Fanart by Mary Regina
Matahari
hampir tenggelam, menyisakan semburat orange dibatas garis cakrawala senja.
Sebuah sedan mewah terparkir di halaman luas sebuah mansion dengan label nama
Hayami tertera di pintu masuk.
"Selamat
datang Tuan Besar," seorang wanita paruh baya membungkuk hormat menyambut
tamu yang baru saja datang dan mengantarnya menemui sang tuan rumah.
Sang tamu yang juga didampingi oleh seorang pengawalnya dipersilakan masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa besar nan mewah yang berada di tengah ruangan. Tak lama menunggu, sang tuan rumah yang duduk di kursi roda keluar bersama dengan asisten pribadinya.
Sang tamu yang juga didampingi oleh seorang pengawalnya dipersilakan masuk ke ruang tamu dan duduk di sofa besar nan mewah yang berada di tengah ruangan. Tak lama menunggu, sang tuan rumah yang duduk di kursi roda keluar bersama dengan asisten pribadinya.
"Lama
tak bertemu, kau tampak sehat Eisuke," sang tamu menyapa lebih dulu seraya
menampakkan seringai tipis di wajah tuanya.
"Senang
anda berkunjung Tuan Besar Takamiya. Pasti ada hal yang penting sampai anda
turun tangan sendiri menemui saya," Eisuke yang cukup terkejut dengan
kedatangan sang tamu, yang adalah mantan besannya juga tidak mau berbasa-basi.
"Kau
pasti tahu apa tujuanku datang Eisuke," jawab Tuan Besar Takamiya.
Eisuke terkekeh mendengarnya.
Eisuke terkekeh mendengarnya.
"Kau
boleh manganggap semua ini lelucon Eisuke tapi aku tidak akan pernah memaafkan
Masumi jika memang wanita itu adalah alasan perceraian mereka," tegas Tuan
Besar Takamiya.
"Saya
tidak menganggapnya lelucon. Hanya saja merasa aneh dengan reaksi anda.
Bukankah Shiori sendiri yang menggugat cerai Masumi? Kenapa anda tidak lebih
dulu menanyakan hal ini padanya? Kenapa harus menyalahkan Masumi yang menikah
lagi padahal sudah jelas berstatus duda," jawab Eisuke dengan tenang.
Dalam
hati Eisuke merutuki tindakan Masumi tapi dia juga tidak rela jika keluarganya
dipersalahkan oleh Takamiya. Harga dirinya juga terlalu tinggi untuk mengalah
meski dia tahu bahwa Masumi lah penyebab semua kekacauan ini. Mencintai gadis
berusia sepuluh tahun lebih muda bertahun-tahun lamanya dan sekarang
menikahinya saat baru satu bulan bercerai dengan istrinya. Andai bisa Eisuke
ingin sekali mendaratkan kepalan tangannya itu di wajah anak angkatnya yang
begitu lancang sudah merusak semua rencana besarnya untuk bermitra dengan
keluarga Takamiya dan menjadi pengendali Takatsu.
"Jangan
membawa Shiori dalam masalah ini, jelas dia hanyalah korban dari keputusan kita
dan ketidak tegasan Masumi," lanjut Tuan Besar Takamiya, tidak tega juga
cucu kesayangannya dipersalahkan.
"Korban?
Bagian mana yang membuat Shiori menjadi korban Tuan Besar? Bukankah dia yang
bersikeras untuk menikah dengan Masumi, bahkan saat Masumi memutuskan untuk
membatalkan pertunangannya dulu?" Eisuke membalikkan semua kata-kata Tuan
Besar Takamiya.
Diam,
sang tuan besar tak berkutik dengan ucapan Eisuke. Dia tidak bodoh untuk tahu
bahwa cucunyalah yang begitu ingin memiliki Masumi, sedangkan dirinyalah yang
memaksa Masumi untuk menikah. Penyesalan memang selalu datang terlambat.
Sekarang dia melihat Shiori tidak bahagia meski cucunya itu berakting seolah
semua baik-baik saja. Hal itulah yang membuatnya geram ketika melihat siaran
langsung konferensi pers pernikahan Masumi dan Maya. Bagaimana mungkin mantan
menantunya itu kini bisa bebas menikmati kebahagiaan dengan wanita yang dia
duga adalah cinta sebenarnya dari Masumi, sementara cucunya meratapi nasib
sebagai seorang janda.
"Saat
ini bukan waktu yang tepat untuk saling menyalahkan. Kita sama-sama tahu bahwa
perjodohan Masumi dan Shiori adalah demi kepentingan kita bersama. Kalaupun
akhirnya berbeda dengan apa yang kita harapkan, kita tidak bisa menyalahkan
salah satu dari mereka," lanjut Eisuke tanpa kehilangan ketenangannya.
Tuan
Besar Takamiya masih diam. Tertegun merenungi setiap kalimat yang diucapkan
oleh mantan besannya itu. Ketenangan diantara mereka tiba-tiba disela oleh
kedatangan wanita paruh baya yang adalah kepala pelayan mansion Hayami, wanita
yang sama yang menyambut dan mempersilakan tamu sebelumnya untuk masuk.
"Ada
apalagi Harada?" Tanya Eisuke.
"Maaf
mengganggu Tuan tapi Tuan Masumi dan Nyonya sudah datang," kepala pelayan
yang dipanggil Harada pun membungkuk hormat.
Eisuke
tanpa sadar mengeratkan kedua tangan di atas lengan kursi rodanya dan hal itu
tidak luput dari mata tua sang tuan besar. Belum sempat salah satu dari mereka
berkomentar, Masumi dan Maya sudah masuk ke ruang tamu dengan Hijiri berdiri di
belakang keduanya. Masumi yang sudah melihat mobil kebesaran Takamiya di
halaman rumah tidak lagi heran saat melihat mantan kakek mertuanyanya itu duduk
di ruang tamu. Dengan sopan Masumi memberi salam pada ayah dan mantan kakek
mertuanya diikuti Maya dan Hijiri yang juga membungkuk hormat.
"Sepertinya
kedatanganku tepat waktu, beruntung kalau sore ini bisa bertemu denganmu dan
istri barumu Masumi," kata Tuan Besar Takamiya bahkan sebelum Eisuke
bertanya apapun pada putranya.
Maya
yang berdiri di sebelah Masumi tanpa sadar merapatkan tubuhnya pada sang suami
ketika mendengar perkataan Tuan Besar Takamiya. Sadar kalau istrinya merasa
takut, Masumi segera meraih bahu Maya dan meremasnya lembut, seolah berkata
bahwa semua akan baik-baik saja meski kedua mata kelam Masumi beradu pandang
dengan mantan kakek mertuanya.
"Saya
juga senang bisa bertemu dengan anda Tuan Besar. Bagaimana kabar anda?"
Masumi menimpali sindiran Tuan Besar Takamiya dengan sopan.
"Seperti
yang kau lihat, aku masih hidup," jawabnya ketus.
Masumi
mengabaikannya dan beralih pada sang ayah yang sejak tadi hanya jadi penonton
setia, "Boleh kami duduk Ayah?"
"Hhmm,"
Eisuke hanya bergumam, menahan kesal karena kedatangan Masumi yang menurutnya
tidak tepat waktu. Tidak mungkin baginya untuk marah pada Masumi saat ini.
Eisuke tidak mau mencoreng wajahnya sendiri di depan Tuan Besar Takamiya.
Maya
yang meski masih didekap Masumi masih merasa begitu gugup menghadapi situasi di
luar kendalinya itu. Eisuke menatapnya tajam dan Maya hanya bisa menundukkan
kepala, meremas gaun di atas ke dua lututnya. Ketegangan diantara mereka di
sela oleh Tuan Besar Takamiya yang tiba-tiba berdiri, bahkan sempat membuat
Eisuke tersentak.
"Lain
kali kita bicara Eisuke," kata sang tuan besar, sedikit melirik pada
Masumi yang masih setia mendekap istrinya. Akhirnya tanpa kata Tuan Besar
Takamiya pulang diiringi anggukan hormat Masumi dan Hijiri.
Suasana
kembali canggung, Maya masih saja menundukkan kepala dan Masumi masih terus
mendekap Maya sementara Hijiri dengan setia berdiri di belakang sofa tempat
Masumi dan Maya duduk.
"Tidak
baik menahan emosi seperti itu Ayah, katakan saja apa yang ingin Ayah
katakan," kata Masumi mengakhiri suasana yang sangat tidak nyaman. Dia
sendiri sudah merasa kesal dengan situasi yang di luar prediksinya itu. Dia
hanya berusaha untuk tenang demi Maya.
"Cih,
kau masih bisa bicara seperti itu di depanku setelah kau menikah bahkan tanpa
sepengetahuanku," Eisuke mendengus kesal di akhir kalimatnya.
Masumi
yang sudah siap menghadapi serangan Eisuke, tidak gentar dengan sikap
intimidasi sang ayah, "Kalau aku mengatakannya, apakah ayah akan
membiarkanku menikahi Maya?"
"Tentu
saja tidak!" Seru Eisuke spontan tanpa kendali. Asa yang sejak tadi
berdiri di belakangnya hanya bisa menggeleng melihat sikap tuannya,
"Hijiri! Apa kau juga bekerja sama dengan Masumi untuk mengatur semua
ini?" Mata Eisuke langsung beralih pada anak buah kepercayaannya itu.
"Ini
semua adalah murni keinginanku dan jangan libatkan siapapun dalam hal ini
Ayah," Masumi langsung menjawab bahkan sebelum sempat Hijiri membuka
mulut.
"Maaf
Tuan Besar, saya juga tidak tahu," Hijiri mengangguk penuh hormat pada
atasannya.
Eisuke
menarik napas tajam dan menatap sengit tiga orang yang ada di hadapannya itu.
Namun, belum sempat Eisuke kembali membuka mulutnya, sebuah isakan kecil
membuatnya mengurungkan niat tersebut.
"Maaf,"
lirih Maya dengan suara parau di tengah isakan kecilnya. Masumi yang tadi
bahkan sempat terkejut segera memeluk istrinya, mengusap lembut punggungnya
untuk menenangkannya.
"Kau
tidak perlu meminta maaf sayang. Aku yang harus bertanggung jawab di tempat
ini," ucap Masumi dengan suara lembut, mengabaikan keberadaan ayahnya juga
Hijiri dan Asa. Baginya, dalam segala hal, Maya adalah prioritas utama.
Eisuke
tertegun melihat cara Masumi memperlakukan Maya. Ini pertama kalinya Eisuke
melihat sisi lain Masumi, bahkan saat menjadi suami Shiori, Masumi sama sekali
tidak pernah bersikap lembut.
"Kau
menggelikan Masumi," cemooh Eisuke dan Maya segera berhenti menangis lalu
menatap Eisuke yang menyunggingkan seringai tipis padanya.
"Jika
anda ingin menyalahkan, salahkan saya, jangan Masumi," kata Maya kemudian.
"Oh,
kau sudah berani bicara rupanya," lagi-lagi Eisuke mengejek Maya.
"Ayah-,"
"Tidak
Masumi, biarkan saja. Aku akan terima apapun yang dikatakan Tuan Besar, aku
tidak keberatan. Asal dia tidak menyalahkanmu atas semua ini," Maya
memotong pembelaan Masumi.
Eisuke
terkekeh mendengarnya, "Jadi kau berniat membela suamimu? Aku lupa kau
sekarang sudah menjadi wanita dewasa yang berani, bukan lagi gadis kecil
penyuka es krim yang akan menggerutu saat Masumi mengganggumu."
Masumi
mengernyit mendengar penuturan ayahnya sementara wajah Maya merona hebat
karenanya. "Apa maksud ayah?" Tanya Masumi kemudian saat Maya justru
tertunduk ketika Masumi menatapnya.
"Tanya
saja pada istrimu," jawab Eisuke.
Masumi
tampak geram melihat sikap ayahnya, "Hijiri," panggilnya kemudian.
Hijiri memutari sofa dan berdiri di sebelah Masumi seraya mengangguk hormat.
Hijiri memutari sofa dan berdiri di sebelah Masumi seraya mengangguk hormat.
"Bawa
Maya," perintah Masumi yang sukses membuat istrinya tersentak.
"Masumi
aku-,"
"Kali
ini dengarkan aku Maya. Pergilah, Masato dan Nona Midori sudah
menunggumu," kata Masumi seraya mengusap lembut kedua lengan Maya.
"Tapi-,"
Gelengan
Masumi membuat Maya terdiam.
"Percayakan
semuanya padaku. Kau pulanglah, tunggu aku di rumah," ucap Masumi
menenangkan.
Sejenak
Maya menoleh ke arah Eisuke yang ternyata sedang menatapnya, Maya pun
mengangguk lemah menyetujui perintah suaminya. Tersenyum, Masumi melepas kedua
tangannya dari bahu sang istri, memeluk sesaat tubuh mungil itu sebelum
akhirnya membiarkan Maya pulang. Maya masih berlaku sopan dengan memberi hormat
dan berpamitan pada Eisuke meski tidak ditanggaapi dan dianggap sebagai angin
lalu. Hijiri pun melakukan hal yang sama lalu keluar untuk mengantar Maya pada
Masato dan Midori.
"Aku
tidak menyangka kau selemah itu dihadapan wanita," Eisuke berdecih kesal
begitu Maya dan Hijiri keluar dari ruang tamu.
"Aku
mencintainya Ayah dan itu bukan kelemahan," jawab Masumi santai seraya
kembali duduk di hadapan sang ayah.
"Mencintai
kau bilang? Kau gila Masumi, itu pendapatku kalau kau mau tahu," Eisuke
masih melancarkan jurusnya untuk menyerang Masumi.
Tiba-tiba
Masumi terkekeh sambil menggeleng geli mendengar penuturan Eisuke, "Semua
orang yang mencintai memang gila ayah, bukan hanya aku," kata Masumi
kemudian, matanya masih lurus menatap sang sayah, "apa ayah lupa kisah
seorang pria yang karena cinta buta dan obsesinya justru menghancurkan
kehidupan wanita yang dicintainya? Bukan berusaha memenangkan hati sang wanita
tapi pria itu justru membuat sang wanita membencinya. Bahkan sampai akhir
hayatnya sang wanita tak pernah ingin bertemu dengan pria itu meski sebenarnya
sampai sekarang pria itu masih mencintainya. Apa itu tidak gila? Kalau boleh
aku tambahkan, predikat bodoh sangat cocok dengannya. Setidaknya aku tidak
melakukan kebodohan itu," seringai Masumi mengakhiri celotehannya dan
Eisuke memandang Masumi seolah tatapan mata sanggup membunuh putra angkatnya
itu. Eisuke lupa kalau dia sendirilah yang sudah membesarkan Masumi hingga
tekanan seperti apapun tidak akan bisa membuat Masumi terintimidasi. Justru
sebaliknya, Masumi merasa menang melihat Eisuke kini terpojok dengan analogi
konyol yang diutarakannya.
"Sudahlah
ayah, aku datang sama sekali tidak berniat untuk melawanmu. Ini hidupku dan aku
sudah memutuskan. Aku harap ayah bisa menerimanya," kata Masumi kemudian.
"Aku
menyesal sudah membesarkanmu Masumi," kalimat datar yang dilontarkan
Eisuke serasa seperti pisau tajam yang menyayat hati Masumi. Sungguh, Masumi
mengerti benar bagaimana posisinya. Dia dibesarkan untuk sebuah politik balas
budi demi kebesaran nama Daito dan keluarga Hayami.
Masumi
berdiri dan membungkuk hormat pada Eisuke, "Maaf ayah."
Eisuke
memalingkan wajahnya lalu memutar kursi rodanya membelakangi Masumi, seringai
tipis tersungging di bibirnya, "Aku punya sebuah kesepakatan
untukmu."
Masumi
menegakkan tubuhnya dan menatap heran ayahnya.
***
"Nyonya, sudah malam, sebaiknya anda istirahat," Midori menatap prihatin pada Maya yang tampak begitu gelisah duduk di ruang tengah kondominiumnya. Dia dan Masato memang ditugaskan untuk membawa Maya pulang dan menjaganya sampai Masumi kembali.
"Nyonya, sudah malam, sebaiknya anda istirahat," Midori menatap prihatin pada Maya yang tampak begitu gelisah duduk di ruang tengah kondominiumnya. Dia dan Masato memang ditugaskan untuk membawa Maya pulang dan menjaganya sampai Masumi kembali.
"Nona
Midori, kenapa Masumi belum kembali juga? Bagaimana jika terjadi hal buruk
padanya?" Mata lelah Maya menatap sang menejer menuntut jawaban.
"Tenanglah
Nyonya, Tuan pasti baik-baik saja. Tuan Besar tidak mungkin menyakiti Tuan
Masumi. Mungkin mereka memang sedang membicarakan banyak hal," Midori
berusaha menenangkan Maya.
Maya
mengangguk lemah lalu tertunduk menatap tangan di atas pangkuannya, "Ya,
kau benar. Tuan Besar Hayami tidak mungkin menyakiti Masumi, tidak
mungkin," ucap Maya lirih untuk menenangkan dirinya sendiri.
Midori
berjenggit karena terkejut ketika Masato yang tiba-tiba datang berdiri di
sebelahnya.
"Kau
mengejutkanku," sungut Midori dengan suara berbisik seraya membulatkan
matanya.
Masato
hampir saja tertawa melihat ekspresi lucu Midori tapi melihat Maya yang kini
tampak sedih bersandar di sofa membuat mood bercandanya menguap habis.
Ekspresinya kembali mengeras sembari menarik Midori menjauh dari Maya dan
membiarkan sang nyonya termenung sendiri. Maya sendiri sepertinya sudah larut
dalam dunianya hingga tak peduli lagi pada sekelilingnya.
"Ada
apa?" Tanya Midori tidak sabar karena Masato terus saja menyeretnya sampai
ke ruang tamu.
"Sstt,
pelankan suaramu, jangan sampai Nyonya curiga," Masato memperingatkan.
Keduanya
kemudian duduk bersebelahan di sofa ruang tamu.
"Tuan
Hijiri baru saja memberi kabar, saat ini keadaan masih terkendali. Tuan Besar
Hayami sepertinya belum memutuskan apapun tapi tidak dengan Tuan Besar
Takamiya. Dari informasi mata-mata kita di Takaktsu, Tuan Besar Takamiya baru
saja mengadakan rapat dan berencana memutuskan kerjasama dengan Daito. Ini
berarti genderang perang dari mereka. Kita harus lebih meningkatkan
kewaspadaan. Nyonya tidak tahu apa yang dihadapinya, jadi kau harus selalu
bersamanya, mengerti?" Jelas Masato.
Midori
mengangguk mantap, "Percayakan Nyonya padaku. Walau nyawa taruhannya, aku
akan melindunginya."
Masato
mengulas senyum, "Aku senang mendengarnya tapi kau juga harus ingat kalau
aku tidak akan membiarkan kau mengorbankan nyawamu," ujarnya seraya
mengacak poni Midori.
"Ah,
hentikan Masato, aku bukan anak kecil lagi!" Sungut Midori dan Masato
terkekeh.
"Sampai
kapanpun kau tetap adik kecilku," jawab Masato tak peduli.
Mengerucutkan
bibirnya, Midori menghentakkan kaki meninggalkan Masato di ruang tamu. Suasana
tegang tadi berakhir begitu saja. Dan Masato hanya bisa menggeleng geli melihat
tingkah Midori.
Di
ruang tengah Midori melihat Maya sudah tertidur di sofa, diapun mengambil
selimut dan menutupi tubuh mungil Maya. Sembari menunggu Masumi kembali, dia
duduk di sofa lalu mengambil sebuah buku dari dalam tasnya.
"Aku
sebenarnya kasihan padamu. Wanita sopolos dirimu harus masuk dalam medan perang
mengerikan ini. Tapi tenang saja, sekuat tenaga aku akan melindungimu,"
gumam Midori sebelum akhirnya larut dalam buku yang dibacanya.
***
Masato
langsung berdiri dari duduknya begitu melihat pintu kondominium terbuka.
"Tuan,"
Masato membungkuk hormat pada Masumi yang baru saja masuk.
"Semua
baik-baik saja?" Tanya Masumi seraya melonggarkan dasinya, wajahnya tampak
lelah. Perdebatan dengan ayahnya ternyata menyita banyak waktu dan tenaga.
"Semua
baik Tuan. Nyonya sangat khawatir dengan anda, Midori menemaninya di ruang
tengah," Masato memberi laporan sambil berjalan di belakang Masumi menuju
ruang tengah.
Midori yang masih tampak asik dengan bacaannya tidak menyadari kedatangan Masumi sampai Masato menepuk bahunya.
Midori yang masih tampak asik dengan bacaannya tidak menyadari kedatangan Masumi sampai Masato menepuk bahunya.
"Ah,
maaf Tuan," Midori berdiri lalu membungkuk hormat.
"Tidak
apa-apa," jawab Masumi, diapun mengalihkan pandangannya pada sang istri
yang tengah terlelap di sofa.
"Nyonya
sangat khawatir dengan anda dan menolak ketika saya memintanya istirahat di
kamar," Midori langsung memberi penjelasan karena melihat Masumi tampak
tidak suka melihat Maya tidur di sofa.
"Terima
kasih Masato, Nona Midori, kalian boleh pulang dan beristirahat," kata
Masumi kemudian.
"Kami
permisi Tuan," jawab Masato dan Midori bersamaan. Keduanyapun segera
pergi.
Masumi melepas jasnya dan meletakkannya begitu saja di meja. Berlutut di depan istrinya, Masumi mengusap lembut kepala Maya.
Masumi melepas jasnya dan meletakkannya begitu saja di meja. Berlutut di depan istrinya, Masumi mengusap lembut kepala Maya.
"Ngg,"
Maya menggerakkan kepalanya, merasa terusik karena sentuhan Masumi. Sebuah
kecupan di kening, membuat Maya membuka mata, "Masumi," lirihnya
seraya mengerjapkan mata, "kau sudah pulang?" Melirik ke arah jam
dinding, Maya mengeryit ketika melihat jam menunjukkan pukul satu dini hari.
Masumi
mengulas senyum untuk istri tercintanya, "Kenapa tidur di luar?"
Maya
bangun dan langsung memeluk Masumi, "Aku khawatir padamu, aku takut
sesuatu terjadi padamu."
Masumi
yang awalnya terkejut kembali tersenyum sambil mengusap lembut punggung Maya.
"Aku baik-baik saja sayang, kau tidak perlu khawatir seperti itu."
Maya
menarik dirinya lalu mendaratkan kepalan tangan di dada suaminya, "Apanya
yang tidak perlu khawatir? Kau pikir aku tidak takut melihat Tuan Besar Hayami
marah seperti itu karena pernikahan kita. Kalau sampai dia melukaimu karena
sudah mencoreng nama baik keluarga Hayami bagaimana? Atau, atau, kalau sampai
kau dikeluarkan dari keluarga Hayami, bagaimana, aku, aku ...," dan Maya
tak lagi bisa menahan air matanya.
"Hei,
jangan menangis," Masumi mengusap lembut wajah Maya, menyeka air matanya
lalu merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukannya, "Maaf, maaf, aku tahu
kau khawatir tapi seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja. Ayah tidak akan
menyakitiku, jadi kau tidak perlu takut," Masumi menenangkan istrinya dan
Maya menumpahkan emosinya lewat air mata. Maya hanya bisa mengangguk dalam
pelukan Masumi, dalam hati sudah merasa lega suaminya pulang dalam keadaan
baik.
"Kyaaa!"
Maya menjerit karena terkejut Masumi tiba-tiba menggendongnya.
"Turunkan
aku! Aku masih bisa jalan sendiri," protes Maya. Meski begitu dia justru
mengalungkan lengannya ke leher Masumi, mungkin karena takut terjatuh. Masumi
terkekeh melihat sikap Maya yang berkebalikan dengan ucapannya.
"Aku
hanya tidak mau kau terjatuh karena berjalan dengan mata setengah
terpejam," kilah Masumi seraya tersenyum jahil pada Maya. Dia membawa Maya
ke kamar.
"Apa
kau tidak melihat mataku sudah terbuka lebar? Katakan saja kau memang mau
mengambil kesempatan dalam kesempitan," jawab Maya.
Masumi
menatap Maya sedih, seolah perkataan itu melukainya dan Maya justru mendengus
karenanya, "Jangan berakting Tuan Hayami, kau berhadapan dengan orang yang
salah."
Dan
Masumi terkekeh lagi, "Kau galak sekali hari ini Nyonya, memang apa salahnya
kalau aku ingin memanjakan istriku sendiri."
Maya
tak lagi menjawab karena mereka sudah sampai di kamar dan Masumi membaringkan
dirinya di tempat tidur mereka.
"Tidurlah,
aku mau mandi dulu," Masumi mendaratkan sebuah kecupan di kening Maya lalu
menarik selimut untuk menutupi tubuh istrinya.
Maya
mengangguk. Masumi baru setengah jalan menuju kamar mandi saat Maya
memanggilnya.
"Ya?"
"Semua
baik-baik saja kan?"
Melihat
wajah cemas sang istri, Masumi justru tersenyum. "Ya Maya, semua baik.
Tidurlah," ucap Masumi.
Maya
mengangguk lalu membenarkan selimutnya dan saat Masumi menghilang di balik
pintu kamar mandi Maya bergumam. "Aktingmu buruk Masumi."
***
"Kau terlalu serius dalam bekerja Tuan Hayami."
"Kau terlalu serius dalam bekerja Tuan Hayami."
Kalimat teguran itu membuat Masumi
mengalihkan fokusnya dari dokumen di atas meja kepada sosok wanita yang kini
berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. Wanita itu kemudian berjalan ke arah
meja kerjanya dan membuat gaun tidurnya bergoyang seiring dengan langkah
kakinya.
Masumi mengulum senyum saat wanita itu kini berdiri di sebelahnya dengan bersandar pada meja, melipat tangan di depan dadanya. Dia tidak bodoh untuk tahu kalau wanita itu sedang kesal.
Masumi mengulum senyum saat wanita itu kini berdiri di sebelahnya dengan bersandar pada meja, melipat tangan di depan dadanya. Dia tidak bodoh untuk tahu kalau wanita itu sedang kesal.
"Kau belum tidur sayang?"
tanyanya lembut dan hanya di jawab dengan dengusan kesal sang wanita. Masumi
terkekeh lalu menarik wanita itu hingga jatuh atas pangkuannya. Pekikan kesal
dan pukulan di dada menjadi upah atas apa yang dilakukannya.
"Kenapa? Kau kesepian?"
Goda Masumi pada wanita yang kini sudah meringkuk manja di pangkuannya.
Tangannya mengusap lembut surai hitam panjang yang tergerai hingga punggung.
"Mana mungkin aku tidak
kesepian kalau suamiku justru lebih suka bermalam dengan pekerjaannya daripada
denganku," rajuknya.
Sekali lagi Masumi mengulum
senyumnya dan mendaratkan sebuah kecupan hangat di kening wanita yang adalah
istrinya itu.
"Maaf," ucapnya kemudian.
"Hhmm," gumam sang wanita
dan semakin menyamankan dirinya dalam pangkuan sang suami.
"Kau sudah mengantuk
sayang?" Tanya Masumi.
Sang wanita hanya mengangguk. Dia
tak berkata apapun ketika akhirnya sang suami mengangkat tubuhnya dengan lembut
dan membawanya meninggalkan ruang kerja.
Dengan lembut Masumi membaringkan istrinya di atas tempat tidur, menempatkan dirinya sendiri di sisi sang istri lalu menarik selimut untuk menghangatkan mereka dari dinginnya udara malam.
Dengan lembut Masumi membaringkan istrinya di atas tempat tidur, menempatkan dirinya sendiri di sisi sang istri lalu menarik selimut untuk menghangatkan mereka dari dinginnya udara malam.
"Tidurlah," kata Masumi
seraya mengusap lembut kepala sang istri.
Wanita itu tersenyum senang lalu
memejamkan matanya, senyumnya semakin melebar kala merasakan dekapan sang suami
yang semakin menghangatkannya. Dan sebuah bisikan lembut menghantarkan sang
wanita ke alam mimpinya yang damai.
"Oyasumi Shiori."
Hal
pertama yang dilihat Shiori begitu dia membuka mata adalah langit-langit
kamarnya yang berwarna putih bersih.
"Ternyata
hanya mimpi," desahnya kecewa. Masih berbaring, Shiori menutup mata dengan
lengannya dan terkekeh dalam nada sumbang.
"Sepertinya
aku sudah gila," katanya pada diri sendiri. "Ternyata keinginanku
untuk behagia menjadi istrinya belum juga hilang."
Menghela
napas panjang, Shiori bangun dari tidurnya dan meraih segelas air yang ada di
atas meja. Melegakan tenggorokannya yang terasa kering.
"Maya
...," gumam Shiori seraya menatap gelas kristal di tangannya, "apa
kau bahagia sekarang? Apa Masumi memperlakukanmu dengan penuh sayang seperti
dalam mimpiku?" Shiori terbahak tapi butiran air jatuh dari sudut matanya.
"Tentu
saja! Aku ini bicara apa! Tentu saja si brengsek Masumi akan memanjakan istri
tercintanya. Memang apa yang akan dilakukannya setelah berhasil mendapatkan apa
yang diidamkannya selama ini. Tidak mungkin dia akan mencampakkannya seperti
dia mencampakkanku!"
Prangg!
Gelas kristal itu hancur hanya dalam hitungan detik kala Shiori membenturkannya
pada lantai marmer tempatnya berpijak. Raut wajahnya mengeras penuh kemarahan.
Air mata terus mengalir membasahi pipi pucatnya.
"Jangan
kira aku akan diam saja," gumamnya kemudian dengan suara bergetar.
"Masumi, kalau kau sudah membuatku hancur maka aku akan membuatmu lebih hancur
lagi bahkan sampai tak tersisa seperti debu."
Seringai
muncul di wajah Shiori, seraya memeluk tubuhnya sendiri, dia terbahak dan
tenggelam dalam semua rencana yang kini tersusun di dalam kepalanya.
***
Dua
hari yang sibuk bagi Maya. Setelah semua media terus memberitakan pernikahannya
dengan Masumi kini para pemburu berita juga seakan tak punya lelah untuk
mengejar Maya. Mereka terus berusaha untuk mendapatkan berita terbaru mengenai
rumah tangganya dan Masumi. Hal itu membuat Masato dan Midori bekerja keras
untuk melindungi Maya.
"Nyonya,
setelah ini sebaiknya anda tidak pergi ke luar," Midori menatap Maya yang
duduk di kursi dengan wajah kesal. Dia baru saja menyelesaikan syuting iklan
dari salah satu perusahaan minuman ringan.
"Aku
tidak habis pikir, apa yang sebenarnya mereka cari? Pertanyaan yang selalu
sama, bagaimana hubungan rumah tangga anda? Mereka gila! Memangnya aku harus
menjelaskan semuanya?" Maya berceloteh panjang lebar dengan nada kesal.
Midori tersenyum maklum mendengar Nyonya mudanya merajuk.
"Begitulah
mereka, jangan sampai anda terpancing Nyonya. Itu akan berdampak buruk pada
karir anda dan citra Tuan Masumi. Apalagi minggu depan adalah premier film
Aisitheru," jelas Midori.
Maya
menghela napas kesal, "Ya kau benar Nona Midori. Sebaiknya kita segera
pulang sebelum aku habis dikejar oleh mereka," kata Maya kemudian.
Midori
mengangguk penuh hormat dan mereka bersiap untuk pulang.
***
Rei menatap prihatin sahabatnya yang kini tengah duduk dengan wajah masam di depannya. Sementara itu disebelahnya duduk Koji yang juga berekspresi sama sepertinya.
Rei menatap prihatin sahabatnya yang kini tengah duduk dengan wajah masam di depannya. Sementara itu disebelahnya duduk Koji yang juga berekspresi sama sepertinya.
"Sudahlah
Maya, seiring berjalannya waktu semua pasti kembali normal," Rei berusaha
menenangkan Maya yang sedang kesal. Dia mengerti apa yang dialami Maya bukanlah
hal yang mudah. Kalau bisa Rei juga ingin sekali menendang para wartawan yang
kadang berbuat sesuka hatinya itu. Bagaimana Maya tidak kesal, tadi dia sedang
dalam perjalanan pulang dan tiba-tiba ada seorang paparazi yang mengikutinya.
Terpaksa Masato mengalihkan tujuan mereka. Masumi berpesan agar jangan sampai
awak media tahu dimana dirinya dan Maya tinggal. Maya kemudian meminta Masato
untuk mengantarnya ke apartemen Rei, ternyata di sana juga ada Koji.
"Aku
tidak menyangka semuanya jadi rumit seperti ini," keluh Maya lirih.
"Hei
kau seperti orang lain saja. Maya yang ku kenal itu pantang menyerah dan penuh
semangat. Masakan hal seperti ini membuatmu patah semangat," kata Koji.
Maya
diam menatap kedua sahabatnya. "Jadi, kalian berdua adalah sepasang
kekasih?" mengabaikan perkataan Koji, tiba-tiba Maya mengubah topik
pembicaraan. Koji dan Rei tersentak tapi kemudian saling bertukar pandang
dengan pipi merona.
"Ah,
jadi benar ya. Syukurlah, aku senang mendengarnya," Maya membaca gestur
tubuh kedua sahabatnya lalu bertepuk tangan dengan riang. Maya seolah lupa
kalau beberapa menit yang lalu dia sedang kesal dan sedih.
"Maya
hentikan, kami-," Rei menggaruk kepalanya yang tidak gatal, bingung
bagaimana menjelaskan hubungan mereka pada Maya.
"Kami
belum resmi sebagai kekasih Maya, ya, meski aku sudah menyatakan perasaanku
padanya tapi sepertinya Rei belum mau menerimaku," Koji memberikan lirikan
maut pada gadis yang duduk disebelahnya.
"Ah
kenapa begitu?" Maya menghentikan euforianya dan tampak kecewa.
"Rei
menganggap kalau perasaanku padanya hanyalah pelarian karena aku tidak berhasil
mendapatkanmu."
"Eh?!
Mana mungkin," Maya memekik.
"Ah,
kau bilang begitu, jadi kau percaya kan kalau aku memang jatuh cinta pada Rei
bukan karena pelarian?" tanya Koji semangat.
"Tentu
saja," seru Maya seraya menepuk keras kedua tangannya. Bola matanya
kemudian bergulir dan menatap Rei yang tak berkutik sejak tadi, "Apa yang
terjadi antara aku dan Koji itu masa lalu Rei. Kalau sekarang dia memilihmu
kenapa kau tak mencoba untuk menerimanya saja," kata Maya dengan bibir
mengulas senyum manis, "ah, rasanya pasti menyenangkan kalau melihat dua
sahabatku bersanding di pelaminan," Maya terkekeh sendiri dan Koji
tersenyum puas melihat reaksi Maya sementara Rei sibuk melotot padanya.
"Sudah,
sudah," Rei jengah karena dirinya justru menjadi topik utama,
"bukankah kau datang ke sini untuk melarikan diri dari paparazi? Kenapa
justru menggodaku seperti itu?" Sungutnya pada Maya. Rei lalu menoleh pada
Koji, "Dan kau Tuan Aktor yang tidak punya kerjaan. Sudah sejak pagi kau
disini, jadi sebaiknya sekarang kau pulang. Aku mau menghabiskan hari ini
bersama Maya," kata Rei, membuat Maya dan Koji melengkungkan alis tinggi.
"Kenapa
kau jadi mengusirku?" Protes Koji.
"Iya,
kenapa kau jadi mengusir Koji, Rei?" Maya menambahkan. Dia lalu meraih
tasnya dan beranjak berdiri, "kalau aku mengganggu sebaiknya aku yang
pergi," katanya girang.
Rei
menganga karena terkejut. Kenapa perkataannya justru membuat Maya pergi? Rei
merutuki kebodohan sahabatnya itu, "Bukan Maya, aku-,"
"Terima
kasih untuk pengertianmu Maya," potong Koji cepat dan Maya tersenyum
semakin lebar. Koji mendapat pukulan telak di lengannya, membuat Maya tergelak.
Sungguh dia merasa senang kalau akhirnya kedua sahabatnya itu bisa bersama.
Rei
tak lagi bisa mencegah saat Maya meminta Midori dan Masato untuk pulang. Diapun
hanya berpesan agar Maya berhati-hati. Dengan senyum masih mengembang lebar,
Maya meninggalkan apartemen Rei. Namun, baru saja Maya menginjakkan kaki di basement
tempat parkir, dua orang pria yang mengenakan setelan lengkap warna hitam
datang menghampirinya. Spontan saja Masato dan Midori segera berdiri di depan
Maya untuk melindunginya.
"Kami
tidak mau membuat keributan. Kami datang hanya untuk menjemput Nyonya muda atas
perintah Tuan Besar Hayami," kata salah seorang dari dua pria itu tanpa
melepas kacamata hitam yang bertengger di hidungnya. Menegaskan kesan seram
yang membuat Maya sempat bergidik, apalagi mendengar nama Tuan Besar Hayami
disebut.
"Ada
apa Tuan Besar memanggil Nyonya kami? Kalian harus mendapat ijin dari Tuan
Masumi jika ingin membawa Nyonya pergi," kata Masato yang sudah siaga
untuk melindungi Maya.
Pria
lain terkekeh lalu berdecih dengan nada meremehkan, "Selama Tuan dan
Nyonyamu masih menyandang nama Hayami maka mereka berdua juga harus tunduk
dengan perintah Tuan Besar," katanya.
Maya
tersentak, kedua tangannya terkepal erat di depan dada, otaknya berputar untuk
memikirkan sesuatu. "A-aku ikut kalian," kata Maya tiba-tiba, membuat
Masato dan Midori berbalik dengan terkejut.
"Nyonya!"
Protes keduanya.
Maya
menatap Masato dan Midori tanpa ragu, "Aku ingin bertemu dengan Tuan Besar
secara pribadi, sampaikan itu pada Masumi," katanya.
Masato
ingin sekali protes, apalagi Midori, tapi keduanya tak bisa berbuat apa-apa
ketika Maya justru berjalan menghampiri dua pria suruhan Eisuke dan masuk ke
dalam mobil. Midori dan Masato memandang nanar mobil yang keluar dari basement.
"Masato,
Tuan Masumi pasti mengamuk," lirih Midori dengan mata masih menatap jejak
mobil yang membawa Maya.
"Salah,
Tuan Masumi bisa membunuh kita," Masato mengusap kasar rambutnya lalu
meraih handphone dari saku celananya. Dia mengirim sebuah pesan dan siap untuk
menerima konsekuensinya.
***
Masumi
hampir membanting laptopnya ke lantai ketika membaca sebuah email yang baru
saja masuk. Tangan kanannya mencengkram kuat mouse dalam genggamannya. Mizuki
yang tadinya sedang membacakan jadwal rapat dan pertemuan milik Masumi langsung
terdiam dan menatap heran atasannya yang kini tampak sedang menguarkan aura
kelam.
"Apa
yang-,"
"Alihkan
semua jadwal pertemuanku. Aku harus pergi sekarang," potong Masumi
tiba-tiba.
Mizuki
bahkan tidak sempat bertanya karena Masumi langsung meraih jas dan tas kerjanya
lalu melesat dengan cepat meninggalkan ruangan. Melihat raut wajah tegang
Masumi, Mizuki yakin bahwa sesuatu telah terjadi. Pikirannya langsung tertuju
pada sosok Nyonya mudanya.
"Mungkinkah
terjadi sesuatu pada Nyonya Maya?" gumam Mizuki, "Ah, mungkin dia
tahu," lanjutnya dengan suara sama lirihnya. Mizuki pun menutup agenda
kerjanya, membereskan meja kerja Masumi lalu pergi untuk menemui seseorang yang
diyakininya sebagai sumber informasi paling akurat.
Sementara
itu Masumi hampir kehilangan kontrol diri ketika lift yang ditunggunya tak
kunjung terbuka, memaksanya untuk menuruni tangga darurat dan melupakan fakta
bahwa dirinya tengah berada di lantai lima. Masumi memacu langkah kakinya
seolah ingin menyaingi sang waktu.
“Maya,
kenapa kau mengambil keputusan sebodoh itu?” Masumi mempercepat langkahnya
dengan masih menggerutu akan tindakan impulsif istrinya.
Sampai
di lantai dasar dengan napas terengah, Masumi segera menuju tempat parkir. Dia harus
tiba tepat waktu! Kalimat perintah itu seakan tombol pacu yang menggerakkan
seluruh tubuhnya untuk bergerak lebih cepat. Bayang senyum Maya di dalam kepala
Masumi memaksanya menekan pedal gas lebih dalam.
***
>>Bersambung<<
12 Comments
Ya sesuai janji di FB tanggal 30 apdet.
ReplyDeleteMaaf kl ga bisa tag satu2. kerjaanku masih banyaaakkk dikantor.
so met baca aja ya
lanjutannya nunggu januari, hahahaha
Masih dgn syndrome masumi akut... Lagi lagi akhir cerita yg gantung... Uhhh bikin penasaran.... Gamang gmn gtu bacany... Shiori ny kacian bgt y mpe mimpi...(mirip d kykny) Btw good story.. Keep going on kak.. #Ngebut yakkkk chap 11 ny. Jgn biarkan syndrome ny jd kritis (hahaha)
ReplyDeleteSerem banget mbk agnes...lg seru2nya baca ada kata 'bersambung', mn apdetnya g tw kpn lg, hiks...hiks.
ReplyDeletesetuju bunda zilfi... lg seru2 gini d paksa berenti ��
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTidak tidak tidak......knp jd gini
ReplyDeleteWuaahhh mba agnes
Woahhhh... Aku ngarepin masumi banting laptop beneran deh... Biar keliatan garang ��
ReplyDeleteTegaaaang, ga sabar baca lanjutannya.
ReplyDeleteLanjutttttttt...!!! 😂😂😂
ReplyDeleteJANGAN LAMA2 YA UPDATE NYAA..SERUUU
ReplyDeleteWaduh... Mdh2n ga terjadi apa2 sama MM ya sist.. Tadi sempet geli juga si ratu lobak bisa2nya mimpiin masumi. Haduh bahaya, doi masih terobsesi rupanya. Semoga yg jemput maya bukan suruhannya siomay yaa
ReplyDeleteJANGAN LAMA2 YA UPDATE NYAA..SERUUU
ReplyDelete