Incredible Love - Chapter 2

Disclaimer    : Jelas bukan milik saya, cuma pinjem dari aunty JK Rowling
Fanfiction by Agnes Kristi
For my beloved Daddy Sev, I always love u
Summary : Sesederhana apapun cinta, dia selalu bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.

*********************************************************************************




Berlanjut pada kisah cinta unik antara mahasiswa dan sang profesor.

Banyak kisah di dunia ini yang menceritakan tentang hebatnya kekuatan cinta. Putri Salju misalnya, membangkitkan putri dari kematian dengan sebuah ciuman cinta sejati yang akhirnya menghancurkan kejahatan sang ratu. Atau Cinderella? Cinta seorang pangeran yang akhirnya mengubah nasib gadis desa menjadi seorang putri yang bahagia. Atau juga Beauty And The Beast? Kisah dimana cinta menunjukkan kuasanya dengan bebas tumbuh di hati siapa saja, termasuk di hati seorang gadis yang kemudian jatuh cinta pada seorang buruk rupa -monster tepatnya-. Namun siapa sangka kalau ternyata cinta itu justru membebaskan sang monster yang ternyata adalah seorang pangeran yang terkena kutukan? Sang gadis dan pangeran akhirnya hidup bahagia, selamanya. Happilly ever after. Setidaknya itulah yang selalu di bayangkan orang yang sedang jatuh cinta, sebuah kebahagiaan -meski tak selalu berarti selamanya-.

Sayangnya, semua kisah cinta itu terjadi di negeri dongeng, di dunia mimpi. Bagaimana dengan dunia nyata? Pikiran berlogika lurus milik Severus tentu lebih memilih sebuah fakta daripada sebuah cerita pengantar tidur yang entah diciptakan oleh siapa. Pernah dengar Romeo dan Juliet? Akhir tragis cinta yang tak direstui. Atau kisah cinta Jack dan Rose di atas kapal Titanic? Keduanya tidak ada yang berakhir bahagia. Atau kalau mau dimasukkan juga, kisah cintanya dengan Lily? Cinta yang akhirnya berujung dengan kata 'melepaskan' dan 'kehilangan'. Semua itu lebih terdengar masuk akal di otak Severus, sesuai dengan realita, karena menurutnya hidup bukanlah dunia mimpi.

Namun, apa yang harus Severus hadapi sekarang rasanya sudah memutar balik dunianya dan membuatnya merasa terlempar ke dunia dengan dimensi yang berbeda. Apalagi kalau bukan karena Hermione Granger, seorang gadis yang dua puluh tahun berada di bawahnya, mencintainya, lebih gilanya lagi 'mengejarnya'. Tidak menyerah untuk mendapatkan hatinya.

Sudah dua bulan terlewati sejak pengakuan cinta Hermione pada Severus tapi sejak itu tak sekalipun gadis berambut coklat itu menyerah. Dia selalu berhasil mendapatkan cara untuk bisa dekat dengan Severus. Betapa tidak? Sebagai salah satu mahasiswi berprestasi, sekaligus sebagai Ketua Klub Sains Mahasiswa, Hermione seringkali mendapat kesempatan untuk berkunjung ke kantor Kepala Divisi. Dari sekedar meminta tanda tangan, konsultasi program mahasiswa dan masih banyak alasan yang selalu diciptakan gadis itu untuk bisa bertemu dengannya.

Anehnya, keagresifan Hermione justru membuat Severus tidak bisa menolaknya. Awalnya dengan dalih menghargai sahabat Harry, Severus tidak pernah mengusir Hermione dari kantornya tapi belakangan...Severus merasa kehadiran Hermione sudah bukan sebuah gangguan lagi baginya. Bahkan sebaliknya, dia justru merasa aneh kalau gadis berambut coklat itu tidak menemuinya.

Seperti siang itu, Severus terus melirik jam tangannya secara berkala, pukul satu tiga puluh, keningnya berkerut ketika jarum jam tak juga menunjukkan pukul dua. Ya, di buku jurnalnya sudah tertulis janji untuk Hermione pukul dua siang.

Pertemuan itu untuk membahas masalah proyek penelitian baru klub sains untuk membantu menyempurnakan proyek Divisi Sains yang sedang meneliti tentang Biokimia Bahan Makanan. Berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, Severus memutuskan tak lagi melihat jam tangan yang membuatnya tersiksa.

Hampir saja Severus mengumpat karena terkejut dengan dering interkom yang tiba-tiba berbunyi.

"Ya?"

"Miss Granger sudah datang profesor."

Ajaib, sebuah senyum langsung terulas di wajah Severus. Diapun segera meminta sekretarisnya mempersilakan Hermione masuk. Dengan cepat dia mengendalikan ekspresi konyolnya dan menetralkan jantungnya yang tiba-tiba melaju begitu mendengar nama 'Granger'.

Hermione masuk bersama seorang temannya yang menjabat sebagai wakilnya di klub Sains, Pansy Parkinson.

"Selamat siang Profesor," sapa keduanya sopan.

Pansy tampak tegang begitu Severus menjabat tangannya sedangkan Hermione justru langsung menyempurnakan salam terbaiknya dengan melempar sebuah senyum dan menggenggam erat tangan Severus. Memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menaklukkan hati profesor pujaannya.

"Miss Granger, Miss Parkinson." Mengabaikan getaran hebat yang muncul akibat ulah Hermione, Severus -yang pastinya dengan nada datar dan ekspresi tak terbaca- mempersilakan kedua tamunya untuk duduk.

Hermione dengan begitu percaya diri mulai menjelaskan beberapa hal seraya memberikan laporan rencana kegiatan penelitian klub sains. Severus sendiri, meski matanya terpaku pada setiap baris tulisan yang diketik rapi tapi telinganya begitu menikmati suara Hermione yang terdengar begitu...entahlah, merdu? Di telinganya. Selesai dengan bagiannya, Hermione kemudian diam dan menunggu tanggapan dari Severus.

"Bagus Miss Granger, aku harap selama satu bulan ke depan penelitian ini bisa berjalan lancar." Komentar Severus datar. Mengalihkan pandangannya dari lembaran laporan, Severus menatap mata coklat Hermione yang kemudian sukses menimbulkan getara halus di dalam hatinya.

"Tentu, Sir." Jawab Hermione senang. Bukan hanya senang karena kegiatan klub diterima tapi juga senang karena dia melihat kehangatan di mata hitam Severus yang menatapnya.

Selama beberapa saat dua pasang mata itu masih terus berpaut, menikmati setiap getar tak kasat mata yang timbul akibat interaksi yang mencapurkan emosi pribadi di dalamnya. Severus bersyukur ada Pansy di sana yang kemudian bisa menempatkan pikiran dan fokusnya kembali pada tempat yang seharusnya. Diapun beralih fokus pada Pansy dan mendengarkan -dengan enggan sebenarnya- penjelasan Pansy mengenai beberapa hal terkait jadwal klub selama satu bulan kedepan yang pastinya melibatkan sang profesor di dalamnya.

"Jadwal yang rapi Miss Parkinson. Terima kasih," kata Severus begitu Pansy selesai bicara. Selesai? Ya, pertemuan yang sudah di nantikan Severus dengan sangat tidak sabar itu akhirnya berakhir dengan singkat.

Hermione yakin bahwa untuk sesaat dia melihat kekecewaan terlintas di mata hitam Severus ketika dirinya dan Pansy mengucapkan terima kasih dan bersiap pergi.

"Er, maaf Profesor, apa anda ada waktu?" tanya Hermione tepat ketika Severus menjabat tangannya.
Kau bertanya? Severus melihat jam tangannya dan sebuah desahan tak kentara lolos dari bibir tipisnya. "Tiga puluh menit Miss Granger. Aku ada kelas setelahnya," jawab Severus datar. Menyembunyikan kegirangan hatinya karena tahu Miss Pantang Menyerah itu akan tetap tinggal, setidaknya untuk tiga puluh menit kedepan. Aku pasti sudah gila! Maki Severus pada dirinya sendiri.
Senang karena Severus mengijinkannya meminta waktu lebih lama, Hermione pun tidak menyia-nyiakan keberuntungannya. Dia meminta Pansy untuk lebih dulu ke laboratorium -yang menurut penilaian Severus- Hermione pasti sudah memberitahu tahu Pansy sebelumnya kalau dia akan bicara lebih lama.

Meski hatinya bersorak karena bisa bersama gadis yang sudah berhasil menimbulkan rasa lain di hatinya, Severus tetap saja memakai topeng esnya. Menyiapkan dirinya untuk menghadapi Miss Agresif yang tidak pernah bisa dia tebak isi kepalanya.

"Terima kasih telah bersedia memberi saya waktu untuk bicara, Sir," kata Hermione begitu mereka hanya berdua di dalam ruangan.

"Apa yang ingin kau bicarakan Miss Granger?" tanya Severus.

"Profesor, anda pasti tahu kalau semester depan saya sudah harus mengerjakan tugas akhir skripsi."

Severus hanya mengangguk. Perkataan Hermione tidak salah, Severus memang tahu kalau gadis cerdas itu sudah menyelesaikan semua mata kuliahnya di semester ini dan akan mengerjakan tugas akhir skripsinya untuk mendapatkan gelar Strata I nya.

"Jika anda tidak keberatan, bisakah anda menjadi pembimbing tugas akhir saya, Sir?"

Sukses. Sekali lagi Hermione sukses mengejutkannya. Seorang mahasiswa Strata I meminta seorang profesor sekaligus Kepala Divisi untuk menjadi pembimbing skripsi? Kalau saja dia tidak mengenal Hermione sebagai gadis dengan ambisi dan keberanian tinggi pastilah kata 'gila' sudah dia sematkan sebagai nama tengah Hermione.

"Kau sadar dengan apa yang kau minta Miss Granger?" tanya Severus yang mencoba menggiring gadis di hadapannya untuk lebih rasional dalam berpikir.

"Tentu, Sir," jawab Hermione yakin.

Severus menghela napas panjang. "Kau tidak pernah berhenti untuk mengejutkanku," gumamnya.

"Senang bisa melakukannya, Sir."

Severus sekuat tenaga mengendalikan dirinya ketika melihat seringai tipis Hermione yang jelas menggodanya. Meski begitu, otaknya masih bisa bekerja dengan lurus sesuai dengan jalurnya.

"Kau pasti sudah tahu jawaban dari pertanyaanmu, Miss Granger?" kata Severus kemudian.

"Apa anda tidak bisa mempertimbangkannya lagi, Sir? Saya berjanji tidak akan mempermalukan anda sebagai pembimbing saya," janji Hermione penuh harap.

"Tidak," jawab Severus tegas.

"Kenapa sulit sekali membujuk anda, Sir," keluh Hermione seraya menyandarkan punggungnya pada kursi, melipat tangannya di depan dada.

Severus menggeleng dengan sikap Hermione. "Kenapa kau selalu memberiku sebuah pilihan yang sulit?"

"Saya?" Hermione menunjuk hidungnya.

"Ya, kau Miss Granger," jawab Severus yang menahan rasa gelinya.

"Sesulit apa pilihan yang saya berikan, Sir?" kata Hermione.

"Sesulit aku menjawabnya."

"Anda hanya tinggal menjawab 'ya'."

"Dan mengacaukan segalanya?"

"Oh ayolah Profesor, anda tidak akan mengacaukan apapun. Anda punya hak untuk hidup anda sendiri, berhentilah memikirkan pendapat orang lain."

Severus terdiam. Siapapun yang mendengar percakapan mereka pastilah akan menganggap keduanya gila. Profesor dan mahasiswanya yang berbeda usia dua puluh tahun, membicarakan masalah cinta di kantor Kepala Divisi. Menggelikan. Tapi entah kenapa Severus merasa tidak ada yang salah dengan itu. Dia merasa menjadi...diri sendiri. Dalam diam pun dia memikirkan perkataan Hermione.

Anda punya hak untuk hidup anda sendiri, berhentilah memikirkan pendapat orang lain.

Bolehkah? Tidakkah orang akan menganggapnya sebagai pria nakal yang memanfaatkan keadaan? Menjalin hubungan dengan gadis muda seusia putranya? Benar-benar buah simalakama.

"Sir?"

Severus tersentak dari lamunannya. Diapun menghela napas, mencari ketenangan batinnya. Berdiri dari kursi, Severus menatap lembut gadis di hadapannya.

"Maaf, aku harus segera ke kelas, Miss Granger." Merapikan jas hitam yang membalut tubuh gagahnya. Severus melangkahkan kaki meninggalkan meja ketika Hermione mengikutinya berdiri.

"Sir-," lirih Hermione tepat ketika Severus melewatinya begitu saja.

***
Hari itu usaha Hermione belum juga berhasil dan waktu berlalu begitu saja. Tak terasa satu bulan kembali terlewati. Semua rangkaian penelitian berjalan lancar, Severus tampak puas dengan hasil penelitian. Sisi baik lainnya, hubungan Severus dan Hermione semakin dekat meski dia belum bisa menaklukkan hati sang profesor.

Pagi itu, Hermione mengerjapkan mata perlahan, menyambut matahari pagi yang masuk melalui celah jendela. Dia bermimpi sangat panjang meski hanya tidur selama tiga jam. Memiringkan kepala, Hermione melihat jam beker di atas nakas di sebelah tempat tidurnya. Melihat jarum jam menunjuk angka tujuh, Hermione turun dari tempat tidur dan berjalan malas ke kamar mandi. Tubuhnya terasa lelah tapi dia harus segera berangkat karena jadwal kuliahnya tidak bisa di tinggalkan begitu saja. Mau tak mau, Hermione memaksakan tubuhnya untuk bergerak.

Baru saja Hermione memarkirkan sedan silvernya di pelataran parkir, matanya menangkap sesosok pria yang selama beberapa bulan terakhir ini selalu hadir dalam mimpinya. Severus. Dia juga baru saja keluar dari SUV hitamnya.

Dalam diam, Hermione memandang Severus yang sekarang berjalan menuju gedung Divisi tanpa menyadari bahwa dirinya tengah di amati. Beberapa mahasiswa terlihat menyapa dengan hormat saat berpapasan dengannya yang hanya dibalas dengan sebuah anggukan singkat. Tiba-tiba Hermione terkikik, merasa lucu dengan sikap Severus yang sedingin es dan sekaku papan. Sayangnya, hal itu tidak juga bisa merubah perasaan Hermione padanya. Faktanya, sikap Severus mulai sedikit berbeda ketika mereka hanya berdua -penekanan 'hanya berdua'-.

Menyadari kalau dirinya sudah membuang waktu terlalu lama untuk melamun, Hermione pun berjalan menuju kelasnya. Terlambat bukanlah kebiasaan yang ada dalam kamus hidupnya.

Hari itu merupakan hari yang cukup panjang untuk Hermione. Dia merasa tidak enak badan tapi kelasnya cukup padat, di tambah dengan rapat klub sains, melelahkan. Kelas Biokimia Enzim yang diajar oleh Dr. McGonagal menjadi kelas terakhirnya yang selesai tepat pukul lima sore.

"Miss Granger, bisa ikut ke kantorku?" tanya Dr. McGonagal ketika Hermione sedang bersiap meninggalkan kelas.

"Tentu, Ma'am," jawab Hermione sopan. Minerva McGonagal selain dosen mata kuliah Bio Enzim, dia juga adalah pembimbing akademik Hermione. Wanita paruh baya itu cerdas dan juga baik hati.

"Kau terlihat pucat Miss Granger, apa kau baik-baik saja?" tanya McGonagal saat keduanya sudah duduk berhadapan di sofa tamu kantor.

"Saya baik-baik saja Ma'am," jawab Hermione seraya mengulum senyum. Bohong, saat ini Hermione merasa kepalanya seperti di tusuki jarum.

"Kau yakin?" Sedikit memiringkan kepala, McGonagal meragukan jawaban Hermione dan mengamati wajah gadis muda itu lebih seksama.

"Hanya lelah, Ma'am," terang Hermione kemudian.

McGonagal mengangguk tanda mengerti. Dia tahu bagaimana aktifnya Hermione di kampus.

"Kau boleh aktif dalam berbagai kegiatan tapi kau harus tetap menjaga kesehatan, Miss Granger."

"Yes, Ma'am."

McGonagal kemudian mengulurkan sebuah amplop pada Hermione.

"Itu adalah surat panggilan wawancara," kata McGonagal menjawab pertanyaan tak terucap Hermione.

"Wawancara?" Hermione mengernyit tidak mengerti.

McGonagal tersenyum. "Kau mendapat panggilan wawancara untuk seleksi penerima beasiswa Master di Oxford."

Hermione menangkupkan tangan ke mulutnya yang menganga karena terkejut. "Anda ... tidak bercanda, Ma'am?"

"Suratnya ada padamu kalau kau tak percaya, Miss Granger. Siapkan dirimu, wawancaranya dua bulan lagi, saat liburan musim panas," jawab McGonagall di iringi senyum khasnya.

Baru saja Hermione akan membuka mulut untuk menjawab, sebuah ketukan pintu menyela. Pintu terbuka tanpa menunggu jawaban dari McGonagall dan Hermione kembali terkejut.

Oh, tidak ....  Hermione mengeluh dalam hati.

"Minerva," seorang pria dengan setelan hitam khasnya masuk. Mata hitam pria itu menatap Hermione dengan terkejut tapi tiga detik kemudian sorot mata itu kembali tenang dan beralih menatap McGonagall.

"Severus, ada yang bisa kubantu?" McGonagall berdiri dari sofa dan menghampiri Severus.

"Maaf, apa aku mengganggu?" tanya Severus yang masih bergeming di dekat pintu.

McGonagall mengerutkan keningnya heran. "Tidak biasanya kau peduli, tapi tidak, kau tidak mengganggu. Aku hanya memberikan surat panggilan wawancara, Miss Granger," jawab McGonagall.

Sesaat Severus melirik lagi gadis yang masih duduk di sofa lalu mengangguk pada McGonagall. Alih-alih duduk di sofa, Severus justru berjalan ke arah meja kerja dan menarik satu kursi untuknya, duduk membelakangi Hermione.

"Perlu kau tahu Miss Granger, Profesor Snape lah yang sudah mendaftarkan namamu untuk ikut dalam program seleksi beasiswa itu," terang McGonagall.

Hermione terkesiap, menatap punggung Severus yang bergeming di tempatnya.

"Sir, anda ...,"

"Aku hanya melakukan tugasku, Miss Granger. Dengan prestasimu kau pantas mendapatkannya," potong Severus cepat tanpa menoleh sedikit pun pada Hermione.

Entah kenapa Hermione menangkap sesuatu yang ganjil, membuat kepalanya semakin berdenyut tidak nyaman. Untuk apa dia melakukan ini? Apa dia benar peduli padaku atau justru.... Hati Hermione perih ketika pikiran buruk melintas di kepalanya. Sementara McGonagal yang berdiri di dekat Hermione mengamati keanehan interaksi ke dua tamunya.

"Maaf Ma'am, apa saya sudah boleh pergi?" tanya Hermione yang sudah tidak sabar untuk keluar dan menyingkirkan perasaan tidak nyamannya karena menangkap maksud lain dari perkataan Severus.

"Tentu Miss Granger, aku hanya ingin menyampaikan kabar gembira itu untukmu," jawab McGonagall lembut. Alisnya kembali bertaut mengamati Hermione.

"Terima kasih ma'am, saya permisi dulu." Hermione merasakan kakinya gemetar saat mencoba untuk berdiri.

"Miss Granger! Kau baik-baik saja?" McGonagal segera meraih lengan Hermione ketika di lihatnya tubuh gadis cantik itu limbung dengan wajah yang semakin pucat.

Ternyata bukan hanya McGonagall yang terkejut, Severus juga terkejut mendengar seruan McGonagall. Memutar kursinya, Severus tercekat ketika melihat Hermione pucat. Wajahnya mungkin tetap terlihat datar tapi dalam hatinya bergetar penuh kecemasan.

"Kau baik-baik saja, Miss Granger?" Tak urung sang profesor bertanya juga. Gagal menahan emosinya, bahkan kecemasan terselip dalam nada suaranya.

Sekali lagi McGonagall melengkungkan alis karena heran dengan kepedulian Severus pada anak bimbingnya. Kepedulian yang tidak pernah dilihat McGonagall kecuali saat profesor itu bersama putranya, Harry.

"Sa-saya...," Hermione kembali terduduk di sofa saat merasa sekelilingnya seperti berputar.

Sontak Severus bangkit dari kursinya tapi berhasil menahan diri untuk tidak menyentuh Hermione. Dia berdiri di dekatnya, berjarak beberapa kaki, bertukar pandang dengan McGonagall yang duduk memeluk lengan Hermione dan menatap dirinya bingung. McGonagall tidak buta untuk bisa melihat Severus yang tampak cemas.

"Miss Granger sakit, dia demam," tegas McGonagall setelah memeriksa kening Hermione.

Sedikit kerutan di antara alis Severus menandakan kalau dia tengah berpikir. 
"Apa kau masih ada kelas setelah ini, Miss Granger?" tanya Severus yang langsung di tanggapi dengan sebuah pelototan dari McGonagall sementara Hermione masih tertunduk seraya memijit pelipisnya yang berdenyut.

"Dia tidak bisa ke kelas dengan kondisi seperti ini, Severus," jawab McGonagall kesal.

Severus berdecak kesal dengan perkataan rekan kerjanya itu. "Bukan itu maksudku Minerva. Aku hanya memastikan dia tidak memaksakan diri."

"Aku akan memaksanya untuk pulang kalau dia bersikeras untuk masuk ke kelas," tegas McGonagall lagi.

Severus terdiam. Cemas melihat Hermione sakit membuatnya semakin merasa kesal.

"Maaf Sir, Ma'am, saya tidak apa-apa, hanya pusing. Sebaiknya saya pulang sekarang, kelas saya sudah selesai," kata Hermione yang akhirnya mengangkat kepala setelah sensasi berputar yang tadi di rasanya mereda. Mata coklatnya menatap bergantian pada Severus dan McGonagall. Tidak heran kalau McGonagall mengkhawatirkannya, tapi hati Hermione mengembang bahagia saat melihat kilat kecemasan juga ada di mata hitam Severus meski wajahnya masih saja sedatar papan.

"Pulang?" McGonagall mendongak heran ketika Hermione mencoba kembali berdiri. "Miss Granger, aku tidak yakin kau bisa pulang sendiri dengan kondisi seperti ini."

"Apa kau membawa mobilmu sendiri?" tanya Severus cepat. McGonagall menyeringai tipis dengan pertanyaan Severus.

"Ya, Sir," jawab Hermione diiringi dengan sebuah anggukan.

Severus menghela napas perlahan, menahan diri untuk tidak menarik Hermione ketika gadis itu permisi dan akhirnya keluar dengan langkah terhuyung. McGonagall berdiri disebelah Severus, mencoba menilai ekspresi tak terbaca dari rekannya yang masih menatap pintu yang tertutup.

"Maaf Severus, ada apa kau menemuiku?" tanya McGonagall, menarik kesadaran Severus yang sepertinya ikut menghilang bersama Hermione.

Severus menoleh. "Tidak ada," tegasnya kemudian dan tanpa sepatah katapun Severus melangkahkan kakinya ke luar. Meninggalkan McGonagall terpaku di tempatnya dengan terkejut.

"Mungkinkah?" McGonagal menatap pintu yang baru saja tertutup lalu mendesah panjang, "Kalau memang benar, aku harap mereka bahagia," gumamnya yang kemudian berjalan ke meja kerja dan menghempaskan dirinya di kursi. McGonagall terkikik sendiri dengan apa yang ada dipikirannya,
"Pasangan yang aneh tapi aku rasa mereka memang cocok," katanya geli.

Sementara itu di koridor, Severus mempercepat langkah kakinya sampai-sampai membuat para mahasiswa memandangnya heran. Tentu sangat jarang melihat Severus yang biasanya tenang tampak tergesa seperti itu. Keluar dari gedung, Severus segera menuju tempat parkir. Sebuah desahan lega lolos dari bibir tipisnya ketika dia melihat Hermione berjalan menuju mobilnya.

"Miss Granger."

Lagi-lagi Hermione kembali di kejutkan dengan kedatangan Severus yang tiba-tiba, di pelataran parkir, mengejarnya?

"Ya Sir." Hermione yang tadinya sudah bersiap masuk ke dalam mobil, mengurungkan niatnya dan menutup kembali pintu sedannya.

Sejenak Severus membeku, bingung. Ya, belum pernah dia bertindak impulsif seperti ini, mengejar seorang gadis tanpa berpikir panjang. Sekarang dia justru merasa terkejut dengan tindakannya sendiri, tidak tahu apa yang harus di katakannya.

"Profesor? Sir?" panggil Hermione lagi.

"Ah ya, Miss Granger?" jawab Severus sedikit gugup.

Hermione mengerutkan kening dengan heran mendengar Severus justru bertanya padanya. "Maaf Sir, ada perlu apa sampai anda mengejar saya kesini?" dia kembali bertanya.

Sulit untuk menjawab pertanyaan itu dan alih-alih menjawab, Severus justru meraih pergelangan tangan Hermione dan menariknya menjauh dari mobil, berjalan menuju ... SUV hitamnya. Hermione membelalakkan mata dan mulutnya menganga karena terkejut, semua kalimat tanya tercekat di tenggorokannya. Tangan Severus yang menggenggam lembut pergelangan tangannya mengalihkan semua kesadarannya.

"Masuklah." Severus melepas tangan Hermione, membukakan pintu depan mobil dan mempersilakan gadis itu masuk. Hermione bergeming dengan kening berkerut, sejuta tanya tersirat dari tatapan matanya. "Jangan membuatku menunggu apalagi berubah pikiran, cepat masuk," tegas Severus.

Hermione tersentak dan tanpa kata dia masuk ke dalam SUV. Otaknya masih beku dan gagal berpikir karena shock. Dengan anggun Severus berjalan memutari bagian depan SUV lalu duduk di belakang kemudi.

"Sir, anda ...,"

"Aku akan mengantarmu pulang," jawab Severus lirih tanpa menatap Hermione dan segera menyalakan mesin mobilnya.

"Anda apa?" Hermione merasa telinganya sudah rusak sehingga salah mendengar apa yang baru saja dikatakan Severus.

"Terlalu berbahaya jika kau mengemudi dengan kondisi seperti itu." Itu bukan jawaban melainkan alasan. Hermione hanya bisa diam ketika akhirnya SUV melaju meninggalkan pelataran parkir.

***
"Kau tinggal sendiri?" tanya Severus yang tampak terkejut ketika Hermione membuka pintu flatnya. Severus bersikeras untuk mengantar Hermione hingga aman tiba di dalam flatnya.

"Saya sudah dewasa, Sir," kata Hermione yang seolah menertawakan tatapan heran dan nada tidak percaya Severus padanya.

"Orang tuamu?" Severus kembali bertanya dan mengabaikan kegelian Hermione padanya. Keduanya masuk lalu duduk berhadapan di kursi ruang tamu.

"Kedua orang tua saya tinggal di Cambrige. Mereka dokter gigi dan saya pikir mereka sudah cukup sibuk dengan semua pasien sehingga tidak ada waktu lagi untuk mengurus saya. Untungnya saya anak yang mandiri," terang Hermione. Matanya sendu memandang foto keluarga yang terpasang di dinding.

Severus terdiam mengamati ekspresi Hermione yang mendadak berubah sedih. "Kau tidak berhubungan baik dengan kedua orang tuamu?" tanya Severus.

Hermione menggeleng. "Entahlah, Sir," lirihnya.

Sejenak keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Severus yang duduk bersandar pada sofa mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, membayangkan seorang gadis yang tinggal sendiri. Tiba-tiba sebuah rasa perih tertoreh di hatinya, gadis itu memiliki kesamaan dengannya, kesepian.

"Miss Grang-,"

"Kenapa anda mendaftarkan saya untuk ikut program beasiswa itu Sir?" Dengan cepat Hermione melemparkan pertanyaan. Mencegah Severus bicara yang dia duga ingin permisi pulang karena sudah tidak ada alasan bagi Severus untuk tetap tinggal, menemaninya.

"Kenapa kau menanyakan hal itu? Sudah kukatakan kau layak menerimanya," jawab Severus tenang.
Hermione menggeleng pelan, "Tidak Sir, saya justru merasa kalau anda berniat menyingkirkan saya,"
Severus terkesiap. Dia tahu?

"Kalau saya melanjutkan sekolah Master di Oxford berarti saya ... anda-." Hermione menyandarkan punggung ke sofa, mengurai pikiran buruk di kepalanya. Menahan air mata yang sekarang justu dengan lancangnya meluncur dari sudut mata coklatnya.

Severus tercekat melihat Hermione menangis. Gadis itu tampak begitu sedih. Apakah dia terluka atas sikapnya? Entahlah, Severus selalu gagal menebak pikiran apalagi isi hati seorang wanita. Tak bicara, dia bangkit dari duduknya lalu beralih ke sebelah Hermione. Memiringkan tubuh menatap gadis yang kepalanya terkulai pada kepala sofa.

"Kenapa, Sir? Kenapa tidak ada yang menginginkan saya? Tidak orang tua, tidak juga anda," lirih Hermione, matanya manatap kosong. Seolah Severus tidak ada di hadapannya. Seolah dia berbicara dengan objek tak kasat mata.

Hati Severus seakan terkoyak melihat gadis yang biasanya kuat dan keras kepala itu, kini terlihat begitu rapuh dan tak berdaya. Tak bisa dia pungkiri lagi, hatinya sudah jatuh sayang pada Hermione. Rasa sayang yang sama yang dulu pernah dia simpan untuk seorang wanita yang hanya menganggapnya sebagai sahabat. Rasa sayang yang akhirnya justru membuat hatinya terluka bahkan berlubang dalam. Tapi sekarang rasa itu kembali hadir, mengobati sakit dan mengisi lubang terbuka di hatinya, membuatnya kembali merasa ... utuh. Jujur, kali ini dia tidak sanggup lagi berbohong. Severus ingin jujur pada dirinya sendiri.

Sejenak mengenyahkan semua keraguan, Severus mengulurkan tangan, merengkuh tubuh gadis yang sekarang tengah gemetar karena menahan tangis. Sesaat tubuh Hermione menegang, terkejut. Tapi detik berikutnya, tubuh itu bersandar lemah pada dada bidang dan kedua lengan yang memeluknya, menumpahkan semua rasa dalam hatinya. Severus mengusap lembut punggung Hermione, menenangkannya ketika isakan lirih berubah menjadi tangisan penuh luka.

***
Entah sudah berapa lama waktu berlalu. Severus dan Hermione masih saja bergeming, menikmati kebersamaan mereka. Severus masih merengkuh Hermione dalam peluknya dan gadis muda itu semakin menyamankan diri bersandar pada dada bidang pria pujaannya. Tangisannya sudah berhenti. Kalau saja bisa, keduanya ingin sekali menghentikan waktu dan menikmati kebersamaan mereka lebih lama lagi.

Sebuah senyum manis terulas di bibir Hermione yang sekarang terlihat pucat. Mata gadis itu masih terpejam dengan sisi wajahnya bersandar di dada Severus, telinganya menikmati musik dari deguban jantung pria yang tengah memeluknya. Entah sudah berapa lama dia tidak menikmati kenyamanan seperti ini.

"Sir." Hermione menyandarkan telapak tangannya di dada Severus, di sebelah wajahnya, mengusapnya lembut.

"Hhmm." Severus menikmati kelembutan yang di suguhkan padanya tanpa berniat untuk protes lagi. Setelah sekian tahun lamanya, hari ini dia merasa begitu bahagia, hatinya begitu ringan.

"Apa sampai saat ini anda masih mencintainya?" tanya Hermione tanpa membuka mata, tangannya masih mengusap lembut dada Severus.

"Lily?" Severus menundukkan kepala, menatap gadisnya yang masih terpejam di dadanya. Hermione mangangguk. "Selalu, aku selalu mencintainya," jawab Severus tanpa ragu.

Tangan Hermione berhenti bergerak, sebuah desahan napas terdengar dari bibirnya. "Apa itu alasannya Anda tidak bisa menerima saya?" lirih Hermione.

"Bukan," jawab Severus singkat.

Hermione semakin menyurukkan wajahnya di dada Severus. "Apa karena Harry?" lirihnya yang nyaris tak terdengar.

Severus kembali terdiam.

Membuka mata, Hermione menarik dirinya, mengangkat kepala dan menatap sepasang mata hitam yang sekarang tampak bingung. "Benar karena Harry?" ulang Hermione.

"Kau seharusnya mengerti," jawab Severus.

Hermione menggeleng. "Saya tidak mengerti, Sir. Harry sudah dewasa dan anda punya hak untuk menentukan hidup anda. Dua puluh satu tahun anda-,"

"Sshh, jangan bicara seperti itu," sela Severus cepat. "Harry memang sudah dewasa tapi aku juga harus memikirkan perasaannya. Kau, sahabatnya baiknya, mana mungkin aku-,"

"Jadi anda juga memiliki perasaan yang sama?" tanya Hermione ketika Severus akhirnya hanya diam.

"Miss Granger, mengertilah, aku tidak ingin menyakiti Harry. Membuatnya malu karena apa yang aku lakukan."

"Malu?" Hermione terkesiap dengan perkataan Severus. Kata itu seolah menusuk hatinya dalam. Apakah dirinya memalukan?

Melihat ekspresi wajah Hermione, Severus segera menyadari kesalahannya. "Maaf Miss Granger, aku tidak bermaksud mengatakan bahwa kau membuatku malu tapi justru sebaliknya. Kau dan Harry akan di buat malu olehku."

"Saya tidak peduli, Sir," jawab Hermione cepat.

"Tapi aku peduli, Miss Granger. Kalian berdua masih muda, masih banyak hal bisa terjadi di kemudian hari."

"Maksud anda?"

Severus mengehela napas perlahan, "Aku tidak mau merusak hati Harry karena membenciku yang menyukai sahabat baiknya dan untukmu-," Severus mengulurkan tangan, menyelipkan rambut panjang coklat Hermione ke belakang telinga. "Kau terlalu muda untuk memutuskan mencintaiku. Bagaimana kalau ini hanyalah obsesi sesaat masa mudamu yang terpengaruh oleh pesonaku? Bagaimana kalau kemudian di tengah kebersamaan kita kau menyadari bahwa pilihanmu salah lalu kau akan-," Severus menelan ludah perlahan, "kau akan pergi dan meninggalkanku sendiri di masa tuaku," sejenak Severus kembali diam.

"Maaf Miss Granger, aku memang pengecut. Aku tidak mau kembali merasakan luka tapi lebih lagi aku tidak mau membuat orang lain terluka, kau juga Harry."

Hermione yang sejak tadi mencerna dengan baik perkataan Severus masih memandang pria itu dengan tatapan bingung. Sebuah cinta yang sederhana menjadi begitu rumit hanya karena sebuah ketakutan.

"Sir, anda tidak bisa menjadi sempurna untuk orang lain. Tidak untuk Harry, tidak juga untuk saya. Sebesar apapun anda berusaha tetap saja anda manusia yang pasti bisa berbuat salah. Untuk itu berhentilah mencoba menjadi sempurna, berhentilah berusaha memenuhi harapan indah Harry dan saya, karena semua itu sia-sia." Hermione merasa geram dengan pemikiran sang profesor.

"Anda adalah ayah Harry dan akan tetap seperti itu. Saya mencintai anda dan biarkanlah tetap seperti itu. Apa yang salah dengan perasaan yang ada diantara kita, Sir? Kalau Harry menyayangi anda, pasti dia tidak akan mempermasalahkannya," terang Hermione panjang lebar.

"Sir, katakan, apa yang harus saya lakukan agar anda percaya kalau saya benar-benar mencintai anda? Perasaan ini bukanlah sekedar obsesi masa muda saya." Mata Hermione menatap Severus lekat, menuntut jawaban.

"Miss Granger-,"

"Masa bodoh dengan Miss Granger! Saya Hermione! Saya mencintai anda Profesor Snape!" seru Hermione yang mulai kesal sekaligus takut dengan penolakan Severus padanya.

Severus terjegil, mata bulat coklat di hadapannya memancarkan kesungguhan yang tidak dapat disangkalnya. Haruskah dia menyambut perasaan gadis itu? Meski hatinya sudah mendengungkan kalimat cinta tapi sebuah keraguan seolah meredam semuanya. Harry ... dia masih memikirkan putranya.

"Sir, tolonglah. Kita akan menghadapi Harry bersama. Saya akan mencoba menjelaskan semua padanya," kata Hermione lagi.

Severus bergelut di dalam hati dan sebuah desahan tipis mengakhirnya. "Aku tidak habis pikir karena ternyata kau begitu bodoh," jawab Severus datar.

"Bodoh?" lirih Hermione seraya memiringkan kepala.

"Ya, kau gadis yang bodoh," ulang Severus. Bibirnya tertekan menjadi sebuah senyum tipis yang membuat wajahnya terlihat begitu berbeda.

"Saya tidak keberatan menjadi bodoh, asal anda menerima saya." Kali ini Hermione juga mengembangkan senyumnya. Dia yakin kali ini melihat kilau lain di mata hitam Severus, kilau lembut yang bersinar bernama cinta.

Severus menahan diri untuk tidak tertawa mendengar seorang gadis merayunya. Alih-alih membalas, Severus justru menangkupkan kedua tangan ke wajah Hermione. Gadis itu menahan napas ketika Severus semakin mendekatkan wajahnya, meniadakan jarak di antara mereka. Dunia seakan berhenti berputar bagi Hermione saat Severus kemudian mendaratkan bibirnya dan mengecup lembut bibir mungil gadis yang berhasil menaklukkan hatinya. Satu. Dua. Tiga dan entah berapa kecupan, membuat Hermione memejamkan mata dan menikmati setiap kecupan yang terasa begitu lembut dan hangat.

"I love you, Sir," lirih Hermione dengan mata masih terpejam saat di rasa bibir itu berhenti mengecupnya.

Hening. Hermione tidak berani membuka mata, lagi-lagi takut sebuah penolakan akan menyambutnya. Entah bagaimana tanggapan pria di depannya sekarang, Hermione tidak peduli. Dia memilih tetap menikmati keheningan ini, menikmati tangan Severus yang masih tertangkup di kedua sisi wajahnya.

Namun, tiba-tiba dia merasa tubuhnya lemas tanpa daya, seakan semua tulang di tubuhnya lepas. Telapak tangan hangat milik Severus tak lagi menangkup wajahnya. Hermione tersentak ketika tangan itu justru meraih ke tengkuknya, menyusup di antara rambut ikal panjangnya. Severus tidak menjawab pernyataan cintanya tapi dia membuat semuanya menjadi begitu jelas ketika bibirnya kembali memagut bibir Hermione. Kali ini bukan hanya sekedar kecupan, Severus benar-benar mencumbu gadis itu. Memetakan setiap inchi bibirnya dengan kelembutan, mengklaim bahwa gadis itu miliknya, kekasihnya.

Desahan halus lolos dari bibir Hermione sesaat ketika Severus memisahkan diri untuk sekedar mengambil napas, menuruti keinginan paru-parunya yang menjerit meski hatinya enggan. Tapi itu hanya sesaat, Severus tidak memberi waktu bahkan untuk dirinya sendiri berpikir lebih jauh, naluri dan hasrat sudah benar-benar berjalan mendahului logikanya.

Kembali, dia memagut bibir Hermione, menyapukan lembut lidah di setiap inchi bibirnya. Bibir Hermione sedikit terbuka dan itu memberi kesempatan bagi Severus untuk kembali memanjakan gadisnya. Hermione mengerang lirih di dalam mulutnya ketika lidah Severus dengan sukses masuk dan membelai setiap inchi bagian mulutnya, menciptakan sebuah getaran manis di seluruh tubuh. Dan ketika lidah mereka kemudian saling berpagut, keduanya melupakan dunia.

"I love you too, Hermione," bisik Severus lembut di tengah napas yang tak beraturan.

Wajah pucat Hermione kini memerah dengan sempurna, bukan karena demam yang bahkan sudah di lupakannya tapi karena saat ini hatinya membuncah dengan kebahagiaan.

***
Begitulah kisah manis nan rumit itu berawal. Tanpa terasa, sudah satu bulan kebersamaan mereka, yang tentu saja masih di rahasiakan. Severus ingin menjelaskan semuanya pada Harry setelah ujian semesternya selesai, alasannya jelas tidak mau merusak konsentrasi sang putra. Jika Harry setuju, maka dia benar-benar akan melamar Hermione, tentunya setelah gadis itu lulus. Severus juga tidak mau mengambil resiko, menjadikan gadisnya bahan gunjingan di kampus karena hubungan uniknya.

Hermione masih saja bersikeras ingin menjadikan Severus pembimbing akademiknya meski Severus terus menolaknya. Bukan hanya karena alasan akademik yang pasti akan terlihat aneh kalau seorang profesor membimbing mahasiswa Strata I, tapi alasan lain juga karena sekarang Severus lebih sulit mengendalikan dirinya saat berdua dengan Hermione. Gadis muda itu seperti anggur yang aromanya begitu menggoda dan memabukkan. Akan bahaya jika sampai dirinya lepas kendali.

Pagi itu, Severus tengah membaca surat kabar di meja makan seraya menunggu Harry untuk sarapan.
"Pagi Dad," sapa Harry begitu memasuki ruang makan.

"Pagi Son," balas Severus datar. Dia kemudian melipat surat kabar, mengamati putranya yang tampak ceria. "Ada yang menyenangkan?"

Harry yang sedang meneguk susu coklat favoritnya melirik sang ayah. Dia langsung mengembangkan senyum ketika sudah menghabiskan setengah isi gelasnya.

"Hari ini adalah hari terakhir ujian semester dan akhir pekan depan adalah final University Club. Rasanya menyenangkan membayangkan latihan sepak bola tanpa memikirkan beban ujian," jawab Harry.

"Kau ini, sebenarnya kau lebih ingin menjadi advokat atau pemain sepak bola," komentar Severus.

"Sepak bola hanya hobi Dad, setidaknya aku menikmati masa mudaku." Harry meringis lebar.

Severus menggeleng sambil mengulum senyum tipis.

"Oh ya Dad, kau akan menonton pertandingan finalku kan?" tanya Harry.

"Ya, dan berjanjilah kau akan berhati-hati kali ini. Aku tidak mau kau cedera lagi," jawab Severus.

"Tentu Dad, aku juga tidak mau menghabiskan liburan musim panasku di rumah karena cedera."

"Bagus."

Keduanya pun menikmati sarapan yang di sediakan oleh Dobby dan beberapa pelayan lain. Usai sarapan Severus dan Harry menuju garasi untuk berangkat ke kampus. Tiba-tiba Harry mengeluh keras.

"Ada masalah?" Severus menghampiri putranya dan tak perlu mendengar jawaban Harry, dia tahu apa sumber masalahnya. Ban mobil Harry bocor.

"Ikutlah denganku, biar Dobby memeriksanya nanti. Aku tidak mau kau terlambat di hari terakhir ujianmu," perintah Severus.

"Oke, Dad." Harry pun hanya bisa menurut dan masuk ke SUV hitam ayahnya.

Harry menyalakan musik begitu mobil meninggalkan pelataran mansion dan segera saja keningnya berkerut dalam, suara Adelle mengisi keheningan di antara ayah dan anak itu.

Sial! Hermione pasti meninggalkannya semalam. Severus langsung mengumpat dalam hati.

"Adelle? Aku tidak tahu Dad suka lagu ini sampai memiliki DVD nya," tanya Harry yang jelas begitu penasaran, mengeluarkan DVD dari dalam player.

Wajah Severus masih saja terlihat datar dengan mata menatap lurus kearah jalan, berusaha memikirkan alasan yang masuk akal.

"Itu bukan milikku," jawabnya jujur.

Harry lebih heran lagi, bagaimana sesuatu yang bukan milik ayahnya bisa berada di dalam mobilnya. Dia jelas tahu bagaimana tabiat sang ayah. Severus bukan tipe orang yang suka meminjam barang, lagipula siapa temannya yang suka lagu Adelle? Seingat Harry semua rekan kerja ayahnya di Divisi Sains adalah orang yang kaku dan tidak menyukai musik, selain musik klasik tentunya.

"Kemarin sore aku mengantar Minerva pulang dan dia mencoba DVD yang baru di belinya untuk keponakannya sebagai hadiah ulang tahun. Pasti dia lupa dan tertinggal. Kami terlalu asik mengobrol," jawab Severus masih dengan nada datarnya. Kali ini dia terpaksa berbohong.

Harry hanya ber-oh pelan meski tidak sepenuhnya percaya dengan alasan Severus tapi setahunya ayahnya itu tidak pernah berbohong. Tiba-tiba Harry teringat siapa orang yang suka lagu Adelle. Lagi-lagi Harry menggeleng keras, menepis pikiran bodohnya.

Segera Harry memasukkan DVD Adelle ke dalam box di atas dashboard dan menggantinya dengan musik pilihannya. Suara Jason Miraz segera memenuhi ruang dengar Harry dan dengan santai dia ikut bersenandung. Severus membiarkan saja putranya itu menikmati musik, setidaknya dia terlepas dari pertanyaan yang hampir membuat jantungnya terlepas.

"Thanks Dad, sampai nanti." Harry melambai pada ayahnya dan berlari meninggalkan lapangan parkir. Severus hanya mengangguk seraya berpesan untuk hati-hati mengerjakan soal ujiannya.

"Benar-benar ayah yang perhatian."

Severus tersentak meski suara itu terdengar lirih bahkan nyaris hanya seperti sebuah bisikan.

"Miss Granger? Kau mengejutkanku," keluh Severus. Matanya langsung memeriksa sekeliling tempat mereka berdiri, memastikan tidak ada yang melihat.

"Tenang saja Profesor, saya hanya ingin mengambil barang saya yang tertinggal." Hermione terkikik melihat Severus begitu waspada.

"Kau ini, kenapa bisa ceroboh sekali meninggalkan DVD-mu di dalam mobil? Untung saja Harry tidak bertanya macam-macam," gerutu Severus yang kemudian kembali membuka pintu mobil dan mengambil DVD Adelle milik Hermione.

"Maaf Profesor, kau membuatku lupa semalam." Hermione meringis dan itu sukses membuat Severus salah tingkah. Semalam Severus mengantar Hermione pulang dan sebuah ciuman panjang mengakhiri pertemuan mereka, pantas saja Hermione lupa.

"Sudah jangan menggodaku. Cepat kembali ke kelas," usir Severus kesal. Entah kenapa dia selalu kalah menghadapi gadis muda itu. Harry sudah sering membuatnya kalah dan kali ini di tambah dengan Hermione, rasanya dia memang harus bertekuk lutut pada kedua anak yang telah berhasil membuat hidupnya berada dalam dilema.

"Baiklah Profesor, sampai nanti," bisik Hermione ditambah dengan sebuah kerlingan nakal yang hampir membuat Severus membentaknya karena mereka sedang berada di tempat umum.

Melihat Severus hampir meledak, Hermione segera berlari meninggalkan lapangan parkir seraya menahan tawanya. Dia selalu senang menggoda kekasihnya itu. Ya, begitulah keseharian mereka sekarang. Sebenarnya salah satu alasan Hermione ingin di bimbing oleh Severus adalah karena dengan begitu dia punya waktu lebih banyak untuk berdua tapi rupanya profesor itu sudah mencium niat nakalnya dan sampai sekarang tidak juga mengiyakan permintaannya.

Severus menghela napas panjang melihat Hermione yang semakin menjauh. Bibirnya mengulas sebuah senyum tipis seraya menggelengkan kepala. Dia pun segera menuju kantornya tanpa menyadari sepasang mata hijau terang tengah menagamatinya dari jauh.

***
Harry menghempaskan dirinya di kursi taman yang tidak jauh dari kantin, meredakan ketegangannya. Bukan karena ujian yang baru saja selesai di kerjakannya tapi karena apa yang di lihatnya pagi tadi.

God! Dad dan Hermione? Itu tidak mungkin kan? Harry mengurutkan jemari di keningnya, di sekitar bekas lukanya.

"Harry!"

Sebuah seruan bersama dengan sebuah tepukan di bahu mengejutkannya.

"Ron!" dengus Harry kesal.

"Hei, jangan salahkan aku berteriak, sudah tiga kali aku memanggilmu tapi sepertinya kau sedang berada di dunia lain. Ada apa mate? Apa ujian tadi menyulitkanmu?" Ron ikut duduk di bangku panjang, di sebelah Harry. Tangannya membawa sebuah kantong kertas yang Harry yakin berisi makanan, burger atau sejenisnya.

"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Harry tanpa memandang sahabatnya yang kini tengah asik menikmati makanannya, burger, tebakan Harry tepat.

"Tapi kau terlihat seperti orang bingung," komentar Ron yang masih mengamati wajah sahabatnya. Harry menghela napas panjang dan sekali lagi menggeleng. "Oh ya, kau jadi pulang denganku?"

Harry menoleh, sejenak berpikir.

"Hei?!" Ron kembali kesal karena Harry melamun.

"Tidak, aku akan pulang dengan Dad saja," gumam Harry.

Ron menautkan alisnya, merasa heran dengan sikap Harry. Pagi tadi sahabatnya itu mengatakan akan pulang dengannya tapi sekarang dia mengatakan kalau akan pulang bersama ayahnya. Biasanya jika Harry mulai terlihat kacau, pasti ada masalah berat yang sedang di pikirkannya. Tapi jika Harry tidak bercerita, itu artinya dia tidak ingin masalahnya di campuri.

"Itu Hermione," kata Ron kemudian yang melihat Hermione tengah berjalan menghampiri mereka. Sebuah desahan lirih lolos dari bibir Harry dan bersyukur Ron tidak mendengarnya.

"Hai Harry, Ron," sapa Hermione ramah seraya menempatkan dirinya di sebelah Harry. Ron menjawabnya santai tapi Harry hanya diam.

"Bagaimana ujian terakhirmu?" tanya Ron.

"Baik." Hermione mengembangkan senyumnya lalu beralih menatap Harry yang tampak lesu, "Kau baik-baik saja, Harry?"

"Nah, bukan aku saja yang melihatmu berbeda," timpal Ron.

Harry mendengus pada Ron.

"Hei," Hermione memukul lengan Harry karena mengabaikannya. Dia bahkan tidak mendengar sang sahabat menjawab sapaannya. Harry hanya cemberut seraya mengusap lengannya.

"Kau kenapa?" tanya Hermione.

"Tidak apa-apa," jawab Harry seraya memalingkan wajahnya dari Hermione.

Menautkan alis, Hermione melempar pandangan penuh tanya pada Ron dan hanya ditanggapi dengan gelengan kepala oleh pemuda berambut merah itu.

"Ng, aku pulang dulu ya. Sampai besok." Tiba-tiba Harry beranjak dan berjalan meninggalkan kedua sahabatnya. Mengabaikan ekspresi terkejut dari Hermione dan Ron.

"Kenapa dia?" tanya Hermione lagi.

"Aku tidak tahu." Ron kembali menegaskan jawabannya seraya mengendikkan bahu lalu melanjutkan menikmati burgernya sementara Hermione masih terpaku menatap punggung Harry yang semakin menjauh.

Ada apa dengannya?

***

>>Bersambung<<

Follow me on
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

7 Comments

  1. Hai, hai....jumpa lagi kita
    yang suka sama SevMione silakan...
    Happy reading
    Jangan lupa komennya ya
    Thanks :D

    ReplyDelete
  2. Thank youuu mbak agnes
    Penasaran sama reaksi Harry kalau tau hubungan severus sama hermione
    Mudah2an sehat terus ya mbak, jadi apdetnya gak lama. He3

    ReplyDelete
  3. alurnya simple, tp bagus critanya sist ^^,

    hanya perlu membiasakan diri dgn dunia yg berbeda dgn crita harry potter sebelumnya hehehehe

    ReplyDelete
  4. Cinta yang unik, ga sabar baca lanjutannya.

    ReplyDelete
  5. Thanks. Ditunggu kelanjutannya.😊😊

    ReplyDelete
  6. Sedikit mengerikan.....20th boooo..😱.
    Banyak sensor pula....😂😂😂
    Ditunggu kelanjutannya.....

    ReplyDelete
  7. Mbak agnes segera dilanjut dooong, mulai sakau niiih 😍😍

    ReplyDelete