Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Rate : 20 thn +
Setting : Setelah Maya dan Masumi menikah
Fanfiction by Agnes Kristi
Rate : 20 thn +
Setting : Setelah Maya dan Masumi menikah
Musik klasik mengalun
merdu di sebuah cafe. Cahaya lampu orange yang lembut membuat suasana cafe
semakin hangat. Cafe itu terlihat lengang, tidak banyak pengunjung. Seorang
pria duduk tenang di sudut ruangan ditemani secangkir coffelatte, matanya
menatap ke arah pintu masuk, dia sedang menunggu seseorang.
Tiga puluh menit kemudian pintu terbuka. Seorang
wanita masuk dan waitress menyapanya ramah seraya melambai ke arah pria yang
duduk di sudut ruangan. Wanita itu tersenyum dan berjalan ke tempat yang ditunjuk.
"Maaf terlambat, kau pasti sudah menunggu
lama," wanita itu mengulum senyum termanisnya lalu duduk di kursi kosong
di sebelah pria yang sejak tadi termenung menatap pintu tanpa ekspresi.
Menghela napas pelan, pria itu menggeleng lemah, "Tidak lama Saeko, hanya dua jam,"
"Maaf Karato," gumam sang wanita penuh penyesalan, "Aku usahakan lain kali tidak terlambat."
Sang pria mengendikkan bahu, "Aku tidak yakin, lagipula bukan salahmu jadi tidak ada yang perlu dimaafkan,"
"Terima kasih Tuan Hijiri,"
"Sama-sama Nona Mizuki,"
Keduanya lalu tertawa.
Karato Hijiri dan Saeko Mizuki, siapa sangka setelah pertemuan singkat mereka yang tidak disengaja karena Mizuki mengantar dokumen untuk Masumi justru berujung pada pertemuan panjang lainnya. Sudah dua tahun keduanya berkencan -secara rahasia pastinya-.
"Sudah malam, kau tidak lelah?" Tanya Hijiri.
Meneguk coffelatte yang baru saja datang, Mizuki melirik pada kekasihnya, "Sudah dua minggu kita tidak bertemu jadi lupakan saja kalau ini sudah malam. Pukul berapa kau kembali dari Kyoto?"
"Pukul dua siang," jawab Hijiri singkat.
"Dan kau baru menghubungiku pukul lima sore?" Kening Mizuki berkerut.
"Ada beberapa hal yang harus aku lakukan," Hijiri memberi alasan.
"Bisakah kau minta cuti pada Tuan Masumi?"
Hijiri terbahak mendengar permintaan kekasihnya.
"Tuan Masumi pasti akan mengira aku sakit parah atau semacamnya,"
Mizuki mendesah panjang, "Kau selalu saja pergi dalam waktu yang lama apalagi akhir-akhir ini,"
Hijiri tersenyum tipis, "Apa kau merindukanku?" Mengulurkan tangannya, Hijiri menyelipkan rambut panjang Mizuki ke belakang telinga dan telunjuknya mengusap lembut wajah kekasihnya.
"Bohong kalau aku jawab tidak," jawab Mizuki kesal.
Senyum Hijiri melebar, mencondongkan tubuhnya dan berbisik lembut, "Aku juga sangat merindukanmu,"
Wajah kesal Mizuki melembut, rona merah tersirat di wajahnya.
"Jadi?" Tanya Mizuki seraya menaikkan kaca mata dengan telunjuknya.
"Aku ada waktu kosong sampai besok sore,"
Keduanya tersenyum penuh arti dan berdiri bersamaan.
***
Mizuki mengerjap dan menggosok matanya perlahan. Sebuah senyuman hangat menyambut saat matanya terbuka sempurna.
"Selamat pagi sayang," Hijiri mengecup kening kekasihnya.
"Selamat pagi," balas Mizuki malas.
"Masih mengantuk?" Tanya Hijiri sambil merapikan rambut yang berantakan di sisi wajah Mizuki.
Mizuki tersenyum lebar, "Kau membuatku kerja lembur Karato,"
Hijiri terkikik, "Kau tidak mengeluh semalam,"
"Sebenarnya tidak ada yang perlu dikeluhkan,"
"Memang seharusnya begitu kan? Kau tidak pernah mengeluh saat Tuan Masumi memintamu lembur,"
Mizuki terbahak, menarik selimut menutupi tubuhnya lalu turun dari tempat tidur, meninggalkan Hijiri yang polos dengan wajah terkejut.
"Saeko!" Teriaknya.
Mizuki mengabaikannya dan menghilang ke dalam kamar mandi. Dengan cepat Hijiri melompat turun dari tempat tidur dan menyusul kekasihnya.
"Apa rencanamu hari ini?" Tanya Hijiri saat keduanya sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan.
"Tidak ada. Ini sabtu dan sejak menikah Tuan Masumi tidak pernah bekerja di akhir pekan." Mizuki memotong rotinya dan menyuapkannya pada Hijiri, kekasihnya juga melakukan sebaliknya. Sarapan bersama itu menjadi ritual saling menyuapi.
"Kau mau kita pergi keluar hari ini?"
Alis Mizuki bertaut, "Kau yakin? Ini akhir pekan, tidak ada tempat sepi di Tokyo,"
Hijiri tertawa, "Siapa yang bilang kita akan jalan-jalan di Tokyo?"
"Kau akan keluar kota lagi?" Mizuki melotot.
"Ada email dari Tuan Masumi, aku harus pergi ke Chiba siang ini,"
Mizuki meletakkan pisau dan garpunya lalu mendesah kesal.
"Kenapa?" Hijiri sedikit heran dengan reaksi Mizuki yang lain dari biasanya.
"Tidak bisakah kita berakhir pekan dengan tenang?" Keluh Mizuki.
"Kita akan berakhir pekan dengan tenang jika kau mau ikut denganku ke Chiba. Besok sore kita kembali,"
Mizuki menggeleng, "Kau bekerja disana dan aku pasti akan mengganggu atau justru aku akan diabaikan nanti,"
"Hei, kenapa bicara seperti itu? Aku tidak akan mengajakmu kalau aku akan mengabaikanmu disana,"
"Tetap saja itu sebuah pekerjaan. Bukan kencan akhir pekan,"
Hijiri tahu ada sesuatu yang membuat kekasihnya itu kesal dan yang pasti itu bukan tentang pekerjaannya.
"Kau tahu pekerjaanku kan? Kita sudah menjalani ini selama dua tahun, sekarang apa masalahnya?"
Mizuki memiringkan tubuhnya menghadap Hijiri, "Masalahnya kau dan aku tidak bertambah muda setiap harinya,"
Kening Hijiri berkerut dalam.
"Maksudmu?"
"Maksudku?"
"Katakan padaku Saeko,"
"Kau tahu apa yang aku maksud Karato,"
Sejenak Hijiri terdiam, melihat Mizuki yang tertunduk lesu menatap piring dengan sisa potongan roti bakar dan sosis.
"Saeko?" Hijiri mengangkat dagu Mizuki sehingga kedua mata mereka saling bertatapan.
"Kau ingin kita menikah?" Tebak Hijiri.
Menghela napas panjang, Mizuki mengangguk.
Hijiri kembali terdiam, otaknya berputar-putar mencerna permintaan kekasihnya. Secara logika tentu tidak ada yang salah dengan keinginan Mizuki, dalam hati diapun menginginkan hal yang sama. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan dan jelas bahwa mereka saling mencintai. Hanya saja logika mereka bertabrakan dengan kenyataan, keberadaan Hijiri sebagai 'bayangan' Daito adalah sebuah masalah.
"Karato?" Mizuki memiringkan kepalanya, mencari wajah Hijiri yang sekarang tertunduk dan tampak berpikir keras.
"Jangan katakan padaku kalau kau tidak ingin menikah?" Kata Mizuki.
Hijiri menegakkan kepalanya, "Tentu saja aku juga ingin menikah sayang. Hanya saja...,"
"Daito?" Tebak Mizuki.
Menarik napas dan menghembuskannya dengan keras, Hijiri menyisir rambutnya yang tergerai di sisi wajahnya dengan kasar.
"Kau yakin Saeko?" Mata Hijiri memandang ragu pada Mizuki.
"Dua tahun kita bersama dan kau masih menanyakan keyakinanku? Kau satu-satunya pria yang ada dalam hidupku Karato. Pertama dan terakhir, kuharap," Mizuki mendegus kesal. Berdiri lalu membereskan piring mereka, dia sudah tidak berselera menghabiskan sarapannya.
Menghela napas pelan, pria itu menggeleng lemah, "Tidak lama Saeko, hanya dua jam,"
"Maaf Karato," gumam sang wanita penuh penyesalan, "Aku usahakan lain kali tidak terlambat."
Sang pria mengendikkan bahu, "Aku tidak yakin, lagipula bukan salahmu jadi tidak ada yang perlu dimaafkan,"
"Terima kasih Tuan Hijiri,"
"Sama-sama Nona Mizuki,"
Keduanya lalu tertawa.
Karato Hijiri dan Saeko Mizuki, siapa sangka setelah pertemuan singkat mereka yang tidak disengaja karena Mizuki mengantar dokumen untuk Masumi justru berujung pada pertemuan panjang lainnya. Sudah dua tahun keduanya berkencan -secara rahasia pastinya-.
"Sudah malam, kau tidak lelah?" Tanya Hijiri.
Meneguk coffelatte yang baru saja datang, Mizuki melirik pada kekasihnya, "Sudah dua minggu kita tidak bertemu jadi lupakan saja kalau ini sudah malam. Pukul berapa kau kembali dari Kyoto?"
"Pukul dua siang," jawab Hijiri singkat.
"Dan kau baru menghubungiku pukul lima sore?" Kening Mizuki berkerut.
"Ada beberapa hal yang harus aku lakukan," Hijiri memberi alasan.
"Bisakah kau minta cuti pada Tuan Masumi?"
Hijiri terbahak mendengar permintaan kekasihnya.
"Tuan Masumi pasti akan mengira aku sakit parah atau semacamnya,"
Mizuki mendesah panjang, "Kau selalu saja pergi dalam waktu yang lama apalagi akhir-akhir ini,"
Hijiri tersenyum tipis, "Apa kau merindukanku?" Mengulurkan tangannya, Hijiri menyelipkan rambut panjang Mizuki ke belakang telinga dan telunjuknya mengusap lembut wajah kekasihnya.
"Bohong kalau aku jawab tidak," jawab Mizuki kesal.
Senyum Hijiri melebar, mencondongkan tubuhnya dan berbisik lembut, "Aku juga sangat merindukanmu,"
Wajah kesal Mizuki melembut, rona merah tersirat di wajahnya.
"Jadi?" Tanya Mizuki seraya menaikkan kaca mata dengan telunjuknya.
"Aku ada waktu kosong sampai besok sore,"
Keduanya tersenyum penuh arti dan berdiri bersamaan.
***
Mizuki mengerjap dan menggosok matanya perlahan. Sebuah senyuman hangat menyambut saat matanya terbuka sempurna.
"Selamat pagi sayang," Hijiri mengecup kening kekasihnya.
"Selamat pagi," balas Mizuki malas.
"Masih mengantuk?" Tanya Hijiri sambil merapikan rambut yang berantakan di sisi wajah Mizuki.
Mizuki tersenyum lebar, "Kau membuatku kerja lembur Karato,"
Hijiri terkikik, "Kau tidak mengeluh semalam,"
"Sebenarnya tidak ada yang perlu dikeluhkan,"
"Memang seharusnya begitu kan? Kau tidak pernah mengeluh saat Tuan Masumi memintamu lembur,"
Mizuki terbahak, menarik selimut menutupi tubuhnya lalu turun dari tempat tidur, meninggalkan Hijiri yang polos dengan wajah terkejut.
"Saeko!" Teriaknya.
Mizuki mengabaikannya dan menghilang ke dalam kamar mandi. Dengan cepat Hijiri melompat turun dari tempat tidur dan menyusul kekasihnya.
"Apa rencanamu hari ini?" Tanya Hijiri saat keduanya sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan.
"Tidak ada. Ini sabtu dan sejak menikah Tuan Masumi tidak pernah bekerja di akhir pekan." Mizuki memotong rotinya dan menyuapkannya pada Hijiri, kekasihnya juga melakukan sebaliknya. Sarapan bersama itu menjadi ritual saling menyuapi.
"Kau mau kita pergi keluar hari ini?"
Alis Mizuki bertaut, "Kau yakin? Ini akhir pekan, tidak ada tempat sepi di Tokyo,"
Hijiri tertawa, "Siapa yang bilang kita akan jalan-jalan di Tokyo?"
"Kau akan keluar kota lagi?" Mizuki melotot.
"Ada email dari Tuan Masumi, aku harus pergi ke Chiba siang ini,"
Mizuki meletakkan pisau dan garpunya lalu mendesah kesal.
"Kenapa?" Hijiri sedikit heran dengan reaksi Mizuki yang lain dari biasanya.
"Tidak bisakah kita berakhir pekan dengan tenang?" Keluh Mizuki.
"Kita akan berakhir pekan dengan tenang jika kau mau ikut denganku ke Chiba. Besok sore kita kembali,"
Mizuki menggeleng, "Kau bekerja disana dan aku pasti akan mengganggu atau justru aku akan diabaikan nanti,"
"Hei, kenapa bicara seperti itu? Aku tidak akan mengajakmu kalau aku akan mengabaikanmu disana,"
"Tetap saja itu sebuah pekerjaan. Bukan kencan akhir pekan,"
Hijiri tahu ada sesuatu yang membuat kekasihnya itu kesal dan yang pasti itu bukan tentang pekerjaannya.
"Kau tahu pekerjaanku kan? Kita sudah menjalani ini selama dua tahun, sekarang apa masalahnya?"
Mizuki memiringkan tubuhnya menghadap Hijiri, "Masalahnya kau dan aku tidak bertambah muda setiap harinya,"
Kening Hijiri berkerut dalam.
"Maksudmu?"
"Maksudku?"
"Katakan padaku Saeko,"
"Kau tahu apa yang aku maksud Karato,"
Sejenak Hijiri terdiam, melihat Mizuki yang tertunduk lesu menatap piring dengan sisa potongan roti bakar dan sosis.
"Saeko?" Hijiri mengangkat dagu Mizuki sehingga kedua mata mereka saling bertatapan.
"Kau ingin kita menikah?" Tebak Hijiri.
Menghela napas panjang, Mizuki mengangguk.
Hijiri kembali terdiam, otaknya berputar-putar mencerna permintaan kekasihnya. Secara logika tentu tidak ada yang salah dengan keinginan Mizuki, dalam hati diapun menginginkan hal yang sama. Sudah dua tahun mereka menjalin hubungan dan jelas bahwa mereka saling mencintai. Hanya saja logika mereka bertabrakan dengan kenyataan, keberadaan Hijiri sebagai 'bayangan' Daito adalah sebuah masalah.
"Karato?" Mizuki memiringkan kepalanya, mencari wajah Hijiri yang sekarang tertunduk dan tampak berpikir keras.
"Jangan katakan padaku kalau kau tidak ingin menikah?" Kata Mizuki.
Hijiri menegakkan kepalanya, "Tentu saja aku juga ingin menikah sayang. Hanya saja...,"
"Daito?" Tebak Mizuki.
Menarik napas dan menghembuskannya dengan keras, Hijiri menyisir rambutnya yang tergerai di sisi wajahnya dengan kasar.
"Kau yakin Saeko?" Mata Hijiri memandang ragu pada Mizuki.
"Dua tahun kita bersama dan kau masih menanyakan keyakinanku? Kau satu-satunya pria yang ada dalam hidupku Karato. Pertama dan terakhir, kuharap," Mizuki mendegus kesal. Berdiri lalu membereskan piring mereka, dia sudah tidak berselera menghabiskan sarapannya.
Hijiri diam saat Mizuki berlalu membawa piring menuju wastafel setelah membuang sisa makanannya.
Mizuki meletakkan piring bersih di rak dan masih termenung dengan kedua tangan bersandar pada meja kitchen set, memunggungi Hijiri yang dia tahu sedang memandanginya.
"Maaf. Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk masalah ini," bisik Hijiri yang sekarang sudah berdiri di belakang Mizuki, memeluk erat kekasihnya.
Mizuki menumpukan tangannya pada tangan Hijiri yang terkait di atas perutnya, mengusapnya lembut.
"Aku akan menyiapkan pakaianmu. Pukul berapa kita akan berangkat ke Chiba?"
Hijiri tersenyum tipis dan mencium belakang telinga Mizuki.
"Pukul sepuluh. Terima kasih," bisik Hijiri.
"Ku harap kita bisa melakukan hal menyenangkan disana," kata Mizuki.
"Pasti," dan Hijiri membalikkan tubuh kekasihnya lalu menghadiahinya sebuah ciuman dalam sebagai ucapan terima kasih.
***
Mizuki meletakkan piring bersih di rak dan masih termenung dengan kedua tangan bersandar pada meja kitchen set, memunggungi Hijiri yang dia tahu sedang memandanginya.
"Maaf. Aku berjanji akan mencari jalan keluar untuk masalah ini," bisik Hijiri yang sekarang sudah berdiri di belakang Mizuki, memeluk erat kekasihnya.
Mizuki menumpukan tangannya pada tangan Hijiri yang terkait di atas perutnya, mengusapnya lembut.
"Aku akan menyiapkan pakaianmu. Pukul berapa kita akan berangkat ke Chiba?"
Hijiri tersenyum tipis dan mencium belakang telinga Mizuki.
"Pukul sepuluh. Terima kasih," bisik Hijiri.
"Ku harap kita bisa melakukan hal menyenangkan disana," kata Mizuki.
"Pasti," dan Hijiri membalikkan tubuh kekasihnya lalu menghadiahinya sebuah ciuman dalam sebagai ucapan terima kasih.
***
"Apa tugasmu kali
ini?" Tanya Mizuki saat mereka tiba di Chiba. Keduanya tengah berada di
hotel yang sudah dipesan oleh Hijiri.
"Ku pikir kali ini aku lebih suka menyebutnya tugas kita," jawab Hijiri.
"Kita?" Mizuki memberikan tatapan bingungnya.
"Kau akan ikut denganku malam ini," jelas Hijiri sambil tersenyum.
"Kau yakin? Aku sudah sangat dikenal sebagai sekretaris Tuan Masumi,"
"Mereka tidak akan mengenalimu, kau kan tahu bagaimana cara kerjaku,"
"Oh?! Kita akan menyamar?"
"Tentu saja sayang,"
Mizuki tersenyum geli, "Ya, ini menyenangkan,"
Hijiri tertawa.
Menjelang petang keduanya bersiap. Hijiri mendapat tugas untuk mengamati Jun Yamasaki, direktur Haiteku Entertainment, salah satu pesaing Daito. Satu bulan terakhir ini ada beberapa masalah yang mencurigakan terjadi di Daito, seperti batalnya dua konser besar dan juga beberapa aktris memutuskan kontrak secara sepihak dan belakangan diketahui mereka pindah ke Haiteku Entertainment. Jun Yamasaki, adalah seorang pengusaha muda seperti Masumi. Dia juga terkenal rela melakukan apapun untuk melancarkan bisnisnya.
Malam itu, Hijiri mengenakan kaos polo ketat dan celana jeans dengan sweater menggantung di bahunya, rambutnya yang biasa tergerai kali ini diikat kebelakang. Membuatnya terlihat lebih muda.
Mizuki juga tidak mau kalah. Melepas kacamata dan memakai softlens berwarna biru, Mizuki mengenakan sundress berlengan pendek berwarna hijau toska bermotif bunga. Rambut panjang yang biasanya tergerai dengan poni kali ini diikat tinggi lalu digulung dengan menggunakan tusuk rambut, membuat penampilannya terlihat segar. Dia juga memakai make up sedikit lebih tebal.
Keduanya memasuki sebuah restoran dimana menurut informasi yang diperoleh Hijiri, Jun dan anak buahnya akan bertemu.
Baru beberapa menit keduanya duduk dengan akting sebagai anak muda yang tengah kasmaran -memang kenyataannya seperti itu-, Jun datang bersama anak buahnya.
"Mereka pasti akan masuk ke private room," bisik Hijiri. Dia sengaja sudah memilih tempat yang dekat dengan private room.
"Kapan aku harus beraksi?" Tanya Mizuki lirih seraya mengamati Jun yang sedang berbicara dengan seorang waiter. Tak lama kemudian Jun dan anak buahnya berjalan ke arah meja mereka.
"Sekarang sayang," bisik Hijiri dan Mizuki yang sudah diberi skenario oleh kekasihnya segera menjalankan perannya.
Mizuki beranjak dari mejanya dan berjalan berlawanan arah dengan rombongan Jun. Saat keduanya berpapasan Mizuki menabrakkan dirinya ke salah satu anak buah Jun yang sudah ditunjuk oleh Hijiri sebelumnya. Situasi kacau sejenak dan Hijiri bergegas menghampiri Mizuki.
"Anda tidak apa-apa Nona?" Tanya Jun seraya membantu Mizuki berdiri.
"Kau tidak apa-apa sayang?" Tanya Hijiri dengan nada cemas. "Maaf, dia sedang tidak enak badan," bela Hijiri.
"Ah ya, tidak apa-apa. Hati-hati," kata Jun.
Mizuki dan Hijiri membungkuk hormat, Jun dan anak buahnya berlalu meninggalkan mereka.
Keduanya saling berpandangan lalu tersenyum.
"Aku tempelkan alat penyadap itu di jasnya." Bisik Mizuki.
Hijiri mengangguk senang, "Terima kasih," gumamnya. Diapun membawa Mizuki kembali ke meja mereka.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Hijiri setelah keduanya duduk, kali ini benar-benar cemas.
"Sepertinya lututku membentur lantai cukup keras," jawab Mizuki seraya mengusap lutunya.
Hijiri sedikit menunduk dan wajahnya langsung masam saat melihat tanda merah dilutut Mizuki.
"Maaf," kata Hijiri.
"Tidak apa-apa, tidak sakit," Mizuki tersenyum, ada kebanggaan terselip dihatinya karena bisa membantu tugas kekasihnya.
"Kau bawa sapu tangan Saeko?"
Mizuki mengangguk lalu mengambil sapu tangan dari dalam tasnya. Hijiri meneguk habis bir digelasnya, mengambil tiga potong es batu dari dalam gelas, membungkusnya dengan sapu tangan lalu menggunakannya untuk mengompres memar di lutut Mizuki.
"Lebih baik?" Tanya Hijiri saat selesai mengompres.
"Iya, terima kasih. Kau ahli merawat luka," puji Mizuki geli.
"Resiko pekerjaan,"
Mizuki langsung tersenyum kecut karenanya. Memorinya memutar ulang kenangan beberapa bulan yang lalu saat Hijiri datang ke apartemennya dengan luka lebam di sekujur tubuh.
"Mereka datang," desis Hijiri kesal, membuat Mizuki menghentikan lamunannya. Raut wajah Hijiri sama kesalnya dengan nada bicaranya.
"Siapa mereka?" Bisik Mizuki penasaran melihat tiga orang pria datang dengan wajah yang tidak ramah sama sekali.
"Anggota Yakuza, mereka pasti bekerja untuk Jun," jawab Hijiri lirih.
Dan memang benar karena ketiga orang yang dimaksud Hijiri itu langsung masuk ke private room tempat Jun dan anak buahnya.
"Bisa kita pulang sekarang?" Mizuki sedikit cemas.
Hijiri menggeleng, "Kita harus menunggu sampai mereka selesai,"
Mizuki menghela napas panjang, "Baiklah, sebaiknya kita menunggu sambil makan,"
"Kau saja yang pesan,"
Mizuki mengangguk lalu memanggil waitress sementara Hijiri mengambil sebuah alat dari tasnya yang merekam pembicaraan dari alat penyadap yang sudah ditempelkan Mizuki tadi.
Menjelang pukul sepuluh Jun dan anak buahnya meninggalkan restoran.
"Kau tunggu disini," kata Hijiri.
Mizuki mengamati kekasihnya yang meninggalkan meja lalu masuk ke private room yang tadi ditempati oleh Jun. Hanya sebentar, Hijiri kembali keluar dan entah bagaimana hal itu terjadi, gerakan Hijiri sama sekali tidak menarik perhatian waiter maupun tamu lainnya.
Kembali ke meja, Hijiri mengajak Mizuki pulang.
"Apa yang kau lakukan tadi?" Tanya Mizuki penasaran.
"Ku pikir kali ini aku lebih suka menyebutnya tugas kita," jawab Hijiri.
"Kita?" Mizuki memberikan tatapan bingungnya.
"Kau akan ikut denganku malam ini," jelas Hijiri sambil tersenyum.
"Kau yakin? Aku sudah sangat dikenal sebagai sekretaris Tuan Masumi,"
"Mereka tidak akan mengenalimu, kau kan tahu bagaimana cara kerjaku,"
"Oh?! Kita akan menyamar?"
"Tentu saja sayang,"
Mizuki tersenyum geli, "Ya, ini menyenangkan,"
Hijiri tertawa.
Menjelang petang keduanya bersiap. Hijiri mendapat tugas untuk mengamati Jun Yamasaki, direktur Haiteku Entertainment, salah satu pesaing Daito. Satu bulan terakhir ini ada beberapa masalah yang mencurigakan terjadi di Daito, seperti batalnya dua konser besar dan juga beberapa aktris memutuskan kontrak secara sepihak dan belakangan diketahui mereka pindah ke Haiteku Entertainment. Jun Yamasaki, adalah seorang pengusaha muda seperti Masumi. Dia juga terkenal rela melakukan apapun untuk melancarkan bisnisnya.
Malam itu, Hijiri mengenakan kaos polo ketat dan celana jeans dengan sweater menggantung di bahunya, rambutnya yang biasa tergerai kali ini diikat kebelakang. Membuatnya terlihat lebih muda.
Mizuki juga tidak mau kalah. Melepas kacamata dan memakai softlens berwarna biru, Mizuki mengenakan sundress berlengan pendek berwarna hijau toska bermotif bunga. Rambut panjang yang biasanya tergerai dengan poni kali ini diikat tinggi lalu digulung dengan menggunakan tusuk rambut, membuat penampilannya terlihat segar. Dia juga memakai make up sedikit lebih tebal.
Keduanya memasuki sebuah restoran dimana menurut informasi yang diperoleh Hijiri, Jun dan anak buahnya akan bertemu.
Baru beberapa menit keduanya duduk dengan akting sebagai anak muda yang tengah kasmaran -memang kenyataannya seperti itu-, Jun datang bersama anak buahnya.
"Mereka pasti akan masuk ke private room," bisik Hijiri. Dia sengaja sudah memilih tempat yang dekat dengan private room.
"Kapan aku harus beraksi?" Tanya Mizuki lirih seraya mengamati Jun yang sedang berbicara dengan seorang waiter. Tak lama kemudian Jun dan anak buahnya berjalan ke arah meja mereka.
"Sekarang sayang," bisik Hijiri dan Mizuki yang sudah diberi skenario oleh kekasihnya segera menjalankan perannya.
Mizuki beranjak dari mejanya dan berjalan berlawanan arah dengan rombongan Jun. Saat keduanya berpapasan Mizuki menabrakkan dirinya ke salah satu anak buah Jun yang sudah ditunjuk oleh Hijiri sebelumnya. Situasi kacau sejenak dan Hijiri bergegas menghampiri Mizuki.
"Anda tidak apa-apa Nona?" Tanya Jun seraya membantu Mizuki berdiri.
"Kau tidak apa-apa sayang?" Tanya Hijiri dengan nada cemas. "Maaf, dia sedang tidak enak badan," bela Hijiri.
"Ah ya, tidak apa-apa. Hati-hati," kata Jun.
Mizuki dan Hijiri membungkuk hormat, Jun dan anak buahnya berlalu meninggalkan mereka.
Keduanya saling berpandangan lalu tersenyum.
"Aku tempelkan alat penyadap itu di jasnya." Bisik Mizuki.
Hijiri mengangguk senang, "Terima kasih," gumamnya. Diapun membawa Mizuki kembali ke meja mereka.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Hijiri setelah keduanya duduk, kali ini benar-benar cemas.
"Sepertinya lututku membentur lantai cukup keras," jawab Mizuki seraya mengusap lutunya.
Hijiri sedikit menunduk dan wajahnya langsung masam saat melihat tanda merah dilutut Mizuki.
"Maaf," kata Hijiri.
"Tidak apa-apa, tidak sakit," Mizuki tersenyum, ada kebanggaan terselip dihatinya karena bisa membantu tugas kekasihnya.
"Kau bawa sapu tangan Saeko?"
Mizuki mengangguk lalu mengambil sapu tangan dari dalam tasnya. Hijiri meneguk habis bir digelasnya, mengambil tiga potong es batu dari dalam gelas, membungkusnya dengan sapu tangan lalu menggunakannya untuk mengompres memar di lutut Mizuki.
"Lebih baik?" Tanya Hijiri saat selesai mengompres.
"Iya, terima kasih. Kau ahli merawat luka," puji Mizuki geli.
"Resiko pekerjaan,"
Mizuki langsung tersenyum kecut karenanya. Memorinya memutar ulang kenangan beberapa bulan yang lalu saat Hijiri datang ke apartemennya dengan luka lebam di sekujur tubuh.
"Mereka datang," desis Hijiri kesal, membuat Mizuki menghentikan lamunannya. Raut wajah Hijiri sama kesalnya dengan nada bicaranya.
"Siapa mereka?" Bisik Mizuki penasaran melihat tiga orang pria datang dengan wajah yang tidak ramah sama sekali.
"Anggota Yakuza, mereka pasti bekerja untuk Jun," jawab Hijiri lirih.
Dan memang benar karena ketiga orang yang dimaksud Hijiri itu langsung masuk ke private room tempat Jun dan anak buahnya.
"Bisa kita pulang sekarang?" Mizuki sedikit cemas.
Hijiri menggeleng, "Kita harus menunggu sampai mereka selesai,"
Mizuki menghela napas panjang, "Baiklah, sebaiknya kita menunggu sambil makan,"
"Kau saja yang pesan,"
Mizuki mengangguk lalu memanggil waitress sementara Hijiri mengambil sebuah alat dari tasnya yang merekam pembicaraan dari alat penyadap yang sudah ditempelkan Mizuki tadi.
Menjelang pukul sepuluh Jun dan anak buahnya meninggalkan restoran.
"Kau tunggu disini," kata Hijiri.
Mizuki mengamati kekasihnya yang meninggalkan meja lalu masuk ke private room yang tadi ditempati oleh Jun. Hanya sebentar, Hijiri kembali keluar dan entah bagaimana hal itu terjadi, gerakan Hijiri sama sekali tidak menarik perhatian waiter maupun tamu lainnya.
Kembali ke meja, Hijiri mengajak Mizuki pulang.
"Apa yang kau lakukan tadi?" Tanya Mizuki penasaran.
Keduanya sedang dalam perjalanan pulang ke hotel. Hijiri tersenyum lalu mengeluarkan sesuatu dari
dalam saku celanya.
"Eh? Bagaimana bisa?" Mizuki terkejut melihat alat penyadap kecil seukuran kancing baju itu sudah berada dalam genggaman tangan Hijiri.
"Alat ini dibuat dari bahan khusus. Benda ini hanya akan melekat di kain selama satu jam. Setelah itu dia akan terlepas dengan sendirinya. Aku mengambilnya di bawah kursi tadi," jelas Hijiri.
Mizuki terlihat takjub sekaligus terkejut mendengarnya.
"Daito punya alat canggih rupanya," cibir Mizuki.
"Tuan Masumi khusus membuatnya untuk memudahkan pekerjaanku," jawab Hijiri, dia tahu Mizuki tidak begitu menyukai pekerjaannya yang penuh dengan resiko.
"Seharusnya dia berhenti membuatmu dalam bahaya," cibir Mizuki lagi.
Hijiri hanya tersenyum lalu meraih tangan Mizuki, mengecup punggung tangannya meski matanya tetap fokus ke jalan raya dengan satu tangan lainnya memegang kemudi.
"Aahh! Aku lelah," keluh Mizuki seraya menghempaskan diri di tempat tidur hotel, kedua kakinya menggantung di tepi tempat tidur.
Hijiri berlutut di depan kedua kaki Mizuki, mengusap bulatan merah di lutut kekasihnya.
"Sudah tidak sakit," kata Mizuki seraya bangun dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di belakang punggungnya.
"Maaf," gumam Hijiri, dia mengecup memarnya.
"Apa kau sedang menggodaku?" Mizuki tersenyum geli.
"Apa kau merasa aku sedang menggodamu?" Hijiri melempar senyumnya.
"Sepertinya begitu,"
Hijiri tertawa, "Aku mengkhawatirkanmu sayang,"
Mizuki mengendikkan bahunya lalu kembali berbaring. Merangkak naik, Hijiri melayang di atas Mizuki.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Pekik Mizuki terkejut.
"Menggodamu," dan bibir Hijiri segera membuktikan ucapannya.
"Ahhh! Sayang...," desah Mizuki panjang saat Hijiri membuainya dengan cinta.
***
"Eh? Bagaimana bisa?" Mizuki terkejut melihat alat penyadap kecil seukuran kancing baju itu sudah berada dalam genggaman tangan Hijiri.
"Alat ini dibuat dari bahan khusus. Benda ini hanya akan melekat di kain selama satu jam. Setelah itu dia akan terlepas dengan sendirinya. Aku mengambilnya di bawah kursi tadi," jelas Hijiri.
Mizuki terlihat takjub sekaligus terkejut mendengarnya.
"Daito punya alat canggih rupanya," cibir Mizuki.
"Tuan Masumi khusus membuatnya untuk memudahkan pekerjaanku," jawab Hijiri, dia tahu Mizuki tidak begitu menyukai pekerjaannya yang penuh dengan resiko.
"Seharusnya dia berhenti membuatmu dalam bahaya," cibir Mizuki lagi.
Hijiri hanya tersenyum lalu meraih tangan Mizuki, mengecup punggung tangannya meski matanya tetap fokus ke jalan raya dengan satu tangan lainnya memegang kemudi.
"Aahh! Aku lelah," keluh Mizuki seraya menghempaskan diri di tempat tidur hotel, kedua kakinya menggantung di tepi tempat tidur.
Hijiri berlutut di depan kedua kaki Mizuki, mengusap bulatan merah di lutut kekasihnya.
"Sudah tidak sakit," kata Mizuki seraya bangun dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan di belakang punggungnya.
"Maaf," gumam Hijiri, dia mengecup memarnya.
"Apa kau sedang menggodaku?" Mizuki tersenyum geli.
"Apa kau merasa aku sedang menggodamu?" Hijiri melempar senyumnya.
"Sepertinya begitu,"
Hijiri tertawa, "Aku mengkhawatirkanmu sayang,"
Mizuki mengendikkan bahunya lalu kembali berbaring. Merangkak naik, Hijiri melayang di atas Mizuki.
"Hei, apa yang kau lakukan?" Pekik Mizuki terkejut.
"Menggodamu," dan bibir Hijiri segera membuktikan ucapannya.
"Ahhh! Sayang...," desah Mizuki panjang saat Hijiri membuainya dengan cinta.
***
Senin pagi yang cerah
Mizuki memacu mobilnya menuju gedung Daito. Hari ini dia tidak begitu
bersemangat, belum puas dia menghabiskan waktu bersama Hijiri tapi kekasihnya
itu harus pergi lagi karena tugas dari Masumi. Diapun kembali mengingat
percakapannya dengan Hijiri kemarin sore.
"Jangan melamun,"
Mizuki tersentak lalu menatap Hijiri yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tasnya.
"Kenapa harus pergi lagi?" Keluh Mizuki.
Menutup tasnya yang sudah rapi, Hijiri duduk di sebelah Mizuki.
"Aku harus menyelesaikan beberapa tugas. Dua hari lagi aku akan kembali. Oke?"
"Dua hari, janji?"
Hijiri memberi kecupan dibibir kekasihnya. "Janji,"
Mizuki mendesah panjang, dua hari terasa sangat lama baginya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan Hijiri yang mungkin saja sedang dalam bahaya.
Memarkirkan mobilnya di basement, Mizuki menyandarkan kepala pada kedua tangannya yang terlipat diatas kemudi. Kembali menghela napas panjang, Mizuki memikirkan sejenak tentang hubungannya dengan Hijiri. Entah sampai kapan dia sanggup menjalani hubungan seperti ini. Mizuki tahu pasti alasan Hijiri tidak juga menikahinya, jelas karena resiko pekerjaan. Tapi dalam hati Mizuki juga menyimpan berjuta harapan untuk bisa hidup bahagia seperti pasangan normal pada umumnya. Senyum pahit terkulum dibibir Mizuki, dia tidak menyangka kalau cinta bisa serumit ini.
Dia sempat berpikir apakah dirinya kualat pada bosnya, Masumi Hayami, yang dulu sering dikerjai habis-habisan olehnya karena kisah cintanya yang rumit dan konyol bersama Maya. Dan sekarang, ketika Masumi akhirnya sudah menikah dan bahagia dengan Maya justru dirinya berada dalam pusaran cinta dan dilema. Melihat jam tangannya, Mizuki akhirnya turun dan berjalan kekantornya.
"Selamat pagi Tuan Masumi," Mizuki mengangguk hormat saat Masumi tiba.
"Pagi Mizuki," balasnya ramah.
Ya, Masumi memang lebih ramah sejak menikah satu tahun yang lalu. Betapa hebatnya cinta karena sudah membuat bosnya yang terkenal dingin dan gila kerja itu bisa menjadi pribadi yang lebih manusiawi. Batinnya tersenyum getir, bagaimana dengan cintanya?
Mizuki menghentikan lamunanya lalu membawa tiga buah map ke ruangan Masumi.
"Ini kontrak kerja dengan stasiun TV Sakura yang sudah direvisi, lalu ini laporan keuangan dari bagian produksi dan ini ada kontrak kerja sama dengan girls band Fairy's yang harus anda tanda tangani," jelas Mizuki seraya meletakkan map satu persatu di atas meja Masumi.
"Hanya ini?" Masumi heran karena hanya sedikit pekerjaan yang harus diperiksanya pagi itu.
"Benar Tuan, jumat lalu anda sudah membuat saya lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Hanya ini sisanya,"
Kau membuat kencanku terlambat dua jam, tambahnya dalam hati.
Tiba-tiba Masumi tersenyum senang dan Mizuki menautkan alis melihat ekspresi bosnya.
"Sepertinya suasana hati anda sedang bagus Tuan? Secerah langit musim panas diluar," sindir Mizuki dan Masumi terkekeh karenanya.
"Tentu saja, aku bisa pulang cepat sore ini. Hhmm kupikir aku punya beberapa rencana untuk Maya. Mizuki tolong buat reservasi di restoran Perancis malam ini. Aku akan mengajaknya makan malam diluar,"
Senyum lebar Masumi membuat Mizuki menggerutu dalam hati. Jika Masumi pulang lebih awal berarti dirinya juga tapi sebaliknya, dia akan kesepian karena Hijiri sedang pergi ke luar kota.
"Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Mizuki mematung di sebelah meja kerjanya.
"Ah, tidak apa-apa Tuan," tersadar dari lamunanya, Mizuki kembali fokus, "Ada lagi yang bisa saya persiapkan untuk anda dan Nyonya?"
Masumi berpikir sejenak dengan mengusap dagunya, "Hhmmm, Maya sedang syuting film sekarang, tolong kau kirimkan buket bunga mawar ungu dan juga satu box donat coklat dan blueberry kesukaannya. Dia pasti senang,"
"Baik Tuan, ada lagi?" Jawab Mizuki, hatinya cemburu. Dia juga ingin diperlakukan seperti itu.
"Secangkir kopi kurasa, aku akan mulai mengerjakan ini," jawab Masumi.
"Baik Tuan, permisi,"
Keluar dari ruang Masumi, Mizuki kembali kemeja kerjanya lalu melakukan semua permintaan bosnya dan tak lama dia kembali ke ruang kerja Masumi dengan membawa secangkir kopi. Bosnya sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
"Kopi anda Tuan. Saya permisi,"
Masumi menatap Mizuki yang berlalu begitu saja.
"Mizuki!" Panggilnya dan sekretaris itu berhenti sebelum tangannya meraih handle pintu lalu berbalik.
"Ya Tuan?" Tanyanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi.
"Ya, saya baik. Apa anda melihat saya tidak dalam keadaan baik?"
Masumi menggeleng, "Kau sedikit pendiam pagi ini. Apa kau sakit?"
Mizuki terkekeh, "Terima kasih atas perhatian anda Tuan Masumi tapi saya baik-baik saja,"
"Mungkin kau harus pergi berlibur di musim panas ini Mizuki. Aku serius, pekerjaan sedang tidak banyak. Bersenang-senanglah," kata Masumi.
Mulut Mizuki terbuka karena terkejut, "Anda yakin Tuan? Biasanya anda tetap bekerja meski liburan,"
"Itu dulu, sekarang aku pria beristri Mizuki. Aku juga akan pergi berlibur bersama istriku. Lagipula Maya bisa membunuhku jika aku bekerja saat liburan, bahkan sekarang aku tidak bisa membawa pekerjaan pulang kerumah atau dia akan membakar semua dokumen kerjaku karena merasa diabaikan," Masumi tersenyum geli mengingat kelakuan istrinya.
Mizuki tertawa datar, batinnya miris, iri pada nyonyanya.
"Sepertinya anda sangat menikmati peran sebagai suami Tuan Masumi,"
Masumi tertawa, "Tentu saja Mizuki, rasanya bahagia jika bisa berbagi hidup dengan orang yang kita cintai. Kau juga carilah pasangan hidup lalu menikah."
Mizuki menyeringai.
Memang anda pikir gara-gara siapa aku tidak bisa menikah?
"Terima kasih untuk perhatian anda Tuan Masumi, saya permisi,"
Mizuki memberi hormat lalu keluar, meninggalkan Masumi yang masih tersenyum lebar memamerkan kebahagiannya. Menghempaskan diri di kursi kerjanya, Mizuki tertegun memandang handphone. Meraihnya dan mengetik sebuah pesan dengan cepat.
Saeko
Kau dimana sekarang? Merindukanmu
Menekan tombol kirim, Mizuki menunggu balasan. Tiga menit kemudian.
Karato
Di Nagoya, aku juga merindukanmu. Kau sedang tidak sibuk atau ada masalah?
Mizuki tersenyum tipis, ya tidak biasanya dia mengirim pesan pada jam kerja. Dengan cepat Mizuki mengetik pesan balasannya.
Saeko
Tuan Masumi bilang aku harus pergi berlibur dan bersenang-senang mencari calon suami. Menurutmu?
Menghela napas panjang Mizuki sudah bisa membayangkan wajah Hijiri saat membaca pesannya. Kali ini balasan Hijiri cukup lama.
Karato
Menurutku kau tidak perlu mencari calon suami. Kau mau kita pergi kemana?
Menahan napas, Mizuki tersenyum lebar membaca pesan balasan dari Hijiri.
Saeko
Serius? Kau tidak akan bertugas selama libur musim panas?
Karato
Aku juga ingin menyenangkan calon istriku. Atau kau mau kita menikah pada liburan musim panas nanti?
Mizuki menjerit karena terkejut saat membaca pesannya. Pintu terbuka dan kepala Masumi menyembul dari balik pintu.
"Ada apa?" Tanya Masumi.
"Ah, ti, tidak ada apa-apa Tuan Masumi. Sa, saya hanya terkejut karena melupakan sesuatu," jawab Mizuki gelagapan mencari alasan tepat atas teriakannya yang ternyata cukup keras.
Kening Masumi berkerut tapi sedetik kemudian dia kembali menutup pintu ruang kerjanya dan Mizuki mendesah lega.
Mizuki meraih handphonenya dan dengan cepat menekan tombol panggil.
"Sudah ku duga kau akan langsung meneleponku," suara tawa Hijiri menyambutnya.
"Kau hampir membuatku terkena serangan jantung," kata Mizuki setengah berbisik.
Hijiri terkekeh, "Aku tahu kau punya jantung yang kuat,"
"Apa kau baru saja melamarku?"
"Menurutmu?"
Mizuki mendengus, "Lamaranmu tidak romantis,"
Hijiri tertawa lagi, "Romantis? Kau selalu mencibir Tuan Masumi jika dia bersikap romantis pada istrinya. Sekarang kau menginginkannya?"
"Aku kan juga wanita," Mizuki beralasan.
"Aku tahu, aku sudah membuktikan sendiri bahwa kau benar-benar seorang wanita,"
Mizuki merasakan wajahnya merona.
"Jangan membicarakan hal bodoh disaat seperti ini!" Bentak Mizuki menutupi rasa malunya.
Hijiri kembali tertawa kali ini lebih keras, sepertinya suasana hatinya sedang senang meski entah tugas apa yang sedang dilakukannya.
"Baiklah sayang, kita bicarakan hal ini lagi nanti. Sekarang aku harus pergi,"
Mizuki melenguh pelan, "Baiklah, hati-hati. Aku mencintaimu sayang,"
"Aku juga mencintaimu Saeko,"
Telepon terputus dan Mizuki meletakkan dahinya di atas meja kaca, mendinginkannya.
Aku akan menikah? Aku akan menikah? Batinnya tergelak-gelak.
"Kau sakit Mizuki?"
Mizuki langsung menegakkan tubuhnya, terkejut melihat Masumi yang tiba-tiba sudah berada di depan mejanya.
"Tidak Tuan Masumi, hanya...lelah," Mizuki tersenyum konyol.
"Kau aneh hari ini." Gerutu Masumi, "Sudahlah, aku mau pergi makan siang dengan Maya. Kau juga istirahatlah,"
"Baik Tuan Masumi,"
Masumi masih sempat melirik Mizuki sebelum pergi dan sekretarisnya itu sedang...melamun? Masumi menggeleng tak percaya.
Pasti ada sesuatu dengannya.
***
"Jangan melamun,"
Mizuki tersentak lalu menatap Hijiri yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tasnya.
"Kenapa harus pergi lagi?" Keluh Mizuki.
Menutup tasnya yang sudah rapi, Hijiri duduk di sebelah Mizuki.
"Aku harus menyelesaikan beberapa tugas. Dua hari lagi aku akan kembali. Oke?"
"Dua hari, janji?"
Hijiri memberi kecupan dibibir kekasihnya. "Janji,"
Mizuki mendesah panjang, dua hari terasa sangat lama baginya. Bahkan semalam dia tidak bisa tidur karena memikirkan Hijiri yang mungkin saja sedang dalam bahaya.
Memarkirkan mobilnya di basement, Mizuki menyandarkan kepala pada kedua tangannya yang terlipat diatas kemudi. Kembali menghela napas panjang, Mizuki memikirkan sejenak tentang hubungannya dengan Hijiri. Entah sampai kapan dia sanggup menjalani hubungan seperti ini. Mizuki tahu pasti alasan Hijiri tidak juga menikahinya, jelas karena resiko pekerjaan. Tapi dalam hati Mizuki juga menyimpan berjuta harapan untuk bisa hidup bahagia seperti pasangan normal pada umumnya. Senyum pahit terkulum dibibir Mizuki, dia tidak menyangka kalau cinta bisa serumit ini.
Dia sempat berpikir apakah dirinya kualat pada bosnya, Masumi Hayami, yang dulu sering dikerjai habis-habisan olehnya karena kisah cintanya yang rumit dan konyol bersama Maya. Dan sekarang, ketika Masumi akhirnya sudah menikah dan bahagia dengan Maya justru dirinya berada dalam pusaran cinta dan dilema. Melihat jam tangannya, Mizuki akhirnya turun dan berjalan kekantornya.
"Selamat pagi Tuan Masumi," Mizuki mengangguk hormat saat Masumi tiba.
"Pagi Mizuki," balasnya ramah.
Ya, Masumi memang lebih ramah sejak menikah satu tahun yang lalu. Betapa hebatnya cinta karena sudah membuat bosnya yang terkenal dingin dan gila kerja itu bisa menjadi pribadi yang lebih manusiawi. Batinnya tersenyum getir, bagaimana dengan cintanya?
Mizuki menghentikan lamunanya lalu membawa tiga buah map ke ruangan Masumi.
"Ini kontrak kerja dengan stasiun TV Sakura yang sudah direvisi, lalu ini laporan keuangan dari bagian produksi dan ini ada kontrak kerja sama dengan girls band Fairy's yang harus anda tanda tangani," jelas Mizuki seraya meletakkan map satu persatu di atas meja Masumi.
"Hanya ini?" Masumi heran karena hanya sedikit pekerjaan yang harus diperiksanya pagi itu.
"Benar Tuan, jumat lalu anda sudah membuat saya lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaan. Hanya ini sisanya,"
Kau membuat kencanku terlambat dua jam, tambahnya dalam hati.
Tiba-tiba Masumi tersenyum senang dan Mizuki menautkan alis melihat ekspresi bosnya.
"Sepertinya suasana hati anda sedang bagus Tuan? Secerah langit musim panas diluar," sindir Mizuki dan Masumi terkekeh karenanya.
"Tentu saja, aku bisa pulang cepat sore ini. Hhmm kupikir aku punya beberapa rencana untuk Maya. Mizuki tolong buat reservasi di restoran Perancis malam ini. Aku akan mengajaknya makan malam diluar,"
Senyum lebar Masumi membuat Mizuki menggerutu dalam hati. Jika Masumi pulang lebih awal berarti dirinya juga tapi sebaliknya, dia akan kesepian karena Hijiri sedang pergi ke luar kota.
"Kau kenapa?" Tanya Masumi saat Mizuki mematung di sebelah meja kerjanya.
"Ah, tidak apa-apa Tuan," tersadar dari lamunanya, Mizuki kembali fokus, "Ada lagi yang bisa saya persiapkan untuk anda dan Nyonya?"
Masumi berpikir sejenak dengan mengusap dagunya, "Hhmmm, Maya sedang syuting film sekarang, tolong kau kirimkan buket bunga mawar ungu dan juga satu box donat coklat dan blueberry kesukaannya. Dia pasti senang,"
"Baik Tuan, ada lagi?" Jawab Mizuki, hatinya cemburu. Dia juga ingin diperlakukan seperti itu.
"Secangkir kopi kurasa, aku akan mulai mengerjakan ini," jawab Masumi.
"Baik Tuan, permisi,"
Keluar dari ruang Masumi, Mizuki kembali kemeja kerjanya lalu melakukan semua permintaan bosnya dan tak lama dia kembali ke ruang kerja Masumi dengan membawa secangkir kopi. Bosnya sudah tenggelam dalam pekerjaannya.
"Kopi anda Tuan. Saya permisi,"
Masumi menatap Mizuki yang berlalu begitu saja.
"Mizuki!" Panggilnya dan sekretaris itu berhenti sebelum tangannya meraih handle pintu lalu berbalik.
"Ya Tuan?" Tanyanya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi.
"Ya, saya baik. Apa anda melihat saya tidak dalam keadaan baik?"
Masumi menggeleng, "Kau sedikit pendiam pagi ini. Apa kau sakit?"
Mizuki terkekeh, "Terima kasih atas perhatian anda Tuan Masumi tapi saya baik-baik saja,"
"Mungkin kau harus pergi berlibur di musim panas ini Mizuki. Aku serius, pekerjaan sedang tidak banyak. Bersenang-senanglah," kata Masumi.
Mulut Mizuki terbuka karena terkejut, "Anda yakin Tuan? Biasanya anda tetap bekerja meski liburan,"
"Itu dulu, sekarang aku pria beristri Mizuki. Aku juga akan pergi berlibur bersama istriku. Lagipula Maya bisa membunuhku jika aku bekerja saat liburan, bahkan sekarang aku tidak bisa membawa pekerjaan pulang kerumah atau dia akan membakar semua dokumen kerjaku karena merasa diabaikan," Masumi tersenyum geli mengingat kelakuan istrinya.
Mizuki tertawa datar, batinnya miris, iri pada nyonyanya.
"Sepertinya anda sangat menikmati peran sebagai suami Tuan Masumi,"
Masumi tertawa, "Tentu saja Mizuki, rasanya bahagia jika bisa berbagi hidup dengan orang yang kita cintai. Kau juga carilah pasangan hidup lalu menikah."
Mizuki menyeringai.
Memang anda pikir gara-gara siapa aku tidak bisa menikah?
"Terima kasih untuk perhatian anda Tuan Masumi, saya permisi,"
Mizuki memberi hormat lalu keluar, meninggalkan Masumi yang masih tersenyum lebar memamerkan kebahagiannya. Menghempaskan diri di kursi kerjanya, Mizuki tertegun memandang handphone. Meraihnya dan mengetik sebuah pesan dengan cepat.
Saeko
Kau dimana sekarang? Merindukanmu
Menekan tombol kirim, Mizuki menunggu balasan. Tiga menit kemudian.
Karato
Di Nagoya, aku juga merindukanmu. Kau sedang tidak sibuk atau ada masalah?
Mizuki tersenyum tipis, ya tidak biasanya dia mengirim pesan pada jam kerja. Dengan cepat Mizuki mengetik pesan balasannya.
Saeko
Tuan Masumi bilang aku harus pergi berlibur dan bersenang-senang mencari calon suami. Menurutmu?
Menghela napas panjang Mizuki sudah bisa membayangkan wajah Hijiri saat membaca pesannya. Kali ini balasan Hijiri cukup lama.
Karato
Menurutku kau tidak perlu mencari calon suami. Kau mau kita pergi kemana?
Menahan napas, Mizuki tersenyum lebar membaca pesan balasan dari Hijiri.
Saeko
Serius? Kau tidak akan bertugas selama libur musim panas?
Karato
Aku juga ingin menyenangkan calon istriku. Atau kau mau kita menikah pada liburan musim panas nanti?
Mizuki menjerit karena terkejut saat membaca pesannya. Pintu terbuka dan kepala Masumi menyembul dari balik pintu.
"Ada apa?" Tanya Masumi.
"Ah, ti, tidak ada apa-apa Tuan Masumi. Sa, saya hanya terkejut karena melupakan sesuatu," jawab Mizuki gelagapan mencari alasan tepat atas teriakannya yang ternyata cukup keras.
Kening Masumi berkerut tapi sedetik kemudian dia kembali menutup pintu ruang kerjanya dan Mizuki mendesah lega.
Mizuki meraih handphonenya dan dengan cepat menekan tombol panggil.
"Sudah ku duga kau akan langsung meneleponku," suara tawa Hijiri menyambutnya.
"Kau hampir membuatku terkena serangan jantung," kata Mizuki setengah berbisik.
Hijiri terkekeh, "Aku tahu kau punya jantung yang kuat,"
"Apa kau baru saja melamarku?"
"Menurutmu?"
Mizuki mendengus, "Lamaranmu tidak romantis,"
Hijiri tertawa lagi, "Romantis? Kau selalu mencibir Tuan Masumi jika dia bersikap romantis pada istrinya. Sekarang kau menginginkannya?"
"Aku kan juga wanita," Mizuki beralasan.
"Aku tahu, aku sudah membuktikan sendiri bahwa kau benar-benar seorang wanita,"
Mizuki merasakan wajahnya merona.
"Jangan membicarakan hal bodoh disaat seperti ini!" Bentak Mizuki menutupi rasa malunya.
Hijiri kembali tertawa kali ini lebih keras, sepertinya suasana hatinya sedang senang meski entah tugas apa yang sedang dilakukannya.
"Baiklah sayang, kita bicarakan hal ini lagi nanti. Sekarang aku harus pergi,"
Mizuki melenguh pelan, "Baiklah, hati-hati. Aku mencintaimu sayang,"
"Aku juga mencintaimu Saeko,"
Telepon terputus dan Mizuki meletakkan dahinya di atas meja kaca, mendinginkannya.
Aku akan menikah? Aku akan menikah? Batinnya tergelak-gelak.
"Kau sakit Mizuki?"
Mizuki langsung menegakkan tubuhnya, terkejut melihat Masumi yang tiba-tiba sudah berada di depan mejanya.
"Tidak Tuan Masumi, hanya...lelah," Mizuki tersenyum konyol.
"Kau aneh hari ini." Gerutu Masumi, "Sudahlah, aku mau pergi makan siang dengan Maya. Kau juga istirahatlah,"
"Baik Tuan Masumi,"
Masumi masih sempat melirik Mizuki sebelum pergi dan sekretarisnya itu sedang...melamun? Masumi menggeleng tak percaya.
Pasti ada sesuatu dengannya.
***
"Kau kenapa
Masumi?" Tanya Maya saat melihat Masumi termenung. Keduanya sedang berada
di mobil menuju restoran tempat mereka biasa makan siang.
"Tidak apa-apa hanya memikirkan sesuatu," jawab Masumi.
"Memikirkan apa? Pekerjaan?"
Masumi menggeleng.
"Bukan? Lalu? Ah! Jangan-jangan kau memikirkan wanita lain ya?" Maya cemberut dan memukul lengan suaminya.
Masumi mengangguk.
"Eh?!" Maya melotot, "Tuh kan?! Kau memikirkan wanita lain! Padahal aku disini bersamamu, siapa? Siapa wanita itu?"
Masumi tertawa saat Maya kembali memukul lengannya dengan genggaman tangan mungilnya. Dengan cepat dia menangkap pergelangan tangan istrinya lalu melingkarkannya di pinggangnya membuat tubuh Maya bersandar didadanya.
"Tenang saja, hanya kau yang ada dihatiku sayang. Satu-satunya," kata Masumi seraya mengecup puncak kepala Maya.
"Lalu siapa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Maya lagi, masih cemberut didada suaminya.
"Mizuki,"
Maya menarik kembali tangannya dan menegakkan tubuhnya, "Nona Mizuki? Ada apa dengannya?"
Masumi mengendikkan bahu, "Itulah yang aku tidak tahu, dia terlihat aneh pagi ini. Sebenarnya bukan hanya pagi ini, satu bulan terakhir aku merasa ada yang berbeda dengannya."
"Apa dia sedang sakit? Kau tidak bertanya padanya?"
"Sudah, dia bilang semuanya baik-baik saja,"
"Hhhmm, kau memberinya banyak sekali pekerjaan. Mungkin dia lelah," tebak Maya.
"Aku sudah memintanya untuk menghabiskan liburan musim panasnya dan pergi bersenang-senang. Tapi sepertinya dia tidak tertarik,"
"Uhhmm, mungkin Nona Mizuki sudah bosan bekerja denganmu," tebak Maya lagi.
Masumi mengernyit tidak senang dengan tebakan istrinya.
"Aku menggajinya dengan layak," protes Masumi.
"Tapi kau kan galak," sanggah Maya.
"Aku?...aku memang seperti itu saat bekerja. Bertahun-tahun dia bekerja padaku, dia tidak pernah protes dengan sikapku," Masumi membela dirinya sendiri.
"Ya kau kan bosnya, mana mungkin dia protes saat kau memarahinya."
Masumi mendengus kesal, "Apa iya karena aku galak?" Gumamnya.
Maya mengendikkan bahu, "Bisa saja. Mungkin dia sedang berpikir untuk mencari atasan yang lebih lembut dan baik hati," tambah Maya.
"Apa maksudmu? Dari ucapanmu sepertinya aku ini bos yang menyebalkan sekali,"
"Memang,"
"Eh?! Kau ini!" Masumi melipat tangannya di dada dengan kesal.
Maya terkikik dengan reaksi suaminya.
"Kenapa? Kau kan memang terkenal dingin dan gila kerja. Siapa yang tidak takut padamu? Setahuku hanya aku yang berani protes padamu,"
Masumi mengerucutkan bibirnya tidak senang.
"Aku sudah berusaha untuk berubah," kata Masumi lirih.
Maya terbahak.
"Sudah, sudah, maaf, aku hanya bercanda sayang. Kau memang sudah berubah," Maya mengusap lembut lengan suaminya, menenangkannya.
Melirik istrinya, "Sungguh?" Masumi malah jadi meragukan dirinya sendiri.
Maya tersenyum, "Toshiro, apa Tuan masih galak?" Tiba-tiba Maya bertanya pada supir mereka.
Toshiro berjenggit di tempatnya.
Apa yang harus aku katakan ya? Tuan hanya lembut pada nyonya, selebihnya...hhmmm, sama saja...
"Toshiro?" Panggil Maya lagi.
"Eh, Tu, tuan sudah tidak galak lagi seperti dulu sejak bersama Nyonya," jawabnya gugup. Matanya melirik pada kaca spion tengah, menilai reaksi Masumi, bosnya itu tampak tidak senang. Jatungnya berpacu.
"Jadi maksudmu sebelum aku bersama Maya, aku galak?" Bentak Masumi.
Toshiro bergidik mendengarnya, "Bu, bukan Tuan, hanya...,"
"Eh, sudah. Kenapa kau jadi marah pada Toshiro. Jangan memarahinya kalau kau tidak mau dibilang galak," lerai Maya.
Toshiro menghela napas perlahan, lega akan penyelamatan nyonyanya.
Masumi diam.
"Sudah jangan marah, kau sudah berubah kok sungguh." Maya kembali meyakinkan. "Aku hanya bercanda soal Nona Mizuki tadi. Mungkin ada masalah pribadi yang sedang dipikirkannya. Aku tahu dia suka bekerja padamu, dia tidak akan mencari bos lain. Kau lebih mengenalnya Masumi, jangan berpikir macam-macam,"
Maya tersenyum geli dalam hatinya. Sejak menikah suaminya memang sudah banyak berubah. Sangat perhatian dan penyayang -pada istrinya- dan sedikit lebih ramah -pada orang lain-. Biasanya dia tidak akan marah kalau ada orang yang mengatainya galak, toh memang kenyataannya seperti itu. Tapi kali ini sepertinya dia tidak suka kalau Mizuki menganggapnya seperti itu. Candaan Maya mengenai hati Masumi.
Maya juga mengerti kekhawatiran Masumi yang enggan ditinggal oleh Mizuki. Sekretarisnya itu sudah seperti sahabat baginya, belum lagi dia juga berjasa dalam hidup Masumi karena membantu mempersatukan cinta mereka.
Masumi menghela napas, "Aku galak dan kasar ya," gumam Masumi lirih, masih menyalahkan dirinya sendiri.
"Sstt, hentikan pikiran itu, kau sudah berubah," kata Maya lagi.
Menarik lengan suaminya, Maya berbisik, "Kau sangat penyayang, romantis, dan lembut."
Masumi tersenyum senang dan menatap istrinya.
"Benarkah?" Tanyanya.
Maya mengangguk, "Terima kasih untuk bunga dan donatnya tadi pagi," kata Maya lagi.
Senyum Masumi melebar.
"Kenapa?" Tanya Maya heran melihat mood suaminya yang langsung berubah cerah.
Menarik Maya dalam pelukannya, Masumi juga berbisik mesra.
"Kau suka kalau aku bersikap lembut?"
Maya mengangguk.
"Aku juga suka bersikap lembut padamu," bisiknya lagi.
"Eh?!" Maya mengangkat wajahnya dari dada suaminya dan menatap heran.
Masumi tersenyum nakal seraya mengedipkan matanya, "Toshiro, putar arah. Aku ingin makan siang dirumah, hhhmmm, bersama istriku," Masumi kembali berbisik di akhir kalimatnya.
Wajah Maya langsung merah padam, sepenuhnya sadar apa yang dimaksud suaminya.
"Aku hanya break dua jam," lirih Maya.
"Bisa diatur sayang," Masumi tersenyum.
Oh, suamiku gila, lenguh Maya.
***
"Tidak apa-apa hanya memikirkan sesuatu," jawab Masumi.
"Memikirkan apa? Pekerjaan?"
Masumi menggeleng.
"Bukan? Lalu? Ah! Jangan-jangan kau memikirkan wanita lain ya?" Maya cemberut dan memukul lengan suaminya.
Masumi mengangguk.
"Eh?!" Maya melotot, "Tuh kan?! Kau memikirkan wanita lain! Padahal aku disini bersamamu, siapa? Siapa wanita itu?"
Masumi tertawa saat Maya kembali memukul lengannya dengan genggaman tangan mungilnya. Dengan cepat dia menangkap pergelangan tangan istrinya lalu melingkarkannya di pinggangnya membuat tubuh Maya bersandar didadanya.
"Tenang saja, hanya kau yang ada dihatiku sayang. Satu-satunya," kata Masumi seraya mengecup puncak kepala Maya.
"Lalu siapa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Maya lagi, masih cemberut didada suaminya.
"Mizuki,"
Maya menarik kembali tangannya dan menegakkan tubuhnya, "Nona Mizuki? Ada apa dengannya?"
Masumi mengendikkan bahu, "Itulah yang aku tidak tahu, dia terlihat aneh pagi ini. Sebenarnya bukan hanya pagi ini, satu bulan terakhir aku merasa ada yang berbeda dengannya."
"Apa dia sedang sakit? Kau tidak bertanya padanya?"
"Sudah, dia bilang semuanya baik-baik saja,"
"Hhhmm, kau memberinya banyak sekali pekerjaan. Mungkin dia lelah," tebak Maya.
"Aku sudah memintanya untuk menghabiskan liburan musim panasnya dan pergi bersenang-senang. Tapi sepertinya dia tidak tertarik,"
"Uhhmm, mungkin Nona Mizuki sudah bosan bekerja denganmu," tebak Maya lagi.
Masumi mengernyit tidak senang dengan tebakan istrinya.
"Aku menggajinya dengan layak," protes Masumi.
"Tapi kau kan galak," sanggah Maya.
"Aku?...aku memang seperti itu saat bekerja. Bertahun-tahun dia bekerja padaku, dia tidak pernah protes dengan sikapku," Masumi membela dirinya sendiri.
"Ya kau kan bosnya, mana mungkin dia protes saat kau memarahinya."
Masumi mendengus kesal, "Apa iya karena aku galak?" Gumamnya.
Maya mengendikkan bahu, "Bisa saja. Mungkin dia sedang berpikir untuk mencari atasan yang lebih lembut dan baik hati," tambah Maya.
"Apa maksudmu? Dari ucapanmu sepertinya aku ini bos yang menyebalkan sekali,"
"Memang,"
"Eh?! Kau ini!" Masumi melipat tangannya di dada dengan kesal.
Maya terkikik dengan reaksi suaminya.
"Kenapa? Kau kan memang terkenal dingin dan gila kerja. Siapa yang tidak takut padamu? Setahuku hanya aku yang berani protes padamu,"
Masumi mengerucutkan bibirnya tidak senang.
"Aku sudah berusaha untuk berubah," kata Masumi lirih.
Maya terbahak.
"Sudah, sudah, maaf, aku hanya bercanda sayang. Kau memang sudah berubah," Maya mengusap lembut lengan suaminya, menenangkannya.
Melirik istrinya, "Sungguh?" Masumi malah jadi meragukan dirinya sendiri.
Maya tersenyum, "Toshiro, apa Tuan masih galak?" Tiba-tiba Maya bertanya pada supir mereka.
Toshiro berjenggit di tempatnya.
Apa yang harus aku katakan ya? Tuan hanya lembut pada nyonya, selebihnya...hhmmm, sama saja...
"Toshiro?" Panggil Maya lagi.
"Eh, Tu, tuan sudah tidak galak lagi seperti dulu sejak bersama Nyonya," jawabnya gugup. Matanya melirik pada kaca spion tengah, menilai reaksi Masumi, bosnya itu tampak tidak senang. Jatungnya berpacu.
"Jadi maksudmu sebelum aku bersama Maya, aku galak?" Bentak Masumi.
Toshiro bergidik mendengarnya, "Bu, bukan Tuan, hanya...,"
"Eh, sudah. Kenapa kau jadi marah pada Toshiro. Jangan memarahinya kalau kau tidak mau dibilang galak," lerai Maya.
Toshiro menghela napas perlahan, lega akan penyelamatan nyonyanya.
Masumi diam.
"Sudah jangan marah, kau sudah berubah kok sungguh." Maya kembali meyakinkan. "Aku hanya bercanda soal Nona Mizuki tadi. Mungkin ada masalah pribadi yang sedang dipikirkannya. Aku tahu dia suka bekerja padamu, dia tidak akan mencari bos lain. Kau lebih mengenalnya Masumi, jangan berpikir macam-macam,"
Maya tersenyum geli dalam hatinya. Sejak menikah suaminya memang sudah banyak berubah. Sangat perhatian dan penyayang -pada istrinya- dan sedikit lebih ramah -pada orang lain-. Biasanya dia tidak akan marah kalau ada orang yang mengatainya galak, toh memang kenyataannya seperti itu. Tapi kali ini sepertinya dia tidak suka kalau Mizuki menganggapnya seperti itu. Candaan Maya mengenai hati Masumi.
Maya juga mengerti kekhawatiran Masumi yang enggan ditinggal oleh Mizuki. Sekretarisnya itu sudah seperti sahabat baginya, belum lagi dia juga berjasa dalam hidup Masumi karena membantu mempersatukan cinta mereka.
Masumi menghela napas, "Aku galak dan kasar ya," gumam Masumi lirih, masih menyalahkan dirinya sendiri.
"Sstt, hentikan pikiran itu, kau sudah berubah," kata Maya lagi.
Menarik lengan suaminya, Maya berbisik, "Kau sangat penyayang, romantis, dan lembut."
Masumi tersenyum senang dan menatap istrinya.
"Benarkah?" Tanyanya.
Maya mengangguk, "Terima kasih untuk bunga dan donatnya tadi pagi," kata Maya lagi.
Senyum Masumi melebar.
"Kenapa?" Tanya Maya heran melihat mood suaminya yang langsung berubah cerah.
Menarik Maya dalam pelukannya, Masumi juga berbisik mesra.
"Kau suka kalau aku bersikap lembut?"
Maya mengangguk.
"Aku juga suka bersikap lembut padamu," bisiknya lagi.
"Eh?!" Maya mengangkat wajahnya dari dada suaminya dan menatap heran.
Masumi tersenyum nakal seraya mengedipkan matanya, "Toshiro, putar arah. Aku ingin makan siang dirumah, hhhmmm, bersama istriku," Masumi kembali berbisik di akhir kalimatnya.
Wajah Maya langsung merah padam, sepenuhnya sadar apa yang dimaksud suaminya.
"Aku hanya break dua jam," lirih Maya.
"Bisa diatur sayang," Masumi tersenyum.
Oh, suamiku gila, lenguh Maya.
***
Menjelang pukul tiga sore
Masumi baru kembali ke kantornya. Mizuki menatap heran saat bosnya datang
dengan senyum lebar dan wajah berbinar.
Makan dimana mereka? Apa Tuan Masumi keracunan makanan?
"Makan siang yang menyenangkan Tuan?" Sindir Mizuki.
Masumi terbahak, "Ku tunggu kau diruangku dan buatkan aku kopi," kata Masumi kemudian, mengabaikan sindiran sekretarisnya. Dia sedang bahagia sekarang, wajahnya bahkan terasa panas saat mengingat apa yang baru saja dilakukannya, ehem...bersama Maya tentunya.
Mizuki mengetuk pintu dan langsung masuk.
"Duduklah," kata Masumi ramah.
Tanpa kata Mizuki melakukan perintah bosnya setelah meletakkan kopi di meja.
"Aku mau bertanya beberapa hal padamu,"
"Silakan Tuan,"
"Apa menurutmu aku galak?"
Mizuki tercengang mendengar pertanyaan Masumi.
"Apa maksud anda Tuan Masumi?"
"Jawab saja, apa aku galak?"
"Iya," jawab Mizuki singkat.
Masumi cemberut, "Jadi memang benar ya," lirihnya.
Mizuki menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat wajah Masumi.
"Ada apa Tuan Masumi? Tidak biasanya anda bertanya hal seperti itu,"
Masumi menggeleng, "Apa kau berniat untuk pindah kerja?"
"Eh?! Tidak, apa anda berencana memecat saya?" Mizuki terkejut.
"Ah tidak, tidak!" Sanggah Masumi cepat, wajahnya langsung berubah senang dan lega. Dia menghela napas seraya mengusap dadanya, "Syukurlah,"
"Sebenarnya ada apa Tuan Masumi?" Tanya Mizuki bingung.
Masumi memiringkan kepalanya menatap Mizuki, mengetuk-ngetukkan jarinya di pelipis.
"Aku hanya merasa aneh karena menurutku sikapmu sedikit berbeda akhir-akhir ini. Tidak bersemangat dan terlihat lesu, kau bahkan melamun. Maya bilang mungkin karena aku terlalu galak padamu sehingga kau berpikir untuk pindah kerja ke tempat lain," terang Masumi.
Mizuki ternganga namun sedetik kemudian dia tertawa.
"Ya ampun Tuan Masumi, saya tidak menyangka anda bisa memiliki pemikiran seperti itu," Mizuki masih terbahak.
"Maya yang bilang padaku. Aku tidak mengerti pemikiran kalian para wanita. Jadi kupikir perkataan Maya ada benarnya." Masumi terlihat kesal Mizuki menertawakannya.
Mizuki berhenti tertawa saat melihat wajah masam bosnya.
"Ya, Nyonya Maya memang benar. Anda memang galak Tuan. Tapi saya tidak akan pindah kerja hanya karena hal itu. Lagipula sejak menikah anda sudah lebih ramah,"
"Ah iya, Maya juga bilang seperti itu," Masumi tersenyum kali ini, meraih cangkir kopinya lalu meneguknya.
Mizuki terkikik geli melihat bosnya yang konyol.
"Jadi kau tidak akan pindah kerja kan?" Masumi mengulangi pertanyaannya, mengabaikan cekikikan Mizuki.
"Tidak Tuan, tenang saja. Saya masih suka bekerja untuk anda," jawab Mizuki.
"Bagus,"
"Ada lagi yang ingin anda bicarakan dengan saya Tuan Masumi?"
"Tidak, kau boleh kembali bekerja. Terima kasih,"
Mizuki tersenyum lalu berdiri, dia baru menyadari kalau bosnya ternyata mengenakan kemeja yang berbeda dengan saat dia pergi tadi meski dasi dan jasnya masih sama. Terlintas ide untuk sedikit mengerjai Masumi.
"Boleh saya bertanya satu hal?" Mizuki balik bertanya sebelum beranjak pergi.
"Tentu," jawab Masumi, moodnya masih cerah. Sekali lagi dia meneguk kopinya.
"Dimana anda makan siang bersama Nyonya?"
Uhukkkk!! Masumi tersedak.
Mizuki menahan seringainya.
"Ah, saya sudah bisa menebaknya,"
"Kau akan ku pecat Mizuki!!" Bentak Masumi saat Mizuki menghilang dibalik pintu sambil tertawa.
***
Makan dimana mereka? Apa Tuan Masumi keracunan makanan?
"Makan siang yang menyenangkan Tuan?" Sindir Mizuki.
Masumi terbahak, "Ku tunggu kau diruangku dan buatkan aku kopi," kata Masumi kemudian, mengabaikan sindiran sekretarisnya. Dia sedang bahagia sekarang, wajahnya bahkan terasa panas saat mengingat apa yang baru saja dilakukannya, ehem...bersama Maya tentunya.
Mizuki mengetuk pintu dan langsung masuk.
"Duduklah," kata Masumi ramah.
Tanpa kata Mizuki melakukan perintah bosnya setelah meletakkan kopi di meja.
"Aku mau bertanya beberapa hal padamu,"
"Silakan Tuan,"
"Apa menurutmu aku galak?"
Mizuki tercengang mendengar pertanyaan Masumi.
"Apa maksud anda Tuan Masumi?"
"Jawab saja, apa aku galak?"
"Iya," jawab Mizuki singkat.
Masumi cemberut, "Jadi memang benar ya," lirihnya.
Mizuki menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat wajah Masumi.
"Ada apa Tuan Masumi? Tidak biasanya anda bertanya hal seperti itu,"
Masumi menggeleng, "Apa kau berniat untuk pindah kerja?"
"Eh?! Tidak, apa anda berencana memecat saya?" Mizuki terkejut.
"Ah tidak, tidak!" Sanggah Masumi cepat, wajahnya langsung berubah senang dan lega. Dia menghela napas seraya mengusap dadanya, "Syukurlah,"
"Sebenarnya ada apa Tuan Masumi?" Tanya Mizuki bingung.
Masumi memiringkan kepalanya menatap Mizuki, mengetuk-ngetukkan jarinya di pelipis.
"Aku hanya merasa aneh karena menurutku sikapmu sedikit berbeda akhir-akhir ini. Tidak bersemangat dan terlihat lesu, kau bahkan melamun. Maya bilang mungkin karena aku terlalu galak padamu sehingga kau berpikir untuk pindah kerja ke tempat lain," terang Masumi.
Mizuki ternganga namun sedetik kemudian dia tertawa.
"Ya ampun Tuan Masumi, saya tidak menyangka anda bisa memiliki pemikiran seperti itu," Mizuki masih terbahak.
"Maya yang bilang padaku. Aku tidak mengerti pemikiran kalian para wanita. Jadi kupikir perkataan Maya ada benarnya." Masumi terlihat kesal Mizuki menertawakannya.
Mizuki berhenti tertawa saat melihat wajah masam bosnya.
"Ya, Nyonya Maya memang benar. Anda memang galak Tuan. Tapi saya tidak akan pindah kerja hanya karena hal itu. Lagipula sejak menikah anda sudah lebih ramah,"
"Ah iya, Maya juga bilang seperti itu," Masumi tersenyum kali ini, meraih cangkir kopinya lalu meneguknya.
Mizuki terkikik geli melihat bosnya yang konyol.
"Jadi kau tidak akan pindah kerja kan?" Masumi mengulangi pertanyaannya, mengabaikan cekikikan Mizuki.
"Tidak Tuan, tenang saja. Saya masih suka bekerja untuk anda," jawab Mizuki.
"Bagus,"
"Ada lagi yang ingin anda bicarakan dengan saya Tuan Masumi?"
"Tidak, kau boleh kembali bekerja. Terima kasih,"
Mizuki tersenyum lalu berdiri, dia baru menyadari kalau bosnya ternyata mengenakan kemeja yang berbeda dengan saat dia pergi tadi meski dasi dan jasnya masih sama. Terlintas ide untuk sedikit mengerjai Masumi.
"Boleh saya bertanya satu hal?" Mizuki balik bertanya sebelum beranjak pergi.
"Tentu," jawab Masumi, moodnya masih cerah. Sekali lagi dia meneguk kopinya.
"Dimana anda makan siang bersama Nyonya?"
Uhukkkk!! Masumi tersedak.
Mizuki menahan seringainya.
"Ah, saya sudah bisa menebaknya,"
"Kau akan ku pecat Mizuki!!" Bentak Masumi saat Mizuki menghilang dibalik pintu sambil tertawa.
***
Mizuki memasuki
apartemennya dengan malas. Dia pulang tepat waktu karena Masumi pergi makan
malam bersama Maya. Alhasil sekarang dia kesepian dan bingung harus berbuat
apa.
Kau sedang apa Karato?
Mizuki duduk di sofa ruang tamunya seraya membolak-balik halaman majalah yang tidak dibacanya. Bosan, meraih remot televisi dan menyalakannya. Mengganti saluran beberapa kali, tidak ada yang menarik perhatiannya.
Menghela napas panjang, Mizuki meletakkan majalah di meja dan mematikan televisi.
Sebaiknya aku keluar untuk mencari udara segar.
Diapun beranjak ke kamarnya. Dalam sekejap berganti pakaian, menyandang tasnya lalu meluncur keluar apartemen.
Sudah satu jam Mizuki berputar-putar di jalanan kota Tokyo, tidak tahu mau kemana. Lelah, diapun memutuskan untuk berjalan-jalan di Ginza. Mungkin sedikit berbelanja bisa meringankan suasana hatinya.
Setelah memarkir mobilnya, Mizuki berjalan menyusuri pertokoan. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti di depan sebuah bridal salon. Gaun pengantin putih terpajang indah di etalase. Mizuki tertegun, membayangkan dirinya berdiri di altar dengan gaun itu. Tersenyum kecut, Mizuki berputar pada tumitnya dan melanjutkan langkahnya.
Meski tadi dia dan Hijiri sempat membicarakan masalah pernikahan tapi dirinya masih ragu kalau kekasihnya itu akan serius menikahinya. Terkadang dia merasa Hijiri lebih sayang pada pekerjaan dibanding dirinya. Awalnya dia mengerti karena Hijiri dan ayahnya sudah banyak berhutang budi pada keluarga Hayami. Tapi sekarang? Rasanya hal itu sudah tidak sepadan lagi. Hijiri juga berhak memiliki kehidupan. Apalagi sekarang Eisuke sudah meninggal, Masumi seharusnya berhenti menjadikannya karyawan bayangan untuk Daito.
Tanpa sadar Mizuki berjalan dengan menghentakkan kakinya kesal.
Aku ingin menikah! Teriaknya dalam hati.
"Nona Mizuki?"
Mizuki menegakkan kepalanya dan terkejut melihat siapa yang telah menyapanya.
"Nyonya Maya?"
"Ah, ternyata benar Nona Mizuki. Nah aku tidak salah lihat kan Masumi," kata Maya seraya memalingkan wajah pada suaminya yang berdiri dengan wajah kesal disebelahnya.
Dengan potongan rambut dan gaya pakaiannya aku juga sudah tahu dia siapa, dengus Masumi kesal dalam hatinya.
"Selamat malam Tuan, Nyonya. Anda berdua kenapa disini?" Mizuki tetap hormat menyapa meski terlambat tapi dia heran melihat keduanya karena seharusnya mereka sedang makan malam di restoran Prancis yang sudah dipesannya siang tadi.
"Maya membatalkan makan malamnya dan ingin berjalan-jalan," jawab Masumi dan itu cukup menjelaskan kenapa Masumi berwajah masam.
"Oh," Mizuki tersenyum tipis. Dia tahu Masumi sudah menyiapkan kejutan indah untuk istrinya malam ini di restoran tapi sepertinya semua rencananya berantakan.
"Ah sudahlah, jangan marah. Aku bosan kalau makan malam di restoran mewah seperti itu. Lebih menyenangkan kalau kita berjalan-jalan seperti ini, nanti kita makan burger dan kentang goreng ya," bujuk Maya sambil bergelayut manja di lengan kekar Masumi.
"Iya, iya. Apapun yang kau mau," Masumi akhirnya tersenyum juga melihat kemanjaan istrinya.
Mizuki tersenyum melihat Maya. Wanita yang jauh lebih muda darinya dan jauh lebih muda lagi dari suaminya itu memang selalu membawa keceriaan tersendiri. Masumi yang sedingin es pun bisa langsung mencair saat bersama istrinya.
"Kau, mau kemana?" Tanya Masumi tanpa basa basi pada Mizuki.
"Hanya berjalan-jalan Tuan," jawabnya santai.
"Nah, bagaimana kalau kita jalan-jalan bertiga?" Usul Maya.
Masumi melotot pada istrinya dan tanpa sadar Mizuki juga. Dia tahu Masumi tidak akan suka kebersamaannya dengan Maya dinterupsi pihak ketiga.
Tapi bukan Maya namanya jika dia tidak berkeras pada pendiriannya. Hasilnya sudah dapat ditebak, Masumi tidak dapat menolak dan Mizuki juga segan untuk mengatakan tidak. Ketiganya lantas memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Maya sibuk melihat beberapa boneka lucu di sebuah etalase toko, sementara Masumi dan Mizuki hanya berdiri mengamatinya.
"Ku potong gajimu karena merusak malamku," desis Masumi.
"Saya akan minta Nyonya untuk menaikkan gaji saya karena sudah bekerja lembur menemaninya jalan-jalan. Saya rasa anda tidak bisa menolaknya," Mizuki menyeringai tipis.
"Kau?!" Masumi melotot.
Mizuki menahan tawanya dan Masumi tidak sempat marah lagi karena Maya menarik sekretarisnya itu untuk ikut dengannya.
Dengan kesal Masumi mengikuti keduanya.
"Masumi, boleh aku membeli boneka ini? Lucu sekali," kata Maya seraya menunjukkan boneka katak hijau yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya.
Masumi menyipit saat melihat boneka katak raksasa di depannya.
Ya ampun, mau diletakkan dimana boneka sebesar itu? Kalau untuk teman tidur, bisa-bisa ranjangku penuh dan tidak ada tempat untukku.
"Masumi!" Maya merengek.
Sekali lagi Mizuki menahan tawanya. Meski sudah berusia dua puluh empat tahun, nyonyanya itu sama sekali tidak berubah.
"Boleh ya?" Rengek Maya lagi.
"Sayang, apa itu tidak terlalu besar?" Tanya Masumi lirih.
"Tidak, pasti hangat kalau dipeluk saat tidur," kata Maya.
"Hah?" Dugaan Masumi tepat dan posisinya di ranjang terancam sekarang oleh...boneka katak?
Mizuki terkikik saat melihat ekspresi Masumi dan kilatan mata tajam langsung menusuknya.
Seorang pelayan datang dengan senyum ramah menghampiri mereka. Sekali lagi Masumi melirik kesal pada boneka katak yang masih dipegang erat oleh istrinya, sebenarnya, ukurannya bahkan lebih besar dari tubuh istrinya.
Apa aku kurang hangat sampai istriku harus mencari boneka katak untuk menemaninya tidur? Masumi menggeleng kesal.
"Ini sedang diskon Nona," kata pelayan itu pada Maya.
"Wah sedang diskon ya!" Kata Maya girang tanpa menyadari pelayan itu memanggilnya nona.
Pelayan itu mengangguk hormat pada Masumi dan Mizuki.
"Boneka ini sedang diskon Tuan, Nyonya. Kami akan memberi diskon tambahan jika anda membayar menggunakan kartu kredit. Sepertinya keponakan anda menyukainya," jelas pelayan itu.
Masumi dan Mizuki saling bertukar pandang lalu secara bersamaan melihat pada Maya. Wajah girang dan cerianya sudah lenyap. Bibirnya cemberut dengan kesal. Seketika dia melempar boneka dalam pelukannya, lalu menghentakkan kakinya dengan kesal keluar dari toko.
"Maya!" Masumi segera mengejar istrinya.
Kali ini Masumi tidak marah dengan pelayan itu karena dia bersyukur berkat ucapannya Maya tidak jadi membeli boneka yang akan memenuhi ranjangnya. Tapi dia juga tidak suka melihat istrinya marah.
Pelayan itu terbengong saat Maya dan Masumi meninggalkan tokonya. Mizuki akhirnya terbahak ketika bosnya sudah menghilang entah kemana.
"Maaf, apa saya salah bicara?" Tanya pelayan itu bingung.
"Ya, kau salah bicara. Mereka berdua adalah sepasang suami istri," jawab Mizuki sambil lalu, dia keluar dari toko boneka dan meninggalkan pelayan yang masih menganga karena terkejut.
Mizuki melihat Masumi tengah memeluk istrinya di sudut koridor dekat sebuah cafe. Dia tahu, pasti Maya sedang menangis karena kesal. Dengan bijak Mizuki hanya mengamati keduanya dari jauh, memberi mereka privasi.
"Sudahlah, aku akan belikan boneka itu asal kau berhenti menangis," bujuk Masumi saat Maya masih terisak didadanya.
"Aku tidak mau membeli boneka itu! Aku marah dengan pelayan itu!" Sungut Maya.
Masumi menghela napas, "Baiklah kita tidak akan kembali ke toko itu, kau mau cari ditoko lain?" Masumi mengangkupkan tangannya di wajah istrinya dan mengusap air matanya.
Maya menggeleng, "Mereka akan mengira aku anak-anak lagi,"
"Sudah, jangan hiraukan hal itu. Katakan kau mau apa sekarang?" Tanya Masumi lembut.
Maya menatap suaminya, "Aku mau pulang saja,"
"Aku tidak mau kau pulang dengan cemberut." Kata Masumi, matanya lalu melihat pada cafe yang ada didepannya, "Hhhmm, kita makan dulu bagaimana? Ada burger disini dan kelihatannya ice creamnya juga enak," Masumi mencoba mengalihkan perhatian istrinya.
Maya berbalik dan melihat cafe dibelakangnya, moodnya langsung berubah saat melihat gambar ice cream yang terpajang disana.
"Kau mau?" Tanya Masumi, melihat senyum diwajah istrinya, dia yakin strateginya berhasil.
Maya mengangguk senang, "Ajak Nona Mizuki," usul Maya.
Kening Masumi berkerut, dia lupa dengan sekretarisnya tapi menolak keinginan Maya bukanlah hal bijak sekarang. Mata Masumi mengamati sekitar dan saat menemukan sosok yang dicari dia melambaikan tangannya. Mizuki memenuhi panggilan bosnya.
"Hhmmm, enak," gumam Maya senang saat sesendok es krim meleleh dimulutnya.
Masumi tersenyum senang disebelahnya. Maya mengambil sesendok dan menyuapkannya pada Masumi.
"Enak," kata Masumi senang. Keduanya terkikik dan saling menyuap, mereka lupa bahwa ada Mizuki disana. Meneguk coffelattenya, Mizuki jadi teringat kekasihnya. Dan suasana hatinya semakin kacau sekarang karena disuguhi pertunjukan romantis didepannya. Melihat kebahagiaan Maya dan Masumi hatinya jadi merasa iri. Kapan dia dan Hijiri akan menikmati kebersamaan seperti itu.
Sisa malam itu berlalu dengan menyenangkan. Maya sudah melupakan insiden paman dan keponakan yang sempat membuatnya marah. Sebagai gantinya Masumi membelikannya sebuah gantungan handphone berkelip lucu berbentuk tedy bear berwarna merah dan Maya mengucapkan terima kasih dengan mengecup pipi suaminya di depan Mizuki. Membuat wajah Masumi semerah tomat.
"Terima kasih Tuan, Nyonya. Selamat jalan," ucap Mizuki hormat saat mereka hendak berpisah di pintu keluar.
"Sampai jumpa Nona Mizuki," Maya melambai dan Masumi hanya mengangguk pada sekretarisnya. Merekapun berpisah.
"Kau benar, Nona Mizuki memang aneh," celetuk Maya seraya berjalan ke tempat parkir bersama suaminya.
***
Kau sedang apa Karato?
Mizuki duduk di sofa ruang tamunya seraya membolak-balik halaman majalah yang tidak dibacanya. Bosan, meraih remot televisi dan menyalakannya. Mengganti saluran beberapa kali, tidak ada yang menarik perhatiannya.
Menghela napas panjang, Mizuki meletakkan majalah di meja dan mematikan televisi.
Sebaiknya aku keluar untuk mencari udara segar.
Diapun beranjak ke kamarnya. Dalam sekejap berganti pakaian, menyandang tasnya lalu meluncur keluar apartemen.
Sudah satu jam Mizuki berputar-putar di jalanan kota Tokyo, tidak tahu mau kemana. Lelah, diapun memutuskan untuk berjalan-jalan di Ginza. Mungkin sedikit berbelanja bisa meringankan suasana hatinya.
Setelah memarkir mobilnya, Mizuki berjalan menyusuri pertokoan. Langkah kakinya tiba-tiba berhenti di depan sebuah bridal salon. Gaun pengantin putih terpajang indah di etalase. Mizuki tertegun, membayangkan dirinya berdiri di altar dengan gaun itu. Tersenyum kecut, Mizuki berputar pada tumitnya dan melanjutkan langkahnya.
Meski tadi dia dan Hijiri sempat membicarakan masalah pernikahan tapi dirinya masih ragu kalau kekasihnya itu akan serius menikahinya. Terkadang dia merasa Hijiri lebih sayang pada pekerjaan dibanding dirinya. Awalnya dia mengerti karena Hijiri dan ayahnya sudah banyak berhutang budi pada keluarga Hayami. Tapi sekarang? Rasanya hal itu sudah tidak sepadan lagi. Hijiri juga berhak memiliki kehidupan. Apalagi sekarang Eisuke sudah meninggal, Masumi seharusnya berhenti menjadikannya karyawan bayangan untuk Daito.
Tanpa sadar Mizuki berjalan dengan menghentakkan kakinya kesal.
Aku ingin menikah! Teriaknya dalam hati.
"Nona Mizuki?"
Mizuki menegakkan kepalanya dan terkejut melihat siapa yang telah menyapanya.
"Nyonya Maya?"
"Ah, ternyata benar Nona Mizuki. Nah aku tidak salah lihat kan Masumi," kata Maya seraya memalingkan wajah pada suaminya yang berdiri dengan wajah kesal disebelahnya.
Dengan potongan rambut dan gaya pakaiannya aku juga sudah tahu dia siapa, dengus Masumi kesal dalam hatinya.
"Selamat malam Tuan, Nyonya. Anda berdua kenapa disini?" Mizuki tetap hormat menyapa meski terlambat tapi dia heran melihat keduanya karena seharusnya mereka sedang makan malam di restoran Prancis yang sudah dipesannya siang tadi.
"Maya membatalkan makan malamnya dan ingin berjalan-jalan," jawab Masumi dan itu cukup menjelaskan kenapa Masumi berwajah masam.
"Oh," Mizuki tersenyum tipis. Dia tahu Masumi sudah menyiapkan kejutan indah untuk istrinya malam ini di restoran tapi sepertinya semua rencananya berantakan.
"Ah sudahlah, jangan marah. Aku bosan kalau makan malam di restoran mewah seperti itu. Lebih menyenangkan kalau kita berjalan-jalan seperti ini, nanti kita makan burger dan kentang goreng ya," bujuk Maya sambil bergelayut manja di lengan kekar Masumi.
"Iya, iya. Apapun yang kau mau," Masumi akhirnya tersenyum juga melihat kemanjaan istrinya.
Mizuki tersenyum melihat Maya. Wanita yang jauh lebih muda darinya dan jauh lebih muda lagi dari suaminya itu memang selalu membawa keceriaan tersendiri. Masumi yang sedingin es pun bisa langsung mencair saat bersama istrinya.
"Kau, mau kemana?" Tanya Masumi tanpa basa basi pada Mizuki.
"Hanya berjalan-jalan Tuan," jawabnya santai.
"Nah, bagaimana kalau kita jalan-jalan bertiga?" Usul Maya.
Masumi melotot pada istrinya dan tanpa sadar Mizuki juga. Dia tahu Masumi tidak akan suka kebersamaannya dengan Maya dinterupsi pihak ketiga.
Tapi bukan Maya namanya jika dia tidak berkeras pada pendiriannya. Hasilnya sudah dapat ditebak, Masumi tidak dapat menolak dan Mizuki juga segan untuk mengatakan tidak. Ketiganya lantas memasuki sebuah pusat perbelanjaan. Maya sibuk melihat beberapa boneka lucu di sebuah etalase toko, sementara Masumi dan Mizuki hanya berdiri mengamatinya.
"Ku potong gajimu karena merusak malamku," desis Masumi.
"Saya akan minta Nyonya untuk menaikkan gaji saya karena sudah bekerja lembur menemaninya jalan-jalan. Saya rasa anda tidak bisa menolaknya," Mizuki menyeringai tipis.
"Kau?!" Masumi melotot.
Mizuki menahan tawanya dan Masumi tidak sempat marah lagi karena Maya menarik sekretarisnya itu untuk ikut dengannya.
Dengan kesal Masumi mengikuti keduanya.
"Masumi, boleh aku membeli boneka ini? Lucu sekali," kata Maya seraya menunjukkan boneka katak hijau yang besarnya hampir sama dengan tubuhnya.
Masumi menyipit saat melihat boneka katak raksasa di depannya.
Ya ampun, mau diletakkan dimana boneka sebesar itu? Kalau untuk teman tidur, bisa-bisa ranjangku penuh dan tidak ada tempat untukku.
"Masumi!" Maya merengek.
Sekali lagi Mizuki menahan tawanya. Meski sudah berusia dua puluh empat tahun, nyonyanya itu sama sekali tidak berubah.
"Boleh ya?" Rengek Maya lagi.
"Sayang, apa itu tidak terlalu besar?" Tanya Masumi lirih.
"Tidak, pasti hangat kalau dipeluk saat tidur," kata Maya.
"Hah?" Dugaan Masumi tepat dan posisinya di ranjang terancam sekarang oleh...boneka katak?
Mizuki terkikik saat melihat ekspresi Masumi dan kilatan mata tajam langsung menusuknya.
Seorang pelayan datang dengan senyum ramah menghampiri mereka. Sekali lagi Masumi melirik kesal pada boneka katak yang masih dipegang erat oleh istrinya, sebenarnya, ukurannya bahkan lebih besar dari tubuh istrinya.
Apa aku kurang hangat sampai istriku harus mencari boneka katak untuk menemaninya tidur? Masumi menggeleng kesal.
"Ini sedang diskon Nona," kata pelayan itu pada Maya.
"Wah sedang diskon ya!" Kata Maya girang tanpa menyadari pelayan itu memanggilnya nona.
Pelayan itu mengangguk hormat pada Masumi dan Mizuki.
"Boneka ini sedang diskon Tuan, Nyonya. Kami akan memberi diskon tambahan jika anda membayar menggunakan kartu kredit. Sepertinya keponakan anda menyukainya," jelas pelayan itu.
Masumi dan Mizuki saling bertukar pandang lalu secara bersamaan melihat pada Maya. Wajah girang dan cerianya sudah lenyap. Bibirnya cemberut dengan kesal. Seketika dia melempar boneka dalam pelukannya, lalu menghentakkan kakinya dengan kesal keluar dari toko.
"Maya!" Masumi segera mengejar istrinya.
Kali ini Masumi tidak marah dengan pelayan itu karena dia bersyukur berkat ucapannya Maya tidak jadi membeli boneka yang akan memenuhi ranjangnya. Tapi dia juga tidak suka melihat istrinya marah.
Pelayan itu terbengong saat Maya dan Masumi meninggalkan tokonya. Mizuki akhirnya terbahak ketika bosnya sudah menghilang entah kemana.
"Maaf, apa saya salah bicara?" Tanya pelayan itu bingung.
"Ya, kau salah bicara. Mereka berdua adalah sepasang suami istri," jawab Mizuki sambil lalu, dia keluar dari toko boneka dan meninggalkan pelayan yang masih menganga karena terkejut.
Mizuki melihat Masumi tengah memeluk istrinya di sudut koridor dekat sebuah cafe. Dia tahu, pasti Maya sedang menangis karena kesal. Dengan bijak Mizuki hanya mengamati keduanya dari jauh, memberi mereka privasi.
"Sudahlah, aku akan belikan boneka itu asal kau berhenti menangis," bujuk Masumi saat Maya masih terisak didadanya.
"Aku tidak mau membeli boneka itu! Aku marah dengan pelayan itu!" Sungut Maya.
Masumi menghela napas, "Baiklah kita tidak akan kembali ke toko itu, kau mau cari ditoko lain?" Masumi mengangkupkan tangannya di wajah istrinya dan mengusap air matanya.
Maya menggeleng, "Mereka akan mengira aku anak-anak lagi,"
"Sudah, jangan hiraukan hal itu. Katakan kau mau apa sekarang?" Tanya Masumi lembut.
Maya menatap suaminya, "Aku mau pulang saja,"
"Aku tidak mau kau pulang dengan cemberut." Kata Masumi, matanya lalu melihat pada cafe yang ada didepannya, "Hhhmm, kita makan dulu bagaimana? Ada burger disini dan kelihatannya ice creamnya juga enak," Masumi mencoba mengalihkan perhatian istrinya.
Maya berbalik dan melihat cafe dibelakangnya, moodnya langsung berubah saat melihat gambar ice cream yang terpajang disana.
"Kau mau?" Tanya Masumi, melihat senyum diwajah istrinya, dia yakin strateginya berhasil.
Maya mengangguk senang, "Ajak Nona Mizuki," usul Maya.
Kening Masumi berkerut, dia lupa dengan sekretarisnya tapi menolak keinginan Maya bukanlah hal bijak sekarang. Mata Masumi mengamati sekitar dan saat menemukan sosok yang dicari dia melambaikan tangannya. Mizuki memenuhi panggilan bosnya.
"Hhmmm, enak," gumam Maya senang saat sesendok es krim meleleh dimulutnya.
Masumi tersenyum senang disebelahnya. Maya mengambil sesendok dan menyuapkannya pada Masumi.
"Enak," kata Masumi senang. Keduanya terkikik dan saling menyuap, mereka lupa bahwa ada Mizuki disana. Meneguk coffelattenya, Mizuki jadi teringat kekasihnya. Dan suasana hatinya semakin kacau sekarang karena disuguhi pertunjukan romantis didepannya. Melihat kebahagiaan Maya dan Masumi hatinya jadi merasa iri. Kapan dia dan Hijiri akan menikmati kebersamaan seperti itu.
Sisa malam itu berlalu dengan menyenangkan. Maya sudah melupakan insiden paman dan keponakan yang sempat membuatnya marah. Sebagai gantinya Masumi membelikannya sebuah gantungan handphone berkelip lucu berbentuk tedy bear berwarna merah dan Maya mengucapkan terima kasih dengan mengecup pipi suaminya di depan Mizuki. Membuat wajah Masumi semerah tomat.
"Terima kasih Tuan, Nyonya. Selamat jalan," ucap Mizuki hormat saat mereka hendak berpisah di pintu keluar.
"Sampai jumpa Nona Mizuki," Maya melambai dan Masumi hanya mengangguk pada sekretarisnya. Merekapun berpisah.
"Kau benar, Nona Mizuki memang aneh," celetuk Maya seraya berjalan ke tempat parkir bersama suaminya.
***
Mizuki melempar tiga tas
belanjanya ke sofa ruang tamu. Memeriksa handphonenya, tidak ada pesan ataupun
panggilan dari Hijiri.
Dia pasti sedang sibuk, keluhnya.
Berjalan dengan malas ke kamarnya, Mizuki menghempaskan diri di tempat tidur.
Ah, aku merindukanmu Karato
***
Mobil melaju kencang di jalan raya menuju Tokyo. Seorang pria dengan tenang duduk dibelakang kemudi. Sejenak kemudian senyumnya mengembang. Tangan kirinya meraba saku jaketnya. Ada sebuah kotak kecil tersimpan disana. Hatinya berbunga dengan harapan yang besar.
Tunggu aku, Saeko.
***
"Apa sudah hangat sekarang?" Masumi berbisik ditelinga Maya seraya mengeratkan pelukannya.
"Kau membuatku kepanasan Tuan Hayami," Maya tersenyum geli, tangannya mengusap lembut dan jarinya membuat lingkaran-lingkaran kecil di atas dada suaminya.
"Hhhmmm, aku akan membuatmu kepanasan lagi kalau kau tidak berhenti melakukannya sayang," Masumi tersenyum geli dan mencekal tangan istrinya yang terus menari di atas tubuhnya.
Maya terkikik lalu terbangun. Menarik selimut menutup tubuhnya lalu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Masumi bergeser dan membaringkan kepalanya di pangkuan istrinya.
"Aku jadi penasaran dengan Nona Mizuki tadi. Sepertinya ada masalah berat yang sedang dipikirkannya," kata Maya, tangan mungilnya membelai kepala Masumi di pangkuannya.
"Apa kita bisa membantunya?" Tanya Maya kemudian.
"Dia tidak mau mengatakan masalahnya, bagaimana kita bisa membantu?" Masumi balik bertanya.
"Kalau begitu kita harus mencari tahu," kata Maya.
"Kau tidak boleh mencampuri urusan orang lain Maya," Masumi memperingatkan.
"Bukan begitu, hanya saja aku merasa kasihan padanya. Lagipula dia sudah banyak membantu kita. Aku tidak akan ada disini bersamamu jika bukan karena bantuannya," omel Maya.
"Iya, iya aku tahu. Tapi jika Mizuki tidak mau terbuka, kita juga tidak bisa memaksa," kata Masumi.
"Pokoknya kita harus mencari tahu!" Kata Maya kali ini melotot pada suaminya.
"Iya Maya, iya, kita akan mencari tahu," jawab Masumi menyerah.
"Nah begitu dong," kata Maya senang sambil menepuk kedua tangannya.
Masumi bangun, "Cukup diskusi tentang Mizuki, sekarang waktunya mendiskusikan masalah kita,"
"Masalah kita? Apa kita punya masalah?" Kening Maya berkerut saat Masumi menatapnya.
"Ya ada," tegas Masumi.
"Apa?" Tanya Maya.
Masumi melandaikan tubuhnya mendekat dan menarik selimut yang menutupi tubuh istrinya.
"Kau masalahku sayang." Bisiknya dan kecupan hangat di leher Maya menghentikan pemikiran Nyonya muda itu. Keduanya kembali tersesat.
***
Dia pasti sedang sibuk, keluhnya.
Berjalan dengan malas ke kamarnya, Mizuki menghempaskan diri di tempat tidur.
Ah, aku merindukanmu Karato
***
Mobil melaju kencang di jalan raya menuju Tokyo. Seorang pria dengan tenang duduk dibelakang kemudi. Sejenak kemudian senyumnya mengembang. Tangan kirinya meraba saku jaketnya. Ada sebuah kotak kecil tersimpan disana. Hatinya berbunga dengan harapan yang besar.
Tunggu aku, Saeko.
***
"Apa sudah hangat sekarang?" Masumi berbisik ditelinga Maya seraya mengeratkan pelukannya.
"Kau membuatku kepanasan Tuan Hayami," Maya tersenyum geli, tangannya mengusap lembut dan jarinya membuat lingkaran-lingkaran kecil di atas dada suaminya.
"Hhhmmm, aku akan membuatmu kepanasan lagi kalau kau tidak berhenti melakukannya sayang," Masumi tersenyum geli dan mencekal tangan istrinya yang terus menari di atas tubuhnya.
Maya terkikik lalu terbangun. Menarik selimut menutup tubuhnya lalu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Masumi bergeser dan membaringkan kepalanya di pangkuan istrinya.
"Aku jadi penasaran dengan Nona Mizuki tadi. Sepertinya ada masalah berat yang sedang dipikirkannya," kata Maya, tangan mungilnya membelai kepala Masumi di pangkuannya.
"Apa kita bisa membantunya?" Tanya Maya kemudian.
"Dia tidak mau mengatakan masalahnya, bagaimana kita bisa membantu?" Masumi balik bertanya.
"Kalau begitu kita harus mencari tahu," kata Maya.
"Kau tidak boleh mencampuri urusan orang lain Maya," Masumi memperingatkan.
"Bukan begitu, hanya saja aku merasa kasihan padanya. Lagipula dia sudah banyak membantu kita. Aku tidak akan ada disini bersamamu jika bukan karena bantuannya," omel Maya.
"Iya, iya aku tahu. Tapi jika Mizuki tidak mau terbuka, kita juga tidak bisa memaksa," kata Masumi.
"Pokoknya kita harus mencari tahu!" Kata Maya kali ini melotot pada suaminya.
"Iya Maya, iya, kita akan mencari tahu," jawab Masumi menyerah.
"Nah begitu dong," kata Maya senang sambil menepuk kedua tangannya.
Masumi bangun, "Cukup diskusi tentang Mizuki, sekarang waktunya mendiskusikan masalah kita,"
"Masalah kita? Apa kita punya masalah?" Kening Maya berkerut saat Masumi menatapnya.
"Ya ada," tegas Masumi.
"Apa?" Tanya Maya.
Masumi melandaikan tubuhnya mendekat dan menarik selimut yang menutupi tubuh istrinya.
"Kau masalahku sayang." Bisiknya dan kecupan hangat di leher Maya menghentikan pemikiran Nyonya muda itu. Keduanya kembali tersesat.
***
Karato
Aku sudah di Tokyo. Malam ini aku akan menunggumu di tempat biasa. Merindukanmu.
Entah untuk yang keberapa kali Mizuki membaca pesan itu sejak pagi tadi. Hatinya senang sekaligus sedih. Semalaman Mizuki sudah memikirkan tentang hubungannya dengan Hijiri.
Interkom berbunyi membuat Mizuki tersentak.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?"
"Bawakan aku dokumen Haiteku Entertainment,"
Aku sudah di Tokyo. Malam ini aku akan menunggumu di tempat biasa. Merindukanmu.
Entah untuk yang keberapa kali Mizuki membaca pesan itu sejak pagi tadi. Hatinya senang sekaligus sedih. Semalaman Mizuki sudah memikirkan tentang hubungannya dengan Hijiri.
Interkom berbunyi membuat Mizuki tersentak.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan?"
"Bawakan aku dokumen Haiteku Entertainment,"
“Baik Tuan,”
Mizuki segera mengambil
dokumen yang diminta Masumi.
“Terima kasih,” ucap
Masumi.
“Ada lagi Tuan?”
Masumi menggeleng lalu
melambaikan tangannya, mengusir Mizuki. Sekretaris itu member hormat lalu
keluar ruangan. Mengambil handphonenya, Masumi menekan tombol panggil.
“Hijiri, satu jam lagi
temui aku di tempat biasa,” katanya singkat dengan wajah serius.
Masumi meletakkan
handphone dan kembali membaca dokumennya. Beberapa kali mendengus kesal dan
menarik napas panjang, Masumi menutup dokumennya dan mulai berpikir serius.
Empat puluh lima menit kemudian, dia pergi meninggalkan mejanya.
“Aku keluar sebentar,”
Kata Masumi saat melintasi meja sekretarisnya.
Mizuki hanya mengangguk
hormat. Beberapa menit kemudian Mizuki menyadari sesuatu. Masumi baru saja
meminta dokumen Haiteku Entertainment dan itu adalah laporan yang dibuat Hijiri
saat melakukan penyelidikan dengannya. Lalu Masumi pergi dengan wajah serius.
Hhhmm, mungkinkah? Batin
Mizuki menduga-duga.
Diapun pergi menyusul
Masumi untuk membuktikan kecurigaannya. Setidaknya dia tahu tempat dimana
bosnya dan kekasihnya itu sering bertemu.
Mengendap-endap, Mizuki
menuju parkir basement. Berjingkat perlahan menuju lorong paling ujung. Matanya
membulat saat menemukan obyek yang dicarinya. Dugaannya benar, Masumi pergi
menemui Hijiri. Melepas sepatu hak tingginya, Mizuki menyelinap di balik mobil
agar bisa mendengar percakapan mereka. Dia selalu penasaran dengan hubungan
kerja Masumi dan Hijiri. Mizuki berjongkok di samping sebuah mobil dan mulai
memfokuskan indra pendengarannya.
“Berkat informasi yang kau
dapatkan tempo hari, Haiteku Entertainment tidak lagi berani mengganggu kita.
Terima kasih Hijiri,” kata Masumi.
“Sudah tugas saya membantu
anda Tuan Masumi,” Hijiri mengangguk hormat.
“Hhhmmm, sejak semalam aku
tidak bisa menghubungimu, apa ada masalah?” Tanya Masumi.
“Tidak Tuan, saya masih
dalam perjalanan ke Tokyo dan kehabisan baterai,”
“Oh, ku pikir kau ada
kencan dengan kekasihmu,” canda Masumi.
Hijiri hanya tersenyum
tipis.
“Apa kau memiliki kekasih
Hijiri?” Tanya Masumi tiba-tiba.
Hijiri terkejut mendengar
pertanyaan Masumi.
“Ah, maaf. Aku tidak
bermaksud mencampuri masalah pribadimu, hanya ingin tahu. Tidak apa-apa jika
kau tidak mau menjawabnya,” Masumi jadi merasa tidak enak dengan pertanyaannya.
Tangan Hijiri mengepal
kuat dan tersenyum tipis pada Masumi, “Tidak Tuan, saya tidak memiliki kekasih.
Saya sudah berjanji akan mengabdikan hidup saya untuk keluarga Hayami,”
Masumi terdiam, mengamati
ekspresi datar anak buah kesayangannya itu.
“Terima kasih Hijiri,”
ucap Masumi dan pertemuan mereka berakhir setelah Hijiri memberikan sebuah
amplop pada Masumi.
Di tempatnya, Mizuki
terduduk lemas. Berusaha menyangkal apa yang baru saja di dengarnya. Dia tidak
pernah menangis tapi kali ini air matanya jatuh tanpa diminta. Hatinya sakit,
teriris dalam.
Tidak Tuan, saya tidak
memiliki kekasih
Perkataan Hijiri terus
berulang di dalam kepalanya.
***
“Selamat malam Nona
Mizuki,” sapa Maya ramah.
“Selamat malam Nyonya
Maya,” Mizuki memaksakan diri untuk tersenyum.
“Apa kau sedang sakit?
Wajahmu pucat,” Tanya Maya.
“Ah tidak Nyonya, mungkin
hanya lelah,” jawabnya.
“Oh, sebaiknya kau
istirahat agar tidak sakit,” saran Maya.
“Terima kasih Nyonya, oh
ya, Tuan sudah menunggu anda,” Mizuki mengalihkan perhatian Maya karena tidak
mau diintrogasi lebih dalam lagi. Dan berhasil, Maya segera menghilang ke ruang
kerja suaminya.
“Halo sayang,” sapa Masumi
lembut saat istrinya masuk.
Tersenyum, Maya duduk di lengan kursi
kerja suaminya sementara Masumi masih fokus menatap laptopnya.
“Apa hari ini banyak
pekerjaan?” Tanya Maya.
“Tidak,” jawab Masumi
tanpa menatap istrinya.
“Sepertinya Nona Mizuki
kurang sehat, kenapa kau menyuruhnya lembur?” omel Maya.
Masumi berhenti mengetik
lalu memiringkan tubuhnya menatap istrinya.
“Aku sudah menyuruhnya
pulang sejak pukul lima tadi tapi dia menolak. Kenapa kau jadi sering
memarahiku gara-gara Mizuki?” protes Masumi kesal.
“Aku tidak memarahimu. Aku
hanya tidak suka kau menyiksa stafmu,”
Masumi menggosok dahinya
kasar lalu menggeleng kesal, “Aku tidak sekejam itu Maya,”
Maya cemberut sambil
melipat kedua tangannya di dada, mengabaikan kejengkelan suaminya yang sekarang
kembali fokus pada layar laptopnya. Keduanya terdiam.
“Aku akan membatalkan
reservasi restoran kita kalau kau masih cemberut seperti itu,” ancam Masumi
seraya menutup laptopnya dan mengambil tas kerjanya.
“Iya, iya. Ayo cepat
pergi. Semakin cepat kau pulang maka semakin cepat pula Nona Mizuki bisa
beristirahat,” jawab Maya.
Masumi melotot, “Ya, ampun
Maya. Kau masih saja meributkan masalah Mizuki,”
“Aku kan hanya ingin
membantunya. Jelas dia sedang memiliki masalah dan sekarang bahkan terlihat
lebih kacau,” Maya beralasan.
Rasa peduli Maya pada
orang lain memang luar biasa, Masumi tahu itu. Tapi jika hanya gara-gara
masalah Mizuki dia terus diomeli istrinya, tentu dia juga tidak terima. Masumi
tidak merasa bersalah dan tidak merasa bertanggung jawab atas kehidupan pribadi
sekretarisnya meski dia memang berhutang budi padanya.
“Ayo,” ajak Maya.
Masumi menggeleng kesal
tapi tidak protes dan segera mengikuti istrinya.
“Kau boleh pulang Mizuki,”
kata Masumi saat melintas di depan meja sekretarisnya. Sengaja sedikit
menaikkan volume suaranya lebih keras agar istrinya itu tidak protes lagi
padanya.
Maya melambai pada Mizuki
seraya mengucapkan selamat malam sebelum pergi. Mizuki hanya mengangguk dan
tersenyum tipis pada Nyonyanya.
“Nah kau puas sekarang?”
“Iya,” Maya tersenyum
senang.
Keduanya menuju parkir
basement. Masumi membukakan pintu untuk istrinya dan Maya tersenyum senang saat
masuk ke mobil. Masumi sengaja membawa mobilnya sendiri karena tidak mau
diganggu oleh keberadaan sopirnya.
Duduk di belakang kemudi,
Masumi termenung.
“Ada apa?” Tanya Maya.
“Sejak kemarin kau
memarahiku gara-gara Mizuki. Aku pikir seharusnya aku marah dengan hal itu,”
jawab Masumi.
“Kenapa harus marah?” Maya
cemberut. Dia tidak merasa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan.
“Ya karena kau memarahiku
hanya gara-gara Mizuki,” jelas Masumi.
“Lalu kalau kau marah, kau
mau apa? Mengomeliku juga?” kata Maya kesal.
Masumi menggeleng pada
istrinya, “Aku punya cara yang lebih baik untuk membalasnya,”
Maya tidak sempat lagi
untuk protes ketika Masumi mencondongkan tubuhnya dan memagut bibirnya.
“Nanti dilihat orang,”
Maya terengah saat Masumi melepaskan bibirnya.
“Kacanya gelap lagipula
tidak ada orang,” bisik Masumi di bibir Maya dan kembali, bibirnya menyapukan
cumbuan hangat.
Suara sepatu hak tinggi
yang menggema di ruang basement membuat Maya dan Masumi menghentikan
kegilaannya.
“Tuh kan ada orang,” kata
Maya masih dengan napas terengah.
Masumi tersenyum dan
kembali menegakkan tubuhnya. Matanya menatap keluar jendela untuk melihat
sumber suara, siapa tahu dia bisa segera memecat staf pengganggu itu. Dan tiba-
tiba matanya melotot ketika melihat sosok pengganggunya.
“Kenapa?”
Maya penasaran dengan
ekspresi suaminya dan melihat ke arah sumber pandangan Masumi.
“Lho?!”
Maya dan Masumi saling
berpandangan tidak mengerti.
***
“Kenapa menjemputku
disini?” Tanya Mizuki saat Hijiri melepaskan bibirnya.
“Aku khawatir, kau tidak
membalas pesanku juga tidak menjawab teleponku. Jadi aku pikir lebih baik aku
menjemputmu disini,” terang Hijiri, tangannya melingkar di pinggul kekasihnya,
membuat keduanya tidak berjarak.
Wajah Mizuki menegang.
“Ada apa?” Tanya Hijiri.
Menggeleng lemah, “Tidak,
hanya…hhmmm, ada sesuatu yang aku pikikan.”
“Dan itu adalah?”
Mizuki menggeleng lagi,
“Sebaiknya kita segera pergi sebelum ada orang melihat kita. Aku akan
mengatakannya nanti,”
Hijiri merasa ada sesuatu
yang salah dengan kekasihnya tapi Mizuki benar, mereka berada di tempat dan
waktu yang tidak tepat. Melepaskan dekapannya, Hijiri dan Mizuki masuk kedalam
mobil.
Masumi dan Maya masih
terbengong saat mobil Mizuki pergi. Keduanya masih bingung dengan apa yang baru
saja dilihatnya.
“Sayang, batalkan makan malam kita. Ikuti
mobil Nona Mizuki,” kata Maya setelah kesadarannya kembali utuh.
“Apa?!” Pekik Masumi
terkejut.
“Ikuti saja mobilnya atau
aku akan minta cerai karena kau tidak mau menuruti keinginanku!” teriak Maya.
“Hah?!”
****
Mizuki dan Hijiri masuk ke
cafe dan duduk disudut ruangan seperti biasa. Seorang waitress menyapa mereka
dengan ramah.
Sementara itu ditempat parkir terjadi pertengkaran didalam mobil BMW.
"Ayo kita ikuti mereka," rengek Maya lagi.
"Maya, kau lihat cafe itu sepi. Mereka akan tahu kalau kita langsung masuk," kata Masumi.
Dia dan Maya mengamati cafe dari dalam mobil.
"Lalu bagaimana sekarang?" Maya kesal.
"Kita tidak boleh ikut campur urusan mereka Maya. Jelas mereka sepasang kekasih. Apa itu tidak cukup buatmu?" Kata Masumi sama kesalnya.
"Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Sejauh apa hubungan mereka," jelas Maya.
"Itu tidak sopan Maya," tegur Masumi.
"Aku mau tahu! Aku mau tahu!" Teriak Maya.
"Ya ampun Maya," Masumi menggeleng kesal karena sifat keras kepala istrinya.
Tiba-tiba Masumi melihat seorang waitress keluar dari cafe dan berjalan ke arah tempat parkir. Dia membuka pintu sebuah mobil yang Masumi kenali mobil itu milik Hijiri. Dia pasti sudah memarkirkan mobilnya lebih dulu disini sebelum pergi ke Daito menjemput Mizuki. Waitress itu keluar dari mobil dengan membawa sebuah buket bunga anggrek putih. Terlintas ide dibenak Masumi. Dia membuka dashboard dan mengambil sebuah kotak kecil, membukanya, Masumi mengambil benda mirip kancing baju berwarna hitam.
"Kau tunggu dulu disini," kata Masumi yang dengan cepat turun dari mobil dan berlari menghampiri waitress.
Tak lama Masumi kembali dengan senyum lebar diwajahnya. Misinya berhasil.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Maya bingung, "Apa kau menggoda waitress itu?" Maya cemberut.
Masumi mendesah panjang, "Berhentilah berpikir konyol sayang. Kau bilang ingin mendengar pembicaraan mereka kan? Nah sekarang kita dengarkan."
Masumi mengambil kembali kotak kecilnya dan mulai mengaktifkan gadget canggihnya. Sekarang Maya duduk diam ditempatnya, menunggu dengan penasaran.
"Kau mau makan?" Tanya Hijiri.
Mizuki menggeleng.
"Oke," Hijiri mengendikkan bahunya.
"Dua coffelatte?" Tanya waitress yang sudah hapal benar minuman favorit dua sejoli yang selama dua tahun sudah menjadi pelanggan tetap mereka.
Hijiri mengangguk sembari melempar senyumnya.
"Hei, ada apa?" Hijiri meraih tangan Mizuki dan mengusapnya lembut.
"Aku...," Mizuki mengatupkan kembali bibirnya. Apa yang hendak dikatakannya tercekat ditenggorokannya.
Seorang waitress datang dengan membawa buket bunga anggrek putih. Mizuki memaksakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya.
"Terima kasih kau ingat bunga kesukaanku," kata Mizuki seraya menatap buket bunga yang sekarang tergeletak dimeja.
"Kau tidak sedang bercanda kan?" Tanya Hijiri kemudian.
"Bercanda? Apa maksudmu?" Mizuki bingung.
"Hari ini tepat dua tahun hubungan kita. Kau lupa?" Hijiri cukup terkejut kekasihnya yang notabene seorang sekretaris hebat bisa melupakan tanggal penting dalam hubungan mereka.
Mizuki terhenyak, ya dia lupa. Pikirannya penuh dengan hal lain sekarang. Hijiri gelisah saat melihat Mizuki muram.
"Saeko, katakan padaku ada apa?" Kata Hijiri.
Mizuki melirik pada waitress yang datang membawa dua cangkir coffelatte tapi Hijiri mengabaikannya. Hanya Mizuki yang jadi pusat perhatiannya sekarang, hatinya merasa tidak tenang.
"Sayang, tolong katakan padaku. Aku tahu pasti ada sesuatu, sayangnya aku tidak bisa membaca pikiranmu kalau kau tidak mengatakannya," desak Hijiri, tangannya menggenggam erat tangan Mizuki.
Dari balik kacamata Mizuki menatap sendu. Menghela napas panjang, Mizuki mengumpulkan keberaniannya.
"Karato, aku rasa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini,"
Hijiri tercengang, serasa dunia berhenti berputar sekarang.
"A, apa maksudmu Saeko?" Tanya Hijiri terbata. Genggamannya semakin erat, takut kekasihnya akan berlalu pergi.
"Kau tahu jelas apa maksudku," jawab Mizuki lirih, suaranya sedikit serak. Mungkin karena dia menahan isaknya.
"Tapi kenapa? Katakan padaku kenapa? Apa salahku?" Suara Hijiri juga bergetar, terkejut, panik, takut. Seumur hidupnya baru kali ini dia merasakan ketakutan. Bahkan saat dia berhadapan dengan yakuza sekalipun dia tidak pernah gemetar.
"Bukan salahmu. Aku, akulah masalahnya. Aku tidak akan sanggup menjalani semua ini Karato," jelas Mizuki.
"Apa maksudmu sayang?Ttolong jelaskan! Apa yang kau inginkan? Ku mohon, beri aku kesempatan memperbaiki semuanya," pinta Hijiri.
Mizuki menggeleng, "Ku rasa kau tidak akan bisa. Statusmu, pekerjaanmu, membuatmu jauh dariku. Aku ingin hidup layaknya pasangan normal lainnya. Pergi jalan-jalan, ke bioskop, makan malam diluar, menghabiskan hari bersama. Dan bersamamu...maaf...aku tidak akan sanggup menghadapi ketakutan setiap hari. Berpikir apa yang sedang kau kerjakan, bagaimana keadaanmu, apa kau dalam bahaya...," Mizuki menggeleng lemah, "Aku tidak akan sanggup menanggung semua ketakutan itu setiap hari, lagipula....,"
Mizuki mengangkat wajahnya dan menatap Hijiri yang membeku di sebelahnya.
Tidak Tuan, saya tidak memiliki kekasih.
Kata-kata Hijiri kembali menggema dipikirannya.
"Kau tidak akan sanggup memilih antara aku dan pengabdianmu pada keluarga Hayami,"
Dunia Hijiri runtuh seketika. Mizuki benar, dia tidak akan sanggup untuk memilih. Keduanya sama pentingnya, sama berharganya.
Hijiri dan Mizuki terdiam, membeku. Hijiri sudah melepaskan tangan Mizuki. Sekarang tangan mereka terkait masing-masing di atas meja.
"Apa aku benar-benar tidak memiliki kesempatan lagi?" Tanya Hijiri setengah berbisik.
Mizuki menggeleng, "Kecuali kau bisa memilih Karato," jawabnya lemah.
Hijiri memejamkan matanya erat, menahan kesakitan di setiap sel tubuhnya. Tangannya mengepal kuat.
"Maaf," gumam Hijiri saat matanya kembali terbuka.
Mizuki menghela napas panjang. Keduanya saling memandang sekarang. Mengulurkan tangannya, Hijiri mengusap lembut wajah Mizuki.
"Aku mencintaimu Saeko," katanya.
Mizuki tersenyum tipis, menyandarkan wajahnya pada sentuhan lembut kekasihnya, "Aku juga mencintaimu Karato. Terima kasih untuk segalanya,"
Hijiri mencondongkan tubuhnya, sebuah ciuman hangat mengakhiri segalanya. Akhirnya air mata Mizuki jatuh, berdesakan keluar.
"Maafkan aku," gumam Hijiri dibibir Mizuki.
Mizuki mengangguk pelan, keduanya berpelukan erat. Mereka lebih tenang saat pelukannya terlepas.
"Ku rasa sudah waktunya aku pergi," gumam Mizuki seraya menghapus air matanya.
"Mau kuantar?" Tanya Hijiri.
Mizuki menggeleng.
"Hati-hati," ucap Hijiri.
"Boleh kubawa bunganya?" Tanya Mizuki.
"Tentu," Hijiri tersenyum tipis.
Mizuki meraih tasnya dan menyandangnya di bahu. Hijiri meraih tangan Mizuki sekali lagi, mengecup punggung tangannya.
"Kau adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku Saeko. Pertama dan terakhir," ucapnya.
Mizuki tersenyum, mendaratkan kecupan singkat di bibir kekasihnya, mantan kekasih tepatnya, "Pertama dan terakhir," bisiknya.
Dan segalanya berakhir. Mizuki pergi membawa buket bunganya. Beberapa waitres memandang sendu pada keduanya, mereka jelas paham akan apa yang terjadi.
"Tuan, maaf," gumam seorang waitress seraya meletakkan nampak berisi cake coklat dengan lilin angka dua dan dua gelas sampagne.
Hijiri mengangguk dan waitress itu meninggalkannya. Dia menatap sendu pada salah satu gelas sampagne. Meraihnya, Hijiri menuang isinya ke gelas yang lain.
Kling! Sebuah cincin berdenting di dasar gelas. Hijiri mengambilnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak di saku jaketnya.
Segalanya sudah berakhir, lirihnya dengan penuh kepahitan.
Kesedihan itu tidak hanya terjadi di dalam cafe. Maya meringkuk di pangkuan Masumi dan terisak didadanya. Keduanya menatap sedih kepergian Mizuki dan Hijiri dari dalam mobil mereka.
***
Sementara itu ditempat parkir terjadi pertengkaran didalam mobil BMW.
"Ayo kita ikuti mereka," rengek Maya lagi.
"Maya, kau lihat cafe itu sepi. Mereka akan tahu kalau kita langsung masuk," kata Masumi.
Dia dan Maya mengamati cafe dari dalam mobil.
"Lalu bagaimana sekarang?" Maya kesal.
"Kita tidak boleh ikut campur urusan mereka Maya. Jelas mereka sepasang kekasih. Apa itu tidak cukup buatmu?" Kata Masumi sama kesalnya.
"Aku ingin tahu apa yang mereka bicarakan. Sejauh apa hubungan mereka," jelas Maya.
"Itu tidak sopan Maya," tegur Masumi.
"Aku mau tahu! Aku mau tahu!" Teriak Maya.
"Ya ampun Maya," Masumi menggeleng kesal karena sifat keras kepala istrinya.
Tiba-tiba Masumi melihat seorang waitress keluar dari cafe dan berjalan ke arah tempat parkir. Dia membuka pintu sebuah mobil yang Masumi kenali mobil itu milik Hijiri. Dia pasti sudah memarkirkan mobilnya lebih dulu disini sebelum pergi ke Daito menjemput Mizuki. Waitress itu keluar dari mobil dengan membawa sebuah buket bunga anggrek putih. Terlintas ide dibenak Masumi. Dia membuka dashboard dan mengambil sebuah kotak kecil, membukanya, Masumi mengambil benda mirip kancing baju berwarna hitam.
"Kau tunggu dulu disini," kata Masumi yang dengan cepat turun dari mobil dan berlari menghampiri waitress.
Tak lama Masumi kembali dengan senyum lebar diwajahnya. Misinya berhasil.
"Apa yang kau lakukan?" Tanya Maya bingung, "Apa kau menggoda waitress itu?" Maya cemberut.
Masumi mendesah panjang, "Berhentilah berpikir konyol sayang. Kau bilang ingin mendengar pembicaraan mereka kan? Nah sekarang kita dengarkan."
Masumi mengambil kembali kotak kecilnya dan mulai mengaktifkan gadget canggihnya. Sekarang Maya duduk diam ditempatnya, menunggu dengan penasaran.
"Kau mau makan?" Tanya Hijiri.
Mizuki menggeleng.
"Oke," Hijiri mengendikkan bahunya.
"Dua coffelatte?" Tanya waitress yang sudah hapal benar minuman favorit dua sejoli yang selama dua tahun sudah menjadi pelanggan tetap mereka.
Hijiri mengangguk sembari melempar senyumnya.
"Hei, ada apa?" Hijiri meraih tangan Mizuki dan mengusapnya lembut.
"Aku...," Mizuki mengatupkan kembali bibirnya. Apa yang hendak dikatakannya tercekat ditenggorokannya.
Seorang waitress datang dengan membawa buket bunga anggrek putih. Mizuki memaksakan diri untuk tersenyum dan mengucapkan terima kasih padanya.
"Terima kasih kau ingat bunga kesukaanku," kata Mizuki seraya menatap buket bunga yang sekarang tergeletak dimeja.
"Kau tidak sedang bercanda kan?" Tanya Hijiri kemudian.
"Bercanda? Apa maksudmu?" Mizuki bingung.
"Hari ini tepat dua tahun hubungan kita. Kau lupa?" Hijiri cukup terkejut kekasihnya yang notabene seorang sekretaris hebat bisa melupakan tanggal penting dalam hubungan mereka.
Mizuki terhenyak, ya dia lupa. Pikirannya penuh dengan hal lain sekarang. Hijiri gelisah saat melihat Mizuki muram.
"Saeko, katakan padaku ada apa?" Kata Hijiri.
Mizuki melirik pada waitress yang datang membawa dua cangkir coffelatte tapi Hijiri mengabaikannya. Hanya Mizuki yang jadi pusat perhatiannya sekarang, hatinya merasa tidak tenang.
"Sayang, tolong katakan padaku. Aku tahu pasti ada sesuatu, sayangnya aku tidak bisa membaca pikiranmu kalau kau tidak mengatakannya," desak Hijiri, tangannya menggenggam erat tangan Mizuki.
Dari balik kacamata Mizuki menatap sendu. Menghela napas panjang, Mizuki mengumpulkan keberaniannya.
"Karato, aku rasa kita tidak bisa melanjutkan hubungan ini,"
Hijiri tercengang, serasa dunia berhenti berputar sekarang.
"A, apa maksudmu Saeko?" Tanya Hijiri terbata. Genggamannya semakin erat, takut kekasihnya akan berlalu pergi.
"Kau tahu jelas apa maksudku," jawab Mizuki lirih, suaranya sedikit serak. Mungkin karena dia menahan isaknya.
"Tapi kenapa? Katakan padaku kenapa? Apa salahku?" Suara Hijiri juga bergetar, terkejut, panik, takut. Seumur hidupnya baru kali ini dia merasakan ketakutan. Bahkan saat dia berhadapan dengan yakuza sekalipun dia tidak pernah gemetar.
"Bukan salahmu. Aku, akulah masalahnya. Aku tidak akan sanggup menjalani semua ini Karato," jelas Mizuki.
"Apa maksudmu sayang?Ttolong jelaskan! Apa yang kau inginkan? Ku mohon, beri aku kesempatan memperbaiki semuanya," pinta Hijiri.
Mizuki menggeleng, "Ku rasa kau tidak akan bisa. Statusmu, pekerjaanmu, membuatmu jauh dariku. Aku ingin hidup layaknya pasangan normal lainnya. Pergi jalan-jalan, ke bioskop, makan malam diluar, menghabiskan hari bersama. Dan bersamamu...maaf...aku tidak akan sanggup menghadapi ketakutan setiap hari. Berpikir apa yang sedang kau kerjakan, bagaimana keadaanmu, apa kau dalam bahaya...," Mizuki menggeleng lemah, "Aku tidak akan sanggup menanggung semua ketakutan itu setiap hari, lagipula....,"
Mizuki mengangkat wajahnya dan menatap Hijiri yang membeku di sebelahnya.
Tidak Tuan, saya tidak memiliki kekasih.
Kata-kata Hijiri kembali menggema dipikirannya.
"Kau tidak akan sanggup memilih antara aku dan pengabdianmu pada keluarga Hayami,"
Dunia Hijiri runtuh seketika. Mizuki benar, dia tidak akan sanggup untuk memilih. Keduanya sama pentingnya, sama berharganya.
Hijiri dan Mizuki terdiam, membeku. Hijiri sudah melepaskan tangan Mizuki. Sekarang tangan mereka terkait masing-masing di atas meja.
"Apa aku benar-benar tidak memiliki kesempatan lagi?" Tanya Hijiri setengah berbisik.
Mizuki menggeleng, "Kecuali kau bisa memilih Karato," jawabnya lemah.
Hijiri memejamkan matanya erat, menahan kesakitan di setiap sel tubuhnya. Tangannya mengepal kuat.
"Maaf," gumam Hijiri saat matanya kembali terbuka.
Mizuki menghela napas panjang. Keduanya saling memandang sekarang. Mengulurkan tangannya, Hijiri mengusap lembut wajah Mizuki.
"Aku mencintaimu Saeko," katanya.
Mizuki tersenyum tipis, menyandarkan wajahnya pada sentuhan lembut kekasihnya, "Aku juga mencintaimu Karato. Terima kasih untuk segalanya,"
Hijiri mencondongkan tubuhnya, sebuah ciuman hangat mengakhiri segalanya. Akhirnya air mata Mizuki jatuh, berdesakan keluar.
"Maafkan aku," gumam Hijiri dibibir Mizuki.
Mizuki mengangguk pelan, keduanya berpelukan erat. Mereka lebih tenang saat pelukannya terlepas.
"Ku rasa sudah waktunya aku pergi," gumam Mizuki seraya menghapus air matanya.
"Mau kuantar?" Tanya Hijiri.
Mizuki menggeleng.
"Hati-hati," ucap Hijiri.
"Boleh kubawa bunganya?" Tanya Mizuki.
"Tentu," Hijiri tersenyum tipis.
Mizuki meraih tasnya dan menyandangnya di bahu. Hijiri meraih tangan Mizuki sekali lagi, mengecup punggung tangannya.
"Kau adalah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku Saeko. Pertama dan terakhir," ucapnya.
Mizuki tersenyum, mendaratkan kecupan singkat di bibir kekasihnya, mantan kekasih tepatnya, "Pertama dan terakhir," bisiknya.
Dan segalanya berakhir. Mizuki pergi membawa buket bunganya. Beberapa waitres memandang sendu pada keduanya, mereka jelas paham akan apa yang terjadi.
"Tuan, maaf," gumam seorang waitress seraya meletakkan nampak berisi cake coklat dengan lilin angka dua dan dua gelas sampagne.
Hijiri mengangguk dan waitress itu meninggalkannya. Dia menatap sendu pada salah satu gelas sampagne. Meraihnya, Hijiri menuang isinya ke gelas yang lain.
Kling! Sebuah cincin berdenting di dasar gelas. Hijiri mengambilnya dan meletakkannya kembali ke dalam kotak di saku jaketnya.
Segalanya sudah berakhir, lirihnya dengan penuh kepahitan.
Kesedihan itu tidak hanya terjadi di dalam cafe. Maya meringkuk di pangkuan Masumi dan terisak didadanya. Keduanya menatap sedih kepergian Mizuki dan Hijiri dari dalam mobil mereka.
***
Mizuki memoleskan concelar
lebih tebal di sekitar matanya. Dia menangis semalaman dan itu adalah tangisan
terlama yang pernah dihabiskan sepanjang hidupnya.
Selesai bersiap, Mizuki keluar dari kamarnya. Sejenak tertegun, matanya menatap sendu pada buket bunga di meja ruang tamunya. Hatinya masih sakit, sangat sakit. Dia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Sekarang dia mengerti betapa tersiksanya Masumi dan Maya dulu. Menghela napas panjang, Mizuki berusaha menenangkan dirinya. Dia harus kuat menghadapi semuanya. Bagaimanapun inilah kenyataan hidupnya, jalan yang sudah dipilihnya. Memantapkan langkahnya, Mizuki berjalan keluar apartement.
Seorang pria menatap nanar dari kejauhan. Kerinduan membuncah di dalam dadanya saat melihat seorang wanita masuk ke dalam mobil. Kekasihnya, yang kemarin masih dalam pelukannya sekarang begitu jauh dari jangkauannya. Meneguk bir dingin di tangannya, Hijiri menghela napas panjang. Dunianya hancur sekarang. Terpecah berkeping-keping di bawah kakinya. Kekasihnya telah pergi.
Mobil Mizuki melaju meninggalkan parkir basement dan Hijiri segera mengikutinya. Tujuan mereka sama, gedung Daito.
***
"Selamat pagi Tuan Masumi," seperti biasa Mizuki sudah berada di balik mejanya saat Masumi datang.
"Kau...," Masumi terkejut melihat sekretarisnya bisa tersenyum seramah itu setelah apa yang terjadi semalam. Bahkan Maya masih menangis pagi ini gara-gara mendengar kembali rekaman percakapan Hijiri dan Mizuki.
Sebenarnya siapa yang sedang patah hati? Sekretarisku atau istriku? Batin Masumi mengomel jadinya.
"Ada yang salah Tuan?" Mizuki bingung dengan cara Masumi menatapnya.
"Tidak," jawab Masumi singkat sambil lalu.
Mizuki kembali duduk di mejanya dan mulai bekerja. Ya, bekerja dan membuat otaknya sibuk adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya. Setidaknya untuk sementara dia bisa berhenti memikirkan Hijiri.
Namun ternyata hal itu tidak semudah bayangannya. Semakin dia ingin menyingkirkan Hijiri dari dalam kepalanya justru semua memori tentang kebersamaan mereka bermunculan seperti slide yang diputar berulang-ulang.
Karato, kau menyiksaku, gumam Mizuki frustasi. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tidak keluar. Ternyata menangis itu sangat melelahkan.
Interkom berbunyi dan Mizuki segera menenangkan dirinya.
"Ya Tuan Masumi," jawabnya dengan suara yang di atur setenang mungkin.
"Bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani. Aku harus pergi setelah makan siang," perintah Masumi.
"Baik Tuan," dengan lincah dan cekatan Mizuki segera menyiapkan semuanya.
"Ada lagi?" Tanya Masumi setelah dia menorehkan tanda tangan terakhirnya.
"Tidak Tuan," jawab Mizuki singkat.
"Baiklah, sepertinya aku harus segera pergi sekarang,"
Masumi menutup laptopnya, sudah lewat jam makan siang.
"Maaf Tuan, kalau boleh saya tahu, apa rencana anda hari ini?" Tanya Mizuki sopan, memastikan bosnya akan mudah dicari kalau saja ada sesuatu yang penting.
"Hhmm, aku akan menjemput Maya di lokasi syuting dan kami memiliki beberapa rencana sore ini, mungkin sampai malam," jelas Masumi. "Tenang, kau bisa menghubungiku kapan saja. Aku hanya menemani Maya. Kau tahu kan menolak keinginannya berarti bencana besar dalam hidupku," Masumi tersenyum geli di akhir kalimatnya. Ya istri mungilnya yang keras kepala itu memang kadang membuatnya kewalahan.
"Senang melihat anda akhirnya bahagia bersama Nyonya Maya," puji Mizuki tulus. Kali ini dia merasakan sakitnya terpisahkan jelas dia bisa membayangkan bagaimana bahagianya Masumi saat ini.
"Terima kasih Mizuki," Masumi membalas senyum sekretarisnya, "Baiklah, aku harus pergi sekarang atau Maya akan mengamuk kalau aku sampai terlambat,"
Mizuki terkikik pelan, lalu membungkuk hormat saat Masumi beranjak dari kursinya.
"Selamat jalan Tuan Masumi,"
Masumi berhenti di depan pintu lalu berbalik. Kembali menatap sekretarisnya yang masih berdiri disebelah meja kerjanya.
"Aku juga mau kau bahagia sepertiku dan Maya, Mizuki. Kami berhutang itu padamu," ucap Masumi dan sedetik kemudian dia sudah pergi.
Mizuki mematung di tempatnya, gagal mengerti maksud ucapan Masumi padanya.
***
"Bagaimana sudah siap?" Tanya Maya saat Masumi menjemputnya di lokasi syuting.
"Iya, sudah. Semuanya sudah di atur. Tenang saja. Tapi sebelumnya kau harus berjanji satu hal padaku," kata Masumi.
"Apa?" Tanya Maya.
"Berjanjilah untuk tidak menangis kali ini. Kau bahkan terlihat lebih sakit hati dibanding dengan Hijiri dan Mizuki." Protes Masumi.
Maya cemberut, "Iya, iya,"
Selesai bersiap, Mizuki keluar dari kamarnya. Sejenak tertegun, matanya menatap sendu pada buket bunga di meja ruang tamunya. Hatinya masih sakit, sangat sakit. Dia tidak menyangka rasanya akan sesakit ini. Sekarang dia mengerti betapa tersiksanya Masumi dan Maya dulu. Menghela napas panjang, Mizuki berusaha menenangkan dirinya. Dia harus kuat menghadapi semuanya. Bagaimanapun inilah kenyataan hidupnya, jalan yang sudah dipilihnya. Memantapkan langkahnya, Mizuki berjalan keluar apartement.
Seorang pria menatap nanar dari kejauhan. Kerinduan membuncah di dalam dadanya saat melihat seorang wanita masuk ke dalam mobil. Kekasihnya, yang kemarin masih dalam pelukannya sekarang begitu jauh dari jangkauannya. Meneguk bir dingin di tangannya, Hijiri menghela napas panjang. Dunianya hancur sekarang. Terpecah berkeping-keping di bawah kakinya. Kekasihnya telah pergi.
Mobil Mizuki melaju meninggalkan parkir basement dan Hijiri segera mengikutinya. Tujuan mereka sama, gedung Daito.
***
"Selamat pagi Tuan Masumi," seperti biasa Mizuki sudah berada di balik mejanya saat Masumi datang.
"Kau...," Masumi terkejut melihat sekretarisnya bisa tersenyum seramah itu setelah apa yang terjadi semalam. Bahkan Maya masih menangis pagi ini gara-gara mendengar kembali rekaman percakapan Hijiri dan Mizuki.
Sebenarnya siapa yang sedang patah hati? Sekretarisku atau istriku? Batin Masumi mengomel jadinya.
"Ada yang salah Tuan?" Mizuki bingung dengan cara Masumi menatapnya.
"Tidak," jawab Masumi singkat sambil lalu.
Mizuki kembali duduk di mejanya dan mulai bekerja. Ya, bekerja dan membuat otaknya sibuk adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya. Setidaknya untuk sementara dia bisa berhenti memikirkan Hijiri.
Namun ternyata hal itu tidak semudah bayangannya. Semakin dia ingin menyingkirkan Hijiri dari dalam kepalanya justru semua memori tentang kebersamaan mereka bermunculan seperti slide yang diputar berulang-ulang.
Karato, kau menyiksaku, gumam Mizuki frustasi. Sekuat tenaga dia menahan agar air matanya tidak keluar. Ternyata menangis itu sangat melelahkan.
Interkom berbunyi dan Mizuki segera menenangkan dirinya.
"Ya Tuan Masumi," jawabnya dengan suara yang di atur setenang mungkin.
"Bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani. Aku harus pergi setelah makan siang," perintah Masumi.
"Baik Tuan," dengan lincah dan cekatan Mizuki segera menyiapkan semuanya.
"Ada lagi?" Tanya Masumi setelah dia menorehkan tanda tangan terakhirnya.
"Tidak Tuan," jawab Mizuki singkat.
"Baiklah, sepertinya aku harus segera pergi sekarang,"
Masumi menutup laptopnya, sudah lewat jam makan siang.
"Maaf Tuan, kalau boleh saya tahu, apa rencana anda hari ini?" Tanya Mizuki sopan, memastikan bosnya akan mudah dicari kalau saja ada sesuatu yang penting.
"Hhmm, aku akan menjemput Maya di lokasi syuting dan kami memiliki beberapa rencana sore ini, mungkin sampai malam," jelas Masumi. "Tenang, kau bisa menghubungiku kapan saja. Aku hanya menemani Maya. Kau tahu kan menolak keinginannya berarti bencana besar dalam hidupku," Masumi tersenyum geli di akhir kalimatnya. Ya istri mungilnya yang keras kepala itu memang kadang membuatnya kewalahan.
"Senang melihat anda akhirnya bahagia bersama Nyonya Maya," puji Mizuki tulus. Kali ini dia merasakan sakitnya terpisahkan jelas dia bisa membayangkan bagaimana bahagianya Masumi saat ini.
"Terima kasih Mizuki," Masumi membalas senyum sekretarisnya, "Baiklah, aku harus pergi sekarang atau Maya akan mengamuk kalau aku sampai terlambat,"
Mizuki terkikik pelan, lalu membungkuk hormat saat Masumi beranjak dari kursinya.
"Selamat jalan Tuan Masumi,"
Masumi berhenti di depan pintu lalu berbalik. Kembali menatap sekretarisnya yang masih berdiri disebelah meja kerjanya.
"Aku juga mau kau bahagia sepertiku dan Maya, Mizuki. Kami berhutang itu padamu," ucap Masumi dan sedetik kemudian dia sudah pergi.
Mizuki mematung di tempatnya, gagal mengerti maksud ucapan Masumi padanya.
***
"Bagaimana sudah siap?" Tanya Maya saat Masumi menjemputnya di lokasi syuting.
"Iya, sudah. Semuanya sudah di atur. Tenang saja. Tapi sebelumnya kau harus berjanji satu hal padaku," kata Masumi.
"Apa?" Tanya Maya.
"Berjanjilah untuk tidak menangis kali ini. Kau bahkan terlihat lebih sakit hati dibanding dengan Hijiri dan Mizuki." Protes Masumi.
Maya cemberut, "Iya, iya,"
Sesaat kemudian Maya
termenung.
“Ada apa?” Tanya Masumi.
“Apa kau pikir cara kita
akan berhasil?” Maya balik bertanya.
“Setidaknya kita sudah
berusaha sayang, keputusan ada di tangan mereka,” jawab Masumi.
Maya mengangguk.
“Bisa kita berangkat
sekarang? Aku sudah menghubungi pihak restoran tadi,”
“Iya,” Maya tersenyum
senang, penuh semangat.
"Bagus, ayo," Merangkul bahu istrinya, Masumi dan Maya meninggalkan lokasi
syuting.
***
***
Hijiri termenung menatap
langit cerah musim panas. Ironisnya, saat ini hatinya tidak secerah langit,
badai sedang bergemuruh di dalam dadanya.
Saeko, maafkan aku...bisiknya pilu.
Berbaring di padang rumput di tepi sungai, Hijiri meratapi ketidak berdayaannya. Tangannya terangkat dengan memegang cincin diantara telunjuk dan ibu jarinya.
Batu permata yang terikat ditengah cincin berkilau terkena sinar matahari. Seharusnya semalam dia bisa menjadikan Mizuki miliknya dengan memberikan cincin itu. Hijiri sudah menyiapkan lamarannya. Namun apa mau dikata, Mizuki sudah lebih dulu meninggalkannya. Ya Hijiri sadar sepenuhnya bahwa itu adalah salahnya. Dia tidak sanggup memilih, cintanya dan pengabdiannya.
Ughh! Hijiri menggenggam erat cincinnya.
Andai aku bisa mengubah semuanya. Saeko aku tidak dapat hidup tanpamu...
Biasanya, otaknya akan lancar menyusun berbagai rencana hebat untuk menyelesaikan semua tugasnya tapi kali ini otaknya buntu. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hijiri tersentak, handphonenya bergetar. Melihat nama yang muncul di layar dia segera bangun.
"Tuan," sapanya sopan.
"Hijiri! Temui aku di rumah sakit Tokyo sekarang!" suara Masumi panik, tidak tenang seperti biasanya.
Hijiri langsung melompat dan bergegas menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya duduk, "Apa yang terjadi Tuan?" Hijiri bertanya.
"Maya! Maya sakit! Aku tidak bisa menjelaskannya di telepon! Cepat temui aku!" perintahnya.
"Baik,"
Mematikan teleponnya Hijiri segera melaju ke rumah sakit Tokyo.
Masumi menunggu dengan gelisah di depan emergency room. Setengah berlari Hijiri menghampiri bosnya.
"Tuan," Hijiri mengangguk hormat, "Apa yang terjadi dengan Nyonya?" kecemasan juga tersemat dalam nada suaranya. Mengamati Masumi, dia tahu sesuatu pasti sudah terjadi, samar terlihat luka memar di kening bosnya.
"Ada yang menabrak mobil kami," jawab Masumi geram.
Hijiri terkesiap, amarahnya bergejolak saat menyadari apa yang terjadi.
"Maaf Tuan," Hijiri membungkuk dalam, penyesalan tersirat di wajahnya.
"Tidak Hijiri, bukan salahmu." Jawab Masumi, sekarang suaranya bergetar.
Suara hak tinggi menggema di lorong, membuat perhatian keduanya teralihkan. Hijiri kembali terhenyak, jantungnya berpacu dan dadanya bergemuruh meski wajahnya setenang langit malam. Mizuki datang dengan ekspresi wajah yang sama cemasnya. Sejenak melirik pada Hijiri tapi dengan cepat fokus Mizuki beralih pada Masumi.
"Apa yang terjadi Tuan Masumi?" tanya Mizuki.
"Ada yang menabrak mobil kami," kata Masumi lagi.
"Anda tidak apa-apa?" Mizuki khawatir melihat penampilan bosnya yang cukup kacau.
Masumi menggeleng kasar, menyapukan jari di rambutnya yang berantakan, ekspresinya gelap, jelas dia sedang berusaha meredam amarah, "Aku baik-baik saja tapi Maya...,"
"Sial!!" Masumi mendesis kasar, "Kalau sampai terjadi sesuatu padanya," Masumi kembali menggeleng kasar.
Mizuki menggigit bibir bawahnya, menahan kecemasan sekaligus gejolak emosinya karena Hijiri menatapnya intens tanpa ekspresi.
Masumi tersadar sesuatu dan sesaat menatap pada dua staf kepercayaannya itu.
Tahu Masumi mengamatinya, Hijiri berhenti menatap Mizuki dan beralih pada Masumi.
"Saya akan temukan pelakunya Tuan," kata Hijiri kemudian setengah berbisik.
Masumi terdiam, melihat reaksi Mizuki. Sekretarisnya itu membeku.
"Bukankah kemarin kau bilang ingin pergi berlibur? Kau yakin?" Tanya Masumi.
Hijiri melirik Mizuki, sejenak mata mereka bertemu.
"Tidak Tuan, saya tidak jadi pergi," jawab Hijiri seraya mengangguk hormat.
Pergi berlibur? Mungkinkah?
Hati Mizuki tiba-tiba bergetar. Teringat percakapannya di telepon beberapa hari yang lalu dengan Hijiri tentang rencana liburan musim panas mereka.
Ketiganya terdiam, Masumi juga sulit memutuskan. Bukankah tugas yang diberikannya pada Hijiri adalah penghalang cinta Mizuki? Batin Masumi mengutuk siapapun pelakunya sehingga menyebabkan dirinya berada dalam keadaan rumit seperti ini.
Pintu emergency room terbuka, seorang dokter dengan pakaian steril biru keluar.
"Nyonya Hayami," panggilnya.
"Saya suaminya dokter," Masumi menjawab cepat. "Bagaimana keadaan istri saya?"
Kecemasan tidak hanya milik Masumi. Hijiri dan Mizuki juga merasakan hal yang sama.
"Keadaan Nyonya Hayami sudah stabil. Nyonya mendapat tiga jahitan di pelipis kanannya dan mengalami gegar otak ringan. Selebihnya kondisi vitalnya baik. Sekarang Nyonya masih tidur karena kami memberinya obat penenang. Kami akan segera memindahkannya ke kamar rawat," jelas dokter.
Desahan napas panjang menjelaskan kelegaan yang juga tersirat di wajah ketiganya.
"Terima kasih dokter," ucap Masumi.
"Sudah tugas kami Tuan Hayami, permisi," dokter itu mengangguk hormat sebelum kembali masuk ke emergency room.
Tak lama pintu kembali terbuka. Maya terbaring di atas tempat tidur, kepalanya dibebat dengan kain kassa, wajahnya pucat dan mengenakan masker oksigen. Tanpa kata ketiganya mengikuti perawat yang membawa Maya ke kamar rawat.
Kamar VVIP yang mewah ternyata tidak juga memberikan kenyamanan bagi Masumi. Melihat istrinya terbaring tidak sadar membuat hatinya pilu. Perawat sedang melakukan tugasnya dan Masumi hanya bisa melihatnya dengan berdiri di ujung tempat tidur. Sementara Hijiri dan Mizuki berdiri menunggu tak jauh dari Masumi. Terdiam. Tidak menyapa bahkan tidak bertatapan.
Hijiri akhirnya memilih untuk keluar dan duduk di bangku panjang di depan kamar Maya.
Mizuki semakin tidak tenang bukan hanya karena kondisi Maya tapi juga karena apa yang baru saja didengarnya.
Rencana berlibur? Mungkinkah Karato memang serius dengan itu?
Mizuki masih mematung, tidak tahu harus apa. Dia melihat Masumi yang tampak fokus memperhatikan para perawat yang sedang mengganti selang infus istrinya.
Akhirnya sama seperti Hijiri, Mizuki memutuskan untuk keluar. Melihat Hijiri, Mizuki tersenyum pahit, mantan kekasihnya itu sedang termenung. Dia tidak tahu kenapa Hijiri begitu terlihat menyesali semuanya.
"Karato," sapa Mizuki lirih, "Boleh aku duduk?" Tanyanya ragu.
Kenapa aku harus minta ijin untuk duduk? Bodoh!
"Silakan," jawab Hijiri datar, dia sedikit bergeser saat Mizuki duduk disebelahnya, keduanya berjarak dua jengkal.
"Kau...baik-baik saja?" Tanya Mizuki ragu.
Hijiri menggeleng tanpa menatap Mizuki.
"Setelah apa yang terjadi semalam lalu hari ini? Tidak Sae...Mizuki, aku tidak baik," jawabnya lesu.
Oh? Aku Mizuki sekarang
"Hhmm, ya, aku mengerti," jawab Mizuki sama lesunya.
"Semua ini salahku Mizuki," kata Hijiri tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.
Mizuki terdiam, tidak mengerti. Bagian mana yang membuat Hijiri menyalahkan dirinya? Kejadian semalam? Atau kecelakaan Maya dan Masumi?
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tanya Mizuki kemudian, mencoba menerka isi kepala kekasih, ehem, mantan kekasihnya.
"Kemarin Tuan Masumi menerima surat ancaman. Seharusnya aku menyelidiki hal itu semalam. Tapi karena aku sudah minta ijin untuk pergi berlibur maka Tuan Masumi tidak mengijinkanku menyelidiki perihal surat ancaman itu dan memilih mengabaikannya."
Deg!!! Jantung Mizuki serasa berhenti.
Jadi semua ini ada hubungannya dengan.... Mizuki menatap wajah sendu Hijiri.... Mereka?
Ya, otak Mizuki langsung menarik kesimpulan.
"Maaf," gumam Mizuki lirih.
"Bukan salahmu," gumam Hijiri, sama lirihnya.
"Jadi...kau memang merencanakan liburan untuk...kita?" Mizuki akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Ku pikir aku sudah mengatakannya padamu," Hijiri masih tertunduk dan tidak menatap Mizuki.
"Waktu itu aku...," Mizuki terdiam, tidak sanggup mengatakan kebodohannya yang mengira bahwa Hijiri hanya bergurau.
"Kara...Hijiri, jangan menyalahkan dirimu sendiri," kata Mizuki kemudian, mencoba menenangkan Hijiri.
Hijiri menoleh pada Mizuki karena mantan kekasihnya itu juga mengganti panggilannya.
"Hijiri?" Hijiri menyeringai menyebut namanya sendiri.
Mizuki menghela napas, dia juga sama kacaunya. Tidak ada gunanya menenangkan orang lain.
"Kau juga memanggilku Mizuki," gerutunya lirih. Matanya melirik pada pintu kamar, memastikan percakapan mereka tidak terdengar orang lain.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Mizuki menatap mata sendu Hijiri lalu mengangguk.
"Apa kau benar-benar ingin aku memilih?" Tanya Hijiri.
Mizuki terdiam.
Memilih?
Mizuki menimbang dalam hatinya. Melihat apa yang baru saja terjadi pada Masumi dan Maya, mungkinkah dia bisa memaksa Hijiri untuk memilih? Sejak awal dia sendiri sudah tahu jawabannya.
Mizuki menggeleng.
"Aku sudah tahu kau tidak akan memilih," jawab Mizuki.
"Ku pikir kau tahu alasannya," kata Hijiri.
"Awalnya aku tidak mengerti tapi sekarang...ya aku tahu meski belum bisa mengerti sepenuhnya. Aku masih berpikir kau berhak meraih kebahagianmu sendiri,"
Hijiri menelan ludahnya tak kentara. Pahit. Haruskah dia menelan semua kepahitan ini. Ada nyawa yang dipertaruhkan dalam pilihannya. Menghela napas panjang, Hijiri menyerah.
"Aku sudah berjanji untuk mengabdikan hidupku pada keluarga Hayami dan aku tidak bisa mengingkarinya. Sudah tugasku untuk melindungi mereka," jelas Hijiri.
"Kau juga berjanji mencintaiku," protes Mizuki.
"Aku tidak mengingkarinya," jawab Hijiri.
"Tapi kau lebih mementingkan pekerjaanmu daripada aku?" Suara Mizuki sedikit meninggi sekarang.
"Kau jelas tahu apa yang dipertaruhkan. Lihat Nyonya sekarang? Kau pikir itu salah siapa?" Balas Hijiri.
Mizuki merasa Hijiri menyalahkannya kali ini. "Jadi kau pikir ini salahku?"
Kening Hijiri berkerut.
"Aku tidak bilang begitu, ini salahku!" tandasnya.
"Tapi kau mengambil liburan karena aku. Jadi secara tidak langsung kau juga menyalahkanku?" Bentak Mizuki.
Logika mereka ternyata berseberangan sekarang.
"Aku tidak menyalahkanmu Mizuki! Semua salahku!" Hijiri juga menaikkan nada suaranya. Emosi membuat keduanya lupa sedang berada di rumah sakit.
"Ya, semua memang salahmu! Kau yang tidak bisa memilih!" Bentak Mizuki lagi.
"Aku sudah memilih kemarin dan kau lihat!" Hijiri melambaikan tangannya ke pintu, "Kau lihat konsekuensi atas pilihanku?" Teriak Hijiri.
Mizuki tercengang.
Aku sudah memilihmu kemarin?
Kalimat itu berulang diotaknya.
Apa maksudnya? Bukankah kemarin dia juga menyangkal kalau memiliki kekasih? Tapi rencana liburan itu?
Mizuki menggeleng kasar. Mencoba meruntuhkan semua pikiran kacaunya.
"Maaf," kata Mizuki kemudian. "Aku tidak berniat membuatmu bingung. Karena itulah semalam....," Mizuki menelan ludahnya, "Aku rasa aku sudah membuat keputusan terbaik semalam." Lanjutnya dengan suara bergetar, sekuat tenaga menahan isakannya. Dia tidak mau menangis sekarang, setidaknya tidak di depan Hijiri.
"Mizuki....," lirih Hijiri.
"Maaf," gumam Mizuki lagi, diapun berdiri dan setengah berlari meninggalkan Hijiri yang membeku di tempatnya.
Saeko.... Batin Hijiri tersayat.
Sementara itu di balik pintu seseorang menghela napas panjang.
Kenapa cinta selalu saja membuat orang menjadi bodoh? Gerutunya.
***
Saeko, maafkan aku...bisiknya pilu.
Berbaring di padang rumput di tepi sungai, Hijiri meratapi ketidak berdayaannya. Tangannya terangkat dengan memegang cincin diantara telunjuk dan ibu jarinya.
Batu permata yang terikat ditengah cincin berkilau terkena sinar matahari. Seharusnya semalam dia bisa menjadikan Mizuki miliknya dengan memberikan cincin itu. Hijiri sudah menyiapkan lamarannya. Namun apa mau dikata, Mizuki sudah lebih dulu meninggalkannya. Ya Hijiri sadar sepenuhnya bahwa itu adalah salahnya. Dia tidak sanggup memilih, cintanya dan pengabdiannya.
Ughh! Hijiri menggenggam erat cincinnya.
Andai aku bisa mengubah semuanya. Saeko aku tidak dapat hidup tanpamu...
Biasanya, otaknya akan lancar menyusun berbagai rencana hebat untuk menyelesaikan semua tugasnya tapi kali ini otaknya buntu. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Hijiri tersentak, handphonenya bergetar. Melihat nama yang muncul di layar dia segera bangun.
"Tuan," sapanya sopan.
"Hijiri! Temui aku di rumah sakit Tokyo sekarang!" suara Masumi panik, tidak tenang seperti biasanya.
Hijiri langsung melompat dan bergegas menuju mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempatnya duduk, "Apa yang terjadi Tuan?" Hijiri bertanya.
"Maya! Maya sakit! Aku tidak bisa menjelaskannya di telepon! Cepat temui aku!" perintahnya.
"Baik,"
Mematikan teleponnya Hijiri segera melaju ke rumah sakit Tokyo.
Masumi menunggu dengan gelisah di depan emergency room. Setengah berlari Hijiri menghampiri bosnya.
"Tuan," Hijiri mengangguk hormat, "Apa yang terjadi dengan Nyonya?" kecemasan juga tersemat dalam nada suaranya. Mengamati Masumi, dia tahu sesuatu pasti sudah terjadi, samar terlihat luka memar di kening bosnya.
"Ada yang menabrak mobil kami," jawab Masumi geram.
Hijiri terkesiap, amarahnya bergejolak saat menyadari apa yang terjadi.
"Maaf Tuan," Hijiri membungkuk dalam, penyesalan tersirat di wajahnya.
"Tidak Hijiri, bukan salahmu." Jawab Masumi, sekarang suaranya bergetar.
Suara hak tinggi menggema di lorong, membuat perhatian keduanya teralihkan. Hijiri kembali terhenyak, jantungnya berpacu dan dadanya bergemuruh meski wajahnya setenang langit malam. Mizuki datang dengan ekspresi wajah yang sama cemasnya. Sejenak melirik pada Hijiri tapi dengan cepat fokus Mizuki beralih pada Masumi.
"Apa yang terjadi Tuan Masumi?" tanya Mizuki.
"Ada yang menabrak mobil kami," kata Masumi lagi.
"Anda tidak apa-apa?" Mizuki khawatir melihat penampilan bosnya yang cukup kacau.
Masumi menggeleng kasar, menyapukan jari di rambutnya yang berantakan, ekspresinya gelap, jelas dia sedang berusaha meredam amarah, "Aku baik-baik saja tapi Maya...,"
"Sial!!" Masumi mendesis kasar, "Kalau sampai terjadi sesuatu padanya," Masumi kembali menggeleng kasar.
Mizuki menggigit bibir bawahnya, menahan kecemasan sekaligus gejolak emosinya karena Hijiri menatapnya intens tanpa ekspresi.
Masumi tersadar sesuatu dan sesaat menatap pada dua staf kepercayaannya itu.
Tahu Masumi mengamatinya, Hijiri berhenti menatap Mizuki dan beralih pada Masumi.
"Saya akan temukan pelakunya Tuan," kata Hijiri kemudian setengah berbisik.
Masumi terdiam, melihat reaksi Mizuki. Sekretarisnya itu membeku.
"Bukankah kemarin kau bilang ingin pergi berlibur? Kau yakin?" Tanya Masumi.
Hijiri melirik Mizuki, sejenak mata mereka bertemu.
"Tidak Tuan, saya tidak jadi pergi," jawab Hijiri seraya mengangguk hormat.
Pergi berlibur? Mungkinkah?
Hati Mizuki tiba-tiba bergetar. Teringat percakapannya di telepon beberapa hari yang lalu dengan Hijiri tentang rencana liburan musim panas mereka.
Ketiganya terdiam, Masumi juga sulit memutuskan. Bukankah tugas yang diberikannya pada Hijiri adalah penghalang cinta Mizuki? Batin Masumi mengutuk siapapun pelakunya sehingga menyebabkan dirinya berada dalam keadaan rumit seperti ini.
Pintu emergency room terbuka, seorang dokter dengan pakaian steril biru keluar.
"Nyonya Hayami," panggilnya.
"Saya suaminya dokter," Masumi menjawab cepat. "Bagaimana keadaan istri saya?"
Kecemasan tidak hanya milik Masumi. Hijiri dan Mizuki juga merasakan hal yang sama.
"Keadaan Nyonya Hayami sudah stabil. Nyonya mendapat tiga jahitan di pelipis kanannya dan mengalami gegar otak ringan. Selebihnya kondisi vitalnya baik. Sekarang Nyonya masih tidur karena kami memberinya obat penenang. Kami akan segera memindahkannya ke kamar rawat," jelas dokter.
Desahan napas panjang menjelaskan kelegaan yang juga tersirat di wajah ketiganya.
"Terima kasih dokter," ucap Masumi.
"Sudah tugas kami Tuan Hayami, permisi," dokter itu mengangguk hormat sebelum kembali masuk ke emergency room.
Tak lama pintu kembali terbuka. Maya terbaring di atas tempat tidur, kepalanya dibebat dengan kain kassa, wajahnya pucat dan mengenakan masker oksigen. Tanpa kata ketiganya mengikuti perawat yang membawa Maya ke kamar rawat.
Kamar VVIP yang mewah ternyata tidak juga memberikan kenyamanan bagi Masumi. Melihat istrinya terbaring tidak sadar membuat hatinya pilu. Perawat sedang melakukan tugasnya dan Masumi hanya bisa melihatnya dengan berdiri di ujung tempat tidur. Sementara Hijiri dan Mizuki berdiri menunggu tak jauh dari Masumi. Terdiam. Tidak menyapa bahkan tidak bertatapan.
Hijiri akhirnya memilih untuk keluar dan duduk di bangku panjang di depan kamar Maya.
Mizuki semakin tidak tenang bukan hanya karena kondisi Maya tapi juga karena apa yang baru saja didengarnya.
Rencana berlibur? Mungkinkah Karato memang serius dengan itu?
Mizuki masih mematung, tidak tahu harus apa. Dia melihat Masumi yang tampak fokus memperhatikan para perawat yang sedang mengganti selang infus istrinya.
Akhirnya sama seperti Hijiri, Mizuki memutuskan untuk keluar. Melihat Hijiri, Mizuki tersenyum pahit, mantan kekasihnya itu sedang termenung. Dia tidak tahu kenapa Hijiri begitu terlihat menyesali semuanya.
"Karato," sapa Mizuki lirih, "Boleh aku duduk?" Tanyanya ragu.
Kenapa aku harus minta ijin untuk duduk? Bodoh!
"Silakan," jawab Hijiri datar, dia sedikit bergeser saat Mizuki duduk disebelahnya, keduanya berjarak dua jengkal.
"Kau...baik-baik saja?" Tanya Mizuki ragu.
Hijiri menggeleng tanpa menatap Mizuki.
"Setelah apa yang terjadi semalam lalu hari ini? Tidak Sae...Mizuki, aku tidak baik," jawabnya lesu.
Oh? Aku Mizuki sekarang
"Hhmm, ya, aku mengerti," jawab Mizuki sama lesunya.
"Semua ini salahku Mizuki," kata Hijiri tiba-tiba, memecah keheningan diantara mereka.
Mizuki terdiam, tidak mengerti. Bagian mana yang membuat Hijiri menyalahkan dirinya? Kejadian semalam? Atau kecelakaan Maya dan Masumi?
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" Tanya Mizuki kemudian, mencoba menerka isi kepala kekasih, ehem, mantan kekasihnya.
"Kemarin Tuan Masumi menerima surat ancaman. Seharusnya aku menyelidiki hal itu semalam. Tapi karena aku sudah minta ijin untuk pergi berlibur maka Tuan Masumi tidak mengijinkanku menyelidiki perihal surat ancaman itu dan memilih mengabaikannya."
Deg!!! Jantung Mizuki serasa berhenti.
Jadi semua ini ada hubungannya dengan.... Mizuki menatap wajah sendu Hijiri.... Mereka?
Ya, otak Mizuki langsung menarik kesimpulan.
"Maaf," gumam Mizuki lirih.
"Bukan salahmu," gumam Hijiri, sama lirihnya.
"Jadi...kau memang merencanakan liburan untuk...kita?" Mizuki akhirnya memutuskan untuk bertanya.
"Ku pikir aku sudah mengatakannya padamu," Hijiri masih tertunduk dan tidak menatap Mizuki.
"Waktu itu aku...," Mizuki terdiam, tidak sanggup mengatakan kebodohannya yang mengira bahwa Hijiri hanya bergurau.
"Kara...Hijiri, jangan menyalahkan dirimu sendiri," kata Mizuki kemudian, mencoba menenangkan Hijiri.
Hijiri menoleh pada Mizuki karena mantan kekasihnya itu juga mengganti panggilannya.
"Hijiri?" Hijiri menyeringai menyebut namanya sendiri.
Mizuki menghela napas, dia juga sama kacaunya. Tidak ada gunanya menenangkan orang lain.
"Kau juga memanggilku Mizuki," gerutunya lirih. Matanya melirik pada pintu kamar, memastikan percakapan mereka tidak terdengar orang lain.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Mizuki menatap mata sendu Hijiri lalu mengangguk.
"Apa kau benar-benar ingin aku memilih?" Tanya Hijiri.
Mizuki terdiam.
Memilih?
Mizuki menimbang dalam hatinya. Melihat apa yang baru saja terjadi pada Masumi dan Maya, mungkinkah dia bisa memaksa Hijiri untuk memilih? Sejak awal dia sendiri sudah tahu jawabannya.
Mizuki menggeleng.
"Aku sudah tahu kau tidak akan memilih," jawab Mizuki.
"Ku pikir kau tahu alasannya," kata Hijiri.
"Awalnya aku tidak mengerti tapi sekarang...ya aku tahu meski belum bisa mengerti sepenuhnya. Aku masih berpikir kau berhak meraih kebahagianmu sendiri,"
Hijiri menelan ludahnya tak kentara. Pahit. Haruskah dia menelan semua kepahitan ini. Ada nyawa yang dipertaruhkan dalam pilihannya. Menghela napas panjang, Hijiri menyerah.
"Aku sudah berjanji untuk mengabdikan hidupku pada keluarga Hayami dan aku tidak bisa mengingkarinya. Sudah tugasku untuk melindungi mereka," jelas Hijiri.
"Kau juga berjanji mencintaiku," protes Mizuki.
"Aku tidak mengingkarinya," jawab Hijiri.
"Tapi kau lebih mementingkan pekerjaanmu daripada aku?" Suara Mizuki sedikit meninggi sekarang.
"Kau jelas tahu apa yang dipertaruhkan. Lihat Nyonya sekarang? Kau pikir itu salah siapa?" Balas Hijiri.
Mizuki merasa Hijiri menyalahkannya kali ini. "Jadi kau pikir ini salahku?"
Kening Hijiri berkerut.
"Aku tidak bilang begitu, ini salahku!" tandasnya.
"Tapi kau mengambil liburan karena aku. Jadi secara tidak langsung kau juga menyalahkanku?" Bentak Mizuki.
Logika mereka ternyata berseberangan sekarang.
"Aku tidak menyalahkanmu Mizuki! Semua salahku!" Hijiri juga menaikkan nada suaranya. Emosi membuat keduanya lupa sedang berada di rumah sakit.
"Ya, semua memang salahmu! Kau yang tidak bisa memilih!" Bentak Mizuki lagi.
"Aku sudah memilih kemarin dan kau lihat!" Hijiri melambaikan tangannya ke pintu, "Kau lihat konsekuensi atas pilihanku?" Teriak Hijiri.
Mizuki tercengang.
Aku sudah memilihmu kemarin?
Kalimat itu berulang diotaknya.
Apa maksudnya? Bukankah kemarin dia juga menyangkal kalau memiliki kekasih? Tapi rencana liburan itu?
Mizuki menggeleng kasar. Mencoba meruntuhkan semua pikiran kacaunya.
"Maaf," kata Mizuki kemudian. "Aku tidak berniat membuatmu bingung. Karena itulah semalam....," Mizuki menelan ludahnya, "Aku rasa aku sudah membuat keputusan terbaik semalam." Lanjutnya dengan suara bergetar, sekuat tenaga menahan isakannya. Dia tidak mau menangis sekarang, setidaknya tidak di depan Hijiri.
"Mizuki....," lirih Hijiri.
"Maaf," gumam Mizuki lagi, diapun berdiri dan setengah berlari meninggalkan Hijiri yang membeku di tempatnya.
Saeko.... Batin Hijiri tersayat.
Sementara itu di balik pintu seseorang menghela napas panjang.
Kenapa cinta selalu saja membuat orang menjadi bodoh? Gerutunya.
***
"Uugghh...,"
Maya merintih saat mencoba membuka matanya. Kepalanya terasa sakit.
"Sayang," Masumi berbisik lembut, menarik kesadaran Maya. Tangannya mengusap lembut tangan istrinya.
Maya mengedip lalu menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya.
"Masu...mi...," lirih Maya lagi ketika wajah suaminya terlihat jelas. Masumi duduk di kursi sebelah tempat tidurnya.
"Aku lega kau sudah sadar," Masumi mengecup punggung tangan istrinya.
"Aku...dimana? Kenapa kepalaku sakit sekali?" Maya masih bingung dengan keadaan sekitar dan sakit yang dirasakannya.
Masumi memasang wajah setenang mungkin meski amarah di dalam dadanya belum mereda. Dia berjanji akan membalas siapapun itu yang telah membuat istrinya terbaring sakit.
"Tenang sayang, kau ada dirumah sakit sekarang," kata Masumi, memberikan senyuman menenangkan untuk istrinya.
Maya terdiam sejenak, sepertinya dia sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Mobil kita...," kecemasan langsung tergambar di wajah Maya.
"Sshhh, sudah tidak usah dipikirkan. Semua baik-baik saja." Kata Masumi.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng, "Aku baik-baik saja,"
Kalaupun bisa aku ingin menggantikan tempatmu sekarang
"Sudah, tidak ada yang perlu dicemaskan. Kau beristirahatlah dengan tenang," Masumi kembali menenangkan.
Wajah Maya kembali cemas saat dia kembali teringat pada rencananya.
"Masumi...bagaimana dengan...rencana kita malam ini?" Tanya Maya terbata.
Wajah Masumi menegang, teringat pertengkaran Mizuki dan Hijiri beberapa jam yang lalu.
"Maaf sayang. Aku terlalu mencemaskanmu. Sepertinya kita harus menunda dulu rencana kita," jelas Masumi.
Maya mengangguk pelan, sangat terlihat kalau dia kecewa.
"Hei, jangan sedih. Sekarang kesehatanmu lebih penting. Setelah kau sembuh, kita akan kembali mengatur semuanya,"
Maya tersenyum tipis. Suaminya benar, kepalanya bahkan berdentum sekarang.
"Kenapa?" Masumi cemas melihat istrinya meringis.
"Kepalaku sakit," kata Maya.
"Aku akan panggil dokter,"
Dengan cepat Masumi menekan tombol panggil di atas tempat tidur Maya dan saat seorang perawat masuk dia menyampaikan keluhan istrinya dan minta dipanggilkan dokter.
"Anda harus banyak istirahat Nyonya. Saya akan memberikan obat untuk meredakan sakit kepala anda. Tapi anda juga harus tenang dan jangan terlalu banyak bergerak." Kata dokter setelah memeriksa kondisi Maya.
Masumi mengangguk, sepenuhnya mengerti dengan penjelasan dokter.
"Terima kasih," ucap Masumi saat dokter keluar dari kamar.
Maya menerima obat dari perawat dan segera meminumnya. Tak lama kemudian perawat itupun pergi. Masumi duduk di tepi tempat tidur istrinya.
"Bagaimana?"
"Sudah lebih baik,"
Masumi tersenyum dan mengusap wajah istrinya yang pucat.
"Kau dengar apa kata dokter kan? Kau harus banyak istirahat,"
"Iya, terima kasih suamiku, aku jadi merepotkan,"
"Kau ini bicara apa, kau istriku tersayang, siapa yang direpotkan,"
Maya tersenyum.
"Nah, kau lebih cantik kalau tersenyum," goda Masumi.
"Kalau tidak tersenyum tidak cantik?"
Masumi terkikik. "Tidak sayang, kau selalu cantik. Bidadariku yang tercantik," kata Masumi seraya melandaikan tubuhnya dan mengecup kening Maya yang masih terbalut kain kassa.
Maya kembali tersenyum tapi kali ini matanya tampak mengantuk. Masumi tahu itu efek dari obat yang baru saja diminumnya.
"Istirahatlah, kau terlihat lelah," kata Masumi lembut sembari menggenggam tangan istrinya.
"Iya, kau jangan pergi ya," kata Maya.
"Tidak, kau tidurlah. Aku tidak akan kemana-mana," jawab Masumi.
Maya masih sempat mengulum senyum termanisnya sebelum akhirnya tertidur dibawah pengaruh obat.
Merasakan handphonenya bergetar di saku celana, Masumi melepaskan tangan Maya dan mengambilnya. Berjalan menjauh dari tempat tidur untuk menjawab teleponnya.
"Bicaralah Hijiri,"
"Saya sudah menemukannya Tuan. Mereka memang anak buah Jun Yamasaki,"
Wajah tenang Masumi langsung berubah. Rahangnya mengetat marah dan tangannya mengepal kuat.
"Kerja bagus Hijiri. Sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan,"
"Baik Tuan,"
Masumi mematikan teleponnya dan melakukan panggilan lain.
"Maaf mengganggumu malam-malam Mizuki,"
"Tidak apa-apa Tuan. Apa Nyonya baik-baik saja?"
"Ya, Maya baik-baik saja. Aku mau kau melakukan sesuatu untukku,"
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Siapkan semua dokumen untuk mengakuisisi saham Haiteku Entertainment. Temui Tuan Arisawa sebagai pemilik saham tertinggi, aku sudah buat kesepakatan dengannya, dia tahu apa yang harus dilakukan. Kali ini aku tidak akan diam, aku akan mendepak Jun dari Haiteku," terang Masumi, kemarahan jelas terdengar dari nada suaranya.
"Baik Tuan, saya akan siapkan semuanya,"
"Bagus, kabari aku secepatnya. Aku mau semua beres dalam waktu cepat,"
"Tentu Tuan,"
Masumi menggenggam handphonenya erat saat pembicaraan mereka selesai. Diapun kembali ke sisi istrinya.
Aku akan buat Jun membayar semuanya, geramnya marah.
***
"Sayang," Masumi berbisik lembut, menarik kesadaran Maya. Tangannya mengusap lembut tangan istrinya.
Maya mengedip lalu menyipitkan matanya, berusaha memfokuskan pandangannya.
"Masu...mi...," lirih Maya lagi ketika wajah suaminya terlihat jelas. Masumi duduk di kursi sebelah tempat tidurnya.
"Aku lega kau sudah sadar," Masumi mengecup punggung tangan istrinya.
"Aku...dimana? Kenapa kepalaku sakit sekali?" Maya masih bingung dengan keadaan sekitar dan sakit yang dirasakannya.
Masumi memasang wajah setenang mungkin meski amarah di dalam dadanya belum mereda. Dia berjanji akan membalas siapapun itu yang telah membuat istrinya terbaring sakit.
"Tenang sayang, kau ada dirumah sakit sekarang," kata Masumi, memberikan senyuman menenangkan untuk istrinya.
Maya terdiam sejenak, sepertinya dia sedang mencoba mengingat sesuatu.
"Mobil kita...," kecemasan langsung tergambar di wajah Maya.
"Sshhh, sudah tidak usah dipikirkan. Semua baik-baik saja." Kata Masumi.
"Kau tidak apa-apa?" Tanya Maya.
Masumi menggeleng, "Aku baik-baik saja,"
Kalaupun bisa aku ingin menggantikan tempatmu sekarang
"Sudah, tidak ada yang perlu dicemaskan. Kau beristirahatlah dengan tenang," Masumi kembali menenangkan.
Wajah Maya kembali cemas saat dia kembali teringat pada rencananya.
"Masumi...bagaimana dengan...rencana kita malam ini?" Tanya Maya terbata.
Wajah Masumi menegang, teringat pertengkaran Mizuki dan Hijiri beberapa jam yang lalu.
"Maaf sayang. Aku terlalu mencemaskanmu. Sepertinya kita harus menunda dulu rencana kita," jelas Masumi.
Maya mengangguk pelan, sangat terlihat kalau dia kecewa.
"Hei, jangan sedih. Sekarang kesehatanmu lebih penting. Setelah kau sembuh, kita akan kembali mengatur semuanya,"
Maya tersenyum tipis. Suaminya benar, kepalanya bahkan berdentum sekarang.
"Kenapa?" Masumi cemas melihat istrinya meringis.
"Kepalaku sakit," kata Maya.
"Aku akan panggil dokter,"
Dengan cepat Masumi menekan tombol panggil di atas tempat tidur Maya dan saat seorang perawat masuk dia menyampaikan keluhan istrinya dan minta dipanggilkan dokter.
"Anda harus banyak istirahat Nyonya. Saya akan memberikan obat untuk meredakan sakit kepala anda. Tapi anda juga harus tenang dan jangan terlalu banyak bergerak." Kata dokter setelah memeriksa kondisi Maya.
Masumi mengangguk, sepenuhnya mengerti dengan penjelasan dokter.
"Terima kasih," ucap Masumi saat dokter keluar dari kamar.
Maya menerima obat dari perawat dan segera meminumnya. Tak lama kemudian perawat itupun pergi. Masumi duduk di tepi tempat tidur istrinya.
"Bagaimana?"
"Sudah lebih baik,"
Masumi tersenyum dan mengusap wajah istrinya yang pucat.
"Kau dengar apa kata dokter kan? Kau harus banyak istirahat,"
"Iya, terima kasih suamiku, aku jadi merepotkan,"
"Kau ini bicara apa, kau istriku tersayang, siapa yang direpotkan,"
Maya tersenyum.
"Nah, kau lebih cantik kalau tersenyum," goda Masumi.
"Kalau tidak tersenyum tidak cantik?"
Masumi terkikik. "Tidak sayang, kau selalu cantik. Bidadariku yang tercantik," kata Masumi seraya melandaikan tubuhnya dan mengecup kening Maya yang masih terbalut kain kassa.
Maya kembali tersenyum tapi kali ini matanya tampak mengantuk. Masumi tahu itu efek dari obat yang baru saja diminumnya.
"Istirahatlah, kau terlihat lelah," kata Masumi lembut sembari menggenggam tangan istrinya.
"Iya, kau jangan pergi ya," kata Maya.
"Tidak, kau tidurlah. Aku tidak akan kemana-mana," jawab Masumi.
Maya masih sempat mengulum senyum termanisnya sebelum akhirnya tertidur dibawah pengaruh obat.
Merasakan handphonenya bergetar di saku celana, Masumi melepaskan tangan Maya dan mengambilnya. Berjalan menjauh dari tempat tidur untuk menjawab teleponnya.
"Bicaralah Hijiri,"
"Saya sudah menemukannya Tuan. Mereka memang anak buah Jun Yamasaki,"
Wajah tenang Masumi langsung berubah. Rahangnya mengetat marah dan tangannya mengepal kuat.
"Kerja bagus Hijiri. Sekarang kau tahu apa yang harus kau lakukan,"
"Baik Tuan,"
Masumi mematikan teleponnya dan melakukan panggilan lain.
"Maaf mengganggumu malam-malam Mizuki,"
"Tidak apa-apa Tuan. Apa Nyonya baik-baik saja?"
"Ya, Maya baik-baik saja. Aku mau kau melakukan sesuatu untukku,"
"Apa yang bisa saya bantu?"
"Siapkan semua dokumen untuk mengakuisisi saham Haiteku Entertainment. Temui Tuan Arisawa sebagai pemilik saham tertinggi, aku sudah buat kesepakatan dengannya, dia tahu apa yang harus dilakukan. Kali ini aku tidak akan diam, aku akan mendepak Jun dari Haiteku," terang Masumi, kemarahan jelas terdengar dari nada suaranya.
"Baik Tuan, saya akan siapkan semuanya,"
"Bagus, kabari aku secepatnya. Aku mau semua beres dalam waktu cepat,"
"Tentu Tuan,"
Masumi menggenggam handphonenya erat saat pembicaraan mereka selesai. Diapun kembali ke sisi istrinya.
Aku akan buat Jun membayar semuanya, geramnya marah.
***
"Kau mau
kemana?" Tanya Maya bingung saat suaminya sudah siap dengan pakaian kerja, lengkap dengan tasnya. Sudah dua hari Maya dirawat dan kodisinya sudah semakin
baik.
"Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sayang. Kau tidak apa-apa kan kalau aku pergi sebentar? Aku usahakan kembali sebelum makan siang. Mizuki akan menemanimu," terang Masumi seraya melirik pada sekretarisnya yang sudah siaga duduk di sofa tamu.
"Jangan lama-lama ya, hati-hati. Aku takut," kata Maya. Kecelakaan yang menimpanya membuatnya trauma. Maya enggan Masumi meninggalkannya karena takut sesuatu terjadi pada suaminya.
"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku tidak sendiri. Hijiri akan menemaniku," Masumi menenangkan, dia mengerti kecemasan istrinya.
"Oh," Maya sedikit terkejut mendengarnya. Tidak biasanya Masumi pergi bersama Hijiri secara terang-terangan. Sejenak melirik Mizuki dari sudut matanya, Maya melihat Mizuki datar saja saat nama kekasihnya disebut.
"Hati-hati," gumam Maya.
"Tentu, kau istirahatlah," Masumi mengecup kening istrinya.
"Semua sudah disiapkan," kata Mizuki sembari memberikan sebuah amplop besar pada bosnya.
Masumi mengangguk dan tersenyum puas.
"Bagus. Terima kasih."
"Sudah tugas saya membantu anda Tuan,"
"Baiklah aku pergi dulu dan maaf aku merepotkanmu hari ini,"
"Tidak Tuan, anda tenang saja, saya akan menjaga Nyonya."
"Terima kasih Mizuki,"
Sekali lagi melempar senyum pada istrinya, Masumipun pergi. Hijiri sudah siap dengan mobilnya di pintu keluar rumah sakit.
"Anda jangan khawatir Nyonya Maya, Tuan Masumi akan baik-baik saja." Mizuki mencoba menenangkan Maya yang terlihat duduk dengan gelisah.
"Uuhhmm, iya, terima kasih Nona Mizuki," jawab Maya. Diapun kembali berbaring.
"Apa anda ingin sesuatu? Kue atau minumam?" Tanya Mizuki.
Maya menggeleng, wajahnya masih terlihat cemas.
"Apa orang yang menabrak kami sudah tertangkap Nona Mizuki? Masumi tidak pernah mau menceritakannya padaku," kata Maya.
"Sudah Nyonya. Tuan Hijiri sudah menemukannya dan sudah ditangani oleh pihak berwajib," jelas Mizuki.
"Oh, syukurlah," Maya mengusap dadanya perlahan. Mendengar nama Hijiri, kecemasan Maya segera teralihkan.
"Ada apa Nyonya?" Tanya Mizuki heran saat Maya menatapnya.
"Kau mengenal Tuan Hijiri?" Tanya Maya pura-pura tidak tahu. Ya sebenarnya dia memang tidak tahu kalau saja tidak melihat mereka berciuman di basement.
"Saya pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja saat mengantar dokumen untuk Tuan Masumi," jelas Mizuki dengan nada datar. Dia tidak bohong, memang seperti itulah mereka bertemu.
"Oh," Maya mengangguk pelan. Dia ingin menanyakan perihal hubungan keduanya tapi dia tahu dia tidak boleh melakukannya. Masumi sudah memperingatkannya berkali-kali untuk tidak mencampuri urusan mereka. Sebenarnya Maya dan Masumi memiliki rencana untuk memperbaiki hubungan mereka tapi semuanya jadi berantakan karena kecelakaan yang dialaminya.
"Anda baik-baik saja Nyonya?" Mizuki mulai cemas saat melihat Maya terdiam dengan pandangan kosong, melamun.
"Eh, i,iya, aku baik-baik saja, hanya masih pusing," Maya beralasan. Dia memang masih pusing tapi bukan itu alasannya diam.
"Sebaiknya anda tidur dan tidak perlu mencemaskan Tuan Masumi," saran Mizuki.
Aku tidak mencemaskan Masumi, ya sedikit, aku sedang memikirkanmu
Seorang perawat masuk, membawa obat untuk Maya.
"Anda masih harus banyak beristirahat Nyonya, sebaiknya jangan terlalu banyak mengobrol," pesan perawat sebelum meninggalkan kamar.
"Saya akan menunggu di luar agar anda bisa lebih tenang beristirahat Nyonya," kata Mizuki bersiap untuk meninggalkan kursinya.
"Tidak perlu, duduk saja disini. Lagipula obat ini akan membuatku tidur sebentar lagi," Maya tersenyum.
"Baiklah kalau begitu," Mizuki kembali duduk di kursinya.
"Kau terlihat sehat Nona Mizuki," Celetuk Maya sesaat kemudian.
Kening Mizuki berkerut mendengar pernyataan Maya.
Bukankah memang bukan aku yang sakit? Apa gegar otak itu benar-benar berpengaruh padanya? Atau pengaruh obat sehingga Nyonya meracau?
"Terima kasih, sudah memperhatikan saya Nyonya," jawab Mizuki.
Maya tersenyum, matanya mulai terasa berat,
"Kau tahu? Aku bahagia hidup bersama Masumi," kata Maya. "Meski banyak perbedaan diantara kami tapi dia sangat mencintaiku. Aku tidak menyesali keputusanku untuk menikah dengannya meski dulu seluruh dunia meragukan cinta kami. Tapi bukankah kekuatan cinta selalu bisa merubah apa saja?"
Dan Mizuki semakin bingung mendengar perkataan nyonyanya. Sekretaris itu dengan bijak hanya diam dan tidak menanggapi perkataan Maya, karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Mizuki yakin Maya meracau karena pengaruh obat yang baru saja diminumnya.
"Kau juga wanita yang kuat Nona Mizuki," kata Maya lagi. "Kalau aku jadi kau, pasti aku tidak berhenti menangis,"
Mizuki tercengang dan beberapa detik kemudian Maya benar-benar terlelap.
***
"Ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sayang. Kau tidak apa-apa kan kalau aku pergi sebentar? Aku usahakan kembali sebelum makan siang. Mizuki akan menemanimu," terang Masumi seraya melirik pada sekretarisnya yang sudah siaga duduk di sofa tamu.
"Jangan lama-lama ya, hati-hati. Aku takut," kata Maya. Kecelakaan yang menimpanya membuatnya trauma. Maya enggan Masumi meninggalkannya karena takut sesuatu terjadi pada suaminya.
"Jangan khawatir. Aku akan baik-baik saja. Lagipula aku tidak sendiri. Hijiri akan menemaniku," Masumi menenangkan, dia mengerti kecemasan istrinya.
"Oh," Maya sedikit terkejut mendengarnya. Tidak biasanya Masumi pergi bersama Hijiri secara terang-terangan. Sejenak melirik Mizuki dari sudut matanya, Maya melihat Mizuki datar saja saat nama kekasihnya disebut.
"Hati-hati," gumam Maya.
"Tentu, kau istirahatlah," Masumi mengecup kening istrinya.
"Semua sudah disiapkan," kata Mizuki sembari memberikan sebuah amplop besar pada bosnya.
Masumi mengangguk dan tersenyum puas.
"Bagus. Terima kasih."
"Sudah tugas saya membantu anda Tuan,"
"Baiklah aku pergi dulu dan maaf aku merepotkanmu hari ini,"
"Tidak Tuan, anda tenang saja, saya akan menjaga Nyonya."
"Terima kasih Mizuki,"
Sekali lagi melempar senyum pada istrinya, Masumipun pergi. Hijiri sudah siap dengan mobilnya di pintu keluar rumah sakit.
"Anda jangan khawatir Nyonya Maya, Tuan Masumi akan baik-baik saja." Mizuki mencoba menenangkan Maya yang terlihat duduk dengan gelisah.
"Uuhhmm, iya, terima kasih Nona Mizuki," jawab Maya. Diapun kembali berbaring.
"Apa anda ingin sesuatu? Kue atau minumam?" Tanya Mizuki.
Maya menggeleng, wajahnya masih terlihat cemas.
"Apa orang yang menabrak kami sudah tertangkap Nona Mizuki? Masumi tidak pernah mau menceritakannya padaku," kata Maya.
"Sudah Nyonya. Tuan Hijiri sudah menemukannya dan sudah ditangani oleh pihak berwajib," jelas Mizuki.
"Oh, syukurlah," Maya mengusap dadanya perlahan. Mendengar nama Hijiri, kecemasan Maya segera teralihkan.
"Ada apa Nyonya?" Tanya Mizuki heran saat Maya menatapnya.
"Kau mengenal Tuan Hijiri?" Tanya Maya pura-pura tidak tahu. Ya sebenarnya dia memang tidak tahu kalau saja tidak melihat mereka berciuman di basement.
"Saya pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja saat mengantar dokumen untuk Tuan Masumi," jelas Mizuki dengan nada datar. Dia tidak bohong, memang seperti itulah mereka bertemu.
"Oh," Maya mengangguk pelan. Dia ingin menanyakan perihal hubungan keduanya tapi dia tahu dia tidak boleh melakukannya. Masumi sudah memperingatkannya berkali-kali untuk tidak mencampuri urusan mereka. Sebenarnya Maya dan Masumi memiliki rencana untuk memperbaiki hubungan mereka tapi semuanya jadi berantakan karena kecelakaan yang dialaminya.
"Anda baik-baik saja Nyonya?" Mizuki mulai cemas saat melihat Maya terdiam dengan pandangan kosong, melamun.
"Eh, i,iya, aku baik-baik saja, hanya masih pusing," Maya beralasan. Dia memang masih pusing tapi bukan itu alasannya diam.
"Sebaiknya anda tidur dan tidak perlu mencemaskan Tuan Masumi," saran Mizuki.
Aku tidak mencemaskan Masumi, ya sedikit, aku sedang memikirkanmu
Seorang perawat masuk, membawa obat untuk Maya.
"Anda masih harus banyak beristirahat Nyonya, sebaiknya jangan terlalu banyak mengobrol," pesan perawat sebelum meninggalkan kamar.
"Saya akan menunggu di luar agar anda bisa lebih tenang beristirahat Nyonya," kata Mizuki bersiap untuk meninggalkan kursinya.
"Tidak perlu, duduk saja disini. Lagipula obat ini akan membuatku tidur sebentar lagi," Maya tersenyum.
"Baiklah kalau begitu," Mizuki kembali duduk di kursinya.
"Kau terlihat sehat Nona Mizuki," Celetuk Maya sesaat kemudian.
Kening Mizuki berkerut mendengar pernyataan Maya.
Bukankah memang bukan aku yang sakit? Apa gegar otak itu benar-benar berpengaruh padanya? Atau pengaruh obat sehingga Nyonya meracau?
"Terima kasih, sudah memperhatikan saya Nyonya," jawab Mizuki.
Maya tersenyum, matanya mulai terasa berat,
"Kau tahu? Aku bahagia hidup bersama Masumi," kata Maya. "Meski banyak perbedaan diantara kami tapi dia sangat mencintaiku. Aku tidak menyesali keputusanku untuk menikah dengannya meski dulu seluruh dunia meragukan cinta kami. Tapi bukankah kekuatan cinta selalu bisa merubah apa saja?"
Dan Mizuki semakin bingung mendengar perkataan nyonyanya. Sekretaris itu dengan bijak hanya diam dan tidak menanggapi perkataan Maya, karena dia juga tidak tahu harus menjawab apa. Mizuki yakin Maya meracau karena pengaruh obat yang baru saja diminumnya.
"Kau juga wanita yang kuat Nona Mizuki," kata Maya lagi. "Kalau aku jadi kau, pasti aku tidak berhenti menangis,"
Mizuki tercengang dan beberapa detik kemudian Maya benar-benar terlelap.
***
Di ruang rapat Haiteku,
Hijiri tercengang saat melihat dokumen yang dipegangnya. Dia dan Masumi sudah
menyelesaikan masalah Jun dan polisi juga baru saja membawanya. Tuduhannya
jelas, percobaan pembunuhan.
"Tuan ini...?" Hijiri tidak sanggup berkata-kata.
"Percayalah Hijiri, kau lebih dari sanggup untuk melakukannya," kata Masumi.
Keterkejutan Hijiri diinterupsi oleh kehadiran Arisawa, pemegang saham tertinggi Haiteku, meski sekarang tidak lagi. Karena Arisawa sudah menjual setengah saham miliknya dan juga menjual saham Yamasaki pada Masumi yang otomatis menjadikan Haiteku sebagai anak perusahaan Daito. Sejak menikah dengan Maya, Masumi lebih manusiawi dalam mengalahkan musuhnya.
"Semua beres Tuan Hayami?" Selanya.
"Tentu Tuan Arisawa, terima kasih untuk menerima tawaran saya," Masumi mengangguk hormat.
"Ya, kita sama-sama diuntungkan Tuan Hayami. Sudah lama saya kehilangan kepercayaan pada Yamasaki. Perusahaan banyak merugi dibawah pimpinannya dan saya juga terkejut karena dia melakukan cara kotor untuk menjatuhkan anda. Atas nama Haiteku saya mohon maaf. Saya harap kerja sama kita akan menghapus semua kenangan buruk anda,"
"Tentu Tuan Arisawa, saya lega Yamasaki sudah berada di tempat yang semestinya. Saya yakin Daito dan Haiteku, sebagai anak perusahaan Daito yang baru, akan terus berkembang,"
Arisawa tersenyum senang membayangkan keuntungan yang akan diperolehnya dengan menjadi anak perusahaan Daito. Bukan rahasia lagi kalau Masumi selalu sukses dalam semua hal yang dikerjakannya.
"Mengenai pengangkatan Direktur yang baru saya harap bisa dilakukan secepatnya," kata Arisawa, dia sudah menyerahkan semua urusan itu pada Masumi.
"Tentu Tuan Arisawa, dalam beberapa hari ini Hijiri akan menyiapkan semuanya," jawab Masumi seraya melempar senyuman penuh arti pada Hijiri.
Hijiri mengepalkan erat tangannya.
Apa tujuan anda sebenarnya Tuan Masumi?
***
"Senang akhirnya bisa pulang," kata Maya girang memeluk suaminya.
"Aku juga senang kau sudah kembali sehat," Masumi mengusap kepala istrinya dan sejenak mengamati kain kassa di pelipis Maya, menyentuhnya dengan lembut.
"Sudah tidak sakit," kata Maya menenangkan, dia tahu apa yang dipikirkan suaminya.
Masumi tersenyum dan mengecup lembut bibir istrinya. Tiba-tiba wajah Maya berubah sendu.
"Ada apa? Apa yang sakit?" Tanya Masumi cemas.
Maya menggeleng, "Tidak ada yang sakit, aku hanya takut,"
"Takut? Tenang saja, polisi sudah menangkap Yamasaki, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," Masumi memahami ketakutan istrinya.
"Bukan itu," sanggah Maya.
"Lalu?" Masumi bingung karena pemahamannya salah.
"Nanti kalau bekas jahitan ini tidak hilang kau akan tetap mencintaiku kan? Tidak akan melirik wanita lain yang lebih cantik dariku? Yang kulit wajahnya lebih mulus daripada aku?" Maya menatap suaminya memelas.
"Hah?!" Masumi terbahak saat istrinya berhenti bicara. Dia terkejut sekaligus geli mendengarnya.
"Apanya yang lucu?!" Maya cemberut, memukul dada suaminya. Jengkel Masumi menertawakan ketakutannya.
"Aku akan menuntut rumah sakit ini karena obatnya sudah membuat otak istriku tersayang menjadi bodoh," kata Masumi ketika selesai dengan tawanya.
Maya semakin cemberut, "Terus saja menertawakan kebodohanku!"
Masumi tersenyum, "Kau bodoh karena mengira aku akan meninggalkanmu, menggantikanmu, melupakanmu atau apapun itu yang kau pikirkan."
Maya tertegun mendengar penuturan suaminya.
"Kau tidak akan meninggalkanku?" Lirih Maya.
Masumi menggeleng.
"Tidak akan melirik wanita lain yang lebih cantik,"
Masumi menggeleng lagi.
"Meski aku jadi jelek?"
Masumi tersenyum, "Aku akan memukul siapapun itu yang mengatakan istriku jelek,"
"Benarkah?" mata Maya berbinar senang.
"Mau bukti?" Tantang Masumi.
"Ah! Tidak, tidak!! Aku percaya," sergah Maya cepat.
"Nah, masih mau meragukanku?" Tanya Masumi.
Maya menggeleng seraya mengulum senyum malu-malu, menyandarkan wajahnya didada bidang suaminya.
"Terima kasih, aku mencintaimu," kata Maya.
"Aku juga mencintaimu," bisik Masumi.
Keduanya terdiam dan menikmati kehangatan cinta satu sama lain. Sebuah ketukan pintu menyadarkan Maya dan Masumi untuk kembali ke dunia nyata.
"Semua administrasi sudah selesai Tuan Masumi." Mizuki melapor.
"Tuan ini...?" Hijiri tidak sanggup berkata-kata.
"Percayalah Hijiri, kau lebih dari sanggup untuk melakukannya," kata Masumi.
Keterkejutan Hijiri diinterupsi oleh kehadiran Arisawa, pemegang saham tertinggi Haiteku, meski sekarang tidak lagi. Karena Arisawa sudah menjual setengah saham miliknya dan juga menjual saham Yamasaki pada Masumi yang otomatis menjadikan Haiteku sebagai anak perusahaan Daito. Sejak menikah dengan Maya, Masumi lebih manusiawi dalam mengalahkan musuhnya.
"Semua beres Tuan Hayami?" Selanya.
"Tentu Tuan Arisawa, terima kasih untuk menerima tawaran saya," Masumi mengangguk hormat.
"Ya, kita sama-sama diuntungkan Tuan Hayami. Sudah lama saya kehilangan kepercayaan pada Yamasaki. Perusahaan banyak merugi dibawah pimpinannya dan saya juga terkejut karena dia melakukan cara kotor untuk menjatuhkan anda. Atas nama Haiteku saya mohon maaf. Saya harap kerja sama kita akan menghapus semua kenangan buruk anda,"
"Tentu Tuan Arisawa, saya lega Yamasaki sudah berada di tempat yang semestinya. Saya yakin Daito dan Haiteku, sebagai anak perusahaan Daito yang baru, akan terus berkembang,"
Arisawa tersenyum senang membayangkan keuntungan yang akan diperolehnya dengan menjadi anak perusahaan Daito. Bukan rahasia lagi kalau Masumi selalu sukses dalam semua hal yang dikerjakannya.
"Mengenai pengangkatan Direktur yang baru saya harap bisa dilakukan secepatnya," kata Arisawa, dia sudah menyerahkan semua urusan itu pada Masumi.
"Tentu Tuan Arisawa, dalam beberapa hari ini Hijiri akan menyiapkan semuanya," jawab Masumi seraya melempar senyuman penuh arti pada Hijiri.
Hijiri mengepalkan erat tangannya.
Apa tujuan anda sebenarnya Tuan Masumi?
***
"Senang akhirnya bisa pulang," kata Maya girang memeluk suaminya.
"Aku juga senang kau sudah kembali sehat," Masumi mengusap kepala istrinya dan sejenak mengamati kain kassa di pelipis Maya, menyentuhnya dengan lembut.
"Sudah tidak sakit," kata Maya menenangkan, dia tahu apa yang dipikirkan suaminya.
Masumi tersenyum dan mengecup lembut bibir istrinya. Tiba-tiba wajah Maya berubah sendu.
"Ada apa? Apa yang sakit?" Tanya Masumi cemas.
Maya menggeleng, "Tidak ada yang sakit, aku hanya takut,"
"Takut? Tenang saja, polisi sudah menangkap Yamasaki, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi," Masumi memahami ketakutan istrinya.
"Bukan itu," sanggah Maya.
"Lalu?" Masumi bingung karena pemahamannya salah.
"Nanti kalau bekas jahitan ini tidak hilang kau akan tetap mencintaiku kan? Tidak akan melirik wanita lain yang lebih cantik dariku? Yang kulit wajahnya lebih mulus daripada aku?" Maya menatap suaminya memelas.
"Hah?!" Masumi terbahak saat istrinya berhenti bicara. Dia terkejut sekaligus geli mendengarnya.
"Apanya yang lucu?!" Maya cemberut, memukul dada suaminya. Jengkel Masumi menertawakan ketakutannya.
"Aku akan menuntut rumah sakit ini karena obatnya sudah membuat otak istriku tersayang menjadi bodoh," kata Masumi ketika selesai dengan tawanya.
Maya semakin cemberut, "Terus saja menertawakan kebodohanku!"
Masumi tersenyum, "Kau bodoh karena mengira aku akan meninggalkanmu, menggantikanmu, melupakanmu atau apapun itu yang kau pikirkan."
Maya tertegun mendengar penuturan suaminya.
"Kau tidak akan meninggalkanku?" Lirih Maya.
Masumi menggeleng.
"Tidak akan melirik wanita lain yang lebih cantik,"
Masumi menggeleng lagi.
"Meski aku jadi jelek?"
Masumi tersenyum, "Aku akan memukul siapapun itu yang mengatakan istriku jelek,"
"Benarkah?" mata Maya berbinar senang.
"Mau bukti?" Tantang Masumi.
"Ah! Tidak, tidak!! Aku percaya," sergah Maya cepat.
"Nah, masih mau meragukanku?" Tanya Masumi.
Maya menggeleng seraya mengulum senyum malu-malu, menyandarkan wajahnya didada bidang suaminya.
"Terima kasih, aku mencintaimu," kata Maya.
"Aku juga mencintaimu," bisik Masumi.
Keduanya terdiam dan menikmati kehangatan cinta satu sama lain. Sebuah ketukan pintu menyadarkan Maya dan Masumi untuk kembali ke dunia nyata.
"Semua administrasi sudah selesai Tuan Masumi." Mizuki melapor.
“Terima kasih Mizuki,”
kata Masumi, “Kita pulang sekarang sayang?”
Maya mengangguk.
“Mizuki, jangan lupa
pertemuanmu malam ini dengan Direktur baru Haiteku. Aku mau kau mewakiliku dan
menyelesaikan semua masalah malam ini. Aku mau mendengar berita bagus besok,”
kata Masumi sebelum menutup pintu mobil.
Mizuki membungkuk hormat,
“Baik Tuan. Selamat jalan,”
Mobil melaju meninggalkan
pelataran rumah sakit dan Mizuki kembali ke apartementnya untuk bersiap.
***
Sebuah private room
restoran Italia sudah direservasi. Mizuki sudah siap dengan membawa dokumen
rahasia yang tadi diberikan Masumi padanya. Dengan mantap dia masuk ke restoran
dan pelayan segera mengantarnya.
Direktur Haiteku belum
datang, Mizuki memang datang lima belas menit lebih awal. Dia tahu pertemuan
ini penting dan dia tidak mau terlambat.
Negosiasi ini tidak boleh
gagal
Perintah Masumi begitu
tegas menggema di kepalanya. Mizuki sudah mempersiapkan diri dengan
baik, tidak mau mengecewakan Masumi yang sudah sangat mempercainya.
Pintu ganda private room
terbuka. Mizuki segera berdiri, berniat memberi salam namun saat melihat sosok
pria yang berdiri di hadapannya, tubuhnya langsung mematung.
Ekspresi yang sama
ditunjukkan oleh pria itu. Pelayan menutup pintu dan keduanya masih terdiam
cukup lama.
“Mizuki…,” sebuah kata
akhirnya terucap dan keheningan langsung berakhir.
“Apa yang kau lakukan
disini?” Tanya Mizuki kemudian.
“Kau sendiri, apa yang kau
lakukan disini?” Hijiri balik bertanya. Dia tidak mau mengatakan alasan
kedatangannya.
“Tuan Masumi memintaku
untuk mewakilinya menemui Direktur Baru Haiteku Entertainment,” jawab Mizuki.
Mata Hijiri melebar karena
terkejut, “Kau tahu siapa direktur Haiteku yang baru?”
“Tidak, Tuan Masumi bilang
aku akan tahu setelah aku bertemu dengan…nya,” Mizuki terhenyak, kedua tangan
langsung menangkup mulutnya.
Kali ini logika keduanya
sejalan. Pikiran mereka sepakat. Ada sesuatu yang terjadi yang mereka berdua
tidak tahu.
Hijiri berjalan kemeja dan
menghempaskan dirinya di kursi. Mizuki juga kembali duduk, menenangkan dirinya.
“Apa yang terjadi
sebenarnya? Kau…? Direktur Haiteku?” Mizuki masih tidak percaya dengan apa yang
terjadi.
“Apa yang dikatakan Tuan
Masumi padamu?” Tanya Hijiri, dia berusaha bersikap setenang mungkin.
Menatap Hijiri, Mizuki
mulai menjelaskan, “Tuan Masumi mengatakan bahwa ini tugas penting. Aku harus
menyerahkan dokumen rahasia ini pada Direktur baru Haiteku. Namanya masih
rahasia karena ada hal yang masih harus dibereskan. Tuan Masumi juga mengatakan
bahwa setelah surat ini diterima maka negosiasinya harus berhasil,”
Hijiri menyeringai tipis,
dia sudah menemukan benang merahnya.
“Dan kau? Apa yang Tuan
Masumi katakan padamu?” Mizuki meminta penjelasan.
“Sebenarnya aku menolak
jabatan direktur yang diberikan padaku. Tapi Tuan Masumi memintaku menemui
seseorang yang akan merubah keputusanku. Dia juga mengatakan bahwa orang yang
akan aku temui adalah alasan aku harus menerima jabatan itu,” terang Hijiri.
“Berikan padaku dokumen itu,” Hijiri meminta amplop coklat yang di bawa Mizuki.
Dalam diam Mizuki
mengulurkan amlop. Otaknya masih beradaptasi pada kekonyolan yang dibuat
bosnya.
“Kau tahu apa isinya?”
Tanya Hijiri sebelum mengambil pisau steak untuk membukanya.
“Tidak,” jawab Mizuki
singkat.
Amplop terbuka dan mata
Hijiri kembali melebar saat melihat isinya. Sedetik kemudian dia tebahak.
Mizuki penasaran, beranjak dari kursinya dan menghampiri Hijiri, mengambil
amplop dari tangannya.
Dengan terkejut dia
menuang isi amplop ke meja. Hijiri sudah berhenti tertawa tapi senyumnya tidak
berhenti mengembang.
Mizuki melotot padanya
lalu beralih memandang kertas yang terserak di meja.
Dua buah tiket perjalanan
ke Eropa, voucher hotel bintang lima, selembar cek dengan nominal yang
fantastis dan yang lebih mengejutkan lagi…dokumen pendaftaran pernikahan
lengkap dengan semua lampirannya atas nama dirinya dan Hijiri.
Mizuki menggeleng tidak
percaya.
“Apa ini?” Mizuki syok melihat.
Hijiri masih tersenyum,
menyandarkan kepala pada tangannya yang bertumpu di meja.
“Kenapa kau malah senang?
Tuan Masumi sudah mengerjai kita!” kata Mizuki berang.
“Mengerjai? Aku tidak
yakin dia berniat seperti itu Saeko,” jawab Hijiri santai.
Saeko?
Mizuki mendengus kesal.
“Dia sudah tahu hubungan
kita?” Tanya Mizuki meski dia sudah jelas tahu jawabannya.
“Pastinya,” jawab Hijiri.
“Dan kau tahu semua
rencana ini?” Tanya Mizuki lagi, otaknya kacau sekarang.
Hijiri menggeleng, “Tidak
Saeko, aku tidak tahu tentang semua ini. Aku sama terkejutnya denganmu,”
“Kau tidak terlihat
terkejut,” cibir Mizuki.
“Aku hanya sedang
bersyukur Saeko. Bersyukur memiliki bos sebaik Tuan Masumi dan Nyonya Maya,”
“Tidak! Tidak! Tidak! Kita
harus mengembalikan semua ini pada mereka. Ini terlalu berlebihan,” protes
Mizuki.
“Kita? Aku tidak akan
mengembalikannya Mizuki,”
“Kenapa?”
“Karena memang tidak
seharusnya dikembalikan kepada mereka. Ini semua bukan milik mereka, justru
Tuan dan Nyonya lah yang mengembalikan ini pada pemiliknya,”
“Hah?” Mizuki semakin
kebingungan.
“Ada surat di dalamnya,
bacalah,” kata Hijiri pada kekasihnya yang masih berdiri didepannya dengan
marah.
Menurut, Mizuki melihat
isi amplop, ya masih ada dua kertas surat terselip di dalamnya. Mizuki mengambil
keduanya dan mulai membaca.
Tuan Hijiri
Kami menemukan amplop ini
di tempat sampah di depan café. Maaf kalau aku lancang dan tidak sopan dengan
mencampuri urusan kalian. Masumi juga sudah memarahiku. Tapi rasanya sayang
sekali kalau semua ini di buang begitu saja. Bukan karena nilainya tapi karena
cinta terlalu berharga untuk diletakkan di tempat sampah. Aku dan Masumi
bahagia berkat kalian berdua dan kami berharap kalian juga bisa bahagia.
Perjuangkanlah cintamu Tuan Hijiri. Ku kembalikan milikmu.
“Jadi ini semua…?
Seharusnya malam itu? Berkas pernikahan ini? Kau dan aku?” Mizuki meracau
bingung.
“Masih ada satu surat
lagi,” kata Hijiri, sekali lagi mengabaikan keterkejutan Mizuki.
Mizuki kembali membaca
surat dalam genggamannya.
Aku tidak akan menjanjikan
semua hal menjadi indah saat bersamaku
Mungkin kau akan menangis,
mungkin kau akan terluka
Tapi percayalah, saat
semua itu terjadi
Aku akan ada untukmu
Menyeka air matamu,
membalut lukamu dan kita akan kembali tersenyum bersama
Saeko…Jadilah milikku
sekarang dan selamanya
Hanya untukku….
Lutut Mizuki gemetar dan
tubuhnya merosot ke lantai.
“Saeko!” pekik Hijiri
terkejut. Reaksi Mizuki di luar perkiraannya.
Dengan lembut Hijiri
membawa Mizuki duduk kembali di kursinya.
“Kau baik-baik saja
sayang?” Tanya Hijiri seraya mengusap lembut air mata Mizuki yang berderai, dia
berdiri dengan lututnya di depan Mizuki.
“Sayang?” suara Mizuki
parau karena isakannya.
Hijiri tersenyum dan
dengan lembut mengecup bibir Mizuki.
“Pertama dan terakhir,”
Hijiri mengulang apa yang pernah dikatakannya di café.
“Kau masih mau menerimaku?
Kau memaafkanku?” Tanya Mizuki.
“Aku tidak pernah ingin
meninggalkanmu dan tidak ada yang perlu dimaafkan kurasa,” jelas Hijiri.
Mizuki tersipu, sepenuhnya
sadar bahwa dialah yang meninggalkan Hijiri, bukan sebaliknya.
“Jadi kau tidak bercanda
saat mengatakan akan menikahiku saat liburan musim panas?” Mizuki akhirnya
mengatakan pemikirannya.
“Jadi kau pikir aku
bercanda?!” mata Hijiri menyipit tidak suka.
Mizuki mengangguk.
“Ya ampun, Saeko!
Bagaimana bisa otak pintarmu berpikir seperti itu?” Tanya Hijiri kesal.
“Aku wanita Karato, banyak
hal bisa muncul tiba-tiba di otak seroang wanita,” Mizuki bahkan tidak percaya
dia menggunakan alasan itu untuk membela diri.
“Dan kau bisa tiba-tiba
memutuskan untuk meninggalkanku?” Hijiri menggeleng tak percaya.
Mizuki terdiam, “Hhmm,
soal itu….,”
“Apa? Kau mau bilang kalau
aku lebih sayang pekerjaan daripada dirimu?” bentaknya.
Hijiri berdiri lalu
menghela napas panjang, dia kesal dengan pemikiran Mizuki.
“Dengar dulu
penjelasanku,” kata Mizuki seraya meraih tangan Hijiri.
“Katakan!” pinta Hijiri, mencoba untuk mengerti.
“Aku mendengar
percakapanmu dengan Tuan Masumi di basement. Saat itu kau tidak mengakuiku
sebagai kekasih,” jelas Mizuki.
Mulut Hijiri menganga tapi
dengan cepat menutupnya.
“Jangan marah, aku hanya
berpikir sesuai dengan apa yang ku dengar,” bujuk Mizuki, dia cukup bingung
menjelaskan karena Hijiri terlihat marah padanya.
“Kau berpikir sesuai apa
yang kau dengar? Bagaimana dengan perasaanmu? Atau perasaanku? Tidakkah kau
memikirkan itu juga?” kata Hijiri sambil melotot.
“Aku juga tersiksa dengan
semua ini,” protes Mizuki.
“Memang itu maumu!” tandas Hijiri.
“Lalu sekarang apa? Kau
bilang kau tidak marah padaku? Kau mau menerimaku lagi? Kenapa sekarang
menyalahkanku?” bentak Mizuki.
“Aku tidak marah, hanya
kesal dengan pemikiran sempitmu! Aku menyangkalmu karena aku pikir saat itu
bukan waktu yang tepat kalau aku membicarakan hubungan kita. Aku berencana akan
mengakui semuanya setelah kita menikah nanti. Jadi Tuan Masumi tidak lagi punya
alasan untuk tidak setuju dengan keputusanku. Siapa yang tahu kalau ternyata
Tuan dan Nyonya sudah tahu semuanya,” jelas Hijiri.
Mizuki terdiam. Dalam hati
dia sangat menyesali keputusannya dulu. Ternyata semuanya malah menjadi rumit
karena kebodohannya sendiri.
“Maaf, aku tidak tahu
kalau kau berniat melamarku malam itu dan sudah mempersiapkan semua ini,”
Mizuki melambaikan tangannya pada kertas-kertas di atas meja.
“Bagaimana kau bisa tahu,
ulang tahun hubungan kita saja kau lupa,” kata Hijiri.
Dan Mizuki semakin
menyesal karenanya. Diapun berdiri lalu melingkarkan tangannya melilit Hijiri.
“Ku mohon maafkan aku,”
bisiknya.
Hijiri menyerah saat
kemudian bibir Mizuki bersandar lembut di bibirnya. Membalas pelukan Mizuki,
Hijiri juga menikmati bibir manis itu. Emosi keduanya langsung teredam.
“Saeko…,” desah Hijiri
putus asa saat bibir mereka terpisah, dia menagkupkan tangannya di wajah
kekasihnya. Menatapnya lekat-lekat.
“Kau tahu, duniaku hancur
saat aku pikir aku sudah kehilanganmu,” kata Hijiri, kalimatnya sama sedihnya
dengan suaranya, “Jangan lagi meragukan cintaku,”
“Aku juga hampir gila saat
berpisah denganmu. Aku tidak menyangka rasanya akan sesakit ini jika
kehilanganmu. Aku menyesali keputusanku tapi aku juga tidak tahu bagaimana
memperbaikinya sementara kau tidak bisa memilih….maafkan aku,” kata Mizuki.
“Jadi sekarang…karena
masalah pekerjaanku sudah terselesaikan. Apa kau mau menikah denganku Saeko?
Menjadi milikku? Sekarang dan selamanya?” Tanya Hijiri seraya menatap lembut
kekasihnya.
Mizuki tersenyum dengan
penuh kebahagiaan lalu mengangguk.
“Terima kasih sayang,”
memiringkan wajahnya, sekali lagi Hijiri mencium dengan lebut kekasih
tercintanya. Memateraikan cinta mereka.
“Aku mencintaimu,” bisik
Hijiri.
“Aku juga mencintaimu,” balas
Mizuki.
Teringat sesuatu, Hijiri
melepaskan pelukannya. Tangannya sibuk mencari sesuatu di dalam saku jasnya.
“Beruntung aku belum
membuangnya dan masih terus membawanya,” kata Hijiri saat mengeluarkan sebuah
kotak kecil dari sakunya.
Hijiri berlutut lalu membuka
kotaknya, menatap Mizuki yang sudah menangis dan kehabisan kata-kata.
“Pertama dan terakhir,
sekarang dan selamanya. Hanya kau yang ada di hatiku Saeko,”
Dan Mizuki langsung
menubrukkan dirinya, mumbuat Hijiri terjengkang ke belakang dan keduanya terbaring
di lantai.
“Rasanya tidak senikmat
jika kau menjatuhkanku di ranjang sayang. Lantainya dingin dan keras,” bisik
Hijiri menggoda Mizuki yang masih terisak di lehernya.
“Hentikan omong kosongmu
dan bawa aku pulang sekarang!” kata Mizuki.
“Dan kita akan melanjutkan
semua ini dirumah?” godanya lagi.
“Pulang sekarang atau aku
akan melakukannya disini!” bentak Mizuki ditelinga Hijiri.
Hijiri terbahak. “Saeko,
kau membuatku gila,”
***
Satu tahun kemudian.
Ckiiittttt!!!
Dua buah mobil sedan
berhenti bersamaan di depan rumah sakit. Dua orang pria tampak keluar dari
mobil dengan wajah pucat. Tergesa, keduanya berlari masuk. Beberapa orang
terdengar marah saat keduanya melintas dan hampir menabrak pasien di atas kursi
roda.
“Dimana mereka?” Teriak
Masumi panik.
Keduanya berhenti seketika
saat menyadari mereka sama sekali tidak tahu arah.
“Dimana ruang bersalin?” Karato
menarik lengan seorang perawat yang melintas.
“Di lantai tiga tuan,”
jawab perawat itu kesal karena Karato mencengkram kuat lengannya.
Tidak lagi ingat untuk
mengucapkan terima kasih, keduanya kembali berlari.
“Ayo cepat,” gerutu Masumi
saat merasa liftnya berjalan terlalu lama.
Karato sama paniknya tapi
dia memilih untuk tetap diam.
Ting! Pintu lift terbuka
dan keduanya kembali berlari. Sekali lagi terdengar hardikan saat keduanya
hampir menabrak tiga orang perawat yang sedang berjalan..
“Maaf!” teriak Karato
sambil lalu sementara Masumi tidak menghiraukannya.
Berhenti didepan meja
resepsionis di depan ruang bersalin keduanya dengan bijak memutuskan bertanya.
“Dimana kamar Maya Hayami?
Saya suaminya,” Tanya Masumi tergesa.
“Dimana kamar Saeko Hijiri?
Saya suaminya,” Karato mengatakan kalimat yang sama, tidak bisa lagi berpikir
banyak.
Perawat itu tertegun
sejenak seraya menatap monitor komputernya, “Hijiri, Hayami,” gumamnya lirih.
“Cepat!!” bentak Masumi
tanpa sadar karena tidak sabar lagi menunggu.
Perawat itu tersentak,
“Uhhhmm, kamarnya di ujung lorong saling berhadapan, nomor….,”
“Terima kasih,” teriak Karato
yang langsung berlari menyusul Masumi yang sudah lebih dulu meninggalkan meja resepsionis.
Memang mereka tahu nomor
kamarnya? Aku kan belum mengatakannya, perawat itu mengendikkan bahu tidak
peduli. Masih kesal karena dibentak Masumi.
Tiba diujung lorong Masumi
masuk kesalah satu kamar dan Karato masuk ke kamar di depannya.
“Anda siapa?” Tanya
perawat terkejut dengan kemunculan tiba-tiba seorang pria di kamar bersalin.
“Tentu saja saya
suaminya!” bentak Masumi.
Aaakkkhhh! Sebuah teriakan
menyadarkan Masumi.
“Saeko?!” pekik Masumi
terkejut.
“Dia bukan suamiku! Suruh
dia keluar! Dia selalu marah-marah! Aku tidak mau melihat wajahnya saat
melahirkan anakku! Nanti anakku seperti dia!!” teriak Saeko di tengah erangan
sakitnya. Sekarang dia sudah menjadi Nyonya Hijiri. Masumi melotot padanya tapi dengan cepat kembali teringat istrinya.
Kekacauan yang sama
terjadi di kamar Maya.
“Masumi bodoh! Aku akan
menceraikanmu! Istrimu mau melahirkan dan kau malah mengirim Karato! Suruh
dia keluar!!” teriak Maya, “Aaakkkhhh, sakit!!” erang Maya.
“Tenang Nyonya tenang!
Silakan keluar Tuan!” usir perawat.
Masumi dan Karato keluar dari
kamar dengan wajah seragam, merah padam. Tanpa kata keduanya masuk ke kamar
istri mereka.
“Aaakkkhhh! Sakit!” Maya
kembali berteriak saat Masumi masuk.
“Oh sayang, akhirnya aku
menemukanmu,” Masumi langsung menggenggam tangan istrinya dan menciumi wajah
Maya. Mengabaikan keberadaan perawat dan dokter.
“Menemukan apanya? Aku
dari tadi menunggumu dan kau malah mengirim Karato untuk melihatku,” bentak
Maya marah, “Aaakkkhhh,” Maya kembali mengerang saat kontraksinya semakin
hebat.
“Maaf, maaf,” Masumi sudah
tidak bisa lagi menjelaskan saat melihat istrinya kesakitan.
“Anda harus tenang Nyonya,
tarik napas panjang lalu hembuskan sambil mendorong bayinya,”
“Aaakkkhhh!” Maya kembali
mengerang saat melakukan apa yang diperintahkan dokter padanya tapi bayinya
belum juga keluar.
“Masumi, kalau aku mati…kau
tidak boleh menikah lagi dan….harus merawat anak kita dengan baik,” kata Maya
sambil terengah-engah mengambil napas.
Wajah Masumi memucat dan
semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Maya, “Kau ini bicara apa? Tidak
akan terjadi apa-apa padamu, kita akan membesarkan anak kita bersama-sama,”
kata Masumi panik.
Seorang perawat terkikik
mendengar percakapan sepasang suami istri itu.
“Anda tidak akan mati
Nyonya! Tidak selama saya masih disini! Jadi berhentilah bicara dan dorong
bayinya keluar!” omel dokter yang menangani Maya.
Masumi dan Maya saling
berpandangan.
“Masumi, kita ganti dokter
saja, anakku tidak mau keluar karena dokternya galak,” teriak Maya.
Aduh Maya, yang benar saja…. Masumi mengangguk sungkan pada dokter.
Dokter pun hanya menggeleng geli melihat nyonya muda yang sedang meracau.
"Sedikit lagi Nyonya,
ayo Nyonya," kata dokter memberi semangat.
Masumi benar-benar pucat
sekarang, tangan Maya mencengkram kuat lengannya.
"Sakitt! Masumi,
tolong, sakit sekali," rintih Maya.
"Sabar sayang, kau pasti bisa Maya, kau kuat!" Masumi mencoba menguatkan istrinya meski dia sendiri ragu. Mengusap lembut kepala Maya, Masumi tidak tega melihat istri mungilnya kesakitan.
"Aaakkkhhh!!" Maya kembali berteriak saat kontraksi semakin mendorong bayinya.
"Kepalanya sudah terlihat Nyonya, ayo sedikit lagi," dokter memberi semangat.
"Kepala siapa yang terlihat dokter?" Tanya Maya lirih, rasa sakit sudah membuyarkan pikirannya.
"Kepala bayi anda tentu saja!" Omel dokter lagi, dia seperti habis kesabaran menghadapi Maya, "Ayo Nyonya dorong bayinya,"
"Saya sudah tidak kuat mendorong dokter. Suruh saja suami saya yang mendorong," Maya kembali meracau.
"Dokter apa istri saya akan baik-baik saja?" Tanya Masumi cemas.
"Istri anda masih bisa mendorongnya Tuan, tapi jika dia menyerah kami akan melakukan tindakan lain," kata dokter kemudian.
"Maya, bertahanlah sayang, sebentar lagi," kata Masumi menguatkan.
"Aku lelah, ingin tidur," kata Maya lirih.
"Jangan tidur dulu Nyonya! Ayo dorong bayinya, jika tidak maka anda harus dioperasi," ancam dokter.
Maya terkesiap saat mendengar kata operasi, sekuat tenaga dia mengumpulkan kesadarannya. Masumi semakin pucat disebelahnya.
"Aku tidak mau," kata Maya kemudian.
"Kalau begitu dorong bayinya, saya yakin anda bisa," dokter kembali menyemangati.
"Aaakkkhhh!!" Maya kembali berteriak saat usaha mendorong bayinya keluar membuat rasa sakit itu kembali menderanya.
"Maya...," Masumi kehabisan kata-kata. Tangan Maya yang mencengkram lengannya menggambarkan kesakitan yang dirasakan istrinya.
"Sedikit lagi Nyonya," teriak dokter.
"Aakkkhhhh!" Maya terengah dan jatuh lemas saat sebuah tangisan menggema memenuhi ruangan.
"Sabar sayang, kau pasti bisa Maya, kau kuat!" Masumi mencoba menguatkan istrinya meski dia sendiri ragu. Mengusap lembut kepala Maya, Masumi tidak tega melihat istri mungilnya kesakitan.
"Aaakkkhhh!!" Maya kembali berteriak saat kontraksi semakin mendorong bayinya.
"Kepalanya sudah terlihat Nyonya, ayo sedikit lagi," dokter memberi semangat.
"Kepala siapa yang terlihat dokter?" Tanya Maya lirih, rasa sakit sudah membuyarkan pikirannya.
"Kepala bayi anda tentu saja!" Omel dokter lagi, dia seperti habis kesabaran menghadapi Maya, "Ayo Nyonya dorong bayinya,"
"Saya sudah tidak kuat mendorong dokter. Suruh saja suami saya yang mendorong," Maya kembali meracau.
"Dokter apa istri saya akan baik-baik saja?" Tanya Masumi cemas.
"Istri anda masih bisa mendorongnya Tuan, tapi jika dia menyerah kami akan melakukan tindakan lain," kata dokter kemudian.
"Maya, bertahanlah sayang, sebentar lagi," kata Masumi menguatkan.
"Aku lelah, ingin tidur," kata Maya lirih.
"Jangan tidur dulu Nyonya! Ayo dorong bayinya, jika tidak maka anda harus dioperasi," ancam dokter.
Maya terkesiap saat mendengar kata operasi, sekuat tenaga dia mengumpulkan kesadarannya. Masumi semakin pucat disebelahnya.
"Aku tidak mau," kata Maya kemudian.
"Kalau begitu dorong bayinya, saya yakin anda bisa," dokter kembali menyemangati.
"Aaakkkhhh!!" Maya kembali berteriak saat usaha mendorong bayinya keluar membuat rasa sakit itu kembali menderanya.
"Maya...," Masumi kehabisan kata-kata. Tangan Maya yang mencengkram lengannya menggambarkan kesakitan yang dirasakan istrinya.
"Sedikit lagi Nyonya," teriak dokter.
"Aakkkhhhh!" Maya terengah dan jatuh lemas saat sebuah tangisan menggema memenuhi ruangan.
Masumi merasakan kelegaan
di setiap sel tubuhnya, membebaskannya dari kecemasan yang sejak tadi
mencengkramnya.
"Selamat Tuan, bayinya anda sehat, laki-laki, tampan," kata dokter.
Masumi tidak bisa bicara, rasa takjub masih melingkupinya. Melihat istrinya yang kepayahan, Masumi menciumi wajah Maya berkali-kali. Maya mengulum senyum dengan sisa-sisa tenaganya.
"Kau berhasil, terima kasih sayang," bisik Masumi.
"Mana putraku," lirih Maya.
Dokter memberikan pada Masumi bayi tampan terbungkus kain biru. Bayi itu menggeliat dalam dekapannya.
"Selamat Tuan. Anda berhasil Nyonya," ucap dokter seraya tersenyum pada Maya, menghargai perjuangan nyonya kecil itu untuk melahirkan buah hatinya.
"Terima kasih dokter," jawab Maya lirih.
Masumi terpesona melihat bayi mungil yang terlelap damai dalam gendongannya, membungkukkan tubuhnya, Masumi memperlihatkan bayinya pada Maya.
"Dia tampan sekali," puji Maya lirih namun penuh kebanggaan.
Sekali lagi Masumi mengusap kepala istrinya lalu membenamkan kecupan hangat di keningnya. "Terima kasih sayang, terima kasih,"
Maya kembali tersenyum. Perjuangannya terbayar sudah. Wajah tampan putranya sudah membuatnya melupakan semua rasa sakit yang baru saja dialaminya. Dan lagi, kebahagiaan Masumi yang menggendong putra mereka sudah memulihkan semua kekuatannya.
"Aku mencintaimu ibu," bisik Masumi mesra pada istrinya.
"Aku juga mencintaimu ayah," balas Maya penuh haru.
"Selamat Tuan, bayinya anda sehat, laki-laki, tampan," kata dokter.
Masumi tidak bisa bicara, rasa takjub masih melingkupinya. Melihat istrinya yang kepayahan, Masumi menciumi wajah Maya berkali-kali. Maya mengulum senyum dengan sisa-sisa tenaganya.
"Kau berhasil, terima kasih sayang," bisik Masumi.
"Mana putraku," lirih Maya.
Dokter memberikan pada Masumi bayi tampan terbungkus kain biru. Bayi itu menggeliat dalam dekapannya.
"Selamat Tuan. Anda berhasil Nyonya," ucap dokter seraya tersenyum pada Maya, menghargai perjuangan nyonya kecil itu untuk melahirkan buah hatinya.
"Terima kasih dokter," jawab Maya lirih.
Masumi terpesona melihat bayi mungil yang terlelap damai dalam gendongannya, membungkukkan tubuhnya, Masumi memperlihatkan bayinya pada Maya.
"Dia tampan sekali," puji Maya lirih namun penuh kebanggaan.
Sekali lagi Masumi mengusap kepala istrinya lalu membenamkan kecupan hangat di keningnya. "Terima kasih sayang, terima kasih,"
Maya kembali tersenyum. Perjuangannya terbayar sudah. Wajah tampan putranya sudah membuatnya melupakan semua rasa sakit yang baru saja dialaminya. Dan lagi, kebahagiaan Masumi yang menggendong putra mereka sudah memulihkan semua kekuatannya.
"Aku mencintaimu ibu," bisik Masumi mesra pada istrinya.
"Aku juga mencintaimu ayah," balas Maya penuh haru.
Sementara itu hal yang
sama juga terjadi di kamar Saeko.
“Tarik napas panjang dan
dorong bayinya Nyonya,” kata dokter memberi instruksi.
“Aaakkkhhh!” Saeko
mengerang kesakitan mendorong bayinya tapi belum juga berhasil.
“Sakit Karato!! Aku tidak
mau punya anak lagi kalau sakit seperti ini!” teriak Saeko.
Karato pucat mendengar
perkataan istrinya, bahkan satu bayipun belum berhasil dikeluarkannya.
“Tenanglah, ada dokter
yang membantu, kau pasti bisa sayang,” Karato mencoba menenangkan.
“Apanya yang tenang?! Lain
kali kau saja yang hamil dan aku akan melihatnya dengan tenang!” bentak Saeko.
“Ya ampun Saeko, apa yang
kau katakan,” Karato bingung tapi dia mengerti istrinya sedang kesakitan.
"Dokter apa istri
saya akan baik-baik saja? Tanya Karato cemas.
"Iya Tuan, istri anda akan baik-baik saja. Tolong kurangi mengobrolnya dan anda Nyonya tolong tenang agar anda bisa kuat mendorong bayinya," jelas dokter panjang lebar.
"Aaakkkhhhh! Sakit!" Saeko kembali berteriak.
"Kau pasti bisa sayang bertahanlah," Karato menggenggam tangan istrinya kuat-kuat.
"Aaakkkhhh!! Dokter!! Saya tidak kuat lagi!!" teriak Saeko.
Wajah Karato semakin pucat mendengar istrinya menyerah.
"Anda masih kuat berteriak sekeras itu, jadi anda pasti masih kuat mendorong bayinya. Ayo nyonya," kata dokter.
"Saeko, ayo bertahanlah. Jika kau berhasil aku akan menuruti semua keinginanmu." Kata Karato yang sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Kau janji? Aaakkkhhh!" Saeko setengah menyeringai di tengah kesakitannya.
"Iya, iya aku janji," Karato meyakinkan. "Kau jangan menyerah," tambah Karato.
"Kau akan menuruti semua keinginanku? Apapun itu?” katanya terengah, kemampuan negosiasinya ternyata juga berguna di saat genting seperti ini.
"Iya Tuan, istri anda akan baik-baik saja. Tolong kurangi mengobrolnya dan anda Nyonya tolong tenang agar anda bisa kuat mendorong bayinya," jelas dokter panjang lebar.
"Aaakkkhhhh! Sakit!" Saeko kembali berteriak.
"Kau pasti bisa sayang bertahanlah," Karato menggenggam tangan istrinya kuat-kuat.
"Aaakkkhhh!! Dokter!! Saya tidak kuat lagi!!" teriak Saeko.
Wajah Karato semakin pucat mendengar istrinya menyerah.
"Anda masih kuat berteriak sekeras itu, jadi anda pasti masih kuat mendorong bayinya. Ayo nyonya," kata dokter.
"Saeko, ayo bertahanlah. Jika kau berhasil aku akan menuruti semua keinginanmu." Kata Karato yang sudah tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Kau janji? Aaakkkhhh!" Saeko setengah menyeringai di tengah kesakitannya.
"Iya, iya aku janji," Karato meyakinkan. "Kau jangan menyerah," tambah Karato.
"Kau akan menuruti semua keinginanku? Apapun itu?” katanya terengah, kemampuan negosiasinya ternyata juga berguna di saat genting seperti ini.
“Iya apapun itu,” kata Karato,
bingung istrinya justru memikirkan sebuah perjanjian sementara bayi mereka
belum juga keluar.
“Ku pegang janjimu! Aaakkkhhh!" Memegang erat tangan suaminya, Saeko kembali mendorong bayinya.
"Kepalanya sudah terlihat Nyonya! Ayo Nyonya, sedikit lagi!" Dokter kembali memberi semangat.
"Aaakkkhhh," dan itu adalah teriakan terakhir dari Saeko.
"Oek! Oek! Oek!" Dalam sekejap tangisan yang terdengar melunturkan semua ketegangan Karato.
"Selamat Tuan, Nyonya, bayinya sehat, perempuan. Cantik sekali," kata dokter.
Karato merasakan kebahagiaan memenuhi rongga dadanya saat mendengar tangisan pertama dari putrinya yang baru saja lahir. Saeko tampak kepayahan, dia terdiam, mengatur napasnya perlahan. Mengusap lembut kepala istrinya, Karato membenamkan kecupan hangat di kening, tangannya masih menggenggam erat tangan Saeko yang sekarang lemas.
"Terima kasih sayang, terima kasih," ucapnya penuh Haru.
Sedetik kemudian Saeko tersenyum, sama harunya dengan Karato.
"Aku mau lihat putriku," pinta Saeko lirih, tenaganya sudah habis terkuras.
Dokter menyerahkan bayi yang masih merah dengan noda darah dengan dibungkus kain lembut berwarna biru. Karato merasakan tangannya gemetar saat menggendong tubuh mungil bayinya.
"Hati-hati Tuan," kata dokter. Karato mengangguk mantap, mengeratkan gendongannya, memastikan putrinya aman.
"Cantik seperti dirimu," puji Karato saat memperlihatkan bayi dalam gendongannya kepada istrinya.
Air mata Saeko menetes tanpa diminta. Setelah sembilan bulan dikandung akhirnya bayi kecil itu lahir kedunia. Rasa sakit yang tadi dirasakannya sekarang telah sirna. Terbayar sudah oleh kecantikan putrinya.
Karato mengusap air mata istrinya dengan telunjuknya.
"Aku bahagia, anak kita, cantik sekali," ucap Saeko lirih dengan suara penuh haru.
"Aku juga bahagia sayang, terima kasih," kata Karato lagi.
"Kepalanya sudah terlihat Nyonya! Ayo Nyonya, sedikit lagi!" Dokter kembali memberi semangat.
"Aaakkkhhh," dan itu adalah teriakan terakhir dari Saeko.
"Oek! Oek! Oek!" Dalam sekejap tangisan yang terdengar melunturkan semua ketegangan Karato.
"Selamat Tuan, Nyonya, bayinya sehat, perempuan. Cantik sekali," kata dokter.
Karato merasakan kebahagiaan memenuhi rongga dadanya saat mendengar tangisan pertama dari putrinya yang baru saja lahir. Saeko tampak kepayahan, dia terdiam, mengatur napasnya perlahan. Mengusap lembut kepala istrinya, Karato membenamkan kecupan hangat di kening, tangannya masih menggenggam erat tangan Saeko yang sekarang lemas.
"Terima kasih sayang, terima kasih," ucapnya penuh Haru.
Sedetik kemudian Saeko tersenyum, sama harunya dengan Karato.
"Aku mau lihat putriku," pinta Saeko lirih, tenaganya sudah habis terkuras.
Dokter menyerahkan bayi yang masih merah dengan noda darah dengan dibungkus kain lembut berwarna biru. Karato merasakan tangannya gemetar saat menggendong tubuh mungil bayinya.
"Hati-hati Tuan," kata dokter. Karato mengangguk mantap, mengeratkan gendongannya, memastikan putrinya aman.
"Cantik seperti dirimu," puji Karato saat memperlihatkan bayi dalam gendongannya kepada istrinya.
Air mata Saeko menetes tanpa diminta. Setelah sembilan bulan dikandung akhirnya bayi kecil itu lahir kedunia. Rasa sakit yang tadi dirasakannya sekarang telah sirna. Terbayar sudah oleh kecantikan putrinya.
Karato mengusap air mata istrinya dengan telunjuknya.
"Aku bahagia, anak kita, cantik sekali," ucap Saeko lirih dengan suara penuh haru.
"Aku juga bahagia sayang, terima kasih," kata Karato lagi.
***
Klontang! Brak! Bruk!
Gelas jatuh ke lantai dan mangkuk bubur
tumpah di meja.
“Ya ampun Aiko,” Saeko kewalahan, mengangkat
putrinya dari baby chair lalu menempatkannya di pangkuan. Saeko putus asa,
sementara putrinya sibuk tergelak-gelak sambil menarik-narik rambut panjangnya.
“Ayah, mana susunya?” panggil Saeko.
Muncul dari dapur dengan menggunakan
celemek, Karato tergesa menghampiri istri dan anaknya, “Iya, iya, ini,” Karato
medesah panjang saat melihat ruang makan berantakan, seperti biasa.
“Kau harusnya makan bubur ini cantik,
bukan menumpahkannya,” Karato mencolek hidung mungil putrinya lalu
mengangkatnya dalam gendongannya. Aiko kembali tergelak saat tubuh mungilnya di
angkat, tak lama dia tenang dalam gendongan Karato sambil meminum
susunya, sementara kedua orang tuanya saling berpandangan menilai penampilan
masing-masing.
Karato mengenakan celemek melapisi kemeja
kerjanya yang sudah rapi sementara Saeko yang sudah rapi dengan baju kerjanya
tampak belepotan dengan noda bubur bayi pada pakaiannya. Mendesah bersamaan,
keduanya terbahak.
“Ternyata lebih susah menjadi orang tua
daripada menghadapi Yakuza,” kata Karato seraya menggelengkan kepalanya.
“Ya, lebih mudah menghadapi kemarahan Tuan
Masumi daripada amukan Aiko,” tambah Saeko yang juga masih terkikik geli.
Keduanya lalu berpaling pada dua orang
pelayan yang sudah siaga di pintu ruang makan dengan membawa sapu dan kain pel.
Mereka sudah siap membereskan kekacauan yang selalu terjadi di pagi hari akibat
dari praktek tuan dan nyonyanya yang ingin menjadi orang tua terbaik dengan
mengasuh anaknya sendiri namun selalu gagal dan berantakan meski sudah
menjalaninya selama tujuh bulan.
Karato dan Saeko kembali terbahak.
“Bereskan semuanya Bi,” perintah Saeko.
Kembali ke kamar, Karato membaringkan
putrinya yang sudah terlelap karena kekenyangan oleh sebotol susu.
“Dia cantik,” gumam Karato mengaggumi putri kecilnya.
“Dan lebih cantik saat tidur,” tambah
Saeko.
“Hhmmm,” Karato menggumam mantap tanda
setuju.
“Ngg, sayang, apa kau yakin kita akan
memenuhi undangan makan malam Tuan Masumi dengan membawa Aiko?” Tanya Saeko.
Menoleh pada istrinya, Karato juga terlihat
bingung.
“Nyonya Maya bersikeras mengundang Aiko. Katanya agar lebih akrab dengan Ken. Dia masih semangat menjodohkan anak kita dengan putranya,” jelas
Karato.
“Ya, ide itu masih sangat menggelikan bagiku. Tapi yang terpenting kita harus memperingatkan
mereka untuk menghidangkan makanan dengan piring plastik,” Saeko menyeringai.
Keduanya kembali terbahak dan sesaat
kemudian….
“Unggg….huaaa…huaaa….,” Aiko terbangun.
“Oh, tidak!” seru mereka bersamaan.
***
16 Comments
Ada lanjutannya kah?
ReplyDeletega ada mb... :)
Delete😍
Deletekereeeen....romantis,drama mengharu biru...meleleh deh pas baca tulisannya maya...so soft perasaannya..dan lucuuuu banget pas maya dikirim kataro waktu mau lahiran...ngakak guling2....makasih ya mba....keren abiisss
ReplyDeleteHahaha....kerennnn bgt mba...byk adegan lucunya bener2 menghibur...mksh mba agnes
ReplyDeleteHahaha....kerennnn bgt mba...byk adegan lucunya bener2 menghibur...mksh mba agnes
ReplyDeleteHahahaha.... bangun lagi deh baby Aiko.... ayo bikin rusuh lagi dek.... biar mommy Saeko n daddy Karato ga jadi berangkat kerja hehehehehe.... makasih ya mba Agnes.... one shot nya komplit.... kereennn....
ReplyDeleteHoho... Hijiri pakai celemek cakep jga.
ReplyDeleteThx u sist Agnes ^_^
Selalu ditunggu fftk selanujutnya. Top markotop. 2 jempol deh buat ceritanya. Saluut dengan ide ceritanya yg kereen....
ReplyDeleteakhirnya ada cerita mizuki n hijiri... so lovely.... keyen....keyeeeeen... sayang cuma one shot, hope mizuki n hijiri ttp selalu ada disamping MM.... lengkap sedih n ketawa"nya.... xixixixixi
ReplyDeleteTop banget crtanya bkin ketawa geli sampe sedih terharu cmpur aduk deh :D
ReplyDeleteKeren pkoknya mb agnes XD
Gado gado mbaca nya... Tp ngekek di bagian akhir nyaa... Caem mbak cerita nya... Geli aja mbayangin mizuki ma hijiri jd ortu gitu xizizizi...
ReplyDeleteKeren bgt ceritanya mbak agness...tengkyuuuu
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteYa Ampuuuuuuun. Bacanya sambil senyum senyum sendiri. Mba agnezzz aku padamu ❤❤
ReplyDeleteaaaahh love this!! <3 makasiii mbk Agnez!
ReplyDelete