D - Three - Agnes Kristi

Novel kedua karya Agnes Kristi
PO di buka akhir Januari 2018, kunjungi Facebook Agnes FFTK



Deana, Davia dan Dayana. Persahabatan mengikat ketiganya menjadi saudara.
Deana yang takut menikah.
Davia yang sudah tak sabar menunggu lamaran.
Dan
Dayana yang terjebak dalam cinta segitiga.
Nikmati kisah mereka dalam D-Three dengan balutan manis dan renyah gula-gula penuh warna.

*********************************************************************************

Prolog


Dea menggerutu sepanjang jalan Malioboro. Sabtu siang yang panas membuat mood-nya makin berantakan. Dia pun mempercepat langkahnya memasuki Mall Malioboro. Toko buku, berharap tempat itu bisa membuat hatinya senang.
            “Kosong?” Wajah Dea bertambah kusut setelah mendengar jawaban seorang petugas toko buku. Novel pengarang favoritnya sudah habis terjual padahal Dea sudah rela menyisihkan uang saku demi membeli novel itu.
            “Iya, Mbak. Minggu depan baru datang lagi,” jawab petugas itu.
            Dea belum beranjak dari tempatnya saat seorang gadis bertubuh tinggi dengan paras khas peranakan Tionghoa datang menghampiri sang petugas.
            “Mbak, Novel Ajari Aku Cinta karangan Agnes Kristi sebelah mana ya? Kok daritadi nyari nggak ketemu,” tanya gadis itu.
            Dea tesenyum dalam hati, ternyata bukan hanya dirinya yang bernasib sial. “Habis, Mbak. Katanya minggu depan baru dateng,” celetuk Dea yang langsung membuat perhatian gadis itu tertuju padanya. “Saya juga mau beli itu tadi,” terangnya kemudian.
            Gadis itu mengangguk lesu. “Padahal udah di tunggu-tunggu,” lirihnya.
            “Sama,” Dea kembali menimpali.
            Petugas toko buku itu hanya tersenyum, namun belum sempat dia pergi seorang gadis lain datang dan bertanya padanya.
            “Mbak, Novel Agnes Kristi sebelah mana ya?” tanya gadis itu. Sontak Dea dan gadis tadi langsung meringis.
            “Habis,” jawab keduanya bersamaan dan gadis itu mendengus kesal.
Tidak mau menjadi sasaran kekesalan tiga pelanggannya, petugas itu langsung pergi menyelamatkan diri.
            “Suka novelnya Agnes Kristi ya?” tanya Dea pada kedua gadis itu. Wajahnya berbinar senang saat mereka mengangguk. “Aku juga,” pekiknya girang. Gadis berpostur mungil itu merasa senang karena setidaknya dia bisa dapat teman baru sesama penggemar Agnes Kristi.
            “Boleh kenalan?” tanya Dea lagi dengan semangat. Dia bahkan langsung mengulurkan tangan kanannya. “Deana, panggil aja Dea.”
            Gadis yang datang pertama tadi menyambut uluran tangan Dea. “Davia, panggil aja Via.” Gadis bertubuh tinggi itu mengulas senyum.
            “Eh, namanya kok pake D semua,” celetuk gadis yang tadi datang paling akhir. Dea dan Via menatap gadis itu heran. “Aku Dayana, biasa di panggil Aya,” katanya yang langsung menjabat tangan Dea dan Via. Ketiganya tertawa karena kebetulan yang menyenangkan itu.
            “Wah asik nih,” kata Dea yang merasa senang dengan kenalan barunya.
            “Dea masih SMA ya? Imut bener,” tanya Via.
            “Eh, enak aja, gini-gini aku udah semester dua,” jawab Dea tidak terima. Padahal orang memang sering salah menerka umur gadis itu karena postur tubuhnya yang mungil. Tolong jangan katakan pendek, Dea tidak akan suka mendengarnya.
            Via tertawa. “Ya tetep aja tuaan aku. Kuliah di mana?”
            “UNY, jurusan sastra. Mbak-mbak ini kuliah juga?” Mendengar Via mengatakan lebih tua membuat Dea berinisiatif memanggilnya dengan embel-embel Mbak.
            “Ah, nggak usah panggil Mbak sama aku. Panggil Aya aja biar lebih akrab. Kita cuma beda setahun. Aku semester empat jurusan Menejemen di UAD,” jawab Aya.
            Via meringis lebar. “Ternyata emang aku yang paling tua.Tapi nggak usah juga panggil Mbak biar nggak keliatan tuanya,” katanya sambil tertawa. “Aku semester akhir jurusan Sosial di UGM.”
            Siapa sangka pertemuan tidak sengaja itu kemudian berlanjut. D-Three, nama itu disebut Dea pada pertemuan kedua mereka di kafe D’Nangkring, di jalan Salemba. Ajaibnya, hingga kini nama D-Three menyatukan mereka seperti saudara.

 ****

 D - Three


“Lama amat sih?” Dea, tampak cemberut saat sahabat baiknya, Via, datang dengan napas terengah. “Dari mana? Pasti asik pacaran,” cibirnya kemudian. Pasalnya Dea sudah rela berpanas-panasan di tepi Jalan Jendral Sudirman setelah selesai membeli buku di Gramedia. Kenapa tidak menunggu di dalam toko buku saja? Salahkan Via yang memintanya menunggu di tepi jalan dengan tambahan Whatsapp meyakinkan berkata ‘lima menit lagi’.
Via mengerutkan kening lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Oi, aku cuma telat 10 menit,” protesnya.
“Cuma?” Dea melotot dengan mata kecilnya, membuatnya tampak lucu alih-alih seram. “Nggak liat rambutku udah kriting nungguinnya?” omel Dea dengan tangan menunjuk ke arah kepala. “Panas nih,” lanjutnya seraya mengalihkan telunjuk ke arah matahari.
Via terkikik, dia tahu kalau Dea pasti marah. Sebenarnya dia sudah keluar dari rumah sejak pukul sepuluh tadi tapi tolong salahkan saja dokter genit –ehm, pacarnya- yang tiba-tiba memintanya datang ke rumah sakit untuk mengantar makan siang dan membuatnya terlambat datang menemui Dea. Oh ayolah, pesona pria tampan berbalut jas putih memang sulit untuk di abaikan meski taruhannya adalah omelan Dea yang pastinya akan berlangsung sepanjang hari.
Sorry, sorry, jangan marah ya,” Via merengkuh bahu sahabat mungilnya. Tinggi Dea hanya sebatas bahu Via, membuat Dea tampak seperti adik yang tengah di peluk kakaknya. “Nanti aku traktir deh,” rayunya.
“Nggak,” ketus Dea seraya menepis tangan Via dari bahunya. Bibirnya bertambah maju lima senti.
Yaelah, tiada maaf bagiku nih? Komik seri terbaru gimana?” rayu Via lagi. Oh, jangan katakan mereka bersahabat kalau tidak tahu apa kelemahan satu sama lain.
Dea melirik Via lalu mendengus sebelum melangkahkan kakinya. “Ayo cepet jalan, nanti Aya kelamaan nunggu kita,” katanya. Via tertawa sebelum akhirnya mengikuti langkah sang sahabat yang mendapat gelar ‘kecil-kecil cabe rawit’ itu.

****

Sebuah taksi berhenti di depan kafe dengan nama D’Nangkring tercetak besar di bagian atas pintu masuk. Tampak Dea dan Via turun dari taksi lalu berjalan masuk ke dalam kafe. Keduanya mengedarkan pandangan hingga senyum Via mengembang begitu matanya menangkap sosok gadis berbaju biru yang duduk di sudut ruangan. Gadis berambut panjang dan berparas ayu dengan kulit kuning langsat itu tengah sibuk bermain handphone.
“Aya di sana.” Via menarik tangan Dea untuk mengikutinya.
Aya mengangkat kepala saat mendengar suara yang memanggil namanya. Matanya menyipit begitu menyadari dua sosok yang sangat familiar. Si Cina dan si Cabe Rawit.
“Setengah jam,” desisnya begitu Via dan Dea duduk di depannya. Ah, selain Dea, Aya juga paling anti dengan jam karet. Tolong salahkan Via jika semua jadwal yang sudah mereka susun rapi harus berantakan.
“Nggak usah melotot Miss Jutex dan nggak usah tanya kenapa,” jawab Dea yang membuat Aya menghela napas panjang.
“Ngemodus apalagi doktermu kali ini?” tanya Aya to the point. Julukan si Jutex yang di terimanya bukanlah tanpa alasan. Gadis itu tak pernah suka basa basi dan siap menusuk jantungmu dengan ketajaman kata-katanya.
Via terkekeh. “Ya ampun, kalian berdua ini ya. Aku cuma anter makan siang dulu buat Al,” ucapnya membela diri.
“Ah, anter makan siang sekalian nyuapin sampe abis,” cibir Aya dan Dea langsung mengangguk mantap.
Via menjulurkan lidah pada kedua sahabatnya. “Udah ah, sebagai penebus dosa, aku deh yang traktir sekarang,” jurus Via merayu para sahabatnya.
“Emang harusnya begitu,” timpal Aya dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia dan Dea segera ber-hi five ria, makan siang gratis. Via hanya bisa meringis membayangkan tagihan makan yang akan di bayarnya.
“Nggak usah pasang tampang memelas gitu. Pak Dokter pasti udah kasih kamu uang buat nyogok kami kan?” tebak Dea yang langsung di sambut tawa renyah Via. Sebagai sahabat, Dea dan Aya juga sudah hapal perangai pasangan masing-masing. Aldian, kekasih Via yang berprofesi sebagai dokter itu memang kerap mengacaukan jadwal mereka. Tapi senangnya, dia akan menitipkan uang kompensasi pada Via untuk mereka bersenang-senang. Makan di D’Nangkring adalah agenda rutin mereka setiap libur kerja selain mengobrak-abrik toko buku sekota Yogyakarta.
“Udah nggak usah bahas itu, cepetan pesen,” timpal Aya yang sepertinya sudah kelaparan. Dengan semangat Dea memanggil pelayan kafe yang paling tampan.

****

“Eh, lama aku nggak ketemu Teo. Gimana kabarnya Mr. Accounting itu, Dea?” tanya Via di sela makan siang mereka.
Di meja bulat tempat mereka duduk sudah tersaji berbagai makanan. Jangan hanya lihat wajah dan penampilan mereka yang ayu, kalau soal makanan ketiganya sama-sama kelas berat. Dea berhenti mengunyah begitu mendengar nama kekasih hatinya disebut.
“Baik,” jawabnya singkat lalu kembali menggigit potongan ayam crispy-nya.
Kening Via dan Aya berkerut mendengar jawaban sahabat mungilnya. Tidak biasanya Dea menjawab singkat pertanyaan mengenai Teo. Si Kecil Cabe Rawit itu pasti akan langsung mengoceh kalau nama pacarnya di singgung.
“Kenapa Dea?” tanyaVia.
Gadis mungil itu mendengus lalu meletakkan sendok dan garpunya, menatap kedua sahabatnya bergantian. “Teo minta kawin,” lirihnya tapi cukup membuat Aya yang tengah minum tersedak mendengarnya. Via mengulurkan tissue pada Aya dan membantunya menepuk punggung.
“Teo apa?” Aya langsung mengkonfirmasi apa yang baru saja di dengarnya. Astaga, di antara mereka bertiga Dea adalah yang termuda, 23 tahun.
“Teo minta kawin,” ulang Dea dengan suara yang lebih jelas lalu meneguk jus terong belanda favoritnya.
Via dan Aya tertegun beberapa saat sebelum akhirnya terbahak. Dea mendengus lalu melanjutkan makan siangnya.
“Itulah resikonya kalo pacaran sama om-om,” kata Aya. Via masih belum berhenti tertawa.
“Ish, Teo bukan om-om,” protes Dea.
“Terus apa dong namanya?” goda Aya lagi.
“Halah, kayak Via nggak aja,” cibir Dea.
“Berapa umur Pak Dokter? Tiga lapan kan?”
“Eh, eh, eh, jangan bawa-bawa Al ya. Dia itu pria mapan dan matang bukan om-om genit kayak Teo. Lagian aku udah dua tujuh, biarin aja,” sanggah Via semangat.
"Terus kenapa kalau Teo minta kawin? Kamu udah lulus, udah kerja, apa lagi? Bukannya orang tua kalian juga udah setuju?" Aya menggigit ayam bakarnya sambil melirik Dea yang kini berwajah masam.
"Jangan keras kepala, Dea. Idealismu yang mau nikah kalo udah mapan itu nggak logis. Kamu kan cewek, Teo udah mapan, nunggu apalagi?" Via menimpali.
Dea langsung cemberut mendengar perkataan Via dan Aya. "Kan aku udah bilang kalo aku mau nikah umur dua lima. Sekarang umurku masih dua tiga, ngapain musti buru-buru sih?" sungutnya.
"Eh, mikir kalo ngomong. Teo-mu itu udah tiga puluh umurnya. Dia juga pasti mikir kalo kelamaan di tunda umur dia nambah," kata Aya seraya menunjuk pelipisnya.
Bukannya menerima, Dea justru semakin membulatkan mata sipitnya. "Kalian aja belum nikah, masak iya aku duluan," protesnya lagi dengan nada suara meninggi.
"Nggak ada hubungannya!" seru Via dan Aya bersamaan.
Dea sudah membuka mulut untuk kembali melayangkan protes tapi Via dengan cepat menyuruhnya diam.
"Kami beda Dea, kamu kan tahu sendiri gimana nasib kami," kata Via.
Aya menghela napas panjang. "Harusnya kamu itu bersyukur kalau Teo bener-bener serius untuk bangun masa depan sama kamu. Liat Via, dia masih harus ngadepin Sheren baru bisa sama Aldian. Terus aku? Kamu tahu sendiri hubunganku nggak jelas. Dilematis," tegasnya.
"Nggak usah banyak mikir, karirmu bisa di bangun setelah nikah nanti. Aku yakin Teo nggak bakal keberatan," Via kembali meyakinkan.
"Tapi-," Dea lagi-lagi menelan perkataan yang sudah ada di tenggorokannya.
“Udah, pikirin aja pelan-pelan. Hubungan kalian nggak akan seseram bayanganmu." Via mengusap lembut punggung sahabatnya. Tak ada lagi perdebatan.

****

Dilema Hati Deana


"Dea, Teo dateng!"
Seruan dari depan pintu kamar Dea membuatnya tersentak. Pasalnya gadis itu hampir saja terlelap. Menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan, Dea berjalan keluar dan mendapati mamanya masih berdiri di depan pintu.
"Teo dateng tuh," Mama mengulang perkataannya.
"Tadi katanya mau lembur, kok udah nongol aja jam segini," kata Dea seraya menyisir rambut dengan jari-jarinya. Rambut hitam panjangnya yang berantakan tergerai di bahu.
"Keliatannya sih dari kantor langsung ke sini. Mama liat dia masih pake baju kerja," jawab Mama.
"Oh," sahut Dea santai lalu mengikuti sang mama menuruni tangga menuju lantai satu. Mama duduk di ruang tengah dan membiarkan Dea ke ruang tamu menemui pacarnya.
Teo menautkan alis begitu melihat Dea muncul di ruang tamu. "Jam segini udah mau tidur?"
Lima tahun menjalin hubungan sejak Dea masih memakai seragam putih abu-abu, membuat Teo hapal di luar kepala ekspresi wajah kekasihnya. Mata merah, rambut tergerai berantakan, dia yakin Dea sudah menyeberang ke alam mimpi kalau dirinya tidak datang dan tebakannya memang tepat. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh petang.
"Capek," jawab Dea manja lalu menghempaskan diri di sofa panjang, di sebelah Teo.
"Capek ngapain sih? Bukannya hari ini libur?" Teo menarik Dea yang bersandar di sofa untuk bersandar padanya. Sekarang tangannya sibuk membelai kepala gadis mungilnya.
"Nggak ngapa-ngapain sih. Cuma cari buku baru, ketemu Via sama Aya, terus makan siang di kafe biasa," jawab Dea yang kini menikmati belaian tangan besar Teo dengan mata terpejam. Pacar Dea itu bertubuh tinggi dengan bahu tegap, membuat gadis itu betah bersandar pada dada bidangnya.
"Udah makan?" tanya Teo kemudian, tak menanggapi cerita Dea soal kegiatan siangnya. Panjang cerita kalau membahas D-three dan kesibukan mereka yang herannya tak pernah ada habisnya.
Dea membuka mata lalu mengangkat wajahnya menatap Teo. "Belum," jawabnya singkat.
"Makan ke luar, yuk," ajak Teo.
"Sekarang?" tanya Dea polos.
Teo mendesah pelan."Besok."
Dea mengerucutkan bibir seraya menegakkan tubuhnya hingga tangan Teo yang sejak tadi bersandar di bahunya terlepas.
"Mau nggak?" Teo menatap pacarnya yang masih cemberut.
"Bentar, aku ganti baju," jawab Dea yang kemudian beranjak menuju kamarnya.
Teo menghela napas begitu Dea tak lagi terlihat. Jujur, sebenarnya saat ini pikirannya sedang kacau. Karena Dea? Tidak sepenuhnya tapi sebagian besar iya. Kedua orang tuanya sudah mendesak untuk segera melamar Dea tapi gadis itu ... Teo menghela napas lagi.
Dea dan pemikiran konyolnya. Pacarnya itu bersikeras menikah di usia dua puluh lima padahal saat ini usianya baru dua puluh tiga dan artinya? Teo harus menunggu dua tahun lagi? Teo tidak yakin dirinya sesabar itu. 
Sebenarnya,Teo tahu alasan Dea menunggu umur adalah kebohongan untuk mengulur waktu. Meski begitu dia tidak mau menyakiti perasaan pacarnya dengan mengatakan semuanya secara gamblang. Rina, mama Dea, sudah menceritakan semua masa lalu putrinya sejak Teo berkomitmen untuk serius menjalin hubungan lima tahun yang lalu. Masalah yang juga menjadi alasan sabarnya Teo menghadapi tingkah Dea yang terkadang kekanakan. Tapi sekarang, Teo merasa lima tahun sudah cukup. Dia juga ingin sebuah kepastian dalam hubungannya, mengingat usianya yang sudah memasuki kepala tiga.
Perenungan Teo terputus saat melihat sang pacar menuruni tangga. Gadis berwajah manis itu mengenakan kemeja lengan pendek warna ungu di padukan dengan skinny jeans hitam selutut. Rambut panjangnya yang lebat di ikat ekor kuda, membuat tampilannya terlihat segar.
Selain desakan kedua orang tua, ini adalah alasan Teo ingin cepat menikah. Sampai kapan dia harus menahan diri melihat Dea yang selalu tampak menggiurkan di matanya itu? Hei, dia adalah pria normal dan bertahun-tahun menjalin hubungan penuh hormat juga sopan santun menurutnya sudah lebih dari cukup. Ya, Tuhan juga pasti maklum kalau sesekali dia mencuri satu atau dua ciuman. Dasar laki-laki.
"Kenapa? Aku jelek ya?" Dea menilai sendiri penampilannya karena melihat reaksi Teo yang terpaku menatapnya.
Lagi-lagi Teo di paksa menghela napas panjang untuk meredakan sesuatu yang bergolak di dalam dirinya. "Nggak kok, ayo berangkat. Aku pamit tante dulu." Teo berjalan ke ruang tengah dan tak lama kemudian keduanya sudah berada di jalanan kota Jogja.

****

Dea melirik dari balik bulu mata lentiknya. Sudah lima belas menit dia duduk di kafe dan Teo yang duduk di depannya hanya diam tanpa berniat mengajaknya bicara. Gadis itu bersungut-sungut dalam hati, padahal saat di rumah tadi Teo sempat memanjakannya.
"Te~," panggil Dea dan Teo yang tengah menikmati makan malamnya langsung menatap sang kekasih.
"Hhmm?" gumam Teo karena mulutnya penuh.
"Kok aku di diemin?" Dea meletakkan sendoknya dengan bibir cemberut.
Kening Teo berkerut, sejenak meneguk teh hangatnya sebelum menjawab. "Siapa yang diemin kamu? Aku kan lagi makan."
"Biasanya juga ngajak ngobrol kalo makan," protes Deana.
"Udah, habisin dulu makananmu, baru kita ngobrol," perintah Teo seraya menyuap lagi makanannya.
Gadis itu merapatkan bibir yang awalnya sudah terbuka saat Teo menggoyangkan telunjuknya. Mau tidak mau, Dea meraih kembali sendoknya lalu melanjutkan makan malam dengan tenang.
Teo meneguk habis teh hangatnya dan memanggil pelayan, memesan sebotol air mineral baru, kemudian fokus pada sang pacar yang tampak kesal dengan sikapnya. Mereka sudah selesai makan dan di depan Dea terhidang puding coklat dengan vla vanila yang di pesan Teo.
"Kok nggak di makan? Biasanya kamu paling suka puding coklat," kata Teo sembari memotong puding dengan sendok kecil dan berniat menyuapkannya pada Dea. Tangan Teo menggantung di udara saat gadis itu justru mendorong piring puding ke arahnya sambil mendengus.
"Udah kenyang," ucapnya dengan nada kesal.
Potongan puding coklat itu beralih ke mulut Teo. Meletakkan sendok, dia bersandar pada kursi dengan tangan terlipat di dada. "Aku mau ngomong serius, makanya kita harus makan dulu sampe kenyang." Teo memberikan alasan.
"Mau ngomongin apa? Masalah kemarin lagi? Aku kan udah bilang kalau-,"
"Kalau kamu takut nikah sama aku?" tegas Teo dengan mata menatap lurus pada Dea yang kini melebarkan matanya kesal.
Mulut gadis itu terbuka namun tak ada kata yang keluar hingga akhirnya Dea kembali merapatkan bibirnya. Dia kesal karena Teo tidak mengerti perasaannya. Hei, siapa yang bisa menjamin kehidupan rumah tangga mereka berjalan lancar? Wajar kan kalau dirinya merasa takut? Bagaimana kalau Teo nanti menyakitinya? Bagaimana nanti kalau Teo bosan padanya? Dan lebih buruknya lagi, bagaimana kalau Teo nanti meninggal lalu … Dea menggeleng keras. Tidak, tidak, Dea belum siap untuk di tinggalkan.
“Dea.” Teo mengurai lipatan tangannya lalu meraih tangan pacarnya yang tengah menggenggam gelas. “Apa kamu masih nggak percaya sama aku? Apa selama ini aku pernah nyakitin kamu?” tanyanya dengan nada lebih lembut.
Tidak mendapat respon apapun, Teo melanjutkan perkataannya. “Oke, munafik kalau aku bilang ke depannya hubungan kita bakal semulus jalan tol. Padahal masih pacaran aja kita sering berantem.” Teo memiringkan kepala demi mencari manik mata Dea yang tersembunyi karena gadis itu terus menunduk. Meski begitu Teo yakin pacarnya mendengarkan dengan baik semua perkataannya. Jemari Dea yang mengerat dalam genggamannya menjadi bukti.
“Dea, liat aku,” pinta Teo kemudian. Perbedaan usia tujuh tahun di antara mereka memang membuat Teo harus ekstra sabar menghadapi pacarnya. “De’,” pintanya lagi.
Perlahan Dea mengangkat wajahnya dan Teo miris melihat sepasang mata merah yang menatapnya. “Kamu masih takut?” tanya Teo seraya mengusap punggung tangan Dea. Gadis itu menjawab dalam satu anggukan pelan.
Teo sempat menahan napas. Apa yang harus di lakukannya sekarang? Dea masih takut menjalin komitmen dengannya. Haruskah dirinya mengutuki orang yang menjadi penyebab pacarnya menjadi serapuh ini? Ho, tidak, tidak, Teo tidak mau mengutuki calon ayah mertuanya sendiri. Meski sebenarnya, dia justru ingin memberikan hadiah dua atau tiga bogem mentah di wajah tampan sang camer.
Melepaskan tangan Dea, Teo berpindah tempat duduk di sebelah pacarnya. Dengan lembut dia merengkuh bahu mungil itu, tidak peduli dengan tatapan semua orang yang dia yakin pasti tersorot padanya. Teo sedikit menundukkan kepala lalu berbisik lembut di telingan sang pacar. “Aku sayang kamu. Kamu percaya itu kan?”
Tenggorokan Dea terasa pahit, sulit untuk bicara saat kegalauan hatimu mencapai tingkat tertinggi. “A-aku tahu kamu sayang aku,” lirih Dea kemudian, nyaris berbisik. Tapi dengan jarak sedekat itu, Teo masih bisa mendengar suara paraunya dengan jelas. Jujur, Teo benci membuat pacarnya menangis tapi dia juga tidak bisa mundur dari masalah ini.
“Tapi aku takut, ” lirih Deana lagi. Kini tangan gadis itu mencengkram lengan kemeja pacarnya. “Aku takut kalau kita nikah kamu bosen sama aku. Kamu nanti ting-,”
“Sshh.” Teo memotong perkataan Dea lalu mengusap kepala gadis itu untuk menenangkannya. Dia sudah mendengar ketakutan itu berkali-kali dan setahun belakangan Teo memang jarang mengungkitnya sampai keinginannya untuk menikah sudah tak terbendung lagi. Sekarang, melihat kerapuhan Dea, membuatnya berada di titik dilematis tingkat kronis.
“Kamu masih mau makan pudingnya?” Akhirnya Teo berhenti untuk memaksa. Dia harus memberi waktu untuk Dea berpikir lagi. Dia pun merenggangkan pelukannya demi melihat gelengan kepala sang pacar sebagai jawaban.
Teo memaksakan diri untuk tersenyum, ibu jarinya menyeka sudut mata Dea yang basah. Gadisnya itu pasti mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Hei, mereka tidak lupa kalau sekarang masih berada di kafe.
“Pulang yuk,” ajak Teo dan lagi-lagi hanya anggukan tanpa kata yang di terimanya. Menghela napas perlahan. Dia memang masih harus bersabar.

****

Jika tadi kantuk bergelayut di kelopak mata, kini justru sebaliknya. Mata Dea masih terang benderang meski jam beker di kamarnya sudah menunjukkan angka satu dini hari. Salahkan saja Teo dan materi pernikahannya yang membuat saraf-saraf di kepala Dea aktif bekerja. Jari mungil itu memijat pelipis. Pusing.
            “Oh, Tuhan.” Dea mengerang frustasi seraya mengusap wajahnya kasar. Kata pernikahan itu kembali melintas dan membuat kepalanya semakin berdenyut ria.
            Demi apa Dea harus mengalami masalah sepelik ini? Padahal baru tahun lalu dirinya lulus dari bangku jurusan sastra dan saat ini masih menikmati masa-masa indah sebagai pekerja newbie, staf redaksi di perusahaan penerbit idamannya.
            Dea mencintai Teo, sangat. Tapi untuk menikah? Dea kembali menggeleng, menutup mata dan berusaha mengusir bayangan buruk di dalam kepalanya.
Kamu itu anak pembawa sial!
Kata makian itu bergaung di dalam kepalanya. Tubuh Dea bergetar dan dadanya terasa sesak. Gadis itu menangis dalam diam.

****

Pak Dokter, Ayo Nikah!


Minggu pagi yang cerah membuat Via semangat untuk menjemur pakaian di halaman rumah kontrakannya. Membawa ember yang hanya berisi tiga kemeja, Via tersenyum begitu berdiri di teras pada waktu yang tepat.
"Wah, calon istri idaman," celetuk seorang pria yang menahan tawa melihat Via membawa ember kecil di pinggang. Dia yang awalnya sengaja jogging untuk mencari alasan keluar rumah ternyata memiliki modus yang sama dengan gadis pujaan hatinya.
Via menjulurkan lidah untuk menanggapi candaan pria itu. "Pak Dokter sendiri rajin amat pagi-pagi udah olah raga. Keliling komplek buat sidak cewek-cewek cantik ya?" balasnya seraya memakai sandal japit dan berjalan ke halaman. Pria yang dipanggil Pak Dokter itu terkekeh lalu berdiri di samping jemuran milik Via.
"Tahu aja, Mbak. Sayangnya cewek yang aku incer kelewat jual mahal. Gayanya sih nggak mau, padahal rindu."
"Gombal kamu, Al," dengus Via lirih saat pria itu kembali tertawa. Dia memang tidak pernah menang kalau adu mulut dengan Al. Aldian, duda keren yang berprofesi sebagai dokter dengan label pacar yang tinggal di seberang rumahnya. Abaikan status duda yang di sandang oleh Al. Via sudah sangat terpesona pada Koko Dokter satu itu. Nilai plusnya adalah mereka sama-sama berdarah Tionghoa.
"Tumben Sheren nggak ngikutin kamu," kata Via sambil pura-pura sibuk menjemur kemejanya. Gerakannya di buat slow motion agar memiliki waktu lebih lama untuk mengobrol.
Sekali lagi Al menahan tawa melihat tingkah ajaib pacarnya. "Sheren masih tidur. Semalam lembur nonton Finding Dori," jawab Al.
Via melirik pria yang tampak seksi dengan balutan kaos polo ketat dan celana pendek itu. Kulit putihnya sedikit memerah karena terkena sinar matahari pagi, sementara rambut hitamnya tampak sedikit basah oleh keringat. Mata Via benar-benar mendapat asupan gizi bernilai tinggi.
"Kenapa?" Al menautkan alis, menilai lirikan Via padanya.
"Kamu sengaja kan biarin Sheren nonton sampai malam? Biar kamu bisa keluar rumah pagi-pagi," tuduh Via.
"Halah, yang pagi-pagi bangun terus gaya nyuci baju juga cuma modus. Itu baju pasti cuma di celupin ke air. Kamu kan langganan loundry bulanan yang ada di ujung gang," balas Al yang sukses membuatnya mendapat hadiah cubitan manis di lengan. "Sakit, Via," ringisnya seraya mengusap lengan.
Via pura-pura tidak peduli dan kembali menjemur kemeja ke duanya. Dalam hati gadis itu tergelak karena tebakan Al memang benar. Tiga kemeja itu hanya di siram air agar basah. Modus oh modus, ternyata mereka berdua memang cocok sebagai pasangan.
"Vi," panggil Al dengan gaya genitnya yang khas. Entah menguap kemana kharisma dokter muda keren itu. Al pasti berubah menjadi jahil dan genit kalau dekat dengan Via.
"Hhmm?" gumam Via sekenanya. Dua orang tetangga lewat dan menyapa keduanya dengan ramah yang langsung mereka jawab dengan sama ramahnya.
Al kembali fokus pada Via yang pura-pura cuek. Dia tahu kalau gadis itu tidak suka dengan bisik-bisik dua tetangga yang lewat tadi. Hei, itu memang resiko menjalin hubungan dengan duda keren, dokter pula. Al tak pernah basi menjadi bahan gosip ibu-ibu komplek Blok O.
Itulah kenapa Al dan Via selalu butuh modus untuk mengobrol berdua di luar rumah. Terlalu riskan untuk Al berkunjung ke kontrakan Via. Sedangkan untuk Via datang ke rumahnya, itu berarti perang dengan Sheren, putri semata wayang Al yang berusia tujuh tahun.
Gadis kecil itu masih terlalu egois untuk berbagi kasih ayahnya. Tidak heran mengingat hanya Al yang dia miliki sebagai orang tua. Istri Al sudah meninggal saat melahirkan Sheren. Al sendiri selama ini selalu memanjakan putri semata wayangnya. Tak berniat untuk menikah lagi, awalnya, karena niat itu berubah ketika Via pindah ke kontrakan di seberang rumahnya, satu tahun yang lalu.
"Hari ini keluar yuk," kata Al pelan.
"Maunya sih gitu tapi Sheren gimana? Ini hari minggu lho. Aku sih nggak keberatan pergi bertiga tapi Sheren-nya mau nggak?" jawab Via dengan suara sama pelannya sambil merapikan kerah kemeja di jemuran.
"Kalau Sheren mau, kamu mau?" tanya Al memastikan.
Via mengangguk. "Siapa tahu kalau kami lebih akrab dia cepet keluarin ijin buat kamu nikah lagi."
Al tampak terkejut tapi kemudian tergelak. "Udah nggak sabar nih ceritanya?" godanya jahil.
"Wajarlah, Al. Umurku udah berapa? Orang tuaku di Surabaya juga udah nanyain terus. Aku udah kerja, udah cukup umur, mau alasan apalagi coba?" Via berkata panjang lebar namun matanya sama sekali tidak memandang pacarnya yang sekarang tampak kebingungan.
Al meraih lengan Via dan memaksa gadis itu menatapnya. "Kamu serius,Via?" Dia sama sekali tidak menyangka pacarnya yang suka bercanda itu membicarakan hal seserius ini di halaman rumah sambil menjemur pakaian. Al pikir Via bercanda seperti biasanya.
Gadis itu menghela napas panjang. "Bercanda, udah lupain," katanya sambil melepaskan tangan Al dari lengannya. Dia membungkuk lalu mengambil kemeja terakhirnya. Kali ini dia menjemur kemeja itu dengan cepat. Berbalik sambil membawa ember kosongnya, Via melambaikan tangan sebagai isyarat agar duda keren itu segera pulang.
Al menatap pintu yang tertutup dengan hati resah. Menurutnya ini adalah kode keras dari Via untuk kejelasan hubungan mereka. Menghela napas panjang, Al lalu berbalik pulang dan meringis lebar begitu melihat Sheren berdiri di depan pintu rumah -masih dengan baju tidurnya- sambil berkacak pinggang.

****

Via merutuki mulutnya yang tanpa filter. Dia sendiri tak habis pikir mengatakan hal sepenting itu di halaman rumah. Awalnya Via hanya ingin mengobrol santai dan mengajak Al pergi makan malam untuk membicarakan masalah itu. Sayangnya Al justru lebih dulu menawarinya jalan-jalan dan berniat membawa Sheren. Memikirkan penolakan gadis kecil itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
"Idiot," makinya pada diri sendiri. Menghela napas panjang, Via merebahkan tubuhnya ke atas tempat tidur. Menutup mata dengan lengan, mulut Via tak berhenti menggumamkan gerutuan atas kebodohannya.
Dia tahu Al pasti mengerti perasaannya tapi dia jadi malu pada pacarnya itu karena terkesan memaksa. Sejak mendengar curhatan Dea tentang Teo yang semangat empat lima untuk menikah, hati Via merasa sedih. Munafik juga kalau dia bilang tidak iri dengan sahabat mungilnya itu. Dea dan Teo selalu bebas untuk mengumbar hubungan mereka dan Teo selalu siap menikahi Dea kapanpun gadis itu siap.
Sedangkan dirinya? Via tersenyum kecut. Pandangan ibu-ibu komplek sedikit miring padanya karena terlihat terlalu akrab dengan Al. Belum lagi sikap Sheren yang jelas melawannya. Dan masalah lain yang tak kalah penting adalah dia tidak berani mengatakan status Al pada kedua orang tuanya. Selama ini mereka hanya tahu Via memiliki kekasih seorang dokter di Yogyakarta. Siapa dan bagaimana orangnya, dia selalu berkelit saat orang tuanya bertanya.
Via masih waras untuk sadar tipe ideal menantu yang di harapkan oleh keluarganya. Belum lagi dirinya adalah anak perempuan satu-satunya. Siapa yang bisa menjamin kalau orang tua dan kedua kakak lelakinya bisa menerima Al yang notabene berstatus sebagai duda beranak satu. Gelar dokter yang di sandang Al takkan banyak berpengaruh pada keluarganya.
Gadis itu menghela napas panjang. Perhatiannya teralihkan saat mendengar denting keras dari handphone di atas meja. Dengan malas Via meraih handphone-nya dan membaca sebuah pesan Whatsapp.

Serius. Aku pikir kita perlu bicara banyak. Jadi keluar?

Lagi-lagi Via menghela napas panjang. Dengan cepat jarinya mengetik balasan.

Sama Sheren? Mau kemana?

Hanya sepuluh detik Via menunggu, Al langsung membalas pesannya.

Taman pintar?Atau bonbin Gembira Loka?

Via termangu membaca pesan itu. Otak imajinernya langsung membayangkan hal nyleneh di mana dia membicarakan masalah pernikahan di depan kandang monyet. Hal itu menggelitiknya hingga bibirnya tersenyum geli.

Bukannya Sheren pernah minta naik gajah ya? Kita ke bonbin aja.

Sippp, aku jemput jam 10

Ga usah. Aku ke rumah jam 10

Oke

Gadis itu segera beranjak dari tempat tidur dan meraih handuk sebelum berlalu ke kamar mandi. Sepertinya hari ini tidak semenyenangkan bayangannya tadi pagi.

****

Muka kesal dan bibir cemberut adalah sambutan pertama yang di terima Via ketika masuk ke ruang tamu rumah Al. Gadis itu tidak terkejut dan berusaha untuk mengerti. Senyum manis tersungging di bibir cherry-nya.
"Pagi Sheren, cantik banget hari ini," puji Via seraya duduk di sebelah gadis kecil yang kini memeluk bantal sofa dan menarik-narik hiasan ujungnya dengan kesal.
"Kok malah makin cemberut, nanti ilang lho cantiknya," lanjut Via karena gadis itu tak juga merespon pujiannya.
"Biarin Sheren nggak cantik," jawabnya dengan nada kesal.
Via meringis dalam hati. Sebenarnya dia heran, kenapa Sheren susah sekali membuka hati untuknya. Padahal selama setahun menjalin hubungan dengan Al, Via sudah mencoba seribu satu cara untuk mendekatinya.
Sejenak gadis itu terdiam, memikirkan perkataan apa yang harus di ucapkannya. "Katanya Sheren mau naik gajah ya?" tanya Via kemudian ketika ingat cerita pacarnya soal keinginan Sheren seminggu yang lalu.
"Iya, tapi Sheren cuma mau pergi sama Papa," tegas bocah kecil itu.
Via mengusap tengkuknya dengan ekspresi canggung. Itu adalah kode keras dari Sheren yang melarangnya ikut.
"Oh ya, Papa mana?" tanya Via yang mencoba mengalihkan perhatian Sheren.
"Lagi ganti baju," jawab Sheren. Gadis itu mengangkat wajah lalu menyipitkan mata menatap Via. "Ngapain sih tante Via ke sini? Mau cari Papa? Aku sama Papa mau pergi lho."
Belum sempat Via memikirkan jawaban pertanyaan Sheren, sebuah panggilan mengalihkan perhatiannya. Al keluar lalu menegur putri semata wayangnya. Kebetulan dia mendengar kalimat terakhir Sheren yang jelas berusaha mengusir pacarnya. Padahal Al sudah mengatakan pada gadis kecil itu kalau Via akan ikut mereka.
"Nggak boleh ngomong begitu, minta maaf sama Tante Via," kata Al yang duduk di sebelah putrinya. Sheren semakin cemberut. Al menggeleng melihat tingkah anaknya. Via sendiri tidak tahu harus komentar apa. "Nggak jadi naik gajah nih kalau nggak mau minta maaf," ancam Al.
"Al-."
"Sstt, Sheren harus tahu menghormati orang lain," potong Al ketika Via terlihat ingin membela.
"Papa jahat, Papa selalu belain Tante Via. Papa nggak sayang Sheren kalau ada Tante Via," racau gadis berusia tujuh tahun itu seraya menahan tangis. Tangannya semakin kuat menarik-narik ujung bantal sofa, melampiaskan kekesalannya.
Ini bukan yang pertama Via mendengar perkataan Sheren tapi tetap saja hatinya merasa sakit. Al menghela napas untuk meredakan kekesalannya. Terkadang menghadapi Sheren memang menguras banyak tenaga. Dia sempat menyesal karena terlalu memanjakan putrinya. Dengan lembut Al meraih tubuh Sheren dan memindahkannya ke atas pangkuan.
"Siapa bilang Papa nggak sayang Sheren?" tanya Al seraya mendekap tubuh putrinya.
"Papa marahin Sheren terus kalau ada Tante Via," jawab gadis itu seraya melirik sadis pada sosok calon mamanya yang hanya bisa terpaku melihat drama keluarga pagi hari.
Korban sinetron nih anak, dengus Via dalam hati. Demi apa Via selalu mengomel saat tahu Sheren selalu di ajak menonton sinetron tidak jelas oleh pembantunya. Acara itu jelas berpengaruh buruk pada pola pikir Sheren yang polos.
Setahu Via, dari sinetron itulah Sheren memiliki ketakutan untuk memiliki ibu tiri. Via jadi menggerutu dalam hati. Andai dia jadi menikah dengan Al, hal pertama yang akan di lakukannya adalah mengganti pembantu rumah tangga dan merekrut pembatu baru yang memiliki slogan sama dengannya, anti sinetron. Masih lebih baik menonton kartun cloud bread yang mendayu-dayu itu daripada sinetron tidak jelas yang merusak kejiwaan.
"Papa nggak marahin Sheren kok."
Perkataan Al membuat Via kembali fokus pada interaksi ayah dan anak yang sedang merajuk itu.
"Papa cuma mau Sheren jadi anak yang baik. Tante Via itu teman Papa, jadi kamu harus sopan. Nggak boleh ngomong kayak tadi," lanjut Al seraya mengusap kepala putrinya.
Hati Via terasa di cubit saat mendengar kata teman terlontar dari bibir pacarnya. Ah, dia harus sabar. Memang jawaban apa yang di harapkan untuk menenangkan gadis tujuh tahun yang takut ayahnya di ambil oleh ibu tiri.
"Sheren ngerti maksud Papa?" tanya Al saat putrinya hanya diam saja. Sheren mengangguk pelan membuat sang ayah tersenyum. "Kalau gitu minta maaf sama Tante Via."
Sheren melirik Via yang tersenyum padanya, terlihat enggan saat mengulurkan tangan. Via pun segera menyambut uluran tangan Sheren dan merasa sedikit lega ketika gadis itu mencium tangannya sambil menggumamkan kata maaf. Kemajuan. Biasanya gadis itu akan berlari masuk ke kamar kalau disuruh minta maaf. Ternyata ancaman batal naik gajah ampuh juga. Via terkikik dalam hati.
"Nah, begitu baru anak Papa hebat." Al mencium pipi Sheren hingga gadis itu mengurai senyum manisnya.
"Ayo Pa, naik gajah," kata Sheren kemudian dengan ekspresi riang, seolah drama yang baru saja terjadi hanyalah angin lalu. Dasar anak-anak. Al tersenyum lebar lalu berdiri menggendong putrinya dan menarik tangan Via keluar rumah.

****

Mantan, oh, Mantan


"Mbak Dayana, di panggil Bu Sinta."
Seorang staf kantor memanggil Aya yang sedang berjalan di koridor gedung sekretariat fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia.
"Ya Mbak Sari, makasih," jawab Aya yang kemudian melanjutkan langkahnya ke ruangan staf administrasi.
Tak lama Aya menemui Bu Sinta yang adalah kepala bagian kemahasiswaan dan keluar dari ruangan dengan membawa amplop coklat berisi banyak formulir. Menjelang tahun ajaran baru memang masa-masa yang sibuk untuk staf administrasi sepertinya. Baru saja Aya sampai di depan pintu ruang kerjanya, sebuah panggilan kembali membuat langkahnya berhenti. Helaan napas lirih lolos dari bibir Aya begitu melihat sosok pria yang kini berjalan ke arahnya. Pria yang sebulan belakangan ini gencar menyapanya di mana pun.
"Belum pulang?" tanya pria itu.
"Saya masih di sini ya berarti belum pulanglah, Pak Tama," jawab Aya sepelan mungkin karena tidak mau orang lain mendengar percakapan mereka.
Pria yang di panggil Pak Tama itu terkekeh. "Basa-basi sedikit kan nggak apa-apa. Kerjaanmu belum selesai?"
"Sudah kok, Pak. Bapak ada perlu apa? Ngajar semester pendek atau ada perlu sama bagian administrasi?" Aya balik bertanya.
"Ngajar semester pendek tapi udah selesai. Pulang bareng yuk." Tama tersenyum dengan tatapan penuh harap.
Kening Aya berkerut. Sengingatnya ini sudah yang ketiga kali dalam dua minggu Tama mengajaknya pulang bersama. "Maaf Pak, saya pulang sendiri aja." Dan tidak mempedulikan tanggapan Tama, Aya segera masuk ke ruangannya.
Pintu yang tertutup di depan mata membuat dosen yang memang akrab di panggil Pak Tama itu menghela napas panjang. Entah sudah berapa kali dia di tolak mentah-mentah oleh gadis itu. Nabila Dayana Putri, gadis yang sudah berhasil merebut hatinya.
Perasaan yang konyol, cibir Tama pada diri sendiri ketika dia menyadari perasaannya pada Aya. Bagaimana tidak? Parendra Wahyu Hutama, dosen muda Fakultas Ekonomi yang terkenal dengan label bujang keren jatuh cinta pada staf baru bagian administrasi yang usianya terpaut sembilan tahun di bawahnya. Parahnya lagi gadis berusia dua puluh empat tahun itu adalah mantan kekasih keponakannya sendiri, Shin. Sungguh dilematis. Miris.
Tama bahkan tak pernah membayangkan dirinya bisa terjebak dalam perasaan yang membingungkan bernama cinta. Dengan berat hati, dosen dengan wajah tampan dan kulit eksotis itu meninggalkan gedung sekretariat dan mencoba peruntungannya untuk mendekati Aya lain kali. Namun, langkah kaki Tama berhenti saat melihat sosok keponakannya duduk di kursi taman, di depan gedung sekretariat.
Rasa penasaran membuatnya melangkah mendekati Shin. Dalam hati dia menggerutu panjang kalau saja alasan kedatangan Shin adalah untuk menjemput Aya. Setahunya hubungan mereka sudah berakhir satu bulan yang lalu. Tama tidak akan pernah rela kalau mereka rujuk. Astaga, dia sudah sabar memendam perasaannya selama satu tahun dan sekarang sedang susah payah mendekati Aya.
"Ngapain di sini, Shin?"
Pertanyaan itu membuat pemuda yang tadinya tengah asik bermain handphone mengangkat kepala. Kedua alis Shin langsung bertaut heran melihat sosok pamannya.
"Jemput Aya, Om," jawab Shin santai.
Tama mengumpat dalam hati. "Tumben," komentarnya.
"Ada perlu aja." Shin mengunci handphone lalu memasukkannya ke dalam tas punggung yang di bawanya.
Tama baru saja membuka mulut untuk kembali berkomentar tapi Shin justru menyerukan sebuah nama yang membuat mulutnya kembali terkatup rapat. Menoleh, dia melihat Aya berdiri di teras gedung sekretariat dengan wajah masam. Ah, bolehkah dia bersorak?
“Aku duluan ya, Om.” Shin tidak menunggu jawaban Tama dan langsung berlari mendekati Aya yang sepertinya tidak berniat menemuinya.
Dosen tampan itu hampir tergelak melihat Shin mengejar Aya hingga berhasil mencekal lengannya dan membuat gadis itu berhenti melangkah. Untuk sesaat Tama yakin Aya menatapnya sebelum melotot pada mantan pacarnya. Pria itu menggeleng geli melihat drama di depannya sebelum memutuskan untuk berbalik pergi. Tidak ada gunanya melihat pasangan muda yang membuat hatinya panas. Tama membutuhkan segelas es teh untuk meredam kegalauannya. Ah, ide bagus untuk mampir ke kantin sebelum pulang, pikirnya.

****

"Aku mau ngomong sama kamu." Perkataan Shin di pertegas dengan raut wajah seriusnya. Kedua matanya menatap lurus sang mantan yang jelas tampak tidak suka dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
"Apalagi sih? Perasaan udah nggak ada lagi yang perlu di omongin," ketus Aya seraya menepis tangan Shin yang mencengkram lengannya.
"Jangan gitu Aya, aku nggak mau semuanya jadi nggak baik kayak gini," bujuk Shin. Kakinya mulai bergerak untuk menyamai langkah kaki Aya yang ingin meninggalkannya.
Gadis itu mendengus lirih. Setelah apa yang di lakukan Shin padanya? Ucapan sang mantan serasa hanya omong kosong di telinga Aya. Oke, Shin adalah pria idamannya. Pemuda berwajah kalem, berkulit putih dengan gaya santun. Tapi setelah dua tahun menjalin hubungan dan di campakkan begitu saja, membuat Aya ingin segera menghapus nama pemuda itu dari hatinya.
"Aya." Shin masih belum menyerah untuk membujuk Aya agar mendengarkannya. "Maafin aku, please."
Langkah kaki Aya yang tiba-tiba berhenti, membuncahkan harapan Shin. Tapi ternyata gadis itu menoleh hanya untuk menatapnya garang dan mengatakan penolakan atas permohonannya. Melihat wajah kesal Aya membuat Shin mundur satu langkah. Pemaksaan tidak akan menghasilkan apa pun. Dua tahun berpacaran membuat Shin hapal bagaimana tabiat mantan kekasihnya itu. Aya itu ibarat coklat panas. Manis, tapi jangan coba-coba menikmatinya sebelum dingin atau lidahmu akan terbakar. Kira-kira begitulah jika di analogikan.
"Maafin aku ya. Hubungan kita selama dua tahun terlalu sayang kalau di akhiri dengan cara seperti ini." Shin melembutkan nada suaranya dan berharap kekesalan Aya berkurang.
Mendengar perkataan Shin membuat Aya berpikir. Jujur, dia malas berurusan lagi dengan mantan pacar yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya, tapi perkataan Shin memang ada benarnya. Hubungan baik yang pernah terjalin selama dua tahun itu tidak layak jika di akhiri dengan pertengkaran. Menghela napas panjang, Aya mencoba meredam emosinya.
"Oke, mau ngomong di mana?" kata Aya kemudian di sambut senyum lega sang mantan.
"Kafe biasa aja," jawab Shin cepat. "Ayo, motorku di sana." Tangannya menunjuk ke arah tempat parkir fakultas. Aya mengekor tanpa kata.

****

Kafe D’Nangkring, sepertinya kafe itu benar-benar akan menjadi tempat bersejarah bagi anggota D-Three. Entah sudah berapa banyak hal yang terjadi di kafe itu. Di sana D-Three pertama kali menghabiskan waktu pada perkenalan pertama mereka. Di tempat itu juga, Aya bertemu dengan Shinatria Rahabistara atau yang lebih akrab di panggil Shin oleh sahabatnya sendiri, Dea.
Ya, Shin adalah teman sekolah Dea sejak SMA. Melanjutkan di Universitas dan jurusan yang sama, membuat Shin akrab dengan gadis manja itu. Aya dan Shin di kenalkan oleh Dea dan siapa sangka pertemuan itu berujung romansa yang berakhir pahit. Ah, tidak sepatutnya menyesali yang sudah terjadi. Aya sadar itu.
"Mau makan apa?" pertanyaan Shin membuat Aya kembali fokus pada lembaran menu yang sejak tadi di tatapnya dengan pandangan kosong. Pelayan kafe sudah stand-by di sebelahnya dengan pena dan note kecil.
"Mbak, aku pesen ayam cabe ijo satu, lele penyet satu, kentang goreng, sama cap cay satu," kata Aya tanpa jeda yang membuat kening Shin berkerut dalam. Namun belum sempat Shin berkomentar Aya kembali bicara. "Itu semua di bungkus ya, Mbak. Yang makan disini, hhmm-." Dayana kembali menatap menu dan menahan tawa melihat ekspresi wajah mantan pacarnya. "Roti bakar selai strawberry sama es teh. Udah itu aja, makasih," ucapnya dengan senyum lebar seraya mengembalikan menu.
Pelayan itu mengulang membacakan pesananan sebelum pergi meninggalkan mereka. Shin bersyukur dia sempat mampir ke ATM sebelum menjemput Aya di tempat kerjanya. Siapa yang bisa menduga kalau mantan pacarnya itu akan mengerjainya.
"Nggak masalah kan kalo aku bungkusin buat anak-anak kos?" tanya Aya tanpa dosa.
"Nggak apa-apa, pesen lagi juga boleh," jawab Shin dengan senyum tipis dan Aya justru mendengus.
"Aku tahu kamu masih marah," kata Shin kemudian.
"Nggak usah basa-basi deh, Shin. Bilang aja, kamu mau ngomong apa?" tegas Aya.
"Iya, iya." Shin akhirnya mengalah. "Aku cuma mau kita berteman baik. Aku nggak mau kita berantem.”
"Jujur deh Shin, sebenernya kamu punya otak nggak sih? Bulan lalu kamu putusin aku tanpa alasan jelas, terus sekarang dateng dan minta kita punya hubungan baik kayak temen. Helooowww, kamu nggak mikir ya gimana perasaanku?" Rasanya Aya ingin menggebrak meja. Ah, sabar bukanlah salah satu kelebihan si Jutex.
Shin terdiam. Otaknya berputar untuk memikirkan alasan tepat yang bisa dia utarakan tapi sayangnya tidak satupun yang ingin di katakannya terlihat masuk akal. Shin yakin Aya tidak akan menerima apapun yang di katakannya kecuali dia menyatakan alasan sebenarnya. hanya saja ... oke, Shin sepakat dirinya pengecut karena lebih memillih untuk berbohong.
"Kenapa? Nggak tahu mau ngarang alesan model apa?" sindir Aya.
"Bukan gitu, aku cuma nggak tahu mesti ngomong apa kalau kamu masih meledak-ledak gitu," kilah Shin.
"Mulut manis kamu, Shin. Aku tahu bener kamu anak sastra yang pinter muter-muterin kalimat, merayu-rayu. Aku sempet ketipu, dua tahun-." Aya menghela napas sesaat. "-tapi sekarang nggak bakal," tegasnya dengan tatapan mata tajam. Sepertinya hati Aya masih begitu sakit dengan deklarasi putus tanpa sebab dari mantan pacarnya.
"Aku pasti jelasin tapi nggak sekarang. Suatu saat nanti, aku janji." Shin justru tersenyum tapi di mata Aya itu bukan senyum melainkan ekspresi sakit yang tertahan.
"Kenapa?" Aya melunakkan nada suaranya.
"Karena aku nggak mau bikin semuanya berantakan," jawab Shin.
Kening Aya berkerut dalam, jelas tidak mengerti dengan apa yang di maksud mantan pacarnya itu. Shin memang juara membuatnya pusing. Selalu penuh teka-teki.
"Udahlah Shin, aku bisa gila kalo dengerin omonganmu yang nggak jelas. Nggak usah lanjutin daripada mules perutku dengernya." Aya mengalihkan perhatiannya saat pelayan mengantarkan pesanan mereka.
Shin sendiri memilih untuk menuruti perkataan mantan pacarnya. Mungkin memang itu lebih baik daripada dia harus mengarang cerita dan membuat Aya semakin kesal. Biarkan dia memulai dari awal lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Aya. Setidaknya gadis itu masih mau bicara dengannya meski ketus dan Shin memahaminya.
"Makan, jangan ngomong apa-apa lagi," kata Aya yang memutus perenungan Shin.
"Oke, oke." Shin tersenyum melihat Aya menikmati roti bakarnya. Ah, gadis itu memang cantik, sayangnya Shin selalu merasa bersalah karena selama ini tidak bisa tulus mengasihinya dan terakhir justru memilih untuk meninggalkannya.
"Maafin aku ya, Aya," ucapnya tulus.
Aya sempat membeku beberapa saat tapi kemudian melanjutkan makannya tanpa menanggapi perkataan Shin. Maaf?

****


Usaha Pak Dosen
  
Aya termenung di kantin menatap layar handphone yang mati di atas meja. Sengaja. Ya, dia sengaja mematikan handphone-nya karena malas menghadapi Shin yang sejak pagi mengiriminya pesan Whatsapp. Pertemuan mereka kemarin memang menghasilkan rekonsiliasi damai. Tapi tetap saja hati Aya masih sakit saat mantan kekasihnya itu mengucapkan selamat pagi atau sekedar basa-basi menanyakan jam makan seperti saat mereka masih menjalin hubungan dulu.
Jujur di akuinya kalau banyak kenangan indah di antara mereka selama dua tahun. Shin laki-laki yang baik, sabar, romantis dan pengertian. Kadang Aya menyebutnya Raja Gombal. Maklum saja, laki-laki lulusan sastra itu gemar menggobalinya. Meski begitu Aya menyukainya, ah salah, Aya mencintainya. Karena itu tidak mudah baginya menghadapi kenyataan di mana mereka bukan lagi sepasang kekasih, hanya sekedar teman -begitu kata Shin tempo hari-. 
Sampai saat ini Aya masih tidak tahu di mana letak kesalahan dari hubungan mereka yang menyebabkan Shin memutuskannya. Berakhir tanpa alasan jelas, hal itulah yang membuat Aya meradang sebulan belakangan. Laki-laki itu hanya meminta maaf karena sudah menyakitinya dan memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.
Apa yang di maksud Shin dengan menyakiti masih tidak di mengerti Aya. Geramnya lagi, laki-laki itu sama sekali tidak mau menjelaskan lebih jauh. Takut merusak segalanya, begitu katanya. Shin bilang, jika dia tetap diam, semua aman. Mereka masih bisa jadi teman tanpa saling menyakiti. Memijat pelipisnya yang terasa tegang, Aya menghela napas perlahan. Percuma marah. Semua sudah berakhir.
"Dayana."
Sebuah panggilan membuat Aya berhenti memandangi layar handphone-nya. Keningnya berkerut. "Pak Tama?"
Tama tersenyum senang dan tanpa minta ijin dia menarik kursi di depan Aya. "Siang-siang kok ngelamun," katanya tanpa dosa, mengabaikan kernyitan heran gadis di depannya. Beruntung kantin cukup sepi karena memang masih liburan semester sehingga Tama tak harus peduli pada pandangan segelintir mahasiswa yang melihatnya duduk dengan staf administrasi.
"Saya nggak ngelamun kok Pak," jawab Aya lalu meraih gelas es teh untuk melegakan tenggorokannya yang kering.
"Udah makan?" tanya Tama dengan masih mempertahankan senyumnya. Ternyata melihat Aya duduk sendiri di kantin membuat hatinya senang.
Aya menggeleng. "Belum Pak," tegasnya.
"Pesanlah kalau gitu. Bapak yang traktir kamu," kata Tama penuh percaya diri.
Aya sempat terkejut mendengarnya. Dua tahun menjalin hubungan dengan Shin tidak lantas membuatnya dekat dengan paman dari sang mantan ini. Dan sekarang, ada angin apa dosen dengan label bujang keren itu terus mendekatinya dan sekarang semangat empat lima untuk mentraktirnya makan. Apa dia mau aku rujuk sama ponakannya? Batin Aya mengingat sikap Tama yang berubah sejak dirinya putus dengan Shin.
"Saya nggak lapar, Pak," jawab Aya kemudian.
"Jangan gitu, ah. Mau tahun ajaran baru begini kan kerjaan kalian banyak. Jangan sampai nggak makan nanti sakit," kilah Tama.
Aya semakin heran dengan perhatian sang dosen padanya. Tidak menjawab, dia meneguk lagi es tehnya yang hanya tinggal setengah.
Tama kehabisan kata-kata karena tidak ada respon dari Aya. Setahun mengamati gadis itu membuat Tama sedikit banyak bisa menebak sifatnya. Aya memang tergolong dingin untuk ukuran seorang gadis. Shin sendiri pernah bercerita kalau sekali-kali dia ingin Aya lembut dan manja, tapi sepertinya sampai hubungan mereka berakhir, keinginan itu tidak terwujud.
"Oh ya, kamu nggak pernah ke rumah lagi sekarang?" tanya Tama asal karena bingung harus berkata apa. Tapi baru saja selesai bertanya, Tama langsung menyesal. Wajah Aya berubah masam.
"Bapak nggak tahu atau pura-pura nggak tahu nih?" ketus Aya kemudian. Lama-lama kesal juga menghadapi sikap Tama yang sok akrab itu.
Tama terkekeh untuk meredakan suasana canggung di antara mereka. "Maaf, maaf, aku udah tahu kok," jawabnya apa adanya. "Tapi sesekali main ke rumah sebagai teman kan nggak apa-apa," lanjutnya seraya melambaikan tangan pada pelayan kantin.
Aya masih diam saat Tama kemudian memesan secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng ayam kampung.
"Beneran kamu nggak mau makan?" tanyanya lagi setelah selesai dengan pesanannya.
"Nggak Pak, terima kasih," jawab Aya.
Pelayan itu pergi begitu Tama tidak menambah daftar pesanannya. Sekarang keduanya terdiam dengan suasana canggung. Aya meneguk sisa es teh dalam gelasnya lalu meraih handphone dan dompetnya di meja.
"Mau kemana?" Tama terkejut melihat Aya yang bersiap pergi.
Lagi-lagi gadis itu menatap Tama dengan pandangan menyelidik. "Jam istirahat saya udah habis, Pak. Mau balik ke kantor," jawabnya tenang.
Tama ingin menahan Aya lebih lama tapi gadis itu langsung menyela dengan ucapan terima kasih dan permisi lalu melenggang pergi meninggalkan kantin. Dalam hati dosen bujang keren itu menggerutu panjang. Nafsu makannya langsung hilang melihat punggung Aya menghilang di ujung jalan menuju gedung sekretariat.

****

Tama menghela napas panjang begitu duduk di balik kemudi Avanza hitamnya. Dia baru saja selesai mengajar kelas semester pendek dan memutuskan segera pulang setelah Aya kembali menolak ajakannya untuk pulang bersama. Ternyata sulit sekali mendekati staf administrasi itu.
Dia pikir statusnya sebagai paman Shin akan mempermudah segalanya. Lagipula mereka sudah sering bertemu saat Aya main ke rumah. Tama memang tinggal serumah dengan kakak perempuannya, ibu Shin, karena ayah Shin meninggal saat Shin baru berumur lima tahun. Meski waktu itu interaksi di antara mereka tak jauh-jauh dari kata memberi salam atau berpamitan pulang tapi setidaknya perbincangan di antara mereka tidak sealot sekarang.
Apa karena Shin memutuskan Aya dengan alasan yang tidak jelas hingga Aya enggan untuk berhubungan lagi dengan keluarga mantan pacarnya? Ah, dugaan itu membuat Tama menggeram kesal. 
Satu tahun lamanya Tama memendam rasa suka pada kekasih keponakannya itu. Dan sekarang? Saat kesempatannya terbuka lebar, Aya justru menutup diri. Apa yang harus di lakukannya? Haruskah dirinya memberitahu Aya alasan sebenarnya Shin mengakhiri hubungan mereka?
Ya, Tama tahu. Tahu alasan Shin memilih untuk meninggalkan Aya. Keponakannya itu sudah lelah membohongi nuraninya sendiri. Shin mencintai orang lain. Tama bahkan sempat hampir memukul keponakannya itu saat Shin jujur padanya satu minggu yang lalu.
Sekali lagi menghela napas panjang, Tama menghidupkan mesin mobilnya dan memilih meninggalkan pelataran parkir sebelum kepalanya meledak karena memikirkan Aya. Ternyata cinta justru membuatnya sakit kepala.

****
Benang Kusut


Jam dinding menunjukkan pukul setengah lima sore. Ruang redaksi penerbit Angkasa tampak tenang dengan tiga staf editing yang terlihat serius duduk di belakang komputer.
"Ya ampun, berantakan banget sih tulisannya!" Dea mengacak rambutnya frustasi saat pekerjaannya tak kunjung selesai.
"Kamu teriak kayak gitu juga kerjaanmu nggak bakal kelar," jawab Shin yang masih tampak tenang di meja sebelah Dea.
Gadis yang terkenal paling mungil di kantor itu hanya melirik sadis pada sahabat laki-lakinya. Santi, Senior Editor mereka yang kebetulan sedang duduk di depan Dea mengerutkan kening.
“Kamu kenapa, Dea?” tanya Santi yang penasaran dengan interaksi dua anak buahnya. Dia tahu Dea dan Shin adalah sahabat sejak SMA.
“Nggak apa-apa, Mbak San,” jawab Dea seraya menyunggingkan senyum yang jelas terlihat terpaksa. Dia kemudian kembali fokus pada layar komputer untuk melanjutkan pekerjaannya.
Shin yang masih saja memperhatikan Dea membuat Santi mengalihkan pandangannya. “Kalian berdua lagi berantem ya?” tanyanya to the point.
“Nggak,” jawab Dea dan Shin bersamaan. Shin langsung menoleh pada Santi sementara Dea masih fokus pada layar komputernya.
“Bohong, dari tadi diem-dieman gitu. Biasanya juga kalian berdua paling heboh,” sanggah Santi. Shin menggaruk pelipisnya dengan senyum canggung dan Dea sepenuhnya mengabaikan perkataan seniornya.
Tiba-tiba Dea berdiri, mengejutkan Santi dan Shin.  “Aku ke pantry dulu, Mbak Santi. Mau minum the.” Santi mengangguk saja dan membiarkan Dea keluar.
“Kenapa sih tu anak? Nggak biasanya surem begitu mukanya. Bener kan kalian berantem?” tanya Santi dengan mata masih terpaku pada pintu yang tertutup.
“Sebenernya sih iya, Dea lagi marah sama aku. Udah sebulan malah, tapi yang bikin makin surem bukan aku,” jelas Shin. Tangannya kembali sibuk bergerak di atas keyboard sementara Santi semakin penasaran dengan ceritanya.
“Kenapa Dea marah sama kamu? Bisa marah juga tu anak.” Menutup halaman word di komputer, Santi menaruh perhatian penuh pada Shin. Penasaran.
Sambil masih mengetik, Shin menghela napas pelan. Bulan ini memang bulan yang berat untuknya. “Aku putus sama pacarku, Mbak,” jawab Shin enggan.
Santi kembali mengerutkan kening. Apa hubungannya? Batin Santi. “Lha?”
“Masalahnya mantan pacarku ini sahabatnya Dea, mereka satu geng. Udah kayak sodara. Itulah kenapa Dea marah sama aku,” terangnya kemudian.
Mulut Santi langsung mengerucut membentuk huruf O. “Jadi sekarang kamu jomblo?” godanya.
Shin melirik seniornya sekilas. “Jangan mulai deh, Mbak,” katanya yang justru di tanggapi dengan kekehan riang dari Santi.
“Wah, anak-anak bakal heboh nih kalo tahu kamu jomblo. Apalagi kalau Desi sama Riana tahu, mereka berdua kan udah lama naksir kamu.” Bukannya berhenti, Santi justru makin semangat menggoda Shin. The Power of Jahil-nya Santi memang sudah terkenal di kantor.
“Awas ya Mbak kalo sampe sebarin berita ini. Dea bisa ngamuk sama aku,” kata Shin memperingatkan.
Santi lagi-lagi terkekeh. “Dea setia kawan juga ya, temennya yang putus, eh, dia yang diemin kamu.”
“Kan udah kubilang mereka udah kayak sodara. Dea juga yang kenalin aku ama dia, makanya Dea ngerasa bersalah. Tapi bukan itu aja sih yang bikin Dea badmood,” lanjut Shin. Tangannya masih lancar mengetik meski mulutnya terus bicara. Santi kembali fokus pada cerita juniornya. “Ah!” Shin memukul keningnya sendiri begitu menyadari mulut tanpa filter miliknya.
“Kenapa?” Santi justru bingung melihat tingkah pemuda di depannya.
Shin menggeleng. “Nggak nyangka kok mulutku sebocor ini. Efek kelamaan di diemin Dea jadi butuh curhat akunya.”
Santi tertawa. “Oke, oke, stop aja ceritanya. Nanti gara-gara aku kepo malah kalian makin berantem.”
Shin mengangguk seraya mengulas senyum tipis. Ternyata keputusannya untuk tutup mulut itu tepat. Pasalnya setelah mereka diam, Dea kembali ke ruangan dengan wajah yang semakin kusut.
Menghempaskan diri di kursi kerja, Dea menghela napas panjang lalu menatap handphone yang sejak tadi di genggamnya. Santi dan Shin saling bertukar pandang lalu kompak menatap Dea.
“Kamu ke-,”
“Mbak Santi ada tips buat nunda pernikahan nggak?” potong Dea cepat hingga membuat Santi yang awalnya khawatir melihat Dea kini justru ternganga di buatnya. Shin menatap sahabatnya dengan mata menyipit.
“Apa?” tanya Santi untuk memastikan pendengarannya tidak salah.
“Aku mau nunda pernikahan. Mbak San, tahu caranya?” Dea menegakkan tubuhnya, menatap Santi penuh harap dengan mata berkaca-kaca.
“Dea, kamu-,”
“Aku nggak tanya kamu, Shin,” ketus Dea.
Shin langsung diam. Jujur hatinya serasa di cubit mendengar perkataan Dea tapi dia mengerti kenapa sahabat baiknya bersikap seperti itu.
Santi menghela napas untuk meredakan keterkejutannya. Matanya menatap lurus gadis di hadapannya. “Dea, kamu tahu kan aku belum nikah? Dan kamu tahu kan umurku berapa? Jadi semua tips yang kubaca itu justru gimana cara cepat mendapat jodoh bukan sebaliknya,” jawabnya menahan kesal.
Dea kembali bersandar di kursinya dengan tidak bersemangat lalu menggumam lirih. Sayangnya gumamam itu masih bisa didengar oleh kedua rekan kerjanya.
“Kenapa Teo terus minta kawin sih?”
Santi dan Shin memijat kening bersamaan. Mereka bingung, harus tertawa atau ikut berduka mendengarnya.

****

 Bukan hanya Dea yang tengah menghadapi masalah. Aya juga sudah menggerutu sepanjang hari karena menganggap Dewa Kesialan sedang mengikutinya. Staf administrasi itu tampak tergesa meninggalkan gedung sekretariat guna menghindari biang masalah yang sudah membuatnya pusing sepanjang hari tadi. Tapi rencana tinggallah rencana, karena belum sempat Aya keluar area fakultas, sebuah suara memanggilnya. Dan suara itu adalah milik sumber kesialannya. Tama.
“Kok pulang duluan? Aku kan udah bilang mau anter kamu,” kata Tama di tengah napasnya yang terengah begitu berhasil mengejar gadis pujaannya.
Aya masih berusaha menahan diri. “Maaf Pak, saya bisa pulang sendiri kok.”
Tama menghela napas panjang. “Kamu takut sama aku?” Raut wajah Tama mengeras seiring tatapan tajam Aya padanya.
“Takut? Kenapa harus takut? Saya cuma sungkan, Pak. Lagian kenapa juga sih Bapak semangat empat lima nganterin saya pulang?” ketus Aya. Rasanya percuma dia menahan diri sejak tadi kalau yang di hadapinya adalah pria super keras kepala bernama Hutama.
Dosen itu terdiam, mengamati kekesalan di wajah gadis idamannya. Haruskah dia jujur tentang perasaannya? Mereka tengah berdiri di jalan setapak belakang gedung sekretariat dan otak Tama buntu memikirkan jawaban dari pertanyaan Aya.
“Pak?” Aya mulai tidak sabar menghadapi sikap Pak Dosen yang bak remaja labil.
“Aku suka kamu, Dayana,” ucap Tama dalam satu tarikan napas hingga Aya ikut menahan napas mendengar ungkapan cinta mendadak itu.
“Bapak apa?” tanya Aya memastikan.
Sekali lagi Tama menghela napas perlahan seraya merutuki dirinya sendiri dalam hati. Rasanya malu dengan usianya yang sudah kepala tiga, bahkan menghadapi gadis seperti Aya, dirinya sampai kehilangan akal sehat. “Aku suka kamu Dayana,” ulang Tama perlahan dengan nada gamang. Ah, rasanya seperti mau perang saja, menegangkan.
Aya justru terbahak mendengarnya. Tama mengernyit bingung dengan reaksi gadis ajaib di depannya. Kenapa Aya justru tertawa? Dirinya bahkan membayangkan akan menerima satu atau dua tamparan dari gadis itu. Oh, sinetron sekali.
“Bapak salah minum obat ya?”
Demi apa Tama harus menghadapi gadis model Dayana. Setengah mati dia berjuang mengungkapkan perasaannya, tapi Aya justru menganggapnya bercanda. Salah minum obat katanya? Hei, apa Aya tidak tahu kalau obat sakit jiwa Tama adalah dia sendiri. Miris.
Tama yang masih diam dengan ekspresi serius membuat Aya menghentikan tawanya. Otak pintar gadis itu langsung mengambil kesimpulan. “Bapak nggak bercanda? Serius?” Detak jantungnya berpacu saat kalimat tanya itu terlontar.
 “Apa mungkin aku bercanda kayak gitu?” jawab Tama dengan nada datar.
  Aya tergagap dengan ekspresi terkejut. “Ya ampun,” ucapnya seraya mengerang panjang dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tama masih bergeming di tempatnya.
 Berhasil mengendalikan diri, Aya kembali menatap dosen tampan di hadapannya. “Jangan bilang ini rencana Shin buat balas dendam sama aku?” Matanya memincing tajam saat melemparkan tuduhan itu pada Tama.
  Eh? Apalagi ini? Batin Tama mengerang frustasi. Memijat pangkal hidungnya yang mulai berdenyut, Tama menghela napas panjang demi mengendalikan emosinya. “Bisa nggak kita cari tempat yang lebih nyaman buat ngomong,” pintanya kemudian.
  Aya menggeleng cepat. Raut wajahnya terlihat kesal dan menahan diri untuk tidak berteriak.
 “Kita di jalan lho. Kamu nggak nyadar daritadi kita diliatin orang?” tanya Tama mencoba menyadarkan Aya tentang posisi mereka sekarang.
  Spontan mata Aya menganalisa sekelilingnya. Benar saja, beberapa mahasiswa yang sedang duduk di bangku taman tampak serius mengamatinya dan Tama yang berdiri di tengah jalan setapak. Bahkan beberapa mahasiswa yang kebetulan melintas juga melempar tatapan penuh tanya begitu mata mereka beradu pandang dengan Aya. Masalah! Batin Aya mengerang.
“Dayana?” Tama mencoba kembali menarik fokus gadis itu.
Dengan cepat Aya kembali menatap sang dosen. “Perlu kita bahas ini? Kayaknya-,”
Please Dayana, kasih aku kesempatan buat jelasin semuanya. Setelah itu kamu boleh ambil keputusan.” Tama menatap gadis itu penuh harap. Baginya Aya adalah hal yang harus di perjuangkan sampai titik darah penghabisan. Pasalnya ini menyangkut kedamaian hatinya seumur hidup. Jatuh cinta memang merepotkan.
Berpikir. Aya memutar otak mencerna baik dan buruknya permintaan Tama. “Apa pun keputusan saya nanti, Bapak harus terima,” ucapnya kemudian.
Sesaat Tama tertegun. Menimang permintaan Aya. Apa iya dia bisa menerima kalau Aya menolaknya? Dengan kata lain Tama harus siap patah hati? Tama baru sekali ini benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis dan belum satu jam dia menyatakan cinta, nasibnya sudah di ujung tanduk. Dilematis.
“Gimana, Pak?” Aya meminta persetujuan dosen erornya. Begitu Aya menyebut sosok Tama sekarang.
Ya atau tidak sama sekali. Batin Tama mantap. “Oke,” jawabnya dengan berat hati.
“Oke.” Aya mengangguk setuju. “Jadi, pergi kemana kita?”
“Terserah kamu.”

****

Tama menghela napas begitu duduk di tikar, di trotoar jalan Kaliurang. Menyesal mengucapkan kata terserah pada Aya. Gadis itu berniat mengerjainya dengan memilih warung penyet pinggir jalan untuk tempat mereka bicara.
“Kenapa, Pak?” tanya Aya pura-pura bloon padahal dalam hati tertawa nista melihat dosen di depannya berwajah masam.
“Nggak gini juga kali, Ya’,” celetuk Tama seraya merubah nama panggilannya untuk Aya. Gadis itu sudah tahu perasaannya, jadi tidak ada salahnya kalau dia ingin lebih mengakrabkan diri dan memanggilnya seperti Shin. Panggilan Dayana terkesan terlalu formal dan memberi jarak di antara mereka.
“Tadi Bapak bilang terserah,” kata Aya membela diri. Jelas dia tidak mau ketahuan sengaja mengerjai Tama.
“Iya, iya, terserah kamu.” Tama tidak mau mendebat gadis keras kepala di depannya.
Setelah selesai memesan makanan, Tama menarik perhatian Aya untuk fokus padanya. “Aku nggak akan minta maaf karena udah bilang suka ke kamu,” katanya membuat Aya mengernyit bingung menatapnya.
“Saya nggak ngarep Bapak minta maaf kok. Cuma bingung aja, Bapak kesambet setan mana sampe sore-sore nembak saya di jalan,” jawab Aya santai. Dia tidak sedang berada di kampus, sehingga tak harus menjaga sikap pada dosen ganteng kurang kerjaan di depannya. Jujur, Aya kesal dengan Tama. Om ama keponakan sama saja, hobi bikin pusing anak gadis orang, gerutunya dalam hati.
“Mulutmu, Ya’,” tegur Tama.
“Apa? Kan bener apa saya bilang. Lagian di luar kampus saya nggak punya kewajiban sopan sama Bapak. Nggak ada yang liat,” ketus Aya. Nah, sifat aslinya mulai keluar.
Tama meringis. Benar apa kata Shin. Aya itu bak madu rasa sambel mercon. Manis tampilannya tapi sekali ngomong, sakitnya tuh di sini. Heran juga cowok model Shin bisa tahan dua tahun. Pasalnya Tama tahu cewek idaman Shin seperti apa. Imut, manja, ceria, seperti -. Ah, sebaiknya tidak usah di bahas.
“Oke, oke, karena kita di luar seperti katamu, jangan panggil Bapak lah, kesannya tua amat-,”
“Emang,” jawab Aya kilat bahkan memotong ucapan Tama.
“Umurku 33, Ya’. Nggak tua-tua amat.” Tama membela diri, tidak rela di katakan tua.
“Saya 24, Pak. Kita beda 9 tahun. Mau saya panggil apa kalo bukan Bapak? Om? Atau Pakdhe?” Aya makin menjadi tapi Tama justru terbahak membayangkan dirinya di panggil dengan sebutan Pakdhe.
“Panggil Tama ajalah.” Tama terkikik.
Aya diam, memilih menikmati es jeruknya yang baru saja datang. Tama juga butuh mendinginkan kepala, es teh di depannya langsung habis setengah.
“Haus, Pak?” sindir Aya dengan senyum miring andalannya. Gadis ini memang jago buat orang keki.
“Gara-gara kamu, aku jadi ngoceh terus. Kan jadi haus,” jawab Tama santai.
“Halah, kerjaannya tiap hari juga ngoceh kok,” balas Aya tak mau kalah.
Tama menggeleng saja menanggapi Aya yang kini kembali menikmati es jeruknya. Gadis itu menatapnya tajam. Kontak mata mereka terputus karena pesanan ayam penyet datang.
“Makasih, Mbak,” ucap Tama setelah gadis yang melayani mereka selesai menghidangkan pesanan. Dengusan lirih dari Aya membuat Tama menatap gadis itu heran. “Kenapa?”
“Nggak,” jawab Aya sambil menggeleng. Tebar pesona, batinnya mengatai kesal.
“Mau makan dulu, apa mau dengerin cerita dulu?” Tama menopang dagu di atas tangannya yang saling terkait.
“Kenapa nggak dua-duanya sekalian? Makan sambil dengerin cerita,” jawab Aya sembari mencuci tangannya dari teko plastik. Tama melakukan hal yang sama.
“Jadi?” Aya membuka suara setelah suapan keduanya. Sejak tadi sang dosen justru menikmati ayam penyetnya tanpa berniat untuk memulai cerita.
Tama mengangkat wajah dan baru sadar kalau gadis itu menunggunya. Ternyata ayam penyet mampu mengalihkan perhatiannya. Menghadapi Aya memang menguras tenaga lahir batin, tidak heran kan kalau sang dosen juga kelaparan.
“Aku jatuh cinta sama kamu sejak setahun yang lalu,” kata Tama santai memulai cerita. Sayangnya pengakuan itu justru membuat Aya tersedak. “Nah, belum apa-apa udah keselek duluan. Aku cerita habis makan aja ya?” tanyanya seraya meringis melihat gadis pujaannya terbatuk-batuk. Ingin rasanya dia menepuk-nepuk punggung Aya tapi pasti gadis itu akan mengamuk.
“Udah, terusin aja Pak,” kata Aya setelah meneguk es jeruknya dengan brutal. Alhasil gelasnya sekarang kosong dan Aya meminta satu gelas es jeruk tambahan.
Tama menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku udah kepincut sama kamu sejak Shin bawa kamu ke rumah. Tapi setahun lalu rasa itu beneran berubah jadi cinta. Apalagi sejak kamu kerja di bagian administrasi dan aku jadi sering lihat tingkah polahmu di kantor.”
“Setahun ya?” gumam Aya lirih tak percaya. Tama yang mendengarnya hanya tersenyum.
“Aku tahu kamu sayang sama Shin. Tapi jujur aja, waktu Shin cerita udah putus sama kamu bulan lalu, rasanya aku pengen lari-lari di lapangan sambil sorak-sorak,” ucapnya konyol. Aya langsung mendengus, menyuap nasi dalam kepalan besar.
“Lho, berjuang demi cinta kan nggak ada salahnya. Seenggaknya aku masih punya harapan karena sekarang kamu jom- eh, single.”
“Heran saya, apa yang buat Bapak suka sama saya? Perasaan kita nggak pernah ngobrol lama. Cuma say hai, basa basi nggak jelas,” komentar Aya kesal karena hampir di katai jomblo. Padahal kenyataannya memang seperti itu. Para gadis memang aneh.
“Hhmm, apa ya? Nggak tahu juga sih. Mungkin keseringan denger cerita kamu dari Shin kali ya. Nggak sadar ceritanya justru bikin aku suka sama kamu. Rasanya jadi udah kenal kamu lama,” terangnya tanpa dosa dan kembali menikmati ayam penyetnya sembari menunggu tanggapan Aya.
Gadis itu cukup terkejut mendengar pengakuan Om dari mantannya. “Shin sering ngomongin saya ke Bapak?” tanyanya memastikan.
Mengangguk mantap, Tama menelan makanannya sebelum menjawab. “Tiap hari. Aya begini, Aya begitu, pokoknya semua tentang kamu dia cerita. Waktu kalian berantem gara-gara Shin punya temen cewek deket di FB juga dia cerita. Ternyata kamu cemburuan juga ya?” Tama meringis di akhir ceritanya.
“Ish, ke ge-eran dia. Siapa juga yang cemburu,” jawab gadis itu tidak terima. Dosen itu tertawa tapi langsung berhenti begitu menyadari perubahan raut wajah Aya.
“Kenapa?” Tama jadi tidak enak hati kalau sampai ceritanya justru membuat calon pacarnya bersedih. Ah, Aya masih dalam momen patah hati karena di putus Shin, Tama hampir lupa itu.
“Udah nggak usah sedih. Bukannya kalian udah rekonsiliasi?”
Aya menyipitkan mata pada pria di hadapannya. Dalam hati memaki mulut ember mantan pacarnya.
“Shin yang cerita. Kamu lupa ya kalo aku liat kalian berdua di kampus. Wajar kan kalo pulangnya aku tanya ke Shin kalian pergi kemana,” terang Tama yang kemudian merasa malu sendiri dengan tingkah absurd-nya.
“Kepo,” desis Aya lalu kembali melanjutkan makannya. Sesaat dia memilih diam untuk menenangkan hati. Merepotkan. Seharusnya saat ini Aya sedang dalam mode pemulihan karena luka batin, bukannya malah berhadapan dengan dosen yang ternyata adalah secret admirer-nya.
“Kamu jangan benci Shin ya. Dia sayang kok sama kamu,” kata Tama lembut begitu melihat kerutan-kerutan di kening Aya. Dia menduga gadis itu sedang berpikir keras.
“Sayang apanya? Kalo sayang nggak mungkin minta putus tanpa alasan jelas,” gerutu Aya dengan suara lirih namun masih terdengar oleh Tama. Sekarang gadis itu sibuk mengaduk nasi di piringnya dengan wajah tertunduk.
Tama dilema. Haruskah dia menjelaskan semuanya? Tapi keponakannya itu bisa mengamuk kalau tahu Tama membongkar rahasia hatinya. ”Semua demi kebaikan kalian. Shin sayang kamu, tapi nggak bisa lebih untuk bisa menjalin komitmen yang serius. Daripada ke depannya kamu makin sakit hati, jadi mendingan sekarang semua selesai kan? Kamu bisa cepet move on,” jelasnya bijak. “Move on sama aku,” lanjutnya konyol dan sukses membuat Aya mengangkat wajah lalu memberinya hadiah berupa pelototan tajam. Tama terkekeh.
“Lebih bagus melotot gitu,” godanya jahil.
Gadis itu mencebik kesal lalu meneguk es jeruk untuk mendinginkan kepala yang rasanya sudah berasap. Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di dalam benaknya. “Jadi, Bapak tahu kenapa Shin mutusin saya?” tanyanya penuh selidik.
Senyum canggung langsung menghias wajah tampan Tama. Inilah yang di takutkannya. “Kalau pun aku tahu, aku nggak boleh kasih tahu kamu,” jawabnya dengan tetap berusaha bersikap santai.
Aya justru tersenyum miring. Sebuah ide jahil muncul. “Gimana kalau kita bikin kesepakatan?”
“Kesepakatan?” Tama menatap gadis itu curiga. Ada aroma tidak mengenakkan tercium oleh instingnya.
Aya mengangguk cepat. “Bapak boleh PDKT ke saya. Satu bulan.”
“Maksudnya?” Firasat Tama makin tidak enak ketika senyum miring di wajah Aya semakin lebar.
“Satu bulan Bapak bebas deketin saya. Pake seribu satu jurus buat bikin saya …, ya, minimal suka sama Bapak. Saya nggak akan lari, saya akan ikut kemana Bapak ajak, dalam batasan tertentu pastinya,” kata Aya menekankan kalimat terakhirnya.
“Tapi ada syaratnya?” tebak Tama yakin. Aya mengangguk mantap. “Kasih tahu kamu alasan kenapa Shin minta putus?” Dan sialnya Aya mengangguk lagi atas pertanyaannya. Melirik piring yang masih tersisa setengah, Tama kehilangan selera makannya. Dia pun mencuci tangan dengan air yang tersedia di dalam teko plastik. Aya mengikutinya.
“Gimana Pak?” tanya Aya antusias. Rasa penasarannya selama sebulan ini akan terbayar lunas.
“Nggak,” jawab Tama tegas.
“Aish.” Aya mencebik kesal. “Kalo gitu jauh-jauh dari saya,” ancamnya dengan bibir cemberut.
Tama memijat pangkal hidungnya. Keras kepala tapi cinta, kekanakan tapi bikin rindu. Tama pusing. “Kamu bakal nyesel kalo tahu alasan yang sebenarnya.”
“Belum tentu, kenapa nggak coba? Kalau pun nyesel kan saya nyesel sendiri,” jawab Aya masih bersikeras.
Tatapan gadis itu yang semakin menuntut membuat Tama bingung. Benarkah semua akan baik-baik saja kalau rahasia Shin di buka? Helaan napas panjang membuat Aya semakin intens menatap Tama.
“Kamu tahu Deana udah di lamar?” tanya Tama tiba-tiba yang membuat ekspresi Aya bingung.
Apa hubungannya? Batin gadis itu. “Jangan bilang Shin juga sering cerita soal Dea?” Entah kenapa Aya sedikit merasa tidak suka dengan dugaannya itu. Sayangnya Tama justru mengangguk mantap.
“Aku tu udah kayak bapak sekaligus kakak buat Shin. Dia selalu cerita apa aja sama aku. Jangan lupa kalau Deana itu teman Shin sejak SMA, jauh sebelum ketemu kamu,” terang Tama. Mendadak otak Tama menjadi tumpul dan menurut saja untuk menceritakan semuanya pada Aya. Menurutnya gadis itu juga berhak tahu.
“Iya, saya tahu itu. Tapi apa hubungannya Dea sama-.” Mulut Aya tiba-tiba terkatup rapat saat sebuah kesimpulan menampar alam bawah sadarnya. “Jangan bilang kalau Shin itu-,” suara Aya bergetar. Matanya masih menatap lurus pria di hadapannya yang justru mengangguk pelan.
“Shin udah jatuh cinta sama Deana sejak SMA. Sayangnya nggak mungkin buat dia bilang ke Deana. Sejak itu, Shin bertekad untuk menyimpan rapi rahasia hatinya. Asal bisa ada di deket Deana, itu udah cukup. Itulah kenapa Shin memilih masuk jurusan sastra dan sampe sekarang ngikutin Deana kerja di tempat yang sama-.”
“Sialan!” Aya memaki keras hingga membuat Tama terkejut. Beberapa orang yang makan di dekat mereka pun tampak sama terkejutnya. Aya benar-benar merasa di tipu.
“Apa Dea tahu?” tanya Aya ketus.
“Nggak, kamu tahu sendiri Deana kayak mana,” jawab Tama.
“Brengsek juga tu cowok,” maki Aya lagi dan Tama berjenggit mendengar umpatan dari mulut gadis pujaannya.
“Mulutmu, Ya’,” tegurnya memperingatkan.
“Aish, sebodo amat.” Aya terlanjur emosi dan tidak peduli lagi dengan etika juga sopan santun yang harusnya dia jaga di depan Tama.
“Jangan bilang dia mau pacaran sama aku cuma gara-gara Dea yang comblangin kami?” Mata Aya kembali memincing tajam pada pria yang masih tenang duduk di hadapannya.
Tama mengendikkan bahu. “Itu aku nggak tahu. Shin cuma bilang dia mau belajar move on, lagian Deana juga udah cinta mati sama pacarnya. Siapa namanya?”
“Siapa?” Aya gagal fokus karena emosinya.
“Pacarnya Deana,” terang Tama.
“Teofilus,” jawab Aya singkat.
“Ah, iya si T.” Tama langsung dapat pelototan tajam dari gadis itu. “Shin manggilnya begitu kok, si T,” kata Tama membela diri. Tampaknya Aya tak rela pacar sahabatnya di nista.
“Jadi dia pikir kalo mutusuin aku semua masalah selesai?” Aya menatap sengit dosen tampan di depannya. Apa boleh buat, saat ini Tama menjadi objek paling tepat untuk di jadikan pelampiasan emosi.
Tama sendiri tidak gentar dengan tatapan Aya yang seolah ingin mengulitinya sebagai ganti Shin. Ah, dia mulai menyesal sudah menceritakan semuanya. Bisa-bisa Shin menganggapnya Om durhaka. Semoga anak itu tidak mengutuknya menjadi batu dan menciptakan legenda baru di Indonesia.
“Sinting juga pikirannya. Seenaknya aja mainin perasaan orang,” ketus Aya lagi dan Tama hanya bisa menghela napas panjang.
“Shin nggak sanggup liat Deana nikah. Makanya begitu tahu Deana di lamar, dia langsung putusin kamu. Karena-.”
Mata Aya memincing semakin tajam saat Tama justru menjeda kalimatnya.
“-karena Shin mau resign dan pindah kerja di Kalimantan.”
Aya terhenyak hingga mulutnya terkatup rapat. Shin-nya akan pergi?

****
Cemburu


Teo menatap tumpukan file di atas meja kerjanya dengan mata lelah. Sudah tiga hari ini dia tidak bisa tidur. Alasannya, karena pacar imut kesayangannya sedang merajuk tingkat dewa hingga tidak mau di hubungi. Jangankan mengangkat telepon, Whatsapp-nya saja hanya di read dan Teo yakin gadis itu membaca pesannya sambil terus mengomel.
Melelahkan. Kenapa perjalanan cintanya yang sudah lima tahun itu harus berujung rumit seperti ini? Teo hanya ingin menikah. Bukan hanya karena desakan keluarga ataupun karena umurnya yang baru saja menginjak kepala tiga, tapi juga karena hasratnya ingin memiliki Dea sudah tak terbendung lagi. Dia terlalu takut Dea berpaling. Apalagi semenjak gadis itu memasuki dunia kerja yang otomatis memperluas lingkup pergaulannya.
Dulu Teo bisa mengekang Dea saat SMA dan kuliah dengan dalih fokus pada pelajaran dan target kelulusan hingga gadis itu tak sempat memikirkan hal lain selain pelajaran. Tapi sekarang? Dea jelas sudah semakin dewasa. Gadis itu sudah bebas bergaul di kantornya dan semakin memperluas pertemanannya.
Bagaimana dia tidak takut? Dea terlalu imut untuk di tolak. Tak butuh pelet untuk bisa jatuh cinta padanya. Seminggu dekat dengan Dea, maka dapat di pastikan kalau jerat pesonanya akan langsung mengikat, Teo buktinya. Seminggu mengajar tiga kali di kelas Dea saat praktek Kuliah Kerja Nyata, hatinya langsung terjerat dan sampai sekarang tidak bisa lepas –tidak mau lepas, lebih tepatnya-.
“Pak Teo, laporannya di tunggu sama Ibu Maya.”
Kalimat itu membuat Teo tersentak. Sadar kalau dia sudah termenung cukup lama dan mengabaikan pekerjaan yang sebenarnya sedang di tunggu oleh manajer keuangan, atasannya. Teo bekerja di perusahaan property yang cukup besar di Yogyakarta.
“Iya sebentar lagi, kurapiin dulu,” jawab Teo dengan nada datar pada staf HRD yang duduk satu ruangan dengannya.
Accounting tampan itu segera membuka salah satu file dan memeriksa ulang pekerjaannya. Setelah yakin tidak ada kesalahan, Teo membawa laporannya ke ruang manajer keuangan, tidak lupa mengirim soft file lebih dulu melalui email. Dia mengetuk pintu tiga kali hingga sebuah seruan yang terdengar menyuruhnya membuka pintu.
“Selamat siang, Bu,” sapanya sopan lalu duduk di salah satu kursi di depan meja kerja. “Ini laporan bulan November, soft file-nya sudah saya kirim lewat email.”
Wanita cantik yang duduk di seberang meja tersenyum. Maya namanya, Manajer Keuangan yang di anugerahi predikat staf paling hot. Tidak heran kalau melihat fisiknya yang menawan. Wajah cantik, tubuh tinggi dengan postur proporsional, belum lagi otak cerdasnya, yang pasti nilai untuk standar seorang Maya itu banyak plusnya. Umur tidak jadi masalah, -kabar dari staf HRD- umur Maya baru tiga puluh tujuh tahun. Makin hot kan? Gosip hangatnya lagi, anak direktur naksir habis-habisan dengan manajer keuangan itu.
“Selalu on time ya. Aku suka sama cara kerja kamu,” ucap Maya masih dengan senyum manis mengembang di bibir cherry-nya. Tambahan info, Maya tidak suka make up tebal. Natural selalu jadi andalan.
“Terima kasih, Bu,” jawab Teo. “Kalau begitu saya permisi dulu, nanti kalau ada revisi saya akan segera perbaiki.”
“Lha, kok buru-buru? Kerjaanmu kan sudah selesai. Kita ngobrol dulu saja,” ucap Maya begitu melihat Teo berniat keluar dari ruangannya.
Pria itu sempat menautkan alis karena bingung, tapi demi sopan santun dan keselamatan jabatannya, Teo menurut. Sang manajer kembali menyunggingkan senyum manisnya.
“Nggak terasa kamu sudah tiga tahun kerja di sini.” Maya membuka percakapan di antara mereka. Teo jelas tidak tahu harus bicara apa.
“Iya, Bu,” jawabnya singkat.
“Kamu suka kerja di sini?” tanya Maya lagi.
“Suka, Bu.” Teo menatap lawan bicaranya datar, meski begitu dalam hati dia menyimpan seribu tanya. Tidak biasanya manajer cantik itu mengajaknya ngobrol selain urusan pekerjaan.
Maya bersandar lebih santai di kursi kerja. Dari gestur tubuhnya, Teo tahu wanita itu tengah menyilangkan kaki di bawah meja. “Berapa tahun kita kenal ya?” tanya Maya kemudian.
“Eh?” Teo sedikit terkejut dengan pertanyaan atasannya. “Maaf, Bu?”
Maya terkekeh dengan suara merdu. “Kenapa mesti kaku banget sih? Aku kan cuma ngajak kamu ngobrol, toh kerjaan kita sudah selesai. Tinggal nunggu waktu makan siang.”
Teo menunduk dan melihat jam tangannya, sebelas tiga puluh. “Iya, Bu,” jawabnya. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Teo tidak biasa mengobrol dengan lawan jenis kecuali pacar mungilnya yang paling cerewet, Dea. Accounting muda itu tersenyum saat bayangan wajah sang pacar melintas di dalam kepalanya.
“Kamu ganteng lho kalo senyum gitu,” celetuk Maya tiba-tiba dan hampir membuat Teo jantungan. Wanita itu kembali terkekeh melihat ekspresi horor lawan bicaranya. “Di puji kok malah kaget.”
“Maaf, Bu.” Lagi-lagi Teo bingung harus menjawab apa.
“Nggak usah minta maaf. Aku yang jadi nggak enak hati. Bercandaku garing ya?” tanya Maya.
“Oh, Ibu bercanda, kaget saya.” Teo mencoba tertawa meski terdengar sumbang. Bisa mati dia kalau sampai Dea mendengar pujian Maya untuknya. Sekedar info, pacar mungilnya itu tukang cemburu.
“Ya, nggak ada salahnya kan coba bercanda biar lebih akrab?” jawab Maya yang kali ini membuat Teo meneguk ludahnya susah payah. “Makan siang bareng yuk.”
Aku harus jawab apa? Batin Teo dilema.

****

Al menatap gadis yang duduk di depannya dengan tatapan iba. Via sudah tiga kali bersin dan enggan menghabiskan makan siangnya. Saat ini mereka tengah berada di Kedai Steak Wirobrajan. Via terkena flu karena kehujanan saat acara jalan-jalan mereka ke kebun binatang hari minggu lalu. Rencana mereka sedikit berantakan kecuali bagian Sheren yang sukses naik gajah selama satu jam hingga membuat sang papa menggeleng frustasi.
“Obat yang kukasih kemarin udah di minum?” tanya Al seraya mengulurkan lembaran tissue pada pacar terkasihnya. Via hanya mengangguk lalu meneguk lemon tea hangatnya.
“Jadi, kapan aku boleh ke Surabaya?” Al kembali bertanya.
Mereka memang tengah membicarakan rencana pertemuan Al dengan kedua orang tua Via. Gadis itu sama sekali tidak menyangka kalau sang dokter akan langsung menanggapi serius perihal desakan keluarganya. Terbesit rasa takut dalam hati Via saat membayangkan reaksi keluarga besarnya. Apa mereka akan setuju? Batinnya gamang.
“Sebenernya aku takut lho,” kata Via kemudian.
“Iya aku ngerti. Tapi nggak mungkin kan kalau aku nikahin kamu tanpa restu mereka?” Al justru tersenyum jahil menggoda pacarnya. Niatnya ingin mengurai suasana tegang di antara mereka.
“Jangan bercanda deh, Al. Kepalaku pusing beneran nih,” sungut gadis itu seraya mengusap hidungnya yang berair dengan tissue.
“Jelas pusing wong kamu lagi flu,” jawab Al santai. Sungguh dia tidak ingin pacar tersayangnya itu terlalu stres memikirkan hubungan mereka. Al yakin mereka akan mendapatkan restu, paling tidak tekad di dalam hatinya mengatakan itu. Dia tidak akan menyerah. Sekuat tenaga Al akan meyakinkan keluarga Via kalau dia lebih dari mampu untuk membahagiakan putri tersayang mereka. Ah, arogan sekali duda keren satu itu.
“Al~,” rengek Via yang mulai kesal dengan sikap santai pacarnya.
“Iya, iya. Aku cuma nggak mau kamu stres terus sakit. Aku janji akan berusaha yang terbaik buat kita.” Pak Dokter itu meraih tangan Via lalu menggenggamnya lembut, mencoba meyakinkan gadis itu atas ucapannya.
“Janji ya?” tanya Via meminta kepastian.
“Iya, aku janji,” jawab Al penuh keyakinan.
“Kamu nggak akan nyerah kalau Papahku marah?” Mata Via mulai berkaca-kaca saat mengatakannya. Gadis itu tahu bagaimana keras kepalanya sang ayah. Dia berharap ibunya bisa menerima pilihannya.
“Sepuluh Papahmu marah juga akan aku hadapi.” Al mengumbar janji hiperbolanya hingga Via cemberut.
“Papahku cuma satu,” gerutunya.
Sang Dokter langsung terkekeh. “Percaya sama aku, oke?” Al kembali menggenggam tangan kekasihnya.
“Aku berdoa Budha lancarkan semuanya,” lirih Via dan Pak Dokter langsung mengamininya.
Via baru saja menghabiskan lemon tea dalam cangkir saat matanya menangkap sosok yang familiar memasuki Kedai Steak. Keningnya langsung berkerut. Melihat ekpresi Via membuat Al menoleh untuk melihat objek yang tengah di lihat sang pacar.
“Lha, itu bukannya Teo ya?” celetuk Al yang kembali menatap Via. Gadis itu mengangguk. “Cakep juga ceweknya, aww!” Pak Dokter meringis lebar seraya mengusap lengannya yang baru saja di cubit.
“Tolong tertibkan tu mata,” ujar Via seraya membulatkan matanya.
Al justru tertawa melihatnya. “Anugerah Tuhan itu, harus di syukuri. Kan seger liat yang bening-bening,” komentarnya yang membuat Via mendengus kesal.
“Kolam renang hotelku tu bening.” Via menimpali dengan emosi. Dia memang bekerja sebagai staf HRD di Hotel Grand Venus. Salah satu hotel dengan bintang tiga di Yogyakarta.
“Bercanda, Vi,” kata Al kemudian. Pria itu memang paling hobi membuat pacarnya merajuk. Pandangannya kemudian beralih pada Teo dan wanita cantik yang bersamanya. Keduanya sudah duduk di meja dekat jendela yang jaraknya cukup jauh dari tempat Al yang duduk di bagian belakang. “Tumben juga si Teo pergi makan cuma berdua sama cewek,” komentarnya. Dia cukup kenal dengan pacar Dea itu. Setahu Al, Teo adalah tipe cowok yang malas pergi keluar dengan lawan jenis kecuali pacarnya.
“Itu juga aku heran,” kata Via dengan mata tak lepas mengamati interaksi pacar sahabat mungilnya.
“Foto sana, terus kirimin ke Dea. Pengen liat cabe rawit jadi cabe setan.” Al melontarkan ide gilanya sambil tertawa yang kembali menuai cubitan sayang dari sang pacar. “Ya ampun, Vi. Kamu lagi PMS ya? Sadis banget daritadi.”
“Ck, makanya jangan kelewatan kalau bercanda. Tahu sendiri Dea paling nggak suka cowoknya jalan ama cewek lain. Mau ikutan alay grup Celuper ya?” katanya dengan nada sinis.
“Ya siapa tahu kalau Dea liat begini, dia jadi mau cepet-cepet nikah sama Teo,” jawab sang dokter seraya meringis lebar. Pacarnya sedang sensi karena galau masalah restu, jadi tidak bisa di ajak bercanda.
“Yang ada justru Dea makin takut nikah,” kata Via. Gadis itu kembali melotot saat melihat tangan sang wanita menyentuh tangan Teo di atas meja. Ekspresi terkejut Teo tak luput dari matanya. Pria itu jelas terlihat tak nyaman. Pertanyaannya adalah, siapa wanita itu? Malas dengan rasa penasarannya membuat Via segera membuka handphone dan mengetik pesan Whatsapp.

Sama siapa kamu?

Via bisa melihat Teo terkejut saat menatap layar handphone-nya. Pria itu langsung mengedarkan mata ke sekitar ruangan kedai hingga berhasil menemukan sosoknya. Pacar Dea itu justru tersenyum lebar begitu melihat dirinya juga Al. Entah apa yang kemudian di katakan Teo pada teman wanitanya, yang jelas pria itu dengan semangat beranjak menuju mejanya. Sekilas Via melihat sang wanita menyipitkan mata ke arahnya.
“Udah daritadi?” Teo menarik kursi kosong begitu saja tanpa meminta ijin lebih dulu. Al langsung mencibir tindakannya yang sok akrab. Hei, mereka kan memang akrab, setidaknya pacar-pacar mereka sahabat baik bak saudara yang otomatis membuat hubungan mereka akan berakhir menjadi ipar kalau berhasil naik kepelaminan.
“Siapa cewek itu?” tanya Via tanpa tedeng aling-aling. Bukan hal yang aneh kalau Via yang sebagai kakak tertua di D-Three begitu sayang pada adik bungsunya.
“Bu Maya, Manajer Keuangan di kantor,” jawab Teo singkat.
“Wo, ganti selera kamu? Dari cabe mini ke paprika standar internasional?” Al terkekeh. Dokter super jahil itu belum puas hanya mengganggu Via.
“Ngaco ya, Dokter Genit. Terpaksa ini, untung ada kalian. Ke mejaku yuk, temenin aku makan. Bahaya kayaknya kalau kami cuma berdua,” pinta Teo dengan wajah memelas.
“Aih, mana enak ganggu kencan orang,” Al menimpali.
“Bukan waktunya bercanda, Al. Serius nih, agak horor suasananya kalau berdua.” Teo benar-benar terlihat tidak nyaman.
“Makanya jangan pergi ama Mbak Kunti kalau nggak suka yang horor-horor. Untung kami yang lihat, coba Dea yang nongol.”
Perkataan Al membuat Teo merinding. Bisa benar-benar batal pernikahan mereka.
“Udah ah ngobrolnya, yuk ke sana. Tu cewek udah liatin kita terus. Tapi aku cuma minum ya, Te. Aku udah makan,” jawab Via seraya menunjuk piring steaknya yang masih tersisa setengah. Mengambil tissue lalu mengusap hidungnya yang kembali berair. “Aku flu nggak apa-apa?” tanyanya memastikan.
Teo berdecak kesal. “Virus di mejaku lebih bahaya.” Dan Al langsung tertawa.

****

“Dea, kamu nggak apa-apa kan?”
Sekilas Santi menatap wajah juniornya yang memelas. Dia jadi menyesal sudah mengajak gadis itu ke Kedai Steak tadi. Niat hanya ingin mampir karena sekalian lewat Wirobajan setelah urusan mereka di Universitas Muhammadiyah selesai, Dea justru mendapat jackpot. Masih di dalam mobil, gadis mungil itu melihat pacarnya memasuki Kedai Steak bersama wanita cantik. Tanpa ba-bi-bu Dea meminta Santi segera pergi.
“Kamu tanya aja sama pacarmu dulu, Dea. Jangan berburuk sangka,” nasehat Santi sambil terus fokus menyetir dan menatap jalan di depannya.
Dea sendiri hanya menghela napas panjang tanpa bisa bersuara. Dalam pikirannya sudah berkelebat berbagai macam dugaan. Bukannya tak percaya pada Teo tapi masalah yang tengah mereka hadapi saat ini membuat hatinya ciut. Bagaimana kalau Teo memilih gadis lain karena dirinya tak mau naik pelaminan? Dea bukannya bodoh yang tak mengerti keinginan kedua orang tua Teo yang ingin anaknya segera menikah. Keluarga mereka sudah saling kenal dan memberi restu tapi ketakutan Dea membuatnya enggan melangkah. Apa teo benar-benar menyerah?
Santi memutuskan untuk membiarkan Dea memikirkan segalanya. Baru kemarin gadis itu akhirnya bercerita soal kegalauan hatinya menghadapi pernikahan. Dan sekarang, dia justru di hadapkan pada kenyataan yang tidak mengenakkan. Ya, meski belum tentu juga kan dugaan Dea akan pacarnya itu benar? Bisa jadi mereka hanya teman sekantor. Tapi wanita yang bersama Teo memang cantik dan Santi takkan heran kalau Dea cemburu.
Keduanya sampai di kantor tanpa membawa makan siang. Santi berinisiatif mengajak juniornya ke kantin, berhubung waktu istirahat siang mereka tinggal setengah jam lagi. Dia tidak mau menahan lapar karena pekerjaan yang menunggunya sudah segunung. Revisi naskah yang baru saja di ambilnya dari salah satu dosen Universitas Muhammadiyah juga memerlukan tenaga ekstra untuk di kerjakan.
Dea mengamati sekitar kantin sampai matanya menemukan Shin yang duduk sendiri. Spontan gadis itu mempercepat langkahnya untuk menghampiri sang sahabat. Galau membuat Dea lupa kalau dia seharusnya masih marah pada Shin. Kursi yang tiba-tiba di tarik membuat Shin terkejut. Matanya menyipit begitu melihat Dea duduk di sampingnya dengan mata merah.
“Hei, kamu kena-pa?” Suara Shin langsung melirih karena terkejut dengan sikap Dea yang tiba-tiba memeluknya. Gadis itu terisak di bahunya. Pemuda itu kemudian menatap Santi yang masih terpaku di tempatnya. Melemparkan tatapan tanya yang hanya di jawab dengan isyarat berupa gelengan kepala.
Ini bukan yang pertama. Sahabat manjanya itu sudah sering menjadikan bahunya bak tiang jemuran, begitu air mata kering, Dea akan kembali meninggalkannya. Meski begitu Shin tidak pernah keberatan. Dia tahu Dea hanya menganggapnya sebagai sahabat atau pun saudara laki-laki. Mengingat gadis itu tak memiliki figure seorang ayah, maka tak heran kalau Dea berusaha mencari sosok pengganti di luar keluarganya. Itu juga yang menjadi alasan utama hubungan Dea dan Teo langgeng. Pria yang bahkan berusia tujuh tahun di atas Dea itu berhasil menjadi sosok pengganti father figure yang di butuhkan Dea.
Dea masih menangis dan tidak peduli pada tatapan heran teman-teman sekantornya yang sedang menghabiskan makan siang mereka. Untung tidak begitu ramai. Santi duduk di depan mereka sembari membawa nampan berisi makanan. Dia mendengar isakan lirih Dea yang teredam bahu Shin, sementara pemuda itu terus mengusap lembut punggung sahabatnya. Jujur, Santi tidak sebodoh Dea yang tidak pernah menyadari tatapan mata Shin yang penuh cinta itu. Tapi sang senior tidak berminat untuk ikut campur pada hubungan sang junior yang berlabel sahabat itu.
Isakan Dea mereda dan Shin akhirnya melihat wajah kusut sahabatnya yang mulai menegakkan tubuhnya.
“Kamu kenapa, hm?” Shin menarik beberapa lembar tissue di meja lalu memberikannya pada Dea.
Gadis itu masih diam dengan tangan sibuk mengusap pipinya yang basah. Shin mengalihkan pandangannya pada Santi yang tampak serius menghabiskan makan siangnya. Seniornya itu terlihat sangat kelaparan. Dia pun kembali menatap Dea. Ada kelegaan dalam hatinya karena Dea sudah berhenti marah padanya.
“Tadi aku liat Teo jalan sama cewek cantik. Makan di Kedai Steak,” kata Dea dengan nada bersungut-sungut lalu mengusap lagi hidungnya yang masih berair.
Shin mengumpat dalam hati karena rasanya dia ingin tertawa mendengar penuturan sahabatnya. Padahal, meski Teo dan Dea batal menikah sekali pun, dia tetap tidak bisa memilikinya. Shin menghela napas panjang dan segera menepis pikiran gilanya.
“Mungkin cuma temen sekantor,” ucap Shin berusaha menenangkan.
“Mungkin juga,” jawabnya dengan bibir mengerucut. “Tapi cewek itu cantik banget,” sungutnya kemudian dengan nada kesal yang terdengar jelas.
“Coba kamu tanya dulu sama Teo,” sarannya begitu melihat sudut mata Dea kembali basah.
“Males,” lirih Dea kemudian. “Nanti dia ge-er terus ngatain aku cemburu.” Gadis itu bersandar di kursi dengan tangan terlipat di dada. Santi bahkan hampir tersedak makanannya saat mendengar perkataan juniornya yang nyleneh. Dea memang gadis antik.
“Memang kamu nangis kenapa kalau bukan karena cemburu?” celetuk Santi seraya meletakkan sendoknya di piring kosong lalu meneguk air mineral dari botol.
Dea mengerjapkan mata menatap seniornya lalu beralih menatap Shin yang tersenyum tipis seraya menggaruk pelipis dengan telunjuk.
“Aku nggak suka liat Teo berduaan sama cewek. Kalo rame-rame nggak apa-apa,” jawabnya santai dan Santi langsung terkekeh. Dea memang ladang hiburan saat suntuk. Shin sendiri sudah sangat hapal tabiat sahabatnya. Dea tidak cemburu hanya tidak suka, tolong garis bawahi itu.
“Iya, apalah namanya itu, yang penting kan nggak usah mewek. Tanya aja langsung sama Teo, aku yakin dia nggak mungkin macem-macem.” Shin kembali mencoba menenangkan Dea.
“Aku kan sedih, masa nggak boleh nangis? Ish, kamu ini ya. Untung deh kamu udah putus sama Aya, kalau nggak bisa sengsara Aya punya jodoh yang nggak peka kayak kamu,” protes Dea tidak terima.
Astaga, Santi benar-benar berusaha menahan tawanya meledak. Sebenarnya siapa makhluk yang paling tidak peka di bumi ini selain Deana Ruth Hardjito? Santi menatap Shin miris. Bisa juga pemuda itu bertahan menghadapi tingkah absurd Dea. Kalau di pikir Teo yang jauh lebih hebat sampai semangat empat lima menikahi gadis itu. Kekuatan cinta memang dahsyat. Apa dirinya harus jadi seperti Dea agar para lelaki mendekat padanya? Manis manja dan menangis bombay? Ah, tidaklah. Biarlah Dea hidup dengan keistimewaannya, tidak perlu di duplikasi.
“Yang punya masalah kamu, jangan bawa-bawa orang lain,” tegur Shin seraya kembali menghela napas panjang.
“Udah, udah, nanti bahas lagi. Yuk balik, udah habis jam makan siang,” ajak Santi yang segera beranjak dan mengingangatkan jam kerja mereka.
“Kamu nggak mau beli apa gitu? Belum makan kan?” tanya Shin begitu Dea ikut beranjak dari kursi. Santi tersenyum miring melihat perhatian pemuda itu.
“Aku nggak laper, orang lagi sedih malah suruh makan,” jawab Dea yang kemudian berjalan mendahului Santi yang masih berdiri mengamati keduanya. Gadis itu lupa kalau tadi sudah menangis di bahu sang sahabat.
“Yang kayak gitu ya, yang justru jadi rebutan cowok-cowok?” celetuk Santi begitu yakin jarak Dea cukup jauh dan tak bisa mendengar suaranya.
“Mbak.” Mata Shin langsung memincing tajam. Dea memang manja tapi gadis itu tulus dan baik. No modus dan yang pasti imut tingkat dewa. Dia jelas tidak terima dengan perkataan Santi yang seolah mengejek sahabat mungilnya.
“Ya ampun Shin, segitunya kamu.” Santi kembali terbahak lalu meninggalkan pemuda yang kembali menghela napas panjang.

Ya Allah, boleh minta satu lagi model Dea nggak? Batin Shin berharap.

****

Nah, sampai sini aja ya bocorannya.
Penasaran gimana lanjutan kisah tiga sahabat D-Three?
Apakah Dea akhirnya mau menikah dengan Teo?
Apakah kedua orang tua Via akan setuju anaknya menikah dengan duda beranak satu?
Dan 
Apakah Aya akan menerima cinta Tama atau malah memilih mengejar Shin yang ingin pergi?
Nantikan kisah mereka di D - Three. Open PO akhir Januari 2018 FB Agnes FFTK
Terima kasih yang sudah membaca. Sampai jumpa di cerita manis lainnya :)
Arigato 
*deep bow

Post a Comment

0 Comments