Novel kedua karya Agnes Kristi
PO di buka akhir Januari 2018, kunjungi Facebook Agnes FFTK
PO di buka akhir Januari 2018, kunjungi Facebook Agnes FFTK
Deana, Davia dan Dayana. Persahabatan mengikat
ketiganya menjadi saudara.
Deana yang takut menikah.
Davia yang sudah tak sabar menunggu lamaran.
Dan
Dayana yang terjebak dalam cinta segitiga.
Nikmati kisah mereka dalam D-Three dengan balutan
manis dan renyah gula-gula penuh warna.
*********************************************************************************
Prolog
Prolog
Dea menggerutu sepanjang jalan
Malioboro. Sabtu siang yang panas membuat mood-nya
makin berantakan. Dia pun mempercepat langkahnya memasuki Mall Malioboro. Toko
buku, berharap tempat itu bisa membuat hatinya senang.
“Kosong?”
Wajah Dea bertambah kusut setelah mendengar jawaban seorang petugas toko buku. Novel
pengarang favoritnya sudah habis terjual padahal Dea sudah rela menyisihkan
uang saku demi membeli novel itu.
“Iya,
Mbak. Minggu depan baru datang lagi,” jawab petugas itu.
Dea
belum beranjak dari tempatnya saat seorang gadis bertubuh tinggi dengan paras
khas peranakan Tionghoa datang
menghampiri sang petugas.
“Mbak,
Novel Ajari Aku Cinta karangan Agnes Kristi sebelah mana ya? Kok daritadi nyari
nggak ketemu,” tanya gadis itu.
Dea
tesenyum dalam hati, ternyata bukan hanya dirinya yang bernasib sial. “Habis,
Mbak. Katanya minggu depan baru dateng,” celetuk Dea yang langsung membuat
perhatian gadis itu tertuju padanya. “Saya juga mau beli itu tadi,” terangnya
kemudian.
Gadis
itu mengangguk lesu. “Padahal udah di tunggu-tunggu,” lirihnya.
“Sama,”
Dea kembali menimpali.
Petugas
toko buku itu hanya tersenyum, namun belum sempat dia pergi seorang gadis lain datang
dan bertanya padanya.
“Mbak,
Novel Agnes Kristi sebelah mana ya?” tanya gadis itu. Sontak Dea dan gadis tadi
langsung meringis.
“Habis,”
jawab keduanya bersamaan dan gadis itu mendengus kesal.
Tidak mau menjadi
sasaran kekesalan tiga pelanggannya, petugas itu langsung pergi menyelamatkan
diri.
“Suka
novelnya Agnes Kristi ya?” tanya Dea pada kedua gadis itu. Wajahnya berbinar
senang saat mereka mengangguk. “Aku juga,” pekiknya girang. Gadis berpostur
mungil itu merasa senang karena setidaknya dia bisa dapat teman baru sesama
penggemar Agnes Kristi.
“Boleh
kenalan?” tanya Dea lagi dengan semangat. Dia bahkan langsung mengulurkan
tangan kanannya. “Deana, panggil aja Dea.”
Gadis
yang datang pertama tadi menyambut uluran tangan Dea. “Davia, panggil aja Via.”
Gadis bertubuh tinggi itu mengulas senyum.
“Eh,
namanya kok pake D semua,” celetuk gadis yang tadi datang paling akhir. Dea dan
Via menatap gadis itu heran. “Aku Dayana, biasa di panggil Aya,” katanya yang
langsung menjabat tangan Dea dan Via. Ketiganya tertawa karena kebetulan yang
menyenangkan itu.
“Wah
asik nih,” kata Dea yang merasa senang dengan kenalan barunya.
“Dea
masih SMA ya? Imut bener,” tanya Via.
“Eh,
enak aja, gini-gini aku udah semester dua,” jawab Dea tidak terima. Padahal
orang memang sering salah menerka umur gadis itu karena postur tubuhnya yang
mungil. Tolong jangan katakan pendek, Dea tidak akan suka mendengarnya.
Via
tertawa. “Ya tetep aja tuaan aku. Kuliah di mana?”
“UNY,
jurusan sastra. Mbak-mbak ini kuliah juga?” Mendengar Via mengatakan lebih tua
membuat Dea berinisiatif memanggilnya dengan embel-embel Mbak.
“Ah,
nggak usah panggil Mbak sama aku. Panggil Aya aja biar lebih akrab. Kita cuma
beda setahun. Aku semester empat jurusan Menejemen di UAD,” jawab Aya.
Via
meringis lebar. “Ternyata emang aku yang paling tua.Tapi nggak usah juga
panggil Mbak biar nggak keliatan tuanya,” katanya sambil tertawa. “Aku semester
akhir jurusan Sosial di UGM.”
Siapa
sangka pertemuan tidak sengaja itu kemudian berlanjut. D-Three, nama itu disebut
Dea pada pertemuan kedua mereka di kafe D’Nangkring, di jalan Salemba.
Ajaibnya, hingga kini nama D-Three menyatukan mereka seperti saudara.
****
D - Three
“Lama amat sih?” Dea,
tampak cemberut saat sahabat baiknya, Via, datang dengan napas terengah. “Dari
mana? Pasti asik pacaran,” cibirnya kemudian. Pasalnya Dea sudah rela
berpanas-panasan di tepi Jalan Jendral Sudirman setelah selesai membeli buku di
Gramedia. Kenapa tidak menunggu di dalam toko buku saja? Salahkan Via yang
memintanya menunggu di tepi jalan dengan tambahan Whatsapp meyakinkan berkata ‘lima menit lagi’.
Via mengerutkan kening
lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Oi, aku cuma telat
10 menit,” protesnya.
“Cuma?” Dea melotot
dengan mata kecilnya, membuatnya tampak lucu alih-alih seram. “Nggak liat
rambutku udah kriting nungguinnya?” omel Dea dengan tangan menunjuk ke arah kepala.
“Panas nih,” lanjutnya seraya mengalihkan telunjuk ke arah matahari.
Via terkikik, dia tahu
kalau Dea pasti marah. Sebenarnya dia sudah keluar dari rumah sejak pukul
sepuluh tadi tapi tolong salahkan saja dokter genit –ehm, pacarnya- yang tiba-tiba memintanya datang ke rumah sakit untuk
mengantar makan siang dan membuatnya terlambat datang menemui Dea. Oh ayolah,
pesona pria tampan berbalut jas putih memang sulit untuk di abaikan meski taruhannya
adalah omelan Dea yang pastinya akan berlangsung sepanjang hari.
“Sorry, sorry, jangan
marah ya,” Via merengkuh bahu sahabat mungilnya. Tinggi Dea hanya sebatas bahu Via,
membuat Dea tampak seperti adik yang tengah di peluk kakaknya. “Nanti aku
traktir deh,” rayunya.
“Nggak,” ketus Dea
seraya menepis tangan Via dari bahunya. Bibirnya bertambah maju lima senti.
“Yaelah, tiada maaf bagiku nih? Komik seri terbaru gimana?” rayu Via
lagi. Oh, jangan katakan mereka bersahabat kalau tidak tahu apa kelemahan satu
sama lain.
Dea melirik Via lalu mendengus
sebelum melangkahkan kakinya. “Ayo cepet jalan, nanti Aya kelamaan nunggu
kita,” katanya. Via tertawa sebelum akhirnya mengikuti langkah sang sahabat
yang mendapat gelar ‘kecil-kecil cabe rawit’ itu.
****
Sebuah taksi berhenti
di depan kafe dengan nama D’Nangkring tercetak besar di bagian atas pintu
masuk. Tampak Dea dan Via turun dari taksi lalu berjalan masuk ke dalam kafe.
Keduanya mengedarkan pandangan hingga senyum Via mengembang begitu matanya
menangkap sosok gadis berbaju biru yang duduk di sudut ruangan. Gadis berambut
panjang dan berparas ayu dengan kulit kuning langsat itu tengah sibuk bermain handphone.
“Aya di sana.” Via
menarik tangan Dea untuk mengikutinya.
Aya mengangkat kepala
saat mendengar suara yang memanggil namanya. Matanya menyipit begitu menyadari
dua sosok yang sangat familiar. Si Cina dan si Cabe Rawit.
“Setengah jam,”
desisnya begitu Via dan Dea duduk di depannya. Ah, selain Dea, Aya juga paling
anti dengan jam karet. Tolong salahkan Via jika semua jadwal yang sudah mereka
susun rapi harus berantakan.
“Nggak usah melotot Miss
Jutex dan nggak usah tanya kenapa,” jawab Dea yang membuat Aya menghela napas
panjang.
“Ngemodus apalagi
doktermu kali ini?” tanya Aya to the
point. Julukan si Jutex yang di terimanya bukanlah tanpa alasan. Gadis itu
tak pernah suka basa basi dan siap menusuk jantungmu dengan ketajaman
kata-katanya.
Via terkekeh. “Ya ampun,
kalian berdua ini ya. Aku cuma anter makan siang dulu buat Al,” ucapnya membela
diri.
“Ah, anter makan siang sekalian
nyuapin sampe abis,” cibir Aya dan Dea langsung mengangguk mantap.
Via menjulurkan lidah
pada kedua sahabatnya. “Udah ah, sebagai penebus dosa, aku deh yang traktir
sekarang,” jurus Via merayu para sahabatnya.
“Emang harusnya
begitu,” timpal Aya dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia dan Dea segera
ber-hi five ria, makan siang gratis. Via
hanya bisa meringis membayangkan tagihan makan yang akan di bayarnya.
“Nggak usah pasang
tampang memelas gitu. Pak Dokter pasti udah kasih kamu uang buat nyogok kami
kan?” tebak Dea yang langsung di sambut tawa renyah Via. Sebagai sahabat, Dea
dan Aya juga sudah hapal perangai pasangan masing-masing. Aldian, kekasih Via
yang berprofesi sebagai dokter itu memang kerap mengacaukan jadwal mereka. Tapi
senangnya, dia akan menitipkan uang kompensasi pada Via untuk mereka
bersenang-senang. Makan di D’Nangkring adalah agenda rutin mereka setiap libur
kerja selain mengobrak-abrik toko buku sekota Yogyakarta.
“Udah nggak usah bahas
itu, cepetan pesen,” timpal Aya yang sepertinya sudah kelaparan. Dengan
semangat Dea memanggil pelayan kafe yang paling tampan.
****
“Eh, lama aku nggak
ketemu Teo. Gimana kabarnya Mr.
Accounting itu, Dea?” tanya Via di sela makan siang mereka.
Di meja bulat tempat
mereka duduk sudah tersaji berbagai makanan. Jangan hanya lihat wajah dan
penampilan mereka yang ayu, kalau soal makanan ketiganya sama-sama kelas berat.
Dea berhenti mengunyah begitu mendengar nama kekasih hatinya disebut.
“Baik,” jawabnya
singkat lalu kembali menggigit potongan ayam crispy-nya.
Kening Via dan Aya
berkerut mendengar jawaban sahabat mungilnya. Tidak biasanya Dea menjawab
singkat pertanyaan mengenai Teo. Si Kecil Cabe Rawit itu pasti akan langsung
mengoceh kalau nama pacarnya di singgung.
“Kenapa Dea?” tanyaVia.
Gadis mungil itu
mendengus lalu meletakkan sendok dan garpunya, menatap kedua sahabatnya
bergantian. “Teo minta kawin,” lirihnya tapi cukup membuat Aya yang tengah
minum tersedak mendengarnya. Via mengulurkan tissue pada Aya dan membantunya menepuk punggung.
“Teo apa?” Aya langsung
mengkonfirmasi apa yang baru saja di dengarnya. Astaga, di antara mereka bertiga
Dea adalah yang termuda, 23 tahun.
“Teo minta kawin,”
ulang Dea dengan suara yang lebih jelas lalu meneguk jus terong belanda
favoritnya.
Via dan Aya tertegun
beberapa saat sebelum akhirnya terbahak. Dea mendengus lalu melanjutkan makan
siangnya.
“Itulah resikonya kalo
pacaran sama om-om,” kata Aya. Via masih belum berhenti tertawa.
“Ish, Teo bukan om-om,”
protes Dea.
“Terus apa dong
namanya?” goda Aya lagi.
“Halah, kayak Via nggak
aja,” cibir Dea.
“Berapa umur Pak
Dokter? Tiga lapan kan?”
“Eh, eh, eh, jangan
bawa-bawa Al ya. Dia itu pria mapan dan matang bukan om-om genit kayak Teo.
Lagian aku udah dua tujuh, biarin aja,” sanggah Via semangat.
"Terus kenapa
kalau Teo minta kawin? Kamu udah lulus, udah kerja, apa lagi? Bukannya orang
tua kalian juga udah setuju?" Aya menggigit ayam bakarnya sambil melirik
Dea yang kini berwajah masam.
"Jangan keras
kepala, Dea. Idealismu yang mau nikah kalo udah mapan itu nggak logis. Kamu kan
cewek, Teo udah mapan, nunggu apalagi?" Via menimpali.
Dea langsung cemberut
mendengar perkataan Via dan Aya. "Kan aku udah bilang kalo aku mau nikah
umur dua lima. Sekarang umurku masih dua tiga, ngapain musti buru-buru sih?"
sungutnya.
"Eh, mikir kalo
ngomong. Teo-mu itu udah tiga puluh umurnya. Dia juga pasti mikir kalo kelamaan
di tunda umur dia nambah," kata Aya seraya menunjuk pelipisnya.
Bukannya menerima, Dea
justru semakin membulatkan mata sipitnya. "Kalian aja belum nikah, masak
iya aku duluan," protesnya lagi dengan nada suara meninggi.
"Nggak ada
hubungannya!" seru Via dan Aya bersamaan.
Dea sudah membuka mulut
untuk kembali melayangkan protes tapi Via dengan cepat menyuruhnya diam.
"Kami beda Dea,
kamu kan tahu sendiri gimana nasib kami," kata Via.
Aya menghela napas
panjang. "Harusnya kamu itu bersyukur kalau Teo bener-bener serius untuk
bangun masa depan sama kamu. Liat Via, dia masih harus ngadepin Sheren baru
bisa sama Aldian. Terus aku? Kamu tahu sendiri hubunganku nggak jelas. Dilematis,"
tegasnya.
"Nggak usah banyak
mikir, karirmu bisa di bangun setelah nikah nanti. Aku yakin Teo nggak bakal
keberatan," Via kembali meyakinkan.
"Tapi-," Dea
lagi-lagi menelan perkataan yang sudah ada di tenggorokannya.
“Udah, pikirin aja
pelan-pelan. Hubungan kalian nggak akan seseram bayanganmu." Via mengusap
lembut punggung sahabatnya. Tak ada lagi perdebatan.
****
Dilema Hati Deana
"Dea, Teo dateng!"
Seruan dari depan pintu
kamar Dea membuatnya tersentak. Pasalnya gadis itu hampir saja terlelap.
Menggosok wajahnya dengan kedua telapak tangan, Dea berjalan keluar dan
mendapati mamanya masih berdiri di depan pintu.
"Teo dateng
tuh," Mama mengulang perkataannya.
"Tadi katanya mau
lembur, kok udah nongol aja jam segini," kata Dea seraya menyisir rambut
dengan jari-jarinya. Rambut hitam panjangnya yang berantakan tergerai di bahu.
"Keliatannya sih dari
kantor langsung ke sini. Mama liat dia masih pake baju kerja," jawab Mama.
"Oh," sahut
Dea santai lalu mengikuti sang mama menuruni tangga menuju lantai satu. Mama
duduk di ruang tengah dan membiarkan Dea ke ruang tamu menemui pacarnya.
Teo menautkan alis
begitu melihat Dea muncul di ruang tamu. "Jam segini udah mau tidur?"
Lima tahun menjalin
hubungan sejak Dea masih memakai seragam putih abu-abu, membuat Teo hapal di
luar kepala ekspresi wajah kekasihnya. Mata merah, rambut tergerai berantakan,
dia yakin Dea sudah menyeberang ke alam mimpi kalau dirinya tidak datang dan
tebakannya memang tepat. Padahal jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh
petang.
"Capek,"
jawab Dea manja lalu menghempaskan diri di sofa panjang, di sebelah Teo.
"Capek ngapain
sih? Bukannya hari ini libur?" Teo menarik Dea yang bersandar di sofa
untuk bersandar padanya. Sekarang tangannya sibuk membelai kepala gadis
mungilnya.
"Nggak
ngapa-ngapain sih. Cuma cari buku baru, ketemu Via sama Aya, terus makan siang
di kafe biasa," jawab Dea yang kini menikmati belaian tangan besar Teo
dengan mata terpejam. Pacar Dea itu bertubuh tinggi dengan bahu tegap, membuat
gadis itu betah bersandar pada dada bidangnya.
"Udah makan?"
tanya Teo kemudian, tak menanggapi cerita Dea soal kegiatan siangnya. Panjang
cerita kalau membahas D-three dan kesibukan mereka yang herannya tak pernah ada
habisnya.
Dea membuka mata lalu
mengangkat wajahnya menatap Teo. "Belum," jawabnya singkat.
"Makan ke luar,
yuk," ajak Teo.
"Sekarang?" tanya
Dea polos.
Teo mendesah pelan."Besok."
Dea mengerucutkan bibir
seraya menegakkan tubuhnya hingga tangan Teo yang sejak tadi bersandar di
bahunya terlepas.
"Mau nggak?" Teo
menatap pacarnya yang masih cemberut.
"Bentar, aku ganti
baju," jawab Dea yang kemudian beranjak menuju kamarnya.
Teo menghela napas
begitu Dea tak lagi terlihat. Jujur, sebenarnya saat ini pikirannya sedang
kacau. Karena Dea? Tidak sepenuhnya tapi sebagian besar iya. Kedua orang tuanya
sudah mendesak untuk segera melamar Dea tapi gadis itu ... Teo menghela napas
lagi.
Dea dan pemikiran
konyolnya. Pacarnya itu bersikeras menikah di usia dua puluh lima padahal saat
ini usianya baru dua puluh tiga dan artinya? Teo harus menunggu dua tahun lagi?
Teo tidak yakin dirinya sesabar itu.
Sebenarnya,Teo tahu
alasan Dea menunggu umur adalah kebohongan untuk mengulur waktu. Meski begitu dia
tidak mau menyakiti perasaan pacarnya dengan mengatakan semuanya secara
gamblang. Rina, mama Dea, sudah menceritakan semua masa lalu putrinya sejak Teo
berkomitmen untuk serius menjalin hubungan lima tahun yang lalu. Masalah yang
juga menjadi alasan sabarnya Teo menghadapi tingkah Dea yang terkadang
kekanakan. Tapi sekarang, Teo merasa lima tahun sudah cukup. Dia juga ingin
sebuah kepastian dalam hubungannya, mengingat usianya yang sudah memasuki kepala
tiga.
Perenungan Teo terputus
saat melihat sang pacar menuruni tangga. Gadis berwajah manis itu mengenakan
kemeja lengan pendek warna ungu di padukan dengan skinny jeans hitam selutut. Rambut panjangnya yang lebat di ikat
ekor kuda, membuat tampilannya terlihat segar.
Selain desakan kedua
orang tua, ini adalah alasan Teo ingin cepat menikah. Sampai kapan dia harus
menahan diri melihat Dea yang selalu tampak menggiurkan di matanya itu? Hei,
dia adalah pria normal dan bertahun-tahun menjalin hubungan penuh hormat juga
sopan santun menurutnya sudah lebih dari cukup. Ya, Tuhan juga pasti maklum
kalau sesekali dia mencuri satu atau dua ciuman. Dasar laki-laki.
"Kenapa? Aku jelek
ya?" Dea menilai sendiri penampilannya karena melihat reaksi Teo yang
terpaku menatapnya.
Lagi-lagi Teo di paksa
menghela napas panjang untuk meredakan sesuatu yang bergolak di dalam dirinya.
"Nggak kok, ayo berangkat. Aku pamit tante dulu." Teo berjalan ke
ruang tengah dan tak lama kemudian keduanya sudah berada di jalanan kota Jogja.
****
Dea melirik dari balik
bulu mata lentiknya. Sudah lima belas menit dia duduk di kafe dan Teo yang
duduk di depannya hanya diam tanpa berniat mengajaknya bicara. Gadis itu
bersungut-sungut dalam hati, padahal saat di rumah tadi Teo sempat
memanjakannya.
"Te~,"
panggil Dea dan Teo yang tengah menikmati makan malamnya langsung menatap sang
kekasih.
"Hhmm?" gumam
Teo karena mulutnya penuh.
"Kok aku di diemin?"
Dea meletakkan sendoknya dengan bibir cemberut.
Kening Teo berkerut,
sejenak meneguk teh hangatnya sebelum menjawab. "Siapa yang diemin kamu? Aku
kan lagi makan."
"Biasanya juga
ngajak ngobrol kalo makan," protes Deana.
"Udah, habisin
dulu makananmu, baru kita ngobrol," perintah Teo seraya menyuap lagi
makanannya.
Gadis itu merapatkan
bibir yang awalnya sudah terbuka saat Teo menggoyangkan telunjuknya. Mau tidak
mau, Dea meraih kembali sendoknya lalu melanjutkan makan malam dengan tenang.
Teo meneguk habis teh
hangatnya dan memanggil pelayan, memesan sebotol air mineral baru, kemudian
fokus pada sang pacar yang tampak kesal dengan sikapnya. Mereka sudah selesai
makan dan di depan Dea terhidang puding coklat dengan vla vanila yang di pesan Teo.
"Kok nggak di makan?
Biasanya kamu paling suka puding coklat," kata Teo sembari memotong puding
dengan sendok kecil dan berniat menyuapkannya pada Dea. Tangan Teo menggantung
di udara saat gadis itu justru mendorong piring puding ke arahnya sambil
mendengus.
"Udah kenyang,"
ucapnya dengan nada kesal.
Potongan puding coklat
itu beralih ke mulut Teo. Meletakkan sendok, dia bersandar pada kursi dengan
tangan terlipat di dada. "Aku mau ngomong serius, makanya kita harus makan
dulu sampe kenyang." Teo memberikan alasan.
"Mau ngomongin
apa? Masalah kemarin lagi? Aku kan udah bilang kalau-,"
"Kalau kamu takut
nikah sama aku?" tegas Teo dengan mata menatap lurus pada Dea yang kini
melebarkan matanya kesal.
Mulut gadis itu terbuka
namun tak ada kata yang keluar hingga akhirnya Dea kembali merapatkan bibirnya.
Dia kesal karena Teo tidak mengerti perasaannya. Hei, siapa yang bisa menjamin
kehidupan rumah tangga mereka berjalan lancar? Wajar kan kalau dirinya merasa
takut? Bagaimana kalau Teo nanti menyakitinya? Bagaimana nanti kalau Teo bosan
padanya? Dan lebih buruknya lagi, bagaimana kalau Teo nanti meninggal lalu …
Dea menggeleng keras. Tidak, tidak, Dea belum siap untuk di tinggalkan.
“Dea.” Teo mengurai
lipatan tangannya lalu meraih tangan pacarnya yang tengah menggenggam gelas. “Apa
kamu masih nggak percaya sama aku? Apa selama ini aku pernah nyakitin kamu?”
tanyanya dengan nada lebih lembut.
Tidak mendapat respon
apapun, Teo melanjutkan perkataannya. “Oke, munafik kalau aku bilang ke
depannya hubungan kita bakal semulus jalan tol. Padahal masih pacaran aja kita
sering berantem.” Teo memiringkan kepala demi mencari manik mata Dea yang
tersembunyi karena gadis itu terus menunduk. Meski begitu Teo yakin pacarnya
mendengarkan dengan baik semua perkataannya. Jemari Dea yang mengerat dalam
genggamannya menjadi bukti.
“Dea, liat aku,” pinta
Teo kemudian. Perbedaan usia tujuh tahun di antara mereka memang membuat Teo
harus ekstra sabar menghadapi pacarnya. “De’,” pintanya lagi.
Perlahan Dea mengangkat
wajahnya dan Teo miris melihat sepasang mata merah yang menatapnya. “Kamu masih
takut?” tanya Teo seraya mengusap punggung tangan Dea. Gadis itu menjawab dalam
satu anggukan pelan.
Teo sempat menahan
napas. Apa yang harus di lakukannya sekarang? Dea masih takut menjalin komitmen
dengannya. Haruskah dirinya mengutuki orang yang menjadi penyebab pacarnya
menjadi serapuh ini? Ho, tidak, tidak, Teo tidak mau mengutuki calon ayah
mertuanya sendiri. Meski sebenarnya, dia justru ingin memberikan hadiah dua atau
tiga bogem mentah di wajah tampan sang camer.
Melepaskan tangan Dea,
Teo berpindah tempat duduk di sebelah pacarnya. Dengan lembut dia merengkuh
bahu mungil itu, tidak peduli dengan tatapan semua orang yang dia yakin pasti
tersorot padanya. Teo sedikit menundukkan kepala lalu berbisik lembut di
telingan sang pacar. “Aku sayang kamu. Kamu percaya itu kan?”
Tenggorokan Dea terasa
pahit, sulit untuk bicara saat kegalauan hatimu mencapai tingkat tertinggi. “A-aku
tahu kamu sayang aku,” lirih Dea kemudian, nyaris berbisik. Tapi dengan jarak
sedekat itu, Teo masih bisa mendengar suara paraunya dengan jelas. Jujur, Teo
benci membuat pacarnya menangis tapi dia juga tidak bisa mundur dari masalah
ini.
“Tapi aku takut, ”
lirih Deana lagi. Kini tangan gadis itu mencengkram lengan kemeja pacarnya. “Aku
takut kalau kita nikah kamu bosen sama aku. Kamu nanti ting-,”
“Sshh.” Teo memotong
perkataan Dea lalu mengusap kepala gadis itu untuk menenangkannya. Dia sudah
mendengar ketakutan itu berkali-kali dan setahun belakangan Teo memang jarang
mengungkitnya sampai keinginannya untuk menikah sudah tak terbendung lagi. Sekarang,
melihat kerapuhan Dea, membuatnya berada di titik dilematis tingkat kronis.
“Kamu masih mau makan pudingnya?”
Akhirnya Teo berhenti untuk memaksa. Dia harus memberi waktu untuk Dea berpikir
lagi. Dia pun merenggangkan pelukannya demi melihat gelengan kepala sang pacar
sebagai jawaban.
Teo memaksakan diri untuk
tersenyum, ibu jarinya menyeka sudut mata Dea yang basah. Gadisnya itu pasti
mati-matian menahan diri untuk tidak menangis. Hei, mereka tidak lupa kalau
sekarang masih berada di kafe.
“Pulang yuk,” ajak Teo
dan lagi-lagi hanya anggukan tanpa kata yang di terimanya. Menghela napas
perlahan. Dia memang masih harus bersabar.
****
Jika tadi kantuk bergelayut di kelopak
mata, kini justru sebaliknya. Mata Dea masih terang benderang meski jam beker
di kamarnya sudah menunjukkan angka satu dini hari. Salahkan saja Teo dan
materi pernikahannya yang membuat saraf-saraf di kepala Dea aktif bekerja. Jari
mungil itu memijat pelipis. Pusing.
“Oh,
Tuhan.” Dea mengerang frustasi seraya mengusap wajahnya kasar. Kata pernikahan
itu kembali melintas dan membuat kepalanya semakin berdenyut ria.
Demi
apa Dea harus mengalami masalah sepelik ini? Padahal baru tahun lalu dirinya
lulus dari bangku jurusan sastra dan saat ini masih menikmati masa-masa indah
sebagai pekerja newbie, staf redaksi
di perusahaan penerbit idamannya.
Dea
mencintai Teo, sangat. Tapi untuk menikah? Dea kembali menggeleng, menutup mata
dan berusaha mengusir bayangan buruk di dalam kepalanya.
Kamu
itu anak pembawa sial!
Kata makian itu
bergaung di dalam kepalanya. Tubuh Dea bergetar dan dadanya terasa sesak. Gadis
itu menangis dalam diam.
****
Pak Dokter, Ayo Nikah!
Minggu pagi yang cerah
membuat Via semangat untuk menjemur pakaian di halaman rumah kontrakannya.
Membawa ember yang hanya berisi tiga kemeja, Via tersenyum begitu berdiri di
teras pada waktu yang tepat.
"Wah, calon istri
idaman," celetuk seorang pria yang menahan tawa melihat Via membawa ember
kecil di pinggang. Dia yang awalnya sengaja jogging
untuk mencari alasan keluar rumah ternyata memiliki modus yang sama dengan
gadis pujaan hatinya.
Via menjulurkan lidah
untuk menanggapi candaan pria itu. "Pak Dokter sendiri rajin amat
pagi-pagi udah olah raga. Keliling komplek buat sidak cewek-cewek cantik
ya?" balasnya seraya memakai sandal japit dan berjalan ke halaman. Pria
yang dipanggil Pak Dokter itu terkekeh lalu berdiri di samping jemuran milik
Via.
"Tahu aja, Mbak. Sayangnya
cewek yang aku incer kelewat jual mahal. Gayanya sih nggak mau, padahal
rindu."
"Gombal kamu,
Al," dengus Via lirih saat pria itu kembali tertawa. Dia memang tidak
pernah menang kalau adu mulut dengan Al. Aldian, duda keren yang berprofesi sebagai
dokter dengan label pacar yang tinggal di seberang rumahnya. Abaikan status
duda yang di sandang oleh Al. Via sudah sangat terpesona pada Koko Dokter satu itu. Nilai plusnya
adalah mereka sama-sama berdarah Tionghoa.
"Tumben Sheren
nggak ngikutin kamu," kata Via sambil pura-pura sibuk menjemur kemejanya.
Gerakannya di buat slow motion agar
memiliki waktu lebih lama untuk mengobrol.
Sekali lagi Al menahan
tawa melihat tingkah ajaib pacarnya. "Sheren masih tidur. Semalam lembur nonton
Finding Dori," jawab Al.
Via melirik pria yang
tampak seksi dengan balutan kaos polo ketat dan celana pendek itu. Kulit
putihnya sedikit memerah karena terkena sinar matahari pagi, sementara rambut
hitamnya tampak sedikit basah oleh keringat. Mata Via benar-benar mendapat
asupan gizi bernilai tinggi.
"Kenapa?" Al
menautkan alis, menilai lirikan Via padanya.
"Kamu sengaja kan
biarin Sheren nonton sampai malam? Biar kamu bisa keluar rumah pagi-pagi,"
tuduh Via.
"Halah, yang
pagi-pagi bangun terus gaya nyuci baju juga cuma modus. Itu baju pasti cuma di
celupin ke air. Kamu kan langganan loundry
bulanan yang ada di ujung gang," balas Al yang sukses membuatnya mendapat
hadiah cubitan manis di lengan. "Sakit, Via," ringisnya seraya
mengusap lengan.
Via pura-pura tidak
peduli dan kembali menjemur kemeja ke duanya. Dalam hati gadis itu tergelak
karena tebakan Al memang benar. Tiga kemeja itu hanya di siram air agar basah. Modus
oh modus, ternyata mereka berdua memang cocok sebagai pasangan.
"Vi," panggil
Al dengan gaya genitnya yang khas. Entah menguap kemana kharisma dokter muda
keren itu. Al pasti berubah menjadi jahil dan genit kalau dekat dengan Via.
"Hhmm?" gumam
Via sekenanya. Dua orang tetangga lewat dan menyapa keduanya dengan ramah yang
langsung mereka jawab dengan sama ramahnya.
Al kembali fokus pada
Via yang pura-pura cuek. Dia tahu
kalau gadis itu tidak suka dengan bisik-bisik dua tetangga yang lewat tadi. Hei,
itu memang resiko menjalin hubungan dengan duda keren, dokter pula. Al tak pernah
basi menjadi bahan gosip ibu-ibu komplek Blok O.
Itulah kenapa Al dan
Via selalu butuh modus untuk mengobrol berdua di luar rumah. Terlalu riskan
untuk Al berkunjung ke kontrakan Via. Sedangkan untuk Via datang ke rumahnya,
itu berarti perang dengan Sheren, putri semata wayang Al yang berusia tujuh
tahun.
Gadis kecil itu masih
terlalu egois untuk berbagi kasih ayahnya. Tidak heran mengingat hanya Al yang
dia miliki sebagai orang tua. Istri Al sudah meninggal saat melahirkan Sheren. Al
sendiri selama ini selalu memanjakan putri semata wayangnya. Tak berniat untuk
menikah lagi, awalnya, karena niat itu berubah ketika Via pindah ke kontrakan
di seberang rumahnya, satu tahun yang lalu.
"Hari ini keluar
yuk," kata Al pelan.
"Maunya sih gitu
tapi Sheren gimana? Ini hari minggu lho. Aku sih nggak keberatan pergi bertiga
tapi Sheren-nya mau nggak?" jawab Via dengan suara sama pelannya sambil
merapikan kerah kemeja di jemuran.
"Kalau Sheren mau,
kamu mau?" tanya Al memastikan.
Via mengangguk. "Siapa
tahu kalau kami lebih akrab dia cepet keluarin ijin buat kamu nikah lagi."
Al tampak terkejut tapi
kemudian tergelak. "Udah nggak sabar nih ceritanya?" godanya jahil.
"Wajarlah, Al.
Umurku udah berapa? Orang tuaku di Surabaya juga udah nanyain terus. Aku udah
kerja, udah cukup umur, mau alasan apalagi coba?" Via berkata panjang
lebar namun matanya sama sekali tidak memandang pacarnya yang sekarang tampak
kebingungan.
Al meraih lengan Via
dan memaksa gadis itu menatapnya. "Kamu serius,Via?" Dia sama sekali
tidak menyangka pacarnya yang suka bercanda itu membicarakan hal seserius ini
di halaman rumah sambil menjemur pakaian. Al pikir Via bercanda seperti
biasanya.
Gadis itu menghela
napas panjang. "Bercanda, udah lupain," katanya sambil melepaskan
tangan Al dari lengannya. Dia membungkuk lalu mengambil kemeja terakhirnya. Kali
ini dia menjemur kemeja itu dengan cepat. Berbalik sambil membawa ember
kosongnya, Via melambaikan tangan sebagai isyarat agar duda keren itu segera
pulang.
Al menatap pintu yang
tertutup dengan hati resah. Menurutnya ini adalah kode keras dari Via untuk
kejelasan hubungan mereka. Menghela napas panjang, Al lalu berbalik pulang dan
meringis lebar begitu melihat Sheren berdiri di depan pintu rumah -masih dengan
baju tidurnya- sambil berkacak pinggang.
****
Via merutuki mulutnya
yang tanpa filter. Dia sendiri tak habis pikir mengatakan hal sepenting itu di
halaman rumah. Awalnya Via hanya ingin mengobrol santai dan mengajak Al pergi
makan malam untuk membicarakan masalah itu. Sayangnya Al justru lebih dulu
menawarinya jalan-jalan dan berniat membawa Sheren. Memikirkan penolakan gadis
kecil itu membuatnya tidak bisa berpikir jernih.
"Idiot,"
makinya pada diri sendiri. Menghela napas panjang, Via merebahkan tubuhnya ke
atas tempat tidur. Menutup mata dengan lengan, mulut Via tak berhenti menggumamkan
gerutuan atas kebodohannya.
Dia tahu Al pasti
mengerti perasaannya tapi dia jadi malu pada pacarnya itu karena terkesan
memaksa. Sejak mendengar curhatan Dea tentang Teo yang semangat empat lima
untuk menikah, hati Via merasa sedih. Munafik juga kalau dia bilang tidak iri
dengan sahabat mungilnya itu. Dea dan Teo selalu bebas untuk mengumbar hubungan
mereka dan Teo selalu siap menikahi Dea kapanpun gadis itu siap.
Sedangkan dirinya? Via
tersenyum kecut. Pandangan ibu-ibu komplek sedikit miring padanya karena
terlihat terlalu akrab dengan Al. Belum lagi sikap Sheren yang jelas
melawannya. Dan masalah lain yang tak kalah penting adalah dia tidak berani
mengatakan status Al pada kedua orang tuanya. Selama ini mereka hanya tahu Via
memiliki kekasih seorang dokter di Yogyakarta. Siapa dan bagaimana orangnya,
dia selalu berkelit saat orang tuanya bertanya.
Via masih waras untuk
sadar tipe ideal menantu yang di harapkan oleh keluarganya. Belum lagi dirinya
adalah anak perempuan satu-satunya. Siapa yang bisa menjamin kalau orang tua
dan kedua kakak lelakinya bisa menerima Al yang notabene berstatus sebagai duda
beranak satu. Gelar dokter yang di sandang Al takkan banyak berpengaruh pada
keluarganya.
Gadis itu menghela
napas panjang. Perhatiannya teralihkan saat mendengar denting keras dari handphone di atas meja. Dengan malas Via
meraih handphone-nya dan membaca
sebuah pesan Whatsapp.
Serius. Aku pikir kita perlu bicara
banyak. Jadi keluar?
Lagi-lagi Via menghela
napas panjang. Dengan cepat jarinya mengetik balasan.
Sama Sheren? Mau kemana?
Hanya sepuluh detik Via
menunggu, Al langsung membalas pesannya.
Taman pintar?Atau bonbin Gembira Loka?
Via termangu membaca
pesan itu. Otak imajinernya langsung membayangkan hal nyleneh di mana dia membicarakan masalah pernikahan di depan
kandang monyet. Hal itu menggelitiknya hingga bibirnya tersenyum geli.
Bukannya Sheren pernah minta naik gajah
ya? Kita ke bonbin aja.
Sippp, aku jemput jam 10
Ga usah. Aku ke rumah jam 10
Oke
Gadis itu segera
beranjak dari tempat tidur dan meraih handuk sebelum berlalu ke kamar mandi. Sepertinya
hari ini tidak semenyenangkan bayangannya tadi pagi.
****
Muka kesal dan bibir
cemberut adalah sambutan pertama yang di terima Via ketika masuk ke ruang tamu
rumah Al. Gadis itu tidak terkejut dan berusaha untuk mengerti. Senyum manis tersungging
di bibir cherry-nya.
"Pagi Sheren,
cantik banget hari ini," puji Via seraya duduk di sebelah gadis kecil yang
kini memeluk bantal sofa dan menarik-narik hiasan ujungnya dengan kesal.
"Kok malah makin cemberut, nanti ilang lho cantiknya," lanjut Via karena gadis itu tak juga merespon pujiannya.
"Kok malah makin cemberut, nanti ilang lho cantiknya," lanjut Via karena gadis itu tak juga merespon pujiannya.
"Biarin Sheren
nggak cantik," jawabnya dengan nada kesal.
Via meringis dalam
hati. Sebenarnya dia heran, kenapa Sheren susah sekali membuka hati untuknya.
Padahal selama setahun menjalin hubungan dengan Al, Via sudah mencoba seribu
satu cara untuk mendekatinya.
Sejenak gadis itu
terdiam, memikirkan perkataan apa yang harus di ucapkannya. "Katanya
Sheren mau naik gajah ya?" tanya Via kemudian ketika ingat cerita pacarnya
soal keinginan Sheren seminggu yang lalu.
"Iya, tapi Sheren
cuma mau pergi sama Papa," tegas bocah kecil itu.
Via mengusap tengkuknya
dengan ekspresi canggung. Itu adalah kode keras dari Sheren yang melarangnya
ikut.
"Oh ya, Papa
mana?" tanya Via yang mencoba mengalihkan perhatian Sheren.
"Lagi ganti
baju," jawab Sheren. Gadis itu mengangkat wajah lalu menyipitkan mata
menatap Via. "Ngapain sih tante Via ke sini? Mau cari Papa? Aku sama Papa
mau pergi lho."
Belum sempat Via
memikirkan jawaban pertanyaan Sheren, sebuah panggilan mengalihkan
perhatiannya. Al keluar lalu menegur putri semata wayangnya. Kebetulan dia
mendengar kalimat terakhir Sheren yang jelas berusaha mengusir pacarnya.
Padahal Al sudah mengatakan pada gadis kecil itu kalau Via akan ikut mereka.
"Nggak boleh
ngomong begitu, minta maaf sama Tante Via," kata Al yang duduk di sebelah
putrinya. Sheren semakin cemberut. Al menggeleng melihat tingkah anaknya. Via
sendiri tidak tahu harus komentar apa. "Nggak jadi naik gajah nih kalau nggak
mau minta maaf," ancam Al.
"Al-."
"Sstt, Sheren
harus tahu menghormati orang lain," potong Al ketika Via terlihat ingin
membela.
"Papa jahat, Papa
selalu belain Tante Via. Papa nggak sayang Sheren kalau ada Tante Via,"
racau gadis berusia tujuh tahun itu seraya menahan tangis. Tangannya semakin
kuat menarik-narik ujung bantal sofa, melampiaskan kekesalannya.
Ini bukan yang pertama
Via mendengar perkataan Sheren tapi tetap saja hatinya merasa sakit. Al
menghela napas untuk meredakan kekesalannya. Terkadang menghadapi Sheren memang
menguras banyak tenaga. Dia sempat menyesal karena terlalu memanjakan putrinya.
Dengan lembut Al meraih tubuh Sheren dan memindahkannya ke atas pangkuan.
"Siapa bilang Papa
nggak sayang Sheren?" tanya Al seraya mendekap tubuh putrinya.
"Papa marahin
Sheren terus kalau ada Tante Via," jawab gadis itu seraya melirik sadis
pada sosok calon mamanya yang hanya bisa terpaku melihat drama keluarga pagi
hari.
Korban
sinetron nih anak, dengus Via dalam hati. Demi apa Via
selalu mengomel saat tahu Sheren selalu di ajak menonton sinetron tidak jelas
oleh pembantunya. Acara itu jelas berpengaruh buruk pada pola pikir Sheren yang
polos.
Setahu Via, dari
sinetron itulah Sheren memiliki ketakutan untuk memiliki ibu tiri. Via jadi
menggerutu dalam hati. Andai dia jadi menikah dengan Al, hal pertama yang akan
di lakukannya adalah mengganti pembantu rumah tangga dan merekrut pembatu baru
yang memiliki slogan sama dengannya, anti sinetron. Masih lebih baik menonton
kartun cloud bread yang mendayu-dayu
itu daripada sinetron tidak jelas yang merusak kejiwaan.
"Papa nggak
marahin Sheren kok."
Perkataan Al membuat Via
kembali fokus pada interaksi ayah dan anak yang sedang merajuk itu.
"Papa cuma mau
Sheren jadi anak yang baik. Tante Via itu teman Papa, jadi kamu harus sopan. Nggak
boleh ngomong kayak tadi," lanjut Al seraya mengusap kepala putrinya.
Hati Via terasa di
cubit saat mendengar kata teman terlontar dari bibir pacarnya. Ah, dia harus
sabar. Memang jawaban apa yang di harapkan untuk menenangkan gadis tujuh tahun
yang takut ayahnya di ambil oleh ibu tiri.
"Sheren ngerti
maksud Papa?" tanya Al saat putrinya hanya diam saja. Sheren mengangguk
pelan membuat sang ayah tersenyum. "Kalau gitu minta maaf sama Tante
Via."
Sheren melirik Via yang
tersenyum padanya, terlihat enggan saat mengulurkan tangan. Via pun segera
menyambut uluran tangan Sheren dan merasa sedikit lega ketika gadis itu mencium
tangannya sambil menggumamkan kata maaf. Kemajuan. Biasanya gadis itu akan
berlari masuk ke kamar kalau disuruh minta maaf. Ternyata ancaman batal naik
gajah ampuh juga. Via terkikik dalam hati.
"Nah, begitu baru
anak Papa hebat." Al mencium pipi Sheren hingga gadis itu mengurai senyum
manisnya.
"Ayo Pa, naik
gajah," kata Sheren kemudian dengan ekspresi riang, seolah drama yang baru
saja terjadi hanyalah angin lalu. Dasar anak-anak. Al tersenyum lebar lalu
berdiri menggendong putrinya dan menarik tangan Via keluar rumah.
****
Mantan, oh, Mantan
"Mbak Dayana, di panggil
Bu Sinta."
Seorang staf kantor
memanggil Aya yang sedang berjalan di koridor gedung sekretariat fakultas
Ekonomi, Universitas Islam Indonesia.
"Ya Mbak Sari,
makasih," jawab Aya yang kemudian melanjutkan langkahnya ke ruangan staf
administrasi.
Tak lama Aya menemui Bu
Sinta yang adalah kepala bagian kemahasiswaan dan keluar dari ruangan dengan
membawa amplop coklat berisi banyak formulir. Menjelang tahun ajaran baru
memang masa-masa yang sibuk untuk staf administrasi sepertinya. Baru saja Aya
sampai di depan pintu ruang kerjanya, sebuah panggilan kembali membuat
langkahnya berhenti. Helaan napas lirih lolos dari bibir Aya begitu melihat
sosok pria yang kini berjalan ke arahnya. Pria yang sebulan belakangan ini
gencar menyapanya di mana pun.
"Belum pulang?"
tanya pria itu.
"Saya masih di
sini ya berarti belum pulanglah, Pak Tama," jawab Aya sepelan mungkin
karena tidak mau orang lain mendengar percakapan mereka.
Pria yang di panggil
Pak Tama itu terkekeh. "Basa-basi sedikit kan nggak apa-apa. Kerjaanmu
belum selesai?"
"Sudah kok, Pak.
Bapak ada perlu apa? Ngajar semester pendek atau ada perlu sama bagian
administrasi?" Aya balik bertanya.
"Ngajar semester
pendek tapi udah selesai. Pulang bareng yuk." Tama tersenyum dengan
tatapan penuh harap.
Kening Aya berkerut. Sengingatnya
ini sudah yang ketiga kali dalam dua minggu Tama mengajaknya pulang bersama. "Maaf
Pak, saya pulang sendiri aja." Dan tidak mempedulikan tanggapan Tama, Aya
segera masuk ke ruangannya.
Pintu yang tertutup di
depan mata membuat dosen yang memang akrab di panggil Pak Tama itu menghela
napas panjang. Entah sudah berapa kali dia di tolak mentah-mentah oleh gadis
itu. Nabila Dayana Putri, gadis yang sudah berhasil merebut hatinya.
Perasaan yang konyol,
cibir Tama pada diri sendiri ketika dia menyadari perasaannya pada Aya. Bagaimana
tidak? Parendra Wahyu Hutama, dosen muda Fakultas Ekonomi yang terkenal dengan
label bujang keren jatuh cinta pada staf baru bagian administrasi yang usianya
terpaut sembilan tahun di bawahnya. Parahnya lagi gadis berusia dua puluh empat
tahun itu adalah mantan kekasih keponakannya sendiri, Shin. Sungguh dilematis. Miris.
Tama bahkan tak pernah membayangkan
dirinya bisa terjebak dalam perasaan yang membingungkan bernama cinta. Dengan
berat hati, dosen dengan wajah tampan dan kulit eksotis itu meninggalkan gedung
sekretariat dan mencoba peruntungannya untuk mendekati Aya lain kali. Namun,
langkah kaki Tama berhenti saat melihat sosok keponakannya duduk di kursi
taman, di depan gedung sekretariat.
Rasa penasaran
membuatnya melangkah mendekati Shin. Dalam hati dia menggerutu panjang kalau saja
alasan kedatangan Shin adalah untuk menjemput Aya. Setahunya hubungan mereka
sudah berakhir satu bulan yang lalu. Tama tidak akan pernah rela kalau mereka
rujuk. Astaga, dia sudah sabar memendam perasaannya selama satu tahun dan
sekarang sedang susah payah mendekati Aya.
"Ngapain di sini,
Shin?"
Pertanyaan itu membuat
pemuda yang tadinya tengah asik bermain handphone
mengangkat kepala. Kedua alis Shin langsung bertaut heran melihat sosok
pamannya.
"Jemput Aya,
Om," jawab Shin santai.
Tama mengumpat dalam
hati. "Tumben," komentarnya.
"Ada perlu aja."
Shin mengunci handphone lalu
memasukkannya ke dalam tas punggung yang di bawanya.
Tama baru saja membuka
mulut untuk kembali berkomentar tapi Shin justru menyerukan sebuah nama yang
membuat mulutnya kembali terkatup rapat. Menoleh, dia melihat Aya berdiri di
teras gedung sekretariat dengan wajah masam. Ah, bolehkah dia bersorak?
“Aku duluan ya, Om.” Shin
tidak menunggu jawaban Tama dan langsung berlari mendekati Aya yang sepertinya
tidak berniat menemuinya.
Dosen tampan itu hampir
tergelak melihat Shin mengejar Aya hingga berhasil mencekal lengannya dan
membuat gadis itu berhenti melangkah. Untuk sesaat Tama yakin Aya menatapnya
sebelum melotot pada mantan pacarnya. Pria itu menggeleng geli melihat drama di
depannya sebelum memutuskan untuk berbalik pergi. Tidak ada gunanya melihat
pasangan muda yang membuat hatinya panas. Tama membutuhkan segelas es teh untuk
meredam kegalauannya. Ah, ide bagus untuk mampir ke kantin sebelum pulang,
pikirnya.
****
"Aku mau ngomong
sama kamu." Perkataan Shin di pertegas dengan raut wajah seriusnya. Kedua
matanya menatap lurus sang mantan yang jelas tampak tidak suka dengan
kemunculannya yang tiba-tiba.
"Apalagi sih? Perasaan
udah nggak ada lagi yang perlu di omongin," ketus Aya seraya menepis
tangan Shin yang mencengkram lengannya.
"Jangan gitu Aya,
aku nggak mau semuanya jadi nggak baik kayak gini," bujuk Shin. Kakinya
mulai bergerak untuk menyamai langkah kaki Aya yang ingin meninggalkannya.
Gadis itu mendengus
lirih. Setelah apa yang di lakukan Shin padanya? Ucapan sang mantan serasa
hanya omong kosong di telinga Aya. Oke, Shin adalah pria idamannya. Pemuda
berwajah kalem, berkulit putih dengan gaya santun. Tapi setelah dua tahun
menjalin hubungan dan di campakkan begitu saja, membuat Aya ingin segera
menghapus nama pemuda itu dari hatinya.
"Aya." Shin
masih belum menyerah untuk membujuk Aya agar mendengarkannya. "Maafin aku,
please."
Langkah kaki Aya yang
tiba-tiba berhenti, membuncahkan harapan Shin. Tapi ternyata gadis itu menoleh
hanya untuk menatapnya garang dan mengatakan penolakan atas permohonannya. Melihat
wajah kesal Aya membuat Shin mundur satu langkah. Pemaksaan tidak akan
menghasilkan apa pun. Dua tahun berpacaran membuat Shin hapal bagaimana tabiat
mantan kekasihnya itu. Aya itu ibarat coklat panas. Manis, tapi jangan
coba-coba menikmatinya sebelum dingin atau lidahmu akan terbakar. Kira-kira
begitulah jika di analogikan.
"Maafin aku ya.
Hubungan kita selama dua tahun terlalu sayang kalau di akhiri dengan cara
seperti ini." Shin melembutkan nada suaranya dan berharap kekesalan Aya
berkurang.
Mendengar perkataan
Shin membuat Aya berpikir. Jujur, dia malas berurusan lagi dengan mantan pacar
yang sudah menorehkan luka dalam di hatinya, tapi perkataan Shin memang ada
benarnya. Hubungan baik yang pernah terjalin selama dua tahun itu tidak layak
jika di akhiri dengan pertengkaran. Menghela napas panjang, Aya mencoba meredam
emosinya.
"Oke, mau ngomong
di mana?" kata Aya kemudian di sambut senyum lega sang mantan.
"Kafe biasa aja,"
jawab Shin cepat. "Ayo, motorku di sana." Tangannya menunjuk ke arah
tempat parkir fakultas. Aya mengekor tanpa kata.
****
Kafe D’Nangkring,
sepertinya kafe itu benar-benar akan menjadi tempat bersejarah bagi anggota
D-Three. Entah sudah berapa banyak hal yang terjadi di kafe itu. Di sana
D-Three pertama kali menghabiskan waktu pada perkenalan pertama mereka. Di
tempat itu juga, Aya bertemu dengan Shinatria Rahabistara atau yang lebih akrab
di panggil Shin oleh sahabatnya sendiri, Dea.
Ya, Shin adalah teman
sekolah Dea sejak SMA. Melanjutkan di Universitas dan jurusan yang sama,
membuat Shin akrab dengan gadis manja itu. Aya dan Shin di kenalkan oleh Dea
dan siapa sangka pertemuan itu berujung romansa yang berakhir pahit. Ah, tidak
sepatutnya menyesali yang sudah terjadi. Aya sadar itu.
"Mau makan
apa?" pertanyaan Shin membuat Aya kembali fokus pada lembaran menu yang
sejak tadi di tatapnya dengan pandangan kosong. Pelayan kafe sudah stand-by di sebelahnya dengan pena dan note kecil.
"Mbak, aku pesen
ayam cabe ijo satu, lele penyet satu, kentang goreng, sama cap cay satu,"
kata Aya tanpa jeda yang membuat kening Shin berkerut dalam. Namun belum sempat
Shin berkomentar Aya kembali bicara. "Itu semua di bungkus ya, Mbak. Yang
makan disini, hhmm-." Dayana kembali menatap menu dan menahan tawa melihat
ekspresi wajah mantan pacarnya. "Roti bakar selai strawberry sama es teh.
Udah itu aja, makasih," ucapnya dengan senyum lebar seraya mengembalikan
menu.
Pelayan itu mengulang
membacakan pesananan sebelum pergi meninggalkan mereka. Shin bersyukur dia
sempat mampir ke ATM sebelum menjemput Aya di tempat kerjanya. Siapa yang bisa
menduga kalau mantan pacarnya itu akan mengerjainya.
"Nggak masalah kan
kalo aku bungkusin buat anak-anak kos?" tanya Aya tanpa dosa.
"Nggak apa-apa,
pesen lagi juga boleh," jawab Shin dengan senyum tipis dan Aya justru
mendengus.
"Aku tahu kamu
masih marah," kata Shin kemudian.
"Nggak usah
basa-basi deh, Shin. Bilang aja, kamu mau ngomong apa?" tegas Aya.
"Iya, iya."
Shin akhirnya mengalah. "Aku cuma mau kita berteman baik. Aku nggak mau
kita berantem.”
"Jujur deh Shin,
sebenernya kamu punya otak nggak sih? Bulan lalu kamu putusin aku tanpa alasan
jelas, terus sekarang dateng dan minta kita punya hubungan baik kayak temen.
Helooowww, kamu nggak mikir ya gimana perasaanku?" Rasanya Aya ingin
menggebrak meja. Ah, sabar bukanlah salah satu kelebihan si Jutex.
Shin terdiam. Otaknya
berputar untuk memikirkan alasan tepat yang bisa dia utarakan tapi sayangnya
tidak satupun yang ingin di katakannya terlihat masuk akal. Shin yakin Aya
tidak akan menerima apapun yang di katakannya kecuali dia menyatakan alasan
sebenarnya. hanya saja ... oke, Shin sepakat dirinya pengecut karena lebih
memillih untuk berbohong.
"Kenapa? Nggak
tahu mau ngarang alesan model apa?" sindir Aya.
"Bukan gitu, aku
cuma nggak tahu mesti ngomong apa kalau kamu masih meledak-ledak gitu,"
kilah Shin.
"Mulut manis kamu,
Shin. Aku tahu bener kamu anak sastra yang pinter muter-muterin kalimat,
merayu-rayu. Aku sempet ketipu, dua tahun-." Aya menghela napas sesaat. "-tapi
sekarang nggak bakal," tegasnya dengan tatapan mata tajam. Sepertinya hati
Aya masih begitu sakit dengan deklarasi putus tanpa sebab dari mantan pacarnya.
"Aku pasti jelasin
tapi nggak sekarang. Suatu saat nanti, aku janji." Shin justru tersenyum
tapi di mata Aya itu bukan senyum melainkan ekspresi sakit yang tertahan.
"Kenapa?" Aya
melunakkan nada suaranya.
"Karena aku nggak
mau bikin semuanya berantakan," jawab Shin.
Kening Aya berkerut
dalam, jelas tidak mengerti dengan apa yang di maksud mantan pacarnya itu. Shin
memang juara membuatnya pusing. Selalu penuh teka-teki.
"Udahlah Shin, aku
bisa gila kalo dengerin omonganmu yang nggak jelas. Nggak usah lanjutin
daripada mules perutku dengernya." Aya mengalihkan perhatiannya saat
pelayan mengantarkan pesanan mereka.
Shin sendiri memilih
untuk menuruti perkataan mantan pacarnya. Mungkin memang itu lebih baik
daripada dia harus mengarang cerita dan membuat Aya semakin kesal. Biarkan dia
memulai dari awal lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Aya. Setidaknya
gadis itu masih mau bicara dengannya meski ketus dan Shin memahaminya.
"Makan, jangan
ngomong apa-apa lagi," kata Aya yang memutus perenungan Shin.
"Oke, oke."
Shin tersenyum melihat Aya menikmati roti bakarnya. Ah, gadis itu memang
cantik, sayangnya Shin selalu merasa bersalah karena selama ini tidak bisa
tulus mengasihinya dan terakhir justru memilih untuk meninggalkannya.
"Maafin aku ya,
Aya," ucapnya tulus.
Aya sempat membeku
beberapa saat tapi kemudian melanjutkan makannya tanpa menanggapi perkataan
Shin. Maaf?
****

Usaha
Pak Dosen
Aya termenung di kantin
menatap layar handphone yang mati di
atas meja. Sengaja. Ya, dia sengaja mematikan handphone-nya karena malas menghadapi Shin yang sejak pagi mengiriminya
pesan Whatsapp. Pertemuan mereka
kemarin memang menghasilkan rekonsiliasi damai. Tapi tetap saja hati Aya masih
sakit saat mantan kekasihnya itu mengucapkan selamat pagi atau sekedar
basa-basi menanyakan jam makan seperti saat mereka masih menjalin hubungan
dulu.
Jujur di akuinya kalau
banyak kenangan indah di antara mereka selama dua tahun. Shin laki-laki yang
baik, sabar, romantis dan pengertian. Kadang Aya menyebutnya Raja Gombal. Maklum
saja, laki-laki lulusan sastra itu gemar menggobalinya. Meski begitu Aya
menyukainya, ah salah, Aya mencintainya. Karena itu tidak mudah baginya
menghadapi kenyataan di mana mereka bukan lagi sepasang kekasih, hanya sekedar
teman -begitu kata Shin tempo hari-.
Sampai saat ini Aya
masih tidak tahu di mana letak kesalahan dari hubungan mereka yang menyebabkan
Shin memutuskannya. Berakhir tanpa alasan jelas, hal itulah yang membuat Aya
meradang sebulan belakangan. Laki-laki itu hanya meminta maaf karena sudah
menyakitinya dan memilih untuk mengakhiri hubungan mereka.
Apa yang di maksud Shin
dengan menyakiti masih tidak di mengerti Aya. Geramnya lagi, laki-laki itu sama
sekali tidak mau menjelaskan lebih jauh. Takut merusak segalanya, begitu
katanya. Shin bilang, jika dia tetap diam, semua aman. Mereka masih bisa jadi
teman tanpa saling menyakiti. Memijat pelipisnya yang terasa tegang, Aya
menghela napas perlahan. Percuma marah. Semua sudah berakhir.
"Dayana."
Sebuah panggilan
membuat Aya berhenti memandangi layar handphone-nya.
Keningnya berkerut. "Pak Tama?"
Tama tersenyum senang
dan tanpa minta ijin dia menarik kursi di depan Aya. "Siang-siang kok
ngelamun," katanya tanpa dosa, mengabaikan kernyitan heran gadis di
depannya. Beruntung kantin cukup sepi karena memang masih liburan semester
sehingga Tama tak harus peduli pada pandangan segelintir mahasiswa yang melihatnya
duduk dengan staf administrasi.
"Saya nggak
ngelamun kok Pak," jawab Aya lalu meraih gelas es teh untuk melegakan
tenggorokannya yang kering.
"Udah makan?"
tanya Tama dengan masih mempertahankan senyumnya. Ternyata melihat Aya duduk
sendiri di kantin membuat hatinya senang.
Aya menggeleng.
"Belum Pak," tegasnya.
"Pesanlah kalau
gitu. Bapak yang traktir kamu," kata Tama penuh percaya diri.
Aya sempat terkejut
mendengarnya. Dua tahun menjalin hubungan dengan Shin tidak lantas membuatnya
dekat dengan paman dari sang mantan ini. Dan sekarang, ada angin apa dosen
dengan label bujang keren itu terus mendekatinya dan sekarang semangat empat
lima untuk mentraktirnya makan. Apa dia
mau aku rujuk sama ponakannya? Batin Aya mengingat sikap Tama yang berubah
sejak dirinya putus dengan Shin.
"Saya nggak lapar,
Pak," jawab Aya kemudian.
"Jangan gitu, ah. Mau
tahun ajaran baru begini kan kerjaan kalian banyak. Jangan sampai nggak makan
nanti sakit," kilah Tama.
Aya semakin heran
dengan perhatian sang dosen padanya. Tidak menjawab, dia meneguk lagi es tehnya
yang hanya tinggal setengah.
Tama kehabisan
kata-kata karena tidak ada respon dari Aya. Setahun mengamati gadis itu membuat
Tama sedikit banyak bisa menebak sifatnya. Aya memang tergolong dingin untuk
ukuran seorang gadis. Shin sendiri pernah bercerita kalau sekali-kali dia ingin
Aya lembut dan manja, tapi sepertinya sampai hubungan mereka berakhir,
keinginan itu tidak terwujud.
"Oh ya, kamu nggak
pernah ke rumah lagi sekarang?" tanya Tama asal karena bingung harus
berkata apa. Tapi baru saja selesai bertanya, Tama langsung menyesal. Wajah Aya
berubah masam.
"Bapak nggak tahu
atau pura-pura nggak tahu nih?" ketus Aya kemudian. Lama-lama kesal juga
menghadapi sikap Tama yang sok akrab itu.
Tama terkekeh untuk
meredakan suasana canggung di antara mereka. "Maaf, maaf, aku udah tahu
kok," jawabnya apa adanya. "Tapi sesekali main ke rumah sebagai teman
kan nggak apa-apa," lanjutnya seraya melambaikan tangan pada pelayan
kantin.
Aya masih diam saat
Tama kemudian memesan secangkir kopi hitam dan sepiring nasi goreng ayam
kampung.
"Beneran kamu
nggak mau makan?" tanyanya lagi setelah selesai dengan pesanannya.
"Nggak Pak, terima
kasih," jawab Aya.
Pelayan itu pergi
begitu Tama tidak menambah daftar pesanannya. Sekarang keduanya terdiam dengan
suasana canggung. Aya meneguk sisa es teh dalam gelasnya lalu meraih handphone dan dompetnya di meja.
"Mau kemana?"
Tama terkejut melihat Aya yang bersiap pergi.
Lagi-lagi gadis itu
menatap Tama dengan pandangan menyelidik. "Jam istirahat saya udah habis,
Pak. Mau balik ke kantor," jawabnya tenang.
Tama ingin menahan Aya
lebih lama tapi gadis itu langsung menyela dengan ucapan terima kasih dan
permisi lalu melenggang pergi meninggalkan kantin. Dalam hati dosen bujang
keren itu menggerutu panjang. Nafsu makannya langsung hilang melihat punggung
Aya menghilang di ujung jalan menuju gedung sekretariat.
****
Tama menghela napas
panjang begitu duduk di balik kemudi Avanza
hitamnya. Dia baru saja selesai mengajar kelas semester pendek dan memutuskan
segera pulang setelah Aya kembali menolak ajakannya untuk pulang bersama. Ternyata
sulit sekali mendekati staf administrasi itu.
Dia pikir statusnya
sebagai paman Shin akan mempermudah segalanya. Lagipula mereka sudah sering
bertemu saat Aya main ke rumah. Tama memang tinggal serumah dengan kakak
perempuannya, ibu Shin, karena ayah Shin meninggal saat Shin baru berumur lima
tahun. Meski waktu itu interaksi di antara mereka tak jauh-jauh dari kata
memberi salam atau berpamitan pulang tapi setidaknya perbincangan di antara
mereka tidak sealot sekarang.
Apa karena Shin
memutuskan Aya dengan alasan yang tidak jelas hingga Aya enggan untuk
berhubungan lagi dengan keluarga mantan pacarnya? Ah, dugaan itu membuat Tama
menggeram kesal.
Satu tahun lamanya Tama
memendam rasa suka pada kekasih keponakannya itu. Dan sekarang? Saat
kesempatannya terbuka lebar, Aya justru menutup diri. Apa yang harus di
lakukannya? Haruskah dirinya memberitahu Aya alasan sebenarnya Shin mengakhiri
hubungan mereka?
Ya, Tama tahu. Tahu
alasan Shin memilih untuk meninggalkan Aya. Keponakannya itu sudah lelah
membohongi nuraninya sendiri. Shin mencintai orang lain. Tama bahkan sempat
hampir memukul keponakannya itu saat Shin jujur padanya satu minggu yang lalu.
Sekali lagi menghela
napas panjang, Tama menghidupkan mesin mobilnya dan memilih meninggalkan
pelataran parkir sebelum kepalanya meledak karena memikirkan Aya. Ternyata
cinta justru membuatnya sakit kepala.
****

Benang
Kusut
Jam dinding menunjukkan
pukul setengah lima sore. Ruang redaksi penerbit Angkasa tampak tenang dengan
tiga staf editing yang terlihat serius duduk di belakang komputer.
"Ya ampun,
berantakan banget sih tulisannya!" Dea mengacak rambutnya frustasi saat pekerjaannya
tak kunjung selesai.
"Kamu teriak kayak
gitu juga kerjaanmu nggak bakal kelar," jawab Shin yang masih tampak
tenang di meja sebelah Dea.
Gadis yang terkenal
paling mungil di kantor itu hanya melirik sadis pada sahabat laki-lakinya.
Santi, Senior Editor mereka yang kebetulan sedang duduk di depan Dea
mengerutkan kening.
“Kamu kenapa, Dea?”
tanya Santi yang penasaran dengan interaksi dua anak buahnya. Dia tahu Dea dan
Shin adalah sahabat sejak SMA.
“Nggak apa-apa, Mbak
San,” jawab Dea seraya menyunggingkan senyum yang jelas terlihat terpaksa. Dia
kemudian kembali fokus pada layar komputer untuk melanjutkan pekerjaannya.
Shin yang masih saja
memperhatikan Dea membuat Santi mengalihkan pandangannya. “Kalian berdua lagi
berantem ya?” tanyanya to the point.
“Nggak,” jawab Dea dan
Shin bersamaan. Shin langsung menoleh pada Santi sementara Dea masih fokus pada
layar komputernya.
“Bohong, dari tadi
diem-dieman gitu. Biasanya juga kalian berdua paling heboh,” sanggah Santi. Shin
menggaruk pelipisnya dengan senyum canggung dan Dea sepenuhnya mengabaikan
perkataan seniornya.
Tiba-tiba Dea berdiri,
mengejutkan Santi dan Shin. “Aku ke pantry
dulu, Mbak Santi. Mau minum the.” Santi mengangguk saja dan membiarkan Dea
keluar.
“Kenapa sih tu anak?
Nggak biasanya surem begitu mukanya. Bener kan kalian berantem?” tanya Santi
dengan mata masih terpaku pada pintu yang tertutup.
“Sebenernya sih iya,
Dea lagi marah sama aku. Udah sebulan malah, tapi yang bikin makin surem bukan
aku,” jelas Shin. Tangannya kembali sibuk bergerak di atas keyboard sementara Santi semakin penasaran dengan ceritanya.
“Kenapa Dea marah sama
kamu? Bisa marah juga tu anak.” Menutup halaman word di komputer, Santi menaruh perhatian penuh pada Shin.
Penasaran.
Sambil masih mengetik,
Shin menghela napas pelan. Bulan ini memang bulan yang berat untuknya. “Aku
putus sama pacarku, Mbak,” jawab Shin enggan.
Santi kembali
mengerutkan kening. Apa hubungannya?
Batin Santi. “Lha?”
“Masalahnya mantan
pacarku ini sahabatnya Dea, mereka satu geng. Udah kayak sodara. Itulah kenapa
Dea marah sama aku,” terangnya kemudian.
Mulut Santi langsung
mengerucut membentuk huruf O. “Jadi sekarang kamu jomblo?” godanya.
Shin melirik seniornya
sekilas. “Jangan mulai deh, Mbak,” katanya yang justru di tanggapi dengan
kekehan riang dari Santi.
“Wah, anak-anak bakal
heboh nih kalo tahu kamu jomblo. Apalagi kalau Desi sama Riana tahu, mereka berdua
kan udah lama naksir kamu.” Bukannya berhenti, Santi justru makin semangat
menggoda Shin. The Power of Jahil-nya
Santi memang sudah terkenal di kantor.
“Awas ya Mbak kalo
sampe sebarin berita ini. Dea bisa ngamuk sama aku,” kata Shin memperingatkan.
Santi lagi-lagi
terkekeh. “Dea setia kawan juga ya, temennya yang putus, eh, dia yang diemin
kamu.”
“Kan udah kubilang
mereka udah kayak sodara. Dea juga yang kenalin aku ama dia, makanya Dea
ngerasa bersalah. Tapi bukan itu aja sih yang bikin Dea badmood,” lanjut Shin. Tangannya masih lancar mengetik meski
mulutnya terus bicara. Santi kembali fokus pada cerita juniornya. “Ah!” Shin
memukul keningnya sendiri begitu menyadari mulut tanpa filter miliknya.
“Kenapa?” Santi justru
bingung melihat tingkah pemuda di depannya.
Shin menggeleng. “Nggak
nyangka kok mulutku sebocor ini. Efek kelamaan di diemin Dea jadi butuh curhat
akunya.”
Santi tertawa. “Oke,
oke, stop aja ceritanya. Nanti gara-gara aku kepo malah kalian makin berantem.”
Shin mengangguk seraya
mengulas senyum tipis. Ternyata keputusannya untuk tutup mulut itu tepat.
Pasalnya setelah mereka diam, Dea kembali ke ruangan dengan wajah yang semakin
kusut.
Menghempaskan diri di
kursi kerja, Dea menghela napas panjang lalu menatap handphone yang sejak tadi di genggamnya. Santi dan Shin saling
bertukar pandang lalu kompak menatap Dea.
“Kamu ke-,”
“Mbak Santi ada tips
buat nunda pernikahan nggak?” potong Dea cepat hingga membuat Santi yang
awalnya khawatir melihat Dea kini justru ternganga di buatnya. Shin menatap
sahabatnya dengan mata menyipit.
“Apa?” tanya Santi
untuk memastikan pendengarannya tidak salah.
“Aku mau nunda
pernikahan. Mbak San, tahu caranya?” Dea menegakkan tubuhnya, menatap Santi
penuh harap dengan mata berkaca-kaca.
“Dea, kamu-,”
“Aku nggak tanya kamu,
Shin,” ketus Dea.
Shin langsung diam.
Jujur hatinya serasa di cubit mendengar perkataan Dea tapi dia mengerti kenapa
sahabat baiknya bersikap seperti itu.
Santi menghela napas
untuk meredakan keterkejutannya. Matanya menatap lurus gadis di hadapannya. “Dea,
kamu tahu kan aku belum nikah? Dan kamu tahu kan umurku berapa? Jadi semua tips
yang kubaca itu justru gimana cara cepat mendapat jodoh bukan sebaliknya,”
jawabnya menahan kesal.
Dea kembali bersandar
di kursinya dengan tidak bersemangat lalu menggumam lirih. Sayangnya gumamam
itu masih bisa didengar oleh kedua rekan kerjanya.
“Kenapa Teo terus minta
kawin sih?”
Santi dan Shin memijat
kening bersamaan. Mereka bingung, harus tertawa atau ikut berduka mendengarnya.
****
Bukan
hanya Dea yang tengah menghadapi masalah. Aya juga sudah menggerutu sepanjang
hari karena menganggap Dewa Kesialan sedang mengikutinya. Staf administrasi itu
tampak tergesa meninggalkan gedung sekretariat guna menghindari biang masalah
yang sudah membuatnya pusing sepanjang hari tadi. Tapi rencana tinggallah
rencana, karena belum sempat Aya keluar area fakultas, sebuah suara
memanggilnya. Dan suara itu adalah milik sumber kesialannya. Tama.
“Kok
pulang duluan? Aku kan udah bilang mau anter kamu,” kata Tama di tengah
napasnya yang terengah begitu berhasil mengejar gadis pujaannya.
Aya
masih berusaha menahan diri. “Maaf Pak, saya bisa pulang sendiri kok.”
Tama
menghela napas panjang. “Kamu takut sama aku?” Raut wajah Tama mengeras seiring
tatapan tajam Aya padanya.
“Takut?
Kenapa harus takut? Saya cuma sungkan, Pak. Lagian kenapa juga sih Bapak
semangat empat lima nganterin saya pulang?” ketus Aya. Rasanya percuma dia
menahan diri sejak tadi kalau yang di hadapinya adalah pria super keras kepala
bernama Hutama.
Dosen
itu terdiam, mengamati kekesalan di wajah gadis idamannya. Haruskah dia jujur
tentang perasaannya? Mereka tengah berdiri di jalan setapak belakang gedung
sekretariat dan otak Tama buntu memikirkan jawaban dari pertanyaan Aya.
“Pak?”
Aya mulai tidak sabar menghadapi sikap Pak Dosen yang bak remaja labil.
“Aku
suka kamu, Dayana,” ucap Tama dalam satu tarikan napas hingga Aya ikut menahan
napas mendengar ungkapan cinta mendadak itu.
“Bapak
apa?” tanya Aya memastikan.
Sekali
lagi Tama menghela napas perlahan seraya merutuki dirinya sendiri dalam hati.
Rasanya malu dengan usianya yang sudah kepala tiga, bahkan menghadapi gadis
seperti Aya, dirinya sampai kehilangan akal sehat. “Aku suka kamu Dayana,”
ulang Tama perlahan dengan nada gamang. Ah, rasanya seperti mau perang saja,
menegangkan.
Aya
justru terbahak mendengarnya. Tama mengernyit bingung dengan reaksi gadis ajaib
di depannya. Kenapa Aya justru tertawa? Dirinya bahkan membayangkan akan
menerima satu atau dua tamparan dari gadis itu. Oh, sinetron sekali.
“Bapak
salah minum obat ya?”
Demi
apa Tama harus menghadapi gadis model Dayana. Setengah mati dia berjuang
mengungkapkan perasaannya, tapi Aya justru menganggapnya bercanda. Salah minum
obat katanya? Hei, apa Aya tidak tahu kalau obat sakit jiwa Tama adalah dia
sendiri. Miris.
Tama
yang masih diam dengan ekspresi serius membuat Aya menghentikan tawanya. Otak
pintar gadis itu langsung mengambil kesimpulan. “Bapak nggak bercanda? Serius?”
Detak jantungnya berpacu saat kalimat tanya itu terlontar.
“Apa
mungkin aku bercanda kayak gitu?” jawab Tama dengan nada datar.
Aya
tergagap dengan ekspresi terkejut. “Ya ampun,” ucapnya seraya mengerang panjang
dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tama masih bergeming di
tempatnya.
Berhasil
mengendalikan diri, Aya kembali menatap dosen tampan di hadapannya. “Jangan
bilang ini rencana Shin buat balas dendam sama aku?” Matanya memincing tajam
saat melemparkan tuduhan itu pada Tama.
Eh? Apalagi ini? Batin Tama mengerang
frustasi. Memijat pangkal hidungnya yang mulai berdenyut, Tama menghela napas
panjang demi mengendalikan emosinya. “Bisa nggak kita cari tempat yang lebih
nyaman buat ngomong,” pintanya kemudian.
Aya
menggeleng cepat. Raut wajahnya terlihat kesal dan menahan diri untuk tidak
berteriak.
“Kita
di jalan lho. Kamu nggak nyadar daritadi kita diliatin orang?” tanya Tama
mencoba menyadarkan Aya tentang posisi mereka sekarang.
Spontan
mata Aya menganalisa sekelilingnya. Benar saja, beberapa mahasiswa yang sedang
duduk di bangku taman tampak serius mengamatinya dan Tama yang berdiri di
tengah jalan setapak. Bahkan beberapa mahasiswa yang kebetulan melintas juga
melempar tatapan penuh tanya begitu mata mereka beradu pandang dengan Aya. Masalah! Batin Aya mengerang.
“Dayana?”
Tama mencoba kembali menarik fokus gadis itu.
Dengan
cepat Aya kembali menatap sang dosen. “Perlu kita bahas ini? Kayaknya-,”
“Please Dayana, kasih aku kesempatan buat
jelasin semuanya. Setelah itu kamu boleh ambil keputusan.” Tama menatap gadis
itu penuh harap. Baginya Aya adalah hal yang harus di perjuangkan sampai titik
darah penghabisan. Pasalnya ini menyangkut kedamaian hatinya seumur hidup.
Jatuh cinta memang merepotkan.
Berpikir.
Aya memutar otak mencerna baik dan buruknya permintaan Tama. “Apa pun keputusan
saya nanti, Bapak harus terima,” ucapnya kemudian.
Sesaat
Tama tertegun. Menimang permintaan Aya. Apa iya dia bisa menerima kalau Aya
menolaknya? Dengan kata lain Tama harus siap patah hati? Tama baru sekali ini
benar-benar jatuh cinta pada seorang gadis dan belum satu jam dia menyatakan
cinta, nasibnya sudah di ujung tanduk. Dilematis.
“Gimana,
Pak?” Aya meminta persetujuan dosen erornya. Begitu Aya menyebut sosok Tama
sekarang.
Ya atau tidak sama sekali. Batin Tama
mantap. “Oke,” jawabnya dengan berat hati.
“Oke.”
Aya mengangguk setuju. “Jadi, pergi kemana kita?”
“Terserah
kamu.”
****
Tama
menghela napas begitu duduk di tikar, di trotoar jalan Kaliurang. Menyesal
mengucapkan kata terserah pada Aya. Gadis itu berniat mengerjainya dengan
memilih warung penyet pinggir jalan untuk tempat mereka bicara.
“Kenapa,
Pak?” tanya Aya pura-pura bloon
padahal dalam hati tertawa nista melihat dosen di depannya berwajah masam.
“Nggak
gini juga kali, Ya’,” celetuk Tama seraya merubah nama panggilannya untuk Aya. Gadis
itu sudah tahu perasaannya, jadi tidak ada salahnya kalau dia ingin lebih
mengakrabkan diri dan memanggilnya seperti Shin. Panggilan Dayana terkesan
terlalu formal dan memberi jarak di antara mereka.
“Tadi
Bapak bilang terserah,” kata Aya membela diri. Jelas dia tidak mau ketahuan
sengaja mengerjai Tama.
“Iya,
iya, terserah kamu.” Tama tidak mau mendebat gadis keras kepala di depannya.
Setelah
selesai memesan makanan, Tama menarik perhatian Aya untuk fokus padanya. “Aku
nggak akan minta maaf karena udah bilang suka ke kamu,” katanya membuat Aya
mengernyit bingung menatapnya.
“Saya
nggak ngarep Bapak minta maaf kok. Cuma bingung aja, Bapak kesambet setan mana
sampe sore-sore nembak saya di jalan,” jawab Aya santai. Dia tidak sedang
berada di kampus, sehingga tak harus menjaga sikap pada dosen ganteng kurang
kerjaan di depannya. Jujur, Aya kesal dengan Tama. Om ama keponakan sama saja, hobi bikin pusing anak gadis orang,
gerutunya dalam hati.
“Mulutmu,
Ya’,” tegur Tama.
“Apa?
Kan bener apa saya bilang. Lagian di luar kampus saya nggak punya kewajiban
sopan sama Bapak. Nggak ada yang liat,” ketus Aya. Nah, sifat aslinya mulai
keluar.
Tama
meringis. Benar apa kata Shin. Aya itu bak madu rasa sambel mercon. Manis
tampilannya tapi sekali ngomong, sakitnya tuh di sini. Heran juga cowok model
Shin bisa tahan dua tahun. Pasalnya Tama tahu cewek idaman Shin seperti apa.
Imut, manja, ceria, seperti -. Ah, sebaiknya tidak usah di bahas.
“Oke,
oke, karena kita di luar seperti katamu, jangan panggil Bapak lah, kesannya tua
amat-,”
“Emang,”
jawab Aya kilat bahkan memotong ucapan Tama.
“Umurku
33, Ya’. Nggak tua-tua amat.” Tama membela diri, tidak rela di katakan tua.
“Saya
24, Pak. Kita beda 9 tahun. Mau saya panggil apa kalo bukan Bapak? Om? Atau
Pakdhe?” Aya makin menjadi tapi Tama justru terbahak membayangkan dirinya di panggil
dengan sebutan Pakdhe.
“Panggil
Tama ajalah.” Tama terkikik.
Aya
diam, memilih menikmati es jeruknya yang baru saja datang. Tama juga butuh
mendinginkan kepala, es teh di depannya langsung habis setengah.
“Haus,
Pak?” sindir Aya dengan senyum miring andalannya. Gadis ini memang jago buat
orang keki.
“Gara-gara
kamu, aku jadi ngoceh terus. Kan jadi haus,” jawab Tama santai.
“Halah,
kerjaannya tiap hari juga ngoceh kok,” balas Aya tak mau kalah.
Tama
menggeleng saja menanggapi Aya yang kini kembali menikmati es jeruknya. Gadis itu
menatapnya tajam. Kontak mata mereka terputus karena pesanan ayam penyet datang.
“Makasih,
Mbak,” ucap Tama setelah gadis yang melayani mereka selesai menghidangkan
pesanan. Dengusan lirih dari Aya membuat Tama menatap gadis itu heran.
“Kenapa?”
“Nggak,”
jawab Aya sambil menggeleng. Tebar pesona,
batinnya mengatai kesal.
“Mau
makan dulu, apa mau dengerin cerita dulu?” Tama menopang dagu di atas tangannya
yang saling terkait.
“Kenapa
nggak dua-duanya sekalian? Makan sambil dengerin cerita,” jawab Aya sembari
mencuci tangannya dari teko plastik. Tama melakukan hal yang sama.
“Jadi?”
Aya membuka suara setelah suapan keduanya. Sejak tadi sang dosen justru menikmati
ayam penyetnya tanpa berniat untuk memulai cerita.
Tama
mengangkat wajah dan baru sadar kalau gadis itu menunggunya. Ternyata ayam
penyet mampu mengalihkan perhatiannya. Menghadapi Aya memang menguras tenaga
lahir batin, tidak heran kan kalau sang dosen juga kelaparan.
“Aku
jatuh cinta sama kamu sejak setahun yang lalu,” kata Tama santai memulai
cerita. Sayangnya pengakuan itu justru membuat Aya tersedak. “Nah, belum
apa-apa udah keselek duluan. Aku cerita habis makan aja ya?” tanyanya seraya meringis
melihat gadis pujaannya terbatuk-batuk. Ingin rasanya dia menepuk-nepuk
punggung Aya tapi pasti gadis itu akan mengamuk.
“Udah,
terusin aja Pak,” kata Aya setelah meneguk es jeruknya dengan brutal. Alhasil
gelasnya sekarang kosong dan Aya meminta satu gelas es jeruk tambahan.
Tama
menarik napas sejenak sebelum melanjutkan ceritanya. “Aku udah kepincut sama
kamu sejak Shin bawa kamu ke rumah. Tapi setahun lalu rasa itu beneran berubah
jadi cinta. Apalagi sejak kamu kerja di bagian administrasi dan aku jadi sering
lihat tingkah polahmu di kantor.”
“Setahun
ya?” gumam Aya lirih tak percaya. Tama yang mendengarnya hanya tersenyum.
“Aku
tahu kamu sayang sama Shin. Tapi jujur aja, waktu Shin cerita udah putus sama
kamu bulan lalu, rasanya aku pengen lari-lari di lapangan sambil sorak-sorak,”
ucapnya konyol. Aya langsung mendengus, menyuap nasi dalam kepalan besar.
“Lho,
berjuang demi cinta kan nggak ada salahnya. Seenggaknya aku masih punya harapan
karena sekarang kamu jom- eh, single.”
“Heran
saya, apa yang buat Bapak suka sama saya? Perasaan kita nggak pernah ngobrol
lama. Cuma say hai, basa basi nggak jelas,” komentar Aya kesal karena hampir di
katai jomblo. Padahal kenyataannya memang seperti itu. Para gadis memang aneh.
“Hhmm,
apa ya? Nggak tahu juga sih. Mungkin keseringan denger cerita kamu dari Shin
kali ya. Nggak sadar ceritanya justru bikin aku suka sama kamu. Rasanya jadi
udah kenal kamu lama,” terangnya tanpa dosa dan kembali menikmati ayam
penyetnya sembari menunggu tanggapan Aya.
Gadis
itu cukup terkejut mendengar pengakuan Om dari mantannya. “Shin sering
ngomongin saya ke Bapak?” tanyanya memastikan.
Mengangguk
mantap, Tama menelan makanannya sebelum menjawab. “Tiap hari. Aya begini, Aya
begitu, pokoknya semua tentang kamu dia cerita. Waktu kalian berantem gara-gara
Shin punya temen cewek deket di FB juga dia cerita. Ternyata kamu cemburuan
juga ya?” Tama meringis di akhir ceritanya.
“Ish,
ke ge-eran dia. Siapa juga yang cemburu,” jawab gadis itu tidak terima. Dosen
itu tertawa tapi langsung berhenti begitu menyadari perubahan raut wajah Aya.
“Kenapa?”
Tama jadi tidak enak hati kalau sampai ceritanya justru membuat calon pacarnya
bersedih. Ah, Aya masih dalam momen patah hati karena di putus Shin, Tama
hampir lupa itu.
“Udah
nggak usah sedih. Bukannya kalian udah rekonsiliasi?”
Aya
menyipitkan mata pada pria di hadapannya. Dalam hati memaki mulut ember mantan
pacarnya.
“Shin
yang cerita. Kamu lupa ya kalo aku liat kalian berdua di kampus. Wajar kan kalo
pulangnya aku tanya ke Shin kalian pergi kemana,” terang Tama yang kemudian
merasa malu sendiri dengan tingkah absurd-nya.
“Kepo,”
desis Aya lalu kembali melanjutkan makannya. Sesaat dia memilih diam untuk
menenangkan hati. Merepotkan. Seharusnya saat ini Aya sedang dalam mode
pemulihan karena luka batin, bukannya malah berhadapan dengan dosen yang
ternyata adalah secret admirer-nya.
“Kamu
jangan benci Shin ya. Dia sayang kok sama kamu,” kata Tama lembut begitu
melihat kerutan-kerutan di kening Aya. Dia menduga gadis itu sedang berpikir
keras.
“Sayang
apanya? Kalo sayang nggak mungkin minta putus tanpa alasan jelas,” gerutu Aya
dengan suara lirih namun masih terdengar oleh Tama. Sekarang gadis itu sibuk
mengaduk nasi di piringnya dengan wajah tertunduk.
Tama
dilema. Haruskah dia menjelaskan semuanya? Tapi keponakannya itu bisa mengamuk
kalau tahu Tama membongkar rahasia hatinya. ”Semua demi kebaikan kalian. Shin
sayang kamu, tapi nggak bisa lebih untuk bisa menjalin komitmen yang serius.
Daripada ke depannya kamu makin sakit hati, jadi mendingan sekarang semua
selesai kan? Kamu bisa cepet move on,”
jelasnya bijak. “Move on sama aku,”
lanjutnya konyol dan sukses membuat Aya mengangkat wajah lalu memberinya hadiah
berupa pelototan tajam. Tama terkekeh.
“Lebih
bagus melotot gitu,” godanya jahil.
Gadis
itu mencebik kesal lalu meneguk es jeruk untuk mendinginkan kepala yang rasanya
sudah berasap. Tiba-tiba sebuah pemikiran terlintas di dalam benaknya. “Jadi,
Bapak tahu kenapa Shin mutusin saya?” tanyanya penuh selidik.
Senyum
canggung langsung menghias wajah tampan Tama. Inilah yang di takutkannya. “Kalau
pun aku tahu, aku nggak boleh kasih tahu kamu,” jawabnya dengan tetap berusaha
bersikap santai.
Aya
justru tersenyum miring. Sebuah ide jahil muncul. “Gimana kalau kita bikin
kesepakatan?”
“Kesepakatan?”
Tama menatap gadis itu curiga. Ada aroma tidak mengenakkan tercium oleh
instingnya.
Aya
mengangguk cepat. “Bapak boleh PDKT ke saya. Satu bulan.”
“Maksudnya?”
Firasat Tama makin tidak enak ketika senyum miring di wajah Aya semakin lebar.
“Satu
bulan Bapak bebas deketin saya. Pake seribu satu jurus buat bikin saya …, ya,
minimal suka sama Bapak. Saya nggak akan lari, saya akan ikut kemana Bapak
ajak, dalam batasan tertentu pastinya,” kata Aya menekankan kalimat
terakhirnya.
“Tapi
ada syaratnya?” tebak Tama yakin. Aya mengangguk mantap. “Kasih tahu kamu
alasan kenapa Shin minta putus?” Dan sialnya Aya mengangguk lagi atas pertanyaannya.
Melirik piring yang masih tersisa setengah, Tama kehilangan selera makannya.
Dia pun mencuci tangan dengan air yang tersedia di dalam teko plastik. Aya
mengikutinya.
“Gimana
Pak?” tanya Aya antusias. Rasa penasarannya selama sebulan ini akan terbayar
lunas.
“Nggak,”
jawab Tama tegas.
“Aish.”
Aya mencebik kesal. “Kalo gitu jauh-jauh dari saya,” ancamnya dengan bibir
cemberut.
Tama
memijat pangkal hidungnya. Keras kepala
tapi cinta, kekanakan tapi bikin rindu. Tama pusing. “Kamu bakal nyesel
kalo tahu alasan yang sebenarnya.”
“Belum
tentu, kenapa nggak coba? Kalau pun nyesel kan saya nyesel sendiri,” jawab Aya
masih bersikeras.
Tatapan
gadis itu yang semakin menuntut membuat Tama bingung. Benarkah semua akan
baik-baik saja kalau rahasia Shin di buka? Helaan napas panjang membuat Aya
semakin intens menatap Tama.
“Kamu
tahu Deana udah di lamar?” tanya Tama tiba-tiba yang membuat ekspresi Aya
bingung.
Apa hubungannya? Batin gadis itu.
“Jangan bilang Shin juga sering cerita soal Dea?” Entah kenapa Aya sedikit
merasa tidak suka dengan dugaannya itu. Sayangnya Tama justru mengangguk
mantap.
“Aku
tu udah kayak bapak sekaligus kakak buat Shin. Dia selalu cerita apa aja sama
aku. Jangan lupa kalau Deana itu teman Shin sejak SMA, jauh sebelum ketemu
kamu,” terang Tama. Mendadak otak Tama menjadi tumpul dan menurut saja untuk
menceritakan semuanya pada Aya. Menurutnya gadis itu juga berhak tahu.
“Iya,
saya tahu itu. Tapi apa hubungannya Dea sama-.” Mulut Aya tiba-tiba terkatup
rapat saat sebuah kesimpulan menampar alam bawah sadarnya. “Jangan bilang kalau
Shin itu-,” suara Aya bergetar. Matanya masih menatap lurus pria di hadapannya
yang justru mengangguk pelan.
“Shin
udah jatuh cinta sama Deana sejak SMA. Sayangnya nggak mungkin buat dia bilang
ke Deana. Sejak itu, Shin bertekad untuk menyimpan rapi rahasia hatinya. Asal
bisa ada di deket Deana, itu udah cukup. Itulah kenapa Shin memilih masuk
jurusan sastra dan sampe sekarang ngikutin Deana kerja di tempat yang sama-.”
“Sialan!”
Aya memaki keras hingga membuat Tama terkejut. Beberapa orang yang makan di
dekat mereka pun tampak sama terkejutnya. Aya benar-benar merasa di tipu.
“Apa
Dea tahu?” tanya Aya ketus.
“Nggak,
kamu tahu sendiri Deana kayak mana,” jawab Tama.
“Brengsek
juga tu cowok,” maki Aya lagi dan Tama berjenggit mendengar umpatan dari mulut
gadis pujaannya.
“Mulutmu,
Ya’,” tegurnya memperingatkan.
“Aish,
sebodo amat.” Aya terlanjur emosi dan tidak peduli lagi dengan etika juga sopan
santun yang harusnya dia jaga di depan Tama.
“Jangan
bilang dia mau pacaran sama aku cuma gara-gara Dea yang comblangin kami?” Mata
Aya kembali memincing tajam pada pria yang masih tenang duduk di hadapannya.
Tama
mengendikkan bahu. “Itu aku nggak tahu. Shin cuma bilang dia mau belajar move on, lagian Deana juga udah cinta
mati sama pacarnya. Siapa namanya?”
“Siapa?”
Aya gagal fokus karena emosinya.
“Pacarnya
Deana,” terang Tama.
“Teofilus,”
jawab Aya singkat.
“Ah,
iya si T.” Tama langsung dapat pelototan tajam dari gadis itu. “Shin manggilnya
begitu kok, si T,” kata Tama membela diri. Tampaknya Aya tak rela pacar
sahabatnya di nista.
“Jadi
dia pikir kalo mutusuin aku semua masalah selesai?” Aya menatap sengit dosen
tampan di depannya. Apa boleh buat, saat ini Tama menjadi objek paling tepat
untuk di jadikan pelampiasan emosi.
Tama
sendiri tidak gentar dengan tatapan Aya yang seolah ingin mengulitinya sebagai
ganti Shin. Ah, dia mulai menyesal sudah menceritakan semuanya. Bisa-bisa Shin
menganggapnya Om durhaka. Semoga anak itu tidak mengutuknya menjadi batu dan
menciptakan legenda baru di Indonesia.
“Sinting
juga pikirannya. Seenaknya aja mainin perasaan orang,” ketus Aya lagi dan Tama
hanya bisa menghela napas panjang.
“Shin
nggak sanggup liat Deana nikah. Makanya begitu tahu Deana di lamar, dia
langsung putusin kamu. Karena-.”
Mata Aya memincing
semakin tajam saat Tama justru menjeda kalimatnya.
“-karena
Shin mau resign dan pindah kerja di
Kalimantan.”
Aya
terhenyak hingga mulutnya terkatup rapat. Shin-nya
akan pergi?
****
Cemburu
Teo
menatap tumpukan file di atas meja
kerjanya dengan mata lelah. Sudah tiga hari ini dia tidak bisa tidur.
Alasannya, karena pacar imut kesayangannya sedang merajuk tingkat dewa hingga
tidak mau di hubungi. Jangankan mengangkat telepon, Whatsapp-nya saja hanya di read
dan Teo yakin gadis itu membaca pesannya sambil terus mengomel.
Melelahkan. Kenapa
perjalanan cintanya yang sudah lima tahun itu harus berujung rumit seperti ini?
Teo hanya ingin menikah. Bukan hanya karena desakan keluarga ataupun karena
umurnya yang baru saja menginjak kepala tiga, tapi juga karena hasratnya ingin
memiliki Dea sudah tak terbendung lagi. Dia terlalu takut Dea berpaling.
Apalagi semenjak gadis itu memasuki dunia kerja yang otomatis memperluas
lingkup pergaulannya.
Dulu Teo bisa mengekang
Dea saat SMA dan kuliah dengan dalih fokus pada pelajaran dan target kelulusan
hingga gadis itu tak sempat memikirkan hal lain selain pelajaran. Tapi
sekarang? Dea jelas sudah semakin dewasa. Gadis itu sudah bebas bergaul di
kantornya dan semakin memperluas pertemanannya.
Bagaimana dia tidak
takut? Dea terlalu imut untuk di tolak. Tak butuh pelet untuk bisa jatuh cinta
padanya. Seminggu dekat dengan Dea, maka dapat di pastikan kalau jerat
pesonanya akan langsung mengikat, Teo buktinya. Seminggu mengajar tiga kali di
kelas Dea saat praktek Kuliah Kerja Nyata, hatinya langsung terjerat dan sampai
sekarang tidak bisa lepas –tidak mau lepas, lebih tepatnya-.
“Pak Teo, laporannya di
tunggu sama Ibu Maya.”
Kalimat itu membuat Teo
tersentak. Sadar kalau dia sudah termenung cukup lama dan mengabaikan pekerjaan
yang sebenarnya sedang di tunggu oleh manajer keuangan, atasannya. Teo bekerja
di perusahaan property yang cukup
besar di Yogyakarta.
“Iya sebentar lagi,
kurapiin dulu,” jawab Teo dengan nada datar pada staf HRD yang duduk satu
ruangan dengannya.
Accounting
tampan itu segera membuka salah satu file
dan memeriksa ulang pekerjaannya. Setelah yakin tidak ada kesalahan, Teo
membawa laporannya ke ruang manajer keuangan, tidak lupa mengirim soft file lebih dulu melalui email. Dia
mengetuk pintu tiga kali hingga sebuah seruan yang terdengar menyuruhnya
membuka pintu.
“Selamat siang, Bu,”
sapanya sopan lalu duduk di salah satu kursi di depan meja kerja. “Ini laporan
bulan November, soft file-nya sudah
saya kirim lewat email.”
Wanita cantik yang
duduk di seberang meja tersenyum. Maya namanya, Manajer Keuangan yang di anugerahi
predikat staf paling hot. Tidak heran
kalau melihat fisiknya yang menawan. Wajah cantik, tubuh tinggi dengan postur
proporsional, belum lagi otak cerdasnya, yang pasti nilai untuk standar seorang
Maya itu banyak plusnya. Umur tidak jadi masalah, -kabar dari staf HRD- umur
Maya baru tiga puluh tujuh tahun. Makin hot
kan? Gosip hangatnya lagi, anak direktur naksir habis-habisan dengan manajer
keuangan itu.
“Selalu on time ya. Aku suka sama cara kerja
kamu,” ucap Maya masih dengan senyum manis mengembang di bibir cherry-nya. Tambahan info, Maya tidak
suka make up tebal. Natural selalu
jadi andalan.
“Terima kasih, Bu,”
jawab Teo. “Kalau begitu saya permisi dulu, nanti kalau ada revisi saya akan
segera perbaiki.”
“Lha, kok buru-buru?
Kerjaanmu kan sudah selesai. Kita ngobrol dulu saja,” ucap Maya begitu melihat
Teo berniat keluar dari ruangannya.
Pria itu sempat
menautkan alis karena bingung, tapi demi sopan santun dan keselamatan
jabatannya, Teo menurut. Sang manajer kembali menyunggingkan senyum manisnya.
“Nggak terasa kamu
sudah tiga tahun kerja di sini.” Maya membuka percakapan di antara mereka. Teo
jelas tidak tahu harus bicara apa.
“Iya, Bu,” jawabnya
singkat.
“Kamu suka kerja di
sini?” tanya Maya lagi.
“Suka, Bu.” Teo menatap
lawan bicaranya datar, meski begitu dalam hati dia menyimpan seribu tanya.
Tidak biasanya manajer cantik itu mengajaknya ngobrol selain urusan pekerjaan.
Maya bersandar lebih
santai di kursi kerja. Dari gestur tubuhnya, Teo tahu wanita itu tengah
menyilangkan kaki di bawah meja. “Berapa tahun kita kenal ya?” tanya Maya
kemudian.
“Eh?” Teo sedikit
terkejut dengan pertanyaan atasannya. “Maaf, Bu?”
Maya terkekeh dengan
suara merdu. “Kenapa mesti kaku banget sih? Aku kan cuma ngajak kamu ngobrol,
toh kerjaan kita sudah selesai. Tinggal nunggu waktu makan siang.”
Teo menunduk dan
melihat jam tangannya, sebelas tiga puluh. “Iya, Bu,” jawabnya. Dia tidak tahu
harus menjawab apa. Teo tidak biasa mengobrol dengan lawan jenis kecuali pacar
mungilnya yang paling cerewet, Dea. Accounting
muda itu tersenyum saat bayangan wajah sang pacar melintas di dalam kepalanya.
“Kamu ganteng lho kalo
senyum gitu,” celetuk Maya tiba-tiba dan hampir membuat Teo jantungan. Wanita
itu kembali terkekeh melihat ekspresi horor lawan bicaranya. “Di puji kok malah
kaget.”
“Maaf, Bu.” Lagi-lagi
Teo bingung harus menjawab apa.
“Nggak usah minta maaf.
Aku yang jadi nggak enak hati. Bercandaku garing ya?” tanya Maya.
“Oh, Ibu bercanda,
kaget saya.” Teo mencoba tertawa meski terdengar sumbang. Bisa mati dia kalau
sampai Dea mendengar pujian Maya untuknya. Sekedar info, pacar mungilnya itu
tukang cemburu.
“Ya, nggak ada salahnya
kan coba bercanda biar lebih akrab?” jawab Maya yang kali ini membuat Teo
meneguk ludahnya susah payah. “Makan siang bareng yuk.”
Aku
harus jawab apa? Batin Teo dilema.
****
Al
menatap gadis yang duduk di depannya dengan tatapan iba. Via sudah tiga kali
bersin dan enggan menghabiskan makan siangnya. Saat ini mereka tengah berada di
Kedai Steak Wirobrajan. Via terkena flu karena kehujanan saat acara jalan-jalan
mereka ke kebun binatang hari minggu lalu. Rencana mereka sedikit berantakan
kecuali bagian Sheren yang sukses naik gajah selama satu jam hingga membuat
sang papa menggeleng frustasi.
“Obat
yang kukasih kemarin udah di minum?” tanya Al seraya mengulurkan lembaran tissue pada pacar terkasihnya. Via hanya
mengangguk lalu meneguk lemon tea hangatnya.
“Jadi,
kapan aku boleh ke Surabaya?” Al kembali bertanya.
Mereka memang tengah
membicarakan rencana pertemuan Al dengan kedua orang tua Via. Gadis itu sama
sekali tidak menyangka kalau sang dokter akan langsung menanggapi serius
perihal desakan keluarganya. Terbesit rasa takut dalam hati Via saat
membayangkan reaksi keluarga besarnya. Apa
mereka akan setuju? Batinnya gamang.
“Sebenernya aku takut
lho,” kata Via kemudian.
“Iya aku ngerti. Tapi
nggak mungkin kan kalau aku nikahin kamu tanpa restu mereka?” Al justru
tersenyum jahil menggoda pacarnya. Niatnya ingin mengurai suasana tegang di
antara mereka.
“Jangan bercanda deh,
Al. Kepalaku pusing beneran nih,” sungut gadis itu seraya mengusap hidungnya
yang berair dengan tissue.
“Jelas pusing wong kamu
lagi flu,” jawab Al santai. Sungguh dia tidak ingin pacar tersayangnya itu
terlalu stres memikirkan hubungan mereka. Al yakin mereka akan mendapatkan
restu, paling tidak tekad di dalam hatinya mengatakan itu. Dia tidak akan
menyerah. Sekuat tenaga Al akan meyakinkan keluarga Via kalau dia lebih dari
mampu untuk membahagiakan putri tersayang mereka. Ah, arogan sekali duda keren
satu itu.
“Al~,” rengek Via yang
mulai kesal dengan sikap santai pacarnya.
“Iya, iya. Aku cuma nggak
mau kamu stres terus sakit. Aku janji akan berusaha yang terbaik buat kita.”
Pak Dokter itu meraih tangan Via lalu menggenggamnya lembut, mencoba meyakinkan
gadis itu atas ucapannya.
“Janji ya?” tanya Via
meminta kepastian.
“Iya, aku janji,” jawab
Al penuh keyakinan.
“Kamu nggak akan nyerah
kalau Papahku marah?” Mata Via mulai berkaca-kaca saat mengatakannya. Gadis itu
tahu bagaimana keras kepalanya sang ayah. Dia berharap ibunya bisa menerima
pilihannya.
“Sepuluh Papahmu marah
juga akan aku hadapi.” Al mengumbar janji hiperbolanya hingga Via cemberut.
“Papahku cuma satu,”
gerutunya.
Sang Dokter langsung
terkekeh. “Percaya sama aku, oke?” Al kembali menggenggam tangan kekasihnya.
“Aku berdoa Budha
lancarkan semuanya,” lirih Via dan Pak Dokter langsung mengamininya.
Via baru saja menghabiskan
lemon tea dalam cangkir saat matanya
menangkap sosok yang familiar memasuki Kedai Steak. Keningnya langsung
berkerut. Melihat ekpresi Via membuat Al menoleh untuk melihat objek yang
tengah di lihat sang pacar.
“Lha, itu bukannya Teo
ya?” celetuk Al yang kembali menatap Via. Gadis itu mengangguk. “Cakep juga
ceweknya, aww!” Pak Dokter meringis lebar seraya mengusap lengannya yang baru
saja di cubit.
“Tolong tertibkan tu
mata,” ujar Via seraya membulatkan matanya.
Al justru tertawa
melihatnya. “Anugerah Tuhan itu, harus di syukuri. Kan seger liat yang
bening-bening,” komentarnya yang membuat Via mendengus kesal.
“Kolam renang hotelku
tu bening.” Via menimpali dengan emosi. Dia memang bekerja sebagai staf HRD di
Hotel Grand Venus. Salah satu hotel dengan bintang tiga di Yogyakarta.
“Bercanda, Vi,” kata Al
kemudian. Pria itu memang paling hobi membuat pacarnya merajuk. Pandangannya
kemudian beralih pada Teo dan wanita cantik yang bersamanya. Keduanya sudah
duduk di meja dekat jendela yang jaraknya cukup jauh dari tempat Al yang duduk
di bagian belakang. “Tumben juga si Teo pergi makan cuma berdua sama cewek,”
komentarnya. Dia cukup kenal dengan pacar Dea itu. Setahu Al, Teo adalah tipe
cowok yang malas pergi keluar dengan lawan jenis kecuali pacarnya.
“Itu juga aku heran,”
kata Via dengan mata tak lepas mengamati interaksi pacar sahabat mungilnya.
“Foto sana, terus
kirimin ke Dea. Pengen liat cabe rawit jadi cabe setan.” Al melontarkan ide
gilanya sambil tertawa yang kembali menuai cubitan sayang dari sang pacar. “Ya
ampun, Vi. Kamu lagi PMS ya? Sadis banget daritadi.”
“Ck, makanya jangan
kelewatan kalau bercanda. Tahu sendiri Dea paling nggak suka cowoknya jalan ama
cewek lain. Mau ikutan alay grup Celuper ya?” katanya dengan nada sinis.
“Ya siapa tahu kalau
Dea liat begini, dia jadi mau cepet-cepet nikah sama Teo,” jawab sang dokter
seraya meringis lebar. Pacarnya sedang sensi karena galau masalah restu, jadi
tidak bisa di ajak bercanda.
“Yang ada justru Dea
makin takut nikah,” kata Via. Gadis itu kembali melotot saat melihat tangan
sang wanita menyentuh tangan Teo di atas meja. Ekspresi terkejut Teo tak luput
dari matanya. Pria itu jelas terlihat tak nyaman. Pertanyaannya adalah, siapa
wanita itu? Malas dengan rasa penasarannya membuat Via segera membuka handphone dan mengetik pesan Whatsapp.
Sama siapa kamu?
Via bisa melihat Teo
terkejut saat menatap layar handphone-nya.
Pria itu langsung mengedarkan mata ke sekitar ruangan kedai hingga berhasil
menemukan sosoknya. Pacar Dea itu justru tersenyum lebar begitu melihat dirinya
juga Al. Entah apa yang kemudian di katakan Teo pada teman wanitanya, yang
jelas pria itu dengan semangat beranjak menuju mejanya. Sekilas Via melihat
sang wanita menyipitkan mata ke arahnya.
“Udah daritadi?” Teo
menarik kursi kosong begitu saja tanpa meminta ijin lebih dulu. Al langsung
mencibir tindakannya yang sok akrab. Hei, mereka kan memang akrab, setidaknya
pacar-pacar mereka sahabat baik bak saudara yang otomatis membuat hubungan
mereka akan berakhir menjadi ipar kalau berhasil naik kepelaminan.
“Siapa cewek itu?”
tanya Via tanpa tedeng aling-aling.
Bukan hal yang aneh kalau Via yang sebagai kakak tertua di D-Three begitu
sayang pada adik bungsunya.
“Bu Maya, Manajer
Keuangan di kantor,” jawab Teo singkat.
“Wo, ganti selera kamu?
Dari cabe mini ke paprika standar internasional?” Al terkekeh. Dokter super
jahil itu belum puas hanya mengganggu Via.
“Ngaco ya, Dokter
Genit. Terpaksa ini, untung ada kalian. Ke mejaku yuk, temenin aku makan.
Bahaya kayaknya kalau kami cuma berdua,” pinta Teo dengan wajah memelas.
“Aih, mana enak ganggu
kencan orang,” Al menimpali.
“Bukan waktunya
bercanda, Al. Serius nih, agak horor suasananya kalau berdua.” Teo benar-benar
terlihat tidak nyaman.
“Makanya jangan pergi
ama Mbak Kunti kalau nggak suka yang horor-horor. Untung kami yang lihat, coba
Dea yang nongol.”
Perkataan Al membuat
Teo merinding. Bisa benar-benar batal pernikahan mereka.
“Udah ah ngobrolnya,
yuk ke sana. Tu cewek udah liatin kita terus. Tapi aku cuma minum ya, Te. Aku
udah makan,” jawab Via seraya menunjuk piring steaknya yang masih tersisa
setengah. Mengambil tissue lalu
mengusap hidungnya yang kembali berair. “Aku flu nggak apa-apa?” tanyanya
memastikan.
Teo berdecak kesal.
“Virus di mejaku lebih bahaya.” Dan Al langsung tertawa.
****
“Dea,
kamu nggak apa-apa kan?”
Sekilas Santi menatap
wajah juniornya yang memelas. Dia jadi menyesal sudah mengajak gadis itu ke
Kedai Steak tadi. Niat hanya ingin mampir karena sekalian lewat Wirobajan
setelah urusan mereka di Universitas Muhammadiyah selesai, Dea justru mendapat jackpot. Masih di dalam mobil, gadis
mungil itu melihat pacarnya memasuki Kedai Steak bersama wanita cantik. Tanpa ba-bi-bu Dea meminta Santi segera pergi.
“Kamu
tanya aja sama pacarmu dulu, Dea. Jangan berburuk sangka,” nasehat Santi sambil
terus fokus menyetir dan menatap jalan di depannya.
Dea
sendiri hanya menghela napas panjang tanpa bisa bersuara. Dalam pikirannya
sudah berkelebat berbagai macam dugaan. Bukannya tak percaya pada Teo tapi
masalah yang tengah mereka hadapi saat ini membuat hatinya ciut. Bagaimana
kalau Teo memilih gadis lain karena dirinya tak mau naik pelaminan? Dea
bukannya bodoh yang tak mengerti keinginan kedua orang tua Teo yang ingin
anaknya segera menikah. Keluarga mereka sudah saling kenal dan memberi restu
tapi ketakutan Dea membuatnya enggan melangkah. Apa teo benar-benar menyerah?
Santi
memutuskan untuk membiarkan Dea memikirkan segalanya. Baru kemarin gadis itu
akhirnya bercerita soal kegalauan hatinya menghadapi pernikahan. Dan sekarang,
dia justru di hadapkan pada kenyataan yang tidak mengenakkan. Ya, meski belum
tentu juga kan dugaan Dea akan pacarnya itu benar? Bisa jadi mereka hanya teman
sekantor. Tapi wanita yang bersama Teo memang cantik dan Santi takkan heran
kalau Dea cemburu.
Keduanya
sampai di kantor tanpa membawa makan siang. Santi berinisiatif mengajak
juniornya ke kantin, berhubung waktu istirahat siang mereka tinggal setengah
jam lagi. Dia tidak mau menahan lapar karena pekerjaan yang menunggunya sudah segunung.
Revisi naskah yang baru saja di ambilnya dari salah satu dosen Universitas
Muhammadiyah juga memerlukan tenaga ekstra untuk di kerjakan.
Dea
mengamati sekitar kantin sampai matanya menemukan Shin yang duduk sendiri.
Spontan gadis itu mempercepat langkahnya untuk menghampiri sang sahabat. Galau
membuat Dea lupa kalau dia seharusnya masih marah pada Shin. Kursi yang
tiba-tiba di tarik membuat Shin terkejut. Matanya menyipit begitu melihat Dea
duduk di sampingnya dengan mata merah.
“Hei,
kamu kena-pa?” Suara Shin langsung melirih karena terkejut dengan sikap Dea
yang tiba-tiba memeluknya. Gadis itu terisak di bahunya. Pemuda itu kemudian
menatap Santi yang masih terpaku di tempatnya. Melemparkan tatapan tanya yang
hanya di jawab dengan isyarat berupa gelengan kepala.
Ini
bukan yang pertama. Sahabat manjanya itu sudah sering menjadikan bahunya bak tiang
jemuran, begitu air mata kering, Dea akan kembali meninggalkannya. Meski begitu
Shin tidak pernah keberatan. Dia tahu Dea hanya menganggapnya sebagai sahabat
atau pun saudara laki-laki. Mengingat gadis itu tak memiliki figure seorang ayah, maka tak heran
kalau Dea berusaha mencari sosok pengganti di luar keluarganya. Itu juga yang
menjadi alasan utama hubungan Dea dan Teo langgeng. Pria yang bahkan berusia
tujuh tahun di atas Dea itu berhasil menjadi sosok pengganti father figure yang di butuhkan Dea.
Dea
masih menangis dan tidak peduli pada tatapan heran teman-teman sekantornya yang
sedang menghabiskan makan siang mereka. Untung tidak begitu ramai. Santi duduk
di depan mereka sembari membawa nampan berisi makanan. Dia mendengar isakan
lirih Dea yang teredam bahu Shin, sementara pemuda itu terus mengusap lembut
punggung sahabatnya. Jujur, Santi tidak sebodoh Dea yang tidak pernah menyadari
tatapan mata Shin yang penuh cinta itu. Tapi sang senior tidak berminat untuk
ikut campur pada hubungan sang junior yang berlabel sahabat itu.
Isakan
Dea mereda dan Shin akhirnya melihat wajah kusut sahabatnya yang mulai
menegakkan tubuhnya.
“Kamu
kenapa, hm?” Shin menarik beberapa lembar tissue
di meja lalu memberikannya pada Dea.
Gadis
itu masih diam dengan tangan sibuk mengusap pipinya yang basah. Shin
mengalihkan pandangannya pada Santi yang tampak serius menghabiskan makan
siangnya. Seniornya itu terlihat sangat kelaparan. Dia pun kembali menatap Dea.
Ada kelegaan dalam hatinya karena Dea sudah berhenti marah padanya.
“Tadi
aku liat Teo jalan sama cewek cantik. Makan di Kedai Steak,” kata Dea dengan
nada bersungut-sungut lalu mengusap lagi hidungnya yang masih berair.
Shin
mengumpat dalam hati karena rasanya dia ingin tertawa mendengar penuturan
sahabatnya. Padahal, meski Teo dan Dea batal menikah sekali pun, dia tetap
tidak bisa memilikinya. Shin menghela napas panjang dan segera menepis pikiran
gilanya.
“Mungkin
cuma temen sekantor,” ucap Shin berusaha menenangkan.
“Mungkin
juga,” jawabnya dengan bibir mengerucut. “Tapi cewek itu cantik banget,” sungutnya
kemudian dengan nada kesal yang terdengar jelas.
“Coba
kamu tanya dulu sama Teo,” sarannya begitu melihat sudut mata Dea kembali
basah.
“Males,” lirih Dea
kemudian. “Nanti dia ge-er terus ngatain aku cemburu.” Gadis itu bersandar di
kursi dengan tangan terlipat di dada. Santi bahkan hampir tersedak makanannya
saat mendengar perkataan juniornya yang nyleneh.
Dea memang gadis antik.
“Memang
kamu nangis kenapa kalau bukan karena cemburu?” celetuk Santi seraya meletakkan
sendoknya di piring kosong lalu meneguk air mineral dari botol.
Dea
mengerjapkan mata menatap seniornya lalu beralih menatap Shin yang tersenyum
tipis seraya menggaruk pelipis dengan telunjuk.
“Aku
nggak suka liat Teo berduaan sama cewek. Kalo rame-rame nggak apa-apa,”
jawabnya santai dan Santi langsung terkekeh. Dea memang ladang hiburan saat
suntuk. Shin sendiri sudah sangat hapal tabiat sahabatnya. Dea tidak cemburu
hanya tidak suka, tolong garis bawahi itu.
“Iya,
apalah namanya itu, yang penting kan nggak usah mewek. Tanya aja langsung sama
Teo, aku yakin dia nggak mungkin macem-macem.” Shin kembali mencoba menenangkan
Dea.
“Aku
kan sedih, masa nggak boleh nangis? Ish, kamu ini ya. Untung deh kamu udah
putus sama Aya, kalau nggak bisa sengsara Aya punya jodoh yang nggak peka kayak
kamu,” protes Dea tidak terima.
Astaga,
Santi benar-benar berusaha menahan tawanya meledak. Sebenarnya siapa makhluk
yang paling tidak peka di bumi ini selain Deana Ruth Hardjito? Santi menatap
Shin miris. Bisa juga pemuda itu bertahan menghadapi tingkah absurd Dea. Kalau di pikir Teo yang jauh
lebih hebat sampai semangat empat lima menikahi gadis itu. Kekuatan cinta
memang dahsyat. Apa dirinya harus jadi seperti Dea agar para lelaki mendekat
padanya? Manis manja dan menangis bombay? Ah, tidaklah. Biarlah Dea hidup
dengan keistimewaannya, tidak perlu di duplikasi.
“Yang
punya masalah kamu, jangan bawa-bawa orang lain,” tegur Shin seraya kembali
menghela napas panjang.
“Udah,
udah, nanti bahas lagi. Yuk balik, udah habis jam makan siang,” ajak Santi yang
segera beranjak dan mengingangatkan jam kerja mereka.
“Kamu
nggak mau beli apa gitu? Belum makan kan?” tanya Shin begitu Dea ikut beranjak
dari kursi. Santi tersenyum miring melihat perhatian pemuda itu.
“Aku
nggak laper, orang lagi sedih malah suruh makan,” jawab Dea yang kemudian
berjalan mendahului Santi yang masih berdiri mengamati keduanya. Gadis itu lupa
kalau tadi sudah menangis di bahu sang sahabat.
“Yang
kayak gitu ya, yang justru jadi rebutan cowok-cowok?” celetuk Santi begitu
yakin jarak Dea cukup jauh dan tak bisa mendengar suaranya.
“Mbak.”
Mata Shin langsung memincing tajam. Dea memang manja tapi gadis itu tulus dan
baik. No modus dan yang pasti imut tingkat dewa. Dia jelas tidak terima
dengan perkataan Santi yang seolah mengejek sahabat mungilnya.
“Ya
ampun Shin, segitunya kamu.” Santi kembali terbahak lalu meninggalkan pemuda
yang kembali menghela napas panjang.
Ya Allah, boleh minta satu lagi model Dea
nggak? Batin Shin berharap.
****
Nah, sampai sini aja ya bocorannya.
Penasaran gimana lanjutan kisah tiga sahabat
D-Three?
Apakah Dea akhirnya mau menikah dengan Teo?
Apakah kedua orang tua Via akan setuju anaknya menikah dengan duda beranak satu?
Dan
Apakah Aya akan menerima cinta Tama atau malah
memilih mengejar Shin yang ingin pergi?
Nantikan kisah mereka di D - Three. Open PO akhir
Januari 2018 FB Agnes FFTK
Terima kasih yang sudah membaca. Sampai jumpa di
cerita manis lainnya :)
Arigato
*deep bow
0 Comments