Disclaimer : Jelas bukan milik saya, cuma pinjem dari aunty JK Rowling
Fanfiction by Agnes Kristi
For my beloved Daddy Sev, I always love u
Summary : Sesederhana apapun cinta, dia selalu bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.
*********************************************************************************
Seorang pemuda dengan
rambut hitam berantakan tampak tergesa menyusuri koridor panjang di depan
jajaran ruang kelas. Sesekali dia membenahi ransel hitam yang di sandangnya
agar tetap berada di bahu kanannya dan menaikkan kaca matanya yang beberapa
kali turun karena hentakan langkahnya yang tidak teratur. Pemuda itu berbelok
ke kanan di ujung koridor dan hampir saja menabrak seseorang yang tengah
berjalan berlawanan arah dengannya kalau saja dia tidak memiliki reflek yang
bagus untuk segera menghentikan langkah kakinya.
Pemuda tampan dengan
mata hijau terang yang di tutupi dengan kaca mata bulat itu terlihat memamerkan
deretan gigi putihnya ketika pria yang hampir di tabraknya menatapnya tajam.
"Terlambat
Harry?"
Seketika senyum pemuda
yang bernama Harry itu menghilang saat pertanyaan bernada datar namun sarat
kekesalan itu menyapa gendang telinganya.
"Er, maaf Profesor
Snape, saya baru selesai latihan pagi untuk klub sepak bola."
Pria yang dipanggil
Profesor Snape itu menggeleng dengan jawaban Harry.
Harry Potter-Snape
adalah mahasiswa semester enam Jurusan Hukum yang juga adalah Kapten klub sepak
bola Hogwarts University, salah satu universitas terkemuka di London.
Dihadapannya adalah Profesor Snape, dosen kimia yang terkenal killer dan paling
angker di universitas. Sama-sama Snape? Ya, di luar lingkungan universitas
keduanya adalah ayah dan anak. Lebih tepatnya ayah dan anak angkat. Harry
adalah anak dari James dan Lily Potter, sahabat baik Severus yang meninggal
dalam kecelakaan satu bulan setelah Harry lahir. Lily menitipkan Harry yang
selamat dalam kecelakaan pada Severus tepat sebelum wanita cantik itu
menghembuskan napas terakhirnya. Akhirnya Severus mengadopsi Harry dan
membesarkannya sebagai putranya.
"Apa kelasmu pagi
ini?" tanya Severus lagi, masih dengan nada yang sama dengan pertanyaan
yang pertama.
"Er, Hukum Perdata
Internasional, Sir," jawab pemuda itu.
Harry menatap Severus
seraya mengerutkan kening karena merasa heran dengan keberadaan sang profesor
yang tidak pada tempatnya. Jelas tidak ada mata kuliah kimia di Divisi Hukum
tapi Harry menahan diri untuk bertanya. Menghindarkan dirinya dari konsekuensi
lebih berat yang mungkin akan diterimanya karena keterlambatannya.
"Cepat masuk ke
kelasmu dan pastikan nilaimu A di akhir semester nanti atau aku akan melarangmu
mengikuti semua kegiatan klub tidak bergunamu itu," kata Severus sambil
lalu.
Harry hanya bisa
menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat poninya tersingkap dan memperlihatkan
bekas luka berbentuk sambaran petir di keningnya. Luka yang diperolehnya ketika
mengalami kecelakaan bersama kedua orang tuanya. Harry pun kembali melangkahkan
kakinya menuju ruang kelas.
Keberuntungan masih
berpihak pada pemuda bermata hijau itu karena ketika Harry membuka pintu
ruangan, dia tidak melihat dosen di depan kelas yang artinya dia selamat.
Beberapa mahasiswi langsung berdengung seperti lebah begitu melihat sang Kapten
Klub Sepak Bola -yang adalah idola para gadis- berjalan memasuki ruangan.
Senyum lebar dan lambaian tangan dari pemuda berambut merah yang duduk di
deretan kursi tengah mengalihkan perhatian Harry.
"Sibuk kapten
Harry?" tanya sang pemuda berambut merah saat Harry duduk di kursi yang
sudah disediakan olehnya, di sebelahnya.
"Mr. Hagrid hampir
membuatku mati, Ron," keluh Harry pada pemuda bernama Ron. Ron Weasley
lengkapnya, sahabatnya sejak dia masih duduk di sekolah menengah pertama.
Keduanya sama-sama anggota klub sepak bola.
"Maaf tadi aku
meninggalkanmu tapi separah apa pengarahannya pagi ini, mate?" Ron tampak
heran dengan penuturan sahabatnya itu.
"Bukan
pengarahannya tapi dia hampir membuatku terlambat-," Harry melihat
sekeliling, "oke, aku sudah terlambat tapi sialnya aku bertemu daddy di
koridor." Harry membuka tasnya dan mengambil buku juga penanya.
Mendadak Ron tertawa.
"Ya itu sial sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana mata hitamnya itu
mengintimidasimu. Lalu apa hukumannya?" Sebuah cengiran lebar mengakhiri
kalimat tanya Ron.
"Nilai A untuk
Hukum Perdata Internasional atau aku akan keluar dari klub sepak bola," dengus
Harry putus asa.
Ron kembali terbahak
dan menikmati wajah memelas sahabatnya.
"Diam kau
Ron," kata Harry seraya melempar pena ditangannya dan memantul sia-sia
pada lengan Ron yang dengan reflek bagus menutupi wajahnya dari serangan Harry.
"Tapi kenapa
Profesor Snape ada di sini?" Tak urung Ron juga merasa heran dengan
kemunculan Profesor Killer itu di koridor kelas Divisi Hukum. Meski gedung
Divisi Sains terletak di sebelah Divisi Hukum tapi tetap saja aneh melihat
dosen divisi lain muncul di tempat yang tidak ada hubungannya sama sekali.
"Aku juga tidak
tahu dan situasinya tidak memungkinkan untukku untuk bertanya." Harry
mengendikkan bahunya setelah mengambil penanya yang terjatuh di lantai, di
sebelah kakinya.
"Mungkin jurusan
kita membuka mata kuliah baru. Hhmm, Filsafat Hukum Kimia, pengaruh atom pada
perkembangan hukum pidana." Ron kembali berkelakar.
Harry tertawa dan
memberi pukulan di belakang kepala Ron sebagai hadiah dari leluconnya.
"Ya setidaknya kau
masih beruntung karena Mr. Lupin terlambat hari ini," kata Ron setelah
keduanya selesai tertawa.
Harry hanya mengangguk.
"Tenang saja, Mr.
Lupin dosen yang baik, belum lagi dia adalah pembimbing akademikmu jadi kau
pasti tidak akan kesulitan mendapatkan nilai A," tambah Ron.
"Semoga,"
jawab Harry lirih seraya menghela napas panjang.
Obrolan mereka seketika
berhenti saat pintu ruangan terbuka. Mr. Lupin, dosen Hukum Perdata
Internasional mereka sudah datang dan kedua pemuda itu mulai fokus mengikuti
perkuliahan. Terlebih Harry yang harus meraih nilai A sebagai hukuman dari
ayahnya.
***
Bel bergema keras di
dalam ruangan yang otomatis menghentikan semua kegiatan belajar mengajar. Harry
membereskan bukunya ke dalam tas, begitu juga Ron. Keduanya baru saja selesai
dengan mata kuliah Filsafat Hukum yang sukses membuat Ron menguap sepanjang
kuliah berlangsung.
"Aku lapar,"
keluh Ron seraya menggeliat panjang di kursinya.
Harry melirik jam
tangannya, pukul empat sore, tidak heran kalau sahabatnya itu lapar. Mereka
hanya makan sepotong burger saat istirahat makan siang tadi karena keduanya
kemudian sibuk di perpustakaan untuk mencari bahan tugas sebelum masuk ke kelas
berikutnya.
"Kita ke kantin
sekarang? Aku akan hubungi Hermione agar menyusul kita kesana. Rasanya aku juga
malas kalau harus menemuinya di perpustakaan, lagi," usul Harry.
"Ide bagus
mate," jawab Ron mantap seraya beranjak dari kursinya.
Keduanya berjalan
meninggalkan kelas setelah Harry mengetik pesan untuk Hermione, mahasiswi
Jurusan Kimia, sahabat perempuannya juga Ron.
Kantin yang mereka tuju
berada di antara Divisi Hukum dan Divisi Sains. Otomatis tempat itu menjadi
tempat yang strategis untuk para sahabat itu bertemu. Ron baru saja memesan
makanan dalam porsi besar ketika seorang gadis cantik berambut coklat setengah
berlari menghampiri meja mereka. Ya, dialah Hermione Granger, mahasiswa paling
pintar di angkatannya di jurusan Kimia. Bahkan Severus, sang Profesor Killer,
yang juga adalah dosen pengajarnya, mengakui kehebatannya.
"Hai Harry, Ron."
Hermione meletakkan tumpukan buku tebalnya di meja dan duduk di sebelah Harry.
"Hai, Hermione," balas keduanya bersamaan.
"Kau cepat
sekali?" tanya Harry kemudian.
"Aku baru saja
keluar dari kelas saat menerima pesanmu. Beruntung aku belum ke
perpustakaan," jawabnya seraya menyelipkan rambut panjang coklatnya yang
bergelombang ke belakang telinga.
Harry meringis.
"Ron kelaparan dan menurutku kantin lebih menyenangkan daripada
perpustakaan."
Hermione mendengus
dengan jawaban Harry, jelas dia tidak setuju. Tidak heran kalau melihat
tumpukan buku yang dibawa Hermione setiap harinya.
Seorang waiter datang,
membuat Ron memekik kegirangan menyambut makanan porsi besarnya. Hermione
kemudian memesan segelas orange juice.
"Kau tidak makan
Harry?" tanya Hermione ketika dia melihat hanya ada segelas capucino di
depan Harry.
"Tidak, aku sudah
janji untuk makan malam di rumah bersama Dad," jawab Harry seraya meneguk
capucino-nya.
"Kau yakin tidak
akan meledak dengan makanan sebanyak itu Ron?" komentar Hermione pada
sahabat berambut merahnya yang tengah lahap menikmati makanan. Meski mereka
sudah lama berteman tapi sampai sekarang Hermione masih sering heran dengan
porsi makan Ron yang kelewat batas meski tubuhnya masih terhitung normal,
proporsional malah.
"Tidak mungkin
makanan ini meledak Hermione kecuali kau memasukkan TNT kedalam
makananku," jawab Ron santai yang kemudian memasukkan sepotong daging ke
dalam mulutnya.
Harry terkekeh dengan
jawaban konyol Ron. Hermione mengabaikan Ron karena orange juice nya datang.
Setelah melegakan tenggorokannya dengan beberapa tegukan juice segar, Hermione
mengalihkan perhatiannya pada Harry.
"Apa?" tanya
Harry begitu menyadari tatapan aneh sahabat perempuannya.
"Bagaimana?"
tanya Hermione.
Harry menggelengkan
kepalanya begitu mengerti apa maksud pertanyaan Hermione.
"Argh, susah
sekali," gerutu Hermione.
"Maaf, aku sudah
coba bicara," kata Harry sungkan.
"Bisakah kau coba
lagi Harry? Aku masih punya waktu sampai akhir bulan untuk membujuknya."
Harry menggaruk
kepalanya yang tidak gatal, tidak tahu harus menjawab apa. Perasaan tidak
nyaman menjalari hatinya. Entah sudah berapa kali dalam dua bulan terakhir ini
Hermione memintanya melakukan sesuatu yang tidak disukainya.
"Kenapa kau masih
bersikeras agar Profesor Snape menjadi pembimbing tugas akhir skripsimu? Dia
sudah menolakmu sepuluh kali," komentar Ron.
Hermione membulatkan
matanya pada Ron, "Aku tidak akan menyerah Ron. Coba bayangkan betapa
bangganya aku jika bisa menyusun tugas akhir di bawah bimbingannya. Profesor
hebat di bidangnya, Profesor termuda yang pernah dinobatkan di London,"
kata Hermione.
Harry hanya diam
mengamati semangat sahabatnya yang menggebu-gebu itu.
"Aku tidak bisa
membayangkannya Hermione, lagipula dia tidak muda lagi menurutku." Ron
meringis lebar.
"Ron, dia
dinobatkan menjadi Profesor pada usia tiga puluh lima tahun! Bagaimana bisa kau
mengabaikan kehebatannya," seru Hermione kesal. "Lagipula dia masih
muda menurutku, empat puluh satu tahun. Itu usia matang untuk seorang pria
sepertinya."
Ron langsung tersedak
makanannya karena kalimat terakhir yang diucapkan Hermione, bahkan Harry
menautkan alisnya heran. Sebenarnya inilah yang membuat Harry merasa tidak nyaman,
penilaian Hermione akan sosok ayahnya yang mulai sedikit 'berbeda' -menurut
anggapannya-. Entah kenapa akhir-akhir ini Harry melihat sesuatu yang lain di
mata sahabat perempuannya itu tiap kali mereka membicarakan tentang ayahnya.
Belum lagi semangat Hermione yang kelewat batas untuk menjadikan ayahnya
sebagai dosen pembimbing tugas akhir skripsinya.
Harry merasa lega ketika ayahnya menolak keinginan Hermione tapi rupanya gadis berambut coklat itu tidak menyerah dan justru semakin tertantang untuk 'menaklukkan' sang profesor. Harry tidak ingin menduga hal yang tidak-tidak tentang kekaguman Hermione pada ayahnya tapi rasanya.... Ah, Harry mendesah kesal pada diri sendiri.
Harry merasa lega ketika ayahnya menolak keinginan Hermione tapi rupanya gadis berambut coklat itu tidak menyerah dan justru semakin tertantang untuk 'menaklukkan' sang profesor. Harry tidak ingin menduga hal yang tidak-tidak tentang kekaguman Hermione pada ayahnya tapi rasanya.... Ah, Harry mendesah kesal pada diri sendiri.
"Jangan bilang
kalau kau juga meremehkan kehebatan ayahmu Harry?" kata Hermione begitu
melihat ekspresi Harry.
"Tidak, bukan
begitu. Aku tahu Dad hebat, hanya saja aneh mendengarmu menilainya sebagai
seorang, hhmm...pria," jawab Harry hati-hati.
"Apa salahnya? Kau
kan tidak tahu bagaimana populernya dia di Divisi Sains," jawab Hermione santai
yang kemudian meneguk lagi orange juicenya.
"Jangan-jangan
semua gadis di Divisi Sains otaknya sudah sedikit bergeser Harry," kata
Ron setengah berbisik seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Harry yang duduk di
depannya, meski itu sia-sia karena Hermione jelas bisa mendengarnya.
"Jaga mulutmu Mr.
Weasley," kata Hermione.
"Kau punya selera
aneh Hermione," celetuk Ron.
"Jangan campuri
seleraku Ron." Hermione menggoyangkan telunjuknya di depan wajah lalu
kembali menatap Harry. "Jadi bagaimana Harry? Kau masih mau membantuku
kan? Bujuk Profesor agar mau membimbingku."
"Hhmm, entahlah
Hermione. Sejak menyandang gelar profesor dia tidak pernah membimbing mahasiswa
Strata I, ya meski kau masuk dalam daftar mahasiswa yang diakuinya," ralat
Harry cepat karena takut Hermione tersinggung. "Ditambah tadi pagi aku
membuatnya kesal jadi kemungkinan malam ini aku belum bisa membujuknya."
Harry mencoba berkilah.
"Apa yang kau
lakukan tadi pagi?"
"Selesai latihan
pagi Harry dipanggil oleh Mr. Hagrid untuk membicarakan pertandingan final
University Cup akhir bulan nanti. Jadilah dia terlambat masuk ke kelas, sialnya
dia bertemu Profesor Snape tapi beruntungnya Mr. Lupin juga terlambat," jelas
Ron yang menjawab pertanyaan Hermione.
"Ah, aku turut
menyesal mendengarnya. Aku tahu betapa anti Profesor Snape pada sebuah
keterlambatan."
"Dan Dad mengancam
akan mengeluarkanku dari klub sepak bola kalau nilai Hukum Perdata
Internasional ku kurang dari A."
Hermione langsung
tertawa begitu juga dengan Ron. Harry sedikit lega karena Hermione berhenti
membahas masalah ayahnya. Ketiganya kemudian membahas tentang ujian akhir
semester yang akan di laksanakan minggu depan.
***
Harry memarkirkan mobil
sport merahnya di garasi mansion, di sebelah SUV hitam milik Severus. Tahu
ayahnya sudah pulang lebih dulu, Harry pun segera menuju kamarnya karena tidak
mau terlambat dengan jadwal makan malamnya.
Pintu kamar Harry di
ketuk tepat ketika pemuda itu selesai berpakaian setelah mandi.
"Ya Uncle
Dobby?" tanya Harry ketika membuka pintu.
"Makan malam sudah
siap Tuan Muda Harry," jawab Dobby, kepala pelayan keluarga Snape
sekaligus pengasuh Harry sejak dia masih bayi.
Harry melempar
senyumnya. "Aku segera turun uncle. Apa daddy sudah di ruang makan?"
"Belum Tuan Muda,
Tuan juga masih di ruang kerjanya."
Harry hanya mengangguk
dan kembali menyunggingkan senyumnya sebelum Dobby berbalik pergi.
Mansion mewah yang di
dominasi warna putih dan coklat kayu itu tampak lengang. Harry menuruni tangga
dari lantai dua dimana kamarnya berada dan berjalan ke ruang makan. Dia sudah
terbiasa dengan suasana tenang di mansion itu. Bagaimana tidak, sejak usia satu
bulan dia sudah tinggal di sana bersama ayahnya.
Tak jarang juga kedua
sahabatnya datang untuk belajar bersama atau sekedar menemaninya agar tidak
bosan. Bahkan Ron juga sering menginap, lebih sering saat Severus sedang berada
di luar kota. Meski sudah lama berteman dengan Harry, Ron masih saja merasa
angker dengan ayah sahabatnya itu. Jelas tidak dengan Hermione tapi rasanya
Harry sedang tidak ingin membicarakan sahabat perempuannya itu sekarang.
Tidak melihat Severus
di ruang makan, Harry menduga ayahnya pasti masih ada di ruang kerjanya. Harry
pun memutuskan untuk memanggilnya. Pintu ruang kerja Severus sedikit
terbuka. Baru saja Harry akan mengetuk pintu ketika telinganya mendengar suara
handphone berdering. Tangannya menggantung diudara saat Severus mulai bicara.
"Ya? ... tidak ...
sudah kukatakan kalau aku tidak bisa...."
Harry mengerutkan
kening mendengar ayahnya bicara lirih di telepon dengan nada suara lembut yang
sangat jarang di dengarnya. Alih-alih melanjutkan niatnya mengetuk pintu, Harry
justru mengintip Severus dari celah pintu yang terbuka. Severus tengah duduk di
kursi kerjanya dengan kepala bertopang pada tangannya yang terkepal dan
bersandar pada lengan kursi, terlihat begitu santai.
"Kau keras
kepala," ucap Severus, sudut bibirnya tertarik menyerupai senyum dan
membuat Harry semakin heran melihat ekspresi langka ayahnya.
"Tidak...keputusanku
tidak akan berubah...." Severus menghela napas panjang.
Harry berpikir dalam
diam. Otaknya berusaha merangkai beberapa kata yang di dengarnya dan
mengimajinasikan lawan bicara ayahnya. Siapapun itu pastilah dia memiliki
hubungan yang cukup dekat dengan Severus karena Harry sangat jarang melihat
ayahnya bisa bicara santai seperti itu apalagi sampai tersenyum.
"Aku tidak mau
menyakitinya, itu saja."
Kalimat itu kembali membuat
Harry memutar otaknya. Menyakiti
siapa? Harry semakin penasaran.
"Sudahlah ... tidak
... jangan merayuku lagi ... keputusanku tidak akan berubah ... hm, berhentilah
bicara Nona, Harry pasti sudah menungguku di ruang makan ... jawabannya tetap
tidak. Selamat malam."
Nona?
Daddy menyebut namaku? Apa orang itu...'Nona itu' juga mengenalku?
Harry merasa lemas
dengan percakapan terakhir yang didengarnya. Melihat Severus membereskan meja
kerja, Harry segera berbalik dan setengah berlari ke ruang makan. Dobby
tampak heran melihat Tuan Mudanya tampak linglung memasuki ruang makan dan
menghempaskan dirinya di kursi makan.
"Ada apa Tuan
Muda?" tanya Dobby.
"Ti, tidak uncle,
tidak apa-apa." Harry meraih gelas berisi air putih di depannya dan
menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Mencoba menenangkan dirinya sendiri
dari keterkejutan akan hipotesa yang baru saja di dapatkannya, hasil merangkai
semua kalimat yang diucapkan ayahnya.
Mungkinkah? Hatinya
bertanya-tanya. Harry menyesal menguping pembicaraan ayahnya yang justru
membuatnya tidak tenang. Tidak mungkin!
Aku pasti salah paham. Lagi-lagi Harry mencoba menepis pemikirannya sendiri
yang menurutnya tidak mungkin terjadi.
"Anda yakin tidak
apa-apa Tuan Muda?" tanya Dobby yang semakin heran karena melihat Harry
melamun. Harry hanya menggeleng.
Severus yang kemudian
muncul di ruang makan membuat Harry menghentikan pikirannya yang melanglang
buana. Harry hanya melempar seulas senyum tipis untuk menyapa ayahnya yang
kemudian duduk di ujung meja makan, di sebelahnya. Kening Severus berkerut
melihat sikap Harry yang tidak seperti biasanya. Putranya itu biasanya
menyapanya ramah dan langsung cerewet menceritakan banyak hal seputar
kegiatannya.
"Kau baik-baik
saja, Son?" tanya Severus.
"Aku baik, kenapa
Dad?" Harry justru balik bertanya.
"Tidak, hanya aneh
melihatmu, diam."
Kali ini Harry meringis
lebar. "Aku lelah jadi malas bicara," kilahnya.
Severus tampak heran
tapi tidak lagi bertanya. Keduanya makan dengan tenang.
Tidak adanya percakapan
membuat otak Harry kembali berulah. Sejenak dia melirik ke arah ayahnya, pria
yang selama dua puluh satu tahun ini merawatnya. Pria yang dikenalnya lebih
baik dari dia mengenal kedua orang tua kandungnya. Kandung atau bukan itu bukan
lagi masalah untuk Harry, nyatanya pria dihadapannya ini begitu menyayanginya
-dengan caranya tentu saja-. Jangan harap Severus menjadi ayah yang lembut dan
memanjakan Harry tapi Harry sendiri tidak keberatan. Dia merasa nyaman dengan
cara Severus mendidiknya, menjadikannya pemuda yang mandiri dan bertanggung
jawab.
Harry semakin tenggelam
dalam lamunannya tentang Severus. Empat puluh satu tahun, ya empat puluh satu
tahun usia ayahnya dan separuh hidupnya itu dihabiskannya untuk merawat dan
mendidiknya. Selain dirinya dan buku, Harry tidak pernah melihat ayahnya
tertarik pada hal lain. Waktu kecil Harry sering bertanya tentang sosok seorang
ibu yang tidak pernah ditemuinya. Tapi entah kenapa ayahnya itu seperti tidak
memiliki keinginan untuk berumah tangga. Bukan satu atau dua kali Harry
bertanya alasannya tapi sebanyak Harry bertanya, sebanyak itu pulalah Severus
selalu memberinya alasan.
"Apa kau tidak
bahagia bersamaku Son?" Pertanyaan itu terlontar saat entah untuk yang
keberapa kalinya Harry bertanya kenapa ayahnya tidak menginginkan pendamping
hidup.
"Aku sudah cukup
bahagia bersamamu Son dan aku tidak ingin merusak semuanya dengan kehadiran
wanita yang tidak bisa menerima keberadaanmu sebagai putraku."
Jawaban itu selalu
sukses membuat Harry diam seribu bahasa. Sebesar itulah Severus menyayanginya.
Sebesar itulah pengorbanan Severus untuknya. Walau di luar sana banyak orang
salah mengerti tentang sosok ayahnya tapi Harry tahu bagaimana sang profesor
ini sebenarnya. Bahkan tanpa kehadiran seorang ibu Harry sudah merasakan kasih
sayang yang berlimpah lewat semua yang dilakukan Severus untuknya.
Angan Harry langsung
beralih pada sosok Hermione, sahabat perempuannya. Harry mengenal Hermione
pertama kali di bangku sekolah menengah atas waktu dirinya dan Ron tergabung
dalam klub sepak bola di tahun pertama mereka sekolah dan Hermione menjadi
asisten manager klub yang kemudian menjadi manager klub di tahun kedua. Sejak
itulah mereka bersahabat dan terus berlanjut sampai sekarang. Mereka kuliah di
universitas yang sama meski berbeda jurusan.
Kesukaan Hermione pada
Sains membuat Harry tidak heran saat sahabat perempuannya itu mengambil jurusan
Kimia. Bukan satu dua kali juga Hermione menunjukkan kekagumannya pada sosok
Severus, ayahnya, yang adalah Profesor di bidang sains. Tapi...dua bulan
belakangan ini Harry merasa ada yang aneh. Hermione begitu bersikeras
menjadikan ayahnya pembimbing tugas akhir skripsi yang memang akan mulai mereka
kerjakan semester depan. Semua itu membawa Harry pada sebuah kesimpulan yang bahkan
menurut dirinya sendiri itu 'gila'.
Ya, Harry menduga
Hermione menyukai ayahnya -tentu dalam artian yang lebih- jatuh cinta mungkin.
Berkali-kali Harry berusaha menepis pemikirannya tentang hal ini, mengingat
Hermione tidak pernah mengatakan hal itu padanya dan ayahnya juga tidak
menunjukkan tanda ketertarikan apapun pada Hermione, kecuali sebuah pengakuan
yang menyatakan bahwa Hermione seorang mahasiswa yang cerdas dan berbakat. Tapi
sekali lagi Harry kesulitan menepis pikiran itu, terlebih karena baru saja
Harry mencuri dengar pembicaraan ayahnya dan menduga-duga tentang sosok yang
menghubungi Severus sampai dia bisa menunjukkan ekspresi yang sangat jarang
terlihat kecuali saat bersamanya. Tanpa sadar Harry menggelengkan kepalanya,
berharap semua pikiran anehnya menghilang.
"Harry?
Harry!"
Panggilan itu
menyentakkan Harry, membawanya kembali ke alam sadarnya. Mata hitam Severus
tengah menatapnya tajam.
"Er, ya Dad?"
tanya Harry dengan berusaha tetap tenang.
"Ada apa? Kau
tidak makan dan terus melamun. Ada masalah?" Ekspresi Severus terlihat
datar meski begitu Harry bisa melihat kecemasan pada sepasang bola mata hitam
yang masih menatapnya.
"Ti, tidak Dad.
Tidak ada masalah." Menghindari tatapan mata ayahnya, Harry pun kembali
menyantap makan malamnya.
Harry meneguk orange
juice setelah menghabiskan makanannya. Dia melihat dari sudut matanya kalau
Severus masih mengamatinya. Lamunan panjangnya tadi pasti sudah membuatnya
terlihat aneh. Ya, siapapun juga pasti akan banyak berpikir kalau berada di
posisi Harry. Membayangkan sahabat perempuan yang seusia dengannya tertarik
pada ayahnya. Harry menghela napas panjang. Mungkinkah? Kata tanya itu tertulis besar di dalam kepalanya.
"Aku akan membedah
isi kepalamu kalau kau masih saja melamun dan melihatku dengan aneh seperti itu
Harry. Katakan apa masalahnya?" Kali ini Severus kesal melihat tingkah
Harry.
Sial! Harry
menggaruk kepalanya, mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan, pura-pura
membenahi kacamatanya yang bahkan masih berada tepat ditempatnya.
"Katakan," tuntut
Severus yang semakin tidak tahan melihat Harry salah tingkah. Putranya itu
tidak pernah berbohong jadi dia akan langsung tahu kalau Harry mencobanya atau
berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Dua puluh satu tahun membesarkan Harry
tentu Severus hapal semua kebiasaanya putra semata wayangnya itu.
"Er, Dad."
Harry menatap Severus dan mencoba untuk memancing sesuatu dari ayahnya. "Tadi
Hermione memin-,"
"Tidak,"
potong Severus cepat, tahu apa yang akan dikatakan Harry padanya. "Jadi
itu yang kau pikirkan sejak tadi? Cara untuk membujukku?"
Bukan! Ingin
rasanya Harry mengatakan yang sebenarnya tapi rasanya semua kalimat tanya itu
tercekat di tenggorokannya. Alhasil Harry hanya mengangguk, mengiyakan
pertanyaan Severus.
"Hermione
sahabatku, aku hanya ingin membantunya," tambah Harry seraya mengamati
dengan hati-hati reaksi ayahnya.
Severus menghela napas
perlahan. "Keras kepala Miss Granger itu," gumamnya lirih.
Kata-kata yang sama
yang didengar oleh Harry tadi. Benarkah Hermione yang menghubungi Dad?
"Dad, sebenarnya
kenapa kau tidak mau membimbing Hermione? Bukankah kau sendiri yang mengatakan
kalau dia mahasiswa yang cerdas, tentu dia tidak akan mempermalukanmu sebagai
pembimbingnya," kata Harry.
"Aku hanya tidak
mau ada skandal," jawab Severus datar.
Harry menautkan kedua
alisnya. Skandal? Apa maksudnya?
"Kau sendiri tahu
aku tidak pernah membimbing mahasiswa Strata I apalagi perempuan. Aku tidak mau
membuat kehebohan dengan melakukan sesuatu di luar kebiasaanku, Son."
Ya, ayahnya sudah
mengatakan hal itu berulang kali dan sekarang pertanyaan berulang itu sukses
membuat ayahnya kesal.
"Maaf," ucap
Harry kemudian.
"Sudah lupakan
saja. Katakan pada Miss Granger untuk memilih pembimbing lain, Dr. McGonagall
akan dengan senang hati membantu mencari pembimbing tugas akhirnya," jawab
Severus seraya meneguk kopinya.
"Aku akan coba
bicara dengannya," kata Harry kemudian. Dilihat dari manapun ayahnya
benar-benar tidak memiliki ketertarikan pada Hermione. Aku pasti salah sangka,
tidak mungkin Hermione yang menghubungi Dad tadi. Tapi siapa Nona yang dimaksud
oleh Dad?
"Oh ya Dad, aku
masih heran kenapa tadi pagi kau ada di Divisi Hukum?" tanya Harry,
mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka sekaligus menyingkirkan pikiran
anehnya.
"Aku menemui Mr.
Lupin di kantornya," jawab Severus.
"Mr. Lupin?
Pembimbing akademikku?" Harry tampak terkejut. Sebenarnya tidak aneh juga,
Mr. Lupin adalah teman Severus ketika mereka masih sekolah dulu. Sekarang Mr.
Lupin yang mengajar mata kuliah Hukum Perdata Internasional juga menjadi
pembimbing akademiknya.
"Apa ada Mr. Lupin
yang lain?" jawab sang ayah datar.
"Ada apa?"
"Menurutmu?"
Harry cemberut.
"Jangan bilang kalau Dad mengawasiku."
"Mengawasi?"
Severus menggeleng, "Hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik."
"Dad, aku bukan
anak TK," keluh Harry putus asa dengan sifat overprotective ayahnya.
"Kapan aku bilang
begitu?"
"Dad membuatku
merasa begitu."
"Lakukan saja
tugasmu Son. Yang pasti aku tidak ingin melihat nilai buruk di transkrip
nilaimu."
Severus mengosongkan cangkir kopinya lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan Harry yang mendengus pelan.
Severus mengosongkan cangkir kopinya lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan Harry yang mendengus pelan.
***
Waktu sudah menunjukkan
lewat tengah malam tapi Severus masih duduk di ruang kerjanya. Bukan untuk
bekerja, lebih seperti sedang merenungkan sesuatu. Sejak tadi matanya terpaku
pada bingkai foto yang terletak di meja kerjanya. Foto sepasang suami istri
yang menggendong seorang bayi. Ya, itu adalah foto keluarga Potter, Harry dan
kedua orang tuanya.
Severus memijat
pelipisnya, meregangkan otot-otot yang menegang di kepalanya. Matanya kembali
menatap foto keluarga Potter, ada duka tersirat dalam pandangannya.
"Lils, apa yang
harus aku lakukan sekarang?"
Sebuah nama terucap
lirih, Lils. Lebih tepatnya Lily Evans atau Lily Potter karena wanita yang
dipanggilnya itu menikah dengan putra tunggal keluarga Potter. Dialah ibu
kandung Harry. Seorang wanita cantik berambut merah, bermata hijau terang
dengan senyum menawan. Sahabat masa kecil dan juga...-kalau boleh dibilang-
kekasih hatinya.
Miris, ya begitu miris
hati Severus jika mengingat semua itu. Mencintai sahabat masa kecilnya dan
berakhir dengan sebuah luka karena rasa yang tak terbalas. Dan setelah sekian
lama, bahkan setelah sang kekasih hati tak lagi ada di dunia ini, rasa itu tak
juga hilang ataupun berkurang. Rasa yang akhirnya dia curahkan pada seorang
putra yang mewarisi mata hijau terang wanita pujaannya, Harry.
Bukan hanya karena
wasiat Lily seorang Severus menerima kehadiran Harry tapi memang di dalam
hatinya rasa sayang itu ada. Tidak peduli dengan hubungan darah, baginya Harry
adalah hidupnya, alasannya tetap tegar menjalani hidup yang menurutnya tak lagi
berwarna sejak kematian wanita pujaannya. Tawa dan celotehan Harry lah yang
membuat hidupnya memiliki makna baru tapi sekarang...Severus dihadapkan pada
sebuah pilihan yang sulit.
"Mione."
sebuah nama kembali terucap lirih dari bibir Severus, sumber dari keresahan
yang melandanya selama dua bulan terakhir. Keresahan yang selalu ditutupinya
dengan topeng esnya. Keresahan yang berusaha dia tekan sedemikan rupa tapi
justru menimbulkan sebuah luka bahkan juga menguak semua memori lama, memori
masa lalu yang dipendamnya. Memori yang tersimpan rapi di sudut hatinya.
Memorinya tentang Lily.
"Lils, setelah
sekian lama kenapa rasa ini kembali ada? Dan kenapa rasa ini ada
untuknya?"
Sebuah helaan napas
panjang semakin menyatakan keresahan pria yang selalu terlihat dingin itu.
"Ini gila!"
rutuknya pada diri sendiri. "Aku jatuh cinta pada gadis yang dua puluh
tahun lebih muda dariku dan gilanya lagi dia sahabat baik anakku!" Severus
mencengkram rambut hitamnya dengan kesal.
Selama hidupnya baru
kali ini Severus merasa begitu tidak berdaya. Dia tidak ingin menipu dirinya
sendiri tapi dia juga tidak berani menyambut cinta yang datang menghampirinya.
Menghampirinya? Ya, kali ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, justru
sebaliknya.
Hermione Granger, gadis
yang menyimpan cinta untuknya dan begitu berani terus mengejarnya dan hebatnya
kini dia berhasil merebut hati profesor pujaannya. Tapi apa yang menjadi
konsekuensi dari perasaannya inilah yang membuat Severus bak memakan buah
simalakama. Dia tidak sanggup membayangkan reaksi Harry kalau sampai dia tahu.
Anak itu pasti akan merasa malu, bagaimana tidak? Kalau Severus menerima
Hermione maka Harry juga harus menerimanya sebagai ... mommy-nya? Gadis yang
usianya sama dengannya! Itu pasti akan menyakiti perasaan Harry dan menyakiti
Harry adalah sesuatu yang tidak pernah ingin di lakukannya.
"God, kenapa kau
membuat takdir yang kejam untukku. Tidakkah cukup sekali aku merasa sakit
karena harus melepas cintaku? Sekarang, haruskah aku melakukannya lagi agar aku
tidak menyakiti anakku?"
Heningnya malam yang
sarat kedamaian itu bahkan tidak juga bisa menenangkan rasa gelisah di hati
seorang Severus. Hati yang kini tengah bimbang untuk menentukan sebuah pilihan.
***
Sementara itu di waktu
yang sama, di sebuah flat di tengah kota London, seorang gadis tengah duduk
melamun di balkon lantai sepuluh kamarnya sambil menatap indahnya lautan
bintang yang bersinar di langit malam awal musim panas.
Hermione, gadis yang
tengah dilanda asmara karena berhasil mendapatkan cinta dari pangerannya. Siapa
lagi kalau bukan sang Profesor, Severus Snape. Apa terdengar aneh? Tentu tidak
baginya. Memang sejak kapan cinta bisa memilih? Terkadang hati bisa menjadi
begitu bodoh jika sudah ditumbuhi dengan rasa bernama cinta. Meski dalam hal
ini Hermione sama sekali tidak menyebutnya sebagai sebuah kebodohan, justru
sebaliknya. Dia merasa begitu beruntung bisa jatuh cinta pada sosok pria dewasa
yang begitu bersahaja, pria yang selalu tampak kaku dan dingin dari luar tapi
ternyata begitu hangat dan lembut di dalam. Darimana dia bisa mendapat
penilaian seperti itu? Menjadi sahabat Harry adalah kuncinya.
Sebenarnya, Hermione
sendiri juga tidak tahu kapan pastinya dia benar-benar terpikat pada pesona
sang profesor. Pertemuan pertama mereka adalah saat ulang tahun Harry yang ke
tujuh belas yang dirayakan di mansion keluarga Snape. Dingin dan kaku. Hermione
setuju dengan dua istilah yang selalu digunakan Ron untuk menggambarkan sosok
ayah Harry. Ron yang bahkan sudah berteman dengan Harry sejak sekolah menengah
pertama, tidak juga bisa melihat sisi lain dari seorang Severus. Jelas pribadi
sang ayah bertolak belakang dengan pribadi Harry yang hangat dan ceria. Tapi
rupanya, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya intensitas pertemuan antara
dirinya dan sang profesor, Hermione justru mengagumi sosok Severus.
Melihat cara Severus
menyayangi Harry, melindungi dan menjaganya, membuat hati Hermione tersentuh
hingga titik terdalam. Terlebih saat Hermione berhadapan langsung dengan
Severus sebagai mahasiswa di jurusan Kimia, kehebatan dan wibawa Severus telah
benar-benar mempesonanya. Dan hari itu...hari dimana akhirnya Hermione
menyadari perasaanya. Empat bulan yang lalu, di kantor Severus.
***
Dari sinilah semua
kisah cinta itu berawal.
"Profesor Snape
masih di laboratorium," jawaban itu diberikan oleh Sekretaris Divisi
ketika Hermione berkunjung ke kantor Kepala Divisi, ya, Severus juga menjabat
sebagai Kepala Divisi Sains.
"Boleh saya
menunggunya disini? Saya Hermione Granger, saya sudah membuat janji dengan
Profesor."
"Ah, anda Miss
Granger? Kalau begitu silakan masuk. Profesor mengijinkanmu menunggu di
ruangannya."
Mengucapkan terima
kasih, Hermione pun masuk ke ruangan Severus. Dia duduk di depan meja kerja, di
pangkuannya terdapat proposal kegiatan penelitian mahasiswa semester enam yang
harus di tanda tangani oleh Severus sebagai Kepala Divisi. Dengan status
sahabat dekat Harry tentu Hermione bisa lebih mudah meminta tanda tangan secara
langsung dan tidak perlu mengantrikan proposalnya di meja sekretaris.
Lima belas menit
menunggu dalam diam, Severus tidak juga datang. Hermione yang mulai bosan mulai
menjelajah kantor dekan dengan pandangan matanya. Bola mata coklatnya berputar
ke kanan dan ke kiri sampai akhirnya dia menemukan sebuah objek menarik yang
tergeletak di atas meja Severus. Sebuah foto yang tidak asing bagi Hermione,
foto bayi Harry yang sebagian terselip pada sebuah agenda tebal bersampul kulit
warna hitam.
Penasaran, tanpa ragu
Hermione mengambil agenda tebal yang berada dalam jangkauan tangannya di atas
meja. Membukanya, kening Hermione berkerut melihat foto Harry yang berada dalam
gendongan seorang wanita. Jelas Hermione pernah melihat foto itu, Harry bersama
ibunya. Tapi foto yang dipegangnya sekarang sedikit berbeda karena ada sebagian
yang terpotong, bagian dimana seharusnya ayah Harry berdiri di sebelah ibunya.
Mengalihkan perhatian dari foto ke lembaran agenda yang terbuka, Hermione
tercekat membaca barisan rapi yang tersurat di atas kertas.
Lils, aku senang
melihat senyummu hari ini. Putramu tampan dan mewarisi mata indahmu. Kuharap
dia juga mewarisi kecerdasanmu. Aku berdoa kalian berdua sehat dan bahagia
selalu. Tentu aku berdoa untuk James juga.
Lils?
Lily? Ibu Harry? Jadi Profesor...?
Aneh, Hermione merasa
hatinya begitu perih membaca tulisan Severus. Dia tahu ini tidak boleh
dilakukan tapi Hermione tidak mau berhenti membaca.
Dear Lily, Harry terus
menangis sejak pemakamanmu, dia pasti merindukanmu. Aku hanya bisa memeluknya
dan bersyukur dia akhirnya tidur di pangkuanku. Aku berjanji akan selalu
menjaganya Lils, sebagai putraku. Terima kasih kau percaya padaku.
Lembar demi lembar
kembali di buka Hermione.
Harry demam Lils, aku
menyesal meninggalkannya ke luar kota selama dua hari. Semalaman aku
menungguinya, sedih melihat putraku yang masih lima bulan terus gelisah dalam
tidurnya. Maafkan aku Lils, aku berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.
Hermione terus membaca
setiap bait tulisan yang ditorehkan oleh Severus. Tanpa disadarinya, tetesan
kristal bening lolos dari sudut matanya. Hanya dengan membaca, Hermione dapat
merasakan besarnya cinta Severus untuk Harry juga untuk...Lily.
Harry sudah tujuh belas
tahun dan dia tumbuh menjadi pemuda yang hebat Lils. Seperti biasa, dia dan Ron
sahabatnya, berhasil menang di pertandingan sepak bola antar sekolah se-London.
Meski sebenarnya aku tidak suka karena lagi-lagi dia harus terluka usai
pertandingan. Tapi aku senang karena dia juga berhasil menjadi juara dua di
kelas, itu sangat membanggakan karena aku tahu dia tidak mungkin mendapat juara
satu. Dia punya sahabat perempuan yang sangat cerdas, sepertimu. Aku jadi
teringat padamu setiap melihatnya.
Hermione tersenyum
tipis, ada getar halus di dalam hatinya ketika membaca tulisan Severus
tentangnya.
Lils, sekali lagi aku
bangga karena Harry berhasil masuk ke Jurusan Hukum. Aku rasa dia memang
berbakat di bidang itu seperti James. Dia minta ijin untuk bergabung di klub
sepak bola universitas. Aku ingin menolak tapi tidak tega melihat wajahnya yang
penuh semangat. Rasanya aku ingin memaki Hagrid yang menawarinya bergabung tapi
biarlah, asal dia bahagia. Aku akan pergi ke New York untuk menghadiri sebuah
simposium, aku harap Harry dan Ron tidak membuat ulah selama aku tidak ada. Kau
akan membantuku mengawasinya kan?
"Miss
Granger," sapaan bernada datar itu menyentakkan Hermione yang langsung
berdiri dan menjatuhkan agenda tebal juga proposal di pangkuannya.
"Pro, professor."
Hermione tergagap. "Maaf, saya-," kalimat Hermione tercekat di
tenggorokannya karena tiba-tiba Severus membungkuk di depannya dan mengambil
agenda yang terjatuh di sebelah kakiknya. Otomatis, saat tubuh Severus kembali
tegak, sang profesor itu tepat berdiri di depan Hermione dengan wajah yang
hanya berjarak beberapa inchi.
"Silakan keluar
Miss Granger." Ekspresi Severus benar-benar tak berbaca tapi Hermione
bersumpah kalau dia melihat kilat kemarahan di mata hitam sang profesor.
Tahu bukan saatnya
menjelaskan, Hermione mengucapkan kata maaf lalu segera melangkahkan kaki
keluar ruangan. Otaknya buntu sampai lupa dengan tujuan utamanya menemui
Severus dan meninggalkan proposalnya begitu saja di lantai.
Sejak itu Hermione
merasakan sebuah rasa lain tumbuh di dalam hatinya, bukan lagi sekedar kagum
atau simpati tapi sebuah rasa yang dia yakin bernama cinta. Tahu perasaannya
akan menimbulkan masalah, Hermione memutuskan untuk menyimpan rasa di hatinya
dari Harry apalagi Ron tapi tidak berlaku bagi Severus.
Setelah membaca semua
tulisan Severus, Hermione merasakan betapa kesepiannya profesor kebanggaannya
itu. Ekspresi dingin dan kaku yang ditampakkannya ternyata hanyalah tameng
untuk menutupi semua kerinduan dan luka dihatinya. Mungkin keberadaan Harry
bisa menjadi obat untuk semua luka dan kesepiannya tapi Hermione yakin itu
tidak akan cukup untuk melengkapi bagian hati Severus yang hilang. Dan entah
mendapat keberanian darimana Hermione ingin menyatakan perasaannya dan menjadi
pelengkap hati Severus yang hilang.
Dua hari berselang,
Hermione benar-benar melakukan apa yang ada di pikirkannya. Siang itu, akhir
pekan di minggu pertama bulan Maret Hermione kembali menemui Severus. Bukan di
kantor Kepala Divisi melainkan di rumah, dengan konsekuensi di usir, Hermione
memantapkan langkahnya.
"Selamat siang
Miss Granger," sapa Dobby ketika dia membuka pintu depan.
"Selamat siang
uncle Dobby, aku tahu Harry tidak di rumah," balas Hermione sekaligus
menjawab tatapan heran Dobby padanya, "Aku ingin bertemu Profesor
Snape," lanjut Hermione.
"Tuan?" Dobby
semakin heran.
"Masalah
tugas," tegas Hermione.
Dobby akhirnya
mengangguk tanda mengerti lalu mengantar Hermione ke ruang kerja Severus. Jelas
terlihat Severus terkejut dengan kedatangan Hermione tapi gadis itu bersyukur
sang profesor tidak mengusirnya dan mempersilakannya duduk setelah Dobby pergi.
"Harry sedang
latihan sepak bola, saya tahu. Hari ini saya datang untuk bertemu dengan anda,
Sir," kata Hermione cepat saat Severus menatapnya tajam. Hermione yakin sudah
tidak melihat kemarahan di mata Severus, membuatnya sedikit lega. Meski
Hermione juga tidak yakin bagaimana reaksi sang profesor nanti kalau mendengar
apa yang akan dikatakannya.
"Sebaiknya kau
pulang jika tujuanmu datang untuk membahas apa yang sudah kau lakukan tempo
hari. Lupakan saja," kata Severus datar. Duduk di kursi kerjanya, Severus
menautkan kedua tangannya di depan dada, menatap lurus pada gadis dihadapannya.
Hermione menelan ludah
perlahan, mengepalkan tangannya kuat di atas pangkuannya, mengumpulkan
keberaniannya.
"Maaf, Sir,"
kata Hermione tegas, memberanikan diri menatap ke dalam sepasang manik mata
hitam di depannya. "Saya memang lancang, saya akui tapi jujur, saya tidak
menyesal melakukannya," lanjutnya tenang.
Sekilas tampak
keterkerjutan di mata Severus meski wajahnya tetap terlihat datar.
"Apa maksudmu Miss
Granger?" tanya Severus. Tak urung keberanian Hermione untuk menghadapinya
membuat Severus cukup tertantang. Cukup menggelitiknya untuk mencoba nyali
mahasiswa yang memang diakuinya memiliki kecerdasan di atas rata-rata tersebut.
"Jelas seperti apa
yang sudah saya katakan, Sir. Saya minta maaf atas kelancangan saya tapi saya
tidak menyesal telah melakukannya," ulang Hermione.
"Dan kau datang
untuk menunjukkan keberanianmu yang tidak pada tempatnya? Membanggakan arogansi
mu padaku?"
Hati Hermione meringis
sakit mendengar kalimat tajam Severus tapi sekali lagi dia mencoba bertahan,
menerima konsekuensi dari apa yang sudah dilakukannya dan yang ... akan
dilakukannya.
"Tidak, Sir,"
jawab Hermione tenang.
"Lalu?
Menertawakanku?" Sudut bibir Severus tertarik menjadi seringai tipis tapi
tajam, cukup untuk membuat hati Hermione kembali teriris.
"Tidak, Sir,"
jawab Hermione lagi sama tenangnya.
Keduanya terdiam, hanya
saling menatap.
Sesaat kemudian Hermione
menghela napas perlahan. "Maaf Sir, hari ini saya datang bukan sebagai
mahasiswa anda. Beri kesempatan saya untuk bicara, setelah itu saya akan
menerima apapun konsekuensinya."
"Apa kau berniat
menantangku Miss Granger? Prestasi akademikmu yang gemilang tidak akan banyak
membantu jika kau bahkan tidak menunjukkan etika yang baik di depanku."
Kali ini Severus sedikit mengintimidasi. Mata bulat coklat yang sejak tadi
menatapnya itu mulai membuatnya jengah.
"Saya tidak
berniat menantang anda, Sir, meski...ya, apa yang akan saya katakan memang
melanggar etika tapi saya sudah siap apapun konsekuensinya." Sekali lagi
Hermione menunjukkan keberaniannya yang bahkan tetap tenang di bawah ancaman
Severus.
"Katakan," kata
Severus setelah beberapa saat keduanya kembali diam.
Seulas senyum tipis
mengembang di bibir merah muda Hermione. Gadis muda itu terlihat puas karena
Severus memberinya kesempatan. Tidak membuang waktu lagi, Hermione memanfaatkan
kesempatan yang diberikan padanya.
"Hari ini, saya
datang sebagai seorang wanita yang ingin jujur pada perasaannya. Mungkin
terdengar aneh atau anda boleh menganggap saya gila tapi jujur jauh lebih
melegakan meski terkadang konsekuensinya pahit. Setidaknya saya tidak akan
menyesali hidup saya di masa depan karena saya sudah melakukan apa yang
seharusnya saya lakukan." Sebuah helaan napas memberi waktu bagi Hermione
untuk menata detak jantungnya yang rasanya akan meledak kalau dia tidak segera
menyatakan perasaannya.
"Sir, selama ini
saya mengaggumi anda. Rasa kagum yang saya anggap biasa karena anda memang
layak dikagumi tapi setelah saya membaca, hhmm, catatan harian anda." Sejenak
Hermione menilai ekspresi Severus, tidak bisa dibacanya, diapun kembali bicara.
"Saya menyadari bahwa saya salah. Saya salah kalau mengira saya hanya
mengagumi atau menghormati anda karena pada kenyataannya saya...mencintai
anda."
Brak! "LELUCON APA
INI MISS GRANGER!" raung Severus yang langsung berdiri dari kursinya dan
sukses membuat Hermione terlonjak karena terkejut.
Sekuat apapun Hermione
menyiapkan diri, tetap saja dia terkejut melihat Severus memukul meja dan
berteriak padanya. Selama mengenal sosok Severus, ini adalah pertama kalinya
Hermione melihat sang Profesor lepas kontrol.
"I, ini bukan
lelucon, Sir," jawab Hermione yang masih duduk di kursi dan berusaha tetap
tenang meski dalam hatinya sekarang juga terselip rasa takut. Hanya saja dia
tetap yakin kalau Severus tidak akan menyakitinya.
Severus menghempaskan
dirinya kembali kursi kerja, memijat pangkal hidungnya yang mulai berdenyut.
Keberanian Hermione sungguh di luar prediksinya, mengejutkannya, tidak! Salah!
Ini adalah serangan telak baginya.
Keheningan akhirnya
menyela diantara mereka, memberi celah bagi keduanya untuk sejenak menenangkan
diri dan berpikir. Hermione masih dengan begitu berani mengamati reaksi Severus
yang jelas terlihat syok.
"Miss
Granger," akhirnya Severus kembali menegakkan kepalanya dan menatap lurus
Hermione. "Aku yakin kau dalam keadaan sadar sekarang dan tidak dalam
pengaruh obat ataupun alkohol. Jadi aku harap dengan kesadaran penuh kau juga
bisa berpikir panjang dan bertanggung jawab dengan apa yang kau katakan."
"Tentu Sir, saya
pastikan itu," jawab Hermione tenang.
"Bagus. Sekarang
pulanglah," kata Severus datar.
Alis Hermione
melengkung tinggi. "Anda tidak menghukum saya, Sir?" tanyanya ragu.
"Menghukum? Kau
sendiri yang mengatakan kalau kau datang bukan sebagai mahasiswa ku, jadi atas
dasar apa aku berhak menghukummu?" jawab Severus. "Kau datang hanya
ingin jujur dan aku hargai itu meski...aku akui keberanianmu membuatku sangat
terkejut tapi sekali lagi aku katakan, aku menghargainya. Sekarang
pulanglah."
Mulut Hermione menganga
dan ketika menyadari reaksi konyolnya, dengan cepat gadis muda itu kembali
merapatkan bibirnya.
"Anda tidak marah
pada saya, Sir?" tanya Hermione yang sekarang justru terkejut dengan
perkataan Severus padanya.
Severus menyipitkan
matanya. Terbesit dugaan di dalam kepalanya kalau gadis dihadapannya ini
'sedikit' tidak waras.
"Kau berharap aku
marah padamu Miss Granger?" tanyanya datar, menyembunyikan kekesalan
hatinya.
"Ti, tidak, bukan
begitu Sir," kata Hermione cepat.
"Lalu apalagi yang
kau tunggu? Pulanglah," usir Severus lagi.
"Apa ini berarti
anda menerima perasaan saya Sir?" Sial! Hermione
memaki dirinya sendiri karena kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya
tanpa sempat difilter oleh otak cerdasnya. Entah kenapa otaknya terasa tumpul
sekarang.
Severus hampir memukul
meja lagi kalau saja kedua jarinya tidak bertaut erat. Menghela napas panjang,
Severus mencari ketenangan dirinya. Gadis ini membuatku gila!
"Miss Granger, aku
mengatakan bahwa aku menghargai perasaanmu, kejujuranmu, tapi itu bukan berarti
sesuatu yang lebih." Sejenak Severus menghela napas. "Bukankah lebih
mudah kalau kau mencintai Harry, putraku?" tanya Severus dengan penekanan
lebih pada kata 'putraku'. Menyadarkan sang gadis betapa besar perbedaan
diantara mereka.
Hermione terdiam.
Menggurutu dalam hatinya karena penolakan Severus, meski begitu dia bertekad
untuk tidak menyerah. Merasa tidak akan menang kalau dirinya terus mendesak
Severus, Hermione pun memutuskan untuk pulang.
Setidaknya dia tidak
marah dan tidak memberikan surat drop-out
padaku. Masih ada kesempatan lain. Tak menjawab pertanyaan terakhir Severus
padanya, Hermione akhirnya permisi untuk pulang.
"Miss
Granger," panggil Severus tepat ketika Hermione membuka pintu.
"Ya, Sir?"
Hermione kembali membalikkan tubuhnya dan menatap Severus penuh harap. Berharap
sang profesor merubah keputusan hatinya.
"Aku akan
berterima kasih kalau kau tidak mengatakan apapun pada Harry."
Kekecewaan sempat terlintas di wajah Hermione tapi kemudian dia mengulum senyum manisnya, memahami permintaan Severus padanya.
Kekecewaan sempat terlintas di wajah Hermione tapi kemudian dia mengulum senyum manisnya, memahami permintaan Severus padanya.
"Tentu, Sir."
Pintu tertutup dan
cerita tentang pernyataan cinta sang mahasiswa pada profesornya berakhir hari
itu. Bukan akhir yang sebenarnya karena justru dari situlah semua berawal.
***
>>Bersambung<<
5 Comments
Cerita baruuuuu
ReplyDeleteSevMione pertamaku...miss u Daddy Sev
Happy reading buat yang mau baca n jangan lupa komennya XD
Arigatooo
bagus fanfic nya, bakalan jd fanfic yg selalu ditunggu apdetannya nih
ReplyDeleteApdet lagi dooong
ReplyDeleteKereeen...
ReplyDeleteGreget :v 😬😬
ReplyDelete