Heart - Chapter 5

Disclaimer : Garassu no Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes Kristi
Setting : Lanjutan "Bersatunya Dua Jiwa 3"

Summary : Hati tak pernah bisa berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka. 

*********************************************************************************




Jealous by Labrinth


I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan
That falls upon your skin
Yang jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have been
Lebih dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku iri pada hujan

I'm jealous of the windu
Aku iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind, cause
Oh aku iri pada angin, karena

[Chorus:]
I wished you the best of
Ku berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come back, tell me all you found was
Tapi ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm jealous of the way
Sulit kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia tanpaku

I'm jealous of the nights
Ku iri pada malam
That I don't spend with you
Yang tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh, aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku iri pada cinta

***



Maya berdiri dengan gelisah di ruang keluarga Mansion Hayami. Kedua tangannya saling meremas dengan kaki tak berhenti berputar ke kanan dan ke kiri, keringat dingin mulai membasahi keningnya.

"Duduklah Nona."

Maya menggeleng atas saran yang diberikan oleh Hijiri. Dia bahkan sudah tidak ingat daftar pertanyaan yang sudah disusunnya untuk orang kepercayaan keluarga Hayami itu. Pingsannya Masumi membuat pikiran Maya berantakan. Takut. Khawatir. Semua perasaan itu membuatnya tidak tenang. Kanker hati stadium dua. Keterangan yang diberikan Eisuke padanya tadi terus terngiang di telinga Maya dan membuat gadis itu semakin frustasi.

"Kenapa?" Maya menggumam lalu menggigit bibir bawahnya, kakinya masih terus bergerak tak tentu arah. Berputar-putar di sekitar meja besar.

Hijiri diam mengamati Maya yang jelas tampak terguncang. Meski begitu ada kelegaan dalam hatinya karena Masumi sudah jujur tentang keadaannya. Hijiri berharap hubungan keduanya membaik dan Masumi lebih optimis menghadapi penyakitnya.

"Kenapa Kak Hijiri tidak mengatakannya padaku?" gumam Maya lagi tanpa menatap Hijiri sedikit pun, dia masih saja berputar-putar seraya meremas kedua tangannya, "kenapa lama sekali? Apa sesuatu terjadi padanya? Astaga, kenapa kita tidak membawanya ke rumah sakit saja? Bagaimana kalau-," Maya menghentikan langkahnya lalu menggeleng keras demi menghalau pikiran buruk yang melintas di dalam kepalanya. Diapun kembali berputar-putar dengan ekspresi yang makin kacau.

Baru saja Hijiri hendak berkomentar, kedatangan Eisuke membuatnya kembali menutup mulut. Maya sendiri langsung berhenti dengan wajah tegang dan berjalan cepat menghampiri Eisuke dan Dokter Hayate, dokter yang memeriksa Masumi.

"Paman, Paman, bagaimana keadaan Tuan Masumi? Kenapa kita tidak membawanya ke rumah sakit saja? Bagaimana kalau sesuatu terjadi dan kita terlambat? Kena-,"

"Sstt, Maya tenanglah," Eisuke meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya, mencoba untuk menenangkan Maya yang panik.

Maya benar-benar lepas kendali. Dia bahkan lupa posisi Eisuke dan memanggilnya seperti saat mereka bertemu dulu. Sungguh saat ini pikiran Maya hanya dipenuhi oleh Masumi.

"Tapi Paman, Tuan Masumi-,"

"Tuan Masumi baik-baik saja, setidaknya untuk saat ini," pernyataan dari dokter Hayate membuat Maya terdiam.

Beberapa saat gadis itu terpaku demi menenangkan hati dan pikirannya. Eisuke yang melepaskan tangannya membuat Maya tersadar.

"Pam-, ah maaf, Tuan Besar," Maya membungkuk hormat dan menyesali sikap dan kebodohannya.

"Tidak apa-apa Maya, kau bisa memanggilku seperti biasa," Eisuke tersenyum menatap gadis di hadapannya. Melihat kepanikan Maya justru membuat Eisuke lega. Dia yakin Maya tidak akan meninggalkan Masumi. Putranya itu berhak bahagia.

Maya kembali menegakkan tubuhnya dan dengan menahan malu mengangguk pada Eisuke. Perhatiannya kemudian teralih pada sang dokter.

"Apa benar Tuan Masumi baik-baik saja? Tidak perlu membawanya ke rumah sakit?" Tanya Maya lagi.

Dokter Hayate menggeleng, "Tuan Masumi tidak suka di rumah sakit. Bahkan tadi pagi Tuan Masumi memaksa pulang," terangnya dan melihat wajah Maya kembali khawatir membuat Dokter Hayate kembali melanjutkan penjelasannya, "tapi Anda tidak perlu khawatir Nona, Tuan Masumi hanya kelelahan dan butuh banyak istirahat. Perawat juga akan memeriksa keadaannya secara berkala. Setidaknya untuk saat ini kondisinya sudah stabil."

Kekhawatiran Maya sedikit berkurang tapi raut wajahnya masih jelas menampakkan kekalutan.

"Kau boleh melihatnya kalau mau," ucap Eisuke yang mengerti keinginan Maya.

Mata gadis itu membulat, "Benarkah?" Pekiknya tanpa sadar. Maya menutup mulutnya dengan telapak tangan lalu segera meminta maaf pada Eisuke hingga pria paruh baya itu justru terkekeh melihat tingkah Maya.

"Hijiri, antar Maya ke kamar Masumi," perintah Eisuke kemudian.

"Baik Tuan Besar," Hijiri mengangguk hormat.

Maya mengucapkan terima kasih pada Eisuke dan dokter Hayate sebelum berjalan dengan langkah cepat mengikuti Hijiri. Dia tidak sadar kalau Dokter Hayate terus memperhatikannya.

"Jadi, Nona Kitajima adalah-?" Dokter Hayate tidak melanjutkan pertanyaannya dan menatap Eisuke yang justru mengulum senyum.

"Anda pasti bisa menebaknya dokter Hayate," Eisuke menoleh ke arah sang dokter yang tampak terkejut, "dia kekasih Masumi, calon menantuku."

Dokter Hayate mengangguk seraya mengulas senyum. Ah, tidak disangkanya pria dingin seperti Masumi memiliki kekasih cantik yang ceria seperti Maya Kitajima. Ya, itulah hati manusia, siapa yang bisa menebak?

***
Maya cukup terkejut begitu memasuki kamar Masumi. Kamar itu sangat besar dan tampak begitu mewah. Tempat tidur king size terletak di tengah ruangan. Lemari buku, meja kerja, sofa dan semua furnitur yang ada di dalam kamar itu benar-benar barang mewah yang membuat Maya berdecak kagum. Sayangnya semua kemewahan itu menjadi tak berarti di mata Maya saat melihat Masumi terbaring di atas tempat tidur.

Melihat Maya datang, perawat laki-laki yang tadi sedang menjaga Masumi kemudian minta ijin keluar. Perlahan Maya mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Masumi. Wajah pucat itu membuat hati Maya miris. Disentuhnya hati-hati tangan kanan Masumi, dingin.

"Apa selalu seperti ini?" lirih Maya tapi dia yakin Hijiri yang berdiri di belakangnya mendengar.

"Ya Nona tapi Tuan Muda selalu keras kepala jika diminta istirahat," jawab Hijiri.

Maya terdiam. Penjelasan Eisuke tadi kembali terngiang di dalam kepalanya.

"Dokter menyatakan Masumi menderita kanker hati stadium dua," kata Eisuke. Dia dan Maya sedang berada di ruang tengah Mansion Hayami, sementara Dokter Hayate sedang memeriksa Masumi di kamarnya.

"Apakah ada kemungkinan untuk sembuh?" tanya Maya khawatir.

"Sembuh? Sayangnya aku harus menjawab tidak. Tapi sejauh ini dokter Hayate dan timnya sudah mengupayakan yang terbaik. Masumi sudah menjalani ablasi untuk membunuh sel kanker itu. Cara lain adalah dengan transplantasi hati. Meski kemungkinannya hanya tiga puluh persen tapi aku sendiri tidak menyerah. Sayangnya anak itu kehilangan semangat hidup dan tidak berniat untuk menjalani proses pengobatan lebih lanjut," lanjut Eisuke.

Maya menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan Eisuke.

"Apa Tuan Masumi takut?" lirihnya.

Eisuke terkekeh, "Takut? Bukan meja operasi yang membuatnya takut tapi kau Maya."

"Saya?" Maya mengernyit tak mengerti.

"Masumi terlalu takut untuk mengatakan kondisinya padamu. Pertama takut akan penolakanmu dan yang kedua takut jika hal itu akan membuatmu terluka. Bukankah dia berjanji akan menjemputmu dengan layak dan membahagiakanmu? Kau pikir dengan keadaannya sekarang, apa dia bisa melakukannya? Menjemputmu hanya untuk mendapatkanmu menangis dan prediksi buruknya melukaimu dengan kepergiannya?"

"Dan Tuan Masumi memilih untuk mengabaikan saya," ucap Maya dengan kepala tertunduk.

"Dokter Hayate memperkirakan kemungkinan bertahan Masumi setelah transplantasi tidak lebih dari sepuluh tahun, itupun jika tidak terjadi infeksi ataupun komplikasi lainnya. Dia sengaja mengabaikanmu dan berharap dengan begitu kau lebih mudah melupakannya. Kau tidak akan terluka jika akhirnya dia pergi," jawab Eisuke, “sekarang anak itu tidak mau melakukan pengobatan. Jika terus seperti ini sama saja Masumi mencoba untuk bunuh diri. Tanpa pengobatan, sel kanker itu akan semakin cepat menyebar.”

"Bodoh," desis Maya selirih mungkin, sayangnya Eisuke mendengar dan justru tertawa karenanya.

"Nah Maya, sepertinya aku tidak perlu bertanya lagi. Kau pasti bersedia untuk menerima putraku kan?" Kata Eisuke di sela-sela kekehannya. Melihat reaksi Maya, Eisuke tahu gadis itu juga mencintai putranya.

"Tentu saja," jawab Maya cepat namun sedetik kemudian kepalanya tertunduk dengan wajah semerah kepiting rebus dan Eisuke kembali tertawa.

"Maaf," ucap Maya kemudian.

"Tidak, tidak, kau tidak perlu meminta maaf. Aku mengerti," jawab Eisuke seraya tersenyum, "baiklah, aku ingin menemui Dokter Hayate. Kau bisa menunggu di sini."

"Baik Tuan Besar," Maya mengangguk dan Asa mendorong kursi roda Eisuke meninggalkan ruang tengah.

Menghela napas panjang begitu tersadar dari lamunannya, Maya memperbaiki selimut Masumi.

"Kak Hijiri.”


“Ya Nona,” Hijiri selangkah lebih maju mendekati Maya.

“Aku ingin bicara empat mata dengan Tuan Besar,” pinta Maya.

Sesaat Hijiri terdiam, menelisik ke dalam mata bulat Maya yang kini tengah menatapnya tajam. “Baik Nona,” jawab Hijiri kemudian seraya mengangguk hormat sebelum pergi meninggalkan Maya sendiri di dalam kamar.

Perhatian Maya kembali teralihkan pada Masumi yang masih tertidur lelap. Dokter Hayate memberinya obat tidur agar Tuan Muda Keras Kepala itu bisa istirahat lebih lama.

“Hei Tuan Masumi,” sebuah senyum tersungging di bibir cherry Maya, “aku mencintaimu.”

***
Erangan lirih lolos dari bibir pucat Masumi, perlahan kelopak matanya terbuka dan saat menyadari keradaannya di dalam kamar, Masumi mengerutkan kening tanda berpikir. Memori terakhir yang teringat olehnya adalah saat dirinya dan Maya berjalan di taman lalu rasa sakit merenggut semua kesadarannya. Masumi juga ingat kalau dia mendengar teriakan Maya yang memanggil namanya.

Bagaimana gadis itu sekarang? Pertanyaan itu muncul di benak Masumi. Apa yang harus dikatakannya saat mereka bertemu lagi? Pertanyaan lain muncul di dalam kepalanya. Kerutan di kening Masumi semakin dalam saat sebuah kemungkinan melintas di dalam pikirannya. Apa yang terjadi saat dirinya tidak sadar? Apa Maya bertemu ayahnya? Pikiran negatif mulai menguasainya.

Tidak! Masumi menggeleng pelan untuk menepis semua kemungkinan buruk di dalam kepalanya. Memaksakan diri untuk bangun, lagi-lagi Masumi melenguh lirih begitu merasakan nyeri kembali menyambangi perut bagian kirinya.

“Astaga Tuan Masumi, bisakah Anda tidak keras kepala dan tetap berbaring?”

Masumi terkejut melihat siapa yang telah memarahinya. Maya. Gadis itu bertolak pinggang dengan wajah kesal di ambang pintu kamarnya. “Ma … ya?” Masumi bahkan ragu kalau sosok gadis di hadapannya itu nyata. Apa yang dilakukan gadis itu di kamarnya sepagi ini? Tanpa sadar bola mata Masumi bergulir ke arah jam dinding besar di seberang tempat tidurnya, pukul tujuh pagi. Mimpikah? Mulut Masumi masih terkunci saat Maya menghentakkan kaki menghampirinya.

“Kembali berbaring!” perintah Maya dan anehnya Masumi menurut begitu saja. Dia kembali berbaring dengan mata tak lepas memandang wajah Maya yang masih tertekuk kesal. “Dokter sudah berpesan agar Anda banyak istirahat dan saya akan memastikan Anda melakukannya,” sungut Maya dengan tangan sibuk membenahi selimut Masumi.

Maya sadar kalau Masumi sangat terkejut dengan keberadaannya tapi bukan Maya namanya kalau dia tidak bisa berakting ‘semua baik-baik saja’. Semalaman dia sudah memikirkan hal ini. Menemui Masumi dengan cara biasa akan membuatnya canggung dan mungkin justru membuat Masumi menolaknya.

“Tadi Nona Mizuki menghubungi saya dan berpesan agar Anda tidak perlu khawatir masalah pekerjaan. Kak Hijiri sudah mengatasi semuanya sesuai perintah Paman,” jelas Maya begitu duduk di tepi tempat tidur Masumi dan membuat pria itu kembali terkejut.

“Hijiri?” Apalagi ini? Batin Masumi bingung.

Maya mengangguk mantap dan ekspresinya melunak, bahkan sebuah senyum terulas di bibir mungilnya. “Hari ini Anda harus beristirahat,” kata Maya, “dan tidak ada bantahan,” lanjutnya cepat begitu melihat Masumi membuka mulut. Senyum Maya melebar saat Masumi dengan patuh menutup mulutnya.

“Bagus,” Maya berdecak senang, “sekarang katakan, apa yang Anda inginkan untuk sarapan?”

Kening Masumi kembali berkerut dan Maya menghela napas.

“Tenang saja Tuan Masumi, bukan saya yang akan memasak. Saya akan menyampaikan permintaan Anda pada pelayan. Saya cukup sadar untuk tidak meracuni Anda dengan masakan saya,” kata Maya dengan nada kesal di akhir kalimat dan ternyata hal itu justru membuat Masumi tergelak.

Hati Maya menghangat melihat kekasih hatinya tertawa. Berhasil, batin Maya senang.

“Anda menertawakan saya,” Maya kembali melanjutkan aktingnya, pura-pura kesal. Kedua tangannya terlipat di depan dada.

“Tidak, aku tidak menertawakanmu,” Masumi akhirnya mampu menimpali perkataan Maya. Ajaibnya, rasa sakitnya juga hilang entah kemana.

Maya mendengus pelan, “Saya memang tidak bisa memasak tapi saya masih bisa merawat Anda dengan baik,” katanya dengan percaya diri.

Sinar bahagia di mata Masumi meredup, “Kau apa?”

“Saya bisa merawat Anda dengan baik,” tegas Maya tanpa ragu.

“Kau akan merawatku?” Masumi memastikan pendengarannya.

Maya mengangguk mantap. Dia beranjak dari sisi tempat tidur dan sepenuhnya mengabaikan kebingungan Masumi yang jelas tersirat di kedua mata hitamnya. Gadis itu menghilang di dalam kamar mandi dan tak lama kemudian terdengar suara keran air terbuka.

***
Masumi masih tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang. Maya tengah menyiapkan sarapan setelah membantunya membersihkan diri di kamar mandi. Semburat merah mewarnai wajah Masumi saat dirinya kembali teringat bagaimana Maya tanpa canggung memapahnya ke kamar mandi untuk membasuh wajah dan menggosok gigi. Bahkan saat perawat memeriksa keadaannya, Maya duduk dengan tenang menemaninya. Masumi tak berani bertanya apa yang terjadi. Rasanya seperti mimpi saja melihat Maya bersamanya dan jika memang benar yang dirasakannya adalah mimpi, Masumi enggan untuk bangun.

“Kenapa melamun?”

Masumi tersentak, Maya sudah duduk di tepi tempat tidurnya dengan semangkuk bubur labu di atas pangkuannya. Masumi menggeleng pelan.

Mengulas senyum manis, Maya mengangkat bubur di tangannya. “Anda ingin makan sendiri atau saya suapi?” tanya Maya yang sukses membuat wajahnya sendiri memerah karena malu.

Melihat itu membuat Masumi tekekeh pelan lalu meraih mangkuk bubur dari tangan Maya. “Aku belum sekarat Maya, aku masih bisa makan sendiri,” katanya.

Seketika senyum di wajah Maya menghilang. Matanya menyendu menatap Masumi. Candaan Masumi membuat hatinya sakit. Sayangnya hal itu luput dari penglihatan Masumi yang saat ini tengah sibuk menyantap sarapannya.

“Tolong jangan berkata seperti itu,” ucap Maya dengan nada sedih.

Masumi menghentikan suapan ketiganya tepat sebelum sendok itu memasuki mulutnya. Meletakkan kembali sendok ke dalam mangkuk, Masumi mengamati ekspresi Maya yang muram. “Hhmm?” gumam Masumi tak mengerti.

Maya menghela napas panjang. “Tolong jangan katakan hal seperti itu lagi,” ulang Maya.

Masumi mengingat perkataannya sendiri, “Maksudmu-,” Masumi menghela napas untuk menjeda perkataannya, “aku sekarat Maya, itu faktanya,” kata Masumi kemudian.

Keduanya terdiam. Keheningan yang terasa begitu berat bagi Maya. Apa yang harus dikatakannya sekarang untuk menguatkan Masumi? Pikir Maya bingung.

“Tidak seorang manusiapun yang tahu masa depannya Tuan Masumi,” ucap Maya dengan nada tenang. Dia tidak boleh lemah dengan sikap pesimis Masumi, begitu pikirnya.

“Aku tahu umurku-,”

“Tidak Tuan Masumi,” sela Maya cepat. Dia tahu apa yang akan dikatakan Masumi. “Tidak seorangpun tahu berapa batas umurnya. Hanya Tuhan yang tahu dan sebelum waktu Tuhan itu tiba, kita tidak pernah diijinkan untuk mengakhiri hidup kita.”

Masumi mengerutkan kening dengan perkataan Maya, “Aku tidak pernah berencana untuk mengakhiri hidupku, jika itu yang kau maksud,” jawab Masumi.

Maya memincingkan mata seraya mendengus pelan, “Anda tidak menjalankan prosedur pengobatan dengan benar. Tidak mau dirawat sebagaimana mestinya. Menurut Anda apa artinya itu?”

Masumi meletakkan mangkuk buburnya ke atas nakas. Nafsu makannya sudah hilang sama sekali. Entah dia harus marah atau malah sedih dengan perhatian Maya padanya. Haruskah dia juga marah pada ayahnya yang dia yakini menbuat Maya bersikap seperti ini? Maya bahkan menginap dan merawatnya, apa arti semua sikap itu? Kepala Masumi jadi sakit memikirkannya.

“Sebenarnya aku penasaran,” Masumi tidak berniat menjawab pertanyaan Maya sebelumnya. Sekarang dia hanya ingin membicarakan tentang Maya. Lebih tepatnya tentang pikiran gadis itu terhadapnya. “Kenapa kau melakukan semua ini Maya?” tanya Masumi dengan tatapan lurus ke dalam bola mata coklat gadis di hadapannya.

“Kenapa?” Maya mengernyit bingung. Kenapa Masumi masih bertanya kenapa? Pikirnya tidak mengerti.

Masumi mengangguk pelan tanpa melepaskan pandangannya dari Maya. “Iya, kenapa kau bersikap seperti ini padaku. Bukankah kemarin kau-,”

“Bodoh,” desis Maya kesal yang sontak membuat Masumi terdiam. “Apa Anda masih belum mengerti juga?” sungutnya seraya melipat tangan di depan dada.

“Aku memikirkan tentang sesuatu tapi aku takut aku salah,” jawab Masumi tenang.

“Apa yang Anda pikirkan?” Maya bertanya, penasaran dengan apa yang dipikirkan Masumi kali ini.
“Apa Ayahku yang memintamu melakukan semua ini?” tanya Masumi terus terang. Jujur, menerima semua perhatian Maya justru terasa janggal baginya. “Kau kasihan padaku setelah tahu semua kenyataannya?”

Maya menghela napas panjang lalu mengalihkan perhatiannya ke arah jendela, hari sudah siang. Enggan menjawab pertanyaan Masumi, Maya hanya diam. Masumi sendiri dengan sabar menunggu Maya menjawab pertanyaannya.

“Sudah siang,” kata Maya kemudian tanpa mengalihkan perhatiannya. Gadis itupun beranjak lalu menatap Masumi yang masih duduk tenang bersandar pada kepala ranjang. “Sebaiknya Anda istirahat. Jangan lupa untuk meminum obatnya. Saya harus pergi mengurus beberapa jadwal, mungkin sekitar pukul empat sore saya kembali. Sampai nanti Tuan Masumi.”

Masumi bergeming saat Maya membungkuk hormat padanya lalu berjalan keluar kamar. Bahkan saat pintu kamar tertutup dan Maya benar-benar menghilang dari hadapannya, Masumi sama sekali tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Masumi ingin sekali menganggap semua perhatian Maya padanya adalah cinta yang selama ini diharapkannya. Bolehkah dirinya berpikir seperti itu? Bolehkah sekali lagi dia berharap cintanya bisa terwujud? Tapi bagaimana nasib Maya nanti? Ah, kepala Masumi terasa makin berat saja.

***
Masumi masih duduk di atas tempat tidur saat pintu kamarnya kembali terbuka.

“Merasa lebih baik?” tanya Eisuke yang datang bersama Asa.

“Dengan apa yang Ayah lakukan? Tak banyak membantu sebenarnya,” jawab Masumi.

“Apa maksudmu?” Eisuke berhenti tepat di sisi tempat tidur Masumi dengan Aya berdiri di sebelahnya.

“Maya.” Masumi menatap ayahnya yang tampak kebingungan.

“Aku tidak melakukan apapun padanya,” kata Eisuke kemudian.

“Menceritakan semua tentang penyakitku, juga tentang aku yang menolak semua pengobatan?” Masumi memincingkan matanya.

“Ya, kecuali bagian itu. Tapi sisanya tidak. Semua murni keinginan Maya. Dia sendiri yang meminta ijin untuk menginap tadi malam,” terang Eisuke.

Masumi diam tapi raut wajahnya jelas menunjukkan ketidak percayaan.

“Kau bisa bertanya pada Hijiri kalau tidak percaya,” kata Eisuke lagi.

Mendengar nama Hijiri disebut membuat Masumi teringat perkataan Maya pagi tadi. “Apa benar Hijiri bekerja di kantor hari ini?”

Eisuke mengangguk. “Dia bisa sangat membantumu, kau tidak perlu khawatir lagi soal pekerjaan.”

Masumi kembali terdiam. Semua terjadi begitu mendadak dan itu membuatnya tidak tahu harus bersikap seperti apa.

“Tidak perlu banyak berpikir. Aku sama sekali tidak berniat untuk menggantikan posisimu dengan Hijiri. Semua ini kulakukan agar kau punya waktu lebih banyak untuk menjalani pengobatan. Selain itu aku memang hanya percaya pada Hijiri. Mizuki akan membantunya beradaptasi di kantor jadi kau juga tidak perlu mengkhawatirkannya,” terang Eisuke lagi. Dia tidak mau putranya itu memiliki pikiran negatif.

“Masumi?” panggil Eisuke saat Masumi hanya diam dengan kepala tertunduk. “Ada apa?”

Masumi mengangkat wajahnya lalu menggeleng. “Tidak, tidak ada apa-apa,” jawabnya seraya menghela napas panjang, “aku hanya bingung harus melakukan apa sekarang.”

Eisuke dan Asa saling bertukar pandang. Keduanya cukup memahami kebingungan Masumi dengan semua yang terjadi.

“Tidak perlu dipikirkan, jalani saja,” celetuk Eisuke kemudian. Masumi kembali terdiam. “Sebaiknya sekarang kau istirahat,” saran Eisuke.

Asa mendorong kursi roda Eisuke meninggalkan kamar Masumi. Sekali lagi, Masumi hanya bisa diam melihat pintu kamarnya tertutup.

***
“Anda yakin ingin membatalkannya?” Yukari menatap Maya ragu dengan map berisi surat pengunduran diri yang beberapa hari lalu telah diajukan pada Masumi.

Maya mengangguk mantap. “Aku sudah memberitahukan hal itu pada Nona Mizuki juga Tuan Hijiri. Mereka tidak masalah, jadi kau tidak perlu khawatir,” terang Maya seraya meneguk teh hijau yang disajikan pelayan. Keduanya baru saja menyelesaikan sebuah wawancara di sebuah stasiun radio dan saat ini sedang beristirahat di café tak jauh dari Gedung Daito. Maya juga membuat janji dengan Mizuki.

Sejenak Yukari terdiam. Dia bingung dengan keputusan Maya yang tiba-tiba berubah. Bukankah kemarin nonanya itu masih mengeluhkan mengenai kontrak kerjanya dengan Daito yang tak kunjung selesai? Kenapa justru sekarang Maya membatalkannya? Apa yang terjadi sebenarnya? Dan bagaimana Maya bisa mengenal Hijiri? Bukankah Hijiri pernah berpesan padanya, Maki juga Iwaguchi kalau jangan sampai Maya tahu kalau Hijiri lah yang mempekerjakan mereka? Kening Yukari tertekuk dalam.

“Maaf Nona, siapa Tuan Hijiri?” Yukari pura-pura tidak tahu untuk memancing Maya.

“Ah iya, aku lupa kalau kau belum mengenalnya. Dia itu Wakil Direktur Daito yang baru,” terang Maya dengan senyum lebar dan sekali lagi meneguk tehnya.

Yukari terbelalak karena terkejut tapi kemudian bibirnya membulat lalu mengangguk tanda mengerti. Jadi Maya memang sudah mengenal Hijiri sebelumnya. Tapi sejak kapan Hijiri menjabat sebagai Wakil Direktur Daito? Yukari merasakan otaknya mulai kusut.

Sebuah pertanyaan kembali terlintas di dalam kepala Yukari. Sebenarnya seistimewa apa seorang Maya Kitajima bagi Daito sampai semua keinginannya bisa terpenuhi semudah ini. Hei, dirinya juga pernah menangani artis besar sebelum Hijiri merekrutnya tapi tidak seorangpun dari mereka pernah mendapat keistimewaan seperti Maya. Bahkan salah satu aktris yang ditanganinya pernah berakhir di meja hijau karena menyalahi kontrak dan berakhir dengan membayar denda yang tidak sedikit.

Yukari menghela napas panjang. Apa benar Nona Maya memiliki hubungan spesial dengan Tuan Masumi? Bukan hanya karena dia pemegang hak pementasan Bidadari Merah? Batin Yukari.

“Kenapa melamun?”

Yukari tersentak saat Maya melambaikan tangan di depan wajahnya. “Ma-maaf Nona,” ucap Yukari sembari mengulas sebuah senyum, “saya hanya sedang memikirkan beberapa hal,” lanjutnya.

Maya hanya ber-oh pelan lalu kembali menikmati tehnya. Kali ini bersama sepotong Black Forest yang baru saja disajikan. Perhatian keduanya teralihkan saat seorang wanita datang menghampiri meja mereka. Maya memberikan senyum termanisnya.

“Selamat siang Nona Mizuki,” sapa Maya ramah diikuti oleh Yukari.

“Selamat siang Nona Maya, Nona Yukari,” balas Mizuki. Diapun duduk di hadapan Maya lalu memesan satu cangkir coffelatte pada pelayan. “Sudah lama menunggu?” tanya Mizuki kemudian.

Maya menggeleng, “Kami juga belum lama sampai.”

Mizuki tersenyum. “Bagaimana perkembangannya?” tanyanya.

“Aku sedang berusaha Nona Mizuki,” jawab Maya. Yukari yang duduk di sebelahnya hanya duduk diam karena tidak mengerti dengan topik pembicaraan Maya juga Mizuki.

“Cukup keras kepala?” kekeh Mizuki.

“Sangat,” jelas Maya seraya menghela napas panjang, “tapi aku tidak akan menyerah. Aku yakin kali ini aku pasti berhasil, lihat saja,” lanjutnya dengan penuh keyakinan.

“Kudoakan semuanya berjalan lancar,” kata Mizuki dan sesaat kemudian keduanya tertawa renyah, mengabaikan Yukari yang benar-benar kebingungan menatap keduanya.

***
Seperti apa yang Maya katakan, tepat pukul empat dia kembali ke Mansion Hayami. Bibi Harada, kepala pelayan keluarga Hayami menyambutnya dengan senyum lebar. Maya sendiri langsung mengintrogasinya. Senyum Maya terkembang sempurna saat Bibi Harada melaporkan bahwa Masumi seharian istirahat di kamarnya, makan dan minum obat dengan baik.

Eisuke yang melihat Maya datang merasa begitu lega. Setidaknya ada harapan untuk membuat Masumi kembali bersemangat.

“Selamat sore Paman,” sapa Maya sopan seraya membungkukkan badan. Sikapnya tak lagi canggung saat berhadapan dengan Eisuke. Bahkan dia sudah mengantongi restu sebagai menantu keluarga Hayami.

“Sore Maya,” balas Eisuke. “Kau sudah bertemu Mizuki?”

Mengangguk mantap, Maya tersenyum senang, “Sudah Paman. Nona Mizuki juga yang menemaniku menyiapkan semuanya,” jelas Maya.

Eisuke ikut mengangguk senang, berharap apa yang dilakukan Maya kali ini bisa membawa kebahagiaan untuk putranya.

“Bolehkah aku menemui Tuan Masumi sekarang?” tanya Maya tidak sabar.

“Tentu, temuilah dia. Sepertinya Masumi juga sudah tidak sabar untuk bertemu denganmu,” jawab Eisuke.

Maya terkekeh. “Semoga memang begitu Paman.” Diapun pergi ke kamar Masumi. Meski tampak begitu tenang tapi sebenarnya hati Maya sedang gelisah. Maya mengeratkan tangan pada tali tote bag yang disandangnya, memantapkan hati akan apa yang akan dilakukannya. Menurutnya, hanya ini satu-satunya cara meyakinkan Masumi tentang kesungguhan cintanya.

Langkah kaki Maya berhenti tepat di depan pintu ganda besar berwana coklat. Menarik napas panjang, Maya mengetuk pintu. Mendengar jawaban dari dalam kamar, Maya membuka pintu perlahan.

“Selamat sore Tuan Masumi,” sapa Maya ramah.

Masumi yang sedang membaca buku di atas tempat tidurnya tidak terkejut dengan kedatangan Maya. “Kau sudah pul- ah maksudku kau baru saja datang?” kata Masumi kikuk.

Maya tersenyum, mendengar kata pulang membuat hati Maya melonjak senang. Apakah Masumi juga mengharapkan ini menjadi rumah untuknya pulang?

“Iya, saya baru saja sampai. Bagaimana keadaan Anda?” Tanpa canggung Maya duduk di tepi tempat tidur Masumi.

Menutup buku lalu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman, Masumi menatap Maya dengan tatapan menyelidik. “Apakah ini adalah jawaban dari pertanyaanku semalam Maya?” tanyanya tiba-tiba.
Kening Maya berkerut. “Pertanyaan semalam?” Maya balik bertanya.

“Sebelum aku pingsan,” lanjut Masumi, “aku bertanya padamu tentang apa artinya aku bagimu setelah kau tahu keadaanku. Apakah ini jawabannya? Bukan karena kau kasihan padaku? Kau sudah tidak marah padaku?” Masumi tampak tidak sabar hingga mencecar Maya dengan banyak pertanyaan.

Maya tersenyum simpul, memberanikan diri meraih tangan Masumi lalu menggenggamnya erat. “Apa semua ini kurang jelas Tuan Masumi? Bukankah Anda sendiri yang mengatakan kalau Anda mencintai saya?” Maya mengangkat telapak tangan besar itu dan menempelkannya di sisi wajahnya. “Saya juga mencintai Anda, Tuan Masumi,” ucapnya syahdu.

“Maya-,” lirih Masumi.

“Saya memang sempat marah tapi itu karena saya tidak tahu alasan dari semua sikap Anda. Yang pasti, sejak dulu sampai hari ini, perasaan saya pada Anda tidak pernah berubah,” lanjut Maya.

Hati Masumi bergetar mendengar penuturan Maya, kekasih hatinya. Tak menahan diri lagi, Masumi menarik Maya ke dalam pelukannya.

“Terima kasih Maya,” bisik Masumi penuh haru, “terima kasih.”

Maya tersenyum lega dalam pelukan kekasihnya. Akhirnya Masumi memahami dan mau menerima perasaannya. “Hei Tuan Masumi,” kata Maya kemudian, “ayo kita menikah,” pintanya seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh Masumi yang tiba-tiba menegang.


***

>>Bersambung<<
>>Heart - Chapter 6<<

Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

20 Comments

  1. Alooooo....ada yang kangen padaku?
    Hahaaa, maaflah ya molor lama buanget apdetnya.
    Maklum aja ama kondisi yang lagi ga tentu arah ini ya. hobinya pengen tidur aja soalnya.
    Wkwkwkk...selamat menikmati aja deh.
    Next chap slow but sure kok, pasti tamat, tenang aja, hihiiii
    Happy reading
    Arigato buat yang udah setia menunggu, jangan lupa komennya, muaahhhh

    ReplyDelete
  2. Aw aw aw ada yang menegang wkwkwk.

    ReplyDelete
  3. Wwkk wwkk motongnya pas banget kak agnes, smoga aja cepat apdetanya, semangat terus ya kak

    ReplyDelete
  4. Wwkk wwkk motongnya pas banget kak agnes, smoga aja cepat apdetanya, semangat terus ya kak

    ReplyDelete
  5. Mau mau mau mau ayyooo masumi qt menikah

    ReplyDelete
  6. Hadohhh...kok motongnya pas benerrrr, jd kepo maksimal nih???!

    ReplyDelete
  7. Ihiiirr....menikah...update nya yg hepi2 saja ya bumil..biar debay ikutan hepi wkwkwk..jangan lupa jaga kesehatan mba..

    ReplyDelete
  8. haaa...akhirnya lanjut, but kenapa singkat dan endingnya bikin geregetan sisst..hahaha. Sangat ditunggu lanjutannya..

    ReplyDelete
  9. Ow ow... motongnnya pinter banget deh mba agnes, bikin makin penasaran 😂😂😂

    ReplyDelete
  10. I do i do..
    Perasaan sih kayanya bakalan sad ending nih en pst bikin mewek..tp gak papa, jarang kan MM sad ending..
    Semangkaa mba agnes buat update nya

    ReplyDelete
  11. Ayooooooooo..... Udah lama bacanya tapi baru sempat komen sekarang hehe... tetep cemungut y makbun :D

    ReplyDelete
  12. Selalu digantung penasaran 😭. aq ga akan comment ceritanya, coz dah pasti cerita author yang satu ini number uno. cuma mo comment, jangan lama lagi update nyaaaaa😂😂😂

    ReplyDelete
  13. Mbak Agnes yg cantik, kami menunggu lanjutannya Heart 6nya ;) xoxo...

    ReplyDelete
  14. Ditunggu kelanjutannya mbak.. ����

    ReplyDelete
  15. Lanjut yaaaa..
    Please tetep happy ending yaa

    ReplyDelete
  16. I am desperately waiting for chapter 6 T_T

    ReplyDelete
  17. Mbak Agnes ditunggu ya update chapternya ... penasaraaaannn akhirnya gimana...

    ReplyDelete
  18. Dear MM Lover...thanks ya buat yang suka ama serial ini. Maaf sebelumnya kalau apdetnya jadi molor lama karena banyak urusan di dunia nyata. Puji Tuhan semua sudah selesai sekarang dan chapter 6 mulai ditulis lagi. tetap semangat nunggu ya ya, biar authornya juga semangat nulisnya. hahahaa...thanks :)

    ReplyDelete