Prince of Hayami

Disclaimer Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Sekuel "Every Day I Love You".
Ryoichi Hayami 20 th, Masumi Hayami 55 th, Maya Anderson Hayami 44 th.

Gambar milik Mary Regina

Bandara Haneda tampak begitu padat di akhir musim gugur. Di landasan tampak banyak sekali pesawat besar yang bergerak teratur baik untuk take off ataupun landing. Terlihat sebuah pesawat dengan tulisan besar melintang di sisinya, Japan Airlines. Pesawat itu baru saja landing dari penerbangan panjangnya, New York - Tokyo. Deretan penumpang yang berjalan menuruni tangga segera terlihat begitu pintu kabin terbuka.
Dari banyaknya penumpang yang keluar, tampak begitu mencolok seorang pemuda tampan dengan tampilan penuh kharisma. Mengenakan t-shirt abu-abu dilapisi blazer dengan warna lebih gelap, dipadukan dengan jeans biru gelap dan sneakers yang senada dengan warna blazernya. Pemuda itu berjalan dengan tenang, berusaha tidak tampak mencolok dengan tubuh tinggi dan wajah tampannya. Kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya diharapkan sedikit banyak bisa membantu usahanya untuk menyamarkan diri, atau...justru memperparah? Karena faktanya kaca mata itu justru membuat penampilannya makin menarik perhatian karena tampak semakin keren di mata kaum hawa.
Pemuda berambut coklat gelap dengan tubuh tegap tinggi itu tiba-tiba mengulas sebuah senyum tipis di bibirnya. Entah apa yang dipikirkannya saat ini, yang pasti beberapa gadis yang berjalan di sebelahnya harus menahan diri untuk tidak memekik keras karena melihat senyum jutaan gigawatt milik sang pemuda yang kini berjalan dengan anggun menuju pintu keluar sambil menyeret koper besarnya.
"Ryo pulang, ayah, ibu," gumamnya lirih diiringi dengan senyum tipis di wajah tampannya.

***
Ryoichi Hayami. Pemuda berusia dua puluh tahun dengan segala kesempurnaannya. Tampan, pasti.
Pintar, tentu, siapa yang berani meragukan otak pemuda yang mampu meraih gelar BBA dari Harvard University di usianya yang kedua puluh? Apalagi yang kurang? Kaya, sudah jelas, marga keluarganya sudah menegaskan semuanya. Mau dilihat dari sudut manapun, seorang Ryo memang tampak sempurna di mata dunia.
Jika faktanya seperti itu pasti kedua orang tuanya sangat bangga. Sayangnya tidak, maaf, sekali lagi tidak. Bukan kedua orang tuanya tidak bangga padanya, hanya saja seorang Ryo justru merasa sebaliknya. Dia merasa belum bisa membuat ke dua orang tuanya bangga. Meski dengan sederet prestasi yang diperolehnya? Ya, meski dengan semua itu, dengan semua kebanggaan yang dikatakan orang dunia. Dia tidak merasa bangga. Karena bagi Ryo, kedua orang tuanya itu sempurna, yang terbaik dan luar biasa. Terlalu dini untuknya puas dengan apa yang dicapainya saat ini karena sebagai penyandang nama besar keluarga, Ryo merasa pencaiapannya saat ini belumlah seberapa. Perfeksionis? Ambisius? Tidak juga, katakanlah itu impian. Impian seorang anak yang ingin menjadi sempurna demi keluarganya. Bisakah? Perjalanan masih panjang dan waktu yang akan menjawab obsesi masa muda itu.
Apa terdengar berlebihan? Siapa orang tua yang sempurna itu? Bukankah di dunia ini tidak ada yang sempurna?
Ryo tidak akan peduli dengan apa kata dunia karena baginya, Masumi Hayami dan Maya Anderson Hayami adalah orang tua yang sempurna. Bukan karena ayahnya yang adalah komisaris perusahaan entertainment terbesar di Jepang, juga bukan karena ibunya adalah aktris kelas satu pemenang piala Oscar tapi karena mereka berdua adalah ayah dan ibu yang luar biasa dan penuh kasih. Ayah dan ibu yang membuatnya bisa berdiri sekarang dengan segala kebanggaannya. Apalah artinya seorang Ryo tanpa adanya kasih dari Masumi dan Maya.
Langkah kaki Ryo berhenti di luar pintu kedatangan begitu sebuah taksi menghampirinya, dengan bantuan petugas bandara Ryo sudah memesan sebuah taksi.
"Tuan Hayami?"
Ryo mengangguk sopan lalu melepas kacamatanya. Menampakkan mata beriris coklatnya yang teduh sekaligus tajam.
"Bisakah anda mengantar saya berkeliling kota Tokyo?"
"Berkeliling Tokyo?" Kerutan samar dan nada heran terdengar jelas dalam suara sang supir taksi.
Ryo tersenyum, "Jangan khawatir, saya akan membayar berapapun biayanya," lanjutnya.
Supir taksi itu membalas senyum tipis Ryo dengan senyum lebarnya. Diapun setuju lalu meminta koper Ryo untuk dimasukkan ke dalam bagasi. Ryo sudah duduk dengan nyaman di kursi penumpang ketika supir taksi itu mulai menjalankan argonya dan bertanya kemana tujuan mereka.
"Tomoe Elementary School," jawab Ryo sopan dan taksipun segera melaju meninggalkan bandara.

***
Taksi berhenti di seberang jalan sebuah gedung sekolah dasar, Tomoe Elementary School. Ryo yang duduk di kursi penumpang tampak menyunggingkan seulas senyum tipis kala matanya menatap gerbang besar berwarna hitam. Memorinya langsung melayang pada kenangan indah masa lalunya.
Empat belas tahun yang lalu.
Menjadi anak dari kedua orang tua yang terkenal bukanlah hal yang mudah. Kemanapun kakimu melangkah semua mata pasti akan tertuju padamu. Itulah hal yang selalu dialami oleh Ryo kecil. Baru saja dirinya menginjakkan kaki di halaman sekolah barunya, semua mata langsung menatap padanya. Ehm, tidak, sebenarnya tidak sepenuhnya menatapnya, melainkan pada dua sosok orang dewasa yang kini berdiri di sampingnya. Tuan dan Nyonya Hayami, siapa lagi? Komisaris Daito dan Aktris nomer satu di Jepang.
Bisik-bisik para murid juga orang tua murid yang kebetulan ikut mengantar terdengar seperti dengungan lebah. Ryo mengangkat kepala melihat ayahnya yang hanya tersenyum tipis seraya menganggukkan kepala untuk menjawab sapaan orang-orang. Pandangannya kemudian beralih pada Maya, ibunya yang tersenyum lebar dengan manisnya, membalas ramah setiap sapaan padanya.
Ryo menahan senyumnya melebar melihat mata-mata yang penuh kagum menatap pada keluarganya. Memang sebenarnya tidak nyaman tapi Ryo berusaha untuk tetap bersikap baik demi menjaga nama besar kedua orang tuanya, terlebih lagi nama Hayami dan Anderson yang disandangnya.
"Belajarlah yang rajin dan jangan nakal ya sayang."
Kalimat itu terdengar menggelikan di telinga Ryo namun dirinya tidak bisa protes mengingat kalimat itu disampaikan dengan penuh kasih oleh ibunya.
"Ya Bu," jawab Ryo patuh.
"Kau tahu Ryo tidak nakal Maya. Justru aku meragukan apakah dia bisa nakal seperti anak seusianya," Masumi menahan diri untuk tidak terkekeh dengan perkataannya sendiri.
Ryo menghela napas lelah. Ibu yang masih menganggapnya anak kecil, ayah yang menganggapnya terlalu dewasa, adakah yang bisa menganggapnya normal sebagai anak usia enam tahun? Sepertinya tidak satupun karena mendiang kakeknya sekalipun menganggapnya sebagai bayi yang suka ditimang-timang.
"Aku tahu anakku tidak nakal. Aku hanya mengucapkan apa yang biasanya orang tua katakan di hari pertama anaknya sekolah," kilah Maya.
Sesaat Masumi dan Ryo menatap Maya tidak percaya lalu keduanya tertawa saat Maya justru mencebik kesal. Bahkan diusianya yang sudah menginjak kepala tiga, Maya masih saja tampak lucu jika sedang merajuk. Ketiganya kemudian tertawa.
Inilah yang Ryo suka dari keluarganya, hangat dan penuh canda. Terlepas dari status sosial mereka Ryo sadar kalau keluarganya juga tidak jauh berbeda dengan keluarga lainnya. Dan Ryo selalu bangga akan keluarganya itu, bukan karena embel-embel nama dan kehormatan tapi memang karena keluarganya begitu mengasihinya.
"Sudah waktunya masuk Ryo," Masumi memperingatkan ketika tawa mereka mereda. Tidak satupun dari mereka peduli dengan tatapan kagum sekaligus heran dari orang-orang disekeliling mereka. Hari ini Masumi dan Maya memang sengaja mengantar Ryo di hari pertama sekolah dasarnya, menikmati tugas mereka sebagai orang tua.
Ryo mengangguk mantap, "Aku masuk dulu ayah, ibu, terima kasih."
Namun baru saja Ryo hendak berbalik, Maya memanggil lirih nama putranya. Otomatis Ryo menghentikan langkahnya dan menatap ibunya. Masumi juga sama herannya saat melihat wajah Maya.
"Ada apa bu?" Tanya Ryo.
"Hhmm, bolehkah ibu memeluk dan menciummu?" Tanya Maya ragu, "sebentar saja," pintanya dengan wajah memohon.
Ryo menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya melirik ayahnya yang menatapnya tajam, memaksanya menuruti keinginan Maya. Masumi tahu kalau anaknya tidak suka dipeluk dan di cium di depan umum tapi dalam kamus keluarga Hayami adalah pantang hukumnya menolak keinginan Maya, entah sejak kapan peraturan itu berlaku. Yang jelas tidak satupun keinginan Maya yang tidak terpenuhi.
"Baiklah," Ryo menyerah daripada harus menerima hukuman dari ayahnya yang dia yakin pasti sangat tidak mengenakkan.
Dengan wajah berbinar Maya segera memeluk -cukup lama untuk waktu sebentar yang dijanjikan- serta mencium puncak kepala putranya.
"Ibu menyayangimu," bisik Maya dan wajah Ryo langsung memerah menahan malu karena mendengar kekehan geli entah dari siapa saja yang ada di sekitar mereka.
"Maya, sudah waktunya kita pergi," sela Masumi kemudian. Diam-diam dia tidak tega juga melihat putranya memerah, bahkan Masumi juga yakin andai itu dirinya, maka dia tidak akan sanggup menahan malu di hadapan teman-temannya jika diperlakukan layaknya anak TK seperti itu.
Ryo menatap ayahnya dengan beribu rasa terima kasih tersirat dalam pandangannya. Setelah itu dia bergegas menuju gedung sekolahnya sebelum Maya sempat memeluknya lagi. Dalam hati Ryo mendesah panjang dan meyakini bahwa dirinya tidak akan pernah melupakan kejadian pagi ini.
Sebuah senyum kembali terukir di wajah tampan Ryo saat kenangannya berhenti berputar. Ya, dia tidak salah, bahkan setelah empat belas tahun berlalu, seorang Ryo masih bisa mengingat hari pertama sekolah dasarnya.
"Aku jadi semakin merindukanmu," Ryo menghela napas, "ibu."

***
"Ke mana lagi Tuan?" Tanya supir taksi begitu Ryo kembali masuk ke dalam taksi.
Ryo berpikir sejenak, rencananya ingin berkeliling Tokyo sepertinya harus dibatalkan. Mengenang masa lalu ternyata membuatnya ingin segera bertemu keluarganya, diapun mengubah rencananya.
"Mansion Hayami," sahut Ryo yang kemudian ditanggapi dengan kerutan kening sang supir taksi. Ryo terkekeh begitu menyadari kebodohannya, diapun menyebutkan alamat rumahnya dan taksi segera melaju meninggalkan gedung sekolah.
Sepanjang perjalanan Ryo menikmati keindahan kota Tokyo yang sudah ditinggalkannya selama enam tahun. Bukan tanpa alasan kalau Ryo harus meninggalkan kota kelahiran bahkan negaranya dalam waktu yang lama. Salahkan saja tanggung jawab yang harus diembannya sebagai putra tunggal keluarga Hayami.
Lagi-lagi kenangan masa lalu menyeruak di benak Ryo. Enam tahun yang lalu setelah upacara kelulusan sekolah menengah pertamanya.
"New York?!" Maya berteriak dengan wajah memandang horor pada dua pria yang duduk di hadapannya. Seolah keduanya adalah monster berkepala dua yang siap menerkamnya kapan saja. Nyatanya, ucapan kedua pria itulah yang membuatnya bereaksi seperti itu.
"Sudah ku katakan kalau Maya tidak akan setuju," Masumi, suaminya, salah satu pria yang dipandangi Maya dengan tatapan horor itu menggeleng seraya menatap tajam pria yang duduk di sebelahnya.
"Ck, seperti aku akan terkejut saja," sahutnya santai, "ini demi masa depan Ryo, Maya," katanya kemudian.
"Christ! Dia putraku satu-satunya dan kau mau menjauhkannya dariku!" Bentak Maya yang kini mulai menampakkan kekesalannya atas keputusan semena-mena dua pria yang sangat berpengaruh dalam hidupnya itu.
"Ini juga-,"
"Tidak!" Potong Maya atas pembelaan yang akan dikatakan Christ, Christian Anderson, kakaknya. Kini pandangan Maya beralih pada suaminya.
"Kau juga berpikir untuk mengirim putraku ke luar negeri?!" Tanya Maya dengan nada tak percaya. Istri Masumi itu bahkan sudah berdiri dari sofa tempatnya duduk tadi dan berkacak pinggang menatap suaminya.
"Putra kita," koreksi Masumi mengabaikan kekesalan istrinya. Dia sudah sangat mengerti akan konsekuensi dari keputusannya. Sejujurnya hal ini juga berat baginya sebagai seorang ayah tapi permintaan dari putra semata wayangnya itu sungguh tidak bisa ditolaknya.
"Kau tidak akan mengirimnya ke New York kalau kau memang menganggapnya putra kita!" Bentak Maya lagi.
Oke, Masumi akan ingat bahwa Maya bahkan bisa lebih mengerikan dari seekor beruang jika menyangkut masalah Ryo dan pemikiran Maya yang kadang menggelikan itu memang kadang tidak bisa dimengerti. Bagaimana mungkin Ryo akan berhenti menjadi anaknya hanya karena Masumi mengijinkannya untuk bersekolah di New York demi masa depannya?
"Dasar aktris! Kau terlalu berlebihan Maya. Kau pikir anakmu akan terlantar disana?" Christ mulai jengah dengan sifat overprotective adiknya -meski dia juga seperti itu-.
"Tapi kan-,"
"Ingat dulu? Kau bahkan datang ke New York seorang diri dan nyatanya kau masih hidup sampai sekarang," Christ tidak memberikan celah untuk Maya berkilah, "Dia akan tinggal bersama grandma dan grandpa-nya atau denganku. Kau bisa pilih," lanjut Christ.
Maya kembali duduk dengan kasar di sofa, melipat kedua tangannya di depan dada, kesal, ya Maya sangat kesal.
Masumi beranjak dan berpindah duduk di sebelah istrinya, "Sayang, kau pikir aku rela melepasnya begitu saja?" Masumi mengusap lembut punggung istrinya, mencoba meredakan kekesalan Maya dan membuatnya mengerti.
"Kalau kau tidak rela kenapa kau harus mengijinkannya?" Jawab Maya masih tidak terima.
Menghentikan belaiannya, Masumi meraih kedua bahu Maya dan membuat istrinya itu bertatap muka dengannya, "Kau tahu kan kalau aku tidak sanggup menolak keinginannya? Ini cita-citanya," terang Masumi tenang.
Maya membuka mulutnya hanya untuk menutupnya kembali. Dia tahu, tidak, dia mengerti. Maya lebih dari mengerti kalau Ryo, putra semata wayangnya itu memiliki obsesi besar sebagai pewaris yang sempurna untuk keluarganya tapi sebagai seorang ibu Maya tidak rela untuk melepas Ryo pergi ke negeri jauh meski disana dia juga bersama dengan keluarganya.
"Masumi, aku...," lagi-lagi Maya tak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Sshh," Masumi segera merengkuh istri mungilnya saat melihat butiran kristal jatuh dari sepasang mata bulat kesayangannya, "aku mengerti sayang, aku mengerti," Masumi mencoba menenangkan Maya yang mulai terisak dalam dekapannya.
Sepasang mata milik seorang pemuda yang sejak tadi mengawasi melalui celah pintu tampak terpejam untuk sesaat dan terbuka kembali diiringi dengan helaan napas panjang. Pemilik iris coklat itupun memberanikan diri untuk masuk ke ruang kerja yang tampak tegang dengan isakan lirih terdengar dari wanita yang adalah ibunya.
"Ibu, maafkan aku karena membuatmu sedih seperti ini," Ryo, pemuda tampan berusia empat belas tahun, putra tunggal keluarga Hayami, permata kesayangan Maya dan Masumi, tampak membungkukkan tubuhnya penuh hormat di hadapan kedua orang tuanya.
Masumi melepaskan pelukannya ketika Maya menegakkan tubuhnya, menatap sendu putranya. Mayapun merentangkan kedua tangannya, meminta putranya masuk dalam dekapannya. Ryo tak perlu menunggu perintah terucap, dia menghampiri ibunya dan membiarkan dirinya dipeluk seerat mungkin. Sungguh membuat ibunya bersedih bukanlah hal yang disukainya tapi ada tanggung jawab yang harus diembannya sekarang. Ryo sungguh merasa durhaka karena harus membuat ibunya meneteskan air mata karenanya tapi dia akan lebih merasa durhaka lagi jika tidak sanggup memenuhi tugasnya sebagai pewaris keluarga.
"Ibu, aku-,"
"Ibu mengerti," lirih Maya kemudian, membuat Ryo menghentikan ucapannya.
"Ibu mengerti," ucap Maya dengan suara yang lebih jelas, masih belum melepaskan pelukannya dan kepala Ryo masih bersandar di bahunya. Dengan penuh sayang Maya mengusap punggung putranya. Sesaat ketika mata Ryo bersitatap dengan dua pasang mata milik paman dan ayahnya dari balik punggung ibunya, Ryo merasakan kelegaan terpancar di sana. Dia mengerti. Ryo mengerti. Ibunya mengerti.
"Ibu pasti akan merindukanmu," kata Maya kemudian, suaranya pecah di akhir kalimat, "kau harus berjanji untuk menjaga dirimu dengan baik. Turuti apa yang dikatakan grandma dan granpa juga uncle dan aunty-mu. Berjanjilah untuk rajin menelepon ibu, belajarlah yang rajin dan buat kami bangga, sayang," kalimat panjang Maya diucapkan dengan nada bergetar manahan tangis.
Seketika kelegaan menjalari hati Ryo, dia bisa pergi dengan tenang, "Ya bu."
Ryo menjauhkan dirinya dari pelukan Maya, menangkup wajah ibunya dengan kedua tangannya dan mengecup kening Maya dengan sayang. Hal yang selalu dilakukan Maya bahkan sampai usianya remaja sekarang ini.
"Aku menyayangi ibu dan aku berjanji akan membuatmu bangga padaku," ucapnya kemudian. Dan Ryo hampir meledak dalam tawa ketika melihat wajah ayahnya yang sepertinya terkejut -juga cemburu dan tidak suka- dengan apa yang baru saja dilakukannya.
"Jangan konyol Masumi, dia putramu!" Christ mendengus geli melihat ekspresi Masumi yang terbaca jelas yang langsung saja membuat Ryo tak sanggup menahan tawanya sementara Maya tampak bingung dengan perubahan suasana yang mendadak itu dan memandang tiga pria tercintanya bergantian.
"Ada apa?"
"Jangan lakukan lagi," gumam Masumi seraya memijit pangkal hidungnya dengan kesal.
"Heh?!" Maya semakin bingung, Ryo dan Christ semakin terbahak.
Ryo terkekeh tanpa sadar, baru berhenti ketika matanya bertemu pandang dengan iris gelap milik supir taksi dari kaca spion tengah.
"Maaf, hanya teringat sesuatu yang lucu," Ryo memberi alasan atas sikap konyolnya, sungguh tidak mau dianggap gila oleh pria paruh baya yang masih terus menatapnya.
Ya, begitulah awal mulanya dia pergi meninggalkan Jepang menuju New York. Ryo melanjutkan sekolah menengah atasnya di New York dan dengan begitu membanggakannya, Ryo menyelesaikan sekolahnya hanya dalam waktu dua tahun dengan program akselerasi.
Setelah itu, Ryo melanjutkan kuliahnya di Harvard University. Empat tahun waktu yang dibutuhkannya untuk mendapatkan gelar BBA nya. Lulus di usia dua puluh tahun dengan predikat cumlaud dan IPK yang nyaris sempurna membuatnya merasa tidak sia-sia meninggalkan Jepang selama enam tahun.
Jangan katakan Ryo tidak rindu negaranya, hanya saja ternyata kesibukannya belajar membuat semua berada di luar prediksinya. Ryo sama sekali tidak punya waktu untuk berkunjung ke kota kelahirannya. Kedua orang tuanyalah yang harus mengalah mengunjunginya di New York pada sela-sela waktu sibuk mereka. Salahkan juga pamannya, Christ dan kakeknya, Michael, yang membuat waktu bebasnya semakin sempit dengan semua pembelajaran juga praktek nyata mengenai perusahaan yang mereka berikan di luar jam kuliahnya.
Hari ini, setelah semua perjuangannya, Ryo kembali dengan membawa gelar yang baru diperolehnya satu bulan yang lalu. Dirinya sudah merasa siap untuk mulai menjalankan tugasnya sebagai putra tunggal Hayami. Kepulangannya ini juga merupakan hadiah kejutan untuk kedua orang tuanya terutama ibu tersayangnya. Meski belum lama mereka baru bertemu yaitu saat acara wisudanya dari Harvard tapi tetap saja Ryo sangat merindukan ibu mungilnya itu. Ya sampai kapanpun dirinya akan tetap menjadi putra yang manja dihadapan Maya dan tentu bagi seorang Maya -berapapun usia Ryo- putranya itu tetaplah malaikat mungil dihadapannya.
"Sudah sampai Tuan,"
Kalimat sang supir taksi lagi-lagi menghentikan lamunan Ryo. Mengulas sebuah senyum seraya mengulurkan sejumlah uang sesuai dengan harga yang tertera di argo, Ryo keluar dari taksi dengan sebelumnya mengucapkan terima kasih.
"Maaf,"
Ryo yang sudah menjinjing kopernya berhenti melangkah dan menoleh pada supir taksi yang menatapnya penuh harap melalui jendela pintu taksi yang terbuka.
"Ya paman?" Tanya Ryo sopan.
"Ng, apa tuan adalah kerabat Maya Hayami? Aktris terkenal itu," sang supir taksi bertanya dengan nada ragu di awal, namun penuh penekanan di akhir kalimatnya.
Ryo terkekeh pelan, "Apa menurut paman saya seperti kerabatnya?"
Pria paruh baya itu mengendikkan bahunya, "Mungkin, tapi anda mirip dengan suami Maya, hhmmm, tuan Hayami," ucapnya ragu.
Ryo cukup terkejut saat mendengar bahwa seorang supir taksi bahkan memperhatikan keluarganya sedetail itu. Kalau masalah ibunya dia tidak heran dengan kepopulerannya tapi ternyata ayahnya juga tak kalah populer di usianya yang bahkan sudah setengah abad itu. Ryo jadi ingin melihat cermin sekarang dan membandingkan kemiripannya dengan sang ayah.
Sadar dari khayalan konyolnya, Ryo kembali fokus pada supir taksi yang masih menatapnya penasaran.
"Tidak heran kalau saya mirip dengan ayah saya kan paman?" Kata Ryo kemudian.
Sesaat sang supir taksi tampak terkejut tapi kemudian dia tersenyum lebar, "Sudah saya duga," gumamnya. Pria paruh baya itu kemudian mengangguk senang sebelum akhirnya mengucapkan salam dan terima kasih juga disisipi dengan sedikit pesan untuk sang ibu yang adalah aktris idolanya.
Ryo hanya menggeleng pelan begitu taksi pergi menjauh dengan senyum masih menghiasi wajah tampannya. Tangan Ryo terulur menekan tombol interkom di pintu gerbang mansion Hayami.
"Kediaman Hayami, ada yang bisa saya bantu?" Sapa suara yang terdengar dari kotak berwarna hitam itu.
Ryo masih mengenali pemilik suara itu, "Ini aku bibi Naoko, tolong buka gerbangnya."
"HAH?! TUAN MUDA!!!"
Dan Ryo yakin kalau pengasuhnya itu sudah melihat layar cctv untuk memastikan perkataannya.

***
Setelah tadi membuat heboh para pelayan dengan kedatangannya, sekarang Ryo dengan tenang bisa menikmati kembali nuansa hangat tempat kesayangannya. Para pelayan sudah dimintanya tutup mulut mengenai kedatangannya pada kedua orang tuanya. Ryo berjalan dengan santai menyusuri koridor mansion mewahnya. Memuaskan kerinduannya akan tempat bermain masa kecilnya. Setiap ruangan di dalam rumah besar itu menyimpan beribu kenangan indah dalam benaknya. Langkah Ryo berhenti di halaman belakang rumah yang dipenuhi dengan bunga mawar ungu. Bunga penuh sejarah itu membuat Ryo kembali tersenyum.
"Tuan muda tidak istirahat?" Tanya Naoko yang tanpa disadari oleh Ryo sudah berdiri di belakangnya.
"Nanti saja Bi," jawab Ryo sopan. Jujur, sebenarnya dia mengantuk, ditambah dengan jetlag akibat penerbangan panjangnya cukup membuat kepalanya sedikit berdenyut tidak nyaman. Tapi tidak, Ryo tidak ingin tidur sekarang. Dia masih ingin memberikan kejutan untuk ayah dan ibunya.
"Bisa tolong buatkan aku segelas jus jeruk Bi?" Pintanya kemudian.
"Tentu tuan muda," dengan langkah senang Naoko, yang telah menggantikan Bibi Harada sebagai kepala pelayan rumah tangga, segera berlalu untuk membuatkan permintaan Ryo.
Sedangkan Ryo sendiri berjalan menapaki halaman berumput dan duduk di ayunan kesayangan ibunya, menikmati hembusan angin musim gugur yang menerpa wajahnya. Belum lama Ryo menikmati kesendiriannya dalam tenang, Naoko datang dengan membawa nampan berisi jus jeruk kesukaannya. Setidaknya itu mampu membuatnya lebih segar.
"Terima kasih," ucap Ryo.
Naoko segera undur diri saat mengerti bahwa tuan mudanya tak ingin diganggu. Menjadi pengasuh Ryo saat kecil membuatnya hapal tabiat tuan muda Hayami itu.
Meneguk setengah gelas jusnya sekaligus, sebuah memori tiba-tiba muncul dalam pikiran Ryo. Keningnya berkerut dengan ekspresi wajah tak senang.
Sepuluh tahun lalu.
Ryo yang saat itu duduk di kelas lima sekolah dasar tampak begitu khawatir berjalan bolak-balik di depan pintu kamar ke dua orang tuanya. Siang itu, dirinya baru saja pulang sekolah ketika Naoko menyampaikan sebuah berita mengejutkan. Ibunya sakit dan Ryo langsung panik. Terang saja dia khawatir dengan keadaan ibu tersayangnya dan kekhawatirannya itu semakin berlipat ganda saat ayahnya dan dokter tidak mengijinkan dirinya masuk ke kamar untuk melihat kondisi sang ibu.
Bibir Ryo tak berhenti bergerak merapal doa untuk kesembuhan ibunya seiring kakinya yang tak berhenti melangkah berputar-putar. Lima belas menit terasa seabad untuk Ryo dan ketika pintu terbuka keningnya berkerut melihat ekspresi girang ayahnya.
"Bagaimana kea-,"
"Ibu baik-baik saja," potong Masumi semangat -terlalu semangat menurut Ryo-.
Bukankah ibunya sakit? Ryo bertanya-tanya dalam hatinya.
"Selamat Ryo, kau akan menjadi seorang kakak!" Seru Masumi kemudian yang langsung memeluk putranya.
Ryo menganga karena terkejut dan matanya berkedip beberapa kali menatap wajah ibunya yang duduk bersandar di tempat tidur dari atas bahu ayahnya. Tersenyum, ibunya tersenyum. Dan senyum itu menular. Ryo melepaskan diri dari pelukan ayahnya, mengucapkan selamat untuk ayahnya dan berlari memeluk ibunya dengan perasaan haru yang membuncah. Dia akan memiliki adik. Ryo terus merapal ucapan syukur kepada Tuhan diiringi tawa bahagia kedua orang tuanya.
Senyum Ryo terulas tipis untuk sesaat. Kenangan yang indah. Ryo bahkan masih ingat betapa bahagianya dia saat itu. Setelah penantian panjangnya, akhirnya doanya terkabul, dia akan memiliki seorang adik, perempuan kalau dia boleh memilih.
Namun ada kalanya manusia harus belajar menerima takdir dalam hidup mereka. Apa yang dibayangkan indah di awal tak pernah seindah kenyataannya.
Maya, diusianya yang ke tiga puluh tiga tahun, mengandung untuk yang ketiga kalinya. Bukan faktor usia yang menjadi masalah dalam kehamilannya tapi kondisi fisiklah penyebabnya. Ryo tahu kalau ibunya pernah dua kali menelan racun yang hampir merenggut nyawanya. Sebuah keajaiban ketika Tuhan mengijinkan Ryo terlahir ke dunia. Namun kali ini ternyata tidak ada keajaiban itu.
Ryo menghela napas panjang, masih teringat jelas dalam memorinya ketika dirinya dan sang ayah berlari menyusuri koridor rumah sakit, mengabaikan semua peringatan perawat yang melarang mereka untuk berlari. Sore itu, Ryo dan Masumi berada di tengah rapat bulanan rutin di gedung Daito sebelum Mizuki menginterupsi rapat dan membawa berita mengejutkan.
Nyonya Maya mengalami pendarahan dan sekarang sedang di bawa ke rumah sakit bersama Rose dan Alex.
Bagai petir di siang bolong, semua fokus ayah dan anak itu segera teralihkan. Masa bodoh dengan rapat dan tetek bengeknya. Keduanya segera berlari keluar ruang rapat menuju rumah sakit dan bersyukur Masumi memiliki sekretaris hebat seperti Mizuki yang segera mengambil alih semuanya.
Ryo dan Masumi tampak begitu panik di depan ruang emergency room ditemani oleh Rose dan Alex, menejer dan pengawal pribadi Maya. Seorang dokter yang muncul dari balik pintu ganda langsung disambut rentetan pertanyaan ayah dan anak itu.
"Maaf Tuan Hayami, kami tidak bisa menyelamatkan calon bayi anda. Janinnya sudah meninggal dan anda harus menanda tangani surat pernyataan ini agar kami dapat segera melakukan operasi untuk mengangkat janinnya. Kondisi Nyonya Maya akan semakin memburuk jika kita tidak segera melakukan operasi," terang dokter Amamiya, spesialis kandungan yang selama ini menangani kehamilan Maya.
Dokter wanita itu jelas tahu riwayat kesehatan pasiennya dan kondisi ini sudah diprediksinya sejak awal. Meski sempat senang karena Maya berhasil melewati trimester kedua kehamilannya dan memiliki harapan untuk melahirkan anak kedua namun ternyata semuanya harus pupus saat usia kandungan Maya memasuki bulan ke tujuh. Maya mengalami pendarahan dan calon bayinya tidak bisa bertahan. Dengan berat hati Masumi menandatangani surat pernyataan operasi dan berharap yang terbaik untuk keselamatan sang istri.
Hati Ryo seakan tercabik begitu melihat sang ibu terbaring pucat di atas strecher yang membawanya ke ruang operasi. Sia-sia sudah perjuangan ibunya selama tujuh bulan ini menahan sakit. Bukannya Ryo tidak tahu jika Maya terus berusaha kuat selama kehamilannya. Semua anjuran dokter dilaksanakannya dengan baik. Bedrest dan tidak melakukan kegiatan apapun. Keseharian Maya hanya berputar pada rumah dan rumah sakit. Ryo dan Masumi pun sekuat tenaga memberikan dukungan dan kekuatan untuk wanita yang mereka kasihi. Namun sekali lagi Tuhan menyatakan bahwa Dia lah yang memiliki wewenang mutlak. Bahkan hal terburuk harus dihadapi Maya ketika akhirnya rahimnya harus diangkat bersama dengan janinnya yang meninggal.
Ryo semakin miris ketika melihat sang ayah sempat menangis saat melihat janin yang sudah tumbuh sempurna itu tidur dalam damai di dalam balutan selimut hijau tanpa sempat melihat indahnya dunia. Sebuah kecupan di kening menghantar sang calon adik itu menuju tempat peristirahatan abadinya.
Tegukan kasar membuat Ryo menghabiskan sisa jus jeruk di dalam gelasnya. Itu adalah memori kelam yang cukup membuatnya trauma. Tidak pernah diharapkannya lagi dia melihat sosok kedua orang tuanya tampak rapuh dan tak berdaya.
Melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, Ryo merasa sudah membuang banyak waktu karena memori-memori masa lalunya yang tiba-tiba saja melayang-layang di dalam kepalanya. Diapun beranjak dari ayunan dan melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah.
Tujuan selanjutnya, Gedung Daito.

***
Tak jauh beda dengan yang dialaminya di bandara pagi tadi. Tatapan penuh kekaguman tertuju padanya. Bedanya, kali ini Ryo menebar senyum dan anggukan kepala untuk membalas beberapa sapaan dan salam hormat yang di berikan oleh beberapa karyawan yang mengenalinya.
Jangan heran, bentuk fisiknya yang merupakan duplikat sang ayah membuat semua orang di Gedung Daito itu langsung bisa mengenali Ryo meski dirinya tak muncul selama enam tahun. Kalau boleh dibilang Gedung Daito juga merupakan tempat 'bermainnya' sewaktu kecil jadi wajahnya tentu tak asing lagi.
Bisik-bisik karyawan perempuan terdengar seperti dengungan lebah di telinga Ryo dan dia mengabaikannya. Ketika pintu lift lobi terbuka, Ryo segera menghilang menuju lantai dimana ruangan ayahnya berada.
Suara ping keras diiringin pintu yang terbuka mengantar kaki Ryo keluar dari lift. Sejenak matanya menyapu sekitar ruang tempatnya berdiri. Tidak banyak berubah -menurutnya-, Ryo pun berjalan santai menuju ruangan kerja Masumi.
Mizuki, ehem, lebih tepatnya Nyonya Saeko Hijiri hampir menjatuhkan tumpukan dokumen dalam rengkuhan lengannya ketika melihat seorang pemuda tampan masuk ke ruang kerjanya yang berada di depan ruang kerja Masumi.
"Astaga Ryo!" Pekiknya tak percaya, "Kau hampir membuatku terkena serangan jantung," gerutu Saeko kemudian yang langsung berkacak pinggang setelah meletakkan dokumen di meja kerjanya.
Ryo tertawa renyah meski dengan volume rendah, takut ayahnya mendengar, "Aku merindukanmu Bibi Saeko."
Sebuah pelukan hangat merubah suasana hati Saeko. Pemuda yang sudah dianggap anak olehnya itu memang tak berubah, masih saja suka mengerjainya. Entah darimana sifat itu berasal mengingat betapa dinginnya sosok sang ayah yang Saeko kenal.
"Kapan kau kembali?" Tanya Saeko begitu pelukan mereka terlepas.
"Pagi tadi," jawab Ryo singkat.
Saeko menautkan alis dan memandang Ryo dengan mata menyipit, "Tuan Masumi tidak mengatakan apapun padaku tentang kedatanganmu. Jangan bilang kalau kau-,"
"Kejutan!" Jawab Ryo semangat yang ditanggapi sebuah gelengan oleh Mizuki.
Ryo terkekeh senang, "Apa ayah sedang sibuk?" Tanyanya kemudian.
Saeko menghela napas, "Apa ayahmu pernah tidak sibuk?"
"Ah ya, Bibi benar," Ryo mengangguk setuju.
Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepala Saeko guna melancarkan rencana kejutan Ryo untuk Masumi. Diapun berjalan memutari meja kerjanya dan mengambil setumpuk dokumen dari sisi lain mejanya. Ryo menatap heran saat Saeko memberikan tumpukan dokumen itu padanya.
"Masuklah, pasti menyenangkan melihatnya terkejut," Saeko memberikan senyum miring terbaiknya yang ditanggapi kekehan ringan Ryo. Tanpa banyak kata lagi, Ryo segera masuk ke ruangan Masumi dengan sebelumnya mengetuk pintu dua kali. Seruan masuk dari dalam membuatnya melangkahkan kaki menuju tempat ayahnya berada hingga kakinya berhenti di depan meja kerja Masumi.
Masumi bahkan tak mengangkat wajahnya sama sekali dan masih tampak serius membaca dokumen di pangkuannya.
"Letakkan dokumen yang ku minta di meja Saeko dan buatkan aku kopi," perintah Masumi lagi-lagi tanpa mengangkat kepalanya.
Ryo menggeleng melihat ayahnya yang sama sekali tidak berubah. Diusianya yang menuju lima puluh lima tahun, Masumi sama sekali tidak kehilangan kharismanya. Garis wajah yang tegas dengan ketampanan yang tak berkurang dan gaya elegan yang menawan, semuanya itu membuatnya masih tampak mempesona. Bahkan sikapnya juga sama sekali tak berubah, si dingin yang gila kerja. Predikat itu memang pantas menjadi gelar abadinya melihat bahkan saat ini Masumi tak melepas fokusnya pada pekerjaan meski untuk bertatap muka dengan sekretaris -setidaknya itu yang dikiranya-.
Merasa tidak ada respon dari Saeko untuk melakukan perintahnya, Masumi pun mengalihkan perhatiannya hingga akhirnya-
"Kenapa- KAU!"
-kedua matanya membulat terkejut dan seketika berdiri dari kursi kerjanya. Tidak peduli dengan dokumen kerjanya yang jatuh ke lantai.
"Selamat siang, ayah," sapa Ryo santai. Sungguh bakat akting Maya sepenuhnya menurun pada putra semata wayangnya, hingga dia bisa memberikan wajah tenang dengan senyum lebar ketika ayahnya bahkan hampir terkena serangan jantung.
"Astaga Ryo!" Masumi berjalan memutari meja kerjanya.
Ryo yang baru saja meletakkan dokumen yang dibawanya ke meja langsung menerima pelukan ayahnya. Hanya sebentar, karena setelah itu sebuah pukulan di belakang kepala Ryo membuatnya mengaduh. Oh, keduanya sama-sama terlihat tidak elit.
"Begitukah sopan santunmu menemui ayahmu?!" Seru Masumi kesal. Hei, dia sudah kepala lima sekarang, siapa yang bisa menjamin jantungnya kuat jika harus menerima syok terapi. Tentunya Masumi masih ingin sehat dan berumur panjang agar bisa terus menemani istri mungilnya yang sebelas tahun lebih muda darinya itu.
"Aku hanya ingin memberi kejutan Ayah," jawab Ryo tanpa dosa seraya mengusap-usap belakang kepalanya.
"Ah ya, dan kau berhasil anak muda. Tunggu sampai ibumu memberimu hukuman karena pulang tanpa memberi kabar lebih dulu," ucap Masumi dengan nada sarkasme. Sepertinya Masumi cukup kesal dikerjai oleh putranya.
Ryo tertawa renyah, "Ibu tidak akan menghukumku, percayalah ayah," ucapnya penuh percaya diri.
Ah ya, Masumi tahu anaknya benar. Bahkan dalam pikiran mereka sudah membayangkan hal yang sama, Maya dengan mata bulat berurai air mata.
Masumi menghela napas, meredam emosinya, "Ya kau benar," katanya mengakui.
Ryo tersenyum makin lebar namun sesaat kemudian wajahnya berubah serius.
"Aku pulang Ayah, mohon bimbingannya mulai saat ini," ucap Ryo seraya membungkuk hormat.
Masumi tersenyum tipis melihat putranya, "Selamat datang Ryo."

***
Sekolah akting Niji.
"Mayu, ulangi lagi! Kau harus mengerti apa yang dirasakan oleh Juliet untuk bisa menghidupkan karakternya! Drama bukan tentang menghapal naskah!"
"Ba-baik Bu Guru," jawab seorang siswa yang dipanggil Mayu. Gadis muda berambut panjang itupun kembali mengulang dialognya sesuai dengan apa yang diarahkan oleh gurunya.
"Ugh, Ibu Maya semakin keras saja," bisik seorang siswa yang mengeluh pada temannya.
"Sstt, jangan bicara sembarangan. Beliau ingin yang terbaik untuk kita. Dari yang ku dengar, dulu guru yang mengajar Ibu Maya jauh lebih keras," balas sang teman dengan suara bisikan yang sama lirihnya.
"Rin! Sakura! Bukan waktunya mengobrol! Cepat latihan!" Suara Maya kembali menggema di studio yang merupakan ruang kelas aktingnya.
Kedua siswi tadi berjenggit takut dan segera berlatih sesuai dengan materi yang diberikan. Tidak ada lagi yang bermain-main, semuanya fokus pada pengarahan Maya.
Dari luar studio, dua orang wanita tengah tersenyum melihat bagaimana sahabat mereka sekaligus guru dan pemilik sekolah itu mengajar.
"Kau lihat Rei, Maya semakin mirip dengan Bu Mayuko jika sedang mengajar."
"Ya kau benar Mina. Entah dari mana sifat galaknya itu lahir. Setahuku dia hanya bisa galak pada suaminya tapi semakin dewasa karakternya semakin mirip guru kita."
Rei dan Mina bertukar pandang lalu tertawa bersamaan. Dalam pikiran mereka membayangkan bagaimana dulu Maya sering bertengkar dengan suaminya, Masumi, sungguh menggelikan jika mengingat sekarang keduanya justru menjadi pasangan yang tidak terpisahkan. Keduanya berjalan meninggalkan depan kelas Maya sambil terus berbagi cerita.
Kesenangan dua sahabat lama itu harus berhenti dengan suara sapaan yang terdengar begitu familiar. Keduanya berbalik dan harus terpaku beberapa saat ketika melihat siapa yang datang.
"Eh? Kau-," Rei mengatupkan bibirnya dengan jari menunjuk ke depan. Lupa akan sopan santun yang seharusnya ditunjukkannya sebagai salah seorang guru di hadapan suami sahabatnya.
"Ryo!" Kalimat Rei diteruskan Mina dengan pekikan yang cukup keras. Sosok yang menjadi alasan keterkejutan kedua guru itupun hanya terkekeh sementara Masumi hanya mengulum senyum tipis, membiarkan kedua sahabat istrinya itu memeluk putranya bergantian.
"Kau sudah besar," Mina tampak hampir menangis karena terharu melihat keponakan yang sudah enam tahun tidak bertemu dengannya.
"Tentu saja Bibi Mina," Ryo tersenyum.
"Kau akan membuat ibumu marah Ryo," celetuk Rei kemudian. Jika dirinya saja begitu terkejut dengan kepulangan Ryo, Rei tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Maya mengingat sahabatnya itu sempat mengeluh karena Ryo tidak juga mau pulang meski sudah menyelesaikan studinya.
"Ya kurasa akan menyenangkan jika sekali-kali bisa melihat ibu marah Bibi Rei," canda Ryo.
Masumi, Rei dan Mina hanya bisa menggeleng melihat sikap Ryo.
"Sebaiknya kita menunggu di ruangan ibumu. Aku tidak mau membuat keributan dikoridor," kata Masumi kemudian.
Rei dan Mina mengangguk membenarkan.
"Sebentar lagi kelas akan selesai. Aku akan memberitahu Maya untuk segera ke ruangannya setelah mengajar nanti," kata Rei.
"Terima kasih Rei, Mina. Ayo Ryo." Masumi melangkahkan kakinya lebih dulu dan Ryo segera mengikuti setelah berpamitan pada kedua bibinya.
Benar saja, sepuluh menit kemudian suara bel berdentang di sepanjang koridor kelas. Beberapa guru tampak keluar dari kelas dan studio masing-masing, tidak terkecuali Maya. Para guru yang berpapasan dengannya mengangguk hormat, begitu juga para siswa mulai berhamburan keluar kelas. Maya adalah sosok yang sangat dihormati. Bukan hanya karena dia aktris Internasiol yang hebat, seorang guru ataupun pemilik sekolah, tapi memang karena Maya adalah sosok yang memang layak dihormati. Kerja kerasnya di dunia akting menjadi teladan bagi para entertaint muda di bidang drama dan juga perfilman.
Maya sedang berjalan menuju studio tari ketika Rei dan Mina bertemu dengannya.
"Kau mau kemana?" Tanya Rei.
"Kelas Tari, ada yang harus aku bicarakan dengan Tuan Iwaguchi," jawab Maya.
"Hmm, apa penting? Bisa kau tunda?" Tanya Rei lagi.
Maya menautkan alis heran, "Ada apa? Aku bisa membicarakannya nanti kalau memang ada yang lebih penting sekarang," jawab Maya.
"Apa kedatangan suamimu bisa dianggap lebih penting?" Sekarang Mina yang bertanya dengan nada menggoda.
"Ah," Maya menghela napas, pipinya merona. Entah mengapa meski sudah berusia kepala empat Maya masih saja merona ketika digoda perihal suaminya, "Apa Masumi datang?" Tanyanya kemudian untuk mengalihkan rasa malunya.
"Iya, dia menunggu di ruanganmu," jawab Rei disertai dengan anggukan.
Maya tidak heran dengan kedatangan suaminya. Masumi memang sering berkunjung secara tiba-tiba di sela-sela waktu sibuknya. Mayapun melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya.
"Mungkin dia mau mengajakku makan siang," gumam Maya kemudian.
"Mungkin," Mina menimpali gumaman Maya yang terdengar olehnya.
"Baiklah, aku pergi dulu. Terima kasih," Maya berlalu dari hadapan kedua sahabatnya yang kini tersenyum lebar. Kepolosan Maya membuatnya sama sekali tidak curiga dengan sikap tidak biasa Rei dan Mina. Setelah Maya tak terlihat, Rei dan Mina tertawa bersamaan, membayangkan teriakan Maya yang sebentar lagi akan menggema di ruang kerjanya.

***
"Halo sayang," Maya mengembangkan senyumnya begitu melihat Masumi sudah duduk manis di sofa tamu di ruang kerjanya.
Masumi hanya membalas sapaan istrinya dengan senyum menawan andalannya. Diapun berdiri dan merentangkan tangannya. Maya yang mengerti akan bahasa tubuh suaminya langsung memeluk mesra Masumi. Sebuah kecupan mendarat di puncak kepalanya.
"Kelasmu sudah selesai?" Tanya Masumi basa-basi.
"Hhmm," Maya mengangguk dalam pelukan Masumi. Maya menarik diri dari dekapan lengan Masumi lalu duduk di sofa, diikuti oleh Masumi disebelahnya, "Sudah lama menungguku?"
"Hanya lima belas menit," jawab Masumi yang kembali menyandarkan lengannya di bahu istrinya.
"Apa kau akan mengajakku makan siang?" Tanya Maya.
"Tidak," jawab Masumi santai.
Maya mengangkat wajahnya, menatap Masumi dengan alis bertaut, "Tidak?"
Masumi mengangguk, "Ya, tidak."
"Kau sudah makan siang?" Tanya Maya lagi.
"Belum tapi aku datang bukan untuk itu. Aku ingin memberimu hadiah kejutan."
"Aku tidak ulang tahun hari ini. Kejutan untuk apa?"
Masumi langsung tertawa mendengar kalimat polos istrinya. Bahkan diusianya yang ke empat puluh empat tahun, Maya masih saja sepolos gadis kecil.
"Apa membuat kejutan hanya boleh saat ulang tahun saja?"
"Tidak juga, hanya saja aku tidak merasa ada hal yang istimewa sampai kau memberiku hadiah kejutan," Maya beralasan.
"Tidak perlu memilih hari istrimewa untuk memberikan sesuatu yang istimewa pada seseorang yang sangat istimewa," Masumi bercanda dengan menekankan setiap kata istimewa dalam perkataannya.
"Ah, kau membuatku semakin penasaran," Maya mulai merasa aneh dengan gaya basa-basi Masumi.
"Baiklah sayang, sekarang tutup matamu," perintah Masumi seraya memutar tubuh Maya menghadap pintu masuk ruang kerjanya.
"Eh?!" Maya menoleh ke belakang, menatap Masumi yang kini justru tersenyum jahil.
"Kau mau mengerjaiku ya?" Tebak Maya yang sukses membaca raut wajah suaminya.
"Anggap saja begitu, sekarang berbalik dan tutup matamu," perintah Masumi diiringi dengan telapak tangannya yang menutup kedua mata Maya.
"Masumi," panggil Maya dengan nada merengek karena tidak mau menjadi korban kejahilan suaminya.
"Tenang saja, kau pasti menyukainya," bujuk Masumi, "Masuklah," serunya kemudian.
Maya sedikit memiringkan kepalanya begitu mendengar suara pintu terbuka.
"Maaf kalau kadonya tanpa pita merah kesukaanmu," bisik Masumi di belakang telinga Maya. Bersamaan dengan itu Masumi melepas telapak tangannya.
"Heh?!" Maya terkejut dan langsung menangkup mulutnya yang hampir memekik.
"Aku pulang, Ibu," Ryo berdiri di ambang pintu layaknya model tertampan majalah fashion. Senyumnya mengembang begitu juga dengan kedua tangannya yang terentang.
"Ba-bagaimana...kau pulang?" Maya benar-benar terkejut melihat putra semata wayangnya tiba-tiba berdiri di depannya.
"Dengan pesawat tentu saja," jawab Ryo santai dengan masih mempertahankan posenya, meminta pelukan dari sang ibu.
"Dasar anak nakal!" Bentak Maya namun beberapa saat kemudian Maya berlari dan dengan wajah yang makin tersuruk di dada bidang putranya ibu mungil itu terus saja menggerutu.

***
"Hah, terus saja kalian tertawa," Maya tampak kesal duduk di ujung sofa, menjauh dari anak dan suaminya yang sejak tadi masih menertawakannya.
"Hei, aku sama sekali tidak tahu Maya. Aku juga sama terkejutnya denganmu tadi," Masumi berkilah meski masih terkikik geli karena istrinya merajuk.
"Ayah dan anak sama saja," Maya menimpali perkataan suaminya.
"Maaf Bu. Aku hanya ingin membuat kejutan," kali ini Ryo membela diri.
"Dengan membuat ibumu hampir terkena serangan jantung?" Oh, katakan Maya berlebihan tapi sepertinya dia benar-benar kesal dengan kepulangan Ryo yang tiba-tiba dan tanpa kabar itu.
Masumi memberi isyarat dengan matanya pada Ryo. Percayalah, Maya yang merajuk akan membuat ayah dan anak itu kelelahan.
Ryo beranjak dari sofa single tempatnya duduk lalu berlutut di depan ibunya.
"Maaf," ucap Ryo dengan wajah lembut dihiasi senyum, kedua tangannya menangkup kedua telapak tangan mungil Maya.
Masumi mengernyit melihat jurus yang dilancarkan oleh putranya, itu adalah salah satu triknya untuk membujuk istrinya ketika sedang marah. Like father like son? Dan ingatkan Masumi untuk memarahi putranya itu karena saat ini dirinya merasa aneh melihat pemuda tampan berlutut di depan istrinya. Konyol.
Maya masih menunjukkan wajah kesal meski itu tampak palsu karena jelas terlihat cinta dan kerinduan yang besar di matanya. Sebenarnya kenapa Maya marah? Hhmm, ibu dari pangeran Hayami itu ternyata sudah berbulan-bulan membujuk putranya untuk kembali ke tanah air namun selalu menerima jawaban yang sama, penolakan. Hei, Maya hanya memiliki seorang putra dan wajar jika dia ingin sang pangerannya selalu berada di dekatnya mengingat ambisi sang putra sudah membuatnya berjauhan selama enam tahun.
"Jangan pergi lagi ya," ekspresi Maya melembut seiring genggaman tangan Ryo yang mengerat di atas pangkuannya.
Ryo menggeleng, "Aku akan menemani ibu mulai sekarang," janjinya.
Maya mengembangkan senyumnya, "Janji?" Tegasnya lagi dan konyolnya kali ini Maya mengangkat jari kelingkingnya.
Ryo dan Masumi tertawa namun saat bibir Maya kembali mengerucut keduanya terdiam. Ryo menautkan jari kelingkingnya dengan masih menahan geli akan sikap ibunya. Sungguh sangat khas Maya.
"Aku berjanji," ucap Ryo.
Senyum Maya semakin mengembang, "Ayo pulang, ibu akan adakan pesta untukmu," dengan antusias Maya menepuk kedua tangannya.
"Pesta?" Ryo sedikit terkejut dengan rencana ibunya.
Maya mengangguk mantap lalu beralih menatap suaminya, "Masumi, aku ingin pesta yang besar," pintanya.
"Kau yakin?" Setahu Masumi, istrinya itu tidak menyukai pesta besar tapi sekarang justru meminta pesta besar.
Maya mengangguk sekali lagi.
"Ibu, aku pikir tidak perlu sampai-,"
"Tidak," potong Maya cepat, "Tidak ada penolakan anak nakal! Kali ini kau harus menurut pada ibu." Tegas Maya kemudian, "Ibu ingin membuat pesta besar untuk kepulanganmu."
Ryo bertukar pandang dengan ayahnya. Sebenarnya Ryo tidak masalah dengan pesta atau semacamnya hanya saja dia malas jika masalah kepulangannya akan menjadi sorotan media nantinya. Tapi sepertinya menolak keinginan Maya saat ini bukanlah pilihan bijak.
"Masumi?" Maya meminta jawaban suaminya.
Masumi yang masih menatap Ryo segera beralih fokus pada istrinya, "Baiklah, apapun maumu," jawab Masumi.
"Yeayyy!" Maya memekik, sungguh Maya masihlah sama seperti gadis kecil yang puluhan tahun lalu dikagumi oleh Masumi. Bahkan diusianya yang berkepala empat saat ini, Maya sama sekali tidak kehilangan pesona keluguan dan kepolosannya.
"Ibu akan mengundang semua aktris dan relasi keluarga kita, meminta mereka datang dengan membawa anak-anak gadis yang cantik," Maya berceloteh. Wajahnya berbinar membayangkan rencananya terealisasi.
"Heh? Gadis cantik?" Ryo terkejut.
"Iya, ibu ingin kau mulai mencari calon menantu untuk keluarga Hayami," jawab Maya tanpa dosa.
Masumi langsung terkekeh mendengar penuturan istrinya sementara Ryo menekuk wajahnya, tidak setuju.
"Anakmu bahkan belum genap dua puluh tahun Maya," kata Masumi.
"Ah! Iya!" Maya justru seperti mendapat ilham dari perkataan suaminya, membuat Masumi dan Ryo penasaran akan apa yang tengah dipikirkan oleh wanita terkasih mereka itu.
"Pestanya akan diadakan minggu depan. Tepat pada hari ulang tahun kalian berdua, bagaimana? Baguskan rencananya?" Maya memaksa Masumi mengangguk dengan jurus tatapan mata polosnya.
"Apapun untukmu sayang,"
"Terserah ibu,"
Para pria dalam keluarga Hayami memang tidak pernah bisa menolak titah seorang Maya.
"Baguslah! Sekarang kita pulang dan kau berhutang cerita pada ibu."
Ya! Dan tidak ada kata tidak! Itulah arti dari perintah Maya.
"Just for you Mom," Ryo mengecup kedua tangan ibunya penuh sayang. Masumi mendengus kesal.

***
Seperti apa yang Maya inginkan, pesta besar untuk menyambut kepulangan Ryo sekaligus perayaan ulang tahun Ryo dan Masumi -yang kebetulan memang di tanggal yang sama- pun digelar. Malam itu taman belakang kediaman Hayami menjadi tempat pesta yang meriah dengan banyak tamu datang memenuhi undangan sang Nyonya rumah.
"Wah, benar-benar pesta yang meriah," gumam seorang pemuda tampan yang memakai setelah abu-abu dan memegang segelas cocktail di tangan kirinya. Dia tengah tersenyum menatap Ryo yang berdiri di depannya.
"Seperti kau tidak tahu ibuku saja. Meski aneh rasanya, aku tidak bisa menolak," balas Ryo dengan suara menyerupai gumamam karena takut perkataannya di dengar tamu lain, terutama ibunya.
"Aneh?" Pemuda itu menatap Ryo heran.
"Ck, kau ingat kapan terakhir kali aku merayakan ulang tahunku dengan pesta sebesar ini Shou?"
"Ah, waktu umurmu sepuluh tahun?" Tebak sang pemuda dengan senyum geli menghias bibirnya.
"Aku tidak alergi dengan pesta hanya saja merayakan ulang tahun di usia sekarang, hhh," Ryo menghela napas panjang lalu menyesap orange squash yang sejak tadi bertengger di tangan kanannya. Dia tampak begitu menawan dengan balutan tuxedo hitam, bahkan pesonanya menyamai sang ayah yang meski sudah berusia kepala lima masih saja tampak luar biasa.
Ryo terdiam lalu mengamati sekelilingnya. Banyak tamu. Dia sedang menyendiri dengan sedikit menjauh dari kerumunan pesta mengingat sejak tadi ibunya terus saja memperkenalkan para relasi keluarga dan jangan lupakan termasuk para gadis yang hadir di pesta. Sayangnya Ryo hanya mengingat sebagian kecilnya saja, tidak tertarik sama sekali. Hanya pesan dari ayahnya lah yang diingatnya. Masumi berpesan untuk menggunakan kesempatan ini sebagai ajang untuk mengenal relasi keluarga Hayami lebih lagi. Perhatian Ryo pun kembali pada pemuda di depannya yang tadi dipanggilnya dengan nama Shou, Shou Hijiri.
"Shou," panggilnya.
"Ya Tuan Muda," jawab Shou santai.
"Ck, jangan panggil aku dengan embel-embel seperti itu."
Shou langsung tertawa mendengarnya. Dia tahu Ryo tidak menyukai predikat tuan muda dalam panggilannya karena meski kedua orang tua Shou bekerja di bawah keluarga Hayami, Ryo menganggap Shou sebagai sahabat walaupun usia mereka terpaut dua tahun.
"Jangan marah, aku hanya bercanda. Kenapa moodmu jelek sekali hari ini? Ini pestamu," gerutu Shou, yang kemudian meneguk lagi coktailnya.
Lagi-lagi Ryo menghela napas panjang, "Ibu berniat mencari menantu di pesta ini."
"Uhuk!" Shou sukses tersedak coktailnya dan memandang sahabatnya seolah-olah sekarang Ryo makhluk aneh berkepala dua, "Kau mau menikah?"
"Heh?! Enak saja, aku hanya mengatakan ibuku ingin mencari menantu bukan mengatakan kalau aku ingin menikah," elak Ryo dengan kesal. Ya, ini adalah masalah yang selama seminggu terakhir dipikirkannya. Entah darimana ide sang ibu itu hingga menginginkan dirinya yang bahkan baru genap berusia dua puluh tahun untuk menikah.
"Aku mendengar ada yang mau menikah disini."
Kalimat itu sukses membuat Ryo dan Shou menoleh bersamaan ke arah sumber suara. Senyum keduanya mengembang begitu melihat seorang gadis cantik berbalut gaun panjang berwarna biru dengan rambut ikal di tata indah dengan hiasan manik-manik berkilau di sela-sela jalinan rumit rambutnya.
"Bagaimana kabarmu Nona Hamill?" Ryo membiarkan sang gadis memeluknya setelah memberikan ciuman di pipi.
"Tidak cukup baik mengingat sahabatku mulai melupakanku," jawabnya dengan bibir mengerucut kesal.
Ryo dan Shou tertawa.
"Kau pantas marah Ellena, Tuan Muda kita ini memang menyebalkan," celetuk Shou.
"Hhmm, benar Shou. Lulus dari Harvard di usia muda, pewaris tunggal keluarga Hayami sekaligus cucu konglomerat Anderson, ah, aku terkejut jika dia tidak besar kepala," gadis yang dipanggil Ellena itu menyeringai tipis.
"Hei, aku tidak semenyebalkan itu," protes Ryo, "berhentilah menghakimiku dan kau juga jangan menambah masalah Tuan Muda Hijiri."
Shou yang di serang telak oleh seniornya saat sekolah menengah pertama dulu itu angkat tangan tanda menyerah, namun wajahnya menyiratkan kalau dirinya menyukai ekspresi kesal sahabatnya.
"Wow, lama tinggal di negeri orang membuatmu banyak berubah Tuan Muda Hayami," cibir Ellena lagi, kekesalannya karena dilupakan oleh sang sahabat akan dibalasnya hari ini.
"Ayolah Ellena, kau dan mulut pedasmu itu, merepotkan," kata Ryo yang mulai jengah, "Banyak hal yang harus aku selesaikan kemarin. Lagipula aku hanya ingin memberikan kejutan untuk ibu," Ryo kembali berkilah.
"Ya, ya, ya, apapun katamu Ryo. Yang jelas aku masih marah," jawab Ellena. Gadis yang berusia sama dengan Ryo itu masih saja menekuk wajahnya.
"Oke, oke, aku siap terima hukumannya. Apapun itu asal kau jangan merajuk lagi padaku. Cukup ibu saja yang marah," kata Ryo kemudian. Sepertinya melihat kaum hawa yang merajuk adalah kelemahannya.
"Got you!" Ellena menyeringai senang, "Apapun?" Sebelah alisnya terangkat dengan ekspresi yang sarat dengan keraguan.
"Hhmm, itu maumu kan? Apapun," tegas Ryo yang langsung di sambut tawa renyah Shou.
"Aku turut prihatin Tuan muda," goda Shou. Dia jelas tahu bagaimana tabiat senior wanita sekaligus sahabatnya ini. Ellena tidak akan meminta hal yang mudah untuk menghukum Ryo. Shou berhenti tertawa saat menerima tatapan tajam Ryo, sang tuan muda itu sudah cukup kesal dengan ide ibunya tanpa harus ditambah dengan tawa dan kejahilan para sahabatnya.
"Sudah, sudah, sepertinya Bibi dan Paman mencarimu Ryo," Shou mengerlingkan mata, menunjuk ke arah wanita cantik dengan gaun panjang berwarna pastel yang tampak sibuk menoleh ke kanan ke kiri di sela-selanya menyapa para tamu, di sebelahnya berdiri pria paruh baya yang juga tampak mencari sesuatu.
"Ya, sepertinya aku harus kembali sebelum ibu marah lagi padaku karena ketahuan melarikan diri," baru saja Ryo melangkahkan kakinya, satu pertanyaan melintas di benaknya. Diapun berhenti yang otomatis juga menghentikan langkah dua sahabat yang berjalan di belakangnya.
"Apa?" Tanya Ellena.
"Dimana Hana?"
Ellena dan Shou saling bertukar pandang sebelum akhirnya kembali menatap Ryo.
"Ah, ku pikir dia memberimu kabar. Hana bilang akan terlambat datang karena harus menunggu ayahnya yang baru pulang syuting dari Osaka sore tadi," jawab Shou.
"Oh begitu, aku juga lupa menghubunginya. Ibu membuatku benar-benar sibuk minggu ini," gerutu Ryo.
"Sibuk memikirkan calon istri?" Celetuk Shou.
Ellena tergelak, "Ya, Bibi Maya mengatakan hal itu padaku. Kalau kau tidak keberatan, aku siap membantumu untuk menyeleksi calon istri yang ditawarkan ibumu Ryo."
Ryo mendengus kesal dan langsung berbalik untuk menemui ayah dan ibunya, mengabaikan sepasang sahabat gila -menurutnya- yang tengah ber-euforia karena berhasil mengerjainya.
"Ah, kau darimana saja?" Maya segera mengamit lengan Ryo begitu bertemu dengannya, seolah takut putranya itu akan menghilang lagi, "Ibu mencarimu sejak tadi," gerutu Maya. Masumi pun hanya mengulum senyum tipis melihat wajah putranya, mengerti dilema anak semata wayangnya itu.
"Aku bersama Shou dan Ellena," jawab Ryo kemudian. Ya, tidak sepenuhnya bohong, dia memang bersama kedua sahabat masa kecilnya itu. Tidak mungkin juga kan Ryo menjawab kalau dirinya menghindari para tamu karena jengah dengan semua perkenalan gadis yang dilakukan ibunya.
"Oh," Maya memiringkan kepala saat dua sosok muda mudi datang menghampirinya, "Shou, Ellena, apa kabar?" Sapa Maya ramah.
"Baik Bibi Maya, selamat malam Paman Masumi," sapa Ellena.
"Selamat malam Bibi Maya, Paman Masumi," sapa Shou juga.
"Hhmm, sudah lama tak bertemu, kalian berdua sudah dewasa ternyata," kata Masumi.
"Ah iya, ayo, ayo cepat, acara potong kuenya akan segera di mulai. Kau menghilang saja daritadi, Ellena, Shou, kalian juga ikut," kata Maya yang langsung menarik lengan putranya. Perintah Maya membuat Masumi menggeleng geli.
"Maya, putramu sudah bukan anak SD lagi," Masumi berbisik, mencoba menyelamatkan putranya dari rasa malu.
"Apa maksudmu? Kau lupa anakmu berulang tahun yang kedua puluh hari ini? Mana mungkin aku menganggapnya anak SD. Ah, kau semakin tua Tuan Hayami," jawab Maya tanpa dosa.
Ryo hanya menepuk keningnya dan Masumi sukses dibuat menghela napas panjang sementara Shou dan Ellena sibuk menahan tawa. Maya lalu menarik lengan suaminya juga dan membawa dua pria kesayangannya itu ke tengah pesta tanpa peduli kalau tindakannya itu membuat wajah Ryo dan Masumi memerah.

***
Tepuk tangan menggema di ruang terbuka halaman belakang kediaman Hayami. Ryo dan Masumi baru saja meniup lilin ulang tahun mereka. Dua kue berukuran besar dengan dekorasi yang sama sekali berbeda.
Kue milik Masumi dominan akan warna coklat dan emas dengan hiasan lilin angka lima puluh lima sementara kue milik Ryo dominan dengan warna putih dan kuning dengan hiasan lilin angka dua puluh.
Ryo masih merasa malu karena baru saja meniup lilin seperti anak SD tapi saat melihat ayahnya dengan santai menjalani semua ritual keinginan Maya, Ryo menyerah. Memang membahagiakan seorang ibu itu mahal harganya.
"Potong kuenya," Maya tersenyum lebar ketika memberikan masing-masing pisau untuk suami dan anaknya dan dengan diiringi tepuk tangan kedua memotong kue masing-masing.
Potongan pertama dari masing-masing kue diletakkan di atas piring porselen kecil. Sekarang Masumi dan Ryo berdiri di depan Maya dengan kedua piring terangkat di hadapannya.
"Untuk istriku tersayang, terima kasih untuk setia bersamaku selama ini. Kau yang terbaik," Masumi menyuapkan sepotong kecil kuenya dengan garpu dan Maya harus menahan air matanya jatuh ketika rasa manis dari kue coklat menyapa lidahnya.
"Aku mencintaimu," Masumi memeluk dan mengecup kening Maya, disambut gema tepuk tangan yang kembali membahana.
"Giliranku ayah," sela Ryo kemudian. Meski menurutnya kekanakan merayakan ulang tahun dengan tiup lilin dan potong kue tapi tetap saja Ryo tidak mau ketinggalan untuk menunjukkan rasa sayang dan terima kasihnya pada sang ibu.
Masumi merenggangkan pelukannya namun tetap menyandarkan lengannya di bahu istrinya. Memberi sedikit ruang untuk putranya menyuapkan potongan kuenya.
"Untuk ibu, terima kasih sudah menjadi ibu yang luar biasa untukku, aku menyayangi ibu," ucap Ryo.
Dan kali ini Maya tak sanggup menahan air matanya. Butiran kristal bening itu langsung jatuh saat manisnya kue vanila lumer di mulutnya. Melepaskan diri dari lengan suaminya, Maya memeluk erat putra semata wayangnya. Kembali suara tepuk tangan terdengar melengkapi suasana penuh haru keluarga itu.
"Aku menyangi kalian berdua. Kalian adalah hartaku yang paling berharga," ucap Maya ketika akhirnya Masumi bergabung untuk memeluk anak dan istrinya.
Sungguh para tamu menjadi begitu iri dengan kebagiaan yang tersaji di hadapan mereka. Keluarga Masumi tampak begitu sempurna. Ayah dan ibu yang hebat juga seorang putra yang luar biasa ditambah dengan kasih sayang yang melimpah diantara mereka. Sepertinya Tuhan memang begitu menyayangi keluarga itu sehingga mereka dikaruniai dengan kelimpahan dan kebahagiaan yang begitu banyak.

***
Ryoichi Hayami, tampak begitu bahagia malam itu. Ditengah keluarga, sahabat dan semua relasi keluarganya, sang pangeran terlihat begitu sempurna. Maya dan Masumi juga terlihat begitu bahagia ketika melihat putra semata wayangnya sudah kembali di tengah-tengah mereka.
"Kau senang?" Tanya Masumi seraya memeluk istrinya.
Maya sendiri yang sejak tadi sibuk memandangi putranya kini beralih menatap suaminya. Diapun mengangguk, "Aku senang sekali hari ini."
Keduanya terdiam dan kembali menatap Ryo yang berada bersama teman-temannya.
"Ah, mereka datang," celetuk Maya kemudian.
Masumi melihat tiga orang berjalan ke arahnya namun salah satu dari mereka, yang adalah seorang gadis cantik, memisahkan diri lalu berjalan ke arah putranya berada.
"Koji, Mai, kalian datang," seru Maya senang menyambut sepasang suami istri yang juga adalah sahabatnya.
"Tentu kami datang, tapi maaf kami terlambat," jawab Koji seraya mengulurkan tangan menjabat Masumi. Mereka beramah tamah selayaknya sahabat yang lama tak bertemu.
Sementara itu di tempat Ryo berada, suara tawa masih terdengar diantara percakapan tiga sahabat masa kecil itu.
"Maaf aku terlambat,"
Tawa ketiganya langsung terhenti dan mereka berbalik secara bersamaan.
"Hana?" Ryo bergumam ketika melihat sosok gadis dihadapannya. Gadis berparas cantik dengan rambut ikal berwarna coklat yang di tata apik, mengenakan gaun manis panjang berwarna merah muda dengan hiasan renda di bagian tepinya. Ryo berkedip tak percaya dengan sosok yang ada dihadapannya ini. Pasalnya gadis yang dipanggilnya Hana itu dulu adalah gadis cupu dengan kaca mata tebal yang selalu bertengger di hidungnya. Lupakan dengan fakta bahwa ayahnya adalah aktor ternama Yuu Sakurakoji, Hana hanyalah gadis yang menyukai buku dan jauh dari kata menarik meski sebenrnya kepribadiannya menyenangkan.
"Kau juga dapat kejutan Tuan Muda," celetuk Ellena yang mengejek tatapan terkejut sahabatnya.
"Aku tidak percaya ini kau Hana," kata Ryo yang sudah kembali ke alam sadarnya.
"Ini memang aku, siapa lagi? Tidak ada salahnya kan aku merubah penampilan," jawab Hana santai.
"Ya, memang tidak ada salahnya, hanya saja aku tidak tahu kau bisa berdandan secantik ini."
"Ryo!" Pekik Hana kesal sementara Ryo terkekeh senang lalu menarik sahabatnya itu ke dalam pelukannya.
"Aku mrindukanmu," kata Hana lirih di dalam pelukan Ryo.
"Hhmm?" Ryo melepaskan pelukannya dan menatap sahabat perempuan yang berbeda satu tahun dengannya itu.
"Kau bilang apa?" Tanya Ryo kemudian.
Hana justru tersenyum lalu menggeleng. Dengan cepat pandangannya beralih pada Ellena dan Shou yang juga sedang menatapnya.
"Apa aku ketinggalan pestanya?"
"Ya sedikit. Kau melewatkan bagian dimana Bibi Maya sibuk menjadi mak comblang malam ini," jawab Shou.
"Eh?!" Hana tampak terkejut lalu menatap Ryo dengan penasaran, "Kau akan dijodohkan?"
Ryo mendengus kesal dan menatap tajam Shou yang tak lelah juga menggodanya, "Jangan dengarkan dia."
Ellena dan Shou kembali terkekeh senang, malam ini mereka puas membuat tuan muda Hayami tak berkutik.
"Tenang saja Hana, belum ada yang dipilihnya. Kalau kau mau, kau bisa membantuku untuk menyeleksi calon istri pangeran kita ini," kata Ellena.
"Wah sepertinya menyenangkan," Hana tertawa.
"Ck, kalian semua membuat kepalaku semakin sakit saja," kata Ryo kesal.
"Hei Ryo, daripada kau memilih wanita tidak jelas di luar sana, bagaimana kalau kau memilih salah satu diantara kami saja?" Hana kembali mengulas senyumnya dengan mata mengerling nakal pada Ryo.
Ellena terdiam lalu ikut menatap Ryo yang tampak bingung dengan pertanyaan Hana, sementara Shou berdehem pelan karena tiba-tiba suasana menjadi tidak nyaman.
"Kau bercanda ya?" Ryo menatap Ellena dan Hana bergantian.
"Kalau tidak bagaimana? Apa jawabanmu?" Tantang Hana.
Ryo menyeringai tipis lalu menarik Ellena untuk mendekat padanya, "Hhhmm, mungkin aku pilih Ellena," jawabnya seraya membalas kerlingan mata Hana.
"Ah begitu rupanya," Hana mengangguk lalu melirik Shou, "kalau begitu aku dengan Shou saja," lanjutnya seraya menarik Shou lalu memeluk lengannya.
"Hei, jangan libatkan aku dalam permainan kalian ya," Shou memperingatkan.
"Sudah kau diam saja," kata Hana.
Ellena mendengus kesal lalu melepas tangan Ryo dari lengannya, "Jangan bercanda! Hana, aku perlu bicara denganmu," katanya sambil lalu dari hadapan mereka.
Hana tertawa lalu mengikuti Ellena, "Kami akan kembali sambil membawa minuman untuk kalian." Diapun setengah berlari mengikuti Ellena yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.
"Dasar, ada-ada saja," gumam Ryo saat melihat tingkah aneh kedua sahabat perempuannya.
"Ya, dasar wanita," gerutu Shou juga.
Keduanya kemudian saling pandang dan tergelak bersamaan.
Di sisi lain dua orang wanita berjalan berdampingan menuju meja minuman.
"Aku tidak suka selera humormu Hana," kata Ellena tiba-tiba.
Hana tertawa, "Aku tahu kau tak suka."
Ellena menghela napas panjang, merasa tak ada gunanya kesal pada sahabat masa kecilnya itu.
"Sudahlah Ellena, kita sama-sama sudah dewasa, jadi tak ada gunanya juga kita menutupi semuanya," kata Hana.
Ellena menoleh dan menautkan alis menatap Hana yang masih menghiasi wajahnya dengan senyum lebar.
"Maksudmu, kau mau kita bersaing sekarang?" Tanya Ellena.
Hana mengangguk, "Kita bersaing dan bebaskan Ryo memilih satu diantara kita."
Ellena menyeringai, "Percaya diri sekali kau, bagaimana kalau bahkan Ryo sama sekali tidak tertarik pada kita? Atau lebih buruknya dia benar-benar memilihku? Kau mau mengorbankan persahabatan kita?"
"Dua-duanya tidak masalah bagiku, itu hak Ryo untuk memilih siapa."
Ellena berhenti di depan meja minuman lalu mengambil segelas cocktail dengan sirup hijau dan segelas orange squash. Diapun kembali menoleh pada Hana di sebelahnya yang sedang mengambil dua gelas cocktail dengan sirup merah.
"Kau yakin?" Tanya Ellena seraya menunjukkan gelas orang squash yang dipegangnya. Mereka sama-sama tahu siapa yang menyukai minuman itu.
"Kita lihat saja," Hana menyeringai sebelum berputar dan berjalan meninggalkan Ellena sementara yang ditinggal hanya bisa menggeleng seraya mengulas kembali seringai tipis andalannya.
Keduanya berjalan dalam diam sampai mereka melihat kalau Ryo dan Shou tak lagi sendiri. Para orang tua sudah berkumpul di sana. Ayumi berdampingan dengan Hamill, Koji dan Mai, lalu Hijiri dan Saeko, tak tertinggal Maya dan Masumi yang berdiri di sebelah mereka. Tak hanya itu, Ellena dan Hana juga melihat sepasang suami istri yang mereka kenali sebagai paman dan bibi Ryo di New York. Namun satu hal yang membuat kedua gadis itu mengernyit heran adalah Ryo yang tampak gembira dengan seorang gadis cantik berambut pirang berdiri di sebelahnya.
"Kalian lama sekali mengambil minumannya sampai melewatkan hal seru," kata Shou begitu mereka ikut berkumpul di tengah keluarga. Rasanya seperti reuni saja.
"Apa yang kami lewatkan?" Tanya Hana penuh semangat sementara Ellena sibuk menatap gadis yang berdiri di sebelah Ryo.
"Kalian pasti terkejut," celetuk Maya tiba-tiba.
Wajah Maya yang menyiratkan kebahagiaan yang berlebih membuat Ellena merasakan sesuatu hal yang tidak nyaman dalam hatinya.
"Kau ini masih seperti remaja saja Maya," kata Christ karena melihat ekspresi girang adiknya
Semua yang mendengar jadi tertawa.
"Baiklah, terserah apa kalian, yang jelas aku sangat bahagia hari ini. Benar kan Masumi?" Maya mencari dukungan dengan memeluk lengan suaminya. Dia memang sedang bahagia sekali, pasalnya sang kakak dan kakak ipar, Christian dan Amanda tiba-tiba datang di tengah pesta dengan membawa kejutan yang merupakan keinginan Maya.
"Iya, iya," jawab Masumi setelah selesai dengan tawanya.
"Nah, kalau begitu kau perkenalkan saja sekarang Ryo," kata Maya lagi dengan semangat.
Sang putra yang dipanggilpun mengalihkan perhatiannya kepada dua sahabatnya yang tadi tidak mendengar kejutan darinya.
"Hhmm, baiklah, sebenarnya aku benar-benar belum ingin mengatakan hal ini pada ayah dan ibu apalagi pada semuanya, hanya saja memang minggu ini terlalu banyak kejutan yang terjadi dan my uncle yang baik hati itu juga ikut-ikutan memberiku kejutan. Ulang tahunku kali ini benar-benar takkan terlupakan," kata Ryo.
"Jangan terlalu banyak basa-basi,"
"Christ," Amanda memperingatkan protes suaminya.
Ryo terkekeh lalu menarik gadis cantik di sebelahnya agar lebih merapat, "Perkenalkan, Karin , calon tunanganku."
Maya bertepuk tangan, Masumi tersenyum dan binar kebagiaan tersirat di wajah semua sahabat Maya terkecuali kedua gadis yang berdiri dengan wajah terkejut.
Prangg! Dan gelas-gelas yang yang sejak tadi dipegang oleh Ellena dan Hana jatuh begitu saja membentur lantai batu di bawah mereka.
"Eh?!" Keduanya tersentak bersamaan saat mendengar suara pecahan kaca yang nyaring. Otomatis semua mata menatap keduanya dengan penasaran.
"Ah, kami hanya terlalu terkejut," Hana segera mengambil alih suasana.
Ellena mengulurkan tangan pada Karin seraya mengulas senyum, berusaha menetralkan degub jantungnya yang liar, "Ellena, sahabat Ryo, salam kenal."
"Karin, salam kenal," sebuah senyum juga terulas di bibir merah muda Karin.
Hana melakukan hal sama sebelum akhirnya menghela napas panjang lalu menoleh pada Ellena.
"Kau kalah," gumam Hana.
Ellena menyeringai, "Kau juga," jawabnya sama lirihnya.
Keduanya kemudian tertawa bersamaan, merasa bodoh dan konyol dengan pemikiran mereka.
Ellena dan Hana memandang kearah Ryo, pujaan hati mereka. Disana sang sahabat tengah tertawa dengan kekasihnya di antara keluarganya. Indah bukan? Ya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat orang yang kau sayang bahagia. Cinta tak harus memiliki, mungkin terdengar klise untuk menutupi rasa sakit karena cinta yang tak terbalas tapi setidaknya kedua gadis itu akan belajar. Belajar untuk melepas apa yang bukan miliknya. Menanam harapan baru untuk cinta masa depan yang mungkin akan datang suatu saat nanti. Ya, semua akan indah pada waktunya, pasti.
"Ryo,"
"Ya?"
"Semoga bahagia Tuan Muda Hayami,"
Ucap kedua sahabat itu bersamaan.

***
AN : Special for my beloved sister Lluvia. Happy brithday ya, wish u all the best pokoknya Cin. Tuhan memberkatimu dalam segala hal. Ga bisa kasih apa2 yak, cuma bisa kasih ini, semoga berkenan, hahahahaa..love u pokoknya, muaahhhhhh...

Post a Comment

10 Comments

  1. Kyaaaaaa!!! saya datang, saya datang...*tebar konveti
    Happy Brithday ya cintaku Lluvia and Fitria GW.
    Moga suka ya cin hadiahnya. berhubung dirimu susah kalo baca multi chapter jadilah ku bikin satu chap aja. tapi kau tahulah kalo aku ga pinter bikin cerita pendek kaya dirimu, aku suka yang panjang2 soalnya, halah
    Mau lanjut apa sampai disini aja? enaknya si lanjut tapi kayaknya ga janji juga coz utangku masih banyak, wkwkwkwkwkwk
    Happy reading lah pokoknya
    peluk ciumm untukmu....muaahhhhhh ampe basah pipi bakpao sepuluh ribunya XD

    ReplyDelete
  2. Yang ultah 2 orang tapi kita-kita juga dapat hadiahnya. �� makasih cin...

    ReplyDelete
  3. Bagus! Two thumbs up ����

    ReplyDelete
  4. Mba agnes,, lanjutan cerita2 yg lain manaa?? Uda ga sabar mau baca lanjutannya :)

    ReplyDelete
  5. Ditunggu lanjutan Pure lovenya mbak...

    ReplyDelete
  6. Gimana ya....kalo ceritanya masuki dan maya punya anak cowo kembar tiga...pasti seru...hhhmmmm

    ReplyDelete
  7. Ahhhh selalu aja dalem ceritanya. Gmn klo bikin sekuael kehidupan si ryo sampai akhirnya punya pacar mbak agnezzzz. Ditunggu lanjutannya ya ❤

    ReplyDelete