Incredible Love - Chapter 4 End

Disclaimer : JK Rowling
Fanfiction by Agnes Kristi
For my beloved Daddy Sev, always love u
Summary : Sesederhana apapun cinta, dia selalu bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.

*********************************************************************************

Miss you ... always


Harry mengerjap perlahan saat merasa begitu silau dengan cahaya berlebih yang menyapa penglihatannya, erangan lirih juga terdengar begitu denyut di kepala Harry kembali berulah.

"Anda sudah sadar Tuan Muda."

Suara sarat kecemasan itu membuat Harry mefokuskan pandangannya.

"Uncle, apa yang terjadi?" tanyanya dengan suara parau.

"Anda tidak ingat?" Dobby tampak cemas dengan reaksi Harry.

Sejenak Harry termenung, memutar kembali memori di dalam kepalanya. Desahan panjang lolos dari bibirnya ketika dia berhasil mengingat apa yang sudah terjadi.

"Dimana Ron?" tanya Harry kemudian dengan satu lengan menutup matanya. Harry merasakan pelipisnya kembali berdenyut saat pertengkarannya dengan Hermione terus berulang di dalam kepalanya.

"Mr. Weasley sudah pulang. Dia berpesan akan menghubungi anda jika sudah lebih tenang," jelas Dobby.

Harry berusaha bangun dan Dobby dengan hati-hati membantunya. Melihat ke luar jendela, lagi-lagi Harry mendesah ketika menyadari hujan belum juga reda.

"Apa-," Harry menatap lekat Dobby yang berdiri di sisinya dengan wajah cemas, "ada kabar dari Dad atau-," lagi-lagi Harry menjeda kalimatnya, "Hermione?"

Dobby menggeleng, "Tidak tuan muda."

Kembali melihat ke luar jendela, mau tak mau Harry merasa cemas. Salahnyalah jika sampai terjadi sesuatu pada Hermione. Dalam hati Harry merutuki sikap bodohnya yang lepas kendali. Bagaimana bisa dia berkata seperti itu pada sahabatnya sendiri. Perkataan Severus sebelum pergi terus teringang di telinganya dan Harry membenarkannya dalam diam juga sesal.

Harry memang kecewa tapi dia tak berhak berkata seperti itu pada Hermione. Sebenarnya jika dipikir lebih dalam lagi, dirinya justru terlihat begitu egois. Memang apa salahnya kalau Severus sungguh-sungguh mencintai Hermione? Apa dia malu jika ayahnya menjalin hubungan dengan sahabatnya sendiri? Gadis yang usianya terpaut dua puluh tahun. Sebuah kalimat tiba-tiba melintas di dalam kepalanya, cinta itu buta.

"Tuan muda, anda baik-baik saja?" Dobby merasa begitu cemas melihat Harry yang hanya terpaku menatap hujan melalui jendela kamarnya.

Pertanyaan itu otomatis menghentikan renungan panjang Harry. Diapun menatap sang kepala pelayan dengan lesu. "Aku egois kan uncle?" tanyanya kemudian.

Dobby sedikit menaikkan kedua sudut bibirnya hingga sebuah senyum tipis terpatri di wajahnya, "Anda hanya terlalu menyayangi Tuan," ucapnya lembut.

Harry menggeleng, "Tidak uncle, aku tidak berpikir tentang bagaimana perasaan Daddy. Aku justru memikirkan diriku sendiri," jawabnya dengan kepala tertunduk.

Dobby mengerti pemikiran tuan mudanya, hanya saja terlalu sadis jika saat ini dia ikut menghakimi Harry. Dia sendiri yakin Harry sudah menyadari kesalahannya, pemikiran anak muda yang terbawa emosi memang tidak pernah bisa didebat.

"Mulai saat ini semuanya akan lebih baik, bukan?"

Pertanyaan Dobby sukses membuat Harry kembali mengangkat kepalanya. Sesaat kilau keraguan mendominasi bola mata hijau Harry sebelum akhirnya berganti dengan binar kelegaan.

"Ya Uncle, semuanya akan lebih baik," dan Harry menyunggingkan seulas senyum tipis.

Tahu tuan mudanya sudah tenang, Dobby pun undur diri dan meninggalkan Harry sendiri. Senyumnya kembali mengembang kala Harry mengucapkan kata terima kasih.

***
Lama termenung menatap hujan dari atas tempat tidur membuat ketenangan Harry menguap secara perlahan. Dua jam terlewati dan sudah berkali-kali Harry mencoba menghubungi ayahnya, hasilnya nihil. Tampaknya Severus sedang dalam mode 'tak ingin bicara' sampai-sampai mengabaikan panggilan dari putra kesayangannya.

Jika memang ayahnya marah, Harry akan terima. Masalahnya, bukan itu yang mengganggu pikiran Harry saat ini. Dia takut terjadi sesuatu pada ayahnya di tengah derasnya hujan yang tak kunjung reda itu. Hermione sendiri sama sekali tidak bisa dihubungi karena handphonenya tidak aktif dan hal itu semakin membuat kecemasan Harry berlipat ganda.

Turun dari tempat tidur, Harry berjalan ke luar kamar berniat untuk menemui Dobby. Siapa tahu kepala rumah tangga yang sudah seperti pamannya itu sudah mendapat kabar terbaru. Sayang kekecewaan harus di telan Harry ketika sang paman justru menggeleng atas pertanyaan yang dilontarkannya. Keduanya kini tengah berada di ruang kerja Severus karena tadi Dobby sedang membersihkan beberapa buku milik Severus.

Duduk di meja kerja ayahnya, Harry memijat perlahan pelipis kirinya yang kembali berdenyut tak nyaman.

"Anda sebaiknya istirahat di kamar Tuan Muda," saran Dobby ketika melihat Harry. Sebenarnya dalam hati, Dobby juga merasa cemas akan keadaan tuannya di luar sana.

Harry hanya menggeleng, pandangannya beredar ke seluruh ruangan kerja lalu menarik napas panjang. Dia sedang memikirkan kemungkinan dimana ayahnya berada sekarang, sebelum akhirnya pemikiran itu terhenti karena manik hijaunya menangkap sosok dirinya yang masih berusia lima tahun tertawa senang dalam pelukan sang ayah.

Rasa bersalah kembali menohoknya. Betapa egoisnya dia jika sampai tidak merestui hubungan Severus dengan Hermione. Sekian tahun lamanya sang ayah melajang hanya demi merawat dirinya, mencurahkan kasih sayang penuh padanya dan kini .... Harry mengerang frustasi karenanya. Bahkan denyut di kepalanya dan nyeri di sepanjang bahu dan lengan kanannya yang tergantung tak lagi dirasakannya.

"Dad, maaf," lirihnya dalam satu desahan napas. Tiba-tiba manik hijaunya melihat sebuah agenda tebal di atas meja. Entah kenapa dia merasa tertarik dengan agenda yang dia tahu selalu dibawa-bawa oleh ayahnya itu. Dan rasa penasarannya sukses membuat Harry meraih agenda bersampul biru gelap di atas meja. Sejenak dia terkejut ketika melihat foto dirinya saat masih bayi dalam gendongan sang ibu. Selanjutnya hanya rangkaian tulisan yang dilihatnya.

Keterkejutan Harry kini makin berlipat ganda ketika dia membaca setiap kalimat yang ditorehkan sang ayah. "Ini ...," bibir Harry bergetar.

"Itu adalah perasaan Tuan," celetuk Dobby tiba-tiba. Harry langsung mengangkat wajahnya dan menatap penuh tanya pada pengasuhnya.

"Saya memang belum pernah membaca isinya tapi saya yakin Tuan mencurahkan semua perasaannya di buku itu. Bahkan kalau tidak salah-," Dobby tampak ragu melanjutkan perkataannya.

"Apa Uncle?" Harry semakin mengernyit ketika Dobby menggantung kalimatnya.

"Kalau tidak salah agenda itu adalah hadiah ulang tahun dari Miss Evans untuk Tuan," jawab Dobby kemudian.

Harry terhenyak. Miss Evans? Itu adalah nama keluarga Mom sebelum menikah. Berarti benar kalau Daddy itu .... Harry langsung menghentikan pemikiran liar di dalam kepalanya. Diapun kembali fokus pada agenda di atas pangkuannya.

Lils, aku turut bahagia hari ini. Meski rasanya aku ingin meninju wajah James yang menyebalkan. Sayangnya cintaku padamu membuatku tidak bisa melakukannya. Aku hanya bisa mendoakan kebahagianmu. Melihatmu bersanding di altar bersama James dalam kebahagiaan membuatku juga merasa bahagia. Love you Lils, always.

Harry mengusap lembut tulisan itu dengan ujung jemarinya. Dia tahu kalau itu adalah ungkapan perasaan ayahnya pada hari pernikahan ayah dan ibu kandungnya. Tulisan itu kembali membuat Harry tertohok. Ternyata selama ini ayahnya menyimpan semua luka itu sendiri. Dia bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan ayahnya yang sebenarnya karena sudah membesarkan anak dari pria yang merebut cintanya.

"Astaga, apa yang sudah aku lakukan?" Harry mengerang frustasi atas kenyataan yang terpapar di depannya. Seketika itu juga terbesit di dalam hatinya untuk membuka lembaran belakang agenda, membaca setiap kata yang menjadi isi hati ayahnya.

Lils, pagi tadi sungguh konyol. Ban mobil Harry kempes dan dia berangkat denganku. Mione dengan bodohnya meninggalkan DVD kesayangannya di mobilku. Jantungku hampir lepas saat melihat kerut tanya di wajah Harry. Sepertinya aku harus lebih berhati-hati. Mungkin benar katamu dulu Lils kalau aku adalah pengecut. Dulu aku memilih untuk diam dalam mencintaimu dan merelakanmu bersama James. Kali ini juga aku memilih diam saat mencintai Mione karena tidak mau menyakiti Harry. Apa dia malu mempunyai ayah sepertiku Lils? Aku sedih jika memikirkan hal itu. Hatiku sakit kalau sampai Harry membenciku karena aku mencintai sahabatnya. Aku pengecut karena tidak berani untuk terluka. Apa yang harus aku lakukan Lils?

Harry ingat dengan jelas kejadian pagi itu. Hari dimana dia melihat ayahnya dan Hermione di tempat parkir. Dia kembali merutuki keegoisannya. Harry pun kembali membaca tulisan Severus.

Lils, aku merindukannya. Merindukannya sebesar aku merindukanmu. Andai malam ini aku bersamanya.

Malam Lils, aku panik hari ini. Harry cedera dan aku bersumpah akan mendepak Hagrid dari Universitas dan membakar jenggot lebatnya itu kalau sampai terjadi sesuatu yang fatal pada putraku. Beruntung Mione menenangkanku dan beruntung juga Harry sudah ditangani dengan baik sehingga aku mengurungkan niat untuk menghajar Hagrid. Ini adalah pertandingan terakhir untuk Harry. Tidak akan ada lagi permainan terkutuk yang selalu saja membuat jantungku hampir lepas dari tempatnya. Aku jadi merasa semakin konyol saat kemarahanku seharian ini tiba-tiba lenyap karena sentuhan bibirnya. Ah, untuk yang satu itu aku tidak bisa menceritakannya. God night Lils, have a nice dream my love.

Harry menutup dengan kasar agenda Severus dan melemparnya begitu saja ke atas meja. Tak menghiraukan teriakan Dobby, Harry berlari ke garasi setelah mengambil kunci mobil. Hanya satu yang ada dalam pikirannya saat ini, bertemu ayahnya, Severus.

***
Derasnya hujan membuat Severus mengumpat sepanjang perjalanan. Selama hidupnya dia belum pernah sepanik ini. Bahkan, saat dulu dirinya mendengar berita kecelakaan Lily, Severus masih bisa mengemudi dengan pikiran tenang. Mobil berdecit karena rem yang diinjak mendadak ketika lampu lalu lintas tiba-tiba berubah merah.

"Sial!" Sepertinya Severus belum puas melampiaskan emosinya. Melihat ke arah langit melalui kaca jendela, hatinya diliputi kekhawatiran melihat hujan yang masih saja turun dengan deras.

"Mione, kau dimana?" Gumam Severus. Pikirannya terus melayang. Sudah dua jam lamanya Severus berkeliling kota mencari kekasihnya tapi nihil. Awalnya Severus datang ke apartemen Hermione, berharap kekasihnya itu pulang setelah berselisih paham dengan Harry. Sayangnya harapan Severus tak terkabul, apartemen Hermione kosong. Dia masuk dengan kunci duplikat miliknya dan memeriksa setiap ruangan tapi tak ada tanda kalau kekasihnya itu pulang.

Rasa khawatirnya berubah menjadi rasa takut tingkat tinggi ketika handphone Hermione tidak bisa dihubungi, Severus hampir saja membanting handphone-nya. Hujan deras yang tak kunjung reda semakin memperparah kekhawatiran dan ketakutannya. Hal itu bahkan membuatnya mengabaikan telepon Harry. Jujur, dia juga merasa kesal dengan putra kesayangannya itu. Andai Harry bisa mengendalikan emosinya, tentu hal seperti ini tidak akan terjadi.

Lampu berubah hijau tapi Severus tidak menyadarinya, sampai akhirnya suara klakson yang memekakkan telinga membuatnya tersentak. Severus kembali memacu mobilnya, menyusuri jalanan kota. Tiga puluh menit kembali berlalu dan Severus menepikan mobilnya di depan sebuah cafe.
"Lils, apa yang harus aku lakukan sekarang?" erangnya putus asa seraya menyandarkan kepala di atas lipatan tangannya yang berada di atas kemudi. "Mione," lirihnya.

Handphone berdering tapi Severus masih bergeming di posisinya. Handphone kembali berdering untuk yang ke empat kalinya dan kali ini Severus geram, dia meraih handphone yang tergeletak di kursi sebelah kemudi lalu membaca nama yang tertera di layar. Dobby.

"Ada apa Dobby?" Nada suara Severus tak bersahabat. Sesaat Severus diam untuk mendengar jawaban dari kepala pelayannya tapi tak lama kemudian ekspresi Severus berubah. Panik. Dilemparnya handphone kembali ke kursi dan dengan cepat dia menekan pedal gas lalu melaju dengan kecepatan tinggi. Kepalanya terasa penuh sekarang, hanya satu hal yang diingatnya dari semua perkataan Dobby di telepon, Rumah Sakit Pusat London.

***
Severus terpaku. Berdiri di depan kaca besar yang memperlihatkan sebuah ruangan bernuansa putih, lengkap dengan semua peralatan medis berteknologi tinggi. Di tengah ruangan itu, terbaring sosok lemah tak berdaya di atas tempat tidur. Suara mesin monitor jantung adalah satu-satunya penanda kalau sosok itu masih hidup di tengah peralatan medis yang menopangnya.

Dia mengalami pendarahan otak. Kami sengaja membuatnya koma selama tiga puluh jam untuk bisa melihat respon otaknya terhadap pengobatan pasca operasi. Sekarang kondisinya belum stabil tapi kami akan terus memantau perkembangannya.

Penjelasan dokter kemarin masih begitu jelas terngiang di dalam kepala Severus. Hatinya sakit melihat pemandangan di depan matanya.

"Sev," sebuah usapan lembut di bahu membuat Severus mengalihkan perhatiannya. Senyum tipis menyambutnya dan Severus meraih tangan mungil yang bersandar di bahunya, menggenggamnya erat, seolah mencari kekuatan di sana.

"Semua ini salahku, Mione," gumam Severus.

"Sev, please. Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Itu kecelakaan, satu-satunya yang bisa disalahkan di sini adalah pengemudi truk yang mabuk hingga menabrak mobil Harry," Hermione mengeratkan tangannya dalam genggaman tangan Severus. Berusaha menularkan semangat pada kekasihnya yang kini tengah terpuruk.

Severus melepas genggaman tangannya. Mengerang putus asa seraya mengacak surai gelapnya dengan kedua tangan. "Tapi semua ini tidak perlu terjadi kalau saja aku mengangkat teleponnya. Aku mengabaikannya, Mione. Aku mengabaikannya."

"Dan itu semua karena aku," tegas Hermione kemudian. Severus mengangkat kepalanya yang tertunduk dan kembali menatap Hermione. "Semua karena kau sibuk mencariku sampai kau mengabaikan Harry. Jadi semua adalah salahku," kata Hermione kemudian.

"Mione, aku-,"

"Aku yang salah," tegas Hermione lagi. Severus mengumpat keras lalu menarik Hermione ke dalam pelukannya, mendekapnya erat. "Bukan salahmu," bisik Severus lembut di telinga kekasihnya.

"Kalau begitu itu juga bukan salahmu," kata Hermione di dalam pelukan Severus.

Keduanya terdiam. Siapa yang menyangka kalau perseteruan kecil kemarin justru berbuah petaka. Harry nekat keluar di tengah hujan dengan kondisinya yang masih belum stabil. Alhasil dia tidak bisa mengendalikan laju mobil ketika seorang pengendara truk yang mabuk melanggar lampu lalu lintas. Mengalami luka di bagian kepala yang cukup parah, Harry kini terbaring di ruang ICU dan belum sadar sejak kemarin. Severus tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri karena hal itu.

"Mr. Snape," panggilan itu menyentakkan Severus dan Hermione. Keduanya mulai khawatir saat melihat dokter yang menangani Harry.

"Anda bisa tenang sekarang Mr. Snape," kata dokter seolah bisa membaca raut wajah Severus juga Hermione, "putra anda sudah sadar dan kondisinya sudah mulai stabil."

Dan Severus merasakan kelegaan yang luar biasa begitu mendengar kabar baik dari dokter. "Boleh saya menemuinya dokter?" tanya Severus kemudian.

"Setelah kami memindahkannya dari ruang ICU anda bisa menemuinya.Tapi saya harus peringatkan anda untuk tidak terlalu banyak mengajaknya bicara."

Severus menoleh ke arah kaca besar dan melihat beberapa perawat sedang sibuk menangani Harry. Dia kemudian mengangguk dan menjabat tangan dokter sebagai tanda terima kasih.

Tiba-tiba Severus terpaku saat sesuatu melintas dalam pikirannya.

"Sev, ada apa?" Hermione menepuk lembut bahu kekasihnya.

Severus menatap sendu Hermione, "Mione, aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Harry," ucapnya.

Kening Hermione berkerut dalam. Pria yang ada dihadapannya ini sama sekali tidak seperti Severus yang dikenalnya. Profesor Severus Snape yang dikenalnya adalah pria tangguh yang tidak pernah gentar menghadapi apapun. Tapi sekarang, Severus justru gentar menghadapi Harry yang notabene adalah putranya sendiri. 

Hermione menghela napas panjang. Dia sama sekali tidak menyangka kalau halangan terbesar dalam hubungan cintanya adalah sahabat baiknya sendiri. "Sev, kenapa kau-,"

"Aku akan memilih Harry," potong Severus cepat dan Hermione semakin heran dengan sikap Severus.

"Apa maksudmu?" Melihat ke dalam mata kelam sang kekasih, Hermione mencoba menyelami pemikiran Severus. Sebenarnya dia bukan gadis bodoh hingga tak mengerti, hanya saja dirinya berusaha menyangkal kalau Severus lebih memilih untuk mengorbankan cinta mereka demi Harry.

"Maaf Mione. Aku tidak tahu bagaimana mempertanggung jawabkan semuanya pada Lily kalau sampai terjadi sesuatu pada Har-,"

"Jadi karena itu?" Kali ini Hermione yang menyela, matanya menatap tajam Severus ketika mereka beradu pandang, "Karena kau tidak mau melukai Lily?" Hermione membuang napas kasar, mendengus lebih tepatnya. "Jadi kau masih mencintainya?"

Severus terdiam di bawah tatapan sang kekasih.

"Kau menggelikan Sev," Hermione hampir terkekeh tapi masih bisa menahannya. Wajah Severus menyiratkan ketidak sukaan terhadap sikap Hermione.

"Kau mencintai dan menaruh seluruh hidup juga kesetiaanmu pada wanita yang sudah meninggal? Kau bahkan takut melukainya bahkan disaat raganya kini sudah tak berwujud? Dengan pemikiran itu aku jadi heran bagaimana bisa kau mendapat gelar profesormu itu," Hermione melipat tangan di depan dada dan menatap sinis Severus yang masih bergeming ditempatnya.

"Mione," suara Severus memberat, menahan emosi karena perkataan Hermione.

"Apa? Kau marah dengan apa yang ku katakan?" Kali ini Hermione terkekeh, "Itulah kenyataannya Sev. Kau dan obsesi gilamu pada Lily," lanjutnya.

"Mione!" Suara Severus meninggi.

"Aku tidak peduli lagi kalau kau marah, lakukan apa yang menurutmu baik. Semua terserah padamu sekarang," mengurai lipatan tangan di dadanya, Hermione mengibaskan tangannya di udara, "lebih baik aku pulang sebelum kau mencampakkanku di depan sahabatku sendiri." Dengan kalimat itu Hermione berbalik pergi dan meninggalkan Severus terpaku di tempatnya hingga suara roda strecher yang keluar dari ruang ICU mengalihkan perhatiannya.

"Kami akan membawa Mr. Harry ke kamar rawat inap," kata salah seorang perawat.

Sesaat Severus menatap wajah pucat Harry yang tampak tenang dalam tidurnya lalu mengangguk tanpa kata pada sang perawat. Kakinya pun melangkah mengikuti kemana putranya dibawa dengan berbagai pikiran berkecamuk di dalam kepalanya.

***
"Hei, kau baik-baik saja, Son?" sambut Severus lirih begitu Harry membuka mata setelah satu jam dipindahkan ke kamar.

"D-dad," ucap Harry terbata, suaranya kecil dan matanya tampak sayu.

Kelegaan karena sudah mendengar suara Harry tergambar dari senyum langka Severus, “Syukurlah,” ucapnya.

“A-ku di-mana?” lirih Harry lagi.

“Kau di rumah sakit tapi tenang, kata dokter semuanya baik-baik saja. Istirahatlah, dokter bilang kau belum boleh banyak bicara,” jawab Severus tenang.

Harry menghela napas perlahan seraya memejamkan mata dan Severus hanya bisa mengusap lembut lengan sang putra, bahkan bahu Harry juga belum sembuh dari cederanya. Melihat kondisi Harry, rasa bersalah kembali merayapi hati Severus.

“Sorry, Son,” lirih Severus tanpa sadar dan pernyataan maaf itu tertangkap telinga Harry.

Harry kembali membuka matanya lalu menatap sang ayah yang wajahnya tampak begitu lelah, “D-dad,” panggil Harry.

“Ya? Ada yang sakit?” tanya Severus.

Harry mencoba menggeleng untuk menjawabnya namun justru rasa sakit menyerang kepalanya hingga dia harus mengeratkan mata.

“Harry,” Severus sudah siaga untuk menekan tombol panggil tapi Harry sudah kembali membuka matanya.

“Ti-dak apa-apa Dad,” lirih Harry kemudian saat melihat Severus begitu mencemaskannya.

Severus diam dan kembali mengusap lembut lengan putranya, berharap itu bisa membantu mengurangi rasa sakit Harry.

“Sor-ry Dad.”

Severus menatap putranya heran.

“A-ku egois … sorry … Hermione … aku ti-dak akan me-larang kalian … sorry Dad,” terang Harry terbata dan itu membuat Severus terpaku. Apa yang dikatakan Harry sungguh mengejutkannya.

“Sstt, jangan pikirkan itu dulu. Kita bicarakan itu nanti setelah kondisimu jauh lebih baik,” Severus mencoba mengalihkan pikiran Harry karena dia sendiri juga tidak tahu harus bicara apa. Bukankah tadi dia sudah memilih untuk meninggalkan Hermione? Ironis.

“Ti-dak Dad … aku ma-u berte-mu Hermi-one,” kata Harry lagi.

Severus menghela napas perlahan lalu mengusap bahu Harry, “Istirahatlah, aku akan menjemput Hermione.”

Harry tersenyum tipis lalu kembali memejamkan matanya. Padahal dia hanya berbicara beberapa patah kata tapi rasanya begitu melelahkan. Tak butuh waktu lama untuk Harry kembali terlelap dan Severus masih bergeming di tempatnya.

“Sebaiknya Anda segera menjemput Miss Granger sebelum Tuan Muda bangun. Kalau tidak, saya yakin Tuan Muda akan memaksa bangun dan pergi sendiri untuk meminta maaf.”

Severus berbalik dan mendapati Dobby sudah berdiri di dekat pintu kamar. Dia yakin kepala pelayannya itu mendengar semua yang diucapkan Harry. Tapi Dobby tidak tahu kalau dirinya sudah memutuskan Hermione dan lebih memilih Harry. Siapa yang menyangka kalau ternyata Harry sudah berubah pikiran.

“Tuan?” Dobby merasa heran melihat tuannya hanya diam.

“Aku sudah menyakiti gadis itu,” jawab Severus datar tapi Dobby justru tersenyum.

“Anda akan lebih menyakitinya jika tidak segera meminta maaf dan menjemputnya. Dan Anda juga akan menyakiti Tuan Muda karena dia akan terus merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas semuanya. Maaf, tapi Tuan Muda sudah membaca agenda Tuan,” terang Dobby tenang.

Sesaat Severus tampak terkejut tapi kemudian ekspresinya kembali datar. Severus kembali menatap wajah Harry yang tengah tidur lalu berbalik dan berjalan ke arah pintu. “Jaga Harry,” ucapnya singkat ketika melewati Dobby dan sang kepala pelayan itu hanya bisa tersenyum seraya mengangguk hormat.

“Semoga semuanya berakhir dengan baik,” lirih Dobby begitu Severus menghilang di balik pintu.

***
Teet! Teet!

Hermione membuka matanya dengan enggan. Dia baru saja tertidur, mencoba mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang terasa penat sejak pulang dari rumah sakit siang tadi. Melirik jam beker di atas meja belajarnya, pukul tujuh malam. Dia bahkan baru menyadari kalau di luar sudah gelap.

Teet! Teet!

Mendesah kesal, Hermione akhirnya turun dari tempat tidur dan berjalan ke luar. Dalam hati merutuki siapa saja yang menjadi tamu tak diundangnya. Tanpa melihat ke luar, Hermione langsung membuka pintu dan keningnya langsung berkerut begitu melihat dua sosok tamu yang berdiri di depan pintunya.

“Mom? Dad?”

“Surprise!” seru wanita yang dipanggil Mommy oleh Hermione dan langsung memeluknya.

Hermione bergeming dalam pelukan sang ibu sementara dari atas bahu dia melihat sang ayah tersenyum padanya.

“Bagaimana kabarmu, honey?” tanya Mr. Granger begitu Hermione lepas dari pelukan ibunya.

“Baik,” jawab Hermione singkat. Dia masih merasa kalau kedatangan kedua orang tuanya itu adalah mimpi. Ini pertama kalinya mereka berkunjung setelah enam tahun Hermione tinggal di London. Biasanya Hermione akan pulang ke Cambridge selama beberapa hari pada liburan musim panas lalu kembali lagi ke London dan menghabiskan liburan bersama Ron juga Harry. 

Orang tuanya tidak akan begitu peduli, bahkan sejak Hermione lulus sekolah menengah atas dan tak lagi tinggal di asrama sekolah, mereka tak juga bertanya bagaimana kehidupan Hermione. Bagi mereka prestasi yang diperoleh oleh Hermione sudah cukup untuk menyatakan kalau putri mereka itu dalam keadaan baik. Toh mereka melakukan kewajiban sebagai orang tua dengan membiayai sekolah juga semua keperluan Hermione. Andai mereka tahu bukan itu yang Hermione butuhkan.

Demi sopan santun, Hermione mempersilakan kedua orang tuanya untuk masuk. Mrs. Granger mengamati sekeliling apartemen Hermione dan memuji kepandaian putrinya dalam menata ruangan. Mereka bertiga kini duduk di ruang tamu.

“Aku akan buatkan sesuatu,” Hermione kembali beranjak dari duduknya lalu berjalan ke arah dapur yang letaknya bersebelahan dengan ruang tamu dan hanya dipisahkan oleh meja mini bar.

Kedua orang tua Hermione diam mengamati setiap gerak putrinya hingga akhirnya sang ibu mengikuti Hermione ke dapur.

“Honey,” panggil Mrs. Granger dengan nada selembut mungkin.

“Ya Mom,” jawab Hermione tanpa mengalihkan pandangannya dari dua buah cangkir dimana dia sedang menyeduh teh.

“Kau tidak suka kami datang?” Mrs. Granger berdiri di sebelah Hermione, mencoba mencari wajah sang putri yang tertunduk.

“Tidak, aku hanya sedikit terkejut. Tidak menyangka kalian masih ingat padaku,” jawab Hermione datar seraya menyendok gula lalu memasukkannya ke dalam cangkir, masih enggan untuk menatap ibunya.

“Satu sendok cukup sayang,” ucap Mrs. Granger saat Hermione berniat menuang gula lagi ke dalam cangkir.

Hermione melirik ke arah ibunya lalu mengembalikan gula pada tempatnya. Setelah mengaduk tehnya, Hermione memiringkan tubuhnya hingga berhadapan dengan sang ibu. “Ada apa sampai Mom dan Dad datang?” tanya Hermione tanpa basa-basi.

“Oh honey, haruskah kami memiliki alasan untuk mengunjungi putri kami sendiri?” jawab Mrs. Granger yang jelas merasa kecewa dengan pertanyaan Hermione.

“Setelah enam tahun berlalu?” Hermione mengendikkan bahu dengan senyum masam, “Entahlah Mom,” jawabnya setengah hati. Diapun meraih nampan berisi teh lalu membawanya ke ruang tamu dan Mrs. Granger mengikutinya. Mr. Granger sendiri tampak sedang sibuk dengan handphone-nya di ruang tamu.

Saling bertukar pandang dalam diam saat Mr. Granger menatap istrinya, Mrs. Granger pun kembali duduk di sebelah suaminya.

“Kau sudah menghubunginya?” tanya Mrs. Granger dengan suara lirih tapi masih dapat di dengar oleh Hermione.

“Sudah, dia sedang dalam perjalanan,” jawab Mr. Granger sama lirihnya.

“Ada apa?” Hermione tidak bisa menahan rasa penasaran mendengar percakapan ke dua orang tua yang duduk di hadapannya itu.

Mrs. Granger langsung menoleh pada Hermione lalu mengulas sebuah senyum, diapun beranjak lalu duduk di sebelah Hermione. “Honey, maukah kau memaafkan kami?” kata Mrs. Granger.

“Memaafkan?” Hermione masih bingung dengan permintaan ibunya.

“Maaf karena kami tidak pernah tahu kalau kau kesepian selama ini. Maaf karena kami tidak pernah tahu kalau kau membutuhkan kami. Maaf kalau selama ini kami tidak pernah mempedulikanmu. Dan maaf kalau kami sudah melimpahkan kekecewaan kami karena telah kehilangan kakakmu,” terang Miss Granger.

Hermione membuka mulut untuk mengatakan sesuatu tapi seolah semua kalimat itu menghilang di tenggorokannya hingga dia kembali menutup mulutnya. Diam. Tapi otaknya memutar kembali semua memori lampau masa remajanya. Dimana dia pernah kehilangan sang kakak karena telah menyelamatkannya dari sebuah kecelakaan dan dia ingat benar, dari sanalah kedua orang tuanya mulai mengabaikannya.

“Aku yang salah bukan?” lirih Hermione kemudian, “Ya, aku memang selalu salah,” lanjutnya dengan senyum pahit terukir di wajah cantiknya. Hermione kembali teringat pada Harry yang terbaring di rumah sakit. Itu juga kesalahannya kan? Tidak heran kalau Severus memilih untuk meninggalkannya. Ah, hidup memang tak seindah khayal.

Hermione tersentak saat tiba-tiba sang ibu memeluknya lalu menangis di atas bahunya, “Sorry honey, kami menyesali semuanya. Sungguh,” lirih Mrs. Granger di tengah isakannya.

“Mom,” Hermione dilanda kebimbangan. Apa yang menyebabkan kedua orang tuanya berubah setelah sekian lama mengabaikannya?

Mr. Granger ikut beranjak lalu duduk di sisi lain Hermione dan Mrs. Granger melepaskan pelukannya, menyeka air matanya.

“Kami tidak pernah menyadari keegoisan kami,” kata Mr. Granger dan Hermione mengalihkan perhatiannya pada sang ayah. “Sorry,” ucap Mr. Granger lagi.

“Tidak seharusnya kami menyalahkanmu atas kematian kakakmu. Semua sudah berlalu dan seharusnya kami bersyukur karena kami masih memilikimu, bukan sebaliknya,” lanjut Mrs. Granger.
“Maafkan kami,” ucap Mr. Granger lagi. “Kami bersyukur saat siang tadi kekasihmu datang dan menyadarkan kami atas kesalahan kami-,”

“Kekasih?” pekik Hermione spontan, membuat kedua orang tuanya terkejut.

“Iya, kekasihmu, Mr. Snape,” terang sang ibu.

Hermione menganga namun tidak bisa berkata apa-apa.

“Dia kekasihmu bukan? Mr. Snape?” tanya Mr. Granger.

Hermione diam, masih tidak tahu harus menjawab apa.

“Hermione?” panggil sang ibu.

“Bagaimana dia bisa datang menemui kalian? Apa kalian mengenalnya?” Hermione menyipitkan mata menatap ibunya.

“Kami pernah bertemu dengannya sekali di sebuah symposium. Kami terkejut saat siang tadi dia datang dan mengatakan kalau dia adalah kekasihmu. Mr. Snape menjelaskan semuanya, tentangmu juga tentang hubungan kalian. Kami mencoba memahami semuanya, kami bahagia kalau kau juga bahagia sayang. Karena itulah kami langsung datang menemuimu,” terang Mrs. Granger.

“Dia bahkan meminta ijin pada Dad untuk melamarmu,” kata Mr. Snape.

“Apa?” lagi-lagi Hermione memekik.

Teet! Teet! Ketiganya dikejutkan dengan bunyi bel.

“Itu pasti Mr. Snape, Dad sudah menghubunginya untuk datang,” kata Mr. Snape.

Dan tidak menunggu perintah siapapun, Hermione segera melesat ke arah pintu. Jantungnya berpacu begitu melihat Severus berdiri di depan pintu apartemennya.

“Apa maksud semua ini?” bukannya mempersilakan Severus masuk, Hermione justru menyambut Severus dengan pertanyaan bernada kesal.

Severus, dengan ekspresi datarnya yang tak pernah bisa terbaca itu menatap lurus ke arah kekasihnya, masih belum menjawab pertanyaan Hermione. Dia sendiri sudah memprediksi reaksi gadis yang telah berhasil memutar balikkan dunianya itu.

“Sev!” seru Hermione dengan nada lebih tinggi.

“Apa yang harus ku jelaskan?” tanya Severus dengan nada datar.

“Apa? Kau tanya apa?” Hermione mendengus, “Siang tadi kau mengatakan lebih memilih Harry lalu tiba-tiba kau datang menemui orang tuaku dan mengaku sebagai kekasihku. Kau juga sama sekali tidak mengatakan kalau kau ternyata mengenal orang tuaku. Bahkan ayahku mengatakan kalau kau mau melamarku dan kau bertanya padaku apa yang harus kau jelaskan? Profesor, kau membuatku gila! Jelaskan semuanya!” Hermione terengah di akhir kalimatnya yang penuh emosi sedangkan Severus masih setia dengan ekspresi datarnya.

“Mione, kau salah satu mahasiswa yang sudah ku akui kecerdasannya. Dengan semua hal yang sudah kau jabarkan tadi, bagian mana yang harus aku jelaskan lagi? Bukankah semuanya sudah jelas? Aku, kekasihmu, datang mengatakan semua perasanmu pada orang tuamu dan menjelaskan tentang hubungan kita. Katakan aku kuno tapi sebagai lelaki yang menjunjung tinggi etika, aku meminta ijin orang tuamu untuk melamarmu. Mengingat hubungan kita sedikit unik, aku tidak mau ada pertentangan kedepannya. Aku baru tahu kau putri Dokter Granger setelah melihat foto keluarga di ruang tamu. Jadi bukankah dalam hal ini seharusnya aku yang bertanya? Maukah kau menikah denganku?” terang Severus dengan nada khasnya yang datar seperti sedang mengajar di depan kelas.

Hermione merasa seperti ditabrak truk barang dengan kecepatan tinggi. Dia dilamar di depan pintu apartemennya oleh orang yang paling dicintainya namun dalam keadaan paling absurd yang bahkan tak pernah terbayangkan olehnya. Apakah ini resiko memiliki kekasih seorang professor dingin? Astaga, semua kejadian yang serba tiba-tiba itu membuat perutnya serasa dipenuhi puluhan kupu-kupu. Menggelikan. Hermione merosot ke lantai saat merasa lututnya melemas karena gejolak emosi yang membingungkan.

“Mione!” Severus segera berlutut di depan kekasihnya, meraih ke dua bahu Hermione dan memaksa gadis itu memandangnya, “Kau tidak apa-apa?”

Mr. dan Mrs Granger sudah berdiri di belakang Hermione namun tak mengusik Severus. Tiba-tiba Hermione tergelak dan sukses membuat ketiga orang di sana memandangnya heran.

“Mione, jangan membuatku takut,” ucap Severus yang berusaha menepis pikiran kalau kekasihnya gila mendadak akibat rentetan peristiwa selama beberapa hari terakhir ini.

Hermione masih terbahak sambil memegang perutnya, sudut matanya bahkan penuh dengan air mata.
“Mione,” Severus mengguncang bahu kekasihnya.

“Ya ampun Sev, kau bisa membuatku mati tertawa dengan semua ini,” ucap Hermione di sela tawanya. Kening Severus berkerut dalam.

“Apa kau tidak tahu cara yang lebih baik untuk berbaikan dengan wanita setelah bertengkar?” kata Hermione dengan nada geli.

Kerutan di kening Severus belum terurai, “Kau satu-satunya wanita yang bertengkar denganku.”

“Ah iya, kau benar,” Hermione kembali terbahak.

“Dan kau tidak tahu cara melamar yang lebih romantis? Dengan bunga misalnya? Astaga, kau tidak pernah menonton film, Sev?” Hermione masih terbahak. Kedua orang tua Hermione tersenyum geli melihat interaksi keduanya.

“Kau mau aku memberimu bunga? Ayolah Mione, jangan membuat lelucon. Kau tahu aku tidak pernah membaca novel roman picisan dan tidak pernah menonton drama,” Severus tampak mulai kesal dengan sikap Hermione sedangkan Hermione justru semakin terbahak melihat ekspresi kekasihnya.

“Ah! Mione!” Severus memekik dan berhasil menyangga tubuhnya dengan tangan hingga tak jatuh terlentang ketika Hermione tiba-tiba loncat dan memeluknya. Sekarang dia terduduk di lantai dengan Hermione duduk di atas pangkuannya. Keduanya tak lagi menghiraukan keberadaan Mr dan Mrs Granger, bahkan mereka tak ingat kalau mereka ada di ambang pintu apartemen.

“Hei Professor, mana permintaan maafmu?” kata Hermione seraya mengalungkan kedua tangan di leher kekasihnya.

Severus menarik sudut bibirnya hingga menyerupai senyum tipis. Diapun menyadarkan kedua lengannya di pinggul Hermione hingga membuat gadis itu merapat padanya.

“Sorry honey,” ucap Severus yang sayangnya sama sekali tidak merubah nada suaranya. Masih saja sedatar papan.

“Bagaimana dengan Harry?” tanya Hermione, untuk sesaat wajahnya tampak serius.

“Dia yang memintaku menjemputmu,” jawab Severus dan senyum Hermione langsung mengembang.
Kening Severus kembali berkerut, “Hei, Miss Granger, kau belum menjawab pertanyaanku.”

“Pertanyaan?” Hermione justru tampak bingung.

“Apa kau mau menikah denganku?”

Hermione kembali terbahak dan tanpa basa-basi langsung mencium bibir Severus, tidak peduli jika ayah dan ibunya ada di sana. Severus pun seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Dia membalas ciuman Hermione.

“Ya, aku mau, Profesor,” jawab Hermione tanpa ragu begitu ciuman mereka berakhir.

Dan Hermione tersentak ketika untuk pertama kalinya mendengar Severus tertawa, bahkan Mr dan Mrs Granger sampai menganga dibuatnya.

Incredible love,” ucap Severus disela tawanya, “Thanks Mione, I love you,” dan Severus memateraikan deklarasi cintanya dengan ciuman hangat penuh cinta.

***
-End-
Tidakkah cinta itu luar biasa?
Untukmu Daddy Sev yang sudah mengajarkan arti cinta melalui pengorbanan.
Love you, always,
-Agnes Kristi-

Post a Comment

5 Comments

  1. 21 Februari...
    akhirnya ending juga...ahhahahaaa
    masih mau bikin special chapter tapi nanti lah ya
    uda seneng akhirnya bisa tamat setelah lama mendekam di draft XD
    Miss u Daddy Sev, muaahhh

    ReplyDelete
  2. Ya ampun jd pengen ketawa ngebayangin sev melamar mione 😂😂😂😂
    Datar banget pasti

    ReplyDelete
  3. Yeaaay akhirnya tamat jugaaaa.
    Happy ending, happyyyyy

    ReplyDelete
  4. Aaaaaaaa:v gabisa kebayang:v masa iya prof.snape lamar Hermione 😣😣
    Jiji, geli bacanya:v tapi ceritanya romance 😆 keren 👍

    ReplyDelete
  5. Mba agnessssss
    Bolehlah ini special chap nya segera dikeluarin
    🤗🙈😆😆😆

    ReplyDelete