Every Day I Love You - Chapter 2

Rate    : 20 thn +




Maya terbaring, ekspresinya kosong, memandang langit-langit kamar rumah sakit. Baru kemarin Maya menjalani operasi, kondisinya masih lemah. Wajahnya pucat pasi, Maya juga sempat mengalami pendarahan saat operasi.
Meski tangisan itu tanpa ekspresi dan suara tapi Masumi tahu betapa hancur hati istrinya saat ini.
Masumi tahu karena dia pernah melihatnya. Ya, ekspresi yang sama. Sama seperti saat Maya kehilangan ibunya dan menangis memeluk abu ibunya di depan kantornya.
Maya terkesiap saat merasakan jari-jari Masumi menyeka air matanya. Dia tidak menyadari kehadiran suaminya sejak tadi.
"Aku sudah merasa lebih baik," kata Maya saat melihat suaminya mematung menatapnya dengan mata penuh kekhawatiran.
Masumi duduk di tepi tempat tidur Maya.
"Dokter bilang kau masih harus banyak beristirahat dan jangan bersedih," Masumi meraih tangan istrinya, menggenggamnya dan memberikan usapan lembut menenangkan sebelum akhirnya mencium punggung tangan Maya.
"Aku ingin pulang," lirih Maya pada suaminya.
"Pulang?" Kening Masumi berkerut dalam. Maya bahkan belum kuat untuk duduk sendiri, bagaimana mungkin membawanya pulang ke rumah dengan kondisi selemah itu.
Mata sayu Maya memandang Masumi, menuntut persetujuan.
"Aku akan tanyakan pada dokter Amamiya," Masumi mencoba menenangkan.
"Aku rasa akan lebih tenang jika istirahat dirumah. Jauh dari semua ini," tangan Maya melambai, menunjuk keadaan sekitarnya.
"Kau tidak nyaman dikamar ini?"
Maya mengangguk.
"Aku bisa memindahkanmu ke kamar yang lebih nyaman, jadi kau bisa beristirahat dengan lebih baik,"
"Bukan itu,"
Wajah Maya kembali sendu, dia menghela napas panjang. Memalingkan wajahnya dari Masumi.
"Ada apa?" Masumi meraih dagu Maya dan memintanya memandangnya.
"Tidur di kamar ini... mengingatkan kalau aku baru saja...kehilangan calon anakku," Maya setengah berbisik di ujung kalimatnya.
Masumi terhenyak, ya...dia mengerti apa yang dirasakan istrinya. Dia juga merasa kehilangan, sangat kehilangan. Tentu ini tidak mudah bagi istrinya karena secara fisik Maya benar-benar merasakan kehilangan itu. Tapi membawa Maya pulang saat ini? Tanpa sadar Masumi menggeleng.
"Sayang, kau bahkan belum cukup kuat untuk duduk. Aku tidak mau mengambil resiko dengan keselamatanmu," Masumi akhirnya menjelaskan kengganannya.
Maya terdiam.
"Aku berjanji sayang, setelah kondisimu membaik kita akan segera pulang,"
"Kapan?"
"Jika dokter mengijinkan, jika kondisimu memungkinkan. Aku tidak keberatan. Tapi kau juga harus berjanji padaku,"
"Janji?"
"Berjanjilah untuk kuat, kembali bersemangat. Aku merindukan senyummu, tawamu, keceriaanmu, aku merindukan Maya-ku yang kuat,"
Maya terdiam.
"Aku mencintaimu sayang, hatiku sakit melihatmu sedih seperti ini,"
"Masumi....,"
"Kau harus ingat Maya, apapun yang terjadi kau tidak sendiri. Aku akan ada bersamamu, kita akan menghadapi ini bersama-sama,"
Maya merasa dirinya diliputi kehangatan cinta kasih yang melimpah. Matanya pun tidak kuasa untuk menahan rasa harunya.
"Sekarang yang terpenting adalah kesehatanmu, memulihkan kondisimu. Kau ingat apa kata dokter kan? Jika kau cepat sehat maka semakin besar juga kemungkinanmu untuk bisa hamil lagi,"
Maya terdiam dalam isakannya saat mendengar Masumi menyemangatinya.
"Terima kasih...," kata Maya lirih seraya tersenyum saat Masumi mengecup lembut keningnya.
"Sekarang istirahatlah,"
Maya mengangguk dan dia kembali ke alam bawah sadarnya saat Masumi membelai lembut kepalanya.

***
"Maaf baru bisa menghubungimu sekarang Mizuki,"
"Tidak apa-apa Tuan Masumi, saya mengerti. Bagaimana keadaan Nyonya?"
"Kondisinya masih sangat lemah, aku tidak bisa meninggalkannya sendiri,"
"Anda tidak perlu khawatir Tuan Masumi. Semuanya baik-baik saja dikantor. Wakil Direktur Tuan  Kawasaki, sudah mengatasi semuanya,"
"Ya, aku juga sudah menerima laporan dari Kawasaki semalam."
"Apa anda sudah membaca surat kabar pagi ini Tuan Masumi?"
Kening Masumi berkerut. "Belum, ada apa Mizuki?"
"Sudah saya menduga anda belum sempat membacanya. Ada berita mengenai Nyonya Maya,"
"Apa?!" Masumi terkejut. "Darimana mereka mendapat berita itu? Sial!!" mengumpat kesal, Masumi menyapukan tangan ke rambutnya, "Apa ada yang lain Mizuki?"
"Tidak ada Tuan, saya akan kirim semua laporan penting melalui email. Untuk sementara semua urusan terkendali, saya akan menghubungi Tuan hanya jika diperlukan,"
"Terima kasih Mizuki, maaf merepotkan,"
"Sudah tugas saya membantu anda Tuan. Semoga Nyonya Maya segera pulih,"
"Terima kasih Mizuki,"
Masumi mengeratkan tangannya saat menutup telepon.
Berita di surat kabar?! Kalau sampai Maya tahu berita ini diekspos ke media, dia pasti akan bertambah sedih. Kurang ajar!! Masumi merutuk dalam hati, dengan cepat kembali melakukan sebuah panggilan.
"Hijiri!" Katanya, "Benar...tidak, aku belum membacanya, Mizuki baru saja memberitahuku....bagus, bereskan semuanya....iya, aku tidak mau ada berita apapun tentang Maya saat ini di surat kabar atau di media manapun. Tidak sampai Maya pulih...baik Hijiri...aku serahkan padamu...terima kasih,"
Masumi keluar dari ruang tamu kamar Maya dan menemui Alex yang berjaga di luar kamar.
"Alex, pastikan semua wartawan yang ada di lobi rumah sakit saat ini tidak mendapat berita apapun tentang Maya. Aku sudah memberitahu pihak rumah sakit untuk tidak memberitahukan keadaan Maya pada mereka."
"Baik Tuan. Beberapa anak buah kita juga sudah saya perintahkan untuk berjaga diluar,"
Masumi tertegun sejenak.
"Bagus, terus awasi semuanya,"
"Baik Tuan,"
Masumi kembali masuk ke ruang tamu dan membuka handphonenya. Mencari situs berita online untuk mengetahui berita apa yang dimuat tentang istrinya. Rahang Masumi mengetat marah saat membaca berita yang dimuat oleh salah satu surat kabar.

'MAYA A HAYAMI SAKIT, KENAPA DISEMBUNYIKAN?"
Berita terbaru datang dari aktris kelas satu sekaligus istri dan pemilik dari Grup Daito, Maya A Hayami. Saat ini dikabarkan bahwa Maya A Hayami sedang menjalani perawatan disebuah rumah sakit swasta. Masuknya Maya A Hayami ke rumah sakit sepertinya disembunyikan oleh suaminya, Masumi Hayami. Salah satu sumber informasi kami mengatakan bahwa Maya A Hayami mengalami pendarahan hebat saat masuk ke emergency room rumah sakit. Pihak rumah sakit juga belum bersedia memberikan informasi apapun terkait hal ini. Apa yang sebenarnya terjadi?.....


Masumi menutup portal internetnya dan menghempaskan dirinya di sofa. Maya sudah cukup terpukul dengan kenyataan yang harus dihadapinya saat ini tanpa harus ditambah dengan pemberitaan publik. Para wartawan itu terkadang membuat Masumi benar-benar marah. Entah bagaimana mereka bisa mendapat berita secepat itu, bahkan sebanyak apapun anak buah yang dikerahkannya tetap saja para wartawan itu selalu berhasil mengekspos kehidupan pribadinya. Hijiri kadang juga kewalahan mencari sumber berita yang tak jarang hanya merupakan karangan wartawan untuk menarik minat pembaca.
Handphone Masumi berdering, mengalihkan perhatiannya.
"Masumi, bagaimana Maya?" Suara penuh kecemasan menyambutnya.
"Dia sangat sedih Ma, kondisinya masih lemah."
Masumi berdiri dan melihat melalui pintu kaca ke arah tempat tidur istrinya, Maya masih tampak tenang dan terlelap.
"Aku turut berduka Masumi, aku sangat sedih saat mendengarnya dan aku bisa bayangkan bagaimana sedihnya Maya. Bisakah aku bicara dengannya?" Suara Clara meminta dengan penuh empati.
"Maaf Ma, tapi Maya sedang istirahat sekarang," sekali lagi, Masumi melirik ke arah istrinya yang terbaring.
"Masumi, rasanya aku ingin sekali bersama Maya sekarang," Clara terdengar sangat khawatir.
"Kondisinya memang masih lemah. Tapi tenang saja Ma, aku akan menjaganya,"
Masumi menenangkan.
"Ya, aku tahu kau pasti akan menjaganya dengan baik. Aku sedih tidak bisa langsung datang Masumi. Banyak sekali yang harus aku selesaikan disini. Papa dan Christ juga sedang berada di Eropa. Kami akan mencari waktu nanti untuk mengunjungi Maya jika semua urusan sudah selesai,"
"Iya Ma, terima kasih,"
"Sampaikan salamku padanya, jaga dia dan kabari aku perkembangan kondisinya,"
"Tentu Ma,"
Masumi menghela napas panjang saat panggilannya selesai. Hatinya kembali tersayat saat melihat Maya yang terbaring.

***
Dua hari berselang kondisi Maya membaik dan dia bersikeras meminta pulang. Tim dokter akhirnya setuju dengan syarat Maya belum boleh melakukan aktifitas yang berat.
Yamada dan Amamiya sebagai dokter yang menangani Maya sudah memberikan pernyataan secara resmi pada media mengenai kondisi istri dari Direktur Utama Daito itu. Dan berita tersebut menjadi pemberitaan terakhir yang dimuat media karena Hijiri sudah memastikan bahwa tidak ada lagi pemberitaan di media tentang kondisi Nyonyanya.
"Selamat datang Nyonya," para pelayan berjajar di ruang tamu menyambut kepulangan Maya.
"Terima kasih," jawab Maya lirih seraya menyunggingkan senyum tipisnya.
"Kami senang Nyonya sudah sehat dan kembali ke rumah," Harada memberikan senyuman tulus pada Maya.
"Terima kasih Bi,"
"Lanjutkan nanti saja Bi, Nyonya harus segera beristirahat," Masumi menyela acara sambutan itu.
"Ah, maaf Tuan, semua sudah disiapkan," Harada membungkuk minta maaf dan mempersilakan Tuan dan Nyonyanya untuk ke kamar.
"Masumi," Maya menegur lirih suaminya, dia mendongak dan melihat wajah cemas suaminya.
"Kau masih harus banyak beristirahat Maya," Masumi memberi alasan atas perkataannya.
"Iya," jawab Maya.
Maya terhuyung saat kembali melangkah, lengan Masumi yang melingkar di pinggang Maya membantunya tetap kuat berdiri.
"Hati-hati," bisik Masumi.
Maya mengangguk. Masumi memapah Maya dalam pelukannya karena istrinya itu menolak untuk digendong.
Keduanya baru menginjakkan kaki di anak tangga pertama saat Eisuke datang dengan kursi rodanya didorong oleh Asa.
"Senang melihatmu kembali ke rumah Maya," ucap Eisuke penuh simpati pada menantu kesayangannya.
"Terima kasih Ayah, aku juga senang bisa kembali ke rumah," sekali lagi Maya memaksakan diri untuk tersenyum, tidak mau menampakkan kesedihannya.
"Bagaimana keadaanmu?"
"Sudah lebih baik ayah,"
"Bagus kalau begitu. Kau harus banyak beristirahat agar kondisimu cepat pulih,"
"Iya, ayah. Terima kasih,"
"Kami ke kamar dulu ayah, Maya masih belum kuat untuk berdiri terlalu lama," lagi-lagi Masumi menyela pembicaraan Maya, terlebih karena dia merasakan tubuh Maya semakin bersandar padanya. Masumi tahu istrinya itu sudah merasa lelah.
"Ya kau benar. Cepat bawa Maya ke kamar untuk beristirahat,"
"Aku permisi ayah,"
Maya masih sempat mengangguk hormat pada Eisuke sebelum Masumi membawanya ke kamar.
Maya tampak kepayahan saat berbaring di tempat tidur.
"Kau lelah?" Masumi mengusap lembut wajah istrinya.
Maya mengangguk.
Tok! Tok!
"Masuk!" Seru Masumi.
"Ada yang bisa saya bantu Tuan, Nyonya," Harada berdiri di ujung tempat tidur Maya.
"Ya Bi, sudah waktunya Maya makan siang dan minum obat, tolong minta Misae siapkan makanan dengan menu yang sudah dokter berikan kemarin."
"Baik Tuan,"
Harada segera pergi menjalankan perintah tuannya. Masumi kembali mengalihkan perhatiannya pada Maya.
"Hei, kenapa? Apa yang sakit?" Tanya Masumi saat melihat istrinya hanya diam memandangnya.
Maya menggeleng pelan, "Kau pasti juga lelah kan? Tiga hari kau menemaniku di rumah sakit dan kurang istirahat. Bibi Harada dan yang lain juga repot beberapa kali datang ke rumah sakit untuk mengurus keperluanku. Aku....,"
"Sssttt," Masumi menempelkan jarinya dibibir Maya. "Aku tidak mau mendengarnya. Aku tidak lelah, yang lain juga tidak. Tidak ada yang merasa direpotkan. Berhentilah berpikiran seperti itu,"
Masumi meraih tangan Maya, "Sekarang kau sudah dirumah seperti keinginanmu. Istirahatlah."
Maya mengeratkan tangannya dalam genggaman Masumi.
"Terima kasih," gumam Maya.
"Kembalilah sehat sayang, hanya itu yang ku inginkan," Masumi mengusap punggung tangan Maya dan mengecupnya.
Maya hanya tersenyum dengan perlakuan lembut suaminya.
"Nah, aku lebih suka melihatmu tersenyum seperti itu. Kau terlihat cantik,"
"Kalau tidak tersenyum, tidak cantik?"
Masumi tertawa menanggapi candaan istrinya.
"Kau selalu cantik sayang. Aku senang selera humormu sudah kembali,"
"Aku juga senang melihatmu akhirnya tertawa, beberapa hari ini kau selalu terlihat cemas dan khawatir saat melihatku,"
"Oh Maya, andai aku bisa menggantikanmu untuk bisa merasakan semua sakit ini,"
Maya mengulurkan tangannya dan menempelkannya di dada suaminya.
"Kau juga sakit kan? Hanya saja kau selalu menyembunyikannya dihadapanku,"
Masumi meraih tangan istrinya lalu kembali menggenggamnya.
"Aku rela menanggung semua rasa sakit di dunia ini asal kau bisa kembali tersenyum dan tertawa sayang,"
Wajah Maya langsung berubah sendu.
"Kenapa?"
"Aku tidak akan rela kau menanggung semuanya sendiri. Bukankah kau sendiri yang bilang kalau kita akan menghadapi semua ini bersama-sama,"
Masumi tersenyum.
"Kalau begitu kau harus cepat sembuh. Karena ada hal yang harus kita lakukan bersama,"
Alis Maya bertaut karena bingung dengan perkataan suaminya.
"Apa?"
Masumi mengusap lembut perut Maya, "Ini,"
Maya merona saat Masumi mengerling dan sengaja menggodanya.
"Kita harus mengusahakannya bersama kan?"
Maya tertawa tapi kemudian meringis saat otot perutnya mengejang.
"Maaf sayang," kecupan sayang Masumi di kening Maya mengakhiri candaannya.

***
"Sejak kemarin banyak telepon masuk mencari Nyonya. Mereka bilang teman-teman Nyonya dari teater Niji, mereka ingin tahu perkembangan kondisi kesehatan Nyonya Maya,"
Harada melapor saat Masumi memberikan instruksi pada semua pelayan terkait kesehatan istrinya. Masumi mengeratkan rahangnya marah mendengar laporan Harada. Jelas dia tahu itu bukan Rei dan teman-temannya karena mereka sudah mengunjungi Maya di rumah sakit, termasuk Koji dan Ayumi. Dan mereka semua tahu Maya sedang tidak bisa diganggu, jadi tidak mungkin mereka menelepon apalagi menggunakan telepon rumah dan bukannya menelepon handphone Maya.
"Apa yang bibi katakan pada mereka?" Tanya Masumi kemudian.
"Saya hanya mengatakan Nyonya sedang beristirahat,"
"Bagus, katakan pada semua pelayan untuk tidak mengatakan apapun jika ada yang bertanya mengenai Nyonya. Mereka pasti para wartawan yang hanya ingin mencuri-curi kesempatan,"
"Baik Tuan,"
Sementara itu dikamar, Maya terbangun. Dia mendapati kamar dalam keadaan sepi. Matanya mencari sosok suaminya tapi tidak menemukannya. Dia tidak mendengar suara di kamar mandi, jadi dia yakin pasti suaminya juga tidak ada disana.
Maya mencoba bangun dan duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Melihat jam, pukul tujuh pagi. Perlahan Maya bergeser lalu duduk sejenak di tepi tempat tidur, meredakan sensasi berputar yang ditimbulkan kepalanya yang masih pusing. Dia ingin ke kamar mandi. Berdiri dan mencoba melangkahkan kakinya, sedikit terhuyung tapi Maya berhasil mempertahankan keseimbangan tubuhnya. Bagian perutnya memang masih sedikit nyeri ketika berjalan, Maya mengabaikannya dan akhirnya dia berhasil mencapai pintu kamar mandi. Berpegangan pada dinding dan apa saja yang bisa diraihnya, Maya sukses mengosongkan kandung kemihnya.
Tapi ternyata tubuhnya memang belum cukup kuat untuk terlalu lama bergerak sendiri. Saat berjalan keluar, keringat dingin langsung membanjiri keningnya, Maya meraih pintu dan bersandar disisinya. Dia menahan kakinya yang gemetar dan kepalanya yang berputar.
Maya mengatur napasnya, mencoba untuk tetap kuat berdiri bersandar pada pintu.
Samar Maya mendengar suara di luar pintu kamarnya, diapun memfokuskan indra pendengarannya.
"Apa....Mizuki....,"
Maya mengerutkan keningnya, itu suara suaminya dan Maya heran karena suara itu terdengar kesal.
"Tidak! Katakan saja tidak!" Kali ini suaranya jelas terdengar karena Masumi membentak keras. Marah.
Ada apa? Maya bertanya-tanya dalam hati tapi kemudian kembali fokus mendengar.
"Memang apa yang harus dibicarakan lagi?! Perubahan lagi?!....tidak Mizuki! Aku tidak akan pergi....Harus! Kau berani memerintahku sekarang!....Mundurkan jadwalnya!...sudah cukup....Katakan pada mereka untuk menunggu!....itu KEPUTUSANKU Mizuki! Katakan itu pada mereka!!" Masumi mengakhiri kalimatnya dengan raungan keras dan Maya tahu sesuatu telah terjadi dikantor.
Terdengar suara pintu dibuka dan Maya bisa menduga adegan selanjutnya yang akan terjadi. Mata Masumi menyipit saat masuk dan tidak melihat istrinya di tempat yang seharusnya.
"Maya!" Masumi berlari karena terkejut melihat istrinya bergeming di pintu kamar mandi. Kedua lengan Masumi dengan cepat merengkuh Maya dalam gendongannya dan kembali membaringkannya di tempat tidur.
"Kau baik-baik saja sayang?" Suara Masumi melembut namun penuh kecemasan karena melihat istrinya yang pucat.
"Aku baik-baik saja," Maya meyakinkan suaminya.
"Dokter masih melarangmu untuk terlalu banyak bergerak Maya, jangan memaksakan diri,"
"Ada apa?" Maya mengabaikan perkataan Masumi tentang peringatan dokter.
"Apanya?" Masumi bingung dengan pertanyaan istrinya.
"Apa ada masalah dikantor? Kenapa kau marah-marah?"
Kening Masumi berkerut dalam, "Kau mendengarnya?"
"Kau berteriak sayang, tentu aku mendengarnya,"
"Maaf Maya, aku....,"
"Ada apa Masumi, kau tadi berbicara dengan...Nona Mizuki?" Maya menyela cepat.
Masumi menghela napas, "Ada sedikit masalah dengan kontrak proyek pembangunan kapal kita di Yokohama,"
"Kau akan ke Yokohama?" Tanya Maya.
"Tidak sayang, tidak. Mereka memintaku untuk membicarakannya di kantor Daito tapi aku sudah minta Mizuki mengatur ulang jadwalnya,"
"Oh, kenapa kau tidak pergi saja?"
Masumi berkerut tidak senang, "Meninggalkanmu?"
Maya tersenyum, "Hanya ke gedung Daito kan? Tenang, aku akan baik-baik saja Masumi."
"Tapi...,"
"Ada bibi Harada dan yang lainnya. Aku berjanji akan beristirahat dengan baik. Kau pergilah, selesaikan dulu pekerjaanmu," mata sayu Maya menangkap kebingungan di mata suaminya.
"Jangan khawatir," Maya kembali meyakinkan.
"Kau yakin tidak akan apa-apa,"
Maya mengangguk.
"Hubungi aku jika terjadi sesuatu,"
Maya tersenyum, "Ku rasa seharusnya kau katakan itu pada Bibi Harada atau yang lainnya. Jika sesuatu terjadi padaku, aku tidak mungkin bisa menghubungimu kan?"
Masumi tertawa, "Ya, kau benar. Baiklah aku bersiap dulu,"
Dan dalam beberapa menit kemudian Maya menikmati kesibukan suaminya berganti pakaian kerja.
"Biar ku pasangkan," kata Maya saat Masumi mengalungkan dasi ke lehernya. Meski sakit Maya tidak mau melewatkan kegiatan rutinnya itu.
Masumi menoleh dan tersenyum pada Maya yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Masumi berjalan menghampiri istrinya dan duduk di tepi tempat tidur.
Mata Maya sibuk menatap simpul yang sedang dibuatnya sedangkan mata Masumi justru sibuk memandang wajah istrinya.
Maya baru menyadari Masumi mengamatinya saat menarik simpul terakhir dan dasi terpasang sempurna.
"Nah, sudah selesai," Maya mengusap dasinya seraya mengulas senyum untuk suaminya. Berpuas dengan hasil karyanya.
"Cantik," kata Masumi.
"Apanya?" Maya memiringkan kepalanya.
"Kau," Masumi mengecup kening Maya. "Terima kasih,"
Maya kembali bersandar pada kepala tempat tidur saat Masumi keluar dari kamar. Dia bisa mendengar suaminya memanggil nama beberapa pelayan dan memberikan instruksi panjang pada mereka. Maya mengulum senyum geli mendengarnya.
Masumi kembali masuk ke kamar bersama dengan Harada dan Naoko.
"Ingat untuk tidak berjalan ke kamar mandi sendiri. Panggil saja mereka jika kau butuh bantuan sayang. Istirahatlah dan jangan banyak berpikir. Aku akan usahakan kembali secepatnya, hmmm....setelah semuanya selesai,"
Maya kembali mengulum senyum atas pesan panjang suaminya.
"Ada lagi Tuan Direktur?" Goda Maya.
"Ada," Masumi meraih kepala Maya, mengusapnya lembut, "Aku mencintaimu," sekali lagi mengecup kening istrinya. Membuat Harada mengulum senyum dan Naoko tersipu-sipu melihatnya.
"Kau membuat mereka malu," bisik Maya seraya menunjuk dengan matanya ke arah Harada dan Naoko berdiri.
"Biarkan saja," balas Masumi tidak peduli.
"Sudah, cepat berangkat. Nona Mizuki pasti sudah menunggumu,"
"Baiklah, jaga dirimu sayang,"

***
Dua jam berada di ruang meeting sudah seperti satu tahun bagi Masumi. Dia tidak tenang dan terus teringat Maya. Alhasil saat rapat akhirnya selesai Masumi bergegas keluar dari ruang rapat dan menelepon istrinya.
"Selamat siang, Tuan Masumi ini saya Harada,"
"Bibi? Mana Maya?"
"Ngg...Nyonya baru saja makan siang dan minum obat Tuan, sekarang sedang beristirahat,"
"Apa Maya baik-baik saja?"
"Hhmmm, iya, Tuan. Apa ada pesan untuk Nyonya?"
"Ah tidak Bi, hanya saja perasaanku tidak enak tadi. Syukurlah kalau Maya baik-baik saja. Terima kasih Bi,"
"Ya Tuan,"
Harada meletakkan handphone kembali di atas nakas dan memandang prihatin pada nyonyanya yang terbaring lemah di tempat tidur. Dokter sedang memeriksanya.
"Terima kasih Bi," lirih Maya.
"Nyonya...Tuan sangat mengkhawatirkan anda dan Tuan pasti akan marah." Kata Harada khawatir.
"Bibi memberitahu Tuan sekarang juga pasti dia marah kan? Jadi lebih baik dia tahu saat tiba dirumah saja," terang Maya.
"Seharusanya anda tidak memaksa untuk pulang Nyonya. Anda pasti terlalu banyak bergerak dan memaksakan diri sampai demam seperti ini." protes dokter pada Maya.
"Saya hanya bosan di kamar, saya pikir saya sudah cukup kuat dan ingin menemani ayah mengobrol. Tolong jangan katakan pada Masumi ya dokter," jelas Maya.
"Saya tidak yakin Tuan Masumi akan senang dengan hal ini tapi saya juga tidak bisa menolak keinginan seorang istri yang tidak ingin membuat suaminya khawatir kan?" dokter tersenyum pada Maya.
"Suami saya itu terkadang terlalu berlebihan dokter. Bukankah disini sudah banyak orang yang menjaga saya. Dokter juga sudah memastikan bahwa saya hanya demam dan selebihnya baik-baik saja. Saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan hal itu,"
"Sekarang saya mengerti kenapa Tuan Masumi sangat menyayangi anda Nyonya Maya. Anda orang yang perhatian dan tidak mementingkan diri sendiri. Ya sedikit berbeda dari beberapa Nyonya muda yang pernah saya temui."
Maya tersenyum tipis.
"Anda terlalu memuji," suara Maya terdengar semakin lirih.
"Sepertinya anda harus benar-benar beristirahat Nyonya. Anda demam dan masih bisa tersenyum serta bercerita pada saya, hhmmm, saya tidak heran kalau anda menyandang gelar aktris terbaik,"
"Anda memang suka bercanda dokter,"
Kata Maya menanggapi pujian Amamiya padanya. Amamiya tersenyum dan menyiapkan alat injeksi.
"Obat ini akan menurunkan demam anda sekaligus akan membuat anda tertidur selama empat jam Nyonya," Amamiya memberi penjelasan sebelum memberikan injeksi pada Maya.
Maya melirik pada Harada.
"Bibi, aku minta maaf kalau sampai saat Masumi pulang nanti aku belum bangun,"
"Nyonya jangan khawatirkan saya."
Amamiya tertawa karena Maya justru khawatir jika pelayannya akan dapat amukan dari suaminya daripada mengkhawatirkan dirinya yang sedang sakit.
"Baiklah Nyonya, anda harus berhenti untuk khawatir dan segera beristirahat,"
Maya mengangguk dan menggumamkan terima kasih. Amamiya tersenyum saat kemudian Maya benar-benar terlelap di bawah pengaruh obatnya.
"Hhmm, Nyonya yang baik," gumamnya.
"Sangat baik dokter. Nyonya adalah kesayangan dirumah ini," kata Harada.
"Ya tidak heran jika melihat sifatnya yang selalu mementingkan orang lain seperti itu,"
Harada tersenyum.
"Tolong temani Nyonya ya Bi. Tenang saja, demamnya tidak tinggi dan tidak membahayakan tapi secepatnya hubungi saya jika demammya tidak juga turun setelah empat jam,"
"Baik dokter,"
"Saya permisi,"
Harada mengantar Amamiya ke pintu depan setelah sebelumnya dia menjelaskan beberapa hal terkait kondisi Maya pada Eisuke.
"Jaga Maya dengan baik," pesan Eisuke pada Harada.
Wanita paruh baya itupun mengangguk hormat dan segera kembali ke kamar Maya.

***
"Anda kenapa Tuan Masumi?" Tanya Rose saat melihat Masumi melamun menatap dokumen ditangannya.
"Anda pasti masih memikirkan Nyonya," tebak Mizuki yang juga duduk disebelah Rose.
"Entahlah, perasaanku tidak enak meski Bibi Harada sudah mengatakan Maya baik-baik saja dan sedang beristirahat," Masumi menggosok dagunya dengan cemas.
"Apa anda yakin akan membicarakan masalah kontrak Nyonya dengan Sony Pictures hari ini? Melihat anda tidak tenang seperti ini, saya tidak yakin anda bisa fokus Tuan Masumi," Rose mengatakan pendapatnya.
Masumi menghela napas panjang, "Apa pihak Sony Pictures benar-benar tidak bersedia jika Maya diganti?" Masumi mencoba kembali fokus pada permasalahan yang mereka bahas dan mengabaikan pendapat Rose.
"Tidak Tuan. Mereka lebih memilih mengganti jadwal syuting dan menunggu Nyonya kembali sehat." Jelas Rose.
"Pihak Sony Pictures mengharapkan film ini akan masuk nominasi Academy Award, jadi jelas mereka tidak akan menggantikan posisi Nyonya Maya. Duet antara Nyonya Maya dan Nyonya Ayumi sudah merupakan pilihan terbaik," Mizuki juga mengemukakan pendapatnya.
Sekali lagi Masumi menghela napas panjang, "Tapi kalian tahu sendiri bagaimana kondisi Maya saat ini. Dia bahkan belum kuat untuk berdiri sendiri lebih dari setengah jam. Pasca pendarahan hebat itu kadar HB dan tekanan darahnya masih rendah. Aku bahkan masih mengingat ketakutanku saat dokter menyatakan kondisi Maya kristis. Dan sekarang, setelah kehilangan calon anak kami dan sakit yang hebat kemarin, bagaimana aku bisa mengingatkan Maya pada kontrak kerjanya," Masumi sekarang menggosok dahinya, memikirkan dengan keras perkataannya sendiri.
Rose dan Mizuki saling berpandangan. Keduanya sepakat tanpa kata bahwa yang duduk dihadapan mereka saat ini bukanlah Direktur Utama Daito melainkan Masumi suami dari Maya.
"Saya akan atur ulang jadwal pertemuannya sambil melihat perkembangan kondisi Nyonya Maya," kata Mizuki kemudian.
Masumi menatap heran pada sekretarisnya yang tiba-tiba membuat keputusan.
"Saya akan coba bicarakan beberapa hal pada pihak Sony Pictures. Secepatnya saya akan memberikan informasi pada anda," Rose yang juga mengambil inisiatif sendiri sebagai menejer Maya.
"Kalian...,"
"Sebaiknya anda segera pulang Tuan Masumi. Saya rasa Tuan Kawasaki cukup bisa mengatasi semuanya saat ini." Potong Mizuki.
Masumi ternganga tapi dengan cepat menutup kembali mulutnya.
"Saya cukup mengenal Nyonya dan jika saya jadi anda, saya akan lebih percaya pada insting saya daripada perkataan pelayan ataupun Nyonya Maya sendiri jika hanya melalui telepon. Anda kan tahu dia aktris terbaik negeri ini dan bagaimana pintarnya dia berakting baik-baik saja," Rose menyeringai tipis pada Masumi.
"Kalian berdua memang cerewet dan menyebalkan tapi aku bersyukur karen Tuhan sudah menciptakan dua makhluk indah ke dunia ini untukku dan Maya,"
Masumi menutup dokumennya dan segera beranjak dari kursinya.
"Terima kasih," ucapnya seraya mengambil tas kerjanya dan bergegas pergi. Meninggalkan Rose dan Mizuki yang mencibir perkataan Masumi tentang mereka berdua.
"Aku ingin cepat sampai dirumah Fujiwara," perintah Masumi saat mobil melaju seraya melihat jam tangannya, pukul tiga sore.
Mobil melaju di tengah jalanan bersalju dan Masumi dengan gelisah duduk di jok belakang, dia yakin sudah terjadi sesuatu dengan istrinya. Selama ini instingnya tidak pernah salah jika menyangkut Maya.
Masumi segera turun saat mobil berhenti di halaman rumah. Maki dan Naoko tampak terkejut melihat kedatangan tuannya yang lebih cepat dari biasanya.
"Se...selamat sore Tuan," keduanya memberi salam.
Mata Masumi menyipit menatap kedua pelayannya yang gugup.
"Bagaimana keadaan Nyonya?"
"Nyo...nyonya sedang istirahat di kamar Tuan. Bibi Harada yang menemani," jawab Maki.
Menemani? Masumi segera menaiki tangga menuju kamarnya.
Harada yang sedang mengganti kompres Maya terkejut melihat Masumi datang. Tatapan tajam Masumi padanya menjelaskan kemarahannya. Harada bangkit dari kursi dan membungkuk hormat saat Masumi kemudian duduk di sisi Maya. Tangan Masumi mengusap wajah pucat istrinya.
"Maya demam?" Tanya Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari Maya yang sedang terlelap.
"Benar Tuan. Dokter Amamiya tadi sudah memeriksa dan memberikan Nyonya obat." Terang Harada.
"Dan Bibi bilang padaku kalau Maya baik-baik saja?"
"Maaf Tuan," Harada tetap tenang dan tidak beralasan saat menghadapi kemarahan tuannya itu.
"Bibi menuruti keinginan Maya begitu saja?" Kali ini Masumi menatap pengasuhnya yang sudah merawatnya sejak kecil itu. Masumi menghela napas panjang saat Harada membungkuk menyatakan permohonan maafnya.
"Sudahlah, Bibi boleh pergi. Biar aku yang menjaga Maya,"
"Nyonya sudah diberi obat tapi dokter Amamiya berpesan untuk kembali menghubunginya jika demam Nyonya tidak juga turun dalam empat jam,"
"Sudah berapa lama sekarang?"
"Dua jam Tuan,"
"Baik Bi, terima kasih,"
Harada meninggalkan kamar dan Masumi kembali menatap istrinya yang masih terlelap.
"Keras kepala," gumam Masumi kesal seraya menyapukan tangan pada rambut lebatnya.
Setelah membersihkan dirinya, Masumi menjaga Maya dengan begitu sabar. Berkali-kali Masumi melihat jam, Maya sudah tidur lebih dari empat jam. Masumi lega karena demam Maya sudah turun dan diapun sudah menelepon dokter untuk mengabarkan kondisi istrinya.
Masumi sedang duduk di sofa kamar sambil memeriksa beberapa email masuk dengan laptopnya saat melihat Maya gelisah dalam tidurnya. Masumi menutup laptopnya dan kembali duduk disisi istrinya.
"Unghh....tidak....masumi...jangan pergi...,"
Masumi terkejut mendengar istrinya mengigau memanggil namanya.
"Maya," panggilnya lembut seraya mengusap wajah istrinya.
"Jangan...jangan tinggalkan aku....," Maya semakin gelisah, napasnya memburu tidak beraturan.
"Maya, bangun sayang. Aku disini," Masumi mengguncang perlahan bahu istrinya karena Maya tidak juga bangun.
"Masumi...jangan pergi...," Maya kembali melirih.
"Maya!" Masumi menepuk pipi istrinya dan Maya tersadar, matanya membulat panik melihat suaminya yang menatap bingung. Tiba-tiba Maya memeluk Masumi.
"Ada apa sayang? Kau baik-baik saja?" Masumi mengusap kepala dan punggung istrinya, menenangkannya.
Maya masih terdiam, mengatur napasnya.
"Kenapa? Kau bermimpi?" Masumi kembali bertanya karena Maya tidak juga menjawab.
"Jangan tinggalkan aku...," lirih Maya di dada suaminya.
"Hei apa yang kau katakan?" Masumi menunduk, melihat wajah sendu istrinya.
"Aku...," Maya terdiam dan Masumi merasakan Maya semakin erat memeluknya, tangannya mencengkram kemeja dipunggungnya.
"Maya? Ada apa?" Masumi masih menatap istrinya dengan cemas.
"Aku bermimpi kau meninggalkanku karena...aku tidak bisa memberimu keturunan," jelas Maya lirih.
Masumi terhenyak, tidak menyangka istrinya masih memikirkan masalah itu bahkan sampai bermimpi buruk.
"Oh sayang, itu hanya mimpi. Aku tidak akan meninggalkanmu." Masumi mengulum senyumnya, meyakinkan Maya atas perkataannya.
"Meski....,"
"Ssttt," potong Masumi, "Ada atau tidaknya anak, itu tidak akan merubah cintaku padamu sayang. Aku sudah pernah mengatakan hal itu padamu. Percayalah," Masumi kembali meyakinkan istrinya.
Maya terdiam, menunduk dan kembali menyandarkan wajahnya didada suaminya.
"Kau meragukan cintaku?" Tanya Masumi seraya mengusap lembut kepala istrinya.
Maya menggeleng pelan.
"Berjanjilah untuk berhenti memikirkan hal itu Maya. Aku tidak mau kau terus bersedih,"
Maya mengangguk pelan.
Masumi melepaskan dekapannya dan menatap istrinya. Tangannya meraih dagu Maya dan memberikan ciuman hangat pada istrinya. Masumi merasakan bibir Maya begitu panas saat bertemu dengan bibirnya.
"Hhmmm, bibirmu panas sekali," gumam Masumi.
Maya mengulum senyum malu, dia tahu Masumi menyindirnya soal demam yang disembunyikannya siang tadi, "Maaf,"
Masumi tersenyum, "Jadi lain kali kau tidak akan menyuruh Bibi berbohong?"
Maya menggeleng.
"Janji?"
Maya mengangguk.
"Bagus, sekarang sudah waktunya makan malam dan minum obatmu. Setelah itu kau harus kembali beristirahat dan kali ini aku tidak akan meninggalkanmu sampai kau benar-benar sehat,"
Maya hanya tersenyum tipis menanggapinya.

***
Masumi benar-benar membuktikan ucapannya, dia sama sekali tidak pergi kemanapun selama Maya sakit. Semua perhatiannya tercurah untuk istrinya.
Sudah tiga hari berlalu sejak Maya demam dan kondisinya semakin hari semakin membaik. Saat check up, dokter juga mengatakan bahwa kondisi Maya hampir pulih sepenuhnya tapi dokter tetap berpesan agar Maya jangan dulu terlalu banyak beraktivitas.
Malam minggu yang tenang, Masumi sedang menemani istrinya menonton televisi di ruang keluarga. Ruangan yang dulu sama sekali tidak pernah digunakan itu sekarang justru menjadi tempat favorit bagi Masumi untuk menghabiskan waktu bersama istrinya.
Maya duduk bersandar di dada suaminya dan lengan Masumi memeluk bahu istrinya. Keduanya sedang melihat sebuah drama seri dan tiba-tiba itu mengingatkan Maya akan sesuatu. Maya menegakkan tubuhnya seketika membuat Masumi terkejut.
"Ada apa?" Tanya Masumi.
"Kenapa Rose tidak menghubungiku sama sekali selama satu minggu ini?" Gumam Maya.
Masumi terdiam sejenak, dia memang melarang Rose mengganggu Maya.
"Kenapa kau tiba-tiba teringat Rose? Dia pasti tahu kau sedang membutuhkan banyak istirahat," kata Masumi kemudian.
Maya menyipitkan matanya pada suaminya.
"Apa?" Tanya Masumi saat melihat Maya menyipit padanya.
"Kau...tidak melarangnya untuk menghubungiku kan?" Tebak Maya.
"Tidak,"
"Sungguh?"
"Iya,"
"Aku tidak percaya,"
Masumi menghela napas, "Aku hanya memintanya untuk membiarkanmu beristirahat dengan tenang,"
"Masumi!" protes Maya.
"Aku tidak melarangnya sayang tapi memintanya,"
"Itu sama saja," Maya cemberut.
"Ya terserah padamu menilainya. Yang jelas aku tidak mau kau memikirkan pekerjaan sekarang. Kau bahkan baru sembuh." Masumi meraih kembali bahu istrinya dan menyandarkannya di dada.
"Aku masih punya tanggung jawab. Ya ampun, kenapa aku bisa lupa dengan pekerjaan sepenting itu," gerutu Maya didada suaminya.
Masumi mengeratkan tangannya di bahu istrinya membuat Maya kembali menegakkan tubuhnya.
"Ada apa?" Maya merasakan ada yang disembunyikan Masumi darinya.
"Masumi, katakan padaku ada apa?" tanya Maya lagi saat suaminya hanya menatapnya dalam diam.
"Kau yakin akan tetap bermain dalam film itu?"
Maya mengernyit mendengar perkataan suaminya.
"Apa maksudmu? Jangan katakan padaku kau membatalkan kontrak kerjaku?" Mata Maya membulat.
Masumi menggeleng cepat, "Tidak Maya, tidak. Ya, meski aku sempat mengupayakan hal itu."
"Apa?" Maya menjerit.
"Tenang saja, permintaanku ditolak oleh pihak Sony Pictures, mereka tidak bersedia orang lain menggantikanmu,"
Maya menganga mendengar perkataan suaminya, tidak menyangka suaminya berusaha membatalkan kontraknya. Ya, meski dia tahu itu karena kondisinya yang sedang sakit. Menghela napas panjang, Maya bersandar pada sofa.
"Kau marah?" Masumi memiringkan tubuhnya dan menilai reaksi istrinya yang melipat tangan dengan cemberut.
"Menurutmu?" Maya melirik suaminya.
"Maaf sayang, aku hanya ingin yang terbaik untukmu,"
"Aku tahu tapi setidaknya bicarakan hal itu denganku."
"Aku tidak yakin bisa membicarakan hal itu denganmu kemarin,"
Maya tertunduk diam. Memang benar, beberapa hari yang lalu dia bahkan tidak cukup kuat untuk berjalan sendiri.
"Sudah, tidak usah dipikirkan. Rose sudah mengatur semuanya." Masumi mengusap lengan istrinya.
Maya menatap suaminya, "Kau tidak akan melarangku untuk bermain dalam film ini kan?"
"Apa aku pernah melakukan hal seperti itu?"
Maya menggeleng.
"Maya, dengar sayang. Kondisimu benar-benar lemah kemarin. Aku tahu kau mencintai akting dan aku tahu kau akan memainkan peranmu dengan baik apapun kondisinya. Tapi aku suamimu Maya, aku juga bertanggung jawab atas keselamatanmu. Jelas aku akan memikirkan yang terbaik untukmu." Masumi terdiam sejenak.
"Syuting film Winter Love dilakukan di dalam dan diluar negeri, terlebih ini masih musim dingin. Bagaimana aku tidak khawatir memikirkan kau yang sedang sakit harus syuting di tengah salju seperti itu,"
"Iya, aku mengerti," kata Maya, ekspresinya melunak mendengar penjelasan suaminya. Tidak diragukan lagi Masumi akan melakukan apapun yang terbaik untuknya.
Masumi mengusap wajah istrinya, "Aku menyayangimu Maya."
Maya langsung meleleh, diapun langsung memeluk suaminya.
Masumi menahan senyumnya melebar seraya memeluk istrinya, "Kau tidak marah lagi?"
Maya mendesah pelan tanpa menatap suaminya.
"Sayang?"
"Sedikit. Aku mengantuk, gendong aku ke kamar," jawab Maya dengan masih pura-pura merajuk.
Masumi tersenyum geli mendengar permintaan istrinya.
"Apa dengan begitu aku dimaafkan?" Goda Masumi.
"Tergan...tung," kata Maya seraya menguap di dada suaminya.
"Tergantung?"
"Hhmmm, aku masih ingin dipijat sebelum tidur lalu aku ingin dipeluk sampai pagi," kata Maya seraya bergelayut manja di dada suaminya.
Masumi tertawa, mematikan televisi dan segera melakukan apa yang diminta istrinya.

***
"Pagi istriku," Masumi tersenyum saat melihat Maya terbangun dalam pelukannya.
"Pagi suamiku," sapa Maya, membalas senyum Masumi lalu kembali menyurukkan wajahnya ke dada suaminya.
Masumi mengusap lembut kepala istrinya. Bangun dengan melihat Maya tersenyum dalam pelukannya adalah hal paling membahagiakan baginya.
Dering handphone Maya menyela ketenangan sepasang suami istri yang masih bergelung di tempat tidur itu.
Masumi menggerutu tak jelas saat meraih handphone Maya di atas nakas.
"Christ," gumam Masumi saat membaca nama yang tertera di layar, membuat gerutuannya semakin panjang dan Maya tertawa saat menerima handphonenya.
"Halo kak," sapa Maya.
"Halo sayang, bagaimana kabarmu?" Suara Christ terdengar cemas.
"Aku baik-baik saja," jawab Maya, bergeser dari sebelah suaminya, Maya duduk dan bersandar pada bantal.
"Bagaimana hasil check up kemarin?"
"Baik, semua baik. Dokter bilang tidak ada yang perlu dikhawatirkan,"
Masumi mengamatinya seraya berbaring di pangkuan istrinya. Tangannya sibuk membelai sisi wajah istrinya, Maya melotot pada Masumi yang sengaja mengganggunya.
"Syukurlah, aku lega mendengarnya. Maaf sayang, aku dan Amanda belum bisa mengunjungimu."
"Tidak apa-apa. Aku tahu kalian sibuk lagipula Kevin masih terlalu kecil untuk dibawa dalam perjalanan jauh. Aku juga minta maaf tidak bisa berkunjung saat natal."
Maya menahan tawanya saat jari-jari Masumi menggerayangi lehernya. Dengan cepat Maya menepis tangan suaminya dan Masumi terkikik geli tapi dia tidak berhenti.
"Tidak usah pikirkan itu, kesehatanmu lebih penting. Mama dan papa sangat khawatir padamu."
"Ya ampun, aku baik-baik saja. Aku sudah berkali-kali katakan hal itu pada mama dan papa, aww!" Maya tiba-tiba memekik.
"Kau kenapa?" Christ terkejut mendengar teriakan Maya.
"Eh? Ah...tidak apa-apa," elak Maya cepat.
"Benar kau tidak apa-apa? Kau tidak sakit?" Sergah Christ.
"Tidak, tenang saja. Aku baik-baik saja," kata Maya seraya melotot ke arah suaminya yang baru saja membuatnya terkejut dengan menggigit jarinya. Sekarang Masumi masih asyik menciumi buku-buku jari Maya yang mungil.
"Kau tidak sendiri kan?" Tanya Christ kemudian.
"Tidak, aku bersama Masumi,"
Christ terdiam sejenak, "Oh begitu," katanya seolah telah memahami sesuatu.
Maya mengernyit saat tiba-tiba mendengar Christ terbahak.
"Apa yang lucu?" Tanya Maya.
"Ku pikir kau lebih tahu apa yang lucu. Baiklah aku tidak akan mengganggu pagi indah kalian. Sampaikan maafku pada suamimu karena sudah mengganggumu pagi-pagi,"
Maya merona saat mendengar perkataan Christ.
"Kau ini bicara apa sih?" Bentak Maya.
Christ terbahak. "Au revoir Maya," (Sampai jumpa Maya)
"Au revoir Christ,"
Maya menutup teleponnya lalu melotot pada suaminya.
"Masumi!!" Pekiknya kesal.
Masumi terbahak lalu bangun dari pangkuan istrinya.
"Dia telepon di waktu yang tidak tepat sayang,"
"Apanya yang tidak tepat?" Kata Maya kesal.
"Ini kan masih terlalu pagi dan aku masih ingin bermesraan dengan istriku," Masumi melandaikan tubuhnya diatas istrinya dan mengurung Maya dengan kedua lengannya.
Maya masih bersandar pada bantal dan menatap suaminya kesal.
"Kau mengganggu," Dengus Maya kesal.
Masumi tersenyum tipis, "Apa kau yakin tidak suka diganggu?" Itu bukan hanya sekedar perkataan karena kemudian Masumi mendaratkan kecupan-kecupan kecil di wajah istrinya.
"Geli, hentikan," Maya mendorong tubuh suaminya menjauh.
"Bukankah biasanya kau suka kalau geli?" Goda Masumi seraya masih terus menciumi wajah Maya, kali ini terus ke garis rahangnya hingga belakang telinga Maya.
Maya menggigit bibirnya agar tidak tertawa.
"Kenapa?" Tanya Masumi seraya menyapukan kecupan kecilnya di leher Maya.
"Hentikan," kali ini Maya tidak lagi bisa menahan tawanya.
Masumi berhenti lalu menatap istrinya yang tergelak di bawahnya.
"Aku merindukannya," kata Masumi senang.
"Apa?" Alis Maya bertaut.
"Suara tawamu,"
"Oh?" Maya kembali tergelak. Sempat terlintas dipikirannya kalau Masumi menginginkan dirinya.
"Apa yang kau pikirkan?" Masumi menilai tawa istrinya.
Maya berhenti tertawa, "Ku pikir kau merindukan...hhmmm, itu,"
Masumi menegakkan tubuhnya, duduk disebelah istrinya. Menghela napas pelan. Tangan Masumi mengusap lembut kepala Maya yang masih bersandar di atas bantal.
"Tidak sayang,"
"Ngg, kau tidak ingin?"
Masumi tersenyum.
"Kau ini bicara apa? Kau baru saja sembuh, aku tidak mau menyakitimu,"
"Jadi kau...,"
"Sudah, tidak usah bicarakan hal itu. Kesehatanmu lebih penting. Mendengarmu bisa tertawa riang sudah membuatku begitu bahagia,"
Maya terkikik, "Kalau begitu apa aku harus terus tertawa agar kau bahagia?"
"Aku punya cara agar kau terus tertawa," Masumi memainkan jarinya dan Maya langsung melotot.
"Tidak, tidak, aku tidak mau," Maya tahu apa yang akan dilakukan suaminya. Tapi peringatan itu sepertinya tidak berlaku karena sedetik kemudian Masumi sudah menggelitik Maya sehingga istrinya itu tergelak-gelak.
"Aaghhh," Maya tiba-tiba meringis kesakitan memegangi perutnya.
Masumi terkesiap dan langsung berhenti.
"Maya, kau kenapa?" Masumi panik melihat Maya kesakitan. Merutuki dirinya sendiri dalam hati yang mungkin sudah membuat Maya kesakitan karena terlalu banyak tertawa.
Maya melirik suaminya dan segera lompat dari tempat tidur. Masumi menganga saat sadar Maya menipunya.
"Kau...tidak lucu sayang," omel Masumi karena Maya bermain dengan sakitnya. Hampir saja dia terkena serangan jantung.
"Yang penting aku bebas," kata Maya senang.
Dan Masumi menyeringai lebar pada istrinya, mengacungkan telunjuknya, "Hhhmm, jangan harap,"
Maya terkikik dan langsung berlari saat Masumi melompat turun dari tempat tidur dan mengejarnya. Keduanya saling berkejaran mengelilingi kamar.
"Kyaa!!" Maya menjerit saat akhirnya Masumi berhasil menangkap dan memeluknya erat. "Lepaskan," Maya menggoyang tubuhnya, meronta manja.
"Tidak akan," bisik Masumi. Dan suara tawa keduanya kembali memenuhi kamar.
Sementara itu di luar kamar, di depan pintu, berdiri dengan bingung Misae dan Naoko. Keduanya membawa dua nampan berisi sarapan. Mendengar tawa tuan dan nyonyanya, tidak satupun dari mereka berani mengetuk pintu untuk menginterupsi suasana bahagia itu. Alhasil kedua pelayan itu hanya terpaku dan saling bertukar pandang.

***
"Kau yakin sudah cukup kuat untuk datang?"
Maya yang masih duduk di meja rias mengangguk pada Masumi yang berdiri dibelakangnya. Keduanya saling menatap melalui cermin.
"Tidak perlu khawatir, hanya pembagian naskah dan membicarakan jadwal syuting saja," Maya menenangkan.
Masumi tersenyum lalu mencium kepala Maya, membenam hidungnya dan menghirup segarnya aroma rambut istrinya. Maya terkikik melihat suaminya.
"Kau cantik sayang," puji Masumi, masih menatap istrinya melalui cermin.
"Aku belum selesai make-up dan kau sudah memujiku,"
"Kau memang selalu cantik,"
"Jika kau terus merayuku, aku tidak akan pernah selesai dengan make-up ku."
Masumi tertawa, "Baiklah aku tidak akan mengganggumu," diapun berlalu dan masuk ke kamar mandi untuk mandi.
Maya terkikik sambil menyapukan bedak dan blush on ke wajahnya, memulasnya sedikit lebih tebal untuk menutupi wajahnya yang masih sedikit pucat.
Saat Maya menyapukan polesan terakhir dibibirnya dengan lipstik berwarna peach, Masumi keluar dari kamar mandi dan berdecak kagum melihat istrinya yang sudah rapi.
Maya mengenakan blouse kuning gading dan celana panjang. Untaian kalung cantik menghiasi blouse polosnya, sepasang anting berlian, gelang yang senada dengan antingnya dan juga jam tangan yang melingkar ketat dipergelangan tangan. Semuanya membuat Maya terlihat begitu cantik dan elegan. Sekarang Maya memang begitu memperhatikan penampilannya. Selain karena dia adalah aktris nomer satu juga karena dia adalah seorang Nyonya Hayami.
"Kau terlalu cantik Nyonya Hayami," kata Masumi. Berjalan menghampiri Maya lalu melingkarkan kedua tangannya di pinggul istrinya.
Maya tersenyum bangga, "Begitukah?"
Masumi mendesah, "Sepertinya aku harus memperingatkan Alex untuk mengawasimu lebih ketat,"
Maya tertawa, "Sudah bercandanya, cepat pakai baju," Maya menarik kedua lengan suaminya dari pinggulnya dan mendorongnya ke ruang ganti, Masumi masih mengenakan jubah mandi.
Masumi tidak protes dan menurut pada istrinya. Maya sudah menyiapkan baju Masumi di ruang ganti.
"Tugasmu Nyonya," kata Masumi saat keluar dari ruang ganti, duduk di tepi tempat tidur sambil menunjuk lehernya. Maya tersenyum, dia sudah membawa dasi suaminya.
"Hhmmm, aku suka saat kau memakaikan dasiku," kata Masumi seraya menatap wajah serius istrinya.
"Kenapa?" Tanya Maya tanpa menatap suaminya, matanya masih fokus pada simpul dasi.
"Aku bisa melihat wajahmu dari dekat, memelukmu dan aku merasa sangat dicintai,"
Maya menahan senyumnya melebar kemudian matanya menatap Masumi saat dasinya sudah tersimpul rapi dan sempurna. "Aku memang sangat mencintaimu Tuan Hayami, jadi berhentilah merayuku dan jangan memelukku erat-erat. Kau membuat bajuku berantakan,"
"Kau lebih suka menjaga kerapian bajumu daripada pelukanku?" Protes Masumi.
Maya terkikik dan menarik lengan suaminya yang lagi-lagi melingkar di pinggulnya.
"Ayo turun, sarapan. Aku sudah lapar," Maya mengambil tas kerja Masumi dan menggantungkan tasnya sendiri ke bahu lalu berjalan keluar kamar meninggalkan suaminya yang tampak kesal. Tak urung Masumi beranjak juga dan mengikuti istrinya.
Maya berjalan hati-hati saat menuruni tangga. Masumi melihat Maya memegangi perutnya. Diapun mengambil tasnya dari tangan Maya dan merangkul bahu istrinya.
"Masih sakit?" Tanya Masumi, mengarah pada luka pasca operasi diperut Maya.
"Sedikit," jawab Maya. Meski sudah satu minggu berlalu pasca operasi tapi terkadang Maya masih merasa sedikit nyeri saat berjalan, terlebih saat ini dia menuruni tangga dengan menggunakan hak tinggi.
Lega akhirnya sampai di anak tangga terakhir, keduanya segera menuju ruang makan.
"Pagi ayah," sapa Maya ramah pada ayah mertuanya.
Kening Eisuke berkerut dalam saat melihat Maya sudah rapi.
"Kau mau bekerja?" Eisuke terdengar tidak senang melihatnya.
"Hari ini pembagian naskah dan jadwal syuting untuk film baruku," jawab Maya.
"Kau bisa mewakilkannya pada menejermu," saran Eisuke.
Maya tersenyum, "Tidak ayah, aku sudah cukup kuat untuk melakukannya, lagipula aku juga harus membahas beberapa jadwal dengan Rose dan melihat keadaan sekolah,"
"Tunggu! Kau tidak mengatakan padaku kalau kau mau pergi ke Teater Niji?" Mata Masumi menyipit tidak senang pada Maya.
Maya menyeringai tipis, ya dia sengaja belum membahas hal itu dengan suaminya, "Ya, aku baru memikirkannya pagi ini," kilah Maya.
"Tidak, kau tidak boleh pergi." Tandas Masumi.
"Tapi...,"
"Suamimu benar Maya. Kau baru saja sembuh, masih harus banyak beristirahat," tambah Eisuke.
Sejak kapan kalian kompak? batin Maya.
Maya membulatkan mata pada suaminya.
"Tidak ada protes Maya, kau hanya boleh datang ke rapat produksi di Daito."
Maya mendesah panjang dan tidak memperpanjang debat itu. Saat sarapan datang mereka makan dengan tenang.

***
"Dimana kau mau menunggu? Ruang kerjamu atau ruang kerjaku?" Tanya Masumi saat dirinya berada di dalam lift gedung Daito.
"Ruang kerjamu jika tidak mengganggu," Maya tersenyum.
Masumi tersenyum senang, "Tentu saja tidak,"
Ting!! Masumi dan Maya keluar dari lift menuju ruang kerja Masumi. Beberapa staf membungkuk hormat saat berpapasan dengan keduanya.
"Selamat pagi Tuan, Nyonya." Mizuki memberi salam saat kedua bosnya tiba.
"Pagi Nona Mizuki," jawab Maya ramah sementara Masumi hanya menganggukkan kepalanya.
Maya mengikuti Masumi masuk ke ruang kerja lalu dia duduk di kursi tamu sementara suaminya langsung duduk di meja kerjanya.
"Senang melihat anda sudah kembali sehat Nyonya," Mizuki datang dengan membawa kopi dan teh dalam nampan.
"Terima kasih Nona Mizuki. Apa Rose sudah datang?"
"Sudah nyonya, dia sedang bertemu dengan sutradara dan beberapa staf produksi,"
"Oh, dia pasti masih mengatur ulang jadwalku," gumam Maya. Meneguk tehnya perlahan, Maya mengamati suaminya yang tampak serius menatap layar laptop sementara Mizuki membacakan beberapa laporan kegiatan penting yang dilewatkan Masumi selama dirinya sakit. Maya hanya mendengarkan sambil menikmati tehnya.
"Nona Yurie Ono ingin membicarakan kontrak kerja sama itu secara pribadi dengan anda." Kata Mizuki ketika mengakhiri penjelasan panjangnya.
"Kapan dia ingin bertemu denganku?" Tanya Masumi.
"Mungkin dalam minggu ini. Saya akan coba menghubungi sekretarisnya untuk membuat janji," jawab Mizuki.
"Baiklah, aku serahkan padamu,"
"Baik Tuan," Mizuki mengangguk lalu berjalan keluar.
Masumi mengalihkan pandangannya pada Maya.
"Aku membuatmu meninggalkan banyak pekerjaan," komentar Maya setelah Mizuki menghilang.
Masumi menyeringai tipis lalu beranjak dari kursinya. Mata Maya mengikuti gerakan suaminya yang berjalan memutari meja kerja lalu duduk di sebelahnya, di kursi tamu.
"Apa semua baik-baik saja?" Tanya Maya sambil meletakkan cangkir tehnya ke meja.
"Ya, semua baik-baik saja," Masumi meraih tangan Maya lalu mengusapnya lembut.
"Sepertinya kau akan sibuk hari ini,"
"Aku bisa pulang dan menemanimu di rumah jika kau mau,"
Maya menggeleng, "Tidak, tidak, tidak. Aku tidak mau mengacaukan semuanya. Bekerjalah dengan tenang Tuan Hayami, aku akan baik-baik saja,"
"Kau tidak mengacaukan apapun," kata Masumi, jari telunjukkan menyematkan rambut panjang Maya kebelakang telinga.
"Aku tahu kau memeriksa semua pekerjaanmu tengah malam ketika aku tidur. Kau pikir aku tega membuatmu bergadang setiap malam hanya demi menemaniku di siang hari,"
"Kau memang istri yang pengertian,"
Maya mengulum senyum manisnya, "Aku hanya tidak mau suamiku sakit karena terlalu memanjakan istrinya,"
"Aku suka memanjakanmu,"
"Aku juga suka, hanya tidak suka kalau kau meninggalkanku tengah malam, sendiri di tempat tidur,"
Masumi tertawa.
Sebuah ketukan pintu menyela. Rose muncul bersama dengan Mizuki.
"Nyonya, sebentar lagi pertemuan dimulai," kata Rose.
Maya berdiri, "Baiklah, aku pergi dulu,"
Masumi juga berdiri dan melingkarkan tangannya di pinggang Maya.
"Hei," pekik Maya terkejut, melirik malu pada Mizuki dan Rose yang juga sama terkejutnya.
"Aku mau kau berjanji padaku sebelum pergi," kata Masumi yang semakin merapatkan pelukannya.
"Baiklah, cepat katakan dan lepaskan aku," bisik Maya malu tapi Masumi mengabaikannya.
"Pertama kau tidak boleh memaksakan diri," kata Masumi.
"Oke," jawab Maya.
"Oke?" Masumi tidak puas dengan jawaban istrinya.
"Oke aku janji," Maya mengacungkan dua jarinya.
"Kedua kau harus langsung pulang dan tidak boleh pergi ke Teater Niji," tambahnya.
"Itu...,"
"Tidak ada protes," tandas Masumi.
"Baiklah," Maya menyerah, "Sekarang lepaskan aku," Maya berusaha menarik tangan Masumi dari pinggangnya namun lengan kekar itu bergeming.
"Belum selesai," kata Masumi.
"Apa lagi?" Maya melotot sekarang.
"Jangan dekat-dekat dengan Weasley,"
"Hah?!" mulut Maya menganga.
Kenapa jadi David ikut dibawa-bawa, batin Maya kesal. Melirik pada Mizuki dan Rose yang menikmati kekonyolan Masumi, wajah Maya merona malu.
"Dan juga...,"
"Masih ada lagi? Ya ampun Masumi, banyak sekali janji yang harus ku buat. Aku tidak yakin bisa menepatinya," keluh Maya.
"Oh kau bisa sayang, semua hanya masalah kau mau atau tidak,"
"Baiklah katakan," Maya sudah tidak bisa mendebat kekonyolan suaminya. Dia hanya berharap Masumi segera melepaskannya dan berhenti membuatnya malu di depan Mizuki dan Rose yang sekarang berusaha menahan tawanya.
"Terakhir, jaga jarak dengan Sakurakoji,"
"Koji?" Pekik Maya lagi.
Suamiku benar-benar konyol, Maya semakin kesal.
"Kalau kau tidak berjanji, aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak keberatan memelukmu sepanjang hari." Kata Masumi saat istrinya cemberut kesal.
"Iya, iya aku berjanji, sekarang lepaskan aku," Kata Maya setengah berteriak.
"Nah, aku pegang janjimu Nyonya," kata Masumi senang.
"Sekarang lepaskan," kata Maya.
"Belum," Masumi justru semakin mengeratkan pelukannya, mengecup kening istrinya.
Maya melotot tapi sedetik kemudian wajah marahnya berubah kesakitan.
"Ugghh!!"
"Maya!" Masumi terkejut, baru teringat pada luka pasca operasi istrinya. Kedua lengan Masumi langsung terlepas.
Melirik suaminya, Maya kembali menegakkan tubuhnya.
"Heh?"
"Nah, aku pergi sekarang," Maya berjinjit dan mencium sekilas pipi suaminya lalu bergegas memutari meja meninggalkan suaminya yang masih terkejut.
"Maya!" Teriak Masumi marah.
Maya terbahak, "Ayo kita pergi Rose,"
Masumi berkacak pinggang saat Maya mengedipkan mata padanya sebelum menghilang dibalik pintu.

***
Muncul di studio, Maya langsung disambut hangat oleh Ayumi dan Koji.
"Senang melihatmu sudah sehat," kata Ayumi.
"Terima kasih Ayumi," jawab Maya, senyum tipis menghiasi bibir mungilnya. Rasanya masih sakit kalau harus mengingat hal itu.
"Kau kuat, aku tahu pasti," Ayumi membaca ekspresi Maya dan menenangkannya. Dia tahu benar bagaimana kuatnya Maya dalam menghadapi kehidupan. Maya mengangguk dan kali ini senyumnya melebar.
Koji yang duduk di sebelah Ayumi memberikan senyuman tulus. Maya juga menggumamkan terima kasih padanya. Kebersamaan mereka tiba-tiba di sela oleh kedatangan David yang langsung duduk di sebelah Maya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya David, terselip kecemasan dalam nada suaranya. Maya menduga dia sudah membaca berita tentangnya di media . Media? Maya bergidik saat mengingat hal itu, tidak menyangka berita kehilangannya menjadi konsumsi publik. Tapi itulah resiko menjadi publik figur.
"Aku baik-baik saja. Terima kasih," jawab Maya.
"Aku senang kau sudah kembali sehat dan bisa tetap berperan di film ini. Aku sempat mendengar Tuan Hayami ingin membatalkan kontrakmu dan menawarkan untuk menggantikanmu dengan aktris lain,"
Ayumi dan Koji langsung memandang Maya saat David selesai bicara, sepertinya mereka juga penasaran dengan berita itu.
Maya tersenyum tipis, "Awalnya memang seperti itu. Sebagai Direktur Daito tentu saja dia bersikap profesional, aku tidak akan bisa berperan dengan baik dalam kondisi sakit. Dia pasti juga tidak ingin produksi film ini terkendala dan tidak berhasil." Maya berusaha memberikan alasan profesional atas tindakan suaminya. 
Ayumi dan Koji menahan senyumnya melebar, keduanya jelas tahu alasan sebenarnya tindakan Masumi. Sudah bukan rahasia lagi kalau Direktur Daito, Masumi Hayami, over protective dan posesif pada istrinya.
"Hhmmm, begitu ya. Apapun alasannya aku senang akhirnya hal itu tidak terjadi," David menyeringai pada Maya.
Pembicaraan mereka terhenti saat akhirnya tim produksi masuk dan pertemuan dimulai. Naskah dan jadwal syuting dibagikan. Setelah hampir satu setengah jam membahas semuanya, pertemuan selesai. Syuting akan dimulai satu minggu kedepan.
"Maya, apa kau ada waktu? Minum teh?" Tanya Ayumi.
"Atau ice cream?" Canda Koji.
"Jangan ice cream Koji, teh oke," jawab Maya.
Ketiganya tertawa.
"Boleh aku bergabung dengan kalian?" Tanya David tiba-tiba, menghentikan tawa ketiganya.
"Tentu jika anda ada waktu Mr. Weasley," jawab Ayumi.
"Kita mulai syuting minggu depan, jadi jelas aku ada waktu dan tolong panggil saja aku David," jawab David sopan.
"Oke David. Ayo kita pergi,"
Merekapun meninggalkan studio menuju cafe yang tidak jauh dari gedung Daito.

***
David cukup cepat beradaptasi dan langsung akrab dengan Ayumi juga Koji. Mereka mengobrol santai tentang berbagai hal. David ternyata juga bisa berbahasa Jepang meski tidak begitu lancar, tentu saja tuntutan profesi atas perannya kali ini yang mengharuskannya belajar.
"Aku tidak sabar untuk menantikan syuting kita minggu depan. Aku yakin film ini pasti sukses," David meneguk kopinya sambil menatap pada Maya yang duduk di depannya.
"Kami juga berharap begitu," jawab Maya yang kemudian meneguk teh untuk mengalihkan ketidak nyamanannya atas pandangan David.
"Oh ya David, ku dengar film terakhirmu berhasil masuk nominasi Oscar tahun lalu," Koji menyela kecanggungan Maya dan dalam hati Maya bersyukur.
"Ah iya, sayangnya aku belum beruntung. Tapi sebelumnya film Sabrina juga sukses meraih penghargaan. Tentu karena Maya adalah lawan mainku." Jawab David senang.
"Hhmm, aku ingat, kau mendapat penghargaan sebagai aktor terbaik dan Maya sebagai aktris pendatang baru terbaik," kata Ayumi.
David mengangguk mantap. Maya baru saja mau berkomentar saat dering telepon menyelanya.
"Maaf," Maya mengangguk sopan dan meninggalkan meja untuk menjawab telepon, lebih tepatnya menjawab telepon dari suaminya.
"Kenapa belum kembali? Kau sudah pergi cukup lama," Masumi tetap gagal menyembunyikan kecemasannya meski suaranya terdengar begitu lembut.
Maya melihat jam tangannya, ya, sudah satu jam sejak dia mengirim pesan pada suaminya. Dia memberitahu Masumi kalau dia akan minum teh bersama teman-temannya, "Sebentar lagi aku kembali. Mereka masih mengobrol, tidak enak kalau aku langsung pergi," jelas Maya.
Terdengar desahan dari Masumi, "Kau masih belum sembuh benar sayang."
Maya tersenyum, itu memang alasan utama tapi dia sangat mengenal suaminya. Bukan hanya itu yang Masumi khawatirkan.
"Aku baik-baik saja. Ada Alex, kau bisa tanya padanya dengan siapa aku duduk bersebelahan," Maya menahan tawanya tapi tidak dengan Masumi, tawa suaminya meledak.
"Ya, kau sangat mengenalku Nyonya," kata Masumi yang masih menyisakan rasa geli dalam nada suaranya.
"Berhentilah mengkhawatirkan hal bodoh sayang," Maya memperingatkan.
"Aku tidak pernah berpikir mengkhawatirkan istriku tersayang adalah sebuah kebodohan,"
"Ya, jika kekhawatiran itu ada pada tempatnya,"
"Lalu dimana sebaiknya aku menempatkannya?"
Maya terkikik, "Ku sarankan sebaiknya di buang saja,"
Maya tahu suaminya tersenyum sekarang, "Cepatlah kembali atau kau bisa membuatku mati karena terlalu khawatir,"
"Berlebihan Tuan Hayami tapi ya...baiklah, sebagai istri yang baik aku akan segera kembali ke kantormu yang indah. Lagipula aku juga tidak mau suami tercintaku mati tercekik kekhawatiran," kata Maya.
"Ya, cepatlah datang dan selamatkan aku," kata Masumi geli.
"Aku akan berpamitan dengan yang lain. Sampai nanti,"
"Oke, hati-hati sayang,"
Maya tersenyum, tidak menjawab dan langsung mematikan teleponnya. Obrolan itu tidak akan berhenti kalau tidak ada satupun dari mereka mengambil keputusan untuk berhenti.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Ayumi saat Maya kembali ke mejanya.
Tersenyum, Maya mengangguk pelan, "Aku baik-baik saja tapi maaf, sepertinya aku harus permisi sekarang,"
Ayumi dan Koji balas tersenyum, menebak dengan pasti kalau telepon yang menyela tadi adalah dari suaminya, Masumi Hayami.
"Kau tidak enak badan?" David bertanya dengan nada cemas terselip dalam suaranya.
"Tidak, aku baik-baik saja. Baiklah, terima kasih untuk tehnya Ayumi. Aku permisi, David, Koji," Maya tersenyum dan berlalu dari meja.
Alex yang duduk tidak jauh darinya langsung siaga dan mengikuti nyonyanya.

***
"Tanganmu dingin sekali," gerutu Masumi saat Maya tiba di kantor suaminya.
"Cafenya dekat jadi aku tidak memakai sarung tangan," kata Maya beralasan.
Masumi setengah cemberut dan menangkupkan kedua tangannya menggosok-gosok kedua tangan istrinya. Menghangatkannya. Maya tersenyum.
"Apa kau akan pulang malam?" Maya melirik ke meja Masumi yang penuh dengan tumpukan dokumen. Itu adalah pekerjaan yang sudah ditinggalkan suaminya demi merawatnya.
Masumi menoleh ke belakang, ketempat istrinya memandang, meja kerjanya.
"Aku akan membawanya pulang jika kau tidak ingin aku pulang malam," jawab Masumi.
"Lagi-lagi aku merepotkanmu," kata Maya, menggerutu pada dirinya sendiri.
"Hei, sudah kubilang aku tidak suka kau bicara seperti itu,"
"Kenyataannya kan memang begitu,"
Masumi menghela napas, berhenti menggosok tangan istrinya yang sekarang sudah lebih hangat. Kedua tangannya sekarang tertangkup di kedua sisi wajah Maya. Istrinya itu merasakan kehangatan saat dua telapak tangan itu melingkupi wajahnya.
"Ingat Maya, kau adalah belahan jiwaku. Istri tercintaku, apapun akan ku lakukan untuk kebahagianmu. Setiap hari, tidak bahkan di setiap menit dan detik aku selalu mencintaimu. Jadi jangan pernah berpikir kalau kau adalah beban. Kau adalah nyawaku," kata Masumi lembut dan Maya langsung merasakan matanya menghangat.
Matanya terpejam dan setetes air mengalir saat bibir hangat Masumi menyentuh bibirnya. Kecupan hangat itu menenangkan. Masumi membuat Maya merasa begitu dicintai, kehangatan dan kelembutannya membuat bagian terdalam dirinya meleleh.
Masumi merasakan hasrat lain bergerak dalam dirinya dan dia segera menarik diri.
"Kau lebih memabukkan dari sebotol brandy Maya," bisik Masumi saat bibir keduanya terpisah. Dan Maya tersenyum. Dia tahu suaminya menahan diri.
Menyeka air mata istrinya, Masumi melandaikan tubuh Maya dalam pelukannya.
"Kau lelah?" Tanya Masumi seraya membelai kepala Maya.
"Sedikit,"
Masumi melonggarkan pelukannya, menyelipkan rambut ke belakang telinga istrinya lalu menatapnya lembut.
"Pulang dan beristirahat," katanya tegas.
Maya cemberut, "Aku bosan dirumah," gerutunya.
"Kau mau kita membeli rumah baru?" Masumi berkelakar.
"Kau ini," Maya mencubit lengan suaminya.
"Aww, sakit," bibir Masumi berkerut lucu.
Maya tertawa ringan.
"Nah, aku sudah rindu mendengar kau tertawa,"
"Jangan menggodaku," Maya memperingatkan.
Masumi terkekeh senang, diapun berdiri dan berjalan menuju meja kerjanya. Masumi menekan tombol interkom.
"Mizuki, minta Satoshi siapkan mobil," perintahnya.
"Nah, aku sudah diusir sekarang," Maya berdiri dan tersenyum.
"Aku lebih dari senang bisa terus bersamamu disini tapi kau masih harus banyak istirahat," kata Masumi.
"Iya, aku mengerti. Aku juga tidak mau mengganggumu. Aku pulang sekarang,"
"Aku antar keluar,"
Maya tersenyum dan keduanya berjalan beriringan keluar dari kantor. Di lobi, Satoshi sudah menunggu bersama dengan Alex.
"Kau akan langsung pulang kan?" Masumi memastikan sebelum Maya masuk ke mobil.
"Niji?" Maya mengedipkan mata menggoda suaminya.
Masumi menggeleng cepat, "Tidak,"
Maya tertawa, "Oke, tidak,"
"Aku akan usahakan pulang cepat," kata Masumi seraya mengecup kening istrinya. Beberapa staf di lobi sempat menahan napas melihat kelembutan Masumi yang sangat jarang itu.
Maya tersenyum, "Sampai jumpa nanti malam sayang,"
"Sampai jumpa, sayang."

***
Bandara Narita, Japan Airlines baru saja mendarat dari Canada. Seorang wanita berjalan dengan anggun menyusuri koridor bandara. Mengenakan kaca mata hitam dan setelan baju musim dingin mahal rancangan desaigner ternama, dibalut dengan jas musim dingin panjang model terbaru. Sempurna. Semua mata memandang padanya.
Seorang porter berjalan di belakangnya dengan membawa tiga koper besar. Melepas kaca mata hitamnya, wanita itu melihat pada seorang wanita paruh baya yang menunggunya di pintu keluar, di sebelahnya berdiri seorang pria dengan mengenakan setelan hitam membawa kertas putih besar bertuliskan Shiori Takamiya.
Wanita itu tersenyum lalu berjalan menghampiri keduanya yang adalah pengasuh dan sopir pribadinya.
"Apa kabar Bibi Takigawa?" sapanya ramah.
Keduanya membungkuk hormat.
"Selamat datang Nona Shiori, saya senang nona kembali," pengasuh wanita itu menyeka air mata haru di matanya dengan sapu tangan.
"Aku juga senang bisa kembali Bi," Shiori tersenyum, "Ayo kita pulang, aku sudah tidak sabar untuk bertemu dengan kakek, ayah juga ibu."
Takigawa mengangguk hormat dan mengikuti nonanya yang berjalan mengikuti supir mereka.
Shiori memandang langit kelabu musim dingin sebelum masuk ke mobilnya.
Aku kembali, ada banyak hutang yang harus aku bayar
Diapun masuk dan mobil melaju meninggalkan bandara.

***
>>Bersambung<<
>>Every Day I Love You - Chapter 1<<
>>Every Day I Love You - Chapter 3<<

Post a Comment

12 Comments

  1. Alo MM n TK Lover, kita berjumpa lagi...
    Selamat membaca ya...jangan lupa komennya setelah baca ya...
    love n big hug.....muacchhhh

    ReplyDelete
  2. Uugghhh dimana2 pasti adashiodong2.....

    ReplyDelete
  3. Mba agnes....ini gelagatnya nenek lampir shiori mau beraksi lg yahh???hadohhh pas ending kmrn shiorinya bknnya dia jd gila yahh...apa dia kabur keluar negeri...

    ReplyDelete
  4. konflik lainnya akan muncul nich.. tak sabar nunggu kelanjutannya.

    ReplyDelete
  5. Ehhhh... ratu lobak ngurus hutang??? Hmm gelagat aneh lagi..... lanjut sist.....

    ReplyDelete
  6. Aduhhh... firasat buruk tiba2 dtang o.o

    ReplyDelete
  7. Ratu lobak muncul lagi ???
    Waduh ga kebayang deh.. di tunggu kelanjutannya ya mb... :-)

    ReplyDelete
  8. Waduh...shiori balik lagi...hiks hiks. .. mudah2n tidak sad ending ya mba

    ReplyDelete
  9. mau ngapain itu shiory nggga kapok2 jg. vonnyros

    ReplyDelete
  10. Kapan lanjutannya ini?? Btw masuminya posesif sekali yah lama2 n ceritanya jgn sedih2 terus kasian amat dah lama bersatunya masiiih aja ketemu ratu lobak

    ReplyDelete
  11. Senangnya kalo bisa lihat versi komiknya seperti ini :D
    Romantis abis :D

    ReplyDelete