Masumi yang sedang dalam
perjalanan menuju studio Daito tampak begitu tegang mengingat suara ledakan
yang dia dengar sebelum telepon Masato terputus. Hijiri yang duduk di sebelah
Masumi dan tidak diijinkan membawa mobil menatap miris atasannya yang terlihat
kalut. Sungguh pun jarak gedung Daito dan studio Daito hanya sekitar satu
kilometer tapi rasanya ini perjalanan terpanjang yang dilaluinya.
"Ada kabar terbaru dari anak
buahmu?" tanya Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Mereka sudah ada di klinik
untuk melindungi Nyonya. Midori juga ada bersama mereka dan Masato sedang
memeriksa semuanya. Kru produksi di sana sudah memanggil tim paramedis juga
polisi dan pemadam kebakaran," terang Hijiri.
Masumi berbelok cepat di ujung
jalan dan memarkirkan mobilnya dengan sembarangan di pelataran parkir. Di antara
deretan gedung studio tampak kepulan asap hitam dan kobaran api yang membakar
salah satu studio yang terletak di sisi sebelah barat. Jaraknya hanya satu
studio dari klinik tempat Maya dirawat.
Polisi, petugas medis juga
petugas pemadam kebakaran terlihat sibuk melakukan tugas mereka. Masumi
bergegas menuju klinik untuk melihat keadaan istrinya. Dua anak buah Hijiri
yang berjaga di depan pintu langsung memberi hormat begitu melihat Masumi dan
Hijiri. Masumi sendiri hanya mengangguk lalu masuk ke dalam ruang periksa.
Midori dan dokter yang sedang bicara tampak terkejut dengan kedatangan Masumi.
"Tuan," Midori mengangguk hormat pada Masumi begitu juga sang dokter.
"Tuan," Midori mengangguk hormat pada Masumi begitu juga sang dokter.
"Bagaimana keadaan Maya? Apa
dia terluka?" tanya Masumi pada dokter. Matanya menatap cemas pada sang
istri yang tidur di ranjang dengan wajah pucat.
"Tuan Masumi, tekanan darah
Nyonya rendah. Mungkin benar jika Nyonya Maya kelelahan tapi saya sarankan Anda
segera membawanya ke rumah sakit. Saya mendengar cerita dari Nona Midori kalau
Nyonya Maya mengalami kecelakaan minggu lalu," jawab sang dokter.
"Tapi apa mungkin ini efek
dari kecelakaan itu? Dokter Hayate sudah melakukan pemeriksaan menyeluruh dan
dia mengatakan tidak ada hal yang membahayakan," kata Masumi.
"Maaf Tuan Masumi tapi saya
hanya menduganya. Terus terang saya tidak bisa melakukan diagnosa akurat di
sini tanpa hasil pemeriksaan yang valid," terang sang dokter kemudian. Ya
dia benar, peralatan di klinik tentu tidak selengkap rumah sakit karena hanya
diperuntukkan sebagai tempat perawatan pertama jika terjadi sesuatu di studio
selama proses syuting atau pemotretan saja.
Masumi mengangguk lalu berjalan
ke sisi tempat tidur istrinya, "Bagaimana keadaan di luar?" tanya
Masumi tanpa mengalihkan pandangannya dari Maya. Dia mengusap lembut kening
istrinya.
"Api belum padam tapi semua
terkendali dan sejauh ini tidak ada korban jiwa selain beberapa kru yang
terluka. Sekitar lokasi juga sudah diamankan. Semua proses syuting dan
pemotretan dihentikan. Sumber ledakan diperkirakan berasal dari genset di
belakang studio 5," terang Hijiri yang baru saja masuk setelah meminta
keterangan dari petugas polisi dan pemadam kebakaran di luar.
"Nona Midori, apa pemotretan
Maya dilakukan di studio 5?" tanya Masumi yang langsung menoleh pada sang
menejer sekaligus pengawal pribadi Maya itu.
"Benar Tuan, ledakan terjadi
tak lama setelah saya membawa Nyonya ke klinik," jawab Midori.
"Saya tidak mau bilang
kondisi Nyonya Maya adalah sebuah keberuntungan tapi andai Nyonya Maya tidak
pingsan mungkin dia akan terluka karena masih berada di dalam studio,"
sang dokter ikut menimpali.
Masumi mengangguk tanda mengerti.
Tidak salah kalau dokter berkata begitu. Dia juga tidak bisa membahas masalah
ini dengan sembarangan di depan dokter.
"Aku akan bawa Maya ke rumah
sakit," kata Masumi seraya memberikan kunci mobil pada Hijiri. Masumi
membuka selimut Maya lalu melepas jasnya dan menggunakannya untuk membungkus
tubuh istrinya yang masih terasa dingin. Dengan hati-hati Masumi menggendong
Maya.
"Tapi ada ambulance di luar
Tuan," dokter tampak heran ketika melihat Masumi berniat membawa Maya
sendiri ke rumah sakit.
Masumi menggeleng, "Aku yang
akan membawanya," tegas Masumi. Jelas saja, tidak mungkin dalam keadaan
kacau seperti ini dia memakai kendaraan yang sama sekali belum diperiksa
keamanannya. Bahkan gedung studio yang sudah diperiksa dan dijaga pun masih
bisa luput hingga meledak. Masumi tidak mau membayangkan kekacauan apalagi yang
akan muncul nantinya. Yang terpenting sekarang adalah membawa Maya ke rumah
sakit dan mengetahui kondisinya.
Dokter tak lagi menghalangi
Masumi dan hanya menatap dalam diam ketika semua orang pergi. Sungguh siang itu
lokasi studio menjadi begitu kacau.
***
Handphone Eisuke berdering dan Asa segera
mengangkatnya. Tak lama kemudian, dia memberikan handphone itu pada Eisuke.
"Tuan Besar Takamiya,"
bisik Asa seraya mengulurkan handphone.
Untuk sesaat ekspresi Eisuke
tampak mengeras. Dia baru saja diberitahu Hijiri soal keadaan Maya juga ledakan
di studio Daito. Dia yakin telepon ini berhubungan dengan semua itu.
"Selamat siang Tuan
Besar," sapa Eisuke dengan nada suara setenang mungkin. Dia tidak mau Tuan
Besar Takamiya terbahak melihat kekalutannya.
"Ah Eisuke, bagaimana? Kau
sudah lihat pertunjukannya? Sayangnya aktris utama dalam pertunjukan ini
selamat tapi ku harap kau menyukainya," kata Tuan Besar Takamiya tanpa
basa-basi.
Eisuke mengeratkan tangan pada
lengan kursi rodanya. Geram dengan sarkasme yang dilemparkan rivalnya.
"Hhmm, jadi begini cara kerja
Takamiya? Hati-hati Tuan Besar, pertunjukan yang terlalu vulgar selalu
mengundang banyak perhatian dan anda akan kewalahan sendiri
menghadapinya," balas Eisuke.
Tuan Besar Takamiya terbahak di seberang sana dan dalam hati Eisuke mengumpat dengan puluhan sumpah serapah.
Tuan Besar Takamiya terbahak di seberang sana dan dalam hati Eisuke mengumpat dengan puluhan sumpah serapah.
"Ini belum berakhir Eisuke.
Aku jadi ingin melihat wajah Masumi. Ah iya, ku dengar istri kesayangannya
sakit lagi?" lanjut Tuan Besar Takamiya.
"Tenang Tuan Besar, saya
siap menunggu pertunjukan lainnya," tantang Eisuke kemudian, "kalau
kemarin saya masih mengijinkan Anda menemui Masumi juga Maya tapi kali ini saya
bisa pastikan kalau Anda tidak akan dapat menjangkau mereka dengan cara
apapun," tegas Eisuke.
Tuan Besar Takamiya kembali
terbahak, "Jangan terlalu percaya diri Eisuke. Jangan lupakan siapa
Takamiya," timpalnya.
Eisuke menyeringai tipis,
"Saya tidak lupa siapa Anda Tuan Besar tapi Anda yang lupa siapa saya.
Saya adalah pendiri perusahaan entertain terbesar di Jepang yang sudah
menggelar banyak pertunjukan hebat. Duduklah dengan tenang dan Anda akan
melihat bagaimana pertunjukan saya. Selamat siang," Eisuke menutup
teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Tuan Besar Takamiya. Dia yakin saat ini
mantan besannya itu pasti tengah menyumpah nyerapahi dirinya atau bahkan sedang
menginjak-injak handphone-nya karena
kesal.
Itu memang tujuannya, membuat
lawan panas dan tidak bisa berpikir jernih karena amarah adalah strategi jitu.
Dengan begitu pasti banyak celah yang bisa terbaca. Percayalah, bahkan dalam
siasat busuk sekalipun kau membutuhkan pikiran yang tenang.
"Asa, kirim pengawal
tambahan ke rumah sakit. Peringatkan Masumi juga Hijiri. Takamiya mulai gila
sampai tidak memperhitungkan nama baiknya," Eisuke menggeleng lalu
menghela napas panjang.
"Baik Tuan," Asa pun
segera melakukan perintah Eisuke.
"Rasanya permainan ini makin
seru saja. Sudah lama sekali aku tidak bersemangat melakukan sesuatu seperti
sekarang. Iya kan Asa?" kata Eisuke lagi.
Asa hanya tersenyum menjawabnya.
Dia tahu benar siapa Eisuke dan Takamiya salah telah membangunkan naga yang
sudah lama tertidur. Asa juga lega karena sekarang Eisuke sudah sepenuhnya
berpihak pada Masumi.
***
Masumi menunggu dengan cemas di
depan emergency room dimana istrinya
sedang diperiksa oleh dokter Hayate. Tak jauh darinya berdiri Masato juga
Midori dan dua pengawal lain. Hijiri sudah kembali ke Daito untuk mengurus
semua kekacauan yang terjadi.
Satu jam menunggu, dokter Hayate
keluar bersama dengan dua orang perawat yang mendorong strecher dimana Maya terbaring dengan masker oksigen dan selang IV
terpasang di lengan kirinya. Masumi mengernyit melihat wajah Maya yang semakin
pucat.
"Bagaimana keadaan Maya
dokter?" tanya Masumi.
"Kami sudah melakukan
pemeriksaan secara menyeluruh juga memeriksa sampel darah Nyonya ke
laboratorium. Secara fisik tidak ada hal yang dikhawatirkan tapi saya belum
bisa mendiagnosa lebih lanjut sebelum melihat hasil laboratorium. Hasilnya
sekitar satu jam lagi. Sementara menunggu kami akan pindahkan Nyonya ke ruang
rawat," terang dokter Hayate.
Masumi, yang tidak puas dengan
jawaban sang dokter hanya bisa mengangguk dan menurut saja ketika Dokter Hayate
memintanya menunggu di ruang rawat Maya. Diapun mengikuti perawat yang membawa
istrinya.
Sementara itu di gedung Daito,
jajaran direktur dari tujuh anak perusahaan Daito sedang berkumpul untuk
melakukan rapat darurat mengenai keadaan genting yang beberapa hari ini terjadi
secara mendadak. Eisuke yang masih menjabat sebagai Komisaris Utama akan
memimpin rapat itu, sedangkan Hijiri sebagai wakil Direktur Utama sedang mempersiapkan
segala sesuatunya seraya menunggu Masumi datang. Keduanya kini sibuk di ruangan
besar milik Eisuke yang jarang sekali digunakan. Mereka juga sedang menunggu
kedatangan Tuan Besar Tanaka.
"Masumi sudah
menghubungimu?" tanya Eisuke hingga membuat Hijiri yang sedang membaca
sebuah dokumen berhenti lalu memfokuskan perhatiannya pada tuan besarnya.
"Sudah Tuan Besar. Nyonya
Maya sudah dipindahkan ke kamar rawat dan sedang menunggu hasil pemeriksaan.
Tuan Masumi sekarang sedang dalam perjalanan ke sini," jawabnya tenang.
Mizuki yang berdiri di sebelah
Hijiri menatap Eisuke dengan pandangan heran. "Ada yang Anda khawatirkan
Tuan Besar?" tanya Mizuki kemudian. Bagaimanapun dulu Mizuki adalah
sekretaris pribadi Eisuke, jadi dia hapal betul bagaimana tabiat tuan besarnya
itu.
"Aku sedang mengkhawatirkan
kondisi Maya yang tiba-tiba sakit," jawab Eisuke.
"Dokter Hayate pasti
melakukan yang terbaik dan kami sudah memastikan rumah sakit aman dengan
penjagaan ketat," Hijiri mencoba untuk meredakan kekhawatiran Eisuke.
"Bukan itu yang aku maksud
Hijiri," kata Eisuke lagi. Hijiri dan Mizuki saling bertukar pandang lalu
sama-sama menatap Eisuke dengan penuh tanya.
"Apa maksud Tuan
Besar?" tanya Mizuki lagi.
"Takamiya sudah mengancamku.
Aku yakin mereka tidak akan berhenti sebelum mencapai apa yang diinginkannya.
Untuk itu aku mempercepat semua rencana ini agar Maya juga Masumi bisa segera
keluar dari Jepang tapi kalau kondisi Maya seperti ini, aku takut semuanya
tidak berjalan lancar," terang Eisuke.
Hijiri mengangguk tanda mengerti
tapi kemudian mengulas senyum tipis, "Anda tenang saja Tuan Besar, Nyonya
Maya itu kuat. Dia pasti baik-baik saja. Semua pasti akan berjalan
lancar."
"Benar Tuan Besar. Saya
menduga kesehatan Nyonya terganggu hanya karena stress berlebihan menghadapi
semua tekanan masalah dan pekerjaan beberapa hari terakhir ini. Tubuhnya yang
belum sepenuhnya pulih sudah harus bekerja keras untuk menyelesaikan tiga
kontrak iklan terakhirnya hanya dalam waktu empat hari," tambah Mizuki.
Untuk sesaat Eisuke terdiam
melihat Hijiri dan Mizuki yang tampak kompak menyemangatinya. Rasanya sudah
lama sekali dia tidak bertukar pikiran seperti ini kecuali dengan Asa tentunya.
Sepertinya masalah Masumi juga Maya kembali membuatnya merasa hidup. Sudah
belasan tahun dia tidur dalam masa tenang setelah Masumi menjabat sebagai
Direktur Utama. Tidak menyangka kalau sekarang, di masa tuanya, dia harus
kembali berperang melawan perusahaan raksasa yang dulu ingin dijatuhkannya
melalui ikatan pernikahan. Dalam hati Eisuke tersenyum kecut.
"Aku semakin percaya kalian
berdua bisa memimpin Daito kalau aku tidak ada lagi," kata Eisuke
tiba-tiba yang langsung membuat Mizuki tertunduk untuk menyembunyikan rona
merah di pipinya. Hijiri sendiri hanya mengulas senyum tipis lalu mengangguk
sebagai tanda terima kasih atas pujian yang diberikan Eisuke. Dia tahu pasti
kemana arah pembicaraan itu dan melihat Mizuki tidak membantah sepatah katapun,
hatinya merasa lega.
Suara ketukan pintu menyela dan
Masumi muncul bersama pria paruh baya yang masih tampak gagah dengan balutan
jas hitam mahal dengan dua pengawal berbadan besar di belakangnya.
"Selamat datang
Tanaka," Eisuke tersenyum lebar menyambut kedatangan mantan rival yang
sekarang menjadi sekutunya itu.
Tuan Besar Tanaka sendiri tampak
senang dan langsung membalas sapaan itu dengan suara beratnya yang khas,
"Aku senang bisa melihatmu di belakang meja itu Hayami, kau terlalu dini
meninggalkan kursimu hingga kehilangan semua hal menarik belasan tahun terakhir
ini," katanya.
Eisuke terkekeh atas sindirin
itu, "Aku hanya butuh ketenangan Tanaka. Masumi sudah melakukan semuanya
dengan baik dan membuatku tidak punya pekerjaan untuk di urus."
"Kecuali masalah cintanya
kan?"
Eisuke dan Tuan Besar Tanaka
terbahak bersamaan sementara Masumi yang mood-nya
masih berantakan karena kondisi Maya hanya bisa tersenyum kecut atas lelucon
dua orang pengusaha tua yang sangat menikmati penderitaannya itu. Hijiri dan
Mizuki menahan senyum mereka.
"Anak muda, anak muda,"
kata Tuan Besar Tanaka yang kemudian duduk di sofa tamu setelah dipersilakan
oleh Mizuki. Eisuke segera menempatkan dirinya di depan tamunya dan Masumi
duduk di sebelah sang ayah dengan Hijiri berdiri di sebelahnya.
"Aku lega kau menerima
tawaranku," kata Eisuke membuka percakapan diantara mereka.
"Selama itu menjatuhkan
Takamiya, aku akan terima apapun tawaran itu," Tuan Besar Tanaka kembali
terkekeh senang.
"Aku bisa pastikan itu.
Takatsu sebentar lagi hanya tinggal nama," Eisuke menyeringai penuh
kemenangan.
"Ya, itu harapanku. Tidak ku
sangka di masa tuaku aku bisa kembali merasakan semangat perang ini," kata
Tuan Besar Tanaka, "aku berterima kasih padamu Masumi. Kau hebat juga bisa
membuat si tua Takamiya itu kehilangan kontrol dirinya. Sampai-sampai dia
menggelar pesta kembang api di depan umum."
"Maaf Tuan Besar, tapi
sebenarnya bukan itu tujuan saya," jawab Masumi yang sedikit tersinggung
karena sejak tadi merasa ditertawakan.
"Ah iya, iya, aku mengerti.
Orang jatuh cinta itu memang kadang membingungkan. Aku masih ingat bagaimana
gilanya Eisuke dulu waktu mencintai Tsukikage hingga menghancurkan Ichiren
sampai tak bersisa lalu membuat perusahaan transportasi dan entertain raksasa
hingga menyaingi kejayaan Tanaka," lanjut Tuan Besar Tanaka dengan
santainya seolah apa yang dilakukan oleh Eisuke dulu hanyalah sebuah permainan
anak-anak biasa yang menyenangkan sebagai pengisi waktu luang.
"Jangan ungkit itu lagi
Tanaka," kata Eisuke dengan raut wajah datar. Meski apa yang dikatakan
Tuan Besar Tanaka itu benar tapi masalah cintanya dengan Mayuko adalah luka
hati terdalam yang bahkan masih membekas hingga saat ini.
Tuan Besar Tanaka kembali
tertawa, "Dan sepertinya cinta Bidadari Merah itu menjadi kutukan di
keluarga Hayami sampai putramu pun tergila-gila pada Bidadari Merah."
Ah, ada benarnya, "Hhhmm, aku
bahkan tak berpikir sampai sana," Eisuke lalu terbahak dan Masumi juga
Hijiri serta Mizuki hanya bisa menghela napas lelah mendengarkan percakapan dua
jenderal lapuk itu.
"Baiklah Tuan Besar, bisakah
kita lanjutkan nanti. Ada hal penting yang harus diselesaikan sekarang,"
sela Masumi kemudian tapi Eisuke dan Tuan Besar Tanaka justru kembali terkekeh.
"Kau tidak sabaran anak muda
tapi baiklah. Katakan padaku apa rencana barunya," Tuan Tanaka langsung
merubah ekspresi jenakanya menjadi wajah datar dengan tatapan mata tajam dan
itu membuat Masumi lega. Setidaknya semua masalah akan segera selesai dan dia
bisa segera kembali ke rumah sakit untuk menjaga istrinya.
"Hijiri, Mizuki, berikan
padaku dokumennya," perintah Masumi dan atmosfer di dalam ruangan besar
itu langsung berubah.
***
Shiori tersenyum puas melihat
berita yang ditayangkan sore itu. Studio Daito yang kebakaran, wajah dingin
Masumi yang ditanya mengenai kondisi Maya juga gonjang-ganjing masalah
manajemen Daito yang sudah mulai terendus media karena penarikan saham Takamiya
dari Daito. Publik pastinya tidak bodoh untuk bisa menarik benang merah dari
semua kejadian itu. Mereka akan melihat akibat dari ulah Masumi yang berani
bermain-main dengan keluarga Takamiya.
"Anda tampak senang
Nyonya," kata Takigawa yang tengah menghidangkan secangkir teh juga
sepotong cake sebagai kudapan Shiori sore itu.
"Bibi tidak lihat? Aku yakin
Masumi juga istri barunya itu sedang pusing menghadapi semua ini. Kakek
benar-benar melakukan semuanya dengan sempurna," Shiori meneguk tehnya
dengan perasaan puas.
Takigawa hanya diam menatap sang
Nyonya muda yang masih asik menyimak berita di televisi. Sungguh miris melihat
Shiori menjadi sosok yang berbeda seperti ini. Takigawa tidak pernah menyangka
kalau cinta Shiori pada Masumi bisa berubah menjadi obsesi menyeramkan yang tak
terkendali.
"Tapi aku masih belum
puas," ucap Shiori seraya meletakkan kembali cangkir tehnya. Takigawa
sendiri masih diam mendengarkan sang nyonya muda. "Aku belum puas sebelum
mereka mati."
"Shiori!"
Shiori dan Takigawa tersentak
bersamaan begitu mendengar panggilan bernada tinggi itu. Shiori menoleh dan
mendapati sang ayah berdiri di ambang pintu kamarnya bersama sang ibu. Takigawa
mundur beberapa langkah seraya mengangguk hormat untuk memberi ruang pada Tuan
dan Nyonyanya yang berjalan menghampiri Shiori.
"Ayah, Ibu," sapa
Shiori datar tanpa beranjak sedikitpun dari duduknya.
"Shiori, apa yang kau
katakan tadi?" tanya sang ayah saat Shiori justru mengabaikannya dan
kembali menikmati acara televisi.
"Apa Ayah?" Shiori
justru balik bertanya.
"Astaga Shiori, kenapa kau
jadi seperti ini? Awalnya kami berpikir tidak mungkin semua ini berhubungan
denganmu tapi ternyata, memang kau yang meminta kakekmu untuk
melakukannya?" Ibu Shiori tergugu melihat putrinya sudah berubah.
"Apa salahnya Ibu? Mereka
pantas mendapatkannya," jawab Shiori datar. Dia bahkan kembali meneguk
tehnya dengan santai. Sama sekali tidak peduli pada raut wajah sang ayah yang
sudah menahan geram.
"Bukankah kau bilang kalau
kau sudah merelakan semuanya. Kau sendiri kan yang sudah memilih untuk
bercerai? Kau bahkan tahu kalau Masumi sejak awal tidak pernah mencintaimu.
Sekarang, untuk apalagi kau melakukan semua ini?" kata sang ibu lagi.
Shiori terkekeh dengan nada
sumbang yang terdengar mengerikan, "Aku memang sudah merelakan Masumi
untuk bersama wanita itu. Aku tidak akan merebut Masumi karena aku juga tahu
kalau dia tidak mencintaiku. Tapi Ibu, aku sama sekali tidak mengatakan kalau
aku akan membiarkan mereka. Aku akan membalas semua sakit hati ini dan aku
tidak akan puas sebelum mereka berdua mati. Bukankah itu lebih baik? Membiarkan
mereka bersama selamanya di alam baka?"
Plak!
Takigawa dan ibu Shiori membekap
mulut mereka karena terkejut. Shiori sendiri menyentuh pipinya yang merah
dengan mata membelalak menatap sang Ayah yang bergeming di hadapannya. Tangan
kokoh itu mengerat di udara menahan geram atas ucapan putrinya.
"Sadarlah! Semua ini salah!
Berhenti sebelum semuanya terlambat dan kau akan menyesalinya seumur
hidupmu!" Bentak sang ayah.
Mata Shiori memincing dengan
tatapan benci pada ayahnya sendiri. Sejak awal memang hanya kakeknya yang
peduli pada perasaannya. Tidak Masumi, tidak juga orang tuanya, mereka tidak
pernah mengerti apa yang Shiori rasakan. Tak menjawab apapun, Shiori tertawa
keras dengan bersandar santai di kursinya.
"Shiori, Ibu mohon,"
lirih sang Ibu yang merasa miris dengan kondisi putrinya. Dia merasa Shiori tak
waras lagi namun idenya untuk membawa Shiori ke psikiater selalu ditentang oleh
kakek Shiori. Sang Ayah juga sepertinya sudah kehabisan akal menghadapi Shiori.
"Ini peringatan terakhir
dari Ayah. Berhentilah. Jika kau masih tidak mengindahkannya, apapun yang
terjadi nanti, ayah dan ibu tidak bisa lagi membantumu. Kau sudah jatuh terlalu
dalam Shiori," kata sang Ayah yang sudah mendapatkan kembali
ketenangannya.
Shiori yang sudah berhenti
tertawa hanya menyeringai tipis lalu meraih kembali cangkir tehnya. Meneguk
isinya dan menganggap ayah juga ibunya tak ada.
"Ya Tuhan," lirih sang
ibu tak percaya jika putri manis dan santunnya kini telah berubah menjadi
wanita kejam dan ambisius.
Tak berkata apa-apa lagi, ayah
Shiori mengamit pergelangan tangan istrinya lalu pergi meninggalkan kamar
Shiori. Takigawa juga tak bisa berkata apa-apa dan hanya dia yang melihat
ketika akhirnya butiran air mata meluncur dari sudut mata Shiori dengan isakan
yang teredam.
"Berbahagialah kalian di
alam lain karena aku tak ingin melihatnya," lirih Shiori dengan tangan
gemetar hingga menimbulkan derak kasar begitu Shiori meletakkan cangkirnya.
"Aku benar kan, Bi?"
Shiori mengulas senyum dengan air mata yang masih berderai dan Takigawa segera
berlari untuk memeluk sang nyonya muda kesayangannya.
***
Masumi menatap tidak percaya pada
lembaran kertas yang digenggamnya. Suasana kamar dimana Maya dirawat menjadi
begitu hening.
"Anda tidak bercanda Dokter
Hayate?" Masumi masih tidak percaya pada apa yang dibacanya sementara Maya
yang masih berbaring mulai meneteskan air mata.
Dokter Hayate tersenyum,
"Saya pun tidak menduganya. Semua pemeriksaan menyatakan kondisi Nyonya
baik dan saya tidak menemukan satu tanda penyakit atau virus apapun yang bisa
menyebabkan keadaan Nyonya menurun tiba-tiba. Sampai akhirnya Nyonya bangun dan
mengeluhkan tentang rasa tidak nyaman pada perutnya. Saya bertanya mengenai periode
bulanannya kemudian memutuskan untuk melakukan USG transvaginal dan
dugaan saya benar. Nyonya Maya hamil, usia kandungannya sekitar dua atau tiga
minggu. Mengingat usia kandungan yang masih terlalu muda tidak heran kalau
tidak terdeteksi dengan USG abdomen yang sudah dilakukan sebelumnya.
Bahkan melalui transvaginal hanya
terlihat berupa titik kecil. Meski begitu saya yakin dengan hasilnya. Selamat
Tuan Masumi."
Isakan Maya membuat Masumi
tersentak. Dia segera menghampiri Maya lalu mengecup keningnya. "Kau akan
jadi Ibu sayang," bisik Masumi penuh haru di telinga Maya.
Maya mengangguk di tengah
tangisnya. Tidak tahu harus berkata apa. Dokter Hayate dan seorang perawat yang
menemaninya hanya tersenyum melihat ekspresi kebahagiaan sepasang suami istri yang
tengah fenomenal itu.
Masumi menegakkan tubuhnya lalu
menyeka sudut matanya yang berair. Apa yang dirasakannya saat ini sungguh tidak
bisa dideskripsikan. Yang jelas Masumi merasa begitu bahagia. "Terima
kasih Dokter Hayate," ucap Masumi kemudian.
Dokter Hayate mengangguk dengan
masih mengulas senyum, "Itu sudah tugas saya. Sekali lagi selamat Tuan,
Nyonya."
Masumi menghapus air mata
istrinya yang sudah berhenti menangis. Maya lalu tersenyum menatap dokter
Hayate sebagai ucapan terima kasih.
"Melihat gejala awal
kehamilan Nyonya saya menyarankan Nyonya banyak istirahat. Jangan terlalu lelah
apalagi stress. Ini kehamilan pertama Nyonya dan kehamilan di trimester pertama cukup rentan. Jadi
mulai saat ini Nyonya harus lebih berhati-hati. Terutama juga dalam menjaga
pola makan," terang dokter Hayate lagi.
"Saya yang akan memastikan
sendiri Maya makan dan istirahat dengan baik," Masumi menggenggam tangan
Maya dan mengusapnya lembut. "Apa ada makanan khusus yang boleh atau tidak
boleh dikonsumsi oleh Maya?" tanya Masumi kemudian.
"Oh, untuk hal itu saya akan
memberikan daftarnya pada Anda. Sekarang saya permisi," dokter Hayate pun
undur diri.
Masumi dan Maya diam beberapa
saat melihat dokter Hayate dan perawatnya pergi.
"Masumi," lirih Maya
memecah keheningan diantara mereka.
"Ya sayang?" Masumi
segera mengalihkan perhatiannya penuh untuk Maya. Tangannya masih menggenggam
lembut tangan Maya.
"Apa semua baik-baik
saja?" tanya Maya yang sukses membuat kedua alis Masumi bertaut heran.
"Apa maksudmu sayang?"
Masumi balas bertanya.
"Jangan mencoba berbohong
Masumi. Kau tampak gelisah sejak datang tadi dan jangan bilang kalau kau hanya
mengkhawatirkanku," kata Maya.
Masumi menghela napas panjang.
Maya makin pandai saja membaca pikirannya, padahal Masumi sama sekali tidak mau
membuat istrinya khawatir. Apalagi sekarang, setelah dia tahu kalau Maya tengah
hamil. Masumi semakin tidak rela kalau sampai Maya cemas memikirkannya.
"Studio 5 tempatmu
pemotretan kebakaran tepat setelah kau pingsan," kata Masumi.
"Hah?!" Maya terkejut.
"Tenang, semua sudah
diatasi. Aku hanya kesal karena media membesar-besarkan semua itu," Masumi
mencoba untuk tersenyum wajar agar Maya tidak khawatir.
"Apa ... Takamiya?"
tanya Maya ragu.
Masumi terdiam beberapa detik
lalu mengangguk pelan.
"Jadi Nyonya Shiori ingin
aku mati?"
"Sstt!" Masumi langsung
menempelkan telunjuknya pada bibir Maya, "Jangan bicara seperti itu. Kata
itu tabu buatmu, apalagi sekarang kau bersama dia," Masumi mengusap lembut
perut Maya. Rasanya masih mimpi membayangkan dirinya akan menjadi seorang ayah
di tengah situasi kacau seperti ini.
"Nyonya Shiori mengatakan
padaku kalau dia akan membuatmu menanggung semuanya," Maya belum menyerah
untuk membahas masalah kegilaan Takamiya.
Masumi menghela napas lagi,
"Dia juga mengatakan hal yang sama padaku. Pada intinya dia tahu kalau
kita adalah kelemahan satu sama lain dan dia mencoba memanfaatkannya untuk
menekan kita. Untuk itu kita tidak boleh terpancing. Kau harus tetap tenang.
Aku akan pastikan kau dan calon anak kita baik-baik saja," Masumi mengulas
senyum di akhir kalimatnya.
"Aku juga mau kau baik-baik
saja," kata Maya lagi.
Masumi mengembangkan senyumnya
makin lebar, "Aku akan baik-baik saja sayang," ucap Masumi seraya
mengusap kepala Maya penuh sayang. Senyum Masumi menular dan Maya sedikit lebih
lega mendengar perkataan suaminya.
"Ah, aku belum mengucapkan
selamat padamu. Selamat Masumi, kau akan jadi Ayah," ucap Maya dengan
wajah bahagia.
Melandaikan tubuhnya, Masumi
kembali mengecup kening Maya, "Terima kasih sayang."
Kemesraan mereka terhenti saat
pintu kamar Maya diketuk dan Eisuke masuk bersama dengan Asa.
"Ayah," Maya tampak
senang menyambut menrtuanya datang.
"Tetap berbaring Maya,"
kata Eisuke begitu melihat Maya berniat bangun dan Masumi menahan istrinya
untuk tetap berbaring. Maya mengerucutkan bibirnya.
"Bagaimana keadaanmu?"
tanya Eisuke kemudian.
"Sudah jauh lebih baik Ayah,
terima kasih," jawab Maya. Ah, dia tidak tahu bagaimana menyampaikan kabar
bahagia itu pada ayah mertuanya. Maya pun melirik Masumi yang langsung mengerti
maksudnya.
"Apa terjadi sesuatu?"
tanya Eisuke yang penasaran dengan tatapan mata kedua anaknya.
"Aku punya hadiah untuk
Ayah, semoga Ayah suka," Masumi tersenyum tipis lalu berjalan ke ujung
tempat tidur dan menyerahkan kertas hasil pemeriksaan istrinya. Maya dan Masumi
diam mengamati ekspresi serius Eisuke yang tengah membaca kertas yang diberikan
Masumi. Keningnya berkerut beberapa saat dan beberapa detik kemudian Eisuke
terbahak senang.
"Ya ampun," Eisuke
terlihat begitu senang, "Asa, ucapkan selamat padaku. Aku akan menjadi
kakek."
Asa terkejut tapi kemudian
tersenyum lega, "Selamat Tuan Besar," ucapnya bahagia lalu beralih
memandang Masumi dan Maya, "selamat Tuan Masumi, Nyonya Maya."
Masumi dan Maya tersenyum
bahagia, "Terima kasih Paman."
***
"Kau membuatku hampir mati
terkena serangan jantung, Maya," Rei memeluk sahabatnya itu dengan erat.
Sementara Maya hanya tersenyum maklum dalam dekapan Rei. Matanya mengamati
setiap orang yang saat ini tengah berada di kamarnya, di kediaman Hayami. Ya,
Maya baru saja pulang setelah semalam menginap di rumah sakit. Istirahat
siangnya di kejutkan dengan kedatangan sahabat-sahabatnya. Rei dan Koji juga
Ayumi beserta suaminya. Bahkan Tuan Himekawa dan istrinya Utako juga datang.
"Aku baik-baik saja
Rei," ucap Maya dan Rei melepaskan pelukannya. "Terima kasih kalian
sudah datang," kata Maya lagi seraya tersenyum pada sahabat-sahabatnya.
"Sudah kukatakan kalau Maya
pasti baik-baik saja," Koji dengan santai menyandarkan lengannya di bahu
Rei.
"Ah, jangan sok tenang Tuan
Sakurakoji, kemarin kau juga panik saat mendengar studio Daito terbakar,"
cibir Rei, meski begitu dia membiarkan saja Koji merangkulnya, atau mungkin dia
tidak sadar.
"Tapi begitu Nona Midori
memberitahuku kalau Maya baik-baik aku tak lagi panik. Sedangkan kau masih saja
ribut untuk datang ke rumah sakit," kata Koji membela diri.
"Wajar saja aku panik, aku
kan sahabat Maya. Maya sudah seperti adikku sendiri," Rei juga membela
dirinya dan kekehan Maya menghentikan adu bela diri itu.
"Hei," protes Rei
karena Maya menertawakannya.
"Tampaknya sebentar lagi ada
yang akan melangsungkan upacara pernikahan," celetuk Ayumi yang sejak tadi
diam memperhatikan interaksi Rei dan Koji.
"Ya, kau benar Ayumi. Mereka
bahkan sudah seperti suami istri yang bertengkar," kata Maya yang masih
juga tertawa.
Rei mendengus pelan dan menyadari
kalau Koji masih memeluknya. Diapun menyingkirkan tangan Koji dari bahunya.
"Tidak perlu malu Rei.
Mereka pasti sudah tahu," kata Koji seraya terkekeh senang melihat
kekasihnya merajuk. Kekasih? Ya, Koji dan Rei sudah resmi menjadi sepasang
kekasih.
"Jadi akhirnya kau berhasil
Koji?" tanya Maya.
"Begitulah Maya, setelah
perjuangan panjang dan melelahkan. Akhirnya aku berhasil mendapatkan hati Nona
Aoki yang manis ini," canda Koji dan Maya kembali tertawa saat Rei semakin
mengerucutkan bibirnya dengan kedua tangan terlipat di depan dada.
"Dan tinggal tunggu media
tahu maka aku pastikan selama satu minggu penuh wajahmu akan memenuhi
media," kata Ayumi.
"Dan membuat barisan penggemar
Ishin patah hati," tambah Maya.
Mereka semua tergelak tidak
terkecuali Rei. Ya, Rei tahu apa yang dikatakan Ayumi dan Maya benar. Itulah
yang membuatnya berpikir panjang sebelum menerima Koji menjadi kekasihnya,
tentu saja selain masalah hubungan Koji dan Maya sebelumnya. Ketenaran Koji
sebagai aktor kelas satu pasti akan membuatnya sesak napas. Meski Rei sendiri
juga seorang aktris tapi dia tidak begitu suka dengan publikasi yang
berlebihan. Tapi rupanya ego Rei kalah oleh pesona Koji yang berhasil
meluruhkan hatinya.
"Kelihatannya aku melewatkan
sesuatu yang menyenangkan," Masumi yang tiba-tiba masuk dan berkomentar
mengalihkan perhatian semua orang.
Koji, Rei, Ayumi dan Peter
memberi salam saat Masumi kemudian duduk di tepi tempat tidur Maya. Dia baru
saja berbicara dengan Tuan Himekawa juga Utako ketika akhirnya ingat sudah
waktunya untuk Maya makan siang, Masumi segera kembali ke kamar.
"Kau tahu Masumi, akhirnya
Koji dan Rei resmi menjadi sepasang kekasih," Maya langsung melapor pada
suaminya dengan semangat. Untuk sesaat Masumi menautkan alis. Ah, lega juga
akhirnya Koji mendapatkan tambatan hatinya. Tidak ada lagi yang akan membuatnya
cemburu, batin Masumi konyol.
"Masumi?" Maya
melambaikan tangan di depan wajah suaminya.
"Ah iya," Masumi yang
tersadar segera mengulas senyum lalu berpaling pada Koji dan Rei, "selamat
Koji, Nona Aoki," ucapnya tulus.
"Terima kasih Tuan
Masumi," ucap Koji sementara Rei hanya tersenyum tipis lalu menunduk untuk
menyembunyikan wajahnya yang mulai terasa panas.
Masumi kembali fokus pada
istrinya, "Sudah waktunya kau makan siang, minum vitaminmu lalu
istirahat," kata Masumi tanpa canggung meski disana ada begitu banyak
orang.
Koji menggaruk kepalanya yang
tidak gatal dan Peter terkekeh geli. Mereka tidak menyangka Masumi akan menunjukkan
perhatian semacam itu didepan mereka. Ayumi dan Rei pun tersenyum. Masumi
mengernyit heran dan Maya ikut terkekeh.
"Anda terlihat lebih
manusiawi," celetuk Peter dan Masumi menyadari bahwa perhatiannya pada
Maya terlihat aneh di depan mereka. Jelas saja, di hadapan orang lain Masumi
lebih sering memakai topeng esnya.
"Begitukah?" Masumi
tersenyum tipis. Merasa geli dengan dirinya sendiri. "Tidak apa-apa kan
kalau aku memanjakan istriku sendiri," katanya kemudian.
"Berhentilah membuatku malu
Masumi," kata Maya kemudian.
Masumi terkekeh lalu mengecup
kening Maya, "Sebaiknya aku menemui Bibi Harada dan memintanya menyiapkan
makan siangmu juga kita semua." Setelah itu Masumi keluar dari kamar dan
membiarkan Maya kembali mengobrol dengan sahabat-sahabatnya kecuali Peter yang
ikut keluar bersama Masumi.
"Kau sudah siapkan
semuanya?" tanya Peter.
"Hhmm," Masumi
mengangguk. Keduanya berjalan dalam diam.
***
"Kau yakin kuat Maya?"
"Iya Masumi. Aku sudah
merasa lebih baik. Lagipula tidak mungkin aku tidak datang di acara premier kan? Media akan semakin heboh
nanti dan kau semakin repot."
Masumi membantu Maya memakai coat warna hijau toska yang potongannya
pas dengan tubuh mungilnya. Tak hanya itu, Masumi juga membantu
mengancingkannya dan mengikat tali di bagian pinggang dengan hati-hati. Dia
tidak lupa kalau di dalam perut Maya ada buah cinta mereka hingga Masumi
memastikan sendiri tubuh istrinya itu tetap hangat dan ikat pinggang itu tidak
menekan perut Maya.
Maya terkekeh melihat wajah
serius Masumi yang mengikat simpul tali di pinggangnya. "Percayalah, itu
tidak ketat sama sekali Masumi," ucap Maya geli.
Masumi segera menatap Maya,
"Aku hanya memastikan semuanya aman," kilahnya seraya mengusap lembut
perut Maya. Tiba-tiba Masumi berlutut di depan Maya lalu melingkarkan tangannya
di pinggang istrinya. Masumi mengecup perut Maya lalu menyandarkan wajahnya di
sana. "Aku masih tidak percaya kalau sebentar lagi aku akan menjadi
seorang ayah," gumamnya.
Maya mengusap kepala Masumi
dengan lembut, "Bahkan aku yang hamil pun masih merasa ini seperti
mimpi," timpal Maya.
Masumi mendongak demi melihat
binar bahagia di manik bulat istrinya. Meraih tengkuk Maya, Masumi membuat Maya
sedikit membungkuk untuk mempertemukan bibir mereka. "Terima kasih sayang,
aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu,"
balas Maya.
Pagi itu Maya dan Masumi begitu
bersyukur karena anugrah Tuhan yang besar dalam kehidupan mereka. Dalam hati
Masumi berdoa semua rencananya berhasil dan mereka dapat hidup tenang juga
bahagia ke depannya. Masumi rela melakukan apapun demi mewujudkan semuanya itu.
***
Siang yang cerah ketika Maya dan Masumi menginjakkan kakinya di depan Gedung Bioskop Daito yang megah di pusat kota Tokyo. Awak media juga para penggemar sudah ramai mengelilingi para aktor juga aktris yang terlibat. Dari sesi foto sampai memberikan tanda tangan, Ayumi juga Koji tampak menebar pesona diantara para penggemarnya. Bahkan sang sutradara, Tuan Himekawa, juga tampak sibuk menjawab pertanyaan dari wartawan terkait premier film layar lebar Aishiteru yang digadang akan masuk dalam nominasi film Cannes musim depan.
"Maya! Maya!" Penggemar
Maya berteriak histeris begitu melihat sang idola datang. Terlebih lagi dia
datang bersama sang suami yang pesonanya sudah tersohor di kalangan kaum hawa
se-Jepang. Ah, andai Masumi bukanlah pria dingin mungkin nasibnya akan sama
seperti Koji yang saat ini tengah mempertahankan senyum supernya demi menyapa
para penggemarnya.
"Itu Maya Hayami,"
celetuk salah seorang wartawan yang sontak membuat keramaian seperti dengung lebah
itu semakin berisik saja. Suasana kacau beberapa detik saat para wartawan itu
langsung menyerbu Maya juga Masumi. Sontak saja Midori dan Masato juga dua
pengawal Masumi yang lain segera siaga untuk melindungi Maya. Masumi sendiri
dengan begitu posesif menyandarkan tangannya di pinggul Maya, memastikan sang
istri aman bersamanya tanpa peduli sorotan kamera yang langsung membidik momen
langka itu.
"Maya Hayami, bisa berbagi
cerita pada kami tentang peran Anda di film ini?"
"Maya, apakah menurut Anda
film ini akan benar-benar menembus Cannes?"
"Maya, apakah kebakaran
studio tempo hari akan berpengaruh pada promosi film Aishiteru?"
Deg!
Kaki Masumi sontak berhenti
begitu mendengar pertanyaan salah satu wartawan yang menurutnya lancang itu.
Bahkan sejak kemarin dirinya sudah dicecar dengan pertanyaan serupa dan Masumi
sudah memberikan ultimatum pada media untuk tidak mengaitkan kebakaran itu
dengan strategi pomosi atau apapun. Masumi sudah mengklarifikasi pada media
bahwa kebakaran kemarin adalah murni kecelakaan. Ingin rasanya Masumi menghajar
mulut yang masih saja berani melontarkan pertanyaan menyebalkan itu.
Reflek beberapa wartawan mundur
satu dua langkah begitu aura dingin menguar di sekitar Masumi. Matanya tajam
menatap setiap awak media yang masih stand
by dengan alat rekam juga kamera di
tangan masing-masing. Beberapa dari mereka menelan ludah perlahan melihat
ekspresi dingin dari Direktur Utama Daito.
"Masumi," lirih Maya
seraya mengusap lembut dada suaminya.
Berkedip. Masumi menunduk dan
menatap Maya yang menggeleng padanya hingga sebuah helaan napas panjang lolos
dari bibirnya. "Akan ada konferensi pers setelah pemutaran film selesai
dan kalian semua bisa mendapatkan semua jawabannya nanti. Tidak sekarang.
Terima kasih," ucap Masumi dengan nada penuh intimidasi hingga akhirnya
para wartawan itu mundur teratur dan memberi jalan pada Masumi juga Maya untuk
memasuki gedung biokop.
Melihat itu para aktor dan aktris
yang terlibat juga Tuan Himekawa segera mengikuti Masumi. Mereka menaiki lift
menuju studio 8 di lantai tiga. Pemutaran film tinggal lima belas menit lagi
dan Rei yang ternyata sejak tadi melihat Koji dari kejauhan mulai melangkah
masuk dan duduk di tempat yang sudah disediakan kekasihnya.
"Rasanya aku butuh anti-depresant kalau setiap hari harus
melihatmu seperti itu," lirih Rei dengan nada kesal yang tertangkap jelas
di telinga Koji.
Menahan tawa dengan jemari di
bibirnya, Koji senang saat lampu akhirnya dimatikan. Lengannya segera bersandar
di bahu Rei, "Jangan cemburu Nona Aoki, hanya kau yang ada di
hatiku," bisik Koji tepat di telinga Rei.
Rei juga bersyukur ruangan sudah
gelap hingga dia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan rona merah di
wajahnya. "Ish, jangan merayuku," desis Rei dan Koji terkikik.
"Aku mencintaimu Rei,"
bisik Koji lalu mengecup pelipis kekasihnya dan kekesalan Rei menguap dalam
hitungan detik.
Dasar
aktor, gerutu
Rei dalam hati. Dan dia membiarkan saja kepala Koji bersandar di bahunya.
***
***
Suara gemuruh tepuk tangan
memenuhi ruangan dengan pencahayaan minim saat credit title berjalan di layar
super besar. Begitu lampu menyala, tampak wajah-wajah puas dengan senyum
mengembang, bahkan ada yang masih menyeka air mata mereka. Ya, seperti yang
sudah diprediksi sebelumnya, menyatukan Maya, Ayumi juga Koji dalam satu frame adalah jurus jitu untuk mencapai
penghargaan besar. Hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Tuan Himekawa yakin
filmnya kali ini benar-benar akan menembus nominasi Cannes.
Seperti apa yang dikatakan Masumi
tadi kalau akan ada konferensi pers usai pemutaran film. Kini para pendukung
utama film Aishiteru sudah berada di sisi lobi lantai satu, duduk di atas
panggung yang sudah disediakan untuk menjawab pertanyaan awak media. Maya yang
duduk di antara Koji dan Ayumi tampak tenang dengan senyum tipis tersungging di
wajah cantiknya. Masumi sendiri duduk di ujung meja berdampingan dengan Tuan
Himekawa selaku sutradara.
Pertanyaan demi pertanyaan
dilontarkan dan Masumi puas dengan moderator yang dipilih oleh Mizuki untuk
konferensi pers kali ini. Dia bisa membatasi topik pertanyaan dengan baik dan
sesekali men-tackle pertanyaan
melenceng dari wartawan dengan candaan hingga membuat suasana menjadi
menyenangkan. Konferensi pers tinggal sepuluh menit lagi tapi ketenangan Masumi
menguap begitu seorang wartawan dari salah satu tabloid entertainment minguan melontarkan pertanyaan yang membuat Masumi
hampir hilang kendali.
"Untuk Maya Hayami, dalam
film ini Anda berperan sebagai wanita yang akhirnya mendapatkan kembali sang
kekasih yang direbut oleh Ayumi. Apakah penghayatan Anda dalam film ini
didasari pada pengalaman pribadi Anda?"
Masumi merutuk dalam hati begitu
melihat wajah terkejut Maya. Beberapa saat suasana menjadi hening lalu
terdengar kasak kusuk yang membuat telinga Masumi gatal. Maya masih belum
menjawab sementara sang moderator tampak berpikir keras untuk mengendalikan
acara.
"Ah, sepertinya
perta-,"
"Saya masih bertanya seputar
film dan peran Maya. Anda tidak berhak menolak pertanyaan saya kecuali Maya
Hayami memang tidak mau menjawabnya," potong sang wartawan yang masih
berdiri dengan tatapan lurus ke arah panggung.
Sang moderator tutup mulut dan
bergidik melihat ekspresi Masumi yang tiba-tiba mengeras. Meski begitu dia
merasa heran karena melihat Maya tersenyum begitu pulih dari keterkejutannya.
"Pengalaman pribadi
ya," suara Maya menggema ringan di dalam ruangan yang otomatis membuat
kasak kasuk teredam dan perhatian semua orang tertuju padanya. Tidak terkecuali
Masumi yang menatap intens pada istrinya.
"Apa Anda bermaksud
memancing saya bercerita soal kehidupan pernikahan saya dan hubungan saya
dengan Nyonya Shiori?" tanya Maya terus terang dengan senyum masih
mengembang di wajahnya.
Wartawan itu terkekeh, "Anda
pasti tahu maksud saya."
Beberapa wartawan berdecak kesal
karena merasa kalah jurus tapi beberapa lainnya memilih untuk fokus merekam
momen berharga itu. Kamera siaga untuk membidik setiap reaksi dari Maya
terlebih dari Masumi. Beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini membuat
para wartawan menyadari kalau ternyata direktur dingin dan gila kerja yang
terkenal dengan ketenangannya itu akan berubah menjadi sosok posesif sekaligus
impulsif jika menyangkut seorang Maya.
Maya mengulas senyum sebelum
menjawab pertanyaan sang wartawan, "Menghidupkan peran adalah tugas saya
sebagai aktris. Terlepas saya pernah mengalami hal itu di dunia nyata atau
tidak, saya tetap harus membuat semua itu nyata di dunia panggung atau di layar
kaca. Jika Anda penasaran apakah kali ini peran saya diinspirasi oleh kehidupan
nyata saya, jawabannya adalah iya."
Semua orang diam, begitu juga
sang wartawan yang bertanya. Dia masih terpaku menatap Maya yang tenang dan
masih menyunggingkan senyum simpulnya. Ayumi dan Koji menoleh pada sahabatnya
sementara Masumi menahan geram dengan mengepalkan tangan di bawah meja meski
wajahnya masih saja terlihat tenang. Tuan Himekawa sendiri dengan bijak
membiarkan Maya menjawabnya. Dia tahu meski terkadang ceroboh tapi Maya adalah
gadis cerdas jika berhubungan dengan dunia peran.
"Bahagia, sedih, sakit,
kecewa, bukankah setiap kita pernah mengalaminya? Perasaan-perasaan itulah yang
menghidupkan peran saya di atas panggung," lanjut Maya yang masih membuat
peserta konferensi pers terpaku padanya.
"Kalau masalah pernikahan
saya, rasanya tidak etis kalau Anda menghubungkannya dengan film ini. Yang jelas
penulis naskah dan Tuan Himekawa sebagai sutradara tidak membuat film ini
berdasar pengalaman hidup saya bukan? Saya hanya mencoba profesional dalam
profesi saya dan saya mohon untuk media juga menghargai apa yang menjadi
privasi kami. Saya memang aktris, saya sadar kehidupan saya akan menjadi
sorotan tapi bukan berarti juga kehidupan pribadi saya harus menjadi bagian
dari dunia panggung sandiwara yang layak dipertontonkan. Saya hargai pertanyaan
Anda. Terima kasih."
Hening. Semua diam mendengar
jawaban Maya yang terus terang itu. Ini kedua kalinya mereka melihat Maya
mengkonfrontasi secara langsung wartawan yang menekannya –tentu setelah
konferensi pers pernikahannya dengan Masumi-. Biasanya akan ada Midori sang
menejer atau pihak menejemen lain yang menjawab. Tapi sekarang, Maya mematahkan
pertanyaan itu dengan jawabannya sendiri.
Para wartawan itu melirik ke arah
Masumi yang masih tampak tenang meski mereka tahu dalam hatinya pasti meradang.
Dia tak lagi menatap sang istri melainkan menatap lurus pada barisan wartawan.
Moderator segera mengambil alih acara dan beruntungnya waktu konferensi sudah habis. Tak ada yang berkomentar lagi sampai semua pendukung acara berdiri lalu memberi hormat dan meninggalkan panggung.
Moderator segera mengambil alih acara dan beruntungnya waktu konferensi sudah habis. Tak ada yang berkomentar lagi sampai semua pendukung acara berdiri lalu memberi hormat dan meninggalkan panggung.
Para wartawan diundang untuk
pesta premier di salah satu ruangan
yang sudah disiapkan di sisi timur lantai tiga. Maya, Ayumi juga Koji kembali
diserbu penggemar mereka saat akan berjalan ke lift menuju lantai tiga. Kembali
para aktris papan atas itu harus meladeni sesi ramah tamah hingga foto bersama
para penggemar sebelum pesta premier
dimulai. Dan kali ini Koji menarik Rei untuk tetap berada di sebelahnya. Tak
urung beberapa penggemar Koji menatap tajam Rei dan hanya ditanggapi santai
oleh gadis itu. Hari ini dia memakai gaun agar tak ada orang yang salah paham
tentang gendernya, masalah yang selalu saja membuatnya malu. Maya terkekeh
melihat sahabatnya tapi dia lega karena Koji dan Rei memang tampak
serasi. Tak lama, hanya lima belas menit dan para penggemar itu harus
mendesah kecewa karena Maya, Ayumi juga Koji digiring masuk ke dalam lift oleh
pihak manajemen.
"Kau lelah sayang?"
bisik Masumi lembut seraya memberikan segelas minuman untuk Maya. Keduanya kini
berada di ruangan pesta dan sedikit menjauh dari kerumunan tamu.
Maya tersenyum lalu menggeleng
kemudian menyesap minumannya perlahan. Rasa manis dan asam orange juice terasa
segar di tenggorokannya.
"Kau masih marah?"
tanya Maya ketika melihat sang suami hanya diam mengamati para tamu yang sedang
menikmati jamuan pesta.
"Marah? Tidak juga, hanya
kesal melihatmu menjadi sorotan seperti itu," jawab Masumi tenang lalu
menyesap wine dari gelas tinggi yang
digenggamnya.
Maya tersenyum, "Anggap saja
tak pernah terjadi. Aku sudah menduga pertanyaan semacam itu akan muncul,"
katanya berusaha menenangkan Masumi yang dia tahu masih menahan kesal.
"Mau tidak mau pernikahanmu sebelumnya memang akan membayangi pernikahan
kita kan?"
Masumi langsung menoleh pada
istrinya, "Kau tahu, rasanya aku ingin sekali memiliki mesin waktu lalu
kembali ke masa lalu dan memperbaiki semuanya. Jadi aku tidak harus menyakitimu
seperti ini."
Maya mengulas senyum lalu memeluk
lengan suaminya dan bermanja di sana, "Tidak perlu berandai-andai Masumi.
Aku bahagia bisa bersamamu sekarang," ucapnya.
Masumi merasa hatinya menghangat
dengan perlakuan dan ucapan Maya. Meletakkan gelas tingginya ke atas meja yang
tak jauh dari tempatnya, Masumi meraih bahu Maya lalu merengkuhnya dalam sebuah
pelukan. Terserah para wartawan menyebalkan itu melihat atau tidak, Masumi
hanya ingin mengungkapkan rasa sayangnya.
"Terima kasih Maya,"
kata Masumi penuh haru dan Maya bisa merasakan ketulusan dalam ucapan suaminya.
"Tidak perlu berterima
kasih, kau suamiku," balas Maya. Masumi menghadiahinya sebuah kecupan di
puncak kepala dan sebuah kilat blitz
membuatnya tersentak untuk sesaat.
Maya menarik diri dari pelukan
Masumi. Wajahnya merona begitu menyadari kemesraannya tertangkap kamera. Tidak
seperti Masumi yang memang sengaja tidak mempedulikan kehadiran para wartawan,
Maya sebenarnya sempat lupa kalau dirinya masih berada di pesta dan tengah
menjadi sorotan media.
"Astaga, aku malu,"
lirih Maya dan Masumi terkekeh pelan lalu menarik Maya kembali ke dalam
pelukannya dan tanpa sepengetahuan istrinya Masumi mengusir para wartawan itu
menjauh dengan tatapan tajam terbaiknya.
***
"Ku pikir Tuan Masumi akan
mengamuk tadi," celetuk Koji seraya terkekeh geli. Dia, Rei, Maya juga
Ayumi tengah mengobrol di salah satu sudut ruangan sementara Masumi tampak
santai bersama Peter juga beberapa orang tamu di sudut lain.
"Aku juga sempat berpikir
begitu dan aku terkejut kau menjawabnya Maya," Ayumi menimpali perkataan
Koji.
Maya tersenyum, "Kalau aku
tak bicara Masumi benar-benar akan mengamuk seperti apa yang kalian pikirkan
itu."
Rei mendesah, "Kisah cintamu
terlalu rumit Maya," celetuknya.
"Kalau bisa memilih, aku
juga tidak mau seperti ini Rei," jawab Maya seraya terkikik. Yang lain
hanya tersenyum.
Ayumi melirik ke arah Peter yang
ternyata tengah menatapnya. Mengerti arti tatapan mata sang suami, Ayumi pun
undur diri, "Maaf, aku permisi sebentar," katanya yang hanya
ditanggapi anggukan kepala oleh sahabat-sahabatnya. Sesaat mereka melihat Ayumi
berjalan ke arah suaminya lalu kembali melanjutkan obrolan. Tak lama berselang,
Ayumi juga Peter sudah tidak terlihat di dalam ruangan pesta dan tidak ada yang
menyadari kepergian mereka.
Waktu terus berlalu dan Maya
masih asik mengobrol hingga suara dentuman keras terdengar dan gedung bergetar
kasar. Seketika suasana berubah kacau dengan teriakan histeris para tamu. Bahkan
beberapa orang yang terkejut menjatuhkan gelas di tangan mereka, membuat
suasana semakin kacau.
Maya tercekat di tempatnya ketika
Koji reflek memeluknya juga menarik Rei ke sisinya. Rei tercengang di dalam
dekapan Koji dan Maya mulai gemetar dalam lengan Koji yang lain.
"A-apa yang terjadi?"
tanya Rei dengan suara gemetar.
"Masumi, dimana
Masumi?" Maya yang masih syok memutar bola matanya mencari sosok suaminya
di tengah para tamu yang berlarian.
"Kita harus keluar dari
sini," kata Koji yang segera menarik pergelangan tangan Rei juga Maya tapi
Maya langsung menepis tangan Koji dan melesat ke arah kerumunan untuk mencari
Masumi.
"Maya!" teriak Koji dan
Rei bersamaan tapi sama sekali tidak terdengar dan Maya menghilang begitu saja.
"Bagaimana ini?" Rei
panik.
Koji yang sama paniknya tidak
tahu harus menjawab apa. Diapun menarik Rei menuju pintu keluar dan begitu
keduanya sampai di luar ruangan, Koji justru melihat kekacauan yang lebih
parah. Beberapa petugas keamanan tampak sibuk memberi pengarahan pada para
pengunjung yang serentak keluar dari studio karena dentuman keras dan getaran
hebat beberapa waktu lalu.
Mata Koji terbelalak ketika
melihat lidah-lidah api muncul dari studio 8 tempat pemutaran premier film Aishiteru tadi.
"Astaga!" Pekik Rei dengan wajah penuh ketakutan. Koji yang menyadari
itu segera mendekap Rei dalam pelukannya dan membimbingnya keluar dari gedung
sesuai instruksi petugas keamanan. Dia panik melihat Rei yang ketakutan dan
mencoba meronta dalam pelukannya karena bersikeras untuk mencari Maya.
"Koji kau gila! Maya masih
di dalam! Kita harus mencarinya dulu!" Teriak Rei seraya berusaha
melepaskan cengkraman Koji di bahu dan tangannya.
Tidak! Tidak! Koji takut melihat
api-api itu. Bukan takut dirinya terluka tapi takut Rei yang terluka.
"Kita keluar dulu! Setelah kau aman, aku yang akan mencarinya!" bentak
Koji kemudian.
Rei terdiam dengan napas memburu,
tidak tahu harus bagaimana dan hanya bisa menurut ketika Koji membawanya.
Mereka berhasil keluar dan menatap kericuhan di pelataran gedung. Mobil polisi,
pemadam kebakaran juga ambulance
sudah berjejer rapi disana. Petugas pemadam kebakaran sudah sibuk memadamkan
api yang tampak menjilati bagian atas gedung. Koji dan Rei mendongak bersamaan,
gedung bioskop mewah itu sudah setengah dilahap api. Perhatian mereka
teralihkan saat petugas paramedis sibuk menolong pengunjung yang menjadi
korban.
"Aku akan mencari
Maya," kata Koji pelan. Rei mengangguk meski dalam hatinya berkecamuk rasa
takut karena melihat kobaran api. Tapi saat Koji setengah berlari untuk masuk, seorang
petugas menghalanginya.
"Anda tidak boleh masuk
Tuan!" serunya dengan menahan tubuh Koji yang memaksa masuk.
"Temanku masih di dalam! Aku
ingin menyelamatkannya!" teriak Koji.
Petugas itu menggeleng keras dan
mendorong Koji kuat untuk menjauh dari gedung. Beberapa polisi tengah membentuk
barikade di sekitar gedung untuk mengamankan jalur penyelamatan.
"Kami yang akan
menyelematkannya! Anda tunggu saja disini!" perintah petugas itu dengan
suara keras.
Koji terpaku di tempatnya begitu
petugas itu melepaskannya. Dia tahu tidak ada gunanya dia melawan.
Rei menghampirinya lalu mengusap
lembut lengan kekasihnya, "Koji," lirihnya. Keduanya terdiam.
"Kalian berdua, menjauhlah
dari sana!"
Koji dan Rei tersentak oleh
teriakan salah seorang petugas polisi lain. Wajahnya tampak kusut seraya
mengarahkan beberapa pengunjung yang selamat untuk segera menjauh dari lokasi
kebakaran. Koji dengan langkah berat membimbing Rei menjauh.
"Koji, Maya-,"
"Sstt!" Koji menggeleng
lalu mempercepat langkahnya. Salah seorang petugas paramedis menghampiri
keduanya lalu menanyakan keadaan mereka. Koji mengatakan dirinya dan Rei
baik-baik saja dan petugas itu meninggalkan mereka. Sekarang, Koji dan Rei
berdiri di sebelah mobil ambulance,
menatap gedung dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Maya," lirih Rei
dengan suara serak dan tanpa bisa ditahan air matanya jatuh.
Koji juga tidak tahu harus bagaimana.
Dia hanya bisa memeluk Rei yang kini menangis semakin keras di bahunya.
"Tuan Masumi dan pengawalnya
pasti menyelamatkan Maya," kata Koji kemudian. Ya, dia berdoa dan berharap
semuanya selamat.
Aku
tidak membayangkan akan separah ini,
kata Koji dalam hati.
***
Ledakan
tiba-tiba terjadi di studio delapan di gedung bioskop Daito hingga menyebabkan
kebakaran. Petugas pemadam kebakaran tengah berusaha memadamkan api sementara
petugas polisi dan paramedis berusaha menyelamatkan para pengunjung yang
menjadi korban. Hingga saat ini sudah tercatat tujuh puluh tiga orang yang
terluka. Petugas mengalami kesulitan menyelamatkan pengunjung yang terjebak di
lantai tiga yang menjadi sumber ledakan karena lantai itu sudah hampir terbakar
seluruhnya.
Baru saja kami melihat Eisuke Hayami datang bersama kepala polisi. Sepertinya dia datang bukan hanya sebagai pemilik gedung tapi juga karena putra dan menantunya, Masumi Hayami juga istrinya Maya Hayami masih belum ditemukan dan diduga masih terjebak di lantai tiga. Seperti yang kita ketahui, hari ini adalah premier film Aishiteru yang dibintangi oleh Maya Hayami juga-.
Baru saja kami melihat Eisuke Hayami datang bersama kepala polisi. Sepertinya dia datang bukan hanya sebagai pemilik gedung tapi juga karena putra dan menantunya, Masumi Hayami juga istrinya Maya Hayami masih belum ditemukan dan diduga masih terjebak di lantai tiga. Seperti yang kita ketahui, hari ini adalah premier film Aishiteru yang dibintangi oleh Maya Hayami juga-.
Senyum merekah di wajah Shiori. Matanya menikmati layar televisi besar di hadapannya meski telinganya tak lagi menyimat perkataan presenter berita. Gedung Bioskop Daito yang terbakar, presenter head line news yang tampak bersemangat juga sekilas gambar Eisuke yang tampak panik tertangkap kamera. Shiori terbahak. Semua itu terasa sangat menghibur baginya.
"Pertunjukan yang
bagus," katanya yang kemudian bertepuk tangan sambil berdiri, standing ovation.
Takigawa yang berdiri di
belakangnya terdiam dengan hati sedih. Dia yakin Nyonya muda kesayangannya itu
tak lagi waras.
"Bibi lihat? Kakek sudah
memberikan kado terbaiknya untukku," kekeh Shiori senang. Takigawa hanya
bisa menunduk kaku.
"Kenapa Bi? Bibi kasihan
dengan mereka?" Shiori terbahak lagi, "Aku berharap mereka habis
menjadi abu," tawa Shiori makin keras.
Tanpa disadari Shiori, kedua
orang tuanya berdiri di ambang pintu kamar. Sang Ayah menatapnya geram seraya
mengepalkan tangan dengan satu tangan memeluk sang ibu yang kini tengah
terisak. Putriku benar-benar sudah gila,
begitu pikirnya.
"Ayah, apa kau yakin akan
melakukannya?" tanya sang ibu.
Ayah Shiori mengangguk,
"Meski terlambat tapi aku harap dia bisa sembuh," jawabnya. Ya, dalam
hati sang ayah begitu menyesal. Dia tidak tahu bagaimana nasib Masumi juga Maya
karena ulah putri dan ayahnya itu tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Sekarang dia hanya ingin putrinya sembuh.
Ayah Shiori menoleh pada pria
yang berdiri di sebelahnya bersama dua orang perawat di belakangnya,
"Dokter, silakan bawa putriku," katanya.
Pria paruh baya yang dipanggil
dokter itu mengangguk lalu masuk ke dalam kamar bersama dua orang perawatnya.
Ayah Shiori mengeratkan mata melihat putrinya memberontak dan memecahkan
beberapa barang dikamar. Dia hanya bisa diam seraya memeluk sang istri yang
makin terisak.
"AKU TIDAK GILA!!"
raung Shiori. Takigawa ikut menangis, "AYAH APA YANG KAU LAKUKAN?!"
teriak Shiori lagi.
"Ayah-," lirih ibu
Shiori dengan suara bergetar.
"Demi Shiori Bu, demi
Shiori," jawab sang ayah sama lirihnya.
Kedua orang tua itu menahan sakit
ketika Shiori terus memberontak dalam dekapan dokter. Tak lama kemudian Shiori
jatuh lemas tak sadarkan diri setelah seorang perawat berhasil menyuntikkan obat
penenang ke lengan kanannya.
"Ini yang terbaik untukmu
sayang," lirih sang ayah yang akhirnya menangis juga.
Sementara itu di ruang kerja besar
yang tak jauh dari kamar Shiori, Tuan Besar Takamiya mengerutkan kening dengan
tatapan tajam pada Wada, anak buahnya. Wajah Wada penuh lebam biru dan lengan
kanannya terikat kain putih yang sudah berubah warna menjadi merah karena
darah. Dia tahu kepala pengawalnya itu tertembak.
"Sial! Apa sebenarnya
rencana Eisuke!" rutuk Tuan Besar Takamiya dengan nada tinggi. Dia sengaja
mengutus Wada dan dua anak buahnya untuk memata-matai Maya tapi ternyata
dirinya menjadi seperti ikan yang memakan umpan.
Wada dengan wajah menyesal
membungkuk hormat pada sang tuan, "Maaf Tuan, saya yang lengah hingga
jatuh dalam jebakan mereka."
Tuan Besar Takamiya menahan geram
hingga giginya bergemeletuk kasar, "Siapa yang kau hadapi?"
"Masato, pengawal pribadi
Maya dan Wakil Direktur Hijiri yang membuat saya terjebak di sana," jawab
Wada.
"Sial!" lagi-lagi sang
Tuan Besar mengumpat.
"Eisuke benar-benar menguji
kesabaranku! Tikus busuk itu ternyata lebih licik dari ular!"
Kemarahan Tuan Besar Takamiya berhenti begitu dia mendengar sedikit keributan di luar ruang kerjanya.
Kemarahan Tuan Besar Takamiya berhenti begitu dia mendengar sedikit keributan di luar ruang kerjanya.
"Ada apa di luar?"
tanya Tuan Besar Takamiya, masih dengan nada kesal.
Wada menatap sang tuan sebelum
kembali menundukkan kepala, "Tuan-," jawabnya ragu.
"Ada apa?" desak Tuan
Besar Takamiya.
"Tuan membawa Nyonya Shiori
ke rumah sakit jiwa," jawab Wada.
Braakk!! "Sialan!"
***
Eisuke terpaku di sebelah kepala
polisi yang masih sibuk memberikan instruksi kepada anak buahnya bersama dengan
kepala petugas pemadam kebakaran. Suasana masih ricuh dan Mizuki yang sejak tadi
juga mendampingi Eisuke bersama dengan Asa hanya bisa diam. Gedung megah
dihadapan mereka sudah hangus karena api yang tak kunjung padam. Eisuke merasa
tidak tenang karena Masumi juga Maya belum ditemukan. Suasana masih kacau dan
para petugas masih sibuk menyelamatkan pengunjung yang terjebak di lantai atas.
"Tuan Besar," Asa
mencoba menenangkan Eisuke saat melihat tangannya yang mengerat di atas kursi
roda, "mereka pasti selamat," kata Asa tenang.
Eisuke hanya berdecih kesal.
Semua keluar dari rencananya. Astaga! Dalam hati Eisuke tidak berhenti merutuki
dirinya sendiri sejak tadi. Salahnya! Semua salahnya! Begitu kata batinnya
terus menerus. Andai dia lebih hati-hati maka semua tidak akan meleset seperti
ini. Kondisi Maya yang tengah hamil membuatnya semakin kacau.
"Mizuki, apa kau sudah
mendapat kabar dari Hijiri?" tanya Eisuke.
"Belum Tuan Besar, Masato
dan Midori juga belum terlihat sama sekali," jawab Mizuki.
"Bodoh! Kemana mereka semua
di saat seperti ini," desis Eisuke geram.
Kepala petugas hanya bisa
menghela napas melihat kegeraman Eisuke. Diapun memerintahkan anak buahnya
untuk kembali memeriksa setiap lantai dan fokus mencari Masumi juga Maya.
"Kami kesulitan untuk
memeriksa daerah sekitar studio 8 karena api semakin besar di sana. Kami takut
kalau sampai ada orang yang masih terjebak, mengingat masih ada toilet dan dua
studio di sisi barat."
Jantung Eisuke berdegub kencang
mendengar kalimat dari salah satu petugas yang sedang melapor pada Kepala
petugas pemadam kebakaran. Mungkinkah
Masumi atau Maya ada di sana? Batin Eisuke gusar. “Cepat periksa!” seru
Eisuke yang langsung mendapat perhatian penuh dari Kepala Petugas Pemadam
kebakaran. Belum sempat instruksi dilontarkan, salah seorang petugas lain
tampak tergopoh menghampiri mereka.
“Dua tim kembali ke lantai tiga
untuk memeriksa gedung di sisi barat dan baru saja saya mendapat laporan kalau
ada beberapa orang yang terjebak di toilet lantai tiga. Mereka berhasil
menyelamatkannya,” lapor petugas itu.
Eisuke semakin gelisah begitu
mendengarnya, namun belum sempat Eisuke membuka mulut untuk berbicara dengan
kepala polisi dan kepala petugas pemadam kebakaran, sebuah teriakan lantang
menggema di depan gedung dan meredam sedikit kebisingan karena sempat membuat
semua orang terpaku.
Dua petugas pemadam kebakaran
keluar bersama dengan Hijiri, Masato juga Midori. Eisuke hampir ikut berteriak
begitu melihat dua orang lain yang tampaknya terluka parah. Itu Masumi dan
Maya. Masumi tidak sadar dan ditopang oleh seorang petugas juga Hijiri.
Terlihat ceceran darah di keningnya juga di bagian lengan dan dadanya.
Sementara Masato membopong Maya yang tampak sama mengerikannya dengan Masumi.
Midori sendiri meski masih sadar tapi terlihat kepayahan di papah oleh salah
satu petugas.
Paramedis langsung siaga dan
menyiapkan dua strecher untuk Maya
dan Masumi. Pertolongan pertama langsung dilakukan dan petugas lainnya langsung
menarik Hijiri, Masato juga Midori ke salah satu ambulance untuk diobati.
"Minggir! Itu anakku!"
teriak Eisuke yang akhirnya tak bisa lagi menahan diri. Asa segera mendorong
kursi roda mendekat ke tempat Masumi dan Maya dibaringkan.
Mizuki juga tak dapat menahan
diri saat melihat Hijiri yang juga terluka. Berlari, Mizuki langsung memeluk
Hijiri hingga sang wakil direktur itu sempat terpaku beberapa saat sementara
paramedis yang menanganinya menghela napas lelah dengan drama di depannya. Hei,
dia belum selesai mengobati luka pasiennya.
Midori dan Masato duduk diam dan
hanya saling bertukar pandang lalu bersamaan menoleh ke arah Maya dan Masumi.
Ada penyesalan terbaca di kedua mata mereka. Masato menarik bahu adiknya dan
mendekapnya lembut. Midori menangis. Terdengar suara Eisuke yang berteriak
memanggil nama Masumi juga Maya saat paramedis menyatakan jantung keduanya
berhenti. Sementara tak jauh dari sana Rei berteriak histeris dalam pelukan
Koji.
***
"Tuan Masumi dan Nyonya Maya
dalam keadaan kritis. Kami sedang berusaha semaksimal mungkin untuk
menyelamatkannya. Sekarang hanya ini yang bisa saya sampaikan, terima
kasih," Dokter Hayate mengangguk sopan pada para wartawan yang berkumpul
di lobi rumah sakit lalu pergi meninggalkan mereka bersama dua orang perawat di
belakangnya.
Para wartawan itu berkasak-kusuk
begitu melihat sang dokter menghilang di dalam lift. Kecewa karena mereka tidak
mendapatkan banyak informasi dan dilarang untuk memasuki area rumah sakit lebih
jauh. Empat orang pria berpakaian hitam tampak menjaga lobi. Para wartawan tahu
itu adalah pengawal keluarga Hayami. Alasan yang jelas kenapa mereka tidak bisa
masuk.
Pasangan Hayami paling fenomenal
saat ini kembali menjadi sorotan media ketika berhasil di selamatkan dari
kobaran api dan dilarikan ke rumah sakit dalam keadaan kritis. Yang lebih
mengejutkan lagi adalah luka tembak yang ada di dada dan lengan kanan Masumi.
Semua orang bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Dan kembali,
mereka harus menelan kekecewaan karena ketika mereka tiba di rumah sakit,
penjagaan sudah begitu ketat dengan target mereka yang kabarnya -dari salah
seorang perawat yang keceplosan- dimasukkan kedalam ruangan khusus. Entah
bagaimana keluarga Hayami melobi pihak rumah sakit hingga bisa mengatur semua
prosedur pelarangan masuk itu. Alhasil, para wartawan hanya bisa menunggu.
Sebenarnya selain menunggu Maya
juga Masumi, para wartawan itu juga menunggu hasil otopsi dua mayat yang
ditemukan di toilet. Diduga mereka mati karena masalah pernapasan dan yang
menarik adalah dugaan bahwa mereka adalah pelaku peledakan gadung, penembakan
Masumi, juga penyanderaan Maya, Hijiri, Masato dan Midori. Beruntung para
sandera berhasil diselamatkan dan naasnya justru para pelaku yang mati lebih
dulu.
Polisi menemukan remot bom ada di
saku salah satu mayat itu dan senjata api pada mayat yang lain. Polisi juga
sedang menunggu proses otopsi itu untuk memastikan segala sesuatunya. Jika
peluru yang ada di dalam senjata sama dengan peluru yang sekarang bersarang di dada
dan lengan Masumi maka polisi sudah bisa melihat titik terang dalam kasus ini.
Pasalnya mereka sudah tahu siapa tuan yang empunya dua mayat itu. Lambang
keluarga Takamiya ada di lengan kanan mereka, tanda bahwa mereka adalah inner circle pengawal Takamiya.
Kembali pada dokter Hayate yang
akhirnya sampai di lantai dua puluh, tempat dimana ruang khusus yang disebutkan
tadi berada. Eisuke, Asa, Mizuki, Hijiri bahkan Masato juga Midori tampak lesu
menunggu di depan ruangan berpintu ganda dengan label ruang isolasi. Perhatian
mereka teralihkan ketika suara sepatu yang dikenakan dokter Hayate menggema di lantai.
"Hayate, sebenarnya
bagaimana keadaan mereka? Kau harus pastikan mereka selamat," Eisuke
langsung menyerbu dokter Hayate dengan kekhawatirannya. Gurat lelah terlihat
jelas di wajah tuanya.
"Tenang Tuan Be-,"
"Tenang?!" suara Eisuke
meninggi, "Bagaimana bisa kau memintaku tenang sementara anak dan
menantuku berjuang melawan maut di dalam sana!"
Dokter Hayate terdiam lalu
mengalihkan pandangannya pada Hijiri, membuat Eisuke mengernyit heran. Hijiri
mengangguk hingga sang dokter mengembangkan senyumnya.
"Silakan masuk Tuan
Besar," kata dokter Hayate.
Eisuke semakin heran begitu dua
orang perawat membuka pintu ganda ruang isolasi dan Dokter Hayate
mempersilakannya masuk. Keheranannya semakin berlipat ganda saat Hijiri,
Masato, Midori juga Mizuki mengikutinya. Asa sendiri hanya diam mendorong kursi
rodanya. Mereka melewati lorong pendek lalu sampai pada pintu ganda lainnya.
Mata Eisuke menyipit karena pemandangan yang tersaji di depannya tapi tetap
saja jantungnya berdegub kencang saat melihat dua orang yang masih berbaring di
atas tempat tidur dengan semua alat kedokteran yang menyala di sekeliling
mereka.
"Himekawa?" gumam
Eisuke di tengah kebingungannya melihat pasangan Himekawa berdiri di kedua sisi
ranjang dimana Maya berbaring. Tuan Himekawa dan istrinya Utako mengangguk
seraya memberi salam hormat.
Beberapa detik kemudian
keheningan menelan mereka. Hanya suara mesin monitor jantung yang menjadi musik
pengiring di dalam ruangan itu. Eisuke mengedarkan pandangannya ke seluruh
ruangan. Aneh. Benar-benar aneh. Ruangan ini lebih terlihat seperti kamar hotel
jika dibandingkan dengan ruang isolasi rumah sakit. Selain dua tempat tidur
besar dan alat-alat kedokteran yang entah apa saja namanya itu, ruangan besar
itu dilengkapi dengan sofa mewah, lemari pakaian, lemari es besar bahkan
perangkat home theater lengkap. Keheranan Eisuke disela oleh Hijiri yang
tiba-tiba berdiri di depannya lalu berlutut dan membungkuk hormat.
"Hijiri, ada ap-,"
"Maafkan saya Tuan
Besar," potong Hijiri cepat. Perlahan Hijiri menegakkan tubuhnya lalu
menatap tuan besarnya, "Anda tidak perlu khawatir, semua baik-baik
saja," ucapnya kemudian.
"Apa sudah selesai?"
Eisuke tersentak begitu mendengar
suara dari arah tempat tidur Masumi. Ah, tidak! Tidak! Eisuke yakin itu bukan
suara putranya. Eisuke hampir melompat dari kursi rodanya begitu melihat Masumi
bangun lalu duduk di tempat tidur dan dengan santainya melepas semua alat
kedokteran yang menempel di dada dan tangannya. Garis bawahi, menempel. Ya,
bahkan jarum IV pun hanya menempel di punggung tangannya dengan bantuan
plester.
"Apa ini?" desis Eisuke
geram yang kemudian kembali terkejut karena Maya juga bangun dan melakukan hal
yang sama.
"Maaf jika mengejutkan Anda
Tuan Besar tapi setidaknya rencana ini sukses besar," ucap Maya seraya
tersenyum.
Tidak! Sekali lagi Eisuke
berteriak dalam hati. Itu bukan suara Maya tapi sosok yang di depannya memang
Maya. Eisuke masih diam saat dua orang aneh dalam wujud anak dan menantunya itu
menarik sesuatu dari leher mereka. Mata Eisuke melebar, membelalak karena
terkejut. Kulit itu terlepas ketika di tarik dan emosi segera memenuhi hati
Eisuke kala dua wajah yang ternyata topeng itu terlepas sempurna.
Sekarang yang duduk di atas
ranjang itu bukanlah Maya dan Masumi melainkan gadis berambut pirang panjang
dan suami impornya. Ayumi dan Peter Hamill. Eisuke merasa di tipu
mentah-mentah. Giginya bergemeletuk marah dengan tangan mengerat pada kedua
lengan kursinya. Aura mencekam segera menguar ke sekitarnya. Hijiri diam
sementara yang lain berusaha menelan ludah dengan susah payah. Sandiwara mereka
di depan publik sukses besar tapi kini mereka harus bersiap menerima
konsekuensinya.
"MASUMI BRENGSEK!!"
makian Eisuke menggema di dalam ruangan.
***
"Tuan
Masumi, semuanya sudah siap," kata Masato.
Masumi
mengangguk sementara Peter yang berdiri di sebelahnya tersenyum.
"Bagus,
aku serahkan sisanya padamu," Masumi menekankan dengan tegas kalimat
terakhirnya.
"Tentu
Tuan," Masato mengangguk hormat.
"Peter,
aku berhutang banyak padamu," ucap Masumi.
Peter
terkekeh, "Senang bisa membantu," diapun melihat ke arah Ayumi yang
sedang mengobrol bersama Maya dan sang istri yang mengerti isyaratnya pun langsung
berjalan menghampirinya.
"Sudah
waktunya pertunjukan dimulai," kata Peter begitu Ayumi berdiri
disampingnya.
"Tentu,
aku siap. Aku hanya berharap tidak seorangpun menyadari perbedaan tinggi badanku
dengan Maya," kata Ayumi.
Masumi
tertawa, "Tenang saja, seperti skenario awal kita. Kau akan dibopong oleh
Masato. Percayalah, dalam kondisi seperti itu tidak akan ada yang mengukur
tinggi badanmu."
Mereka
semua tertawa. Astaga, mereka sedang mengatur strategi perang tapi seolah
sedang membicarakan tentang menu sarapan favorit.
"Apa
Anda yakin Tuan Eisuke tidak akan marah dengan perubahan rencana ini?"
tanya Peter kemudian.
Masumi
hanya menyeringai tipis, "Anggap saja hadiah kejutan untuk Ayah."
Masato
menahan senyum geli melihat Masumi. Ya, dia tahu benar alasan Masumi merubah
semua rencana Eisuke tanpa ijin. Selain karena mata-mata Takatsu yang sudah
mengendus rencana Eisuke juga karena Masumi ingin memberikan syok terapi pada
ayahnya yang selama ini sudah mengendalikan semuanya dari balik layar. Masumi
hanya ingin belajar menjadi sutradara yang baik -setelah belajar dari ahlinya
yang tentu saja Tuan Himekawa- dan membuat pertunjukan spektakuler seperti apa
yang sering dilakukan ayahnya.
"Waktu
kita tak banyak, ayo bergegas," kata Peter dan Ayumi mengangguk setuju.
Keduanya pun pergi meninggalkan ruangan pesta.
Sementara
itu Masumi dan Masato berjalan ke arah studio 8, tempat dimana premier Ashiteru
tadi di putar. Seringai Masumi langsung mengembang begitu melihat dua orang
pria tergeletak tak sadarkan diri di lantai studio dan seorang pria lain yang
sedang berlutut di anak tangga dengan ujung senjata menempel di pelipisnya.
"Jadi,
tikusnya sudah masuk perangkap?" kata Masumi seraya berjalan ke arah pria
yang tengah berlutut. Dia melewati begitu saja dua tubuh yang tergolek di
lantai.
"Kita
lepaskan sekarang Tuan?" tanya Hijiri dengan tatapan tak lepas dari pria
tawanannya. Senjatanya siap meletus dalam satu kali tarikan.
"Ya
Hijiri, lepaskan dia," jawab Masumi. "Wada, pastikan kau kembali pada
Tuan Besar dengan selamat," Masumi berdiri tepat di depan pria yang
dipanggilnya Wada itu, "sampaikan salamku padanya dan ini hadiah untuknya
karena sudah membuat istriku hampir celaka." Raut wajah Masumi begitu
datar dan dingin. Dia tahu kalau Wada lah yang meledakkan studio 5. Andai Wada
bukan pion penting dalam permainannya, sudah bisa dipastikan kalau Masumi akan
menghabisinya dengan tangannya sendiri. Kali ini Masumi harus menahan diri demi
lancarnya semua rencana yang sudah susah payah disusunnya.
Wada
berdecih pelan tapi tak menjawab apapun. Tahu kalau nyawanya diujung tanduk dan
dia harus mengatakan semua ini pada Tuan Besar-nya atau Takamiya akan hancur.
Ya meski sebenarnya dalam hati dia juga ragu kalau Takamiya bisa selamat dari
jebakan tikus ini. Wada mengakui kehebatan Masumi. Hanya dengan memberi sedikit
umpan, Masumi berhasil menggiring mangsa ke dalam perangkap.
Dengan
isyarat mata Masumi memerintahkan Hijiri menjauhkan senjatanya dari pelipis
Wada. Patuh, Hijiri menarik tangannya dengan tetap siaga pada kemungkinan
sekecil apapun. Wada mengangkat kepalanya dan mencoba menatap Masumi.
Keterkejutan sempat terlihat di wajahnya saat Masumi mengeluarkan senjata dari
balik jasnya. Seharusnya dia tahu kalau Masumi tidak akan melepaskannya begitu
saja.
Dor!
Dor! "Ugh!" Wada berusaha tetap tegak di atas lututnya saat timah panas
menembus lengan kanannya.
"Pergilah!"
Desis Masumi dengan senjata masih teracung di atas kepala Wada. Sedikit
gemetar, Wada berusaha untuk berdiri lalu tertatih berjalan ke luar studio.
Hijiri dan Masato hanya diam melihat punggung gemetar itu menghilang di balik
pintu.
"Bagaimana
dua tikus lainnya?" tanya Masumi yang otomatis mengalihkan perhatian
Hijiri dan Masato.
"Mereka
sudah mati," jawab Hijiri.
Masumi
mengangguk lalu berbalik untuk melihat dua orang yang ternyata sudah menjadi
mayat.
"Masato,
bereskan mereka," perintah Masumi.
"Baik
Tuan," Masato mengangguk hormat. Hijiri melempar sesuatu pada Masato dan
dengan satu tangan Masato menangkapnya kemudian memasukkan benda itu ke dalam
sakunya.
"Midori
sudah menunggu di toilet sisi barat," kata Hijiri.
Masato
hanya mengangguk lalu melakukan apa yang di perintahkan Masumi tadi. Dia
mengangkat dua mayat itu layaknya karung beras dengan kedua lengannya.
"Kau
makin kuat saja Masato," kata Hijiri seraya tersenyum.
Masato
tertawa, "Anda terlalu memuji Tuan, saya permisi," katanya sopan lalu
berlalu begitu saja dari hadapan Masumi.
"Tunggu
aku di sana," kata Hijiri sebelum Masato menghilang di balik pintu.
Masumi
berjalan menuruni tangga hingga sampai pada sudut depan ruangan, dinding kosong
di sebelah layar super besar. Siapa yang bisa menduga kalau di dalam dinding itu
sudah terpasang seperangkat bom yang siap diledakkan kapan saja.
"Berapa
sisa waktunya?" tanya Masumi.
Hijiri
melihat jam tangannya. "Sepuluh menit lagi," jawabnya.
Masumi
mengangguk, "Aku serahkan padamu. Ingat, pastikan Maya tidak
terluka."
"Tentu
Tuan, pergilah. Saya akan mengantarkan Nyonya sebentar lagi," kata Hijiri.
Masumi
mengulas senyum tipisnya lalu menepuk bahu Hijiri, "Aku berhutang banyak
padamu."
Hijiri
membalas senyum Masumi, "Saya berhutang seluruh hidup saya pada
Anda."
Masumi
tertawa pelan, "Ingatkan aku untuk memberimu cuti panjang dengan paket
bulan madu bersama Mizuki," kata Masumi di tengah tawanya.
Hijiri
hanya tersenyum lalu mengikuti langkah Masumi keluar studio. Keduanya berpisah
di ujung koridor. Masumi menuju pintu belakang di lantai dasar sementara Hijiri
melangkah ke arah ruang pesta. Hijiri kembali melihat jam tangannya, dalam
hitungannya waktu tersisa delapan menit lagi.
Sementara
itu Masato langsung disambut oleh Midori yang sejak tadi sudah menunggu di toilet
di sisi barat lantai tiga.
"Semua
aman?" tanya Midori ketika Masato baru saja masuk lalu melempar dua mayat
yang dibawanya ke lantai.
"Tentu
saja aman. Semua lorong yang kita pakai sudah diamankan oleh anak buah Tuan
Hijiri. Tidak akan ada yang curiga apalagi sampai melihat aksi kita"
Masato mengibaskan tangannya lalu menyeringai pada adiknya.
Midori
juga membalas seringainya lalu membalikkan salah satu tubuh mayat itu dengan
kakinya. Memakai sarung tangan latex seperti apa yang dipakai Masato, Midori
kemudian mengambil senjata dari dalam tasnya dan meletakkannya ke dalam
genggaman tangan si mayat.
"Selesai,"
Midori tersenyum lalu menatap sang kakak yang kini tengah mengeluarkan sesuatu
dari sakunya. Benda yang tadi di lempar oleh Hijiri.
"Lima
menit lagi," kata Midori dan Masato mengangguk setelah melihat jam
tangannya.
"Siap
melihat pertunjukan kembang api?" tanya Masato jahil.
Midori
terkekeh, "Aku suka sekali dengan rencana Tuan Masumi ini."
Dan
Masato justru terbahak, "Aku merasa kasihan pada Tuan Besar karena rencananya
dirusak begitu saja. Bayangkan bagaimana murkanya dia kalau sampai tahu
nanti."
"Kita
akan lihat kemurkaan itu sebentar lagi. Tuan Hijiri hanya mengulur waktu tiga
jam sampai Tuan Masumi dan Nyonya Maya pergi," jawab Midori yang juga
merasa geli.
Keduanya
saling bertukar senyum lalu tertawa bersamaan.
"Ini
pekerjaan paling menyenangkan selama aku ikut Tuan Masumi," kekeh Masato
dan Midori mengangguk setuju. Jarang-jarang Masumi melakukan rencana terbuka
seperti ini.
"Sudah,
sudah, jangan sampai lewat waktunya," kata Midori yang mengusap air di
sudut matanya.
Masato
melihat jam tangannya lalu menatap benda di tangan kirinya.
"Biar
aku yang meledakkannya," pinta Midori kemudian. Masato mengernyit melihat
adiknya yang mengedipkan mata. Diapun hanya tersenyum lalu menyerahkan benda
kecil itu pada Midori. Wajah Midori berbinar senang melihat benda berwarna
hitam dengan tombol merah di bagian tengahnya.
"Satu
menit lagi," kata Masato memperingatkan. Midori mengangguk dengan ibu jari
siaga di atas tombol merah.
"Aku
hitung mundur," kata Masato lagi dan Midori menyeringai dengan semangat.
"Lima,
empat, tiga, du-,"
Duuaaaarrrr!
Dentuman besar menggema hingga gedung bergetar kasar. Tenang saja, bom itu
sudah dirancang dengan daya ledak sedang yang diperhitungkan hanya untuk
menghacurkan studio 8 saja. Efek lain yang diharapkan adalah api yang membakar
gedung dan menarik perhatian banyak orang.
"Terburu-buru,"
protes Masato karena sang adik menekan tombol bahkan sebelum dirinya selesai
menghitung.
"Hanya
satu detik," Midori membela diri. Dia pun berjongkok lalu memasukkan remot
bom itu ke dalam saku mayat lainnya. Sekarang, satu orang membawa senjata api
dan seorang lagi memegang remot picu. Tugas mereka selesai.
"Tinggal
menunggu yang lain," ucap Masato dan Midori mengangguk seraya mengeluarkan
tali panjang dari dalam tasnya.
Dan
kekacauan terjadi di ruang pesta dimana Maya masih berada di sana.
Panik.
Hanya itu yang ada di dalam kepala Maya. Tidak melihat sosok Masumi membuat
kepanikan Maya berlipat ganda. Maya menepis kasar tangan Koji dari
pergelangannya, dia berlari menembus kerumunan tamu yang tengah berlarian untuk
menyelamatkan diri. Maya mengabaikan teriakan Koji yang memanggilnya. Tubuh
mungilnya membuat Maya lebih mudah menyelinap. Baru saja keluar dari ruangan,
Maya tersentak saat tiba-tiba Hijiri mencekalnya.
"Kak
Hijiri?"
"Nyonya,
mari ikut saya," Hijiri segera menarik pergelangan tangan Maya dan
membawanya menjauh dari keramaian pengunjung yang mulai berhamburan keluar
studio.
"Kita
mau kemana? Dimana Masumi?" Maya semakin panik saat Hijiri membawanya ke
lorong sepi, jalannya berlawanan dengan tangga darurat yang seharusnya mereka
pakai untuk keluar dari gedung. Listrik sudah mati akibat ledakan dan tangga
menjadi satu-satunya jalan keluar. Maya tak habis pikir ketika Hijiri justru
membawanya mendekat ke arah sumber ledakan. Api mulai menjalar keluar dari
studio 8. Beruntung tiga studio di samping kanan kiri studio 8 dalam keadaan
kosong –jelasnya, sengaja dikosongkan tanpa sepengetahuan Maya-.
"Kita
tidak bisa lewat tangga umum Nyonya. Disana pasti penuh sesak. Anda tenang
saja, petugas keamanan sudah bersiaga untuk menyelamatkan semua
pengunjung," Hijiri mencoba menenangkan sang Nyonya yang tampak semakin
panik ketika mereka semakin mendekat ke arah kobaran api.
Hijiri
melepas jasnya lalu memakaikannya pada Maya, mendekap tubuh mungil itu dan
membawanya melintas di depan kobaran api. Kaki Maya gemetar dan kehilangan
kekuatannya tepat saat mereka berhasil melewati koridor dengan berlari.
"Nyonya!"
Hijiri terkejut saat Maya yang berada dalam dekapannya merosot ke lantai.
Dengan cepat dia menopang tubuh mungil itu dan mengangkatnya dengan kedua
lengan.
Maya
meringkuk dalam gendongan Hijiri dengan tubuh gemetar. Melihat api yang
berkobar membuat pikiran Maya menerka-nerka dan mengaitkan kejadian ini dengan
peledakan studio 5. Maya berpikir Shiori benar-benar menginginkan kematiannya.
Tidak tahu keberadaan Masumi membuat Maya makin kalut. Apakah suaminya itu
baik-baik saja? Maya tak berani membayangkannya.
Tidak
tega melihat ketakutan Maya membuat Hijiri segera berlari menuju pintu yang ada
di ujung koridor. Pintu dengan label bagian atas bertuliskan staff only itu
terbuka dan tampak tangga kecil di sudut ruangannya. Ya, inilah salah satu
alasan kenapa mereka memilih meledakkan studio 8. Karena studio itu akan
menghalangi orang memasuki tangga darurat khusus dan juga bagian toilet di sisi
barat lantai tiga. Semua rencana ini dibuat agar mereka lebih mudah keluar.
Tangga itu langsung menuju pintu bagian belakang gedung yang biasanya hanya
digunakan oleh petugas maintenance.
Maya
diam menatap sekelilingnya yang gelap. Ya, tanpa penerangan tangga itu gelap
tapi bukan Hijiri namanya kalau dia kesulitan dengan hal remeh seperti itu.
Bahkan dengan menggendong Maya sekalipun, dia sama sekali tidak kesulitan untuk
menuruni setiap anak tangga.
Cahaya
kembali terlihat begitu mereka sampai di ujung tangga. Pintu keluar terbuka dan
Masumi yang jelas terlihat cemas, tengah berdiri di sebelah sedan hitam.
Matanya membulat terkejut melihat Hijiri keluar dengan menggendong seseorang yang
dia yakin sebagai istrinya.
"Apa
yang terjadi?" Masumi berlari dan hatinya mengumpat begitu melihat wajah
Maya yang pucat dengan tubuh gemetar.
"Ma-sumi,"
Maya tampak terkejut melihat suaminya.
"Sstt,
semua akan baik-baik saja sayang," Masumi mengusap lembut wajah istrinya.
Maya hanya bisa diam.
Hijiri
tak bisa berkomentar dengan keadaan Maya, diapun menyerahkan Maya begitu Masumi
mengulurkan kedua lengannya.
"Anda
harus segera pergi. Polisi, petugas pemadam kebakaran juga paramedis akan
sampai dalam sepuluh menit," kata Hijiri.
Masumi
mengangguk, "Bagaimana dengan ambulance dan para stuntman?"
"Semua
sudah siap, ambulance palsu beserta paramedisnya. Dokter Hayate juga sudah siap
di rumah sakit."
Sekali
lagi Masumi mengangguk lalu bergegas menuju sedan yang terparkir. Hijiri
membuka kursi penumpang dan Masumi mendudukkan Maya disana. Memastikannya aman
dengan memasang sabuk pengaman sebelum akhirnya dia berputar dan duduk di balik
kemudi.
"Terima
kasih Hijiri," kata Masumi.
Hijiri
mengangguk, "Hati-hati Tuan."
Maya
yang masih tampak bingung sekaligus syok hanya bisa menganggukkan kepala pada
Hijiri. Percaya kalau suaminya sudah mengatur semuanya dan dia hanya harus
mengikuti semua alurnya.
Maya
kembali heran saat Masumi membawanya menuju Bandara Haneda. Begitu sampai di
tempat parkir, Masumi meraih tas besar di kursi belakang. Memberikan
seperangkat alat penyamaran berupa wig dan pakaian, lengkap dengan paspor yang
membuat keningnya berkerut ketika melihat nama yang tertera di sana.
"Aya
Fujimura?"
Masumi
terkekeh menatap sang istri, "Kita akan pergi bulan madu sayang."
Astaga!
Maya yakin kalau suaminya gila, "Kau gila Masumi," kata Maya
mengungkapkan apa yang ada dipikirannya.
Masumi
makin terbahak seraya memasang wig berwarna coklat di kepalanya, "Aku gila
karenamu sayang."
***
"MATI SAJA KAU
MASUMI!!"
Masumi terbahak mendengar makian
di ujung handphone-nya yang
tergeletak di meja dengan mode loud speaker aktif. Maya yang duduk di
sebelahnya menatap miris pada benda elektronik di atas meja dan membayangkan
wajah orang yang tengah mengumpat di belahan dunia lain itu.
"Maya! Aku tahu kau di sana.
Begitu kalian pulang ingatkan aku untuk menghapus nama Masumi dari surat
wasiatku!"
"I-iya Ayah," kata Maya
dan Masumi semakin terbahak.
"Jangan begitu Ayah, anggap
saja kau memberikan cuti padaku untuk bulan madu," Masumi menimpali dengan
santai. Hatinya kini begitu lega karena semua rencananya berjalan lancar.
Pukul satu siang waktu Paris dan
masih pukul lima pagi di Tokyo. Masumi dan Maya baru saja tiba di sebuah villa
di sudut kota Paris yang adalah milik keluarga Hamill, setelah melewati delapan
belas jam penerbangan dan dua jam perjalanan darat. Mereka akan menghabiskan
sebulan penuh di sana. Bulan madu, begitulah yang dikatakan Masumi pada
istrinya. Ya, itu salah satu tujuannya tapi tujuan lainnya adalah untuk
menjauhkan Maya dari berita yang pastinya sedang mengguncang Jepang saat ini.
Masumi tidak mau membuat Maya stress dengan semua pemberitaan yang pasti akan
dikaitkan dengannya.
Mendengar laporan Hijiri beberapa
saat lalu membuat Masumi senang karena dia sudah mengambil keputusan yang
tepat. Dia tidak mau membayangkan tertekannya Maya dengan semua berita itu.
Polisi menemukan semua bukti peledakan Gedung Bioskop Daito dilakukan oleh anak buah Takamiya. Mau tidak mau perkataan Masumi yang mengatakan kalau ledakan studio 5 sebelumnya adalah kecelakaan langsung terpatahkan. Publik tentu menilai kalau itu juga perbuatan Takamiya. Salahkah? Tidak, tidak, sama sekali tidak salah. Peledakan pertama memanglah perbuatan Takamiya tapi peledakan kedua adalah ide Eisuke. Rencana yang akhirnya dirubah Masumi. Ah, tikus masuk perangkap.
Polisi menemukan semua bukti peledakan Gedung Bioskop Daito dilakukan oleh anak buah Takamiya. Mau tidak mau perkataan Masumi yang mengatakan kalau ledakan studio 5 sebelumnya adalah kecelakaan langsung terpatahkan. Publik tentu menilai kalau itu juga perbuatan Takamiya. Salahkah? Tidak, tidak, sama sekali tidak salah. Peledakan pertama memanglah perbuatan Takamiya tapi peledakan kedua adalah ide Eisuke. Rencana yang akhirnya dirubah Masumi. Ah, tikus masuk perangkap.
Dan target utama dari rencana
Eisuke yang sukses besar adalah hancurnya Takatsu hanya dalam hitungan menit.
Berita peledakan Gedung Bioskop Daito berdampak besar pada aliansi Takatsu.
Para investor langsung meragukan tingkat kewarasan Tuan Besar Takamiya karena
tindakan gilanya. Mereka bisa menebak semua itu karena dendam pribadi antara
keluarga Takamiya dan Hayami. Eisuke benar-benar jenderal besar yang ahli dalam
strategi perang yang bahkan piawai merancang skenario pertunjukan juga
memanfaatkan kelemahan musuh menjadi senjata ampuh. Bahkan Masumi sempat syok
saat mendengar rencana itu pertama kali. Awalnya Masumi masih kurang setuju
tapi saat Tuan Besar Takamiya dengan sengaja meledakkan studio tempat Maya
pemotretan, dia langsung berubah pikiran. Pertemuan terakhirnya dengan Tuan
Tanaka mematangkan semua rencana itu. Sekarang, para investor langsung menarik
saham mereka dan Tanaka corp juga Daito menuai kejayaan.
Berita lainnya yang melegakan
Masumi adalah masuknya Shiori ke rumah sakit jiwa untuk melakukan perawatan
intensif. Masumi cukup merasa bersalah karenanya. Dia berharap dengan hati
tulus untuk kesembuhan Shiori sampai wanita itu menemukan kebahagiaannya
sendiri.
Masumi tersadar dari
perenungannya ketika mendengar ayahnya kembali mengumpat di telepon. Maya
menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menahan kekehannya dengan telapak
tangan.
"Ayah, berhentilah marah,
Maya menertawakanmu," kata Masumi dan mata Maya membulat kesal.
"Masumi!" desis Maya
lalu berteriak ke arah telepon, "Itu tidak benar Ayah," katanya
membela diri.
Dengusan Eisuke terdengar di speaker phone dan Masumi tersenyum melihat istrinya cemberut.
"Kalian berdua memang
mengharapkan aku cepat mati karena serangan jantung," kata Eisuke
kemudian.
"Ayah maafkan kami,"
kata Maya kemudian dengan nada menyesal yang terdengar jelas.
"Ayah, jangan membuat Maya
menangis," Masumi tersenyum di ujung kalimatnya dan langsung dihadiahi
pukulan Maya di lengannya. Maya melotot dan hendak melayangkan protes sebelum
Masumi menempelkan telunjuknya di bibir mungil itu, memintanya diam. Terdengar
helaan napas panjang dari Eisuke yang membuat Maya tertegun.
"Dengar kau Masumi, andai
Maya tidak sedang hamil aku pasti sudah mengulitimu," katanya masih dengan
nada kesal.
Masumi menahan tawanya, "Ini
juga demi kebaikan Maya, Ayah," kata Masumi yang berusaha meredam
kekesalan sang ayah.
"Terserah apa katamu.
Beruntung semua rencana ini berhasil, kalau tidak-,"
"Tidak ada kata gagal dalam
kamusku," potong Masumi cepat dengan nada bangga.
Maya melirik pada suaminya yang
kini tengah menyeringai tipis. Jujur, Maya tidak suka melihat suaminya yang
ini. Eisuke berdecih tapi kemudian memanggil Maya dengan suara yang lebih
lembut.
"Ya Ayah?" Respon Maya
cepat.
"Jaga kesehatanmu juga calon
cucuku. Kabari aku sesering yang kau bisa dan katakan padaku kalau Masumi
memperlakukanmu dengan buruk.
"Hei, sia-,"
"Tentu Ayah," giliran
Maya memotong perkataan Masumi dengan mata membulat, menuai desahan lemah dari
suaminya. "Aku pasti akan menjaga diri. Ayah juga harus menjaga
kesehatan," lanjutnya.
"Hhmm," Eisuke hanya
bergumam menjawabnya, "aku lelah dan ingin istirahat."
"Baik Ayah, selamat
istirahat," jawab Maya lembut dan sambungan telepon terputus.
"Kau keterlaluan
Masumi," protes Maya pada suaminya.
"Apanya?"
"Jangan pura-pura bodoh
dihadapanku."
Masumi terkekeh lalu menarik
istrinya mendekat, mengurungnya kedalam dua lengan kokohnya. "Aku hanya
ingin yang terbaik untukmu sayang," bisik Masumi di sela-sela helaian
rambut istrinya.
"Aku tidak bisa membayangkan
kacaunya Tokyo dan media saat ini," lirih Maya. Memorinya memutar ulang
kebakaran gedung yang dilihatnya kemarin.
"Sstt," Masumi
mengeratkan pelukannya lalu mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala
istrinya, mengusap punggung mungil itu perlahan. "Aku membawamu sejauh ini
agar kau melupakan semua itu," kata Masumi.
"Hanya demi aku?" Lirih
Maya lagi yang kini ikut melingkarkan kedua lengannya di tubuh kekar Masumi,
membalas pelukan sang suami lebih erat.
"Hanya demi kau Maya,"
jawab Masumi, "hari itu, waktu aku melihatmu memikirkan soal rencana
kepergian kita meninggalkan Jepang, ketidak relaanmu meninggalkan semua
sahabatmu, membuatku memikirkan ulang semua rencana Ayah."
Maya mengangkat kepalanya lalu
menatap lekat suaminya.
“Kalau kita ikuti rencana Ayah,
maka nama Masumi dan Maya hanya tinggal sejarah. Kau tidak akan pernah bisa
kembali ke Jepang sebagai Maya dan aku tahu dalam hatimu,” Masumi menunjuk dada
Maya, “kau tidak menginginkan itu. Kau keberatan kalau Maya harus menjadi
protagonis yang mati dan digantikan dengan identitas lain. Sama tapi tak serupa
dan itu akan merubah semua kehidupanmu. Untuk itu aku meminta bantuan Tuan
Himekawa, Ayumi juga Koji hingga kita tidak harus mati,” terang Masumi yang
kini mengusap sisi wajah Maya.
Maya mengerutkan kening, “Aku
masih tidak mengerti. Kenapa Ayah begitu marah dengan semua rencanamu? Bukankah
akhirnya justru lebih baik?”
Masumi menyandarkan tubuhnya
lebih santai ke sofa lalu terbahak seraya mengacak poni Maya, membuat sang
istri semakin bertanya-tanya.
“Aku lupa kalau kau sama sekali
tidak diberitahu bagaimana rencana Ayah membunuh kita berdua,” kata Masumi di
sela tawanya. Maya masih heran, masih tidak mengerti bagian mana yang lucu dari
semua rencana bunuh-membunuh dan hilang-menghilangkan itu.
“Kau tahu sayang, bom yang
sebenarnya disiapkan Ayah untuk dituduhkan kepada Takamiya itu ada di dalam
mobil kita,” kata Masumi kemudian.
“Heh?” pekik Maya terkejut, “Mo-mobil
yang membawaku ke gedung bioskop?” Maya bergidik tanpa sadar dan Masumi mengangguk
seraya terkekeh senang.
“Itu sebabnya kau tidak
diberitahu. Ayah takut kau merusak semua rencana kalau sampai tahu bom itu ada
di sana,” jelas Masumi.
“Astaga,” Maya menggumam tidak
percaya. Dia memang diberitahu kalau dirinya dan Masumi akan dibuat mati dan
dengan identitas lain meninggalkan Jepang lalu tinggal di luar negeri dengan
tenang. Alasan depresi akan membuat Eisuke menyusul setelah memberikan Daito
pada Hijiri. Selanjutnya Daito dan Tanaka yang akan membereskan Takamiya yang
lengah karena euphoria kemenangannya telah berhasil menyingkirkan musuh
cucunya. Tapi Maya sama sekali tidak tahu kalau rencana itu akan membuat Tokyo
gempar dengan ledakan-ledakan gila.
“Jadi Ayah marah karena kau
justru meledakkan gedung? Ayah panik karena mengira itu benar-benar perbuatan
Takamiya dan kita menjadi korbannya?” Maya mencoba menyimpulkan semua kejadian
yang ada. Masih tidak percaya kalau suaminyalah yang menyusun semuanya.
Masumi terkekeh, “Istriku pintar,”
goda Masumi.
Maya menghela napas panjang. Hidupnya
benar-benar seperti drama panggung. Penuh dilemma, kontroversial dan intrik.
“Kau membuat Daito rugi,” Maya
membuang napas kesal. Membayangkan semua kehebohan itu terjadi karenanya
membuat Maya merasa tidak nyaman.
“Hei, sejak kapan Masumi mau
rugi?” kata Masumi dengan seringai tipis di sudut bibirnya.
Maya memiringkan kepala menatap
suaminya, “Kau meledakkan gedung sebesar itu dan setahuku gedung itu baru
selesai direnovasi tahun lalu.”
Masumi tertawa lagi, “Hijiri akan
membereskan semuanya. Gedung itu akan dibangun lagi menjadi tingkat lima,
lengkap dengan departemen store baru dan arena ice skating
terbesar,” Masumi tersenyum lalu mencolek hidung istrinya, “dan kita tidak
akan mengeluarkan uang sepeserpun.”
“Aku masih tidak mengerti,” kata
Maya dengan polosnya dan Masumi tersenyum. Paham kalau istrinya yang super baik
hati itu tidak akan mengerti dengan semua rencana culasnya.
“Daito akan membuat Takatsu
membayarnya, lengkap beserta bunga-bunganya karena sudah membuat istriku yang mungil
ini hampir celaka.”
Maya terhenyak tapi kemudian
berhenti untuk terkejut. Berhenti juga untuk bertanya karena tidak mau mendengar
fakta lainnya yang pasti membuatnya merasa semakin tidak nyaman.
“Kau menyesal sayang?” suara
Masumi melembut saat melihat Maya terdiam dengan pandangan menerawang.
“Eh?”
“Aku bertanya, apa kau menyesal?”
Masumi mengulangi pertanyaannya.
“Menyesal?” Maya justru balik
bertanya.
“Kau menyesal dengan semua
kejadian ini? Menyesal menjadi istriku? Menyesal karena aku su-, mmpph,”
Bibir mungil itu berhasil membuat
Masumi terdiam. Untuk sesaat Masumi tampak terkejut tapi beberapa detik
kemudian, ekspresinya melembut dengan kedua lengan melingkar di pinggul
istrinya, tangan Maya sendiri sudah bersandar di kedua bahu Masumi.
“Aku tidak mau membahasnya lagi,
bolehkah?” bisik Maya begitu dia melepaskan tautan mereka.
Masumi tersenyum lalu mengecup
singkat bibir merah muda yang masih berada beberapa senti di depannya, “Aku
memang tak pernah ingin membahasnya. Kita lupakan semuanya,” ucap Masumi
lembut.
Maya mengangguk dengan senyum
mengembang lebih lebar, “Kita berdua akan memulai semuanya dari awal.”
Masumi mengerutkan kening, “Aku
tidak setuju,” gumamnya dan Maya juga ikut mengerutkan keningnya. “Karena
sekarang kita tidak hanya berdua,” lanjut Masumi seraya mengusap perut istrinya.
Maya menjauhkan wajahnya dari Masumi
lalu tertawa lepas. Dia hampir saja lupa. Lupa kalau saat ini ada buah cinta
mereka di dalam perutnya. Masumi kembali merengkuh Maya ke dalam pelukannya
lalu membisikkan sesuatu.
“Aku mencintaimu.”
Maya membenamkan wajahnya di dada
Masumi seraya tersenyum, “Aku juga mencintaimu.”
Menarik dirinya, Masumi turun
dari sofa lalu merengkuh Maya dengan kedua lengannya. Membawa sang istri
memasuki sebuah kamar besar dengan tempat tidur mewah di tengah ruangan. Maya sendiri
tidak protes dengan semua itu.
“Kita butuh tidur,” kata Masumi
seraya membaringkan Maya lalu menarik selimut menutupi tubuh mungilnya.
Maya justru tertawa, “Jangan pikir
aku tidak tahu apa maksud dan tujuanmu menyuruhku tidur siang ini.”
Masumi terkekeh, “Jangan merusak
rencana bulan madu kita dengan ironimu Maya,” ucap Masumi yang kemudian
membaringkan tubuhnya di sebelah Maya. Maya sendiri langsung memiringkan tubuhnya
dan menyandarkan kepalanya di bahu sang suami.
“Kau manja Nyonya,” Masumi
mengusap kepala istrinya dan memberikan sebuah kecupan sayang di kening.
“Hhhmm, manjakan aku Tuan Hayami,”
gumam Maya dengan mata terpejam. Dia memang mengantuk.
Masumi terkekeh lalu mendekap
Maya makin erat, “Aku mencintaimu sayang,” lirih Masumi dan Maya hanya
tersenyum dengan mata yang tetap terpejam.
Matahari masih bersinar terang di
luar sana tapi sepasang suami istri itu sudah tenggelam ke alam mimpi. Jauh dalam
hati, mereka berharap kalau saat bangun nanti, semua mimpi buruk kemarin
terlupakan. Menyisakan hari baru yang akan mereka lalui bersama. Menanti buah
hati mereka terlahir ke dunia. Ah Tuhan, ijinkan mereka untuk bahagia …
selamanya.
***
Jangan pernah mencoba untuk
mempermainkan hati karena benci dan cinta terlalu mudah untuk bertukar tempat. Tapi
percayalah, cinta suci tidak akan pernah mati.
With love,
Agnes Kristi
***
>>End<<
AN : Terima kasih untuk semuanya yang sudah mengikuti FF ini sampai selesai. Sabar menunggu apdet tiap bulan. Terima kasih sebanyak-banyaknya juga peluk dan cium buat temen2 yang udah mau baik hati kasih komen, review, masukan, semangat dan semua-muanya deh. Selamat menikmati ending panjang ini dan sampai jumpa di FF lainnya. *bow* arigatoooo
26 Comments
Endinggggg.....yang sayang aku tinggalin komen yak XD
ReplyDeleteWuihh.....baca endingnya brasa nano nano, tegang, romantis, seruuuu bgt deh. Mbak agnes top bgt pokoknya. Btw gda season 2 nya kah, smp anak MM lahir mgkn?
ReplyDeleteKoq aq nangis ya pas bagian maya hamil
ReplyDeleteMksh ya mba agnes love youb
Finally happy ending....syukaaaa sekaliii
ReplyDeleteYa ampuun td sempet panik, kirain mrk kritis beneran.
ReplyDeleteGa kerasa udah ending ajah, bahagianya.
Makasih ya mbak Agneeees, muuuach.
Ditunggu karya lainnya.
Many thanks as always!
ReplyDeleteIni Garasu no Kamen ber-genre action. Sambil baca sambil bayangin film 'Assassin' hehehe (^_____^)
Good job!
Thank you buat happy ending nya...
ReplyDelete😘😘😘
Keliatan bgt cerita nya di kebut... Hahahaaa... Love u buat kerja kerassnya menyelesaikan cerita ini sis....
Tp ada sedikit penasaran sm kisah hijiri n mizukinya lagi... 😂😂😂
(Ini contoh pembaca yg krg ajar kynya)
Tetep nagih.. 😂😂😂
Thnx sist..akhirnya happy ending mg2 crt aslinya jg begitu 😊 kalo pure love udh tamat ada crt baru lg dong ya..hahahha ngarep bgt deh
ReplyDeleteMakasih mb Agnes cantik selalu memberikan fftk yg keren2 kayak gini, semoga selalu ada cerita baru lagi 😝Tetap semangat ya mb Agnes 😄😄👏👏
ReplyDeleteThanks....berat..waktu tahu sdh kelar langsung cuss kemari,disambi momong bocil,bacanya sepenggal2 akhirnya kelar pas bocil dah lelap..daaaan..syuuukaaa banget!!! Happy ending...waktu ledakan blm ketebak,dah nano2 aja rasanya gara2 bayangin MM kenapa2 padahal hamil muda😭,eh tp waktu masuk ke ruang perawatan pribadi sdh curiga pasti ada sesuatu..cm ga bayangin kalo ada pergantian pemeran hehhee,saluuuut buat mba agnes yg super.....baik.aku idem spt komen atasku ah..berharap ada season 2 dan yg bercampur kelanjutan hub hijiri-miyuki..kiss..kiss...
ReplyDeleteT..O..P..bgt mba..👏😍 makasih buat ceritanya
ReplyDeleteAkhirnya berhasil nongkrong di blogmu c
ReplyDeleteFF Kali ini sangat menarik menurut ku
Kamu berhasil meramu romantic + thriller dengan baik
Buat penyuka kisah petualangan dan investigation kayak aku sebenere ending nya udah kebaca tapi kamu berhasil menarik pembaca karena alurnya kamu ulik dengan baik, menimbulkan rasa penasaran.
Kalo dibilang akhirnya kecepetan ato maksa sebenere ga juga sih
Itu karena kamu membuka semua kartu di ending
Jadi pembaca merasa ngos-ngosan, kesan nya dipaksakan
Tapi kalo udah klimaks ya emank harus diakhiri biar pembaca ga bosan
Kesimpulannya
I think this is your best
But I believe next FFTK you can make it better than the best
Ganbatte kudasai
Eh nambah lagi ya
DeleteBlog mu cantik nih
Murasaki no bara nya eye-catching banget
I love this blog 😍❤
Hahaaa....aku penyuka drama action soalnya, model2 filmnya Nicolas Cage, jadi cerita buatanku pasti ga jauh2 dari model beginian XD
DeleteThanks buat review-nya Ce...emang kalo semua kunci jawaban di taruh di satu tempat kesannya jadi kaya syok terapi ya. begitu tahu rahasianya ya langsung kelar cerita. wkwkkwwk
Suka tampilan baru blogku ya, senengnyaaaa...sayang ditolak terus google adsense wkkwkwwkwk
see u in next story :D
Maksih certanya sngat menghibur..dtggu scuelnya...
ReplyDeleteAhhh...sampei nahan nafas dan narik nafas bacanya...keren abiss..tks sist agnes..ga sabar nunggu ff berikutnya darimu..
ReplyDeletebagus keren n bikin deg deg serrrr.... ditunggu extra part n cerita yang lainnya sist agnes....
ReplyDeletehadeuh... knp ada yg ngupas bawang disini... hiks
ReplyDeleteBlm ada cerita yg baru lagi ya?? ��
ReplyDeleteTruly beautifull.. suka bgt.. smg ada cerita pendek pas anaknya Maya lahir please 🤗🤗🤗
ReplyDeleteHi, daku baru liat2.. cuma mau nanya ini beneran cerita aslinya topeng kaca kah?
ReplyDeleteSalam kenal. Ini blog fanfiction topeng kaca, yang artinya semua cerita disini adalah fiksi penggemar karangan saya hehheheee
Deletedaripada nunggu komik aslinya jamuran, bolehlah baca2 ini buat pengobat rindu, hahaha
arigato dah mampir
Salam kenal mbk agnes yg cantik....
ReplyDeleteKapan nich update an MM terbarunya
Syukaaaa bget ma ceritanya mbk agnea...bikin baper pake bget...
Lov u mbk agness
Semangat terus...ditunggu yg terbaru
Seandainya ending komiknya beneran kayak gini,andai oh andai
ReplyDeleteSuka sekali....makasih buat fanficnya ya mbak agnes
ReplyDeleteDaripada nungguin glass mask yg entah kpn akan dilanjutin lagi ceritanta, mending baca fanficnya aja😀
ReplyDelete