Disclaimer : Garassu no
Kamen by Suzue Miuchi
FanFiction by Agnes
Kristi
Setting : Lanjutan
"Bersatunya Dua Jiwa 3"
Summary : Hati tak pernah bisa
berbohong. Sekuat apa pun Masumi menahan rasa cintanya untuk Maya, tetap saja
keinginan untuk memiliki gadis itu lebih besar. Ketika dua hati akhirnya
bersatu, ujian datang untuk menguji keteguhan cinta mereka.
*********************************************************************************
Jealous by Labrinth
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
Yang
jatuh di kulitmu
It's closer than my hands have
been
Lebih
dekat dari tanganku
I'm jealous of the rain
Aku
iri pada hujan
I'm jealous of the windu
Aku
iri pada angin
That ripples through your clothes
Yang
mengoyak bajumu
It's closer than your shadow
Lebih
dekat dari bayanganmu
Oh, I'm jealous of the wind,
cause
Oh
aku iri pada angin, karena
[Chorus:]
I wished you the best of
Ku
berharap yang terbaik untukmu
All this world could give
Segala
hal dunia ini dapat memberimu
And I told you when you left me
Dan
ku beritahu kau saat kau meninggalkan aku
There's nothing to forgive
Tak
ada yang perlu dimaafkan
But I always thought you'd come
back, tell me all you found was
Tapi
ku selalu berpikir kau akan kembali, katakan padaku semua yang telah kau
temukan adalah
Heartbreak and misery
Kehancuran
dan kesedihan
It's hard for me to say, I'm
jealous of the way
Sulit
kukatakan, aku iri dengan caramu
You're happy without me
Bahagia
tanpaku
I'm jealous of the nights
Ku
iri pada malam
That I don't spend with you
Yang
tak kuhabiskan denganmu
I'm wondering who you lay next to
Ku
ingin tahu siapa yang berbaring di sampingmu
Oh, I'm jealous of the nights
Oh,
aku iri pada malam
I'm jealous of the love
Aku
iri pada cinta
***
Masumi
termenung di halaman belakang Mansion Hayami, duduk di kursi taman seraya
melihat ikan koi koleksi ayahnya. Mizuki yang mengosongkan semua jadwal membuat
Masumi terdampar di rumah tanpa bisa melakukan apa-apa. Masumi tersenyum kecut,
bagaimana bisa sekarang dia kalah dengan sekretarisnya sendiri.
"Tidak
seharusnya kau ada di sini Masumi."
Masumi
terkejut lalu menoleh dan mendapati sang ayah, Eisuke, bersama Asa, asisten
pribadinya.
"Mizuki
mengosongkan semua jadwalku Ayah," jawab Masumi tenang.
Eisuke
menghela napas dengan sikap dingin putranya, "Kau tahu aku tidak sedang
membicarakan masalah pekerjaan."
"Hhmm,"
gumam Masumi seraya mengalihkan kembali pandangannya pada kolam ikan.
"Kau
memaksa pulang lagi?" tanya Eisuke.
"Aku
hanya tidak suka suasana rumah sakit," Masumi berkilah.
"Itu
bukan alasan. Kau bukan anak berumur lima tahun yang layak untuk merajuk saat
berhadapan dengan dokter dan obat," Eisuke tampak kesal dengan jawaban
Masumi yang seolah tidak peduli dengan keadaannya sendiri.
Masumi
terdiam, mood-nya sudah berantakan tanpa harus ditambah perdebatan dengan sang
ayah. Sayangnya, diamnya Masumi semakin menyulut kekesalan Eisuke.
"Aku
mengupayakan kesembuhanmu tapi kau sepertinya lebih semangat untuk menghadapi
kematian. Apa yang sebenarnya ada di dalam otakmu, huh?" Geram Eisuke.
Masumi
masih setia menutup mulutnya, bahkan tidak mengalihkan perhatiannya sama
sekali.
"Masumi-,"
"Tuan
Besar," Asa menepuk bahu Eisuke perlahan, menggeleng saat tuan besarnya
itu menoleh dan memincingkan mata padanya.
Eisuke
menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Tahu kalau tidak
seharusnya dia tersulut emosi. Kondisi saat ini memang bukan hal yang mudah
untuk dihadapi, terlebih untuk Masumi yang bahkan sudah dididik dengan cara
kerasnya.
"Maaf
Tuan Muda, kalaupun Tuan Muda tidak nyaman untuk di rawat di rumah sakit,
setidaknya ijinkan dokter merawat Anda di rumah. Tuan besar dan kami semua
khawatir dengan kondisi Tuan Muda jika Anda terus memaksakan diri seperti
ini," kata Asa yang berusaha menengahi hubungan ayah dan anak yang memang
tidak pernah akur itu.
Seringai
tipis menghiasi bibir pucat Masumi. Perkataan Asa justru terasa menggelikan
baginya. Khawatir? Siapa mengkhawatirkan siapa? Dan untuk apa khawatir untuknya
yang notabene bukan siapa-siapa.
"Khawatir
ya," lirih Masumi dengan nada datar.
Eisuke
mengepalkan tangan di atas lengan kursi rodanya. Nada bicara Masumi lagi-lagi
membuat emosinya tersulut. Asa sendiri memilih untuk diam.
"Ayah
tidak perlu khawatir padaku," lanjut Masumi kemudian setelah terdiam
beberapa saat. Kali ini kepalanya menengadah, menatap langit biru yang
terbentang di atasnya. "Bukankah aku sudah mengatakan kalau Hijiri adalah
orang yang tepat untuk menggantikanku. Jadi, aku sembuh atau tidak itu tidak
akan berpengaruh besar untuk Daito," Masumi tersenyum pahit di akhir
kalimatnya.
"Kau!-,"
Eisuke menelan kembali perkataannya saat Masumi tiba-tiba menoleh dan
menampakkan wajah sendu. Seumur hidup dia mengenal Masumi, belum pernah
sekalipun dia melihat ekspresi itu. Mata bermanik hitam yang selalu menyala
penuh arogansi kini meredup dan warna pucat wajah Masumi membuat pria yang
selalu dibanggakannya sebagai anak dan penerus Daito itu tampak begitu
menyedihkan.
"Masumi,"
emosi Eisuke menguap dalam sekejap mata. Betatapun dia dulu begitu keras
mendidik Masumi tapi rasa sayang sebagai ayah pada anaknya sama sekali tidak
bisa disingkirkannya begitu saja. Terlebih selama ini Masumi sama sekali tidak
pernah membantah perkataannya.
"Aku
ingin kau sembuh Masumi," ucap Eisuke kemudian, kali ini dengan nada suara
tenang dan lembut, "bukan karena Daito tapi karena kau, Masumi, adalah
anakku."
Masumi
terkejut, jelas. Demi apa dia bisa mendengar pernyataan itu setelah sekian lama
tinggal di Mansion Hayami. Bukankah selama ini dia hanya dianggap sebagai alat?
Kembali,
keheningan menjadi jeda diantara ayah dan anak itu sampai kemudian suara tawa
Masumi terdengar. Tawa yang membuat hati Eisuke berdenyut sakit. Masumi tidak
percaya dengan perkataannya.
"Apa
ayah berusaha menghiburku?" Tanya Masumi di sela-sela tawa, air mata
bahkan menggenang di sudut matanya.
Kali
ini Eisuke tidak terpancing sikap Masumi. Dia berusaha memahami kondisi
putranya. "Aku tidak sedang menghiburmu, membohongimu, memanipulasimu
untuk kepentinganku atau sejenisnya yang kau pikirkan saat ini. Apa yang aku
katakan tadi adalah kebenarannya. Bukan karena Daito atau harta Hayami atau
apapun, aku menginginkan kesembuhamu karena kau adalah anakku," terang
Eisuke lagi.
"Anak?"
Lirih Masumi tak percaya.
Kini
keduanya kembali terdiam. Asa sendiri terus mengamati Masumi yang kini tampak
termenung.
"Aku
tahu selama ini aku sudah banyak melakukan kesalahan padamu, membuatmu
kehilangan banyak hal. Sungguh pun aku minta maaf saat ini, semua sudah tidak
ada gunanya. Hanya saja aku mohon padamu, sembuhlah Masumi. Bukan untukku,
bukan untuk nama Hayami atau untuk Daito tapi untuk dirimu sendiri. Tidakkah
ada hal yang ingin kau raih selain menuruti semua ambisiku? Tidakkah kau ingin bahagia?-"
Eisuke menjeda perkataannya dengan helaan napas panjang, "-meraih tujuan
hidupmu sendiri, dengan caramu, bersama orang yang kau harapkan berada di
sisimu untuk selamanya?"
Masumi
tersentak dengan kedua tangan mengerat di atas pangkuannya. Bahagia? Kata itu
bergaung di dalam kepalanya dan satu nama langsung muncul memenuhi benaknya.
Bisakah? Harapan itu ... Masumi ingin sekali, hanya saja ... dia tidak ingin
menyakiti. Tidak lagi, setelah semua hal yang sudah terjadi selama ini.
"Katakan
Masumi, aku tahu semuanya," lanjut Eisuke. Dia benar-benar tidak ingin
melihat putranya terpuruk seperti ini. Ini bukan Masumi yang dikenalnya, sama
sekali bukan.
Masumi
menoleh demi mendapati sang ayah tersenyum tipis padanya.
"Aku
hanya menutup mata selama ini, aku tahu semuanya, kau dan gadis itu. Jika
memang dia adalah alasanmu untuk bahagia, kejarlah, aku mersetuimu tapi
berjanjilah padaku bahwa kau tidak akan menyerah. Setidaknya ijinkan aku
menebus semua kesalahan selama ini dengan melihatmu bahagia."
"Semua
sudah berakhir Ayah. Aku sudah meninggalkannya," Masumi mengulum senyum
pahit. Hatinya ikut berdenyut nyeri.
"Aku
tahu dasar keputusanmu. Hijiri dan Mizuki sudah menjelaskan semuanya padaku.
Percayalah, masih ada waktu. Gadis itu tidak akan memupus cintanya semudah itu.
Aku mengenalnya," Eisuke mencoba meyakinkan.
"Aku
sudah menyakitinya terlalu banyak," jawab Masumi lagi yang tetap
bersikeras pada keputusannya.
"Sama
dengan apa yang sudah kulakukan padamu tapi hari ini aku merubahnya. Tidakkah kau
ingin melakukannya juga? Demi hidupmu?" Tatapan mata Eisuke menyendu saat
Masumi kini justru kembali menatap kolam ikan.
"Aku-,"
perkataan Masumi tercekat di tenggorokan. Pahit. Tanpa sadar kedua lengannya
memeluk dirinya sendiri. Rasanya lelah menanggung semua beban itu sendiri tapi
sanggupkah dia berbagi hidup dengan gadis pujaannya dengan kondisi seperti ini?
Tidakkah dirinya akan menyakiti gadis itu lebih jauh lagi?
Eisuke
hampir memekik melihat butiran bening lolos dari sudut mata putranya. Astaga,
adakah yang lebih menyakitkan dari ini? Melihat putra yang pernah kau besarkan
dengan tangan besimu menangis dalam diam di tengah kesakitan dan
kesendiriannya.
Dengan
langkah perlahan Asa mendekati Masumi lalu melepaskan jasnya, menggunakannya
untuk melindungi bahu Masumi yang kini mulai bergetar.
Masumi
mengangkat wajahnya, "Paman-."
"Masih
ada kesempatan Tuan Muda, percayalah," Asa mencoba menguatkan dan
meneguhkan semua perkataan Eisuke.
"Aku-,"
lagi-lagi kalimatnya tidak bisa keluar. Masumi semakin tertunduk dengan masih
memeluk dirinya sendiri. Entah bagaimana dirinya bisa jadi serapuh ini.
Ternyata kehilangan tujuan hidup rasanya menyakitkan. Mungkin mati memang lebih
menyenangkan daripada seperti ini. Tapi benarkah masih ada kesempatan?
Eisuke
tak bisa lagi menahan diri. Dengan isyarat dia meminta Asa membawanya lebih
dekat pada Masumi dan kini dia tengah berada di hadapan Masumi, di atas kursi
rodanya. Tangannya terulur lalu mengusap kepala Masumi hingga pria itu semakin
tergugu dengan kepala tertunduk.
Masumi
tenggelam dalam lautan kesedihan. Tangan besar yang kini mengusap kepalanya
membuyarkan semua logikanya. Dua puluh tahun lalu, demi apa dia begitu
mengharapkan tangan besar itu membelainya penuh kasih seperti sekarang.
Mengharapkan tangan itu mengajarkan makna hidup di luar pukulan atau tamparan
yang selalu di dapatnya ketika melakukan kesalahan. Membuatnya menjadi menusia
berhati dingin dan tak mengenal cinta sampai akhirnya dia bertemu dengan
kekasih hatinya yang menjungkir balikkan semua kehidupan gelapnya.
"Maafkan
aku Masumi," lirih Eisuke, hatinya merasa sakit melihat pria sekuat Masumi
kini terpuruk dalam keputus asaan, "hiduplah, kumohon."
Dan
kalimat itu akhirnya membawa sang ayah memeluk putranya untuk pertama kali
setelah dua puluh lima tahun kebersamaan mereka.
***
Langit
cerah malam itu, menampakkan bintang yang memang tidak seberapa banyak di
langit Tokyo. Meski begitu kerlipannya tetap indah, ditambah bulan sabit yang
kini bertengger manis di sudut langit.
Mimpikah?
Tolong jangan bangunkan dirinya jika ini memang mimpi, Maya memohon dalam hati.
Saat ini, Maya merasa dunianya dijungkir balikkan dalam hitungan detik. Telapak
tangan besar dan hangat yang kini menggenggam tangannya mengaburkan semua
kesedihan yang membalut hatinya.
Siapa
pria dihadapannya saat ini? Benarkah ini Masumi? Pria yang sama yang
menjauhinya setahun belakangan? Pria yang selalu mendukungnya bahkan di titik
terkelam hidupnya tapi kemudian meninggalkannya begitu saja dengan sebuah pesan
dan bunga? Pria yang selama ini selalu diamatinya tapi justru selalu
mengabaikannya? Pria yang memintanya menunggu dan berjanji untuk menjemputnya
tapi kemudian berlalu begitu saja tanpa kata? Benarkah ini pria yang sama?
Maya baru sadar kalau dirinya sudah berada di samping meja bundar yang sekali lagi membuatnya terkejut. Ada dua tangkai mawar ungu di dalam vas kaca di tengah meja. Apa artinya ini?
Maya baru sadar kalau dirinya sudah berada di samping meja bundar yang sekali lagi membuatnya terkejut. Ada dua tangkai mawar ungu di dalam vas kaca di tengah meja. Apa artinya ini?
"Tuan
Masumi-,"
"Kau
menyukainya?" tanya Masumi tiba-tiba saat Maya menatapnya dengan wajah
bingung. Sengaja melakukannya karena Masumi tidak mau mendengar penolakan gadis
itu seperti pada pertemuan terakhir mereka.
"Sa-saya-,"
"Duduklah
Maya," lagi-lagi Masumi menyela lalu menarik kursi dan mempersilakan gadis
yang masih kebingungan itu untuk duduk. Senyum Masumi masih mengembang sempurna
saat dirinya juga duduk di sisi lain meja, dihadapan Maya.
Bibir
Maya terbuka untuk melontarkan pertanyaan tapi lagi-lagi gagal karena kali ini
beberapa pelayan datang dengan meja dorong, membawa hidangan pembuka makan
malam mereka.
"Aku
memang tidak menyediakan menu untukmu memilih tapi percayalah, makan malam ini
tidak akan kalah dengan makan malam mewah di hotel bintang lima," terang
Masumi begitu piring appetizer tersaji di depannya.
Seorang
pelayan menuang minuman ke dalam gelas tinggi milik Maya dan dengan lembut
Masumi meminta Maya mencobanya.
“Cobalah,
kau akan menyukainya,” ucap Masumi.
Maya
tahu Masumi suka sekali minum wine dan berbagai jenis minuman beralkohol
lainnya. Dia selalu memperhatikan ketika Masumi berada di dalam pesta. Dengan
ragu Maya menatap minuman berwarna ungu cerah di hadapannya. Ah, Maya sadar
benar bagaimana tolenrasinya terhadap minuman beralkohol. Meski begitu dia juga
tidak mau berlaku tidak sopan di depan Masumi dan memilih untuk mencobanya.
“Eh?”
Maya terkejut ketika rasa dingin dan segar itu menjalari tenggorokannya, bahkan
lidahnya mengecap rasa manis yang ringan, bukan sensasi manis pahit seperti
wine yang pernah dicobanya di beberapa pesta.
Masumi
tersenyum melihat reaksi Maya, jelas dia sudah menduganya dan sengaja ingin
menggoda gadis itu. “Itu bukan wine Maya. Aku tahu toleransimu pada minuman
beralkohol sangat rendah dan aku tidak mau mengambil resiko kau mabuk di
rumahku,” kata Masumi jahil yang sukses membuat bibir merah Maya mengerucut
karena kesal.
“Anda
menghina saya Tuan Masumi?” sungut Maya yang kembali menyesap minumannya. Ah,
sepertinya dia harus bertanya apa nama minuman itu. Rasa manisnya membuat
kekesalan Maya hilang dalam sekejap.
“Itu
sari anggur yang khusus dikirim oleh temanku di Inggris. Aku akan
mengirimkannya ke apartemenmu sebagai hadiah kalau kau memang suka,” kata
Masumi yang bisa menebak binar senang di wajah Maya.
“Tidak
perlu Tuan Masumi, saya tidak mau merepotkan Anda,” jawab Maya kemudian. Meski
sebenarnya ingin tapi ternyata Maya memiliki gengsi juga di depan Masumi.
Ingat, ingat, kalau dirinya masih marah pada bos Daito itu.
Masumi
memilih diam dan ikut menyesap sari anggur itu perlahan. Meletakkan kembali
gelasnya, Masumi mempersilakan Maya menikmati appetizer yang sudah disajikan.
Pelayannya sudah kembali ke dalam rumah untuk menyiapkan hidangan utama.
Maya
kembali terlihat kebingungan dengan semua hal yang terjadi. Siapa peduli dengan
menu atau apalah itu jika saat ini kepalamu bahkan hampir meledak dengan
banyaknya pertanyaan yang tidak bisa dijawab.
"Tuan
Masumi, saya tidak mengerti. Apa maksud semua ini?" tanya Maya.
Senyum
Masumi meluntur meski masih menyisakan seulas senyum tipis. “Kau tidak suka?”
tanya Masumi basa-basi.
“Tidak,
bukan begitu. Hanya saja saya tidak mengerti kenapa Anda mengundang saya ke
sini, menyediakan makan malam seperti ini, menyambut saya dengan-,” Maya
terdiam, sesaat berpikir untuk memilih kata yang tepat. Sayangnya tidak satu
katapun tepat menurutnya dan membuatnya kembali terdiam.
"Aku
akan menjelaskan semuanya nanti. Bisakah sekarang kita menikmati makan malam
dengan tenang?"
Maya
menyipitkan mata pada Masumi yang menurutnya bersikap terlalu tenang, seolah
tidak pernah terjadi perseteruan diantara mereka.
"Anda
tidak sedang mempermainkan saya kan?"
Kening
Masumi berkerut dan beberapa detik kemudian dia terkekeh geli. "Kau merasa
begitu? Dipermainkan olehku?"
Lagi-lagi
Maya hanya bisa diam, menyerah untuk bertanya daripada menjadi bahan tertawaan
Masumi yang sepertinya sangat menikmati kebingungannya. Diapun meraih sendok
dan mulai menikmati appatizer yang tersaji di depannya. Entah apa namanya tapi
Maya menyukai potongan cake dengan banyak lumuran krim, coklat juga keju, rasanya
meleleh di dalam mulut. Dalam hati dia berdecak nikmat. Tanpa disadari Maya,
Masumi tersenyum melihatnya menikmati makanan. Dia tahu selera Maya, tentu
saja.
Keduanya
sama sekali tidak bicara bahkan sampai saat dessert disajikan di depan Maya.
Dua scoop es krim vanila dan coklat dengan taburan kacang, potongan cery juga
strawberry segar. Lagi-lagi dalam hati Maya berdecak nikmat. Tepat saat Maya
meletakkan sendok setelah mengosongkan piring dessertnya, Masumi kembali
membuka percakapan.
"Kau
menyukainya?" Masumi tersenyum melihat pipi Maya yang sedikit merona
karena pertanyaannya.
"Terima
kasih untuk jamuan makan malamnya," ucap Maya seraya mengangguk hormat,
berusaha menetralkan perasaannya agar wajahnya tidak semakin memanas karena
sikap lembut Masumi.
"Aku
senang kalau kau menyukainya," ucap Masumi lagi seraya menopang dagunya di
atas jemarinya yang bertaut.
Maya
mengulas senyum tipis. Senyum pertama sejak dirinya datang dan cukup membuat
hati Masumi menghangat.
"Sudah
lama aku tidak melihat senyummu," komentarnya lirih namun masih bisa
terdengar jelas oleh Maya. Alhasil gadis itu berusaha untuk tidak tersipu.
"Tolong
jangan mengatakan hal seperti itu," lirih Maya dengan kepala tertunduk.
Kedua tangannya yang berpaut di bawah meja terkepal erat. Maya tidak habis
pikir, sebenarnya apa yang terjadi dengan Masumi? Kenapa dia bersikap selembut
ini setelah semua yang terjadi diantara mereka.
Saat
ini Masumi yang terdiam. Dia menunggu Maya mengatakan isi hatinya. Makan malam
sudah selesai dan Masumi tidak punya alasan untuk menunda percakapan mereka.
Mau tidak mau semua harus dibicarakan. Bagaimana hasilnya? Siapa yang tahu?
Masumi hanya mencoba peruntungannya. Jika kejujurannya bisa memperbaiki
semuanya, membuatnya tidak harus menyakiti Maya seperti apa yang Ayahnya dan
Asa katakan maka dirinya tidak keberatan. Hanya saja Masumi takut jika yang
terjadi justru sebaliknya. Menyakiti gadis itu lebih lagi dan Masumi lebih
memilih mati sebenarnya daripada harus melakukannya.
“Anda
mengatakan bahwa malam ini kita akan membicarakan masalah kontrak kerja,” Maya
akhirnya memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya dan menatap Masumi.
“Itu
hanya alasanku pada Yukari untuk membuatmu datang menemuiku. Selain masalah
pekerjaan, kau tidak akan datang kan?” jawab Masumi tenang.
Benar juga, batin Maya setuju. Tapi apa maksudnya sampai harus berbohong?
Maya semakin bingung. Gadis itu masih menatap Masumi dengan mata bulatnya,
“Kenapa harus di sini? Saya tidak pernah tahu Anda suka membuat jamuan makan
malam di rumah untuk aktris Anda,” Maya kembali bertanya.
“Memang
tidak,” jawab Masumi, “kau yang pertama,” lanjutnya.
“Kenapa?”
lagi-lagi Maya gagal paham dengan jawaban Masumi yang tidak menjelaskan apapun
padanya. “Kenapa Anda mengajak saya ke rumah Anda? Apa Anda tidak takut kalau
sampai ada paparazzi yang mengikuti saya dan membuat ini sebagai skandal yang
bisa menjatuhkan nama Anda, Tuan Masumi?”
Masumi
tersenyum tipis, “Iwaguchi yang mengantarmu kan? Aku percaya padanya dan Hijiri
sudah memastikan semuanya aman. Tidak akan ada gossip atau skandal apapun, jadi
kau tidak perlu khawatir.”
Maya
terhenyak mendengar jawaban Masumi. Pria itu menyebut nama Hijiri di depannya?
Tolong jangan katakan kalau Hijiri yang sudah dianggapnya sebagai kakak itu
menghianati kepercayaannya dengan mengatakan semua isi hatinya termasuk rahasia
kalau dirinya tahu siapa Mawar Ungu yang sebenarnya? Ah, tunggu dulu! Maya
mengamati meja makannya. Bukankah dua tangkai bunga mawar ungu itu sudah
menjelaskan semuanya? Masumi tahu?
“Hijiri
tidak mengatakan apapun padaku,” kata Masumi kemudian.
“Huh?”
Maya yang tersadar dari lamunannya menatap Masumi dengan kening berkerut.
“Itu
kan yang sedang kau pikirkan? Menduga-duga kalau Hijiri memberitahukan sesuatu
padaku?” tebak Masumi yang hebatnya itu benar.
“Anda-?”
Maya tidak tahu harus menjawab apa.
“Bodohnya
aku karena tidak menyadarinya selama ini,” Masumi bersandar lebih santai pada
kursinya lalu meraih gelas tingginya dan meneguk perlahan minumannya.
Maya
memperhatikan setiap gerak Masumi dengan pandangan matanya.
“Aku
baru menyadari semuanya saat kau memutuskan untuk keluar dari Daito dan
bersikap dingin padaku. Salah, kau marah padaku,” lanjut Masumi, “aku benar
kan?”
Maya
tak menjawab, meski begitu dia juga tidak memutus kontak mata mereka, seolah
memaksa Masumi untuk menjelaskan semuanya. Masumi sendiri menghela napas
panjang sebelum melanjutkan perkataannya.
“Kau
bilang kalau kau sudah tidak punya alasan untuk bertahan di bawah naungan
Daito. Itu karena sehari sebelumnya aku, yang kau tahu sebagai Mawar Ungu
memutuskan untuk mengakhiri segala,” Masumi tersenyum kecut di akhir
kalimatnya, “sungguh aku baru menyadarinya dan aku tidak tahu sejak kapan kau
tahu, juga bagaimana kau tahu semua itu. Aku percaya Hijiri-,”
“Bukan,”
sela Maya cepat, “bukan Kak Hijiri,” lanjutnya. Kemudian keduanya terdiam untuk
beberapa saat. “Saya sudah lama tahu, bahkan sejak sebelum berangkat ke kampung
halaman Bidadari Merah. Anda mungkin tidak sadar telah melakukan kesalahan saat
menulis kartu ucapan selamat untuk Jean pada malam penghargaan itu. Di situ
Anda menulis kalau Jean mengenakan scarf biru. Sayangnya scarf biru itu hanya
digunakan oleh Jean pada pertunjukan perdana dan satu-satunya orang yang datang
saat pertunjukan perdana adalah Anda, Tuan Masumi. Anda dan Mawar Ungu, sama-sama
mengatakan pasti akan datang dan memang benar, kalian datang,” Maya mengalihkan
pandangannya saat mata Masumi menatapnya semakin tajam.
“Dan
yang membuat saya semakin yakin adalah saat saya menemukan ballpoint Anda di
makan ibu bersama buket bunga mawar ungu dan sayalah yang mengembalikan
ballpoint itu melalui karyawan Anda. Anda menerimanya saat itu,” Maya
menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar.
“Sudah
selama itu ya,” gumam Masumi yang berusaha mengendalikan keterkejutannya. Jadi
saat kita berada di Astoria, kau sudah tahu?” tanya Masumi.
Maya
mengangguk perlahan, “Tuan Masumi, boleh saya bertanya?” tanya Maya ragu.
“Katakan,
malam ini aku memang ingin mengatakan semuanya padamu,” kata Masumi tenang.
“Termasuk
alasan kenapa Anda menjauhi saya?” tanya Maya.
“Ya,”
jawab Masumi, “semuanya.”
Sebenarnya
Masumi benar-benar bertaruh malam ini. Jika mengatakan semuanya adalah jalan
keluar seperti apa yang Ayahnya juga Asa katakan, maka Masumi tidak keberatan.
Hanya saja Masumi juga merasa takut jika hasilnya justru sebaliknya. Tapi dia
tidak bisa mundur lagi bukan?
Masumi
yang tiba-tiba berdiri membuat Maya terkejut. Terlebih lagi saat Masumi
mengulurkan tangannya. "Mau
menemaniku jalan-jalan?" tawar Masumi seraya tersenyum dan entah bagaimana
cara Masumi menghipnotis gadis itu, Maya menyambut uluran tangan Masumi dan
membiarkan pria itu menggenggam erat tangannya.
Sekarang,
keduanya berjalan dalam diam menyusuri jalan setapak di halaman belakang
Mansion Hayami. Pandangan Maya tak lepas dari tangan Masumi yang masih
menggenggamnya. Hangat. Jantung Maya berdebar semakin kencang.
Langkah
keduanya berhenti di atas jembatan kayu yang dibuat di atas sungai kecil yang
menghubungkan dua kolam besar. Cahaya lampu taman berkilauan di atas aliran air
dan suara gemericik air menjadi pengisi suara diantara mereka.
Masumi
melepas tangan Maya lalu berdiri berhadapan dengan gadis itu. "Sebelum aku
menjelaskan semuanya, bolehkah aku bertanya satu hal?" tanya Masumi seraya
bersandar pada pagar jembatan kayu.
Maya
sendiri masih diam menatap Masumi.
"Apa
artinya aku bagimu Maya?"
Pertanyaan
itu membuat Maya menggigit bibirnya dengan kepala tertunduk. "Kenapa Tuan
Masumi? Kenapa Anda menanyakan itu pada saya?"
"Aku
ingin tahu Maya," jawab Masumi tenang padahal dalam hatinya saat ini
begitu kacau. Masumi takut gadis itu menolaknya setelah apa yang sudah
dilakukannya selama ini.
"Setelah
semua ini?" Maya menggeleng tak percaya lalu mengangkat wajahnya yang menyiratkan
kekecewaan, "setelah semua penantian dan harapan yang saya gantungkan pada
Anda? Anda sekarang bertanya pada saya, apa arti Anda bagi saya?" Maya
menahan diri untuk tidak menangis.
"Aku
ingin mendengarnya Maya. Aku ingin sebuah kepastian. Waktu itu, di Astoria kau
menyatakan semuanya sebagai Akoya, sekarang aku ingin mendengarnya sebagai
Maya," kata Masumi. Masumi tahu dirinya adalah pria egois tapi dia memang
butuh kepastian itu dari Maya.
"Dan
untuk apa kepastian itu?" tanya Maya getir, "untuk apa Tuan Masumi?
Katakan pada saya! Apa maksud Anda? Apa Anda berniat mempermainkan saya?"
Suara Maya mulai meninggi.
Masumi
mengernyit mendengar perkataan Maya. Bukan, bukan karena nada tinggi yang Maya
keluarkan. Tapi pertanyaan itu memang membuat hatinya sakit, ditambah rasa
nyeri yang datang dan pergi pada perutnya. Ternyata obat yang sore tadi
diminumnya tidak cukup untuk membuat kondisinya membaik. Sejak tadi Masumi
menahan sakit meski terus berusaha terlihat tenang.
"Kau
sempat mengatakan kalau kau berniat menjauh dariku karena aku sudah membuat
hatimu terluka. Aku tidak akan menjelaskan apapun jika itu keputusanmu,"
jawab Masumi putus asa.
"Anda
pikir siapa yang membuat saya sampai pada keputusan itu?!" Kali ini Maya
benar-benar berteriak dan tak lagi bisa menahan tangisannya. Air mata itu
berderai begitu saja seiring luapan emosinya.
Sedetik
kemudian Maya tersentak saat Masumi tiba-tiba memeluknya. Erat. Dan tangisan
Maya semakin keras seiring kedua lengannya yang membalas pelukan Masumi.
***
"Aku
mencintaimu."
Maya
membeku begitu mendengar kalimat dari Masumi yang baru saja melepaskan
pelukannya.
"Aku
sudah banyak menyakitimu dan mungkin aku akan melakukannya lagi," kata
Masumi dengan tatapan mata sendu.
Maya
masih terpaku, bahkan saat Masumi memutar tubuhnya untuk bersandar pada pagar
jembatan kayu, Maya masih membisu dan berusaha mencerna perkataan Masumi.
"Saat
aku mendengar pengakuanmu di Astoria, aku merasakan kebahagiaan yang luar
biasa. Tidak pernah seumur hidupku, aku merasakan hasrat sebesar itu untuk
memilikimu," kata Masumi dengan mata memandang bulan di langit. Kedua
tangannya mencengkram pagar dengan kuat, mencoba mencari kekuatan untuk
menceritakan semuanya pada Maya.
"Aku
berusaha keras untuk menepati janjiku padamu," kata Masumi kemudian,
"bahkan saat Shiori berusaha bunuh diri karena aku yang ingin membatalkan
pernikahan, aku berusaha untuk bertahan."
Maya
memekik tertahan dan segera menutup mulutnya dengan telapak tangan. Masumi
menoleh dan mengulas senyum tipis.
"Semua
terasa berat tapi begitu aku mengingatmu, aku memiliki kekuatan untuk
bertahan," Masumi mengulurkan tangannya dan mengusap lembut sisi wajah
Maya. "Sayangnya semua usahaku justru berakhir karena sesuatu yang sama
sekali tidak pernah aku pikirkan." Tatapan mata Masumi kembali menyendu.
Maya
menumpukan tangannya di atas punggung tangan Masumi di sisi wajahnya. Entah
kenapa Maya merasa sesak melihat pancaran kesedihan di mata Masumi.
"Anda
pasti melewati banyak kesulitan karena saya," kata Maya kemudian.
Masumi
menggeleng seraya mengulas senyum tipis, "Bukan karenamu, percayalah,
andaikan mungkin, aku bahkan bersedia menukar surga dan neraka demi untuk
bersamamu."
"Mereka,
keluarga Takamiya, pasti menekan dan menyulitkan Anda. Saya tidak bisa
membayangkan Anda melewati semua itu demi saya," lirih Maya seraya
menggenggam erat tangan Masumi yang sejak tadi masih mengusap wajahnya. Sungguh
Maya memang tidak pernah membayangkan semua itu sebelumnya. Dan sekarang Maya
merasa bersalah karena menganggap dirinyalah yang paling menderita menunggu
Masumi, tanpa tahu perjuangan pria itu untuk hubungan mereka.
"Maaf,"
ucap Maya, "tapi bolehkah saya senang karena akhirnya pernikahan Anda
batal?" lirih Maya ragu. Gengaman tangannya semakin mengerat, seolah
menyalurkan emosinya pada Masumi.
"Bukan
tanpa alasan mereka setuju membatalkan pernikahan itu, Maya," jawab
Masumi.
Maya menatap ke dalam mata Masumi, mencoba menerka apa yang tengah dipikirkan pria terkasihnya itu. "Apa itu alasan yang sama untuk Anda menjauhi saya?"
Maya menatap ke dalam mata Masumi, mencoba menerka apa yang tengah dipikirkan pria terkasihnya itu. "Apa itu alasan yang sama untuk Anda menjauhi saya?"
"Ya,"
Masumi menarik tangannya dari genggaman tangan Maya dan kembali mengalihkan
pandangannya pada langit malam.
"Tuan
Ma-,"
"Aku
tidak ingin menyakitimu Maya," kalimat itu membuat Maya kembali menelan
kata-katanya. Entah sudah berapa kali dia mendengar Masumi mengatakan hal itu
tapi sampai saat ini Maya masih tak mengerti maksudnya.
"Sungguh,
awalnya aku berpikir, melepasmu adalah pilihan terbaik," Masumi tertunduk
dan mengamati bayangannya sendiri pada aliran air di bawahnya. "Aku
berharap kau menemukan kebahagian lain, dengan Koji misalnya," Masumi
menghela napas panjang.
"Tidak,
saya tidak-,"
"Aku
tahu," sela Masumi cepat, "aku tahu kau tidak bahagia dan aku kembali
menyakitimu, benar kan?" Masumi menoleh dan mendapati Maya mengangguk pelan
padanya.
"Aku
juga," lirih Masumi yang kembali tertunduk, "aku terlalu naif.
Berpikir bahwa aku bisa melepasmu untuk bahagia bersama pria lain padahal
kenyataannya aku tidak pernah rela. Bahkan mendengar laporan Hijiri yang
mengatakan kau bersama Koji membuatku ingin berlari ke apartemenmu dan mengusir
pemuda itu," Masumi terkekeh dengan nada sumbang di akhir kalimatnya.
Kekehannya tiba-tiba berhenti saat rasa nyeri kembali menyapa perutnya. Beruntung
Masumi bisa menahannya dan menyembunyikan ekspresi sakitnya dari Maya. Kedua
tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya.
"Aku
pengecut Maya," lirih Masumi kemudian, "aku pengecut karena terlalu
takut mengungkapkan semuanya padamu dengan dalih tidak ingin menyakitimu
padahal kenyataannya aku justru semakin memperdalam luka di dalam hatimu."
Masumi
tersentak saat tiba-tiba Maya memeluknya erat. Dia bisa merasakan wajah Maya
bersandar di punggungnya.
"Maya-,"
"Tuan
Masumi, tolong katakan. Jangan Anda menanggung semuanya sendiri, bagilah beban
Anda," kata Maya dengan suara hampir teredam punggung Masumi, "saya
ingin merasakan apa yang Anda rasakan."
Masumi
menghela napas panjang, tangannya bertumpu di atas tangan Maya yang terkait di
erat di perutnya.
"Aku
sakit Maya," jawab Masumi yang membuat tubuh Maya menegang seketika,
"kanker hati," lirihnya dan saat itu juga kedua tangan Maya terlepas
dan gadis itu berjalan mundur dengan kedua tangan menangkup mulutnya yang
hampir berteriak.
Masumi
berbalik demi mendapati wajah terkejut Maya yang berada tiga langkah di
depannya. "Sekarang katakan, apa artinya aku bagimu Maya?"
***
>>Bersambung<<
23 Comments
Sedih? samaaaa, hahaaa...aku aja yang nulis tersayat2 hatinya.
ReplyDeleteKalo Masumi mati gimana yak? owhhh, ga kebayang
hihiii....happy reading yak, meski kujamin ga happy sih bacanya XP
Sedih bangetttt... yg bikin mewek pas masumi dipeluk eisuke. Sedih banget klo dh mslah ortu 😢😢😢😢
ReplyDeleteTapi masumi gk bkal knpp2 kan? Jangan mati lah yaaa... nanti aku mewek lagi bacanya 😂😂😂
Jangan sad ending please...lanjut please mbak...jgn lama2 😢
ReplyDeletePengennya sih gak mati, tapi pernah baca intermezo cerita sis Agnes, Maya nangis di depan pusara dgn ditemani Koji disaat dia sedang ngandung anak masuki. Kayaknya cerita ini nyambung deh.........edisisoktahu
ReplyDeleteTenang sodara-sodara
ReplyDeleteNanti ada yang jadi donor hati kok
#Heart versi gw 😄
Gak mau Masumi matiiiiiiii.. no no no :(
ReplyDeletePlease happy ending,Jgn bikin masumi matiðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeletePlease happy ending,Jgn bikin masumi matiðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteakhhhhhðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜,mata udah bengkak begini di potong pula ceritanyaðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜. yakin aq bakal badmood sampe update nya happy ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteðŸ˜ðŸ˜ sedih
ReplyDeleteLanjutannya jangan lama2 yaa
Huaaaa, knp chapter ini menyedihkaaaan hiks.
ReplyDeleteYaaa...sedih kayak nya deh, kanker hati gak ada yg selamat...mau gimana lagi, gunakan waktu sebaik mungkin maya...
ReplyDeleteAaahhh..bikin nyesek ðŸ˜ðŸ˜
ReplyDeleteHiks..hiks..hiks...air mataku terkuras...chapter 5 nya blm ya mba? Duh...jangan sad end..
ReplyDeleteJangan bunuh masumiiiiiiiii
ReplyDeleteJangan bunuh masumiiii...itu tindakan paling kejaaaammmmmm
ReplyDeleteMenunggu berpuluh2 tahun..bukan untuk kematian masumiiii...jangan bunuh masumiiiii..
ReplyDeleteQ mohonnnn....
Beneer... Nuggu nya dr sd.. Masa endingnya masumi mati... Hikhik
DeleteEndingnya jangan mati...
ReplyDeleteMba agnes... Jagan mati dong masuminya....
ReplyDeleteLanjut please mbak...
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKok chapter 5-7 gbs di klik
ReplyDelete