Dear all readers,
Agnes Kristi punya cerita baru yang sudah di bukukan. Silakan yang berkenan PO.
Judulnya Ajari Aku Cinta.
Tebal 449 halaman
Harga Rp. 85.000
Bisa PO lewat Facebook Agnes Fftk
Anggra si "Nyonyah Besar" yang introvet dan menganggap semua orang hanya kasihan padanya karena masa lalu kelam yang pernah dialaminya. Hingga seseorang datang dan membawanya ke dalam dunia baru. Fakta demi fakta terungkap dan Anggra kembali harus menghadapi kenyataan pahit tentang jadi dirinya.
Agnes Kristi punya cerita baru yang sudah di bukukan. Silakan yang berkenan PO.
Judulnya Ajari Aku Cinta.
Tebal 449 halaman
Harga Rp. 85.000
Bisa PO lewat Facebook Agnes Fftk
Cover Cetakan Kedua, Februari 2018
Cover Cetakan Pertama, Maret 2017
Anggra si "Nyonyah Besar" yang introvet dan menganggap semua orang hanya kasihan padanya karena masa lalu kelam yang pernah dialaminya. Hingga seseorang datang dan membawanya ke dalam dunia baru. Fakta demi fakta terungkap dan Anggra kembali harus menghadapi kenyataan pahit tentang jadi dirinya.
Aku terkungkung dalam jerat bayang masa lalu. Hidupku berada dalam gelembung sampai kau datang dan mengacaukan segalanya. Haruskah aku percaya pada janji cintamu sementara aku tak tahu apa itu cinta?
*********************************************************************************
.
*********************************************************************************
Prolog
Aku memeluk diriku sendiri dalam gelap di sudut ruangan kotor berdebu. Dingin. Sakit.
Mama … mama … ? Mama di mana?
Tolong aku … sakit Ma ….
Mataku terus menatap ke arah pintu. Berharap itu segera terbuka dan ada yang bisa memelukku. Mengobati tubuhku yang sakit. Perih.
Aku ingin berteriak tapi ketakutan sudah merenggut suaraku. Menenggelamkan keberanianku. Aku hanya bisa menangis. Terisak dalam kesendirian dan sakitku.
Aku ingin pergi. Pergi meninggalkan kesakitan ini. Melupakan semua sesak dan luka. Pergi dan tidak kembali lagi.
Kenapa nggak ada yang datang?
Mama … aku ngantuk … mau tidur ….
Kelopak mataku tertutup ketika tubuhku kembali bergetar. Napasku sesak. Setiap sel tubuhku sudah merekam dengan baik semua rasa ini. Hari ini, aku tidak akan pernah lupa. Selamanya.
*********************************************************************************************
Aku dan Bagian Masa Lalu
“Anggra! Anggra!”
Panggilan itu menggema di depan kamarku. Kututup telinga dengan bantal dan mencoba kembali memejamkan mata. Masih terlalu pagi untukku keluar dari kamar. Lagipula apa yang akan aku lakukan di luar sana juga tidak akan lebih menyenangkan dari menikmati jam tidur tambahanku.
“Anggra! Ayo bangun!”
Kutarik napas panjang, mengisi oksigen ke setiap bagian paru-paruku. Dengan malas aku turun dari tempat tidur, menuju ke sumber suara yang sejak tadi berteriak memanggilku.
“Apa sih, Ma?” tanyaku seraya menggosok mata yang masih terasa berat.
Berdiri di ambang pintu ruang makan, aku melihat Mama sudah sibuk dengan Mbak Hesti, pembantu kami. Entah apa yang dilakukannya, mengingat ini hari Minggu, seharusnya aku bisa tidur dan bangun lebih siang dari hari biasa. Belum lagi ini adalah hari terakhir liburanku di rumah karena besok aku harus kembali ke Yogyakarta dan berkutat dengan skripsiku.
“Kok apa? Ini udah siang sayang, cepet mandi terus kita sarapan sama-sama,” jawab Mama tanpa menatapku, tangannya sibuk menata buah di dalam keranjang.
“Ya ampun Ma, ini kan masih jam setengah tujuh. Lagian apa maksudnya sih sarapan sama-sama?” protesku seraya duduk di meja makan.
“Ya, kita sarapan bareng. Kan udah lama kita nggak kumpul sekeluarga, kamu sama Papa,” terang Mama. Kali ini dia menatapku sambil tersenyum.
Hatiku beringsut tidak nyaman mendengarnya tapi justru itu yang membuatku akhirnya beranjak dan melangkahkan kaki untuk kembali ke kamar.
“Jangan cemberut gitu,” komentar Mama saat melihatku berlalu dengan bibir manyun.
Kututup pintu kamar dengan kesal. Ngapain sih dia dateng? Tau begini mendingan aku nginep di rumah Tante Diana. Alih-alih pergi ke kamar mandi, aku justru kembali menghempaskan diri ke atas tempat tidur. Sepuluh tahun, sepuluh tahun lamanya aku sudah berusaha menyingkirkan perasaan benci ini, bahkan sudah tiga tahun aku sama sekali tidak menemuinya tapi kenapa semuanya tidak juga hilang.
“Anggra.”
Suara lembut Mama terdengar dari balik pintu kamarku. Dia pasti tahu kalau aku kembali tidur dan tidak berniat untuk ikut sarapan keluarga yang sudah di siapkannya dengan semangat. Aku masih bergeming memeluk guling. Dalam hal ini aku bisa menjadi sangat egois. Sangat-sangat egois.
“Nggra, sekali ini aja, ayolah sayang,” pinta Mama memelas.
Menghela napas panjang, aku tidak tega juga melihat Mamaku memohon seperti itu. Tapi semua hanya demi Mama, bukan demi laki-laki itu.
“Iya Ma, bentar lagi aku keluar.” Akhirnya aku berubah pikiran.
Terdengar desahan lega dari balik pintu, “Mama tunggu ya.”
Tidak menjawab lagi, aku langsung masuk ke kamar mandiku dan segera bersiap.
***
Senja di Malioboro
Senyum hangat Papa menyambutku ketika aku masuk ke ruang makan dan dengan percaya diri aku mengabaikannya.
“Apa kabar, Nggra? Papa kangen sama kamu.” Dengan lembut Papa menyapaku dan aku hanya memandangnya dengan ekspresi datar.
“Baik.”
Aku bisa melihat Papa sedikit kikuk duduk di ujung meja dan Mama yang duduk di depanku menyipitkan matanya, secara tidak langsung memintaku untuk merubah sikap. Kuraih gelas di depanku dan meneguk air di dalamnya. Mengabaikan kedua orang tuaku yang mungkin bingung bagaimana harus bersikap di depanku. Kuakui kalau aku memang kurang ajar tapi rasanya ini setimpal. Setimpal dengan sakit hati yang aku rasakan selama bertahun-tahun.
“Hhmm, Papa denger kamu udah mau skripsi. Hebat ya, padahal baru tiga tahun kamu kuliah. Berarti nanti kamu bisa cumlaude dong.” Papa kembali mencoba membuka pembicaraan denganku.
“Semoga,” jawabku sekenanya.
Kudengar Mama menghela napas panjang. Aku tahu dia putus asa dengan sikapku tapi aku sama sekali tidak berniat merubahnya. Tidak selama laki-laki yang sekarang duduk dekat denganku ini pergi dan menjauh.
“Pa, ngobrolnya di lanjutin nanti lagi. Kita sarapan dulu ya, nanti dingin makanannya nggak enak.” Mama mengulum senyum termanisnya dan Papa membalasnya, membuat perutku mual melihatnya.
Ya Tuhan, aku benci dia.
“Kamu makan yang banyak ya, Nggra. Ini makanan kesukaanmu kan?”
Oh, masih inget? Tapi jangan harap aku tersentuh. Kuperhatikan makanan yang terhidang di meja makan. Soto Medan lengkap dengan perkedel dan emping, hhmm, semuanya akan makin enak kalau saja aku tidak makan semeja dengannya, batinku menggerutu.
Aku masih diam saat Mama memberikan padaku semangkuk soto yang sudah diraciknya. Dia juga melayani Papa dengan sopan. Matanya yang berbinar menandakan masih begitu banyak cinta yang bisa dia berikan pada laki-laki yang bahkan sudah membuat hidupnya seperti neraka bertahun-tahun yang lalu. Sayangnya, sifat Mama yang murah hati dan pemaaf itu tidak menurun padaku. Buktinya sampai sekarang, tidak sekalipun aku bisa menghapus luka yang sudah di torehkan oleh laki-laki yang kenyataannya adalah papaku sendiri.
Kami menghabiskan sarapan dalam diam. Papa tidak lagi bertanya, mungkin dia tahu kalau itu akan merusak selera makanku. Faktanya, aku memang sedang ingin menikmati soto favoritku tanpa gangguan apapun. Mama berusaha mencairkan suasana kaku di antara kami dengan mengajak Papa mengobrol tentang beberapa hal. Jika melihat kemesraan di antara mereka, pasti tidak ada yang menyangka kalau ternyata mereka sudah tidak tinggal satu rumah selama lebih dari sepuluh tahun.
Aku mendengus dalam hati, menyingkirkan semua pikiran negatif dan kembali menikmati makananku. Jujur, aku terlalu lapar untuk memikirkan semua itu. Ketika suapan terakhir mengosongkan isi mangkuk, aku mendesah lega karena kekenyangan. Soto Medan buatan Mama memang tidak ada duanya. Meski Mamaku adalah Suku Jawa tapi masakannya tidak kalah dengan inang dari kota Medan.
“Enak?” tanya Mama.
Aku mengangguk dan mengacungkan ibu jariku. “Mantap.”
Mama tertawa dan Papa hanya tersenyum. Aku menduga Papa terlalu merasa bersalah untuk bisa tertawa bersama kami, batinku meringis dengan pemikiran itu. Apa dia punya rasa bersalah? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Mama memanggil Mbak Hesti untuk membereskan meja dan perhatian Papa kembali terfokus padaku.
“Sampe kapan liburannya?” tanyanya ramah.
Basa-basi, pasti udah tau. “Besok,” jawabku sambil menuang air ke gelas dan meneguknya cepat. Kulirik Papa yang menelan ludah perlahan.
“Kamu betah ya di Jogja? Sampe nggak inget pulang,” lanjutnya lagi.
“Ya, namanya juga lagi kuliah. Kalo sering pulang nanti kuliahnya nggak kelar-kelar.” Dan itu adalah kalimat terpanjang yang aku ucapkan sejak percakapan pertama kami.
Papa hanya menarik sudut bibirnya menjadi senyum tipis. “Kalo Papa sekali-kali datang ke Jogja buat ketemu kamu boleh?” tanyanya ragu.
Aku menyipitkan mata pada Papa. Dia pasti sudah mengumpulkan keberaniannya untuk menanyakan hal itu. Sudah tiga tahun kami sama sekali tidak bertemu. Aku lebih suka Mama datang mengunjungiku ke Yogyakarta daripada aku harus pulang ke Kota Wisata, tempat tinggalku sekarang dengan Mama. Hanya dengan Mama.
“Boleh Nggra?” Papa mengulang pertanyaannya.
Mama menganggukkan kepala padaku berharap aku juga mengikutinya. Pikiranku menggeleng keras atas pertanyaan Papa tapi hati kecilku tidak sanggup menolak perintah Mama.
“Terserah.”
Senyum Papa mengembang. Dia senang? Halah, apa peduliku.
“Tapi dateng sendiri,” kataku cepat dan wajah Papa langsung berubah tegang.
“Iya, Papa nanti dateng sendiri,” jawabnya.
“Nggak sendirilah, kan sama Mama juga.” senyuman Mama membuat Papa terlihat lega. Ah, istri yang baik menyelamatkan suaminya dan aku merasa jadi anak durhaka. Aku pun beranjak dari kursi makan, tidak berniat untuk mengobrol lebih lama.
“Lho, mau kemana?” tanya Mama.
“Ke kamar,” jawabku singkat sambil lalu, mempercepat langkahku meninggalkan ruang makan.
“Ternyata Anggra belum maafin Papa.”
Kudengar Papa menggumam lirih dan Mama mengucapkan permintaan maaf atas sikapku. Kenapa harus minta maaf sih? Aku sudah tidak merasa memiliki kewajiban untuk menghormatinya lagi.
***
Hujan deras mengguyur Kota Wisata sejak siang tadi dan aku menikmati sore ini dengan damai. Ya, aku selalu suka hujan. Air deras yang mengguyur bumi itu membuatku merasa tenang. Tidak banyak aktifitas yang bisa di lakukan saat hujan dan yang paling aku sukai adalah duduk di teras belakang dengan di temani secangkir teh dan camilan. Rasanya aku ingin waktu berhenti sehingga aku bisa menikmati ketenangan ini lebih lama. Melupakan semua kenyataan hidup yang tidak sesuai dengan harapanku. Menghela napas panjang, pikiranku tiba-tiba memutar semua kenangan masa lalu.
Pindah ke Kota Wisata sepuluh tahun yang lalu adalah keputusan terbaik yang pernah Mama buat. Jauh dari sibuknya kota Jakarta dan yang pasti jauh dari Papa. Seluruh saraf di kepalaku menegang saat aku mengingat sosok Papa. Siang tadi dia sudah pergi dan aku lega karena tidak harus melihatnya meski terkadang aku kasihan dengan Mama. Aku tahu pasti, Mama masih begitu mencintai Papa sehingga rela menjalani kehidupan seperti ini. Apa mau di kata, Papa juga punya keluarga lain di Jakarta. Keluarga yang mungkin lebih sesuai dengan harapannya daripada keluarganya di sini, aku dan Mama.
“Ngelamun?”
Pertanyaan Mama membuyarkan lamunan panjangku. Mama berdiri di ambang pintu dengan membawa pisang goreng di piring, camilan favoritku.
“Iya,” jawabku singkat dan aku kembali melayangkan pandangan ke derasnya hujan di halaman belakang rumah.
Mama duduk di kursi sebelahku dan meletakkan piring yang berisi pisang goreng di sebelah kaleng biskuit dan cangkir teh.
“Nanti malam jadi mau pergi sama Sisca?”
Aku memiringkan kepala, melihat ke arah Mama yang menatapku.
“Resepsinya Kiki,” terang Mama menjawab pertanyaan tanpa kata dariku.
Aku mengangguk lalu menatap piring di atas meja, “Kayaknya enak nih,” kataku kemudian, mengganti topik pembicaraan.
“Hesti yang buat, kalo hujan begini biasanya kamu cari makanan buat temen minum teh.”
Aku tersenyum tipis. Ya, Mama selalu tahu apa yang aku suka. Jelas saja, dia kan Mamaku.
“Makasih, Ma,” ucapku seraya menggigit sepotong pisang yang langsung membuatku mengerucutkan bibir karena merasakan sensasi panas dari pisang yang baru matang.
Mama tertawa. “Hati-hati, ditiup dulu.” Aku terkekeh. “Mama pasti kesepian lagi kalo kamu udah berangkat.” Sepertiku, mata Mama memandang derasnya hujan.
“Kan udah aku bilang, Mama ikut aja ke Jogja,” jawabku santai.
Mama langsung menoleh. “Hush! Kamu kan kuliah di sana. Masa iya Mama ikut.”
“Apa salahnya?”
Mama tersenyum. “Nanti restoran siapa yang urus?”
“Biar aja Tante Mimi yang urus, Mama tinggal awasin dari Jogja.”
“Kasihan kalo Mimi sendiri.”
“Yee, apanya yang sendiri? Karyawan Mama kan banyak. Lagian aku kasihan sama Mama, malah Mama kasihan sama Tante Mimi.”
“Bukan gitu Nggra, ngurus restoran itu kan ribet, nggak asal jual makanan.”
Aku melirik Mama sambil meneguk tehku yang sudah mulai dingin. Manisnya pisang goreng cocok dengan teh pahitku.
“Mama nggak mau ikut karena takut nanti nggak bisa ketemu Papa kan?”
Menatapku, Mama terdiam.
“Iya kan?” tegasku.
Mama mengulum senyum. “Apa salah?”
“Salah!” tandasku.
“Nggra, mau sampe kapan kamu marah sama Papa?” lirih Mama padaku.
Marah? Aku nggak cuma marah. Aku benci Papa! Sampe kapan? Nggak tau! Batinku masih bergelut dengan itu.
“Maafin Papa Nggra, Papa sayang sama kamu,” bujuk Mama, berusaha meluluhkan kekerasan hatiku.
“Sayang? Jangan bercanda, Ma.” Aku tertawa mengejek. Dengan kesal kuambil lagi sepotong pisang goreng dan melahapnya cepat, seolah mengunyah topik pembicaraan menyebalkan kami dan menelannya. Melihat kekesalanku, Mama berhenti untuk membahas masalah itu lagi.
“Oh iya, nanti kamu mau bawa mobil sendiri?” Mama mengalihkan pembicaraan ke topik pesta pernikahan teman sekolahku.
“Si Noni yang bawa mobil.”
“Hm, temen kamu udah banyak yang nikah, kira-kira kamu kapan ya?”
Aku tersedak teh. “Mama ini ngomong apa sih?”
Mama menatapku sambil tersenyum dan suara hujan mengambil alih semuanya. Kami sama-sama terdiam, menikmati derasnya hujan yang mengguyur bumi.
***
“Wah, cantiknya anak Mama.” Sambut Mama saat aku muncul di ruang keluarga. Dia sedang menonton televisi.
Kusunggingkan senyum simpul. Ya, tadi aku juga memuji diriku sendiri di depan cermin, di kamarku. Acara pernikahan salah satu teman SMA-ku, Kiki, di gelar di Ballroom Hotel Menara Peninsula.
Aku sengaja berdandan lebih malam ini. Eye shadow perak menghiasi mata bulatku, dengan shading sempurna membuat wajah ovalku semakin terlihat proporsional. Kubiarkan rambutku tergerai di bahu dan menyematkan jepit rambut dengan hiasan kristal. Di tambah gaun dengan hiasan tunik dan renda warna pink pucat yang aku beli di Yogyakarta sebelum pulang, membuatku terlihat lebih wow dari biasanya. Melihat jam tangan, aku mendengus, jam setengah enam.
“Kok Noni belum dateng sih?” keluhku.
“Mungkin sebentar lagi, sabar aja.” Mama merapikan sedikit rambut yang keluar dari jepit ketika aku kemudian duduk di sebelahnya.
“Kamu udah besar ya,” gumam Mama.
“Dua puluh satu Ma, hampir dua puluh dua,” kataku mengingatkan Mama kalau aku bukan lagi anak-anak.
“Iya ya, udah hampir dua puluh dua. Sebentar lagi jadi Sarjana Hukum, nggak terasa ya?” Mata Mama menatap bangga padaku.
Suara bel pintu menyela pembicaraan kami. Mbak Hesti berlari untuk membuka pintu dan aku tahu itu pasti Sisca. Fransisca, si Noni, kupanggil begitu karena sifat manjanya. Dia sepupuku sekaligus sahabat baikku, bisa dibilang dia satu-satunya sahabatku. Kami satu sekolah sejak aku pindah ke Kota Wisata. Dia tinggal satu kawasan denganku hanya beda cluster.
“Malem, Mbak Hera.”
Mama menoleh ketika namanya di panggil, begitu juga aku. Ternyata Sisca tidak datang sendiri tetapi bersama Mamanya, Diana. Dia adik kandung Papa, Tanteku.
“Lho, kamu ikut juga Diana?” tanya Mama ketika keduanya duduk di sofa panjang di hadapan kami.
“Nggaklah Mbak, cuma nganterin Sisca aja,” jawab Tante Diana.
“Ban mobil Sisca bocor, Tante,” terang Sisca kemudian.
“Berarti berangkat pake mobilku nih?” tanyaku cepat begitu menyadari makna perkataan Sisca. Dia mengangguk sambil meringis.
Aku menggeleng kesal, sesuatu yang diluar rencana bukanlah hal yang aku suka. “Kenapa nggak bilang daritadi, Non? Bentar, aku suruh Mas Bayu siapin mobil.”
“Jangan manyun Nyonyah, retak bedaknya,” celetuk Sisca saat aku pergi untuk mengambil kunci mobil dan memanggil Mas Bayu, sopir kami. Dia tertawa. Menertawakan kekesalanku. Sisca selalu menikmati itu, menggodaku hingga kesal. Panggilan Nyonyah yang di berikannya padaku juga bukan tanpa alasan. Aku selalu mudah marah dan katanya itu mirip dengan gaya Nyonyah Besar.
Saat aku kembali ke ruang tengah, ketiganya sedang asik mengobrol.
“Kamu cantik, Nggra,” puji Tante Diana.
“Pasti dong, Tante,” selorohku.
“Halah, ge-er,” komentar Sisca.
Aku melihat Sisca. Seperti biasa, dia selalu tampil sempurna. Wajah bulatnya cantik dengan make up dan rambut ikal hitamnya tergerai indah di bahu. Malam ini dia mengenakan gaun ungu muda yang potongannya pas di tubuh sintalnya.
“Lumayan.” Sisca nyengir, ternyata dia justru menilai penampilanku.
Mengabaikan pendapatnya, aku menarik tangan Sisca. “Ayo berangkat, kemaleman nanti. Ma, Tante, berangkat dulu.”
“Oke, kami berangkat ya.”
“Hati-hati,” seru Mama dan Tante Diana bersamaan.
Mas Bayu sudah menunggu kami di teras rumah. Aku menolak saat dia memberikan kunci Vios dan langsung menunjuk pada Sisca.
“Kamu yang bawa,” kataku menegaskan bahasa tubuhku.
“Curang ah!” keluh Sisca tapi dia tidak lagi protes saat aku sudah masuk lebih dulu ke kursi penumpang.
***
Pernikahan dan Hati Yang Mati
Foto prewedding Kiki dan suaminya menyambut kami di pintu masuk Ballroom Hotel Peninsula.
“Cantik ya,” puji Sisca.
“Namanya juga pengantin,” jawabku datar.
“Ah, kapan ya Nggra aku bisa foto kayak gitu,” Sisca memandang foto penuh harap.
“Maunya kapan? Biar aku bilang sama Abram.”
Sisca memukul lenganku sambil cemberut.
“Lho, salah ya? Gimana sih?” kataku pura-pura bodoh. Aku tahu kenapa Sisca dan Abram, pacarnya, belum bisa meresmikan hubungan mereka. Om David, Papa Sisca sekaligus Omku, cukup ketat untuk urusan yang satu ini.
“Kuliah belum kelar, bisa digantung Papa nanti.”
Aku tertawa melihat wajah kesal Sisca.
“Udah ah, ayo masuk,” Sisca menarik tanganku.
Sisca kembali berdecak kagum ketika kami masuk ke ballroom yang terlihat indah dengan nuansa putih dan ungu, cocok dengan gaun yang di kenakannya. Buffet mewah sudah tersaji dengan hidangan yang menggugah selera. Kiki dan suaminya juga keluarga besar mereka tampak begitu bahagia di atas pelaminan megah dengan sorotan lampu ungu dan berbagai hiasan bunga.
“Kita salamin pengantinnya dulu ya,” ajak Sisca. Aku mengangguk setuju dan mengikuti Sisca ke panggung pelaminan.
“Wah, kalian dateng juga!” pekik Kiki senang ketika melihatku dan Sisca datang.
“Iya dong, mumpung lagi libur. Selamat ya, Ki,” kata Sisca seraya memeluk dan mencium kedua pipi Kiki.
“Selamat ya, Ki. Semoga bahagia,” ucapku sambil melakukan hal yang sama, memeluk dan menciumnya. Kami memberi selamat dan bersalaman dengan suami Kiki.
“Makasih ya, Sis, Nggra. Ayo, kapan nyusul?”
Sisca tertawa dan aku hanya tersenyum tipis. “Doain aja segera,” jawab Sisca semangat.
“Kamu, Nggra?” tanya Kiki.
“Belum mikir,” jawabku datar.
Kiki hanya tersenyum, dia pasti tahu kalau aku belum punya pacar. “Jangan lama-lama, pasti udah banyak calonnya, tinggal pilih,” canda Kiki.
Aku kembali tersenyum dengan candaannya. Beruntung ada beberapa tamu yang mengantre di belakang kami, jadi ada alasan untukku segera pergi dan menghindari pertanyaan berlanjut. Sekali lagi mengucapkan selamat, kami pun segera turun dari panggung pelaminan.
“Suaminya ganteng ya,” bisik Sisca. Aku menaikkan alis pada sepupu centilku. “Cuma komentar, Nyah, cuma komentar,” tandasnya seraya melambai-lambaikan tangan kirinya di udara.
Aku hanya menggeleng dengan komentar Sisca. Sejenak kembali melihat Kiki dan suaminya, kali ini lebih memperhatikan sang suami. Ganteng? Entah kenapa aku sama sekali tidak pernah tertarik dengan kaum Adam. Berada di pesta pernikahan semegah ini pun, tidak lantas membuatku ingin menjadi seorang pengantin. Aku bahkan tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali.
Tidak seperti Sisca yang sudah sering pacaran, aku belum pernah menjalin hubungan dengan laki-laki. Apa yang namanya cinta monyet pun aku tidak tahu. Cinta? Entah apa artinya kata itu.
“Itu temen-temen!” seru Sisca girang.
Sekali lagi aku hanya mengikuti kemana sepupuku itu pergi. Dia langsung heboh saat bertemu dengan teman-teman SMA kami. Saling sapa, saling peluk dan aku menebar senyum langkaku. Aku memang tidak begitu akrab dengan mereka. Seorang Anggra terkenal introvert. Hanya karena Sisca lah aku masih punya beberapa teman yang cukup paham dengan pembawaanku, salah satunya Kiki.
“Eh, Anggra, lama nggak liat kamu lho. Kamu betah amat di Jogja, sampe nggak pernah nongol,” celetuk salah seorang temanku.
“Iya, nanti kalau bolak-balik nggak kelar-kelar deh kuliahnya,” jawabku santai. Itu adalah jurus pamungkasku untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang kepo dengan alasanku yang tidak pernah pulang ke Kota Wisata.
“Jangan tanya kalo Anggra. Ini aja dia cuma liburan seminggu terus balik lagi ke Jogja buat urus skripsinya,” tambah Sisca.
“Serius nih? Kamu udah skripsi sekarang? Wah, cumlaude dong,” kata salah seorang temanku yang lain.
“Semoga,” jawabku acuh tak acuh.
Aku permisi ke toilet ketika mereka mulai membicarakan soal kuliah kedokteran Sisca dan merambat pada topik pacar juga gebetan. Jelas bukan topikku, lebih baik menyingkir sebelum terjebak dengan topik menyebalkan.
Kembali dari toilet aku duduk di bangku lobi, rasanya enggan kembali ke dalam ballroom meski aku belum menyentuh satu pun hidangan yang di sajikan. Hanya minum cocktail sambil ngobrol dengan teman-teman. Lagipula aku tidak lapar.
Termenung sejenak melihat foto prewedding yang terpajang. Pernikahan? Otakku selalu buntu jika memikirkan hal itu. Malas dengan pikiran yang semakin melayang membuatku kembali melangkahkan kaki memasuki ballroom, melenguh panjang saat melihat kerumunan di sekeliling Sisca semakin ramai. Dia seperti magnet saja dan sayangnya aku tidak bisa menghindar. Terpaksa senyumku kembali harus mengembang saat beberapa teman SMA yang baru datang menyapaku.
***
Daripada pesta pernikahan, acara kali ini lebih seperti reuni SMA. Aku lega saat akhirnya bisa keluar dari hiruk pikuk pesta yang tidak pernah cocok denganku.
“Nggra, tadi Ryan nanyain soal kamu lho. Keliatannya dia masih suka sama kamu.”
Aku melihat Sisca yang bersandar santai di jok sebelahku. Kami dalam perjalanan pulang, kali ini aku yang membawa mobil.
“Nyah!” serunya kesal karena aku mengabaikannya.
“Apa?” aku masih fokus melihat jalan.
“Nggak bosen apa jomblo terus?”
Aku tertawa. “Kamu nggak bosen punya pacar?”
“Enakan juga punya pacar.”
“Enakan juga sendiri, bebas.”
Perkataanku membuat Sisca terdiam. Dia tahu dengan pasti pendapatku yang satu ini tidak bisa di debat.
“Kamu mau hidup sendiri?” katanya kemudian.
Dari sudut mata kulihat dia menatapku sendu. “Kalo itu lebih baik kenapa nggak?”
“Masih banyak cowok baik di luar sana, Nggra. Kamu nggak bisa sama ratain semuanya.”
Aku terdiam. Dalam hati aku tahu itu benar tapi jujur, aku memang alergi dengan makhluk bernama laki-laki. Salah satu alasan aku kuliah di bidang hukum adalah karena di bidang itu aku bisa mengalahkan banyak laki-laki. Membuktikan bahwa bukan mereka makhluk terkuat di bumi ini sehingga bisa menyakiti perempuan seenaknya. Sisca menghela napas panjang lalu menyalakan musik dari Iphone-nya, mengisi keheneningan di antara kami.
***
Sudah lebih jam sebelas malam saat Vios-ku berhenti di depan rumah Sisca. “Non, bangun!” Aku mengguncang pelan bahunya.
Mata Sisca mengerjap dan menyipit melihatku. Dia menggeliat panjang lalu menguap dengan lebar. “Sorry ya, aku ketiduran,” katanya sambil meringis.
“Udah sana cepet turun, aku juga ngantuk nih.”
Sisca mencium pipiku sambil mengucapkan terima kasih dan segera turun. Aku pun kembali menjalankan mobil. Jalanan komplek sudah lengang, seorang security mengangguk saat aku memasuki gerbang cluster.
Tiin! Tiin! Mas Bayu berlari untuk membukakan gerbang dan dengan mulus aku memarkirkan mobil di garasi.
“Mama kok belum tidur?” Aku terkejut melihat Mama masih menungguku sambil menonton televisi di ruang tengah.
“Gimana Mama bisa tidur kalo anak Mama masih di luar?”
Oh, inilah Mamaku tersayang. Aku menghampiri Mama dan dengan manja berbaring di pangkuannya. Tidak peduli berapa umurku, hanya dengan Mama aku bisa bermanja-manja seperti ini.
Mama mengusap lembut kepalaku dan melepaskan jepit rambutku. “Kok malah tiduran di sini? Sana ganti baju, bersih-bersih terus tidur.”
“Aku tidur sama Mama ya?”
Mama tertawa. “Ya, udah sana bersih-bersih dulu, terus ganti baju.”
“Oke!” Aku bangun dan pergi ke kamar.
Lama tidak membawa mobil dengan jarak jauh ternyata cukup melelahkan. Mandi air panas membuat ketegangan pada otot-ototku mengendur. Senyum langkaku kembali mengembang ketika keluar dari kamar mandi dan melihat Mama sudah ada di atas tempat tidurku. Tidur dalam pelukan Mama adalah hal paling membahagiakan bagiku.
“Capek?” Mama mengusap kepalaku seolah aku masih gadis kecil berumur lima tahun.
“Hhmm,” gumamku manja.
Mama tersenyum dan mengecup keningku. Hal terakhir yang aku ingat sebelum benar-benar terlelap adalah bisikan selamat malam Mama dan tangan hangatnya yang melingkar di tubuhku. Nyaman.
***
Aku melipat beberapa baju dan menatanya dengan rapi di dalam koper. Sisca yang duduk di depanku hanya diam melihatku merapikan barang-barang.
“Yakin mau berangkat sekarang, Nyah?” lirihnya.
Aku diam menatapnya.
“Nyah, kamu nggak pulang tiga tahun dan sekarang cuma di sini seminggu? Kasihan Tante.”
“Justru kasihan Mama kalo aku kelamaan di rumah.” Sisca langsung terdiam. Pintu kamar yang di ketuk mengalihkan perhatianku, Tante Diana muncul dari balik pintu.
“Ini tiketnya.” Tante Diana mengulurkan sebuah amplop padaku.
“Makasih, Tan,” kataku setelah selesai memeriksanya.
“Kamu yakin mau berangkat hari ini, Nggra?” Sama seperti Sisca, ketidak setujuan juga terlihat di wajah Tante Diana.
“Iya.”
Tante Diana hanya menepuk-nepuk lenganku sambil tersenyum lalu keluar dari kamar. Kami berdua kembali terdiam. Sisca diam melihatku dan aku diam menata barang-barangku. Tak lama kemudian Mama masuk dan mencairkan keheningan di antara kami.
“Udah selesai?” tanya Mama. Aku mengangguk sementara Mama mengulum senyum. “Mama dateng ke Jogja dua atau tiga minggu lagi.” Aku mengangguk lagi.
Kami masih sempat mengobrol dan bercanda sebelum akhirnya aku harus berangkat ke bandara. Tante Diana dan Sisca mencium dan memelukku bergantian, melepas kepergianku di teras rumah.
“Baik-baik di rumah sendirian ya, Nyah,” seloroh Sisca padaku.
“Jogja damai nggak ada kamu,” balasku. Sisca terkekeh.
“Ayo berangkat, nanti terlambat,” kata Mama.
“Berangkat ya, Tante, Non.”
Keduanya tersenyum dan melambaikan tangan ketika aku menjinjing koper kecilku menuruni tangga teras bersama Mama. Mas Bayu meminta koperku dan memasukkannya ke bagasi Vios. Baru saja aku membuka pintu belakang mobil, sebuah BMW hitam berhenti tepat di depan gerbang. Aku tahu siapa pemilik mobil itu dan langsung menoleh pada Mama.
“Iya, Mama yang kasih tahu Papa,” jawabnya padaku.
Aku mendengus kesal tapi tidak mungkin aku marah pada Mama. Dia satu-satunya orang di bumi ini yang aku hormati dan bukan termasuk dalam daftar orang yang ingin aku sakiti.
“Papa anter kamu ke bandara ya,” pinta Papa seraya menyunggingkan senyumnya. Aku tahu dia tulus meminta tapi sayangnya aku sama sekali tidak tersentuh dengan apapun yang di lakukannya.
“Nggak usah, ada Mas Bayu,” jawabku datar.
Mama menahan lenganku saat aku berniat masuk ke dalam mobil. “Papa udah dateng jauh-jauh buat kamu, kita berangkat sama Papa aja ya,” bujuk Mama.
“Nggak, Ma,” jawabku kesal dengan mata melebar.
“Anggra,” bujuk Mama lagi.
Aku melihat Papa yang menatapku penuh harap, membuatku semakin kesal. Dengan cepat aku masuk ke dalam Vios. Aku melihat dari kaca spion Mama berbicara dengan Papa. Tante Diana dan Sisca masih berdiri di teras, menyaksikan drama keluarga yang mungkin lebih seru jika di bandingkan dengan sinetron yang ada di televisi. Pintu mobil terbuka dan Mama mencondongkan tubuhnya padaku.
“Ya udah, kalo kamu nggak mau di anterin. Tapi Papa tetep boleh ikut ke bandara kan?” Rupanya Mama belum kehabisan akal.
Mataku menyipit dengan kesal. “Buat apa sih, Ma? Diakan sibuk, suruh aja dia balik ke kantor! Ngapain buang-buang waktu nganter aku ke bandara.”
“Ya buat temen Mama lah.”
Oh?! Jurus baru?Aku melengkungkan alis dengan heran.
“Nanti pulang dari bandara masa iya Mama sendirian, kan lebih enak kalau Mama pulang sama Papa.”
Mulutku menganga tapi dengan cepat aku menutupnya. Alasan konyol!
“Gimana?”
Gimana apanya? Apa iya aku bisa bilang nggak kalo alasannya kayak gitu?! Aku berteriak di dalam kepalaku dan hanya mendengus kesal pada diriku sendiri.
“Terserah,” jawabku singkat sambil memalingkan wajah dari Mama, menghindari tatapan mata yang memohon padaku. Mama menghilang dari pintu dan kembali lagi dengan senyum lebar lalu duduk di sebelahku.
“Ayo Bayu, kita berangkat,” perintah Mama.
“Ya, Bu.”
Aku melihat Mbak Hesti berlari membuka pintu gerbang. Mobil Papa menyingkir dari depan gerbang dan segera mengikuti kami dari belakang. Sepanjang perjalanan aku hanya memainkan Iphone dan masih enggan bicara pada Mama. Bukan marah, hanya menghindari bujukannya. Mama tahu semua titik lemahku, aku sulit berkata tidak padanya.
***
“Buka bagasinya Mas, aku ambil sendiri,” kataku cepat saat Mas Bayu baru saja berhenti di depan pintu keberangkatan. Dengan cepat Mas Bayu menekan beberapa tombol dan pintu terbuka. Aku langsung turun dan berjalan ke belakang mengambil koper. Untungnya aku tidak membawa banyak barang, hanya sebuah koper kecil dan tote bag yang aku sandang di bahu.
“Hei!” Mama menahan lenganku karena membaca niatku untuk kabur ketika melihat Papa turun dari BMW-nya. Laki-laki yang masih tampak gagah dan tampan dengan balutan jas mahal juga sepatu kulitnya itu berjalan menghampiriku dengan menjaga senyumnya tetap tersimpul rapi.
Aku menyadari kalau semuanya sudah berubah. Betapa dulu aku begitu mengaggumi sosok yang ada di hadapanku ini. Direktur Utama sekaligus pemilik perusahaan ekspor impor yang cukup ternama di Jakarta. Tapi sekarang? Aku bahkan rela membayar untuk tidak bertemu dengannya.
Memutar kaki pada tumit, dengan cepat aku berjalan menuju pintu masuk. Mama mengimbangi langkahku dan aku senang karena sudut mataku tidak menangkap sosok Papa. Dia menjaga jarak dariku.
“Aku berangkat ya, Ma.” Aku mencium dan memeluk Mama erat. Hati kecilku masih berat meninggalkannya tapi aku punya alasan yang lebih kuat untuk segera kembali ke Yogyakarta. Sakit hati? Ya, itu alasan tepat menurutku.
“Hati-hati, kabarin Mama kalo udah sampe ya,” pesan Mama setelah pelukanku terlepas.
“Pasti.”
“Jaga diri baik-baik di sana, jaga kesehatan, jangan banyak bergadang.” Aku tersenyum tipis dengan pesan Mama. “Oh iya, makan juga yang teratur. Jangan gara-gara skripsi jadi lupa makan, lupa tidur,” tambah Mama.
Senyumku melebar. “Iya, Ma.” Dan sekali lagi aku memeluk Mama. Melihat Papa mendekat, senyumku langsung menghilang.
“Hati-hati dijalan ya,” katanya. Aku tahu dia sedang menilai reaksiku. Aku hanya mengangguk. “Kapan-kapan Papa dateng sama Mama ya.”
Mataku melebar. Oh, udah berani pake jurus Mama ya! Aku mengabaikannya. Sekali lagi, aku memeluk dan mencium Mama lalu pergi tanpa menoleh ke belakang lagi.
***
Matahari sudah kembali ke peraduannya saat aku menginjakkan kaki di Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Tidak repot mengantre bagasi karena aku memasukkan koper kecilku di kabin. Setelah berjalan ke luar, aku menghampiri salah satu taksi yang berjajar.
“Merapi View, Jalan Kaliurang, Pak,” kataku cepat.
“Ya, Mbak,” jawab sang sopir sopan.
Taksi meluncur dan aku mulai merasakan sensasi lain karena berada di tempat yang jauh dari masa laluku. Teringat untuk memberi kabar pada Mama, aku pun segera mengambil Iphone dari dalam tas.
“Darimana, Mbak?” tanya supir taksi.
“Dari Jakarta, Pak,” jawabku tanpa melihatnya. Mataku masih menatap layar Iphone dan jariku sibuk mengetik pesan untuk Mama juga Sisca.
“Kuliah ya?” tanyanya lagi.
“Iya.”
“Di mana?”
Aku mengangkat kepala dan melihat ke arah supir taksi yang menurutku cerewet. “UGM.” Tapi akhirnya aku menjawab juga.
“Jurusan apa?” tanyanya lagi dan aku menahan diri untuk tidak mengomel.
“Hukum.”
“Wah, hebat!” serunya dengan nada suara yang sedikit lebih tinggi. “Mau jadi pengacara ya, Mbak?” tanyanya lagi, kali ini lebih bersemangat dari sebelumnya.
“Iya,” jawabku sekenanya.
“Semoga sukses ya Mbak kuliahnya, tercapai apa yang di cita-citakan nanti.” Aku bisa menangkap ketulusan dari ucapannya.
“Terima kasih.” Dan aku juga tulus mengucapkan terima kasih, menghargai doanya untukku.
“Anak saya masih SMP, Mbak. Sekarang saya kerja keras buat ngumpulin uang, biar anak saya bisa kuliah nanti. Biar hidupnya lebih baik, nggak seperti orang tuanya.”
Aku terhenyak. “Bapak pasti sayang sama anaknya ya?” Tanpa sadar pertanyaan itu sudah meluncur dari bibirku.
Sopir taksi itu terkekeh. “Ya sayanglah, Mbak. Mana ada bapak nggak sayang sama anaknya sendiri.”
“Ada,” jawabku pelan. Aku menangkap keterkejutannya atas jawabanku.
“Mungkin bukannya nggak sayang Mbak, tapi cuma nggak tahu gimana menunjukkan rasa sayangnya,” katanya kemudian.
Aku terdiam dan saat dia menoleh padaku di lampu merah, aku hanya tersenyum tipis. Nggak tahu gimana menunjukkan rasa sayangnya? Pendapat yang bijak tapi tidak cocok untuk kasusku. Dalam hal ini aku sadar, aku memang tidak pernah memberikan kesempatan pada Papa untuk menunjukkannya.
Menghela napas panjang, jujur, sebenarnya aku lelah. Lelah dengan semua drama kehidupan ini. Aku tidak bisa melupakan masa lalu dan memilih untuk lari. Walaupun aku tahu, sejauh apa pun aku pergi dari Jakarta tetap saja masa lalu itu akan menghantuiku, mengejarku.
Kembali aku teringat perkataan Mama, memaafkan. Masih terdengar tidak masuk akal bagiku. Aku menderita dan sakit hati maka Papa juga pantas merasakan apa yang aku rasakan. Hatiku bersikukuh dengan pendapat itu.
Aku melihat ke luar jendela, taksi sudah memasuki komplek perumahan Merapi View. Aku menyebutkan nomor rumahku sambil menunjukkan arah pada sopir.
“Ini Pak, terima kasih,” ucapku seraya mengulurkan uang padanya.
“Terima kasih juga, Mbak,” katanya sopan.
Aku turun dan menatap rindu rumah kontrakanku meski faktanya aku hanya pergi selama satu minggu. Di rumah ini aku mendapat sedikit ketenangan yang tidak aku dapatkan di tempat lain. Kutekan bel dan sebuah seruan untuk menunggu terdengar dari dalam. Suara nyaring Mbak Endang, pembantuku, lebih tepatnya pembantuku dan Sisca.
Kami berdua terlalu manja untuk bisa hidup mandiri. Bagaimana tidak, aku dan Sisca sama-sama anak tunggal yang terbiasa di layani ini itu. Membayangkan harus tinggal jauh dari rumah dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri sudah membuat kami demam.
Sisca selalu berkilah kalau kerja keras ayahnya akan sia-sia jika dia masih harus mencuci dan mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Aku selalu tertawa kalau mengingat itu. Aku memang tidak semanja Sisca tapi aku juga tidak pernah suka mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Keningku berkerut dalam saat Mbak Endang tidak juga membukakan pintu, entah apa yang sedang di lakukannya. Aku menekan bel sekali lagi dan kali ini sebuah teriakan keras menjawab.
“Mbak, ini aku! Anggra!” seruku dan pintu segera terbuka.
Wajah terkejut Mbak Endang menyambutku. Ya, aku belum bilang padanya kalau aku pulang lebih cepat daripada Sisca. “Mbak Anggra kok udah pulang?” tanyanya masih dengan ekspresi terkejut. Dia membuka pintu lebih lebar dan membiarkan aku masuk.
“Kenapa? Nggak suka aku pulang?”
“Eh, bukan begitu Mbak, kaget aja. Kok cepet pulangnya, kan katanya kemarin dua bulan.”
“Itukan Sisca.” Aku menghempaskan tubuh ke sofa di ruang tengah dan menggeliat panjang. “Oh iya Mbak, ada soto di dalam koper, tolong panasin dong. Bisa buat kita berdua tuh, Mbak Endang udah makan?”
Mbak Endang meringis sambil menggeleng. Dia tahu soto buatan Mama, dengan semangat dia membuka koperku dan mengambil tupperwere yang terbungkus rapi. Iphone-ku berdering dan aku bangun untuk mengambil tas.
“Ya, Ma?” Aku kembali berbaring.
“Udah sampe rumah?”
“Udah.”
“Udah makan?”
“Sotonya lagi dipanasin Mbak Endang. Mama di mana?”
“Hhmm, masih di jalan.”
Aku diam, pikiranku menebak dengan pasti Mama sedang bersama dengan siapa. “Aku mau mandi dulu ya, Ma,” kataku kemudian. Alasan untuk segera mengakhiri telepon Mama.
“Iya, habis mandi, makan, terus tidur. Kamu capek kan?”
“Ah, kaya anak TK aja Ma, mandi, makan, cuci kaki cuci tangan, bobo.”
Mama tertawa. “Ya udah sana, besok Mama telepon lagi ya.”
“Iya, Ma.”
Mbak Endang keluar dari dapur dan memberi laporan kalau sotonya sudah siap. Dengan semangat aku bangun dan berjalan ke dapur.
***
Sejak pagi aku sudah menekuni laptop kesayanganku. Otakku berusaha untuk fokus pada materi skripsi, tapi nyatanya sudah hampir enam jam aku duduk, tidak banyak perbaikan yang bisa aku buat. Beberapa buku terbuka begitu saja tanpa aku baca.
“Bosaaaannnn!” keluhku seraya menghempaskan tubuh ke tempat tidur. Aku menggeliat panjang untuk merenggangkan otot yang kaku. Tidak ada Sisca di rumah ternyata membuat perubahan besar. Sepi. Noni cerewet itu selalu punya cara untuk menghiburku. Dia tidak pernah kehabisan akal untuk membuat suasana jadi menyenangkan.
Melihat jam dinding, sudah jam dua siang dan aku jenuh di kamar. Sepertinya aku butuh udara segar. Dengan cepat aku bangun dan membuka lemari pakaian, memilih kamisol berwarna biru dan cardigan hitam juga celana jeans panjang. Selesai mengganti kostum, aku mematut diriku di depan cermin.
Hm, sedikit bernarsis ria, aku memang cantik. Wajahku oval, putih, bersih dari jerawat dan tidak berminyak. Rambutku lurus, hitam lebat dengan potongan layer sebatas punggung. Tinggiku seratus enam puluh tujuh sentimeter, tinggi untuk ukuran perempuan Indonesia. Tubuhku juga ramping, tidak heran kalau dari dulu banyak keturunan Adam yang tertarik padaku. Termasuk Ryan yang jelas menyukaiku saat SMA.
Di kampus juga tidak sedikit laki-laki yang melirikku. Bahkan, ada kakak tingkat yang semester lalu terang-terangan menyatakan perasaannya padaku. Tapi bukan Anggra namanya kalau aku tidak secara terang-terangan juga menolaknya. Sisca berteriak marah padaku waktu itu. Bukan hanya karena aku menolaknya tapi lebih karena aku tidak mau membuka hatiku untuk laki-laki.
Sisca selalu berpendapat bahwa pacaran adalah salah satu terapi untuk menghilangkan kebencianku pada laki-laki. Aku terbahak dengan istilah terapi yang di gunakan oleh Sisca, maklum saja dia calon dokter. Tapi siapa yang bisa menjamin terapi itu akan berhasil dan bukan sebaliknya? Membuatku semakin membenci laki-laki karena menurutku mereka adalah makhluk paling arogan. Menurut Sisca, akulah makhluk paling arogan di bumi.
Aku tersenyum menatap cermin. Sekali lagi mengagumi diriku sendiri. Aku puas jika terlihat sempurna di mata orang dan memang sudah seharusnya begitu. Aku tidak pernah suka orang tahu bagaimana aku yang sebenarnya di balik kesempurnaan penampilan fisik ini. Karena itulah aku tidak suka menjalin hubungan dekat dengan orang lain.
Aku menikmati kesendirianku dan tidak berniat untuk merubahnya. Aku pasti mampu menjalani hidup ini sendiri, menjalani kebebasanku tanpa campur tangan laki-laki di dalamnya. Aku merasa cukup kuat untuk itu. Wonder women itulah aku.
Mataku melihat ke langit melalui jendela kamar, cuaca tidak begitu panas. Aku berencana untuk pergi jalan-jalan ke Malioboro dan tentu saja akan lebih nyaman kalau aku menggunakan motor, cuaca cukup mendukung. Kuraih tas dan menyandangkannya ke bahu. Suasana hatiku sudah lebih ringan.
“Mbak Endang, aku pergi ya. Jangan lupa kunci pintu kalo nonton film Korea. Nanti ada yang masuk nggak tahu lagi, asik nonton TV,” pesanku dan Mbak Endang terkikik.
“Iya Mbak. Hati-hati ya, Mbak.”
“Oke.” Masih sempat kucolek Yaris yang mendengkur di garasi. Berdebu, padahal baru kutinggal satu minggu. Aku mengingatkan diriku sendiri untuk membawanya ke salon mobil besok.
Beralih pada motor matic, dengan mulus aku meluncur keluar dari garasi dan merasakan sensasi segar dari udara yang menerpa wajahku. Aku menikmati perjalanan dari Merapi View menuju Malioboro, beruntung lalu lintas tidak begitu padat.
***
Tanpa kesulitan, aku memarkirkan motor di tempat parkir dekat dengan Mirota Batik. Tempat yang pas untuk mulai menyusuri jalanan Malioboro. Sepatu converse yang kupakai sudah mendukung seratus persen rencanaku. Melenggang santai, aku menikmati kesendirianku di tengah keramaian Malioboro.
Akhir Juni, libur tahun ajaran baru untuk anak sekolah dan libur panjang semester untuk mahasiswa membuat Malioboro sebagai tempat tujuan wisata menjadi ramai. Bahkan tidak sedikit wisatawan asing terlihat menawar baju batik atau souvenir lainnya yang di jual di sepanjang jalan Malioboro.
Puas menyusuri setiap petak ubin di emperan toko Malioboro, aku mengistirahatkan kakiku dengan duduk di bangku, depan Pasar Beringharjo. Mataku melihat ibu-ibu penjual sate kere dan liurku menetes, baru ingat kalau aku belum makan siang.
“Bu, beli satu porsi ya.”
“Nggih Mbak.” Dengan cekatan ibu itu mengambil sate yang baru saja matang dan meletakkannya pada daun pisang yang biasa mereka sebut dengan pincuk.
Kuulurkan uang dua puluh ribu rupiah seraya mengucapkan terima kasih dan aku mulai menikmati sate kere. Tiba-tiba aku teringat Sisca, dia pasti akan berteriak kalau melihatku sekarang. Sate kere sebenarnya adalah sate yang terbuat dari gajih atau lemak, bukan daging dan bagi Sisca itu adalah makanan terlarang. Terlarang bagi kesehatan karena dia seorang calon dokter, juga terlarang bagi kecantikan karena lemak membuat Noni cantik jadi gemuk.
Sore merambat senja. Tidak mau pulang malam, maka aku memutuskan untuk beranjak dari acara duduk santaiku. Dari depan pasar aku menyeberang ke arah Mirota Batik menuju tempat parkir. Petugas parkir yang sedang duduk langsung melompat berdiri saat melihatku dan aku mendengus karenanya. Dia ingat dengan baik motorku dan dengan cekatan mengeluarkannya.
“Terima kasih, Mbak, hati-hati. Besok main lagi ya,” katanya saat aku mengulurkan karcis dan uang parkir.
Aku tidak menanggapinya. Begitulah laki-laki, selalu menggoda di saat ada kesempatan. Siapa yang tahu kalau ternyata di rumah dia punya anak dan istri yang begitu percaya kalau dia sedang bekerja keras mencari nafkah dan bukannya menggoda setiap gadis cantik yang membawa motor di parkiran. Sekali lagi aku mendengus kesal dalam hati. Entah kapan aku akan punya persepsi baik mengenai laki-laki.
Matahari berpendar oranye dan akan segera tenggelam. Pergelangan tanganku memutar gas dan motorku melaju meninggalkan tempat parkir. Aku tidak melihat ke kiri saat memasuki jalan besar dan langsung berbelok dengan cepat menuju lampu merah. Teriakan keras terdengar dari arah belakang dan aku terlambat menyadari apa yang terjadi.
Braaakkkk!!
Aku mendengar suara benturan yang memekakkan telinga dan merasakan tubuhku melayang, terhempas di aspal keras. Kepalaku berdentum meski kurasakan helm masih terpasang sempurna. Mataku mengabur saat aku merasakan tubuhku kembali melayang. Aku masih sadar, aku tahu seseorang mengangkat tubuhku tapi tidak tahu siapa. Banyak orang dan banyak suara berisik, pandanganku semakin berkabut dan hal terakhir yang aku ingat adalah sebuah teriakan keras.
“Panggil ambulance!”
***
Seseorang menggenggam erat tanganku. Menarikku dari kegelapan yang damai dan sebuah isakan membawaku ke alam sadar. Aku bisa merasakan bola mataku bergerak dan perlahan aku membuka mata.
“Ugh!” Aku melenguh, seluruh tubuhku sakit. Mataku kembali terpejam saat kepalaku berdenyut tidak karuan.
“Anggra.” Suara parau sarat kesedihan berbisik di telingaku.
Aku kembali mencoba membuka mata. Pandanganku berkabut, mataku mengerjap perlahan dan semuanya semakin jelas. Aku langsung mengenali wajah sayu seorang wanita yang memandangku penuh kesedihan. Mama?
“Oh, Anggra, syukurlah.” Mama terisak sementara aku masih berusaha mengumpulkan kesadaranku yang berserak. Ruangan bernuansa putih ini sama sekali asing bagiku. Aku mengalami disorientasi waktu dan tempat. Ini dimana? Kenapa badanku sakit semua?
Tangan halus Mama membelai sisi wajahku. Bola mataku bergerak ke kanan dan ke kiri tapi aku masih membisu dalam kebingunganku. “Ma,” lirihku. Aku bahkan terhenyak mendengar suaraku sendiri. Aku kenapa? Aku mendengar suara derap kaki, wajah Sisca juga Tante Diana langsung muncul di sisi lain tempatku berbaring.
“Ada … apa?” Aku kembali mencoba bersuara. Kebingungan ini membuat kepalaku semakin berdenyut sakit.
“Kamu nggak ingat?” Sisca yang terlihat begitu cemas menautkan alis atas pertanyaanku.
“Apa?” lirihku lagi.
“Sstt, jangan di paksa,” kata Mama dengan senyum manis yang jelas terlihat di paksakan di tengah ekspresi wajah penuh kekhawatiran.
“Aku udah panggil dokter Mbak, sebentar lagi dateng. Ayo Sisca, kita keluar. Biar Anggra tenang dulu, nanti kita bicara lagi.” Tante Diana mengusap lembut punggung tanganku sambil tersenyum. Dia meraih bahu Sisca dan membimbingnya keluar.
“Istirahat ya, Nyah,” katanya sebelum pergi.
Mama mengusap lagi wajahku dan aku kembali menatapnya. Belum sempat aku bertanya, dua orang berjas putih yang aku tahu adalah dokter tersenyum padaku setelah sebelumnya menyapa Mama dengan ramah. Aku menyadari sesuatu. Rumah sakit. Ya, aku ada di rumah sakit dan kepalaku berdentum keras saat berusaha mengingat alasan aku bisa berada di tempat ini.
“Boleh tahu siapa namanya?” tanya salah seorang dokter perempuan padaku. Senyumnya manis dan menenangkan, dari name tag-nya aku tahu namanya Veronica.
“Veronica,” jawabku polos dan kedua dokter temasuk Mama tampak terkejut. Aku baru menyadari kebodohanku. “Anggraini, Anggraini Ika, Wibowo,” ulangku terbata.
“Bagus, Mbak Anggra kenal ini siapa?” tanya Dokter Veronica lagi. Aku melirik pada Mama yang di tunjuk oleh Dokter Veronica.
“Mama,” jawabku.
Dokter Veronica tersenyum dan mengatakan sesuatu pada perawat yang berdiri di sampingnya dengan membawa catatan, entah apa yang di katakannya. Sekarang rekan dokter Veronica menghampiriku dengan senyuman, dia laki-laki, jadi aku tidak suka senyumannya. Sekali lagi dari name tag aku tahu siapa namanya, Budiman, dan aku hampir tertawa.
“Halo Mbak, sudah bisa senyum berarti sudah sehat,” katanya lembut.
Baru sadar kalau aku tersenyum. Aku kembali menekan bibirku menjadi garis lurus dan membayangkan kalau dia tidak akan lagi menjadi budiman jika tahu apa yang sedang aku pikirkan.
“Apa yang Mbak Anggra rasakan?” tanya Dokter Budiman lagi dan itu menghentikan pemikiran gilaku. Ya, aku gila karena membayangkan banyak hal aneh dan lucu meski faktanya aku terbaring di tempat tidur rumah sakit tanpa tahu alasannya. Apa itu pengaruh obat? Entahlah.
“Pusing, sakit, bingung,” jawabku dan aku masih heran kenapa tidak bisa bersuara keras.
Dokter Budiman tersenyum lalu mengeluarkan stetoskop-nya dan mulai memeriksaku. Mataku hampir melotot karenanya. Kenapa bukan Dokter Veronica saja yang memeriksaku? Aku menyingkirkan perasaan jijik ketika tangan dokter Budiman dengan lembut menyentuh beberapa bagian tubuhku seraya menanyakan apa yang aku rasakan. Bahu dan lengan kananku sakit tapi sebelah kiri tidak. Pinggulku juga terasa nyeri dan kepalaku berdenyut-denyut.
Aku mulai menginventarisasi rasa sakit di tubuhku karena pertanyaan-pertanyaan yang di lontarkan Dokter Budiman. Dan terakhir, aku merasa heran karena tidak dapat merasakan kaki kananku. Kaki kiriku? Mendesah lega, jempol kakiku menari.
“Kakiku?” Aku bergumam dan entah kenapa Mama terlihat bingung menatapku. Dokter Veronica dan Dokter Budiman saling berpandangan. Aku senang saat Dokter Veronica yang mendekat padaku.
“Kejadian apa yang terakhir Mbak Anggra ingat?” tanyanya lembut.
Nah, itu pertanyaan yang aku tanyakan sendiri sejak tadi. Mataku berputar mengekspresikan otakku yang sedang bekerja. Tunggu?! “Aku pergi ke Malioboro,” jawabku lirih.
Dokter Veronica mengangguk. “Lalu?”
Aku sadar mataku mengerat menahan kepalaku yang berdenyut makin keras.
“Anggra!” seru Mama.
“Jangan di paksakan.” Suara lembut Dokter Veronica membuatku kembali membuka mata.
Tapi aku sudah mengingatnya, sedikit. “Aku jatuh-,” jawabku lirih. “-ke aspal.”
Dokter Veronica tersenyum mendengarnya. “Bagus.” Dia mengusap lembut lenganku lalu beralih pada Mama. “Semua tanda vitalnya baik. Sejauh ini kondisinya stabil, Ibu bisa lebih tenang.”
“Jangan khawatir, dengan fisioterapi yang teratur Mbak Anggra akan kembali pulih,” tambah Dokter Budiman. Keduanya pergi setelah berpesan padaku untuk banyak beristirahat dan aku hanya mengangguk di tengah kebingunganku. Fisioterapi?
“Ma,” panggilku lirih dan perhatian Mama langsung beralih seratus persen padaku.
“Ya? Ada yang sakit?” tanya Mama. Dia duduk di kursi sebelah tempat tidur dan aku harus memiringkan kepala agar bisa melihatnya. Mengabaikan kepalaku yang berdenyut, aku butuh penjelasan.
“Aku kecelakaan?” tanyaku setelah mencoba merangkai ingatan terakhirku.
Mama mengangguk dan tiba-tiba aku merasa takut dengan bayangan yang berkelebat di dalam kepalaku. Fisioterapi? Dan aku tidak bisa merasakan kaki kananku.
“Ma, kakiku kenapa?”
Mama terlihat terkejut. “Kenapa? Sakit?” tanyanya penuh kecemasan, matanya melirik ke bagian bawah tubuhku.
Aku tidak sanggup mengangkat kepala jadi tidak bisa melihat ke bawah. Apa kaki kananku masih ada? Pikiranku menebak tidak karuan sedangkan seluruh tubuhku rasanya tidak bertulang, tidak bisa di gerakkan.
“Mana yang sakit?” tanya Mama lagi.
Apa yang sakit? Entahlah, kurasa semuanya. Tiba-tiba aku merasa mengantuk, lelah. “Ma-,” panggilku lagi. “-aku mau tidur.” Dan hal terakhir yang aku ingat adalah belaian tangan Mama di wajahku.
***
Mataku kembali terbuka, kali ini kesadaranku lebih baik. Setidaknya aku sudah ingat kenapa aku bisa berada di atas tempat tidur rumah sakit.
“Ma,” panggilku lirih. Tidak ada yang menjawab panggilan dan aku memutar mata melihat sekitar. Aku sendiri.
Aku senang saat kedua tanganku sudah bisa di gerakkan. Denyut di kepalaku juga sudah berkurang. Tapi aku merasakan hal lain, perutku melilit. Ya ampun! Aku haus juga lapar. Kemana Mama? Tante Diana atau Sisca? Aku tercenung dengan kesendirianku.
Pikiranku jadi melayang pada peristiwa yang membuatku terbaring tak berdaya. Aku jadi bertanya-tanya, sudah berapa lama aku ada di sini? Rasanya waktu berhenti berjalan ketika hanya bisa melihat kantong infuse dan langit-langit kamar.
“Eh, udah bangun?” Sisca tiba-tiba muncul dengan senyum lebar di wajahnya. “Gimana Nyah? Udah baikan?”
“Laper Non, Mama mana?”
Sisca tertawa. “Wah, udah sembuh namanya kalo udah laper,” candanya riang dan untuk pertama kalinya aku tersenyum di tengah semua kesakitan ini.
“Bentar ya, Tante Hera lagi di panggil dokter.” Sisca mengusap lenganku dan aku merasakan keprihatinan dalam sentuhannya. “Aku seneng kamu bangun, Nyah. Kami semua panik setengah mati mikirin kamu.”
Otakku mencerna perkataan Sisca dan langsung muncul banyak pertanyaan di benakku. “Kapan kalian dateng?”
“Kemarin malem, begitu Tante Hera di telepon kalo kamu kecelakaan, kami langsung terbang ke sini.”
“Kemarin malem?” Aku melirik ke arah jendela dan di luar gelap.
“Iya, kamu nggak bangun hampir dua puluh empat jam.”
“Pantes aku kelaperan.” Aku sedikit memiringkan tubuh dan berusaha untuk bangun. Sisca menjerit melihatku bergerak.
“Apa sih?” tanyaku terkejut dan aku kembali membeku.
“Mau ngapain?” tanyanya.
“Bangunlah, pegel tau tiduran terus,” protesku masih dengan suara lirih.
Sisca menggeleng kesal. “Ngomong, Nyah! Tinggal pencet kok,” gerutunya seraya menekan tombol pada bagian atas tempat tidurku.
Ah iya! Aku terkekeh saat perlahan bagian atas tempat tidur naik, membuatku duduk dan bersandar dengan nyaman. Sekarang aku bisa melihat seluruh ruangan juga seluruh tubuhku yang mengenakan baju rumah sakit dan tertutup selimut juga … Ya Tuhan! Mataku melebar.
“Noni?! Kakiku kenapa?” seruku panik. Jadi ini alasan aku tidak bisa merasakan kaki kananku?
Sisca menatapku bingung. “Tante belum bilang? Bukannya tadi kamu udah bangun ya?”
“Ish, mana ada aku bangun, kakiku kenapa?” Sekuat tenaga aku berusaha bersuara lebih kuat untuk menunjukkan kepanikanku. Kepalaku kembali berdenyut-denyut ria.
“Retak,” kata Sisca dengan ekspresi seperti habis menelan permen karet.
“Retak?!” Aku memekik keras.
Sisca mengangguk dan aku berusaha untuk tetap sadar. Kulihat kaki kananku yang terbungkus gips putih.
“Tenang, Nyah. Dokter bilang bisa sembuh kaya dulu kok.” Sisca berusaha menenangkanku.
“Berapa lama?” Keningku berkerut menatapnya. Sisca menelan ludah perlahan, aku tahu jawabannya pasti tidak mengenakkan.
“Sekitar … dua bulan,” lirihnya.
“Dua bulan?!” Aku kembali berteriak dan senang suaraku sudah lebih besar sekarang, mungkin karena emosi.
“Aduh, tenang, Nyah. Aku panggil dokter sama Tante dulu ya.”
Aku terdiam dan hanya mengangguk sementara Sisca bergegas keluar. Tubuhku lemas, kepalaku sakit tapi rasanya aku ingin mengamuk. Dua bulan? Skripsiku sudah di depan mata. Aku sudah menandatangani target dengan pembimbingku untuk menyelesaikannya dalam empat bulan dan sekarang? Kakiku retak, terbungkus gips dan butuh waktu dua bulan untuk pulih?
Kutarik napas dalam-dalam, menenangkan semua saraf yang berdiri tegak. Tenang Anggra, tenang, dunia belum kiamat. Kuusap dada menenangkan diriku sendiri.
Mengalihkan emosi yang hampir meledak, aku mengamati seluruh kamar untuk pertama kalinya. Ruang VIP atau sejenisnya. Semua dinding berwarna putih polos dan membosankan. Ada sofa, ada kulkas, ada juga lemari kecil di dekat sofa tamu dan lemari lain di sebelah tempat tidurku. Aku benci ini! Tanganku memijat pelipis yang berdenyut. Aku menilai kondisiku sendiri. Sakit. Lapar. Emosi tingkat tinggi.
Ya Tuhan, kenapa jadi begini? Kenapa nggak lain waktu aja aku kecelakaannya? Minimal abis skripsi kelar. “Ugh!” Semua ini membuatku meradang. Tunggu?! Siapa yang nabrak aku?
***
“Mbak Anggra mengalami gegar otak tapi sejauh ini perkembangannya baik. Tulang tungkaimu retak, beruntung tidak sampai patah. Gips-nya akan di buka setelah dua bulan dan Mbak Anggra masih harus menjalani fisoterapi. Selebihnya hanya luka memar, tidak membahayakan.”
Wajahku tidak bersahabat ketika Dokter Budiman selesai menjelaskan secara singkat kondisiku. “Jadi selama dua bulan saya nggak bisa jalan?”
Dokter Budiman tersenyum. “Bisa, makanya harus ikut terapi. Nanti belajar pakai tongkat atau kruk.”
Aku memutar mata kesal, kuhela napas panjang. Mama melihatku dengan prihatin begitu juga Tante Diana dan Sisca. Mereka tahu aku sedang menahan emosi.
“Hati yang gembira itu obat yang manjur, Mbak Anggra. Jadi kalau Mbak senang pasti cepat sembuh. Kalau cemberut seperti itu nanti tambah sakit lho,” kata Dokter Budiman yang berusaha mencandaiku.
“Dokter Budiman yang baik, saya harus menyelesaikan skripsi dalam waktu empat bulan tapi dokter lihat sekarang kan? Kalau begini bagaimana saya harus gembira?” protesku. Dokter Budiman tertawa dan aku semakin kesal padanya.
“Tenang saja, kalau kepala dingin pasti semua ada jalannya. Nah, katanya Mbak Anggra lapar kan? Sudah boleh makan tapi masih yang halus-halus dulu. Setelah itu di minum obatnya lalu istirahat,” katanya dengan suara lembut tapi aku masih cemberut.
Aku yakin kalau dia berada di posisiku belum tentu dia bisa mempraktekkan teorinya. Kulihat Dokter Budiman berbicara dengan Mama dan Tante Diana sebelum keluar dari kamar.
“Nyah, jadi pasien galak amat,” tegur Sisca.
“Jangan ceramah, Bu Dokter. Coba kita tukeran tempat, nggak yakin aku kamu masih bisa ketawa.”
Sisca bergidik. “Jangan ngomong gitu, ah.”
Dua orang perawat datang, satu orang membawa nampan dan satu lagi membawa tensimeter. Dengan cekatan dia mengukur suhu tubuh dan tekanan darahku lalu mencacat pada map yang di bawanya.
“Sudah boleh makan ya, Mbak. Nanti kalau mual atau pusing langsung panggil kami. Tekan saja tombolnya,” kata perawat itu sambil menunjuk pada tombol merah di dinding, di atas kepalaku.
Mama mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Kedua perawat itu pergi dan meninggalkan nampan makanku. “Nah, ayo makan,” kata Mama semangat.
***
Akhirnya aku kenyang. Pingsan dua puluh empat jam dan tersadar dengan semua kejutan yang menyebalkan membuat nafsu makanku berlipat ganda. Aku bersyukur karena tidak menunjukkan gejala yang di katakan perawat, tidak mual dan tidak muntah. Kusimpulkan kalau kondisiku membaik. Ternyata kenyang juga membuatku lebih tenang. Otakku lebih jernih dalam berpikir. Berarti banyak pertanyaan yang harus di jawab dan di jelaskan.
“Ma, tadi Sisca bilang ada yang telepon Mama waktu aku kecelakaan, siapa?”
Mama yang sedang membereskan nampan makanku langsung membeku.
“Kenapa?” tanyaku. Pasti ada sesuatu yang di sembunyikan Mama. Aku melirik pada Tante Diana dan Sisca yang duduk di sofa, keduanya juga berekspresi sama.
“Oke, ada yang mau cerita versi lengkapnya?” tanyaku lagi.
Mama memindahkan nampan makan ke atas nakas di sebelah tempat tidur lalu duduk di kursi sebelahku. “Kamu jangan marah ya, Nggra,” kata Mama.
“Aku nggak pernah marah tanpa sebab kan, Ma?” jawabku bingung.
“Tapi banyak sebab yang bisa buat kamu marah,” celetuk Sisca. Aku melotot padanya. “Nah kan!” Sisca menggoyangkan telunjuk di udara dan aku merubah ekspresiku. Dia benar, aku memang mudah marah, bahkan saat sakit sekali pun.
“Oke, aku nggak akan marah. Cerita, Ma,” kataku kemudian.
“Yang telepon Mama itu orang yang nabrak kamu di Malioboro. Dia nggak bisa buka Iphone-mu karena di kunci tapi akhirnya dia coba bongkar dompetmu dan nemuin kartu nama Mama. Di situ dia coba telepon.”
Sekarang giliran aku yang membeku mendengar Mama mengawali ceritanya.
“Dia baik. Dia juga yang bawa kamu ke rumah sakit, nungguin kamu di UGD, terus ngurus semua administrasi. Mama sama Tante Diana juga Sisca baru sampe Jogja jam sepuluh malam dan kamu udah di sini,” jelas Mama lagi.
Baik hati? Ya, dia baik, tapi kan dia yang nabrak aku?
“Dia udah dua kali ke sini lho nengokin kamu, tapi kamu belum sadar,” kata Tante Diana.
“Oh ya?” Aku masih bingung mencerna kebaikan orang ini.
“Iya, barusan waktu Mbak Hera kasih kabar kalau kamu udah sadar dia juga seneng dan janji mau datang,” tambah Tante Diana.
Aku mengalihkan pandanganku pada Mama.
“Dia mau ketemu kamu sekaligus minta maaf sama kamu,” jelas Mama menjawab pertanyaan dari tatapan mataku.
“Nggak ada polisi?”
Mama menggeleng. “Dia juga udah beresin masalah itu.”
“Oh,” lenguhku pelan, tidak tahu harus berkomentar apa.
“Kamu nggak marah kan?” Mama menilai reaksi datarku.
“Nggak, dia tanggung jawab kan? Lagian juga aku nggak inget siapa yang salah dan gimana kejadian rincinya. Aku cuma inget aku belok terus jatuh ke aspal,” jelasku dan Mama terlihat lega.
“Jadi kamu mau ketemu dia? Tadi dia bilang mau dateng tapi Mama tahan dulu.”
“Kenapa?” keningku berkerut.
“Ya takut kamu ngamuklah, Nyah. Masa iya kita tega, orang udah tanggung jawab gitu masih kamu marah-marahin,” kata Sisca.
Aku mendengus kesal karena perkataan Sisca tapi dia ada benarnya. Kalau saja aku belum mendengar cerita Mama pasti aku akan marah apalagi kalau ingat aku masih harus banyak terapi selama dua bulan padahal skripsiku menanti di depan mata. Skripsi?! Oh, aku jadi ingat soal skripsiku lagi.
“Kenapa sayang? Pusing lagi?” Mama terlihat khawatir melihatku diam.
Aku menggeleng pelan dan menggeser sedikit posisi tidurku agar lebih nyaman. Tangan Mama membelai kepalaku dan aku mulai mengantuk. “Aku cuma mikirin skripsiku Ma,” lirihku setengah mengantuk dan Mama menatapku prihatin.
“Yang penting kamu sehat dulu,” jawab Mama.
Aku menghela napas panjang lalu menatap kaki kananku yang terbungkus gips. Aku jadi penasaran dengan orang yang menabrakku dan ingin bertanya lebih banyak. Sayangnya aku mengantuk, mungkin karena pengaruh obat yang kuminum. Hal terakhir yang aku lihat sebelum mataku tertutup adalah pintu kamar yang terbuka.
****
Namanya Reza
Suara obrolan mengusikku, entah sudah berapa lama aku tidur. Aku menguap dan obrolan yang aku dengar tadi tiba-tiba berhenti. Mataku terbuka lebar dan Mama tersenyum seraya mengusap lembut kepalaku, tapi sesaat kemudian ekspresinya berubah. Hanya perlu waktu beberapa detik bagiku untuk menyadari alasan perubahan ekspresi Mama.
“Apa kabar, Nggra?” sapa Papa seraya mengulum senyum manis di bibirnya.
“Papa?” desisku terkejut.
“Papa juga khawatir sama kamu dan mau lihat keadaanmu.” Mama mengeluarkan jurusnya untuk menenangkanku.
Aku menghela napas, berusaha untuk tidak marah meski aku benar-benar tidak suka melihatnya di sini. Mama meraih tanganku dan meremas jemariku dengan lembut. Aku tahu dia ingin aku bersikap lebih ramah pada Papa.
“Baik,” jawabku lirih dan itu hanya untuk menyenangkan Mama. “Sisca mana?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian Mama dari idenya yang selalu ingin mendamaikan aku dan Papa.
“Udah pulang sama Tante Diana, jadi hari ini Mama nungguin kamu di temenin Papa.”
Dan jelas usahaku mengalihkan perhatian sia-sia karena itu justru membuat Mama mengeluarkan jurusnya. Aku melirik Papa yang menatapku dengan ragu.
“Boleh kan Papa di sini sama Mama?”
Halah! Jelas basa-basi! Kamu kan tahu aku nggak bakal nolak keinginan Mama. Melihat aku hanya diam Papa sedikit kikuk tapi aku melihat kesungguhan di matanya ketika menatapku. Meski begitu hatiku tidak juga tersentuh.
“Kakimu masih sakit?” tanya Papa kemudian. Aku mengangguk dengan enggan. “Kamu mau Papa pindahin ke Jakarta aja, Nggra? Atau mau terapi di Singapura biar cepet pulih?” Papa menawarkan.
Aku tercengang. Jakarta? Singapura? Aku menggeleng cepat. Papa terlihat kecewa dan Mama mengernyit menatapku.
“Katanya mau cepet sembuh?”
“Aku kan masih harus skripsi, Ma.”
“Skripsi?!” pekik Mama dan Papa bersamaan, keduanya melotot padaku.
Wah makin kompak aja nih!
“Mama nggak ijinin kamu ngerjain skripsi kalo masih sakit begini,” omel Mama.
“Ya nggak sekaranglah, Ma. Abis keluar dari rumah sakit dong,” jawabku santai.
“Tapi sayang-,”
“Ma,” potongku cepat dan Mama menghela napas panjang menghadapi sifat keras kepalaku. Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatian kami semua.
“Selamat pagi Pak, Bu.”
Seorang laki-laki muncul dari balik pintu dan menyapa dengan ramah. Dia tersenyum dan mengangguk sambil menjabat tangan Mama dan Papa. Aku tidak mengenalnya tapi aku yakin Mama kenal. Ekspresi penuh senyum dengan mata yang menatap ramah menjadi alasannya. Papa sama sepertiku, ya, meski Papa sedikit memberi senyum sedangkan aku hanya berwajah datar, seperti biasa.
“Pa, Anggra, kenalin ini Reza,” kata Mama kemudian.
“Wah, nama kita sama ya,” celetuk Papa dengan ekspresi terkejut bercampur senang.
Nama pasaran, dengusku tidak senang. Reza Agung Wibowo, nama yang sudah lama ingin aku hapus dari ingatanku tapi selalu gagal.
Mama tersenyum menanggapi ucapan Papa. Sejenak kemudian laki-laki itu beralih menatapku dan mengulum senyum yang di sertai dengan lesung pipit di kedua belah pipinya. Aku mengamati laki-laki yang di kenalkan dengan nama Reza itu dengan jeli.
Hm, wajahnya mengingatkanku pada penyanyi Afgan, lengkap dengan lesung pipitnya hanya saja tanpa kacamata. Dia tinggi dengan perawakan tubuh tegap dan berkulit putih. Tampilannya rapi dan terkesan … terlalu formal buatku. Rambutnya hitam lebat dan di sisir rapi. Dia mengenakan kemeja biru lengan panjang dengan motif garis berwarna putih di padukan dengan celana panjang kain berwarna hitam.
Wajah sih sembilan puluh tapi penampilan? Kayak agen asuransi aja. Nilainya Enam puluh untuk cowok seumurannya, eh? Berapa umurnya? Kutebak dua puluh enam atau dua puluh tujuh deh.
Ya, inilah salah satu kebiasaanku, menilai penampilan orang. Aku rasa akan berguna jika aku benar-benar menjadi advokat nanti. Aku langsung menyimpulkan aku tidak menyukainya. Bukan hanya karena namanya yang sama dengan laki-laki lain yang masuk dalam daftar hitam kamus kehidupanku, tapi juga karena … kenapa dia senyum terus sih?
“Anggra?” Mama mengusap bahuku karena melihatku membisu. “Kenapa?” tanyanya cemas.
Aku menggeleng tanpa mengatakan alasan diamku yang menilai tamu tak dikenal di hadapanku. “Siapa sih?” tanyaku tanpa basa basi.
“Reza ini yang Mama ceritain semalem,” jawab Mama lalu menatap Reza. Aku masih belum mengerti.
“Senang lihat Mbak Anggra sudah sadar.” Dia tersenyum. “Maaf, saya yang nabrak Mbak Anggra tempo hari,” akunya jujur.
“Heh?!” Aku menegakkan tubuh tiba-tiba dan mengabaikan protes dari rasa sakit di bahu dan pinggulku. Oh! Ini alasan lain yang akan membuatku semakin tidak menyukainya.
“Anggra.” Nada bicara Mama memperingatkan reaksiku.
Aku ingat, aku sudah berjanji untuk tidak marah padanya. Kembali menyandarkan tubuh, aku tidak melepaskan pandanganku pada Reza yang masih berdiri di ujung tempat tidur, menatapku. Mata hitamnya sama sekali tidak menunjukkan ketakutan pada reaksiku. Mungkin dia sudah siap seandainya aku memang benar-benar marah atau bahkan mengamuk padanya. Atau Mama mungkin sudah cerita bagaimana emosionalnya aku? Ah, Mama tidak mungkin tapi Sisca? Ya, si Noni centil itu mungkin sudah memperingatkan Reza.
“Maaf, waktu itu saya memang sedang buru-buru. Saya kaget waktu motor Mbak Anggra tiba-tiba belok dan saya terlambat injak rem,” jelasnya dan sekali lagi aku tahu dia berkata jujur. Setidaknya aku bisa menilai dari tatapan mata dan cara bicaranya yang halus dan sopan juga lancar tanpa bergetar.
Aku memutar bola mata melihat Mama dan Papa yang tampak cemas menunggu reaksiku. Kebisuanku memang bisa menjadi badai yang siap mengamuk kapan saja, mereka tahu, sangat tahu. Tapi kali ini aku menahan diri, selain karena aku sudah berjanji, juga karena aku sadar dengan kondisiku. Hatiku marah tapi aku berusaha untuk mendinginkan kepalaku. Ah! Kepalaku sakit lagi.
“Saya juga minta maaf Mas karena nggak hati-hati,” jawabku kemudian dan aku mendengar desahan lega Mama di sebelahku dan Papa tersenyum simpul, juga … Ish! Cowok itu senyum, lagi.
Reza mengalihkan pandangannya pada kedua orang tuaku dan mengangguk hormat pada mereka. “Pak, Bu, saya mohon maaf untuk semuanya. Tapi saya berjanji untuk menanggung semua biaya pengobatan Mbak Anggra termasuk semua keperluan untuk terapi sampai Mbak Anggra pulih.”
“Nggak perlu,” tukasku cepat, mulutku selalu lancar mengatakan tidak pada hal yang tidak aku sukai. Sontak ketiga orang yang berdiri di depanku menatapku terkejut.
“Maaf, Mbak?” Reza yang terlihat paling terkejut atas penolakanku.
“Nggak perlu, Mas. Saya terima kasih Mas sudah tolong saya, bawa saya ke rumah sakit juga hubungi Mama saya. Semuanya sudah cukup, saya nggak mau ngrepotin orang,” terangku.
Reza tersenyum, lagi. Membuatku jengah melihat lesung pipit itu berkali-kali. “Nggak ngrepotin kok, Mbak. Saya hanya berusaha menjalankan apa yang menjadi tanggung jawab saya,” jawabnya sopan. Dia tidak terlihat marah atau tersinggung atas ucapanku, entah di dalam hatinya.
“Sekali lagi terima kasih Mas Reza tapi saya rasa memang nggak perlu. Biar kami sebagai orang tuanya yang menyelesaikan semuanya,” sela Papa tanpa mengurangi rasa hormat dalam nada suaranya dan aku tergelak dalam hati mendengar penuturannya.
“Orang tua?” celetukku mengejek dengan seringai tajam dari bibirku.
Papa langsung membeku dan Mama menyipitkan mata padaku. Reza terlihat bingung dengan sikapku. Kalau dia cerdas, dia pasti akan langsung tahu kalau hubunganku dengan Papa tidak baik.
“Maaf, maksud Papa-,”
“Udah nggak usah dibahas lagi,” potongku tanpa menatap Papa. “Terima kasih sudah datang Mas tapi sekarang saya mau istirahat.”
Kening Reza berkerut dan aku sadar betapa tidak sopannya sikapku. Selamat datang di duniaku, batinku menyeringai.
Alih-alih marah Reza justru tersenyum untuk yang keseratus kalinya. “Kalau begitu saya permisi dulu Pak, Bu, Mbak Anggra. Besok saya usahakan datang lagi.”
Mulutku terbuka untuk mengatakan penolakan tapi Mama langsung mencubit punggung tanganku yang sontak membuat bibirku kembali merapat. Reza tahu saat aku meringis menahan sakit atas cubitan Mama dan aku tahu dia tersenyum menahan geli. Ingatkan aku untuk mengunci pintu kamar, besok.
“Selamat istirahat, Mbak Anggra.” Reza mengangguk sopan dan menjabat tangan kedua orang tuaku, tidak denganku. Aku menduga dia sudah bisa membaca tatapan mataku. Sesaat, aku seperti menangkap tatapan prihatin Reza pada Papa lalu senyumnya kembali mengembang. Aku semakin kesal karena sikap ramahnya yang menurutku berlebihan.
“Bener kata Mama, dia baik, sopan lagi,” puji Papa ketika Reza sudah keluar dari kamar.
“Iya, dari pertama ketemu Mama udah suka sama dia,” jawab Mama dan sedetik kemudian Mama menatap tajam padaku.
“Apa?” protesku pada Mama.
“Kamu udah janji nggak bakal marah sama Reza,” kata Mama.
“Aku nggak marah kan?” elakku.
“Tapi sikapmu itu-,” Mama menggeleng putus asa. “Anggra, kamu nggak boleh ketus kayak gitu. Reza baik kok.”
“Terus?” Aku melengkungkan alis menatap Mama. “Mama keberatan nanggung biaya rumah sakitku?” Ah, emosiku tersulut juga.
“Anggra!” bentak Mama.
Aku terdiam. Aku tahu aku keterlaluan tapi kehadiran Papa yang tiba-tiba juga kemunculan Reza yang sok pahlawan membuatku kesal. Aku sudah berbaik hati untuk meredam emosiku sejak tadi dan beruntung keadaanku tidak memungkinkan untuk lari.
Mama masih terlihat kesal padaku, terlebih atas perkataanku pada Papa tadi di depan Reza. Tak lama kemudian Mama menatapku sedih dan aku berusaha untuk tidak peduli. Kepalaku yang berdenyut semakin kencang mengalihkan semua emosiku.
“Aku mau tidur.” Perkataanku mengakhiri semua perdebatan.
***
Hari kedua sejak aku sadar dan hari ketiga aku berada di rumah sakit. Rasanya aku sudah mulai bosan berbaring di kamar. Tidur, bangun, makan, lalu tidur lagi. Siang itu, aku kembali merasa kantuk menyerang setelah minum obat. Entah obat apa yang mereka resepkan untukku sehingga membuatku cepat sekali mengantuk.
Aku duduk bersandar pada bantal yang sudah kususun tinggi. Punggungku pegal sekali karena gerakanku yang terbatas. Beruntung memar di bahu dan pinggulku semakin membaik, sehingga aku tidak begitu tersiksa ketika mencoba bergerak meski secara perlahan karena kakiku yang terbungkus gips. Mood-ku langsung down melihat kaki yang sekarang sudah di hiasi oleh gambar dan tanda tangan Sisca. Lamunanku buyar saat mendengar ketukan pintu.
“Selamat siang, bagaimana kabar hari ini, Mbak?” Seorang perawat masuk dan menyapaku ramah.
Aku tersenyum tipis untuk menghargai keramahannya. “Sudah lebih baik, Suster,” jawabku sopan. Beruntung perawat itu perempuan sehingga aku lebih nyaman ketika dia harus memegang lenganku untuk mengukur suhu tubuh dan tekanan darah.
“Kok sendiri, Mbak?” tanyanya untuk memecah keheningan.
“Iya, Mama lagi makan siang.” -sama suaminya.
Perawat itu mengangguk lalu tersenyum ketika melepas tensimeter dari lengan kananku dan mengambil termometer dari ketiak kiriku. “Suhu tubuhnya sudah normal tapi tekanan darahnya masih rendah sekali. Mbak masih harus banyak istirahat,” jelasnya dengan ramah.
“Terima kasih,” jawabku tulus.
“Tadi makan siangnya di habiskan?” tanyanya lagi seraya menulis sesuatu di dalam map yang di bawanya. Aku hanya mengangguk untuk menjawab.
“Obatnya sudah di minum?” tanyanya lagi setelah selesai menulis dan menatapku. Aku mengangguk lagi.
“Sudah ngantuk?” Perawat itu tersenyum ketika akhirnya aku menguap lebar. Entah kenapa aku selalu merasa lelah dan mengantuk.
“Kenapa obatnya bikin ngantuk?” keluhku dan perawat itu tertawa.
“Mbak memang masih harus banyak istirahat. Masih pusing kan?”
Ya, jawaban yang masuk akal. Lagipula apa yang bisa aku lakukan selain tidur? Perawat itu kemudian permisi dan meninggalkanku sendiri.
Aku memaksakan diri untuk tetap terjaga. Baru saja aku minum segelas air dan meraih majalah dari atas nakas yang semalam di baca Mama, pintu kamarku kembali di ketuk. Daun pintu terbuka, seulas senyum ramah dengan lesung pipit muncul dari baliknya. Mataku melebar. Reza! Ish, ngapain dia?
“Selamat siang, Mbak Anggra,” sapa Reza ramah. Dia datang membawa parcel buah.
“Siang,” jawabku singkat.
Reza berjalan menghampiriku dengan sebelumnya meletakkan parcel buah di atas meja tamu. “Sudah baikan, Mbak?” tanyanya. Dia berdiri di sisi kanan ujung tempat tidur, menatapku dengan lembut.
“Sudah.” -sok simpati.
Dia tersenyum. “Saya nggak lama Mbak, cuma mau lihat keadaan Mbak Anggra saja,” katanya seolah bisa menebak isi kepalaku yang tidak senang dengan kehadirannya.
Ah, baguslah! Kutarik sedikit sudut bibirku menyerupai senyum.
“Saya nggak keberatan kalau Mbak Anggra marah sama saya,” katanya tiba-tiba tanpa basa-basi.
Eh?! Lagi-lagi lesung pipitnya muncul dan itu sangat menggangguku. Keramahan orang asing apalagi seorang laki-laki selalu membuatku jengah dan tidak nyaman.
“Sisca sempat cerita kalau Mbak Anggra lagi sibuk susun skripsi, jadi wajar kalau Mbak marah dengan kejadian ini, apalagi marah sama saya. Dan perkataan saya kemarin itu nggak bohong, Mbak. Saya akan bertanggung jawab, termasuk untuk membantu Mbak Anggra menyelesaikan skripsi di sela-sela jadwal terapi,” jelasnya dengan gaya bahasa sopan andalannya.
Aku tercengang. Dia bantuin skripsi? Dalam hati aku menggerutu panjang dengan nama Noni terselip di antaranya. Mataku kembali fokus pada laki-laki yang tegap berdiri di depanku. Hari ini Reza mengenakan kemeja panjang polos warna merah marun dan celana kain hitam. Tak luput juga mataku melihat dasi hitam yang terselip tidak rapi di sakunya, mungkin baru saja di lepas.
Aku jadi penasaran dengan profesi laki-laki ini karena selalu tampil layaknya teller bank. Atau benar dugaanku kemarin, kalau dia agen asuransi atau agen property? Eh, bisa jadi dia dosen atau bahkan pengacara? Ish, membayangkan Reza memiliki profesi yang sama dengan cita-citaku membuatku mendengus kesal dalam hati. Jujur saja, tampilan formal membuatnya terlihat seperti bapak-bapak di mataku. Lho? Kenapa aku jadi ngurusin penampilannya?
“Saya rasa nggak perlu,” jawabku ketika sadar kalau aku sudah diam cukup lama.
“Jangan di tolak, pikirkan saja dulu. Mbak masih marah kan? Nanti kalau sudah lebih tenang kita bicarakan lagi,” jawabnya bijak. Nada bicaranya begitu sopan, membuatku merasa aneh.
“Nggak perlu Mas, saya nggak suka ngrepotin orang.”
“Saya nggak merasa di repotkan. Justru saya akan merasa bersalah dan nggak enak hati kalau Mbak Anggra kesusahan gara-gara saya.” Reza beralasan. Dia pun melihat jam tangannya lalu kembali fokus menatapku. Reza sama sekali tidak terintimidasi dengan sikap kasarku, mungkin kejadian kemarin sudah membuatnya mempersiapkan diri lebih untuk menghadapiku.
“Terima kasih untuk simpatinya tapi sekali lagi saya bilang nggak perlu.” -dasar sok bijak!
“Bukan simpati Mbak tapi empati. Saya hanya mencoba menempatkan diri saya pada posisi Mbak.”
“Wah, orang psikologi ternyata,” celetukku spontan.
Reza tertawa ringan dan aku menautkan alis. “Nggak harus jadi psikolog untuk bisa berempati, Mbak,” katanya seraya kembali mengulas senyum.
“Tapi orang psikologi kan?”
Reza menggeleng. “Saya lulusan teknik sipil tapi ya ... itu memang perkataan ayah saya. Dia dosen psikologi,” akunya jujur.
“Ternyata empatinya nyontek, saya pikir ide orisinil.” Dan Reza tertawa lagi mendengar ironi dariku.
“Pemikirannya boleh warisan orang tua tapi implementasinya kan harus tetap di lakukan sendiri.”
Ya, dia benar. Aku akui dia pintar. Dari cara bicaranya, aku tahu dia orang berpendidikan tapi tetap saja aku tidak terkesan.
“Sepertinya saya harus permisi sekarang.”
“Baguslah, saya juga sudah ngantuk.”
Reza tersenyum dan aku tahu dia melirik majalah di pangkuanku tapi tidak berbalik menyindirku. “Maaf mengganggu istirahatnya. Selamat siang Mbak, semoga cepat sembuh.” Sekali lagi dia tebar pesona dengan senyumnya lalu berbalik keluar tanpa menunggu jawabanku.
Aku mendengar suara Mama di luar kamar. Percakapan mereka tidak terdengar tapi suara tawa Mama menandakan bahwa mereka cukup asik mengobrol. Mama kelihatannya suka sekali dengan Reza. Dan dugaanku tidak salah karena senyum Mama masih mengembang ketika masuk ke kamar.
“Wah, Mama kaget lihat Reza. Nggak nyangka siang-siang begini dia mau sempetin jenguk kamu,” puji Mama senang.
“Baik, ganteng lagi,” tambah Papa sambil melirik padaku.
Apa maksudnya?Aku mengabaikan keduanya dan kembali berbaring. Membenahi selimutku dan bersiap memejamkan mata agar aku tidak perlu melihat Papa.
“Ini dari Reza?” Mama mengangkat parcel dari meja tamu dan memperlihatkannya padaku.
“Hm,” gumamku.
“Kamu mau Mama potongin buah?” tanya Mama yang sudah berdiri di sampingku.
Aku menggeleng. “Aku ngantuk Ma, mau tidur.” Dan aku tidak bohong karena tak lama kemudian aku benar-benar telelap meski sempat kudengar Mama bergumam.
“Sabar ya, Pa.” Aku tidak peduli.
***
Skripsi, aku mendesah panjang. Sudah satu minggu aku berada di rumah sakit. Seharusnya tiga hari yang lalu aku mengunjungi LSM1 untuk penelitian tapi semuanya gagal. Aku sudah menghubungi pengurus LSM untuk mohon maaf dan menjelaskan keadaanku. Aku harus mengatur ulang jawal penelitianku.
“Non, nanti kalo jadwal penelitianku udah kususun ulang, bantuin aku buat penelitian di LSM ya?”
“Heh?! Serius, Nyah? Kamu nggak nunggu sembuh dulu?” Sisca yang duduk di kursi sebelah tempat tidurku sambil makan buah potong tampak tidak setuju dengan ideku.
“Kelamaan.” Sesaat kulihat Sisca tampak berpikir tapi kemudian matanya berbinar menatapku.
“Katanya Reza mau bantuin?”
Otomatis keningku berkerut mendengar nama itu. “Aku nggak suka ngomongin Reza.”
“Ini kan Reza yang lain!” protesnya sambil mengerucutkan bibir.
Aku menyeringai. Ya, si Reza yang sok pahlawan itu bersikeras akan membantu skripsiku. Dia masih rajin datang mengunjungiku dengan dalih tanggung jawab dan tidak juga jera meski sikapku sama sekali tidak ramah padanya.
“Dia baik lho, ganteng lagi. Mirip Afgan,” puji Sisca sambil meringis. Aku mendengus dalam hati, heran juga kenapa seluruh keluargaku bisa terpesona padanya.
“Abram?” tanyaku iseng.
“Ya bedalah, Nyah. Aku kan cuma puji Reza itu baik sama ganteng, beda dong urusannya. Kecuali aku bilang aku cinta sama dia.” Sisca mulai berlogika.
“Halah, sok pahlawan gitu.”
“Ish! Kamu ini, antipati banget sih sama laki-laki. Hati-hati karma lho.”
Aku mencibirnya. Suara ketukan pintu menyela obrolan kami dan aku sudah bisa menebak siapa yang datang. Tamuku ini selalu rutin datang menjelang jam makan siang.
“Idolamu dateng tuh, aku mau tidur,” kataku setengah berbisik seraya membenahi bantal kemudian berbaring nyaman. Sisca cemberut sambil berjalan ke pintu dan aku sudah pura-pura tidur ketika kudengar Reza masuk di sambut keramahan Sisca.
“Lho, Mbak Anggra tidur?”
“Iya, masuk aja, Za.”
Sisca!! Kenapa malah di suruh masuk sih? Dia kan tahu aku pura-pura tidur. Awas ya!
“Kok sepi? Ibu sama Bapak Mbak Anggra kemana?”
“Oh, Om sama Tante lagi pulang. Kasian, capek juga mereka udah dua hari belum pulang. Malem ini aku sama Mamaku yang jaga Anggra tapi Mama lagi keluar cari makan siang.”
Aku mendengar Reza bergumam pelan tapi tidak jelas apa yang di katakannya.
“Kasihan Mbak Anggra pasti masih kesakitan ya,” kata Reza penuh empati seperti apa yang sering dia katakan padaku.
Sisca terkikik. “Dia kuat Za, tenang aja.”
Aku menulis catatan bertinta tebal dalam hati untuk membalas Sisca. Kujaga bola mataku tetap di tempatnya dan kelopak mataku tetap tertutup meski telingaku mendengar jelas pembicaraan mereka. Sisca sengaja berlama-lama mengobrol dengan Reza dan tidak berniat menyuruhnya pulang. Dalam hati aku menggeram kesal karena Sisca mengerjaiku. Tapi aku cukup heran dengan kedekatan mereka. Reza bahkan tidak bicara formal pada Sisca.
“Tiap siang datang ke sini, emangnya nggak ngganggu kerjaanmu?”
“Nggaklah, ini kan jam istirahat siang. Justru kayaknya Mbak Anggra yang keganggu kalo aku dateng.”
Oh, sadar juga, kenapa masih dateng? Idiot! Kudengar Sisca terbahak.
“Sis, boleh tanya?” Nada suara Reza terdengar sungkan di telingaku.
“Boleh, tanya apa?”
“Mbak Anggra masih marah ya?”
Kudengar Sisca tertawa lagi. Aku sudah bisa menebak apa yang akan di katakannya. Awas saja kalau mulut cerewetnya berani macam-macam.
“Anggra itu selalu marah sama yang namanya cowok.”
“Kenapa?”
Awas ya Non kalau kamu sampe cerita soal Papa!
“Hm, kenapa ya? Anggap aja dia punya alergi yang unik.”
“Alergi sama cowok?” Reza terdengar terkejut dan kekesalanku menguap. Aku menahan diri untuk tidak tertawa atas lelucon Sisca. Dasar calon dokter. Saudaraku itu meski cerewet tapi paling mengerti aku. Heh, tetap saja aku akan membalas perbuatannya kali ini. Sengaja berlama-lama dengan Reza, apa maksudnya?
“Oh, gitu ya.”
“Kalo udah kenal deket, Anggra itu baik kok.”
Reza tertawa. “Mungkin kalo aku cewek lebih gampang deketnya ya,” selorohnya di sambut tawa Sisca.
“Bisa jadi tu,” jawab Sisca di sela-sela tawanya.
Reza tidak berkomentar lagi tapi aku tahu sekarang dia pasti sedang tersenyum. Ish! Kenapa aku jadi inget lesung pipitnya? Tak lama kemudian Reza pamit dan aku lega. Mataku langsung terbuka begitu kudengar pintu kamar tertutup. Mata tajamku yang menatap lurus Sisca di balas senyum lebar dengan dua jari teracung membentuk huruf V.
“Awas ya!”
Sisca terbahak. “Makanya kalo ada tamu itu di temuin bukan malah main sandiwara.”
“Males.”
Sisca hanya menggeleng dan aku kembali meraih majalah yang tadi belum selesai kubaca. Pintu kembali terbuka dan Tante Diana datang membawa banyak bungkusan.
“Makan siang datang!” serunya senang dan aku memilih kembali tenggelam bersama majalahku.
***
Penelitian, Kruk dan Soto
Sudah dua minggu aku di rumah dan hampir mati bosan karenanya. Sisca, Tante Diana juga Papa sudah kembali ke Jakarta setelah aku pulang dari rumah sakit. Aku marah pada Sisca karena dia tidak mau menemaniku penelitian. Alasannya agar aku bisa istirahat lebih lama. Dia berjanji akan membantuku mengejar target skripsi setelah aku benar-benar sembuh dan itu berarti dua bulan lagi, yang benar saja!
Di balik itu aku menganggap alasan Sisca hanya karangan saja karena dia masih ingin berlama-lama dengan pacarnya, Abram, di Jakarta. Padahal mereka satu jurusan dan pasti akan bertemu kalau sudah masuk kuliah. Tapi mungkin begitulah bodohnya orang yang sedang kasmaran. Merasa waktu kebersamaan selalu kurang. Beruntung aku tidak gila seperti mereka. Setidaknya aku tidak terikat hubungan yang membuatku merasa gelisah setiap saat. Bukan karena rindu atau semacamnya tapi karena takut di sakiti dan di khianati.
Bersyukur terapi pertamaku berjalan lancar. Aku mulai lincah berjalan dengan menggunakan kruk. Jadwal penelitian sudah kuatur ulang dan sudah kukonsultasikan dengan dosen pembimbing melalui email dan telepon. Aku juga sudah mengkoordinasikan semuanya dengan pengurus LSM dan senang karena mereka menyambut baik semua perubahan itu.
Hanya satu masalahnya sekarang, siapa yang akan mengantarku pulang pergi ke LSM atau ke kampus? Mama jelas tidak akan mengantarku karena dia tidak setuju dengan keinginanku yang menurutnya memaksakan diri. Dengan taksi? Tidak mungkin, karena aku akan butuh bantuan seseorang untuk menemaniku sepanjang waktu. Membawa Mbak Endang? Hah, bisa-bisa aku tambah pusing dengan kebiasaannya yang cerewet dan selalu banyak tanya.
Memikirkan semua itu membuat hari Sabtu siangku tidak menyenangkan. Mama dan Mbak Endang sedang keluar untuk belanja keperluan rumah. Aku berbaring di sofa panjang ruang tengah. Televisi menyala tapi aku tidak menontonnya. Pikiranku sedang sibuk menyusun berbagai rencana.
Kutatap jadwal penelitian yang sejak tadi aku pegang. Sebenarnya ada sesuatu yang sedang aku pikirkan, tepatnya seseorang. Reza. Aku menghela napas panjang lalu tertegun ketika kata-katanya terngiang di kepalaku.
Ish! Masa iya aku minta tolong sama dia. Gengsi abis! Aku menggaruk kepala yang tidak gatal lalu kembali menatap jadwal penelitian di tanganku. Kesal, akupun melempar kertas itu ke meja.
Reza. Dia menepati semua ucapannya, membayar semua biaya rumah sakit dan biaya terapiku. Tak peduli penolakanku atau bahkan Mama dan Papa, dia tetap melakukannya. Reza juga rutin datang mengunjungiku. Dari sekedar melihat kondisiku, ngobrol dengan Mama atau bahkan mengantarku terapi -dengan Mama juga tentunya-. Dan sesering kedatangannya maka sesering itu pula aku mengabaikannya.
Bukan hanya namanya yang membuatku jengah tapi juga senyumnya yang tidak pernah berhenti mengembang. Keramahannya yang menurutku berlebihan membuatku tidak nyaman. Image laki-laki baik tidak dapat di terima otakku. Aku bahkan sempat berpikir sikapnya itu hanya sekedar pencitraan di depanku atau Mama. Bagiku semua laki-laki sama saja. Jahat.
Ting! Tong!
Suara bel memaksaku untuk berdiri dan berjalan perlahan dengan kruk untuk membuka pintu. Ekspresiku datar ketika pintu terbuka dan senyum lesung pipit yang khas menyambutku. Ish! Kenapa dia yang dateng? Panjang umur amat! Aih, Mama lagi pergi, apa aku usir aja ya?
“Masuk.” Mulutku berkhianat demi sebuah sopan santun.
“Sendirian?”
Dia pasti sudah bisa menebak karena aku yang membuka pintu. “Mama lagi pergi sama Mbak Endang.”
“Oh.”
Reza mengikutiku ke ruang tengah dan aku mempersilakannya duduk. Terlalu sering menghadapi sikap cuek dan kasarku, Reza jadi terbiasa. Bahkan gaya bicaranya juga sudah lebih santai saat bersamaku.
“Apaan?” tanyaku tanpa basa basi ketika dia hanya diam menatapku.
“Nggak ada apa-apa kok. Tadi pas lewat, sekalian mau tanya kapan jadwal terapinya lagi,” jelasnya.
“Kan udah kubilang nggak usah di anter juga nggak apa-apa,” jawabku tanpa menatapnya. Aku menyibukkan diri dengan layar televisi dan remot, mencoba mencari acara menarik. Sekilas dari sudut mata, aku melihat Reza tersenyum.
“Mbak Anggra-,”
“Udah kubilang juga jangan panggil Mbak kan? Geli dengernya. Mas Reza kan lebih tua.”
“Iya, sorry deh. Kalo gitu jangan panggil Mas jugalah, biar adil. Aku juga nggak tua-tua amat.”
Spontan aku menoleh pada Reza dan dia menahan senyum gelinya melebar. Ish, nyebelin!
“Kalo pake kemeja panjang sama celana kain gitu kayak bapak-bapak tau,” sindirku.
Reza justru tertawa dan aku terheran karena bahkan saat tertawa suaranya juga mirip Afgan. Sisca malah sempat bilang kalau-kalau Reza adalah kembarannya Afgan. Konyol!
“Kamu paling jago bikin orang keki ya,” celetuknya.
“Kamu keki? Yakin?” jawabku sambil melirik laki-laki yang masih terlihat santai meski sudah kusindir gaya pakaiannya. Sampai sekarang aku tidak tahu apa pekerjaan Reza. Terlalu gengsi untuk bertanya pada Mama atau Sisca, apalagi langsung pada pahlawan kesiangan itu.
“Gimana skripsimu?” tiba-tiba Reza mengalihkan topik pembicaraan dan aku spontan menoleh padanya. Rasanya tambah satu orang yang memiliki akses langsung ke pikiranku selain Mama.
“Nggak gimana-gimana,” jawabku datar.
“Kapan mulai penelitiannya?” tanyanya lagi.
Aku kembali menatap layar televisi meski otakku sudah terpaku pada topik pembicaraan itu. “Belum tau,” jawabku singkat.
“Lho kok belum tau? Bukannya dari kemarin kamu udah ngotot mau cepet penelitian? Ada masalah?”
Aku mendesah kesal lalu melambaikan tangan pada gips di kakiku. “Ini? Bukan masalah?”
Reza terdiam tapi tetap saja senyum simpulnya muncul. Tiba-tiba tangannya terulur mengambil kertas yang tadi kulempar ke meja. Matanya jeli juga sampai bisa melihatnya. Aku hanya diam dan menunggu reaksi Reza. Pura-pura mengabaikannya dengan menonton televisi.
“Mau aku anterin?”
Napasku seperti berhenti di tenggorokan ketika mendengarnya. Dia serius? Kesempatan nih, aku nggak perlu gengsi mintanya. Tapi ....
“Gimana? Mau aku anterin?” ulangnya.
“Kamu kan sibuk, ng, kerja,” jawabku setengah hati. Setengah hati mengiyakan dan setengah hati menolak.
“Gampang itu,” jawabnya tanpa menatapku. Matanya masih fokus membaca jadwal penelitian. “Boleh ini buatku? Biar bisa kuatur jadwalnya.”
“Heh?!” Aku tercengang dengan perkataannya. Aku kan belum bilang iya.
“Boleh kan?” Reza mengangkat kertas itu ke sisi wajahnya, menggoyangkannya dan menatapku meminta persetujuan.
Aku menelan ludah perlahan. Pahit. Gimana nih? Iya apa iya? Ish! “Kalo aku bilang nggak, tetep maksa juga kan?” Ah, jawaban cerdas! Selamatlah gengsiku.
“Iya, aku maksa anter kamu,” katanya sambil tersenyum.
Aku menoleh dan sepasang mata penuh keyakinan memandangku tanpa ragu. “Terserah,” jawabku sok cuek.
Senyum Reza melebar dan aku dengan cepat memalingkan wajah darinya. Suara mobil yang berhenti di depan rumah membuatku lega. Itu Mama, setidaknya ada yang menyelamatkanku dari suasana yang tidak menyenangkan ini. Ya ampun! Aku setuju di anter Reza?!
“Aku kabarin lagi soal ini by phone boleh?” tanyanya dengan hati-hati.
“Dari mana kamu tahu nomor handphone-ku?” Aku menatapnya keheranan.
“Ibu Hera yang kasih,” akunya jujur.
Oh, Mama dan segala kuasanya! “Terserah.”
“Oh ya, kapan jadwal terapi lagi?” tanya Reza sambil melipat jadwal penelitianku dan memasukkannya ke saku celana.
“Hari Jumat minggu depan,” jawabku setengah hati.
“Oke, kalo gitu aku permisi ya,” Reza berdiri.
“Eh?!” Aku mendongak, menatap tubuh tingginya dengan terkejut.
“Kenapa?” Sekarang Reza yang keheranan melihatku.
“Ng, nggak apa-apa. Pulang sana,” kataku cepat.
Reza tertawa. “Iya, aku pulang. Sampe ketemu lagi ya.”
“Hm.” Dan aku tahu dia tersenyum lebar sambil berjalan pergi.
Aku mendengar Reza menyapa Mama ramah di ruang tamu. Mama terdengar kecewa ketika mendengar Reza pamit. Ternyata Mama benar-benar suka pada Reza dan aku kesal karena dia memberikan nomor teleponku sembarangan. Tapi seperti biasa, aku tidak akan bisa marah padanya.
“Udah lama Reza dateng, Nggra?” tanya Mama ketika masuk ke ruang tengah. Mbak Endang berjalan tergopoh-gopoh ke dapur dengan membawa banyak tas belanjaan.
“Hm.”
“Wah ada yang ngambek.” Mama tertawa dan pergi ke dapur.
***
Senin, jam delapan pagi di awal bulan Juli.
“Udah siap semuanya?” tanya Mama ketika aku duduk di tepi tempat tidur, sedang menutup sleting tas.
Aku menoleh lalu mengangguk pada Mama yang berdiri di ambang pintu kamar. Hari ini aku tampil formal mengenakan kemeja putih lengan pendek, di balut blazer warna coklat muda. Di padukan dengan rok coklat tua model A line yang warnanya serasi dengan blazer. Tampilanku oke, kecuali bagian di mana terpasang gips. Itu juga alasan kenapa aku harus memakai rok, karena tidak satu pun celana yang bisa melewati buntalan putih di kakiku.
Mama tersenyum lebar. Senang. Karena apa? Aku yang akan pergi penelitian? Reza yang akan datang? Atau aku yang akan pergi penelitian di antar Reza?
Mama lalu duduk disebelahku. “Semoga lancar ya penelitiannya. Kamu juga harus hati-hati, jangan maksain diri.”
Aku menautkan alis dan Mama tertawa pelan. Dia tidak khawatir anaknya akan pergi dengan laki-laki asing?
“Mama percaya kok sama Reza, dia pasti jagain kamu,” kata Mama yang sukses membaca pikiranku.
Aku menggeleng karena Mama memberiku ijin pergi penelitian hanya karena aku bersama Reza. Pesona apa sih yang di sebar Reza sampe Mama bisa percaya gitu? Jangan-jangan dia pake pelet lagi.
“Jangan cemberut. Dia udah rela bantuin kamu, jadi kamu juga jangan kasar sama dia ya.”
“Tergantung.”
“Anggra.”
“Kan dia yang maksa mau anter. Aku nggak minta kok.”
Mama menjentikkan jari ke telingaku. “Aaww!” seruku sambil menggosok telinga kananku.
“Kamu udah siap berangkat gini masih bilang dia yang maksa. Kalau kamu nggak butuh mana mungkin kan?” omel Mama.
“Iya, iya,” jawabku menahan kesal.
Kulihat Mbak Endang masuk ke kamar dengan mata berbinar. Aku tahu apa yang akan di beritahukannya, idolanya pasti sudah datang.
“Mas Afgan sudah datang Bu, Mbak.”
“Endang, namanya Reza bukan Afgan. Nggak enak kalo sampe kedengeran orangnya,” Mama memperingatkan dan Mbak Endang meringis.
Reza berdiri dari duduknya di kursi ruang tamu ketika melihatku keluar bersama Mama dan aku hampir tersedak ludahku sendiri saat melihat penampilannya. Aku tidak pernah berpikir dia akan menanggapi perkataanku. Dan sekarang, aku seperti melihat orang yang berbeda.
Laki-laki itu sudah kehabisan stok kemeja lengan panjangnya karena hari ini dia memakai kaos Polo berkerah warna hijau tua yang pas di tubuhnya yang -sebenarnya malas aku akui- atletis. Di padukan dengan denim biru dongker yang -lagi-lagi- potongannya pas untuk kaki jenjangnya.
“Semoga nggak ngrusak mood-mu hari ini,” ucap Reza dengan nada penuh canda.
Aku mendengus dalam hati dengan sindirannya. “Lumayan,” kataku kemudian menilai penampilannya.
Mama tampak bingung memperhatikan interaksi kami. “Kalian ngomongin apa sih?”
Reza tertawa dan aku hanya menggeleng sambil menggerutu dalam hati.
“Titip Anggra ya, Za. Maaf ngrepotin,” kata Mama kemudian setelah Reza selesai dengan tawanya.
“Nggak ada yang di repotin kok, Bu,” jawab Reza dan dia meminta tasku yang di bawa Mama. Kali ini aku tidak protes karena aku sudah cukup kesulitan berjalan dengan kruk.
“Udah siap? Mau berangkat sekarang?” tanya Reza padaku.
“Tahun depan juga boleh,” jawabku dan Mama langsung mencubit lenganku sedangkan Reza tersenyum geli.
Sepertinya aku harus benar-benar membiasakan diri dengan senyumnya yang terlalu sering mengembang itu. Dengan hati-hati aku berjalan keluar dan di bantu Mama naik ke Pajero putih yang terparkir di depan rumah.
“Hati-hati ya,” pesan Mama lagi.
Meski tersenyum lebar, aku tahu Mama khawatir. Hanya saja kekhawatirannya kali ini aku ragukan. Apakah dia khawatir dengan keadaanku atau dia khawatir pada Reza yang pergi denganku? Aku merasa geli ketika memikirkan opsi ke dua. Reza hebat kalau bisa menggeser predikatku sebagai anak kesayangan di hati Mama.
“Wah, bakal cerah seharian nih,” celetuk Reza ketika dia masuk ke mobil dan duduk di belakang kemudi. Aku menoleh dan menatapnya heran.
“Jadi pawang hujan sekarang?” komentarku yang kemudian melihat ke langit melalui jendela.
“Aku liat kamu senyum sih.”
Dan aku segera menarik kepala dari jendela. Merasa begitu bodoh karena baru menyadari senyumku terlalu lebar sampai Reza melihatnya. Raja gombal! Reza tersenyum simpul padaku lalu menjalankan mobilnya tanpa dosa.
***
“Kamu tahu lokasinya?” Reza berusaha membuka percakapan ketika sejak tadi kami hanya diam.
“Tahulah.” Aku tidak mengerti maksud pertanyaan anehnya. Masa iya aku yang punya proyek nggak tahu lokasinya?
“Ya tanya aja, siapa tahu ini pertama kalinya kamu ke sana.” Sesaat Reza melirik padaku lalu kembali fokus melihat jalan.
Aku diam. Dia sukses membaca isi kepalaku. Dasar cenayang!
“Kalo boleh tanya, skripsimu tentang apa?” Reza kembali memancingku bicara.
“Studi kasus mengenai lemahnya perlindungan hukum terhadap perempuan dan anak-anak.”
Mobil berhenti di lampu merah perempatan Mirota Kampus dan Reza memiringkan kepala melihatku.
“Kenapa?” Aku heran melihatnya menatapku dalam diam. Aku tidak suka di tatap seperti itu. Reza menggeleng pelan dan ketika lampu berubah hijau, dia kembali fokus ke jalan raya. Aku pun tidak ambil pusing.
LSM perlindungan perempuan dan anak yang akan aku kunjungi berada di Jalan Bantul, daerah sekitar Pojok Beteng Kulon. Aku memilih LSM ini juga karena rekomendasi salah satu dosen perempuanku yang juga tertarik dengan masalah yang aku angkat. Aku melirik Reza yang terlihat tenang mengemudikan mobil. Dia tidak banyak bicara lagi sejak pertanyaan terakhirnya. Aku merasa dia terkejut tapi entah karena apa.
Mobil Reza berhenti di depan sebuah bangunan dengan plakat LSM Bunda Rini. Tanpa di minta dan di suruh, Reza segera keluar dari mobil, berjalan memutari bagian depan dan mataku mengikutinya. Aku terhenyak ketika menyadari dia berniat membukakan pintu mobil untukku.
Aku mematung ketika akhirnya Reza membuka pintu dan mengulurkan tangannya padaku. Tangannya membeku di udara dan mata kami saling berpandangan, sama-sama bingung. Reza tersenyum karena menyadari aku tidak mau di bantu.
“Sorry,” ucapnya seraya menarik kembali tangannya yang sejak tadi menggantung sia-sia. Alih-alih marah dia justru membuka pintu belakang mobil, mengambil kruk dan tasku. Kali ini aku menyambut uluran tangannya ketika dia memberikan kruk dan untungnya dia masih bersedia membawakan tasku.
Aku cukup kesulitan saat keluar dari mobil, menurutku hanya belum terbiasa. Bersyukur kami memakai Pajero Reza yang lebih tinggi, andai kami memakai Yaris-ku pasti akan lebih sulit lagi. Sesaat kulihat wajah Reza menegang mengamatiku yang berusaha berdiri dan aku tahu dia menahan diri untuk tidak membantuku. Cukup mengerti dengan kejadian tadi kalau aku menghindari kontak fisik dengannya.
Ini pertama kalinya kami pergi berdua, biasanya saat mengantarku terapi ada Mama yang menemaniku. Sukses berdiri dengan kedua kaki di tambah dua kruk penyangga, aku mulai melangkah masuk. Reza berjalan sedikit di belakangku.
Seorang perempuan berusia lima puluhan menyambutku dengan girang. Tubuhnya gempal dan tidak terlalu tinggi, rambutnya pendek sebahu, tersisir rapi memakai jepit rambut hitam di kedua sisinya. Sebagian rambutnya sudah beruban. Dia mengenakan setelan baju kerja berwarna merah marun. Sepatu hak tinggi membuat penampilannya lebih sesuai. Wijayanti, itulah namanya, biasa di panggil Ibu Wijaya. Ketua LSM Bunda Rini, ini pertemuan ke tiga kami.
“Selamat pagi Bu Wijaya.” Aku mengulurkan tangan dengan masih berusaha tetap tegak berdiri.
Kami berjabat tangan. “Selamat pagi juga, Mbak Anggra,” ucapnya dengan ramah. “Wah, semangat sekali Mbak Anggra ya, padahal masih sakit.”
“Tuntutan tanggung jawab, Bu,” jawabku dan Ibu Wijaya tertawa. Sesaat kemudian dia memiringkan kepala melihat Reza di belakangku.
Oh, aku lupa! “Oh iya Bu, kenalkan ini Reza, hm-,”
“Selamat pagi, Bu,” sela Reza yang kemudian tersenyum dan menjabat tangan Ibu Wijaya. Akibatnya Ibu Wijaya menatapku dengan senyum simpul.
“Teman saya, Bu.” Aku segera menjelaskan, takut dia salah paham.
“Oh.” Dia kembali menatap Reza. “Saya Wijayanti, ketua LSM Bunda Rini.” Sejenak kemudian Ibu Wijaya tertegun menatap Reza. “Kok rasanya kenal ya? Apa sebelumnya kita pernah ketemu?” Ibu Wijaya tampak berpikir.
Halah, pasti karena dia mirip Afgan.
“Ibu lupa ya? Kita pernah ketemu di tempat Bunda Heni,” jawab Reza.
Heh?! Aku menatap Reza dan Ibu Wijaya bergantian.
“Ah iya, saya ingat! Kalau ndak salah, waktu acara orang tua asuh itu kan?” Ibu Wijaya terlihat senang ingatannya kembali.
Orang tua asuh? Aku menatap lekat Reza yang menganggukan kepala pada Ibu Wijaya.
“Lama ndak ketemu Mas. Bagaimana kabarnya? Masih rutin ke tempat Bunda Heni ya?”
“Baik Bu. Iya, minggu lalu saya dari sana.”
Ibu Wijaya mengangguk dan dia tersadar sudah membiarkanku berdiri terlalu lama. Aku lega saat akhirnya kami di persilakan masuk. Sebisa mungkin aku menyingkirkan daftar pertanyaan panjang di otakku mengenai Reza juga topik orang tua asuh dan berusaha fokus pada urusanku.
Ruang tamu LSM Bunda Rini cukup luas. Ada satu set kursi tamu dari kayu dengan ukiran yang khas lalu beberapa kursi kayu tambahan. Beberapa furnitur lain seperti lemari kaca juga ada di sudut ruangan. Dindingnya bercat biru muda dengan berbagai hiasan, dari lukisan hingga poster tentang berbagai slogan yang intinya tentang kepedulian terhadap perempuan dan anak-anak.
Ibu Wijaya sangat baik, dia membantu menyiapkan bahan-bahan yang di perlukan untuk studi kasusku, tentu saja beberapa staf lain juga berperan. Sementara aku membaca dan memeriksa beberapa dokumen, Ibu Wijaya tampak asik mengobrol dengan Reza tapi karena sesekali mereka mengobrol dengan Bahasa Jawa aku jadi tidak begitu mengerti.
Ada beberapa hal yang menggangguku ketika mereka menyinggung masalah kekerasan pada anak dan panti asuhan. Entah hubungan apa yang pernah terjalin di antara mereka tapi terlihat jelas Ibu Wijaya juga mengaggumi Reza. Rupanya pesona Reza sangat kuat untuk kelas wanita paruh baya. Aku hampir tertawa saat memikirkan hal itu. Akhirnya, aku bersusah payah untuk fokus pada dokumen yang kubaca dan mengabaikan obrolan mereka yang membuatku bingung.
Sudah jam setengah satu ketika aku selesai memilah dokumen yang kubutuhkan. Ibu Wijaya memberiku ijin untuk meminjamnya, surat pengantar dari kampusku cukup membantu. Reza membantuku mengemas semua dokumen ke dalam tas lalu kami pamit pulang.
***
Aku duduk diam di dalam mobil dengan kepala penuh tanda tanya. Jujur, aku penasaran dengan semua topik pembicaraan Reza dengan Ibu Wijaya. Tapi sepertinya laki-laki di sebelahku ini tidak berniat bercerita apapun karena sejak masuk ke mobil dia tidak bicara dan aku ... mana mungkin aku bertanya padanya! Apa yang akan di pikirkan Reza nanti? Bisa-bisa dia pikir aku penasaran dengannya atau malah tertarik padanya? Jangan sampai itu terjadi.
“Kamu laper, Nggra?”
Suara lembut Reza menyadarkanku. Kami sedang berhenti di lampu merah Pojok Beteng Kulon. Aku menoleh padanya, ragu. Makan siang? Berdua?
“Ada soto enak di dekat Wirobrajan, kamu mau?” Dia masih menatapku.
Soto? Makanan favoritku, apalagi Soto Medan buatan Mama dan aku ... hm, aku lapar.
“Kenapa? Masak iya di ajak makan aja keberatan.” Reza tersenyum geli melihatku diam.
“Terserah.”
Reza menggeleng dengan masih mempertahankan senyumnya dan setelah lampu berubah hijau dia berbelok ke kiri menuju Wirobrajan. Perjalanan tidak memakan waktu lama. Reza langsung turun begitu kami sampai di depan rumah makan Soto Kadipiro. Kali ini dia langsung mengambil kruk dan memberikannya padaku. Matanya tampak waspada mengamatiku tapi tidak mengulurkan tangan untuk membantu. Aku masih heran kenapa sejak tadi dia tidak berjalan di sebelahku, melainkan di belakangku.
“Kamu malu ya jalan sama aku?” celetukku ketika kami sudah duduk berhadapan di meja. Reza meletakkan kruk-ku di sebelahnya.
Laki-laki itu memberiku tatapan tidak mengerti. “Kenapa kamu mikir gitu?”
“Kok dari tadi nggak jalan di sebelahku?” Masa bodoh kalau nanti dia pikir aku mau jalan bersebelahan dengannya. Jujur, aku akan tersinggung kalau ternyata dia malu jalan denganku. Memangnya gara-gara siapa aku begini?
Reza tersenyum, tidak menjawab pertanyaanku. Dia justru memanggil pelayan dan memesan soto untuk kami berdua plus satu gelas teh tawar juga es teh. Aku mengurungkan niat untuk bertanya lagi, Reza sepertinya senang kalau aku penasaran padanya. Nyebelin!
“Bukan gitu,” katanya tiba-tiba.
Nah, lagi-lagi dia bisa membaca isi kepalaku. Aku masih cemberut padanya. “Kalo malu bilang aja,” sahutku ketus.
“Lho, kok marah?” Kening Reza sedikit berkerut.
“Aku nggak marah kok. Lagian ngapain aku marah?” Kalau saja aku belum berjanji pada Mama untuk tidak kasar pada Reza, mungkin aku akan memilih mengutarakan isi kepalaku.
“Kalo aku jalan persis di sebelahmu susah jagainnya. Kalo di belakang kan aku bisa liat, jadi bisa langsung tolongin kalo ada apa-apa, jangan sampe kamu jatuh. Aku kan udah janji sama Ibu Hera buat jaga kamu.”
Mulutku menganga mendengar penjelasan Reza dan untuk pertama kalinya aku menjadi kikuk di depannya.
“Eh, ada tahu sama tempe bacem lho, kamu mau?” Tiba-tiba Reza mengubah topik pembicaraan dan mengabaikan reaksi terkejutku. Aku menggeleng.
“Nggak suka?”
“Terlalu manis.”
Reza mengangguk. “Bukan orang Jogja asli sih ya.” Dia mengambil sepotong tahu bacem dan memakannya dengan lahap.
Seorang pelayan datang dan menyajikan soto kami. Aromanya segar dan aku semakin lapar. Sebenarnya aku ingin bertanya soal orang tua asuh dan semua topik pembicaraannya dengan Ibu Wijaya tapi aku sudah terlanjur keki di buatnya. Aku memilih untuk makan saja, lagipula tidak ada hubungannya denganku. Tapi aku beneran penasaran, halah!
“Kamu kenapa?” tanya Reza.
Aku mengangkat wajah, menatapnya. “Nggak apa-apa, kenapa emangnya?”
“Keliatannya lagi mikirin sesuatu.”
“Sok tahu, kayak cenayang aja.”
Reza terkikik. “Nggak perlu jadi cenayang buat tahu isi kepalamu. Kamu nyadar nggak sih, kalo ekspresi wajahmu itu gampang kebaca, apalagi kalo lagi marah.”
Aku hampir tersedak sotoku. Jadi itu alasannya? Astaga, kenapa aku merasa konyol sendiri ya? “Oh ya?” jawabku sinis.
“Nah, keluar deh juteknya,” komentar Reza yang kemudian menyuap sesendok soto ke dalam mulutnya.
“Udah bawaan lahir, nggak usah protes,” balasku.
“Segitunya, padahal kamu itu cantik lho, sayang juteknya setengah hidup.”
Ish! Aku menunduk dalam dan kembali fokus pada sotoku, yakin kalau wajahku sekarang berubah warna. Dasar Raja Gombal!
“Kamu suka sotonya? Aku suka banget sama soto. Ini salah satu rumah makan favoritku,” lagi-lagi Reza mengubah topik pembicaraan.
Kutegakkan tubuh dan memberanikan diri menatapnya. Aku harap wajahku sudah kembali normal. Dia juga suka soto?
“Boleh tanya sesuatu soal skripsimu?” Reza kembali mengubah topik dan menarikku ke dalam percakapan. Dia tetap terlihat santai dan tidak marah meski aku bersikap cuek sejak tadi.
“Tanya apa?” Aku menyuap soto ke dalam mulut dan dalam hati berdecak nikmat.
“Kenapa kamu tertarik sama topik perempuan dan anak-anak?”
Aku menangkap keseriusan dalam nada bicaranya. Menatap Reza waspada, apa yang dia harapkan kalau aku menjawab pertanyaannya? Aku tahu dia pintar meski aku tidak tahu banyak tentangnya. Aku mendengus pelan.
“Aku cuma pingin tahu, sama sekali nggak ada niat introgasi kamu,” jelasnya ketika mendengar dengusanku.
Nah, dia mengerti apa yang aku pikirkan. “Cuma liat realita aja. Faktanya, hukum di negara kita emang lemah untuk nglindungin perempuan dan anak-anak. Dominasi laki-laki selalu aja buat mereka jadi korban, ya, meski nggak semua begitu.”
Aku berusaha menunjukkan pemikiranku secara profesional, menutupi obsesi pribadiku. Reza sudah selesai dengan sotonya, matanya tajam menatapku dan jari-jari panjangnya mengusap dagu. Dia seperti sedang berpikir.
“Jujur, aku kaget kamu punya kepedulian kayak gitu,” katanya terus terang.
Mengendikkan bahu, aku tidak heran mendengarnya. Dia selalu melihat sisi kerasku. “Aku perempuan, wajar menurutku.”
Reza menggeleng, dia terlihat bingung.
“Kenapa? Aneh ya?”
“Entah, menurutku kamu orang yang rumit.”
Dan itu sukses membuatku tersedak suapan terakhir sotoku.
“Sorry,” katanya seraya mengulurkan kotak tissue.
Dengan cepat kuteguk teh tawar untuk melegakan tenggorokan lalu menyeka mulutku dengan tissue. Tiba-tiba Reza tertawa dan aku mendengus kesal dalam hati. Dia satu-satunya laki-laki yang bisa membuatku keki.
“Apa yang lucu?”
“Maaf, maaf, nggak ngetawain kamu kok. Cuma ini kan pertama kalinya kita ngobrol panjang. Seneng juga liat kamu punya sisi lembut di balik sikap garangmu itu.”
Ah, iya juga ya. Oke, dia jujur menilaiku. Sebenarnya kalau di pikir, Reza tidak begitu buruk sebagai laki-laki. Dia tidak banyak basa-basi. Sepertinya aku harus sedikit merubah persepsiku tentangnya. Penilaianku untuk Reza secara positif naik lima derajat dari titik nol.
“Aku jarang ngobrol panjang sama cowok kecuali urusan kuliah atau hal penting lainnya,” kataku jujur.
“Aku tahu.” Reza tersenyum dan aku ingat percakapan Sisca dengannya di rumah sakit.
Aku melirik jam tangan, sudah waktunya minum obat. Kuambil obat dari tas kecil yang sejak tadi kusandang melintang di bahu.
“Jangan minum obat pakai teh,” larang Reza ketika aku meraih gelas teh di meja. Dia langsung memanggil pelayan dan meminta air mineral. Aku membeku dengan sikapnya. Selain Sisca dan Mama tidak pernah ada yang memperingatkanku untuk hal semacam ini, apalagi laki-laki. Jelas aja! Emang kapan aku pergi sama cowok kecuali sama Abram, itupun sama Sisca. Batinku terbahak sendiri karenanya.
Selama menunggu pelayan, Reza sama sekali tidak menatapku. Dia sibuk dengan handphone-nya. Baru setelah pelayan datang membawa sebotol air mineral, dia kembali menatapku, mendorong botol ke arahku.
“Minum obat harus pake air putih.”
“Makasih,” jawabku singkat. Hanya itu yang bisa aku katakan.
“Ayo pulang, kamu pasti udah capek.” Reza mengambil kruk dan memberikannya padaku. Seperti tadi, dia hanya diam menatapku sambil berjalan di belakang. Aku tidak berkomentar lagi. Penilaian positifku untuk Reza naik lima derajat lagi ketika akhirnya aku bisa duduk dengan tenang di mobil. Pajero meluncur mulus di jalan raya membawaku pulang.
***
Dia … Baik
Sudah seharian aku sibuk di depan laptop, fokus mengerjakan bagian awal bab empat skripsiku. Masih banyak data yang aku butuhkan dan aku juga masih harus mewawancarai beberapa orang terkait studi kasus yang aku ambil.
Besok adalah pertemuan pertamaku dengan seorang wanita yang pernah menjadi korban KDRT2. Lima belas tahun dia bertahan karena menurutnya sebagai seorang istri haram hukumnya membantah suami. Pemimpin desanya seperti Lurah, ketua RT atau RW-nya juga tidak bertindak melihat warganya teraniaya. Sampai kasusnya di bantu oleh LSM Bunda Rini dan akhirnya menang. Suaminya mendapat hukuman.
Kasus lain, mengenai adopsi anak yang justru berujung pada eksploitasi. Anak-anak malang yang di jadikan pengemis atau bahkan di jual sebagai penjaja seks komersial. Masalah ini pernah sampai ke pemerintah daerah tapi tidak di tangani dengan baik sampai akhirnya LSM Bunda Rini turun tangan dan menyelamatkan anak-anak itu. Mereka di kirim ke panti asuhan dan di carikan orang tua asuh.
Aku berhenti pada topik yang satu ini dan tiba-tiba teringat Reza. Dari yang pernah kudengar, dia juga orang tua asuh. Aku masih penasaran tapi enggan untuk bertanya. Kalau memang benar, berarti penilaian positifku untuk Reza akan naik lagi. Tanganku memutar-mutar pena di tangan sedang mataku menatap lurus ke layar laptop.
Menurutku kamu orang yang rumit. Reflek aku tersenyum saat mengingat perkataan Reza beberapa hari yang lalu. Rumit? Aku lebih dari sekedar pribadi yang rumit. Terkadang aku juga tidak mengerti dengan diriku sendiri. Apa yang sebenarnya aku inginkan dalam hidup?
Aku punya target dan tujuan tapi entahlah. Aku hanya berusaha membentuk hidup ini sesuai dengan keinginanku, sesuai harapanku. Terlalu banyak hal yang mengecewakan dan aku tidak mau terus kecewa dan tersakiti. Aku tersentak ketika Iphone-ku berbunyi. Sebuah pesan singkat dari Reza.
Besok mau dijemput jam berapa?
Panjang umur nih cowok. Sejak pertemuan terakhir kami, aku tidak lagi menolak niat baiknya untuk membantuku. Aku percaya dia baik, dalam batas tertentu aku menerimanya. Dengan cepat aku membalas pesannya.
Jam 1 siang
Belum sempat kuletakkan Iphone-ku, pesan balasannya sudah masuk.
Oke
Kuletakkan Iphone di meja setelah sekali lagi membalas dengan mengucapkan terima kasih dan aku kembali fokus menyusun skripsi.
***
Hari Rabu yang panas. Pajero Reza berjalan perlahan mengikuti mobil Ibu Wijaya. Kami memasuki wilayah Piyungan, menuju ke rumah wanita yang pernah menjadi korban KDRT. Namanya Ibu Wahyuningsih. Mobil Ibu Wijaya berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat putih.
“Hati-hati, tanahnya licin.” Reza memperingatkan sambil memberikan kruk padaku. Meski begitu dia sama sekali tidak membantuku berdiri dan sikapnya sama seperti sebelumnya.
Ibu Wahyuningsih menyambutku dengan ramah. Kami di persilakan masuk tapi Reza memilih untuk menunggu di teras rumah. Kuhargai sikapnya.
Dua jam lamanya, aku dengan di bantu Ibu Wijaya melakukan wawancara. Semua percakapan kurekam dengan Iphone, juga membuat cacatan kecil di buku. Hasil pertemuan pertama ini sangat memuaskan. Masih ada tiga kali pertemuan lagi yang aku jadwalkan tapi aku rasa semuanya juga akan berjalan dengan baik. Ibu Wahyuningsih sangat kooperatif. Ibu Wijaya ternyata juga memberinya konseling untuk mengatasi trauma atas penyiksaan yang dialaminya selama belasan tahun.
Kami pamit pulang dengan sebelumnya membuat janji untuk pertemuan selanjutnya. Dengan hati-hati aku berjalan dan Ibu Wijaya membantuku naik ke mobil. Reza tersenyum melihatnya dan sepertinya aku bisa menebak kenapa. Dia suka ada yang membantuku?
“Terima kasih, Bu,” kataku sopan dengan memberikan seulas senyum manis.
“Sama-sama Mbak Anggra. Saya suka melihat anak muda yang peduli seperti Mbak dan Mas Reza. Masyarakat kita ini butuh lebih banyak orang untuk peduli dan mau bertindak. Terlalu banyak orang yang hanya bisa berkomentar dan menghakimi tanpa mau melakukan hal nyata untuk sebuah perubahan,” kata Ibu Wijaya.
Aku mengangguk dengan senyum masih tersungging di bibir. Pemikiran itulah yang membuatku kagum pada Ibu Wijaya. Dia tegas dan berani mengemukakan pendapat. Salah satu dari sedikit orang yang mau bergerak untuk suatu perubahan, kehidupan lebih baik untuk perempuan dan anak-anak Indonesia.
“Memang perlu langkah nyata untuk sebuah perubahan, Bu,” kataku dan Ibu Wijaya tersenyum.
“Oh ya, Mbak Anggra sudah ketemu dengan pemilik Panti Asuhan Ananda?” tanyanya.
“Belum Bu, bukannya baru besok kita ke sana?” tanyaku bingung.
“Oh, saya kira Mbak Anggra sudah ke sana duluan. Soalnya Mas Reza kan punya hubungan baik dengan Bunda Heni, pemilik panti,” jelasnya.
Aku langsung menatap Reza yang masih berdiri di belakang Ibu Wijaya. Ekspresinya datar kali ini. Dan aku hanya menggeleng pada Ibu Wijaya.
“Ya sudah, besok kita langsung ke sana saja. Mas Reza tahu kok tempatnya. Ibu pulang dulu ya, sampai ketemu besok, Mbak. Mari, Mas Reza.”
“Terima kasih, Bu,” jawabku dan Reza bersamaan.
Ibu Wijaya meninggalkan kami dan Reza segera masuk ke mobil setelah meletakkan kruk dan tasku di kursi belakang. Mobil kami meninggalkan halaman rumah Ibu Wahyuningsih dan otakku masih sibuk mencerna perkataan Ibu Wijaya. Reza dan panti asuhan.
“Kenapa? Kok jadi serius gitu?” tanya Reza padaku.
Aku menoleh padanya, mungkin ini saat yang tepat untukku bertanya. “Kamu kenal pemilik Panti Asuhan Ananda?”
“Iya, namanya Ibu Henidar, biasa di panggil Bunda Heni,” jawab Reza tanpa melihatku, pandangannya lurus ke jalan.
“Kenapa nggak bilang?”
Reza mengendikkan bahu. Aku tahu dia ragu untuk menjawab. Meski baru sebentar mengenalku, Reza cukup tahu bagaimana tabiatku. Dia menghargai kepribadian dan sikapku melebihi ekspektasiku. Reza juga bertahan saat aku bersikap tidak ramah bahkan berkata ketus padanya.
Oke, kali ini aku sepakat dengan Mama. Reza memang orang baik dan bagiku termasuk orang yang langka. Aku tidak muak berlama-lama dengannya -meski awalnya iya-. Sekarang, aku mulai terbiasa. Tidak jengah dengan senyumnya, tidak keki dengan ucapannya yang kadang terlalu jujur, juga tidak risih dengan kelembutan dan perhatian yang kadang di tunjukkannya secara langsung ataupun tidak langsung. Lebih hebatnya lagi aku bisa memanggil namanya dengan wajar.
“Aku tahu batasanku Nggra. Nganter kamu, nemenin kamu itu tanggung jawabku tapi mencampuri urusanmu itu udah lain cerita. Aku tahu kamu nggak akan suka.” Sekali lagi pemikirannya sepaham denganku.
“Makasih.” Tiba-tiba kata itu sudah meluncur dari bibirku.
Reza memiringkan kepala dan menilai ekspresiku. “Buat apa?”
“Buat semuanya,” kataku sekenanya. Aku juga bingung bagaimana cara menyampaikannya. Aku tidak terbiasa memuji orang, apalagi laki-laki.
Kulihat Reza tersenyum. “Sama-sama.”
Dia mengerti apa yang aku rasakan. Bener? Apa cuma perasaanku aja? Aku tidak menyangka penilaianku pada Reza bisa berubah positif dalam waktu singkat, bahkan derajatnya naik setiap kali mengenalnya lebih dekat.
Tunggu! Aku terhenyak. Mengenalnya? Aku tidak tahu apa-apa soal Reza. Mama dan Sisca yang lebih tahu. Dia tinggal di mana? Lulusan apa? Apa pekerjaannya? Dan tiba-tiba aku merasa begitu bodoh. Oh, Tuhan! Aku hanya tahu nama panggilan dan nomor teleponnya. Padahal dia sudah berkali-kali mengantarku terapi, bahkan membantuku menyelesaikan skripsi. Tanpa sadar aku menghela napas, meredakan ketegangan batinku.
Aku menyangga kepala dengan tangan yang bersandar pada pintu mobil. Kepalaku pusing. Dua hari bergadang dan wawancara lebih dari dua jam. Aku lelah.
“Kamu capek?” Isi kepalaku kembali terbaca oleh Reza. Ah salah, kali ini dia pasti membaca gesture tubuhku.
“Hm,” gumamku lirih.
“Nggak usah maksain diri. Percuma kamu ngejar target kalo hasilnya nanti justru nggak maksimal. Nikmatin aja prosesnya, pikirin juga kesehatanmu.”
“Alon-alon waton kelakon3? Itu bertentangan dengan prinsipku.”
Reza tertawa. “Udah tiga tahun di Jogja, Bahasa Jawamu masih jelek.” Aku mencibirnya dan dia menggumamkan kata maaf padaku.
“Itu juga bukan prinsipku,” lanjutnya. Ekspresi Reza kembali serius. “Tapi liat ambisimu sekarang, aku cuma nggak mau kamu kecewa dengan hasil yang mungkin nggak akan maksimal kalo kamu maksain diri.”
Aku terdiam, Reza benar. Kalau aku sakit lagi semuanya justru akan berantakan.
“Besok aku anter kamu ke panti asuhan tapi abis itu aku saranin kamu istirahat dulu. Jumat jadwal terapimu kan? Tinggal sebulan lagi gips-mu di lepas, jangan sampai di perpanjang gara-gara kamu ngejar target. Itu berarti kamu nyia-nyiain semua terapi yang udah kamu jalanin sebelumnya. Jadi, pinter-pinterlah bagi waktu sampai kondisimu pulih. Dosen pembimbingmu juga pasti ngerti.”
Aku hanya diam mendengar nasehatnya.
“Sorry, nggak bermaksud menggurui. Cuma saran sebagai teman,” tambahnya. Reza menilai kediamanku sebagai sebuah ketidak setujuan. Sebuah sikap yang selalu aku tunjukkan padanya sejak pertama kami bertemu.
“Nggak apa-apa. Thanks,” jawabku lirih. Mataku menatap ke luar jendela. Kami tidak lagi bicara sampai Reza menurunkanku di depan rumah.
***
Sehabis makan malam aku duduk di sofa panjang ruang tengah dengan dua kaki terjulur santai. Laptop di pangkuanku dan sudah lima kali aku memutar ulang rekaman wawancara dengan Ibu Wahyuningsih. Berusaha mencerna dengan baik setiap kalimat yang di sampaikannya.
Sesekali Ibu Wahyuningsih menggunakan istilah Bahasa Jawa dan itu sedikit mempersulitku. Reza benar, meski sudah tiga tahun aku di Jogja, Bahasa Jawaku masih jelek. Mama tidak bisa membantuku kali ini, dia juga tidak bisa Bahasa Jawa. Sepertinya aku harus minta bantuan Reza besok.
“Mbak Endang!” seruku setengah berteriak. Yang kupanggil langsung berlari mendekat.
“Ya, Mbak?”
“Tolong buatin teh ya. Anget jangan panas.”
Mbak Endang mengangguk. “Teh pait anget, siap Mbak.” Diapun berbalik dan kembali berlari ke dapur.
“Besok kamu jadi pergi ke panti asuhan?” tanya Mama yang tiba-tiba duduk di sofa, di sampingku.
Sejenak aku menoleh padanya. “Jadi, Ma.” Dan aku kembali fokus pada tugasku.
“Nggak kecapekan?”
Aku menggeleng, bohong pastinya. “Nggak kok.”
“Kamu juga harus jaga kesehatan.”
“Iya Mama sayang,” jawabku tanpa mengalihkan perhatianku dari layar laptop.
Mama menggumam tak jelas dan aku tidak menanggapinya lagi. Perhatianku sepenuhnya tercurah untuk mengetik hasil wawancara. Suasana hening membuat otakku bekerja lebih cepat.
“Di minum dulu tehnya, nanti dingin nggak enak,” ucapan Mama membuat perhatianku teralihkan. Aku bahkan tidak tahu kapan Mbak Endang meletakkan teh di meja.
“Tuh kan, keasikan nulis sampe nggak sadar sekitar,” kata Mama lagi.
Aku terkekeh. “Lagi seru Ma, nanggung kalo berhenti.” Kuteguk teh pahitku yang ternyata memang sudah mulai dingin.
“Itu hasil wawancaramu sama Ibu Wahyu yang katanya korban KDRT?” tanya Mama begitu aku meletakkan gelas di meja dan kembali menekuni laptop.
“Iya, ternyata banyak ya perempuan yang nasibnya nggak beruntung,” komentarku saat jariku mulai menari lagi di atas keyboard.
“Makanya kita sebagai manusia yang lebih beruntung harus bisa lebih bersyukur. Tapi ya, yang namanya manusia tetep aja manusia. Kapan aja bisa berbuat salah,” jawab Mama.
Seketika tanganku berhenti bergerak. “Maksud Mama wajar kalo manusia berbuat salah? Termasuk menyakiti satu sama lain?” Perhatianku kini seratus persen teralihkan pada Mama.
“Mama nggak bilang itu wajar tapi memang selama kita hidup kan nggak mungkin kita seratus persen lepas dari dosa. Kuncinya ya segera bertobat kalo tahu itu salah. Minta ampun sama Tuhan juga sama orang yang udah kita sakiti. Nggak baik simpen sakit hati apalagi dendam. Tuhan akan memperhitungkan semua itu dengan cara-Nya. Kita hanya harus mengampuni dan nggak boleh menghakimi,” terang Mama dengan tenang.
Aku berdecih dalam hati. Aku tahu apa yang di maksud Mama. Bukan tentang Ibu Wahyu ataupun materi skripsiku. Ini soal hatiku, hidupku, hubunganku dengan seseorang yang malas kusebut namanya.
“Sayangnya kampusku nggak nyediain mata kuliah pengampunan, Ma.” Dan dengan kalimat itu aku berpaling dari Mama. Kembali fokus pada tugasku.
Kudengar Mama menghela napas panjang. Pembicaraan kami pasti akan jadi sebuah perdebatan jika terus di lanjutkan tapi dengan bijak Mama tidak lagi menanggapi perkataanku. Tahu kalau pendapatku tidak pernah bisa di debat. Tak lama kemudian Mama beranjak dan masuk ke kamarku. Aku senang karena bisa lebih fokus mengerjakan tugas.
***
Jam dua belas malam. Aku benar-benar lupa waktu. Aku menggeliat panjang setelah mematikan laptop, tangan dan pinggulku pegal.
“Udah malem.” Mama berdiri di ambang pintu kamarku.
“Mama belum tidur?” tanyaku terkejut.
“Ketiduran tadi, baru aja kebangun karena kamu nggak ada di sebelah Mama.”
Sejak pulang dari rumah sakit aku memang tidur dengan Mama. Aku memindahkan laptop ke meja lalu mengambil kruk dan perlahan berjalan ke kamar. Sekali lagi menggeliat panjang di tempat tidur, aku merasa lelah.
“Besok kamu berangkat jam berapa?” tanya Mama seraya mengusap lembut kepalaku.
“Jam satu.” Aku memiringkan kepala dan melihat Mama di sampingku. “Kenapa?” Aku tahu Mama mau menyampaikan sesuatu.
“Boleh besok Mama undang Reza makan siang?” tanya Mama.
“Terserah,” jawabku datar.
“Kamu nggak keberatan?” Mama sedikit terkejut.
“Nggak.”
Alis Mama bertaut. “Bener nih?” Mataku membulat dan Mama tertawa. “Wah, kemajuan anak Mama,” pujinya.
“Kata Mama aku nggak boleh kasar sama dia.” Aku mengulang peringatan Mama padaku.
“Ya, memang harus gitu. Dia udah baik sama kamu, masa iya mau di kasarin.” Tangan Mama masih membelai kepalaku.
Perlahan aku berbalik memunggungi Mama lalu memeluk guling sementara Mama masih mengusap kepalaku. Kakiku yang terbungkus gips bersebelahan dengan guling besarku. Mataku setengah terpejam saat kudengar Mama mengguman.
“Kira-kira Reza suka makan apa ya?”
Otakku jadi mengingat kenangan hari pertama penelitian. “Soto,” celetukku dan tangan Mama berhenti bergerak, membeku di atas kepalaku.
“Eh?!”
Mataku terpejam tapi aku tahu Mama pasti sedang menatapku keheranan.
***
“Silakan Mas Afgan, eh, Mas Reza. Langsung aja ke ruang makan.”
Aku sedang berjalan ke ruang makan ketika kudengar suara Mbak Endang menyapa idolanya di ruang tamu dan Reza langsung tertawa renyah karenanya.
“Siang, Nggra,” sapa Reza ramah ketika kami berpapasan di pintu ruang makan.
“Siang,” balasku singkat. Aku kembali berjalan dan seperti biasa, Reza berjalan di belakangku. Dengan sopan dia menarik kursi makan untukku, sebuah keramahan yang sudah tidak asing lagi bagiku, sekarang.
“Siang, Bu,” sapa Reza sopan ketika Mama keluar dari dapur membawa piring berisi perkedel.
“Siang, Reza,” balas Mama ramah.
“Terima kasih udah undang makan siang, Bu.”
“Ah kamu ini, harusnya Ibu yang terima kasih karena udah banyak ngrepotin.”
“Nggak ada yang di repotin kok, Bu.”
Mama tersenyum dan mempersilakan Reza duduk di depanku. Aku meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.
“Kata Anggra kamu suka soto ya?”
Uhuk! Aku tersedak dan segera mengambil tissue di atas meja makan untuk menyeka air yang tersembur dari mulut. Mataku melebar pada Mama dan dari sudut mata kulihat Reza tersenyum. Menertawakanku? Ish!
“Hati-hati.” Mama seperti mengabaikan ekspresi kesalku. Aku tahu dia sengaja mengatakan hal itu pada Reza. Arghh, aku malu!
“Semoga kamu suka masakan Ibu ya. Anggra juga paling suka soto,” kata Mama lagi seolah lupa aku masih duduk di sebelahnya.
“Oh ya?” Reza menatapku terkejut. Dengan cepat aku memalingkan wajah, mengalihkan perhatian. Sayangnya usahaku sia-sia karena Mama dengan santainya justru kembali ke dapur meninggalkan kami berdua. Oh, Mamaku tersayang!
“Kamu penggemar soto juga?” Senyum Reza mengembang ketika akhirnya aku berani menatapnya lagi.
“Cuma soto buatan Mama,” elakku.
“Oh.” Terlihat jelas Reza menahan tawa, aku mendengus kesal.
Mama kembali dengan membawa mangkuk besar dan Mbak Endang membawa toples berisi emping. Derajat kekesalanku menurun ketika hidungku mencium aroma segar Soto Medan buatan Mama. Aku tahu Reza masih memperhatikanku tapi aku tidak peduli.
“Ini Soto Medan favorit Anggra,” kata Mama dengan bangga. Apaan sih Mama nih?
“Pasti enak,” puji Reza.
“Kata Anggra sih begitu. Semoga kamu juga suka.” Mama tersenyum.
“Pasti suka, nggak ada yang bisa nandingin enaknya masakan seorang ibu.” Reza menatap Mama hangat dengan senyum simpul tersungging di bibirnya.
Aku tertegun mendengarnya. Reza selalu tahu caranya menghargai dan menyenangkan hati orang. Aku lihat Mama tersentuh dengan perkataannya.
Selama makan siang aku tidak banyak bicara, hanya sesekali menjawab atau mengiyakan pertanyaan Mama dan Reza padaku. Mama begitu senang Reza memuji sotonya meski itu bukan hal aneh. Justru aneh kalau sebaliknya karena Soto Medan buatan Mama memang maknyus.
Selesai makan kami langsung berangkat karena tidak mau membuat Ibu Wijaya menunggu. Dia sudah berbaik hati membantuku dan rasanya tidak sopan kalau aku sampai terlambat.
“Kamu nggak apa-apa, Nggra?” tanya Reza. Kami sudah setengah perjalanan menuju panti asuhan yang beralamat di jalan Godean. Sejak berangkat aku memang hanya diam.
“Nggak apa-apa,” jawabku datar. Aku tidak menatapnya dan tetap memandang lurus ke luar jendela.
“Mukamu pucet gitu, bilang kalo sakit ya.”
“Hm.”
Kudengar dia menghela napas perlahan, mungkin sedang mencoba memahami mood-ku yang down gara-gara Mama tadi. Selain itu, kepalaku memang pusing. Semalam aku tidur larut tapi aku tidak menyadari kalau wajahku pucat.
Mobil Ibu Wijaya sudah terparkir di halaman panti asuhan dengan plakat besar bertuliskan Panti Asuhan Ananda. Reza langsung turun dan seperti biasa membantu membawa semua barangku.
Sekali lagi aku bertemu dengan wanita luar biasa. Bunda Henidar, seorang janda dari suami angkatan darat yang mengabdikan hidupnya untuk mengurus anak-anak terlantar atau lebih tepatnya anak-anak yang di terlantarkan.
Bahan studi kasusku kali ini mengenai tiga orang anak yang pernah di adopsi dari Panti Asuhan Ananda tapi ternyata justru di jadikan pengemis, mereka di jadikan alat pencari uang. Bahkan salah satunya sempat di jual untuk di jadikan penjaja seks komersial. Bunda Henidar berhasil mendapatkan mereka kembali dengan bantuan dari LSM Bunda Rini dan salah satu LBH4 di Yogyakarta.
“Selamat datang.”
Senyum hangat menyapa kami di pintu masuk kantor. Perempuan yang kuperkirakan berusia lebih dari lima puluh tahun itu terlihat begitu bersahaja mengenakan blouse lengan panjang dengan motif batik coklat tua dan rok panjang dengan warna senada. Wajahnya bulat dengan beberapa keriput di sudut mata tapi tidak menutupi jejak kecantikan masa mudanya. Rambut hitamnya yang beberapa sudah memutih di gelung rapi.
Aku menjabat tangan Bunda Heni dan balas menyapa dengan ramah. Ibu Wijaya memberikan kecupan di kedua pipi sebagai tanda persahabatan dan aku terhenyak ketika Reza dengan sopan mencium tangan Bunda Heni dan dengan rasa sayang yang terlihat jelas, Bunda Heni mengusap kepalanya. Mereka jelas tidak hanya sekedar akrab.
“Ora sibuk le5?” tanya Bunda Heni lirih pada Reza tapi aku masih bisa mendengarnya dengan jelas, aku tahu artinya. Jelas aku terkejut karena Bunda Heni memanggil Reza dengan sebutan tole6.
“Mboten Bunda7,” jawab Reza sopan dengan gaya Bahasa Jawa krama inggil8 yang lebih halus dan sopan.
Keterkejutanku berhenti ketika Bunda Heni mempersilakan kami masuk. Kantor Bunda Heni sederhana tapi rapi. Cukup luas untuk menerima banyak tamu. Kami duduk di sofa tua berwarna coklat dan aku lega karena tidak harus berdiri lagi. Kepalaku berdenyut tidak nyaman sejak turun dari mobil tadi.
Seorang gadis belia masuk ke dalam kantor. Dengan ramah dia tersenyum padaku dan Ibu Wijaya namun ketika melihat Reza senyumnya melebar dan dia langsung menunduk malu. Sayangnya Reza sama sekali tidak melihat adegan konyol itu karena sedang sibuk dengan handphone-nya.
Namanya Asih, setidaknya itu yang kudengar ketika Bunda Heni memintanya membuatkan minuman untuk kami. Gadis itu pun mengangguk dan tergesa keluar dari kantor tapi masih menyempatkan diri melirik Reza yang sekarang duduk tenang di sofa. Aku geli sendiri melihat tingkahnya.
Bunda Heni duduk di sebelahku. Ibu Wijaya memulai percakapan dengan menjelaskan maksud dan tujuan kedatanganku ke panti asuhan. Tiba-tiba kami semua di kejutkan dengan suara teriakan dan gerombolan anak masuk ke kantor.
“Bapaaakkk!” seru mereka bersamaan. Seorang gadis kecil, hm, usianya sekitar sepuluh atau sebelas tahun langsung melompat ke pangkuan Reza. Wajahnya bulat dengan mata besar dan rambut keriting. Bapak?!
Bunda Heni, Ibu Wijaya juga Reza tertawa dan sepertinya hanya aku yang keheranan dengan pemandangan ini. Anak-anak lain mengelilingi Reza dengan wajah berbinar senang.
“Bapak, ayo, ayo.” Mereka menarik-narik baju Reza, memintanya untuk keluar. Sementara anak dalam pangkuan Reza memeluknya erat.
“Maaf ya Mbak Anggra, begitulah anak-anak,” kata Bunda Heni.
Aku tersenyum. “Nggak apa-apa Bu,” jawabku sungkan. Reza tersenyum padaku ketika mata kami beradu pandang.
“Ayo turun, kita main di luar.” Reza menurunkan gadis kecil itu dari pangkuannya lalu mengajak mereka semua keluar. Apa mereka anak-anak asuh Reza yang di bicarakan Bu Wijaya? Melalui pintu yang terbuka aku bisa melihat Reza tertawa senang bersama anak-anak itu di halaman dan suasana kantor kembali tenang.
“Mereka akrab ya,” komentarku spontan dan bersyukur Reza tidak ada. Aku sedang malas mendengarnya berkomentar tentang sisi sentimentilku.
“Reza memang suka sama anak-anak,” jawab Bunda Heni.
“Mas Reza itu donatur tetap di panti asuhan ini, Mbak. Dia juga aktif ajak teman-temannya untuk ikut program orang tua asuh,” tambah Ibu Wijaya.
Aku tercengang mendengarnya. Apa ini? Kebetulan? Reza donatur tetap di panti asuhan tempatku penelitian? Aku ingin bertanya tapi otakku terpaksa harus berhenti memikirkan Reza karena aku harus menyelesaikan tugas. Wawancara kali ini lebih lama di banding dengan wawancara pertamaku dengan Ibu Wahyu. Ibu Wijaya pulang lebih dulu karena ada urusan lain dan aku mengucapkan terima kasih atas semua bantuannya.
Hampir setengah lima sore ketika kami selesai dengan kisah panjang perjalanan Panti Asuhan Ananda. Bunda Heni menjawab pertanyaanku dengan baik dan aku senang karena dia menggunakan Bahasa Indonesia dengan lancar, Bahasa Jawa membuatku kesulitan. Aku merapikan buku catatan dan beberapa dokumen yang di pinjamkan padaku ke dalam tas, sementara Bunda Heni mengisi cangkirku yang sudah kosong dengan teh hangat dari teko.
“Mbak Anggra sudah lama kenal Reza?” Bunda Heni tersenyum padaku.
“Belum Bunda, baru sekitar satu bulan.”
“Oh, ternyata baru kenal to.”
“Iya.”
Senyum Ibu Heni menggelitikku. Dia seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi menahannya. Sebenarnya aku juga punya banyak pertanyaan tentang Reza tapi sayangnya aku juga sungkan mengatakannya.
“Saya kaget lihat Mbak Anggra tadi.” Dengan anggun Bunda Heni meraih cangkir dan meneguk isinya perlahan.
“Kenapa Bunda?” Aku penasaran.
“Soalnya Reza jarang pergi sama perempuan.”
Oh?! Kejutan! Berita baru untukku.
“Reza memang pilih-pilih kalau berteman sama perempuan. Dari kecil ndak berubah juga, padahal sudah besar begitu tapi belum ada perempuan yang jadi teman dekatnya apalagi calon istri.”
“Masak sih Bunda? Padahal ganteng gitu,” selorohku dan rasanya aku ingin menampar mulutku sendiri karenanya. Aku tidak bisa membayangkan kalau Mama atau Sisca mendengarku memuji Reza. Bunda Heni tertawa. Aku juga tertawa dalam hati.
“Bunda juga heran. Padahal bunda pikir habis lama kuliah di Belanda pulang-pulang bisa bawa bule tapi nyatanya sampai sekarang ndak punya pacar.”
“Belanda?!” pekikku tanpa sadar dan Bunda Heni memandangku heran.
“Lho, Mbak Anggra belum tahu to? Habis lulus S1 dari UI9, Reza dapat beasiswa S2 di Belanda. Dia kuliah dua tahun di sana.”
Aku terhenyak mendengarnya. S1 UI? S2 di Belanda? Oh Tuhan, apalagi kejutannya? Mulutku terbuka untuk melemparkan sebuah pertanyaan tapi kedatangan Reza menghentikanku. Aku tidak mau dia salah paham kalau sampai mendengar aku bertanya tentangnya. Kenapa aku jadi penasaran begini?
“Udah selesai? Udah sore lho,” tanyanya.
“Udah.” Demi sebuah sopan santun aku meneguk cangkir teh keduaku. Rasanya terlalu manis.
Reza berbicara dengan Bunda Heni tapi menggunakan Bahasa Jawa dan aku tidak mengerti. Beberapa saat kemudian Reza tertawa sambil melihatku.
“Mboten Bunda,” kata Reza kemudian.
Nggak apanya? Hanya itu kata yang aku mengerti dan Bunda Heni tersenyum padaku. Aku balas tersenyum tanpa tahu kenapa. Kami akhirnya pulang dan beberapa anak masih sibuk menyalami Reza sebelum kami masuk ke mobil.
“Kamu populer juga?” komentarku dan Reza terkekeh.
Pajero berjalan perlahan meninggalkan panti asuhan dan anak-anak masih semangat melambaikan tangan pada kami. Reza balas melambai melalui jendela, begitu juga aku.
“Boleh tanya, Za?” Aku memiringkan kepala padanya.
“Boleh.” Dia melirikku sebentar lalu kembali melihat lurus ke depan.
“Kamu bener lulusan S2 Belanda?”
Reza tersenyum tipis tanpa menatapku. “Siapa yang bilang? Pasti Bunda.”
“Iya, bener tu?” Aku masih tidak percaya.
“Iya, aku alumni TU Delf10, lima tahun lalu.”
Aku menganga.
“Kenapa?” Reza melihat keterkejutanku.
“Sebenernya kerjaanmu apa sih?” Mataku menyipit menatapnya dan Reza terbahak. Baru kali ini aku melihatnya tertawa sekeras itu, tangan kanannya yang bersandar di pintu memegangi kepala. “Aku serius!” kataku kesal.
Reza memiringkan kepala, melihatku sekilas lalu menggeleng geli dan tanpa menjawabku dia kembali fokus melihat jalan.
“Ish, nyesel aku tanya.” Mood-ku kembali terjun bebas.
“Nggak usah ngambek gitu.” Reza menahan tawanya kembali meledak dengan meletakkan jemarinya di bibir. Matanya masih fokus melihat jalan tapi aku bisa melihat kilat jenaka di sana.
Aku masih diam menahan kesal. Lampu lalu lintas berubah merah dan aku terkesiap ketika Reza kemudian menatapku.
“Udah sembuh alerginya?” tanya Reza tiba-tiba dan aku mengerutkan kening, gagal paham. “Aku yakin kamu masih inget obrolanku sama Sisca di rumah sakit soal kamu yang alergi sama cowok.”
Heh?! Dia tau aku pura-pura tidur?
“Kamu jago akting ternyata.” Reza tersenyum tipis padaku.
“Jadi ceritanya mau bales dendam nih?” dengusku kesal.
“Siapa bilang? Aku cuma seneng kalo ternyata alergimu sama aku udah ilang sampai kamu bisa penasaran sama aku.”
“Heh?! Ge-er! Siapa yang penasaran sama kamu? Aku cuma tanya kamu kerja apa kok?” Nada suaraku mulai naik dan untuk sesaat sakit kepalaku terlupakan.
Reza tertawa lagi, sepertinya dia menikmati percakapan ini. Lampu lalu lintas berubah hijau dan Reza kembali fokus ke jalan. “Aku cuma bercanda,” lanjutnya kemudian. “Aku tukang gambar tapi istilah kerennya sih Arsitek.” Akhirnya dia menjawab pertanyaanku.
Mau tak mau aku kembali fokus padanya. “Arsitek?” ulangku. Reza mengangguk dan aku kembali diam, tidak tahu harus berkomentar apa.
“Kamu pikir kerjaanku apa?”
Aku menoleh dan Reza melirikku sebentar. “Hm, agen asuransi, agen properti, dosen?” Aku mengendikkan bahu di akhir kalimat dan Reza kembali terbahak seraya menggeleng.
“Tampangku cocok jadi sales ya?” ucapnya dan aku menahan diri untuk tidak tertawa melihat ekspresi konyolnya.
“Salah sendiri tiap ketemu penampilanmu kayak sales, sok pahlawan, Raja Gombal-,”
“Eh? Raja Gombal? Atas dasar apa kamu kasih aku predikat begitu?” potong Reza. Kedua matanya menyipit saat menoleh padaku lalu kembali fokus ke depan.
“Gombalin Mama sama si Noni,” jawabku sekenanya.
“Si Noni?”
“Sisca,” jelasku.
“Ya ampun,” Reza tertawa lagi. “Kamu tuh ya, enak aja bilang aku gombalin mereka. Aku kan cuma berusaha untuk sopan.” Lagi-lagi dia menggeleng geli.
“Halah, modus,” bantahku.
“Anggra, Anggra.” Reza tertawa, lagi.
***
Pertengkaran
“Kamu kenapa?” Reza berdiri di dekat bangku panjang tempatku duduk dan bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di dada. Kami berada di rumah sakit, baru saja selesai dengan sesi lain dari fisioterapiku. Sekarang kami sedang menunggu Mama yang pergi ke toilet, di koridor dekat ruang fisioterapi.
“Nggak apa-apa,” jawabku singkat. Mataku terpaku pada kaki yang masih terbalut gips. Semalam kakiku sakit dan hampir terjatuh di kamar mandi. Akibatnya, hari ini dokter Budiman melarangku melakukan aktivitas berlebihan. Itu berarti jadwal penelitianku harus terganggu lagi.
“Kamu kesel gara-gara larangan Dokter Budiman?” Reza dengan tepat menebak isi kepalaku.
“Jelaslah, semua jadwalku jadi berantakan,” jawabku dengan nada tak bersahabat. Reza salah karena sudah membuka topik pembicaraan ini. Niatku untuk menahan diri jadi menguap dan sepertinya Reza akan menerima imbasnya.
“Nggak ada gunanya kamu maksain diri. Kondisimu memang nggak mungkin buat banyak bergerak. Jadwal penelitian masih bisa diatur tapi kesehatanmu itu prioritas.” Reza mulai dengan petuahnya.
Kuangkat kepala dan balas menatapnya. Kening Reza berkerut di bawah tatapanku.
“Masih mau protes?” tantangnya. “Aku tahu kamu mau targetmu tepat waktu tapi kalo sampe mengganggu proses pemulihanmu itu juga nggak baik,” lanjutnya.
Aku mendesah panjang dan beralih memandang ke luar jendela. “Kamu nggak tahu apa-apa, nggak bakal ngerti apa yang aku rasain. Jadi nggak usah ceramah,” jawabku. Nasehat Reza membuatku tidak nyaman.
“Kalo kamu nggak bilang gimana aku bisa tahu? Jadi ini bukan cuma soal skripsi?” tanyanya.
“Ngapain aku harus bilang sama kamu? Nggak ada gunanya kamu tahu, lagian itu bukan urusanmu,” sungutku.
Reza menghela napas panjang. “Jangan keras kepala Nggra. Kamu nggak bisa simpen semuanya sendiri. Kamu-,”
“Udahlah, Za,” potongku cepat. “Nylesein skripsi tepat waktu buatku bukan cuma sekedar masalah target. Kamu nggak bakal ngerti. Hidupku rumit Za, itu aja yang perlu kamu tahu,” jelasku dengan masih menatap keluar jendela, entah kenapa aku mengatakan hal itu padanya.
“Aku tahu,” jawabnya cepat.
Eh?! Aku langsung menoleh padanya. Apa yang dia tahu?
“Apa maksudmu ‘kamu tahu’?” Mataku menyipit padanya dan entah kenapa jantungku berdebar lebih cepat. Reza masih tenang menatapku dalam posisi yang sama, tidak terpengaruh oleh emosiku.
“Soal hidupmu yang rumit itu,” jawabnya santai.
“Jangan sok tahu,” dengusku. Kedua tanganku mencengkram erat tepian bangku kayu yang aku duduki, berusaha untuk menahan diri.
“Serius. Kalo ini soal hidupmu, aku tahu semuanya.” Mata Reza lurus memandangku dan aku tahu dia tidak bohong.
Ish! Apa sih maksudnya?
“Kamu benci Papamu. Nggak terima sama kenyataan hidup dan lari dari semua itu. Kuliah di Jogja cuma alasan kan? Supaya kamu bisa jauh dari masa lalumu meski aku yakin itu nggak ada gunanya sama sekali.” Reza masih lekat menatapku dan tanpa dosa mengoceh seenaknya.
“Lihat sekarang, kamu masih nggak bisa nglupain semua kepahitan masa lalu itu. Nggak sedikit pun dari usahamu untuk lari membuahkan hasil. Kamu masih terkungkung dalam sakit hatimu dan melampiaskannya sama orang yang ada di sekelilingmu. Kamu-,”
“Cukup, Za!” suaraku meninggi, tak kupedulikan lagi orang-orang yang berada di sekeliling kami. “Kamu tahu aku paling nggak suka orang lain ikut campur urusanku.”
“Iya,” jawab Reza dengan santainya. Sudut bibirnya tertarik dan ini pertama kalinya aku melihat seringai di wajahnya alih-alih senyum lesung pipit andalannya. “Tapi apa kamu pernah berpikir selain tentang dirimu sendiri, Nggra?” lanjut Reza, sepertinya dia belum puas membakar emosiku.
“Apa pun yang aku pikirin itu sama sekali bukan urusanmu, Za. Stop jadi Mister Sok Tahu dan Sok Pahlawan di depanku.”
Kulihat Reza mengurai lipatan tangannya dan berjalan selangkah lebih dekat padaku.
“Jadi, selama ini kamu nilai aku begitu? Mister Sok Tahu dan Sok Pahlawan?”
Ekspresi Reza berubah. Apa dia marah? Aku mendengus dalam hati. Aku tidak peduli! “Kenapa? Kamu marah? Nggak terima?”
Dan sekali lagi aku melihat seringai di wajahnya. “Marah sama kamu? Apa ada gunanya? Apa kamu peduli?” Mata tajam Reza menusukku dalam. “Sebulan aku kenal kamu dan itu udah cukup buatku tahu gimana tabiatmu. Kamu dan semua keegoisanmu.”
Aku mengumpat dalam hati sebelum membuka mulut. “Kamu-.” Bibirku kembali tertutup, perkataan Reza membuat pikiranku tiba-tiba kosong. Ini pertama kalinya aku kehilangan kata-kata dan tak bisa membalas ucapannya. Jujur, aku terkejut dengan sikap Reza padaku hari ini. Inikah Reza yang asli? Inikah yang ada di balik semua keramahan dan kelembutannya?
Aku mendengus. “Jadi ini kamu yang asli?” Dan perkataanku seolah menyadarkan Reza atas sikapnya. Aku bisa melihat ekspresinya yang langsung berubah, tatapan matanya melembut.
“Sorry,” ucapnya tiba-tiba.
Aku diam dan memilih untuk membuang muka.
“Jangan egois Nggra, kamu butuh orang lain, itu fakta. Kamu butuh kasih sayang dan cinta keluargamu, itu nggak bisa di bantah. Berhenti berlari dan nyiksa dirimu kayak gini, lupain masa lalu.” Ternyata Reza belum puas dan masih melanjutkan ocehannya.
“Cinta?” Aku terkekeh dalam nada sumbang. “Selain Mama nggak ada yang cinta sama aku. Mereka cuma kasihan karena masa laluku dan aku nggak sudi di kasihani. Aku nggak mau capek hati buat ngerasain semua emosi omong kosong itu dan aku nggak punya waktu buat ngurusin drama kehidupan yang bertele-tele.” Jantungku berdebar makin kencang saat emosiku semakin meninggi.
“Aku cuma mau tahu fakta, apa yang ada di depan mataku. Faktanya, masa laluku udah buat aku sakit dan luka itu nggak hilang. Faktanya, ada banyak orang lain terluka di luar sana sama kayak aku dan aku mau menghukum semua orang yang udah nglakuin ketidak adilan itu.” Telingaku berdenging mendengar suaraku sendiri dan beberapa orang mulai menatapku aneh dan lebih anehnya lagi, aku juga Reza sama sekali tidak terpengaruh dengan itu. Kami seolah berada dalam ruang pribadi kami dan sama-sama kehilangan akal sehat. Bahkan Mister Bijaksana di hadapanku mulai lepas kendali. Kami masih beradu pandang. Aku tidak mau kalah dengan Mister Sok Tahu ini.
“Jadi gitu caramu melampiaskan sakit hatimu? Dengan menghukum orang-orang itu? Dendam yang kamu bungkus dengan profesimu?” Reza menggeleng melihatku, jemarinya menyapu rambut lebat yang selalu tertata rapi itu. Sepertinya dia mulai frustasi menghadapiku.
Aku berdecih kesal atas hipotesanya. “Bukan urusanmu.” Dengan cepat kembali kupalingkan wajah darinya dan mengambil kruk yang tergeletak di sebelahku. Beberapa orang yang melintas masih memperhatikan kami, seolah menunggu drama lanjutan yang akan kami tampilkan.
“Berhenti sebelum terlambat,” katanya ketika aku sudah berdiri di atas kedua kakiku.
“Sekali lagi aku bilang, jangan-ikut-campur.” Aku kembali memperingatkannya dengan memberi penekanan lebih pada ujung kalimatku.
“Aku cuma nggak mau kamu nyesel di masa depan,” jawab Reza. Sepertinya dia sudah memperoleh kembali ketenangannya.
Aku menatapnya tajam. Dia begeming di bawah tatapan mataku, ekspresi tenangnya tak berubah. “Jangan ganggu aku!” Perkataanku bukan lagi sebuah peringatan melainkan sebuah perintah. Reza tidak menahanku ketika akhirnya aku melangkahkan kaki meninggalkannya.
Aku berpapasan dengan Mama di koridor dan Mama terlihat heran ketika melihatku berjalan sendiri.
“Kok kamu kesini? Mana Reza?”
“Udah pulang, katanya ada perlu. Kita pulang naik taksi aja, Ma.”
Jawabanku membuat Mama semakin keheranan. Matanya menatapku curiga dan aku berusaha bersikap setenang mungkin. Mama tidak akan senang mendengar kami bertengkar. Tapi selain itu aku penasaran juga, darimana Reza tahu tentangku? Mama? Atau Sisca?
“Kita pulang, Ma?”
“Iya.” Mama tidak bertanya lagi dan kami meninggalkan rumah sakit.
***
Hujan deras mengguyur Yogyakarta malam itu. Aku duduk di teras depan, menikmati hembusan udara dingin dan berharap itu juga bisa mendinginkan kepala dan hatiku yang panas. Aku masih marah pada Reza. Ternyata di belakangku dia mencari tahu tentangku melalui Sisca. Aku juga marah pada sepupu centilku karena seenaknya saja mengumbar cerita pada orang asing.
Kuteguk teh yang mulai dingin, teh pahit tanpa gula. Rasanya semua yang manis tidak cocok denganku. Sejak pertengkaranku dengan Reza siang tadi, kepalaku terasa penuh. Memori masa laluku tiba-tiba bermunculan bagai slide berjalan di dalam kepalaku.
Entah sudah berapa lama aku melamun, baru kusadari hujan mulai mereda. Suara deru mesin mobil mengalihkan perhatianku, Pajero putih parkir di depan rumah. Reza. Laki-laki itu turun dari mobil dan berjalan santai ke arahku, mengabaikan gerimis yang membasahi rambut hitamnya. Sekarang, penilaianku atas Reza turun drastis. Aku mendengus kesal kemudian meneguk tehku ketika Reza berdiri di depanku.
“Hai,” sapa Reza ramah tapi kali ini tanpa senyum khasnya. Sesaat aku melihat dia menatapku ragu, bibirnya menekan menjadi garis tipis samar antara seringai dan senyum. “Boleh aku duduk?”
“Ngapain kamu dateng?” Bukan menjawab aku justru balik bertanya.
“Ketemu kamu,” jawabnya seraya mendudukkan diri di kursi sebelahku. Tak peduli kalau aku melotot atas sikap lancangnya.
“Buat apa?” Aku masih melotot padanya.
“Buat jelasin masalah tadi siang. Aku tahu kamu marah dan aku harap marahmu udah selesai sekarang, jadi kita bisa bicara.”
Ingin rasanya kulempar cangkir teh kewajahnya. “Nggak perlu! Sisca udah cerita semuanya.”
Mata Reza tajam menatapku. Kedua sikunya bertumpu di atas lutut. Aku diam.
“Maaf,” katanya kemudian. Aku mendengus, lagi. “Aku nggak bermaksud ganggu kamu apalagi campurin urusanmu,” lanjutnya.
“Terus apa namanya?”
“Aku cuma mau kamu bisa lihat hidup ini dengan perspektif yang berbeda.”
Sontak aku menoleh padanya. “Terserah aku mau lihat hidup ini kayak apa.”
“Anggra, aku-,”
“Ini hidupku, Za,” tegasku lagi. “Inget itu!” Kupalingkan wajah darinya dan meraih kruk di sampingku. Reza tercekat melihatku tiba-tiba berdiri.
“Makasih buat semua perhatian dan kebaikanmu selama ini tapi rasanya cukup sampai di sini aja. ‘Met malem.” Aku berputar cepat, mengabaikan rasa nyeri di kakiku yang mulai terasa, meninggalkan Reza mematung di teras.
Sampai di depan pintu kamar, aku mendengar suara Mama di teras. Nama Reza terselip dalam umpatan lirihku. Seharusnya dia cepat pergi agar tidak bertemu Mama tapi aku tidak peduli lagi. Aku berharap ini pertemuan terakhir kami.
***
Sejak pagi, aku meringkuk di atas tempat tidur. Bukan karena kakiku tapi karena tamu bulanan yang datang berkunjung. Ya, masalah perempuan. Aku selalu mengalami dismenore11 ketika menstruasi. Nyeri yang berlebihan selalu membuatku tidak berdaya meski dokter sudah memberiku Naproxen12.
Kudengar suara Mama di luar kamar. Sesaat kemudian pintu terbuka dan Mama langsung menatapku dengan handphone masih terpasang di telinga. “Iya, nggak apa-apa, cuma kecapekan kayaknya. Makasih ya, kamu juga hati-hati di jalan.” Mama menutup teleponnya tepat ketika dia duduk di tepi tempat tidur, di sebelahku.
“Siapa Ma?” tanyaku tanpa merubah posisiku yang berbaring miring memeluk guling.
“Reza, dia nanyain kamu. Mama bilang kamu lagi nggak enak badan.”
Aku mendengus dan Mama hanya tersenyum menatapku.
“Kamu berantem ya sama Reza?”
“Kenapa? Dia ngadu sama Mama?” Perlahan aku terlentang.
“Ngadu? Nggak kok. Mama nebak aja, semalem dia dateng kamu nggak bilang Mama.”
Aku tidak merespon.
“Kenapa sih?” tanya Mama.
“Apanya?” Aku melirik Mama yang terlihat penasaran padaku.
“Kamu sama Reza. Kemarin kalian baik-baik aja, kok sekarang kelihatannya diem-dieman begitu. Apa karena Reza mau pergi jadi kamu ngambek?” Mama menahan senyumnya melebar.
Eh?! Apa maksudnya? “Apaan sih Mama nih? Lagian ngapain juga aku harus terus baik-baikin dia,” jawabku kesal.
“Nggak boleh gitu, ah. Dia udah banyak nolong kamu.”
Aku menyipitkan mata pada Mama dan menggeleng kesal. “Ngomong apa Reza sama Mama? Heran, dia terus yang di bela.”
“Bukan membela, cuma nggak suka anak Mama terlalu kasar sama orang,” jelas Mama. “Semalem aja hujan-hujan begitu dia masih rela pamitan sebelum pergi.”
Aku makin tidak mengerti dengan perkataan Mama. “Emangnya Reza mau pergi kemana sih? Heboh amat.”
Alis Mama bertaut heran. “Lho, bukannya semalem Reza dateng buat bilang sama kamu? Dia minta maaf karena nggak bisa nganter kamu terapi besok. Hari ini dia berangkat ke Balikpapan.”
Aku menggeleng. “Ngapain dia ke Balikpapan?”
“Katanya sih ada kerjaan di sana,” jelas Mama tanpa menatapku. Dia meraih majalah di atas meja dan mulai membukanya. Mengabaikanku yang justru mulai penasaran.
“Ma,” panggilku lirih.
“Hm,” gumam Mama tanpa mengalihkan perhatian dari majalah di pangkuannya.
“Reza itu-.” Aku diam saat Mama tiba-tiba menoleh.
“Ya?”
“Dia beneran Arsitek?”
Mama mengangguk. “Iya.”
“Oh.”
“Kenapa?”
“Nggak, cuma tanya aja.”
“Semalem sih Reza cerita sedikit kalau perusahaannya dapet proyek pembangunan jembatan di sana. Tapi Reza cuma pergi buat ngecek aja karena partner-nya yang bakal ngurus proyek ke depannya. Mungkin lusa Reza udah balik,” jelas Mama santai sambil membolak-balik halaman majalah.
Sepertinya Mama tahu kalau aku sedang memikirkan Mister Kepo itu sampai menjelaskan alasan kepergian Reza tanpa aku bertanya. Mama mengangkat kepala saat aku tak memberi respon atas penjelasannya.
“Kamu yakin nggak mau tanya apa-apa soal Reza?”
“Nggak,” ketusku.
Mama tersenyum sambil menggeleng. “Hati-hati kalo benci sama cowok, nanti malah jadi cinta lho.”
“Mama!”
***
Nah, penasaran bagaimana kelanjutan kisah Anggra - Reza? Apa sebenarnya yang membuat Anggra membenci Papanya dan tidak percaya dengan cinta?
So, monggo order novelnya di Facebook Agnes FFTK
Bukan sekedar cerita tapi cinta yang memberi makna.
Tanggapan Pembaca
Thanks for support
Love u all
***
0 Comments