnya memeriksa tekanan darah Maya.
Yamada kemudian mengambil alat utrasonografi. "Tapi saya rasa mual anda bukan karena mabuk atau efek racun."
Maya hanya mengangguk dalam diam ketika Yamada mulai memeriksanya. Jujur, sebenarnya dia juga takut kalau dugaan Masumi benar. Dia sudah berusaha melupakan semua kejadian enam bulan yang lalu dan hanya bisa berharap semua baik-baik saja.
Masumi sendiri tengah menunggu dengan gelisah. Setelah enam bulan, ini pertama kalinya Maya terlihat tidak sehat. Itu membuatnya sangat khawatir. Masumi sepertinya memiliki trauma yang lebih dalam tentang semua kejadian buruk yang menimpa Maya dibandingkan dengan Maya sendiri.
Seorang perawat datang memanggil Masumi untuk masuk ke ruang pemeriksaan. Jantung Masumi serasa berhenti berdetak begitu melihat Maya yang masih duduk di atas tempat tidur menangis di balik telapak tangannya.
"Maya, kau kenapa?" Segera Masumi menghampiri istrinya dan memeluknya, "Dokter, apa yang terjadi dengan istri saya?" Tanya Masumi cemas.
"Maaf Tuan Masumi, mulai sekarang saya tidak bisa lagi menangani Nyonya Maya." Kata Yamada dengan tenang.
"Apa?" Masumi menautkan alis memandang Yamada dengan aneh, "Apa maksud anda dokter? Anda adalah dokter keluarga ka-,"
"Masumi...," sela Maya cepat. Dia menengadah menatap suaminya dengan mata masih berurai air mata.
Masumi miris melihat air mata Maya. Disekanya air mata itu dengan jari panjangnya. Yamada hanya tersenyum melihat Masumi yang begitu khawatir dengan kondisi istrinya.
"Aku hamil," kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Maya. Tangan Masumi membeku dan ekspresinya kosong.
"Kau...apa?" Tanya Masumi kemudian setelah diam beberapa saat, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya.
Air mata kembali lolos dari sudut mata Maya, "Aku hamil." Ulang Maya dengan suara yang semakin parau. Masumi baru menyadari, meski menangis tapi mata Maya jelas terlihat berbinar.
"Kau hamil? Aku, aku akan jadi...ayah?" Masumi hampir tersedak kebahagiaannya sendiri.
Maya mengangguk, kali ini senyumnya mengembang dan Masumi segera memeluknya. Menenggelamkan Maya ke dalam dadanya. Keduanya larut dalam kebahagiaan sampai tidak bisa berkata-kata lagi. Masumi bahkan meneteskan air matanya.
"Mulai sekarang dokter Amamiya akan membantu anda Nyonya Maya." Kalimat itu hanya disambut anggukan keduanya.
"Aku tidak percaya," gumam Masumi di mobil ketika keduanya dalam perjalanan pulang menuju kediaman Hayami.
"Aku juga," senyum Maya mengembang tanpa bisa di tahan, dia bahkan hampir menangis lagi.
Masumi membelai lembut perut Maya, "Anakku," gumamnya dengan penuh kebahagian.
"Anak kita," koreksi Maya.
Masumi tersenyum, mengecup pelipis Maya, "Ya, anak kita. Terima kasih sayang,"
Kehebohan langsung terjadi di rumah Hayami. Eisuke bahkan tertawa dengan kerasnya begitu mendengar berita kehamilan Maya.
"Aku akan menjadi kakek? Rasanya tidak percaya. Kau dengar Asa, aku akan menjadi seorang kakek," kata Eisuke senang.
"Iya Tuan Besar, selamat untuk anda. Selamat juga untuk Tuan dan Nyonya," ucap Asa pada Masumi dan Maya.
"Terima kasih Paman." Jawab keduanya.
Ucapan selamat juga diberikan oleh Harada dan semua pelayan yang turut berbahagia dengan berita itu. Clara dan Michael bahkan langsung menangis begitu Maya menelepon dan membagi berita kebahagiaan itu pada mereka.
Akhirnya kau berhasil juga Masumi.
Kalimat lancang itu diucapkan oleh Christ dan kali ini Masumi hanya tertawa keras tanpa berniat merutuk ucapan kakak iparnya itu.
"Semua orang bahagia hari ini." Kata Masumi. Bersandar di tempat tidur, Masumi memeluk Maya yang bersandar di dadanya. Malam itu, Maya dan Masumi belum juga bisa memejamkan mata karena semua euforia di rumah Hayami.
"Ya dan hari ini juga cukup melelahkan." Jawab Maya.
Kedua tangan Masumi yang melingkari pinggul Maya tertangkup di perutnya, membelainya dengan lembut.
"Nanti perutku akan semakin besar," kata Maya tiba-tiba.
"Tentu saja," sahut Masumi.
"Aku akan jadi gemuk," kata Maya lagi.
Masumi terkikik, "Apa maksud ucapanmu Maya? Apa kau tidak mau menjadi gemuk karena bayi kita?"
Maya menggeleng, "Bukan, mana mungkin aku begitu. Aku sangat senang akhirnya Tuhan menjawab doa kita dan aku bisa hamil lagi. Aku hanya merasa lucu membayangkan tubuh kecilku ini mengembang. Aku akan terlihat seperti bola,"
Masumi mengetukkan telunjuknya di kening Maya sambil tertawa keras, "Hentikan imajinasi konyolmu itu."
Maya ikut tertawa.
"Masumi, aku bahagia sekali," kata Maya setelah tawanya mereda.
"Aku juga sangat bahagia Maya. Kau dan calon bayi kita ini adalah harta paling berharga dalam hidupku."
Maya tersenyum senang dengan penuturan suaminya.
"Tidurlah, ini sudah malam," Masumi membelai kepala Maya dan mengecup keningnya. Membaringkan Maya di sebelahnya dan kembali memeluknya. Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas malam.
"Masumi," Maya bergumam dengan menyembunyikan wajahnya di dada suaminya.
"Hhmm," gumam Masumi yang sudah setengah terpejam.
"Aku ingin makan Taiyaki," bisik Maya.
Mata Masumi melebar seketika, "Ta, Taiyaki?"
"Hhmm,"
Maya meringis lebar ketika Masumi mengangkat wajahnya.
"Taiyaki ya?" Senyum geli Masumi tidak bisa di sembunyikan. Dia pernah mendengar tentang seorang istri yang ngidam ketika hamil tapi tak menyangka dirinya juga akan mengalami hal itu.
"Dan...," Maya berkedip malu.
"Oh ada lagi?"
"Ice cream coklat,"
Masumi tertawa saat wajah Maya berubah semerah kepiting rebus.
***
3 November, pukul enam pagi di kediaman Hayami. Menjelang akhir musim gugur.
"Nyonya, biar saya yang menyelesaikannya. Anda tidak boleh kelelahan atau Tuan akan marah," Misae mengikuti Maya yang berjalan ke sana kemari di dapur untuk menyiapkan makanan dengan perut besarnya.
"Tidak apa-apa Misae. Ini ulang tahun Masumi, jadi aku ingin menyiapkan sarapan dan kue untuknya." Maya tidak mengacuhkan larangan Misae. Harada pun hanya bisa menggelengkan kepala melihat Nyonyanya yang keras kepala, menunggu Masumi datang dan memarahi mereka. Dia tahu Nyonyanya itu bangun diam-diam pagi tadi.
"Hati-hati Nyonya, itu panas," Misae kembali bergidik melihat Maya mengeluarkan kue dari pemanggang dan meletakkannya di meja dapur.
"Aduh!" Maya mengelus perutnya.
"Nyonya!" Seru Misae dan Harada terkejut.
"Anda tidak apa-apa Nyonya?" Harada terlihat cemas.
"Tidak Bi," Maya meringis lebar, "aku hanya terkejut karena bayiku menendang keras."
Harada dan Misae mendesah lega.
"MAYA!"
Sebuah teriakan yang menggema di ruang tengah menyentakkan ketiganya.
"Nah suamiku sudah bangun." Maya terkikik.
Harada dan Misae saling berpandangan. Tak lama kemudian Masumi muncul di dapur dengan wajah masam.
"Ya ampun sayang, apa yang kau lakukan disini?" Masumi menyisir rambut lebatnya yang masih berantakan. Dia bahkan masih mengenakan piyama, meski begitu Masumi terlihat begitu tampan.
Maya hanya terkikik. Masumi mengabaikan Harada juga Misae, dia langsung mengalungkan lengannya ke bahu Maya yang tengah sibuk menghias kue.
"Apa yang kau lakukan sayang? Pagi-pagi sudah menghilang." Bisik Masumi di telinga Maya setelah mendaratkan sebuah kecupan lembut di pelipisnya.
Maya memutar dalam kungkungan lengan Masumi. Mau tidak mau Masumi melepaskan lengannya karena perut Maya yang besar membuat jarak antara mereka.
"Selamat ulang tahun sayang." Maya berjinjit dan mencium bibir Masumi.
Masumi tersenyum, dia baru ingat kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Masumi memiringkan kepala melihat kue ulang tahun yang belum selesai dihias Maya.
"Kau bangun pagi-pagi hanya karena ini?" Alis Masumi bertaut memandang istrinya.
Maya mengangguk.
"Kau tidak perlu melakukannya,"
"Aku mau,"
Masumi tersenyum lebar lalu berlutut dan menangkupkan kedua tangannya di perut Maya.
"Selamat pagi sayang, semoga nanti kau tidak keras kepala seperti ibumu ya," katanya seraya mencium perut Maya dan seketika itu juga bayi dalam perut Maya bergerak keras. Membuat keduanya tertawa. Maya dan Masumi membuat Harada dan Misae merasa seperti serangga pengganggu.
"Jangan terlalu lelah, biarkan Misae yang mengerjakannya," kata Masumi begitu dia kembali berdiri.
"Sudah, kau cepatlah mandi. Tinggal sedikit lagi, biarkan aku menyelesaikannya," jawab Maya.
Masumi menyerah, "Baiklah Nyonya." Diapun kembali ke kamarnya dengan sebelumnya memberikan kecupan di kening istrinya. Maya mengusap perutnya yang mengejang.
"Nyonya kenapa?" Harada mengamati Maya yang tiba-tiba mengeratkan mata.
"Tidak apa-apa Bi." Maya melempar senyumnya dan kembali menghias kue ulang tahun Masumi, "Misae tolong lanjutkan untuk sarapannya ya, rasanya aku tidak akan kuat kalau lebih dari ini."
"Baik Nyonya." Misaepun segera melakukan apa yang diperintahkan sementara Harada membantu Maya.
みɑややƴ ßίя†hϑɑƴ Ma
Tulisannya belum selesai tapi tangan Maya tiba-tiba gemetar dan dia menjatuhkan spet penghias kue di tangannya.
"Aarggghh!"
"Nyonya!" Harada terkejut dan segera memegang Maya yang merintih kesakitan.
"Bi...sakit...," Maya memegangi perutnya yang tiba-tiba mangalami kontraksi.
"Bibi Harada, itu...," Misae menjerit sambil menunjuk ke arah kaki Maya. Cairan bening mengalir di kaki Maya.
"Misae, panggil Tuan Masumi! Minta Naoko menyiapkan semua keperluan Nyonya dan minta Fujiwara juga Satoshi untuk menyiapkan mobil. CEPAT!!" Perintah Harada. Mengendalikan kepanikannya sendiri, Harada membantu Maya untuk duduk di kursi dapur.
"Bibi...sakit," Maya kembali merintih ketika kontraksi perutnya semakin kuat. Dia bersandar pada tubuh Harada agar tidak terjatuh.
Di kamar, Masumi baru saja selesai mandi dan masih mengenakan jubah handuknya saat Misae mengetuk dengan keras pintu kamar.
"Apa?" Masumi membuka pintu dengan wajah kesal karena ketidak sopanan pelayanannya.
"Nyo, Nyonya Tuan...Nyonya akan melahirkan." Kata Misae panik.
Masumi segera berlari.
"Tuan anda...," belum memakai baju. Misae menelan sendiri perkataannya saat Masumi dengan cepat menghilang dari pandangannya.
Di dapur Maya sudah terengah menahan sakitnya.
"Nyonya bertahanlah," Harada mencoba menguatkan Maya.
"Ngghhhh! Sakit Bi, akkhhh!" Maya menjerit ketika kontraksi di perutnya bertambah kuat.
"Maya!" Masumi datang dengan wajah paniknya.
"Sudah waktunya Tuan," jelas Harada yang melihat kebingungan di wajah Masumi.
"Tapi bagaimana bisa? Bukankah seharusnya masih dua minggu lagi?"
"Itu biasa terjadi Tuan. Sebaiknya anda segera membawa Nyonya ke rumah sakit. Saya sudah minta Fujiwara menyiapkan mobil. Naoko juga akan menyiapkan semua keperluan Nyonya." Jelas Harada cepat.
"Masumiiiii, sakiiit," Maya merintih keras dan Masumi segera membawa Maya dalam gendongannya.
Keluar di ruang keluarga, Masumi bertemu dengan ayahnya dan Asa yang juga terlihat panik setelah mendengar kabar dari pelayan.
"Kau akan kerumah sakit?" Tanya Eisuke.
"Iya ayah." Jawab Masumi sambil lalu, dia tidak tahan mendengar Maya menjerit kesakitan, "Sayang bertahanlah." Bisik Masumi.
Eisuke dan Asa segera mengikuti Masumi ke pintu depan. Naoko berlari di belakangnya dengan membawa tas besar. Fujiwara dan Satoshi sudah siap di depan pintu.
"Masumi, kau...," Eisuke baru menyadari kalau Masumi hanya berbalut jubah mandinya tapi melihat kepanikan putranya juga menantunya yang tengah kesakitan dia tidak tahu harus bicara apa. Sungguh situasi yang membingungkan.
"Akhhh!" Sekali lagi Maya menjerit karena kontraksinya. Masumi bergerak dengan cepat, semua pelayan hanya saling memandang bingung ketika Masumi masuk ke mobil bersama Fujiwara. Mobilpun melaju meninggalkan halaman rumah Hayami.
Eisuke menghela napas panjang dan menggeleng.
"Harada, pergilah bersama Naoko dan bawakan baju Masumi. Aku akan menyusul sebentar lagi." Perintah Eisuke. "Anak itu...memalukan," gumamnya di akhir kalimatnya.
Naoko yang memang sudah menyiapkan baju Masumi di dalam tas yang dibawanya menahan diri untuk tidak tertawa.
***
Puluhan pasang mata memandang tak berkedip dengan mulut menganga begitu Masumi tiba di rumah sakit. Para petugas medis segera membawa Maya dengan stretcher.
"Masumi...sakiiittt...," Maya merintih kesakitan memegangi perutnya. Stretcher melaju dengan cepat dan Masumi mengimbangi dengan langkah panjangnya.
"Iya sayang, bertahanlah." Masumi berusaha menenangkan, meski dirinya sendiri tidak yakin.
Midori Amamiya, dokter spesialis kandungan yang selama ini menangani Maya segera menyambutnya di ruang bersalin. Matanya tak berkedip begitu melihat Masumi. Dia sangat memahami bagaimana paniknya suami istri yang baru pertama kali menghadapi proses kelahiran tapi melihat seorang direktur sekelas Masumi mengenakan jubah mandi di rumah sakit membuatnya menggeleng geli. Tentunya dia tidak berani tertawa. Dia yakin Masumi tidak menyadari keadaannya saat ini. Para perawat yang tengah menangani Maya juga sekuat tenaga menahan tawanya.
"Tuan Masumi, apa anda ingin menemani Nyonya?" Tanya Amamiya.
"Tentu saja dokter," jawab Masumi cepat. Dia sudah berdiri di samping Maya dan menggenggam erat tangannya.
"Jangan, pergi...," lirih Maya di tengah kesakitannya.
"Tidak sayang, aku tidak akan pergi. Aku di sini bersamamu," Masumi mengeratkan genggamannya dan mengusap lembut kepala Maya yang sudah basah dengan keringat dingin.
Amamiya tersenyum dan dia segera memeriksa Maya yang sudah dalam posisi siap untuk melahirkan.
"Pembukaan tujuh, saya rasa prosesnya tidak akan lama lagi." Amamiya mengamati Maya dan mulai memeriksa semua catatan yang sudah dibuat oleh perawat tadi.
"Tekanan darah, kadar HB...," Amamiya bergumam dan membaca semua catatan dengan seksama. "Oke, semuanya baik. Nyonya Maya, anda sedang dalam proses melahirkan. Tolong tenang dan dengarkan intsruksi saya." Kata Amamiya lembut.
Maya hanya bisa mengangguk tanpa bisa mencerna kalimat itu lebih jauh lagi. Rasa sakit yang di alaminya sudah membuat otaknya buntu.
"Dia akan baik-baik saja kan dokter?" Tanya Masumi cemas.
"Tenang Tuan Masumi, sejauh ini semua berjalan normal." Jawab dokter wanita itu tenang.
"Akkhhh!" Maya kembali menjerit ketika kontraksinya semakin kuat. Masumi mengeratkan genggaman tangannya. Berharap dengan begitu bisa menguatkan Maya.
"Pembukaan sembilan dokter," kata seorang perawat.
"Baiklah, sudah waktunya." Amamiya menempatkan diri di ujung tempat tidur Maya.
"Akkkhhh!" Jeritan Maya semakin keras dan itu membuat keringat dingin membanjiri kening Masumi.
"Sayang, bertahanlah. Kau kuat, kau pasti bisa," lirihnya putus asa. Masumi tidak tahu bagaimana caranya untuk mengurangi sakit yang Maya rasakan.
"Dengarkan aba-aba saya Nyonya, Tarik napas panjang lalu dorong bayinya,"
Maya melakukan apa yang diperintahkan ditambah dengan teriakan keras bersama dengan usahanya mendorong bayinya.
"Sekali lagi Nyonya, tarik napas panjang lalu dorong."
"Arrgghh!" Maya berteriak lagi.
Amamiya terus memandu Maya untuk mendorong bayinya.
"Aarrgggghhhh!!" dan sebuah teriakan panjang dari Maya berakhir dengan sebuah tangisan keras dari seorang bayi yang baru saja lahir.
"Selamat Tuan, Nyonya, bayinya laki-laki."
Air mata meleleh di mata Maya dan Masumi. Kesakitan Maya berakhir sudah dan penantian panjang mereka terbayarkan. Masumi menciumi wajah Maya, "Kau berhasil sayang, kau berhasil," bisiknya penuh haru seraya menciumi wajah istrinya. Maya yang masih kepayahan hanya bisa tersenyum, air mata mewakili perasaannya.
"Anakku," lirih Maya dengan sisa tenaganya.
Amamiya datang dengan menggendong seorang bayi yang terbungkus kain berwarna biru. Dengan hati-hati dia memberikan bayi itu pada ayahnya.
"Bayi yang tampan," puji Amamiya.
"Terima kasih dokter." Kata Masumi. Mata Masumi mengamati bayi mungil dalam gendongannya. Putranya itu tengah terlelap dengan bibirnya bergerak lucu. Tak disadari air mata lolos dari sudut mata Masumi.
"Maya, lihatlah putramu," Masumi menunjukkan putra mereka pada istrinya.
"Putra kita," koreksi Maya. Dia mengulurkan tangannya dan mengusap pipi merah putranya, "Aku ingin memeluknya."
Masumi melempar pandangannya pada Amamiya yang masih mengamati mereka. Amamiya mengangguk seraya tersenyum. Masumi pun membaringkan putranya dalam pelukan Maya, "Dia tampan, seperti dirimu," kata Maya.
"Matanya bulat seperti matamu," Masumi tersenyum senang.
Maya kemudian mengamati suaminya yang masih tenggelam dalam kebahagiaannya. Mata Maya berkedip beberapa kali, memastikan bahwa matanya tidak salah.
"Sayang, apa sejak tadi kau seperti itu?" Maya menunjukkan jarinya.
"Eh?!" Kening Masumi berkerut heran lalu mengamati dirinya sendiri. Matanya melebar dengan terkejut, Masumi merasakan wajahnya memanas.
"Aku, aku baru saja selesai mandi tadi," kata Masumi setengah berbisik. Kelelahan Maya tersapu dalam sekejap. Maya menunduk melihat putranya yang masih terlelap, "Kau lihat sayang, gara-gara kau ayahmu sampai lupa memakai bajunya."
Mengabaikan dokter juga para perawat di sekeliling mereka, Maya dan Masumi justru tertawa dalam kebahagiaan.
***
Masumi duduk di sebelah tempat tidur Maya. Mengamati istrinya yang yang tertidur karena kelelahan dengan proses sakit melahirkan yang baru saja dilaluinya. Dia kemudian melayangkan pandangannya ke sudut lain ruangan dimana Eisuke dengan wajah tua penuh kebahagiannya menggendong putranya ditemani oleh Asa, Naoko dan Harada. Masumi tersenyum, meraih tangan Maya, dia memberikan sebuah kecupan sayang dipunggung tangan istrinya.
"Hai sayang," sapa Masumi lembut saat mata bulat Maya terbuka dan menatapnya.
"Hai," Maya mengembangkan senyumnya. Matanya kemudian berputar, melihat keributan di sudut kamarnya. "Ayah terlihat senang sekali." Gumamnya.
Sebuah kecupan di punggung tangan Maya membuatnya kembali menatap suaminya.
"Terima kasih," ucap Masumi.
"Untuk apa?"
"Untuk putra kita. Juga untuk semua kebahagiaan yang sudah kau berikan untuk keluarga Hayami. Ini adalah kado ulang tahun terindah yang pernah ku terima sepanjang hidupku."
Maya tersenyum. Dia bergerak bangun, matanya mengerat ketika merasakan nyeri pada bagian bawah tubuhnya.
"Hati-hati sayang," Masumi memperingatkan. Diapun membantu Maya untuk duduk dengan posisi yang lebih nyaman.
"Lebih baik?" Tanya Masumi. Maya mengangguk.
Bangunnya Maya mengalihkan perhatian semuanya. Eisuke menghampiri tempat tidur Maya dengan tawa bahagianya.
"Maya, terima kasih Maya. Kau sudah melengkapi kebahagiaan orang tua ini. Selamat untuk kalian berdua dan juga selamat untukku sendiri yang sekarang menjadi seorang kakek." Perkataan Eisuke membuat semuanya tertawa.
"Selamat Tuan, Nyonya," ucap Asa, Harada juga Naoko.
"Terima kasih," Maya melebarkan senyumnya.
"Oh ya, siapa nama cucu tampanku ini?"
Maya dan Masumi saling berpandangan lalu melihat putra tampan mereka dalam gendongan Eisuke.
"Ryoichi," jawab mereka bersamaan.
***
7 tahun kemudian.
Masumi duduk dengan kening berkerut menatap putranya yang tampak serius di meja kerja yang tidak jauh dari tempatnya.
"Apa kau tidak bosan Ryo?" Menyangga kepala dengan kepalan tangannya, Masumi menggeleng dengan keseriusan putranya.
"Apanya yang bosan Ayah? Laporan kerja Daito selalu menyenangkan untuk di baca." Jawabnya tenang. Mata bulatnya memandang ayahnya sejenak lalu kembali fokus membaca.
Sebuah ketukan pintu terdengar, sang sekretaris muncul dari balik pintu.
"Ini kopi anda Tuan Masumi dan ini coklat panas untuk anda Tuan Muda Ryo."
"Terima kasih Saeko," jawab Masumi yang langsung menikmati kopinya.
"Terima kasih Nyonya Hijiri," Ryo melempar senyumnya untuk mempertegas ucapan terima kasihnya.
"Tuan Masumi, mengenai laporan produksi divisi kesenian Daito bulan lalu apakah sudah selesai anda periksa?" Tanya Saeko.
Masumi menghela napas, meneguk kopinya lagi seraya menunjuk dengan matanya dimana laporan yang ditanyakan oleh sekretarisnya itu.
"Oh itu, aku sedang membacanya Nyonya Hijiri," sela Ryo.
Mizuki langsung melihat dokumen yang terbuka di meja Ryo.
"Aku sudah membacanya dan sekarang sedang mempelajarinya. Secara garis besar memang semua produksi divisi kesenian Daito sangat menguntungkan. Tapi secara detail aku lihat ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Misalnya seperti promosi Girl Band Fairy yang menghabiskan biaya cukup besar, aku rasa itu tidak perlu. Mereka sudah mencapai batas popularitasnya, tidak perlu mengeluarkan biaya sebesar ini untuk mempromosikan mereka. Bukankah lebih baik kalau dana itu di alokasikan untuk pengorbitan Girl Band baru? Itu akan lebih menguntungkan. Dan juga ini-," Ryo menatap ayahnya dan Saeko lalu menggeleng.
"Teater Undine, semua drama di sana dipentaskan oleh aktris dan aktor hebat kelas atas. Bahkan drama yang dipentaskan juga adalah drama-drama bagus yang menelan biaya produksi besar tapi kenapa Teater Undine hanya berada di peringkat dua? Bahkan di kompetisi tingkat Nasional kita juga tidak meraih juara. Bukankah juara dua itu memalukan untuk Daito?" Wajah Ryo tertekuk kesal.
Masumi tertawa dengan penuturan putranya sedangkan Saeko hanya bisa menggeleng geli melihat anak usia tujuh tahun menceramahinya.
"Kau kan tahu kenapa Teater Undine tidak bisa berada di peringkat satu Ryo," kata Masumi.
Ryo mengetuk-ngetukkan jari kecilnya di pelipis, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat, "Ah iya, Teater Niji. Aku masih heran dengan hal itu."
"Itu teater milik Nyonya Maya, Ibu anda, apa yang aneh Tuan Muda? Anda sendiri tahu bagaimana hebatnya Ibu anda dalam melatih aktris dan aktor." Jawab Saeko.
Masumi hanya tersenyum sambil menikmati kopinya.
"Apa anda berniat mengalahkan Teater Niji Tuan Muda?" Seringai tipis menghiasi bibir Saeko.
"Tentu saja." Jawab Ryo cepat.
"Hah?" Mulut Saeko menganga seketika dan Masumi langsung tersedak kopinya.
"Apa yang salah?" Komentar Ryo. "Di rumah memang dia Ibuku tapi di dalam dunia bisnis, teaternya tetap saingan kita." Jawab Ryo santai.
Saeko dan Masumi saling berpandangan.
Ryo kembali menggumamkan strateginya, "Ibuku itu tidak begitu pandai dalam manajemen tapi teaternya selalu mengalahkan teater kita. Malam ini, aku akan menanyakan pada Ibu bagaimana caranya dia bisa mengembangkan teater Niji hingga terus menerus menjadi peringkat satu."
Masumi menepuk keningnya seraya terbahak.
"Tidakkah menggelikan Tuan? Putra anda itu," Saeko melipat tangannya dengan kesal.
"Dia akan membuatku pensiun dini," jawab Masumi.
Ryo menatap ayahnya dan Saeko bergantian lalu tersenyum, "Aku hanya bercanda Nyonya Hijiri. Aku memang akan mewarisi Daito dan posisi ayahku tapi aku tidak berniat mewarisi predikat ayahku. Direktur dingin dan gila kerja," Ryo tertawa sambil memberikan laporan kerjanya pada Saeko.
"Rasanya anda mendapat saingan berat kali ini Tuan Masumi."
Masumi tertawa, "Aku tidak keberatan Saeko."
"Apa anda benar-benar sudah memeriksa laporan ini Tuan?" Tanya Saeko kemudian.
"Aku sudah membaca dan menandatanginya Saeko. Ryo hanya membacanya tadi." Jawab Masumi.
"Baiklah kalau begitu saya permisi. Ini sudah melebihi jam kerja saya."
Ryo langsung merapikan mejanya begitu Saeko keluar, "Ayo ayah, kita harus cepat berangkat. Aku tidak mau terlambat."
Masumi tersenyum, "Baiklah."
Keduanya berjalan beriringan keluar dari kantor.
"Saya sudah minta Fujiwara menyiapkan mobil," kata Saeko begitu melihat Masumi dan Ryo keluar.
"Terima kasih Saeko,"
Saeko mengangguk hormat mengantar kepergian bosnya, kening Saeko berkerut saat tiba-tiba Ryo berhenti di depannya.
"Ada apa Tuan Muda?" Tatapan mata Ryo membuat Saeko siaga. Tuan mudanya itu pasti akan melancarkan serangan lain dengan mulut pintarnya.
"Jam kerja sudah selesai jadi aku akan berpesan sebagai keponakanmu. Bibi Saeko, cepatlah pulang, Paman Kataro sudah menunggumu di rumah,"
Masumi tertawa dan segera menarik putranya pergi sebelum Saeko memarahinya.
"Ryo!"
***
Gedung pertunjukan Daito terlihat begitu ramai. Puluhan karangan bunga sudah memenuhi lobi dengan nama Maya terangkai di sana. Tentu saja karangan bunga paling besar dan paling mencolok adalah rangkaian bunga mawar ungu.
Kening Ryo berkerut begitu melihat karangan bunga yang tingginya mencapai tiga kali tinggi badannya itu. Dia menatap buket bunga mawar merah di tangannya yang tadi di belinya ketika dalam perjalanan. Rasanya aneh melihat buket bunganya setelah melihat bunga raksasa di depannya.
"Ayah, apa ini tidak terlalu berlebihan?" Bisiknya.
"Apanya?" Masumi menoleh bingung pada putranya.
"Bunga itu, mawar ungu. Sebesar itu, apa tidak terlalu berlebihan?" Ryo menunjuk bunga raksasa yang sekarang menjadi pusat perhatian para tamu yang datang. Dia tahu itu bunga dari ayahnya. Hanya ayahnya yang selalu memberikan bunga mawar ungu untuk ibunya.
"Tentu saja tidak. Ini adalah penampilan Bidadari Merah setelah sembilan tahun, apanya yang berlebihan? Kalau saja diijinkan, ayah akan memenuhi lobi ini dengan mawar ungu." Jawab Masumi santai. Matanya juga menikmati bunga raksasa yang dirangkai indah dengan nama istrinya.
Ryo masih menatap ayahnya dengan heran, baru saja dia akan bertanya tapi manajer gedung menyelanya.
"Selamat datang Tuan Hayami dan Tuan Muda," sang menejer membungkuk hormat pada keduanya.
Masumi mengangguk, begitu juga Ryo yang membungkuk memberi salam.
"Silakan Tuan, kursi anda sudah di siapkan," katanya kemudian.
"Ayo Ryo,"
"Ya Ayah,"
Keduanya berjalan berdampingan. Ryo melayangkan matanya ke loket dan berdecak karenanya.
"Ibuku memang luar biasa." Gumam Ryo seraya menggeleng melihat barisan panjang di depan loket.
"Masih berniat mengalahkan Ibumu?" Celetuk Masumi.
Ryo menggaruk kepalanya seraya meringis lebar, "Aku kan hanya bercanda Ayah."
Masumi tersenyum melihat putranya. Sang menejer membawa mereka ke barisan kursi VVIP, tempat paling strategis untuk menikmati pertunjukan panggung.
"Hati-hati bunganya," Masumi memperingatkan putranya yang baru saja duduk. Tangan kiri Ryo memeluk buket bunga mawar merah. Ryo jadi teringat pertanyaannya yang tertunda tadi.
"Ayah, kenapa Ibu suka sekali mawar ungu tapi hanya boleh Ayah yang memberikannya?" Ryo memiringkan kepala seraya berbisik pada ayahnya.
"Kenapa kau tidak tanya pada Ibu?" Masumi justru balik bertanya.
"Aku sudah tanya seratus kali pada Ibu dan Ibu juga seratus kali menjawab dengan kalimat yang sama, 'Ibu akan menceritakannya kalau kau sudah dewasa',"
Masumi menahan dirinya untuk tidak tertawa, "Dan apa sekarang kau sudah merasa dewasa?"
Ryo mendengus pada ayahnya, "Sampai aku tua nanti juga Ayah dan Ibu tidak akan menganggapku dewasa,"
Masumi tertawa pelan melihat putranya yang kesal. Ryo memang pintar dan lebih dewasa jika dibandingkan dengan anak seusianya. Daripada bermain dengan teman sebayanya, Ryo lebih suka menghabiskan waktu di kantor bersama ayahnya. Alasannya, dia merasa bertanggung jawab sebagai penerus keluarga Hayami. Kalau dipikir lagi dia memang sangat mirip dengan Masumi kecil hanya saja Ryo belajar atas dasar kerelaan bukan paksaan.
Ryo banyak menuruni sifat Maya yang berani dan banyak bicara juga keras kepala tapi secara fisik dan kepintaran dia seperti duplikat ayahnya. Meski masih berusia tujuh tahun dia memiki aura yang kuat sebagai penerus keluarga Hayami.
"Ayah, sepertinya Daito harus membangun gedung pertunjukan yang lebih besar untuk Ibu,"
Perkataan Ryo membuat Masumi ikut-ikutan menoleh ke belakang seperti putranya. Benar saja, banyak penonton yang rela berdiri untuk menonton Maya.
"Ini pementasan Bidadari Merah, tidak heran gedung ini jadi penuh sesak." Jawab Masumi.
"Aku jadi semakin penasaran dengan Bidadari Merah. Seperti apa Ibu akan memerankannya? Apakah benar yang di katakan kakek dulu bahwa mereka bahkan lupa tepuk tangan dan merasa berada di alam lain bahkan setelah tirai panggung tertutup?" Tanya Ryo lagi.
"Iya itu benar. Kau beruntung bisa melihatnya sekarang. Andai kakekmu masih hidup dia pasti akan sangat bahagia." Masumi mengulas senyum. Terbesit kerinduan dalam hatinya pada sosok ayahnya yang meninggal dua tahun lalu itu. Tapi Masumi lega dengan melihat Ryo, setidaknya ayahnya itu sudah melihat cucu laki-lakinya dan meninggal dalam lingkupan kasih yang melimpah dari sebuah keluarga bersamanya juga Maya.
Seruan dari pengeras suara bahwa pentas akan dimulai mengalihkan perhatian Masumi. Ryo menatap tegang tirai panggung yang masih tertutup.
"Apa yang ibu lakukan sampai kita tidak boleh menemuinya sebelum pentas?" Tanyanya seraya melirik pada ayahnya.
Masumi menyeringai tipis, "Ibu hanya ingin menyiapkan dirinya, itu saja."
Ryo hanya mengangguk-angguk. Matanya kemudian kembali terpaku pada tirai yang perlahan mulai dibuka. Suara kotsuzumi -sejenis gendang kecil- menggema memenuhi ruangan. Ryo terkesiap ketika merasakan suasana panggung bahkan tribun penonton berubah seketika. Sunyi. Semua mata tertuju ke panggung, memandang tanpa berkedip pada sosok wanita yang berdiri dengan gaun merah. Seorang dewi. Sang Bidadari Merah.
Ryo menganga tanpa ingat menutup mulutnya.
Itu bukan Ibu. Jantung Ryo berdegub seirama dengan tarian yang dibawakan oleh sang Bidadari.
Inikah pentas Bidadari Merah? Atau Ibuku memang benar seorang dewi?
Masumi pun sudah melupakan dunianya. Yang ada di depannya saat ini hanyalah Bidadari Merah.
Bidadariku....
***
Tirai panggung tertutup. Ryo bergeming dengan air mata mengalir dari kedua sudut matanya. Tidak hanya dia, seluruh penonton juga bergeming. Mereka yang berdiri bahkan mematung, melupakan dunia mereka dan terhisap dalam pesona Akoya.
Tirai kembali terbuka, Maya muncul kembali dengan memukul kotsuzumi. Suara nyaring yang menggema itu seolah mematahkan mantranya. Masumi menjadi orang pertama yang melakukan standing ovation, disusul gemuruh membahana dari seluruh penonton yang menggelegar memenuhi gedung pertunjukan. Masumi teringat putranya dan langsung menoleh pada Ryo yang masih menangis di kursinya. Masumi tersenyum, memahami apa yang dirasakan putranya. Diapun membungkuk, mengusap lembut kepala Ryo dan berbisik di telinganya.
"Bunga untuk Ibu,"
Ryo segera menyadari tugasnya. Dia mengangguk, dengan cepat menyeka air matanya dan berjalan turun dari tribun penonton, berjalan ke arah panggung.
Senyum Maya mengembang begitu melihat putra semata wayangnya datang. Mengulurkan bunga, Ryo memberikan kecupan dan pelukan sayang untuk Ibunya. Air matanya kembali mengalir.
"Ibu luar biasa." Pujinya.
"Terima kasih sayang,"
Gemuruh tepuk tangan masih menggema bahkan setelah tirai panggung tertutup. Maya mengusap lembut rambut lebat putranya seraya tersenyum senang.
"Ryo, kau datang juga rupanya. Bagaimana pertunjukannya?" Tanya Koji di belakang panggung setelah dia dan Maya selesai dengan ucapan selamat dari semua pemain dan para kru.
"Luar biasa Paman Koji. Aku bahkan lupa kalau aku sedang melihat sebuah pertunjukan." Jawab Ryo penuh semangat.
Maya tertawa.
"Benar Ibu. Aku merasa benar-benar melihat Bidadari tadi," kata Ryo pada Ibunya.
"Begitukah? Senangnya, terima kasih sayang," ucap Maya.
"Ibumu memang Bidadari Ryo,"
Ketiganya langsung menoleh dan melihat Masumi yang datang bersama Kuronuma. Senyum Maya kembali mengembang begitu Masumi menghampirinya dan memberikan kecupan di keningnya.
"Kau luar biasa," pujinya.
"Terima kasih," Maya tersipu.
Ryo membungkuk memberi hormat pada Kuronuma.
"Kau kagum pada Ibumu Ryo?" Tanya Kuronuma.
"Aku adalah penggemar nomor satu Ibu, Paman Kuronuma," jawab Ryo mantap.
"Kau yakin? Ibumu sudah memiliki penggemar nomor satu sejak usianya tiga belas tahun. Kau penggemar nomor duanya," Kuronuma tertawa bersama Koji juga Maya dan Masumi.
Alis Ryo langsung bertaut heran dengan candaan yang tidak dia mengerti itu.
"Oh, sepertinya kau belum tahu tentang rahasia penggemar sejati Ibumu ya?" Koji menangkap alis Ryo yang bertaut. Anak itu menggeleng. Koji dan Kuronuma langsung memandang Maya dan Masumi.
"Banyak tragedi dalam kisah itu, aku akan menceritakannya setelah dia cukup dewasa," Maya berkilah. Ryo langsung cemberut karenanya.
"Sebaiknya kau segera bersiap sayang. Kau juga Koji. Pesta premier akan segera di mulai." Kata Masumi.
Keduanya mengangguk setuju dan segera pergi menuju ruang ganti masing-masing. Masumi meminta Rose menemani Ryo di ruang tunggu. Dia sendiri yang akan membantu Maya bersiap. Ryo menertawakan perintah ayahnya yang dianggapnya hanya sebuah alasan agar dirinya tidak mengganggu kedua orang tuanya yang sedang ingin berdua. Masumi menghadiahinya sebuah pukulan di kepala dan Ryo berhenti tertawa lalu menurut pergi bersama Rose dan Alex.
"Masumi, apa menurutmu Ryo bisa memahami kisah masa lalu kita jika aku menceritakan padanya sekarang?" Tanya Maya yang duduk di depan cermin meja rias dan menatap Masumi yang sibuk membantunya melepas hiasan rambutnya.
"Aku masih tidak mengerti kenapa kau merahasiakan semuanya dari Ryo. Kau tahu dia anak yang cerdas. Dia selalu bertanya padaku mengenai cerita mawar ungu." Jawab Masumi seraya melempar senyum pada istrinya melalui cermin.
Maya berdiri dan memutar tubuhnya menghadap Masumi sementara suaminya itu melepaskan kostum bidadarinya.
"Seperti yang ku katakan tadi, begitu banyak tragedi yang terjadi di masa lalu kita. Aku takut itu mempengaruhinya."
Masumi tersenyum, dia menangkap kekhawatiran itu dalam mata Maya. Berhenti sibuk dengan kostum Maya, Masumi membelai wajah istrinya yang meski sekarang sudah berusia kepala tiga tapi masih terlihat seperti remaja.
"Jangan khawatir, dia lebih dewasa dari yang kau perkirakan."
Sebuah kecupan di bibir Maya mengurai kecemasan di matanya.
"Pestaku hampir di mulai Tuan Hayami," Maya menyeringai pada Masumi yang menatapnya dengan provokatif.
"Kau lebih menyenangkan daripada pesta itu," Masumi mendorong kostum Maya hingga terjatuh di bawah kakinya. Meninggalkan tubuh polos Maya yang hanya mengenakan salah satu koleksi pakaian dalamnya yang berenda cantik.
Maya menutup mata Masumi dengan telapak tangannya dan segera berjalan menjauh setelah mengambil kostumnya di lantai.
"Jangan berpikir macam-macam," katanya sambil lalu.
Masumi tertawa, "Kau mematahkan semangatku, Nyonya,"
"Semangatmu muncul di saat yang tidak tepat Tuan. Kemarilah, bantu aku memakai gaun ini," perintah Maya setelah dia dengan cepat memakai gaun merah indah miliknya.
Masumi cemberut begitu melihat Maya tertutup rapat dengan gaunnya.
"Aku lebih suka melihatmu seperti tadi," goda Masumi.
"Ah, sejak kapan suamiku jadi mesum begitu?" Ejek Maya.
"Itu hanya karena aku sedang bersama istriku cantik di ruangan sempit yang membuatku semakin panas karena melihatnya dengan pakaian dalam berendanya." Masumi memeluk Maya dari belakang. Maya mencibir perkataan Masumi.
"Ku rasa aku akan mengijinkanmu meminum sampagne malam ini," bisik Masumi di telinga Maya dan istrinya itu segera tergelak dengan candaan Masumi.
Wajah Ryo langsung dihiasi seringai tipis begitu melihat kedua orang tuanya datang. Maya menyandarkan tangannya di lengan Masumi dan dengan posesifnya Masumi terus mengusap lembut tangan mungil istrinya.
"Nona Rose, aku masih heran kenapa sampai sekarang aku tidak memiliki adik padahal ke dua orang tuaku itu selalu saja menebar keromantisan di manapun mereka berada," kata Ryo dengan setengah berbisik pada Rose. Seketika tawa Rose meledak dengan cara yang tidak sopan.
"Ada apa?" Maya mengamati Rose yang lepas kontrol.
"Tidak, tidak apa-apa Nyonya," jawab Rose dengan masih menyisakan tawa di sela-sela ucapannya.
"Ayo Ayah, Ibu, semua sudah menunggu." Ryo berlalu begitu saja dan Rose bergegas mengikutinya. Masumi mengendikkan bahunya pada Maya yang menatapnya bingung. Keduanyapun berjalan menuju ballroom tempat pesta premier berlangsung.
Tepuk tangan meriah langsung menyambut kedatangan Maya dan Masumi. Ucapan selamat atas suksesnya pementasan Bidadari Merah terus berdatangan untuk Maya.
Masumi yang berdiri di sebelah Maya, mengamati binar bahagia di wajah istrinya. Senyumnya tidak berhenti mengembang. Istrinya itu terlihat begitu bersinar dan tak pernah berhenti membuatnya terpukau. Sungguh setiap hari dalam hidupnya, Masumi bersyukur memiliki Maya sebagai istrinya. Entah berapa banyak kebahagiaan yang sudah dicurahkan wanita mungil itu untuknya. Tak jauh dari tempatnya, Masumi melihat putra semata wayangnya, Ryo. Putranya itu begitu percaya diri berada di lingkungan sosial yang bahkan dulu selalu dibencinya. Tapi itu dulu, sekarang Masumi bersyukur berada di tempat ini bersama istri dan anaknya. Hidup melimpah dengan kasih sayang dan kedamaian.
Ayah, setelah sekian lama, bahkan sekarang kau sudah tiada, aku mengucapkan terima kasih telah menjadikanku bagian dari keluarga Hayami. Terima kasih ayah.
"Sayang, kau tidak apa-apa?"
Maya menyentakkan suaminya dari lamunan panjangnya. Masumi terkejut ketika Maya mengulurkan sapu tangan ke sudut matanya.
"Apa kau teringat ayah?" Tanya Maya lembut. Masumi baru menyadari kalau dirinya menangis.
"Kau tahu," jawab Masumi. Matanya berputar mengamati sekelilingnya, kalau-kalau ada yang melihat dirinya menangis.
"Aku istrimu, tentu saja aku tahu. Selain aku, hanya ayah yang bisa membuatmu meneteskan air mata. Tapi kita sedang tidak dalam masalah sekarang jadi aku menduga kau pasti merindukan ayah,"
Masumi tersenyum dan mengecup kening istrinya, "Kau yang terbaik sayang." Masumi memuji ketajaman insting Maya.
Ryo datang menyela obrolan keduanya. Tiba-tiba saja putranya itu mengulurkan tangannya.
"Berdansalah denganku Bu," pintanya dengan senyum manis yang tidak bisa ditolak Maya.
Masumi menautkan alis pada putranya yang hanya di balas kerlingan mata oleh Ryo.
"Dia hanya putramu, bersabarlah," kata Maya sambil berlalu bersama putranya.
Keduanya turun ke lantai dansa diiringi dengan tepuk tangan para tamu. Meski masih berusia tujuh tahun tapi Ryo sudah setinggi bahu Maya.
"Kau sangat menyukai pesta ya, sama seperti ayahmu." Kata Maya seraya mengikuti langkah kaki putranya yang seirama dengan musik yang mengalun indah.
"Aku menyukai pesta Bu tapi tidak dengan ayah. Dia hanya menikmatinya saat bersama Ibu." Jawab Ryo.
Maya melayangkan pandangannya pada Masumi yang sedang mengobrol dengan beberapa tamu. Masumi mengangkat gelasnya dengan senyum indah begitu mata mereka saling berpaut.
"Benar kan? Bahkan saat bersama tamu lainnya, Ayah hanya memperhatikan ibu," Ryo menggeleng sendiri dengan perkataannya.
Maya terkikik, "Dan kau sendiri, kenapa begitu menyukai pesta?" Tanya Maya mengalihkan perhatian putranya sebelum Ryo menyerangnya lagi dengan mulut pintarnya.
"Karena aku putra ayah dan ibu, penerus keluarga Hayami. Apalagi?" Ryo menatap ibunya.
"Apa menjadi putra kami membuatmu terbeban?" Tanya Maya.
Ryo tertawa dengan cara yang sopan, "Ibu bercanda? Berapa banyak anak di luar sana yang ingin terlahir seperti aku? Putra Komisaris Daito Group dan Aktris Internasional pemenang piala Academy Award juga cucu dari pemilik ACA Group, bodohnya aku kalau tidak bersyukur dengan itu."
Maya tersenyum, "Jangan tinggi hati,"
"Tidak Bu. Orang tinggi hati tidak akan pernah bisa berada di atas, itu yang kakek katakan padaku," jawab Ryo.
Maya terdiam mengamati putranya, apa yang dikatakan Masumi memang benar. Sudah saatnya dia menceritakan kisah masa lalunya. Ryo akan belajar banyak dari itu semua.
"Tapi sebenarnya aku takut," lirih Ryo kemudian.
"Takut?"
"Aku takut tidak bisa menjadi putra yang membanggakan untuk Ayah dan Ibu, untuk keluarga Hayami juga untuk keluarga Anderson,"
Maya mengangkat wajah putranya yang tertunduk dan menatapnya lekat, "Kau tahu Ryo, kau tidak akan pernah bisa memenuhi semua harapan kami."
Alis Ryo bertaut. Keduanya masih bergerak mengikuti irama musik meski obrolan mereka semakin dalam.
"Kau akan lelah sendiri pada akhirnya kalau hanya berusaha membanggakan kami. Jadilah dirimu sendiri sayang. Buatlah kami bangga dengan apa yang ada padamu. Bukan karena kau adalah pewaris Hayami atau karena kau adalah cucu konglomerat Anderson, tapi karena kau adalah Ryoichi, putra Maya dan Masumi."
Ryo terdiam ketika Maya memeluknya.
"Maukah kau mendengar sebuah cerita Ryo?" Tanya Maya setelah melepaskan pelukannya. Ryo mengangguk.
"Tapi mungkin akan sedikit lama, jadi kita akan berdansa dua lagu bagaimana?"
Ryo menyeringai, "Aku tidak setua Ayah jadi aku rasa aku sanggup memenuhinya."
Maya tertawa mendengarnya. Keduanya kembali berdansa dan Maya mulai bercerita.
***
"Ryo terlihat berbeda setelah pesta. Apa yang kau bicarakan dengannya? Kalian bahkan berdansa sampai tiga lagu," Masumi merangkak naik ke atas tempat tidur dan memandang Maya yang bersandar pada bantal. Duduk di sebelah Maya, Masumi merentangkan tangannya dan Maya langsung bersandar pada pelukan suaminya.
"Kisah masa lalu Maya Kitajima dalam versi singkat." jawab Maya seraya tersenyum.
"Oh, jadi kau sudah menceritakan padanya?"
Maya mengangguk. Masumi mengecup puncak kepala istrinya dengan sayang. Sebuah ketukan pintu menyela obrolan mesra keduanya. Itu suara Ryo.
"Masuk sayang," seru Maya.
Keduanya bergeming di tempat tidur. Ryo sudah biasa melihat keromantisan orang tuanya. Ryo masuk dengan sudah mengenakan piyamanya tapi wajahnya terlihat serius. Tiba-tiba dia membungkuk hormat di ujung tempat tidur ke dua orang tuanya. Maya menengadahkan kepalanya dan bertukar pandangan bingung dengan suaminya.
"Maaf aku mengganggu istirahat ayah dan ibu tapi ada hal penting yang ingin aku sampaikan malam ini." kata Ryo dengan nada serius. Kembali menegakkan tubuhnya, Ryo menatap lurus kedua orang tuanya.
"Mendengar apa yang diceritakan Ibu tadi membuatku banyak merenung. Ayah dan Ibu sudah melewati banyak hal untuk bisa pada titik ini. Mungkin saat ini aku masih berusia tujuh tahun dan belum mengerti sepenuhnya tapi aku sudah mengambil keputusan." Ryo menghela napas perlahan, "Mohon bimbingannya ayah, ibu, saat ini aku mungkin masih akan banyak merepotkan ayah dan ibu tapi aku berjanji akan berusaha sebaik mungkin dengan sepenuh kekuatanku untuk menjadi seorang putra yang bisa membanggakan ayah ibu. Aku Ryoichi putra Masumi dan Maya, penerus keluarga Hayami."
Maya langsung melompat turun dari tempat tidur dengan mata berurai air mata, memeluk putranya.
"Kau ini, kata-katamu terlalu panjang untuk anak usia tujuh tahun," kata Maya.
Ryo hanya tersenyum lebar dan menyeka air mata ibunya. Sama seperti Masumi, Ryo juga tidak tahan melihat Maya menangis.
"Jadi tekadmu sudah bulat? Ayah tidak akan memaksamu jika kau memang tidak mau mengurus Daito." Masumi sudah berdiri di sebelah Maya dan menatap putranya yang sekarang terlihat begitu teguh dengan pendiriannya.
"Tidak ayah. Aku akan menjadi penerus ayah. Apa yang sudah kakek bangun selama ini juga apa yang sudah ayah dan ibu pertahankan, semuanya akan aku jaga. Termasuk juga Bidadari Merah. Aku akan melanjutkan untuk menjaganya." Ryo menatap ayahnya penuh keyakinan.
Maya kembali memeluk putranya, "Terima kasih sayang." dan Masumi memeluk keduanya dengan penuh rasa haru.
"Sudah Bu, jangan menangis lagi," kata Ryo.
Maya melepaskan pelukannya dan menatap putranya, dengan lembut Masumi merengkuh bahu Maya dalam pelukannya.
"Apa anakku ini salah makan sayang? Dia dewasa sebelum waktunya. Dulu saat aku seusianya aku hanya tahu tentang mie soba." kata Maya.
Ryo menepuk keningnya dan Masumi tertawa.
"Andai bukan Ibuku aku pasti tidak percaya kalau ibu yang menjadi Bidadari Merah tadi,"
Masumi sekali lagi memukul kepala putranya yang mengejek Maya, kali ini Maya yang tertawa.
"Maaf," gumam Ryo.
"Sudah sana kembali ke kamarmu. Ini sudah malam," kata Masumi pada putranya.
Menatap kedua orang tuanya bergantian, Ryo menghela napas, "Sebenarnya masih ada hal yang ingin aku sampaikan, lebih tepatnya aku ingin menyampaikan sebuah permintaan."
"Apa itu sayang?" tanya Maya.
"Ng, bisakah ayah dan ibu memberiku seorang adik perempuan? Rasanya menggelikan kalau aku harus menggoda ibu setiap hari. bukankah lebih menyenangkan kalau aku menggoda adik perempuanku?"
"RYO!!" seru Maya dan Masumi bersamaan dan putranya itu segera berlari keluar dari kamar dengan terbahak-bahak.
"Ya ampun, anak itu," Maya duduk di tepi tempat tidur dengan menggeleng geli atas sikap putranya.
Masumi yang sudah kembali duduk bersandar pada kepala tempat tidur menarik Maya untuk mendekat padanya.
"Kau terlihat senang suamiku?" Goda Maya.
"Tentu saja aku senang. Sekarang aku tidak harus pusing memikirkan siapa yang akan mengurusi Daito saat aku tua nanti. Ya, setidaknya aku lebih beruntung daripada ayah," jawab Masumi, "Aww!!" Masumi berteriak ketika Maya mencubit perutnya, "Sakit sayang," keluhnya dengan bibir menahan tawa.
"Apa yang ada di otak kalian, para pria di rumah ini, itu hanya Daito dan pekerjaan? Dasar!" dengus Maya.
Masumi menarik Maya kembali dalam pelukannya, "Kenapa kau jadi marah sayang. Aku bercanda."
Maya mencibir suaminya.
"Tapi kalau dipikir lagi perkataan Ryo ada benarnya juga," kata Masumi.
"Apa? Daito lagi?" dengus Maya.
Masumi menggeleng, "Bukan sayang tapi tentang permintaannya tadi,"
"Eh?"
Masumi tersenyum jahil pada istrinya, "Aku rasa aku akan mencoba memenuhi permintaannya."
"Apa sih maksudmu? Kalau soal anak, bukankah kita juga sudah berusaha. Kau pikir, bagaimana caranya kita bisa memenuhi permintaan Ryo sekarang?"
"Tentunya dengan melepaskan gaun tidur ini dari tubuhmu sayang. Ku rasa semangatku sudah kembali," goda Masumi yang kemudian mendorong Maya jatuh terlentang di tempat tidur lalu menarik ujung gaun tidurnya.
"Masumi!!!"
***
-END-
-With love from Agnes-
20 Comments
Oke....special chapternya selesai
ReplyDeleteselamat menikmati bagi yang berkenan
jangan lupa komennya ya, biar authornya tetep semangat :)
Trimksh agnes utk ceritanya seneng bacanya..... btw itu gambarnya yg terakhir bagus bgt n pas bgt. Vonny
ReplyDeleteStanding ovation bwt xtra chapternya....
ReplyDeleteSpesial chapternya bnr2 spesial bgt ini mah mba...mksh bgt dit tggu fftk selanjutnya ya mba...
ReplyDeleteTerharu bangeet cerita nyaa kak.. mantaaap dech, ditunggu cerita lainnya ya kak .. sy pantau terus blog ny Kak agnes, tetep semangat update terus kak
ReplyDeleteha..ha.. benar. saya membacanya sampai selesai sambil tersenyum2. untung diruangan sdh pada tidur semua, kalau tdk saya dianggap sinting. mks sis agnes.
ReplyDeleteoke... mari kita mulai meriview, ehem...
ReplyDelete1. Untuk masalah alur cerita dirimu emang ga diragukan lagi, mengalir, mulus, dan ga terburu2. Bahasa juga ringan dan mudah dipahami. Konflik yang diangkat selalu berat, menurutku. Emang sih ga sampe yang mbulet plus ribet bin ruwet, tapiii... jujur akau aja males mikirnya klo ngangkat kasus kriminalitas macam itu. Capek mendeskripsikannya. Tapi kau selalu sukses dengan konflik itu di setiap tulisanmu. Tidakkah jarimu lelah? #plaaak.
2. Michael, Clara, Amanda, David. dll... mereka itu cuma tokoh tambahan aja kan? Ga ada di cerita asli TK. Tapi dengan caramu menceritakan bagaimana mereka dengan segala hal yang berhubungan dengan Maya otomatis otakku merekam kalau mereka memang tokoh yang diciptakan Suzue Miuchi untuk melengkapai ceritanya. Caramu menempatkan mereka itu ga terkesan maksa, mengalir gitu aja.
3. KEHADIRAN RYO.... OMAIGAAAAAATTTTT AKU JATUH CINTA SAMA BOCAH ITU, SUMPAH!!! Seperti yang aku bilang lewat WA, sebagai penulis kau bisa menciptakan tokohmu sendiri. Kepintaran dia diusia dini justru mengingatkanku pada sosok Masumi, ga berlebihan kok menurutku, Masumi banget. Dan sisi santainya mengingatkanku akan Maya. Untung itu bocah ga ceroboh #eeeh. Dari kuatnya pengarakteran yang kamu buat untuk Ryo jelas banget klo kamu pengen bikin sosok Ryo menonjol, dan aku yakin dia akan jadi tokoh permanen di FF ini kalau kmu terusin ceritanya. Orang akan berpikir memang Ryo lah anak MM di masa depan. Pertanyaanku... apakah Ryo suka tante2? #ngacungduluan #eeeh xDD
3. Adegan Adultnya.... niat ya jeng? niat bener dirimu ngetiknya. Emanglah para wanita yang sudah bersuami akan bisa membuatnya dengan bagus dan ehem "panas" ehem. Aku ga mau nebak kau nulis itu sambil ngebayangin apa, wkwkwkwk. Nulis adult itu susyah loooooh.... salut untukmu yang bikinnya ga asal ketik #ngakakbeneran.
4. Masih ada beberapa sebenernya, cuma aku lupaaaa #plaaak.
AKU TUNGGU KELANJUTAN CERITANYA RYO KECILKU YANG GANTENG DAN PINTER ITU YAAAAHHH.... #cium2inampeludes.
Luv you pokoknya, sist... thanks buat fic yang awsome ini #peluk2
Oh Via....love uuuuu
DeleteThanks buat semua masukannya
Aku emang suka drama action jadi balance antara romance n konfilknya, seru aja bikinnya. nulisnya juga ga bosen.
Ya, pegel sih pegel jarinya tapi demi kepuasan hati, apalagi kalo sampe ada yang bisa paham tulisanku sedetail dirimu, hhhhh, puas!
soal adegan adult...hhhmmm*senyum2*...bayangin apa ya...wkwkwkwk, tahu sendirilah kalo emak2
So, sekali lagi makasih. Aku jadi semangat 45 buat lanjutin Ryo-ku yang ganteng...muahhhhh :D
Buat semua TK Lover yang uda baca
ReplyDeletethanks buanget2 ya
aku yang dulu ga pede nulis sekarang jadi semangat menulis coz ada banyak temen yang menghargai tulisanku
sekali lagi terima kasih dari hati yang terdalam...8bukan lebay ya...beneran terharu ni...
Sampai ketemu di cerita lainnya :)
Terdiam, tersenyum sendiri dan merenung, memang yang baik itu akan manis akhirnya.....two thumb for your sista
ReplyDeletesemangat terus ya sista...aku tunggu updatemu berikutnyaa... mmuah muah...
ReplyDeleteSiiip bgt ceritanya. Two thumb deh.tapi kok aku lbh jth cinta sama masumi junior alias Ryo. Bikin sekuelnya lg ya.wlw sedikit agak ragu mgkn gak ya anak umur 7 thn bisa sepintar RYo. Dlm bicara dan dala berfikir. Tapi pokoe lnjut deh :1. Banyakin scene ttg Ryo and Masumi dunk, pengen lbh tahu lg interaksi antara bapak sama anak ini lbh jauh, terutama saat dia balita (kepikiran bgt masumi yg kebapak-an) and Ryo udah dewasa. Psti ada perdebatab sengit dlm menjalankan roda perusahaan sekelas daito.
ReplyDelete2. kepengen tahu kl ryo udah dewasa psti cewek2 antri deh,tebar pesona cari perhatian penerus hayami,blm lg ryo kayaknya gak akan sedingin bapaknya tp hangat kayak ibunya plus wjh tampan kaya and pintar.bikin lumeer and klepek2 deh
3. Paling senang di scene cerita ini pas masumi teringat eisuke dan melihat anaknya yg percaya diri. Mgkn disini masumi mensyukuri posisinya skrg. Sbgai penerus hayami keluarganya mapan terpandang dan dia hidup dgn belahan jiwanya
4. Tetep dgn gaya cerita yang asyik ya jeng and jangan bosan buat nuliiism selamat berkarya selalu .......
Wah makasih mb tati diana :)
DeleteDi bagian ini emang sengaja tonjolin Ryo krn emang rencananya aku bikin side story MM khusus buat Ryo. Jadi ini semacam prolog buat cerita berikutnya.
Terima kasih buat dukungannya mba, mudah2an ga bosen nulisnya :)
Mbak Agnes.. bagusss banget.. jadi malu sendiri bacanya.. lanjut lagi dengan karya berikutnya... ganbatte
ReplyDeleteHahahaaha ryo lucuuu sekali, gemes bacanya, jd ngefans jg sama ryo.... Teruskan yah agnes
ReplyDeleteBagussssss banget
ReplyDeleteNumero Uno mba agnessssss
ReplyDeletemakasih mba :D
DeleteWADUDUDUUUUU....hebat pisaaaan abis berani cara nulis adegan dewasanya dengan begitu romantis dan super HOTTIEEEEEEE ������������ Ini apa referensi adegan adultnya ala film hot Hollywood Banderas dan Jolie dari "Original Sin" atau "The Specialist" nya duo hottie legend Stallone dan Stone niiiiih ������ ??? Oooooowww....������ Yang jelas kalo menurut pengamatan aye Masumi itu ibarat "Hritik Roshan" Yang OOOOOWWW super kekar gagah tinggi atletis ������ dan Maya itu ibarat si imut unyu "Nikita Willy" yang diam2 menghanyutkan mata kaum cowok ������
ReplyDelete.
Udeh ketebak dan gak heran dah emang hal 1 ini yang sudah diharapkan si MACHO Masumi setelah begitu lama kebelet menanti 10 tahun transformasinya si unyu Maya buat sampai berubah jadi pretty woman pujaannya sampe akhirnye bisa melakukan dengan hebat setelah si manis unyu Maya RESMI jadi istri tercinta dambaannya ������ Wong udah kebaca karakter aslinya di komik emang menggebu-gebu dan membara tiap kali lihat Maya di depannya tapi berusaha nahan diri saja dengan cara meledeknya dengan manggil "Mungil" sebagai panggilan sayangnyeee ����
wkwkkwwk....makasih udah baca n komen ya mba :), sampe ngakak aku bacanya. btw komennya di tanggal cantik, 21-12-2021 hehheeee....baca lainnya juga ya muah
Delete