Warning : Fairy Tale. ga bermaksud menyalahi cerita hanya saja idenya keluar begitu saja. hahhahaaa. Silakan baca bagi yang suka. Terima kasih.
Jika ini mimpi, aku berharap agar cepat bangun. Kenapa aku harus terjebak dalam keadaan seperti ini? Aku hanya manusia biasa dan sekarang harus tinggal bersama keturunan para dewa. Jika ini bukan mimpi buruk apalagi namanya?
Maya mendesah panjang.
"Kenapa Kitajima?" Seorang pria berambut keemasan menyela lamunan Maya.
Maya menggeleng. Keduanya sedang berjalan melewati sebuah lorong yang dikelilingi cahaya terang. Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pintu ganda besi berwarna perak dengan ukiran emas di kedua sisinya. Pria itu mengucapkan sebuah mantra dan pintu perlahan terbuka. Maya tersentak ketika pria itu berbalik menatapnya.
"Masuklah." Perintahnya.
"Tamotsu, aku...," Maya menunduk dalam, enggan melangkahkan kakinya.
Pria yang dipanggil Tamotsu oleh Maya itu tampak tidak senang dengan sikap Maya.
"Jangan mempersulitku Maya. Aku sudah membantumu dan kau harus menurut pada semua aturanku."
Maya mengangkat wajahnya dan menatap lekat Tamotsu.
"Tapi...aku takut," lirih Maya.
"Apa yang kau takutkan?" Tanya Tamotsu.
"Bagaimana kalau Mamoru tidak menepati janjinya?" Kata Maya.
Tamotsu tertawa, "Kau sendiri yang menantangnya kemarin dan sekarang justru kau yang ketakutan,"
Maya kembali menunduk dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
"Sudah jangan dipikirkan lagi. Kau harus segera kembali ke tempatmu atau kau mau tidur di sini?"
Maya mendesah panjang dan akhirnya menurut ketika di minta untuk masuk. Pintu besi perak itu kembali menutup lalu hilang ditelan cahaya. Keduanya sekarang berada di sebuah washitsu -ruang beralaskan tatami dalam bangunan tradisional Jepang- yang ditata dengan apik lengkap dengan semua asesoris dan lukisan dinding juga kaligrafi yang indah. Fusuma -panel pembatas ruangan- di hiasi dengan gambar indah di setiap sisinya. Di tengah ruangan terdapat futon dengan selimut merah yang disulam cantik menggunakan benang emas dan perak.
"Hampir fajar Maya, aku tidak mau menggendongmu lagi kali ini," kata Tamotsu pada Maya yang masih saja mematung di tempatnya.
"Aku juga tidak mau kau menggendongku," dengus Maya seraya menghentakkan kakinya pada tatami.
"Kalau begitu cepatlah tidur," jawab Tamotsu. Maya hanya bisa mendesah panjang lalu melangkahkan kakinya ke futon. Dia membuka selimut yang menutup futon dan berbaring di atasnya.
"Kau sudah siap?"
Maya mengangguk, "Pastikan tidak ada yang menyentuhku ketika aku tidur ya,"
Tamotsu menggeleng kesal, "Kau tidak percaya padaku?"
Maya cemberut, "Bukan begitu, pria biasanya suka sekali memanfaatkan kesempatan," kata Maya.
Tamotsu melotot, "Ku lihat justru kau yang memanfaatkan kesempatan,"
"Aku?!" Maya memekik tidak terima.
"Dengan Masumi-mu itu," tegas Tamotsu.
Maya menganga dan gagal menjawab.
"Masih mau mengelak?"
"Diakan kekasihku," lirih Maya dengan pipi merona.
Tamotsu tertawa, "Terserah apa katamu. Sekarang cepat tidur, bertengkar denganmu tidak akan ada habisnya,"
Maya mengerucutkan bibirnya dan dengan patuh memejamkan matanya, "Terima kasih Tamotsu," gumam Maya.
Tamotsu tersenyum lalu bersamaan dengan munculnya fajar di ufuk timur dia mengangkat tongkatnya ke atas lalu mengucapkan sebuah mantra dan sebuah perisai perak muncul menyelubungi tubuh Maya. Sedetik kemudian Maya terlelap.
Tamotsu menoleh ketika mendengar fusuma di geser, seorang pemuda mengenakan yukata bersimpuh dan mengangguk hormat pada Tamotsu.
"Tolong jaga gadis ini, aku harus pergi,"
"Baik Tuan Muda,"
Tamotsu berjalan keluar dari washitsu yang sekarang sudah berubah menjadi kamar Maya.
***
Tamotsu tertegun di kamarnya. Dia sedang merenungkan sesuatu lebih tepatnya seseorang, Maya Kitajima. Ini hari ketiga Maya berada di rumahnya. Apa yang menimpa Maya sekarang adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang telah disebabkan olehnya. Karenanya Tamotsu berniat untuk membantu gadis itu dan membebaskannya.
Menatap dirinya di cermin, Tamotsu sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih manusiawi. Dia mengenakan kemeja putih. Rambutnya yang panjang keemasan telah berubah warna menjadi hitam, dengan rapi dia mengikat rambutnya ke belakang.
Ingatannya memutar ulang semua kejadian tiga hari yang lalu. Pertemuan pertamanya dengan Maya.
Malam bulan purnama, hujan deras mengguyur kota Tokyo. Tamotsu memacu mobil sportnya dengan kecepatan tinggi. Dia harus berada di Ise sebelum fajar. Tamotsu bersyukur karena jalan raya cukup lengang karena hujan. Dia terus menambah kecepatan mobil yang dikendarainya. Spedometer menunjukkan angka seratus. Hujan deras dan gemuruh mengaburkan fokus Tamotsu, dia tidak melihat ketika seorang gadis tiba-tiba turun ke jalan. Dengan cepat Tamotsu menginjak rem tapi dia terlambat, tubuh gadis itu terpelanting jauh setelah menghantam bagian depan mobilnya.
Tamotsu melompat keluar dari mobilnya dengan panik dan mendekat pada gadis yang tergeletak tidak sadar di tepi jalan, darah mengucur dari keningnya. Itulah pertama kalinya dia melihat Maya.
Tanpa pikir panjang Tamotsu mengangkat tubuh Maya yang kuyup dan membawanya ke dalam mobil. Maya berbaring di jok belakang dan Tamotsu memeriksa denyut nadinya, matanya membelalak ketika dirasakannya denyut nadi Maya melambat. Darah segar terus mengucur dari kening Maya.
"Gawat, aku tidak bisa menyembuhkannya di sini," gumam Tamotsu gelisah. Matanya memeriksa ke sekeliling tempatnya berada, yakin tidak ada yang melihat dia menempelkan telapak tangannya pada kening Maya yang terluka. Sinar terang terpancar dari balik telapak tangannya dan darah berhenti mengucur, lukanya sembuh sempurna.
"Bagus, ini cukup untuk sementara. Bertahanlah, aku pasti bisa menyelamatkanmu," Tamotsu mendesah lega lalu keluar dari jok belakang dan kembali duduk di belakang kemudi. Dia sudah melepas jas hujan Maya dan menghangatkan tubuh mungil itu dengan jas miliknya.
Baru saja dia berniat menjalankan kembali mobilnya, suara rintihan mengusiknya. Tamotsu melihat Maya, dia merintih kesakitan. Keningnya berkerut ketika Maya menggumamkan sebuah nama.
"Ma...su...mi...." Lirih Maya.
"Setidaknya kau masih hidup," gumam Tamotsu lega.
Tidak menunda waktu lagi, Tamotsu segera memacu mobilnya. Kali ini dia berkonsentrasi penuh.
Hampir pukul tiga pagi ketika mobil Tamotsu memasuki kawasan perbukitan di wilayah Ise. Beruntung tidak turun hujan di Ise sehingga dia bisa lebih fokus melihat jalan. Mobilnya menuju ke sebuah bangunan yang berada di puncak bukit. Sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Gerbang kayu terbuka dan mobil Tamotsu masuk melalui pekarangan luas. Rumah bergaya tradisional Jepang berdiri megah di tengah tanah luas yang dikelilingi dengan taman indah.
Tamotsu segera membawa Maya ke dalam rumahnya dan meminta para pelayan menyiapkan sebuah kamar. Meski dini hari semua pelayan segera bergerak cepat menjalankan apa yang diperintahkan oleh tuan muda mereka.
Maya dibaringkan di atas futon dan Tamotsu meminta pelayan wanitanya untuk mengganti pakaian Maya. Dia sendiri kembali ke kamarnya dan berganti pakaian. Tamotsu mengenakan jubah putih dan membawa sebuah tongkat lalu kembali ke kamar Maya.
"Tuan Muda, tubuhnya dingin sekali dan denyut nadinya sangat lemah," lapor seorang pelayan pada Tamotsu.
"Aku tahu, tinggalkan aku sendiri." Perintahnya.
"Baik Tuan Muda," semua pelayan patuh dan segera pergi.
Tamotsu duduk di atas zabuton di dekat futon dan mengamati wajah Maya yang pucat pasi. Maya seperti sedang tertidur tapi Tamotsu tahu gadis yang ada dihadapannya itu sedang sekarat. Mobilnya menghantam tubuh mungil itu dengan keras dan saat menyembuhkan luka luarnya tadi, Tamotsu tahu Maya mengalami luka dalam yang parah. Otaknya juga mengalami pendarahan. Jika saja Maya di bawa ke rumah sakit pasti dokter sudah angkat tangan melihat kondisinya.
"Aku bersalah karena menyebabkanmu berada di ambang maut tapi aku pasti bisa menyembuhkanmu," gumam Tamotsu.
Tidak menunda waktu lagi, Tamotsu mengangkat tongkatnya ke atas tubuh Maya yang terbalut gaun putih sama seperti miliknya. Mulutnya merapal mantra dan dari tongkat itu terpancar cahaya perak yang kemudian membungkus tubuh Maya. Tamotsu mengerahkan semua energinya untuk menyembuhkan luka dalam di tubuh Maya namun belum selesai dia melakukannya suara tawa yang keras menghentikannya.
"Mamoru!" Seru Tamotsu terkejut.
Pria yang dipanggil Mamoru itu begitu serupa dengan Tamotsu. Hanya saja Mamoru berambut pendek tapi wajah mereka benar-benar sama. Mamoru duduk bersila di sisi lain futon dengan tangan bersandar pada lutut menyangga kepalanya.
"Ku kira kau pulang terlambat karena bersenang-senang di Tokyo ternyata kau malah pulang membawa gadis kecil yang sekarat," kata Mamoru diiringi dengan senyum miring di wajahnya.
"Jangan menggangguku, aku harus menyembuhkan gadis ini," kata Tamotsu.
"Kenapa harus? Sejak kapan manusia bisa mengharuskanmu melakukan sesuatu?" Mamoru menyeringai.
"Aku yang menabrak gadis ini jadi aku harus bertanggung jawab," jelas Tamotsu.
"Oh, kau selalu saja baik," kata Mamoru dengan nada mengejek.
"Berhentilah menggangguku dan biarkan aku menyembuhkan gadis ini,"
Mamoru mengedikkan bahunya, "Lakukanlah. Aku hanya ingin melihat,"
Tamotsu menghela napas panjang lalu mengabaikan Mamoru. Dia segera melanjutkan pekerjaannya yang tadi terhenti.
Cahaya perak kembali menyelubungi tubuh Maya ketika Tamotsu mengangkat tongkatnya. Tak lama kemudian cahaya itu berangsur menghilang dan Maya membuka matanya.
"Nah, dia sudah bangun," celetuk Mamoru.
Tamotsu mengabaikan Mamoru yang tengah mengejeknya dan langsung menyunggingkan senyumnya menyambut Maya.
"Hai," sapa Tamotsu.
Maya mengerjap beberapa kali melihat dua orang pria tidak dikenal dihadapannya.
"A, aku dimana? Kalian siapa?" Tanya Maya yang masih di ambang sadarnya.
"Wah, tidak sopan," dengus Mamoru.
"Hentikan Mamoru, dia baru saja sadar," tegur Tamotsu.
Sadar? Kening Maya berkerut. Dia lalu teringat hal terakhir yang terjadi padanya. Seketika Maya bangun dan memeriksa dirinya sendiri. Melihat dia sudah mengenakan pakaian yang berbeda sontak Maya menarik selimut menutupi tubuhnya. Mata bulatnya menatap takut pada Mamoru dan Tamotsu.
"A, apa yang sudah kalian lakukan padaku?" Tanya Maya terbata. Otaknya sudah membayangkan banyak hal.
Mulut Tamotsu menganga dan Mamoru terbahak karenanya.
"Nah lihat hasil perbuatanmu Tamotsu. Kita seperti pria mesum didepannya," kata Mamoru yang masih terbahak.
Tamotsu tersenyum simpul, "Tenang saja Nona, pelayan perempuanku yang mengganti pakaianmu. Kau tidak perlu takut, siapa namamu?"
"Ma, Maya Kitajima," jawab Maya yang kemudian menatap bergantian pada Tamotsu dan Mamoru, "Kalian siapa? Dan kenapa aku bisa ada disini?"
"Aku Tamotsu Saito dan ini saudara kembarku Mamoru Saito. Kau terluka parah tadi, makanya aku membawamu ke rumahku," jelas Tamotsu.
"Terluka parah?" Tanya Maya tidak percaya. Sekali lagi dia mengamati tubuhnya, tidak ada sedikitpun luka dan dia sama sekali tidak merasa sakit.
"Aku sudah menyembuhkanmu," celetuk Tamotsu ketika melihat Maya kebingungan.
"Menyembuhkanku?" Maya benar-benar merasa bingung dengan semua yang terjadi. Dia ingat dirinya ditabrak sebuah mobil dengan keras, lalu katanya dia luka parah dan sekarang katanya dia sudah disembuhkan. Mungkinkah? Secepat itu?
"Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada penyelamatmu?" Tegur Mamoru yang terlihat kesal melihat Maya yang masih kebingungan.
"Ah, i,iya, terima kasih sudah...menyembuhkan saya?"
Tamotsu terkekeh mendengarnya, "Iya,"
Tiba-tiba Mamoru meraih dagu Maya dan mengangkat wajahnya, "Hei Maya, kalau dilihat sedekat ini ternyata kau manis juga. Berapa umurmu?"
"Dua puluh tahun, hampir dua puluh satu," jawab Maya.
"Kau bercanda? Tubuh semungil ini kau bilang dua puluh tahun?" Ejek Mamoru.
Maya membelalak dan menepis tangan Mamoru dari dagunya. "Dengar Tuan Tamotsu...,"
"Mamoru," sela Tamotsu geli.
"Eh?!" Maya menoleh pada Tamotsu.
"Aku Tamotsu, dia Mamoru," jelas Tamotsu santai.
"Ah iya, maaf," gumam Maya sungkan dan sedetik kemudian dia kembali melotot pada Mamoru, "Dengar Tuan Mamoru Saito, jangan mengejek seenaknya. Aku ini wanita dewasa," seru Maya kesal dan Mamoru justru terbahak.
"Gadis yang menarik," tiba-tiba Mamoru menarik Maya dan dalam sekejap gadis itu langsung berada dalam pelukannya.
"Kyaa!" Teriak Maya.
"Mamoru hentikan!" Bentak Tamotsu.
Mamoru justru tersenyum senang melihat kekesalan keduanya. Maya tidak bisa melepaskan diri dari lilitan lengan kuat Mamoru.
"Lepaskan aku!" Pekik Maya seraya berusaha melepaskan diri.
"Hei, berhentilah melawan gadis manis. Aku jadi semakin menginginkanmu kalau kau melawan,"
"Mamoru!" Hardik Tamotsu keras. Dia tahu apa yang dipikirkan saudaranya.
"Kau sudah menyembuhkannya jadi biarkan aku menyenangkannya sebentar," jawab Mamoru.
Maya terhenyak, apa maksudnya? Tidak! Tidak! Maya langsung teringat Masumi.
"Lepaskan aku! Aku harus pergi! Aku harus menemui kekasihku!" Pekik Maya.
"Eh?!" Mamoru dan Tamotsu memandang Maya bersamaan.
"Dia akan menikah, aku harus segera menemuinya. Tolong lepaskan aku! Aku harus pergi," teriak Maya lagi.
Mamoru menyeringai lebar, "Kasihan sekali. Lupakan saja kekasihmu yang mau menikah itu dan jadilah milikku,"
"Tidak mau! Tidak mau! Lepaskan aku!" Maya meronta dan Mamoru terbahak.
Tamotsu terpaku, dia tahu Mamoru serius menginginkan Maya. Saudaranya itu tidak pernah bercanda jika dia sudah menyatakan keinginannya.
"Mamoru, lepaskan dia," tegur Tamotsu.
"Kenapa Tamotsu? Aku menyukainya," jawab Mamoru santai meski Maya terus meronta di pangkuannya.
"Aku tidak mau! Lebih baik aku mati daripada menjadi milik orang lain selain Masumiku!"
Wajah Mamoru mengeras seketika. Dia mendorong tubuh Maya dan gadis itu tersungkur di atas futon.
"Aduh!" Maya kesakitan saat tubuhnya terhempas.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Tamotsu.
"Menyingkirlah Tamotsu, aku akan penuhi permintaan gadis ini," seru Mamoru. Dia sudah berdiri dan ekspresi wajahnya sarat kemarahan.
"Mamoru, jangan," Tamotsu menggunakan tubuhnya membentengi Maya.
"Dia lebih memilih mati." Kata Mamoru datar.
"Jangan gila Mamoru! Gadis ini tidak tahu apa-apa," bela Tamotsu.
"Aku tidak peduli, tidak pernah ada yang menolakku," jawabnya.
"Memangnya kau siapa sampai semua keinginanmu harus dipenuhi? Tidak semua hal di dunia ini bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan," sela Maya sambil terisak.
Tamotsu membalikkan tubuhnya, dia terkejut melihat Maya bergelung dengan mata berurai air mata di atas futon, matanya menerawang jauh.
"Jadi jangan egois dengan berharap semua keinginanmu bisa terpenuhi!" Seru Maya di tengah isakannya.
Tamotsu memandang prihatin melihat Maya, dia melihat Maya begitu sedih.
"Kalian manusia selalu saja cengeng! Jangan samakan kami dengan kalian yang lemah!" Bentak Mamoru.
Maya bangun dan menatap Mamoru yang masih terlihat marah, Tamotsu berdiri dengan lutut di sebelahnya. Maya tidak mengerti dengan perkataan Mamoru.
"Kalian...?" Maya kebingungan.
"Kami bukan manusia Maya," aku Tamotsu.
Maya tersentak, tanpa sadar dia beringsut mundur.
"A,apa maksudnya?" Suara Maya bergetar.
"Jangan takut, kami tidak akan menyakitimu. Kami adalah-,"
"Kami putra Tsukuyomi-no-Mikoto sang Dewa Bulan," potong Mamoru dan bersamaan dengan itu tangannya teracung pada Maya. Sebuah cahaya menembus tubuh Maya dan detik itu juga tubuh Maya terkulai di atas futon.
"Mamoru?!" Tamotsu membalik tubuhnya dan saudaranya itu tersenyum senang. "Sial! Apa yang kau lakukan?" Hardik Tamotsu.
"Dia ingin mati dan aku sudah mengabulkan permintaannya." Jawab Mamoru santai.
"Kau-,"
"Ng...Ma...su...mi," tiba-tiba Maya melirih.
"Mustahil," desis Mamoru tak percaya, "bagaimana mungkin dia masih hidup?"
Sebuah cahaya terpancar dari balik gaun Maya. Tamotsu menarik rantai emas yang melingkar di leher Maya, liontin bintangnya bersinar.
"Kalung ini mematahkan mantramu," jelas Tamotsu.
"Bagaimana mungkin?!" Mamoru berlutut di sebelah Maya yang masih tak sadarkan diri lalu meraih kalungnya tapi tangannya terasa terbakar saat berusaha menyentuhnya.
"Apa itu?" Desisnya marah.
"Menurutku ini semacam jimat pelindung baginya. Entah mantra apa yang ada didalamnya tapi jika kau berniat menyakitinya maka kau tidak akan bisa menyentuh gadis ini," jelas Tamotsu, dia merasakan ada mantra pelindung dalam liontin bintang yang bersinar itu.
"Omong kosong!"
Tamotsu menyeringai pada Mamoru yang terlihat begitu kesal.
"Nah, kau menemukan sainganmu," goda Tamotsu.
"Mustahil kalung seperti itu bisa mematahkan mantraku,"
"Kenyataannya seperti itu,"
"Tutup mulutmu Tamotsu,"
Tamotsu terkekeh. Kalung Maya berhenti bersinar dan Maya tersadar.
"Kau sudah bangun?" Tanya Tamotsu lembut.
Maya tersentak bangun ketika melihat Tamotsu memegang kalungnya.
"Darimana kau dapatkan kalung itu?" Tanya Mamoru.
Maya menggenggam erat kalungnya. Dia memandang takut Tamotsu dan Mamoru. Perkataan Mamoru yang mengatakan bahwa mereka adalah putra dari Dewa Bulan, Tsukuyomi-no-Mikoto, membuat Maya bergidik. Tapi mungkinkah? Otaknya gagal berpikir.
"Hei Maya, kenapa kau diam saja? Darimana kau dapatkan kalung itu?" Mamoru mengulangi pertanyaannya.
"I, ini dari Masumi. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" Maya beringsut tak nyaman di atas futon.
"Siapa Masumi?" Tanya Mamoru lagi.
"Kekasihku," jawab Maya lirih, matanya langsung berubah sendu ketika mengingat Masumi.
Tamotsu tertegun menatap Maya.
"Sehebat apa Masumi itu sampai bisa mematahkan mantraku?" Mamoru memandang kesal pada Maya.
"Maya, kau tidak apa-apa kan?" Sela Tamotsu. Dia juga masih tidak percaya kalau mantra Mamoru sama sekali tidak melukai Maya.
Maya menggeleng lemah, "Tolong biarkan aku pergi," lirihnya.
"Ini masih dini hari, kau mau pergi kemana? Lagipula kita jauh dari Tokyo," terang Tamotsu.
"Dimana ini?" Tanya Maya.
"Kita di Ise," jawab Tamotsu.
"Aku ingin menemui Masumi," gumam Maya seraya menunduk dalam.
"Cih! Masumi lagi," dengus Mamoru. Dia duduk bersila dan melipat tangan di dada dengan marah.
"Kalian anak dewa kan? Apa kalian bisa merubah takdirku?" Tanya Maya tiba-tiba, dia masih menunduk dan menatap jarinya.
"Merubah takdir?" Tanya Tamotsu tidak mengerti.
"Merubah takdirku agar aku bisa bersama dengan belahan jiwaku," kata Maya. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap penuh harap pada Tamotsu.
"Jelaskan maksudmu," pinta Tamotsu dan tanpa keberatan Maya menceritakan tentang kisah cintanya dengan Masumi termasuk bagaimana dia mendapatkan kalung liontin bintang yang saat ini melingkar di lehernya.
"Aku mengerti," Tamotsu tersenyum ketika Maya mengakhiri ceritanya. Diapun beralih memandang saudaranya.
"Kau mengerti Mamoru? Ternyata cinta dan keinginan besar Masumi untuk melindunginya menjadi mantra pelindung bagi Maya," jelas Tamotsu.
"Cih," Mamoru kembali mencibir. Sejenak dia melirik pada Maya. Dalam hati dia membenarkan ucapan Tamotsu. Mantranya memang tidak akan bekerja jika digunakan untuk menyakiti orang yang hatinya tulus.
"Argh," tiba-tiba Maya meringkuk kesakitan.
"Maya!" Pekik Tamotsu terkejut.
"Kenapa dia?" Tak urung Mamoru peduli juga pada Maya yang kesakitan.
Kalung Maya tiba-tiba terlepas dari lehernya dan bersamaan dengan itu Maya tidak sadarkan diri.
"Mantranya lepas?" Tamotsu kebingungan.
"Dan mantraku berhasil, lihat itu," Mamoru menyeringai senang sambil menunjuk pada sosok bayangan yang berdiri di dekat tubuh Maya. Roh Maya terpisah dari tubuhnya.
"Kau apakan dia?" Tamotsu memandang jengkel pada saudaranya.
"Aku sudah gagal tadi," Mamoru mengendikkan bahu tapi terlihat begitu menikmati apa yang dilihatnya.
"Apa yang terjadi?" Maya kebingungan melihat tubuhnya tergolek di atas futon. "Apa aku sudah mati?" Dia mengamati tubuh transparannya.
Tamotsu memeriksa nadi Maya. "Tidak Maya, kau tidak mati, setidaknya belum,"
"Apa maksudnya?" Tanya Maya.
Mamoru terbahak melihatnya.
"Hentikan Mamoru," Tamotsu memperingatkan.
"Ternyata hanya begitu saja kekuatan cinta Masumi-mu itu," ejek Mamoru.
"Maya, bukankah kau bilang Masumi akan menikah pagi ini?" Tanya Tamotsu.
Maya mengangguk.
"Berarti dia sudah menyerah untuk memperjuangkan cintanya?" Tanya Tamotsu lagi.
"Entahlah, tapi...aku yakin Masumi sangat mencintaiku," jawab Maya.
Mamoru kembali terkekeh, "Awalnya iya, pagi ini dia memutuskan mantranya sendiri dengan memilih menikah dengan wanita lain dan mantraku bekerja. Seharusnya kau mati tapi rupanya kau cukup beruntung,"
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Maya bingung.
Tamotsu menatap Mamoru, "Batalkan mantranya,"
Mamoru menyeringai, "Tidak, kecuali dia tidak menolakku dan mau menjadi milikku,"
"Aku tidak mau!" Pekik Maya.
Mamoru mendengus, "Nah kau dengar sendiri kan?"
"Apa tidak ada cara lain?" Tanya Maya pada Tamotsu.
"Ada, batalkan pernikahan Masumi dan minta dia membuktikan kembali cintanya padamu maka itu akan mematahkan mantra Mamoru," jawab Tamotsu.
"Tapi bagaimana caraku membatalkan pernikahan Masumi? Lihat aku sekarang?" Tanya Maya.
"Bodoh! Dengan keadaan seperti itu kau bisa pergi kemanapun kau mau. Pikirkan saja kemana kau akan pergi maka kau akan ada disana dalam sekejap mata. Ada enaknya juga tidak memiliki tubuh," jawab Mamoru.
"Benarkah?" Maya menatap Tamotsu meminta pembenaran, dia tidak cukup percaya dengan ucapan Mamoru.
"Itu benar, tapi-," Mamoru tersentak dan menganga ketika Maya tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Mamoru terbahak senang.
"Mamoru! Kau gila?! Gadis itu benar-benar akan mati jika dia pergi terlalu jauh dari tubuhnya dalam waktu lama." Omel Tamotsu.
"Biarkan saja, aku hanya ingin melihat sejauh mana gadis itu mencintai kekasihnya," jawab Mamoru santai.
Tamotsu menggeleng kesal, dengan cepat dia menyelimuti tubuh Maya yang terbaring di atas futon lalu beranjak dari duduknya.
"Kau mau kemana?"
"Menjemput gadis bodoh itu. Aku sudah mengacaukan hidupnya dengan membawanya ke tempat ini, jadi aku harus bertanggung jawab,"
Mamoru menyeringai, "Lakukan sesukamu,"
Tamotsu pun dengan cepat menghilang meninggalkan saudaranya.
Tamotsu datang tepat ketika Maya keluar dari tubuh seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin putih, Shiori Takamiya. Dia segera membawa Maya pergi dan meninggalkan tubuh Shiori tergeletak di lantai.
"Kau gila!" Bentak Tamotsu ketika keduanya sudah kembali ke rumah.
"Kenapa?" Maya bingung.
"Kau bisa mati jika terlalu lama berada jauh dari tubuhmu. Kau pikir apa yang kau lakukan itu tidak berbahaya?"
"Aku rela mati asal Masumi tidak menikah dengan Shiori," jawab Maya lirih.
"Bodoh! Kau pikir apa gunanya Masumi batal menikah jika akhirnya kau mati? Dia bisa menikah dengan wanita lain lagi," Tamotsu berusaha mengurai logika Maya.
"Dia tidak akan melakukannya," sanggah Maya.
"Kau ini! Memang apa yang kau harapkan sebenarnya? Membiarkannya membujang seumur hidup setelah kau mati?" Bentak Tamotsu.
"Eh?!" Maya tersentak, dia tidak berpikir sejauh itu.
Tamotsu menggeleng melihat kebodohan Maya yang tidak berpikir panjang. "Pantas saja kau bisa tertabrak mobilku, kau ceroboh sekali," dengus Tamotsu.
"Seharusnya anak dewa tidak menggunakan mobil untuk bepergian sehingga tidak harus menabrakku," Maya balas mengomel.
Tamotsu menghela napas. Dia tidak mungkin mengatakan pada Maya bahwa dia lebih suka menjadi manusia biasa daripada menjadi anak dewa, "Maya, aku memang anak dewa tapi aku memiliki batasan. Baiklah, maaf aku sudah menabrakmu dan membuatmu terjebak disini tapi percayalah aku akan menolongmu,"
"Kau kan saudara Mamoru, jadi seharusnya bisa menolongku," kata Maya.
"Aku tidak bisa membatalkan mantra Mamoru. Kekuatanku tidak sebesar itu, kekuatanku terbatas jauh jika dibandingkan dengan Mamoru," kata Tamotsu jujur.
"Wah, wah, wah, kau terlalu jujur Tamotsu. Jangan merendahkan dirimu seperti itu," sela Mamoru yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Tamotsu memandang tajam saudaranya, begitu juga Maya.
"Baiklah, biar aku luruskan. Bagaimana jika aku mengajakmu bertaruh Maya?" Tanya Mamoru.
"Bertaruh apa?" Maya balik bertanya.
"Aku akan memberimu waktu lima belas hari. Aku akan ijinkan kau bertemu dengan Masumi setelah matahari terbenam tapi kau harus kembali ke sini sebelum fajar.-"
"Tapi...,"
"Jangan menyela perkataanku!" Bentak Mamoru.
"Ah, maaf," gumam Maya.
"Dengarkan aku, Jika selama itu Masumi ternyata benar bisa membatalkan mantraku maka kau bebas tapi jika gagal maka kau harus menjadi milikku. Bagaimana?"
"Aku tidak setuju," sela Tamotsu.
"Kenapa?" Tanya Maya.
"Kenapa? Kau bisa mati jika lima belas hari terpisah dari tubuhmu," terang Tamotsu.
Maya memandang kesal pada Mamoru, dia mau membodohiku?
"Tamotsu kau terlalu merendah, kau pasti bisa melakukan sesuatu. Bukankah kau suka membantu manusia?" Kata Mamoru.
Maya tampak berpikir. "Aku setuju," katanya kemudian.
"Maya?!" Tamotsu terkejut, Mamoru memberi aplouse padanya.
"Benar-benar berani," puji Mamoru.
"Kau bercanda?" Kata Tamotsu.
"Tidak. Aku yakin Masumi mencintaiku dan aku akan buat dia membebaskanku sebelum lima belas hari. Jadi aku pasti akan baik-baik saja." Jawab Maya.
Mamoru terkekeh, "Baiklah. Kesepakatan telah dibuat. Aku suka tantangan, selamat berusaha," Mamorupun pergi meninggalkan Maya dan Tamotsu.
Keduanya terdiam cukup lama.
"Kekuatanku memang terbatas tapi aku akan tetap membantumu," ucap Tamotsu kemudian.
Untuk pertama kalinya sejak Maya bertemu Tamotsu, dia tersenyum, "Terima kasih," ucap Maya.
Tamotsu balas tersenyum, "Kau memang gadis pemberani," pujinya.
"Aku hanya memperjuangkan hak kehidupanku," kata Maya.
Tamotsu tertawa, "Baiklah, sudah saatnya kau kembali ke tubuhmu atau kau akan menghabiskan energi kehidupanmu dan memperpendek umurmu,"
"Lho? Kau bilang kau tidak bisa melakukannya?" Tanya Maya.
"Aku tidak bisa mematahkan mantra Mamoru tapi aku bisa membuat rohmu tetap berada di dalam tubuhmu. Hanya saja kau akan tertidur di bawah mantraku sampai matahari terbenam," jelas Tamotsu.
Maya terlihat bingung.
"Sudah tidak usah dipikirkan. Sulit menjelaskan semua itu sekarang," kata Tamotsu.
"Kalian membuatku gila," keluh Maya.
Tamotsu terkekeh, "Ya, itulah alasan kenapa kami tinggal di bukit dan jauh dari manusia."
Tamotsu mengabaikan gerutuan Maya dan berjalan mendekat pada tubuh Maya yang terbaring di atas futon. Dia mengucapkan sebuah mantra dan tubuhnya terbungkus cahaya perak. Ketika cahaya itu menghilang penampilan Tamotsu sudah berubah. Dia mengenakan jubah putih berkilauan dan rambut panjang hitamnya berubah warna menjadi keemasan, tangannya menggenggam sebuah tongkat kayu.
"Ini wujud asliku sebagai anak dari Tsukuyomi-no-Mikoto," terang Tamotsu pada Maya yang terlihat takjub.
"Kemarilah," pinta Tamotsu.
Maya melayang mendekat pada tubuhnya. Tamotsu mengangkat tongkatnya dan Maya kembali masuk ke tubuhnya. Kemudian sebuah cahaya perak menyelubungi tubuh Maya.
Begitulah Maya akan tertidur pada siang hari dan akan bangun kembali dengan mantra Tamotsu pada malam hari.
***
"Dimana Mamoru?" Tanya Tamotsu pada pelayannya.
"Tuan Muda Mamoru sudah pergi sejak pagi tadi," jawabnya.
"Kemana? Tidak biasanya dia pergi siang hari,"
"Tuan Muda mengatakan akan pergi ke Tokyo,"
Tamotsu tersentak, "Apa?!" Jangan-jangan....
"Jaga kamar Maya. Jangan ijinkan siapapun masuk ke sana sebelum aku kembali," pesannya.
Pelayan itu mengangguk dan Tamotsu segera pergi. Dia berlari di lorong rumah.
"Sial!" Tamotsu menjentikkan jarinya dan dalam sekejap cahaya perak menelannya.
***
"Masuk," seru Masumi ketika mendengar pintu kantornya di ketuk. Mizuki muncul dari balik pintu.
"Pak, di luar ada Tuan Saito. Dia ingin bertemu dengan anda," lapor Mizuki.
"Tuan Saito? Aku tidak membuat janji dengan siapapun."
"Saya sudah katakan hal itu tapi Tuan Saito bersikeras ingin menemui anda. Dia bilang anda pasti bersedia menemuinya setelah melihat ini," Mizuki mengulurkan sebuah kotak berukuran persegi pada bosnya.
Masumi membuka kotak itu dan jantungnya seakan melompat keluar melihat isinya.
Ini kalung Maya?!
Tanpa menjawab apapun Masumi meninggalkan meja dan bergegas keluar. Mizuki yang kebingungan segera mengikuti bosnya. Mata Masumi terpaku menatap tamunya. Seorang pria berwajah tampan dengan potongan rambut rapi tersenyum padanya.
"Senang bisa bertemu denganmu, Tuan Hayami. Aku Mamoru Saito," sapa Mamoru.
"Tuan Saito," Masumi mengangguk hormat. "Kau-,"
"Tidakkah kita membutuhkan tempat yang lebih pribadi untuk bicara?" Potong Mamoru.
"Silakan masuk," Masumi mempersilakan mamoru masuk ke kantornya. Dia yakin Mamoru mempunyai informasi tentang Maya. "Mizuki tahan semua panggilan untukku," pesan Masumi sebelum dia kembali masuk ke kantornya.
"Baik Pak,"
"Maaf Tuan Saito, darimana kau mendapatkan kalung ini?" Tanya Masumi ketika keduanya sudah duduk di ruangan Masumi. Tangan Masumi menggenggam erat kalung milik Maya.
"Jadi benar kalung itu memiliki arti penting untukmu?"
"Bukan, bukan kalung ini yang penting tapi gadis yang memakai kalung ini. Apa kau tahu dimana pemilik kalung ini?"
Mamoru tersenyum, "Ya aku tahu. Gadis yang manis, menarik, dan bersemangat,"
Ekspresi Masumi sulit ditebak, antara senang dan tidak. Nada bicara Mamoru terdengar aneh di telinganya.
"Kau mengenal Maya?"
"Iya,"
"Dimana dia sekarang?"
Mamoru tertawa. Dia jelas tahu kalau selama tiga hari belakangan keduanya bertemu setiap malam tapi sepertinya Masumi tidak tahu apa-apa mengenai kekasihnya itu.
"Maaf," sela Masumi bingung. Dia merasa tidak ada hal lucu untuk di tertawakan.
"Aku tidak akan memberitahumu dimana Maya berada," jawab Mamoru.
Kening Masumi berkerut.
"Aku datang bukan dengan kebaikan hati yang ingin menyatukan kalian berdua. Aku datang untuk memberikan peringatan,"
"Apa maksudmu Tuan Saito?"
Mamoru menyeringai, "Maya akan menjadi milikku, apapun caranya. Jadi mulai sekarang belajarlah untuk merelakannya,"
Masumi tersentak, kedua tangannya mengepal kuat menahan marah.
"Kau tidak dapat melakukannya! Maya adalah kekasihku," desis Masumi tidak terima.
Mamoru terkekeh, "Oh ya? Apakah kau bisa membuktikan bahwa Maya adalah kekasihmu? Bahkan dimana dan bagaimana keadaannya saat inipun kau tidak tahu,"
Mata Masumi membelalak marah. "Siapa kau sebenarnya?"
Brak!! Belum sempat Mamoru menjawab pintu kantor Masumi terbuka keras. Masumi mengernyit melihat dua orang pria yang serupa, hanya rambut keduanya yang berbeda.
"Maaf Pak, saya-,"
Masumi mengangkat tangannya pada Mizuki dan menyuruhnya keluar sebelum sekretarisnya itu sempat menjelaskan apa yang terjadi. Mizuki mundur dan keluar dari kantor Masumi sementara Tamotsu dengan langkah mantap menghampiri Masumi dan saudaranya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Tamotsu pada Mamoru. Suaranya tenang tapi tajam.
"Seharusnya aku yang bertanya," sahut Mamoru.
Masumi memandang keduanya dengan bingung.
"Siapa kau?" Sela Masumi.
"Maaf mengejutkanmu Tuan Hayami, aku Tamotsu Saito." Tamotsu mengangguk hormat pada Masumi. "Maaf jika saudaraku mengganggumu,"
"Aku hanya memperingatkannya Tamotsu, kau baik sekali jauh-jauh datang hanya untuk melindunginya," ejek Mamoru.
"Jangan ingkari janjimu Mamoru, dia masih punya waktu dua belas hari,"
"Aku tahu,"
Keduanya terdiam, mengabaikan Masumi yang kebingungan dan hanya saling menatap.
"Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang," kata Mamoru kemudian.
"Tunggu! Jelaskan dulu semuanya. Apa hubunganmu dengan Maya dan dimana dia sekarang?" Masumi menahan tamunya pergi.
"Sudah ku katakan bukan itu tujuan ku datang. Sampai jumpa Tuan Hayami," Mamoru melenggang meninggalkan Masumi dan melewati Tamotsu begitu saja. Saudara kembarnya itu masih bergeming seraya menatap tajam Masumi.
"Maaf Tuan Hayami, aku juga harus pergi,"
Tamotsu kembali mengangguk pada Masumi setelah Mamoru pergi.
"Tunggu Tuan Saito. Sebenarnya siapa kalian? Bagaimana kalian bisa mengenal Maya?" Tanya Masumi yang masih kebingungan dengan kedua tamunya yang aneh.
"Maaf, aku tidak berhak menjelaskan semuanya. Tapi jika boleh aku bertanya apakah kau mencintai Maya?" Alih-alih menjawab pertanyaan Masumi Tamotsu justru balik bertanya.
Bagaimana mereka bisa tahu hubunganku dengan Maya? Siapa sebenarnya mereka?
"Ya, aku sangat mencintainya," jawab Masumi mantap.
Tamotsu tersenyum, "Kalau begitu cepat buktikan kalau kau mencintainya, hanya itu caranya agar dia bisa kembali. Permisi Tuan Hayami. Sampai jumpa," dan Masumi hanya bisa mematung ketika akhirnya Tamotsu juga pergi. Tanda tanya besar bersandar di kepalanya. Beberapa hari terakhir ini terlalu banyak hal aneh terjadi, melelahkan. Semuanya bagai puzzle teka-teki yang tak kunjung selesai.
"Maaf Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Mizuki memandang Masumi heran ketika bosnya itu hanya termenung di mejanya. Masumi bahkan tidak mendengar ketika Mizuki mengetuk pintu kantor.
"Tolong buatkan aku kopi Mizuki dan tolong batalkan semua acara sore ini. Ada hal yang harus aku selesaikan," pesan Masumi masih dengan wajah seriusnya.
"Baik Pak. Apa hanya itu?" Tanya Mizuki lagi.
Masumi hanya mengangguk dan melambaikan tangannya, mengusir. Tak bertanya lagi Mizuki segera keluar, meninggalkan Masumi dengan kening yang berkerut dalam.
***
Masumi memasuki kamarnya penuh harap. Berharap bisa bertemu dengan Maya dan pendapat penjelasan atas semua keanehan yang terjadi.
Mamoru Saito, Tamotsu Saito, siapa sebenarnya mereka?
Masumi duduk di sofa kamarnya ditemani segelas white wine. Di dalam otaknya berputar berbagai macam dugaan. Dia sudah meminta Hijiri mencari tahu mengenai Saito bersaudara. Hal lain yang membingungkannya adalah mengenai keberadaan Maya. Dimana sebenarnya kekasihnya itu berada dan apa hubungannya dengan Mamoru. Memikirkan ada pria lain yang menginginkan Maya membuatnya sangat frustasi.
Sementara itu Maya di tempat lain sedang menghadapi masalah lain.
"Kenapa kau menemuinya? Kau tahu aku tidak akan bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya!" Maya marah pada Mamoru yang tengah berdiri di taman memandang bulan.
Mamoru hanya terkekeh, "Kenapa harus semarah itu Maya. Kalau kau percaya pada kekasihmu itu kenapa harus khawatir pada apa yang aku lakukan?"
"Kau menyebalkan Mamoru!" Teriak Maya kesal sambil berputar meninggalkan Mamoru.
"Abaikan saja," kata Tamotsu ketika Maya kembali ke kamarnya.
"Bagaimana aku bisa mengabaikannya?! Malam ini Masumi pasti sedang bertanya-tanya dan bagaimana aku harus menjelaskan semuanya?" Kata Maya kesal.
"Apa kau tidak akan menemui Masumi-mu malam ini?"
"Tidak! Sudah ku bilang aku tidak tahu harus bicara apa padanya,"
Tamotsu terdiam.
"Aku heran dengan kalian berdua," kata Maya tiba-tiba.
Tamotsu melengkungkan alisnya, "Kenapa?"
"Aku tidak mengerti, jika kalian benar anak dewa kenapa kalian tinggal di tempat ini? Dan kenapa Mamoru menginginkan aku yang hanya seorang manusia sehingga membuatku terjebak dalam keadaan rumit seperti ini?" Maya memiringkan kepalanya dan memberi tatapan jelaskan-padaku.
"Kau ingin tahu?"
Maya mengangguk.
"Kau sudah terjebak dalam keadaan ini jadi kupikir kau berhak tahu. Ayo ikutlah denganku,"
Dengan patuh Maya mengikuti Tamotsu, keduanya berjalan di lorong menuju sebuah kamar. Tamotsu menggeser pintu dan apa yang terlihat di dalam kamar membuat Maya tertagun heran. Foto wanita cantik tergantung besar di tengah kamar. Tidak hanya foto besar, tapi foto berbagai ukuran dari wanita yang sama juga tergantung di sekeliling dinding. Diantaranya satu dua foto memperlihatkan kemesaraan wanita itu dengan...entah Tamotsu atau Mamoru.
"Namanya Yukari, dia adalah istriku,"
Maya tercengang, "Istri?!"
"Dialah alasanku berada disini. Aku jatuh cinta dengan manusia dan melanggar hukum dengan menikahinya. Ayahku, Tsukuyomi-no-Mikoto marah ketika mengetahuinya dan hasilnya kekuatanku disegel dan aku dibuang ke bumi. Itulah sebabnya aku tidak bisa mematahkan mantra Mamoru. Kekuatanku terbatas sekarang,"
"Bagaimana dengan Mamoru?"
Tamotsu tersenyum, "Dia membenci manusia karena istriku. Tapi bagaimanapun dia adalah saudaraku, dia lebih memilih tinggal di bumi menemaniku. Dia bermusuhan dengan ayah gara-gara aku."
Oh! Ternyata dia baik juga
"Lalu, dimana Yukari sekarang?"
Tamotsu menunduk lesu, "Dia sudah meninggal delapan puluh tahun yang lalu. Tsukuyomi-no-Mikoto membunuhnya karena melanggar hukum langit dengan mencintai dewa. Meski itu bukan salahnya, aku yang mendekatinya bukan sebaliknya. Tapi tidak ada kata salah bagi dewa kan?"
"Delapan puluh tahun? Berapa usiamu sekarang?" Tanya Maya polos dan Tamostu terkekeh karenanya.
"Umurku sudah ratusan tahun Maya, meski begitu aku baru benar-benar merasa hidup delapan puluh tahun yang lalu. Ketika aku bersama dengan Yukari," jawab Tamotsu.
Maya memandang penuh simpati, "Bahkan dewapun tidak bisa memiliki kehidupan seperti apa yang diinginkannya," lirih Maya.
Dengan lembut Tamotsu mengusap lengan Maya, "Jangan menyerah, aku tahu apa yang kau rasakan. Mendengar ceritamu membuatku teringat pada Yukari. Dulu aku tidak punya keberanian melawan ayahku dan merasa lemah karena kekuatanku di segel sehingga aku tidak bisa menyelamatkannya. Tapi melihat Masumi-mu, aku yakin dia bisa. Mamoru datang menemuinya untuk memastikan hal itu,"
"Eh?!" Maya tidak mengerti dengan ucapan Tamotsu.
"Maya, Mamoru tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Ini pertama kalinya dia menyukai seseorang. Meski caranya aneh tapi begitulah dia. Dia sudah jatuh cinta padamu dan dia datang menemui Masumi untuk memastikan apakah Masumi sanggup membebaskanmu. Karena jika tidak...dia sudah siap melepas mantranya dan menjadikanmu miliknya,"
"Ah, ternyata semuanya memang tidak akan berjalan dengan mudah ya," gumam Maya sedih.
"Di satu sisi aku tahu perasanmu tapi di sisi lain aku juga mengerti perasaan Mamoru. Bagaimanapun dia saudaraku. Meski begitu aku mengharapkan yang terbaik bagimu Maya."
"Yang terbaik bagiku adalah ketika aku bisa bersama Masumi,"
Tamotsu kembali tersenyum, "Jika memang itu yang kau harapkan, aku berdoa kau bahagia. Kau dan Masumi pasti bisa merubah takdir dengan kekuatan cinta kalian yang kuat,"
Maya tersenyum dan mengangguk setuju. Meski sekarang dia menghargai perasaan Mamoru tapi bagi Maya cintanya untuk Masumi tidak bisa dibagi. Seluruh hidupnya, hati dan jiwanya adalah milik Masumi.
"Terima kasih Tamotsu," gumam Maya.
"Jadi...apa kau masih tidak ingin menemui Masumi-mu?"
"Sepertinya aku berubah pikiran," Maya meringis.
Dan tanpa menunggu diminta Tamotsu kembali membuka gerbang cahaya untuk melintasi ruang dan waktu.
***
Maya memandang sedih pada Masumi yang tertidur di sofa. Botol white wine dan brandy yang tergeletak kosong dimeja memberitahunya kalau Masumi pasti mabuk. Perlahan Maya menghampiri kekasihnya lalu berdiri dengan lututnya di sebelah Masumi.
"Aku bisa membuatnya bangun kalau kau mau," kata Tamotsu. Dia masih belum meninggalkan Maya. Matanya memandang sekeliling kamar.
"Tidak, mungkin begini lebih baik. Dia bisa beristirahat dan aku tidak perlu menjelaskan apapun padanya." Jawab Maya seraya mengusap lembut kepala Masumi.
"Ya terserah padamu," Tamotsu mengendikkan bahunya. Dia masih bersandar pada pintu gerbang cahaya.
"Hhmm, Tamotsu, kira-kira apa yang akan dilakukan Tsukuyomi-no-Mikoto jika dia tahu Mamoru mencintaiku? Apa dia akan membunuhku juga seperti dia membunuh Yukari lalu menyegel kekuatan Mamoru?" Maya beralih menatap Tamotsu.
"Mungkin saja. Peraturan tetap peraturan. Dewa tidak boleh jatuh cinta pada manusia," jawab Tamotsu.
"Meski tahu konsekuensinya kenapa Mamoru tidak mau melepaskanku?"
Tamotsu terkekeh, "Alasan yang sama denganmu ketika kau rela mempertaruhkan nyawamu. Cinta. Itulah cinta Maya. Jangan tanya kenapa. Lagipula kami sudah puluhan tahun tinggal di bumi, tidak ada bedanya lagi kami dewa atau bukan. Bahkan kekuatan kami juga tidak banyak berguna, ya meski saat ini aku berharap aku memiliki kekuatan penuh untuk bisa melepaskan mantra Mamoru,"
Maya tersenyum mendengarnya, "Kenapa semua hal menjadi rumit hanya karena sebuah cinta padahal impianku sederhana, hidup bahagia bersama pria ini," Maya mengusap wajah tampan Masumi yang tengah terlelap.
"Nggh," Masumi melenguh dan bergerak dalam tidurnya.
"Tidurlah Masumi, mimpikan aku," bisik Maya.
Maya tersenyum dan sebuah benda terjatuh dari genggaman tangan Masumi mengalihkan perhatiannya. Melihat ke lantai, Maya mendapati kalungnya. Diapun kembali memakai kalung itu. Maya beranjak dari sisi Masumi lalu berjalan ke tempat tidur, mengambil sebuah selimut dan menutupi tubuh Masumi yang dingin karena udara malam.
"Kau yakin meninggalkannya seperti itu?" Tanya Tamotsu ketika melihat Maya bersiap pergi.
"Dia akan tertidur semalaman," jawab Maya seraya mengangguk. Sekali lagi dia mengusap wajah Masumi dan mendaratkan sebuah kecupan di sudut bibir Masumi.
"Ayo pergi," Maya kembali masuk melalui pintu cahaya dan dalam sekejap keduanya menghilang.
Sedetik kemudian sebuah desahan panjang terdengar. Masumi membuka matanya.
Maya? Apa yang terjadi sebenarnya?
Dia hanya pura-pura tidur dan apa yang dilihatnya membuat tanda tanya di kepalanya semakin besar.
***
Masumi tidak bisa lagi memejamkan matanya, melihat Maya yang menghilang bersama Tamotsu membuat dunianya berputar seratus delapan puluh derajat. Matanya terang menatap kegelapan malam dan otaknya berputar mencari pembenaran yang masuk akal atas apa yang dilihatnya. Percakapan Maya dan Tamotsu mengaburkan akal sehatnya.
Mungkihkah semua ini terjadi? Apakah semua ini nyata? Atau hanya kegilaan karena pengaruh alkohol yang ku minum? Masumi menggeleng keras. Meski tidak melihat jelas tapi dia tahu pasti kalau dirinya tidak salah lihat juga tidak salah dengar. Maya. Tamotsu. Mamoru. Tsukumiya-no-Mikoto. Empat nama itu terus berputar di kepalanya.
"Aku harus pergi ke Ise," gumamnya.
Seperti apa yang telah dikatakannya. Keesokan paginya Masumi segera bersiap untuk pergi ke Ise. Yang dia tahu di sana terdapat kuil Tsukuyomi-no-Mikoto. Dia berharap dapat menemukan jawaban atas semua hal tidak masuk akal yang terjadi padanya.
"Kau mau ke luar kota?" Tanya Eisuke ketika keduanya sedang sarapan.
"Ya ayah. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di Ise." Jawab Masumi.
"Berapa hari kau akan pergi?"
"Entah Ayah, mungkin dua hari."
"Hhmm,"
Masumi menilai ekspresi ayahnya. Tidak biasanya Eisuke banyak bertanya jika dia ingin pergi bekerja. Masumi memang sudah meminta Mizuki untuk membuat perjalanan kerja fiktif untuknya.
"Ada apa Ayah?" Akhirnya Masumi bertanya juga.
Eisuke hanya melirik putra angkatnya itu.
"Tidak biasanya ayah bertanya jika aku pergi bekerja,"
"Oh, aku hanya ingin memastikan kalau kau memang bekerja disana,"
Masumi menautkan alisnya, "Apa maksud ayah?"
"Ku dengar dari para pelayan, sejak batal menikah kau bersikap aneh dan sering mengurung diri di kamar. Aku juga dengar kau mendatangi Shiori beberapa hari yang lalu. Kau harus tahu Masumi, aku tidak mau kau masih berhubungan dengan Takamiya terlebih lagi dengan Shiori."
Masumi menyeringai tipis menanggapi perkataan ayahnya. "Tenang saja ayah, aku pergi ke Ise bukan untuk bertemu Shiori,"
"Bagus. Ku harap kau tidak benar-benar jatuh cinta pada wanita yang sudah mencorengkan arang pada nama keluarga kita," lanjut Eisuke sambil menyeka mulutnya dengan serbet.
Masumi tertawa, aku jatuh cinta pada Shiori? Andai ayah tahu kalau aku adalah orang yang paling bahagia dengan pembatalan pernikahan ini.
"Ayah tenang saja, aku sama sekali tidak jatuh cinta padanya. Hubungan kami hanyalah sebatas pertunangan yang ayah rencanakan dengan Tuan Besar. Selebihnya aku tidak memiliki perasaan apa-apa padanya," jelas Masumi seraya menyunggingkan senyum simpul.
Eisuke menghela napas panjang, dia menatap Masumi lekat, "Aku masih tetap berharap kau bisa segera menikah,"
Seketika tangan Masumi yang memegang pisau sarapannya menggantung di udara. Diapun meletakkan pisau itu di atas piring dan balas menatap ayahnya, "Apa ayah berniat menjodohkanku lagi?"
Eisuke kembali menghela napas, "Tidak kali ini. Tapi jika sampai tahun depan kau belum juga memilih calon istri maka aku akan kembali menjodohkanmu,"
Masumi tertegun. Tahun depan? Kalau aku bisa menemukan Maya hari ini, aku akan langsung menikahinya besok.
"Kenapa? Kau keberatan? Apa kau pikir aku akan membiarkanmu membujang seumur hidup? Keluarga kita butuh penerus dan-,"
"Tenang saja Ayah," sela Masumi.
"Eh?!" Eisuke menatap heran putranya.
"Aku akan segera memenuhi keinginan ayah,"
Jawab Masumi yang kembali melanjutkan sarapannya.
"Kau sudah memiliki kekasih lain?" Eisuke gagal menyembunyikan keterkejutannya. Jelas saja, putranya itu terkenal dingin dan gila kerja. Kalau saja bukan karena di jodohkan dengan Shiori, Masumi pasti tidak pernah pergi berkencan dengan wanita. Yang ada di kepalanya hanyalah urusan kerja.
"Kenapa ayah begitu terkejut? Aku laki-laki normal, tentu saja aku juga memikirkan masa depanku. Lagipula aku sama sekali tidak berniat membujang seumur hidup," jelas Masumi tenang. Dia menyuap potongan terakhir roti bakar dipiringnya.
"Siapa wanita itu?" Perkataan Masumi menggelitik rasa penasaran Eisuke.
Masumi tersenyum, "Aku akan memperkenalkannya pada ayahnya jika sudah tiba saatnya,"
"Dan waktunya adalah?"
"Secepatnya. Yang pasti tidak sampai tahun depan," Seringai di wajah Masumi mengakhiri pertanyaan Eisuke. "Permisi ayah, aku berangkat," Dengan sopan Masumi meninggalkan meja makan.
Masumi memacu mobilnya sendiri. Dia tidak membawa supirnya. Masumi tidak mau urusannya diketahui orang lain. Bahkan Mizuki, sekeretaris andalannya pun harus gigit jari ketika gagal mengetahui alasan perjalanan kerja fiktif yang dibuatnya.
Maya, aku pasti akan menemukanmu dan segera menjadikanmu milikku. Satu-satunya milikku, selamanya
Dan bayangan Maya, Tamotsu juga Mamoru kembali melintas di benaknya.
***
Lima jam perjalanan dengan mobilnya, akhirnya Masumi tiba di Ise. Dia segera menuju Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya. Ada beberapa pendeta shinto juga beberapa miko yang bertugas di kuil. Masumi pun menemui salah satunya dan meminta doa. Selain itu dia menanyakan beberapa hal terkait apa yang dilihatnya.
"Manusia dengan kekuatan dewa?" Pendeta Shinto itu mengerutkan kening dalam mendengar pertanyaan Masumi.
"Iya," tegas Masumi, dia juga bingung dengan pertanyaannya sendiri.
"Saya tidak mengerti dengan apa yang Tuan maksud. Tapi jika maksud anda adalah manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk berbicara dengan para dewa itu ada," jawabnya.
"Eh? Benarkah? Bisakah saya bertemu dengannya?" Kata Masumi bersemangat.
"Bertemu dengannya?" Pendeta Shinto itu kembali terheran-heran.
"Iya, dengan orang yang bisa berbicara dengan dewa," jelas Masumi.
Pendeta itu tertegun sejenak.
"Sayangnya dia bukan pendeta jadi dia tidak tinggal disini. Biasanya dia hanya datang jika ada upacara pemujaan saja. Tapi jika anda memang ingin menemuinya, saya bisa memberikan alamat tempat tinggalnya."
Hati Masumi mengembang penuh harap ketika pendeta itu mencatatkan sebuah alamat padanya.
"Terima kasih," ucapnya sebelum akhirnya pergi.
Tidak merasa lelah meski baru saja melakukan perjalanan selama lima jam, Masumi langsung membawa mobilnya melaju ke alamat yang sudah langsung dihapalnya di luar kepala. Lima belas menit, mobil Masumi berhenti di depan sebuah bangunan. Tak membuang banyak waktu, dia segera turun untuk mencari pria yang dituliskan bernama Ryunosuke, tanpa nama keluarga. Masumi tertegun ketika melihat plakat yang terpasang di pintu alamat yang dicarinya. Psikiater?
Teet! Teet! Seorang pria tertegun menatap Masumi di ambang pintu.
"Tuan Ryunosuke?" Tanya Masumi. Dengan jeli Masumi mengamati pria yang ternyata masih muda. Mungkin usianya sama dengan dirinya. Pria itu cukup tampan, mengenakan kemeja biru dan celana jeans panjang berwarna biru gelap.
"Ya, kau?" Ryunosuke balas bertanya. Dia juga mengamati Masumi dari atas ke bawah.
"Masumi Hayami. Aku mendapat alamatmu dari pendeta di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya." Jelas Masumi.
"Oh," pria itu ber-oh pelan. "Maaf, hari ini aku tidak menerima tamu untuk meminta doa. Aku sedang praktek," tolaknya sopan.
Eh?! "Maaf tapi aku datang bukan untuk meminta doa,"
Ryunosuke melengkungkan alisnya, "Lalu?"
Masumi menoleh ke kanan dan ke kiri, "Maaf, bolehkan aku masuk dan membicarakan ini secara pribadi?"
"Maaf, aku ada janji dengan klien,"
"Hanya sebentar, ku mohon,"
Ryunosuke tertegun sejenak tapi kemudian dia mengangguk, "Silakan masuk,"
Keduanya duduk di ruang tamu yang tertata rapi.
"Sebelumnya aku ingin kau tahu, aku hanya menerima pelayanan doa atau penyucian saja. Aku tidak mau diminta untuk melakukan hal aneh untuk urusan bisnis."
Ah, Masumi mengerti. Dengan tampilannya Ryunosuke mengira dirinya meminta bantuan untuk menjatuhkan lawan bisnis.
"Tidak, kau salah paham."
"Begitukah? Baguslah, sekarang jelaskan maksud kedatanganmu,"
Sejenak Masumi termenung, dia sendiri ragu dengan apa yang akan dikatakannya, "Maaf, benarkah kau bisa berbicara dengan dewa?"
"Ya,"
"Bagaimana bisa? Eh, maksudku bagaimana kau bisa berkomunikasi dengan dewa, hhmm...di langit?" Masumi menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tenang dan tidak terlihat bingung.
Ryunosuke mengernyit, "Kau mengintrogasiku?"
"Maaf, aku tidak bermaksud mengintrogasimu. Aku hanya ingin tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana memanggil dewa lalu berkomunikasi dengannya. Aku ingin berbicara dengan dewa," Masumi berterus terang karena tidak mau Ryunosuke salah paham.
"Memanggil dewa dan berkomunikasi?" Ryunosuke tertawa, "Kita tidak bisa memanggil dewa Tuan Hayami. Ketika kita berdoa itulah cara kita berkomunikasi dengan dewa."
Masumi masih belum puas dengan jawaban itu, "Lalu bagaimana denganmu? Pendeta bilang kau memiliki kekuatan khusus untuk berbicara dengan dewa,"
"Oh, mengenai itu. Ya sejak lahir aku memiliki kekuatan supranatural untuk berkomunikasi dengan alam roh. Tapi aku tidak memanggil dewa. Dewalah yang berbicara padaku dan memintaku menyampaikannya. Ya semacam perantara," jelas Ryunosuke.
"Darimana kekuatan itu?" Masumi semakin penasaran.
"Itu warisan leluhur keluarga kami. Aku generasi ketiga dari keluarga yang memilikinya." Terang Ryunosuke.
"Hanya kau? Tidak ada saudara anda yang lain?"
Ryusuke menggeleng, "Aku anak tunggal, orang tuaku sudah meninggal. Setiap orang tua di keluarga kami akan meninggal setelah anaknya bisa meneruskan menjadi perantara dewa,"
"Jadi hanya ada satu keturunan tunggal di setiap generasi?"
"Benar,"
"Berarti kau juga...," Masumi termangu.
"Akan mati setelah menikah dan punya anak?" Sela Ryunosuke.
Masumi mengangguk.
Ryunosuke mengendikkan bahu, "Entahlah, siapa yang tahu?" jawabnya seraya tersenyum masam. "Tuan Hayami, kenapa kau ingin berbicara dengan dewa?" Ryunosuke balik bertanya.
Nah, aku harus bicara sekarang, "Aku ingin mencari kekasihku yang hilang,"
"Maksudnya?"
"Bagiku semuanya memang begitu tidak masuk akal tapi mungkin kau bisa membantuku." Masumi menatap Ryunosuke yang sepertinya mulai penasaran dengan dirinya.
"Kemarin dua orang pria mendatangiku. Mereka tahu dimana kekasihku yang hilang tapi mereka tidak mau mengatakannya. Setelah itu malamnya aku melihat salah satu pria itu bersama kekasihku. Keduanya datang dan pergi tiba-tiba di kamarku melalui sebuah pintu yang...entahlah...pintu ajaib mungkin," Masumi mengendikkan bahunya, "Yang ku tahu mereka menyebut-nyebut mengenai kekuatan dewa dan Tsukuyomi-no-Mikoto," Masumi melihat Ryunosuke begitu serius mendengarkannya
Ryunosuke termenung di tempatnya, "Siapa nama pria yang menemuimu? Apakah mereka kembar?"
"Benar, namanya Mamoru dan Tamotsu Saito,"
"Apa?!"
"Kau mengenal mereka?" Masumi menilai keterkejutan Ryunosuke.
"Siapa nama kekasihmu?"
"Maya, Maya Kitajima,"
Ryunosuke terdiam. Jari panjangnya mengusap dagu dengan wajah penuh tanda tanya. "Kau yakin Tuan Hayami?"
"Tentu saja,"
Tiba-tiba Ryunosuke menghela napas panjang. Raut wajahnya mengeras tiba-tiba.
"Bisakah kau membantuku? Apa hubungan kedua pria itu dengan Tsukuyomi-no-Mikoto?"
"Maaf Tuan Hayami, aku tidak bisa menjelaskan apapun mengenai hal ini."
"Kau tidak bisa?"
"Maaf," ulang Ryunosuke, "Sebentar lagi aku memiliki janji dengan klienku. Jadi silakan pulang,"
"Tapi-,"
"Dengan hormat Tuan Hayami, silakan," Ryunosuke berdiri lalu melambaikan tangannya ke arah pintu. Masumi tidak bisa lagi memaksa. Diapun mengambil dompetnya dan menarik selembar kartu nama.
"Saya sangat mengharapkan bantuan anda Tuan Ryunosuke. Tolong hubungi saya jika anda berubah pikiran. Terima kasih," Masumi meletakkan kartu nama itu di meja dan melangkah keluar.
Ryunosuke menghela napas ketika menutup pintu. Kenapa kakek sampai menunjukkan wujudnya di depan manusia? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sementara itu di luar, seorang wanita tengah mengamati Masumi yang masuk ke mobilnya.
Kenapa Masumi ada di tempat ini? Gumamnya keheranan. Dengan langkah gamang wanita itu bersama pelayannya menuju tempat Ryunosuke. Jika bukan karena permintaan kakek dan kedua orang tuanya, dia tidak pernah mau mengunjungi psikiater. Pintu terbuka dan Ryunosuke menyapanya dengan ramah.
"Silakan masuk Nona Takamiya,"
***
Malam itu Masumi menginap di sebuah hotel. Hatinya masih tidak tenang sebelum menemukan jawaban atas semua keanehan yang terjadi.
Apa dia akan membunuhku juga seperti dia membunuh Yukari lalu menyegel kekuatan Mamoru
Perkataan Maya terngiang di kepala Masumi. Dia tidak mengerti apa maksudnya tapi jika itu berarti Maya dalam bahaya maka dia tidak bisa hanya berdiam diri saja. Dia harus segera bertindak. Maya sudah menghilang selama empat hari. Kemunculan Maya setiap malam di kamarnya tidak akan bisa dijelaskan secara logika pada Rei dan teman-temannya, Mayuko atau bahkan media. Terlebih seharusnya saat ini Maya berlatih untuk pementasan Bidadari Merah. Kuronuma atau Koji juga pasti bertanya-tanya tentang keberadaan Maya.
"Maya dimana kau sebenarnya?" Gumamnya.
Berdiri di balkon kamarnya, Masumi meneguk habis whisky dalam gelas yang sejak tadi digenggamnya. Matanya menatap bulan yang bersinar di langit.
***
Maya terbaring di atas futon. Matanya terpejam dan wajahnya pucat.
"Lepaskan mantramu Mamoru, lihat gadis itu! Tubuhnya sudah tidak kuat lagi dengan semua mantra yang diarahkan padanya," kata Tamotsu. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran melihat tubuh Maya yang tiba-tiba melemah.
Mamoru duduk di atas zabuton di sebelah Maya. Matanya menyusuri setiap garis wajah gadis mungil yang merebut hatinya itu.
"Apa seperti ini rasanya Tamotsu?" Tanyanya tiba-tiba.
Tamotsu yang duduk di sebelahnya menoleh dan memandangnya heran. "Apa maksudmu?"
"Apakah seperti ini rasanya mencintai? Kau dan Yukari?" Jelasnya. Mata tajam Mamoru melembut menatap saudaranya.
"Mamoru, jangan melakukan kesalahan seperti yang aku lakukan,"
"Kenapa? Aku tidak keberatan kalaupun ayah akan menjadikanku manusia seutuhnya. Dulu aku menganggapmu gila tapi sekarang aku tahu bagaimana rasanya,"
"Mamoru, masalahnya adalah Maya-,"
"Mencintai Masumi?"
"Ya,"
Mamoru terbahak, "Masumi sudah meninggalkan Maya andai saja Maya tidak nekat membahayakan nyawanya untuk membatalkan pernikahan itu,"
Tamotsu terdiam, Mamoru benar. Itulah sebabnya kalung Maya kehilangan mantra pelindungnya.
"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Maya bisa meninggal kalau kau tidak melepaskan mantranya. Mantraku hanya bisa menahan rohnya sementara waktu. Nyatanya tubuh Maya sudah tidak kuat lagi,"
Tangan Mamoru terulur dan mengusap lembut wajah Maya. "Masumi sudah ada di Ise. Sore tadi dia menemui cucu buyutmu, Ryunosuke," gumamnya.
Tamotsu membelalak terkejut, "Bagaimana bisa dia menemui Ryunosuke?"
Mamoru menoleh pada saudaranya, "Kalian berdua bodoh kemarin malam. Masumi dalam keadaan sadar ketika kau dan Maya datang. Kau memang kehilangan banyak kekuatanmu tapi bukan berarti kau boleh seceroboh itu, sampai bisa dibodohi Masumi. Dia mendengar semua pembicaraan kalian dan datang ke Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya,"
"Aku harus menemui Ryunosuke," Tamotsu segera berdiri.
"Untuk apa?" Tanya Mamoru. Dia mendongak menatap Tamotsu.
"Untuk memperingatkannya agar tidak mengatakan apapun pada Tsukuyomi-no-Mikoto atau kau dalam bahaya," jawabnya.
Mamoru terkekeh, "Kau ini, terlalu lama tinggal di bumi membuatmu semakin mirip manusia bodoh saja." Ejeknya.
"Hei!" Seru Tamotsu, sedikit tersinggung dengan ucapan Mamoru. Tapi begitulah saudaranya itu, dingin dan tidak pernah basa-basi.
"Kau pikir saja Tamotsu. Jika aku saja bisa tahu semua hal yang terjadi, apa kau pikir bisa mengelabui ayah? Dia pasti sudah tahu kalau aku sudah tergila-gila pada gadis ini," jawab Mamoru yang kemudian kembali memandang Maya yang masih terlelap.
Tamotsu kembali duduk di atas zabuton. "Apa rencanamu?"
"Aku berani bertaruh kalau besok Masumi pasti akan datang. Aku sudah bisa melihatnya," jawab Mamoru.
"Kau akan melepaskan Maya atau sebaliknya?"
"Tergantung sejauh mana Masumi bisa mempertahankannya,"
"Kau? Berniat membuat Masumi melawanmu?"
Mamoru menggeleng, "Dari apa yang aku lihat, Masumi memang datang untuk melawanku. Lagipula aku yang menantangnya kemarin,"
Tamotsu mendesah panjang.
"Kenapa Tamotsu? Aku hanya ingin membuktikan sesuatu."
"Membuktikan apa?"
"Kau kalah oleh Yukari dan jika kali ini aku juga kalah oleh Maya dan Masumi maka aku akan mengakui bahwa manusia memang bisa lebih kuat daripada dewa,"
"Jangan korbankan nyawa manusia demi pertaruhanmu itu Mamoru,"
Mamoru menyeringai, "Tidak Tamotsu, aku tidak akan menyakitinya,"
***
Matahari sudah bersinar terang, Masumi terbangun oleh suara dering handphone. Meraih handphonenya di atas meja, Masumi menjawab panggilan.
"Halo," jawab Masumi seraya menggosok matanya yang masih terasa berat untuk terbuka. Perjalanan panjang kemarin cukup membuatnya kelelahan.
"Tuan Hayami? Saya Ryunosuke,"
Masumi terkesiap, "Tuan Ryunosuke?"
"Ya," jawab Ryunosuke singkat.
"Kau berubah pikiran?" Tanya Masumi. Dia berusaha tetap tenang meski kenyataannya jantungnya berpacu.
"Ya."
"Kau akan membantuku?"
"Tuan Hayami, aku hanya bisa mengantarmu ke tempat di mana kekasihmu berada. Selebihnya aku tidak bisa ikut campur,"
"Kau tahu dimana Maya?!" Pekik Masumi terkejut, jantungnya semakin berpacu.
"Ya,"
"Dimana dia?"
"Temui aku pukul lima sore di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya,"
"Baik, aku pasti-,"
"Sampai jumpa Tuan Hayami,"
Tuuuttt! Ryunosuke mematikan teleponnya dengan cepat, Masumi menatap handphone dengan penuh tanda tanya. Tangannya mengepal erat, rasanya tidak sabar menunggu hari berlalu.
Maya....
Matahari menuju peraduannya ketika Masumi tiba di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya. Baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, sebuah panggilan menghentikannya.
"Shiori?" Masumi terkejut melihat siapa yang memanggilnya.
"Masumi?" Kata Shiori lagi sama terkejutnya. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Gawat! Shiori tidak boleh tahu tujuanku datang ke sini. Tunggu?! Jangan-jangan ayah tahu kalau Shiori juga sedang berada di Ise. Pantas saja dia curiga.
"Aku sedang ada urusan pekerjaan di sini," jawab Masumi.
"Di Ise? Di kuil?" Tanya Shiori heran.
"Iya, hhmm, kami akan membuat sebuah film baru yang berlatar belakang cerita mengenai Dewa Bulan. Jadi aku sedang melihat-lihat beberapa tempat yang cocok," jelas Masumi yang mengarang cerita.
"Oh," Shiori bergumam lirih.
"Nona, ayo kita berdoa dulu," sela pelayan Shiori. Diapun memandang sendu pada Masumi lalu dengan cepat menoleh pada pelayannya.
"Iya Bi, ayo." Shiori mengangguk pada pelayannya.
"Kau berdoa di kuil ini?" Tanya Masumi.
"Iya, permisi Masumi. Aku harus pergi," Shiori seolah tidak mengacuhkan Masumi dan berjalan melewatinya, padahal hatinya pedih jika mengingat akhir hubungan cintanya dengan Masumi.
Masumi menatap Shiori yang menaiki tangga dalam diam. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Shiori di Ise.
"Tuan Hayami,"
Masumi menoleh dan Ryunosuke sudah berdiri di sebelah mobilnya.
"Tuan Ryunosuke,"
"Waktu kita tidak banyak, kita harus segera pergi," kata Ryunosuke tanpa basa-basi, wajahnya begitu serius. "Sebelumnya aku ingin bertanya, apakah kau sangat mencintai kekasihmu Tuan Hayami?"
"Tentu saja," tegas Masumi.
"Apa kau rela melakukan apapun demi menyelamatkannya?" Ryunosuke semakin tajam menatap Masumi.
"Aku rela memberikan nyawaku demi keselamatannya," jawab Masumi tanpa ragu.
"Meski harus melawan kekuatan dewa?"
"Maksudmu?"
"Mamoru dan Tamotsu yang kau ceritakan itu adalah putra dari Tsukuyomi-no-Mikoto. Dan Mamoru menginginkan kekasihmu menjadi miliknya,"
Mata Masumi melebar, "Putra dari Tsukuyomi-no-Mikoto?"
"Benar. Tsukuyomi-no-Mikoto memintaku untuk mengantarmu bertemu mereka. Ini sebuah kesempatan, jika kau berhasil merebut Maya dari Mamoru maka kekasihmu itu akan selamat. Tapi jika kau gagal dan Maya menjadi milik Mamoru maka dia akan mati," jelas Ryunosuke.
"Tunggu! Kenapa Maya harus menjadi taruhannya?"
"Itu sudah aturan langit Tuan Hayami, semua manusia yang menjalin hubungan dengan dewa harus mati. Itu jugalah yang terjadi pada keluargaku,"
Kening Masumi berkerut dalam, semuanya terdengar seperti lelucon basi yang tidak menggelikan di telinga Masumi.
"Nenek buyutku adalah istri Tamotsu. Dia mati setelah melahirkan kakekku. Kami masih dibiarkan hidup dengan sebuah perjanjian bahwa seluruh keturunan kami akan melayani Tsukuyomi-no-Mikoto. Tamotsu sendiri diasingkan ke bumi dan tidak lagi dianggap sebagai dewa,"
"Apa ini lelucon?"
Ryunosuke menyeringai tipis, "Kau sendiri yang mencoba meyakinkanku kemarin bahwa hal tidak masuk akal ini adalah kenyataan."
Masumi terdiam, otaknya berhenti berpikir. Tak bertanya apapun lagi, Masumi segera masuk ke mobilnya diikuti Ryunosuke.
"Eh?!" Masumi bingung ketika mesin mobilnya tidak mau menyala. Beberapa kali dia mencoba memutar kunci tapi mesin mobilnya sama sekali tidak bersuara.
"Ada apa?" Tanya Ryunosuke.
"Entahlah, tadi tidak ada masalah. Kenapa sekarang tidak mau menyala," jawab Masumi bingung.
Sejenak mata Ryunosuke mengerat tajam dan dia terlihat tegang ketika kembali membuka mata.
"Ada apa?"
"Sial! Kita tidak perlu pergi. Mereka sudah di sini," dia segera keluar dari mobil diikuti Masumi.
"Apa maksudnya mereka ada disini?" Tanya Masumi yang terlihat tergesa mengimbangi langkah kaki Ryunosuke.
"Kemungkinan Mamoru sudah tahu kalau kita akan menemui mereka dan mengambil kekasihmu,"
Keduanya berjalan menaiki tangga dan menuju ke belakang kuil utama. Disana terdapat taman dan kolam besar. Hari menjelang senja dan pantulan cahaya matahari sore berpendar oranye di dalam kolam. Masumi terkejut melihat Tamotsu dan Mamoru berdiri di tepi kolam dengan mengenakan jubah putih yang berkilauan.
Rambut keemasan mereka terlihat berkilauan terkena sinar matahari. Ryunosuke membungkuk hormat pada keduanya.
"Sudah ku duga kau akan mencariku," kata Mamoru.
"Maaf kakek," Ryunosuke membungkuk dalam.
Tamotsu menatap cucu buyutnya, keturunanya dari Yukari yang sangat dicintainya.
"Bukan salahmu Ryunosuke. Aku tahu kau hanya menjalankan perintah Tsukuyomi-no-Mikoto," Tamotsu beralih pada Masumi yang terpaku di sebelah cucunya, "Selamat datang Tuan Hayami,"
Masumi mengenali Tamotsu yang berambut panjang, "Dimana Maya?"
"Tidak sopan, tidakkah seharusnya kau mengucapkan salam ketika berkunjung Tuan Hayami," tegur Mamoru.
"Aku tidak perlu basa-basi dengan orang yang sudah menyembunyikan Maya," jawab Masumi.
Mamoru menyeringai, "Jadi kau pikir aku akan menyerahkan Maya begitu saja?"
"Kau tidak akan menyerahkannya?"
"Sekalipun Tsukuyomi-no-Mikoto mengirimmu untuk mengambil Maya aku tidak akan menyerahkannya begitu saja,"
Masumi mengepalkan kedua tangannya. Dia tahu kalau Mamoru tidak bercanda dengan ucapannya.
"Apa yang kau inginkan?" Tanya Masumi yang masih berusaha untuk tenang.
"Apa yang ku inginkan?" Mamoru menyeringai, "Kau tahu apa yang ku inginkan Tuan Hayami,"
"Tuan Mamoru, apa tidak sebaiknya kau melepaskan gadis itu? Jika tidak Tsukuyomi-no-Mikoto bisa membunuhnya," sela Ryunosuke.
"Kau sama saja dengan kakekmu. Terlalu lembut pada manusia," ejek Mamoru.
"Bukan begitu Tuanku tapi mempertaruhkan nyawa manusia bukanlah hal yang bijak," kata Ryunosuke lagi.
Mamoru tertawa. "Keputusan langit juga tidak pernah bijak Ryunosuke. Buktinya kau ada disini."
Ryunosuke akhirnya terdiam. Dia tahu itu benar. Kalau saja Tsukuyomi-no-Mikoto bisa lebih adil pada neneknya mungkin sekarang dia bisa hidup bahagia bersama wanita yang dicintainya tanpa takut dengan hukuman dewa yang seolah menjadi kutukan bagi keluarganya.
"Berhentilah bermain-main Mamoru, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Waktu Maya tidak banyak lagi," Tamotsu akhirnya bicara setelah sejak tadi hanya diam mendengarkan.
"Apa maksud waktu Maya tidak lama lagi?" Masumi terkejut mendengarnya.
"Gadismu berada di dunia lain Tuan Hayami. Kau harus menyelamatkannya tepat waktu jika masih ingin melihatnya hidup." Kata Ryunosuke.
Masumi menoleh pada lawan bicara yang berdiri di sampingnya. Menatapnya penuh tanya.
"Ini pertaruhan Tuan Hayami. Sama dengan apa yang dilakukan Tsukuyomi-no-Mikoto dulu pada nenekku. Aku tahu Tuan Mamoru pasti menyembunyikannya di dunia lain dan kau harus menyelamatkannya," jelasnya.
"Apa yang terjadi kalau aku gagal menemukannya?" Tanya Masumi lagi.
"Dunia lain itu menyerap energi kehidupan dari manusia yang hidup. Semakin lama kalian berdua berada di dalam sana maka semakin banyak energi kehidupan kalian akan hilang. Dengan begitu-,"
"Aku dan Maya akan mati?" Sela Masumi. Ryunosuke mengangguk.
"Aku pasti bisa menyelamatkannya," desis Masumi.
Ryunosuke menggeleng lemah.
"Kenapa?"
"Aku tidak yakin Tuan Hayami,"
Masumi terdiam.
"Dulu, kakekku, Tuan Tamotsu yang notabene adalah dewa tidak berhasil menemukan nenekku. Akibatnya kekuatannya tersegel dan dia harus dibuang ke bumi. Dunia lain itu adalah sebuah dimensi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Ketika energi kehidupanmu habis terserap maka kau akan mendapat keabadian di dunia sana dan tidak bisa kembali lagi ke dunia ini,"
"Nah kau sudah tahu lebih banyak sekarang," tiba-tiba Mamoru menyela lagi.
Masumi dan Ryunosuke kembali mengalihkan perhatiannya pada Mamoru dan Tamotsu.
"Apa kau siap Tuan Hayami?" Tanya Mamoru.
"Ya. Apapun itu, aku akan hadapi demi Maya," jawab Masumi mantap.
Mamoru tertawa tapi kemudian terhenti ketika Tamotsu mengacungkan tongkatnya.
Wush! Angin berpusar kencang dan melintas melewati Masumi dan terdengar bunyi bedebug keras ketika pusaran angin itu menghantam sesuatu.
"Kyaa!" Terdengar pekikan seorang wanita.
"Kita kedatangan tamu," kata Tamostu.
Masumi dan Ryunosuke terkejut melihat siapa tamu yang dimaksud.
"Shiori?!"
"Nona Takamiya?!"
Seru keduanya bersamaan dan sontak keduanya saling bertukar pandang bingung.
"Kau mengenalnya?" Tanya Ryunosuke.
"Dia...," Masumi kehilangan kata-kata. Tidak mungkin menyebut Shiori sebagai mantan tunangannya.
"Masumi?" Lirih Shiori. Dia sengaja mengikuti Masumi dan Ryunosuke tadi, sepertinya hatinya masih tidak rela melepas Masumi.
"Calon istrimu rupanya masih belum rela melepaskanmu Tuan Hayami," celetuk Mamoru.
"Dia bukan calon istriku," tegas Masumi.
Shiori terkesiap, sedih mendengar hal itu dari Masumi.
"Ya, jika bukan karena Maya yang membatalkan pernikahan, kau pasti sudah menjadi suaminya kan?" Mamoru tertawa mengejek. Masumi terhenyak, ingatan mengenai apa yang terjadi di hari pernikahan membuatnya mengerti.
"A, apa maksudnya?" Shiori bingung. Sebenarnya dia juga shock melihat semua kejadian di depan matanya tapi dia bertekad untuk bertahan.
"Kau tidak bisa mengingat apa yang terjadi ketika kau membatalkan pernikahan bukan? Mayalah yang melakukannya,"
Shiori terhenyak dan menangkupkan kedua tangan di mulut. Wajahnya terkejut, bingung, marah dan juga sedih.
"Tidak ada gunanya menangis, semua sudah terjadi." Kata Mamoru seraya menyeringai, "Tuan Hayami apa kau siap?"
Masumi mengalihkan perhatiannya pada Mamoru dan mengabaikan keberadaan Shiori. Dia mengangguk mantap pada Mamoru, "Ya,"
Tangan kanan Mamoru tiba-tiba mengeluarkan cahaya perak dan membentuk sebuah pedang. Dia kemudian merapal sebuah mantra dan dari tengah kolam muncul sebuah pintu yang dikelilingin cahaya perak menyilaukan. Sebuah jembatan awan terbentuk menghubungkan pintu dengan tepi kolam.
"Kau sudah mengerti aturan mainnya kan?" Mamoru melambaikan tangannya ke arah kolam dan Masumi mulai melangkah.
"Masumi hentikan! Kau bisa mati!" Pekik Shiori panik, air mata membasahi pipinya. Dia bersimpuh di tanah.
Masumi mengabaikan seruan Shiori, dia tidak peduli. Hanya Maya yang penting sekarang.
"Apa kau siap?" Mata Mamoru menyipit pada Masumi.
"Ya," jawabnya tanpa ragu.
"Masumi!" Sebuah panggilan mengalihkan perhatian semuanya.
"Shiori?"
"A, apa maksud semua ini? Kau melakukan semua ini hanya untuk gadis itu? Kau meninggalkanku?" Serunya dengan masih menangis dan bersimpuh di tanah.
"Hubungan kita sudah berakhir Shiori. Bagiku Maya adalah hidupku. Tidak ada gunanya aku hidup jika tidak ada Maya bersamaku. Jadi aku akan menyelamatkannya sekarang atau kami akan mati bersama," katanya tanpa menoleh pada Shiori. Matanya lurus menatap pada pintu besar di tengah kolam, tempat dimana kekasih sekaligus nyawanya berada.
"Aku masih mencintaimu," kata Shiori lagi. Dengan sedih dia menatap punggung Masumi.
"Sejak dulu sampai sekarang, hatiku tidak pernah berubah. Aku hanya mencintai Maya. Hanya Maya," tegas Masumi lagi.
Shiori menunduk dan tergugu meratapi cintanya yang tak berbalas. Tanpa dia ketahui Ryunosuke menatapnya penuh simpati.
Masumi kembali melangkah mendekat pada kolam dan pintu mulai terbuka.
"Waktumu hanya dua jam waktu dibumi," kata Mamoru.
"Dua jam? Bagaimana aku bisa tahu batas waktunya ketika berada disana?" Masumi bingung.
"Mudah saja, kalau kau mati maka waktumu habis. Begitu juga dengan Maya,"
Mata Masumi melebar tapi tidak bisa berkomentar.
"Tenang saja," Tamotsu tersenyum. "Aku akan membantumu,"
Masumi tersentak ketika Tamotsu menyentuh bahunya. Dia merasa ada sesuatu merasuki tubuhnya.
"Tamotsu!" Bentak Mamoru.
Tamotsu hanya tersnyum, "Aku tidak akan membiarkan mereka kalah Mamoru. Ini bukan sebuah permainan,"
Masumi terlihat bingung.
"Aku meminjamkan sedikit kekuatanku padamu. Itu akan memberimu waktu lebih lama untuk bertahan di dalam sana. Maaf hanya ini yang bisa ku lakukan. Berjuanglah demi Maya,"
Masumi mengangguk mantap dan memberikan tatapan terima kasih. Masumi kemudian menoleh pada Mamoru.
"Aku siap," katanya.
Tak menjawab, Mamoru mengacungkan pedangnya ke arah pintu dan daun pintu perlahan membuka. Cahaya terang keperakan dan kepulan asap menutupi seluruh kolam.
"Silakan Tuan Hayami. Semoga beruntung," Mamoru menyeringai tipis.
Masumi melangkahkan kakinya menuju jembatan awan dan dia menghilang dalam cahaya perak dan kepulan asap putih.
***
>>Bersambung<<
>>Secret Angel - Chapter 3<<
>>Secret Angle - Chapter 5 End<<
Jika ini mimpi, aku berharap agar cepat bangun. Kenapa aku harus terjebak dalam keadaan seperti ini? Aku hanya manusia biasa dan sekarang harus tinggal bersama keturunan para dewa. Jika ini bukan mimpi buruk apalagi namanya?
Maya mendesah panjang.
"Kenapa Kitajima?" Seorang pria berambut keemasan menyela lamunan Maya.
Maya menggeleng. Keduanya sedang berjalan melewati sebuah lorong yang dikelilingi cahaya terang. Tak lama kemudian mereka sampai di depan sebuah pintu ganda besi berwarna perak dengan ukiran emas di kedua sisinya. Pria itu mengucapkan sebuah mantra dan pintu perlahan terbuka. Maya tersentak ketika pria itu berbalik menatapnya.
"Masuklah." Perintahnya.
"Tamotsu, aku...," Maya menunduk dalam, enggan melangkahkan kakinya.
Pria yang dipanggil Tamotsu oleh Maya itu tampak tidak senang dengan sikap Maya.
"Jangan mempersulitku Maya. Aku sudah membantumu dan kau harus menurut pada semua aturanku."
Maya mengangkat wajahnya dan menatap lekat Tamotsu.
"Tapi...aku takut," lirih Maya.
"Apa yang kau takutkan?" Tanya Tamotsu.
"Bagaimana kalau Mamoru tidak menepati janjinya?" Kata Maya.
Tamotsu tertawa, "Kau sendiri yang menantangnya kemarin dan sekarang justru kau yang ketakutan,"
Maya kembali menunduk dan menggumamkan sesuatu yang tidak jelas.
"Sudah jangan dipikirkan lagi. Kau harus segera kembali ke tempatmu atau kau mau tidur di sini?"
Maya mendesah panjang dan akhirnya menurut ketika di minta untuk masuk. Pintu besi perak itu kembali menutup lalu hilang ditelan cahaya. Keduanya sekarang berada di sebuah washitsu -ruang beralaskan tatami dalam bangunan tradisional Jepang- yang ditata dengan apik lengkap dengan semua asesoris dan lukisan dinding juga kaligrafi yang indah. Fusuma -panel pembatas ruangan- di hiasi dengan gambar indah di setiap sisinya. Di tengah ruangan terdapat futon dengan selimut merah yang disulam cantik menggunakan benang emas dan perak.
"Hampir fajar Maya, aku tidak mau menggendongmu lagi kali ini," kata Tamotsu pada Maya yang masih saja mematung di tempatnya.
"Aku juga tidak mau kau menggendongku," dengus Maya seraya menghentakkan kakinya pada tatami.
"Kalau begitu cepatlah tidur," jawab Tamotsu. Maya hanya bisa mendesah panjang lalu melangkahkan kakinya ke futon. Dia membuka selimut yang menutup futon dan berbaring di atasnya.
"Kau sudah siap?"
Maya mengangguk, "Pastikan tidak ada yang menyentuhku ketika aku tidur ya,"
Tamotsu menggeleng kesal, "Kau tidak percaya padaku?"
Maya cemberut, "Bukan begitu, pria biasanya suka sekali memanfaatkan kesempatan," kata Maya.
Tamotsu melotot, "Ku lihat justru kau yang memanfaatkan kesempatan,"
"Aku?!" Maya memekik tidak terima.
"Dengan Masumi-mu itu," tegas Tamotsu.
Maya menganga dan gagal menjawab.
"Masih mau mengelak?"
"Diakan kekasihku," lirih Maya dengan pipi merona.
Tamotsu tertawa, "Terserah apa katamu. Sekarang cepat tidur, bertengkar denganmu tidak akan ada habisnya,"
Maya mengerucutkan bibirnya dan dengan patuh memejamkan matanya, "Terima kasih Tamotsu," gumam Maya.
Tamotsu tersenyum lalu bersamaan dengan munculnya fajar di ufuk timur dia mengangkat tongkatnya ke atas lalu mengucapkan sebuah mantra dan sebuah perisai perak muncul menyelubungi tubuh Maya. Sedetik kemudian Maya terlelap.
Tamotsu menoleh ketika mendengar fusuma di geser, seorang pemuda mengenakan yukata bersimpuh dan mengangguk hormat pada Tamotsu.
"Tolong jaga gadis ini, aku harus pergi,"
"Baik Tuan Muda,"
Tamotsu berjalan keluar dari washitsu yang sekarang sudah berubah menjadi kamar Maya.
***
Tamotsu tertegun di kamarnya. Dia sedang merenungkan sesuatu lebih tepatnya seseorang, Maya Kitajima. Ini hari ketiga Maya berada di rumahnya. Apa yang menimpa Maya sekarang adalah sebuah kesalahan. Kesalahan yang telah disebabkan olehnya. Karenanya Tamotsu berniat untuk membantu gadis itu dan membebaskannya.
Menatap dirinya di cermin, Tamotsu sudah mengganti pakaiannya menjadi lebih manusiawi. Dia mengenakan kemeja putih. Rambutnya yang panjang keemasan telah berubah warna menjadi hitam, dengan rapi dia mengikat rambutnya ke belakang.
Ingatannya memutar ulang semua kejadian tiga hari yang lalu. Pertemuan pertamanya dengan Maya.
Malam bulan purnama, hujan deras mengguyur kota Tokyo. Tamotsu memacu mobil sportnya dengan kecepatan tinggi. Dia harus berada di Ise sebelum fajar. Tamotsu bersyukur karena jalan raya cukup lengang karena hujan. Dia terus menambah kecepatan mobil yang dikendarainya. Spedometer menunjukkan angka seratus. Hujan deras dan gemuruh mengaburkan fokus Tamotsu, dia tidak melihat ketika seorang gadis tiba-tiba turun ke jalan. Dengan cepat Tamotsu menginjak rem tapi dia terlambat, tubuh gadis itu terpelanting jauh setelah menghantam bagian depan mobilnya.
Tamotsu melompat keluar dari mobilnya dengan panik dan mendekat pada gadis yang tergeletak tidak sadar di tepi jalan, darah mengucur dari keningnya. Itulah pertama kalinya dia melihat Maya.
Tanpa pikir panjang Tamotsu mengangkat tubuh Maya yang kuyup dan membawanya ke dalam mobil. Maya berbaring di jok belakang dan Tamotsu memeriksa denyut nadinya, matanya membelalak ketika dirasakannya denyut nadi Maya melambat. Darah segar terus mengucur dari kening Maya.
"Gawat, aku tidak bisa menyembuhkannya di sini," gumam Tamotsu gelisah. Matanya memeriksa ke sekeliling tempatnya berada, yakin tidak ada yang melihat dia menempelkan telapak tangannya pada kening Maya yang terluka. Sinar terang terpancar dari balik telapak tangannya dan darah berhenti mengucur, lukanya sembuh sempurna.
"Bagus, ini cukup untuk sementara. Bertahanlah, aku pasti bisa menyelamatkanmu," Tamotsu mendesah lega lalu keluar dari jok belakang dan kembali duduk di belakang kemudi. Dia sudah melepas jas hujan Maya dan menghangatkan tubuh mungil itu dengan jas miliknya.
Baru saja dia berniat menjalankan kembali mobilnya, suara rintihan mengusiknya. Tamotsu melihat Maya, dia merintih kesakitan. Keningnya berkerut ketika Maya menggumamkan sebuah nama.
"Ma...su...mi...." Lirih Maya.
"Setidaknya kau masih hidup," gumam Tamotsu lega.
Tidak menunda waktu lagi, Tamotsu segera memacu mobilnya. Kali ini dia berkonsentrasi penuh.
Hampir pukul tiga pagi ketika mobil Tamotsu memasuki kawasan perbukitan di wilayah Ise. Beruntung tidak turun hujan di Ise sehingga dia bisa lebih fokus melihat jalan. Mobilnya menuju ke sebuah bangunan yang berada di puncak bukit. Sebuah bangunan yang dikelilingi tembok tinggi. Gerbang kayu terbuka dan mobil Tamotsu masuk melalui pekarangan luas. Rumah bergaya tradisional Jepang berdiri megah di tengah tanah luas yang dikelilingi dengan taman indah.
Tamotsu segera membawa Maya ke dalam rumahnya dan meminta para pelayan menyiapkan sebuah kamar. Meski dini hari semua pelayan segera bergerak cepat menjalankan apa yang diperintahkan oleh tuan muda mereka.
Maya dibaringkan di atas futon dan Tamotsu meminta pelayan wanitanya untuk mengganti pakaian Maya. Dia sendiri kembali ke kamarnya dan berganti pakaian. Tamotsu mengenakan jubah putih dan membawa sebuah tongkat lalu kembali ke kamar Maya.
"Tuan Muda, tubuhnya dingin sekali dan denyut nadinya sangat lemah," lapor seorang pelayan pada Tamotsu.
"Aku tahu, tinggalkan aku sendiri." Perintahnya.
"Baik Tuan Muda," semua pelayan patuh dan segera pergi.
Tamotsu duduk di atas zabuton di dekat futon dan mengamati wajah Maya yang pucat pasi. Maya seperti sedang tertidur tapi Tamotsu tahu gadis yang ada dihadapannya itu sedang sekarat. Mobilnya menghantam tubuh mungil itu dengan keras dan saat menyembuhkan luka luarnya tadi, Tamotsu tahu Maya mengalami luka dalam yang parah. Otaknya juga mengalami pendarahan. Jika saja Maya di bawa ke rumah sakit pasti dokter sudah angkat tangan melihat kondisinya.
"Aku bersalah karena menyebabkanmu berada di ambang maut tapi aku pasti bisa menyembuhkanmu," gumam Tamotsu.
Tidak menunda waktu lagi, Tamotsu mengangkat tongkatnya ke atas tubuh Maya yang terbalut gaun putih sama seperti miliknya. Mulutnya merapal mantra dan dari tongkat itu terpancar cahaya perak yang kemudian membungkus tubuh Maya. Tamotsu mengerahkan semua energinya untuk menyembuhkan luka dalam di tubuh Maya namun belum selesai dia melakukannya suara tawa yang keras menghentikannya.
"Mamoru!" Seru Tamotsu terkejut.
Pria yang dipanggil Mamoru itu begitu serupa dengan Tamotsu. Hanya saja Mamoru berambut pendek tapi wajah mereka benar-benar sama. Mamoru duduk bersila di sisi lain futon dengan tangan bersandar pada lutut menyangga kepalanya.
"Ku kira kau pulang terlambat karena bersenang-senang di Tokyo ternyata kau malah pulang membawa gadis kecil yang sekarat," kata Mamoru diiringi dengan senyum miring di wajahnya.
"Jangan menggangguku, aku harus menyembuhkan gadis ini," kata Tamotsu.
"Kenapa harus? Sejak kapan manusia bisa mengharuskanmu melakukan sesuatu?" Mamoru menyeringai.
"Aku yang menabrak gadis ini jadi aku harus bertanggung jawab," jelas Tamotsu.
"Oh, kau selalu saja baik," kata Mamoru dengan nada mengejek.
"Berhentilah menggangguku dan biarkan aku menyembuhkan gadis ini,"
Mamoru mengedikkan bahunya, "Lakukanlah. Aku hanya ingin melihat,"
Tamotsu menghela napas panjang lalu mengabaikan Mamoru. Dia segera melanjutkan pekerjaannya yang tadi terhenti.
Cahaya perak kembali menyelubungi tubuh Maya ketika Tamotsu mengangkat tongkatnya. Tak lama kemudian cahaya itu berangsur menghilang dan Maya membuka matanya.
"Nah, dia sudah bangun," celetuk Mamoru.
Tamotsu mengabaikan Mamoru yang tengah mengejeknya dan langsung menyunggingkan senyumnya menyambut Maya.
"Hai," sapa Tamotsu.
Maya mengerjap beberapa kali melihat dua orang pria tidak dikenal dihadapannya.
"A, aku dimana? Kalian siapa?" Tanya Maya yang masih di ambang sadarnya.
"Wah, tidak sopan," dengus Mamoru.
"Hentikan Mamoru, dia baru saja sadar," tegur Tamotsu.
Sadar? Kening Maya berkerut. Dia lalu teringat hal terakhir yang terjadi padanya. Seketika Maya bangun dan memeriksa dirinya sendiri. Melihat dia sudah mengenakan pakaian yang berbeda sontak Maya menarik selimut menutupi tubuhnya. Mata bulatnya menatap takut pada Mamoru dan Tamotsu.
"A, apa yang sudah kalian lakukan padaku?" Tanya Maya terbata. Otaknya sudah membayangkan banyak hal.
Mulut Tamotsu menganga dan Mamoru terbahak karenanya.
"Nah lihat hasil perbuatanmu Tamotsu. Kita seperti pria mesum didepannya," kata Mamoru yang masih terbahak.
Tamotsu tersenyum simpul, "Tenang saja Nona, pelayan perempuanku yang mengganti pakaianmu. Kau tidak perlu takut, siapa namamu?"
"Ma, Maya Kitajima," jawab Maya yang kemudian menatap bergantian pada Tamotsu dan Mamoru, "Kalian siapa? Dan kenapa aku bisa ada disini?"
"Aku Tamotsu Saito dan ini saudara kembarku Mamoru Saito. Kau terluka parah tadi, makanya aku membawamu ke rumahku," jelas Tamotsu.
"Terluka parah?" Tanya Maya tidak percaya. Sekali lagi dia mengamati tubuhnya, tidak ada sedikitpun luka dan dia sama sekali tidak merasa sakit.
"Aku sudah menyembuhkanmu," celetuk Tamotsu ketika melihat Maya kebingungan.
"Menyembuhkanku?" Maya benar-benar merasa bingung dengan semua yang terjadi. Dia ingat dirinya ditabrak sebuah mobil dengan keras, lalu katanya dia luka parah dan sekarang katanya dia sudah disembuhkan. Mungkinkah? Secepat itu?
"Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada penyelamatmu?" Tegur Mamoru yang terlihat kesal melihat Maya yang masih kebingungan.
"Ah, i,iya, terima kasih sudah...menyembuhkan saya?"
Tamotsu terkekeh mendengarnya, "Iya,"
Tiba-tiba Mamoru meraih dagu Maya dan mengangkat wajahnya, "Hei Maya, kalau dilihat sedekat ini ternyata kau manis juga. Berapa umurmu?"
"Dua puluh tahun, hampir dua puluh satu," jawab Maya.
"Kau bercanda? Tubuh semungil ini kau bilang dua puluh tahun?" Ejek Mamoru.
Maya membelalak dan menepis tangan Mamoru dari dagunya. "Dengar Tuan Tamotsu...,"
"Mamoru," sela Tamotsu geli.
"Eh?!" Maya menoleh pada Tamotsu.
"Aku Tamotsu, dia Mamoru," jelas Tamotsu santai.
"Ah iya, maaf," gumam Maya sungkan dan sedetik kemudian dia kembali melotot pada Mamoru, "Dengar Tuan Mamoru Saito, jangan mengejek seenaknya. Aku ini wanita dewasa," seru Maya kesal dan Mamoru justru terbahak.
"Gadis yang menarik," tiba-tiba Mamoru menarik Maya dan dalam sekejap gadis itu langsung berada dalam pelukannya.
"Kyaa!" Teriak Maya.
"Mamoru hentikan!" Bentak Tamotsu.
Mamoru justru tersenyum senang melihat kekesalan keduanya. Maya tidak bisa melepaskan diri dari lilitan lengan kuat Mamoru.
"Lepaskan aku!" Pekik Maya seraya berusaha melepaskan diri.
"Hei, berhentilah melawan gadis manis. Aku jadi semakin menginginkanmu kalau kau melawan,"
"Mamoru!" Hardik Tamotsu keras. Dia tahu apa yang dipikirkan saudaranya.
"Kau sudah menyembuhkannya jadi biarkan aku menyenangkannya sebentar," jawab Mamoru.
Maya terhenyak, apa maksudnya? Tidak! Tidak! Maya langsung teringat Masumi.
"Lepaskan aku! Aku harus pergi! Aku harus menemui kekasihku!" Pekik Maya.
"Eh?!" Mamoru dan Tamotsu memandang Maya bersamaan.
"Dia akan menikah, aku harus segera menemuinya. Tolong lepaskan aku! Aku harus pergi," teriak Maya lagi.
Mamoru menyeringai lebar, "Kasihan sekali. Lupakan saja kekasihmu yang mau menikah itu dan jadilah milikku,"
"Tidak mau! Tidak mau! Lepaskan aku!" Maya meronta dan Mamoru terbahak.
Tamotsu terpaku, dia tahu Mamoru serius menginginkan Maya. Saudaranya itu tidak pernah bercanda jika dia sudah menyatakan keinginannya.
"Mamoru, lepaskan dia," tegur Tamotsu.
"Kenapa Tamotsu? Aku menyukainya," jawab Mamoru santai meski Maya terus meronta di pangkuannya.
"Aku tidak mau! Lebih baik aku mati daripada menjadi milik orang lain selain Masumiku!"
Wajah Mamoru mengeras seketika. Dia mendorong tubuh Maya dan gadis itu tersungkur di atas futon.
"Aduh!" Maya kesakitan saat tubuhnya terhempas.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Tamotsu.
"Menyingkirlah Tamotsu, aku akan penuhi permintaan gadis ini," seru Mamoru. Dia sudah berdiri dan ekspresi wajahnya sarat kemarahan.
"Mamoru, jangan," Tamotsu menggunakan tubuhnya membentengi Maya.
"Dia lebih memilih mati." Kata Mamoru datar.
"Jangan gila Mamoru! Gadis ini tidak tahu apa-apa," bela Tamotsu.
"Aku tidak peduli, tidak pernah ada yang menolakku," jawabnya.
"Memangnya kau siapa sampai semua keinginanmu harus dipenuhi? Tidak semua hal di dunia ini bisa berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan," sela Maya sambil terisak.
Tamotsu membalikkan tubuhnya, dia terkejut melihat Maya bergelung dengan mata berurai air mata di atas futon, matanya menerawang jauh.
"Jadi jangan egois dengan berharap semua keinginanmu bisa terpenuhi!" Seru Maya di tengah isakannya.
Tamotsu memandang prihatin melihat Maya, dia melihat Maya begitu sedih.
"Kalian manusia selalu saja cengeng! Jangan samakan kami dengan kalian yang lemah!" Bentak Mamoru.
Maya bangun dan menatap Mamoru yang masih terlihat marah, Tamotsu berdiri dengan lutut di sebelahnya. Maya tidak mengerti dengan perkataan Mamoru.
"Kalian...?" Maya kebingungan.
"Kami bukan manusia Maya," aku Tamotsu.
Maya tersentak, tanpa sadar dia beringsut mundur.
"A,apa maksudnya?" Suara Maya bergetar.
"Jangan takut, kami tidak akan menyakitimu. Kami adalah-,"
"Kami putra Tsukuyomi-no-Mikoto sang Dewa Bulan," potong Mamoru dan bersamaan dengan itu tangannya teracung pada Maya. Sebuah cahaya menembus tubuh Maya dan detik itu juga tubuh Maya terkulai di atas futon.
"Mamoru?!" Tamotsu membalik tubuhnya dan saudaranya itu tersenyum senang. "Sial! Apa yang kau lakukan?" Hardik Tamotsu.
"Dia ingin mati dan aku sudah mengabulkan permintaannya." Jawab Mamoru santai.
"Kau-,"
"Ng...Ma...su...mi," tiba-tiba Maya melirih.
"Mustahil," desis Mamoru tak percaya, "bagaimana mungkin dia masih hidup?"
Sebuah cahaya terpancar dari balik gaun Maya. Tamotsu menarik rantai emas yang melingkar di leher Maya, liontin bintangnya bersinar.
"Kalung ini mematahkan mantramu," jelas Tamotsu.
"Bagaimana mungkin?!" Mamoru berlutut di sebelah Maya yang masih tak sadarkan diri lalu meraih kalungnya tapi tangannya terasa terbakar saat berusaha menyentuhnya.
"Apa itu?" Desisnya marah.
"Menurutku ini semacam jimat pelindung baginya. Entah mantra apa yang ada didalamnya tapi jika kau berniat menyakitinya maka kau tidak akan bisa menyentuh gadis ini," jelas Tamotsu, dia merasakan ada mantra pelindung dalam liontin bintang yang bersinar itu.
"Omong kosong!"
Tamotsu menyeringai pada Mamoru yang terlihat begitu kesal.
"Nah, kau menemukan sainganmu," goda Tamotsu.
"Mustahil kalung seperti itu bisa mematahkan mantraku,"
"Kenyataannya seperti itu,"
"Tutup mulutmu Tamotsu,"
Tamotsu terkekeh. Kalung Maya berhenti bersinar dan Maya tersadar.
"Kau sudah bangun?" Tanya Tamotsu lembut.
Maya tersentak bangun ketika melihat Tamotsu memegang kalungnya.
"Darimana kau dapatkan kalung itu?" Tanya Mamoru.
Maya menggenggam erat kalungnya. Dia memandang takut Tamotsu dan Mamoru. Perkataan Mamoru yang mengatakan bahwa mereka adalah putra dari Dewa Bulan, Tsukuyomi-no-Mikoto, membuat Maya bergidik. Tapi mungkinkah? Otaknya gagal berpikir.
"Hei Maya, kenapa kau diam saja? Darimana kau dapatkan kalung itu?" Mamoru mengulangi pertanyaannya.
"I, ini dari Masumi. Apa yang sebenarnya kalian inginkan?" Maya beringsut tak nyaman di atas futon.
"Siapa Masumi?" Tanya Mamoru lagi.
"Kekasihku," jawab Maya lirih, matanya langsung berubah sendu ketika mengingat Masumi.
Tamotsu tertegun menatap Maya.
"Sehebat apa Masumi itu sampai bisa mematahkan mantraku?" Mamoru memandang kesal pada Maya.
"Maya, kau tidak apa-apa kan?" Sela Tamotsu. Dia juga masih tidak percaya kalau mantra Mamoru sama sekali tidak melukai Maya.
Maya menggeleng lemah, "Tolong biarkan aku pergi," lirihnya.
"Ini masih dini hari, kau mau pergi kemana? Lagipula kita jauh dari Tokyo," terang Tamotsu.
"Dimana ini?" Tanya Maya.
"Kita di Ise," jawab Tamotsu.
"Aku ingin menemui Masumi," gumam Maya seraya menunduk dalam.
"Cih! Masumi lagi," dengus Mamoru. Dia duduk bersila dan melipat tangan di dada dengan marah.
"Kalian anak dewa kan? Apa kalian bisa merubah takdirku?" Tanya Maya tiba-tiba, dia masih menunduk dan menatap jarinya.
"Merubah takdir?" Tanya Tamotsu tidak mengerti.
"Merubah takdirku agar aku bisa bersama dengan belahan jiwaku," kata Maya. Dia mengangkat wajahnya lalu menatap penuh harap pada Tamotsu.
"Jelaskan maksudmu," pinta Tamotsu dan tanpa keberatan Maya menceritakan tentang kisah cintanya dengan Masumi termasuk bagaimana dia mendapatkan kalung liontin bintang yang saat ini melingkar di lehernya.
"Aku mengerti," Tamotsu tersenyum ketika Maya mengakhiri ceritanya. Diapun beralih memandang saudaranya.
"Kau mengerti Mamoru? Ternyata cinta dan keinginan besar Masumi untuk melindunginya menjadi mantra pelindung bagi Maya," jelas Tamotsu.
"Cih," Mamoru kembali mencibir. Sejenak dia melirik pada Maya. Dalam hati dia membenarkan ucapan Tamotsu. Mantranya memang tidak akan bekerja jika digunakan untuk menyakiti orang yang hatinya tulus.
"Argh," tiba-tiba Maya meringkuk kesakitan.
"Maya!" Pekik Tamotsu terkejut.
"Kenapa dia?" Tak urung Mamoru peduli juga pada Maya yang kesakitan.
Kalung Maya tiba-tiba terlepas dari lehernya dan bersamaan dengan itu Maya tidak sadarkan diri.
"Mantranya lepas?" Tamotsu kebingungan.
"Dan mantraku berhasil, lihat itu," Mamoru menyeringai senang sambil menunjuk pada sosok bayangan yang berdiri di dekat tubuh Maya. Roh Maya terpisah dari tubuhnya.
"Kau apakan dia?" Tamotsu memandang jengkel pada saudaranya.
"Aku sudah gagal tadi," Mamoru mengendikkan bahu tapi terlihat begitu menikmati apa yang dilihatnya.
"Apa yang terjadi?" Maya kebingungan melihat tubuhnya tergolek di atas futon. "Apa aku sudah mati?" Dia mengamati tubuh transparannya.
Tamotsu memeriksa nadi Maya. "Tidak Maya, kau tidak mati, setidaknya belum,"
"Apa maksudnya?" Tanya Maya.
Mamoru terbahak melihatnya.
"Hentikan Mamoru," Tamotsu memperingatkan.
"Ternyata hanya begitu saja kekuatan cinta Masumi-mu itu," ejek Mamoru.
"Maya, bukankah kau bilang Masumi akan menikah pagi ini?" Tanya Tamotsu.
Maya mengangguk.
"Berarti dia sudah menyerah untuk memperjuangkan cintanya?" Tanya Tamotsu lagi.
"Entahlah, tapi...aku yakin Masumi sangat mencintaiku," jawab Maya.
Mamoru kembali terkekeh, "Awalnya iya, pagi ini dia memutuskan mantranya sendiri dengan memilih menikah dengan wanita lain dan mantraku bekerja. Seharusnya kau mati tapi rupanya kau cukup beruntung,"
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Maya bingung.
Tamotsu menatap Mamoru, "Batalkan mantranya,"
Mamoru menyeringai, "Tidak, kecuali dia tidak menolakku dan mau menjadi milikku,"
"Aku tidak mau!" Pekik Maya.
Mamoru mendengus, "Nah kau dengar sendiri kan?"
"Apa tidak ada cara lain?" Tanya Maya pada Tamotsu.
"Ada, batalkan pernikahan Masumi dan minta dia membuktikan kembali cintanya padamu maka itu akan mematahkan mantra Mamoru," jawab Tamotsu.
"Tapi bagaimana caraku membatalkan pernikahan Masumi? Lihat aku sekarang?" Tanya Maya.
"Bodoh! Dengan keadaan seperti itu kau bisa pergi kemanapun kau mau. Pikirkan saja kemana kau akan pergi maka kau akan ada disana dalam sekejap mata. Ada enaknya juga tidak memiliki tubuh," jawab Mamoru.
"Benarkah?" Maya menatap Tamotsu meminta pembenaran, dia tidak cukup percaya dengan ucapan Mamoru.
"Itu benar, tapi-," Mamoru tersentak dan menganga ketika Maya tiba-tiba menghilang dari hadapannya. Mamoru terbahak senang.
"Mamoru! Kau gila?! Gadis itu benar-benar akan mati jika dia pergi terlalu jauh dari tubuhnya dalam waktu lama." Omel Tamotsu.
"Biarkan saja, aku hanya ingin melihat sejauh mana gadis itu mencintai kekasihnya," jawab Mamoru santai.
Tamotsu menggeleng kesal, dengan cepat dia menyelimuti tubuh Maya yang terbaring di atas futon lalu beranjak dari duduknya.
"Kau mau kemana?"
"Menjemput gadis bodoh itu. Aku sudah mengacaukan hidupnya dengan membawanya ke tempat ini, jadi aku harus bertanggung jawab,"
Mamoru menyeringai, "Lakukan sesukamu,"
Tamotsu pun dengan cepat menghilang meninggalkan saudaranya.
Tamotsu datang tepat ketika Maya keluar dari tubuh seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin putih, Shiori Takamiya. Dia segera membawa Maya pergi dan meninggalkan tubuh Shiori tergeletak di lantai.
"Kau gila!" Bentak Tamotsu ketika keduanya sudah kembali ke rumah.
"Kenapa?" Maya bingung.
"Kau bisa mati jika terlalu lama berada jauh dari tubuhmu. Kau pikir apa yang kau lakukan itu tidak berbahaya?"
"Aku rela mati asal Masumi tidak menikah dengan Shiori," jawab Maya lirih.
"Bodoh! Kau pikir apa gunanya Masumi batal menikah jika akhirnya kau mati? Dia bisa menikah dengan wanita lain lagi," Tamotsu berusaha mengurai logika Maya.
"Dia tidak akan melakukannya," sanggah Maya.
"Kau ini! Memang apa yang kau harapkan sebenarnya? Membiarkannya membujang seumur hidup setelah kau mati?" Bentak Tamotsu.
"Eh?!" Maya tersentak, dia tidak berpikir sejauh itu.
Tamotsu menggeleng melihat kebodohan Maya yang tidak berpikir panjang. "Pantas saja kau bisa tertabrak mobilku, kau ceroboh sekali," dengus Tamotsu.
"Seharusnya anak dewa tidak menggunakan mobil untuk bepergian sehingga tidak harus menabrakku," Maya balas mengomel.
Tamotsu menghela napas. Dia tidak mungkin mengatakan pada Maya bahwa dia lebih suka menjadi manusia biasa daripada menjadi anak dewa, "Maya, aku memang anak dewa tapi aku memiliki batasan. Baiklah, maaf aku sudah menabrakmu dan membuatmu terjebak disini tapi percayalah aku akan menolongmu,"
"Kau kan saudara Mamoru, jadi seharusnya bisa menolongku," kata Maya.
"Aku tidak bisa membatalkan mantra Mamoru. Kekuatanku tidak sebesar itu, kekuatanku terbatas jauh jika dibandingkan dengan Mamoru," kata Tamotsu jujur.
"Wah, wah, wah, kau terlalu jujur Tamotsu. Jangan merendahkan dirimu seperti itu," sela Mamoru yang tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Tamotsu memandang tajam saudaranya, begitu juga Maya.
"Baiklah, biar aku luruskan. Bagaimana jika aku mengajakmu bertaruh Maya?" Tanya Mamoru.
"Bertaruh apa?" Maya balik bertanya.
"Aku akan memberimu waktu lima belas hari. Aku akan ijinkan kau bertemu dengan Masumi setelah matahari terbenam tapi kau harus kembali ke sini sebelum fajar.-"
"Tapi...,"
"Jangan menyela perkataanku!" Bentak Mamoru.
"Ah, maaf," gumam Maya.
"Dengarkan aku, Jika selama itu Masumi ternyata benar bisa membatalkan mantraku maka kau bebas tapi jika gagal maka kau harus menjadi milikku. Bagaimana?"
"Aku tidak setuju," sela Tamotsu.
"Kenapa?" Tanya Maya.
"Kenapa? Kau bisa mati jika lima belas hari terpisah dari tubuhmu," terang Tamotsu.
Maya memandang kesal pada Mamoru, dia mau membodohiku?
"Tamotsu kau terlalu merendah, kau pasti bisa melakukan sesuatu. Bukankah kau suka membantu manusia?" Kata Mamoru.
Maya tampak berpikir. "Aku setuju," katanya kemudian.
"Maya?!" Tamotsu terkejut, Mamoru memberi aplouse padanya.
"Benar-benar berani," puji Mamoru.
"Kau bercanda?" Kata Tamotsu.
"Tidak. Aku yakin Masumi mencintaiku dan aku akan buat dia membebaskanku sebelum lima belas hari. Jadi aku pasti akan baik-baik saja." Jawab Maya.
Mamoru terkekeh, "Baiklah. Kesepakatan telah dibuat. Aku suka tantangan, selamat berusaha," Mamorupun pergi meninggalkan Maya dan Tamotsu.
Keduanya terdiam cukup lama.
"Kekuatanku memang terbatas tapi aku akan tetap membantumu," ucap Tamotsu kemudian.
Untuk pertama kalinya sejak Maya bertemu Tamotsu, dia tersenyum, "Terima kasih," ucap Maya.
Tamotsu balas tersenyum, "Kau memang gadis pemberani," pujinya.
"Aku hanya memperjuangkan hak kehidupanku," kata Maya.
Tamotsu tertawa, "Baiklah, sudah saatnya kau kembali ke tubuhmu atau kau akan menghabiskan energi kehidupanmu dan memperpendek umurmu,"
"Lho? Kau bilang kau tidak bisa melakukannya?" Tanya Maya.
"Aku tidak bisa mematahkan mantra Mamoru tapi aku bisa membuat rohmu tetap berada di dalam tubuhmu. Hanya saja kau akan tertidur di bawah mantraku sampai matahari terbenam," jelas Tamotsu.
Maya terlihat bingung.
"Sudah tidak usah dipikirkan. Sulit menjelaskan semua itu sekarang," kata Tamotsu.
"Kalian membuatku gila," keluh Maya.
Tamotsu terkekeh, "Ya, itulah alasan kenapa kami tinggal di bukit dan jauh dari manusia."
Tamotsu mengabaikan gerutuan Maya dan berjalan mendekat pada tubuh Maya yang terbaring di atas futon. Dia mengucapkan sebuah mantra dan tubuhnya terbungkus cahaya perak. Ketika cahaya itu menghilang penampilan Tamotsu sudah berubah. Dia mengenakan jubah putih berkilauan dan rambut panjang hitamnya berubah warna menjadi keemasan, tangannya menggenggam sebuah tongkat kayu.
"Ini wujud asliku sebagai anak dari Tsukuyomi-no-Mikoto," terang Tamotsu pada Maya yang terlihat takjub.
"Kemarilah," pinta Tamotsu.
Maya melayang mendekat pada tubuhnya. Tamotsu mengangkat tongkatnya dan Maya kembali masuk ke tubuhnya. Kemudian sebuah cahaya perak menyelubungi tubuh Maya.
Begitulah Maya akan tertidur pada siang hari dan akan bangun kembali dengan mantra Tamotsu pada malam hari.
***
"Dimana Mamoru?" Tanya Tamotsu pada pelayannya.
"Tuan Muda Mamoru sudah pergi sejak pagi tadi," jawabnya.
"Kemana? Tidak biasanya dia pergi siang hari,"
"Tuan Muda mengatakan akan pergi ke Tokyo,"
Tamotsu tersentak, "Apa?!" Jangan-jangan....
"Jaga kamar Maya. Jangan ijinkan siapapun masuk ke sana sebelum aku kembali," pesannya.
Pelayan itu mengangguk dan Tamotsu segera pergi. Dia berlari di lorong rumah.
"Sial!" Tamotsu menjentikkan jarinya dan dalam sekejap cahaya perak menelannya.
***
"Masuk," seru Masumi ketika mendengar pintu kantornya di ketuk. Mizuki muncul dari balik pintu.
"Pak, di luar ada Tuan Saito. Dia ingin bertemu dengan anda," lapor Mizuki.
"Tuan Saito? Aku tidak membuat janji dengan siapapun."
"Saya sudah katakan hal itu tapi Tuan Saito bersikeras ingin menemui anda. Dia bilang anda pasti bersedia menemuinya setelah melihat ini," Mizuki mengulurkan sebuah kotak berukuran persegi pada bosnya.
Masumi membuka kotak itu dan jantungnya seakan melompat keluar melihat isinya.
Ini kalung Maya?!
Tanpa menjawab apapun Masumi meninggalkan meja dan bergegas keluar. Mizuki yang kebingungan segera mengikuti bosnya. Mata Masumi terpaku menatap tamunya. Seorang pria berwajah tampan dengan potongan rambut rapi tersenyum padanya.
"Senang bisa bertemu denganmu, Tuan Hayami. Aku Mamoru Saito," sapa Mamoru.
"Tuan Saito," Masumi mengangguk hormat. "Kau-,"
"Tidakkah kita membutuhkan tempat yang lebih pribadi untuk bicara?" Potong Mamoru.
"Silakan masuk," Masumi mempersilakan mamoru masuk ke kantornya. Dia yakin Mamoru mempunyai informasi tentang Maya. "Mizuki tahan semua panggilan untukku," pesan Masumi sebelum dia kembali masuk ke kantornya.
"Baik Pak,"
"Maaf Tuan Saito, darimana kau mendapatkan kalung ini?" Tanya Masumi ketika keduanya sudah duduk di ruangan Masumi. Tangan Masumi menggenggam erat kalung milik Maya.
"Jadi benar kalung itu memiliki arti penting untukmu?"
"Bukan, bukan kalung ini yang penting tapi gadis yang memakai kalung ini. Apa kau tahu dimana pemilik kalung ini?"
Mamoru tersenyum, "Ya aku tahu. Gadis yang manis, menarik, dan bersemangat,"
Ekspresi Masumi sulit ditebak, antara senang dan tidak. Nada bicara Mamoru terdengar aneh di telinganya.
"Kau mengenal Maya?"
"Iya,"
"Dimana dia sekarang?"
Mamoru tertawa. Dia jelas tahu kalau selama tiga hari belakangan keduanya bertemu setiap malam tapi sepertinya Masumi tidak tahu apa-apa mengenai kekasihnya itu.
"Maaf," sela Masumi bingung. Dia merasa tidak ada hal lucu untuk di tertawakan.
"Aku tidak akan memberitahumu dimana Maya berada," jawab Mamoru.
Kening Masumi berkerut.
"Aku datang bukan dengan kebaikan hati yang ingin menyatukan kalian berdua. Aku datang untuk memberikan peringatan,"
"Apa maksudmu Tuan Saito?"
Mamoru menyeringai, "Maya akan menjadi milikku, apapun caranya. Jadi mulai sekarang belajarlah untuk merelakannya,"
Masumi tersentak, kedua tangannya mengepal kuat menahan marah.
"Kau tidak dapat melakukannya! Maya adalah kekasihku," desis Masumi tidak terima.
Mamoru terkekeh, "Oh ya? Apakah kau bisa membuktikan bahwa Maya adalah kekasihmu? Bahkan dimana dan bagaimana keadaannya saat inipun kau tidak tahu,"
Mata Masumi membelalak marah. "Siapa kau sebenarnya?"
Brak!! Belum sempat Mamoru menjawab pintu kantor Masumi terbuka keras. Masumi mengernyit melihat dua orang pria yang serupa, hanya rambut keduanya yang berbeda.
"Maaf Pak, saya-,"
Masumi mengangkat tangannya pada Mizuki dan menyuruhnya keluar sebelum sekretarisnya itu sempat menjelaskan apa yang terjadi. Mizuki mundur dan keluar dari kantor Masumi sementara Tamotsu dengan langkah mantap menghampiri Masumi dan saudaranya.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Tamotsu pada Mamoru. Suaranya tenang tapi tajam.
"Seharusnya aku yang bertanya," sahut Mamoru.
Masumi memandang keduanya dengan bingung.
"Siapa kau?" Sela Masumi.
"Maaf mengejutkanmu Tuan Hayami, aku Tamotsu Saito." Tamotsu mengangguk hormat pada Masumi. "Maaf jika saudaraku mengganggumu,"
"Aku hanya memperingatkannya Tamotsu, kau baik sekali jauh-jauh datang hanya untuk melindunginya," ejek Mamoru.
"Jangan ingkari janjimu Mamoru, dia masih punya waktu dua belas hari,"
"Aku tahu,"
Keduanya terdiam, mengabaikan Masumi yang kebingungan dan hanya saling menatap.
"Baiklah, sebaiknya aku pergi sekarang," kata Mamoru kemudian.
"Tunggu! Jelaskan dulu semuanya. Apa hubunganmu dengan Maya dan dimana dia sekarang?" Masumi menahan tamunya pergi.
"Sudah ku katakan bukan itu tujuan ku datang. Sampai jumpa Tuan Hayami," Mamoru melenggang meninggalkan Masumi dan melewati Tamotsu begitu saja. Saudara kembarnya itu masih bergeming seraya menatap tajam Masumi.
"Maaf Tuan Hayami, aku juga harus pergi,"
Tamotsu kembali mengangguk pada Masumi setelah Mamoru pergi.
"Tunggu Tuan Saito. Sebenarnya siapa kalian? Bagaimana kalian bisa mengenal Maya?" Tanya Masumi yang masih kebingungan dengan kedua tamunya yang aneh.
"Maaf, aku tidak berhak menjelaskan semuanya. Tapi jika boleh aku bertanya apakah kau mencintai Maya?" Alih-alih menjawab pertanyaan Masumi Tamotsu justru balik bertanya.
Bagaimana mereka bisa tahu hubunganku dengan Maya? Siapa sebenarnya mereka?
"Ya, aku sangat mencintainya," jawab Masumi mantap.
Tamotsu tersenyum, "Kalau begitu cepat buktikan kalau kau mencintainya, hanya itu caranya agar dia bisa kembali. Permisi Tuan Hayami. Sampai jumpa," dan Masumi hanya bisa mematung ketika akhirnya Tamotsu juga pergi. Tanda tanya besar bersandar di kepalanya. Beberapa hari terakhir ini terlalu banyak hal aneh terjadi, melelahkan. Semuanya bagai puzzle teka-teki yang tak kunjung selesai.
"Maaf Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Mizuki memandang Masumi heran ketika bosnya itu hanya termenung di mejanya. Masumi bahkan tidak mendengar ketika Mizuki mengetuk pintu kantor.
"Tolong buatkan aku kopi Mizuki dan tolong batalkan semua acara sore ini. Ada hal yang harus aku selesaikan," pesan Masumi masih dengan wajah seriusnya.
"Baik Pak. Apa hanya itu?" Tanya Mizuki lagi.
Masumi hanya mengangguk dan melambaikan tangannya, mengusir. Tak bertanya lagi Mizuki segera keluar, meninggalkan Masumi dengan kening yang berkerut dalam.
***
Masumi memasuki kamarnya penuh harap. Berharap bisa bertemu dengan Maya dan pendapat penjelasan atas semua keanehan yang terjadi.
Mamoru Saito, Tamotsu Saito, siapa sebenarnya mereka?
Masumi duduk di sofa kamarnya ditemani segelas white wine. Di dalam otaknya berputar berbagai macam dugaan. Dia sudah meminta Hijiri mencari tahu mengenai Saito bersaudara. Hal lain yang membingungkannya adalah mengenai keberadaan Maya. Dimana sebenarnya kekasihnya itu berada dan apa hubungannya dengan Mamoru. Memikirkan ada pria lain yang menginginkan Maya membuatnya sangat frustasi.
Sementara itu Maya di tempat lain sedang menghadapi masalah lain.
"Kenapa kau menemuinya? Kau tahu aku tidak akan bisa menjelaskan keadaan yang sebenarnya!" Maya marah pada Mamoru yang tengah berdiri di taman memandang bulan.
Mamoru hanya terkekeh, "Kenapa harus semarah itu Maya. Kalau kau percaya pada kekasihmu itu kenapa harus khawatir pada apa yang aku lakukan?"
"Kau menyebalkan Mamoru!" Teriak Maya kesal sambil berputar meninggalkan Mamoru.
"Abaikan saja," kata Tamotsu ketika Maya kembali ke kamarnya.
"Bagaimana aku bisa mengabaikannya?! Malam ini Masumi pasti sedang bertanya-tanya dan bagaimana aku harus menjelaskan semuanya?" Kata Maya kesal.
"Apa kau tidak akan menemui Masumi-mu malam ini?"
"Tidak! Sudah ku bilang aku tidak tahu harus bicara apa padanya,"
Tamotsu terdiam.
"Aku heran dengan kalian berdua," kata Maya tiba-tiba.
Tamotsu melengkungkan alisnya, "Kenapa?"
"Aku tidak mengerti, jika kalian benar anak dewa kenapa kalian tinggal di tempat ini? Dan kenapa Mamoru menginginkan aku yang hanya seorang manusia sehingga membuatku terjebak dalam keadaan rumit seperti ini?" Maya memiringkan kepalanya dan memberi tatapan jelaskan-padaku.
"Kau ingin tahu?"
Maya mengangguk.
"Kau sudah terjebak dalam keadaan ini jadi kupikir kau berhak tahu. Ayo ikutlah denganku,"
Dengan patuh Maya mengikuti Tamotsu, keduanya berjalan di lorong menuju sebuah kamar. Tamotsu menggeser pintu dan apa yang terlihat di dalam kamar membuat Maya tertagun heran. Foto wanita cantik tergantung besar di tengah kamar. Tidak hanya foto besar, tapi foto berbagai ukuran dari wanita yang sama juga tergantung di sekeliling dinding. Diantaranya satu dua foto memperlihatkan kemesaraan wanita itu dengan...entah Tamotsu atau Mamoru.
"Namanya Yukari, dia adalah istriku,"
Maya tercengang, "Istri?!"
"Dialah alasanku berada disini. Aku jatuh cinta dengan manusia dan melanggar hukum dengan menikahinya. Ayahku, Tsukuyomi-no-Mikoto marah ketika mengetahuinya dan hasilnya kekuatanku disegel dan aku dibuang ke bumi. Itulah sebabnya aku tidak bisa mematahkan mantra Mamoru. Kekuatanku terbatas sekarang,"
"Bagaimana dengan Mamoru?"
Tamotsu tersenyum, "Dia membenci manusia karena istriku. Tapi bagaimanapun dia adalah saudaraku, dia lebih memilih tinggal di bumi menemaniku. Dia bermusuhan dengan ayah gara-gara aku."
Oh! Ternyata dia baik juga
"Lalu, dimana Yukari sekarang?"
Tamotsu menunduk lesu, "Dia sudah meninggal delapan puluh tahun yang lalu. Tsukuyomi-no-Mikoto membunuhnya karena melanggar hukum langit dengan mencintai dewa. Meski itu bukan salahnya, aku yang mendekatinya bukan sebaliknya. Tapi tidak ada kata salah bagi dewa kan?"
"Delapan puluh tahun? Berapa usiamu sekarang?" Tanya Maya polos dan Tamostu terkekeh karenanya.
"Umurku sudah ratusan tahun Maya, meski begitu aku baru benar-benar merasa hidup delapan puluh tahun yang lalu. Ketika aku bersama dengan Yukari," jawab Tamotsu.
Maya memandang penuh simpati, "Bahkan dewapun tidak bisa memiliki kehidupan seperti apa yang diinginkannya," lirih Maya.
Dengan lembut Tamotsu mengusap lengan Maya, "Jangan menyerah, aku tahu apa yang kau rasakan. Mendengar ceritamu membuatku teringat pada Yukari. Dulu aku tidak punya keberanian melawan ayahku dan merasa lemah karena kekuatanku di segel sehingga aku tidak bisa menyelamatkannya. Tapi melihat Masumi-mu, aku yakin dia bisa. Mamoru datang menemuinya untuk memastikan hal itu,"
"Eh?!" Maya tidak mengerti dengan ucapan Tamotsu.
"Maya, Mamoru tidak pernah bercanda dengan ucapannya. Ini pertama kalinya dia menyukai seseorang. Meski caranya aneh tapi begitulah dia. Dia sudah jatuh cinta padamu dan dia datang menemui Masumi untuk memastikan apakah Masumi sanggup membebaskanmu. Karena jika tidak...dia sudah siap melepas mantranya dan menjadikanmu miliknya,"
"Ah, ternyata semuanya memang tidak akan berjalan dengan mudah ya," gumam Maya sedih.
"Di satu sisi aku tahu perasanmu tapi di sisi lain aku juga mengerti perasaan Mamoru. Bagaimanapun dia saudaraku. Meski begitu aku mengharapkan yang terbaik bagimu Maya."
"Yang terbaik bagiku adalah ketika aku bisa bersama Masumi,"
Tamotsu kembali tersenyum, "Jika memang itu yang kau harapkan, aku berdoa kau bahagia. Kau dan Masumi pasti bisa merubah takdir dengan kekuatan cinta kalian yang kuat,"
Maya tersenyum dan mengangguk setuju. Meski sekarang dia menghargai perasaan Mamoru tapi bagi Maya cintanya untuk Masumi tidak bisa dibagi. Seluruh hidupnya, hati dan jiwanya adalah milik Masumi.
"Terima kasih Tamotsu," gumam Maya.
"Jadi...apa kau masih tidak ingin menemui Masumi-mu?"
"Sepertinya aku berubah pikiran," Maya meringis.
Dan tanpa menunggu diminta Tamotsu kembali membuka gerbang cahaya untuk melintasi ruang dan waktu.
***
Maya memandang sedih pada Masumi yang tertidur di sofa. Botol white wine dan brandy yang tergeletak kosong dimeja memberitahunya kalau Masumi pasti mabuk. Perlahan Maya menghampiri kekasihnya lalu berdiri dengan lututnya di sebelah Masumi.
"Aku bisa membuatnya bangun kalau kau mau," kata Tamotsu. Dia masih belum meninggalkan Maya. Matanya memandang sekeliling kamar.
"Tidak, mungkin begini lebih baik. Dia bisa beristirahat dan aku tidak perlu menjelaskan apapun padanya." Jawab Maya seraya mengusap lembut kepala Masumi.
"Ya terserah padamu," Tamotsu mengendikkan bahunya. Dia masih bersandar pada pintu gerbang cahaya.
"Hhmm, Tamotsu, kira-kira apa yang akan dilakukan Tsukuyomi-no-Mikoto jika dia tahu Mamoru mencintaiku? Apa dia akan membunuhku juga seperti dia membunuh Yukari lalu menyegel kekuatan Mamoru?" Maya beralih menatap Tamotsu.
"Mungkin saja. Peraturan tetap peraturan. Dewa tidak boleh jatuh cinta pada manusia," jawab Tamotsu.
"Meski tahu konsekuensinya kenapa Mamoru tidak mau melepaskanku?"
Tamotsu terkekeh, "Alasan yang sama denganmu ketika kau rela mempertaruhkan nyawamu. Cinta. Itulah cinta Maya. Jangan tanya kenapa. Lagipula kami sudah puluhan tahun tinggal di bumi, tidak ada bedanya lagi kami dewa atau bukan. Bahkan kekuatan kami juga tidak banyak berguna, ya meski saat ini aku berharap aku memiliki kekuatan penuh untuk bisa melepaskan mantra Mamoru,"
Maya tersenyum mendengarnya, "Kenapa semua hal menjadi rumit hanya karena sebuah cinta padahal impianku sederhana, hidup bahagia bersama pria ini," Maya mengusap wajah tampan Masumi yang tengah terlelap.
"Nggh," Masumi melenguh dan bergerak dalam tidurnya.
"Tidurlah Masumi, mimpikan aku," bisik Maya.
Maya tersenyum dan sebuah benda terjatuh dari genggaman tangan Masumi mengalihkan perhatiannya. Melihat ke lantai, Maya mendapati kalungnya. Diapun kembali memakai kalung itu. Maya beranjak dari sisi Masumi lalu berjalan ke tempat tidur, mengambil sebuah selimut dan menutupi tubuh Masumi yang dingin karena udara malam.
"Kau yakin meninggalkannya seperti itu?" Tanya Tamotsu ketika melihat Maya bersiap pergi.
"Dia akan tertidur semalaman," jawab Maya seraya mengangguk. Sekali lagi dia mengusap wajah Masumi dan mendaratkan sebuah kecupan di sudut bibir Masumi.
"Ayo pergi," Maya kembali masuk melalui pintu cahaya dan dalam sekejap keduanya menghilang.
Sedetik kemudian sebuah desahan panjang terdengar. Masumi membuka matanya.
Maya? Apa yang terjadi sebenarnya?
Dia hanya pura-pura tidur dan apa yang dilihatnya membuat tanda tanya di kepalanya semakin besar.
***
Masumi tidak bisa lagi memejamkan matanya, melihat Maya yang menghilang bersama Tamotsu membuat dunianya berputar seratus delapan puluh derajat. Matanya terang menatap kegelapan malam dan otaknya berputar mencari pembenaran yang masuk akal atas apa yang dilihatnya. Percakapan Maya dan Tamotsu mengaburkan akal sehatnya.
Mungkihkah semua ini terjadi? Apakah semua ini nyata? Atau hanya kegilaan karena pengaruh alkohol yang ku minum? Masumi menggeleng keras. Meski tidak melihat jelas tapi dia tahu pasti kalau dirinya tidak salah lihat juga tidak salah dengar. Maya. Tamotsu. Mamoru. Tsukumiya-no-Mikoto. Empat nama itu terus berputar di kepalanya.
"Aku harus pergi ke Ise," gumamnya.
Seperti apa yang telah dikatakannya. Keesokan paginya Masumi segera bersiap untuk pergi ke Ise. Yang dia tahu di sana terdapat kuil Tsukuyomi-no-Mikoto. Dia berharap dapat menemukan jawaban atas semua hal tidak masuk akal yang terjadi padanya.
"Kau mau ke luar kota?" Tanya Eisuke ketika keduanya sedang sarapan.
"Ya ayah. Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan di Ise." Jawab Masumi.
"Berapa hari kau akan pergi?"
"Entah Ayah, mungkin dua hari."
"Hhmm,"
Masumi menilai ekspresi ayahnya. Tidak biasanya Eisuke banyak bertanya jika dia ingin pergi bekerja. Masumi memang sudah meminta Mizuki untuk membuat perjalanan kerja fiktif untuknya.
"Ada apa Ayah?" Akhirnya Masumi bertanya juga.
Eisuke hanya melirik putra angkatnya itu.
"Tidak biasanya ayah bertanya jika aku pergi bekerja,"
"Oh, aku hanya ingin memastikan kalau kau memang bekerja disana,"
Masumi menautkan alisnya, "Apa maksud ayah?"
"Ku dengar dari para pelayan, sejak batal menikah kau bersikap aneh dan sering mengurung diri di kamar. Aku juga dengar kau mendatangi Shiori beberapa hari yang lalu. Kau harus tahu Masumi, aku tidak mau kau masih berhubungan dengan Takamiya terlebih lagi dengan Shiori."
Masumi menyeringai tipis menanggapi perkataan ayahnya. "Tenang saja ayah, aku pergi ke Ise bukan untuk bertemu Shiori,"
"Bagus. Ku harap kau tidak benar-benar jatuh cinta pada wanita yang sudah mencorengkan arang pada nama keluarga kita," lanjut Eisuke sambil menyeka mulutnya dengan serbet.
Masumi tertawa, aku jatuh cinta pada Shiori? Andai ayah tahu kalau aku adalah orang yang paling bahagia dengan pembatalan pernikahan ini.
"Ayah tenang saja, aku sama sekali tidak jatuh cinta padanya. Hubungan kami hanyalah sebatas pertunangan yang ayah rencanakan dengan Tuan Besar. Selebihnya aku tidak memiliki perasaan apa-apa padanya," jelas Masumi seraya menyunggingkan senyum simpul.
Eisuke menghela napas panjang, dia menatap Masumi lekat, "Aku masih tetap berharap kau bisa segera menikah,"
Seketika tangan Masumi yang memegang pisau sarapannya menggantung di udara. Diapun meletakkan pisau itu di atas piring dan balas menatap ayahnya, "Apa ayah berniat menjodohkanku lagi?"
Eisuke kembali menghela napas, "Tidak kali ini. Tapi jika sampai tahun depan kau belum juga memilih calon istri maka aku akan kembali menjodohkanmu,"
Masumi tertegun. Tahun depan? Kalau aku bisa menemukan Maya hari ini, aku akan langsung menikahinya besok.
"Kenapa? Kau keberatan? Apa kau pikir aku akan membiarkanmu membujang seumur hidup? Keluarga kita butuh penerus dan-,"
"Tenang saja Ayah," sela Masumi.
"Eh?!" Eisuke menatap heran putranya.
"Aku akan segera memenuhi keinginan ayah,"
Jawab Masumi yang kembali melanjutkan sarapannya.
"Kau sudah memiliki kekasih lain?" Eisuke gagal menyembunyikan keterkejutannya. Jelas saja, putranya itu terkenal dingin dan gila kerja. Kalau saja bukan karena di jodohkan dengan Shiori, Masumi pasti tidak pernah pergi berkencan dengan wanita. Yang ada di kepalanya hanyalah urusan kerja.
"Kenapa ayah begitu terkejut? Aku laki-laki normal, tentu saja aku juga memikirkan masa depanku. Lagipula aku sama sekali tidak berniat membujang seumur hidup," jelas Masumi tenang. Dia menyuap potongan terakhir roti bakar dipiringnya.
"Siapa wanita itu?" Perkataan Masumi menggelitik rasa penasaran Eisuke.
Masumi tersenyum, "Aku akan memperkenalkannya pada ayahnya jika sudah tiba saatnya,"
"Dan waktunya adalah?"
"Secepatnya. Yang pasti tidak sampai tahun depan," Seringai di wajah Masumi mengakhiri pertanyaan Eisuke. "Permisi ayah, aku berangkat," Dengan sopan Masumi meninggalkan meja makan.
Masumi memacu mobilnya sendiri. Dia tidak membawa supirnya. Masumi tidak mau urusannya diketahui orang lain. Bahkan Mizuki, sekeretaris andalannya pun harus gigit jari ketika gagal mengetahui alasan perjalanan kerja fiktif yang dibuatnya.
Maya, aku pasti akan menemukanmu dan segera menjadikanmu milikku. Satu-satunya milikku, selamanya
Dan bayangan Maya, Tamotsu juga Mamoru kembali melintas di benaknya.
***
Lima jam perjalanan dengan mobilnya, akhirnya Masumi tiba di Ise. Dia segera menuju Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya. Ada beberapa pendeta shinto juga beberapa miko yang bertugas di kuil. Masumi pun menemui salah satunya dan meminta doa. Selain itu dia menanyakan beberapa hal terkait apa yang dilihatnya.
"Manusia dengan kekuatan dewa?" Pendeta Shinto itu mengerutkan kening dalam mendengar pertanyaan Masumi.
"Iya," tegas Masumi, dia juga bingung dengan pertanyaannya sendiri.
"Saya tidak mengerti dengan apa yang Tuan maksud. Tapi jika maksud anda adalah manusia yang memiliki kekuatan supranatural untuk berbicara dengan para dewa itu ada," jawabnya.
"Eh? Benarkah? Bisakah saya bertemu dengannya?" Kata Masumi bersemangat.
"Bertemu dengannya?" Pendeta Shinto itu kembali terheran-heran.
"Iya, dengan orang yang bisa berbicara dengan dewa," jelas Masumi.
Pendeta itu tertegun sejenak.
"Sayangnya dia bukan pendeta jadi dia tidak tinggal disini. Biasanya dia hanya datang jika ada upacara pemujaan saja. Tapi jika anda memang ingin menemuinya, saya bisa memberikan alamat tempat tinggalnya."
Hati Masumi mengembang penuh harap ketika pendeta itu mencatatkan sebuah alamat padanya.
"Terima kasih," ucapnya sebelum akhirnya pergi.
Tidak merasa lelah meski baru saja melakukan perjalanan selama lima jam, Masumi langsung membawa mobilnya melaju ke alamat yang sudah langsung dihapalnya di luar kepala. Lima belas menit, mobil Masumi berhenti di depan sebuah bangunan. Tak membuang banyak waktu, dia segera turun untuk mencari pria yang dituliskan bernama Ryunosuke, tanpa nama keluarga. Masumi tertegun ketika melihat plakat yang terpasang di pintu alamat yang dicarinya. Psikiater?
Teet! Teet! Seorang pria tertegun menatap Masumi di ambang pintu.
"Tuan Ryunosuke?" Tanya Masumi. Dengan jeli Masumi mengamati pria yang ternyata masih muda. Mungkin usianya sama dengan dirinya. Pria itu cukup tampan, mengenakan kemeja biru dan celana jeans panjang berwarna biru gelap.
"Ya, kau?" Ryunosuke balas bertanya. Dia juga mengamati Masumi dari atas ke bawah.
"Masumi Hayami. Aku mendapat alamatmu dari pendeta di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya." Jelas Masumi.
"Oh," pria itu ber-oh pelan. "Maaf, hari ini aku tidak menerima tamu untuk meminta doa. Aku sedang praktek," tolaknya sopan.
Eh?! "Maaf tapi aku datang bukan untuk meminta doa,"
Ryunosuke melengkungkan alisnya, "Lalu?"
Masumi menoleh ke kanan dan ke kiri, "Maaf, bolehkan aku masuk dan membicarakan ini secara pribadi?"
"Maaf, aku ada janji dengan klien,"
"Hanya sebentar, ku mohon,"
Ryunosuke tertegun sejenak tapi kemudian dia mengangguk, "Silakan masuk,"
Keduanya duduk di ruang tamu yang tertata rapi.
"Sebelumnya aku ingin kau tahu, aku hanya menerima pelayanan doa atau penyucian saja. Aku tidak mau diminta untuk melakukan hal aneh untuk urusan bisnis."
Ah, Masumi mengerti. Dengan tampilannya Ryunosuke mengira dirinya meminta bantuan untuk menjatuhkan lawan bisnis.
"Tidak, kau salah paham."
"Begitukah? Baguslah, sekarang jelaskan maksud kedatanganmu,"
Sejenak Masumi termenung, dia sendiri ragu dengan apa yang akan dikatakannya, "Maaf, benarkah kau bisa berbicara dengan dewa?"
"Ya,"
"Bagaimana bisa? Eh, maksudku bagaimana kau bisa berkomunikasi dengan dewa, hhmm...di langit?" Masumi menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tenang dan tidak terlihat bingung.
Ryunosuke mengernyit, "Kau mengintrogasiku?"
"Maaf, aku tidak bermaksud mengintrogasimu. Aku hanya ingin tahu bagaimana hal itu bisa terjadi. Bagaimana memanggil dewa lalu berkomunikasi dengannya. Aku ingin berbicara dengan dewa," Masumi berterus terang karena tidak mau Ryunosuke salah paham.
"Memanggil dewa dan berkomunikasi?" Ryunosuke tertawa, "Kita tidak bisa memanggil dewa Tuan Hayami. Ketika kita berdoa itulah cara kita berkomunikasi dengan dewa."
Masumi masih belum puas dengan jawaban itu, "Lalu bagaimana denganmu? Pendeta bilang kau memiliki kekuatan khusus untuk berbicara dengan dewa,"
"Oh, mengenai itu. Ya sejak lahir aku memiliki kekuatan supranatural untuk berkomunikasi dengan alam roh. Tapi aku tidak memanggil dewa. Dewalah yang berbicara padaku dan memintaku menyampaikannya. Ya semacam perantara," jelas Ryunosuke.
"Darimana kekuatan itu?" Masumi semakin penasaran.
"Itu warisan leluhur keluarga kami. Aku generasi ketiga dari keluarga yang memilikinya." Terang Ryunosuke.
"Hanya kau? Tidak ada saudara anda yang lain?"
Ryusuke menggeleng, "Aku anak tunggal, orang tuaku sudah meninggal. Setiap orang tua di keluarga kami akan meninggal setelah anaknya bisa meneruskan menjadi perantara dewa,"
"Jadi hanya ada satu keturunan tunggal di setiap generasi?"
"Benar,"
"Berarti kau juga...," Masumi termangu.
"Akan mati setelah menikah dan punya anak?" Sela Ryunosuke.
Masumi mengangguk.
Ryunosuke mengendikkan bahu, "Entahlah, siapa yang tahu?" jawabnya seraya tersenyum masam. "Tuan Hayami, kenapa kau ingin berbicara dengan dewa?" Ryunosuke balik bertanya.
Nah, aku harus bicara sekarang, "Aku ingin mencari kekasihku yang hilang,"
"Maksudnya?"
"Bagiku semuanya memang begitu tidak masuk akal tapi mungkin kau bisa membantuku." Masumi menatap Ryunosuke yang sepertinya mulai penasaran dengan dirinya.
"Kemarin dua orang pria mendatangiku. Mereka tahu dimana kekasihku yang hilang tapi mereka tidak mau mengatakannya. Setelah itu malamnya aku melihat salah satu pria itu bersama kekasihku. Keduanya datang dan pergi tiba-tiba di kamarku melalui sebuah pintu yang...entahlah...pintu ajaib mungkin," Masumi mengendikkan bahunya, "Yang ku tahu mereka menyebut-nyebut mengenai kekuatan dewa dan Tsukuyomi-no-Mikoto," Masumi melihat Ryunosuke begitu serius mendengarkannya
Ryunosuke termenung di tempatnya, "Siapa nama pria yang menemuimu? Apakah mereka kembar?"
"Benar, namanya Mamoru dan Tamotsu Saito,"
"Apa?!"
"Kau mengenal mereka?" Masumi menilai keterkejutan Ryunosuke.
"Siapa nama kekasihmu?"
"Maya, Maya Kitajima,"
Ryunosuke terdiam. Jari panjangnya mengusap dagu dengan wajah penuh tanda tanya. "Kau yakin Tuan Hayami?"
"Tentu saja,"
Tiba-tiba Ryunosuke menghela napas panjang. Raut wajahnya mengeras tiba-tiba.
"Bisakah kau membantuku? Apa hubungan kedua pria itu dengan Tsukuyomi-no-Mikoto?"
"Maaf Tuan Hayami, aku tidak bisa menjelaskan apapun mengenai hal ini."
"Kau tidak bisa?"
"Maaf," ulang Ryunosuke, "Sebentar lagi aku memiliki janji dengan klienku. Jadi silakan pulang,"
"Tapi-,"
"Dengan hormat Tuan Hayami, silakan," Ryunosuke berdiri lalu melambaikan tangannya ke arah pintu. Masumi tidak bisa lagi memaksa. Diapun mengambil dompetnya dan menarik selembar kartu nama.
"Saya sangat mengharapkan bantuan anda Tuan Ryunosuke. Tolong hubungi saya jika anda berubah pikiran. Terima kasih," Masumi meletakkan kartu nama itu di meja dan melangkah keluar.
Ryunosuke menghela napas ketika menutup pintu. Kenapa kakek sampai menunjukkan wujudnya di depan manusia? Apa yang sebenarnya terjadi?
Sementara itu di luar, seorang wanita tengah mengamati Masumi yang masuk ke mobilnya.
Kenapa Masumi ada di tempat ini? Gumamnya keheranan. Dengan langkah gamang wanita itu bersama pelayannya menuju tempat Ryunosuke. Jika bukan karena permintaan kakek dan kedua orang tuanya, dia tidak pernah mau mengunjungi psikiater. Pintu terbuka dan Ryunosuke menyapanya dengan ramah.
"Silakan masuk Nona Takamiya,"
***
Malam itu Masumi menginap di sebuah hotel. Hatinya masih tidak tenang sebelum menemukan jawaban atas semua keanehan yang terjadi.
Apa dia akan membunuhku juga seperti dia membunuh Yukari lalu menyegel kekuatan Mamoru
Perkataan Maya terngiang di kepala Masumi. Dia tidak mengerti apa maksudnya tapi jika itu berarti Maya dalam bahaya maka dia tidak bisa hanya berdiam diri saja. Dia harus segera bertindak. Maya sudah menghilang selama empat hari. Kemunculan Maya setiap malam di kamarnya tidak akan bisa dijelaskan secara logika pada Rei dan teman-temannya, Mayuko atau bahkan media. Terlebih seharusnya saat ini Maya berlatih untuk pementasan Bidadari Merah. Kuronuma atau Koji juga pasti bertanya-tanya tentang keberadaan Maya.
"Maya dimana kau sebenarnya?" Gumamnya.
Berdiri di balkon kamarnya, Masumi meneguk habis whisky dalam gelas yang sejak tadi digenggamnya. Matanya menatap bulan yang bersinar di langit.
***
Maya terbaring di atas futon. Matanya terpejam dan wajahnya pucat.
"Lepaskan mantramu Mamoru, lihat gadis itu! Tubuhnya sudah tidak kuat lagi dengan semua mantra yang diarahkan padanya," kata Tamotsu. Wajahnya menyiratkan kekhawatiran melihat tubuh Maya yang tiba-tiba melemah.
Mamoru duduk di atas zabuton di sebelah Maya. Matanya menyusuri setiap garis wajah gadis mungil yang merebut hatinya itu.
"Apa seperti ini rasanya Tamotsu?" Tanyanya tiba-tiba.
Tamotsu yang duduk di sebelahnya menoleh dan memandangnya heran. "Apa maksudmu?"
"Apakah seperti ini rasanya mencintai? Kau dan Yukari?" Jelasnya. Mata tajam Mamoru melembut menatap saudaranya.
"Mamoru, jangan melakukan kesalahan seperti yang aku lakukan,"
"Kenapa? Aku tidak keberatan kalaupun ayah akan menjadikanku manusia seutuhnya. Dulu aku menganggapmu gila tapi sekarang aku tahu bagaimana rasanya,"
"Mamoru, masalahnya adalah Maya-,"
"Mencintai Masumi?"
"Ya,"
Mamoru terbahak, "Masumi sudah meninggalkan Maya andai saja Maya tidak nekat membahayakan nyawanya untuk membatalkan pernikahan itu,"
Tamotsu terdiam, Mamoru benar. Itulah sebabnya kalung Maya kehilangan mantra pelindungnya.
"Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang? Maya bisa meninggal kalau kau tidak melepaskan mantranya. Mantraku hanya bisa menahan rohnya sementara waktu. Nyatanya tubuh Maya sudah tidak kuat lagi,"
Tangan Mamoru terulur dan mengusap lembut wajah Maya. "Masumi sudah ada di Ise. Sore tadi dia menemui cucu buyutmu, Ryunosuke," gumamnya.
Tamotsu membelalak terkejut, "Bagaimana bisa dia menemui Ryunosuke?"
Mamoru menoleh pada saudaranya, "Kalian berdua bodoh kemarin malam. Masumi dalam keadaan sadar ketika kau dan Maya datang. Kau memang kehilangan banyak kekuatanmu tapi bukan berarti kau boleh seceroboh itu, sampai bisa dibodohi Masumi. Dia mendengar semua pembicaraan kalian dan datang ke Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya,"
"Aku harus menemui Ryunosuke," Tamotsu segera berdiri.
"Untuk apa?" Tanya Mamoru. Dia mendongak menatap Tamotsu.
"Untuk memperingatkannya agar tidak mengatakan apapun pada Tsukuyomi-no-Mikoto atau kau dalam bahaya," jawabnya.
Mamoru terkekeh, "Kau ini, terlalu lama tinggal di bumi membuatmu semakin mirip manusia bodoh saja." Ejeknya.
"Hei!" Seru Tamotsu, sedikit tersinggung dengan ucapan Mamoru. Tapi begitulah saudaranya itu, dingin dan tidak pernah basa-basi.
"Kau pikir saja Tamotsu. Jika aku saja bisa tahu semua hal yang terjadi, apa kau pikir bisa mengelabui ayah? Dia pasti sudah tahu kalau aku sudah tergila-gila pada gadis ini," jawab Mamoru yang kemudian kembali memandang Maya yang masih terlelap.
Tamotsu kembali duduk di atas zabuton. "Apa rencanamu?"
"Aku berani bertaruh kalau besok Masumi pasti akan datang. Aku sudah bisa melihatnya," jawab Mamoru.
"Kau akan melepaskan Maya atau sebaliknya?"
"Tergantung sejauh mana Masumi bisa mempertahankannya,"
"Kau? Berniat membuat Masumi melawanmu?"
Mamoru menggeleng, "Dari apa yang aku lihat, Masumi memang datang untuk melawanku. Lagipula aku yang menantangnya kemarin,"
Tamotsu mendesah panjang.
"Kenapa Tamotsu? Aku hanya ingin membuktikan sesuatu."
"Membuktikan apa?"
"Kau kalah oleh Yukari dan jika kali ini aku juga kalah oleh Maya dan Masumi maka aku akan mengakui bahwa manusia memang bisa lebih kuat daripada dewa,"
"Jangan korbankan nyawa manusia demi pertaruhanmu itu Mamoru,"
Mamoru menyeringai, "Tidak Tamotsu, aku tidak akan menyakitinya,"
***
Matahari sudah bersinar terang, Masumi terbangun oleh suara dering handphone. Meraih handphonenya di atas meja, Masumi menjawab panggilan.
"Halo," jawab Masumi seraya menggosok matanya yang masih terasa berat untuk terbuka. Perjalanan panjang kemarin cukup membuatnya kelelahan.
"Tuan Hayami? Saya Ryunosuke,"
Masumi terkesiap, "Tuan Ryunosuke?"
"Ya," jawab Ryunosuke singkat.
"Kau berubah pikiran?" Tanya Masumi. Dia berusaha tetap tenang meski kenyataannya jantungnya berpacu.
"Ya."
"Kau akan membantuku?"
"Tuan Hayami, aku hanya bisa mengantarmu ke tempat di mana kekasihmu berada. Selebihnya aku tidak bisa ikut campur,"
"Kau tahu dimana Maya?!" Pekik Masumi terkejut, jantungnya semakin berpacu.
"Ya,"
"Dimana dia?"
"Temui aku pukul lima sore di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya,"
"Baik, aku pasti-,"
"Sampai jumpa Tuan Hayami,"
Tuuuttt! Ryunosuke mematikan teleponnya dengan cepat, Masumi menatap handphone dengan penuh tanda tanya. Tangannya mengepal erat, rasanya tidak sabar menunggu hari berlalu.
Maya....
Matahari menuju peraduannya ketika Masumi tiba di Kuil Agung Tsukuyomi-no-Miya. Baru saja kakinya menginjak anak tangga pertama, sebuah panggilan menghentikannya.
"Shiori?" Masumi terkejut melihat siapa yang memanggilnya.
"Masumi?" Kata Shiori lagi sama terkejutnya. "Apa yang kau lakukan di tempat ini?"
Gawat! Shiori tidak boleh tahu tujuanku datang ke sini. Tunggu?! Jangan-jangan ayah tahu kalau Shiori juga sedang berada di Ise. Pantas saja dia curiga.
"Aku sedang ada urusan pekerjaan di sini," jawab Masumi.
"Di Ise? Di kuil?" Tanya Shiori heran.
"Iya, hhmm, kami akan membuat sebuah film baru yang berlatar belakang cerita mengenai Dewa Bulan. Jadi aku sedang melihat-lihat beberapa tempat yang cocok," jelas Masumi yang mengarang cerita.
"Oh," Shiori bergumam lirih.
"Nona, ayo kita berdoa dulu," sela pelayan Shiori. Diapun memandang sendu pada Masumi lalu dengan cepat menoleh pada pelayannya.
"Iya Bi, ayo." Shiori mengangguk pada pelayannya.
"Kau berdoa di kuil ini?" Tanya Masumi.
"Iya, permisi Masumi. Aku harus pergi," Shiori seolah tidak mengacuhkan Masumi dan berjalan melewatinya, padahal hatinya pedih jika mengingat akhir hubungan cintanya dengan Masumi.
Masumi menatap Shiori yang menaiki tangga dalam diam. Dia sama sekali tidak menyangka akan bertemu Shiori di Ise.
"Tuan Hayami,"
Masumi menoleh dan Ryunosuke sudah berdiri di sebelah mobilnya.
"Tuan Ryunosuke,"
"Waktu kita tidak banyak, kita harus segera pergi," kata Ryunosuke tanpa basa-basi, wajahnya begitu serius. "Sebelumnya aku ingin bertanya, apakah kau sangat mencintai kekasihmu Tuan Hayami?"
"Tentu saja," tegas Masumi.
"Apa kau rela melakukan apapun demi menyelamatkannya?" Ryunosuke semakin tajam menatap Masumi.
"Aku rela memberikan nyawaku demi keselamatannya," jawab Masumi tanpa ragu.
"Meski harus melawan kekuatan dewa?"
"Maksudmu?"
"Mamoru dan Tamotsu yang kau ceritakan itu adalah putra dari Tsukuyomi-no-Mikoto. Dan Mamoru menginginkan kekasihmu menjadi miliknya,"
Mata Masumi melebar, "Putra dari Tsukuyomi-no-Mikoto?"
"Benar. Tsukuyomi-no-Mikoto memintaku untuk mengantarmu bertemu mereka. Ini sebuah kesempatan, jika kau berhasil merebut Maya dari Mamoru maka kekasihmu itu akan selamat. Tapi jika kau gagal dan Maya menjadi milik Mamoru maka dia akan mati," jelas Ryunosuke.
"Tunggu! Kenapa Maya harus menjadi taruhannya?"
"Itu sudah aturan langit Tuan Hayami, semua manusia yang menjalin hubungan dengan dewa harus mati. Itu jugalah yang terjadi pada keluargaku,"
Kening Masumi berkerut dalam, semuanya terdengar seperti lelucon basi yang tidak menggelikan di telinga Masumi.
"Nenek buyutku adalah istri Tamotsu. Dia mati setelah melahirkan kakekku. Kami masih dibiarkan hidup dengan sebuah perjanjian bahwa seluruh keturunan kami akan melayani Tsukuyomi-no-Mikoto. Tamotsu sendiri diasingkan ke bumi dan tidak lagi dianggap sebagai dewa,"
"Apa ini lelucon?"
Ryunosuke menyeringai tipis, "Kau sendiri yang mencoba meyakinkanku kemarin bahwa hal tidak masuk akal ini adalah kenyataan."
Masumi terdiam, otaknya berhenti berpikir. Tak bertanya apapun lagi, Masumi segera masuk ke mobilnya diikuti Ryunosuke.
"Eh?!" Masumi bingung ketika mesin mobilnya tidak mau menyala. Beberapa kali dia mencoba memutar kunci tapi mesin mobilnya sama sekali tidak bersuara.
"Ada apa?" Tanya Ryunosuke.
"Entahlah, tadi tidak ada masalah. Kenapa sekarang tidak mau menyala," jawab Masumi bingung.
Sejenak mata Ryunosuke mengerat tajam dan dia terlihat tegang ketika kembali membuka mata.
"Ada apa?"
"Sial! Kita tidak perlu pergi. Mereka sudah di sini," dia segera keluar dari mobil diikuti Masumi.
"Apa maksudnya mereka ada disini?" Tanya Masumi yang terlihat tergesa mengimbangi langkah kaki Ryunosuke.
"Kemungkinan Mamoru sudah tahu kalau kita akan menemui mereka dan mengambil kekasihmu,"
Keduanya berjalan menaiki tangga dan menuju ke belakang kuil utama. Disana terdapat taman dan kolam besar. Hari menjelang senja dan pantulan cahaya matahari sore berpendar oranye di dalam kolam. Masumi terkejut melihat Tamotsu dan Mamoru berdiri di tepi kolam dengan mengenakan jubah putih yang berkilauan.
Rambut keemasan mereka terlihat berkilauan terkena sinar matahari. Ryunosuke membungkuk hormat pada keduanya.
"Sudah ku duga kau akan mencariku," kata Mamoru.
"Maaf kakek," Ryunosuke membungkuk dalam.
Tamotsu menatap cucu buyutnya, keturunanya dari Yukari yang sangat dicintainya.
"Bukan salahmu Ryunosuke. Aku tahu kau hanya menjalankan perintah Tsukuyomi-no-Mikoto," Tamotsu beralih pada Masumi yang terpaku di sebelah cucunya, "Selamat datang Tuan Hayami,"
Masumi mengenali Tamotsu yang berambut panjang, "Dimana Maya?"
"Tidak sopan, tidakkah seharusnya kau mengucapkan salam ketika berkunjung Tuan Hayami," tegur Mamoru.
"Aku tidak perlu basa-basi dengan orang yang sudah menyembunyikan Maya," jawab Masumi.
Mamoru menyeringai, "Jadi kau pikir aku akan menyerahkan Maya begitu saja?"
"Kau tidak akan menyerahkannya?"
"Sekalipun Tsukuyomi-no-Mikoto mengirimmu untuk mengambil Maya aku tidak akan menyerahkannya begitu saja,"
Masumi mengepalkan kedua tangannya. Dia tahu kalau Mamoru tidak bercanda dengan ucapannya.
"Apa yang kau inginkan?" Tanya Masumi yang masih berusaha untuk tenang.
"Apa yang ku inginkan?" Mamoru menyeringai, "Kau tahu apa yang ku inginkan Tuan Hayami,"
"Tuan Mamoru, apa tidak sebaiknya kau melepaskan gadis itu? Jika tidak Tsukuyomi-no-Mikoto bisa membunuhnya," sela Ryunosuke.
"Kau sama saja dengan kakekmu. Terlalu lembut pada manusia," ejek Mamoru.
"Bukan begitu Tuanku tapi mempertaruhkan nyawa manusia bukanlah hal yang bijak," kata Ryunosuke lagi.
Mamoru tertawa. "Keputusan langit juga tidak pernah bijak Ryunosuke. Buktinya kau ada disini."
Ryunosuke akhirnya terdiam. Dia tahu itu benar. Kalau saja Tsukuyomi-no-Mikoto bisa lebih adil pada neneknya mungkin sekarang dia bisa hidup bahagia bersama wanita yang dicintainya tanpa takut dengan hukuman dewa yang seolah menjadi kutukan bagi keluarganya.
"Berhentilah bermain-main Mamoru, lakukan saja apa yang ingin kau lakukan. Waktu Maya tidak banyak lagi," Tamotsu akhirnya bicara setelah sejak tadi hanya diam mendengarkan.
"Apa maksud waktu Maya tidak lama lagi?" Masumi terkejut mendengarnya.
"Gadismu berada di dunia lain Tuan Hayami. Kau harus menyelamatkannya tepat waktu jika masih ingin melihatnya hidup." Kata Ryunosuke.
Masumi menoleh pada lawan bicara yang berdiri di sampingnya. Menatapnya penuh tanya.
"Ini pertaruhan Tuan Hayami. Sama dengan apa yang dilakukan Tsukuyomi-no-Mikoto dulu pada nenekku. Aku tahu Tuan Mamoru pasti menyembunyikannya di dunia lain dan kau harus menyelamatkannya," jelasnya.
"Apa yang terjadi kalau aku gagal menemukannya?" Tanya Masumi lagi.
"Dunia lain itu menyerap energi kehidupan dari manusia yang hidup. Semakin lama kalian berdua berada di dalam sana maka semakin banyak energi kehidupan kalian akan hilang. Dengan begitu-,"
"Aku dan Maya akan mati?" Sela Masumi. Ryunosuke mengangguk.
"Aku pasti bisa menyelamatkannya," desis Masumi.
Ryunosuke menggeleng lemah.
"Kenapa?"
"Aku tidak yakin Tuan Hayami,"
Masumi terdiam.
"Dulu, kakekku, Tuan Tamotsu yang notabene adalah dewa tidak berhasil menemukan nenekku. Akibatnya kekuatannya tersegel dan dia harus dibuang ke bumi. Dunia lain itu adalah sebuah dimensi yang tidak terbatas ruang dan waktu. Ketika energi kehidupanmu habis terserap maka kau akan mendapat keabadian di dunia sana dan tidak bisa kembali lagi ke dunia ini,"
"Nah kau sudah tahu lebih banyak sekarang," tiba-tiba Mamoru menyela lagi.
Masumi dan Ryunosuke kembali mengalihkan perhatiannya pada Mamoru dan Tamotsu.
"Apa kau siap Tuan Hayami?" Tanya Mamoru.
"Ya. Apapun itu, aku akan hadapi demi Maya," jawab Masumi mantap.
Mamoru tertawa tapi kemudian terhenti ketika Tamotsu mengacungkan tongkatnya.
Wush! Angin berpusar kencang dan melintas melewati Masumi dan terdengar bunyi bedebug keras ketika pusaran angin itu menghantam sesuatu.
"Kyaa!" Terdengar pekikan seorang wanita.
"Kita kedatangan tamu," kata Tamostu.
Masumi dan Ryunosuke terkejut melihat siapa tamu yang dimaksud.
"Shiori?!"
"Nona Takamiya?!"
Seru keduanya bersamaan dan sontak keduanya saling bertukar pandang bingung.
"Kau mengenalnya?" Tanya Ryunosuke.
"Dia...," Masumi kehilangan kata-kata. Tidak mungkin menyebut Shiori sebagai mantan tunangannya.
"Masumi?" Lirih Shiori. Dia sengaja mengikuti Masumi dan Ryunosuke tadi, sepertinya hatinya masih tidak rela melepas Masumi.
"Calon istrimu rupanya masih belum rela melepaskanmu Tuan Hayami," celetuk Mamoru.
"Dia bukan calon istriku," tegas Masumi.
Shiori terkesiap, sedih mendengar hal itu dari Masumi.
"Ya, jika bukan karena Maya yang membatalkan pernikahan, kau pasti sudah menjadi suaminya kan?" Mamoru tertawa mengejek. Masumi terhenyak, ingatan mengenai apa yang terjadi di hari pernikahan membuatnya mengerti.
"A, apa maksudnya?" Shiori bingung. Sebenarnya dia juga shock melihat semua kejadian di depan matanya tapi dia bertekad untuk bertahan.
"Kau tidak bisa mengingat apa yang terjadi ketika kau membatalkan pernikahan bukan? Mayalah yang melakukannya,"
Shiori terhenyak dan menangkupkan kedua tangan di mulut. Wajahnya terkejut, bingung, marah dan juga sedih.
"Tidak ada gunanya menangis, semua sudah terjadi." Kata Mamoru seraya menyeringai, "Tuan Hayami apa kau siap?"
Masumi mengalihkan perhatiannya pada Mamoru dan mengabaikan keberadaan Shiori. Dia mengangguk mantap pada Mamoru, "Ya,"
Tangan kanan Mamoru tiba-tiba mengeluarkan cahaya perak dan membentuk sebuah pedang. Dia kemudian merapal sebuah mantra dan dari tengah kolam muncul sebuah pintu yang dikelilingin cahaya perak menyilaukan. Sebuah jembatan awan terbentuk menghubungkan pintu dengan tepi kolam.
"Kau sudah mengerti aturan mainnya kan?" Mamoru melambaikan tangannya ke arah kolam dan Masumi mulai melangkah.
"Masumi hentikan! Kau bisa mati!" Pekik Shiori panik, air mata membasahi pipinya. Dia bersimpuh di tanah.
Masumi mengabaikan seruan Shiori, dia tidak peduli. Hanya Maya yang penting sekarang.
"Apa kau siap?" Mata Mamoru menyipit pada Masumi.
"Ya," jawabnya tanpa ragu.
"Masumi!" Sebuah panggilan mengalihkan perhatian semuanya.
"Shiori?"
"A, apa maksud semua ini? Kau melakukan semua ini hanya untuk gadis itu? Kau meninggalkanku?" Serunya dengan masih menangis dan bersimpuh di tanah.
"Hubungan kita sudah berakhir Shiori. Bagiku Maya adalah hidupku. Tidak ada gunanya aku hidup jika tidak ada Maya bersamaku. Jadi aku akan menyelamatkannya sekarang atau kami akan mati bersama," katanya tanpa menoleh pada Shiori. Matanya lurus menatap pada pintu besar di tengah kolam, tempat dimana kekasih sekaligus nyawanya berada.
"Aku masih mencintaimu," kata Shiori lagi. Dengan sedih dia menatap punggung Masumi.
"Sejak dulu sampai sekarang, hatiku tidak pernah berubah. Aku hanya mencintai Maya. Hanya Maya," tegas Masumi lagi.
Shiori menunduk dan tergugu meratapi cintanya yang tak berbalas. Tanpa dia ketahui Ryunosuke menatapnya penuh simpati.
Masumi kembali melangkah mendekat pada kolam dan pintu mulai terbuka.
"Waktumu hanya dua jam waktu dibumi," kata Mamoru.
"Dua jam? Bagaimana aku bisa tahu batas waktunya ketika berada disana?" Masumi bingung.
"Mudah saja, kalau kau mati maka waktumu habis. Begitu juga dengan Maya,"
Mata Masumi melebar tapi tidak bisa berkomentar.
"Tenang saja," Tamotsu tersenyum. "Aku akan membantumu,"
Masumi tersentak ketika Tamotsu menyentuh bahunya. Dia merasa ada sesuatu merasuki tubuhnya.
"Tamotsu!" Bentak Mamoru.
Tamotsu hanya tersnyum, "Aku tidak akan membiarkan mereka kalah Mamoru. Ini bukan sebuah permainan,"
Masumi terlihat bingung.
"Aku meminjamkan sedikit kekuatanku padamu. Itu akan memberimu waktu lebih lama untuk bertahan di dalam sana. Maaf hanya ini yang bisa ku lakukan. Berjuanglah demi Maya,"
Masumi mengangguk mantap dan memberikan tatapan terima kasih. Masumi kemudian menoleh pada Mamoru.
"Aku siap," katanya.
Tak menjawab, Mamoru mengacungkan pedangnya ke arah pintu dan daun pintu perlahan membuka. Cahaya terang keperakan dan kepulan asap menutupi seluruh kolam.
"Silakan Tuan Hayami. Semoga beruntung," Mamoru menyeringai tipis.
Masumi melangkahkan kakinya menuju jembatan awan dan dia menghilang dalam cahaya perak dan kepulan asap putih.
***
>>Bersambung<<
>>Secret Angel - Chapter 3<<
>>Secret Angle - Chapter 5 End<<
5 Comments
Hohoho....
ReplyDeleteImajinasiku melayang layang waktu tulis cerita ini
Ya semoga suka aja, habis idenya kebelet minta dikeluarin
Happy reading ya :)
Imajinasiku jg lsg melayang bayangin dewa2, ada si dewa yg baik dan ada yg jhat... wuaaah bagussss
ReplyDeleteBuruan lnjutannya ya mb agnes :D
Hehe maaf ya mksaaa, mksh banget mb agnes udh smpetin nulis... buat ngobatin kngen ama MM :)
Huaaaaa.. bener" seru n beda bgt cerita nya... suka suka sukaaaa..... imaginasi tingkat tinggi nih sist... empat jempol deh x ini buat mba agnes... jadi lebih penasaran sm yg ini deh ceritanya.... next update nya secret angel duluan yaa yg di kluarin say... pliss...pliiiss... pliiissss... mksa bgt nih.... :D
ReplyDeleteShiomay shock hahahaha... rasakan xixixixi
ReplyDeletewaaaah.. seruuuuuuu
ReplyDelete