Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Modifikasi One Night Cruise di Astoria (bagian dari Bersatunya Dua Jiwa 1/ Dua Akoya 3)
Kenapa
dengan Maya? Aku tidak mengerti. Dan kenapa aku juga tidak bisa membuka mulutku?
Oh, andai aku dapat memelukmu...
***
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Modifikasi One Night Cruise di Astoria (bagian dari Bersatunya Dua Jiwa 1/ Dua Akoya 3)
"Beritahu aku kalau jemputannya sudah
datang,"
"Baik Pak,"
Aku berjalan menyusuri lobi kantor dengan malas.
Kakiku serasa diberi beban puluhan ton, berat untuk melangkah.
Menyebalkan!
Entah sampai kapan aku harus membohongi diriku
sendiri seperti ini. Seharusnya aku tidak menyanggupi permintaan Shiori pagi
tadi. Aku sedang ingin sendiri. Menghabiskan waktu bersama Shiori membuatku
lelah. Lelah berpura-pura, lelah memakai topeng pangeranku. Tapi semua ini kan
memang salahku. Aku yang membuat diriku sendiri terjebak dalam situasi
menyebalkan ini. Andai saja kencanku malam ini bukan Shiori, tapi
dia...gadis itu.
Pikiranku kembali melayang, mengkhayal tingkat
dewa, membayangkan sosok gadis yang kurindukan. Akhir-akhir ini...sejak
penyerangan itu, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku masih tidak
mengerti dengan apa yang kurasakan. Mimpi atau nyata aku tidak tahu, yang jelas
suara gadis itu yang mengucapkan dialog Akoya terus terngiang ditelingaku.
Bahkan aku masih bisa merasakan hangatnya air mata yang jatuh dipipiku dan
ciuman hangatnya dibibirku.
Sial !!
Aku masih terus merutuki diriku sendiri. Berapa
kalipun aku mencoba mengalihkan pikiranku, bayangan gadis itu justru menari
riang dikepalaku.
Maya ... batinku menyerah, lelah.
"Pak Direktur, petugas kebersihan
menitipkan sesuatu untuk anda,"
Tiba-tiba suara security menyadarkanku.
"Apa?" Tanyaku heran.
"Ini Pak, terjatuh diruangan bapak. Sapu
tangan gadis itu, saya khawatir karena ada darahnya," security itu
mengulurkan saputangan dengan motif bunga padaku, dengan cepat aku meraihnya.
"Gadis itu?" Gumamku terkejut, tak
percaya.
Otakku kembali berpikir untuk menemukan
pembenaran dari perkataan security. Bukankah Shiori bilang Maya
langsung pulang? Tapi kenapa security bilang gadis itu? Jantungku bahkan
berdegub lebih kencang. Ku coba memeras otakku, ingatanku akan malam itu. Tapi
gagal, aku tidak ingat. Hanya satu hal yang aku bisa pastikan, saputangan ini
bukan milik Shiori.
Jantungku seakan mau meledak saat otakku mulai
berspekulasi tentang ingatan konyolku. Memaksa mencari pembenaran atasnya.
Kalau
Maya ada ... berarti malam itu? Aahhhh!!
Batinku meraung. Kenapa aku tidak bisa
mengingat apapun, kecuali setiap perkataan dan sentuhan gadis itu.
Sial!!
Aku pasti sudah gila. Tidak bisa lagi memisahkan mimpi dan kenyataan.
Sudut mataku menangkap keheranan security akan
ekspresiku yang kacau. Dengan cepat aku mengendalikan diriku. Masumi Hayami
harus tetap tenang.
"Terima kasih," gumamku lengkap dengan
topeng es ku, membuat security itu segera menjauh dari jangkauan mataku. Dan
kekesalanku bertambah saat mobil keluarga Takamiya datang.
Selama perjalanan, otakku tidak berhenti
berpikir. Saputangan itu sudah tersimpan rapi di saku kemejaku. Aku akan mencari
tahu, entah bagaimana caranya tapi aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi
malam itu.
Aku tidak tahu kemana sopir Shiori ini akan
membawaku tapi aku tidak peduli. Kemanapun aku pergi, rasanya akan sama saja.
Membosankan. Hanya akan ada basa-basi, senyuman palsu dan pujian semu.
Kecuali...jika aku bersama Maya, semua jadi berbeda. Lebih hidup dan lebih
berwarna.
Mendesah pelan dan senyum kecut langsung
menghiasi wajahku.
Mimpi
disiang bolong Masumi?
Batinku bahkan menertawakanku. Mana mungkin
Maya mau pergi denganku. Gadis itu sudah begitu membenciku, bahkan mungkin
kebenciannya sudah berakar dalam. Aku sudah terlalu banyak menyakitinya. Selain
itu aku memiliki dosa yang tidak pernah bisa pernah bisa dimaafkan, aku sudah
membunuh ibunya dengan tanganku. Aku bahkan tidak berani memaafkan diriku
sendiri. Dan itu akan selalu menjadi luka yang dalam dan jurang yang lebar
antara aku dan dia. Mendesah pelan, hatiku kembali dirayapi keputus asaan.
Tanpa kusadari mobil sudah berhenti. Dan aku
mengedipkan mataku berkali-kali untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa yang
kulihat salah. Namun kapal pesiar didepanku itu terlalu besar untuk dianggap
sebagai sebuah khayalan.
Apa ini?
Kenapa supir Shiori membawaku ke pelabuhan? Dan itu...kapal pesiar?
Aku terus menggerutu dalam hati.
"Kenapa seperti ini? Ada apa
sebenarnya?" Akhirnya aku bertanya dan supir itu hanya tersenyum culas
menatapku.
"Ini tuan. Tiket spesial untuk naik kapal
Astoria ini. Sebentar lagi Nona Shiori tiba. Saya permisi Tuan, selamat
jalan," dengan cepat sopir itu meninggalkanku.
Eh?!
Sialan, kenapa dia pergi? Dan tiket ini? Apa yang harus aku lakukan? Sebaiknya
aku naik dan mencari tahu apa yang sebenarnya direncanakan Shiori
Firasatku tidak enak saat menaiki kapal pesiar
mewah itu. Aku tidak tahu rencana Shiori dan itu membuatku kesal. Saat aku tiba
dilobi kapal seorang pria langsung menghampiriku.
"Selamat datang Tuan Hayami, saya Shin
Sawada, menejer kapal Astoria. Mari, saya akan mengantar anda," kata pria
itu dengan sopan. Aku hanya mengangguk memberi salam tanpa menjawab. Batinku
semakin tidak tenang.
Mengantarku?
Kemana?
Firasat burukku semakin berlipat ganda.
"Maaf manajer Sawada, apa ada acara malam
ini di Astoria?" Akhirnya kuputuskan untuk bertanya.
"Oh, maaf Tuan Hayami. Apa anda tidak tahu
kalau kita akan berlayar malam ini?"
"Berlayar?" Tanyaku terkejut.
Sial!
Apalagi ini?
rutukku dalam hati
"Benar, kapal astoria ini terkenal sebagai
cruiser wisata keluar negeri dan malam ini kami menyediakan 'One Night Cruise'
bagi para pebisnis. Kita akan berlayar sampai ke Izu, juga akan ada pesta dansa
dan beberapa pertunjukan. Paginya sebelum kita berlabuh anda dapat menikmati
matahari pagi di atas lautan,"
"One Night Cruise?!" Tanpa kusadari
aku memekik. Otakku langsung mengembara.
"Benar Tuan, sepertinya anda terkejut? Apa
anda tidak diberitahu Nona Takamiya tentang hal ini?" Menejer itu
menatapku sedikit heran tapi aku terlalu shock untuk langsung menanggapinya.
"Tidak, aku hanya memenuhi
undangannya." Jawabku setelah berhasil memperoleh sedikit ketenangan dan
akal sehatku.
"Oh, sepertinya Nona Takamiya ingin
memberikan anda kejutan," Sawada tersenyum.
"Sepertinya memang begitu," dan
hatiku langsung mengutuk senyum Sawada.
Langkah kakiku berhenti saat Sawada juga
berhenti didepan sebuah pintu ganda.
Dan
apalagi ini?
hatiku semakin gusar.
"Ini kamar Anda Tuan Hayami. Kami sudah menyiapkan
kamar Royal Suite untuk anda sesuai permintaan Nona Takamiya," Sawada
melambaikan tangannya saat membuka pintu, memamerkan kamar besar itu.
Mataku menyapu seluruh ruang kamar itu. Semua
interior kelas satu, sofa dan segala perabot mewahnya. Sampai mataku terpaku
pada ranjang mewah double bed, melihat dua bantal berjajar disana membuatku
berang,
Ini sudah
keterlaluan! Apa yang ada dalam pikiran Shiori? Kamar mewah ini ... apa dia
berniat menghabiskan malam denganku dikamar ini? Aku harus pulang! Aku harus
pergi sebelum terjebak lebih jauh lagi
Dengan cepat aku memutar badanku dan menutup
pintu ganda kamar dengan keras. Sawada terkejut tapi aku tidak peduli. Dia
berlari mengejarku dan aku juga tidak peduli. Hatiku begitu marah dengan
'jebakan cinta' Shiori.
Bagaimana
mungkin seorang wanita terhormat bisa memikirkan hal seperti ini?
Berkali-kali aku merutuki kebodohanku sendiri
yang mau saja menuruti permintaan Shiori.
"Tuan Hayami! Apa anda tidak suka
kamarnya?" Sawada masih terus mengejarku.
"Tidak, hanya saja aku ada urusan mendadak
dan harus segera pulang," kataku beralasan.
Sialan
kau Sawada! Seenaknya saja kau kira aku hanya tidak suka kamar itu? Apa kau
tahu saat ini harga diriku sudah dilempar jauh kedasar jurang?
Aku kembali memaki Sawada dalam hati.
"Tapi kita sudah mau berangkat Tuan,"
perkataan Sawada menghentikan langkah kakiku. Aku menoleh padanya.
Sial !!
"Berangkat?" Tanyaku memperjelas
pendengaranku. Dan belum Sawada menjawab, perhatianku teralihkan pada
sebuah keributan yang muncul.
"Kapal ini sudah mau berangkat, kau harus
turun," kata seorang kru kapal. Dia dan dua orang temannya sedang memegang
seorang gadis yang sibuk meronta ronta, berusaha melepaskan diri.
"Ada apa?" Bentak Sawada pada tiga
orang kru kapalnya. Dia berjalan melewatiku dan menuju sumber keributan.
Penasaran, akupun berjalan mendekat.
"Gadis ini tidak mau turun padahal dia
tidak punya tiket Pak, katanya dia mencari seseorang," jelas salah seorang
kru.
"Lepaskan," teriak gadis itu.
Aku langsung terhenyak saat mendengar suara
itu, mataku membulat saat mengenali sosok gadis dihadapanku. Dan saat gadis itu
berbalik, ekspresi wajahnya jelas menunjukkan keterkejutan. Matanya juga
membulat melihatku. Aku berharap wajahku tidak menunjukkan ekspresi yang sama
dengan gadis itu meski sebenarnya aku ragu.
"Pak Masumi...mustahil...kenapa anda ada
disini?" Gumam gadis itu terbata ditengah keterkejutannya.
"Kau...juga kenapa ada disini?"
Suaraku bahkan bergetar saat mengucapkannya.
Kami berdua terpaku....
Doooooottttt.....doooooottttttt
Peluit kapal berbunyi. Kapal berlayar.
***
Setengah mati aku berusaha mengendalikan
diriku. Jantungku berdegub kencang, terlalu kencang sampai aku takut gadis yang
duduk di depanku ini mendengarnya. Rasanya masih tidak percaya Maya ada
didepanku. Dan masih tak percaya juga seorang Maya bisa membuatku kacau seperti
ini. Membuat seorang Masumi Hayami takut kehilangan kontrol diri.
Maya melirik takut kesekeliling meja tempat kami
duduk. Jelas gadis itu canggung berada di tengah lingkungan asing seperti ini.
Rasanya aku ingin mendekap tubuh mungil itu dan mengatakan padanya untuk jangan
takut, bahwa aku akan menjagamu tetap aman.
Ahh...sial!
Pikiranku kembali mengembara. Dengan cepat ku
tepis khayalanku dan kembali ke realita yang ada didepanku. Dengan pura-pura
tenang aku menyesap anggur dan menatap gadis mungil yang duduk bingung
didepanku.
"Kenapa mungil?" Tanyaku untuk
mengalihkan perhatiannya dari suara kasak-kusuk yang berasal dari beberapa tamu
yang memperhatikanku dengan Maya.
"Ng...mereka bergosip Pak Masumi...tentang
kita," katanya dengan takut.
Jangan
takut, aku disini. Lihat saja aku
"Aku sama sekali tidak keberatan? Kamu
khawatir?" Akhirnya malah kalimat ini yang meluncur dari mulutku. Pengecut!
Aku kembali mengamati Maya, mengukur reaksinya
atas ucapanku.
"Tidak ... anu...sama sekali tidak,"
jawabnya sambil terbata dan masih tertunduk malu.
Tidak?!
Batinku girang mendengarnya. Rasanya seperti
mendapat angin segar, biasanya bibir mungil itu akan memakiku.
"Tapi...anda kan sudah bertunangan,"
lanjut Maya dengan masih tertunduk malu.
Wossshhhh!!! Angin segarku berubah jadi badai.
Kenapa
kau harus mengungkit statusku Maya? Apa tidak bisa kita nikmati saja malam ini?
Batinku jadi tergelak sendiri dengan pemikiran
bodohku. Dengan cepat aku kembali ke situasi nyataku.
"Tenang saja, kita tidak terlihat seperti
sepasang kekasih," kataku menenangkannya, meski hatiku berharap
sebaliknya. Bodoh!
"Ya mungkin terlihat seperti paman dan
keponakannya atau seorang lelaki yang dititipi anak temannya, ya kan
mungil?" Kataku menggodanya, salah satu jurusku agar aku tidak kehilangan
kendali diri untuk tidak terpesona olehnya dan merayunya.
"Pak Masumi!" Pekik Maya kesal.
Ya aku memang selalu membuatnya kesal dan itu
bukan tanpa alasan. Aku tertawa
untuk menghilangkan kegugupanku,
"Kau kan lihat disekitar kita semuanya
orang dewasa mungil. Jadi pasti mereka heran melihat ada anak-anak bersama
dengan pria dewasa sepertiku ditempat seperti ini," aku kembali
melontarkan senjataku.
Tapi aku mengernyit sendiri saat melihat reaksi
Maya yang berbeda. Biasanya dia akan langsung meledak saat aku manggodanya,
apalagi mendengar ucapanku barusan. Tapi kenapa malam ini dia diam? Dia juga
terlihat gelisah. Ada apa manis?
"Tenang saja, mereka mungkin hanya akan
berpikir aku direktur Daito sedang menemani aktrisnya." Kataku lagi
memancing reaksi Maya. Biasanya dia marah kalau dianggap barang dagangan. Tapi
kali inipun dia diam dan hanya tertunduk malu.
Kemana
gadis ceriaku?
Entah kenapa hatiku merasa kehilangan. Ditengah
diam aku memperhatikan Maya menyantap makan malamnya. Dia hanya mengaduk-aduk
spageti di piringnya dan hanya memakannya sedikit.
Ada apa
denganmu Maya? Apa yang kau pikirkan?
Tiba-tiba Sawada datang menghampiriku.
"Tuan Hayami, kami baru saja menerima
telepon dari perwakilan keluarga Takamiya. Nona Takamiya terjebak macet
sehingga tidak dapat datang. Mohon maaf anda jadi sendiri dalam perjalanan
ini," katanya sopan.
Dan untuk pertama kalinya sejak aku menaiki
kapal ini, hatiku senang.
"Terima kasih sudah memberitahuku,"
jawabku sopan. Dan batinku tertawa girang.
Maaf
karena aku sendiri katanya? Kau buta Sawada, ada gadis cantik dihadapanku.
Gadis yang bahkan aku tidak berani memimpikannya. Yang entah karena kebetulan,
takdir atau hanya karena keberuntunganku dia bisa duduk bersamaku disini.
Batinku tersenyum puas. Paling tidak Maya akan
semalaman bersamaku karena tidak mungkin dia akan meninggalkan kapal ini. Namun
dengan cepat kebahagiaanku menguap saat melihat Maya tertunduk sedih
dan...pucat.
Bodoh!
Rutukku dalam hati.
Kau pikir
gadis itu senang bersamamu? Dia kan membencimu? Malam ini akan menjadi nereka
baginya,
batinku mengomeliku. Dan kekecewaan
menelanku...sekali lagi.
"Kau kenapa mungil? Kau terlihat pucat?
Apa kau mabuk laut?" Mataku terus mengamati reaksi Maya.
"Ti...tidak. Saya tidak mabuk laut. Saya
baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar dan dia
kembali tertunduk malu.
Reaksi Maya membuatku semakin gelisah.
Ada apa
denganmu?
Dan aku kembali merutuki diriku sendiri. Sejak
tadi aku begitu menikmati keberuntunganku yang bisa bertemu Maya ditengah
'jebakan cinta' Shiori. Tapi kenapa aku sama sekali tidak berpikir, kenapa
gadis mungil ini bisa ada disini? Akhirnya analisaku bekerja. Pertama kali
lainnya sejak naik kapal ini, otakku waras.
"Tadi kru kapal bilang kau mencari
seseorang. Apa kau sudah bertemu dengannya?" Aku mulai memancingnya. Meski
aku tahu pasti siapa yang ingin ditemui Maya. Tidak ada yang dia kenal dikapal
ini kecuali satu orang...wanita yang terjebak macet itu.
Ahhh !!
Bahkan hatiku saja enggan menyebut namanya.
"Saya bisa bertemu siapa saja dan itu
bukan urusan anda," kata Maya seraya memalingkan wajahnya dariku.
"Shiori ya?" Aku malas basa-basi
jadinya.
Maaf ya
mungil, aku harus memaksamu bicara. Aku mau tahu kenapa kau mau menemui wanita
itu.
"Bagaimana anda tahu?" Maya
memandangku heran.
Betapa
polosnya gadis ini, batinku tersenyum
senang.
"Karena aku tahu kau tidak memiliki
kenalan dikapal ini. Mungkin akulah satu-satunya orang yang kau kenal disini
tapi aku tahu kau tidak mungkin mencariku. Dan masih ada satu orang lagi yang
kau kenal tapi sayangnya dia tidak bisa datang malam ini. Benar kan?"
Tebakanku yang tepat justru membuat Maya mematung dan semakin pucat. Hatiku
semakin yakin kalau sudah terjadi sesuatu yang 'salah' dengan gadis ini. Aku
harus memancingnya bicara.
"Sekarang bisa kau ceritakan padaku alasan
kau ingin menemui Shiori? Diakan tunanganku, jadi aku juga berhak tahu untuk
apa kau mau menemuinya," seperti menelan pil pahit, rasanya mulutku juga
tidak suka menyebut kata tunangan itu. Terlebih di depan Maya.
"Ngg, itu...," Maya mengangkat
wajahnya dan menatapku. Aku terkesiap melihat matanya. Entah kenapa mata itu
terasa lain.
"Ada apa?" Aku membuka mulutku untuk
mengalihkan perhatianku dari tatapan mata Maya.
Dengan sedikit gemetar Maya mengambil sebuah
amplop dari dalam tas kecilnya lalu meletakkannya dimeja. Mendorongnya sedikit
agar lebih dekat dengan jangkauan tanganku. Tanpa menunggu ijin darinya aku
segera meraih amplop itu dan membukanya. Keningku berkerut saat
melihat isi amplop.
Cek
sepuluh juta Yen?!,
hatiku memekik.
Apa ini
dari Shiori? Tapi untuk apa?
"Pelayan keluarga Takamiya menemui saya
dan Pak Kuronuma," kata Maya memulai penjelasnnya, matanya begitu sendu.
Entah kenapa hatiku sedih melihatnya. Aku menahan diri untuk
tidak berkomentar, membiarkan Maya bercerita.
"Nona Shiori, tu...tunangan anda itu. Dia
ingin saya menjauhi anda dan tidak mengganggu anda. Dia juga berjanji akan
membantu Pak Kuronuma dengan uangnya untuk pementasan kami,"
Deggg!!! Jantungku kembali berpacu. Amarah! Ya
amarahku...wanita itu berpikir untuk menjauhkanku dengan Maya? Dengan
cepat aku menguasai diri.
"Pak Kuronuma pasti marah ya?"
Pertanyaanku membuat Maya kembali memandangku dan mata sendu itu belum berubah.
"Iya, dia marah sekali. Pak Kuronuma
langsung menelepon keluarga Takamiya, setelah tahu Nona Shiori berencana naik
kapal Astoria dia segera menyuruh saya menemuinya dan mengembalikan cek
itu." Kata Maya lagi.
Jadi ini
yang membuatmu gelisah sejak tadi mungil?
"Bagaimana denganmu?"
"Saya?" Maya sedikit terkejut dengan
perkataanku.
"Iya, apa kau juga marah?" Aku ingin
tahu apa yang dipikirkan gadisku tentang ini.
Gadisku?
Sejak kapan otakku lancang begini.
"Tentu saja!" Pekiknya.
Nah,
semangatnya kembali.
"Sa...saya marah. Saya tidak suka dianggap
sebagai wanita yang suka uang. Lagipula...lagipula...," Maya memalingkan
wajahnya. Semangatnya tadi entah menguap kemana. Dia marah itu wajar tapi
kenapa aku merasa Maya menyembunyikan sesuatu.
"Lagipula apa mungil?" Aku tidak
sabar mendengar apa yang akan dikatakan Maya.
"Lagipula saya tidak bersalah. Semua yang
terjadi waktu itu...masalah cincin dan gaun pengantin itu. Semuanya salah
paham. Entah anda mau percaya pada saya atau tidak. Tapi saya tidak bersalah.
Dan saya tidak akan pernah menerima uang itu!" Maya memukul meja dengan
kepalan tangannya, membuatku sedikit terkejut.
Mendengar penjelasannya aku menjadi lega,
setidaknya Maya tidak berniat menjauh dariku. Meski perkataannya tentang
masalah cincin dan gaun pengantin itu menggangguku. Aku memang tak percaya
kalau Maya melakukan hal seperti itu tapi bagaimana semua itu bisa terjadi aku
juga tidak tahu. Tapi biarlah, malam ini aku ingin sedikit menenangkan otakku.
Maya masih menatapku dengan tatapan sendunya.
Aneh, karena bukan kemarahan yang kulihat dimatanya. Lebih seperti...
ahhh...
pikiranku kembali mengkhayal.
Lupakan!!
Aku langsung menyunggingkan senyum manisku,
jurus ampuh yang biasanya bisa menaklukkan wanita meski aku tahu tidak berlaku
untuk gadis yang duduk dihadapanku sekarang.
"Aku senang mendengarnya Maya. Karena aku
pasti akan bingung jika tidak bisa bertemu denganmu. Karena aku tidak pernah
bosan bersamamu, kau selalu menghibur. Ya dengan caramu sendiri tentunya,"
aku tertawa, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri yang begitu pengecut
menutupi perasaanku.
"Pak Masumi!" Pekik Maya lagi.
"Jangan bercanda disaat seperti ini," katanya jengkel.
Andai kau
tahu aku juga marah Maya.
Sreekk!!!
Aku merobek cek itu, dengan begini setidaknya
Maya bisa tahu kalau aku tidak sepakat dengan 'wanita' itu. Dan berhasil, aku
melihat keterkejutan Maya.
"Ini adalah pendapatku tentang cek ini.
Aku akan mengembalikannya sendiri, jadi kau tidak perlu khawatir lagi. Aku
minta maaf ya, sudah membuatmu dan Pak Kuronuma tidak nyaman," aku
menjelaskan tindakanku. Sungguh hatiku tidak rela kalau sampai Maya salah paham
padaku. Ekspresi Maya kembali melembut. Dan aku semakin
gelisah melihat ekspresi itu.
Tiba-tiba Sawada mengumumkan akan ada
pertunjukan di hall dan meminta para tamu untuk bersiap.
Mengabaikan ocehan Sawada, aku melihat reaksi
Maya. Gugup. Gadis itu gugup. Aku tidak menyalahkan reaksinya. Dia ada ditempat
dan waktu yang salah. Juga dengan pakaian yang salah namun aku bangga dia tidak
bersama orang yang salah. Karena dia bersamaku sekarang. Sekali lagi batinku
tertawa girang.
"Mungil, apa kau mau melihat
pertunjukannya?" Tanyaku.
Maya menatapku malu. "Eh?
Itu...," dia tergagap.
Aku tahu dibawah meja tangannya menggenggam
erat roknya untuk menghilangkan kegugupannya.
Aku mendesah pelan, andai Maya tahu kalau
dibalik wajah tenangku ini aku juga sama gugupnya dengan dia. Aku juga tidak
tahu harus bagaimana.
"Bagaimana? Kau mau melihatnya?"
Tanyaku lagi.
Kali ini Maya menatapku. "Ng,
saya malu Pak Masumi. Maksud saya...saya tidak pantas...hhmm,"
"Aku tidak bertanya pantas atau tidak. Aku
hanya tanya kau mau melihat pertunjukan itu atau tidak?"
"I...iya saya mau...tapi...,"
"Bagus kalau kau mau karena aku pasti akan
sangat bosan kalau menonton sendirian. Jadi kau mau menemaniku malam ini
mungil?"
"Eh? Menemani anda?" Tiba-tiba
wajahnya merona.
Aku terkejut dengan reaksinya, kenapa? Tidak
biasanya.
"Iya, kau mau menemaniku? Hhmm, jadilah
kencanku malam ini," pintaku, kali ini tulus dari hatiku. Entah mimpi apa
aku semalam hingga bisa seberuntung hari ini.
"Kencan?" Maya terkejut.
Aku mengangguk senang, "Kau
keberatan?" Aku tidak akan terkejut kalau kau keberatan, pikirku.
"Ti...tidak," jawab Maya lirih.
"Eh?!" Giliranku yang terkejut.
"Kenapa Pak Masumi? Bukankah anda yang
mengajak saya?" Maya menangkap keterkejutanku. Bodoh!
Aku
tertawa untuk menutupi ekspresiku.
"Iya, kalau begitu kita harus segera
bersiap. Sebelum aku berubah pikiran," mulutku masih saja lihai berbohong.
Entah berapa banyak dosa yang kubuat karena selalu berbohong didepan gadis ini. Maya
menggerutu tak jelas menanggapi perkataanku, meski akhirnya dia menurut saat
aku memintanya mengikutiku.
"Kita mau kemana Pak Masumi?"
Tanyanya polos.
"Membuatmu pantas mungil," jawabku
sekenanya.
"Oh,"
Dan hanya itu yang diucapkannya. Tidak ada
teriakan atau makian. Aku semakin heran kenapa Maya begitu pendiam sekarang.
Apa masalah cek itu masih mengganggunya?
Langkahku berhenti didepan salon kecantikan
dengan nama Cattaleya tertera dipintu masuknya. Sekali lagi Maya tidak
membantah saat aku memintanya masuk. Menejer salon menemuiku dan aku
menjelaskan beberapa hal padanya. Setelah itu dia pergi dan memintaku dan Maya
menunggu diruang tunggu.
"Kau pendiam sekali malam ini?"
Tanyaku, gagal menyembunyikan keherananku.
"Memang anda mengharapkan saya bagaimana?
Berteriak-teriak tidak jelas?"
Aku tertawa, "Aku tidak akan heran kalau
kau melakukannya,"
Maya mendengus kesal, tapi terlihat kalau dia
berusaha menahan diri untuk tidak meledak. Membuatku semakin heran.
"Saya bukan anak kecil lagi Pak Masumi.
Jadi saya juga tidak akan bertindak seperti anak-anak. Saya juga mau anda
melihat saya sebagai wanita dewasa bukan anak-anak," katanya.
"Eh?!" Tanpa sadar aku menahan napas
mendengar kalimat terakhirnya.
Namun kedatangan menejer salon dan stafnya
menahanku untuk berkomentar meski aku juga tidak tahu bagaimana mengomentari
pernyataan Maya tadi.
"Kami sudah siapkan semuanya Tuan Hayami."
Aku mengangguk sopan disambut senyuman menejer.
"Mari Nona,"
Sejenak aku menangkap Maya melirik padaku
sebelum pergi mengikuti menejer salon. Aku semakin penasaran dengan perubahan
sikapnya. Aku menghempaskan diri di sofa ruang tunggu. Kembali memikirkan semua
yang terjadi sore ini.
"Terlalu banyak kejutan," gumamku.
Aku sadar senyumku mengembang dan membiarkannya
karena aku tahu tidak ada orang disekitarku. Aku merasa bahagia dengan semua
keberuntunganku malam ini. Siapa sangka kalau skenario Shiori justru membuatku
bisa berdua dengan Maya. Ironi memang, Shiori yang berusaha menjauhkan Maya
dariku.
"Tunggu!!" Kataku lirih, hatiku
terkesiap saat mengingat itu.
Aku tersenyum kecut saat menyadari
keterlambatan berpikirku. Ternyata bersama Maya membuat otakku beku, pesona
gadis itu selalu sukses mengalihkan perhatianku.
Kenapa
wanita itu mau menjauhkan Maya dariku? alasan apa yang mendasarinya? Apa dia
tahu perasaanku pada Maya? Mustahil! Bagaimana dia bisa tahu?
batinku mengoceh dengan seribu pertanyaan.
Aku menghela napas panjang, percuma juga aku
memikirkannya sekarang. Sebaiknya aku simpan dulu semua pertanyaan itu. Aku
akan menikmati malam ini, benar-benar menikmati.
Aku meraih tabloid di meja, sekedar untuk
membunuh kebosanan, aku membolak balik halamannya. Kenapa lama sekali, aku
sudah tidak sabar ingin menghabiskan waktuku bersama Maya. Sekali lagi batinku
menertawakan kekonyolanku. Seorang Masumi Hayami tidak sabar menunggu seorang
gadis yang usianya sebelas tahun dibawahnya. Senyum ironiku kembali mengembang.
Tak lama kemudian, kesabaranku terbayar.
Jantungku seakan mau melompat keluar melihat gadis yang berdiri dihadapanku.
"Maya...," tanpa sadar aku bergumam.
Dengan anggun Maya berdiri mengenakan gaun ungu
tanpa lengan. Dada, bahu dan punggungnya terekspos sempurna. Kulit putihnya
bersinar bak porselen. Rambutnya anggun tertata dan wajahnya begitu cantik
dengan make up.
Selain di
atas panggung, aku tidak pernah melihatnya berhias seperti ini.
Mataku begitu rakus, tidak puas rasanya
menikmati pemandangan indah didepanku. Rambut hitamnya, wajah manisnya,
tangannya yang terbuka, tubuhnya yang terlihat sintal, kaki kecilnya yang
terbuka dan....
ahhh! Apa
aku sanggup bertahan kalau seperti ini?
Ini pertama kalinya aku terpesona olehnya
sebagai...wanita dewasa. Ya, aku lupa...aku lupa gadis ini sudah dewasa. Aku
selalu membohongi diriku sendiri dengan mengatakan dia masih anak-anak. Padahal
aku sadar aku selalu terpesona olehnya. Dan sekarang dia sudah benar-benar
cantik.
Dulu aku terpesona oleh semangatnya,
keberaniannya, kepolosannya, keceriaannya dan semua tentangnya. Tapi
sekarang...aku terpesona oleh sinarnya sebagai wanita dewasa.
Oh...gadisku,
jadilah milikku, batinku berlutut memohon.
"Wah anda sampai terpesona seperti itu
Tuan Hayami. Tapi gadis itu memang benar-benar cantik," perkataan menejer
salon membuatku kembali menginjak tanah, setelah tadi entah aku terbang kemana.
Maya berdiri didepanku dengan tersipu.
Sial !!
Aku pasti menumpuk dosa malam ini karena harus menghindar dari pesonanya.
Berapa banyak lagi kebohongan yang harus ku buat? Kenapa rasanya begitu berat
mengakui kalau aku....ahhh!! Lupakan!
Batinku berperang sendiri.
Dengan cepat aku menyelesaikan pembayaran dan
berjalan keluar.
“Ayo mungil,” kataku dengan gaya santai. Aku
sengaja berjalan beberapa langkah didepannya. Aku sadar bahwa aku bisa saja
lepas kendali jika berjalan di sebelahnya.
“Pak Masumi, anda mendadani saya seperti ini.
Bagaimana saya harus berterima kasih?” tanyanya polos.
Dalam hatiku tergelak.
“Tidak perlu, aku senang bisa melihat rubah
kecil bisa berubah menjadi seorang lady. Dengan begini aku jadi tahu kau bisa
berakting jadi lady kapanpun dan setidaknya malam ini kau harus berakting bagus
untukku,” kataku tanpa menoleh kearahnya. Sungguh aku tidak sanggup melihatnya
sekarang.
“Pak Masumi!” Teriak Maya kesal.
Nah, dia
marah sekarang. Baguslah, jangan terlalu anggun. Bisa bahaya .
Kali
ini batinku memuji tindakanku.
“Kalau partner saya bukan anda, pasti saya bisa
berakting lebih baik lagi! Akting putri atau lady semua itu tidak masalah bagi
saya!” teriak Maya.
Aku tidak
akan berani meragukan kemampuan aktingmu cantik. Tapi saat ini aku terlalu
takut melihatmu sebagai lady .
Aku tertawa, masih tidak melihatnya. Maya masih
mengomel dan berjalan dibelakangku.
“Ternyata hanya luarnya saja yang berubah ya,
dalamnya masih tetap si mungil,” kataku berseloroh. Sungguh bertengkar
dengannya membuatku sangat senang. Membuatku merasa bebas dan paling tidak
menghindarkan pikiranku yang lancang tadi.
Ya aku
kan juga hanya pria biasa, bukan biksu .
Batinku
mencari pembenaran atas pikiran lancangku.
“Aku sudah dewasa Pak Masumi!” teriak Maya lagi.
Aku tahu .
Entah kenapa aku merasa Maya terus menekankan
hal itu padaku. Aku hanya tertawa menanggapinya. Masih tidak berani
memandangnya. Aku hanya mendengar teriakannya, menikmati suaranya dan
membayangkan wajah marahnya yang lucu.
“Anda harus berhenti memanggil saya ‘mungil’,”
protesnya lagi.
Mau
kupanggil apa? kekasihku? Mayaku? Sayangku?Andai aku berani Maya….
Sekali lagi aku hanya tertawa.
“Aku belum yakin kau sudah benar-benar dewasa
mungil,” aku masih tergelak, meski batinku meracau terus memanggil Maya seperti
sebuah rapalan doa.
“Saya sudah bisa minum alkohol dan sake, bahkan
saya juga sudah boleh menikah,” teriaknya.
Degg!!!
Berbalik, akhirnya aku menatapnya. Ekspresiku
beku mendengarnya perkataannya.
“Benar juga ya, pertama kali kita bertemu kau
baru berusia tiga belas tahun. Dan sekarang kau sudah dewasa. Tidak terasa ya,
suatu hari kau akan menikah…dengan seseorang,” sekuat tenaga aku berusaha tetap
tenang, meski gemuruh melanda hatiku. Baru kusadari betapa lama aku sudah
menunggunya. Tujuh tahun penantianku untuk melihatnya dewasa. Dan sekarang,
ketika dia sudah begitu cantik dan anggun berdiri didepanku…
Mungkinkah
aku rela melepasmu Maya….
“Suatu hari nanti…,” kata Maya lirih.
Aku menatapnya dan mata sendu itu kembali
menangkapku. Membuatku terperosok dalam pesonanya.
“Saya akan menikah dengan seseorang,” gumamnya.
Hatiku berdesir, mata itu seperti bicara
padaku, menikahlah-denganku.
“Seperti…,” Maya terdiam dan memalingkan
wajahnya dariku. Seperti sesuatu yang berat baginya. Entah kenapa aku merasa
mengerti dengan apa yang dirasakannya.
“Seperti anda yang akan menikah dengan Nona
Shiori,” tandasnya tanpa menatapku lagi, tapi aku yakin suaranya bergetar saat
mengucapkan nama…’wanita’ itu.
Hatiku semakin kacau. Entah bagaimana ekspresi
wajahku saat ini.
“Betul juga ya,” gumamku. Baru kusadari
statusku setelah daritadi aku berbahagia. “Kalau begitu aku hanya bisa sekali
ini saja berkencan denganmu,” ucapanku seperti pisau yang mengiris hatiku
sendiri.
Aku mendesah pelan, terlalu pelan.
Sudahlah,
akan terlalu pahit jika aku memikirkannya.
Maya masih tertunduk. Aku bingung dengan
reaksinya. Kenapa sepertinya dia juga sedih sepertiku.
Sepertiku???
Ah, tidak! Aku tidak mau berharap terlalu tinggi lalu jatuh dan hancur
berkeping-keping
“Ayo mungil kita lihat pertunjukannya,” dengan
cepat aku mengubah suasana hatiku dan mengajaknya ke hall.
***
Suasana di hall begitu meriah. Ada pertunjukan
cabaret juga musik. Semua orang begitu menikmati. Mataku menjelajah. Semuanya
terlihat bahagia…bersama pasangannya. Tentu saja karena ini adalah one night
cruise. Memangnya apa yang kuharapkan?
Aku melihat Maya disebelahku yang begitu
menikmati pertunjukan. Senyumnya mengembang sejak tadi.
Ahh..betapa
cantik dan segarnya gadisku ini
Pikiranku kembali melayang. Sedekat ini dengan
Maya dalam suasana yang sama sekali tidak terbayangkan. Mimpipun aku tidak
berani. Berkali-kali aku harus menelan ludah saat dia menoleh padaku hanya
untuk mengomentari pertujukan yang sama sekali tidak kuperhatikan.
Kaulah
pertunjukanku malam ini…
Batinku mendesis lancang. Melihat bahunya yang
putih mulus dan begitu terbuka membuatku benar-benar sadar bahwa aku adalah
pria normal. Sebelumnya aku tidak pernah merasa seperti ini. Bahkan tadi saat
membayangkan Shiori ingin menghabiskan malam bersamaku, perutku justru bergolak
karena mual. Tapi kenapa justru gadis ini membuatku begitu menginginkannya.
Rasanya aku ingin mencium leher jenjangnya dan bahu mulus itu, merengkuh tubuh
itu dengan kedua lenganku dan….bibir itu? Sedari tadi bibir merah muda itu
terus mengoceh. Aku ingin membungkamnya…dengan bibirku.
BRENGGGSSSEEEKKK
!!!!
Aku memaki diriku sendiri atas kelancanganku.
Dengan cepat aku memalingkan wajahku dari objek surga yang ada disebelahku.
Entah sudah berapa lama aku menatapnya tanpa disadari gadis itu. Kepolosannya
membuatnya begitu nyaman, sama sekali tidak menyadari bahwa aku bisa saja
hilang kendali dan menerkamnya.
Betapa
beruntungnya aku malam ini dan betapa sialnya kau Maya. Harus terjebak bersamaku
disini.
“Anda kenapa Pak Masumi?”
“Eh? Tidak apa-apa,” Aku kembali menatapnya dan…
Ahhh…bibir
mungil itu merayuku
“Kau menikmati pertunjukannya mungil?” tanyaku
seraya menyesap anggur yang sedari tadi hanya seperti properti di tanganku
karena aku lupa tidak menyesapnya dan sibuk menikmati keindahan yang tersaji
disebelahku.
“Iya saya suka,” katanya girang tapi kemudian
mata sendu itu muncul lagi.
Jangan
menatapku seperti itu…
“Anda sepertinya tidak menikmati. Apakah anda
bosan Pak Masumi? Saya pasti membosankan ya?” katanya.
Eh??
Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu? Apa kau mencemaskanku?
“Tidak mungil, aku senang bisa bersamamu saat
ini,” aku bahkan terhenyak dengan perkataanku sendiri. Terlalu banyak berbohong
sehingga kejujuran menjadi aneh di bibirku.
“Benarkah? Anda senang bersama saya?” Mata Maya
berbinar senang.
Lho?!
Sejak kapan kau suka dekat-dekat denganku?
“Apa yang kau minum mungil?” tiba-tiba
pertanyaan itu meluncur dari bibirku. Perkataan Maya membuatku berpikir kalau
Maya sedang mabuk.
Tapi kembali kepolosannya membuatku geli karena
dengan cepat dia menunjukkan gelasnya yang berisi orange juice.
“Kenapa?” tanyanya heran.
“Tidak apa-apa. Aku hanya memastikan kau aman,”
kataku menutupi kegilaan pikiranku.
Maya kembali menggerutu dan aku tertawa.
“Saya juga bisa minum alkohol,” protesnya.
Oh,
jangan coba-coba sayang…
Desisku dalam hati. Aku tidak tahu bagaimana
harus mengendalikan diriku jika melihatmu mabuk dan tak sadar. Bahkan sekarang
aku sudah berpikir bagaimana memaksimalkan fungsi ranjang mewah yang kulihat
tadi. Dan kali ini batinku sudah lemas dan membiarkanku semaunya berpikir.
Aku menyesap anggurku untuk menutupi seringai
yang hampir melebar di wajah mesumku.
Sial
sekali kalau sampai Maya tahu apa yang aku pikirkan sekarang
Rutukku dalam hati.
“Anda melamun lagi,” kata Maya, menyadarkanku
dari khayalan tingkat tinggiku. Membuatku terpelanting kebumi dan melihat gadis
disebelahku masih…berpakaian…utuh!
“Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu,” kataku
jujur, sekali lagi aku menyesap anggurku untuk menyembunyikan kegugupanku.
“Apa anda sedang memikirkan Nona Shiori?”
Tanyanya polos.
Wanita
itu? Sama sekali tidak !
“Tidak,” jawabku cepat.
“Apa masalah Daito?” tanyanya lagi, masih
dengan kepolosannya dan mata sendunya.
Oh Maya?
Sebaik itukah aku dimatamu? Membuatmu berpikir aku memikirkan tunanganku yang
bahkan berencana menjebakku, juga kau percaya aku memikirkan Daito?
Pekerjaanku? Padahal aku bersamamu? KAU MAYA! KAU YANG KUPIKIRKAN !!! kau pasti
akan langsung lari jika tahu seperti apa aku membayangkanmu tadi. Huff…aku GILA
!!
“Pak Masumi?” panggil gadis itu.
Aku melamun lagi, “Iya mungil. Maaf ya, aku
malah memikirkan hal lain padahal kau disini menemaniku,” kataku sopan.
“Tidak apa-apa,” gumamnya dan mata sendu itu
lagi…
Aku berdiri begitu menyadari pertunjukan sudah
selesai dan musik sudah berganti. Beberapa pasangan sudah mulai turun kelantai
dansa. Aku mengulurkan tanganku pada Maya yang menatapku bingung.
“Maukah kau berdansa denganku Nona Maya
Kitajima?”
Daripada aku terus melamun, sebaiknya aku
membuat diriku sibuk dengan berdansa. Aku cukup terkejut saat Maya bangun dan
meraih tanganku. Tapi bukankah memang itu yang ku harapkan.
“Tapi saya tidak bisa berdansa,” katanya lirih.
“Tenang saja, kita pernah melakukannya kan?
Lakukan lagi seperti seperti waktu itu. Kau tinggal mengikuti gerakanku.
Serahkan saja tubuhmu padaku,” aku terkesiap dengan kalimat terakhirku. Bibir
lancangku lepas kendali. Ternyata otakku belum waras.
Tapi aku beruntung karena Maya yang ada
dihadapanku. Dengan keluguannya dia tidak berpikir apapun tentang makna dari
ucapanku. Batinku tergelak.
Senyum Maya terus mengembang di wajah
cantiknya. Dan dalam sekejap kami terhanyut. Aku tidak lagi peduli dengan semua
mata yang memandangku dan Maya juga sepertinya tidak lagi canggung. Gadis itu
begitu riang melenggak lenggokkan tubuhnya, menyelaraskan gerakannya dengan
musik dan gerakanku. Ini jelas berbeda dengan dansa yang pernah kami lakukan
beberapa tahun yang lalu. Dulu Maya masih seorang gadis kecil, tapi sekarang
dia wanita dewasa yang mempesona.
***
Salah kalau aku mengira berdansa akan menghentikan
khayalanku. Nyatanya justru pikiranku semakin melayang meski tubuhku sibuk
bergerak. Kedua tanganku yang memeluk pinggul Maya, menggenggam tangannya,
sesekali memutar tubuh sintalnya dan menangkapnya kembali dengan lenganku. Aku
rela berikan segala apa yang aku punya untuk gadis ini, untuk bisa menikmati
waktu seperti ini, untuk bisa benar-benar merengkuhnya dengan lenganku.
Andai aku
berani? Andai aku tidak sepengecut ini?
Sejenak hatiku begitu miris. Tapi dengan cepat
kutepis semuanya. Terlalu berharga kebersamaan ini untuk dirusak oleh
kepengecutanku. Biarlah aku menikmati waktu ini bersama gadisku.
Gadisku….Batinku mendesis dalam.
***
“Wah luar biasa, bintangnya banyak sekali,”
suara riang Maya membuatku tersenyum. Kami berdua bersantai digeladak sekarang.
Terlalu mencolok jika kami terus berada di dalam, setelah dansa kami yang
memukau semua orang aku tidak mau menambah sensasi lagi.
“Apa itu bintang kejora?” Tanya Maya.
“Iya itu bintang kejora, yang paling terang
namanya bintang deneb,” jawabku.
“Yang itu bintang bangau putih kan?” Tanya Maya
lagi.
Aku tidak dapat menahan diriku untuk terus
menatap wajah ceria itu, “Iya, itu bintang bangau putih,” jawabku tanpa melihat
bintang yang dimaksud Maya. Bagiku Maya lebih bersinar dan lebih menarik dibandingkan
bintang bangau, kejora atau apalah itu.
Maya memalingkan wajahnya padaku, dia sadar aku
mengamatinya. Dan dengan cepat aku mengalihkan perhatiannya pada gugusan
bintang sebelum dia melontarkan pertanyaan yang tidak bisa ku jawab. Lama aku
mengoceh tentang bintang dan kami begitu menikmati kebersamaan ini.
“Langit penuh bintang ya,” kata Maya lirih,
sekali lagi mata sendunya terlihat. Tapi kali ini dia tidak memandangku,
matanya menerawang jauh ke angkasa.
Aku tertegun memandangnya.
Ku lihat Maya mendesah pelan, membuat darahku
berdesir. Matanya masih menatap lautan bintang di angkasa, “Langit penuh
bintang ya Pak Masumi, waktu itu juga,” katanya lembut.
Eh?!
Waktu itu?
“Waktu dikampung halaman bidadari merah, saat
melihat langit penuh bintang, anda ada disebelah saya dan hari ini…anda juga
bersama saya,” Maya menoleh padaku dan tersenyum dengan begitu manis dan mata
sendu itu menohokku.
Apa
maksudmu Maya?
***
Aku duduk dikursi berjemur dengan gelisah
sedangkan Maya sesekali masih mengoceh tentang bintang. Gadis itu sama sekali
tidak menyadari keadaan. Aku menggenggam kunci kamar ‘jebakan’ itu kuat-kuat.
Apa yang
harus aku lakukan sekarang? Apakah gadis ini akan menyadari apa yang
direncanakan Shiori jika aku membawanya ke kamar itu? Sial !! aku sungguh tidak
mau Maya berpikir aku dan Shiori…
Aku mengepalkan tanganku dengan erat. Menahan
amarah dalam diriku.
Aku sadar Maya sudah berhenti bicara, kedua
lengannya terlipat dan memeluk tubuhnya sendiri.
Bodoh!
Kenapa aku bisa membiarkannya kedinginan seperti itu?
Aku berdiri, tidak peduli lagi apa yang akan
dipikirkan Maya jika melihat kamar itu. Tapi membiarkannya kedinginan seperti
itu, aku tidak akan tega sementara lenganku ini tidak akan berguna sama sekali.
“Sudah malam mungil, kau pasti lelah. Ayo ikut
aku,” kataku, ekspresi datarku membuat Maya menatapku bingung. Tapi aku tidak
peduli.
Kami berjalan dalam diam. Tanganku bahkan
gemetar saat aku membuka kunci kamar. Beruntung Maya tidak memperhatikan. Dia
langsung terpesona saat pintu terbuka dan kemewahan kamar menyambutnya. Kalau
tadi di hall aku berkhayal tentang ranjang itu, sungguh sekarang aku rela
melakukan apa saja asal Maya tidak berpikir macam-macam tentang ranjang itu.
Meski Maya lugu dan polos tapi aku tetap takut dia salah paham.
Batinku kembali mengejekku dengan seringai
lebar.
Memang
dia apamu sampai kau takut dia salah paham padamu? Bukankah kau terlalu
pengecut untuk mengakui keberadaannya dihatimu sendiri, Masumi!
Batinku memaki diriku sendiri. Dengan cepat aku
tersadar, sepertinya aku sudah terlalu lama terpaku. Maya sudah menatapku
dengan bingung. Bola matanya bergerak kesana kemari mencari pertolongan.
Ahhh, dia
takut padaku…
Batinku menangis.
Aku tersenyum dan itu berhasil mencairkan
kebingungan di mata Maya.
“Tenang saja mungil, aku tidak akan
macam-macam. Aku tadi sudah minta menejer untuk menyiapkan kamar untukmu tapi
ternyata semua kamar sudah penuh. Jadi kau beristirahatlah disini, aku akan keluar,”
kataku selembut mungkin, menenangkan kegelisahan gadisku.
Terserah kau mau berpikir apa Maya, yang
penting kau bisa beristirahat dengan nyaman.
“Lalu bagaimana dengan Anda Pak Masumi?” nada
cemasnya mengusikku.
Kenapa
kau sekarang mencemaskanku?
“Tidak usah khawatir, ada banyak sofa empuk dan
nyaman dilobi,” kataku, “Selamat malam, tidur yang nyenyak ya mungil,” aku
tersenyum sebelum menutup pintu.
Menghela napas panjang, aku berjalan menyusuri
koridor sepi. Pergi menuju bar dan meminta sebotol whiskey lalu kembali
kegeladak tempat tadi aku dan Maya mengoceh tentang bintang. Dengan malas
kubaringkan tubuhku di kursi berjemur. Suara tawa Maya masih terngingang-ngiang
ditelingaku, wajahnya yang ceria dan senyumnya yang indah. Tapi mata sendu Maya
masih memenuhi pikiranku.
Sejak kapan Maya memandangku
seperti itu?
Otakku sedikit waras sekarang dan aku mulai menyadari kalau kami
bahkan tidak bertengkar. Selain saat dia tadi berteriak dan bersikukuh tentang
pendapatnya sebagai wanita dewasa, selebihnya Maya hanya diam dan menurut
padaku.
Sejak kapan anak itu menurut
padaku?
Aneh, terlalu banyak keanehan hari ini.
Maya..mayaku…kau seperti
bintang itu. Begitu indah dan mempesona tapi tanganku terlalu jauh untuk
menggapaimu.
Tanpa sadar tanganku terulur diudara, mengukur jarak jangkau
lenganku ke angkasa dan aku tergelak sendiri dengan kebodohanku.
“Terlalu jauh Maya,” gumamku geli. Bibirku
terasa aneh saat memanggil nama gadis itu.
Selama ini aku selalu menyembunyikan
kegugupanku dengan memanggilnya dengan sebutan lain. Sama sekali tidak berniat
menggodanya atau membuatnya marah tapi lebih karena aku tidak sanggup
mengucapkannya. Namanya terasa begitu sakral bagiku, seperti sebuah mantra yang
bisa membuatku kehilangan kendali kapan saja.
Angin laut berhembus kencang dan aku bergidik.
Ku teguk whiskey dalam gelasku sekedar untuk menghangatkan tubuhku. Batinku
kembali tergelak.
Sungguh ironi sekali. Aku bersama seorang
wanita yang sudah kunantikan selama tujuh tahun, yang diam-diam kucintai dengan
segenap hatiku, yang ingin sekali aku dekap dengan lenganku. Tapi sekarang saat
gadis itu ada didepanku, berdiri dengan begitu cantiknya, justru aku tidak bisa
menggapainya. Dan memilih whiskey untuk menghangatkan tubuhku.
Dengan malas aku bangun dan berdiri bersandar
pada pagar kapal. Mataku menatap luasnya lautan dalam gelap malam. Anganku
kembali melayang.
Kau
sedang apa Maya? Apa kau sudah tidur sekarang? Semoga kau mimpi indah sayang…
Batinku kembali mencibir, apa suatu saat nanti
aku bisa memanggilnya begitu?
Mayaku…sayangku…
Tak kurasakan lagi dingin angin malam.
Hatiku
jauh lebih dingin daripada tubuh ini
***
Kulirik jam tanganku, sudah pukul sebelas
malam. Mataku masih belum mengatuk dan aku juga masih belum bosan melihat
bintang dan hamparan laut. Saat bersama Maya tadi serasa waktu berjalan begitu
cepat tapi kenapa saat sendiri seperti ini waktu terasa berhenti. Aku
mengetuk-ngetuk arlojiku dengan konyol.
Mendesah panjang, aku berjalan kemeja dan
meletakkan gelasku. Sudah setengah botol whiskey kuhabiskan dan aku sudah tidak
ingin minum lagi. Tubuhku sudah cukup hangat. Kembali kulangkahkan
kakiku dan bersandar lagi kepagar dengan kedua sikuku. Masih belum bosan
menatap bintang. Kedamaianku tiba-tiba terusik oleh suara isak tangis. Aku
menoleh kekanan dan kekiri. Terhenyak saat tahu sumber suara.
Maya?
"Kau kenapa mungil? Kenapa kau tidak
tidur?" Tanyaku cemas.
Maya terkejut melihatku dan menyeka dengan
cepat air matanya lalu langsung tersenyum.
Matanya
merah sekali, dia pasti sudah menangis lama.
"Ng...terima kasih banyak untuk hari ini.
Semuanya terasa seperti mimpi. Tapi waktu cinderella saya sudah habis dan saya
harus kembali menjadi diri saya lagi." Katanya dengan suara serak karena habis
menangis.
Maya...ada
apa?
Tenggorokanku tercekat melihatnya sedih.
Maya membungkuk hormat dan memberikan sebuah
tas padaku.
"Ini tas, pakaian dan sepatu yang anda
belikan untuk saya. Saya kembalikan semuanya dan terima kasih banyak,"
katanya lagi.
Masih ku dengar suaranya bergetar dan entah
kenapa aku tidak bisa bicara melihatnya seperti itu. Kulihat
tangan Maya gemetar dan dia mengulurkan tangannya, memberikan kunci kamar
ditelapak tangannya.
"Dan...ini...se...layaknya...Pak Masumi yang istirahat di kamar itu.
Sa...ya tidak pantas. Karena...," suara Maya benar-benar bergetar. Aku
tahu dia menahan tangis.
Aku masih terpaku menunggu Maya bicara. Gadis
itu berusaha menatapku.
Tunggu?!
Jangan-jangan...
Tenggorokanku kembali tercekat. Mataku menatap Maya, mencari
pembenaran atas pikiranku.
"Bukankah....kamar itu
dipersiapkan...untuk...anda dan...Nona Shiori," air mata Maya langsung
menetes, dengan cepat dia memalingkan wajahnya dan berusaha untuk lari.
Sial !!
Dia salah paham!!
"Tunggu! Kau salah paham!" Kali ini
hati dan mulutku sepakat.
Aku tidak
sudi Maya menganggapku seperti itu!
Maya langsung berbalik dan kembali menatapku
dengan tatapan sendunya. Air matanya masih mengalir.
Kenapa hatiku begitu sakit melihatnya menangis
seperti ini.
"Aku tidak pernah merencanakan perjalanan
ini! Semua ini adalah rencana Shiori, termasuk kamar itu! Aku datang kesini
juga karena undangannya! Dia sepertinya ingin membuat kejutan karena aku
terlalu sibuk bekerja! Kalau saja...," tenggorokanku kembali tercekat.
Tatapan mata Maya membuatku tak berdaya.
Gila!
Kenapa aku menjelaskan semuanya? Apakah Maya memang salah paham? Atau?
Aku membalikkan tubuhku dan kembali menghadap
laut. Tangan kiriku mencengkram kuat pagar baja didepanku dan tangan kananku
menggenggam geram kunci kamar yang diberikan Maya.
"Kalau saja tadi aku tidak bertemu
denganmu. Aku sudah berpikir untuk pulang," kataku mengakhiri
penjelasanku.
***
Sekarang aku terpaku, aku bahkan tidak berani
menatap wajah gadisku.
Entah apa yang ada didalam pikiran Maya
sekarang. Tapi aku benar-benar takut dia salah paham.
Amarah menguasaiku, dalam hati mengutuki kunci
yang ada dalam genggamanku.
"Dari awal, aku sama sekali tidak berniat
untuk menggunakan kamar itu!" Teriakku dan aku melempar kunci itu kelaut
dengan sekuat tenagaku.
"Pak Masumi !!" Pekik Maya dengan
suara seraknya.
Aku terengah menahan emosi didalam dadaku. Aku
masih tidak berani membalikkan badanku. Aku takut melihat wajah gadisku.
Tadi aku
sempat berpikir dia menangis karena salah paham tentang kamar itu. Tapi apa itu
mungkin? Kenapa dia harus menangis? Atau itu hanyalah harapanku? Harapan bahwa
gadis itu memiliki perasaan yang sama denganku? Membalas cintaku?
Perlahan aku mengatur napasku dan aku tercekat,
menahan napas, saat Maya tiba-tiba menyentuh lenganku.
Aku berbalik, sentuhannya seperti memberi
keberanian padaku. Berani untuk melihatnya. Dan entah untuk yang keberapa kali,
mata sendu Maya kembali menaklukkanku.
Hatiku tiba-tiba merasa begitu tenang saat
kemudian Maya tersenyum padaku. Dia tidak bicara, sama sekali tidak bicara. Tapi
senyumnya memberikan kedamaian pada hatiku. Meredakan amarahku. Entah kenapa
aku merasa begitu lega sudah menjelaskan semuanya dan membuang kunci itu
jauh-jauh.
Wajah damaiku hilang saat kulihat Maya bergidik.
Namun, daripada berkhayal aku lebih memilih
bertindak cepat. Aku mengambil mantelku dan memakaikannya kekepala gadisku.
"Pakailah, angin malam terlalu
dingin." Kataku tanpa melihat wajahnya.
"Pak Masumi...," gumam Maya dan suara
serak gadis itu terdengar begitu menggoda ditelingaku. Seperti rayuan untuk
memeluknya. Aku semakin mengeratkan tanganku kepagar. Takut aku lepas kendali.
"Hhmm, Pak Masumi," Maya memanggilku
lagi.
"Ya," aku hanya melihatnya dari sudut
mataku.
"Bolehkan saya tetap disini? Berada
disamping anda?" Tanyanya sopan.
Eh?! Aku
tidak sedang bermimpi kan? Kau mau berada disampingku?
Aku melihat botol whiskey diatas meja, masih
sisa setengah dan aku tahu aku tidak sedang mabuk. Tapi kenapa aku seakan tak
percaya dengan pendengaranku?
Maya masih menatapku dan aku sadar dia menunggu
jawaban dariku. Otakku berhenti berpikir. Kenyataan bahwa gadis ini mau berada
disampingku sudah menguapkan semua akal sehatku.
Andai ini
memang mimpi, biarlah aku menikmatinya sebentar lagi.
Aku memberikan senyumku yang paling tulus.
Entah dimana dulu aku meletakkan senyum itu, yang jelas sekarang aku sudah
menemukannya kembali dan ingin kuberikan hanya pada gadisku.
"Tentu saja kau boleh tetap disini.
Lagipula kita sekarang sama-sama tidak punya kamar," kataku.
Aku sudah lelah berbohong pada gadisku ini.
Biarlah malam ini aku jujur tentang apa yang aku rasakan.
Kami berdua tersenyum lalu tergelak dan hatiku
terbebas.
"Hhmm, soal pakaian, tas dan juga sepatu
itu tidak perlu kau kembalikan ya. Maukah kau menerimanya? Anggap saja hadiah
dariku," kataku. Aku hampir tidak percaya aku berani mengatakannya.
Mata Maya berbinar dan senyumnya mengembang,
"Terima kasih Pak Masumi. Sebenarnya saya juga menyukainya," katanya
polos tapi membuat hatiku berbunga.
Ini pertama kalinya aku memberinya hadiah atas
nama Masumi Hayami sebagai seorang pria. Bukan sebagai Mawar ungu ataupun
Direktur Daito.
"Kau cocok mengenakannya. Kau
cantik," pujiku dan rona merah langsung mewarnai wajah Maya. Membuat
hatiku semakin melambung.
Tapi batinku sudah terpekur sekarang. Dia sudah
terlalu lelah untuk berkomentar. Dia sudah tidur tenang dengan senyum
mengembang karena akhirnya kami sepakat. Hati dan pikiranku sepakat kalau aku
mencintai gadisku.
Salah!
Sangat mencintai gadisku...Mayaku...
-End-
by Agnes Kristi
6 Comments
Keren banget mbaaa..... gaya penulisannya bagus bangeeeeeet..... bikin one shot fftk lain yaaa....
ReplyDeleteMakasih ya ive...ada waktu nanti ku tambah ceritanya... :)
DeleteIya aku acungin 2 jempol. Saluut dgn pilihan katanya. Bs menggambarkan perasaan masumi dgn cermat. Good job sist, n jangan bosen nulis crta FFTK lainnya. Aku tunggu lho
ReplyDeleteEh ini kak Tati yang tulis serial Destiny sama The Jealoussy of Masumi Hayami kan? di blognya teh Ty. purple love, Masumi Love, The wedding....etc. bener ga?
Deleteaku juga suka lo ma semua ceritanya...aku da baca semua...
makasih juga mau baca ceritaku ya.... :)
bagus bgt, aku sampe terbawa perasaan masumi.. hebat lho!!
ReplyDeleteHhhh...pas bgt ya. Mungkin bgt lah isi pikiran masumi kalau diterjemahkan.... :-)
ReplyDeleteCoba di komiknya jga bgt....
Top..... Bgt....