Disclaimer Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Sekuel "Every Day I Love You".
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Sekuel "Every Day I Love You".
Ryoichi Hayami 20 th, Masumi Hayami 55 th, Maya Anderson Hayami 44 th.
Gambar milik Mary Regina
Bandara Haneda tampak begitu padat di akhir
musim gugur. Di landasan tampak banyak sekali pesawat besar yang bergerak
teratur baik untuk take off ataupun landing. Terlihat sebuah pesawat dengan
tulisan besar melintang di sisinya, Japan Airlines. Pesawat itu baru saja landing dari penerbangan panjangnya, New
York - Tokyo. Deretan penumpang yang berjalan menuruni tangga segera terlihat
begitu pintu kabin terbuka.
Dari banyaknya penumpang yang keluar, tampak
begitu mencolok seorang pemuda tampan dengan tampilan penuh kharisma.
Mengenakan t-shirt abu-abu dilapisi blazer dengan warna lebih gelap, dipadukan
dengan jeans biru gelap dan sneakers yang senada dengan warna blazernya. Pemuda
itu berjalan dengan tenang, berusaha tidak tampak mencolok dengan tubuh tinggi dan
wajah tampannya. Kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya diharapkan
sedikit banyak bisa membantu usahanya untuk menyamarkan diri, atau...justru
memperparah? Karena faktanya kaca mata itu justru membuat penampilannya makin
menarik perhatian karena tampak semakin keren di mata kaum hawa.
Pemuda berambut coklat gelap dengan tubuh tegap
tinggi itu tiba-tiba mengulas sebuah senyum tipis di bibirnya. Entah apa yang
dipikirkannya saat ini, yang pasti beberapa gadis yang berjalan di sebelahnya
harus menahan diri untuk tidak memekik keras karena melihat senyum jutaan
gigawatt milik sang pemuda yang kini berjalan dengan anggun menuju pintu keluar
sambil menyeret koper besarnya.
"Ryo pulang, ayah, ibu," gumamnya
lirih diiringi dengan senyum tipis di wajah tampannya.
***
***
Ryoichi Hayami. Pemuda berusia dua puluh tahun
dengan segala kesempurnaannya. Tampan, pasti.
Pintar, tentu, siapa yang berani meragukan otak pemuda yang mampu meraih gelar BBA dari Harvard University di usianya yang kedua puluh? Apalagi yang kurang? Kaya, sudah jelas, marga keluarganya sudah menegaskan semuanya. Mau dilihat dari sudut manapun, seorang Ryo memang tampak sempurna di mata dunia.
Pintar, tentu, siapa yang berani meragukan otak pemuda yang mampu meraih gelar BBA dari Harvard University di usianya yang kedua puluh? Apalagi yang kurang? Kaya, sudah jelas, marga keluarganya sudah menegaskan semuanya. Mau dilihat dari sudut manapun, seorang Ryo memang tampak sempurna di mata dunia.
Jika faktanya seperti itu pasti kedua orang
tuanya sangat bangga. Sayangnya tidak, maaf, sekali lagi tidak. Bukan kedua
orang tuanya tidak bangga padanya, hanya saja seorang Ryo justru merasa
sebaliknya. Dia merasa belum bisa membuat ke dua orang tuanya bangga. Meski
dengan sederet prestasi yang diperolehnya? Ya, meski dengan semua itu, dengan
semua kebanggaan yang dikatakan orang dunia. Dia tidak merasa bangga. Karena
bagi Ryo, kedua orang tuanya itu sempurna, yang terbaik dan luar biasa. Terlalu
dini untuknya puas dengan apa yang dicapainya saat ini karena sebagai
penyandang nama besar keluarga, Ryo merasa pencaiapannya saat ini belumlah
seberapa. Perfeksionis? Ambisius? Tidak juga, katakanlah itu impian. Impian
seorang anak yang ingin menjadi sempurna demi keluarganya. Bisakah? Perjalanan
masih panjang dan waktu yang akan menjawab obsesi masa muda itu.
Apa terdengar berlebihan? Siapa orang tua yang sempurna itu? Bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna?
Apa terdengar berlebihan? Siapa orang tua yang sempurna itu? Bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna?
Ryo tidak akan peduli dengan apa kata dunia
karena baginya, Masumi Hayami dan Maya Anderson Hayami adalah orang tua yang
sempurna. Bukan karena ayahnya yang adalah komisaris perusahaan entertainment
terbesar di Jepang, juga bukan karena ibunya adalah aktris kelas satu pemenang
piala Oscar tapi karena mereka berdua adalah ayah dan ibu yang luar biasa dan
penuh kasih. Ayah dan ibu yang membuatnya bisa berdiri sekarang dengan segala
kebanggaannya. Apalah artinya seorang Ryo tanpa adanya kasih dari Masumi dan
Maya.
Langkah kaki Ryo berhenti di luar pintu
kedatangan begitu sebuah taksi menghampirinya, dengan bantuan petugas bandara
Ryo sudah memesan sebuah taksi.
"Tuan Hayami?"
Ryo mengangguk sopan lalu melepas kacamatanya.
Menampakkan mata beriris coklatnya yang teduh sekaligus tajam.
"Bisakah anda mengantar saya berkeliling
kota Tokyo?"
"Berkeliling Tokyo?" Kerutan samar
dan nada heran terdengar jelas dalam suara sang supir taksi.
Ryo tersenyum, "Jangan khawatir, saya akan
membayar berapapun biayanya," lanjutnya.
Supir taksi itu membalas senyum tipis Ryo
dengan senyum lebarnya. Diapun setuju lalu meminta koper Ryo untuk dimasukkan
ke dalam bagasi. Ryo sudah duduk dengan nyaman di
kursi penumpang ketika supir taksi itu mulai menjalankan argonya dan bertanya
kemana tujuan mereka.
"Tomoe Elementary School," jawab Ryo
sopan dan taksipun segera melaju meninggalkan bandara.
***
Taksi berhenti di seberang jalan sebuah gedung
sekolah dasar, Tomoe Elementary School. Ryo yang duduk di kursi penumpang
tampak menyunggingkan seulas senyum tipis kala matanya menatap gerbang besar
berwarna hitam. Memorinya langsung melayang pada kenangan indah masa lalunya.
Empat belas tahun yang lalu.
Menjadi anak dari kedua orang tua yang terkenal
bukanlah hal yang mudah. Kemanapun kakimu melangkah semua mata pasti akan
tertuju padamu. Itulah hal yang selalu dialami oleh Ryo kecil. Baru saja
dirinya menginjakkan kaki di halaman sekolah barunya, semua mata langsung
menatap padanya. Ehm, tidak, sebenarnya tidak sepenuhnya menatapnya, melainkan
pada dua sosok orang dewasa yang kini berdiri di sampingnya. Tuan dan Nyonya
Hayami, siapa lagi? Komisaris Daito dan Aktris nomer satu di Jepang.
Bisik-bisik para murid juga orang tua murid
yang kebetulan ikut mengantar terdengar seperti dengungan lebah. Ryo mengangkat
kepala melihat ayahnya yang hanya tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala
untuk menjawab sapaan orang-orang. Pandangannya kemudian beralih pada Maya,
ibunya yang tersenyum lebar dengan manisnya, membalas ramah setiap sapaan
padanya.
Ryo menahan senyumnya melebar melihat mata-mata
yang penuh kagum menatap pada keluarganya. Memang sebenarnya tidak nyaman tapi
Ryo berusaha untuk tetap bersikap baik demi menjaga nama besar kedua orang
tuanya, terlebih lagi nama Hayami dan Anderson yang disandangnya.
"Belajarlah yang rajin dan jangan nakal ya
sayang."
Kalimat itu terdengar menggelikan di telinga
Ryo namun dirinya tidak bisa protes mengingat kalimat itu disampaikan dengan
penuh kasih oleh ibunya.
"Ya Bu," jawab Ryo patuh.
"Kau tahu Ryo tidak nakal Maya. Justru aku
meragukan apakah dia bisa nakal seperti anak seusianya," Masumi menahan
diri untuk tidak terkekeh dengan perkataannya sendiri.
Ryo menghela napas lelah. Ibu yang masih
menganggapnya anak kecil, ayah yang menganggapnya terlalu dewasa, adakah yang
bisa menganggapnya normal sebagai anak usia enam tahun? Sepertinya tidak
satupun karena mendiang kakeknya sekalipun menganggapnya sebagai bayi yang suka
ditimang-timang.
"Aku tahu anakku tidak nakal. Aku hanya
mengucapkan apa yang biasanya orang tua katakan di hari pertama anaknya
sekolah," kilah Maya.
Sesaat Masumi dan Ryo menatap Maya tidak
percaya lalu keduanya tertawa saat Maya justru mencebik kesal. Bahkan diusianya
yang sudah menginjak kepala tiga, Maya masih saja tampak lucu jika sedang
merajuk. Ketiganya kemudian tertawa.
Inilah yang Ryo suka dari keluarganya, hangat
dan penuh canda. Terlepas dari status sosial mereka Ryo sadar kalau keluarganya
juga tidak jauh berbeda dengan keluarga lainnya. Dan Ryo selalu bangga akan
keluarganya itu, bukan karena embel-embel nama dan kehormatan tapi memang
karena keluarganya begitu mengasihinya.
"Sudah waktunya masuk Ryo," Masumi
memperingatkan ketika tawa mereka mereda. Tidak satupun dari mereka peduli
dengan tatapan kagum sekaligus heran dari orang-orang disekeliling mereka. Hari
ini Masumi dan Maya memang sengaja mengantar Ryo di hari pertama sekolah
dasarnya, menikmati tugas mereka sebagai orang tua.
Ryo mengangguk mantap, "Aku masuk dulu
ayah, ibu, terima kasih."
Namun baru saja Ryo hendak berbalik, Maya
memanggil lirih nama putranya. Otomatis Ryo menghentikan langkahnya dan menatap
ibunya. Masumi juga sama herannya saat melihat wajah Maya.
"Ada apa bu?" Tanya Ryo.
"Hhmm, bolehkah ibu memeluk dan
menciummu?" Tanya Maya ragu, "sebentar saja," pintanya dengan
wajah memohon.
Ryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya
melirik ayahnya yang menatapnya tajam, memaksanya menuruti keinginan Maya. Masumi
tahu kalau anaknya tidak suka dipeluk dan di cium di depan umum tapi dalam
kamus keluarga Hayami adalah pantang hukumnya menolak keinginan Maya, entah
sejak kapan peraturan itu berlaku. Yang jelas tidak satupun keinginan Maya yang
tidak terpenuhi.
"Baiklah," Ryo menyerah daripada
harus menerima hukuman dari ayahnya yang dia yakin pasti sangat tidak
mengenakkan.
Dengan wajah berbinar Maya segera memeluk
-cukup lama untuk waktu sebentar yang dijanjikan- serta mencium puncak kepala
putranya.
"Ibu menyayangimu," bisik Maya dan
wajah Ryo langsung memerah menahan malu karena mendengar kekehan geli entah
dari siapa saja yang ada di sekitar mereka.
"Maya, sudah waktunya kita pergi,"
sela Masumi kemudian. Diam-diam dia tidak tega juga melihat putranya memerah, bahkan
Masumi juga yakin andai itu dirinya, maka dia tidak akan sanggup menahan malu
di hadapan teman-temannya jika diperlakukan layaknya anak TK seperti itu.
Ryo menatap ayahnya dengan beribu rasa terima
kasih tersirat dalam pandangannya. Setelah itu dia bergegas menuju gedung
sekolahnya sebelum Maya sempat memeluknya lagi. Dalam hati Ryo mendesah panjang
dan meyakini bahwa dirinya tidak akan pernah melupakan kejadian pagi ini.
Sebuah senyum kembali terukir di wajah tampan
Ryo saat kenangannya berhenti berputar. Ya, dia tidak salah, bahkan setelah
empat belas tahun berlalu, seorang Ryo masih bisa mengingat hari pertama
sekolah dasarnya.
"Aku jadi semakin merindukanmu," Ryo
menghela napas, "ibu."
***
"Ke mana lagi Tuan?" Tanya supir
taksi begitu Ryo kembali masuk ke dalam taksi.
Ryo berpikir sejenak, rencananya ingin
berkeliling Tokyo sepertinya harus dibatalkan. Mengenang masa lalu ternyata
membuatnya ingin segera bertemu keluarganya, diapun mengubah rencananya.
"Mansion Hayami," sahut Ryo yang
kemudian ditanggapi dengan kerutan kening sang supir taksi. Ryo terkekeh begitu
menyadari kebodohannya, diapun menyebutkan alamat rumahnya dan taksi segera
melaju meninggalkan gedung sekolah.
Sepanjang perjalanan Ryo menikmati keindahan
kota Tokyo yang sudah ditinggalkannya selama enam tahun. Bukan tanpa alasan
kalau Ryo harus meninggalkan kota kelahiran bahkan negaranya dalam waktu yang
lama. Salahkan saja tanggung jawab yang harus diembannya sebagai putra tunggal
keluarga Hayami.
Lagi-lagi kenangan masa lalu menyeruak di benak
Ryo. Enam tahun yang lalu setelah upacara kelulusan sekolah menengah
pertamanya.
"New York?!" Maya berteriak dengan
wajah memandang horor pada dua pria yang duduk di hadapannya. Seolah keduanya
adalah monster berkepala dua yang siap menerkamnya kapan saja. Nyatanya, ucapan
kedua pria itulah yang membuatnya bereaksi seperti itu.
"Sudah ku katakan kalau Maya tidak akan
setuju," Masumi, suaminya, salah satu pria yang dipandangi Maya dengan
tatapan horor itu menggeleng seraya menatap tajam pria yang duduk di
sebelahnya.
"Ck, seperti aku akan terkejut saja,"
sahutnya santai, "ini demi masa depan Ryo, Maya," katanya kemudian.
"Christ! Dia putraku satu-satunya dan kau
mau menjauhkannya dariku!" Bentak Maya yang kini mulai menampakkan
kekesalannya atas keputusan semena-mena dua pria yang sangat berpengaruh dalam
hidupnya itu.
"Ini juga-,"
"Tidak!" Potong Maya atas pembelaan
yang akan dikatakan Christ, Christian Anderson, kakaknya. Kini pandangan Maya
beralih pada suaminya.
"Kau juga berpikir untuk mengirim putraku
ke luar negeri?!" Tanya Maya dengan nada tak percaya. Istri Masumi itu
bahkan sudah berdiri dari sofa tempatnya duduk tadi dan berkacak pinggang
menatap suaminya.
"Putra kita," koreksi Masumi
mengabaikan kekesalan istrinya. Dia sudah sangat mengerti akan konsekuensi dari
keputusannya. Sejujurnya hal ini juga berat baginya sebagai seorang ayah tapi
permintaan dari putra semata wayangnya itu sungguh tidak bisa ditolaknya.
"Kau tidak akan mengirimnya ke New York
kalau kau memang menganggapnya putra kita!" Bentak Maya lagi.
Oke, Masumi akan ingat bahwa Maya bahkan bisa
lebih mengerikan dari seekor beruang jika menyangkut masalah Ryo dan pemikiran
Maya yang kadang menggelikan itu memang kadang tidak bisa dimengerti. Bagaimana
mungkin Ryo akan berhenti menjadi anaknya hanya karena Masumi mengijinkannya
untuk bersekolah di New York demi masa depannya?
"Dasar aktris! Kau terlalu berlebihan
Maya. Kau pikir anakmu akan terlantar disana?" Christ mulai jengah dengan
sifat overprotective adiknya -meski dia juga seperti itu-.
"Tapi kan-,"
"Ingat dulu? Kau bahkan datang ke New York
seorang diri dan nyatanya kau masih hidup sampai sekarang," Christ tidak
memberikan celah untuk Maya berkilah, "Dia akan tinggal bersama grandma
dan grandpa-nya atau denganku. Kau bisa pilih," lanjut Christ.
Maya kembali duduk dengan kasar di sofa,
melipat kedua tangannya di depan dada, kesal, ya Maya sangat kesal.
Masumi beranjak dan berpindah duduk di sebelah
istrinya, "Sayang, kau pikir aku rela melepasnya begitu saja?" Masumi
mengusap lembut punggung istrinya, mencoba meredakan kekesalan Maya dan
membuatnya mengerti.
"Kalau kau tidak rela kenapa kau harus
mengijinkannya?" Jawab Maya masih tidak terima.
Menghentikan belaiannya, Masumi meraih kedua
bahu Maya dan membuat istrinya itu bertatap muka dengannya, "Kau tahu kan
kalau aku tidak sanggup menolak keinginannya? Ini cita-citanya," terang
Masumi tenang.
Maya membuka mulutnya hanya untuk menutupnya
kembali. Dia tahu, tidak, dia mengerti. Maya lebih dari mengerti kalau Ryo,
putra semata wayangnya itu memiliki obsesi besar sebagai pewaris yang sempurna
untuk keluarganya tapi sebagai seorang ibu Maya tidak rela untuk melepas Ryo
pergi ke negeri jauh meski disana dia juga bersama dengan keluarganya.
"Masumi, aku...," lagi-lagi Maya tak
sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Sshh," Masumi segera merengkuh istri
mungilnya saat melihat butiran kristal jatuh dari sepasang mata bulat
kesayangannya, "aku mengerti sayang, aku mengerti," Masumi mencoba
menenangkan Maya yang mulai terisak dalam dekapannya.
Sepasang mata milik seorang pemuda yang sejak
tadi mengawasi melalui celah pintu tampak terpejam untuk sesaat dan terbuka
kembali diiringi dengan helaan napas panjang. Pemilik iris coklat itupun
memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja yang tampak tegang dengan isakan
lirih terdengar dari wanita yang adalah ibunya.
"Ibu, maafkan aku karena membuatmu sedih
seperti ini," Ryo, pemuda tampan berusia empat belas tahun, putra tunggal
keluarga Hayami, permata kesayangan Maya dan Masumi, tampak membungkukkan
tubuhnya penuh hormat di hadapan kedua orang tuanya.
Masumi melepaskan pelukannya ketika Maya
menegakkan tubuhnya, menatap sendu putranya. Mayapun merentangkan kedua
tangannya, meminta putranya masuk dalam dekapannya. Ryo tak perlu menunggu
perintah terucap, dia menghampiri ibunya dan membiarkan dirinya dipeluk seerat
mungkin. Sungguh membuat ibunya bersedih bukanlah hal yang disukainya tapi ada
tanggung jawab yang harus diembannya sekarang. Ryo sungguh merasa durhaka
karena harus membuat ibunya meneteskan air mata karenanya tapi dia akan lebih
merasa durhaka lagi jika tidak sanggup memenuhi tugasnya sebagai pewaris
keluarga.
"Ibu, aku-,"
"Ibu mengerti," lirih Maya kemudian,
membuat Ryo menghentikan ucapannya.
"Ibu mengerti," ucap Maya dengan
suara yang lebih jelas, masih belum melepaskan pelukannya dan kepala Ryo masih
bersandar di bahunya. Dengan penuh sayang Maya mengusap punggung putranya.
Sesaat ketika mata Ryo bersitatap dengan dua pasang mata milik paman dan
ayahnya dari balik punggung ibunya, Ryo merasakan kelegaan terpancar di sana.
Dia mengerti. Ryo mengerti. Ibunya mengerti.
"Ibu pasti akan merindukanmu," kata
Maya kemudian, suaranya pecah di akhir kalimat, "kau harus berjanji untuk
menjaga dirimu dengan baik. Turuti apa yang dikatakan grandma dan granpa juga uncle dan aunty-mu. Berjanjilah untuk rajin menelepon ibu, belajarlah yang
rajin dan buat kami bangga, sayang," kalimat panjang Maya diucapkan dengan
nada bergetar manahan tangis.
Seketika kelegaan menjalari hati Ryo, dia bisa
pergi dengan tenang, "Ya bu."
Ryo menjauhkan dirinya dari pelukan Maya,
menangkup wajah ibunya dengan kedua tangannya dan mengecup kening Maya dengan
sayang. Hal yang selalu dilakukan Maya bahkan sampai usianya remaja sekarang
ini.
"Aku menyayangi ibu dan aku berjanji akan
membuatmu bangga padaku," ucapnya kemudian. Dan Ryo hampir meledak dalam
tawa ketika melihat wajah ayahnya yang sepertinya terkejut -juga cemburu dan
tidak suka- dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Jangan konyol Masumi, dia putramu!"
Christ mendengus geli melihat ekspresi Masumi yang terbaca jelas yang langsung
saja membuat Ryo tak sanggup menahan tawanya sementara Maya tampak bingung
dengan perubahan suasana yang mendadak itu dan memandang tiga pria tercintanya
bergantian.
"Ada apa?"
"Jangan lakukan lagi," gumam Masumi
seraya memijit pangkal hidungnya dengan kesal.
"Heh?!" Maya semakin bingung, Ryo dan
Christ semakin terbahak.
Ryo terkekeh tanpa sadar, baru berhenti ketika
matanya bertemu pandang dengan iris gelap milik supir taksi dari kaca spion
tengah.
"Maaf, hanya teringat sesuatu yang
lucu," Ryo memberi alasan atas sikap konyolnya, sungguh tidak mau dianggap
gila oleh pria paruh baya yang masih terus menatapnya.
Ya, begitulah awal mulanya dia pergi
meninggalkan Jepang menuju New York. Ryo melanjutkan sekolah menengah atasnya
di New York dan dengan begitu membanggakannya, Ryo menyelesaikan sekolahnya
hanya dalam waktu dua tahun dengan program akselerasi.
Setelah itu, Ryo melanjutkan kuliahnya di
Harvard University. Empat tahun waktu yang dibutuhkannya untuk mendapatkan
gelar BBA nya. Lulus di usia dua puluh tahun dengan predikat cumlaud dan IPK
yang nyaris sempurna membuatnya merasa tidak sia-sia meninggalkan Jepang selama
enam tahun.
Jangan katakan Ryo tidak rindu negaranya, hanya
saja ternyata kesibukannya belajar membuat semua berada di luar prediksinya.
Ryo sama sekali tidak punya waktu untuk berkunjung ke kota kelahirannya. Kedua
orang tuanyalah yang harus mengalah mengunjunginya di New York pada sela-sela
waktu sibuk mereka. Salahkan juga pamannya, Christ dan kakeknya, Michael, yang
membuat waktu bebasnya semakin sempit dengan semua pembelajaran juga praktek
nyata mengenai perusahaan yang mereka berikan di luar jam kuliahnya.
Hari ini, setelah semua perjuangannya, Ryo
kembali dengan membawa gelar yang baru diperolehnya satu bulan yang lalu.
Dirinya sudah merasa siap untuk mulai menjalankan tugasnya sebagai putra
tunggal Hayami. Kepulangannya ini juga merupakan hadiah kejutan untuk kedua orang
tuanya terutama ibu tersayangnya. Meski belum lama mereka baru bertemu yaitu
saat acara wisudanya dari Harvard tapi tetap saja Ryo sangat merindukan ibu
mungilnya itu. Ya sampai kapanpun dirinya akan tetap menjadi putra yang manja
dihadapan Maya dan tentu bagi seorang Maya -berapapun usia Ryo- putranya itu
tetaplah malaikat mungil dihadapannya.
"Sudah sampai Tuan,"
Kalimat sang supir taksi lagi-lagi menghentikan
lamunan Ryo. Mengulas sebuah senyum seraya mengulurkan sejumlah uang sesuai
dengan harga yang tertera di argo, Ryo keluar dari taksi dengan sebelumnya
mengucapkan terima kasih.
"Maaf,"
Ryo yang sudah menjinjing kopernya berhenti
melangkah dan menoleh pada supir taksi yang menatapnya penuh harap melalui
jendela pintu taksi yang terbuka.
"Ya paman?" Tanya Ryo sopan.
"Ng, apa tuan adalah kerabat Maya Hayami?
Aktris terkenal itu," sang supir taksi bertanya dengan nada ragu di awal,
namun penuh penekanan di akhir kalimatnya.
Ryo terkekeh pelan, "Apa menurut paman saya seperti kerabatnya?"
Ryo terkekeh pelan, "Apa menurut paman saya seperti kerabatnya?"
Pria paruh baya itu mengendikkan bahunya,
"Mungkin, tapi anda mirip dengan suami Maya, hhmmm, tuan Hayami,"
ucapnya ragu.
Ryo cukup terkejut saat mendengar bahwa seorang
supir taksi bahkan memperhatikan keluarganya sedetail itu. Kalau masalah ibunya
dia tidak heran dengan kepopulerannya tapi ternyata ayahnya juga tak kalah
populer di usianya yang bahkan sudah setengah abad itu. Ryo jadi ingin melihat
cermin sekarang dan membandingkan kemiripannya dengan sang ayah.
Sadar dari khayalan konyolnya, Ryo kembali
fokus pada supir taksi yang masih menatapnya penasaran.
"Tidak heran kalau saya mirip dengan ayah saya kan paman?" Kata Ryo kemudian.
"Tidak heran kalau saya mirip dengan ayah saya kan paman?" Kata Ryo kemudian.
Sesaat sang supir taksi tampak terkejut tapi
kemudian dia tersenyum lebar, "Sudah saya duga," gumamnya. Pria paruh
baya itu kemudian mengangguk senang sebelum akhirnya mengucapkan salam dan
terima kasih juga disisipi dengan sedikit pesan untuk sang ibu yang adalah
aktris idolanya.
Ryo hanya menggeleng pelan begitu taksi pergi
menjauh dengan senyum masih menghiasi wajah tampannya. Tangan Ryo terulur
menekan tombol interkom di pintu gerbang mansion Hayami.
"Kediaman Hayami, ada yang bisa saya
bantu?" Sapa suara yang terdengar dari kotak berwarna hitam itu.
Ryo masih mengenali pemilik suara itu,
"Ini aku bibi Naoko, tolong buka gerbangnya."
"HAH?! TUAN MUDA!!!"
Dan Ryo yakin kalau pengasuhnya itu sudah
melihat layar cctv untuk memastikan perkataannya.
***
***
Setelah tadi membuat heboh para pelayan dengan
kedatangannya, sekarang Ryo dengan tenang bisa menikmati kembali nuansa hangat
tempat kesayangannya. Para pelayan sudah dimintanya tutup mulut mengenai
kedatangannya pada kedua orang tuanya. Ryo berjalan dengan santai menyusuri
koridor mansion mewahnya. Memuaskan kerinduannya akan tempat bermain masa
kecilnya. Setiap ruangan di dalam rumah besar itu menyimpan beribu kenangan
indah dalam benaknya. Langkah Ryo berhenti di halaman belakang rumah yang
dipenuhi dengan bunga mawar ungu. Bunga penuh sejarah itu membuat Ryo kembali
tersenyum.
"Tuan muda tidak istirahat?" Tanya
Naoko yang tanpa disadari oleh Ryo sudah berdiri di belakangnya.
"Nanti saja Bi," jawab Ryo sopan.
Jujur, sebenarnya dia mengantuk, ditambah dengan jetlag akibat penerbangan
panjangnya cukup membuat kepalanya sedikit berdenyut tidak nyaman. Tapi tidak,
Ryo tidak ingin tidur sekarang. Dia masih ingin memberikan kejutan untuk ayah
dan ibunya.
"Bisa tolong buatkan aku segelas jus jeruk
Bi?" Pintanya kemudian.
"Tentu tuan muda," dengan langkah
senang Naoko, yang telah menggantikan Bibi Harada sebagai kepala pelayan rumah
tangga, segera berlalu untuk membuatkan permintaan Ryo.
Sedangkan Ryo sendiri berjalan menapaki halaman
berumput dan duduk di ayunan kesayangan ibunya, menikmati hembusan angin musim
gugur yang menerpa wajahnya. Belum lama Ryo menikmati
kesendiriannya dalam tenang, Naoko datang dengan membawa nampan berisi jus
jeruk kesukaannya. Setidaknya itu mampu membuatnya lebih segar.
"Terima kasih," ucap Ryo.
Naoko segera undur diri saat mengerti bahwa
tuan mudanya tak ingin diganggu. Menjadi pengasuh Ryo saat kecil membuatnya
hapal tabiat tuan muda Hayami itu.
Meneguk setengah gelas jusnya sekaligus, sebuah
memori tiba-tiba muncul dalam pikiran Ryo. Keningnya berkerut dengan ekspresi
wajah tak senang.
Sepuluh tahun lalu.
Ryo yang saat itu duduk di kelas lima sekolah
dasar tampak begitu khawatir berjalan bolak-balik di depan pintu kamar ke dua
orang tuanya. Siang itu, dirinya baru saja pulang sekolah ketika Naoko
menyampaikan sebuah berita mengejutkan. Ibunya sakit dan Ryo langsung panik.
Terang saja dia khawatir dengan keadaan ibu tersayangnya dan kekhawatirannya
itu semakin berlipat ganda saat ayahnya dan dokter tidak mengijinkan dirinya
masuk ke kamar untuk melihat kondisi sang ibu.
Bibir Ryo tak berhenti bergerak merapal doa
untuk kesembuhan ibunya seiring kakinya yang tak berhenti melangkah
berputar-putar. Lima belas menit terasa seabad untuk Ryo dan ketika pintu
terbuka keningnya berkerut melihat ekspresi girang ayahnya.
"Bagaimana kea-,"
"Ibu baik-baik saja," potong Masumi
semangat -terlalu semangat menurut Ryo-.
Bukankah ibunya sakit? Ryo bertanya-tanya dalam
hatinya.
"Selamat Ryo, kau akan menjadi seorang
kakak!" Seru Masumi kemudian yang langsung memeluk putranya.
Ryo menganga karena terkejut dan matanya
berkedip beberapa kali menatap wajah ibunya yang duduk bersandar di tempat tidur
dari atas bahu ayahnya. Tersenyum, ibunya tersenyum. Dan senyum itu menular.
Ryo melepaskan diri dari pelukan ayahnya, mengucapkan selamat untuk ayahnya dan
berlari memeluk ibunya dengan perasaan haru yang membuncah. Dia akan memiliki
adik. Ryo terus merapal ucapan syukur kepada Tuhan diiringi tawa bahagia kedua
orang tuanya.
Senyum Ryo terulas tipis untuk sesaat. Kenangan
yang indah. Ryo bahkan masih ingat betapa bahagianya dia saat itu. Setelah
penantian panjangnya, akhirnya doanya terkabul, dia akan memiliki seorang adik,
perempuan kalau dia boleh memilih.
Namun ada kalanya manusia harus belajar
menerima takdir dalam hidup mereka. Apa yang dibayangkan indah di awal tak
pernah seindah kenyataannya.
Maya, diusianya yang ke tiga puluh tiga tahun,
mengandung untuk yang ketiga kalinya. Bukan faktor usia yang menjadi masalah
dalam kehamilannya tapi kondisi fisiklah penyebabnya. Ryo tahu kalau ibunya
pernah dua kali menelan racun yang hampir merenggut nyawanya. Sebuah keajaiban
ketika Tuhan mengijinkan Ryo terlahir ke dunia. Namun kali ini ternyata tidak
ada keajaiban itu.
Ryo menghela napas panjang, masih teringat
jelas dalam memorinya ketika dirinya dan sang ayah berlari menyusuri koridor
rumah sakit, mengabaikan semua peringatan perawat yang melarang mereka untuk
berlari. Sore itu, Ryo dan Masumi berada di tengah rapat bulanan rutin di
gedung Daito sebelum Mizuki menginterupsi rapat dan membawa berita mengejutkan.
Nyonya
Maya mengalami pendarahan dan sekarang sedang di bawa ke rumah sakit bersama
Rose dan Alex.
Bagai petir di siang bolong, semua fokus ayah
dan anak itu segera teralihkan. Masa bodoh dengan rapat dan tetek bengeknya.
Keduanya segera berlari keluar ruang rapat menuju rumah sakit dan bersyukur
Masumi memiliki sekretaris hebat seperti Mizuki yang segera mengambil alih
semuanya.
Ryo dan Masumi tampak begitu panik di depan
ruang emergency room ditemani oleh Rose dan Alex, menejer dan pengawal pribadi
Maya. Seorang dokter yang muncul dari balik pintu ganda langsung disambut
rentetan pertanyaan ayah dan anak itu.
"Maaf Tuan Hayami, kami tidak bisa menyelamatkan calon bayi anda. Janinnya sudah meninggal dan anda harus menanda tangani surat pernyataan ini agar kami dapat segera melakukan operasi untuk mengangkat janinnya. Kondisi Nyonya Maya akan semakin memburuk jika kita tidak segera melakukan operasi," terang dokter Amamiya, spesialis kandungan yang selama ini menangani kehamilan Maya.
"Maaf Tuan Hayami, kami tidak bisa menyelamatkan calon bayi anda. Janinnya sudah meninggal dan anda harus menanda tangani surat pernyataan ini agar kami dapat segera melakukan operasi untuk mengangkat janinnya. Kondisi Nyonya Maya akan semakin memburuk jika kita tidak segera melakukan operasi," terang dokter Amamiya, spesialis kandungan yang selama ini menangani kehamilan Maya.
Dokter wanita itu jelas tahu riwayat kesehatan
pasiennya dan kondisi ini sudah diprediksinya sejak awal. Meski sempat senang
karena Maya berhasil melewati trimester kedua kehamilannya dan memiliki harapan
untuk melahirkan anak kedua namun ternyata semuanya harus pupus saat usia
kandungan Maya memasuki bulan ke tujuh. Maya mengalami pendarahan dan calon
bayinya tidak bisa bertahan. Dengan berat hati Masumi menandatangani surat
pernyataan operasi dan berharap yang terbaik untuk keselamatan sang istri.
Hati Ryo seakan tercabik begitu melihat sang
ibu terbaring pucat di atas strecher yang membawanya ke ruang operasi. Sia-sia sudah
perjuangan ibunya selama tujuh bulan ini menahan sakit. Bukannya Ryo tidak tahu
jika Maya terus berusaha kuat selama kehamilannya. Semua anjuran dokter
dilaksanakannya dengan baik. Bedrest dan tidak melakukan kegiatan apapun.
Keseharian Maya hanya berputar pada rumah dan rumah sakit. Ryo dan Masumi pun
sekuat tenaga memberikan dukungan dan kekuatan untuk wanita yang mereka kasihi.
Namun sekali lagi Tuhan menyatakan bahwa Dia lah yang memiliki wewenang mutlak.
Bahkan hal terburuk harus dihadapi Maya ketika akhirnya rahimnya harus diangkat
bersama dengan janinnya yang meninggal.
Ryo semakin miris ketika melihat sang ayah
sempat menangis saat melihat janin yang sudah tumbuh sempurna itu tidur dalam
damai di dalam balutan selimut hijau tanpa sempat melihat indahnya dunia.
Sebuah kecupan di kening menghantar sang calon adik itu menuju tempat
peristirahatan abadinya.
Tegukan kasar membuat Ryo menghabiskan sisa jus
jeruk di dalam gelasnya. Itu adalah memori kelam yang cukup membuatnya trauma.
Tidak pernah diharapkannya lagi dia melihat sosok kedua orang tuanya tampak
rapuh dan tak berdaya.
Melirik jam tangan yang melingkar di
pergelangan tangannya, Ryo merasa sudah membuang banyak waktu karena
memori-memori masa lalunya yang tiba-tiba saja melayang-layang di dalam
kepalanya. Diapun beranjak dari ayunan dan melangkahkan kaki kembali ke dalam
rumah.
Tujuan selanjutnya, Gedung Daito.
***
***
Tak jauh beda dengan yang dialaminya di bandara
pagi tadi. Tatapan penuh kekaguman tertuju padanya. Bedanya, kali ini Ryo
menebar senyum dan anggukan kepala untuk membalas beberapa sapaan dan salam
hormat yang di berikan oleh beberapa karyawan yang mengenalinya.
Jangan heran, bentuk fisiknya yang merupakan
duplikat sang ayah membuat semua orang di Gedung Daito itu langsung bisa mengenali
Ryo meski dirinya tak muncul selama enam tahun. Kalau boleh dibilang Gedung
Daito juga merupakan tempat 'bermainnya' sewaktu kecil jadi wajahnya tentu tak
asing lagi.
Bisik-bisik karyawan perempuan terdengar
seperti dengungan lebah di telinga Ryo dan dia mengabaikannya. Ketika pintu
lift lobi terbuka, Ryo segera menghilang menuju lantai dimana ruangan ayahnya
berada.
Suara ping keras diiringin pintu yang terbuka
mengantar kaki Ryo keluar dari lift. Sejenak matanya menyapu sekitar ruang
tempatnya berdiri. Tidak banyak berubah -menurutnya-, Ryo pun berjalan santai
menuju ruangan kerja Masumi.
Mizuki, ehem, lebih tepatnya Nyonya Saeko
Hijiri hampir menjatuhkan tumpukan dokumen dalam rengkuhan lengannya ketika
melihat seorang pemuda tampan masuk ke ruang kerjanya yang berada di depan
ruang kerja Masumi.
"Astaga Ryo!" Pekiknya tak percaya,
"Kau hampir membuatku terkena serangan jantung," gerutu Saeko
kemudian yang langsung berkacak pinggang setelah meletakkan dokumen di meja
kerjanya.
Ryo tertawa renyah meski dengan volume rendah,
takut ayahnya mendengar, "Aku merindukanmu Bibi Saeko."
Sebuah pelukan hangat merubah suasana hati
Saeko. Pemuda yang sudah dianggap anak olehnya itu memang tak berubah, masih
saja suka mengerjainya. Entah darimana sifat itu berasal mengingat betapa
dinginnya sosok sang ayah yang Saeko kenal.
"Kapan kau kembali?" Tanya Saeko
begitu pelukan mereka terlepas.
"Pagi tadi," jawab Ryo singkat.
Saeko menautkan alis dan memandang Ryo dengan
mata menyipit, "Tuan Masumi tidak mengatakan apapun padaku tentang
kedatanganmu. Jangan bilang kalau kau-,"
"Kejutan!" Jawab Ryo semangat yang
ditanggapi sebuah gelengan oleh Mizuki.
Ryo terkekeh senang, "Apa ayah sedang
sibuk?" Tanyanya kemudian.
Saeko menghela napas, "Apa ayahmu pernah
tidak sibuk?"
"Ah ya, Bibi benar," Ryo mengangguk
setuju.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Saeko
guna melancarkan rencana kejutan Ryo untuk Masumi. Diapun berjalan memutari
meja kerjanya dan mengambil setumpuk dokumen dari sisi lain mejanya. Ryo
menatap heran saat Saeko memberikan tumpukan dokumen itu padanya.
"Masuklah, pasti menyenangkan melihatnya
terkejut," Saeko memberikan senyum miring terbaiknya yang ditanggapi
kekehan ringan Ryo. Tanpa banyak kata lagi, Ryo segera masuk ke ruangan Masumi
dengan sebelumnya mengetuk pintu dua kali. Seruan masuk dari dalam membuatnya
melangkahkan kaki menuju tempat ayahnya berada hingga kakinya berhenti di depan
meja kerja Masumi.
Masumi bahkan tak mengangkat wajahnya sama
sekali dan masih tampak serius membaca dokumen di pangkuannya.
"Letakkan dokumen yang ku minta di meja
Saeko dan buatkan aku kopi," perintah Masumi lagi-lagi tanpa mengangkat
kepalanya.
Ryo menggeleng melihat ayahnya yang sama sekali
tidak berubah. Diusianya yang menuju lima puluh lima tahun, Masumi sama sekali
tidak kehilangan kharismanya. Garis wajah yang tegas dengan ketampanan yang tak
berkurang dan gaya elegan yang menawan, semuanya itu membuatnya masih tampak
mempesona. Bahkan sikapnya juga sama sekali tak berubah, si dingin yang gila
kerja. Predikat itu memang pantas menjadi gelar abadinya melihat bahkan saat
ini Masumi tak melepas fokusnya pada pekerjaan meski untuk bertatap muka dengan
sekretaris -setidaknya itu yang dikiranya-.
Merasa tidak ada respon dari Saeko untuk
melakukan perintahnya, Masumi pun mengalihkan perhatiannya hingga akhirnya-
"Kenapa- KAU!"
-kedua matanya membulat terkejut dan seketika
berdiri dari kursi kerjanya. Tidak peduli dengan dokumen kerjanya yang jatuh ke
lantai.
"Selamat siang, ayah," sapa Ryo
santai. Sungguh bakat akting Maya sepenuhnya menurun pada putra semata
wayangnya, hingga dia bisa memberikan wajah tenang dengan senyum lebar ketika
ayahnya bahkan hampir terkena serangan jantung.
"Astaga Ryo!" Masumi berjalan
memutari meja kerjanya.
Ryo yang baru saja meletakkan dokumen yang
dibawanya ke meja langsung menerima pelukan ayahnya. Hanya sebentar, karena
setelah itu sebuah pukulan di belakang kepala Ryo membuatnya mengaduh. Oh,
keduanya sama-sama terlihat tidak elit.
"Begitukah sopan santunmu menemui
ayahmu?!" Seru Masumi kesal. Hei, dia sudah kepala lima sekarang, siapa
yang bisa menjamin jantungnya kuat jika harus menerima syok terapi. Tentunya
Masumi masih ingin sehat dan berumur panjang agar bisa terus menemani istri
mungilnya yang sebelas tahun lebih muda darinya itu.
"Aku hanya ingin memberi kejutan
Ayah," jawab Ryo tanpa dosa seraya mengusap-usap belakang kepalanya.
"Ah ya, dan kau berhasil anak muda. Tunggu
sampai ibumu memberimu hukuman karena pulang tanpa memberi kabar lebih
dulu," ucap Masumi dengan nada sarkasme. Sepertinya Masumi cukup kesal
dikerjai oleh putranya.
Ryo tertawa renyah, "Ibu tidak akan
menghukumku, percayalah ayah," ucapnya penuh percaya diri.
Ah ya, Masumi tahu anaknya benar. Bahkan dalam
pikiran mereka sudah membayangkan hal yang sama, Maya dengan mata bulat berurai
air mata.
Masumi menghela napas, meredam emosinya,
"Ya kau benar," katanya mengakui.
Ryo tersenyum makin lebar namun sesaat kemudian
wajahnya berubah serius.
"Aku pulang Ayah, mohon bimbingannya mulai
saat ini," ucap Ryo seraya membungkuk hormat.
Masumi tersenyum tipis melihat putranya, "Selamat datang Ryo."
***
Masumi tersenyum tipis melihat putranya, "Selamat datang Ryo."
***
Sekolah akting Niji.
"Mayu, ulangi lagi! Kau harus mengerti apa
yang dirasakan oleh Juliet untuk bisa menghidupkan karakternya! Drama bukan
tentang menghapal naskah!"
"Ba-baik Bu Guru," jawab seorang
siswa yang dipanggil Mayu. Gadis muda berambut panjang itupun kembali mengulang
dialognya sesuai dengan apa yang diarahkan oleh gurunya.
"Ugh, Ibu Maya semakin keras saja,"
bisik seorang siswa yang mengeluh pada temannya.
"Sstt, jangan bicara sembarangan. Beliau
ingin yang terbaik untuk kita. Dari yang ku dengar, dulu guru yang mengajar Ibu
Maya jauh lebih keras," balas sang teman dengan suara bisikan yang sama
lirihnya.
"Rin! Sakura! Bukan waktunya mengobrol!
Cepat latihan!" Suara Maya kembali menggema di studio yang merupakan ruang
kelas aktingnya.
Kedua siswi tadi berjenggit takut dan segera
berlatih sesuai dengan materi yang diberikan. Tidak ada lagi yang bermain-main,
semuanya fokus pada pengarahan Maya.
Dari luar studio, dua orang wanita tengah
tersenyum melihat bagaimana sahabat mereka sekaligus guru dan pemilik sekolah
itu mengajar.
"Kau lihat Rei, Maya semakin mirip dengan Bu
Mayuko jika sedang mengajar."
"Ya kau benar Mina. Entah dari mana sifat
galaknya itu lahir. Setahuku dia hanya bisa galak pada suaminya tapi semakin
dewasa karakternya semakin mirip guru kita."
Rei dan Mina bertukar pandang lalu tertawa
bersamaan. Dalam pikiran mereka membayangkan bagaimana dulu Maya sering
bertengkar dengan suaminya, Masumi, sungguh menggelikan jika mengingat sekarang
keduanya justru menjadi pasangan yang tidak terpisahkan. Keduanya berjalan
meninggalkan depan kelas Maya sambil terus berbagi cerita.
Kesenangan dua sahabat lama itu harus berhenti
dengan suara sapaan yang terdengar begitu familiar. Keduanya berbalik dan harus
terpaku beberapa saat ketika melihat siapa yang datang.
"Eh? Kau-," Rei mengatupkan bibirnya
dengan jari menunjuk ke depan. Lupa akan sopan santun yang seharusnya
ditunjukkannya sebagai salah seorang guru di hadapan suami sahabatnya.
"Ryo!" Kalimat Rei diteruskan Mina
dengan pekikan yang cukup keras. Sosok yang menjadi alasan keterkejutan kedua
guru itupun hanya terkekeh sementara Masumi hanya mengulum senyum tipis,
membiarkan kedua sahabat istrinya itu memeluk putranya bergantian.
"Kau sudah besar," Mina tampak hampir
menangis karena terharu melihat keponakan yang sudah enam tahun tidak bertemu
dengannya.
"Tentu saja Bibi Mina," Ryo
tersenyum.
"Kau akan membuat ibumu marah Ryo,"
celetuk Rei kemudian. Jika dirinya saja begitu terkejut dengan kepulangan Ryo,
Rei tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Maya mengingat sahabatnya itu
sempat mengeluh karena Ryo tidak juga mau pulang meski sudah menyelesaikan
studinya.
"Ya kurasa akan menyenangkan jika
sekali-kali bisa melihat ibu marah Bibi Rei," canda Ryo.
Masumi, Rei dan Mina hanya bisa menggeleng
melihat sikap Ryo.
"Sebaiknya kita menunggu di ruangan ibumu.
Aku tidak mau membuat keributan dikoridor," kata Masumi kemudian.
Rei dan Mina mengangguk membenarkan.
"Sebentar lagi kelas akan selesai. Aku
akan memberitahu Maya untuk segera ke ruangannya setelah mengajar nanti,"
kata Rei.
"Terima kasih Rei, Mina. Ayo Ryo."
Masumi melangkahkan kakinya lebih dulu dan Ryo segera mengikuti setelah
berpamitan pada kedua bibinya.
Benar saja, sepuluh menit kemudian suara bel
berdentang di sepanjang koridor kelas. Beberapa guru tampak keluar dari kelas
dan studio masing-masing, tidak terkecuali Maya. Para guru yang berpapasan
dengannya mengangguk hormat, begitu juga para siswa mulai berhamburan keluar
kelas. Maya adalah sosok yang sangat dihormati. Bukan hanya karena dia aktris
Internasiol yang hebat, seorang guru ataupun pemilik sekolah, tapi memang
karena Maya adalah sosok yang memang layak dihormati. Kerja kerasnya di dunia
akting menjadi teladan bagi para entertaint muda di bidang drama dan juga
perfilman.
Maya sedang berjalan menuju studio tari ketika
Rei dan Mina bertemu dengannya.
"Kau mau kemana?" Tanya Rei.
"Kelas Tari, ada yang harus aku bicarakan
dengan Tuan Iwaguchi," jawab Maya.
"Hmm, apa penting? Bisa kau tunda?"
Tanya Rei lagi.
Maya menautkan alis heran, "Ada apa? Aku
bisa membicarakannya nanti kalau memang ada yang lebih penting sekarang,"
jawab Maya.
"Apa kedatangan suamimu bisa dianggap
lebih penting?" Sekarang Mina yang bertanya dengan nada menggoda.
"Ah," Maya menghela napas, pipinya
merona. Entah mengapa meski sudah berusia kepala empat Maya masih saja merona
ketika digoda perihal suaminya, "Apa Masumi datang?" Tanyanya
kemudian untuk mengalihkan rasa malunya.
"Iya, dia menunggu di ruanganmu,"
jawab Rei disertai dengan anggukan.
Maya tidak heran dengan kedatangan suaminya.
Masumi memang sering berkunjung secara tiba-tiba di sela-sela waktu sibuknya.
Mayapun melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
"Mungkin dia mau mengajakku makan
siang," gumam Maya kemudian.
"Mungkin," Mina menimpali gumaman
Maya yang terdengar olehnya.
"Baiklah, aku pergi dulu. Terima
kasih," Maya berlalu dari hadapan kedua sahabatnya yang kini tersenyum
lebar. Kepolosan Maya membuatnya sama sekali tidak curiga dengan sikap tidak
biasa Rei dan Mina. Setelah Maya tak terlihat, Rei dan Mina tertawa bersamaan,
membayangkan teriakan Maya yang sebentar lagi akan menggema di ruang kerjanya.
***
***
"Halo sayang," Maya mengembangkan
senyumnya begitu melihat Masumi sudah duduk manis di sofa tamu di ruang
kerjanya.
Masumi hanya membalas sapaan istrinya dengan
senyum menawan andalannya. Diapun berdiri dan merentangkan tangannya. Maya yang
mengerti akan bahasa tubuh suaminya langsung memeluk mesra Masumi. Sebuah
kecupan mendarat di puncak kepalanya.
"Kelasmu sudah selesai?" Tanya Masumi
basa-basi.
"Hhmm," Maya mengangguk dalam pelukan
Masumi. Maya menarik diri dari dekapan lengan Masumi lalu duduk di sofa,
diikuti oleh Masumi disebelahnya, "Sudah lama menungguku?"
"Hanya lima belas menit," jawab
Masumi yang kembali menyandarkan lengannya di bahu istrinya.
"Apa kau akan mengajakku makan
siang?" Tanya Maya.
"Tidak," jawab Masumi santai.
Maya mengangkat wajahnya, menatap Masumi dengan
alis bertaut, "Tidak?"
Masumi mengangguk, "Ya, tidak."
"Kau sudah makan siang?" Tanya Maya
lagi.
"Belum tapi aku datang bukan untuk itu.
Aku ingin memberimu hadiah kejutan."
"Aku tidak ulang tahun hari ini. Kejutan
untuk apa?"
Masumi langsung tertawa mendengar kalimat polos
istrinya. Bahkan diusianya yang ke empat puluh empat tahun, Maya masih saja
sepolos gadis kecil.
"Apa membuat kejutan hanya boleh saat
ulang tahun saja?"
"Tidak juga, hanya saja aku tidak merasa
ada hal yang istimewa sampai kau memberiku hadiah kejutan," Maya
beralasan.
"Tidak perlu memilih hari istrimewa untuk
memberikan sesuatu yang istimewa pada seseorang yang sangat istimewa,"
Masumi bercanda dengan menekankan setiap kata istimewa dalam perkataannya.
"Ah, kau membuatku semakin
penasaran," Maya mulai merasa aneh dengan gaya basa-basi Masumi.
"Baiklah sayang, sekarang tutup
matamu," perintah Masumi seraya memutar tubuh Maya menghadap pintu masuk
ruang kerjanya.
"Eh?!" Maya menoleh ke belakang,
menatap Masumi yang kini justru tersenyum jahil.
"Kau mau mengerjaiku ya?" Tebak Maya
yang sukses membaca raut wajah suaminya.
"Anggap saja begitu, sekarang berbalik dan
tutup matamu," perintah Masumi diiringi dengan telapak tangannya yang
menutup kedua mata Maya.
"Masumi," panggil Maya dengan nada
merengek karena tidak mau menjadi korban kejahilan suaminya.
"Tenang saja, kau pasti menyukainya,"
bujuk Masumi, "Masuklah," serunya kemudian.
Maya sedikit memiringkan kepalanya begitu
mendengar suara pintu terbuka.
"Maaf kalau kadonya tanpa pita merah
kesukaanmu," bisik Masumi di belakang telinga Maya. Bersamaan dengan itu
Masumi melepas telapak tangannya.
"Heh?!" Maya terkejut dan langsung
menangkup mulutnya yang hampir memekik.
"Aku pulang, Ibu," Ryo berdiri di
ambang pintu layaknya model tertampan majalah fashion. Senyumnya mengembang
begitu juga dengan kedua tangannya yang terentang.
"Ba-bagaimana...kau pulang?" Maya
benar-benar terkejut melihat putra semata wayangnya tiba-tiba berdiri di
depannya.
"Dengan pesawat tentu saja," jawab
Ryo santai dengan masih mempertahankan posenya, meminta pelukan dari sang ibu.
"Dasar anak nakal!" Bentak Maya namun
beberapa saat kemudian Maya berlari dan dengan wajah yang makin tersuruk di
dada bidang putranya ibu mungil itu terus saja menggerutu.
***
***
"Hah, terus saja kalian tertawa,"
Maya tampak kesal duduk di ujung sofa, menjauh dari anak dan suaminya yang
sejak tadi masih menertawakannya.
"Hei, aku sama sekali tidak tahu Maya. Aku
juga sama terkejutnya denganmu tadi," Masumi berkilah meski masih terkikik
geli karena istrinya merajuk.
"Ayah dan anak sama saja," Maya
menimpali perkataan suaminya.
"Maaf Bu. Aku hanya ingin membuat
kejutan," kali ini Ryo membela diri.
"Dengan membuat ibumu hampir terkena
serangan jantung?" Oh, katakan Maya berlebihan tapi sepertinya dia
benar-benar kesal dengan kepulangan Ryo yang tiba-tiba dan tanpa kabar itu.
Masumi memberi isyarat dengan matanya pada Ryo. Percayalah, Maya yang merajuk akan membuat ayah dan anak itu kelelahan.
Masumi memberi isyarat dengan matanya pada Ryo. Percayalah, Maya yang merajuk akan membuat ayah dan anak itu kelelahan.
Ryo beranjak dari sofa single tempatnya duduk
lalu berlutut di depan ibunya.
"Maaf," ucap Ryo dengan wajah lembut
dihiasi senyum, kedua tangannya menangkup kedua telapak tangan mungil Maya.
Masumi mengernyit melihat jurus yang
dilancarkan oleh putranya, itu adalah salah satu triknya untuk membujuk
istrinya ketika sedang marah. Like father like son? Dan ingatkan Masumi untuk
memarahi putranya itu karena saat ini dirinya merasa aneh melihat pemuda tampan
berlutut di depan istrinya. Konyol.
Maya masih menunjukkan wajah kesal meski itu tampak
palsu karena jelas terlihat cinta dan kerinduan yang besar di matanya.
Sebenarnya kenapa Maya marah? Hhmm, ibu dari pangeran Hayami itu ternyata sudah
berbulan-bulan membujuk putranya untuk kembali ke tanah air namun selalu
menerima jawaban yang sama, penolakan. Hei, Maya hanya memiliki seorang putra
dan wajar jika dia ingin sang pangerannya selalu berada di dekatnya mengingat
ambisi sang putra sudah membuatnya berjauhan selama enam tahun.
"Jangan pergi lagi ya," ekspresi Maya
melembut seiring genggaman tangan Ryo yang mengerat di atas pangkuannya.
Ryo menggeleng, "Aku akan menemani ibu
mulai sekarang," janjinya.
Maya mengembangkan senyumnya,
"Janji?" Tegasnya lagi dan konyolnya kali ini Maya mengangkat jari
kelingkingnya.
Ryo dan Masumi tertawa namun saat bibir Maya
kembali mengerucut keduanya terdiam. Ryo menautkan jari kelingkingnya dengan
masih menahan geli akan sikap ibunya. Sungguh sangat khas Maya.
"Aku berjanji," ucap Ryo.
Senyum Maya semakin mengembang, "Ayo
pulang, ibu akan adakan pesta untukmu," dengan antusias Maya menepuk kedua
tangannya.
"Pesta?" Ryo sedikit terkejut dengan
rencana ibunya.
Maya mengangguk mantap lalu beralih menatap
suaminya, "Masumi, aku ingin pesta yang besar," pintanya.
"Kau yakin?" Setahu Masumi, istrinya
itu tidak menyukai pesta besar tapi sekarang justru meminta pesta besar.
Maya mengangguk sekali lagi.
"Ibu, aku pikir tidak perlu sampai-,"
"Tidak," potong Maya cepat,
"Tidak ada penolakan anak nakal! Kali ini kau harus menurut pada
ibu." Tegas Maya kemudian, "Ibu ingin membuat pesta besar untuk
kepulanganmu."
Ryo bertukar pandang dengan ayahnya. Sebenarnya
Ryo tidak masalah dengan pesta atau semacamnya hanya saja dia malas jika
masalah kepulangannya akan menjadi sorotan media nantinya. Tapi sepertinya
menolak keinginan Maya saat ini bukanlah pilihan bijak.
"Masumi?" Maya meminta jawaban
suaminya.
Masumi yang masih menatap Ryo segera beralih
fokus pada istrinya, "Baiklah, apapun maumu," jawab Masumi.
"Yeayyy!" Maya memekik, sungguh Maya
masihlah sama seperti gadis kecil yang puluhan tahun lalu dikagumi oleh Masumi.
Bahkan diusianya yang berkepala empat saat ini, Maya sama sekali tidak
kehilangan pesona keluguan dan kepolosannya.
"Ibu akan mengundang semua aktris dan
relasi keluarga kita, meminta mereka datang dengan membawa anak-anak gadis yang
cantik," Maya berceloteh. Wajahnya berbinar membayangkan rencananya
terealisasi.
"Heh? Gadis cantik?" Ryo terkejut.
"Iya, ibu ingin kau mulai mencari calon
menantu untuk keluarga Hayami," jawab Maya tanpa dosa.
Masumi langsung terkekeh mendengar penuturan
istrinya sementara Ryo menekuk wajahnya, tidak setuju.
"Anakmu bahkan belum genap dua puluh tahun
Maya," kata Masumi.
"Ah! Iya!" Maya justru seperti
mendapat ilham dari perkataan suaminya, membuat Masumi dan Ryo penasaran akan
apa yang tengah dipikirkan oleh wanita terkasih mereka itu.
"Pestanya akan diadakan minggu depan.
Tepat pada hari ulang tahun kalian berdua, bagaimana? Baguskan
rencananya?" Maya memaksa Masumi mengangguk dengan jurus tatapan mata
polosnya.
"Apapun untukmu sayang,"
"Terserah ibu,"
Para pria dalam keluarga Hayami memang tidak
pernah bisa menolak titah seorang Maya.
"Baguslah! Sekarang kita pulang dan kau
berhutang cerita pada ibu."
Ya! Dan tidak ada kata tidak! Itulah arti dari
perintah Maya.
"Just for you Mom," Ryo mengecup
kedua tangan ibunya penuh sayang. Masumi mendengus kesal.
***
***
Seperti apa yang Maya inginkan, pesta besar
untuk menyambut kepulangan Ryo sekaligus perayaan ulang tahun Ryo dan Masumi
-yang kebetulan memang di tanggal yang sama- pun digelar. Malam itu taman
belakang kediaman Hayami menjadi tempat pesta yang meriah dengan banyak tamu
datang memenuhi undangan sang Nyonya rumah.
"Wah, benar-benar pesta yang meriah,"
gumam seorang pemuda tampan yang memakai setelah abu-abu dan memegang segelas
cocktail di tangan kirinya. Dia tengah tersenyum menatap Ryo yang berdiri di
depannya.
"Seperti kau tidak tahu ibuku saja. Meski
aneh rasanya, aku tidak bisa menolak," balas Ryo dengan suara menyerupai
gumamam karena takut perkataannya di dengar tamu lain, terutama ibunya.
"Aneh?" Pemuda itu menatap Ryo heran.
"Ck, kau ingat kapan terakhir kali aku
merayakan ulang tahunku dengan pesta sebesar ini Shou?"
"Ah, waktu umurmu sepuluh tahun?"
Tebak sang pemuda dengan senyum geli menghias bibirnya.
"Aku tidak alergi dengan pesta hanya saja
merayakan ulang tahun di usia sekarang, hhh," Ryo menghela napas panjang
lalu menyesap orange squash yang sejak tadi bertengger di tangan kanannya. Dia
tampak begitu menawan dengan balutan tuxedo hitam, bahkan pesonanya menyamai
sang ayah yang meski sudah berusia kepala lima masih saja tampak luar biasa.
Ryo terdiam lalu mengamati sekelilingnya.
Banyak tamu. Dia sedang menyendiri dengan sedikit menjauh dari kerumunan pesta
mengingat sejak tadi ibunya terus saja memperkenalkan para relasi keluarga dan
jangan lupakan termasuk para gadis yang hadir di pesta. Sayangnya Ryo hanya
mengingat sebagian kecilnya saja, tidak tertarik sama sekali. Hanya pesan dari
ayahnya lah yang diingatnya. Masumi berpesan untuk menggunakan kesempatan ini
sebagai ajang untuk mengenal relasi keluarga Hayami lebih lagi. Perhatian Ryo
pun kembali pada pemuda di depannya yang tadi dipanggilnya dengan nama Shou,
Shou Hijiri.
"Shou," panggilnya.
"Ya Tuan Muda," jawab Shou santai.
"Ck, jangan panggil aku dengan embel-embel
seperti itu."
Shou langsung tertawa mendengarnya. Dia tahu
Ryo tidak menyukai predikat tuan muda dalam panggilannya karena meski kedua
orang tua Shou bekerja di bawah keluarga Hayami, Ryo menganggap Shou sebagai
sahabat walaupun usia mereka terpaut dua tahun.
"Jangan marah, aku hanya bercanda. Kenapa
moodmu jelek sekali hari ini? Ini pestamu," gerutu Shou, yang kemudian
meneguk lagi coktailnya.
Lagi-lagi Ryo menghela napas panjang, "Ibu
berniat mencari menantu di pesta ini."
"Uhuk!" Shou sukses tersedak
coktailnya dan memandang sahabatnya seolah-olah sekarang Ryo makhluk aneh
berkepala dua, "Kau mau menikah?"
"Heh?! Enak saja, aku hanya mengatakan
ibuku ingin mencari menantu bukan mengatakan kalau aku ingin menikah,"
elak Ryo dengan kesal. Ya, ini adalah masalah yang selama seminggu terakhir dipikirkannya.
Entah darimana ide sang ibu itu hingga menginginkan dirinya yang bahkan baru
genap berusia dua puluh tahun untuk menikah.
"Aku mendengar ada yang mau menikah
disini."
Kalimat itu sukses membuat Ryo dan Shou menoleh
bersamaan ke arah sumber suara. Senyum keduanya mengembang begitu melihat
seorang gadis cantik berbalut gaun panjang berwarna biru dengan rambut ikal di
tata indah dengan hiasan manik-manik berkilau di sela-sela jalinan rumit
rambutnya.
"Bagaimana kabarmu Nona Hamill?" Ryo
membiarkan sang gadis memeluknya setelah memberikan ciuman di pipi.
"Tidak cukup baik mengingat sahabatku
mulai melupakanku," jawabnya dengan bibir mengerucut kesal.
Ryo dan Shou tertawa.
"Kau pantas marah Ellena, Tuan Muda kita
ini memang menyebalkan," celetuk Shou.
"Hhmm, benar Shou. Lulus dari Harvard di
usia muda, pewaris tunggal keluarga Hayami sekaligus cucu konglomerat Anderson,
ah, aku terkejut jika dia tidak besar kepala," gadis yang dipanggil Ellena
itu menyeringai tipis.
"Hei, aku tidak semenyebalkan itu,"
protes Ryo, "berhentilah menghakimiku dan kau juga jangan menambah masalah
Tuan Muda Hijiri."
Shou yang di serang telak oleh seniornya saat
sekolah menengah pertama dulu itu angkat tangan tanda menyerah, namun wajahnya
menyiratkan kalau dirinya menyukai ekspresi kesal sahabatnya.
"Wow, lama tinggal di negeri orang
membuatmu banyak berubah Tuan Muda Hayami," cibir Ellena lagi,
kekesalannya karena dilupakan oleh sang sahabat akan dibalasnya hari ini.
"Ayolah Ellena, kau dan mulut pedasmu itu,
merepotkan," kata Ryo yang mulai jengah, "Banyak hal yang harus aku
selesaikan kemarin. Lagipula aku hanya ingin memberikan kejutan untuk
ibu," Ryo kembali berkilah.
"Ya, ya, ya, apapun katamu Ryo. Yang jelas
aku masih marah," jawab Ellena. Gadis yang berusia sama dengan Ryo itu
masih saja menekuk wajahnya.
"Oke, oke, aku siap terima hukumannya.
Apapun itu asal kau jangan merajuk lagi padaku. Cukup ibu saja yang
marah," kata Ryo kemudian. Sepertinya melihat kaum hawa yang merajuk
adalah kelemahannya.
"Got you!" Ellena menyeringai senang,
"Apapun?" Sebelah alisnya terangkat dengan ekspresi yang sarat dengan
keraguan.
"Hhmm, itu maumu kan? Apapun," tegas
Ryo yang langsung di sambut tawa renyah Shou.
"Aku turut prihatin Tuan muda," goda
Shou. Dia jelas tahu bagaimana tabiat senior wanita sekaligus sahabatnya ini.
Ellena tidak akan meminta hal yang mudah untuk menghukum Ryo. Shou berhenti
tertawa saat menerima tatapan tajam Ryo, sang tuan muda itu sudah cukup kesal
dengan ide ibunya tanpa harus ditambah dengan tawa dan kejahilan para
sahabatnya.
"Sudah, sudah, sepertinya Bibi dan Paman
mencarimu Ryo," Shou mengerlingkan mata, menunjuk ke arah wanita cantik
dengan gaun panjang berwarna pastel yang tampak sibuk menoleh ke kanan ke kiri
di sela-selanya menyapa para tamu, di sebelahnya berdiri pria paruh baya yang
juga tampak mencari sesuatu.
"Ya, sepertinya aku harus kembali sebelum
ibu marah lagi padaku karena ketahuan melarikan diri," baru saja Ryo
melangkahkan kakinya, satu pertanyaan melintas di benaknya. Diapun berhenti
yang otomatis juga menghentikan langkah dua sahabat yang berjalan di
belakangnya.
"Apa?" Tanya Ellena.
"Dimana Hana?"
Ellena dan Shou saling bertukar pandang sebelum
akhirnya kembali menatap Ryo.
"Ah, ku pikir dia memberimu kabar. Hana
bilang akan terlambat datang karena harus menunggu ayahnya yang baru pulang
syuting dari Osaka sore tadi," jawab Shou.
"Oh begitu, aku juga lupa menghubunginya.
Ibu membuatku benar-benar sibuk minggu ini," gerutu Ryo.
"Sibuk memikirkan calon istri?"
Celetuk Shou.
Ellena tergelak, "Ya, Bibi Maya mengatakan
hal itu padaku. Kalau kau tidak keberatan, aku siap membantumu untuk menyeleksi
calon istri yang ditawarkan ibumu Ryo."
Ryo mendengus kesal dan langsung berbalik untuk
menemui ayah dan ibunya, mengabaikan sepasang sahabat gila -menurutnya- yang
tengah ber-euforia karena berhasil mengerjainya.
"Ah, kau darimana saja?" Maya segera
mengamit lengan Ryo begitu bertemu dengannya, seolah takut putranya itu akan
menghilang lagi, "Ibu mencarimu sejak tadi," gerutu Maya. Masumi pun
hanya mengulum senyum tipis melihat wajah putranya, mengerti dilema anak semata
wayangnya itu.
"Aku bersama Shou dan Ellena," jawab
Ryo kemudian. Ya, tidak sepenuhnya bohong, dia memang bersama kedua sahabat
masa kecilnya itu. Tidak mungkin juga kan Ryo menjawab kalau dirinya
menghindari para tamu karena jengah dengan semua perkenalan gadis yang
dilakukan ibunya.
"Oh," Maya memiringkan kepala saat
dua sosok muda mudi datang menghampirinya, "Shou, Ellena, apa kabar?"
Sapa Maya ramah.
"Baik Bibi Maya, selamat malam Paman
Masumi," sapa Ellena.
"Selamat malam Bibi Maya, Paman
Masumi," sapa Shou juga.
"Hhmm, sudah lama tak bertemu, kalian
berdua sudah dewasa ternyata," kata Masumi.
"Ah iya, ayo, ayo cepat, acara potong
kuenya akan segera di mulai. Kau menghilang saja daritadi, Ellena, Shou, kalian
juga ikut," kata Maya yang langsung menarik lengan putranya. Perintah Maya
membuat Masumi menggeleng geli.
"Maya, putramu sudah bukan anak SD
lagi," Masumi berbisik, mencoba menyelamatkan putranya dari rasa malu.
"Apa maksudmu? Kau lupa anakmu berulang
tahun yang kedua puluh hari ini? Mana mungkin aku menganggapnya anak SD. Ah,
kau semakin tua Tuan Hayami," jawab Maya tanpa dosa.
Ryo hanya menepuk keningnya dan Masumi sukses
dibuat menghela napas panjang sementara Shou dan Ellena sibuk menahan tawa.
Maya lalu menarik lengan suaminya juga dan membawa dua pria kesayangannya itu
ke tengah pesta tanpa peduli kalau tindakannya itu membuat wajah Ryo dan Masumi
memerah.
***
***
Tepuk tangan menggema di ruang terbuka halaman
belakang kediaman Hayami. Ryo dan Masumi baru saja meniup lilin ulang tahun
mereka. Dua kue berukuran besar dengan dekorasi yang sama sekali berbeda.
Kue milik Masumi dominan akan warna coklat dan
emas dengan hiasan lilin angka lima puluh lima sementara kue milik Ryo dominan
dengan warna putih dan kuning dengan hiasan lilin angka dua puluh.
Ryo masih merasa malu karena baru saja meniup lilin seperti anak SD tapi saat melihat ayahnya dengan santai menjalani semua ritual keinginan Maya, Ryo menyerah. Memang membahagiakan seorang ibu itu mahal harganya.
Ryo masih merasa malu karena baru saja meniup lilin seperti anak SD tapi saat melihat ayahnya dengan santai menjalani semua ritual keinginan Maya, Ryo menyerah. Memang membahagiakan seorang ibu itu mahal harganya.
"Potong kuenya," Maya tersenyum lebar
ketika memberikan masing-masing pisau untuk suami dan anaknya dan dengan
diiringi tepuk tangan kedua memotong kue masing-masing.
Potongan pertama dari masing-masing kue
diletakkan di atas piring porselen kecil. Sekarang Masumi dan Ryo berdiri di
depan Maya dengan kedua piring terangkat di hadapannya.
"Untuk istriku tersayang, terima kasih
untuk setia bersamaku selama ini. Kau yang terbaik," Masumi menyuapkan
sepotong kecil kuenya dengan garpu dan Maya harus menahan air matanya jatuh
ketika rasa manis dari kue coklat menyapa lidahnya.
"Aku mencintaimu," Masumi memeluk dan
mengecup kening Maya, disambut gema tepuk tangan yang kembali membahana.
"Giliranku ayah," sela Ryo kemudian.
Meski menurutnya kekanakan merayakan ulang tahun dengan tiup lilin dan potong
kue tapi tetap saja Ryo tidak mau ketinggalan untuk menunjukkan rasa sayang dan
terima kasihnya pada sang ibu.
Masumi merenggangkan pelukannya namun tetap
menyandarkan lengannya di bahu istrinya. Memberi sedikit ruang untuk putranya
menyuapkan potongan kuenya.
"Untuk ibu, terima kasih sudah menjadi ibu
yang luar biasa untukku, aku menyayangi ibu," ucap Ryo.
Dan kali ini Maya tak sanggup menahan air
matanya. Butiran kristal bening itu langsung jatuh saat manisnya kue vanila
lumer di mulutnya. Melepaskan diri dari lengan suaminya, Maya memeluk erat
putra semata wayangnya. Kembali suara tepuk tangan terdengar melengkapi suasana
penuh haru keluarga itu.
"Aku menyangi kalian berdua. Kalian adalah
hartaku yang paling berharga," ucap Maya ketika akhirnya Masumi bergabung
untuk memeluk anak dan istrinya.
Sungguh para tamu menjadi begitu iri dengan
kebagiaan yang tersaji di hadapan mereka. Keluarga Masumi tampak begitu
sempurna. Ayah dan ibu yang hebat juga seorang putra yang luar biasa ditambah
dengan kasih sayang yang melimpah diantara mereka. Sepertinya Tuhan memang
begitu menyayangi keluarga itu sehingga mereka dikaruniai dengan kelimpahan dan
kebahagiaan yang begitu banyak.
***
***
Ryoichi Hayami, tampak begitu bahagia malam
itu. Ditengah keluarga, sahabat dan semua relasi keluarganya, sang pangeran terlihat
begitu sempurna. Maya dan Masumi juga terlihat begitu bahagia ketika melihat
putra semata wayangnya sudah kembali di tengah-tengah mereka.
"Kau senang?" Tanya Masumi seraya
memeluk istrinya.
Maya sendiri yang sejak tadi sibuk memandangi
putranya kini beralih menatap suaminya. Diapun mengangguk, "Aku senang
sekali hari ini."
Keduanya terdiam dan kembali menatap Ryo yang
berada bersama teman-temannya.
"Ah, mereka datang," celetuk Maya
kemudian.
Masumi melihat tiga orang berjalan ke arahnya
namun salah satu dari mereka, yang adalah seorang gadis cantik, memisahkan diri
lalu berjalan ke arah putranya berada.
"Koji, Mai, kalian datang," seru Maya
senang menyambut sepasang suami istri yang juga adalah sahabatnya.
"Tentu kami datang, tapi maaf kami
terlambat," jawab Koji seraya mengulurkan tangan menjabat Masumi. Mereka
beramah tamah selayaknya sahabat yang lama tak bertemu.
Sementara itu di tempat Ryo berada, suara tawa
masih terdengar diantara percakapan tiga sahabat masa kecil itu.
"Maaf aku terlambat,"
Tawa ketiganya langsung terhenti dan mereka
berbalik secara bersamaan.
"Hana?" Ryo bergumam ketika melihat
sosok gadis dihadapannya. Gadis berparas cantik dengan rambut ikal berwarna
coklat yang di tata apik, mengenakan gaun manis panjang berwarna merah muda
dengan hiasan renda di bagian tepinya. Ryo berkedip tak percaya dengan sosok
yang ada dihadapannya ini. Pasalnya gadis yang dipanggilnya Hana itu dulu
adalah gadis cupu dengan kaca mata tebal yang selalu bertengger di hidungnya.
Lupakan dengan fakta bahwa ayahnya adalah aktor ternama Yuu Sakurakoji, Hana
hanyalah gadis yang menyukai buku dan jauh dari kata menarik meski sebenrnya
kepribadiannya menyenangkan.
"Kau juga dapat kejutan Tuan Muda,"
celetuk Ellena yang mengejek tatapan terkejut sahabatnya.
"Aku tidak percaya ini kau Hana,"
kata Ryo yang sudah kembali ke alam sadarnya.
"Ini memang aku, siapa lagi? Tidak ada
salahnya kan aku merubah penampilan," jawab Hana santai.
"Ya, memang tidak ada salahnya, hanya saja
aku tidak tahu kau bisa berdandan secantik ini."
"Ryo!" Pekik Hana kesal sementara Ryo
terkekeh senang lalu menarik sahabatnya itu ke dalam pelukannya.
"Aku mrindukanmu," kata Hana lirih di
dalam pelukan Ryo.
"Hhmm?" Ryo melepaskan pelukannya dan
menatap sahabat perempuan yang berbeda satu tahun dengannya itu.
"Kau bilang apa?" Tanya Ryo kemudian.
Hana justru tersenyum lalu menggeleng. Dengan
cepat pandangannya beralih pada Ellena dan Shou yang juga sedang menatapnya.
"Apa aku ketinggalan pestanya?"
"Ya sedikit. Kau melewatkan bagian dimana
Bibi Maya sibuk menjadi mak comblang malam ini," jawab Shou.
"Eh?!" Hana tampak terkejut lalu
menatap Ryo dengan penasaran, "Kau akan dijodohkan?"
Ryo mendengus kesal dan menatap tajam Shou yang
tak lelah juga menggodanya, "Jangan dengarkan dia."
Ellena dan Shou kembali terkekeh senang, malam
ini mereka puas membuat tuan muda Hayami tak berkutik.
"Tenang saja Hana, belum ada yang
dipilihnya. Kalau kau mau, kau bisa membantuku untuk menyeleksi calon istri
pangeran kita ini," kata Ellena.
"Wah sepertinya menyenangkan," Hana
tertawa.
"Ck, kalian semua membuat kepalaku semakin
sakit saja," kata Ryo kesal.
"Hei Ryo, daripada kau memilih wanita
tidak jelas di luar sana, bagaimana kalau kau memilih salah satu diantara kami
saja?" Hana kembali mengulas senyumnya dengan mata mengerling nakal pada
Ryo.
Ellena terdiam lalu ikut menatap Ryo yang
tampak bingung dengan pertanyaan Hana, sementara Shou berdehem pelan karena
tiba-tiba suasana menjadi tidak nyaman.
"Kau bercanda ya?" Ryo menatap Ellena
dan Hana bergantian.
"Kalau tidak bagaimana? Apa
jawabanmu?" Tantang Hana.
Ryo menyeringai tipis lalu menarik Ellena untuk
mendekat padanya, "Hhhmm, mungkin aku pilih Ellena," jawabnya seraya
membalas kerlingan mata Hana.
"Ah begitu rupanya," Hana mengangguk
lalu melirik Shou, "kalau begitu aku dengan Shou saja," lanjutnya
seraya menarik Shou lalu memeluk lengannya.
"Hei, jangan libatkan aku dalam permainan
kalian ya," Shou memperingatkan.
"Sudah kau diam saja," kata Hana.
Ellena mendengus kesal lalu melepas tangan Ryo dari lengannya, "Jangan bercanda! Hana, aku perlu bicara denganmu," katanya sambil lalu dari hadapan mereka.
Ellena mendengus kesal lalu melepas tangan Ryo dari lengannya, "Jangan bercanda! Hana, aku perlu bicara denganmu," katanya sambil lalu dari hadapan mereka.
Hana tertawa lalu mengikuti Ellena, "Kami
akan kembali sambil membawa minuman untuk kalian." Diapun setengah berlari
mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
"Dasar, ada-ada saja," gumam Ryo saat
melihat tingkah aneh kedua sahabat perempuannya.
"Ya, dasar wanita," gerutu Shou juga.
Keduanya kemudian saling pandang dan tergelak
bersamaan.
Di sisi lain dua orang wanita berjalan
berdampingan menuju meja minuman.
"Aku tidak suka selera humormu Hana,"
kata Ellena tiba-tiba.
Hana tertawa, "Aku tahu kau tak suka."
Ellena menghela napas panjang, merasa tak ada
gunanya kesal pada sahabat masa kecilnya itu.
"Sudahlah Ellena, kita sama-sama sudah
dewasa, jadi tak ada gunanya juga kita menutupi semuanya," kata Hana.
Ellena menoleh dan menautkan alis menatap Hana
yang masih menghiasi wajahnya dengan senyum lebar.
"Maksudmu, kau mau kita bersaing
sekarang?" Tanya Ellena.
Hana mengangguk, "Kita bersaing dan
bebaskan Ryo memilih satu diantara kita."
Ellena menyeringai, "Percaya diri sekali
kau, bagaimana kalau bahkan Ryo sama sekali tidak tertarik pada kita? Atau
lebih buruknya dia benar-benar memilihku? Kau mau mengorbankan persahabatan
kita?"
"Dua-duanya tidak masalah bagiku, itu hak
Ryo untuk memilih siapa."
Ellena berhenti di depan meja minuman lalu
mengambil segelas cocktail dengan sirup hijau dan segelas orange squash. Diapun
kembali menoleh pada Hana di sebelahnya yang sedang mengambil dua gelas
cocktail dengan sirup merah.
"Kau yakin?" Tanya Ellena seraya
menunjukkan gelas orang squash yang dipegangnya. Mereka sama-sama tahu siapa
yang menyukai minuman itu.
"Kita lihat saja," Hana menyeringai
sebelum berputar dan berjalan meninggalkan Ellena sementara yang ditinggal
hanya bisa menggeleng seraya mengulas kembali seringai tipis andalannya.
Keduanya berjalan dalam diam sampai mereka
melihat kalau Ryo dan Shou tak lagi sendiri. Para orang tua sudah berkumpul di
sana. Ayumi berdampingan dengan Hamill, Koji dan Mai, lalu Hijiri dan Saeko,
tak tertinggal Maya dan Masumi yang berdiri di sebelah mereka. Tak hanya itu,
Ellena dan Hana juga melihat sepasang suami istri yang mereka kenali sebagai
paman dan bibi Ryo di New York. Namun satu hal yang membuat kedua gadis itu
mengernyit heran adalah Ryo yang tampak gembira dengan seorang gadis cantik
berambut pirang berdiri di sebelahnya.
"Kalian lama sekali mengambil minumannya
sampai melewatkan hal seru," kata Shou begitu mereka ikut berkumpul di
tengah keluarga. Rasanya seperti reuni saja.
"Apa yang kami lewatkan?" Tanya Hana
penuh semangat sementara Ellena sibuk menatap gadis yang berdiri di sebelah Ryo.
"Kalian pasti terkejut," celetuk Maya
tiba-tiba.
Wajah Maya yang menyiratkan kebahagiaan yang
berlebih membuat Ellena merasakan sesuatu hal yang tidak nyaman dalam hatinya.
"Kau ini masih seperti remaja saja
Maya," kata Christ karena melihat ekspresi girang adiknya
Semua yang mendengar jadi tertawa.
"Baiklah, terserah apa kalian, yang jelas
aku sangat bahagia hari ini. Benar kan Masumi?" Maya mencari dukungan
dengan memeluk lengan suaminya. Dia memang sedang bahagia sekali, pasalnya sang
kakak dan kakak ipar, Christian dan Amanda tiba-tiba datang di tengah pesta
dengan membawa kejutan yang merupakan keinginan Maya.
"Iya, iya," jawab Masumi setelah selesai
dengan tawanya.
"Nah, kalau begitu kau perkenalkan saja
sekarang Ryo," kata Maya lagi dengan semangat.
Sang putra yang dipanggilpun mengalihkan
perhatiannya kepada dua sahabatnya yang tadi tidak mendengar kejutan darinya.
"Hhmm, baiklah, sebenarnya aku benar-benar
belum ingin mengatakan hal ini pada ayah dan ibu apalagi pada semuanya, hanya
saja memang minggu ini terlalu banyak kejutan yang terjadi dan my uncle yang
baik hati itu juga ikut-ikutan memberiku kejutan. Ulang tahunku kali ini
benar-benar takkan terlupakan," kata Ryo.
"Jangan terlalu banyak basa-basi,"
"Christ," Amanda memperingatkan
protes suaminya.
Ryo terkekeh lalu menarik gadis cantik di
sebelahnya agar lebih merapat, "Perkenalkan, Karin , calon tunanganku."
Maya bertepuk tangan, Masumi tersenyum dan
binar kebagiaan tersirat di wajah semua sahabat Maya terkecuali kedua gadis
yang berdiri dengan wajah terkejut.
Prangg! Dan gelas-gelas yang yang sejak tadi
dipegang oleh Ellena dan Hana jatuh begitu saja membentur lantai batu di bawah
mereka.
"Eh?!" Keduanya tersentak bersamaan
saat mendengar suara pecahan kaca yang nyaring. Otomatis semua mata menatap
keduanya dengan penasaran.
"Ah, kami hanya terlalu terkejut,"
Hana segera mengambil alih suasana.
Ellena mengulurkan tangan pada Karin seraya
mengulas senyum, berusaha menetralkan degub jantungnya yang liar, "Ellena,
sahabat Ryo, salam kenal."
"Karin, salam kenal," sebuah senyum
juga terulas di bibir merah muda Karin.
Hana melakukan hal sama sebelum akhirnya
menghela napas panjang lalu menoleh pada Ellena.
"Kau kalah," gumam Hana.
Ellena menyeringai, "Kau juga,"
jawabnya sama lirihnya.
Keduanya kemudian tertawa bersamaan, merasa
bodoh dan konyol dengan pemikiran mereka.
Ellena dan Hana memandang kearah Ryo, pujaan hati mereka. Disana sang sahabat tengah tertawa dengan kekasihnya di antara keluarganya. Indah bukan? Ya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kau sayang bahagia. Cinta tak harus memiliki, mungkin terdengar klise untuk menutupi rasa sakit karena cinta yang tak terbalas tapi setidaknya kedua gadis itu akan belajar. Belajar untuk melepas apa yang bukan miliknya. Menanam harapan baru untuk cinta masa depan yang mungkin akan datang suatu saat nanti. Ya, semua akan indah pada waktunya, pasti.
Ellena dan Hana memandang kearah Ryo, pujaan hati mereka. Disana sang sahabat tengah tertawa dengan kekasihnya di antara keluarganya. Indah bukan? Ya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kau sayang bahagia. Cinta tak harus memiliki, mungkin terdengar klise untuk menutupi rasa sakit karena cinta yang tak terbalas tapi setidaknya kedua gadis itu akan belajar. Belajar untuk melepas apa yang bukan miliknya. Menanam harapan baru untuk cinta masa depan yang mungkin akan datang suatu saat nanti. Ya, semua akan indah pada waktunya, pasti.
"Ryo,"
"Ya?"
"Semoga bahagia Tuan Muda Hayami,"
Ucap kedua sahabat itu bersamaan.
***
AN : Special for my beloved sister Lluvia. Happy brithday ya, wish u all the best pokoknya Cin. Tuhan memberkatimu dalam segala hal. Ga bisa kasih apa2 yak, cuma bisa kasih ini, semoga berkenan, hahahahaa..love u pokoknya, muaahhhhhh...
10 Comments
Kyaaaaaa!!! saya datang, saya datang...*tebar konveti
ReplyDeleteHappy Brithday ya cintaku Lluvia and Fitria GW.
Moga suka ya cin hadiahnya. berhubung dirimu susah kalo baca multi chapter jadilah ku bikin satu chap aja. tapi kau tahulah kalo aku ga pinter bikin cerita pendek kaya dirimu, aku suka yang panjang2 soalnya, halah
Mau lanjut apa sampai disini aja? enaknya si lanjut tapi kayaknya ga janji juga coz utangku masih banyak, wkwkwkwkwkwk
Happy reading lah pokoknya
peluk ciumm untukmu....muaahhhhhh ampe basah pipi bakpao sepuluh ribunya XD
Qiqiiq masumi msh aja cemburu
ReplyDeleteYang ultah 2 orang tapi kita-kita juga dapat hadiahnya. �� makasih cin...
ReplyDeleteApik mbakyu... lanjutkan..
ReplyDeleteBagus! Two thumbs up ����
ReplyDeleteMba agnes,, lanjutan cerita2 yg lain manaa?? Uda ga sabar mau baca lanjutannya :)
ReplyDeleteDitunggu lanjutan Pure lovenya mbak...
ReplyDeleteTuan muda yg keren
ReplyDeleteGimana ya....kalo ceritanya masuki dan maya punya anak cowo kembar tiga...pasti seru...hhhmmmm
ReplyDeleteAhhhh selalu aja dalem ceritanya. Gmn klo bikin sekuael kehidupan si ryo sampai akhirnya punya pacar mbak agnezzzz. Ditunggu lanjutannya ya ❤
ReplyDelete