Pure Love - Chapter 10

Fanart by Mary Regina

Matahari hampir tenggelam, menyisakan semburat orange dibatas garis cakrawala senja. Sebuah sedan mewah terparkir di halaman luas sebuah mansion dengan label nama Hayami tertera di pintu masuk.
"Selamat datang Tuan Besar," seorang wanita paruh baya membungkuk hormat menyambut tamu yang baru saja datang dan mengantarnya menemui sang tuan rumah.
Sang tamu yang juga didampingi oleh seorang pengawalnya dipersilakan masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa besar nan mewah yang berada di tengah ruangan. Tak lama menunggu, sang tuan rumah yang duduk di kursi roda keluar bersama dengan asisten pribadinya.
"Lama tak bertemu, kau tampak sehat Eisuke," sang tamu menyapa lebih dulu seraya menampakkan seringai tipis di wajah tuanya.
"Senang anda berkunjung Tuan Besar Takamiya. Pasti ada hal yang penting sampai anda turun tangan sendiri menemui saya," Eisuke yang cukup terkejut dengan kedatangan sang tamu, yang adalah mantan besannya juga tidak mau berbasa-basi.
"Kau pasti tahu apa tujuanku datang Eisuke," jawab Tuan Besar Takamiya.
Eisuke terkekeh mendengarnya.
"Kau boleh manganggap semua ini lelucon Eisuke tapi aku tidak akan pernah memaafkan Masumi jika memang wanita itu adalah alasan perceraian mereka," tegas Tuan Besar Takamiya.
"Saya tidak menganggapnya lelucon. Hanya saja merasa aneh dengan reaksi anda. Bukankah Shiori sendiri yang menggugat cerai Masumi? Kenapa anda tidak lebih dulu menanyakan hal ini padanya? Kenapa harus menyalahkan Masumi yang menikah lagi padahal sudah jelas berstatus duda," jawab Eisuke dengan tenang.
Dalam hati Eisuke merutuki tindakan Masumi tapi dia juga tidak rela jika keluarganya dipersalahkan oleh Takamiya. Harga dirinya juga terlalu tinggi untuk mengalah meski dia tahu bahwa Masumi lah penyebab semua kekacauan ini. Mencintai gadis berusia sepuluh tahun lebih muda bertahun-tahun lamanya dan sekarang menikahinya saat baru satu bulan bercerai dengan istrinya. Andai bisa Eisuke ingin sekali mendaratkan kepalan tangannya itu di wajah anak angkatnya yang begitu lancang sudah merusak semua rencana besarnya untuk bermitra dengan keluarga Takamiya dan menjadi pengendali Takatsu.
"Jangan membawa Shiori dalam masalah ini, jelas dia hanyalah korban dari keputusan kita dan ketidak tegasan Masumi," lanjut Tuan Besar Takamiya, tidak tega juga cucu kesayangannya dipersalahkan.
"Korban? Bagian mana yang membuat Shiori menjadi korban Tuan Besar? Bukankah dia yang bersikeras untuk menikah dengan Masumi, bahkan saat Masumi memutuskan untuk membatalkan pertunangannya dulu?" Eisuke membalikkan semua kata-kata Tuan Besar Takamiya.
Diam, sang tuan besar tak berkutik dengan ucapan Eisuke. Dia tidak bodoh untuk tahu bahwa cucunyalah yang begitu ingin memiliki Masumi, sedangkan dirinyalah yang memaksa Masumi untuk menikah. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Sekarang dia melihat Shiori tidak bahagia meski cucunya itu berakting seolah semua baik-baik saja. Hal itulah yang membuatnya geram ketika melihat siaran langsung konferensi pers pernikahan Masumi dan Maya. Bagaimana mungkin mantan menantunya itu kini bisa bebas menikmati kebahagiaan dengan wanita yang dia duga adalah cinta sebenarnya dari Masumi, sementara cucunya meratapi nasib sebagai seorang janda.
"Saat ini bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan. Kita sama-sama tahu bahwa perjodohan Masumi dan Shiori adalah demi kepentingan kita bersama. Kalaupun akhirnya berbeda dengan apa yang kita harapkan, kita tidak bisa menyalahkan salah satu dari mereka," lanjut Eisuke tanpa kehilangan ketenangannya.
Tuan Besar Takamiya masih diam. Tertegun merenungi setiap kalimat yang diucapkan oleh mantan besannya itu. Ketenangan diantara mereka tiba-tiba disela oleh kedatangan wanita paruh baya yang adalah kepala pelayan mansion Hayami, wanita yang sama yang menyambut dan mempersilakan tamu sebelumnya untuk masuk.
"Ada apalagi Harada?" Tanya Eisuke.
"Maaf mengganggu Tuan tapi Tuan Masumi dan Nyonya sudah datang," kepala pelayan yang dipanggil Harada pun membungkuk hormat.
Eisuke tanpa sadar mengeratkan kedua tangan di atas lengan kursi rodanya dan hal itu tidak luput dari mata tua sang tuan besar. Belum sempat salah satu dari mereka berkomentar, Masumi dan Maya sudah masuk ke ruang tamu dengan Hijiri berdiri di belakang keduanya. Masumi yang sudah melihat mobil kebesaran Takamiya di halaman rumah tidak lagi heran saat melihat mantan kakek mertuanyanya itu duduk di ruang tamu. Dengan sopan Masumi memberi salam pada ayah dan mantan kakek mertuanya diikuti Maya dan Hijiri yang juga membungkuk hormat.
"Sepertinya kedatanganku tepat waktu, beruntung kalau sore ini bisa bertemu denganmu dan istri barumu Masumi," kata Tuan Besar Takamiya bahkan sebelum Eisuke bertanya apapun pada putranya.
Maya yang berdiri di sebelah Masumi tanpa sadar merapatkan tubuhnya pada sang suami ketika mendengar perkataan Tuan Besar Takamiya. Sadar kalau istrinya merasa takut, Masumi segera meraih bahu Maya dan meremasnya lembut, seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja meski kedua mata kelam Masumi beradu pandang dengan mantan kakek mertuanya.
"Saya juga senang bisa bertemu dengan anda Tuan Besar. Bagaimana kabar anda?" Masumi menimpali sindiran Tuan Besar Takamiya dengan sopan.
"Seperti yang kau lihat, aku masih hidup," jawabnya ketus.
Masumi mengabaikannya dan beralih pada sang ayah yang sejak tadi hanya jadi penonton setia, "Boleh kami duduk Ayah?"
"Hhmm," Eisuke hanya bergumam, menahan kesal karena kedatangan Masumi yang menurutnya tidak tepat waktu. Tidak mungkin baginya untuk marah pada Masumi saat ini. Eisuke tidak mau mencoreng wajahnya sendiri di depan Tuan Besar Takamiya.
Maya yang meski masih didekap Masumi masih merasa begitu gugup menghadapi situasi di luar kendalinya itu. Eisuke menatapnya tajam dan Maya hanya bisa menundukkan kepala, meremas gaun di atas ke dua lututnya. Ketegangan diantara mereka di sela oleh Tuan Besar Takamiya yang tiba-tiba berdiri, bahkan sempat membuat Eisuke tersentak.
"Lain kali kita bicara Eisuke," kata sang tuan besar, sedikit melirik pada Masumi yang masih setia mendekap istrinya. Akhirnya tanpa kata Tuan Besar Takamiya pulang diiringi anggukan hormat Masumi dan Hijiri.
Suasana kembali canggung, Maya masih saja menundukkan kepala dan Masumi masih terus mendekap Maya sementara Hijiri dengan setia berdiri di belakang sofa tempat Masumi dan Maya duduk.
"Tidak baik menahan emosi seperti itu Ayah, katakan saja apa yang ingin Ayah katakan," kata Masumi mengakhiri suasana yang sangat tidak nyaman. Dia sendiri sudah merasa kesal dengan situasi yang di luar prediksinya itu. Dia hanya berusaha untuk tenang demi Maya.
"Cih, kau masih bisa bicara seperti itu di depanku setelah kau menikah bahkan tanpa sepengetahuanku," Eisuke mendengus kesal di akhir kalimatnya.
Masumi yang sudah siap menghadapi serangan Eisuke, tidak gentar dengan sikap intimidasi sang ayah, "Kalau aku mengatakannya, apakah ayah akan membiarkanku menikahi Maya?"
"Tentu saja tidak!" Seru Eisuke spontan tanpa kendali. Asa yang sejak tadi berdiri di belakangnya hanya bisa menggeleng melihat sikap tuannya, "Hijiri! Apa kau juga bekerja sama dengan Masumi untuk mengatur semua ini?" Mata Eisuke langsung beralih pada anak buah kepercayaannya itu.
"Ini semua adalah murni keinginanku dan jangan libatkan siapapun dalam hal ini Ayah," Masumi langsung menjawab bahkan sebelum sempat Hijiri membuka mulut.
"Maaf Tuan Besar, saya juga tidak tahu," Hijiri mengangguk penuh hormat pada atasannya.
Eisuke menarik napas tajam dan menatap sengit tiga orang yang ada di hadapannya itu. Namun, belum sempat Eisuke kembali membuka mulutnya, sebuah isakan kecil membuatnya mengurungkan niat tersebut.
"Maaf," lirih Maya dengan suara parau di tengah isakan kecilnya. Masumi yang tadi bahkan sempat terkejut segera memeluk istrinya, mengusap lembut punggungnya untuk menenangkannya.
"Kau tidak perlu meminta maaf sayang. Aku yang harus bertanggung jawab di tempat ini," ucap Masumi dengan suara lembut, mengabaikan keberadaan ayahnya juga Hijiri dan Asa. Baginya, dalam segala hal, Maya adalah prioritas utama.
Eisuke tertegun melihat cara Masumi memperlakukan Maya. Ini pertama kalinya Eisuke melihat sisi lain Masumi, bahkan saat menjadi suami Shiori, Masumi sama sekali tidak pernah bersikap lembut.
"Kau menggelikan Masumi," cemooh Eisuke dan Maya segera berhenti menangis lalu menatap Eisuke yang menyunggingkan seringai tipis padanya.
"Jika anda ingin menyalahkan, salahkan saya, jangan Masumi," kata Maya kemudian.
"Oh, kau sudah berani bicara rupanya," lagi-lagi Eisuke mengejek Maya.
"Ayah-,"
"Tidak Masumi, biarkan saja. Aku akan terima apapun yang dikatakan Tuan Besar, aku tidak keberatan. Asal dia tidak menyalahkanmu atas semua ini," Maya memotong pembelaan Masumi.
Eisuke terkekeh mendengarnya, "Jadi kau berniat membela suamimu? Aku lupa kau sekarang sudah menjadi wanita dewasa yang berani, bukan lagi gadis kecil penyuka es krim yang akan menggerutu saat Masumi mengganggumu."
Masumi mengernyit mendengar penuturan ayahnya sementara wajah Maya merona hebat karenanya. "Apa maksud ayah?" Tanya Masumi kemudian saat Maya justru tertunduk ketika Masumi menatapnya.
"Tanya saja pada istrimu," jawab Eisuke.
Masumi tampak geram melihat sikap ayahnya, "Hijiri," panggilnya kemudian.
Hijiri memutari sofa dan berdiri di sebelah Masumi seraya mengangguk hormat.
"Bawa Maya," perintah Masumi yang sukses membuat istrinya tersentak.
"Masumi aku-,"
"Kali ini dengarkan aku Maya. Pergilah, Masato dan Nona Midori sudah menunggumu," kata Masumi seraya mengusap lembut kedua lengan Maya.
"Tapi-,"
Gelengan Masumi membuat Maya terdiam.
"Percayakan semuanya padaku. Kau pulanglah, tunggu aku di rumah," ucap Masumi menenangkan.
Sejenak Maya menoleh ke arah Eisuke yang ternyata sedang menatapnya, Maya pun mengangguk lemah menyetujui perintah suaminya. Tersenyum, Masumi melepas kedua tangannya dari bahu sang istri, memeluk sesaat tubuh mungil itu sebelum akhirnya membiarkan Maya pulang. Maya masih berlaku sopan dengan memberi hormat dan berpamitan pada Eisuke meski tidak ditanggaapi dan dianggap sebagai angin lalu. Hijiri pun melakukan hal yang sama lalu keluar untuk mengantar Maya pada Masato dan Midori.
"Aku tidak menyangka kau selemah itu dihadapan wanita," Eisuke berdecih kesal begitu Maya dan Hijiri keluar dari ruang tamu.
"Aku mencintainya Ayah dan itu bukan kelemahan," jawab Masumi santai seraya kembali duduk di hadapan sang ayah.
"Mencintai kau bilang? Kau gila Masumi, itu pendapatku kalau kau mau tahu," Eisuke masih melancarkan jurusnya untuk menyerang Masumi.
Tiba-tiba Masumi terkekeh sambil menggeleng geli mendengar penuturan Eisuke, "Semua orang yang mencintai memang gila ayah, bukan hanya aku," kata Masumi kemudian, matanya masih lurus menatap sang sayah, "apa ayah lupa kisah seorang pria yang karena cinta buta dan obsesinya justru menghancurkan kehidupan wanita yang dicintainya? Bukan berusaha memenangkan hati sang wanita tapi pria itu justru membuat sang wanita membencinya. Bahkan sampai akhir hayatnya sang wanita tak pernah ingin bertemu dengan pria itu meski sebenarnya sampai sekarang pria itu masih mencintainya. Apa itu tidak gila? Kalau boleh aku tambahkan, predikat bodoh sangat cocok dengannya. Setidaknya aku tidak melakukan kebodohan itu," seringai Masumi mengakhiri celotehannya dan Eisuke memandang Masumi seolah tatapan mata sanggup membunuh putra angkatnya itu. Eisuke lupa kalau dia sendirilah yang sudah membesarkan Masumi hingga tekanan seperti apapun tidak akan bisa membuat Masumi terintimidasi. Justru sebaliknya, Masumi merasa menang melihat Eisuke kini terpojok dengan analogi konyol yang diutarakannya.
"Sudahlah ayah, aku datang sama sekali tidak berniat untuk melawanmu. Ini hidupku dan aku sudah memutuskan. Aku harap ayah bisa menerimanya," kata Masumi kemudian.
"Aku menyesal sudah membesarkanmu Masumi," kalimat datar yang dilontarkan Eisuke serasa seperti pisau tajam yang menyayat hati Masumi. Sungguh, Masumi mengerti benar bagaimana posisinya. Dia dibesarkan untuk sebuah politik balas budi demi kebesaran nama Daito dan keluarga Hayami.
Masumi berdiri dan membungkuk hormat pada Eisuke, "Maaf ayah."
Eisuke memalingkan wajahnya lalu memutar kursi rodanya membelakangi Masumi, seringai tipis tersungging di bibirnya, "Aku punya sebuah kesepakatan untukmu."
Masumi menegakkan tubuhnya dan menatap heran ayahnya.
***
"Nyonya, sudah malam, sebaiknya anda istirahat," Midori menatap prihatin pada Maya yang tampak begitu gelisah duduk di ruang tengah kondominiumnya. Dia dan Masato memang ditugaskan untuk membawa Maya pulang dan menjaganya sampai Masumi kembali.
"Nona Midori, kenapa Masumi belum kembali juga? Bagaimana jika terjadi hal buruk padanya?" Mata lelah Maya menatap sang menejer menuntut jawaban.
"Tenanglah Nyonya, Tuan pasti baik-baik saja. Tuan Besar tidak mungkin menyakiti Tuan Masumi. Mungkin mereka memang sedang membicarakan banyak hal," Midori berusaha menenangkan Maya.
Maya mengangguk lemah lalu tertunduk menatap tangan di atas pangkuannya, "Ya, kau benar. Tuan Besar Hayami tidak mungkin menyakiti Masumi, tidak mungkin," ucap Maya lirih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Midori berjenggit karena terkejut ketika Masato yang tiba-tiba datang berdiri di sebelahnya.
"Kau mengejutkanku," sungut Midori dengan suara berbisik seraya membulatkan matanya.
Masato hampir saja tertawa melihat ekspresi lucu Midori tapi melihat Maya yang kini tampak sedih bersandar di sofa membuat mood bercandanya menguap habis. Ekspresinya kembali mengeras sembari menarik Midori menjauh dari Maya dan membiarkan sang nyonya termenung sendiri. Maya sendiri sepertinya sudah larut dalam dunianya hingga tak peduli lagi pada sekelilingnya.
"Ada apa?" Tanya Midori tidak sabar karena Masato terus saja menyeretnya sampai ke ruang tamu.
"Sstt, pelankan suaramu, jangan sampai Nyonya curiga," Masato memperingatkan.
Keduanya kemudian duduk bersebelahan di sofa ruang tamu.
"Tuan Hijiri baru saja memberi kabar, saat ini keadaan masih terkendali. Tuan Besar Hayami sepertinya belum memutuskan apapun tapi tidak dengan Tuan Besar Takamiya. Dari informasi mata-mata kita di Takaktsu, Tuan Besar Takamiya baru saja mengadakan rapat dan berencana memutuskan kerjasama dengan Daito. Ini berarti genderang perang dari mereka. Kita harus lebih meningkatkan kewaspadaan. Nyonya tidak tahu apa yang dihadapinya, jadi kau harus selalu bersamanya, mengerti?" Jelas Masato.
Midori mengangguk mantap, "Percayakan Nyonya padaku. Walau nyawa taruhannya, aku akan melindunginya."
Masato mengulas senyum, "Aku senang mendengarnya tapi kau juga harus ingat kalau aku tidak akan membiarkan kau mengorbankan nyawamu," ujarnya seraya mengacak poni Midori.
"Ah, hentikan Masato, aku bukan anak kecil lagi!" Sungut Midori dan Masato terkekeh.
"Sampai kapanpun kau tetap adik kecilku," jawab Masato tak peduli.
Mengerucutkan bibirnya, Midori menghentakkan kaki meninggalkan Masato di ruang tamu. Suasana tegang tadi berakhir begitu saja. Dan Masato hanya bisa menggeleng geli melihat tingkah Midori.
Di ruang tengah Midori melihat Maya sudah tertidur di sofa, diapun mengambil selimut dan menutupi tubuh mungil Maya. Sembari menunggu Masumi kembali, dia duduk di sofa lalu mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.
"Aku sebenarnya kasihan padamu. Wanita sopolos dirimu harus masuk dalam medan perang mengerikan ini. Tapi tenang saja, sekuat tenaga aku akan melindungimu," gumam Midori sebelum akhirnya larut dalam buku yang dibacanya.
***
Masato langsung berdiri dari duduknya begitu melihat pintu kondominium terbuka.
"Tuan," Masato membungkuk hormat pada Masumi yang baru saja masuk.
"Semua baik-baik saja?" Tanya Masumi seraya melonggarkan dasinya, wajahnya tampak lelah. Perdebatan dengan ayahnya ternyata menyita banyak waktu dan tenaga.
"Semua baik Tuan. Nyonya sangat khawatir dengan anda, Midori menemaninya di ruang tengah," Masato memberi laporan sambil berjalan di belakang Masumi menuju ruang tengah.
Midori yang masih tampak asik dengan bacaannya tidak menyadari kedatangan Masumi sampai Masato menepuk bahunya.
"Ah, maaf Tuan," Midori berdiri lalu membungkuk hormat.
"Tidak apa-apa," jawab Masumi, diapun mengalihkan pandangannya pada sang istri yang tengah terlelap di sofa.
"Nyonya sangat khawatir dengan anda dan menolak ketika saya memintanya istirahat di kamar," Midori langsung memberi penjelasan karena melihat Masumi tampak tidak suka melihat Maya tidur di sofa.
"Terima kasih Masato, Nona Midori, kalian boleh pulang dan beristirahat," kata Masumi kemudian.
"Kami permisi Tuan," jawab Masato dan Midori bersamaan. Keduanyapun segera pergi.
Masumi melepas jasnya dan meletakkannya begitu saja di meja. Berlutut di depan istrinya, Masumi mengusap lembut kepala Maya.
"Ngg," Maya menggerakkan kepalanya, merasa terusik karena sentuhan Masumi. Sebuah kecupan di kening, membuat Maya membuka mata, "Masumi," lirihnya seraya mengerjapkan mata, "kau sudah pulang?" Melirik ke arah jam dinding, Maya mengeryit ketika melihat jam menunjukkan pukul satu dini hari.
Masumi mengulas senyum untuk istri tercintanya, "Kenapa tidur di luar?"
Maya bangun dan langsung memeluk Masumi, "Aku khawatir padamu, aku takut sesuatu terjadi padamu."
Masumi yang awalnya terkejut kembali tersenyum sambil mengusap lembut punggung Maya. "Aku baik-baik saja sayang, kau tidak perlu khawatir seperti itu."
Maya menarik dirinya lalu mendaratkan kepalan tangan di dada suaminya, "Apanya yang tidak perlu khawatir? Kau pikir aku tidak takut melihat Tuan Besar Hayami marah seperti itu karena pernikahan kita. Kalau sampai dia melukaimu karena sudah mencoreng nama baik keluarga Hayami bagaimana? Atau, atau, kalau sampai kau dikeluarkan dari keluarga Hayami, bagaimana, aku, aku ...," dan Maya tak lagi bisa menahan air matanya.
"Hei, jangan menangis," Masumi mengusap lembut wajah Maya, menyeka air matanya lalu merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, "Maaf, maaf, aku tahu kau khawatir tapi seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ayah tidak akan menyakitiku, jadi kau tidak perlu takut," Masumi menenangkan istrinya dan Maya menumpahkan emosinya lewat air mata. Maya hanya bisa mengangguk dalam pelukan Masumi, dalam hati sudah merasa lega suaminya pulang dalam keadaan baik.
"Kyaaa!" Maya menjerit karena terkejut Masumi tiba-tiba menggendongnya.
"Turunkan aku! Aku masih bisa jalan sendiri," protes Maya. Meski begitu dia justru mengalungkan lengannya ke leher Masumi, mungkin karena takut terjatuh. Masumi terkekeh melihat sikap Maya yang berkebalikan dengan ucapannya.
"Aku hanya tidak mau kau terjatuh karena berjalan dengan mata setengah terpejam," kilah Masumi seraya tersenyum jahil pada Maya. Dia membawa Maya ke kamar.
"Apa kau tidak melihat mataku sudah terbuka lebar? Katakan saja kau memang mau mengambil kesempatan dalam kesempitan," jawab Maya.
Masumi menatap Maya sedih, seolah perkataan itu melukainya dan Maya justru mendengus karenanya, "Jangan berakting Tuan Hayami, kau berhadapan dengan orang yang salah."
Dan Masumi terkekeh lagi, "Kau galak sekali hari ini Nyonya, memang apa salahnya kalau aku ingin memanjakan istriku sendiri."
Maya tak lagi menjawab karena mereka sudah sampai di kamar dan Masumi membaringkan dirinya di tempat tidur mereka.
"Tidurlah, aku mau mandi dulu," Masumi mendaratkan sebuah kecupan di kening Maya lalu menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya.
Maya mengangguk. Masumi baru setengah jalan menuju kamar mandi saat Maya memanggilnya.
"Ya?"
"Semua baik-baik saja kan?"
Melihat wajah cemas sang istri, Masumi justru tersenyum. "Ya Maya, semua baik. Tidurlah," ucap Masumi.
Maya mengangguk lalu membenarkan selimutnya dan saat Masumi menghilang di balik pintu kamar mandi Maya bergumam. "Aktingmu buruk Masumi."
***
"Kau terlalu serius dalam bekerja Tuan Hayami."
Kalimat teguran itu membuat Masumi mengalihkan fokusnya dari dokumen di atas meja kepada sosok wanita yang kini berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah meja kerjanya dan membuat gaun tidurnya bergoyang seiring dengan langkah kakinya.
Masumi mengulum senyum saat wanita itu kini berdiri di sebelahnya dengan bersandar pada meja, melipat tangan di depan dadanya. Dia tidak bodoh untuk tahu kalau wanita itu sedang kesal.
"Kau belum tidur sayang?" tanyanya lembut dan hanya di jawab dengan dengusan kesal sang wanita. Masumi terkekeh lalu menarik wanita itu hingga jatuh atas pangkuannya. Pekikan kesal dan pukulan di dada menjadi upah atas apa yang dilakukannya.
"Kenapa? Kau kesepian?" Goda Masumi pada wanita yang kini sudah meringkuk manja di pangkuannya. Tangannya mengusap lembut surai hitam panjang yang tergerai hingga punggung.
"Mana mungkin aku tidak kesepian kalau suamiku justru lebih suka bermalam dengan pekerjaannya daripada denganku," rajuknya.
Sekali lagi Masumi mengulum senyumnya dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening wanita yang adalah istrinya itu.
"Maaf," ucapnya kemudian.
"Hhmm," gumam sang wanita dan semakin menyamankan dirinya dalam pangkuan sang suami.
"Kau sudah mengantuk sayang?" Tanya Masumi.
Sang wanita hanya mengangguk. Dia tak berkata apapun ketika akhirnya sang suami mengangkat tubuhnya dengan lembut dan membawanya meninggalkan ruang kerja.
Dengan lembut Masumi membaringkan istrinya di atas tempat tidur, menempatkan dirinya sendiri di sisi sang istri lalu menarik selimut untuk menghangatkan mereka dari dinginnya udara malam.
"Tidurlah," kata Masumi seraya mengusap lembut kepala sang istri.
Wanita itu tersenyum senang lalu memejamkan matanya, senyumnya semakin melebar kala merasakan dekapan sang suami yang semakin menghangatkannya. Dan sebuah bisikan lembut menghantarkan sang wanita ke alam mimpinya yang damai.
"Oyasumi Shiori."
Hal pertama yang dilihat Shiori begitu dia membuka mata adalah langit-langit kamarnya yang berwarna putih bersih.
"Ternyata hanya mimpi," desahnya kecewa. Masih berbaring, Shiori menutup mata dengan lengannya dan terkekeh dalam nada sumbang.
"Sepertinya aku sudah gila," katanya pada diri sendiri. "Ternyata keinginanku untuk behagia menjadi istrinya belum juga hilang."
Menghela napas panjang, Shiori bangun dari tidurnya dan meraih segelas air yang ada di atas meja. Melegakan tenggorokannya yang terasa kering.
"Maya ...," gumam Shiori seraya menatap gelas kristal di tangannya, "apa kau bahagia sekarang? Apa Masumi memperlakukanmu dengan penuh sayang seperti dalam mimpiku?" Shiori terbahak tapi butiran air jatuh dari sudut matanya.
"Tentu saja! Aku ini bicara apa! Tentu saja si brengsek Masumi akan memanjakan istri tercintanya. Memang apa yang akan dilakukannya setelah berhasil mendapatkan apa yang diidamkannya selama ini. Tidak mungkin dia akan mencampakkannya seperti dia mencampakkanku!"
Prangg! Gelas kristal itu hancur hanya dalam hitungan detik kala Shiori membenturkannya pada lantai marmer tempatnya berpijak. Raut wajahnya mengeras penuh kemarahan. Air mata terus mengalir membasahi pipi pucatnya.
"Jangan kira aku akan diam saja," gumamnya kemudian dengan suara bergetar. "Masumi, kalau kau sudah membuatku hancur maka aku akan membuatmu lebih hancur lagi bahkan sampai tak tersisa seperti debu."
Seringai muncul di wajah Shiori, seraya memeluk tubuhnya sendiri, dia terbahak dan tenggelam dalam semua rencana yang kini tersusun di dalam kepalanya.
***
Dua hari yang sibuk bagi Maya. Setelah semua media terus memberitakan pernikahannya dengan Masumi kini para pemburu berita juga seakan tak punya lelah untuk mengejar Maya. Mereka terus berusaha untuk mendapatkan berita terbaru mengenai rumah tangganya dan Masumi. Hal itu membuat Masato dan Midori bekerja keras untuk melindungi Maya.
"Nyonya, setelah ini sebaiknya anda tidak pergi ke luar," Midori menatap Maya yang duduk di kursi dengan wajah kesal. Dia baru saja menyelesaikan syuting iklan dari salah satu perusahaan minuman ringan.
"Aku tidak habis pikir, apa yang sebenarnya mereka cari? Pertanyaan yang selalu sama, bagaimana hubungan rumah tangga anda? Mereka gila! Memangnya aku harus menjelaskan semuanya?" Maya berceloteh panjang lebar dengan nada kesal. Midori tersenyum maklum mendengar Nyonya mudanya merajuk.
"Begitulah mereka, jangan sampai anda terpancing Nyonya. Itu akan berdampak buruk pada karir anda dan citra Tuan Masumi. Apalagi minggu depan adalah premier film Aisitheru," jelas Midori.
Maya menghela napas kesal, "Ya kau benar Nona Midori. Sebaiknya kita segera pulang sebelum aku habis dikejar oleh mereka," kata Maya kemudian.
Midori mengangguk penuh hormat dan mereka bersiap untuk pulang.
***
Rei menatap prihatin sahabatnya yang kini tengah duduk dengan wajah masam di depannya. Sementara itu disebelahnya duduk Koji yang juga berekspresi sama sepertinya.
"Sudahlah Maya, seiring berjalannya waktu semua pasti kembali normal," Rei berusaha menenangkan Maya yang sedang kesal. Dia mengerti apa yang dialami Maya bukanlah hal yang mudah. Kalau bisa Rei juga ingin sekali menendang para wartawan yang kadang berbuat sesuka hatinya itu. Bagaimana Maya tidak kesal, tadi dia sedang dalam perjalanan pulang dan tiba-tiba ada seorang paparazi yang mengikutinya. Terpaksa Masato mengalihkan tujuan mereka. Masumi berpesan agar jangan sampai awak media tahu dimana dirinya dan Maya tinggal. Maya kemudian meminta Masato untuk mengantarnya ke apartemen Rei, ternyata di sana juga ada Koji.  
"Aku tidak menyangka semuanya jadi rumit seperti ini," keluh Maya lirih.
"Hei kau seperti orang lain saja. Maya yang ku kenal itu pantang menyerah dan penuh semangat. Masakan hal seperti ini membuatmu patah semangat," kata Koji.
Maya diam menatap kedua sahabatnya. "Jadi, kalian berdua adalah sepasang kekasih?" mengabaikan perkataan Koji, tiba-tiba Maya mengubah topik pembicaraan. Koji dan Rei tersentak tapi kemudian saling bertukar pandang dengan pipi merona.
"Ah, jadi benar ya. Syukurlah, aku senang mendengarnya," Maya membaca gestur tubuh kedua sahabatnya lalu bertepuk tangan dengan riang. Maya seolah lupa kalau beberapa menit yang lalu dia sedang kesal dan sedih.
"Maya hentikan, kami-," Rei menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung bagaimana menjelaskan hubungan mereka pada Maya.
"Kami belum resmi sebagai kekasih Maya, ya, meski aku sudah menyatakan perasaanku padanya tapi sepertinya Rei belum mau menerimaku," Koji memberikan lirikan maut pada gadis yang duduk disebelahnya.
"Ah kenapa begitu?" Maya menghentikan euforianya dan tampak kecewa.
"Rei menganggap kalau perasaanku padanya hanyalah pelarian karena aku tidak berhasil mendapatkanmu."
"Eh?! Mana mungkin," Maya memekik.
"Ah, kau bilang begitu, jadi kau percaya kan kalau aku memang jatuh cinta pada Rei bukan karena pelarian?" tanya Koji semangat.
"Tentu saja," seru Maya seraya menepuk keras kedua tangannya. Bola matanya kemudian bergulir dan menatap Rei yang tak berkutik sejak tadi, "Apa yang terjadi antara aku dan Koji itu masa lalu Rei. Kalau sekarang dia memilihmu kenapa kau tak mencoba untuk menerimanya saja," kata Maya dengan bibir mengulas senyum manis, "ah, rasanya pasti menyenangkan kalau melihat dua sahabatku bersanding di pelaminan," Maya terkekeh sendiri dan Koji tersenyum puas melihat reaksi Maya sementara Rei sibuk melotot padanya.
"Sudah, sudah," Rei jengah karena dirinya justru menjadi topik utama, "bukankah kau datang ke sini untuk melarikan diri dari paparazi? Kenapa justru menggodaku seperti itu?" Sungutnya pada Maya. Rei lalu menoleh pada Koji, "Dan kau Tuan Aktor yang tidak punya kerjaan. Sudah sejak pagi kau disini, jadi sebaiknya sekarang kau pulang. Aku mau menghabiskan hari ini bersama Maya," kata Rei, membuat Maya dan Koji melengkungkan alis tinggi.
"Kenapa kau jadi mengusirku?" Protes Koji.
"Iya, kenapa kau jadi mengusir Koji, Rei?" Maya menambahkan. Dia lalu meraih tasnya dan beranjak berdiri, "kalau aku mengganggu sebaiknya aku yang pergi," katanya girang.
Rei menganga karena terkejut. Kenapa perkataannya justru membuat Maya pergi? Rei merutuki kebodohan sahabatnya itu, "Bukan Maya, aku-,"
"Terima kasih untuk pengertianmu Maya," potong Koji cepat dan Maya tersenyum semakin lebar. Koji mendapat pukulan telak di lengannya, membuat Maya tergelak. Sungguh dia merasa senang kalau akhirnya kedua sahabatnya itu bisa bersama.
Rei tak lagi bisa mencegah saat Maya meminta Midori dan Masato untuk pulang. Diapun hanya berpesan agar Maya berhati-hati. Dengan senyum masih mengembang lebar, Maya meninggalkan apartemen Rei. Namun, baru saja Maya menginjakkan kaki di basement tempat parkir, dua orang pria yang mengenakan setelan lengkap warna hitam datang menghampirinya. Spontan saja Masato dan Midori segera berdiri di depan Maya untuk melindunginya.
"Kami tidak mau membuat keributan. Kami datang hanya untuk menjemput Nyonya muda atas perintah Tuan Besar Hayami," kata salah seorang dari dua pria itu tanpa melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Menegaskan kesan seram yang membuat Maya sempat bergidik, apalagi mendengar nama Tuan Besar Hayami disebut.
"Ada apa Tuan Besar memanggil Nyonya kami? Kalian harus mendapat ijin dari Tuan Masumi jika ingin membawa Nyonya pergi," kata Masato yang sudah siaga untuk melindungi Maya.
Pria lain terkekeh lalu berdecih dengan nada meremehkan, "Selama Tuan dan Nyonyamu masih menyandang nama Hayami maka mereka berdua juga harus tunduk dengan perintah Tuan Besar," katanya.
Maya tersentak, kedua tangannya terkepal erat di depan dada, otaknya berputar untuk memikirkan sesuatu. "A-aku ikut kalian," kata Maya tiba-tiba, membuat Masato dan Midori berbalik dengan terkejut.
"Nyonya!" Protes keduanya.
Maya menatap Masato dan Midori tanpa ragu, "Aku ingin bertemu dengan Tuan Besar secara pribadi, sampaikan itu pada Masumi," katanya.
Masato ingin sekali protes, apalagi Midori, tapi keduanya tak bisa berbuat apa-apa ketika Maya justru berjalan menghampiri dua pria suruhan Eisuke dan masuk ke dalam mobil. Midori dan Masato memandang nanar mobil yang keluar dari basement.
"Masato, Tuan Masumi pasti mengamuk," lirih Midori dengan mata masih menatap jejak mobil yang membawa Maya.
"Salah, Tuan Masumi bisa membunuh kita," Masato mengusap kasar rambutnya lalu meraih handphone dari saku celananya. Dia mengirim sebuah pesan dan siap untuk menerima konsekuensinya.

***
Masumi hampir membanting laptopnya ke lantai ketika membaca sebuah email yang baru saja masuk. Tangan kanannya mencengkram kuat mouse dalam genggamannya. Mizuki yang tadinya sedang membacakan jadwal rapat dan pertemuan milik Masumi langsung terdiam dan menatap heran atasannya yang kini tampak sedang menguarkan aura kelam.
"Apa yang-,"
"Alihkan semua jadwal pertemuanku. Aku harus pergi sekarang," potong Masumi tiba-tiba.
Mizuki bahkan tidak sempat bertanya karena Masumi langsung meraih jas dan tas kerjanya lalu melesat dengan cepat meninggalkan ruangan. Melihat raut wajah tegang Masumi, Mizuki yakin bahwa sesuatu telah terjadi. Pikirannya langsung tertuju pada sosok Nyonya mudanya.
"Mungkinkah terjadi sesuatu pada Nyonya Maya?" gumam Mizuki, "Ah, mungkin dia tahu," lanjutnya dengan suara sama lirihnya. Mizuki pun menutup agenda kerjanya, membereskan meja kerja Masumi lalu pergi untuk menemui seseorang yang diyakininya sebagai sumber informasi paling akurat.
Sementara itu Masumi hampir kehilangan kontrol diri ketika lift yang ditunggunya tak kunjung terbuka, memaksanya untuk menuruni tangga darurat dan melupakan fakta bahwa dirinya tengah berada di lantai lima. Masumi memacu langkah kakinya seolah ingin menyaingi sang waktu.
“Maya, kenapa kau mengambil keputusan sebodoh itu?” Masumi mempercepat langkahnya dengan masih menggerutu akan tindakan impulsif istrinya.
Sampai di lantai dasar dengan napas terengah, Masumi segera menuju tempat parkir. Dia harus tiba tepat waktu! Kalimat perintah itu seakan tombol pacu yang menggerakkan seluruh tubuhnya untuk bergerak lebih cepat. Bayang senyum Maya di dalam kepala Masumi memaksanya menekan pedal gas lebih dalam.
***
>>Bersambung<<

Post a Comment

12 Comments

  1. Ya sesuai janji di FB tanggal 30 apdet.
    Maaf kl ga bisa tag satu2. kerjaanku masih banyaaakkk dikantor.
    so met baca aja ya
    lanjutannya nunggu januari, hahahaha

    ReplyDelete
  2. Masih dgn syndrome masumi akut... Lagi lagi akhir cerita yg gantung... Uhhh bikin penasaran.... Gamang gmn gtu bacany... Shiori ny kacian bgt y mpe mimpi...(mirip d kykny) Btw good story.. Keep going on kak.. #Ngebut yakkkk chap 11 ny. Jgn biarkan syndrome ny jd kritis (hahaha)

    ReplyDelete
  3. Serem banget mbk agnes...lg seru2nya baca ada kata 'bersambung', mn apdetnya g tw kpn lg, hiks...hiks.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju bunda zilfi... lg seru2 gini d paksa berenti ��

      Delete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Tidak tidak tidak......knp jd gini
    Wuaahhh mba agnes

    ReplyDelete
  6. Woahhhh... Aku ngarepin masumi banting laptop beneran deh... Biar keliatan garang ��

    ReplyDelete
  7. Tegaaaang, ga sabar baca lanjutannya.

    ReplyDelete
  8. Lanjutttttttt...!!! 😂😂😂

    ReplyDelete
  9. JANGAN LAMA2 YA UPDATE NYAA..SERUUU

    ReplyDelete
  10. Waduh... Mdh2n ga terjadi apa2 sama MM ya sist.. Tadi sempet geli juga si ratu lobak bisa2nya mimpiin masumi. Haduh bahaya, doi masih terobsesi rupanya. Semoga yg jemput maya bukan suruhannya siomay yaa

    ReplyDelete
  11. JANGAN LAMA2 YA UPDATE NYAA..SERUUU

    ReplyDelete