Pure Love - Chapter 14 End


Masumi yang sedang dalam perjalanan menuju studio Daito tampak begitu tegang mengingat suara ledakan yang dia dengar sebelum telepon Masato terputus. Hijiri yang duduk di sebelah Masumi dan tidak diijinkan membawa mobil menatap miris atasannya yang terlihat kalut. Sungguh pun jarak gedung Daito dan studio Daito hanya sekitar satu kilometer tapi rasanya ini perjalanan terpanjang yang dilaluinya.
"Ada kabar terbaru dari anak buahmu?" tanya Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Mereka sudah ada di klinik untuk melindungi Nyonya. Midori juga ada bersama mereka dan Masato sedang memeriksa semuanya. Kru produksi di sana sudah memanggil tim paramedis juga polisi dan pemadam kebakaran," terang Hijiri.
Masumi berbelok cepat di ujung jalan dan memarkirkan mobilnya dengan sembarangan di pelataran parkir. Di antara deretan gedung studio tampak kepulan asap hitam dan kobaran api yang membakar salah satu studio yang terletak di sisi sebelah barat. Jaraknya hanya satu studio dari klinik tempat Maya dirawat.
Polisi, petugas medis juga petugas pemadam kebakaran terlihat sibuk melakukan tugas mereka. Masumi bergegas menuju klinik untuk melihat keadaan istrinya. Dua anak buah Hijiri yang berjaga di depan pintu langsung memberi hormat begitu melihat Masumi dan Hijiri. Masumi sendiri hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruang periksa. Midori dan dokter yang sedang bicara tampak terkejut dengan kedatangan Masumi.
"Tuan," Midori mengangguk hormat pada Masumi begitu juga sang dokter.
"Bagaimana keadaan Maya? Apa dia terluka?" tanya Masumi pada dokter. Matanya menatap cemas pada sang istri yang tidur di ranjang dengan wajah pucat.
"Tuan Masumi, tekanan darah Nyonya rendah. Mungkin benar jika Nyonya Maya kelelahan tapi saya sarankan Anda segera membawanya ke rumah sakit. Saya mendengar cerita dari Nona Midori kalau Nyonya Maya mengalami kecelakaan minggu lalu," jawab sang dokter.
"Tapi apa mungkin ini efek dari kecelakaan itu? Dokter Hayate sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh dan dia mengatakan tidak ada hal yang membahayakan," kata Masumi.
"Maaf Tuan Masumi tapi saya hanya menduganya. Terus terang saya tidak bisa melakukan diagnosa akurat di sini tanpa hasil pemeriksaan yang valid," terang sang dokter kemudian. Ya dia benar, peralatan di klinik tentu tidak selengkap rumah sakit karena hanya diperuntukkan sebagai tempat perawatan pertama jika terjadi sesuatu di studio selama proses syuting atau pemotretan saja.
Masumi mengangguk lalu berjalan ke sisi tempat tidur istrinya, "Bagaimana keadaan di luar?" tanya Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari Maya. Dia mengusap lembut kening istrinya.
"Api belum padam tapi semua terkendali dan sejauh ini tidak ada korban jiwa selain beberapa kru yang terluka. Sekitar lokasi juga sudah diamankan. Semua proses syuting dan pemotretan dihentikan. Sumber ledakan diperkirakan berasal dari genset di belakang studio 5," terang Hijiri yang baru saja masuk setelah meminta keterangan dari petugas polisi dan pemadam kebakaran di luar.
"Nona Midori, apa pemotretan Maya dilakukan di studio 5?" tanya Masumi yang langsung menoleh pada sang menejer sekaligus pengawal pribadi Maya itu.
"Benar Tuan, ledakan terjadi tak lama setelah saya membawa Nyonya ke klinik," jawab Midori.
"Saya tidak mau bilang kondisi Nyonya Maya adalah sebuah keberuntungan tapi andai Nyonya Maya tidak pingsan mungkin dia akan terluka karena masih berada di dalam studio," sang dokter ikut menimpali.
Masumi mengangguk tanda mengerti. Tidak salah kalau dokter berkata begitu. Dia juga tidak bisa membahas masalah ini dengan sembarangan di depan dokter.
"Aku akan bawa Maya ke rumah sakit," kata Masumi seraya memberikan kunci mobil pada Hijiri. Masumi membuka selimut Maya lalu melepas jasnya dan menggunakannya untuk membungkus tubuh istrinya yang masih terasa dingin. Dengan hati-hati Masumi menggendong Maya.
"Tapi ada ambulance di luar Tuan," dokter tampak heran ketika melihat Masumi berniat membawa Maya sendiri ke rumah sakit.
Masumi menggeleng, "Aku yang akan membawanya," tegas Masumi. Jelas saja, tidak mungkin dalam keadaan kacau seperti ini dia memakai kendaraan yang sama sekali belum diperiksa keamanannya. Bahkan gedung studio yang sudah diperiksa dan dijaga pun masih bisa luput hingga meledak. Masumi tidak mau membayangkan kekacauan apalagi yang akan muncul nantinya. Yang terpenting sekarang adalah membawa Maya ke rumah sakit dan mengetahui kondisinya.
Dokter tak lagi menghalangi Masumi dan hanya menatap dalam diam ketika semua orang pergi. Sungguh siang itu lokasi studio menjadi begitu kacau.

***
Handphone Eisuke berdering dan Asa segera mengangkatnya. Tak lama kemudian, dia memberikan handphone itu pada Eisuke.
"Tuan Besar Takamiya," bisik Asa seraya mengulurkan handphone.
Untuk sesaat ekspresi Eisuke tampak mengeras. Dia baru saja diberitahu Hijiri soal keadaan Maya juga ledakan di studio Daito. Dia yakin telepon ini berhubungan dengan semua itu.
"Selamat siang Tuan Besar," sapa Eisuke dengan nada suara setenang mungkin. Dia tidak mau Tuan Besar Takamiya terbahak melihat kekalutannya.
"Ah Eisuke, bagaimana? Kau sudah lihat pertunjukannya? Sayangnya aktris utama dalam pertunjukan ini selamat tapi ku harap kau menyukainya," kata Tuan Besar Takamiya tanpa basa-basi.
Eisuke mengeratkan tangan pada lengan kursi rodanya. Geram dengan sarkasme yang dilemparkan rivalnya.
"Hhmm, jadi begini cara kerja Takamiya? Hati-hati Tuan Besar, pertunjukan yang terlalu vulgar selalu mengundang banyak perhatian dan anda akan kewalahan sendiri menghadapinya," balas Eisuke.
Tuan Besar Takamiya terbahak di seberang sana dan dalam hati Eisuke mengumpat dengan puluhan sumpah serapah.
"Ini belum berakhir Eisuke. Aku jadi ingin melihat wajah Masumi. Ah iya, ku dengar istri kesayangannya sakit lagi?" lanjut Tuan Besar Takamiya.
"Tenang Tuan Besar, saya siap menunggu pertunjukan lainnya," tantang Eisuke kemudian, "kalau kemarin saya masih mengijinkan Anda menemui Masumi juga Maya tapi kali ini saya bisa pastikan kalau Anda tidak akan dapat menjangkau mereka dengan cara apapun," tegas Eisuke.
Tuan Besar Takamiya kembali terbahak, "Jangan terlalu percaya diri Eisuke. Jangan lupakan siapa Takamiya," timpalnya.
Eisuke menyeringai tipis, "Saya tidak lupa siapa Anda Tuan Besar tapi Anda yang lupa siapa saya. Saya adalah pendiri perusahaan entertain terbesar di Jepang yang sudah menggelar banyak pertunjukan hebat. Duduklah dengan tenang dan Anda akan melihat bagaimana pertunjukan saya. Selamat siang," Eisuke menutup teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Tuan Besar Takamiya. Dia yakin saat ini mantan besannya itu pasti tengah menyumpah nyerapahi dirinya atau bahkan sedang menginjak-injak handphone-nya karena kesal.
Itu memang tujuannya, membuat lawan panas dan tidak bisa berpikir jernih karena amarah adalah strategi jitu. Dengan begitu pasti banyak celah yang bisa terbaca. Percayalah, bahkan dalam siasat busuk sekalipun kau membutuhkan pikiran yang tenang.
"Asa, kirim pengawal tambahan ke rumah sakit. Peringatkan Masumi juga Hijiri. Takamiya mulai gila sampai tidak memperhitungkan nama baiknya," Eisuke menggeleng lalu menghela napas panjang.
"Baik Tuan," Asa pun segera melakukan perintah Eisuke.
"Rasanya permainan ini makin seru saja. Sudah lama sekali aku tidak bersemangat melakukan sesuatu seperti sekarang. Iya kan Asa?" kata Eisuke lagi.
Asa hanya tersenyum menjawabnya. Dia tahu benar siapa Eisuke dan Takamiya salah telah membangunkan naga yang sudah lama tertidur. Asa juga lega karena sekarang Eisuke sudah sepenuhnya berpihak pada Masumi.

***
Masumi menunggu dengan cemas di depan emergency room dimana istrinya sedang diperiksa oleh dokter Hayate. Tak jauh darinya berdiri Masato juga Midori dan dua pengawal lain. Hijiri sudah kembali ke Daito untuk mengurus semua kekacauan yang terjadi.
Satu jam menunggu, dokter Hayate keluar bersama dengan dua orang perawat yang mendorong strecher dimana Maya terbaring dengan masker oksigen dan selang IV terpasang di lengan kirinya. Masumi mengernyit melihat wajah Maya yang semakin pucat.
"Bagaimana keadaan Maya dokter?" tanya Masumi.
"Kami sudah melakukan pemeriksaan secara menyeluruh juga memeriksa sampel darah Nyonya ke laboratorium. Secara fisik tidak ada hal yang dikhawatirkan tapi saya belum bisa mendiagnosa lebih lanjut sebelum melihat hasil laboratorium. Hasilnya sekitar satu jam lagi. Sementara menunggu kami akan pindahkan Nyonya ke ruang rawat," terang dokter Hayate.
Masumi, yang tidak puas dengan jawaban sang dokter hanya bisa mengangguk dan menurut saja ketika Dokter Hayate memintanya menunggu di ruang rawat Maya. Diapun mengikuti perawat yang membawa istrinya.
Sementara itu di gedung Daito, jajaran direktur dari tujuh anak perusahaan Daito sedang berkumpul untuk melakukan rapat darurat mengenai keadaan genting yang beberapa hari ini terjadi secara mendadak. Eisuke yang masih menjabat sebagai Komisaris Utama akan memimpin rapat itu, sedangkan Hijiri sebagai wakil Direktur Utama sedang mempersiapkan segala sesuatunya seraya menunggu Masumi datang. Keduanya kini sibuk di ruangan besar milik Eisuke yang jarang sekali digunakan. Mereka juga sedang menunggu kedatangan Tuan Besar Tanaka.
"Masumi sudah menghubungimu?" tanya Eisuke hingga membuat Hijiri yang sedang membaca sebuah dokumen berhenti lalu memfokuskan perhatiannya pada tuan besarnya.
"Sudah Tuan Besar. Nyonya Maya sudah dipindahkan ke kamar rawat dan sedang menunggu hasil pemeriksaan. Tuan Masumi sekarang sedang dalam perjalanan ke sini," jawabnya tenang.
Mizuki yang berdiri di sebelah Hijiri menatap Eisuke dengan pandangan heran. "Ada yang Anda khawatirkan Tuan Besar?" tanya Mizuki kemudian. Bagaimanapun dulu Mizuki adalah sekretaris pribadi Eisuke, jadi dia hapal betul bagaimana tabiat tuan besarnya itu.
"Aku sedang mengkhawatirkan kondisi Maya yang tiba-tiba sakit," jawab Eisuke.
"Dokter Hayate pasti melakukan yang terbaik dan kami sudah memastikan rumah sakit aman dengan penjagaan ketat," Hijiri mencoba untuk meredakan kekhawatiran Eisuke.
"Bukan itu yang aku maksud Hijiri," kata Eisuke lagi. Hijiri dan Mizuki saling bertukar pandang lalu sama-sama menatap Eisuke dengan penuh tanya.
"Apa maksud Tuan Besar?" tanya Mizuki lagi.
"Takamiya sudah mengancamku. Aku yakin mereka tidak akan berhenti sebelum mencapai apa yang diinginkannya. Untuk itu aku mempercepat semua rencana ini agar Maya juga Masumi bisa segera keluar dari Jepang tapi kalau kondisi Maya seperti ini, aku takut semuanya tidak berjalan lancar," terang Eisuke.
Hijiri mengangguk tanda mengerti tapi kemudian mengulas senyum tipis, "Anda tenang saja Tuan Besar, Nyonya Maya itu kuat. Dia pasti baik-baik saja. Semua pasti akan berjalan lancar."
"Benar Tuan Besar. Saya menduga kesehatan Nyonya terganggu hanya karena stress berlebihan menghadapi semua tekanan masalah dan pekerjaan beberapa hari terakhir ini. Tubuhnya yang belum sepenuhnya pulih sudah harus bekerja keras untuk menyelesaikan tiga kontrak iklan terakhirnya hanya dalam waktu empat hari," tambah Mizuki.
Untuk sesaat Eisuke terdiam melihat Hijiri dan Mizuki yang tampak kompak menyemangatinya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak bertukar pikiran seperti ini kecuali dengan Asa tentunya. Sepertinya masalah Masumi juga Maya kembali membuatnya merasa hidup. Sudah belasan tahun dia tidur dalam masa tenang setelah Masumi menjabat sebagai Direktur Utama. Tidak menyangka kalau sekarang, di masa tuanya, dia harus kembali berperang melawan perusahaan raksasa yang dulu ingin dijatuhkannya melalui ikatan pernikahan. Dalam hati Eisuke tersenyum kecut.
"Aku semakin percaya kalian berdua bisa memimpin Daito kalau aku tidak ada lagi," kata Eisuke tiba-tiba yang langsung membuat Mizuki tertunduk untuk menyembunyikan rona merah di pipinya. Hijiri sendiri hanya mengulas senyum tipis lalu mengangguk sebagai tanda terima kasih atas pujian yang diberikan Eisuke. Dia tahu pasti kemana arah pembicaraan itu dan melihat Mizuki tidak membantah sepatah katapun, hatinya merasa lega.
Suara ketukan pintu menyela dan Masumi muncul bersama pria paruh baya yang masih tampak gagah dengan balutan jas hitam mahal dengan dua pengawal berbadan besar di belakangnya.
"Selamat datang Tanaka," Eisuke tersenyum lebar menyambut kedatangan mantan rival yang sekarang menjadi sekutunya itu.
Tuan Besar Tanaka sendiri tampak senang dan langsung membalas sapaan itu dengan suara beratnya yang khas, "Aku senang bisa melihatmu di belakang meja itu Hayami, kau terlalu dini meninggalkan kursimu hingga kehilangan semua hal menarik belasan tahun terakhir ini," katanya.
Eisuke terkekeh atas sindirin itu, "Aku hanya butuh ketenangan Tanaka. Masumi sudah melakukan semuanya dengan baik dan membuatku tidak punya pekerjaan untuk di urus."
"Kecuali masalah cintanya kan?"
Eisuke dan Tuan Besar Tanaka terbahak bersamaan sementara Masumi yang mood-nya masih berantakan karena kondisi Maya hanya bisa tersenyum kecut atas lelucon dua orang pengusaha tua yang sangat menikmati penderitaannya itu. Hijiri dan Mizuki menahan senyum mereka.
"Anak muda, anak muda," kata Tuan Besar Tanaka yang kemudian duduk di sofa tamu setelah dipersilakan oleh Mizuki. Eisuke segera menempatkan dirinya di depan tamunya dan Masumi duduk di sebelah sang ayah dengan Hijiri berdiri di sebelahnya.
"Aku lega kau menerima tawaranku," kata Eisuke membuka percakapan diantara mereka.
"Selama itu menjatuhkan Takamiya, aku akan terima apapun tawaran itu," Tuan Besar Tanaka kembali terkekeh senang.
"Aku bisa pastikan itu. Takatsu sebentar lagi hanya tinggal nama," Eisuke menyeringai penuh kemenangan.
"Ya, itu harapanku. Tidak ku sangka di masa tuaku aku bisa kembali merasakan semangat perang ini," kata Tuan Besar Tanaka, "aku berterima kasih padamu Masumi. Kau hebat juga bisa membuat si tua Takamiya itu kehilangan kontrol dirinya. Sampai-sampai dia menggelar pesta kembang api di depan umum."
"Maaf Tuan Besar, tapi sebenarnya bukan itu tujuan saya," jawab Masumi yang sedikit tersinggung karena sejak tadi merasa ditertawakan.
"Ah iya, iya, aku mengerti. Orang jatuh cinta itu memang kadang membingungkan. Aku masih ingat bagaimana gilanya Eisuke dulu waktu mencintai Tsukikage hingga menghancurkan Ichiren sampai tak bersisa lalu membuat perusahaan transportasi dan entertain raksasa hingga menyaingi kejayaan Tanaka," lanjut Tuan Besar Tanaka dengan santainya seolah apa yang dilakukan oleh Eisuke dulu hanyalah sebuah permainan anak-anak biasa yang menyenangkan sebagai pengisi waktu luang.
"Jangan ungkit itu lagi Tanaka," kata Eisuke dengan raut wajah datar. Meski apa yang dikatakan Tuan Besar Tanaka itu benar tapi masalah cintanya dengan Mayuko adalah luka hati terdalam yang bahkan masih membekas hingga saat ini.
Tuan Besar Tanaka kembali tertawa, "Dan sepertinya cinta Bidadari Merah itu menjadi kutukan di keluarga Hayami sampai putramu pun tergila-gila pada Bidadari Merah."
Ah, ada benarnya, "Hhhmm, aku bahkan tak berpikir sampai sana," Eisuke lalu terbahak dan Masumi juga Hijiri serta Mizuki hanya bisa menghela napas lelah mendengarkan percakapan dua jenderal lapuk itu.
"Baiklah Tuan Besar, bisakah kita lanjutkan nanti. Ada hal penting yang harus diselesaikan sekarang," sela Masumi kemudian tapi Eisuke dan Tuan Besar Tanaka justru kembali terkekeh.
"Kau tidak sabaran anak muda tapi baiklah. Katakan padaku apa rencana barunya," Tuan Tanaka langsung merubah ekspresi jenakanya menjadi wajah datar dengan tatapan mata tajam dan itu membuat Masumi lega. Setidaknya semua masalah akan segera selesai dan dia bisa segera kembali ke rumah sakit untuk menjaga istrinya.
"Hijiri, Mizuki, berikan padaku dokumennya," perintah Masumi dan atmosfer di dalam ruangan besar itu langsung berubah.

***
Shiori tersenyum puas melihat berita yang ditayangkan sore itu. Studio Daito yang kebakaran, wajah dingin Masumi yang ditanya mengenai kondisi Maya juga gonjang-ganjing masalah manajemen Daito yang sudah mulai terendus media karena penarikan saham Takamiya dari Daito. Publik pastinya tidak bodoh untuk bisa menarik benang merah dari semua kejadian itu. Mereka akan melihat akibat dari ulah Masumi yang berani bermain-main dengan keluarga Takamiya.
"Anda tampak senang Nyonya," kata Takigawa yang tengah menghidangkan secangkir teh juga sepotong cake sebagai kudapan Shiori sore itu.
"Bibi tidak lihat? Aku yakin Masumi juga istri barunya itu sedang pusing menghadapi semua ini. Kakek benar-benar melakukan semuanya dengan sempurna," Shiori meneguk tehnya dengan perasaan puas.
Takigawa hanya diam menatap sang Nyonya muda yang masih asik menyimak berita di televisi. Sungguh miris melihat Shiori menjadi sosok yang berbeda seperti ini. Takigawa tidak pernah menyangka kalau cinta Shiori pada Masumi bisa berubah menjadi obsesi menyeramkan yang tak terkendali.
"Tapi aku masih belum puas," ucap Shiori seraya meletakkan kembali cangkir tehnya. Takigawa sendiri masih diam mendengarkan sang nyonya muda. "Aku belum puas sebelum mereka mati."
"Shiori!"
Shiori dan Takigawa tersentak bersamaan begitu mendengar panggilan bernada tinggi itu. Shiori menoleh dan mendapati sang ayah berdiri di ambang pintu kamarnya bersama sang ibu. Takigawa mundur beberapa langkah seraya mengangguk hormat untuk memberi ruang pada Tuan dan Nyonyanya yang berjalan menghampiri Shiori.
"Ayah, Ibu," sapa Shiori datar tanpa beranjak sedikitpun dari duduknya.
"Shiori, apa yang kau katakan tadi?" tanya sang ayah saat Shiori justru mengabaikannya dan kembali menikmati acara televisi.
"Apa Ayah?" Shiori justru balik bertanya.
"Astaga Shiori, kenapa kau jadi seperti ini? Awalnya kami berpikir tidak mungkin semua ini berhubungan denganmu tapi ternyata, memang kau yang meminta kakekmu untuk melakukannya?" Ibu Shiori tergugu melihat putrinya sudah berubah.
"Apa salahnya Ibu? Mereka pantas mendapatkannya," jawab Shiori datar. Dia bahkan kembali meneguk tehnya dengan santai. Sama sekali tidak peduli pada raut wajah sang ayah yang sudah menahan geram.
"Bukankah kau bilang kalau kau sudah merelakan semuanya. Kau sendiri kan yang sudah memilih untuk bercerai? Kau bahkan tahu kalau Masumi sejak awal tidak pernah mencintaimu. Sekarang, untuk apalagi kau melakukan semua ini?" kata sang ibu lagi.
Shiori terkekeh dengan nada sumbang yang terdengar mengerikan, "Aku memang sudah merelakan Masumi untuk bersama wanita itu. Aku tidak akan merebut Masumi karena aku juga tahu kalau dia tidak mencintaiku. Tapi Ibu, aku sama sekali tidak mengatakan kalau aku akan membiarkan mereka. Aku akan membalas semua sakit hati ini dan aku tidak akan puas sebelum mereka berdua mati. Bukankah itu lebih baik? Membiarkan mereka bersama selamanya di alam baka?"
Plak!
Takigawa dan ibu Shiori membekap mulut mereka karena terkejut. Shiori sendiri menyentuh pipinya yang merah dengan mata membelalak menatap sang Ayah yang bergeming di hadapannya. Tangan kokoh itu mengerat di udara menahan geram atas ucapan putrinya.
"Sadarlah! Semua ini salah! Berhenti sebelum semuanya terlambat dan kau akan menyesalinya seumur hidupmu!" Bentak sang ayah.
Mata Shiori memincing dengan tatapan benci pada ayahnya sendiri. Sejak awal memang hanya kakeknya yang peduli pada perasaannya. Tidak Masumi, tidak juga orang tuanya, mereka tidak pernah mengerti apa yang Shiori rasakan. Tak menjawab apapun, Shiori tertawa keras dengan bersandar santai di kursinya.
"Shiori, Ibu mohon," lirih sang Ibu yang merasa miris dengan kondisi putrinya. Dia merasa Shiori tak waras lagi namun idenya untuk membawa Shiori ke psikiater selalu ditentang oleh kakek Shiori. Sang Ayah juga sepertinya sudah kehabisan akal menghadapi Shiori.
"Ini peringatan terakhir dari Ayah. Berhentilah. Jika kau masih tidak mengindahkannya, apapun yang terjadi nanti, ayah dan ibu tidak bisa lagi membantumu. Kau sudah jatuh terlalu dalam Shiori," kata sang Ayah yang sudah mendapatkan kembali ketenangannya.
Shiori yang sudah berhenti tertawa hanya menyeringai tipis lalu meraih kembali cangkir tehnya. Meneguk isinya dan menganggap ayah juga ibunya tak ada.
"Ya Tuhan," lirih sang ibu tak percaya jika putri manis dan santunnya kini telah berubah menjadi wanita kejam dan ambisius.
Tak berkata apa-apa lagi, ayah Shiori mengamit pergelangan tangan istrinya lalu pergi meninggalkan kamar Shiori. Takigawa juga tak bisa berkata apa-apa dan hanya dia yang melihat ketika akhirnya butiran air mata meluncur dari sudut mata Shiori dengan isakan yang teredam.
"Berbahagialah kalian di alam lain karena aku tak ingin melihatnya," lirih Shiori dengan tangan gemetar hingga menimbulkan derak kasar begitu Shiori meletakkan cangkirnya.
"Aku benar kan, Bi?" Shiori mengulas senyum dengan air mata yang masih berderai dan Takigawa segera berlari untuk memeluk sang nyonya muda kesayangannya.

***
Masumi menatap tidak percaya pada lembaran kertas yang digenggamnya. Suasana kamar dimana Maya dirawat menjadi begitu hening.
"Anda tidak bercanda Dokter Hayate?" Masumi masih tidak percaya pada apa yang dibacanya sementara Maya yang masih berbaring mulai meneteskan air mata.
Dokter Hayate tersenyum, "Saya pun tidak menduganya. Semua pemeriksaan menyatakan kondisi Nyonya baik dan saya tidak menemukan satu tanda penyakit atau virus apapun yang bisa menyebabkan keadaan Nyonya menurun tiba-tiba. Sampai akhirnya Nyonya bangun dan mengeluhkan tentang rasa tidak nyaman pada perutnya. Saya bertanya mengenai periode bulanannya kemudian memutuskan untuk melakukan USG transvaginal dan dugaan saya benar. Nyonya Maya hamil, usia kandungannya sekitar dua atau tiga minggu. Mengingat usia kandungan yang masih terlalu muda tidak heran kalau tidak terdeteksi dengan USG abdomen yang sudah dilakukan sebelumnya. Bahkan melalui transvaginal hanya terlihat berupa titik kecil. Meski begitu saya yakin dengan hasilnya. Selamat Tuan Masumi."
Isakan Maya membuat Masumi tersentak. Dia segera menghampiri Maya lalu mengecup keningnya. "Kau akan jadi Ibu sayang," bisik Masumi penuh haru di telinga Maya.
Maya mengangguk di tengah tangisnya. Tidak tahu harus berkata apa. Dokter Hayate dan seorang perawat yang menemaninya hanya tersenyum melihat ekspresi kebahagiaan sepasang suami istri yang tengah fenomenal itu.
Masumi menegakkan tubuhnya lalu menyeka sudut matanya yang berair. Apa yang dirasakannya saat ini sungguh tidak bisa dideskripsikan. Yang jelas Masumi merasa begitu bahagia. "Terima kasih Dokter Hayate," ucap Masumi kemudian.
Dokter Hayate mengangguk dengan masih mengulas senyum, "Itu sudah tugas saya. Sekali lagi selamat Tuan, Nyonya."
Masumi menghapus air mata istrinya yang sudah berhenti menangis. Maya lalu tersenyum menatap dokter Hayate sebagai ucapan terima kasih.
"Melihat gejala awal kehamilan Nyonya saya menyarankan Nyonya banyak istirahat. Jangan terlalu lelah apalagi stress. Ini kehamilan pertama Nyonya dan kehamilan di trimester pertama cukup rentan. Jadi mulai saat ini Nyonya harus lebih berhati-hati. Terutama juga dalam menjaga pola makan," terang dokter Hayate lagi.
"Saya yang akan memastikan sendiri Maya makan dan istirahat dengan baik," Masumi menggenggam tangan Maya dan mengusapnya lembut. "Apa ada makanan khusus yang boleh atau tidak boleh dikonsumsi oleh Maya?" tanya Masumi kemudian.
"Oh, untuk hal itu saya akan memberikan daftarnya pada Anda. Sekarang saya permisi," dokter Hayate pun undur diri.
Masumi dan Maya diam beberapa saat melihat dokter Hayate dan perawatnya pergi.
"Masumi," lirih Maya memecah keheningan diantara mereka.
"Ya sayang?" Masumi segera mengalihkan perhatiannya penuh untuk Maya. Tangannya masih menggenggam lembut tangan Maya.
"Apa semua baik-baik saja?" tanya Maya yang sukses membuat kedua alis Masumi bertaut heran.
"Apa maksudmu sayang?" Masumi balas bertanya.
"Jangan mencoba berbohong Masumi. Kau tampak gelisah sejak datang tadi dan jangan bilang kalau kau hanya mengkhawatirkanku," kata Maya.
Masumi menghela napas panjang. Maya makin pandai saja membaca pikirannya, padahal Masumi sama sekali tidak mau membuat istrinya khawatir. Apalagi sekarang, setelah dia tahu kalau Maya tengah hamil. Masumi semakin tidak rela kalau sampai Maya cemas memikirkannya.
"Studio 5 tempatmu pemotretan kebakaran tepat setelah kau pingsan," kata Masumi.
"Hah?!" Maya terkejut.
"Tenang, semua sudah diatasi. Aku hanya kesal karena media membesar-besarkan semua itu," Masumi mencoba untuk tersenyum wajar agar Maya tidak khawatir.
"Apa ... Takamiya?" tanya Maya ragu.
Masumi terdiam beberapa detik lalu mengangguk pelan.
"Jadi Nyonya Shiori ingin aku mati?"
"Sstt!" Masumi langsung menempelkan telunjuknya pada bibir Maya, "Jangan bicara seperti itu. Kata itu tabu buatmu, apalagi sekarang kau bersama dia," Masumi mengusap lembut perut Maya. Rasanya masih mimpi membayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah di tengah situasi kacau seperti ini.
"Nyonya Shiori mengatakan padaku kalau dia akan membuatmu menanggung semuanya," Maya belum menyerah untuk membahas masalah kegilaan Takamiya.
Masumi menghela napas lagi, "Dia juga mengatakan hal yang sama padaku. Pada intinya dia tahu kalau kita adalah kelemahan satu sama lain dan dia mencoba memanfaatkannya untuk menekan kita. Untuk itu kita tidak boleh terpancing. Kau harus tetap tenang. Aku akan pastikan kau dan calon anak kita baik-baik saja," Masumi mengulas senyum di akhir kalimatnya.
"Aku juga mau kau baik-baik saja," kata Maya lagi.
Masumi mengembangkan senyumnya makin lebar, "Aku akan baik-baik saja sayang," ucap Masumi seraya mengusap kepala Maya penuh sayang. Senyum Masumi menular dan Maya sedikit lebih lega mendengar perkataan suaminya.
"Ah, aku belum mengucapkan selamat padamu. Selamat Masumi, kau akan jadi Ayah," ucap Maya dengan wajah bahagia.
Melandaikan tubuhnya, Masumi kembali mengecup kening Maya, "Terima kasih sayang."
Kemesraan mereka terhenti saat pintu kamar Maya diketuk dan Eisuke masuk bersama dengan Asa.
"Ayah," Maya tampak senang menyambut menrtuanya datang.
"Tetap berbaring Maya," kata Eisuke begitu melihat Maya berniat bangun dan Masumi menahan istrinya untuk tetap berbaring. Maya mengerucutkan bibirnya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Eisuke kemudian.
"Sudah jauh lebih baik Ayah, terima kasih," jawab Maya. Ah, dia tidak tahu bagaimana menyampaikan kabar bahagia itu pada ayah mertuanya. Maya pun melirik Masumi yang langsung mengerti maksudnya.
"Apa terjadi sesuatu?" tanya Eisuke yang penasaran dengan tatapan mata kedua anaknya.
"Aku punya hadiah untuk Ayah, semoga Ayah suka," Masumi tersenyum tipis lalu berjalan ke ujung tempat tidur dan menyerahkan kertas hasil pemeriksaan istrinya. Maya dan Masumi diam mengamati ekspresi serius Eisuke yang tengah membaca kertas yang diberikan Masumi. Keningnya berkerut beberapa saat dan beberapa detik kemudian Eisuke terbahak senang.
"Ya ampun," Eisuke terlihat begitu senang, "Asa, ucapkan selamat padaku. Aku akan menjadi kakek."
Asa terkejut tapi kemudian tersenyum lega, "Selamat Tuan Besar," ucapnya bahagia lalu beralih memandang Masumi dan Maya, "selamat Tuan Masumi, Nyonya Maya."
Masumi dan Maya tersenyum bahagia, "Terima kasih Paman."

***
"Kau membuatku hampir mati terkena serangan jantung, Maya," Rei memeluk sahabatnya itu dengan erat. Sementara Maya hanya tersenyum maklum dalam dekapan Rei. Matanya mengamati setiap orang yang saat ini tengah berada di kamarnya, di kediaman Hayami. Ya, Maya baru saja pulang setelah semalam menginap di rumah sakit. Istirahat siangnya di kejutkan dengan kedatangan sahabat-sahabatnya. Rei dan Koji juga Ayumi beserta suaminya. Bahkan Tuan Himekawa dan istrinya Utako juga datang.
"Aku baik-baik saja Rei," ucap Maya dan Rei melepaskan pelukannya. "Terima kasih kalian sudah datang," kata Maya lagi seraya tersenyum pada sahabat-sahabatnya.
"Sudah kukatakan kalau Maya pasti baik-baik saja," Koji dengan santai menyandarkan lengannya di bahu Rei.
"Ah, jangan sok tenang Tuan Sakurakoji, kemarin kau juga panik saat mendengar studio Daito terbakar," cibir Rei, meski begitu dia membiarkan saja Koji merangkulnya, atau mungkin dia tidak sadar.
"Tapi begitu Nona Midori memberitahuku kalau Maya baik-baik aku tak lagi panik. Sedangkan kau masih saja ribut untuk datang ke rumah sakit," kata Koji membela diri.
"Wajar saja aku panik, aku kan sahabat Maya. Maya sudah seperti adikku sendiri," Rei juga membela dirinya dan kekehan Maya menghentikan adu bela diri itu.
"Hei," protes Rei karena Maya menertawakannya.
"Tampaknya sebentar lagi ada yang akan melangsungkan upacara pernikahan," celetuk Ayumi yang sejak tadi diam memperhatikan interaksi Rei dan Koji.
"Ya, kau benar Ayumi. Mereka bahkan sudah seperti suami istri yang bertengkar," kata Maya yang masih juga tertawa.
Rei mendengus pelan dan menyadari kalau Koji masih memeluknya. Diapun menyingkirkan tangan Koji dari bahunya.
"Tidak perlu malu Rei. Mereka pasti sudah tahu," kata Koji seraya terkekeh senang melihat kekasihnya merajuk. Kekasih? Ya, Koji dan Rei sudah resmi menjadi sepasang kekasih.
"Jadi akhirnya kau berhasil Koji?" tanya Maya.
"Begitulah Maya, setelah perjuangan panjang dan melelahkan. Akhirnya aku berhasil mendapatkan hati Nona Aoki yang manis ini," canda Koji dan Maya kembali tertawa saat Rei semakin mengerucutkan bibirnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Dan tinggal tunggu media tahu maka aku pastikan selama satu minggu penuh wajahmu akan memenuhi media," kata Ayumi.
"Dan membuat barisan penggemar Ishin patah hati," tambah Maya.
Mereka semua tergelak tidak terkecuali Rei. Ya, Rei tahu apa yang dikatakan Ayumi dan Maya benar. Itulah yang membuatnya berpikir panjang sebelum menerima Koji menjadi kekasihnya, tentu saja selain masalah hubungan Koji dan Maya sebelumnya. Ketenaran Koji sebagai aktor kelas satu pasti akan membuatnya sesak napas. Meski Rei sendiri juga seorang aktris tapi dia tidak begitu suka dengan publikasi yang berlebihan. Tapi rupanya ego Rei kalah oleh pesona Koji yang berhasil meluruhkan hatinya.
"Kelihatannya aku melewatkan sesuatu yang menyenangkan," Masumi yang tiba-tiba masuk dan berkomentar mengalihkan perhatian semua orang.
Koji, Rei, Ayumi dan Peter memberi salam saat Masumi kemudian duduk di tepi tempat tidur Maya. Dia baru saja berbicara dengan Tuan Himekawa juga Utako ketika akhirnya ingat sudah waktunya untuk Maya makan siang, Masumi segera kembali ke kamar.
"Kau tahu Masumi, akhirnya Koji dan Rei resmi menjadi sepasang kekasih," Maya langsung melapor pada suaminya dengan semangat. Untuk sesaat Masumi menautkan alis. Ah, lega juga akhirnya Koji mendapatkan tambatan hatinya. Tidak ada lagi yang akan membuatnya cemburu, batin Masumi konyol.
"Masumi?" Maya melambaikan tangan di depan wajah suaminya.
"Ah iya," Masumi yang tersadar segera mengulas senyum lalu berpaling pada Koji dan Rei, "selamat Koji, Nona Aoki," ucapnya tulus.
"Terima kasih Tuan Masumi," ucap Koji sementara Rei hanya tersenyum tipis lalu menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang mulai terasa panas.
Masumi kembali fokus pada istrinya, "Sudah waktunya kau makan siang, minum vitaminmu lalu istirahat," kata Masumi tanpa canggung meski disana ada begitu banyak orang.
Koji menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan Peter terkekeh geli. Mereka tidak menyangka Masumi akan menunjukkan perhatian semacam itu didepan mereka. Ayumi dan Rei pun tersenyum. Masumi mengernyit heran dan Maya ikut terkekeh.
"Anda terlihat lebih manusiawi," celetuk Peter dan Masumi menyadari bahwa perhatiannya pada Maya terlihat aneh di depan mereka. Jelas saja, di hadapan orang lain Masumi lebih sering memakai topeng esnya.
"Begitukah?" Masumi tersenyum tipis. Merasa geli dengan dirinya sendiri. "Tidak apa-apa kan kalau aku memanjakan istriku sendiri," katanya kemudian.
"Berhentilah membuatku malu Masumi," kata Maya kemudian.
Masumi terkekeh lalu mengecup kening Maya, "Sebaiknya aku menemui Bibi Harada dan memintanya menyiapkan makan siangmu juga kita semua." Setelah itu Masumi keluar dari kamar dan membiarkan Maya kembali mengobrol dengan sahabat-sahabatnya kecuali Peter yang ikut keluar bersama Masumi.
"Kau sudah siapkan semuanya?" tanya Peter.
"Hhmm," Masumi mengangguk. Keduanya berjalan dalam diam.

***
"Kau yakin kuat Maya?"
"Iya Masumi. Aku sudah merasa lebih baik. Lagipula tidak mungkin aku tidak datang di acara premier kan? Media akan semakin heboh nanti dan kau semakin repot."
Masumi membantu Maya memakai coat warna hijau toska yang potongannya pas dengan tubuh mungilnya. Tak hanya itu, Masumi juga membantu mengancingkannya dan mengikat tali di bagian pinggang dengan hati-hati. Dia tidak lupa kalau di dalam perut Maya ada buah cinta mereka hingga Masumi memastikan sendiri tubuh istrinya itu tetap hangat dan ikat pinggang itu tidak menekan perut Maya.
Maya terkekeh melihat wajah serius Masumi yang mengikat simpul tali di pinggangnya. "Percayalah, itu tidak ketat sama sekali Masumi," ucap Maya geli.
Masumi segera menatap Maya, "Aku hanya memastikan semuanya aman," kilahnya seraya mengusap lembut perut Maya. Tiba-tiba Masumi berlutut di depan Maya lalu melingkarkan tangannya di pinggang istrinya. Masumi mengecup perut Maya lalu menyandarkan wajahnya di sana. "Aku masih tidak percaya kalau sebentar lagi aku akan menjadi seorang ayah," gumamnya.
Maya mengusap kepala Masumi dengan lembut, "Bahkan aku yang hamil pun masih merasa ini seperti mimpi," timpal Maya.
Masumi mendongak demi melihat binar bahagia di manik bulat istrinya. Meraih tengkuk Maya, Masumi membuat Maya sedikit membungkuk untuk mempertemukan bibir mereka. "Terima kasih sayang, aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu," balas Maya.
Pagi itu Maya dan Masumi begitu bersyukur karena anugrah Tuhan yang besar dalam kehidupan mereka. Dalam hati Masumi berdoa semua rencananya berhasil dan mereka dapat hidup tenang juga bahagia ke depannya. Masumi rela melakukan apapun demi mewujudkan semuanya itu.

***

Siang yang cerah ketika Maya dan Masumi menginjakkan kakinya di depan Gedung Bioskop Daito yang megah di pusat kota Tokyo. Awak media juga para penggemar sudah ramai mengelilingi para aktor juga aktris yang terlibat. Dari sesi foto sampai memberikan tanda tangan, Ayumi juga Koji tampak menebar pesona diantara para penggemarnya. Bahkan sang sutradara, Tuan Himekawa, juga tampak sibuk menjawab pertanyaan dari wartawan terkait premier film layar lebar Aishiteru yang digadang akan masuk dalam nominasi film Cannes musim depan.
"Maya! Maya!" Penggemar Maya berteriak histeris begitu melihat sang idola datang. Terlebih lagi dia datang bersama sang suami yang pesonanya sudah tersohor di kalangan kaum hawa se-Jepang. Ah, andai Masumi bukanlah pria dingin mungkin nasibnya akan sama seperti Koji yang saat ini tengah mempertahankan senyum supernya demi menyapa para penggemarnya.
"Itu Maya Hayami," celetuk salah seorang wartawan yang sontak membuat keramaian seperti dengung lebah itu semakin berisik saja. Suasana kacau beberapa detik saat para wartawan itu langsung menyerbu Maya juga Masumi. Sontak saja Midori dan Masato juga dua pengawal Masumi yang lain segera siaga untuk melindungi Maya. Masumi sendiri dengan begitu posesif menyandarkan tangannya di pinggul Maya, memastikan sang istri aman bersamanya tanpa peduli sorotan kamera yang langsung membidik momen langka itu.
"Maya Hayami, bisa berbagi cerita pada kami tentang peran Anda di film ini?"
"Maya, apakah menurut Anda film ini akan benar-benar menembus Cannes?"
"Maya, apakah kebakaran studio tempo hari akan berpengaruh pada promosi film Aishiteru?"
Deg!
Kaki Masumi sontak berhenti begitu mendengar pertanyaan salah satu wartawan yang menurutnya lancang itu. Bahkan sejak kemarin dirinya sudah dicecar dengan pertanyaan serupa dan Masumi sudah memberikan ultimatum pada media untuk tidak mengaitkan kebakaran itu dengan strategi pomosi atau apapun. Masumi sudah mengklarifikasi pada media bahwa kebakaran kemarin adalah murni kecelakaan. Ingin rasanya Masumi menghajar mulut yang masih saja berani melontarkan pertanyaan menyebalkan itu.
Reflek beberapa wartawan mundur satu dua langkah begitu aura dingin menguar di sekitar Masumi. Matanya tajam menatap setiap awak media yang masih stand by dengan alat rekam juga kamera di tangan masing-masing. Beberapa dari mereka menelan ludah perlahan melihat ekspresi dingin dari Direktur Utama Daito.
"Masumi," lirih Maya seraya mengusap lembut dada suaminya.
Berkedip. Masumi menunduk dan menatap Maya yang menggeleng padanya hingga sebuah helaan napas panjang lolos dari bibirnya. "Akan ada konferensi pers setelah pemutaran film selesai dan kalian semua bisa mendapatkan semua jawabannya nanti. Tidak sekarang. Terima kasih," ucap Masumi dengan nada penuh intimidasi hingga akhirnya para wartawan itu mundur teratur dan memberi jalan pada Masumi juga Maya untuk memasuki gedung biokop.
Melihat itu para aktor dan aktris yang terlibat juga Tuan Himekawa segera mengikuti Masumi. Mereka menaiki lift menuju studio 8 di lantai tiga. Pemutaran film tinggal lima belas menit lagi dan Rei yang ternyata sejak tadi melihat Koji dari kejauhan mulai melangkah masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan kekasihnya.
"Rasanya aku butuh anti-depresant kalau setiap hari harus melihatmu seperti itu," lirih Rei dengan nada kesal yang tertangkap jelas di telinga Koji.
Menahan tawa dengan jemari di bibirnya, Koji senang saat lampu akhirnya dimatikan. Lengannya segera bersandar di bahu Rei, "Jangan cemburu Nona Aoki, hanya kau yang ada di hatiku," bisik Koji tepat di telinga Rei.
Rei juga bersyukur ruangan sudah gelap hingga dia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan rona merah di wajahnya. "Ish, jangan merayuku," desis Rei dan Koji terkikik.
"Aku mencintaimu Rei," bisik Koji lalu mengecup pelipis kekasihnya dan kekesalan Rei menguap dalam hitungan detik.
Dasar aktor, gerutu Rei dalam hati. Dan dia membiarkan saja kepala Koji bersandar di bahunya.

***
Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan dengan pencahayaan minim saat credit title berjalan di layar super besar. Begitu lampu menyala, tampak wajah-wajah puas dengan senyum mengembang, bahkan ada yang masih menyeka air mata mereka. Ya, seperti yang sudah diprediksi sebelumnya, menyatukan Maya, Ayumi juga Koji dalam satu frame adalah jurus jitu untuk mencapai penghargaan besar. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Tuan Himekawa yakin filmnya kali ini benar-benar akan menembus nominasi Cannes.
Seperti apa yang dikatakan Masumi tadi kalau akan ada konferensi pers usai pemutaran film. Kini para pendukung utama film Aishiteru sudah berada di sisi lobi lantai satu, duduk di atas panggung yang sudah disediakan untuk menjawab pertanyaan awak media. Maya yang duduk di antara Koji dan Ayumi tampak tenang dengan senyum tipis tersungging di wajah cantiknya. Masumi sendiri duduk di ujung meja berdampingan dengan Tuan Himekawa selaku sutradara.
Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan dan Masumi puas dengan moderator yang dipilih oleh Mizuki untuk konferensi pers kali ini. Dia bisa membatasi topik pertanyaan dengan baik dan sesekali men-tackle pertanyaan melenceng dari wartawan dengan candaan hingga membuat suasana menjadi menyenangkan. Konferensi pers tinggal sepuluh menit lagi tapi ketenangan Masumi menguap begitu seorang wartawan dari salah satu tabloid entertainment minguan melontarkan pertanyaan yang membuat Masumi hampir hilang kendali.
"Untuk Maya Hayami, dalam film ini Anda berperan sebagai wanita yang akhirnya mendapatkan kembali sang kekasih yang direbut oleh Ayumi. Apakah penghayatan Anda dalam film ini didasari pada pengalaman pribadi Anda?"
Masumi merutuk dalam hati begitu melihat wajah terkejut Maya. Beberapa saat suasana menjadi hening lalu terdengar kasak kusuk yang membuat telinga Masumi gatal. Maya masih belum menjawab sementara sang moderator tampak berpikir keras untuk mengendalikan acara.
"Ah, sepertinya perta-,"
"Saya masih bertanya seputar film dan peran Maya. Anda tidak berhak menolak pertanyaan saya kecuali Maya Hayami memang tidak mau menjawabnya," potong sang wartawan yang masih berdiri dengan tatapan lurus ke arah panggung.
Sang moderator tutup mulut dan bergidik melihat ekspresi Masumi yang tiba-tiba mengeras. Meski begitu dia merasa heran karena melihat Maya tersenyum begitu pulih dari keterkejutannya.
"Pengalaman pribadi ya," suara Maya menggema ringan di dalam ruangan yang otomatis membuat kasak kasuk teredam dan perhatian semua orang tertuju padanya. Tidak terkecuali Masumi yang menatap intens pada istrinya.
"Apa Anda bermaksud memancing saya bercerita soal kehidupan pernikahan saya dan hubungan saya dengan Nyonya Shiori?" tanya Maya terus terang dengan senyum masih mengembang di wajahnya.
Wartawan itu terkekeh, "Anda pasti tahu maksud saya."
Beberapa wartawan berdecak kesal karena merasa kalah jurus tapi beberapa lainnya memilih untuk fokus merekam momen berharga itu. Kamera siaga untuk membidik setiap reaksi dari Maya terlebih dari Masumi. Beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat para wartawan menyadari kalau ternyata direktur dingin dan gila kerja yang terkenal dengan ketenangannya itu akan berubah menjadi sosok posesif sekaligus impulsif jika menyangkut seorang Maya.
Maya mengulas senyum sebelum menjawab pertanyaan sang wartawan, "Menghidupkan peran adalah tugas saya sebagai aktris. Terlepas saya pernah mengalami hal itu di dunia nyata atau tidak, saya tetap harus membuat semua itu nyata di dunia panggung atau di layar kaca. Jika Anda penasaran apakah kali ini peran saya diinspirasi oleh kehidupan nyata saya, jawabannya adalah iya."
Semua orang diam, begitu juga sang wartawan yang bertanya. Dia masih terpaku menatap Maya yang tenang dan masih menyunggingkan senyum simpulnya. Ayumi dan Koji menoleh pada sahabatnya sementara Masumi menahan geram dengan mengepalkan tangan di bawah meja meski wajahnya masih saja terlihat tenang. Tuan Himekawa sendiri dengan bijak membiarkan Maya menjawabnya. Dia tahu meski terkadang ceroboh tapi Maya adalah gadis cerdas jika berhubungan dengan dunia peran.
"Bahagia, sedih, sakit, kecewa, bukankah setiap kita pernah mengalaminya? Perasaan-perasaan itulah yang menghidupkan peran saya di atas panggung," lanjut Maya yang masih membuat peserta konferensi pers terpaku padanya.
"Kalau masalah pernikahan saya, rasanya tidak etis kalau Anda menghubungkannya dengan film ini. Yang jelas penulis naskah dan Tuan Himekawa sebagai sutradara tidak membuat film ini berdasar pengalaman hidup saya bukan? Saya hanya mencoba profesional dalam profesi saya dan saya mohon untuk media juga menghargai apa yang menjadi privasi kami. Saya memang aktris, saya sadar kehidupan saya akan menjadi sorotan tapi bukan berarti juga kehidupan pribadi saya harus menjadi bagian dari dunia panggung sandiwara yang layak dipertontonkan. Saya hargai pertanyaan Anda. Terima kasih."
Hening. Semua diam mendengar jawaban Maya yang terus terang itu. Ini kedua kalinya mereka melihat Maya mengkonfrontasi secara langsung wartawan yang menekannya –tentu setelah konferensi pers pernikahannya dengan Masumi-. Biasanya akan ada Midori sang menejer atau pihak menejemen lain yang menjawab. Tapi sekarang, Maya mematahkan pertanyaan itu dengan jawabannya sendiri.
Para wartawan itu melirik ke arah Masumi yang masih tampak tenang meski mereka tahu dalam hatinya pasti meradang. Dia tak lagi menatap sang istri melainkan menatap lurus pada barisan wartawan.
Moderator segera mengambil alih acara dan beruntungnya waktu konferensi sudah habis. Tak ada yang berkomentar lagi sampai semua pendukung acara berdiri lalu memberi hormat dan meninggalkan panggung.
Para wartawan diundang untuk pesta premier di salah satu ruangan yang sudah disiapkan di sisi timur lantai tiga. Maya, Ayumi juga Koji kembali diserbu penggemar mereka saat akan berjalan ke lift menuju lantai tiga. Kembali para aktris papan atas itu harus meladeni sesi ramah tamah hingga foto bersama para penggemar sebelum pesta premier dimulai. Dan kali ini Koji menarik Rei untuk tetap berada di sebelahnya. Tak urung beberapa penggemar Koji menatap tajam Rei dan hanya ditanggapi santai oleh gadis itu. Hari ini dia memakai gaun agar tak ada orang yang salah paham tentang gendernya, masalah yang selalu saja membuatnya malu. Maya terkekeh melihat sahabatnya tapi dia lega karena Koji dan Rei memang tampak serasi. Tak lama, hanya lima belas menit dan para penggemar itu harus mendesah kecewa karena Maya, Ayumi juga Koji digiring masuk ke dalam lift oleh pihak manajemen.
"Kau lelah sayang?" bisik Masumi lembut seraya memberikan segelas minuman untuk Maya. Keduanya kini berada di ruangan pesta dan sedikit menjauh dari kerumunan tamu.
Maya tersenyum lalu menggeleng kemudian menyesap minumannya perlahan. Rasa manis dan asam orange juice terasa segar di tenggorokannya.
"Kau masih marah?" tanya Maya ketika melihat sang suami hanya diam mengamati para tamu yang sedang menikmati jamuan pesta.
"Marah? Tidak juga, hanya kesal melihatmu menjadi sorotan seperti itu," jawab Masumi tenang lalu menyesap wine dari gelas tinggi yang digenggamnya.
Maya tersenyum, "Anggap saja tak pernah terjadi. Aku sudah menduga pertanyaan semacam itu akan muncul," katanya berusaha menenangkan Masumi yang dia tahu masih menahan kesal. "Mau tidak mau pernikahanmu sebelumnya memang akan membayangi pernikahan kita kan?"
Masumi langsung menoleh pada istrinya, "Kau tahu, rasanya aku ingin sekali memiliki mesin waktu lalu kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Jadi aku tidak harus menyakitimu seperti ini."
Maya mengulas senyum lalu memeluk lengan suaminya dan bermanja di sana, "Tidak perlu berandai-andai Masumi. Aku bahagia bisa bersamamu sekarang," ucapnya.
Masumi merasa hatinya menghangat dengan perlakuan dan ucapan Maya. Meletakkan gelas tingginya ke atas meja yang tak jauh dari tempatnya, Masumi meraih bahu Maya lalu merengkuhnya dalam sebuah pelukan. Terserah para wartawan menyebalkan itu melihat atau tidak, Masumi hanya ingin mengungkapkan rasa sayangnya.
"Terima kasih Maya," kata Masumi penuh haru dan Maya bisa merasakan ketulusan dalam ucapan suaminya.
"Tidak perlu berterima kasih, kau suamiku," balas Maya. Masumi menghadiahinya sebuah kecupan di puncak kepala dan sebuah kilat blitz membuatnya tersentak untuk sesaat.
Maya menarik diri dari pelukan Masumi. Wajahnya merona begitu menyadari kemesraannya tertangkap kamera. Tidak seperti Masumi yang memang sengaja tidak mempedulikan kehadiran para wartawan, Maya sebenarnya sempat lupa kalau dirinya masih berada di pesta dan tengah menjadi sorotan media.
"Astaga, aku malu," lirih Maya dan Masumi terkekeh pelan lalu menarik Maya kembali ke dalam pelukannya dan tanpa sepengetahuan istrinya Masumi mengusir para wartawan itu menjauh dengan tatapan tajam terbaiknya.

***
"Ku pikir Tuan Masumi akan mengamuk tadi," celetuk Koji seraya terkekeh geli. Dia, Rei, Maya juga Ayumi tengah mengobrol di salah satu sudut ruangan sementara Masumi tampak santai bersama Peter juga beberapa orang tamu di sudut lain.
"Aku juga sempat berpikir begitu dan aku terkejut kau menjawabnya Maya," Ayumi menimpali perkataan Koji.
Maya tersenyum, "Kalau aku tak bicara Masumi benar-benar akan mengamuk seperti apa yang kalian pikirkan itu."
Rei mendesah, "Kisah cintamu terlalu rumit Maya," celetuknya.
"Kalau bisa memilih, aku juga tidak mau seperti ini Rei," jawab Maya seraya terkikik. Yang lain hanya tersenyum.
Ayumi melirik ke arah Peter yang ternyata tengah menatapnya. Mengerti arti tatapan mata sang suami, Ayumi pun undur diri, "Maaf, aku permisi sebentar," katanya yang hanya ditanggapi anggukan kepala oleh sahabat-sahabatnya. Sesaat mereka melihat Ayumi berjalan ke arah suaminya lalu kembali melanjutkan obrolan. Tak lama berselang, Ayumi juga Peter sudah tidak terlihat di dalam ruangan pesta dan tidak ada yang menyadari kepergian mereka.
Waktu terus berlalu dan Maya masih asik mengobrol hingga suara dentuman keras terdengar dan gedung bergetar kasar. Seketika suasana berubah kacau dengan teriakan histeris para tamu. Bahkan beberapa orang yang terkejut menjatuhkan gelas di tangan mereka, membuat suasana semakin kacau.
Maya tercekat di tempatnya ketika Koji reflek memeluknya juga menarik Rei ke sisinya. Rei tercengang di dalam dekapan Koji dan Maya mulai gemetar dalam lengan Koji yang lain.
"A-apa yang terjadi?" tanya Rei dengan suara gemetar.
"Masumi, dimana Masumi?" Maya yang masih syok memutar bola matanya mencari sosok suaminya di tengah para tamu yang berlarian.
"Kita harus keluar dari sini," kata Koji yang segera menarik pergelangan tangan Rei juga Maya tapi Maya langsung menepis tangan Koji dan melesat ke arah kerumunan untuk mencari Masumi.
"Maya!" teriak Koji dan Rei bersamaan tapi sama sekali tidak terdengar dan Maya menghilang begitu saja.
"Bagaimana ini?" Rei panik.
Koji yang sama paniknya tidak tahu harus menjawab apa. Diapun menarik Rei menuju pintu keluar dan begitu keduanya sampai di luar ruangan, Koji justru melihat kekacauan yang lebih parah. Beberapa petugas keamanan tampak sibuk memberi pengarahan pada para pengunjung yang serentak keluar dari studio karena dentuman keras dan getaran hebat beberapa waktu lalu.
Mata Koji terbelalak ketika melihat lidah-lidah api muncul dari studio 8 tempat pemutaran premier film Aishiteru tadi. "Astaga!" Pekik Rei dengan wajah penuh ketakutan. Koji yang menyadari itu segera mendekap Rei dalam pelukannya dan membimbingnya keluar dari gedung sesuai instruksi petugas keamanan. Dia panik melihat Rei yang ketakutan dan mencoba meronta dalam pelukannya karena bersikeras untuk mencari Maya.
"Koji kau gila! Maya masih di dalam! Kita harus mencarinya dulu!" Teriak Rei seraya berusaha melepaskan cengkraman Koji di bahu dan tangannya.
Tidak! Tidak! Koji takut melihat api-api itu. Bukan takut dirinya terluka tapi takut Rei yang terluka. "Kita keluar dulu! Setelah kau aman, aku yang akan mencarinya!" bentak Koji kemudian.
Rei terdiam dengan napas memburu, tidak tahu harus bagaimana dan hanya bisa menurut ketika Koji membawanya. Mereka berhasil keluar dan menatap kericuhan di pelataran gedung. Mobil polisi, pemadam kebakaran juga ambulance sudah berjejer rapi disana. Petugas pemadam kebakaran sudah sibuk memadamkan api yang tampak menjilati bagian atas gedung. Koji dan Rei mendongak bersamaan, gedung bioskop mewah itu sudah setengah dilahap api. Perhatian mereka teralihkan saat petugas paramedis sibuk menolong pengunjung yang menjadi korban.
"Aku akan mencari Maya," kata Koji pelan. Rei mengangguk meski dalam hatinya berkecamuk rasa takut karena melihat kobaran api. Tapi saat Koji setengah berlari untuk masuk, seorang petugas menghalanginya.
"Anda tidak boleh masuk Tuan!" serunya dengan menahan tubuh Koji yang memaksa masuk.
"Temanku masih di dalam! Aku ingin menyelamatkannya!" teriak Koji.
Petugas itu menggeleng keras dan mendorong Koji kuat untuk menjauh dari gedung. Beberapa polisi tengah membentuk barikade di sekitar gedung untuk mengamankan jalur penyelamatan.
"Kami yang akan menyelematkannya! Anda tunggu saja disini!" perintah petugas itu dengan suara keras.
Koji terpaku di tempatnya begitu petugas itu melepaskannya. Dia tahu tidak ada gunanya dia melawan.
Rei menghampirinya lalu mengusap lembut lengan kekasihnya, "Koji," lirihnya. Keduanya terdiam.
"Kalian berdua, menjauhlah dari sana!"
Koji dan Rei tersentak oleh teriakan salah seorang petugas polisi lain. Wajahnya tampak kusut seraya mengarahkan beberapa pengunjung yang selamat untuk segera menjauh dari lokasi kebakaran. Koji dengan langkah berat membimbing Rei menjauh.
"Koji, Maya-,"
"Sstt!" Koji menggeleng lalu mempercepat langkahnya. Salah seorang petugas paramedis menghampiri keduanya lalu menanyakan keadaan mereka. Koji mengatakan dirinya dan Rei baik-baik saja dan petugas itu meninggalkan mereka. Sekarang, Koji dan Rei berdiri di sebelah mobil ambulance, menatap gedung dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Maya," lirih Rei dengan suara serak dan tanpa bisa ditahan air matanya jatuh.
Koji juga tidak tahu harus bagaimana. Dia hanya bisa memeluk Rei yang kini menangis semakin keras di bahunya.
"Tuan Masumi dan pengawalnya pasti menyelamatkan Maya," kata Koji kemudian. Ya, dia berdoa dan berharap semuanya selamat.
Aku tidak membayangkan akan separah ini, kata Koji dalam hati.

***
Ledakan tiba-tiba terjadi di studio delapan di gedung bioskop Daito hingga menyebabkan kebakaran. Petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api sementara petugas polisi dan paramedis berusaha menyelamatkan para pengunjung yang menjadi korban. Hingga saat ini sudah tercatat tujuh puluh tiga orang yang terluka. Petugas mengalami kesulitan menyelamatkan pengunjung yang terjebak di lantai tiga yang menjadi sumber ledakan karena lantai itu sudah hampir terbakar seluruhnya.
Baru saja kami melihat Eisuke Hayami datang bersama kepala polisi. Sepertinya dia datang bukan hanya sebagai pemilik gedung tapi juga karena putra dan menantunya, Masumi Hayami juga istrinya Maya Hayami masih belum ditemukan dan diduga masih terjebak di lantai tiga. Seperti yang kita ketahui, hari ini adalah premier film Aishiteru yang dibintangi oleh Maya Hayami juga-.

Senyum merekah di wajah Shiori. Matanya menikmati layar televisi besar di hadapannya meski telinganya tak lagi menyimat perkataan presenter berita. Gedung Bioskop Daito yang terbakar, presenter head line news yang tampak bersemangat juga sekilas gambar Eisuke yang tampak panik tertangkap kamera. Shiori terbahak. Semua itu terasa sangat menghibur baginya.
"Pertunjukan yang bagus," katanya yang kemudian bertepuk tangan sambil berdiri, standing ovation.
Takigawa yang berdiri di belakangnya terdiam dengan hati sedih. Dia yakin Nyonya muda kesayangannya itu tak lagi waras.
"Bibi lihat? Kakek sudah memberikan kado terbaiknya untukku," kekeh Shiori senang. Takigawa hanya bisa menunduk kaku.
"Kenapa Bi? Bibi kasihan dengan mereka?" Shiori terbahak lagi, "Aku berharap mereka habis menjadi abu," tawa Shiori makin keras.
Tanpa disadari Shiori, kedua orang tuanya berdiri di ambang pintu kamar. Sang Ayah menatapnya geram seraya mengepalkan tangan dengan satu tangan memeluk sang ibu yang kini tengah terisak. Putriku benar-benar sudah gila, begitu pikirnya.
"Ayah, apa kau yakin akan melakukannya?" tanya sang ibu.
Ayah Shiori mengangguk, "Meski terlambat tapi aku harap dia bisa sembuh," jawabnya. Ya, dalam hati sang ayah begitu menyesal. Dia tidak tahu bagaimana nasib Masumi juga Maya karena ulah putri dan ayahnya itu tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Sekarang dia hanya ingin putrinya sembuh.
Ayah Shiori menoleh pada pria yang berdiri di sebelahnya bersama dua orang perawat di belakangnya, "Dokter, silakan bawa putriku," katanya.
Pria paruh baya yang dipanggil dokter itu mengangguk lalu masuk ke dalam kamar bersama dua orang perawatnya. Ayah Shiori mengeratkan mata melihat putrinya memberontak dan memecahkan beberapa barang dikamar. Dia hanya bisa diam seraya memeluk sang istri yang makin terisak.
"AKU TIDAK GILA!!" raung Shiori. Takigawa ikut menangis, "AYAH APA YANG KAU LAKUKAN?!" teriak Shiori lagi.
"Ayah-," lirih ibu Shiori dengan suara bergetar.
"Demi Shiori Bu, demi Shiori," jawab sang ayah sama lirihnya.
Kedua orang tua itu menahan sakit ketika Shiori terus memberontak dalam dekapan dokter. Tak lama kemudian Shiori jatuh lemas tak sadarkan diri setelah seorang perawat berhasil menyuntikkan obat penenang ke lengan kanannya.
"Ini yang terbaik untukmu sayang," lirih sang ayah yang akhirnya menangis juga.
Sementara itu di ruang kerja besar yang tak jauh dari kamar Shiori, Tuan Besar Takamiya mengerutkan kening dengan tatapan tajam pada Wada, anak buahnya. Wajah Wada penuh lebam biru dan lengan kanannya terikat kain putih yang sudah berubah warna menjadi merah karena darah. Dia tahu kepala pengawalnya itu tertembak.
"Sial! Apa sebenarnya rencana Eisuke!" rutuk Tuan Besar Takamiya dengan nada tinggi. Dia sengaja mengutus Wada dan dua anak buahnya untuk memata-matai Maya tapi ternyata dirinya menjadi seperti ikan yang memakan umpan.
Wada dengan wajah menyesal membungkuk hormat pada sang tuan, "Maaf Tuan, saya yang lengah hingga jatuh dalam jebakan mereka."
Tuan Besar Takamiya menahan geram hingga giginya bergemeletuk kasar, "Siapa yang kau hadapi?"
"Masato, pengawal pribadi Maya dan Wakil Direktur Hijiri yang membuat saya terjebak di sana," jawab Wada.
"Sial!" lagi-lagi sang Tuan Besar mengumpat.
"Eisuke benar-benar menguji kesabaranku! Tikus busuk itu ternyata lebih licik dari ular!"
Kemarahan Tuan Besar Takamiya berhenti begitu dia mendengar sedikit keributan di luar ruang kerjanya.
"Ada apa di luar?" tanya Tuan Besar Takamiya, masih dengan nada kesal.
Wada menatap sang tuan sebelum kembali menundukkan kepala, "Tuan-," jawabnya ragu.
"Ada apa?" desak Tuan Besar Takamiya.
"Tuan membawa Nyonya Shiori ke rumah sakit jiwa," jawab Wada.
Braakk!! "Sialan!"

***
Eisuke terpaku di sebelah kepala polisi yang masih sibuk memberikan instruksi kepada anak buahnya bersama dengan kepala petugas pemadam kebakaran. Suasana masih ricuh dan Mizuki yang sejak tadi juga mendampingi Eisuke bersama dengan Asa hanya bisa diam. Gedung megah dihadapan mereka sudah hangus karena api yang tak kunjung padam. Eisuke merasa tidak tenang karena Masumi juga Maya belum ditemukan. Suasana masih kacau dan para petugas masih sibuk menyelamatkan pengunjung yang terjebak di lantai atas.
"Tuan Besar," Asa mencoba menenangkan Eisuke saat melihat tangannya yang mengerat di atas kursi roda, "mereka pasti selamat," kata Asa tenang.
Eisuke hanya berdecih kesal. Semua keluar dari rencananya. Astaga! Dalam hati Eisuke tidak berhenti merutuki dirinya sendiri sejak tadi. Salahnya! Semua salahnya! Begitu kata batinnya terus menerus. Andai dia lebih hati-hati maka semua tidak akan meleset seperti ini. Kondisi Maya yang tengah hamil membuatnya semakin kacau.
"Mizuki, apa kau sudah mendapat kabar dari Hijiri?" tanya Eisuke.
"Belum Tuan Besar, Masato dan Midori juga belum terlihat sama sekali," jawab Mizuki.
"Bodoh! Kemana mereka semua di saat seperti ini," desis Eisuke geram.
Kepala petugas hanya bisa menghela napas melihat kegeraman Eisuke. Diapun memerintahkan anak buahnya untuk kembali memeriksa setiap lantai dan fokus mencari Masumi juga Maya.
"Kami kesulitan untuk memeriksa daerah sekitar studio 8 karena api semakin besar di sana. Kami takut kalau sampai ada orang yang masih terjebak, mengingat masih ada toilet dan dua studio di sisi barat."
Jantung Eisuke berdegub kencang mendengar kalimat dari salah satu petugas yang sedang melapor pada Kepala petugas pemadam kebakaran. Mungkinkah Masumi atau Maya ada di sana? Batin Eisuke gusar. “Cepat periksa!” seru Eisuke yang langsung mendapat perhatian penuh dari Kepala Petugas Pemadam kebakaran. Belum sempat instruksi dilontarkan, salah seorang petugas lain tampak tergopoh menghampiri mereka.
“Dua tim kembali ke lantai tiga untuk memeriksa gedung di sisi barat dan baru saja saya mendapat laporan kalau ada beberapa orang yang terjebak di toilet lantai tiga. Mereka berhasil menyelamatkannya,” lapor petugas itu.
Eisuke semakin gelisah begitu mendengarnya, namun belum sempat Eisuke membuka mulut untuk berbicara dengan kepala polisi dan kepala petugas pemadam kebakaran, sebuah teriakan lantang menggema di depan gedung dan meredam sedikit kebisingan karena sempat membuat semua orang terpaku.
Dua petugas pemadam kebakaran keluar bersama dengan Hijiri, Masato juga Midori. Eisuke hampir ikut berteriak begitu melihat dua orang lain yang tampaknya terluka parah. Itu Masumi dan Maya. Masumi tidak sadar dan ditopang oleh seorang petugas juga Hijiri. Terlihat ceceran darah di keningnya juga di bagian lengan dan dadanya. Sementara Masato membopong Maya yang tampak sama mengerikannya dengan Masumi. Midori sendiri meski masih sadar tapi terlihat kepayahan di papah oleh salah satu petugas.
Paramedis langsung siaga dan menyiapkan dua strecher untuk Maya dan Masumi. Pertolongan pertama langsung dilakukan dan petugas lainnya langsung menarik Hijiri, Masato juga Midori ke salah satu ambulance untuk diobati.
"Minggir! Itu anakku!" teriak Eisuke yang akhirnya tak bisa lagi menahan diri. Asa segera mendorong kursi roda mendekat ke tempat Masumi dan Maya dibaringkan.
Mizuki juga tak dapat menahan diri saat melihat Hijiri yang juga terluka. Berlari, Mizuki langsung memeluk Hijiri hingga sang wakil direktur itu sempat terpaku beberapa saat sementara paramedis yang menanganinya menghela napas lelah dengan drama di depannya. Hei, dia belum selesai mengobati luka pasiennya.
Midori dan Masato duduk diam dan hanya saling bertukar pandang lalu bersamaan menoleh ke arah Maya dan Masumi. Ada penyesalan terbaca di kedua mata mereka. Masato menarik bahu adiknya dan mendekapnya lembut. Midori menangis. Terdengar suara Eisuke yang berteriak memanggil nama Masumi juga Maya saat paramedis menyatakan jantung keduanya berhenti. Sementara tak jauh dari sana Rei berteriak histeris dalam pelukan Koji.

***
"Tuan Masumi dan Nyonya Maya dalam keadaan kritis. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkannya. Sekarang hanya ini yang bisa saya sampaikan, terima kasih," Dokter Hayate mengangguk sopan pada para wartawan yang berkumpul di lobi rumah sakit lalu pergi meninggalkan mereka bersama dua orang perawat di belakangnya.
Para wartawan itu berkasak-kusuk begitu melihat sang dokter menghilang di dalam lift. Kecewa karena mereka tidak mendapatkan banyak informasi dan dilarang untuk memasuki area rumah sakit lebih jauh. Empat orang pria berpakaian hitam tampak menjaga lobi. Para wartawan tahu itu adalah pengawal keluarga Hayami. Alasan yang jelas kenapa mereka tidak bisa masuk.
Pasangan Hayami paling fenomenal saat ini kembali menjadi sorotan media ketika berhasil di selamatkan dari kobaran api dan dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Yang lebih mengejutkan lagi adalah luka tembak yang ada di dada dan lengan kanan Masumi. Semua orang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan kembali, mereka harus menelan kekecewaan karena ketika mereka tiba di rumah sakit, penjagaan sudah begitu ketat dengan target mereka yang kabarnya -dari salah seorang perawat yang keceplosan- dimasukkan kedalam ruangan khusus. Entah bagaimana keluarga Hayami melobi pihak rumah sakit hingga bisa mengatur semua prosedur pelarangan masuk itu. Alhasil, para wartawan hanya bisa menunggu.
Sebenarnya selain menunggu Maya juga Masumi, para wartawan itu juga menunggu hasil otopsi dua mayat yang ditemukan di toilet. Diduga mereka mati karena masalah pernapasan dan yang menarik adalah dugaan bahwa mereka adalah pelaku peledakan gadung, penembakan Masumi, juga penyanderaan Maya, Hijiri, Masato dan Midori. Beruntung para sandera berhasil diselamatkan dan naasnya justru para pelaku yang mati lebih dulu.
Polisi menemukan remot bom ada di saku salah satu mayat itu dan senjata api pada mayat yang lain. Polisi juga sedang menunggu proses otopsi itu untuk memastikan segala sesuatunya. Jika peluru yang ada di dalam senjata sama dengan peluru yang sekarang bersarang di dada dan lengan Masumi maka polisi sudah bisa melihat titik terang dalam kasus ini. Pasalnya mereka sudah tahu siapa tuan yang empunya dua mayat itu. Lambang keluarga Takamiya ada di lengan kanan mereka, tanda bahwa mereka adalah inner circle pengawal Takamiya.
Kembali pada dokter Hayate yang akhirnya sampai di lantai dua puluh, tempat dimana ruang khusus yang disebutkan tadi berada. Eisuke, Asa, Mizuki, Hijiri bahkan Masato juga Midori tampak lesu menunggu di depan ruangan berpintu ganda dengan label ruang isolasi. Perhatian mereka teralihkan ketika suara sepatu yang dikenakan dokter Hayate menggema di lantai.
"Hayate, sebenarnya bagaimana keadaan mereka? Kau harus pastikan mereka selamat," Eisuke langsung menyerbu dokter Hayate dengan kekhawatirannya. Gurat lelah terlihat jelas di wajah tuanya.
"Tenang Tuan Be-,"
"Tenang?!" suara Eisuke meninggi, "Bagaimana bisa kau memintaku tenang sementara anak dan menantuku berjuang melawan maut di dalam sana!"
Dokter Hayate terdiam lalu mengalihkan pandangannya pada Hijiri, membuat Eisuke mengernyit heran. Hijiri mengangguk hingga sang dokter mengembangkan senyumnya.
"Silakan masuk Tuan Besar," kata dokter Hayate.
Eisuke semakin heran begitu dua orang perawat membuka pintu ganda ruang isolasi dan Dokter Hayate mempersilakannya masuk. Keheranannya semakin berlipat ganda saat Hijiri, Masato, Midori juga Mizuki mengikutinya. Asa sendiri hanya diam mendorong kursi rodanya. Mereka melewati lorong pendek lalu sampai pada pintu ganda lainnya. Mata Eisuke menyipit karena pemandangan yang tersaji di depannya tapi tetap saja jantungnya berdegub kencang saat melihat dua orang yang masih berbaring di atas tempat tidur dengan semua alat kedokteran yang menyala di sekeliling mereka. 
"Himekawa?" gumam Eisuke di tengah kebingungannya melihat pasangan Himekawa berdiri di kedua sisi ranjang dimana Maya berbaring. Tuan Himekawa dan istrinya Utako mengangguk seraya memberi salam hormat.
Beberapa detik kemudian keheningan menelan mereka. Hanya suara mesin monitor jantung yang menjadi musik pengiring di dalam ruangan itu. Eisuke mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Aneh. Benar-benar aneh. Ruangan ini lebih terlihat seperti kamar hotel jika dibandingkan dengan ruang isolasi rumah sakit. Selain dua tempat tidur besar dan alat-alat kedokteran yang entah apa saja namanya itu, ruangan besar itu dilengkapi dengan sofa mewah, lemari pakaian, lemari es besar bahkan perangkat home theater lengkap. Keheranan Eisuke disela oleh Hijiri yang tiba-tiba berdiri di depannya lalu berlutut dan membungkuk hormat.
"Hijiri, ada ap-,"
"Maafkan saya Tuan Besar," potong Hijiri cepat. Perlahan Hijiri menegakkan tubuhnya lalu menatap tuan besarnya, "Anda tidak perlu khawatir, semua baik-baik saja," ucapnya kemudian.
"Apa sudah selesai?"
Eisuke tersentak begitu mendengar suara dari arah tempat tidur Masumi. Ah, tidak! Tidak! Eisuke yakin itu bukan suara putranya. Eisuke hampir melompat dari kursi rodanya begitu melihat Masumi bangun lalu duduk di tempat tidur dan dengan santainya melepas semua alat kedokteran yang menempel di dada dan tangannya. Garis bawahi, menempel. Ya, bahkan jarum IV pun hanya menempel di punggung tangannya dengan bantuan plester.
"Apa ini?" desis Eisuke geram yang kemudian kembali terkejut karena Maya juga bangun dan melakukan hal yang sama.
"Maaf jika mengejutkan Anda Tuan Besar tapi setidaknya rencana ini sukses besar," ucap Maya seraya tersenyum.
Tidak! Sekali lagi Eisuke berteriak dalam hati. Itu bukan suara Maya tapi sosok yang di depannya memang Maya. Eisuke masih diam saat dua orang aneh dalam wujud anak dan menantunya itu menarik sesuatu dari leher mereka. Mata Eisuke melebar, membelalak karena terkejut. Kulit itu terlepas ketika di tarik dan emosi segera memenuhi hati Eisuke kala dua wajah yang ternyata topeng itu terlepas sempurna.
Sekarang yang duduk di atas ranjang itu bukanlah Maya dan Masumi melainkan gadis berambut pirang panjang dan suami impornya. Ayumi dan Peter Hamill. Eisuke merasa di tipu mentah-mentah. Giginya bergemeletuk marah dengan tangan mengerat pada kedua lengan kursinya. Aura mencekam segera menguar ke sekitarnya. Hijiri diam sementara yang lain berusaha menelan ludah dengan susah payah. Sandiwara mereka di depan publik sukses besar tapi kini mereka harus bersiap menerima konsekuensinya.
"MASUMI BRENGSEK!!" makian Eisuke menggema di dalam ruangan.

***
"Tuan Masumi, semuanya sudah siap," kata Masato.
Masumi mengangguk sementara Peter yang berdiri di sebelahnya tersenyum.
"Bagus, aku serahkan sisanya padamu," Masumi menekankan dengan tegas kalimat terakhirnya.
"Tentu Tuan," Masato mengangguk hormat.
"Peter, aku berhutang banyak padamu," ucap Masumi.
Peter terkekeh, "Senang bisa membantu," diapun melihat ke arah Ayumi yang sedang mengobrol bersama Maya dan sang istri yang mengerti isyaratnya pun langsung berjalan menghampirinya.
"Sudah waktunya pertunjukan dimulai," kata Peter begitu Ayumi berdiri disampingnya.
"Tentu, aku siap. Aku hanya berharap tidak seorangpun menyadari perbedaan tinggi badanku dengan Maya," kata Ayumi.
Masumi tertawa, "Tenang saja, seperti skenario awal kita. Kau akan dibopong oleh Masato. Percayalah, dalam kondisi seperti itu tidak akan ada yang mengukur tinggi badanmu."
Mereka semua tertawa. Astaga, mereka sedang mengatur strategi perang tapi seolah sedang membicarakan tentang menu sarapan favorit.
"Apa Anda yakin Tuan Eisuke tidak akan marah dengan perubahan rencana ini?" tanya Peter kemudian.
Masumi hanya menyeringai tipis, "Anggap saja hadiah kejutan untuk Ayah."
Masato menahan senyum geli melihat Masumi. Ya, dia tahu benar alasan Masumi merubah semua rencana Eisuke tanpa ijin. Selain karena mata-mata Takatsu yang sudah mengendus rencana Eisuke juga karena Masumi ingin memberikan syok terapi pada ayahnya yang selama ini sudah mengendalikan semuanya dari balik layar. Masumi hanya ingin belajar menjadi sutradara yang baik -setelah belajar dari ahlinya yang tentu saja Tuan Himekawa- dan membuat pertunjukan spektakuler seperti apa yang sering dilakukan ayahnya.
"Waktu kita tak banyak, ayo bergegas," kata Peter dan Ayumi mengangguk setuju. Keduanya pun pergi meninggalkan ruangan pesta.
Sementara itu Masumi dan Masato berjalan ke arah studio 8, tempat dimana premier Ashiteru tadi di putar. Seringai Masumi langsung mengembang begitu melihat dua orang pria tergeletak tak sadarkan diri di lantai studio dan seorang pria lain yang sedang berlutut di anak tangga dengan ujung senjata menempel di pelipisnya.
"Jadi, tikusnya sudah masuk perangkap?" kata Masumi seraya berjalan ke arah pria yang tengah berlutut. Dia melewati begitu saja dua tubuh yang tergolek di lantai.
"Kita lepaskan sekarang Tuan?" tanya Hijiri dengan tatapan tak lepas dari pria tawanannya. Senjatanya siap meletus dalam satu kali tarikan.
"Ya Hijiri, lepaskan dia," jawab Masumi. "Wada, pastikan kau kembali pada Tuan Besar dengan selamat," Masumi berdiri tepat di depan pria yang dipanggilnya Wada itu, "sampaikan salamku padanya dan ini hadiah untuknya karena sudah membuat istriku hampir celaka." Raut wajah Masumi begitu datar dan dingin. Dia tahu kalau Wada lah yang meledakkan studio 5. Andai Wada bukan pion penting dalam permainannya, sudah bisa dipastikan kalau Masumi akan menghabisinya dengan tangannya sendiri. Kali ini Masumi harus menahan diri demi lancarnya semua rencana yang sudah susah payah disusunnya.
Wada berdecih pelan tapi tak menjawab apapun. Tahu kalau nyawanya diujung tanduk dan dia harus mengatakan semua ini pada Tuan Besar-nya atau Takamiya akan hancur. Ya meski sebenarnya dalam hati dia juga ragu kalau Takamiya bisa selamat dari jebakan tikus ini. Wada mengakui kehebatan Masumi. Hanya dengan memberi sedikit umpan, Masumi berhasil menggiring mangsa ke dalam perangkap.
Dengan isyarat mata Masumi memerintahkan Hijiri menjauhkan senjatanya dari pelipis Wada. Patuh, Hijiri menarik tangannya dengan tetap siaga pada kemungkinan sekecil apapun. Wada mengangkat kepalanya dan mencoba menatap Masumi. Keterkejutan sempat terlihat di wajahnya saat Masumi mengeluarkan senjata dari balik jasnya. Seharusnya dia tahu kalau Masumi tidak akan melepaskannya begitu saja. 
Dor! Dor! "Ugh!" Wada berusaha tetap tegak di atas lututnya saat timah panas menembus lengan kanannya.
"Pergilah!" Desis Masumi dengan senjata masih teracung di atas kepala Wada. Sedikit gemetar, Wada berusaha untuk berdiri lalu tertatih berjalan ke luar studio. Hijiri dan Masato hanya diam melihat punggung gemetar itu menghilang di balik pintu.
"Bagaimana dua tikus lainnya?" tanya Masumi yang otomatis mengalihkan perhatian Hijiri dan Masato.
"Mereka sudah mati," jawab Hijiri.
Masumi mengangguk lalu berbalik untuk melihat dua orang yang ternyata sudah menjadi mayat.
"Masato, bereskan mereka," perintah Masumi.
"Baik Tuan," Masato mengangguk hormat. Hijiri melempar sesuatu pada Masato dan dengan satu tangan Masato menangkapnya kemudian memasukkan benda itu ke dalam sakunya.
"Midori sudah menunggu di toilet sisi barat," kata Hijiri.
Masato hanya mengangguk lalu melakukan apa yang di perintahkan Masumi tadi. Dia mengangkat dua mayat itu layaknya karung beras dengan kedua lengannya.
"Kau makin kuat saja Masato," kata Hijiri seraya tersenyum.
Masato tertawa, "Anda terlalu memuji Tuan, saya permisi," katanya sopan lalu berlalu begitu saja dari hadapan Masumi.
"Tunggu aku di sana," kata Hijiri sebelum Masato menghilang di balik pintu.
Masumi berjalan menuruni tangga hingga sampai pada sudut depan ruangan, dinding kosong di sebelah layar super besar. Siapa yang bisa menduga kalau di dalam dinding itu sudah terpasang seperangkat bom yang siap diledakkan kapan saja. 
"Berapa sisa waktunya?" tanya Masumi.
Hijiri melihat jam tangannya. "Sepuluh menit lagi," jawabnya.
Masumi mengangguk, "Aku serahkan padamu. Ingat, pastikan Maya tidak terluka."
"Tentu Tuan, pergilah. Saya akan mengantarkan Nyonya sebentar lagi," kata Hijiri.
Masumi mengulas senyum tipisnya lalu menepuk bahu Hijiri, "Aku berhutang banyak padamu."
Hijiri membalas senyum Masumi, "Saya berhutang seluruh hidup saya pada Anda."
Masumi tertawa pelan, "Ingatkan aku untuk memberimu cuti panjang dengan paket bulan madu bersama Mizuki," kata Masumi di tengah tawanya.
Hijiri hanya tersenyum lalu mengikuti langkah Masumi keluar studio. Keduanya berpisah di ujung koridor. Masumi menuju pintu belakang di lantai dasar sementara Hijiri melangkah ke arah ruang pesta. Hijiri kembali melihat jam tangannya, dalam hitungannya waktu tersisa delapan menit lagi.
Sementara itu Masato langsung disambut oleh Midori yang sejak tadi sudah menunggu di toilet di sisi barat lantai tiga.
"Semua aman?" tanya Midori ketika Masato baru saja masuk lalu melempar dua mayat yang dibawanya ke lantai.
"Tentu saja aman. Semua lorong yang kita pakai sudah diamankan oleh anak buah Tuan Hijiri. Tidak akan ada yang curiga apalagi sampai melihat aksi kita" Masato mengibaskan tangannya lalu menyeringai pada adiknya.
Midori juga membalas seringainya lalu membalikkan salah satu tubuh mayat itu dengan kakinya. Memakai sarung tangan latex seperti apa yang dipakai Masato, Midori kemudian mengambil senjata dari dalam tasnya dan meletakkannya ke dalam genggaman tangan si mayat.
"Selesai," Midori tersenyum lalu menatap sang kakak yang kini tengah mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Benda yang tadi di lempar oleh Hijiri.
"Lima menit lagi," kata Midori dan Masato mengangguk setelah melihat jam tangannya.
"Siap melihat pertunjukan kembang api?" tanya Masato jahil.
Midori terkekeh, "Aku suka sekali dengan rencana Tuan Masumi ini."
Dan Masato justru terbahak, "Aku merasa kasihan pada Tuan Besar karena rencananya dirusak begitu saja. Bayangkan bagaimana murkanya dia kalau sampai tahu nanti."
"Kita akan lihat kemurkaan itu sebentar lagi. Tuan Hijiri hanya mengulur waktu tiga jam sampai Tuan Masumi dan Nyonya Maya pergi," jawab Midori yang juga merasa geli.
Keduanya saling bertukar senyum lalu tertawa bersamaan.
"Ini pekerjaan paling menyenangkan selama aku ikut Tuan Masumi," kekeh Masato dan Midori mengangguk setuju. Jarang-jarang Masumi melakukan rencana terbuka seperti ini.
"Sudah, sudah, jangan sampai lewat waktunya," kata Midori yang mengusap air di sudut matanya.
Masato melihat jam tangannya lalu menatap benda di tangan kirinya.
"Biar aku yang meledakkannya," pinta Midori kemudian. Masato mengernyit melihat adiknya yang mengedipkan mata. Diapun hanya tersenyum lalu menyerahkan benda kecil itu pada Midori. Wajah Midori berbinar senang melihat benda berwarna hitam dengan tombol merah di bagian tengahnya.
"Satu menit lagi," kata Masato memperingatkan. Midori mengangguk dengan ibu jari siaga di atas tombol merah.
"Aku hitung mundur," kata Masato lagi dan Midori menyeringai dengan semangat.
"Lima, empat, tiga, du-,"
Duuaaaarrrr! Dentuman besar menggema hingga gedung bergetar kasar. Tenang saja, bom itu sudah dirancang dengan daya ledak sedang yang diperhitungkan hanya untuk menghacurkan studio 8 saja. Efek lain yang diharapkan adalah api yang membakar gedung dan menarik perhatian banyak orang.
"Terburu-buru," protes Masato karena sang adik menekan tombol bahkan sebelum dirinya selesai menghitung.
"Hanya satu detik," Midori membela diri. Dia pun berjongkok lalu memasukkan remot bom itu ke dalam saku mayat lainnya. Sekarang, satu orang membawa senjata api dan seorang lagi memegang remot picu. Tugas mereka selesai.
"Tinggal menunggu yang lain," ucap Masato dan Midori mengangguk seraya mengeluarkan tali panjang dari dalam tasnya.
Dan kekacauan terjadi di ruang pesta dimana Maya masih berada di sana.
Panik. Hanya itu yang ada di dalam kepala Maya. Tidak melihat sosok Masumi membuat kepanikan Maya berlipat ganda. Maya menepis kasar tangan Koji dari pergelangannya, dia berlari menembus kerumunan tamu yang tengah berlarian untuk menyelamatkan diri. Maya mengabaikan teriakan Koji yang memanggilnya. Tubuh mungilnya membuat Maya lebih mudah menyelinap. Baru saja keluar dari ruangan, Maya tersentak saat tiba-tiba Hijiri mencekalnya.
"Kak Hijiri?"
"Nyonya, mari ikut saya," Hijiri segera menarik pergelangan tangan Maya dan membawanya menjauh dari keramaian pengunjung yang mulai berhamburan keluar studio.
"Kita mau kemana? Dimana Masumi?" Maya semakin panik saat Hijiri membawanya ke lorong sepi, jalannya berlawanan dengan tangga darurat yang seharusnya mereka pakai untuk keluar dari gedung. Listrik sudah mati akibat ledakan dan tangga menjadi satu-satunya jalan keluar. Maya tak habis pikir ketika Hijiri justru membawanya mendekat ke arah sumber ledakan. Api mulai menjalar keluar dari studio 8. Beruntung tiga studio di samping kanan kiri studio 8 dalam keadaan kosong –jelasnya, sengaja dikosongkan tanpa sepengetahuan Maya-.
"Kita tidak bisa lewat tangga umum Nyonya. Disana pasti penuh sesak. Anda tenang saja, petugas keamanan sudah bersiaga untuk menyelamatkan semua pengunjung," Hijiri mencoba menenangkan sang Nyonya yang tampak semakin panik ketika mereka semakin mendekat ke arah kobaran api.
Hijiri melepas jasnya lalu memakaikannya pada Maya, mendekap tubuh mungil itu dan membawanya melintas di depan kobaran api. Kaki Maya gemetar dan kehilangan kekuatannya tepat saat mereka berhasil melewati koridor dengan berlari.
"Nyonya!" Hijiri terkejut saat Maya yang berada dalam dekapannya merosot ke lantai. Dengan cepat dia menopang tubuh mungil itu dan mengangkatnya dengan kedua lengan.
Maya meringkuk dalam gendongan Hijiri dengan tubuh gemetar. Melihat api yang berkobar membuat pikiran Maya menerka-nerka dan mengaitkan kejadian ini dengan peledakan studio 5. Maya berpikir Shiori benar-benar menginginkan kematiannya. Tidak tahu keberadaan Masumi membuat Maya makin kalut. Apakah suaminya itu baik-baik saja? Maya tak berani membayangkannya.
Tidak tega melihat ketakutan Maya membuat Hijiri segera berlari menuju pintu yang ada di ujung koridor. Pintu dengan label bagian atas bertuliskan staff only itu terbuka dan tampak tangga kecil di sudut ruangannya. Ya, inilah salah satu alasan kenapa mereka memilih meledakkan studio 8. Karena studio itu akan menghalangi orang memasuki tangga darurat khusus dan juga bagian toilet di sisi barat lantai tiga. Semua rencana ini dibuat agar mereka lebih mudah keluar. Tangga itu langsung menuju pintu bagian belakang gedung yang biasanya hanya digunakan oleh petugas maintenance.
Maya diam menatap sekelilingnya yang gelap. Ya, tanpa penerangan tangga itu gelap tapi bukan Hijiri namanya kalau dia kesulitan dengan hal remeh seperti itu. Bahkan dengan menggendong Maya sekalipun, dia sama sekali tidak kesulitan untuk menuruni setiap anak tangga.
Cahaya kembali terlihat begitu mereka sampai di ujung tangga. Pintu keluar terbuka dan Masumi yang jelas terlihat cemas, tengah berdiri di sebelah sedan hitam. Matanya membulat terkejut melihat Hijiri keluar dengan menggendong seseorang yang dia yakin sebagai istrinya.
"Apa yang terjadi?" Masumi berlari dan hatinya mengumpat begitu melihat wajah Maya yang pucat dengan tubuh gemetar.
"Ma-sumi," Maya tampak terkejut melihat suaminya.
"Sstt, semua akan baik-baik saja sayang," Masumi mengusap lembut wajah istrinya. Maya hanya bisa diam.
Hijiri tak bisa berkomentar dengan keadaan Maya, diapun menyerahkan Maya begitu Masumi mengulurkan kedua lengannya.
"Anda harus segera pergi. Polisi, petugas pemadam kebakaran juga paramedis akan sampai dalam sepuluh menit," kata Hijiri.
Masumi mengangguk, "Bagaimana dengan ambulance dan para stuntman?" 
"Semua sudah siap, ambulance palsu beserta paramedisnya. Dokter Hayate juga sudah siap di rumah sakit."
Sekali lagi Masumi mengangguk lalu bergegas menuju sedan yang terparkir. Hijiri membuka kursi penumpang dan Masumi mendudukkan Maya disana. Memastikannya aman dengan memasang sabuk pengaman sebelum akhirnya dia berputar dan duduk di balik kemudi.
"Terima kasih Hijiri," kata Masumi.
Hijiri mengangguk, "Hati-hati Tuan."
Maya yang masih tampak bingung sekaligus syok hanya bisa menganggukkan kepala pada Hijiri. Percaya kalau suaminya sudah mengatur semuanya dan dia hanya harus mengikuti semua alurnya.
Maya kembali heran saat Masumi membawanya menuju Bandara Haneda. Begitu sampai di tempat parkir, Masumi meraih tas besar di kursi belakang. Memberikan seperangkat alat penyamaran berupa wig dan pakaian, lengkap dengan paspor yang membuat keningnya berkerut ketika melihat nama yang tertera di sana.
"Aya Fujimura?"
Masumi terkekeh menatap sang istri, "Kita akan pergi bulan madu sayang."
Astaga! Maya yakin kalau suaminya gila, "Kau gila Masumi," kata Maya mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.
Masumi makin terbahak seraya memasang wig berwarna coklat di kepalanya, "Aku gila karenamu sayang."

***
"MATI SAJA KAU MASUMI!!"
Masumi terbahak mendengar makian di ujung handphone-nya yang tergeletak di meja dengan mode loud speaker aktif. Maya yang duduk di sebelahnya menatap miris pada benda elektronik di atas meja dan membayangkan wajah orang yang tengah mengumpat di belahan dunia lain itu.
"Maya! Aku tahu kau di sana. Begitu kalian pulang ingatkan aku untuk menghapus nama Masumi dari surat wasiatku!"
"I-iya Ayah," kata Maya dan Masumi semakin terbahak.
"Jangan begitu Ayah, anggap saja kau memberikan cuti padaku untuk bulan madu," Masumi menimpali dengan santai. Hatinya kini begitu lega karena semua rencananya berjalan lancar.
Pukul satu siang waktu Paris dan masih pukul lima pagi di Tokyo. Masumi dan Maya baru saja tiba di sebuah villa di sudut kota Paris yang adalah milik keluarga Hamill, setelah melewati delapan belas jam penerbangan dan dua jam perjalanan darat. Mereka akan menghabiskan sebulan penuh di sana. Bulan madu, begitulah yang dikatakan Masumi pada istrinya. Ya, itu salah satu tujuannya tapi tujuan lainnya adalah untuk menjauhkan Maya dari berita yang pastinya sedang mengguncang Jepang saat ini. Masumi tidak mau membuat Maya stress dengan semua pemberitaan yang pasti akan dikaitkan dengannya. 
Mendengar laporan Hijiri beberapa saat lalu membuat Masumi senang karena dia sudah mengambil keputusan yang tepat. Dia tidak mau membayangkan tertekannya Maya dengan semua berita itu.
Polisi menemukan semua bukti peledakan Gedung Bioskop Daito dilakukan oleh anak buah Takamiya. Mau tidak mau perkataan Masumi yang mengatakan kalau ledakan studio 5 sebelumnya adalah kecelakaan langsung terpatahkan. Publik tentu menilai kalau itu juga perbuatan Takamiya. Salahkah? Tidak, tidak, sama sekali tidak salah. Peledakan pertama memanglah perbuatan Takamiya tapi peledakan kedua adalah ide Eisuke. Rencana yang akhirnya dirubah Masumi. Ah, tikus masuk perangkap.
Dan target utama dari rencana Eisuke yang sukses besar adalah hancurnya Takatsu hanya dalam hitungan menit. Berita peledakan Gedung Bioskop Daito berdampak besar pada aliansi Takatsu. Para investor langsung meragukan tingkat kewarasan Tuan Besar Takamiya karena tindakan gilanya. Mereka bisa menebak semua itu karena dendam pribadi antara keluarga Takamiya dan Hayami. Eisuke benar-benar jenderal besar yang ahli dalam strategi perang yang bahkan piawai merancang skenario pertunjukan juga memanfaatkan kelemahan musuh menjadi senjata ampuh. Bahkan Masumi sempat syok saat mendengar rencana itu pertama kali. Awalnya Masumi masih kurang setuju tapi saat Tuan Besar Takamiya dengan sengaja meledakkan studio tempat Maya pemotretan, dia langsung berubah pikiran. Pertemuan terakhirnya dengan Tuan Tanaka mematangkan semua rencana itu. Sekarang, para investor langsung menarik saham mereka dan Tanaka corp juga Daito menuai kejayaan.
Berita lainnya yang melegakan Masumi adalah masuknya Shiori ke rumah sakit jiwa untuk melakukan perawatan intensif. Masumi cukup merasa bersalah karenanya. Dia berharap dengan hati tulus untuk kesembuhan Shiori sampai wanita itu menemukan kebahagiaannya sendiri.
Masumi tersadar dari perenungannya ketika mendengar ayahnya kembali mengumpat di telepon. Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menahan kekehannya dengan telapak tangan.
"Ayah, berhentilah marah, Maya menertawakanmu," kata Masumi dan mata Maya membulat kesal.
"Masumi!" desis Maya lalu berteriak ke arah telepon, "Itu tidak benar Ayah," katanya membela diri.
Dengusan Eisuke terdengar di speaker phone dan Masumi tersenyum melihat istrinya cemberut.
"Kalian berdua memang mengharapkan aku cepat mati karena serangan jantung," kata Eisuke kemudian.
"Ayah maafkan kami," kata Maya kemudian dengan nada menyesal yang terdengar jelas.
"Ayah, jangan membuat Maya menangis," Masumi tersenyum di ujung kalimatnya dan langsung dihadiahi pukulan Maya di lengannya. Maya melotot dan hendak melayangkan protes sebelum Masumi menempelkan telunjuknya di bibir mungil itu, memintanya diam. Terdengar helaan napas panjang dari Eisuke yang membuat Maya tertegun.
"Dengar kau Masumi, andai Maya tidak sedang hamil aku pasti sudah mengulitimu," katanya masih dengan nada kesal.
Masumi menahan tawanya, "Ini juga demi kebaikan Maya, Ayah," kata Masumi yang berusaha meredam kekesalan sang ayah.
"Terserah apa katamu. Beruntung semua rencana ini berhasil, kalau tidak-,"
"Tidak ada kata gagal dalam kamusku," potong Masumi cepat dengan nada bangga.
Maya melirik pada suaminya yang kini tengah menyeringai tipis. Jujur, Maya tidak suka melihat suaminya yang ini. Eisuke berdecih tapi kemudian memanggil Maya dengan suara yang lebih lembut.
"Ya Ayah?" Respon Maya cepat.
"Jaga kesehatanmu juga calon cucuku. Kabari aku sesering yang kau bisa dan katakan padaku kalau Masumi memperlakukanmu dengan buruk.
"Hei, sia-,"
"Tentu Ayah," giliran Maya memotong perkataan Masumi dengan mata membulat, menuai desahan lemah dari suaminya. "Aku pasti akan menjaga diri. Ayah juga harus menjaga kesehatan," lanjutnya.
"Hhmm," Eisuke hanya bergumam menjawabnya, "aku lelah dan ingin istirahat."
"Baik Ayah, selamat istirahat," jawab Maya lembut dan sambungan telepon terputus.
"Kau keterlaluan Masumi," protes Maya pada suaminya.
"Apanya?"
"Jangan pura-pura bodoh dihadapanku."
Masumi terkekeh lalu menarik istrinya mendekat, mengurungnya kedalam dua lengan kokohnya. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu sayang," bisik Masumi di sela-sela helaian rambut istrinya.
"Aku tidak bisa membayangkan kacaunya Tokyo dan media saat ini," lirih Maya. Memorinya memutar ulang kebakaran gedung yang dilihatnya kemarin.
"Sstt," Masumi mengeratkan pelukannya lalu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala istrinya, mengusap punggung mungil itu perlahan. "Aku membawamu sejauh ini agar kau melupakan semua itu," kata Masumi.
"Hanya demi aku?" Lirih Maya lagi yang kini ikut melingkarkan kedua lengannya di tubuh kekar Masumi, membalas pelukan sang suami lebih erat.
"Hanya demi kau Maya," jawab Masumi, "hari itu, waktu aku melihatmu memikirkan soal rencana kepergian kita meninggalkan Jepang, ketidak relaanmu meninggalkan semua sahabatmu, membuatku memikirkan ulang semua rencana Ayah."
Maya mengangkat kepalanya lalu menatap lekat suaminya.
“Kalau kita ikuti rencana Ayah, maka nama Masumi dan Maya hanya tinggal sejarah. Kau tidak akan pernah bisa kembali ke Jepang sebagai Maya dan aku tahu dalam hatimu,” Masumi menunjuk dada Maya, “kau tidak menginginkan itu. Kau keberatan kalau Maya harus menjadi protagonis yang mati dan digantikan dengan identitas lain. Sama tapi tak serupa dan itu akan merubah semua kehidupanmu. Untuk itu aku meminta bantuan Tuan Himekawa, Ayumi juga Koji hingga kita tidak harus mati,” terang Masumi yang kini mengusap sisi wajah Maya.
Maya mengerutkan kening, “Aku masih tidak mengerti. Kenapa Ayah begitu marah dengan semua rencanamu? Bukankah akhirnya justru lebih baik?”
Masumi menyandarkan tubuhnya lebih santai ke sofa lalu terbahak seraya mengacak poni Maya, membuat sang istri semakin bertanya-tanya.
“Aku lupa kalau kau sama sekali tidak diberitahu bagaimana rencana Ayah membunuh kita berdua,” kata Masumi di sela tawanya. Maya masih heran, masih tidak mengerti bagian mana yang lucu dari semua rencana bunuh-membunuh dan hilang-menghilangkan itu.
“Kau tahu sayang, bom yang sebenarnya disiapkan Ayah untuk dituduhkan kepada Takamiya itu ada di dalam mobil kita,” kata Masumi kemudian.
“Heh?” pekik Maya terkejut, “Mo-mobil yang membawaku ke gedung bioskop?” Maya bergidik tanpa sadar dan Masumi mengangguk seraya terkekeh senang.
“Itu sebabnya kau tidak diberitahu. Ayah takut kau merusak semua rencana kalau sampai tahu bom itu ada di sana,” jelas Masumi.
“Astaga,” Maya menggumam tidak percaya. Dia memang diberitahu kalau dirinya dan Masumi akan dibuat mati dan dengan identitas lain meninggalkan Jepang lalu tinggal di luar negeri dengan tenang. Alasan depresi akan membuat Eisuke menyusul setelah memberikan Daito pada Hijiri. Selanjutnya Daito dan Tanaka yang akan membereskan Takamiya yang lengah karena euphoria kemenangannya telah berhasil menyingkirkan musuh cucunya. Tapi Maya sama sekali tidak tahu kalau rencana itu akan membuat Tokyo gempar dengan ledakan-ledakan gila.
“Jadi Ayah marah karena kau justru meledakkan gedung? Ayah panik karena mengira itu benar-benar perbuatan Takamiya dan kita menjadi korbannya?” Maya mencoba menyimpulkan semua kejadian yang ada. Masih tidak percaya kalau suaminyalah yang menyusun semuanya.
Masumi terkekeh, “Istriku pintar,” goda Masumi.
Maya menghela napas panjang. Hidupnya benar-benar seperti drama panggung. Penuh dilemma, kontroversial dan intrik.
“Kau membuat Daito rugi,” Maya membuang napas kesal. Membayangkan semua kehebohan itu terjadi karenanya membuat Maya merasa tidak nyaman.
“Hei, sejak kapan Masumi mau rugi?” kata Masumi dengan seringai tipis di sudut bibirnya.
Maya memiringkan kepala menatap suaminya, “Kau meledakkan gedung sebesar itu dan setahuku gedung itu baru selesai direnovasi tahun lalu.”
Masumi tertawa lagi, “Hijiri akan membereskan semuanya. Gedung itu akan dibangun lagi menjadi tingkat lima, lengkap dengan departemen store baru dan arena ice skating terbesar,” Masumi tersenyum lalu mencolek hidung istrinya, “dan kita tidak akan mengeluarkan uang sepeserpun.”
“Aku masih tidak mengerti,” kata Maya dengan polosnya dan Masumi tersenyum. Paham kalau istrinya yang super baik hati itu tidak akan mengerti dengan semua rencana culasnya.
“Daito akan membuat Takatsu membayarnya, lengkap beserta bunga-bunganya karena sudah membuat istriku yang mungil ini hampir celaka.”
Maya terhenyak tapi kemudian berhenti untuk terkejut. Berhenti juga untuk bertanya karena tidak mau mendengar fakta lainnya yang pasti membuatnya merasa semakin tidak nyaman.
“Kau menyesal sayang?” suara Masumi melembut saat melihat Maya terdiam dengan pandangan menerawang.
“Eh?”
“Aku bertanya, apa kau menyesal?” Masumi mengulangi pertanyaannya.
“Menyesal?” Maya justru balik bertanya.
“Kau menyesal dengan semua kejadian ini? Menyesal menjadi istriku? Menyesal karena aku su-, mmpph,”
Bibir mungil itu berhasil membuat Masumi terdiam. Untuk sesaat Masumi tampak terkejut tapi beberapa detik kemudian, ekspresinya melembut dengan kedua lengan melingkar di pinggul istrinya, tangan Maya sendiri sudah bersandar di kedua bahu Masumi.
“Aku tidak mau membahasnya lagi, bolehkah?” bisik Maya begitu dia melepaskan tautan mereka.
Masumi tersenyum lalu mengecup singkat bibir merah muda yang masih berada beberapa senti di depannya, “Aku memang tak pernah ingin membahasnya. Kita lupakan semuanya,” ucap Masumi lembut.
Maya mengangguk dengan senyum mengembang lebih lebar, “Kita berdua akan memulai semuanya dari awal.”
Masumi mengerutkan kening, “Aku tidak setuju,” gumamnya dan Maya juga ikut mengerutkan keningnya. “Karena sekarang kita tidak hanya berdua,” lanjut Masumi seraya mengusap perut istrinya.
Maya menjauhkan wajahnya dari Masumi lalu tertawa lepas. Dia hampir saja lupa. Lupa kalau saat ini ada buah cinta mereka di dalam perutnya. Masumi kembali merengkuh Maya ke dalam pelukannya lalu membisikkan sesuatu.
“Aku mencintaimu.”
Maya membenamkan wajahnya di dada Masumi seraya tersenyum, “Aku juga mencintaimu.”
Menarik dirinya, Masumi turun dari sofa lalu merengkuh Maya dengan kedua lengannya. Membawa sang istri memasuki sebuah kamar besar dengan tempat tidur mewah di tengah ruangan. Maya sendiri tidak protes dengan semua itu.
“Kita butuh tidur,” kata Masumi seraya membaringkan Maya lalu menarik selimut menutupi tubuh mungilnya.
Maya justru tertawa, “Jangan pikir aku tidak tahu apa maksud dan tujuanmu menyuruhku tidur siang ini.”
Masumi terkekeh, “Jangan merusak rencana bulan madu kita dengan ironimu Maya,” ucap Masumi yang kemudian membaringkan tubuhnya di sebelah Maya. Maya sendiri langsung memiringkan tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
“Kau manja Nyonya,” Masumi mengusap kepala istrinya dan memberikan sebuah kecupan sayang di kening.
“Hhhmm, manjakan aku Tuan Hayami,” gumam Maya dengan mata terpejam. Dia memang mengantuk.
Masumi terkekeh lalu mendekap Maya makin erat, “Aku mencintaimu sayang,” lirih Masumi dan Maya hanya tersenyum dengan mata yang tetap terpejam.
Matahari masih bersinar terang di luar sana tapi sepasang suami istri itu sudah tenggelam ke alam mimpi. Jauh dalam hati, mereka berharap kalau saat bangun nanti, semua mimpi buruk kemarin terlupakan. Menyisakan hari baru yang akan mereka lalui bersama. Menanti buah hati mereka terlahir ke dunia. Ah Tuhan, ijinkan mereka untuk bahagia … selamanya.



***
Jangan pernah mencoba untuk mempermainkan hati karena benci dan cinta terlalu mudah untuk bertukar tempat. Tapi percayalah, cinta suci tidak akan pernah mati.

With love,
Agnes Kristi
***
>>End<<

AN : Terima kasih untuk semuanya yang sudah mengikuti FF ini sampai selesai. Sabar menunggu apdet tiap bulan. Terima kasih sebanyak-banyaknya juga peluk dan cium buat temen2 yang udah mau baik hati kasih komen, review, masukan, semangat dan semua-muanya deh. Selamat menikmati ending panjang ini dan sampai jumpa di FF lainnya. *bow* arigatoooo

Post a Comment

26 Comments

  1. Endinggggg.....yang sayang aku tinggalin komen yak XD

    ReplyDelete
  2. Wuihh.....baca endingnya brasa nano nano, tegang, romantis, seruuuu bgt deh. Mbak agnes top bgt pokoknya. Btw gda season 2 nya kah, smp anak MM lahir mgkn?

    ReplyDelete
  3. Koq aq nangis ya pas bagian maya hamil
    Mksh ya mba agnes love youb

    ReplyDelete
  4. Finally happy ending....syukaaaa sekaliii

    ReplyDelete
  5. Ya ampuun td sempet panik, kirain mrk kritis beneran.
    Ga kerasa udah ending ajah, bahagianya.
    Makasih ya mbak Agneeees, muuuach.
    Ditunggu karya lainnya.

    ReplyDelete
  6. Many thanks as always!
    Ini Garasu no Kamen ber-genre action. Sambil baca sambil bayangin film 'Assassin' hehehe (^_____^)
    Good job!

    ReplyDelete
  7. Thank you buat happy ending nya...
    😘😘😘
    Keliatan bgt cerita nya di kebut... Hahahaaa... Love u buat kerja kerassnya menyelesaikan cerita ini sis....
    Tp ada sedikit penasaran sm kisah hijiri n mizukinya lagi... 😂😂😂
    (Ini contoh pembaca yg krg ajar kynya)
    Tetep nagih.. 😂😂😂

    ReplyDelete
  8. Thnx sist..akhirnya happy ending mg2 crt aslinya jg begitu 😊 kalo pure love udh tamat ada crt baru lg dong ya..hahahha ngarep bgt deh

    ReplyDelete
  9. Makasih mb Agnes cantik selalu memberikan fftk yg keren2 kayak gini, semoga selalu ada cerita baru lagi 😝Tetap semangat ya mb Agnes 😄😄👏👏

    ReplyDelete
  10. Thanks....berat..waktu tahu sdh kelar langsung cuss kemari,disambi momong bocil,bacanya sepenggal2 akhirnya kelar pas bocil dah lelap..daaaan..syuuukaaa banget!!! Happy ending...waktu ledakan blm ketebak,dah nano2 aja rasanya gara2 bayangin MM kenapa2 padahal hamil muda😭,eh tp waktu masuk ke ruang perawatan pribadi sdh curiga pasti ada sesuatu..cm ga bayangin kalo ada pergantian pemeran hehhee,saluuuut buat mba agnes yg super.....baik.aku idem spt komen atasku ah..berharap ada season 2 dan yg bercampur kelanjutan hub hijiri-miyuki..kiss..kiss...

    ReplyDelete
  11. T..O..P..bgt mba..👏😍 makasih buat ceritanya

    ReplyDelete
  12. Akhirnya berhasil nongkrong di blogmu c
    FF Kali ini sangat menarik menurut ku
    Kamu berhasil meramu romantic + thriller dengan baik
    Buat penyuka kisah petualangan dan investigation kayak aku sebenere ending nya udah kebaca tapi kamu berhasil menarik pembaca karena alurnya kamu ulik dengan baik, menimbulkan rasa penasaran.
    Kalo dibilang akhirnya kecepetan ato maksa sebenere ga juga sih
    Itu karena kamu membuka semua kartu di ending
    Jadi pembaca merasa ngos-ngosan, kesan nya dipaksakan
    Tapi kalo udah klimaks ya emank harus diakhiri biar pembaca ga bosan
    Kesimpulannya
    I think this is your best
    But I believe next FFTK you can make it better than the best
    Ganbatte kudasai

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eh nambah lagi ya
      Blog mu cantik nih
      Murasaki no bara nya eye-catching banget
      I love this blog 😍❤

      Delete
    2. Hahaaa....aku penyuka drama action soalnya, model2 filmnya Nicolas Cage, jadi cerita buatanku pasti ga jauh2 dari model beginian XD
      Thanks buat review-nya Ce...emang kalo semua kunci jawaban di taruh di satu tempat kesannya jadi kaya syok terapi ya. begitu tahu rahasianya ya langsung kelar cerita. wkwkkwwk
      Suka tampilan baru blogku ya, senengnyaaaa...sayang ditolak terus google adsense wkkwkwwkwk
      see u in next story :D

      Delete
  13. Maksih certanya sngat menghibur..dtggu scuelnya...

    ReplyDelete
  14. Ahhh...sampei nahan nafas dan narik nafas bacanya...keren abiss..tks sist agnes..ga sabar nunggu ff berikutnya darimu..

    ReplyDelete
  15. bagus keren n bikin deg deg serrrr.... ditunggu extra part n cerita yang lainnya sist agnes....

    ReplyDelete
  16. hadeuh... knp ada yg ngupas bawang disini... hiks

    ReplyDelete
  17. Blm ada cerita yg baru lagi ya?? ��

    ReplyDelete
  18. Truly beautifull.. suka bgt.. smg ada cerita pendek pas anaknya Maya lahir please 🤗🤗🤗

    ReplyDelete
  19. Hi, daku baru liat2.. cuma mau nanya ini beneran cerita aslinya topeng kaca kah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal. Ini blog fanfiction topeng kaca, yang artinya semua cerita disini adalah fiksi penggemar karangan saya hehheheee
      daripada nunggu komik aslinya jamuran, bolehlah baca2 ini buat pengobat rindu, hahaha
      arigato dah mampir

      Delete
  20. Salam kenal mbk agnes yg cantik....
    Kapan nich update an MM terbarunya
    Syukaaaa bget ma ceritanya mbk agnea...bikin baper pake bget...
    Lov u mbk agness
    Semangat terus...ditunggu yg terbaru

    ReplyDelete
  21. Seandainya ending komiknya beneran kayak gini,andai oh andai

    ReplyDelete
  22. Suka sekali....makasih buat fanficnya ya mbak agnes

    ReplyDelete
  23. Daripada nungguin glass mask yg entah kpn akan dilanjutin lagi ceritanta, mending baca fanficnya aja😀

    ReplyDelete