Incredible Love - Chapter 1

Disclaimer    : Jelas bukan milik saya, cuma pinjem dari aunty JK Rowling
Fanfiction by Agnes Kristi
For my beloved Daddy Sev, I always love u
Summary : Sesederhana apapun cinta, dia selalu bisa mengubah yang biasa menjadi luar biasa.

*********************************************************************************




Seorang pemuda dengan rambut hitam berantakan tampak tergesa menyusuri koridor panjang di depan jajaran ruang kelas. Sesekali dia membenahi ransel hitam yang di sandangnya agar tetap berada di bahu kanannya dan menaikkan kaca matanya yang beberapa kali turun karena hentakan langkahnya yang tidak teratur. Pemuda itu berbelok ke kanan di ujung koridor dan hampir saja menabrak seseorang yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya kalau saja dia tidak memiliki reflek yang bagus untuk segera menghentikan langkah kakinya.

Pemuda tampan dengan mata hijau terang yang di tutupi dengan kaca mata bulat itu terlihat memamerkan deretan gigi putihnya ketika pria yang hampir di tabraknya menatapnya tajam.

"Terlambat Harry?"

Seketika senyum pemuda yang bernama Harry itu menghilang saat pertanyaan bernada datar namun sarat kekesalan itu menyapa gendang telinganya.

"Er, maaf Profesor Snape, saya baru selesai latihan pagi untuk klub sepak bola."

Pria yang dipanggil Profesor Snape itu menggeleng dengan jawaban Harry.

Harry Potter-Snape adalah mahasiswa semester enam Jurusan Hukum yang juga adalah Kapten klub sepak bola Hogwarts University, salah satu universitas terkemuka di London. Dihadapannya adalah Profesor Snape, dosen kimia yang terkenal killer dan paling angker di universitas. Sama-sama Snape? Ya, di luar lingkungan universitas keduanya adalah ayah dan anak. Lebih tepatnya ayah dan anak angkat. Harry adalah anak dari James dan Lily Potter, sahabat baik Severus yang meninggal dalam kecelakaan satu bulan setelah Harry lahir. Lily menitipkan Harry yang selamat dalam kecelakaan pada Severus tepat sebelum wanita cantik itu menghembuskan napas terakhirnya. Akhirnya Severus mengadopsi Harry dan membesarkannya sebagai putranya.

"Apa kelasmu pagi ini?" tanya Severus lagi, masih dengan nada yang sama dengan pertanyaan yang pertama.

"Er, Hukum Perdata Internasional, Sir," jawab pemuda itu.

Harry menatap Severus seraya mengerutkan kening karena merasa heran dengan keberadaan sang profesor yang tidak pada tempatnya. Jelas tidak ada mata kuliah kimia di Divisi Hukum tapi Harry menahan diri untuk bertanya. Menghindarkan dirinya dari konsekuensi lebih berat yang mungkin akan diterimanya karena keterlambatannya.

"Cepat masuk ke kelasmu dan pastikan nilaimu A di akhir semester nanti atau aku akan melarangmu mengikuti semua kegiatan klub tidak bergunamu itu," kata Severus sambil lalu.

Harry hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal, membuat poninya tersingkap dan memperlihatkan bekas luka berbentuk sambaran petir di keningnya. Luka yang diperolehnya ketika mengalami kecelakaan bersama kedua orang tuanya. Harry pun kembali melangkahkan kakinya menuju ruang kelas.

Keberuntungan masih berpihak pada pemuda bermata hijau itu karena ketika Harry membuka pintu ruangan, dia tidak melihat dosen di depan kelas yang artinya dia selamat. Beberapa mahasiswi langsung berdengung seperti lebah begitu melihat sang Kapten Klub Sepak Bola -yang adalah idola para gadis- berjalan memasuki ruangan. Senyum lebar dan lambaian tangan dari pemuda berambut merah yang duduk di deretan kursi tengah mengalihkan perhatian Harry.

"Sibuk kapten Harry?" tanya sang pemuda berambut merah saat Harry duduk di kursi yang sudah disediakan olehnya, di sebelahnya.

"Mr. Hagrid hampir membuatku mati, Ron," keluh Harry pada pemuda bernama Ron. Ron Weasley lengkapnya, sahabatnya sejak dia masih duduk di sekolah menengah pertama. Keduanya sama-sama anggota klub sepak bola.

"Maaf tadi aku meninggalkanmu tapi separah apa pengarahannya pagi ini, mate?" Ron tampak heran dengan penuturan sahabatnya itu.

"Bukan pengarahannya tapi dia hampir membuatku terlambat-," Harry melihat sekeliling, "oke, aku sudah terlambat tapi sialnya aku bertemu daddy di koridor." Harry membuka tasnya dan mengambil buku juga penanya.

Mendadak Ron tertawa. "Ya itu sial sekali. Aku bisa membayangkan bagaimana mata hitamnya itu mengintimidasimu. Lalu apa hukumannya?" Sebuah cengiran lebar mengakhiri kalimat tanya Ron.

"Nilai A untuk Hukum Perdata Internasional atau aku akan keluar dari klub sepak bola," dengus Harry putus asa.

Ron kembali terbahak dan menikmati wajah memelas sahabatnya.

"Diam kau Ron," kata Harry seraya melempar pena ditangannya dan memantul sia-sia pada lengan Ron yang dengan reflek bagus menutupi wajahnya dari serangan Harry.

"Tapi kenapa Profesor Snape ada di sini?" Tak urung Ron juga merasa heran dengan kemunculan Profesor Killer itu di koridor kelas Divisi Hukum. Meski gedung Divisi Sains terletak di sebelah Divisi Hukum tapi tetap saja aneh melihat dosen divisi lain muncul di tempat yang tidak ada hubungannya sama sekali.

"Aku juga tidak tahu dan situasinya tidak memungkinkan untukku untuk bertanya." Harry mengendikkan bahunya setelah mengambil penanya yang terjatuh di lantai, di sebelah kakinya.

"Mungkin jurusan kita membuka mata kuliah baru. Hhmm, Filsafat Hukum Kimia, pengaruh atom pada perkembangan hukum pidana." Ron kembali berkelakar.

Harry tertawa dan memberi pukulan di belakang kepala Ron sebagai hadiah dari leluconnya.

"Ya setidaknya kau masih beruntung karena Mr. Lupin terlambat hari ini," kata Ron setelah keduanya selesai tertawa.

Harry hanya mengangguk.

"Tenang saja, Mr. Lupin dosen yang baik, belum lagi dia adalah pembimbing akademikmu jadi kau pasti tidak akan kesulitan mendapatkan nilai A," tambah Ron.

"Semoga," jawab Harry lirih seraya menghela napas panjang.

Obrolan mereka seketika berhenti saat pintu ruangan terbuka. Mr. Lupin, dosen Hukum Perdata Internasional mereka sudah datang dan kedua pemuda itu mulai fokus mengikuti perkuliahan. Terlebih Harry yang harus meraih nilai A sebagai hukuman dari ayahnya.

***
Bel bergema keras di dalam ruangan yang otomatis menghentikan semua kegiatan belajar mengajar. Harry membereskan bukunya ke dalam tas, begitu juga Ron. Keduanya baru saja selesai dengan mata kuliah Filsafat Hukum yang sukses membuat Ron menguap sepanjang kuliah berlangsung.

"Aku lapar," keluh Ron seraya menggeliat panjang di kursinya.

Harry melirik jam tangannya, pukul empat sore, tidak heran kalau sahabatnya itu lapar. Mereka hanya makan sepotong burger saat istirahat makan siang tadi karena keduanya kemudian sibuk di perpustakaan untuk mencari bahan tugas sebelum masuk ke kelas berikutnya.

"Kita ke kantin sekarang? Aku akan hubungi Hermione agar menyusul kita kesana. Rasanya aku juga malas kalau harus menemuinya di perpustakaan, lagi," usul Harry.

"Ide bagus mate," jawab Ron mantap seraya beranjak dari kursinya.

Keduanya berjalan meninggalkan kelas setelah Harry mengetik pesan untuk Hermione, mahasiswi Jurusan Kimia, sahabat perempuannya juga Ron.

Kantin yang mereka tuju berada di antara Divisi Hukum dan Divisi Sains. Otomatis tempat itu menjadi tempat yang strategis untuk para sahabat itu bertemu. Ron baru saja memesan makanan dalam porsi besar ketika seorang gadis cantik berambut coklat setengah berlari menghampiri meja mereka. Ya, dialah Hermione Granger, mahasiswa paling pintar di angkatannya di jurusan Kimia. Bahkan Severus, sang Profesor Killer, yang juga adalah dosen pengajarnya, mengakui kehebatannya.

"Hai Harry, Ron." Hermione meletakkan tumpukan buku tebalnya di meja dan duduk di sebelah Harry.

"Hai, Hermione," balas keduanya bersamaan.

"Kau cepat sekali?" tanya Harry kemudian.

"Aku baru saja keluar dari kelas saat menerima pesanmu. Beruntung aku belum ke perpustakaan," jawabnya seraya menyelipkan rambut panjang coklatnya yang bergelombang ke belakang telinga.

Harry meringis. "Ron kelaparan dan menurutku kantin lebih menyenangkan daripada perpustakaan."

Hermione mendengus dengan jawaban Harry, jelas dia tidak setuju. Tidak heran kalau melihat tumpukan buku yang dibawa Hermione setiap harinya. 

Seorang waiter datang, membuat Ron memekik kegirangan menyambut makanan porsi besarnya. Hermione kemudian memesan segelas orange juice.

"Kau tidak makan Harry?" tanya Hermione ketika dia melihat hanya ada segelas capucino di depan Harry.

"Tidak, aku sudah janji untuk makan malam di rumah bersama Dad," jawab Harry seraya meneguk capucino-nya.

"Kau yakin tidak akan meledak dengan makanan sebanyak itu Ron?" komentar Hermione pada sahabat berambut merahnya yang tengah lahap menikmati makanan. Meski mereka sudah lama berteman tapi sampai sekarang Hermione masih sering heran dengan porsi makan Ron yang kelewat batas meski tubuhnya masih terhitung normal, proporsional malah.

"Tidak mungkin makanan ini meledak Hermione kecuali kau memasukkan TNT kedalam makananku," jawab Ron santai yang kemudian memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya.

Harry terkekeh dengan jawaban konyol Ron. Hermione mengabaikan Ron karena orange juice nya datang. Setelah melegakan tenggorokannya dengan beberapa tegukan juice segar, Hermione mengalihkan perhatiannya pada Harry.

"Apa?" tanya Harry begitu menyadari tatapan aneh sahabat perempuannya.

"Bagaimana?" tanya Hermione.

Harry menggelengkan kepalanya begitu mengerti apa maksud pertanyaan Hermione.

"Argh, susah sekali," gerutu Hermione.

"Maaf, aku sudah coba bicara," kata Harry sungkan.

"Bisakah kau coba lagi Harry? Aku masih punya waktu sampai akhir bulan untuk membujuknya."

Harry menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tidak tahu harus menjawab apa. Perasaan tidak nyaman menjalari hatinya. Entah sudah berapa kali dalam dua bulan terakhir ini Hermione memintanya melakukan sesuatu yang tidak disukainya.

"Kenapa kau masih bersikeras agar Profesor Snape menjadi pembimbing tugas akhir skripsimu? Dia sudah menolakmu sepuluh kali," komentar Ron.

Hermione membulatkan matanya pada Ron, "Aku tidak akan menyerah Ron. Coba bayangkan betapa bangganya aku jika bisa menyusun tugas akhir di bawah bimbingannya. Profesor hebat di bidangnya, Profesor termuda yang pernah dinobatkan di London," kata Hermione.

Harry hanya diam mengamati semangat sahabatnya yang menggebu-gebu itu.

"Aku tidak bisa membayangkannya Hermione, lagipula dia tidak muda lagi menurutku." Ron meringis lebar.

"Ron, dia dinobatkan menjadi Profesor pada usia tiga puluh lima tahun! Bagaimana bisa kau mengabaikan kehebatannya," seru Hermione kesal. "Lagipula dia masih muda menurutku, empat puluh satu tahun. Itu usia matang untuk seorang pria sepertinya."

Ron langsung tersedak makanannya karena kalimat terakhir yang diucapkan Hermione, bahkan Harry menautkan alisnya heran. Sebenarnya inilah yang membuat Harry merasa tidak nyaman, penilaian Hermione akan sosok ayahnya yang mulai sedikit 'berbeda' -menurut anggapannya-. Entah kenapa akhir-akhir ini Harry melihat sesuatu yang lain di mata sahabat perempuannya itu tiap kali mereka membicarakan tentang ayahnya. Belum lagi semangat Hermione yang kelewat batas untuk menjadikan ayahnya sebagai dosen pembimbing tugas akhir skripsinya. 

Harry merasa lega ketika ayahnya menolak keinginan Hermione tapi rupanya gadis berambut coklat itu tidak menyerah dan justru semakin tertantang untuk 'menaklukkan' sang profesor. Harry tidak ingin menduga hal yang tidak-tidak tentang kekaguman Hermione pada ayahnya tapi rasanya.... Ah, Harry mendesah kesal pada diri sendiri.

"Jangan bilang kalau kau juga meremehkan kehebatan ayahmu Harry?" kata Hermione begitu melihat ekspresi Harry.

"Tidak, bukan begitu. Aku tahu Dad hebat, hanya saja aneh mendengarmu menilainya sebagai seorang, hhmm...pria," jawab Harry hati-hati.

"Apa salahnya? Kau kan tidak tahu bagaimana populernya dia di Divisi Sains," jawab Hermione santai yang kemudian meneguk lagi orange juicenya.

"Jangan-jangan semua gadis di Divisi Sains otaknya sudah sedikit bergeser Harry," kata Ron setengah berbisik seraya mencondongkan tubuhnya ke arah Harry yang duduk di depannya, meski itu sia-sia karena Hermione jelas bisa mendengarnya.

"Jaga mulutmu Mr. Weasley," kata Hermione.

"Kau punya selera aneh Hermione," celetuk Ron.

"Jangan campuri seleraku Ron." Hermione menggoyangkan telunjuknya di depan wajah lalu kembali menatap Harry. "Jadi bagaimana Harry? Kau masih mau membantuku kan? Bujuk Profesor agar mau membimbingku."

"Hhmm, entahlah Hermione. Sejak menyandang gelar profesor dia tidak pernah membimbing mahasiswa Strata I, ya meski kau masuk dalam daftar mahasiswa yang diakuinya," ralat Harry cepat karena takut Hermione tersinggung. "Ditambah tadi pagi aku membuatnya kesal jadi kemungkinan malam ini aku belum bisa membujuknya." Harry mencoba berkilah.

"Apa yang kau lakukan tadi pagi?"

"Selesai latihan pagi Harry dipanggil oleh Mr. Hagrid untuk membicarakan pertandingan final University Cup akhir bulan nanti. Jadilah dia terlambat masuk ke kelas, sialnya dia bertemu Profesor Snape tapi beruntungnya Mr. Lupin juga terlambat," jelas Ron yang menjawab pertanyaan Hermione.

"Ah, aku turut menyesal mendengarnya. Aku tahu betapa anti Profesor Snape pada sebuah keterlambatan."

"Dan Dad mengancam akan mengeluarkanku dari klub sepak bola kalau nilai Hukum Perdata Internasional ku kurang dari A."

Hermione langsung tertawa begitu juga dengan Ron. Harry sedikit lega karena Hermione berhenti membahas masalah ayahnya. Ketiganya kemudian membahas tentang ujian akhir semester yang akan di laksanakan minggu depan.

***
Harry memarkirkan mobil sport merahnya di garasi mansion, di sebelah SUV hitam milik Severus. Tahu ayahnya sudah pulang lebih dulu, Harry pun segera menuju kamarnya karena tidak mau terlambat dengan jadwal makan malamnya.

Pintu kamar Harry di ketuk tepat ketika pemuda itu selesai berpakaian setelah mandi.

"Ya Uncle Dobby?" tanya Harry ketika membuka pintu.

"Makan malam sudah siap Tuan Muda Harry," jawab Dobby, kepala pelayan keluarga Snape sekaligus pengasuh Harry sejak dia masih bayi.

Harry melempar senyumnya. "Aku segera turun uncle. Apa daddy sudah di ruang makan?"

"Belum Tuan Muda, Tuan juga masih di ruang kerjanya."

Harry hanya mengangguk dan kembali menyunggingkan senyumnya sebelum Dobby berbalik pergi.
Mansion mewah yang di dominasi warna putih dan coklat kayu itu tampak lengang. Harry menuruni tangga dari lantai dua dimana kamarnya berada dan berjalan ke ruang makan. Dia sudah terbiasa dengan suasana tenang di mansion itu. Bagaimana tidak, sejak usia satu bulan dia sudah tinggal di sana bersama ayahnya.

Tak jarang juga kedua sahabatnya datang untuk belajar bersama atau sekedar menemaninya agar tidak bosan. Bahkan Ron juga sering menginap, lebih sering saat Severus sedang berada di luar kota. Meski sudah lama berteman dengan Harry, Ron masih saja merasa angker dengan ayah sahabatnya itu. Jelas tidak dengan Hermione tapi rasanya Harry sedang tidak ingin membicarakan sahabat perempuannya itu sekarang. 

Tidak melihat Severus di ruang makan, Harry menduga ayahnya pasti masih ada di ruang kerjanya. Harry pun memutuskan untuk memanggilnya. Pintu ruang kerja Severus sedikit terbuka. Baru saja Harry akan mengetuk pintu ketika telinganya mendengar suara handphone berdering. Tangannya menggantung diudara saat Severus mulai bicara.

"Ya? ... tidak ... sudah kukatakan kalau aku tidak bisa...."

Harry mengerutkan kening mendengar ayahnya bicara lirih di telepon dengan nada suara lembut yang sangat jarang di dengarnya. Alih-alih melanjutkan niatnya mengetuk pintu, Harry justru mengintip Severus dari celah pintu yang terbuka. Severus tengah duduk di kursi kerjanya dengan kepala bertopang pada tangannya yang terkepal dan bersandar pada lengan kursi, terlihat begitu santai.

"Kau keras kepala," ucap Severus, sudut bibirnya tertarik menyerupai senyum dan membuat Harry semakin heran melihat ekspresi langka ayahnya.

"Tidak...keputusanku tidak akan berubah...." Severus menghela napas panjang.

Harry berpikir dalam diam. Otaknya berusaha merangkai beberapa kata yang di dengarnya dan mengimajinasikan lawan bicara ayahnya. Siapapun itu pastilah dia memiliki hubungan yang cukup dekat dengan Severus karena Harry sangat jarang melihat ayahnya bisa bicara santai seperti itu apalagi sampai tersenyum.

"Aku tidak mau menyakitinya, itu saja."

Kalimat itu kembali membuat Harry memutar otaknya. Menyakiti siapa? Harry semakin penasaran.

"Sudahlah ... tidak ... jangan merayuku lagi ... keputusanku tidak akan berubah ... hm, berhentilah bicara Nona, Harry pasti sudah menungguku di ruang makan ... jawabannya tetap tidak. Selamat malam."

Nona? Daddy menyebut namaku? Apa orang itu...'Nona itu' juga mengenalku?

Harry merasa lemas dengan percakapan terakhir yang didengarnya. Melihat Severus membereskan meja kerja, Harry segera berbalik dan setengah berlari ke ruang makan. Dobby tampak heran melihat Tuan Mudanya tampak linglung memasuki ruang makan dan menghempaskan dirinya di kursi makan.

"Ada apa Tuan Muda?" tanya Dobby.

"Ti, tidak uncle, tidak apa-apa." Harry meraih gelas berisi air putih di depannya dan menghabiskan isinya dalam sekali teguk. Mencoba menenangkan dirinya sendiri dari keterkejutan akan hipotesa yang baru saja di dapatkannya, hasil merangkai semua kalimat yang diucapkan ayahnya.

Mungkinkah? Hatinya bertanya-tanya. Harry menyesal menguping pembicaraan ayahnya yang justru membuatnya tidak tenang. Tidak mungkin! Aku pasti salah paham. Lagi-lagi Harry mencoba menepis pemikirannya sendiri yang menurutnya tidak mungkin terjadi.

"Anda yakin tidak apa-apa Tuan Muda?" tanya Dobby yang semakin heran karena melihat Harry melamun. Harry hanya menggeleng.

Severus yang kemudian muncul di ruang makan membuat Harry menghentikan pikirannya yang melanglang buana. Harry hanya melempar seulas senyum tipis untuk menyapa ayahnya yang kemudian duduk di ujung meja makan, di sebelahnya. Kening Severus berkerut melihat sikap Harry yang tidak seperti biasanya. Putranya itu biasanya menyapanya ramah dan langsung cerewet menceritakan banyak hal seputar kegiatannya.

"Kau baik-baik saja, Son?" tanya Severus.

"Aku baik, kenapa Dad?" Harry justru balik bertanya.

"Tidak, hanya aneh melihatmu, diam."

Kali ini Harry meringis lebar. "Aku lelah jadi malas bicara," kilahnya.

Severus tampak heran tapi tidak lagi bertanya. Keduanya makan dengan tenang.

Tidak adanya percakapan membuat otak Harry kembali berulah. Sejenak dia melirik ke arah ayahnya, pria yang selama dua puluh satu tahun ini merawatnya. Pria yang dikenalnya lebih baik dari dia mengenal kedua orang tua kandungnya. Kandung atau bukan itu bukan lagi masalah untuk Harry, nyatanya pria dihadapannya ini begitu menyayanginya -dengan caranya tentu saja-. Jangan harap Severus menjadi ayah yang lembut dan memanjakan Harry tapi Harry sendiri tidak keberatan. Dia merasa nyaman dengan cara Severus mendidiknya, menjadikannya pemuda yang mandiri dan bertanggung jawab.

Harry semakin tenggelam dalam lamunannya tentang Severus. Empat puluh satu tahun, ya empat puluh satu tahun usia ayahnya dan separuh hidupnya itu dihabiskannya untuk merawat dan mendidiknya. Selain dirinya dan buku, Harry tidak pernah melihat ayahnya tertarik pada hal lain. Waktu kecil Harry sering bertanya tentang sosok seorang ibu yang tidak pernah ditemuinya. Tapi entah kenapa ayahnya itu seperti tidak memiliki keinginan untuk berumah tangga. Bukan satu atau dua kali Harry bertanya alasannya tapi sebanyak Harry bertanya, sebanyak itu pulalah Severus selalu memberinya alasan.

"Apa kau tidak bahagia bersamaku Son?" Pertanyaan itu terlontar saat entah untuk yang keberapa kalinya Harry bertanya kenapa ayahnya tidak menginginkan pendamping hidup.

"Aku sudah cukup bahagia bersamamu Son dan aku tidak ingin merusak semuanya dengan kehadiran wanita yang tidak bisa menerima keberadaanmu sebagai putraku."

Jawaban itu selalu sukses membuat Harry diam seribu bahasa. Sebesar itulah Severus menyayanginya. Sebesar itulah pengorbanan Severus untuknya. Walau di luar sana banyak orang salah mengerti tentang sosok ayahnya tapi Harry tahu bagaimana sang profesor ini sebenarnya. Bahkan tanpa kehadiran seorang ibu Harry sudah merasakan kasih sayang yang berlimpah lewat semua yang dilakukan Severus untuknya.

Angan Harry langsung beralih pada sosok Hermione, sahabat perempuannya. Harry mengenal Hermione pertama kali di bangku sekolah menengah atas waktu dirinya dan Ron tergabung dalam klub sepak bola di tahun pertama mereka sekolah dan Hermione menjadi asisten manager klub yang kemudian menjadi manager klub di tahun kedua. Sejak itulah mereka bersahabat dan terus berlanjut sampai sekarang. Mereka kuliah di universitas yang sama meski berbeda jurusan.

Kesukaan Hermione pada Sains membuat Harry tidak heran saat sahabat perempuannya itu mengambil jurusan Kimia. Bukan satu dua kali juga Hermione menunjukkan kekagumannya pada sosok Severus, ayahnya, yang adalah Profesor di bidang sains. Tapi...dua bulan belakangan ini Harry merasa ada yang aneh. Hermione begitu bersikeras menjadikan ayahnya pembimbing tugas akhir skripsi yang memang akan mulai mereka kerjakan semester depan. Semua itu membawa Harry pada sebuah kesimpulan yang bahkan menurut dirinya sendiri itu 'gila'.

Ya, Harry menduga Hermione menyukai ayahnya -tentu dalam artian yang lebih- jatuh cinta mungkin. Berkali-kali Harry berusaha menepis pemikirannya tentang hal ini, mengingat Hermione tidak pernah mengatakan hal itu padanya dan ayahnya juga tidak menunjukkan tanda ketertarikan apapun pada Hermione, kecuali sebuah pengakuan yang menyatakan bahwa Hermione seorang mahasiswa yang cerdas dan berbakat. Tapi sekali lagi Harry kesulitan menepis pikiran itu, terlebih karena baru saja Harry mencuri dengar pembicaraan ayahnya dan menduga-duga tentang sosok yang menghubungi Severus sampai dia bisa menunjukkan ekspresi yang sangat jarang terlihat kecuali saat bersamanya. Tanpa sadar Harry menggelengkan kepalanya, berharap semua pikiran anehnya menghilang.

"Harry? Harry!"

Panggilan itu menyentakkan Harry, membawanya kembali ke alam sadarnya. Mata hitam Severus tengah menatapnya tajam.

"Er, ya Dad?" tanya Harry dengan berusaha tetap tenang.

"Ada apa? Kau tidak makan dan terus melamun. Ada masalah?" Ekspresi Severus terlihat datar meski begitu Harry bisa melihat kecemasan pada sepasang bola mata hitam yang masih menatapnya.

"Ti, tidak Dad. Tidak ada masalah." Menghindari tatapan mata ayahnya, Harry pun kembali menyantap makan malamnya.

Harry meneguk orange juice setelah menghabiskan makanannya. Dia melihat dari sudut matanya kalau Severus masih mengamatinya. Lamunan panjangnya tadi pasti sudah membuatnya terlihat aneh. Ya, siapapun juga pasti akan banyak berpikir kalau berada di posisi Harry. Membayangkan sahabat perempuan yang seusia dengannya tertarik pada ayahnya. Harry menghela napas panjang. Mungkinkah? Kata tanya itu tertulis besar di dalam kepalanya.

"Aku akan membedah isi kepalamu kalau kau masih saja melamun dan melihatku dengan aneh seperti itu Harry. Katakan apa masalahnya?" Kali ini Severus kesal melihat tingkah Harry.

Sial! Harry menggaruk kepalanya, mengacak rambutnya yang memang sudah berantakan, pura-pura membenahi kacamatanya yang bahkan masih berada tepat ditempatnya.

"Katakan," tuntut Severus yang semakin tidak tahan melihat Harry salah tingkah. Putranya itu tidak pernah berbohong jadi dia akan langsung tahu kalau Harry mencobanya atau berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Dua puluh satu tahun membesarkan Harry tentu Severus hapal semua kebiasaanya putra semata wayangnya itu.

"Er, Dad." Harry menatap Severus dan mencoba untuk memancing sesuatu dari ayahnya. "Tadi Hermione memin-,"

"Tidak," potong Severus cepat, tahu apa yang akan dikatakan Harry padanya. "Jadi itu yang kau pikirkan sejak tadi? Cara untuk membujukku?"

Bukan! Ingin rasanya Harry mengatakan yang sebenarnya tapi rasanya semua kalimat tanya itu tercekat di tenggorokannya. Alhasil Harry hanya mengangguk, mengiyakan pertanyaan Severus.

"Hermione sahabatku, aku hanya ingin membantunya," tambah Harry seraya mengamati dengan hati-hati reaksi ayahnya.

Severus menghela napas perlahan. "Keras kepala Miss Granger itu," gumamnya lirih.

Kata-kata yang sama yang didengar oleh Harry tadi. Benarkah Hermione yang menghubungi Dad?

"Dad, sebenarnya kenapa kau tidak mau membimbing Hermione? Bukankah kau sendiri yang mengatakan kalau dia mahasiswa yang cerdas, tentu dia tidak akan mempermalukanmu sebagai pembimbingnya," kata Harry.

"Aku hanya tidak mau ada skandal," jawab Severus datar.

Harry menautkan kedua alisnya. Skandal? Apa maksudnya?

"Kau sendiri tahu aku tidak pernah membimbing mahasiswa Strata I apalagi perempuan. Aku tidak mau membuat kehebohan dengan melakukan sesuatu di luar kebiasaanku, Son."

Ya, ayahnya sudah mengatakan hal itu berulang kali dan sekarang pertanyaan berulang itu sukses membuat ayahnya kesal.

"Maaf," ucap Harry kemudian.

"Sudah lupakan saja. Katakan pada Miss Granger untuk memilih pembimbing lain, Dr. McGonagall akan dengan senang hati membantu mencari pembimbing tugas akhirnya," jawab Severus seraya meneguk kopinya.

"Aku akan coba bicara dengannya," kata Harry kemudian. Dilihat dari manapun ayahnya benar-benar tidak memiliki ketertarikan pada Hermione. Aku pasti salah sangka, tidak mungkin Hermione yang menghubungi Dad tadi. Tapi siapa Nona yang dimaksud oleh Dad?

"Oh ya Dad, aku masih heran kenapa tadi pagi kau ada di Divisi Hukum?" tanya Harry, mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka sekaligus menyingkirkan pikiran anehnya.

"Aku menemui Mr. Lupin di kantornya," jawab Severus.

"Mr. Lupin? Pembimbing akademikku?" Harry tampak terkejut. Sebenarnya tidak aneh juga, Mr. Lupin adalah teman Severus ketika mereka masih sekolah dulu. Sekarang Mr. Lupin yang mengajar mata kuliah Hukum Perdata Internasional juga menjadi pembimbing akademiknya.

"Apa ada Mr. Lupin yang lain?" jawab sang ayah datar.

"Ada apa?"

"Menurutmu?"

Harry cemberut. "Jangan bilang kalau Dad mengawasiku."

"Mengawasi?" Severus menggeleng, "Hanya memastikan semuanya berjalan dengan baik."

"Dad, aku bukan anak TK," keluh Harry putus asa dengan sifat overprotective ayahnya.

"Kapan aku bilang begitu?"

"Dad membuatku merasa begitu."

"Lakukan saja tugasmu Son. Yang pasti aku tidak ingin melihat nilai buruk di transkrip nilaimu."

Severus mengosongkan cangkir kopinya lalu beranjak dari kursinya dan meninggalkan Harry yang mendengus pelan.

***
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam tapi Severus masih duduk di ruang kerjanya. Bukan untuk bekerja, lebih seperti sedang merenungkan sesuatu. Sejak tadi matanya terpaku pada bingkai foto yang terletak di meja kerjanya. Foto sepasang suami istri yang menggendong seorang bayi. Ya, itu adalah foto keluarga Potter, Harry dan kedua orang tuanya.

Severus memijat pelipisnya, meregangkan otot-otot yang menegang di kepalanya. Matanya kembali menatap foto keluarga Potter, ada duka tersirat dalam pandangannya.

"Lils, apa yang harus aku lakukan sekarang?"

Sebuah nama terucap lirih, Lils. Lebih tepatnya Lily Evans atau Lily Potter karena wanita yang dipanggilnya itu menikah dengan putra tunggal keluarga Potter. Dialah ibu kandung Harry. Seorang wanita cantik berambut merah, bermata hijau terang dengan senyum menawan. Sahabat masa kecil dan juga...-kalau boleh dibilang- kekasih hatinya.

Miris, ya begitu miris hati Severus jika mengingat semua itu. Mencintai sahabat masa kecilnya dan berakhir dengan sebuah luka karena rasa yang tak terbalas. Dan setelah sekian lama, bahkan setelah sang kekasih hati tak lagi ada di dunia ini, rasa itu tak juga hilang ataupun berkurang. Rasa yang akhirnya dia curahkan pada seorang putra yang mewarisi mata hijau terang wanita pujaannya, Harry.

Bukan hanya karena wasiat Lily seorang Severus menerima kehadiran Harry tapi memang di dalam hatinya rasa sayang itu ada. Tidak peduli dengan hubungan darah, baginya Harry adalah hidupnya, alasannya tetap tegar menjalani hidup yang menurutnya tak lagi berwarna sejak kematian wanita pujaannya. Tawa dan celotehan Harry lah yang membuat hidupnya memiliki makna baru tapi sekarang...Severus dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit.

"Mione." sebuah nama kembali terucap lirih dari bibir Severus, sumber dari keresahan yang melandanya selama dua bulan terakhir. Keresahan yang selalu ditutupinya dengan topeng esnya. Keresahan yang berusaha dia tekan sedemikan rupa tapi justru menimbulkan sebuah luka bahkan juga menguak semua memori lama, memori masa lalu yang dipendamnya. Memori yang tersimpan rapi di sudut hatinya. Memorinya tentang Lily.

"Lils, setelah sekian lama kenapa rasa ini kembali ada? Dan kenapa rasa ini ada untuknya?"

Sebuah helaan napas panjang semakin menyatakan keresahan pria yang selalu terlihat dingin itu.

"Ini gila!" rutuknya pada diri sendiri. "Aku jatuh cinta pada gadis yang dua puluh tahun lebih muda dariku dan gilanya lagi dia sahabat baik anakku!" Severus mencengkram rambut hitamnya dengan kesal.

Selama hidupnya baru kali ini Severus merasa begitu tidak berdaya. Dia tidak ingin menipu dirinya sendiri tapi dia juga tidak berani menyambut cinta yang datang menghampirinya. Menghampirinya? Ya, kali ini cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, justru sebaliknya.

Hermione Granger, gadis yang menyimpan cinta untuknya dan begitu berani terus mengejarnya dan hebatnya kini dia berhasil merebut hati profesor pujaannya. Tapi apa yang menjadi konsekuensi dari perasaannya inilah yang membuat Severus bak memakan buah simalakama. Dia tidak sanggup membayangkan reaksi Harry kalau sampai dia tahu. Anak itu pasti akan merasa malu, bagaimana tidak? Kalau Severus menerima Hermione maka Harry juga harus menerimanya sebagai ... mommy-nya? Gadis yang usianya sama dengannya! Itu pasti akan menyakiti perasaan Harry dan menyakiti Harry adalah sesuatu yang tidak pernah ingin di lakukannya.

"God, kenapa kau membuat takdir yang kejam untukku. Tidakkah cukup sekali aku merasa sakit karena harus melepas cintaku? Sekarang, haruskah aku melakukannya lagi agar aku tidak menyakiti anakku?"

Heningnya malam yang sarat kedamaian itu bahkan tidak juga bisa menenangkan rasa gelisah di hati seorang Severus. Hati yang kini tengah bimbang untuk menentukan sebuah pilihan.

***
Sementara itu di waktu yang sama, di sebuah flat di tengah kota London, seorang gadis tengah duduk melamun di balkon lantai sepuluh kamarnya sambil menatap indahnya lautan bintang yang bersinar di langit malam awal musim panas.

Hermione, gadis yang tengah dilanda asmara karena berhasil mendapatkan cinta dari pangerannya. Siapa lagi kalau bukan sang Profesor, Severus Snape. Apa terdengar aneh? Tentu tidak baginya. Memang sejak kapan cinta bisa memilih? Terkadang hati bisa menjadi begitu bodoh jika sudah ditumbuhi dengan rasa bernama cinta. Meski dalam hal ini Hermione sama sekali tidak menyebutnya sebagai sebuah kebodohan, justru sebaliknya. Dia merasa begitu beruntung bisa jatuh cinta pada sosok pria dewasa yang begitu bersahaja, pria yang selalu tampak kaku dan dingin dari luar tapi ternyata begitu hangat dan lembut di dalam. Darimana dia bisa mendapat penilaian seperti itu? Menjadi sahabat Harry adalah kuncinya.

Sebenarnya, Hermione sendiri juga tidak tahu kapan pastinya dia benar-benar terpikat pada pesona sang profesor. Pertemuan pertama mereka adalah saat ulang tahun Harry yang ke tujuh belas yang dirayakan di mansion keluarga Snape. Dingin dan kaku. Hermione setuju dengan dua istilah yang selalu digunakan Ron untuk menggambarkan sosok ayah Harry. Ron yang bahkan sudah berteman dengan Harry sejak sekolah menengah pertama, tidak juga bisa melihat sisi lain dari seorang Severus. Jelas pribadi sang ayah bertolak belakang dengan pribadi Harry yang hangat dan ceria. Tapi rupanya, seiring berjalannya waktu dan bertambahnya intensitas pertemuan antara dirinya dan sang profesor, Hermione justru mengagumi sosok Severus.

Melihat cara Severus menyayangi Harry, melindungi dan menjaganya, membuat hati Hermione tersentuh hingga titik terdalam. Terlebih saat Hermione berhadapan langsung dengan Severus sebagai mahasiswa di jurusan Kimia, kehebatan dan wibawa Severus telah benar-benar mempesonanya. Dan hari itu...hari dimana akhirnya Hermione menyadari perasaanya. Empat bulan yang lalu, di kantor Severus.

***
Dari sinilah semua kisah cinta itu berawal.

"Profesor Snape masih di laboratorium," jawaban itu diberikan oleh Sekretaris Divisi ketika Hermione berkunjung ke kantor Kepala Divisi, ya, Severus juga menjabat sebagai Kepala Divisi Sains.

"Boleh saya menunggunya disini? Saya Hermione Granger, saya sudah membuat janji dengan Profesor."

"Ah, anda Miss Granger? Kalau begitu silakan masuk. Profesor mengijinkanmu menunggu di ruangannya."

Mengucapkan terima kasih, Hermione pun masuk ke ruangan Severus. Dia duduk di depan meja kerja, di pangkuannya terdapat proposal kegiatan penelitian mahasiswa semester enam yang harus di tanda tangani oleh Severus sebagai Kepala Divisi. Dengan status sahabat dekat Harry tentu Hermione bisa lebih mudah meminta tanda tangan secara langsung dan tidak perlu mengantrikan proposalnya di meja sekretaris.

Lima belas menit menunggu dalam diam, Severus tidak juga datang. Hermione yang mulai bosan mulai menjelajah kantor dekan dengan pandangan matanya. Bola mata coklatnya berputar ke kanan dan ke kiri sampai akhirnya dia menemukan sebuah objek menarik yang tergeletak di atas meja Severus. Sebuah foto yang tidak asing bagi Hermione, foto bayi Harry yang sebagian terselip pada sebuah agenda tebal bersampul kulit warna hitam.

Penasaran, tanpa ragu Hermione mengambil agenda tebal yang berada dalam jangkauan tangannya di atas meja. Membukanya, kening Hermione berkerut melihat foto Harry yang berada dalam gendongan seorang wanita. Jelas Hermione pernah melihat foto itu, Harry bersama ibunya. Tapi foto yang dipegangnya sekarang sedikit berbeda karena ada sebagian yang terpotong, bagian dimana seharusnya ayah Harry berdiri di sebelah ibunya. Mengalihkan perhatian dari foto ke lembaran agenda yang terbuka, Hermione tercekat membaca barisan rapi yang tersurat di atas kertas.

Lils, aku senang melihat senyummu hari ini. Putramu tampan dan mewarisi mata indahmu. Kuharap dia juga mewarisi kecerdasanmu. Aku berdoa kalian berdua sehat dan bahagia selalu. Tentu aku berdoa untuk James juga.

Lils? Lily? Ibu Harry? Jadi Profesor...?

Aneh, Hermione merasa hatinya begitu perih membaca tulisan Severus. Dia tahu ini tidak boleh dilakukan tapi Hermione tidak mau berhenti membaca.

Dear Lily, Harry terus menangis sejak pemakamanmu, dia pasti merindukanmu. Aku hanya bisa memeluknya dan bersyukur dia akhirnya tidur di pangkuanku. Aku berjanji akan selalu menjaganya Lils, sebagai putraku. Terima kasih kau percaya padaku.

Lembar demi lembar kembali di buka Hermione.

Harry demam Lils, aku menyesal meninggalkannya ke luar kota selama dua hari. Semalaman aku menungguinya, sedih melihat putraku yang masih lima bulan terus gelisah dalam tidurnya. Maafkan aku Lils, aku berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.

Hermione terus membaca setiap bait tulisan yang ditorehkan oleh Severus. Tanpa disadarinya, tetesan kristal bening lolos dari sudut matanya. Hanya dengan membaca, Hermione dapat merasakan besarnya cinta Severus untuk Harry juga untuk...Lily.

Harry sudah tujuh belas tahun dan dia tumbuh menjadi pemuda yang hebat Lils. Seperti biasa, dia dan Ron sahabatnya, berhasil menang di pertandingan sepak bola antar sekolah se-London. Meski sebenarnya aku tidak suka karena lagi-lagi dia harus terluka usai pertandingan. Tapi aku senang karena dia juga berhasil menjadi juara dua di kelas, itu sangat membanggakan karena aku tahu dia tidak mungkin mendapat juara satu. Dia punya sahabat perempuan yang sangat cerdas, sepertimu. Aku jadi teringat padamu setiap melihatnya.

Hermione tersenyum tipis, ada getar halus di dalam hatinya ketika membaca tulisan Severus tentangnya.

Lils, sekali lagi aku bangga karena Harry berhasil masuk ke Jurusan Hukum. Aku rasa dia memang berbakat di bidang itu seperti James. Dia minta ijin untuk bergabung di klub sepak bola universitas. Aku ingin menolak tapi tidak tega melihat wajahnya yang penuh semangat. Rasanya aku ingin memaki Hagrid yang menawarinya bergabung tapi biarlah, asal dia bahagia. Aku akan pergi ke New York untuk menghadiri sebuah simposium, aku harap Harry dan Ron tidak membuat ulah selama aku tidak ada. Kau akan membantuku mengawasinya kan?

"Miss Granger," sapaan bernada datar itu menyentakkan Hermione yang langsung berdiri dan menjatuhkan agenda tebal juga proposal di pangkuannya.

"Pro, professor." Hermione tergagap. "Maaf, saya-," kalimat Hermione tercekat di tenggorokannya karena tiba-tiba Severus membungkuk di depannya dan mengambil agenda yang terjatuh di sebelah kakiknya. Otomatis, saat tubuh Severus kembali tegak, sang profesor itu tepat berdiri di depan Hermione dengan wajah yang hanya berjarak beberapa inchi.

"Silakan keluar Miss Granger." Ekspresi Severus benar-benar tak berbaca tapi Hermione bersumpah kalau dia melihat kilat kemarahan di mata hitam sang profesor.

Tahu bukan saatnya menjelaskan, Hermione mengucapkan kata maaf lalu segera melangkahkan kaki keluar ruangan. Otaknya buntu sampai lupa dengan tujuan utamanya menemui Severus dan meninggalkan proposalnya begitu saja di lantai.

Sejak itu Hermione merasakan sebuah rasa lain tumbuh di dalam hatinya, bukan lagi sekedar kagum atau simpati tapi sebuah rasa yang dia yakin bernama cinta. Tahu perasaannya akan menimbulkan masalah, Hermione memutuskan untuk menyimpan rasa di hatinya dari Harry apalagi Ron tapi tidak berlaku bagi Severus.

Setelah membaca semua tulisan Severus, Hermione merasakan betapa kesepiannya profesor kebanggaannya itu. Ekspresi dingin dan kaku yang ditampakkannya ternyata hanyalah tameng untuk menutupi semua kerinduan dan luka dihatinya. Mungkin keberadaan Harry bisa menjadi obat untuk semua luka dan kesepiannya tapi Hermione yakin itu tidak akan cukup untuk melengkapi bagian hati Severus yang hilang. Dan entah mendapat keberanian darimana Hermione ingin menyatakan perasaannya dan menjadi pelengkap hati Severus yang hilang.

Dua hari berselang, Hermione benar-benar melakukan apa yang ada di pikirkannya. Siang itu, akhir pekan di minggu pertama bulan Maret Hermione kembali menemui Severus. Bukan di kantor Kepala Divisi melainkan di rumah, dengan konsekuensi di usir, Hermione memantapkan langkahnya.

"Selamat siang Miss Granger," sapa Dobby ketika dia membuka pintu depan.

"Selamat siang uncle Dobby, aku tahu Harry tidak di rumah," balas Hermione sekaligus menjawab tatapan heran Dobby padanya, "Aku ingin bertemu Profesor Snape," lanjut Hermione.

"Tuan?" Dobby semakin heran.

"Masalah tugas," tegas Hermione.

Dobby akhirnya mengangguk tanda mengerti lalu mengantar Hermione ke ruang kerja Severus. Jelas terlihat Severus terkejut dengan kedatangan Hermione tapi gadis itu bersyukur sang profesor tidak mengusirnya dan mempersilakannya duduk setelah Dobby pergi.

"Harry sedang latihan sepak bola, saya tahu. Hari ini saya datang untuk bertemu dengan anda, Sir," kata Hermione cepat saat Severus menatapnya tajam. Hermione yakin sudah tidak melihat kemarahan di mata Severus, membuatnya sedikit lega. Meski Hermione juga tidak yakin bagaimana reaksi sang profesor nanti kalau mendengar apa yang akan dikatakannya.

"Sebaiknya kau pulang jika tujuanmu datang untuk membahas apa yang sudah kau lakukan tempo hari. Lupakan saja," kata Severus datar. Duduk di kursi kerjanya, Severus menautkan kedua tangannya di depan dada, menatap lurus pada gadis dihadapannya.

Hermione menelan ludah perlahan, mengepalkan tangannya kuat di atas pangkuannya, mengumpulkan keberaniannya.

"Maaf, Sir," kata Hermione tegas, memberanikan diri menatap ke dalam sepasang manik mata hitam di depannya. "Saya memang lancang, saya akui tapi jujur, saya tidak menyesal melakukannya," lanjutnya tenang.

Sekilas tampak keterkerjutan di mata Severus meski wajahnya tetap terlihat datar.

"Apa maksudmu Miss Granger?" tanya Severus. Tak urung keberanian Hermione untuk menghadapinya membuat Severus cukup tertantang. Cukup menggelitiknya untuk mencoba nyali mahasiswa yang memang diakuinya memiliki kecerdasan di atas rata-rata tersebut.

"Jelas seperti apa yang sudah saya katakan, Sir. Saya minta maaf atas kelancangan saya tapi saya tidak menyesal telah melakukannya," ulang Hermione.

"Dan kau datang untuk menunjukkan keberanianmu yang tidak pada tempatnya? Membanggakan arogansi mu padaku?"

Hati Hermione meringis sakit mendengar kalimat tajam Severus tapi sekali lagi dia mencoba bertahan, menerima konsekuensi dari apa yang sudah dilakukannya dan yang ... akan dilakukannya.

"Tidak, Sir," jawab Hermione tenang.

"Lalu? Menertawakanku?" Sudut bibir Severus tertarik menjadi seringai tipis tapi tajam, cukup untuk membuat hati Hermione kembali teriris.

"Tidak, Sir," jawab Hermione lagi sama tenangnya.

Keduanya terdiam, hanya saling menatap.

Sesaat kemudian Hermione menghela napas perlahan. "Maaf Sir, hari ini saya datang bukan sebagai mahasiswa anda. Beri kesempatan saya untuk bicara, setelah itu saya akan menerima apapun konsekuensinya."

"Apa kau berniat menantangku Miss Granger? Prestasi akademikmu yang gemilang tidak akan banyak membantu jika kau bahkan tidak menunjukkan etika yang baik di depanku." Kali ini Severus sedikit mengintimidasi. Mata bulat coklat yang sejak tadi menatapnya itu mulai membuatnya jengah.

"Saya tidak berniat menantang anda, Sir, meski...ya, apa yang akan saya katakan memang melanggar etika tapi saya sudah siap apapun konsekuensinya." Sekali lagi Hermione menunjukkan keberaniannya yang bahkan tetap tenang di bawah ancaman Severus.

"Katakan," kata Severus setelah beberapa saat keduanya kembali diam.

Seulas senyum tipis mengembang di bibir merah muda Hermione. Gadis muda itu terlihat puas karena Severus memberinya kesempatan. Tidak membuang waktu lagi, Hermione memanfaatkan kesempatan yang diberikan padanya.

"Hari ini, saya datang sebagai seorang wanita yang ingin jujur pada perasaannya. Mungkin terdengar aneh atau anda boleh menganggap saya gila tapi jujur jauh lebih melegakan meski terkadang konsekuensinya pahit. Setidaknya saya tidak akan menyesali hidup saya di masa depan karena saya sudah melakukan apa yang seharusnya saya lakukan." Sebuah helaan napas memberi waktu bagi Hermione untuk menata detak jantungnya yang rasanya akan meledak kalau dia tidak segera menyatakan perasaannya.

"Sir, selama ini saya mengaggumi anda. Rasa kagum yang saya anggap biasa karena anda memang layak dikagumi tapi setelah saya membaca, hhmm, catatan harian anda." Sejenak Hermione menilai ekspresi Severus, tidak bisa dibacanya, diapun kembali bicara. "Saya menyadari bahwa saya salah. Saya salah kalau mengira saya hanya mengagumi atau menghormati anda karena pada kenyataannya saya...mencintai anda."

Brak! "LELUCON APA INI MISS GRANGER!" raung Severus yang langsung berdiri dari kursinya dan sukses membuat Hermione terlonjak karena terkejut.

Sekuat apapun Hermione menyiapkan diri, tetap saja dia terkejut melihat Severus memukul meja dan berteriak padanya. Selama mengenal sosok Severus, ini adalah pertama kalinya Hermione melihat sang Profesor lepas kontrol.

"I, ini bukan lelucon, Sir," jawab Hermione yang masih duduk di kursi dan berusaha tetap tenang meski dalam hatinya sekarang juga terselip rasa takut. Hanya saja dia tetap yakin kalau Severus tidak akan menyakitinya.

Severus menghempaskan dirinya kembali kursi kerja, memijat pangkal hidungnya yang mulai berdenyut. Keberanian Hermione sungguh di luar prediksinya, mengejutkannya, tidak! Salah! Ini adalah serangan telak baginya.

Keheningan akhirnya menyela diantara mereka, memberi celah bagi keduanya untuk sejenak menenangkan diri dan berpikir. Hermione masih dengan begitu berani mengamati reaksi Severus yang jelas terlihat syok.

"Miss Granger," akhirnya Severus kembali menegakkan kepalanya dan menatap lurus Hermione. "Aku yakin kau dalam keadaan sadar sekarang dan tidak dalam pengaruh obat ataupun alkohol. Jadi aku harap dengan kesadaran penuh kau juga bisa berpikir panjang dan bertanggung jawab dengan apa yang kau katakan."

"Tentu Sir, saya pastikan itu," jawab Hermione tenang.

"Bagus. Sekarang pulanglah," kata Severus datar.

Alis Hermione melengkung tinggi. "Anda tidak menghukum saya, Sir?" tanyanya ragu.

"Menghukum? Kau sendiri yang mengatakan kalau kau datang bukan sebagai mahasiswa ku, jadi atas dasar apa aku berhak menghukummu?" jawab Severus. "Kau datang hanya ingin jujur dan aku hargai itu meski...aku akui keberanianmu membuatku sangat terkejut tapi sekali lagi aku katakan, aku menghargainya. Sekarang pulanglah."

Mulut Hermione menganga dan ketika menyadari reaksi konyolnya, dengan cepat gadis muda itu kembali merapatkan bibirnya.

"Anda tidak marah pada saya, Sir?" tanya Hermione yang sekarang justru terkejut dengan perkataan Severus padanya.

Severus menyipitkan matanya. Terbesit dugaan di dalam kepalanya kalau gadis dihadapannya ini 'sedikit' tidak waras.

"Kau berharap aku marah padamu Miss Granger?" tanyanya datar, menyembunyikan kekesalan hatinya.

"Ti, tidak, bukan begitu Sir," kata Hermione cepat.

"Lalu apalagi yang kau tunggu? Pulanglah," usir Severus lagi.

"Apa ini berarti anda menerima perasaan saya Sir?" Sial! Hermione memaki dirinya sendiri karena kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya tanpa sempat difilter oleh otak cerdasnya. Entah kenapa otaknya terasa tumpul sekarang.

Severus hampir memukul meja lagi kalau saja kedua jarinya tidak bertaut erat. Menghela napas panjang, Severus mencari ketenangan dirinya. Gadis ini membuatku gila!

"Miss Granger, aku mengatakan bahwa aku menghargai perasaanmu, kejujuranmu, tapi itu bukan berarti sesuatu yang lebih." Sejenak Severus menghela napas. "Bukankah lebih mudah kalau kau mencintai Harry, putraku?" tanya Severus dengan penekanan lebih pada kata 'putraku'. Menyadarkan sang gadis betapa besar perbedaan diantara mereka.

Hermione terdiam. Menggurutu dalam hatinya karena penolakan Severus, meski begitu dia bertekad untuk tidak menyerah. Merasa tidak akan menang kalau dirinya terus mendesak Severus, Hermione pun memutuskan untuk pulang.

Setidaknya dia tidak marah dan tidak memberikan surat drop-out padaku. Masih ada kesempatan lain. Tak menjawab pertanyaan terakhir Severus padanya, Hermione akhirnya permisi untuk pulang.
"Miss Granger," panggil Severus tepat ketika Hermione membuka pintu.

"Ya, Sir?" Hermione kembali membalikkan tubuhnya dan menatap Severus penuh harap. Berharap sang profesor merubah keputusan hatinya.

"Aku akan berterima kasih kalau kau tidak mengatakan apapun pada Harry."

Kekecewaan sempat terlintas di wajah Hermione tapi kemudian dia mengulum senyum manisnya, memahami permintaan Severus padanya.


"Tentu, Sir."

Pintu tertutup dan cerita tentang pernyataan cinta sang mahasiswa pada profesornya berakhir hari itu. Bukan akhir yang sebenarnya karena justru dari situlah semua berawal.

***

>>Bersambung<<
>>Incredible Love- Chapter 2<<

Follow me on 
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

5 Comments

  1. Cerita baruuuuu
    SevMione pertamaku...miss u Daddy Sev
    Happy reading buat yang mau baca n jangan lupa komennya XD
    Arigatooo

    ReplyDelete
  2. bagus fanfic nya, bakalan jd fanfic yg selalu ditunggu apdetannya nih

    ReplyDelete