Disclaimer : Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction
by Agnes Kristi
Setting
: Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
=======================================================================
“Bagaimana perkembangannya?” Masumi berdiri di koridor, di dekat taman Rumah Sakit Jiwa Pusat Tokyo. Matanya menatap lurus ke arah sang istri yang tengah duduk di bangku taman bersama seorang pria dan juga seorang perawat. Siang itu, dia dan Maya sengaja membuat janji temu dengan Dokter Takashi yang menangani masalah kesehatan mental Koji.
Ya,
kasus Koji sudah selesai satu minggu yang lalu. Pengadilan menyatakan aktor
tampan itu membutuhkan perawatan medis untuk mentalnya. Masumi juga menerima
putusan itu. Sekarang Koji ada dalam perawatan dan diawasi oleh pihak
berwenang.
“Sejauh
ini belum banyak perkembangan. Tuan Sakurakoji masih sering histeris dan
mencari Nyonya Hayami. Mungkin ke depannya, saya akan membutuhkan beberapa
bantuan dari Nyonya Hayami dalam proses terapi. Anda keberatan Tuan Hayami?”
Dokter Takashi menoleh pada pria di sampingnya yang masih belum berkedip
menatap sang istri.
Masumi
menghela napas pelan. “Kalaupun saya bilang keberatan, Maya tetap akan
melakukan sebaliknya.”
Dokter
Takashi tersenyum. Ini ketiga kalinya dia bertemu dengan pasangan Hayami. Dan
itu cukup baginya untuk melihat betapa Masumi posesif pada istrinya. “Nyonya
Hayami menganggapnya sebagai sahabat baik.” Sang dokter tidak mau menyiram
minyak ke dalam api. Dia berusaha menenangkan Masumi.
“Saya
tahu Dokter.” Masumi pun menoleh sembari mengulas senyum tipis.
Perhatian
keduanya teralihkan saat dari jauh terlihat Maya yang beranjak lalu berjalan
meninggalkan taman. Koji masih duduk di bangku, ditemani oleh perawat. Senyum
Maya mengembang begitu berdiri di depan suami dan Dokter Takashi.
“Sudah
selesai mengobrol?” tanya Masumi pada istrinya.
Wanita
itu mengangguk sembari melebarkan senyumnya. “Lain kali kau juga harus ikut
mengobrol dengannya Masumi.”
“Kau
ingin melihatnya mengamuk?” Masumi menautkan alis dan membuat Maya tertawa. Ya,
alasan Masumi hanya melihat sepasang sahabat itu mengobrol dari jauh adalah
karena Koji yang akan histeris jika melihatnya.
“Mungkin
beberapa minggu lagi kondisinya akan lebih baik, bukan begitu Dokter?” Maya
mengalihkan perhatiannya pada Dokter Takashi.
“Semoga
demikian, kami akan usahakan yang terbaik, Nyonya.”
Maya
mengangguk tanda setuju lalu kembali menatap suaminya. “Kita pulang sekarang?”
“Tentu,”
jawab Masumi cepat. Keduanya kemudian berpamintan dan mengucapkan terima kasih
pada Dokter Takashi. Maya dan Masumi pun berjalan beriringan meninggalkan rumah
sakit.
***
Sepulang
dari rumah sakit, Maya dan Masumi pergi untuk makan siang di sebuah restoran,
di pusat kota. Sudah sepuluh hari berlalu sejak pernikahan keduanya. Mereka
tampak bahagia meski beberapa waktu lalu disibukkan dengan urusan persidangan.
Duduk
berhadapan di meja bulat, Masumi memesan beberapa menu makanan untuknya juga
Maya. Istrinya tampak sedang fokus membalas pesan Yukari, manajernya.
“Ada
masalah?” tanya Masumi begitu Maya memasukkan handphone ke dalam tas.
“Tidak
ada, Yukari hanya bertanya mengenai beberapa tawaran kontrak.”
“Dan
kau masih bersikeras untuk menolaknya?” kata Masumi seraya membuka serbet linen
ke atas pangkuannya.
Maya
tersenyum. “Jangan bahas masalah itu lagi.”
“Kau
tahu kalau aku tidak akan pernah setuju kau berhenti dari dunia akting.”
“Masumi,
aku masih cuti bulan madu,” Maya berkilah dengan senyum yang belum luntur dari
wajahnya. Dia tahu Masumi tidak suka akan keputusannya, tapi saat ini Maya
hanya ingin fokus pada kesehatan suaminya.
Pelayan
yang datang membawa pesanan mereka menghentikan Masumi mendebat istrinya. Pada
dasarnya dia hanya tidak ingin Maya mengorbankan karir demi dirinya.
Keduanya
makan dengan tenang hingga dering handphone
Masumi mengalihkan perhatian mereka. Meletakkan peralatan makannya, Masumi
menjawab panggilan setelah melihat nama Hijiri di layar.
“Halo
Hijiri.”
“Tuan,
saya mendapat kabar baik dari Dokter Hayate.” Suara Hijiri terdengar
bersemangat di seberang sana.
“Hm?”
gumam Masumi dengan nada tanya.
“Dokter
Hayate mendapat donor hati untuk Anda.”
Sejenak
Masumi terdiam lalu kembali bertanya untuk memastikan kalau dia tidak salah
dengar. “Apa?”
“Dokter
Hayate menemukan pendonor yang cocok dengan Anda, Tuan Masumi.” Hijiri
mengulang perkataannya dengan hati-hati.
Tanpa
sadar Masumi tersenyum. Sebelumnya Hijiri sedang mencari informasi mengenai
perawatan juga donor hati untuknya di Kanada. Siapa sangka jika kemudian Dokter
Hayate lebih dulu mendapat pendonor yang cocok.
“Tuan
Masumi? Anda baik-baik saja?” Hijiri merasa heran karena tidak mendapat respon.
“Ah,
maaf, aku senang mendengarnya,” jawab pria itu kemudian.
“Saya
juga senang mendengar berita ini. Besok saya akan mengatur jadwal Anda untuk
bertemu dengan Dokter Hayate.”
“Terima
kasih, Hijiri.”
Hijiri
menyampaikan beberapa hal lain sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Masumi
meletakkan handphone di atas meja
dengan wajah bahagia. Dia menatap Maya yang tampak penasaran.
“Ada
berita baik apa?” tanya Maya seraya menyeka mulutnya dengan serbet.
“Kau
mau menebaknya?” Senyum Masumi melebar.
“Dari
ekspresi wajahmu aku yakin itu adalah berita yang sangat menggembirakan. Apa
Daito mendapat proyek besar?”
Mendengar
tebakan istrinya membuat Masumi tertawa. “Lebih baik dari itu.”
“Hm?”
Maya mengendikkan bahu.
“Dokter
Hayate mendapat donor yang cocok untukku.”
Maya
menganga dengan terkejut sebelum akhirnya beranjak dan melompat ke arah Masumi
yang sudah merentangkan kedua tangannya.
***
Bukan
hanya Maya yang senang dengan berita itu. Eisuke dan Asa juga seluruh penghuni
mansion Hayami turut bersuka cita. Malam itu, Harada membuat makan malam di
kediaman Hayami lebih spesial.
Selesai
dengan jamuan makan malam yang membuat semua orang kekenyangan. Maya dan Masumi
kembali ke kamar mereka dengan wajah bahagia. Maya bergegas ke kamar mandi
untuk menyiapkan air panas.
“Mau
berendam bersamaku?”
Wanita
itu menoleh dan mendapati suaminya sudah berdiri di ambang pintu kamar mandi
dengan kedua tangan bersilang di dada. Pipinya merona saat Masumi menutup pintu
lalu berjalan menghampirinya dengan senyum menggoda.
“Kau
tidak mau?” Masumi menarik tangan Maya saat istrinya itu justru bergeming
menatapnya seraya duduk di tepi bath tube.
“Kenapa
tidak?” Wanita itu pun tersenyum lalu mengulurkan tangan untuk melepas kancing
kemeja suaminya. Wajahnya terasa makin panas di bawah tatapan lembut Masumi.
“Kau
masih saja malu-malu,” goda Masumi saat Maya selesai membuka semua kancing lalu
melepas kemejanya.
“Jangan
mengejekku,” Maya memukul lengan Masumi lalu mulai melepas ikat pinggang
celana.
Masumi
tertawa. Wajah merah istrinya sungguh menggemaskan. Dia menahan tangan Maya
yang ingin membuka resleting celana dan menggeleng begitu sang istri menatapnya
dengan tatapan tanya. “Biar aku saja atau kita tidak akan selesai hanya dengan
mandi dan berendam.”
Kali
ini Maya yang tertawa dan segera menjauh dari Masumi. Wanita itu juga melepas
pakaiannya dan memasukkan pakaian kotor mereka ke dalam keranjang. Dia
menyalakan shower, memutarnya untuk
mendapatkan suhu yang pas sebelum akhirnya berdiri di bawah guyuran air hangat.
Masumi menyusul hanya untuk memeluknya dari belakang.
“Kau
bilang hanya akan mandi dan berendam?” Maya membalikkan ucapan suaminya.
“Memang,”
jawab Masumi sembari mendaratkan kecupan di sepanjang garis leher istrinya.
Guyuran air hangat membuat tubuh mereka lebih rileks. “Aku tidak mau membuatmu
demam karena bercinta di kamar mandi.”
Maya
berbalik dalam pelukan Masumi. Wanita itu tersenyum lalu mencium sudut bibir suaminya.
Tangannya terulur untuk meraih shampo dan menuangnya di atas kepala mereka.
Saat tangan Maya meraih kepala sang suami dan mulai mencucinya, Masumi juga
melakukan hal yang sama. Dia mencuci rambut Maya dengan lembut bahkan
memberinya sedikit pijatan. Keduanya bertukar senyum dan menikmati acara
mencuci rambut bersama itu.
Sayangnya
Masumi menolak saat Maya ingin membantunya menggosok punggung. Keduanya selesai
mandi dan segera masuk ke dalam bath tube
yang sudah penuh. Maya menggumam puas saat punggungnya bersandar manja di dada suaminya.
Tangan Masumi memijat bahu istrinya perlahan.
“Kau
terlalu memanjakanku,” gumam Maya yang meski protes tapi tampak bahagia dengan sikap
lembut suaminya.
“Aku
senang melakukannya. Lagipula kedepannya mungkin kau yang akan repot
mengurusku.”
Maya
memiringkan wajah demi melihat ekspresi wajah sang suami. “Jangan berkata
seperti itu.”
Masumi
berhenti memijat bahu Maya lalu melingkarkan tangannya di pinggul ramping sang
istri.
“Masumi,
apa kau takut?” tanya Maya kemudian. Kepalanya bersandar di atas tulang
selangka suaminya.
Tangan
Masumi kembali bergerak untuk memijat tangan Maya. “Dokter Hayate pernah
mengatakan presentase keberhasilan transplantasiku hanya lima puluh persen.
Bahkan setelah itu, harapan hidup pasca operasi hanya sekitar lima sampai
sepuluh tahun.”
Mendengar
ucapan Masumi membuat Maya menarik tangan sang suami untuk kembali memeluknya.
“Lima puluh persen adalah harapan yang harus diperjuangkan. Apa kau lupa berapa
persen yang kuperjuangan dulu untuk menjadi Bidadari Merah?”
Masumi
tersenyum. “Satu persen dan kau menang.”
“Kau
juga pasti akan menang. Aku yakin semua akan baik-baik saja.”
“Hm,”
gumam Masumi kemudian. Dia juga tidak tahu harus merespon seperti apa. Istrinya
memang selalu optimis bahkan di hadapan sebuah kemustahilan sekalipun.
“Dan
mengenai harapan hidup setelah operasi, kenapa harus memikirkannya sekarang?”
Wanita itu memiringkan wajah dan melihat Masumi menatapnya sendu.
“Kau
bahagia bersamaku?” Maya mengusap lembut sisi wajah Masumi.
“Tentu
saja.”
“Kalau
begitu kita nikmati saja kebahagiaan ini.”
Pria
itu berkedip saat merasakan matanya menghangat.
“Satu
hari, satu minggu atau satu tahun, siapa yang tahu? Tidak perlu memikirkannya.
Kita nikmati saja kebersamaan ini. Berdoa Tuhan akan menganugrahi waktu yang
panjang untuk kita bisa bersama lebih lama, bukan begitu?”
Masumi
masih diam tapi pelukannya di pingul Maya mengerat.
“Jangan
takut, sampai waktu Tuhan itu tiba, aku akan selalu bersamamu.”
Janji
Maya membuat Masumi tak lagi bisa menahan air matanya. Ketakutan dan
kekhawatirannya terkikis. Pria itu menarik dagu sang istri dan menghadiahinya
ciuman lembut di tengah derai air mata yang membasahi pipinya.
***
The
University of Tokyo Hospital.
Sepuluh jam
duduk di depan ruang operasi tidak membuat Maya mengeluh. Wanita itu terus merapal doa di dalam hati untuk
keselamatan Masumi yang tengah berjuang di dalam. Eisuke dan
Asa menyerah membujuk Maya pulang untuk
sekedar beristirahat sejenak. Akhirnya Mizuki dan Hijiri lah yang menemani
wanita itu menunggu dalam diam.
Lampu di
atas ruang operasi yang padam membuat Maya langsung beranjak. Hijiri dan Mizuki
langsung siaga di belakang sang nyonya. Keduanya melihat tangan Maya yang
terkepal dengan ekspresi khawatir saat pintu kemudian terbuka, Dokter Hayate
melepas masker dan langsung menatap mereka.
“Nyonya
Maya.” Senyum Dokter Hayate membuat harapan Maya mengembang.
“Operasinya
berhasil?” lirih wanita itu. Kini kelelahan tampak di wajah ayunya.
Dokter
Hayate mengangguk. “Operasi berhasil dan berjalan lancar.”
“Syukurlah,”
ucap Maya penuh kelegaan. Entah karena lelah atau karena ketegangan yang sejak
tadi melingkupinya mencair, Maya merasakan kakinya lemas. Beruntung Hijiri
dengan cepat menangkap tubuh kecil itu sebelum terjatuh ke lantai. Perlahan dia
membantu Maya untuk duduk dan Mizuki berlari untuk mengambil air minum yang
disediakan di ruang tunggu, tak jauh dari ruang operasi.
“Dokter
Hayate, terima kasih,” ucap Maya penuh haru. Air matanya jatuh meski wajahnya
tersenyum.
Sang
dokter yang jelas mengerti bagaimana perasaan Maya hanya mengangguk. “Tuan
Masumi akan dipindah ke ICU selama dua puluh empat jam untuk memantau
perkembangan pasca transplantasi. Anda sebaiknya juga beristirahat Nyonya.”
Maya tak
menjawab dan hanya bisa mengangguk. Dokter Hayate pun meninggalkan mereka
bersama dengan dua dokter lain yang baru saja keluar dari ruang operasi.
“Kak Hijiri,
Masumi selamat,” lirih Maya.
“Ya
Nyonya, Anda bisa tenang sekarang.” Hijiri melepas jasnya dan menyelimuti bahu
Maya. Tubuh wanita itu terasa dingin.
Mizuki
yang datang mengulurkan secangkir teh yang disyukuri Maya karena membuat tubuhnya lebih hangat.
“Anda
belum makan sejak siang tadi Nyonya.” Mizuki duduk di sebelah Maya dan menatap
wanita itu khawatir.
“Aku
belum lapar,” jawab Maya yang kembali memperhatikan pintu ruang operasi.
“Tapi
Nyonya, Anda-,”
Ucapan
Mizuki terputus saat Hijiri memberi isyarat untuk diam. Dia tahu benar
bagaimana sifat Maya. Percuma saja memaksa wanita itu. Maya tidak akan tenang
sebelum melihat Masumi dengan mata kepalanya sendiri. Akhirnya Mizuki hanya
bisa menghela napas panjang.
***
Cuaca Tokyo cerah dengan angin
yang berhembus segar. Maya membuka jendela paviliun, tempat dimana suaminya
dirawat dalam proses pemulihan. Sudah empat belas hari dan sejauh ini tidak ada
tanda penolakan atau komplikasi apa pun.
“Masumi, Dokter Hayate sudah
mengijinkanmu keluar kamar besok. Mau jalan-jalan di taman?” Maya duduk di sebelah
tempat tidur sembari mengupas apel.
Masumi setengah berbaring pada
tempat tidur yang diatur lebih tinggi. Wajahnya sudah lebih berwarna dan mulai
bisa bergerak lebih banyak. Pria itu mengalihkan perhatiannya dari buku yang
tengah dibacanya. “Aku ingin pulang saja.”
Tangan Maya langsung berhenti
mengupas. Wanita itu mengangkat wajahnya lalu tersenyum pada Masumi. “Sabar
sebentar lagi.”
“Aku sudah merasa sehat.”
“Iya, iya, kau sudah sehat,” Maya
tidak membantah ucapan suaminya lalu kembali mengupas apel.
“Maya, ayolah, bujuk Dokter
Hayate agar mengijinkanku pulang.” Masumi menutup buku lalu memohon pada
istrinya.
“Jangan merengek, aku tidak akan
melakukannya.” Maya justru tersenyum melihat ekspresi Masumi. “Kau akan pulang setelah
benar-benar kuat. Masih ada dua terapi lagi minggu depan. Setelahnya, jika
hasil pemeriksaan menyatakan semua baik maka Dokter Hayate akan mengijinkanmu
pulang.”
“Itu terlalu lama Sayang,” keluh
Masumi yang benar-benar sudah merasa bosan terkurung di kamar rumah sakit. Dia bahkan
tidak diijinkan membuka email dan memeriksa pekerjaannya.
“Aku disini bersamamu, apalagi
yang kau keluhkan? Apa kau juga bosan kutemani Tuan Hayami? Paman Asa akan
dengan senang hati menggantikanku.” Maya meletakkan potongan apel ke atas
piring kecil dan memberikannya pada Masumi. “Makanlah.”
“Jangan mengubah topik
pembicaraan. Kau tahu bukan itu maksudku,” jawab Masumi seraya mengambil
sepotong apel lalu mulai mengunyahnya perlahan. Rasanya manis.
“Hm, sudah jangan merajuk. Aku tidak
akan menciummu jika kau terus merajuk,” ancam Maya sembari menopang kepalanya
dengan tangan yang bersandar pada tepi tempat tidur.
Mendengar ancaman istrinya
membuat Masumi berhenti mengunyah. Dia menatap Maya yang kini tengah menahan
tawa. “Pagi ini kau memang belum menciumku,” protesnya kemudian.
“Sudah, kau belum bangun saat aku
memberimu kecupan selamat pagi.”
“Kau bohong.”
“Tidak.”
“Kalau begitu lakukan lagi.”
Maya tertawa saat melihat Masumi
memindahkan piring apel dari pangkuannya ke atas nakas. Pria itu baru akan membungkuk
untuk mencium kening istrinya sebelum rasa sakit menyengat perutnya dan
membuatnya mendesis sakit. Maya langsung berhenti tertawa dan dengan hati-hati
membantu Masumi kembali bersandar pada tempat tidur.
“Jangan bergerak sembarangan.”
Maya mengomel dengan wajah khawatir.
Masumi terkadang lupa akan
kondisinya dan ingin segera beraktivitas dengan bebas. Sayangnya, luka pasca
operasinya memang masih dalam taraf penyembuhan. Memejamkan mata, Masumi
menghela napas perlahan saat rasa sakitnya berangsur hilang.
“Masih sakit?” tanya Maya sembari
mengusap kening Masumi dengan tissue.
Perlahan Masumi membuka mata lalu
tersenyum untuk melunturkan kekhawatiran istrinya. Pria itu pun menggeleng. “Maaf
aku lupa,” katanya kemudian.
Duduk di tepi tempat tidur, Maya
melandaikan tubuhnya lalu memberikan sebuah kecupan di pipi Masumi. “Jangan terlalu
banyak bergerak. Aku takut lukanya kembali terbuka.”
“Hm.” Kali ini Masumi menggumam
patuh.
Maya bergeser lalu dengan santai
berbaring miring di sebelah suaminya. Sudah beberapa hari belakangan dia
melakukannya untuk membujuk Masumi yang selalu merengek pulang. Tentu saja Maya
tetap berhati-hati agar tidak mengenai luka di perut Masumi.
“Istirahatlah yang tenang Tuan Hayami.”
Maya menyandarkan tangannya di dada sang suami.
Meraih tangan istrinya, Masumi
mengecup punggung tangan Maya lalu kembali menggenggamnya di atas dada. “Terima
kasih selalu berada disisiku.”
Wanita itu hanya tersenyum saat
kemudian Masumi memiringkan wajahnya dan memberinya kecupan di kening. Keduanya
berbaring dengan nyaman, berpelukan dan menikmati kebersamaan mereka dengan
tenang.
Angin yang berhembus pelan
menggoyangkan tirai jendela. Waktu berjalan lambat. Tidak peduli berapa lama lagi
waktu yang tersisa, Maya dan Masumi hanya ingin terus mencinta. Hati mereka
telah menjadi satu. Bahkan jika Tuhan memisahkan pada waktunya nanti, Maya dan
Masumi akan tetap menyimpan cinta itu di dalam hati mereka. Selamanya.
***
A/N : Nah, bener-bener END kalo sekarang. Wkwkwk. Happy reading ajalah. Sampai jumpa di cerita lainnya. Thanks for u'r comment n support. Deep bow n big hug.
9 Comments
Terimakasih untuk akhir yg maniz...dari penggagummu...mawar jingga
ReplyDeleteMakasih juga udah sempetin baca mba, kecup manis *
DeleteDuhhh koq aq mewek yaaaaa
ReplyDeleteAkhirnya penantian panjang dan melelahkan berakhir manis semanis aquuuuu 😁😁😁😁
Tengkyuuuu mbaaa Nes
Ditunggu kisah2 MM selanjutnya
sebenere ada endinge lagi 10 tahun kemudian Maya sama anaknya udah berdiri di depan batu nisan tapi ya balik lagi, kokoro ini kagak sanggup wkwkkww. jadilah sampe sini aja endingnya. bagus ga? puas ga? kelamaan hiatus rasanya jadi aneh wkwkwkwk
DeleteHanya itu
ReplyDeleteSaya Kira Ada adegan nsfw nya
Btw pendonor e siapa ya
Nunggu yang hot ya? 🙈🙈🙈
DeletePendonore dirahasiakan rumah sakit 😁😁
Makasih dah mampir
Finally doneeeee
ReplyDeleteYesss.... Sampai di sini aja ending nya
Cukup...pas....mantapp....
Hihihi
Thank u mba nessss
Loph youuuu
Syukurlah kalo udah dirasa cukup, hahhaaha
Deletemakasih ya muahhh
aaaaa melting....
ReplyDeletenggak pernah bosen baca kisah mereka ini.... makasih kak agnes...