Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati
tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk
Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua
hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
*********************************************************************************
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have
been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind,
cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Maya
berdiri dengan gelisah di ruang keluarga Mansion Hayami. Kedua tangannya saling
meremas dengan kaki tak berhenti berputar ke kanan dan ke kiri, keringat dingin
mulai membasahi keningnya.
"Duduklah
Nona."
Maya
menggeleng atas saran yang diberikan oleh Hijiri. Dia bahkan sudah tidak ingat
daftar pertanyaan yang sudah disusunnya untuk orang kepercayaan keluarga Hayami
itu. Pingsannya Masumi membuat pikiran Maya berantakan. Takut. Khawatir. Semua
perasaan itu membuatnya tidak tenang. Kanker
hati stadium dua. Keterangan yang diberikan Eisuke padanya tadi terus
terngiang di telinga Maya dan membuat gadis itu semakin frustasi.
"Kenapa?"
Maya menggumam lalu menggigit bibir bawahnya, kakinya masih terus bergerak tak
tentu arah. Berputar-putar di sekitar meja besar.
Hijiri
diam mengamati Maya yang jelas tampak terguncang. Meski begitu ada kelegaan
dalam hatinya karena Masumi sudah jujur tentang keadaannya. Hijiri berharap
hubungan keduanya membaik dan Masumi lebih optimis menghadapi penyakitnya.
"Kenapa
Kak Hijiri tidak mengatakannya padaku?" gumam Maya lagi tanpa menatap
Hijiri sedikit pun, dia masih saja berputar-putar seraya meremas kedua
tangannya, "kenapa lama sekali? Apa sesuatu terjadi padanya? Astaga,
kenapa kita tidak membawanya ke rumah sakit saja? Bagaimana kalau-," Maya
menghentikan langkahnya lalu menggeleng keras demi menghalau pikiran buruk yang
melintas di dalam kepalanya. Diapun kembali berputar-putar dengan ekspresi yang
makin kacau.
Baru
saja Hijiri hendak berkomentar, kedatangan Eisuke membuatnya kembali menutup
mulut. Maya sendiri langsung berhenti dengan wajah tegang dan berjalan cepat
menghampiri Eisuke dan Dokter Hayate, dokter yang memeriksa Masumi.
"Paman,
Paman, bagaimana keadaan Tuan Masumi? Kenapa kita tidak membawanya ke rumah
sakit saja? Bagaimana kalau sesuatu terjadi dan kita terlambat? Kena-,"
"Sstt,
Maya tenanglah," Eisuke meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya,
mencoba untuk menenangkan Maya yang panik.
Maya
benar-benar lepas kendali. Dia bahkan lupa posisi Eisuke dan memanggilnya
seperti saat mereka bertemu dulu. Sungguh saat ini pikiran Maya hanya dipenuhi
oleh Masumi.
"Tapi
Paman, Tuan Masumi-,"
"Tuan
Masumi baik-baik saja, setidaknya untuk saat ini," pernyataan dari dokter
Hayate membuat Maya terdiam.
Beberapa
saat gadis itu terpaku demi menenangkan hati dan pikirannya. Eisuke yang
melepaskan tangannya membuat Maya tersadar.
"Pam-,
ah maaf, Tuan Besar," Maya membungkuk hormat dan menyesali sikap dan
kebodohannya.
"Tidak
apa-apa Maya, kau bisa memanggilku seperti biasa," Eisuke tersenyum
menatap gadis di hadapannya. Melihat kepanikan Maya justru membuat Eisuke lega.
Dia yakin Maya tidak akan meninggalkan Masumi. Putranya itu berhak bahagia.
Maya
kembali menegakkan tubuhnya dan dengan menahan malu mengangguk pada Eisuke.
Perhatiannya kemudian teralih pada sang dokter.
"Apa
benar Tuan Masumi baik-baik saja? Tidak perlu membawanya ke rumah sakit?"
Tanya Maya lagi.
Dokter
Hayate menggeleng, "Tuan Masumi tidak suka di rumah sakit. Bahkan tadi
pagi Tuan Masumi memaksa pulang," terangnya dan melihat wajah Maya kembali
khawatir membuat Dokter Hayate kembali melanjutkan penjelasannya, "tapi
Anda tidak perlu khawatir Nona, Tuan Masumi hanya kelelahan dan butuh banyak
istirahat. Perawat juga akan memeriksa keadaannya secara berkala. Setidaknya
untuk saat ini kondisinya sudah stabil."
Kekhawatiran
Maya sedikit berkurang tapi raut wajahnya masih jelas menampakkan kekalutan.
"Kau
boleh melihatnya kalau mau," ucap Eisuke yang mengerti keinginan Maya.
Mata
gadis itu membulat, "Benarkah?" Pekiknya tanpa sadar. Maya menutup
mulutnya dengan telapak tangan lalu segera meminta maaf pada Eisuke hingga pria
paruh baya itu justru terkekeh melihat tingkah Maya.
"Hijiri,
antar Maya ke kamar Masumi," perintah Eisuke kemudian.
"Baik
Tuan Besar," Hijiri mengangguk hormat.
Maya
mengucapkan terima kasih pada Eisuke dan dokter Hayate sebelum berjalan dengan
langkah cepat mengikuti Hijiri. Dia tidak sadar kalau Dokter Hayate terus
memperhatikannya.
"Jadi,
Nona Kitajima adalah-?" Dokter Hayate tidak melanjutkan pertanyaannya dan
menatap Eisuke yang justru mengulum senyum.
"Anda
pasti bisa menebaknya dokter Hayate," Eisuke menoleh ke arah sang dokter
yang tampak terkejut, "dia kekasih Masumi, calon menantuku."
Dokter
Hayate mengangguk seraya mengulas senyum. Ah, tidak disangkanya pria dingin
seperti Masumi memiliki kekasih cantik yang ceria seperti Maya Kitajima. Ya,
itulah hati manusia, siapa yang bisa menebak?
***
Maya
cukup terkejut begitu memasuki kamar Masumi. Kamar itu sangat besar dan tampak
begitu mewah. Tempat tidur king size
terletak di tengah ruangan. Lemari buku, meja kerja, sofa dan semua furnitur
yang ada di dalam kamar itu benar-benar barang mewah yang membuat Maya berdecak
kagum. Sayangnya semua kemewahan itu menjadi tak berarti di mata Maya saat
melihat Masumi terbaring di atas tempat tidur.
Melihat
Maya datang, perawat laki-laki yang tadi sedang menjaga Masumi kemudian minta
ijin keluar. Perlahan Maya mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Masumi. Wajah
pucat itu membuat hati Maya miris. Disentuhnya hati-hati tangan kanan Masumi, dingin.
"Apa
selalu seperti ini?" lirih Maya tapi dia yakin Hijiri yang berdiri di
belakangnya mendengar.
"Ya
Nona tapi Tuan Muda selalu keras kepala jika diminta istirahat," jawab
Hijiri.
Maya
terdiam. Penjelasan Eisuke tadi kembali terngiang di dalam kepalanya.
"Dokter
menyatakan Masumi menderita kanker hati stadium dua," kata Eisuke. Dia dan
Maya sedang berada di ruang tengah Mansion Hayami, sementara Dokter Hayate
sedang memeriksa Masumi di kamarnya.
"Apakah ada
kemungkinan untuk sembuh?" tanya Maya khawatir.
"Sembuh?
Sayangnya aku harus menjawab tidak. Tapi sejauh ini dokter Hayate dan timnya
sudah mengupayakan yang terbaik. Masumi sudah menjalani ablasi untuk membunuh
sel kanker itu. Cara lain adalah dengan transplantasi hati. Meski
kemungkinannya hanya tiga puluh persen tapi aku sendiri tidak menyerah.
Sayangnya anak itu kehilangan semangat hidup dan tidak berniat untuk menjalani
proses pengobatan lebih lanjut," lanjut Eisuke.
Maya menghela napas
panjang setelah mendengar penjelasan Eisuke.
"Apa Tuan
Masumi takut?" lirihnya.
Eisuke terkekeh,
"Takut? Bukan meja operasi yang membuatnya takut tapi kau Maya."
"Saya?"
Maya mengernyit tak mengerti.
"Masumi
terlalu takut untuk mengatakan kondisinya padamu. Pertama takut akan
penolakanmu dan yang kedua takut jika hal itu akan membuatmu terluka. Bukankah
dia berjanji akan menjemputmu dengan layak dan membahagiakanmu? Kau pikir
dengan keadaannya sekarang, apa dia bisa melakukannya? Menjemputmu hanya untuk
mendapatkanmu menangis dan prediksi buruknya melukaimu dengan
kepergiannya?"
"Dan Tuan
Masumi memilih untuk mengabaikan saya," ucap Maya dengan kepala tertunduk.
"Dokter Hayate
memperkirakan kemungkinan bertahan Masumi setelah transplantasi tidak lebih
dari sepuluh tahun, itupun jika tidak terjadi infeksi ataupun komplikasi
lainnya. Dia sengaja mengabaikanmu dan berharap dengan begitu kau lebih mudah
melupakannya. Kau tidak akan terluka jika akhirnya dia pergi," jawab Eisuke,
“sekarang anak itu tidak mau melakukan pengobatan. Jika terus seperti ini sama
saja Masumi mencoba untuk bunuh diri. Tanpa pengobatan, sel kanker itu akan
semakin cepat menyebar.”
"Bodoh,"
desis Maya selirih mungkin, sayangnya Eisuke mendengar dan justru tertawa
karenanya.
"Nah Maya,
sepertinya aku tidak perlu bertanya lagi. Kau pasti bersedia untuk menerima
putraku kan?" Kata Eisuke di sela-sela kekehannya. Melihat reaksi Maya,
Eisuke tahu gadis itu juga mencintai putranya.
"Tentu
saja," jawab Maya cepat namun sedetik kemudian kepalanya tertunduk dengan
wajah semerah kepiting rebus dan Eisuke kembali tertawa.
"Maaf,"
ucap Maya kemudian.
"Tidak, tidak,
kau tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti," jawab Eisuke seraya
tersenyum, "baiklah, aku ingin menemui Dokter Hayate. Kau bisa menunggu di
sini."
"Baik Tuan
Besar," Maya mengangguk dan Asa mendorong kursi roda Eisuke meninggalkan
ruang tengah.
Menghela
napas panjang begitu tersadar dari lamunannya, Maya memperbaiki selimut Masumi.
"Kak Hijiri.”
"Kak Hijiri.”
“Ya
Nona,” Hijiri selangkah lebih maju mendekati Maya.
“Aku
ingin bicara empat mata dengan Tuan Besar,” pinta Maya.
Sesaat
Hijiri terdiam, menelisik ke dalam mata bulat Maya yang kini tengah menatapnya
tajam. “Baik Nona,” jawab Hijiri kemudian seraya mengangguk hormat sebelum
pergi meninggalkan Maya sendiri di dalam kamar.
Perhatian
Maya kembali teralihkan pada Masumi yang masih tertidur lelap. Dokter Hayate
memberinya obat tidur agar Tuan Muda Keras Kepala itu bisa istirahat lebih
lama.
“Hei
Tuan Masumi,” sebuah senyum tersungging di bibir cherry Maya, “aku mencintaimu.”
***
Erangan
lirih lolos dari bibir pucat Masumi, perlahan kelopak matanya terbuka dan saat
menyadari keradaannya di dalam kamar, Masumi mengerutkan kening tanda berpikir.
Memori terakhir yang teringat olehnya adalah saat dirinya dan Maya berjalan di
taman lalu rasa sakit merenggut semua kesadarannya. Masumi juga ingat kalau dia
mendengar teriakan Maya yang memanggil namanya.
Bagaimana
gadis itu sekarang? Pertanyaan itu muncul di benak Masumi. Apa yang harus
dikatakannya saat mereka bertemu lagi? Pertanyaan lain muncul di dalam
kepalanya. Kerutan di kening Masumi semakin dalam saat sebuah kemungkinan
melintas di dalam pikirannya. Apa yang terjadi saat dirinya tidak sadar? Apa
Maya bertemu ayahnya? Pikiran negatif mulai menguasainya.
Tidak!
Masumi menggeleng pelan untuk menepis semua kemungkinan buruk di dalam
kepalanya. Memaksakan diri untuk bangun, lagi-lagi Masumi melenguh lirih begitu
merasakan nyeri kembali menyambangi perut bagian kirinya.
“Astaga
Tuan Masumi, bisakah Anda tidak keras kepala dan tetap berbaring?”
Masumi
terkejut melihat siapa yang telah memarahinya. Maya. Gadis itu bertolak
pinggang dengan wajah kesal di ambang pintu kamarnya. “Ma … ya?” Masumi bahkan
ragu kalau sosok gadis di hadapannya itu nyata. Apa yang dilakukan gadis itu di
kamarnya sepagi ini? Tanpa sadar bola mata Masumi bergulir ke arah jam dinding
besar di seberang tempat tidurnya, pukul tujuh pagi. Mimpikah? Mulut Masumi
masih terkunci saat Maya menghentakkan kaki menghampirinya.
“Kembali
berbaring!” perintah Maya dan anehnya Masumi menurut begitu saja. Dia kembali
berbaring dengan mata tak lepas memandang wajah Maya yang masih tertekuk kesal.
“Dokter sudah berpesan agar Anda banyak istirahat dan saya akan memastikan Anda
melakukannya,” sungut Maya dengan tangan sibuk membenahi selimut Masumi.
Maya
sadar kalau Masumi sangat terkejut dengan keberadaannya tapi bukan Maya namanya
kalau dia tidak bisa berakting ‘semua baik-baik saja’. Semalaman dia sudah
memikirkan hal ini. Menemui Masumi dengan cara biasa akan membuatnya canggung
dan mungkin justru membuat Masumi menolaknya.
“Tadi
Nona Mizuki menghubungi saya dan berpesan agar Anda tidak perlu khawatir
masalah pekerjaan. Kak Hijiri sudah mengatasi semuanya sesuai perintah Paman,”
jelas Maya begitu duduk di tepi tempat tidur Masumi dan membuat pria itu
kembali terkejut.
“Hijiri?”
Apalagi ini? Batin Masumi bingung.
Maya
mengangguk mantap dan ekspresinya melunak, bahkan sebuah senyum terulas di
bibir mungilnya. “Hari ini Anda harus beristirahat,” kata Maya, “dan tidak ada
bantahan,” lanjutnya cepat begitu melihat Masumi membuka mulut. Senyum Maya
melebar saat Masumi dengan patuh menutup mulutnya.
“Bagus,”
Maya berdecak senang, “sekarang katakan, apa yang Anda inginkan untuk sarapan?”
Kening
Masumi kembali berkerut dan Maya menghela napas.
“Tenang
saja Tuan Masumi, bukan saya yang akan memasak. Saya akan menyampaikan
permintaan Anda pada pelayan. Saya cukup sadar untuk tidak meracuni Anda dengan
masakan saya,” kata Maya dengan nada kesal di akhir kalimat dan ternyata hal
itu justru membuat Masumi tergelak.
Hati
Maya menghangat melihat kekasih hatinya tertawa. Berhasil, batin Maya senang.
“Anda
menertawakan saya,” Maya kembali melanjutkan aktingnya, pura-pura kesal. Kedua
tangannya terlipat di depan dada.
“Tidak,
aku tidak menertawakanmu,” Masumi akhirnya mampu menimpali perkataan Maya.
Ajaibnya, rasa sakitnya juga hilang entah kemana.
Maya
mendengus pelan, “Saya memang tidak bisa memasak tapi saya masih bisa merawat
Anda dengan baik,” katanya dengan percaya diri.
Sinar
bahagia di mata Masumi meredup, “Kau apa?”
“Saya
bisa merawat Anda dengan baik,” tegas Maya tanpa ragu.
“Kau
akan merawatku?” Masumi memastikan pendengarannya.
Maya
mengangguk mantap. Dia beranjak dari sisi tempat tidur dan sepenuhnya
mengabaikan kebingungan Masumi yang jelas tersirat di kedua mata hitamnya.
Gadis itu menghilang di dalam kamar mandi dan tak lama kemudian terdengar suara
keran air terbuka.
***
Masumi
masih tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang. Maya tengah menyiapkan
sarapan setelah membantunya membersihkan diri di kamar mandi. Semburat merah
mewarnai wajah Masumi saat dirinya kembali teringat bagaimana Maya tanpa
canggung memapahnya ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi.
Bahkan saat perawat memeriksa keadaannya, Maya duduk dengan tenang menemaninya.
Masumi tak berani bertanya apa yang terjadi. Rasanya seperti mimpi saja melihat
Maya bersamanya dan jika memang benar yang dirasakannya adalah mimpi, Masumi
enggan untuk bangun.
“Kenapa
melamun?”
Masumi
tersentak, Maya sudah duduk di tepi tempat tidurnya dengan semangkuk bubur labu
di atas pangkuannya. Masumi menggeleng pelan.
Mengulas
senyum manis, Maya mengangkat bubur di tangannya. “Anda ingin makan sendiri
atau saya suapi?” tanya Maya yang sukses membuat wajahnya sendiri memerah
karena malu.
Melihat
itu membuat Masumi tekekeh pelan lalu meraih mangkuk bubur dari tangan Maya.
“Aku belum sekarat Maya, aku masih bisa makan sendiri,” katanya.
Seketika
senyum di wajah Maya menghilang. Matanya menyendu menatap Masumi. Candaan
Masumi membuat hatinya sakit. Sayangnya hal itu luput dari penglihatan Masumi
yang saat ini tengah sibuk menyantap sarapannya.
“Tolong
jangan berkata seperti itu,” ucap Maya dengan nada sedih.
Masumi
menghentikan suapan ketiganya tepat sebelum sendok itu memasuki mulutnya.
Meletakkan kembali sendok ke dalam mangkuk, Masumi mengamati ekspresi Maya yang
muram. “Hhmm?” gumam Masumi tak mengerti.
Maya
menghela napas panjang. “Tolong jangan katakan hal seperti itu lagi,” ulang
Maya.
Masumi
mengingat perkataannya sendiri, “Maksudmu-,” Masumi menghela napas untuk
menjeda perkataannya, “aku sekarat Maya, itu faktanya,” kata Masumi kemudian.
Keduanya
terdiam. Keheningan yang terasa begitu berat bagi Maya. Apa yang harus
dikatakannya sekarang untuk menguatkan Masumi? Pikir Maya bingung.
“Tidak
seorang manusiapun yang tahu masa depannya Tuan Masumi,” ucap Maya dengan nada
tenang. Dia tidak boleh lemah dengan sikap pesimis Masumi, begitu pikirnya.
“Aku
tahu umurku-,”
“Tidak
Tuan Masumi,” sela Maya cepat. Dia tahu apa yang akan dikatakan Masumi. “Tidak
seorangpun tahu berapa batas umurnya. Hanya Tuhan yang tahu dan sebelum waktu
Tuhan itu tiba, kita tidak pernah diijinkan untuk mengakhiri hidup kita.”
Masumi
mengerutkan kening dengan perkataan Maya, “Aku tidak pernah berencana untuk
mengakhiri hidupku, jika itu yang kau maksud,” jawab Masumi.
Maya
memincingkan mata seraya mendengus pelan, “Anda tidak menjalankan prosedur
pengobatan dengan benar. Tidak mau dirawat sebagaimana mestinya. Menurut Anda
apa artinya itu?”
Masumi
meletakkan mangkuk buburnya ke atas nakas. Nafsu makannya sudah hilang sama
sekali. Entah dia harus marah atau malah sedih dengan perhatian Maya padanya.
Haruskah dia juga marah pada ayahnya yang dia yakini menbuat Maya bersikap
seperti ini? Maya bahkan menginap dan merawatnya, apa arti semua sikap itu?
Kepala Masumi jadi sakit memikirkannya.
“Sebenarnya
aku penasaran,” Masumi tidak berniat menjawab pertanyaan Maya sebelumnya.
Sekarang dia hanya ingin membicarakan tentang Maya. Lebih tepatnya tentang
pikiran gadis itu terhadapnya. “Kenapa kau melakukan semua ini Maya?” tanya
Masumi dengan tatapan lurus ke dalam bola mata coklat gadis di hadapannya.
“Kenapa?”
Maya mengernyit bingung. Kenapa Masumi
masih bertanya kenapa? Pikirnya tidak mengerti.
Masumi
mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangannya dari Maya. “Iya, kenapa kau
bersikap seperti ini padaku. Bukankah kemarin kau-,”
“Bodoh,”
desis Maya kesal yang sontak membuat Masumi terdiam. “Apa Anda masih belum
mengerti juga?” sungutnya seraya melipat tangan di depan dada.
“Aku
memikirkan tentang sesuatu tapi aku takut aku salah,” jawab Masumi tenang.
“Apa
yang Anda pikirkan?” Maya bertanya, penasaran dengan apa yang dipikirkan Masumi
kali ini.
“Apa
Ayahku yang memintamu melakukan semua ini?” tanya Masumi terus terang. Jujur,
menerima semua perhatian Maya justru terasa janggal baginya. “Kau kasihan
padaku setelah tahu semua kenyataannya?”
Maya
menghela napas panjang lalu mengalihkan perhatiannya ke arah jendela, hari
sudah siang. Enggan menjawab pertanyaan Masumi, Maya hanya diam. Masumi sendiri
dengan sabar menunggu Maya menjawab pertanyaannya.
“Sudah
siang,” kata Maya kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya. Gadis itupun
beranjak lalu menatap Masumi yang masih duduk tenang bersandar pada kepala
ranjang. “Sebaiknya Anda istirahat. Jangan lupa untuk meminum obatnya. Saya
harus pergi mengurus beberapa jadwal, mungkin sekitar pukul empat sore saya
kembali. Sampai nanti Tuan Masumi.”
Masumi
bergeming saat Maya membungkuk hormat padanya lalu berjalan keluar kamar.
Bahkan saat pintu kamar tertutup dan Maya benar-benar menghilang dari
hadapannya, Masumi sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Masumi
ingin sekali menganggap semua perhatian Maya padanya adalah cinta yang selama
ini diharapkannya. Bolehkah dirinya berpikir seperti itu? Bolehkah sekali lagi
dia berharap cintanya bisa terwujud? Tapi bagaimana nasib Maya nanti? Ah,
kepala Masumi terasa makin berat saja.
***
Masumi
masih duduk di atas tempat tidur saat pintu kamarnya kembali terbuka.
“Merasa
lebih baik?” tanya Eisuke yang datang bersama Asa.
“Dengan
apa yang Ayah lakukan? Tak banyak membantu sebenarnya,” jawab Masumi.
“Apa
maksudmu?” Eisuke berhenti tepat di sisi tempat tidur Masumi dengan Aya berdiri
di sebelahnya.
“Maya.”
Masumi menatap ayahnya yang tampak kebingungan.
“Aku
tidak melakukan apapun padanya,” kata Eisuke kemudian.
“Menceritakan
semua tentang penyakitku, juga tentang aku yang menolak semua pengobatan?”
Masumi memincingkan matanya.
“Ya,
kecuali bagian itu. Tapi sisanya tidak. Semua murni keinginan Maya. Dia sendiri
yang meminta ijin untuk menginap tadi malam,” terang Eisuke.
Masumi
diam tapi raut wajahnya jelas menunjukkan ketidak percayaan.
“Kau
bisa bertanya pada Hijiri kalau tidak percaya,” kata Eisuke lagi.
Mendengar
nama Hijiri disebut membuat Masumi teringat perkataan Maya pagi tadi. “Apa
benar Hijiri bekerja di kantor hari ini?”
Eisuke
mengangguk. “Dia bisa sangat membantumu, kau tidak perlu khawatir lagi soal
pekerjaan.”
Masumi
kembali terdiam. Semua terjadi begitu mendadak dan itu membuatnya tidak tahu
harus bersikap seperti apa.
“Tidak
perlu banyak berpikir. Aku sama sekali tidak berniat untuk menggantikan
posisimu dengan Hijiri. Semua ini kulakukan agar kau punya waktu lebih banyak
untuk menjalani pengobatan. Selain itu aku memang hanya percaya pada Hijiri.
Mizuki akan membantunya beradaptasi di kantor jadi kau juga tidak perlu
mengkhawatirkannya,” terang Eisuke lagi. Dia tidak mau putranya itu memiliki pikiran
negatif.
“Masumi?”
panggil Eisuke saat Masumi hanya diam dengan kepala tertunduk. “Ada apa?”
Masumi
mengangkat wajahnya lalu menggeleng. “Tidak, tidak ada apa-apa,” jawabnya
seraya menghela napas panjang, “aku hanya bingung harus melakukan apa sekarang.”
Eisuke
dan Asa saling bertukar pandang. Keduanya cukup memahami kebingungan Masumi
dengan semua yang terjadi.
“Tidak
perlu dipikirkan, jalani saja,” celetuk Eisuke kemudian. Masumi kembali
terdiam. “Sebaiknya sekarang kau istirahat,” saran Eisuke.
Asa
mendorong kursi roda Eisuke meninggalkan kamar Masumi. Sekali lagi, Masumi
hanya bisa diam melihat pintu kamarnya tertutup.
***
“Anda
yakin ingin membatalkannya?” Yukari menatap Maya ragu dengan map berisi surat
pengunduran diri yang beberapa hari lalu telah diajukan pada Masumi.
Maya
mengangguk mantap. “Aku sudah memberitahukan hal itu pada Nona Mizuki juga Tuan
Hijiri. Mereka tidak masalah, jadi kau tidak perlu khawatir,” terang Maya
seraya meneguk teh hijau yang disajikan pelayan. Keduanya baru saja menyelesaikan
sebuah wawancara di sebuah stasiun radio dan saat ini sedang beristirahat di
café tak jauh dari Gedung Daito. Maya juga membuat janji dengan Mizuki.
Sejenak
Yukari terdiam. Dia bingung dengan keputusan Maya yang tiba-tiba berubah.
Bukankah kemarin nonanya itu masih mengeluhkan mengenai kontrak kerjanya dengan
Daito yang tak kunjung selesai? Kenapa justru sekarang Maya membatalkannya? Apa
yang terjadi sebenarnya? Dan bagaimana Maya bisa mengenal Hijiri? Bukankah
Hijiri pernah berpesan padanya, Maki juga Iwaguchi kalau jangan sampai Maya
tahu kalau Hijiri lah yang mempekerjakan mereka? Kening Yukari tertekuk dalam.
“Maaf
Nona, siapa Tuan Hijiri?” Yukari pura-pura tidak tahu untuk memancing Maya.
“Ah
iya, aku lupa kalau kau belum mengenalnya. Dia itu Wakil Direktur Daito yang
baru,” terang Maya dengan senyum lebar dan sekali lagi meneguk tehnya.
Yukari
terbelalak karena terkejut tapi kemudian bibirnya membulat lalu mengangguk
tanda mengerti. Jadi Maya memang sudah mengenal Hijiri sebelumnya. Tapi sejak
kapan Hijiri menjabat sebagai Wakil Direktur Daito? Yukari merasakan otaknya
mulai kusut.
Sebuah
pertanyaan kembali terlintas di dalam kepala Yukari. Sebenarnya seistimewa apa
seorang Maya Kitajima bagi Daito sampai semua keinginannya bisa terpenuhi semudah
ini. Hei, dirinya juga pernah menangani artis besar sebelum Hijiri merekrutnya
tapi tidak seorangpun dari mereka pernah mendapat keistimewaan seperti Maya.
Bahkan salah satu aktris yang ditanganinya pernah berakhir di meja hijau karena
menyalahi kontrak dan berakhir dengan membayar denda yang tidak sedikit.
Yukari
menghela napas panjang. Apa benar Nona
Maya memiliki hubungan spesial dengan Tuan Masumi? Bukan hanya karena dia
pemegang hak pementasan Bidadari Merah? Batin Yukari.
“Kenapa
melamun?”
Yukari
tersentak saat Maya melambaikan tangan di depan wajahnya. “Ma-maaf Nona,” ucap
Yukari sembari mengulas sebuah senyum, “saya hanya sedang memikirkan beberapa
hal,” lanjutnya.
Maya
hanya ber-oh pelan lalu kembali
menikmati tehnya. Kali ini bersama sepotong Black
Forest yang baru saja disajikan. Perhatian keduanya teralihkan saat seorang
wanita datang menghampiri meja mereka. Maya memberikan senyum termanisnya.
“Selamat
siang Nona Mizuki,” sapa Maya ramah diikuti oleh Yukari.
“Selamat
siang Nona Maya, Nona Yukari,” balas Mizuki. Diapun duduk di hadapan Maya lalu
memesan satu cangkir coffelatte pada
pelayan. “Sudah lama menunggu?” tanya Mizuki kemudian.
Maya
menggeleng, “Kami juga belum lama sampai.”
Mizuki
tersenyum. “Bagaimana perkembangannya?” tanyanya.
“Aku
sedang berusaha Nona Mizuki,” jawab Maya. Yukari yang duduk di sebelahnya hanya
duduk diam karena tidak mengerti dengan topik pembicaraan Maya juga Mizuki.
“Cukup
keras kepala?” kekeh Mizuki.
“Sangat,”
jelas Maya seraya menghela napas panjang, “tapi aku tidak akan menyerah. Aku
yakin kali ini aku pasti berhasil, lihat saja,” lanjutnya dengan penuh
keyakinan.
“Kudoakan
semuanya berjalan lancar,” kata Mizuki dan sesaat kemudian keduanya tertawa
renyah, mengabaikan Yukari yang benar-benar kebingungan menatap keduanya.
***
Seperti
apa yang Maya katakan, tepat pukul empat dia kembali ke Mansion Hayami. Bibi
Harada, kepala pelayan keluarga Hayami menyambutnya dengan senyum lebar. Maya
sendiri langsung mengintrogasinya. Senyum Maya terkembang sempurna saat Bibi
Harada melaporkan bahwa Masumi seharian istirahat di kamarnya, makan dan minum
obat dengan baik.
Eisuke
yang melihat Maya datang merasa begitu lega. Setidaknya ada harapan untuk
membuat Masumi kembali bersemangat.
“Selamat
sore Paman,” sapa Maya sopan seraya membungkukkan badan. Sikapnya tak lagi
canggung saat berhadapan dengan Eisuke. Bahkan dia sudah mengantongi restu
sebagai menantu keluarga Hayami.
“Sore
Maya,” balas Eisuke. “Kau sudah bertemu Mizuki?”
Mengangguk
mantap, Maya tersenyum senang, “Sudah Paman. Nona Mizuki juga yang menemaniku
menyiapkan semuanya,” jelas Maya.
Eisuke
ikut mengangguk senang, berharap apa yang dilakukan Maya kali ini bisa membawa
kebahagiaan untuk putranya.
“Bolehkah
aku menemui Tuan Masumi sekarang?” tanya Maya tidak sabar.
“Tentu,
temuilah dia. Sepertinya Masumi juga sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu,”
jawab Eisuke.
Maya
terkekeh. “Semoga memang begitu Paman.” Diapun pergi ke kamar Masumi. Meski tampak
begitu tenang tapi sebenarnya hati Maya sedang gelisah. Maya mengeratkan tangan
pada tali tote bag yang disandangnya,
memantapkan hati akan apa yang akan dilakukannya. Menurutnya, hanya ini
satu-satunya cara meyakinkan Masumi tentang kesungguhan cintanya.
Langkah
kaki Maya berhenti tepat di depan pintu ganda besar berwana coklat. Menarik
napas panjang, Maya mengetuk pintu. Mendengar jawaban dari dalam kamar, Maya
membuka pintu perlahan.
“Selamat
sore Tuan Masumi,” sapa Maya ramah.
Masumi
yang sedang membaca buku di atas tempat tidurnya tidak terkejut dengan kedatangan
Maya. “Kau sudah pul- ah maksudku kau baru saja datang?” kata Masumi kikuk.
Maya
tersenyum, mendengar kata pulang membuat hati Maya melonjak senang. Apakah
Masumi juga mengharapkan ini menjadi rumah untuknya pulang?
“Iya,
saya baru saja sampai. Bagaimana keadaan Anda?” Tanpa canggung Maya duduk di
tepi tempat tidur Masumi.
Menutup
buku lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman, Masumi menatap Maya
dengan tatapan menyelidik. “Apakah ini adalah jawaban dari pertanyaanku semalam
Maya?” tanyanya tiba-tiba.
Kening
Maya berkerut. “Pertanyaan semalam?” Maya balik bertanya.
“Sebelum
aku pingsan,” lanjut Masumi, “aku bertanya padamu tentang apa artinya aku
bagimu setelah kau tahu keadaanku. Apakah ini jawabannya? Bukan karena kau
kasihan padaku? Kau sudah tidak marah padaku?” Masumi tampak tidak sabar hingga
mencecar Maya dengan banyak pertanyaan.
Maya
tersenyum simpul, memberanikan diri meraih tangan Masumi lalu menggenggamnya
erat. “Apa semua ini kurang jelas Tuan Masumi? Bukankah Anda sendiri yang mengatakan
kalau Anda mencintai saya?” Maya mengangkat telapak tangan besar itu dan
menempelkannya di sisi wajahnya. “Saya juga mencintai Anda, Tuan Masumi,”
ucapnya syahdu.
“Maya-,”
lirih Masumi.
“Saya
memang sempat marah tapi itu karena saya tidak tahu alasan dari semua sikap
Anda. Yang pasti, sejak dulu sampai hari ini, perasaan saya pada Anda tidak
pernah berubah,” lanjut Maya.
Hati
Masumi bergetar mendengar penuturan Maya, kekasih hatinya. Tak menahan diri
lagi, Masumi menarik Maya ke dalam pelukannya.
“Terima
kasih Maya,” bisik Masumi penuh haru, “terima kasih.”
Maya
tersenyum lega dalam pelukan kekasihnya. Akhirnya Masumi memahami dan mau
menerima perasaannya. “Hei Tuan Masumi,” kata Maya kemudian, “ayo kita
menikah,” pintanya seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh Masumi yang
tiba-tiba menegang.
***
>>Bersambung<<
20 Comments
Alooooo....ada yang kangen padaku?
ReplyDeleteHahaaa, maaflah ya molor lama buanget apdetnya.
Maklum aja ama kondisi yang lagi ga tentu arah ini ya. hobinya pengen tidur aja soalnya.
Wkwkwkk...selamat menikmati aja deh.
Next chap slow but sure kok, pasti tamat, tenang aja, hihiiii
Happy reading
Arigato buat yang udah setia menunggu, jangan lupa komennya, muaahhhh
Aw aw aw ada yang menegang wkwkwk.
ReplyDeleteWwkk wwkk motongnya pas banget kak agnes, smoga aja cepat apdetanya, semangat terus ya kak
ReplyDeleteWwkk wwkk motongnya pas banget kak agnes, smoga aja cepat apdetanya, semangat terus ya kak
ReplyDeleteMau mau mau mau ayyooo masumi qt menikah
ReplyDeleteHadohhh...kok motongnya pas benerrrr, jd kepo maksimal nih???!
ReplyDeleteLagi.. lagi... lagiii
ReplyDeleteIhiiirr....menikah...update nya yg hepi2 saja ya bumil..biar debay ikutan hepi wkwkwk..jangan lupa jaga kesehatan mba..
ReplyDeletehaaa...akhirnya lanjut, but kenapa singkat dan endingnya bikin geregetan sisst..hahaha. Sangat ditunggu lanjutannya..
ReplyDeleteOw ow... motongnnya pinter banget deh mba agnes, bikin makin penasaran 😂😂😂
ReplyDeleteI do i do..
ReplyDeletePerasaan sih kayanya bakalan sad ending nih en pst bikin mewek..tp gak papa, jarang kan MM sad ending..
Semangkaa mba agnes buat update nya
Ayooooooooo..... Udah lama bacanya tapi baru sempat komen sekarang hehe... tetep cemungut y makbun :D
ReplyDeleteSelalu digantung penasaran ðŸ˜. aq ga akan comment ceritanya, coz dah pasti cerita author yang satu ini number uno. cuma mo comment, jangan lama lagi update nyaaaaa😂😂😂
ReplyDeleteMbak Agnes yg cantik, kami menunggu lanjutannya Heart 6nya ;) xoxo...
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya mbak.. ����
ReplyDeleteLanjut mbaaa...
ReplyDeleteLanjut yaaaa..
ReplyDeletePlease tetep happy ending yaa
I am desperately waiting for chapter 6 T_T
ReplyDeleteMbak Agnes ditunggu ya update chapternya ... penasaraaaannn akhirnya gimana...
ReplyDeleteDear MM Lover...thanks ya buat yang suka ama serial ini. Maaf sebelumnya kalau apdetnya jadi molor lama karena banyak urusan di dunia nyata. Puji Tuhan semua sudah selesai sekarang dan chapter 6 mulai ditulis lagi. tetap semangat nunggu ya ya, biar authornya juga semangat nulisnya. hahahaa...thanks :)
ReplyDelete