Happy Brithday for Miuchi Sensei and Maya Kitajima.
Setting : Maya (22 thn) dan Masumi (33 thn)
Hampa. Itulah yang sekarang dirasakan oleh seorang Masumi Hayami. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, semua waktu berlalu begitu saja tanpa rasa. Hari ini, tepat satu bulan dia menjalani pernikahannya dengan Shiori. Alih-alih berada di rumah untuk menghabiskan waktu bersama istrinya, Masumi justru menenggelamkan diri di antara tumpukan dokumen di kantornya padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Sebuah desahan panjang terdengar ketika Masumi membuka sebuah dokumen dalam map biru. Matanya kemudian terpaku pada selembar foto berukuran post card yang di jepit di bagian atas dokumen. Foto siapa? Siapa lagi yang bisa mengalihkan dunia seorang Masumi selain Maya. Ya, itu adalah foto Maya Kitajima yang di ajukan oleh bagian produksi sebagai pemeran utama dalam film layar lebar berjudul Aishiteru yang akan diproduksi oleh Daito bulan depan.
Terbesit perih di hati Masumi saat melihat senyum Maya yang terurai di dalam foto. Jarinya mengusap lembut garis wajah Maya, tersenyum getir. Ingin rasanya Masumi mengusap wujud asli sang gadis dengan jemarinya.
"Maafkan aku," dua kata itu lolos dari bibir Masumi dan dia tidak bisa menghalangi rasa penyesalan yang kembali merayapi hatinya.
Masumi tahu betapa dia telah menghancurkan hati Maya dengan memilih untuk menikahi Shiori tapi dia sama sekali tidak punya pilihan. Kegilaan Shiori yang nekat menyakiti dirinya sendiri membuatnya berdiri di jalan buntu. Maaf, hanya itu kata yang bisa dia ucapkan pada Maya untuk mengakhiri semua rasa yang terjalin di antara mereka. Meski sebenarnya, dalam hatinya, rasa itu masih utuh tersimpan, tak tergoyahkan namun tak dapat tersampaikan. Masumi menyerah pada suratan takdir yang tertulis untuknya. Takdir dimana dirinya menyandang nama Hayami.
Tapi terkadang, saat Masumi memikirkan segalanya lebih dalam lagi, patutkah dirinya menyalahkan nama keluarga yang tersandang di belakang namanya? Tidakkah semua itu karena kepengecutannya sebagai seorang laki-laki yang tidak berani mengambil resiko karena mencintai gadis yang berusia sebelas tahun lebih muda darinya? Tidakkah semua itu karena kebodohannya yang sejak awal memilih menerima perjodohan bodoh daripada memperjuangkan cintanya sendiri?
Sekali lagi senyum getir terulas di bibirnya. Ya, semua salahnya. Dialah yang sejak awal merusak takdirnya sendiri. Andai dia lebih berani mengungkapkan perasaannya, tidak bersembunyi di balik bayangan mawar ungu, tidak menerima perjodohan dan memberi harapan palsu pada Shiori, pasti semua kepahitan ini tidak akan terjadi. Tapi tidak ada satupun yang bisa dilakukannya untuk bisa memperbaiki semuanya. Waktu tidak bisa diputar kembali dan pernikahan yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan begitu saja.
Faktanya dirinya sekarang menjadi seorang pendosa yang menyakiti dua wanita, Shiori dan Maya. Penghakiman dari nuraninya sendiri membuat Masumi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang pasti dia hanya bisa mengamati kekasih hatinya dari jauh dan berusaha tetap menjaganya -dengan caranya tentunya- lalu memerankan peran suami terbaik di depan ayahnya dan keluarga istrinya. Hidup Masumi kini tak ubahnya seperti panggung sandiwara.
Menghentikan pikirannya yang terus melayang, Masumi kini menorehkan sebuah tanda tangan di sudut bawah dokumen, menyetujui peran Maya dalam film itu. Tahu dirinya tidak akan bisa berhenti memikirkan Maya, Masumi akhirnya menutup dokumen Maya dan memutuskan itu sebagai dokumen terakhirnya. Meraih jas yang tersampir di lengan kursi kerjanya, Masumi melangkahkan kaki keluar dari kantornya.
***
"Kau ingat pulang juga,"
Kalimat ironi yang terlontar dengan nada manis langsung menyambut Masumi begitu dia membuka pintu kamarnya. Hanya seringai tipis yang terulas di bibir Masumi seraya menatap istrinya yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Wajah istrinya terlihat begitu kesal tapi Masumi sama sekali tidak berniat mengurai kekesalan itu. Dia berlalu begitu saja ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Shiori mendengus kesal dengan sikap dingin suaminya dan menghempaskan dirinya di tempat tidur. Jemari panjangnya meremas guling besar di sebelahnya, meluapkan kekesalannya. Dalam hati, Shiori terus merutuki Masumi yang sampai saat ini masih terus mengabaikannya. Jangankan menyentuhnya, memandangnya pun seolah dia enggan.
Meski begitu Shiori tidak juga menyesal dengan keputusan yang sudah diambilnya. Dia masih belum menyerah. Shiori yakin dia masih bisa menaklukkan hati Masumi. Tidak peduli berapa banyak waktu yang akan dihabiskannya, dia akan terus berusaha.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Shiori memalingkan wajahnya, menatap suaminya yang kini sudah berbalut piyama satin. Menelan ludah pahit, Shiori hanya bisa memandang pria pujaannya itu dengan hasrat tertahan.
Dia wanita normal, bohong kalau dia bilang dia tidak ingin disentuh oleh suaminya. Dosakah jika dia menginginkan kelembutan dari suaminya sendiri? Lagi-lagi hanya perih yang dirasa Shiori ketika akhirnya Masumi berbaring di sisi lain tempat tidur, memunggunginya. Sebuah desahan lirih lolos dari bibir merah mudanya, menandakan kekecewaannya.
Akhirnya Shiori terpejam saat merasa keheningan di kamar semakin mencekiknya. Berharap, dia hanya berharap agar bisa bermimpi indah bersama Masumi, setidaknya di alam itu dia bisa berbahagia sebagai seorang istri meski hanya sesaat.
***
Masumi membuka mata keesokan paginya dan mendapati Shiori tengah duduk di depan meja rias. Memulas make up di wajah cantiknya. Dengan malas, Masumi bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur.
"Ini hari Sabtu, apa kau juga akan pergi ke kantor?" Tanya Shiori datar seraya menyapukan bedak di wajahnya. Matanya menatap Masumi melalui cermin.
"Kau lebih suka aku tidak ada kan?" Jawab Masumi dengan nada sama datarnya.
Shiori memutar tubuhnya dan menatap kesal suaminya, "Biasanya iya karena aku merasa seperti hantu saat berada di dekatmu yang tidak pernah menganggapku. Sayangnya hari ini ayah ingin datang berkunjung, jadi ku harap kau mau meluangkan waktumu."
Alis Masumi bertaut, "Ayah?"
"Ayahmu," tegas Shiori yang kemudian berdiri dan melenggang keluar dari kamar.
Masumi menghela napas panjang menatap pintu yang tertutup dan dengan malas beranjak dari tempat tidurnya.
"Selamat pagi Tuan," sapa Takigawa begitu Masumi menuruni tangga.
Memutar mata memeriksa sekelilingnya, Masumi mendapati rumahnya terlihat begitu sepi. Ya, rumah ini dibelinya dengan sengaja agar dia tidak harus tinggal di kediaman Hayami bersama ayahnya. Meski Takigawa, pengasuh Shiori, tetap ikut dengan nonanya dan menjadi kepala pelayan dia tidak ambil pusing. Takigawa jelas tahu bagaimana hubungan Masumi dan Shiori yang sebenarnya. Justru dengan begitu Masumi tidak terlalu merasa bersalah kalau harus terus mengabaikan istrinya karena bibi pengasuhnya pasti akan menghiburnya. Memang pemikiran yang egois tapi hati Masumi benar-benar tidak bisa menerima Shiori sebagai istrinya. Dia bahkan sudah rela kalau Tuhan akan menghukumnya karena keegoisan dan kekejamannya dalam memeperlakukan Shiori.
Melangkahkan kaki memasuki ruang makan, meja panjang berisi dua belas kursi itu tampak lengang karena hanya istrinya yang duduk di salah satu ujung meja. Tak perlu repot menyapa, Masumi menarik kursi di ujung lain meja dan duduk menikmati sarapannya. Para pelayan dan Takigawa tampak sibuk melayani tuan dan nyonyanya yang meski berada di bawah satu atap tapi seperti berada di dua dunia yang berbeda.
Masumi menyeka mulutnya dengan serbet putih dan menatap istrinya yang tengah berdiri untuk meninggalkan meja. Tak bertanya apapun, Masumi membiarkan istrinya pergi. Dia sendiri kemudian meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju ruang kerjanya, setidaknya ada hal yang bisa dikerjakannya di sana.
Dua jam terpekur di antara tumpukan dokumen membuat Masumi melupakan sejenak kehidupan nyatanya. Pekerjaan selalu sukses mengalihkan pikirannya. Suara dering handphone akhirnya menarik Masumi untuk kembali ke alam nyata, nama istrinya tertera di layar. Menyedihkan memang, mereka tinggal bersama dengan status sebagai suami istri tapi justru menggunakan handphone sebagai alat komunikasi.
"Shiori?"
"Bisa kau ke taman belakang sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan."
Masumi terdiam.
"Ini bukan tentang hubungan kita, kau tidak perlu berpikir panjang," jawab Shiori yang paham dengan arti kebisuan Masumi.
"Baiklah."
Menutup dokumennya, Masumi keluar dari ruang kerjanya untuk menemui Shiori. Di taman belakang, Masumi melihat istrinya sedang berbincang bersama Takigawa dan tukang kebun.
"Ada apa Shiori?" Tanya Masumi. Takigawa dan tukang kebunnya menganggukkan kepala, memberi hormat pada tuannya.
"Aku sedang berpikir untuk merombak taman belakang, apa kau keberatan?" Tanya Shiori tanpa basa basi.
Masumi melayangkan pandangannya ke seluruh taman. Banyak bunga bermekaran dengan indah. Untuk hal yang satu ini Masumi memang patut memuji istrinya, hobi ikebana istrinya itu sangat berimbas pada ketelitiaanya dalam merawat tanaman bunga.
"Kau keberatan Masumi?" Shiori mengulangi pertanyaannya.
"Tidak, terserah padamu. Kenapa kau tidak membangun rumah kaca seperti yang ada di rumahmu?"
"Aku memang sedang merencanakannya. Bagus kalau kau tidak keberatan." Jawab Shiori.
"Tentu saja tidak, lakukan apa yang kau suka."
"Baiklah, terima kasih Masumi,"
"Apa hanya itu?" Tanya Masumi karena Shiori kemudian asik berdiskusi dengan tukang kebun.
"Ya Masumi, hanya itu," jawab Shiori.
Masumi segera berbalik untuk kembali ke ruang kerjanya sementara Shiori masih sibuk berdiskusi dengan tukang kebunnya. Sebuah pertanyaan dari tukang kebun membuat Masumi menghentikan langkah kakinya di anak tangga teras belakang.
"Bunga apa saja yang Nyonya inginkan untuk rumah kaca nanti?"
Reflek Masumi menoleh pada istrinya yang kemudian menatapnya. Shiori segera memalingkan wajahnya.
"Apa saja selain mawar ungu," katanya sambil lalu dan Masumi hanya bisa diam menatap Shiori yang meninggalkannya dengan langkah kesal.
***
"Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini?" Tegur Eisuke ketika siang itu dia datang berkunjung. Masumi bahkan masih berada di ruang kerjanya sementara Shiori masih juga asik dengan bunganya.
"Apa maksud Ayah?" Tanya Masumi dengan masih membaca dokumen di hadapannya.
"Kau tahu apa yang aku maksud Masumi." Tegas lelaki paruh baya itu.
Eisuke tahu hubungan Masumi dan Shiori semakin hari justru semakin jauh dari kata harmonis. Tentu para pelayan melapor padanya, bagaimana tuan dan nyonya muda itu tak pernah berinteraksi dengan jarak kurang dari dua meter. Selalu saja ada jarak diantara keduanya dan para pelayan juga yakin kalau di dalam kamarpun hal itu masih berlangsung.
"Tidak Ayah, aku tidak mengerti maksud ayah." Jawab Masumi dengan masih tidak mengacuhkan ayahnya yang duduk di kursi roda di depan meja kerjanya.
Eisuke menggeleng kesal dengan jawaban putranya. Masumi terlihat menjadi pribadi yang berbeda sejak menikah dengan Shiori.
"Kau dan istrimu." Tegasnya kemudian.
Menutup dokumen, Masumi segera menatap ayahnya, "Apa lagi yang Ayah inginkan dariku?"
"Cucu. Aku ingin kau memiliki keturunan dengan Shiori, sebagai pengikat antara keluarga Hayami dan Takamiya."
Tangan Masumi yang bertaut di atas meja mengerat, menahan marah. Tapi tiga detik kemudian Masumi terbahak, lebih tepatnya menertawakan dirinya yang sudah seperti boneka bagi ayahnya.
"Jadi itu alasan Ayah datang menemuiku? Meminta cucu?" Tanya Masumi di sela tawanya.
"Ini bukan lelucon Masumi. Aku menjodohkanmu dengan Shiori bukan untuk sebuah permainan. Aku tidak peduli kau mencintainya atau tidak, atau bagaimana kau memperlakukannya. Selama kau memberikanku cucu maka aku tidak akan mencampuri urusan rumah tanggamu."
Ayah dan anak itu saling memandang dengan tatapan tajam. Sesaat kemudian Masumi berdiri dari kursi kerjanya.
"Kalau begitu sebaiknya Ayah pulang sekarang."
Alis Eisuke bertaut bingung dengan kelancangan Masumi.
"Bagaimana aku bisa memenuhi permintaan Ayah kalau Ayah masih disini? Atau Ayah ingin melihatku melakukannya agar Ayah percaya?"
Eisuke membelalak marah, "Jaga ucapanmu Masumi! Jangan kurang ajar padaku!"
Masumi hanya menyeringai tipis mendengarnya, "Aku hanya memenuhi permintaanmu Ayah, apa salah?"
Dengan wajah merah padam, Eisuke keluar dari ruang kerja sementara Masumi kembali menghempaskan dirinya di kursi kerja seraya mengurut pelipisnya yang berdenyut.
***
Sepeninggal Eisuke, Masumi keluar untuk mendinginkan kepalanya. Rumah baginya selalu jauh dengan kata nyaman. Banyak hal yang justru membuatnya merasa sesak di rumah itu. Dan entah kegilaan apa yang merasuki Masumi saat ini, dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah apartemen dan matanya tak berhenti mengamati sebuah balkon di lantai lima. Tentu saja itu apartemen Maya. Dalam hati dia berharap untuk bisa melihat wajah pujaan hatinya sehingga bisa sedikit mengurangi sesak yang menghimpit batinnya.
Kelihatannya konyol tapi begitulah kenyataannya, hanya dengan melihat Maya hati Masumi terasa begitu ringan, begitu bahagia. Tak lagi bisa menahan rindunya, Masumi meraih handphone dan menekan kombinasi nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala sehingga tidak perlu lagi di simpan di dalam phone book handphonenya.
"Halo,"
Suara lembut menyapa gendang telinga Masumi dan seketika ekspresi tegang yang sedari tadi tergambar di wajahnya kini terurai. Senyum tipis terulas di bibir Masumi seiring dengan rasa hangat yang mulai menjalari hatinya akibat cinta dan rindu yang membuncah.
"Halo," balas Masumi sama lembutnya.
"Tuan Masumi?"
Masumi kembali tersenyum mendengar Maya memanggil namanya meski dia tahu dari suaranya kalau gadis itu pasti bingung dengan telepon yang diterimanya.
"Ya Maya."
"Ada apa? Apa ada yang penting sampai anda menelepon saya di hari libur?"
Masumi terkekeh, "Apa harus ada hal penting untuk bisa menghubungimu Maya?"
"Eh?!...hhmm, itu...," Maya tergagap dan terdengar bingung mau menjawab apa. Di sisi lain Masumi semakin merasa geli membayangkan ekspresi Maya yang pasti sangat menggemaskan itu.
"Apa anda hanya berniat mengganggu saya di hari libur?" Tanya Maya dengan nada kesal.
Masumi menggelengkan kepalanya. Gadisnya itu masih saja begitu polos. Betapa Masumi sudah begitu rindu dan Maya hanya menganggapnya sebagai sebuah gangguan.
"Ada baiknya kau punya kegiatan di hari libur Maya, daripada hanya berbaring di tempat tidur seharian." Goda Masumi.
"Siapa yang berbaring seharian?! Saya sedang menghapal naskah drama," dengus Maya masih dengan nada kesal.
Masumi tahu gadisnya berbohong. Kalau Maya sedang membaca naskah drama, dia pasti tidak akan mendengar handphonenya berdering.
"Oh ya? Sayang ya, padahal hari ini cuaca di luar begitu indah dan kau malah menghabiskan waktu di dalam apartemenmu membaca naskah."
Masumi memang benar. Cuaca di pertengahan musim semi itu memang bagus untuk melakukan kegiatan di luar. Matahari tidak begitu terik, semilir anginpun begitu menyegarkan. Rasanya sempurna jika menghabiskan waktu di taman kota dan menikmati bunga Sakura yang sedang mekar. Sayangnya, itu hanya sebatas angan bagi Masumi.
"Maya? Apa kau tertidur?" Goda Masumi karena Maya tak menanggapi ucapannya.
"Saya sedang malas keluar," gumam Maya kemudian tanpa menjawab pertanyaan Masumi.
Kening Masumi berkerut, dia menangkap kesedihan dalam nada suara Maya. Tapi kemudian Masumi terkejut ketika apa yang diharapkannya terkabul, pintu balkon kamar Maya terbuka dan gadisnya berdiri memandang langit dengan telepon masih menempel di telinga kanannya.
Rasa hangat kembali menjalari hati Masumi ketika melihat Maya. Meski hanya dari jauh, itu sudah cukup bagi Masumi.
"Tuan Masumi, kenapa anda menelepon saya?"
Pertanyaan lirih yang dilontarkan Maya terdengar seperti petir di telinga Masumi.
"Kenapa?" Masumi melontarkan kata tanya yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Ya kenapa? Tidak seharusnya anda menghubungi saya. Anda-," Maya terdiam dan tidak perlu bantuan cenayang untuk Masumi tahu apa yang akan diucapkan Maya.
Sesaat keduanya terdiam. Masumi ingin berkata jujur tapi rasanya terlalu berat dan dia tahu hal itu pasti akan menyakiti Maya. Betapa tidak, kalau dia mengatakan rindu dan cinta untuk Maya sedangkan jelas statusnya sudah berbeda, entah luka apalagi yang akan ditorehkannya di hati gadis itu.
"Tenang saja Maya, aku hanya ingin memberitahu kalau kau lolos menjadi pemeran utama dalam film layar lebar Aishiteru yang akan diproduksi oleh Daito bulan depan," terang Masumi dengan mata masih lekat mengamati sosok Maya di balkon kamarnya.
"Benarkah?" Seketika suara Maya bersemangat seiring dengan perubahan gerak tubuhnya yang samar tertangkap oleh mata Masumi.
"Apa mungkin Direktur Utama Daito berbohong?"
Maya terkikik, "Ah iya, maaf, terima kasih Tuan Masumi. Saya senang mendengarnya, saya berjanji akan membuat film ini sukses dipasaran dan tidak akan membuat anda, eh, maksud saya Daito kecewa,"
Masumi terkekeh senang, berbicara dan melihat Maya seperti obat manjur baginya.
"Aku berharap kau tidak membuatku rugi sehingga aku tidak menyesal sudah menyetujui kau menjadi pemeran utama,"
"Tuan Direktur yang terhormat, saya menjamin kali ini anda tidak akan rugi," jawab Maya seraya berkacak pinggang dan Masumi kembali tertawa melihat tingkah gadisnya.
Beberapa saat keduanya sangat menikmati komunikasi jarak jauh itu. Saling beradu mulut dan tertawa. Sampai saat mata Masumi menangkap sebuah objek yang sangat dikenalnya, seorang pemuda dengan motornya. Rasa cemburu langsung merayapi hatinya ketika melihat pemuda itu memasuki pelataran parkir apartemen Maya.
"Baiklah Maya, aku rasa maksudku sudah tersampaikan dengan jelas jadi aku tidak mau mengganggu hari liburmu lagi." Kata Masumi.
"Hhmm, terima kasih sudah menghubungi saya Tuan Masumi," jawab Maya.
Masumi menyungging seulas senyum seraya kembali mengamati Maya yang masih berdiri di balkon, mengabaikan pemuda yang bahkan sudah masuk ke dalam apartemen.
"Sampai jumpa," ucap Masumi lirih.
"Sampai jumpa," balas Maya sama lirihnya.
Jelas jika sebenarnya mereka enggan untuk memutus hubungan telepon itu tapi rasanya akan semakin menyakitkan bagi mereka jika terus bicara. Masumi masih terus menatap Maya dari kejauhan dan ketika Maya kembali masuk ke dalam apartemennya, dia segera memacu mobilnya. Tidak perlu bertanya-tanya apa yang selanjutnya terjadi di apartemen Maya karena dia tahu pasti siapa yang sedang bersamanya sekarang. Dengan begitu Masumi sudah bisa membayangkan kalau malam ini akan dihabiskannya dengan rasa gelisah yang teramat sangat.
Koji….
***
"Hai Maya," Koji melebarkan senyumnya begitu Maya membuka pintu apartemen.
"Koji," Maya cukup terkejut melihat pemuda yang berdiri di depan pintu.
Koji mengamati wajah Maya dengan hati-hati, "Kau...menangis ya?" Sekilas mata Maya memang tampak merah.
Dengan cepat Maya memalingkan wajahnya dan segera berbalik dengan sebelumnya mempersilahkan Koji masuk.
"Maya?" Tanya Koji lagi yang masih mengikuti Maya menuju ruang tamu.
"Ti, tidak Koji, aku tidak menangis, hanya mengantuk." Jawab Maya berbohong. Mana mungkin dia bisa jujur dengan perasaannya. Baru saja dia merasa terkejut, senang sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Terkejut karena Masumi tiba-tiba meneleponnya, dia senang bahkan sangat senang tapi di saat yang bersamaan dia merasa begitu sedih karena kenyataan yang ada di depannya tak seindah angannya. Kekasih hatinya, mawar ungu tersayangnya, kini sudah menjadi milik orang lain.
"Nah, kau melamun sekarang," tegur Koji yang otomatis mengejutkan Maya. Sang Bidadari Merah itu terkekeh untuk mengalihkan keresahannya.
"Sudah ku katakan aku mengantuk Koji," kilah Maya.
"Jadi aku mengganggumu?" Memiringkan kepalanya, Koji menilai ekspresi gadis yang sekarang duduk dihadapannya.
Maya menggeleng, "Tidak," jawabnya mantap. Maya berdiri dan tersenyum pada Koji, "Mau teh?"
Koji mengangguk dan Maya segera menuju dapurnya. Tak lama kemudian Maya kembali dengan membawa dua cangkir teh.
"Oh ya Koji, ada apa kau datang menemuiku?" Tanya Maya sambil menikmati teh hangatnya.
"Tidak ada yang penting, aku hanya ingin menemanimu,"
"Menemani?"
Koji terkekeh saat Maya menatapnya heran.
"Entahlah Maya, aku merasa beberapa minggu terakhir ini kau selalu tampak sedih. Aku tanya pada Rei tapi dia bilang kau baik-baik saja. Aku hanya berpikir apa kau kesepian tinggal di apartemen barumu sendiri dan jauh dari teman-teman teatermu."
Sekarang giliran Maya yang terkekeh. Sebisa mungkin dia tidak ingin Koji tahu apa yang dirasakannya. Biarlah jika dia harus memakai topeng dalam kesehariannya, menyimpan luka untuknya sendiri. Dirinya hanya harus bertahan dan Maya percaya kalau dirinya mampu. Setidaknya dengan melihat Masumi bahagia maka dia juga akan merasa bahagia.
"Aku tidak apa-apa Koji. Mungkin kau melihatku saat aku sedang kelelahan. Kau sendiri kan tahu bagaimana padatnya jadwal pentas dan syuting kita selama satu bulan ini. Yah, aku senang akhirnya semua selesai dengan baik," Maya tersenyum di ujung kalimatnya dan sekali lagi meneguk tehnya.
Koji mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Eh Maya, bagaimana kalau malam ini kita pergi?" Koji meletakkan cangkirnya di meja dan menatap Maya penuh harap.
"Pergi?" Maya ikut meletakkan cangkirnya.
"Makan malam di luar, jalan-jalan, hhmm, mencari udara segar di luar," terang Koji penuh semangat.
Sejenak Maya tertegun.
"Tenang saja Maya, ini bukan kencan. Aku mengajakmu sebagai teman." Kata Koji.
Maya tersenyum tipis. Tidak enak hati juga dia menolak ajakan Koji, Maya pun mengangguk tanda setuju.
***
Menutup pintu di belakangnya, bersandar pada pintu, Maya merosot ke lantai dan terisak memeluk lututnya.
Hampa. Hal yang sama dirasakan oleh Maya. Baru saja dia pergi bersama Koji. Makan malam di kedai ramen, jalan-jalan di taman kota di bawah temaram sinar bulan. Seharusnya hal itu menjadi masa yang menyenangkan untuknya tapi nyatanya justru luka menganga yang di dapatinya. Rasa cinta Koji yang jelas terlihat untuknya membuat Maya merasa semakin terluka.
Bukankah dirinya juga berada di posisi yang sama dengan Koji? Merasakan cinta yang tak berbalas. Bukankah seharusnya kehadiran Koji bisa menutup luka dan lubang menganga di hatinya? Maya menggeleng atas pemikirannya sendiri. Tidak! Tidak bisa! Bukan Koji yang diinginkannya bahkan sebesar apapun cinta yang ditawarkan pemuda itu, semuanya tidak akan cukup untuk mengganti bagian jiwanya yang hilang.
Nama Masumi Hayami masih terpatri di setiap bagian hatinya yang luka.
"Masumi...apa yang harus aku lakukan? Sekeras apapun aku mencoba...aku tidak pernah bisa melupakanmu." Lirih Maya di tengah isaknya.
Maya meremas bagian depan kemejanya, menahan sesak di dalam dadanya. Dengan berat dia mencoba untuk berdiri, berjalan tertatih ke dalam kamar dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur tanpa repot membersihkan dirinya. Membenamkan wajah di atas bantal, Maya kembali terisak.
***
Wajah Masumi tak terbaca, matanya terpaku pada obyek yang tergeletak di atas meja kerjanya. Sebuah tablet yang sedang memutar slide foto, foto Maya dan Koji.
Bukan Masumi namanya jika dia melepaskan Maya dari pantauannya. Dia segera memerintahkan Hijiri untuk mengawasi Maya setelah dia meninggalkan apartemen. Namun ternyata, apa yang dilakukannya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Foto Maya dan Koji yang tampak begitu bahagia membuatnya merasa begitu putus asa.
Sudah di katakan bahwa Masumi sangat tidak keberatan dengan predikat egois yang diterimanya. Masumi tidak rela melepaskan Maya bersama Koji. Rasanya lebih baik kalau dirinya mati daripada harus melihat Maya menjadi milik orang lain.
Betapa brengseknya aku ini. Meninggalkan gadis yang ku cintai demi sebuah sandiwara pernikahan. Melukainya dalam dan kini tidak rela melihatnya bahagia.
"Brengsek kau Masumi!" Desisnya marah pada dirinya sendiri, "Apa kau mencintainya Maya? Apa kau bahagia jika bersama Koji? Tidakkah ada cinta lagi untukku di hatimu?" Meremas rambut lebatnya dengan kesal, Masumi hanya bisa menahan emosinya.
Dari celah pintu sepasang mata tengah mengamati Masumi tanpa disadarinya. Jengah melihat wajah putus asa itu lebih lama, sosok yang adalah seorang wanita itu segera berbalik menuju kamarnya, merutuk dalam hati sikap pria yang adalah suaminya.
***
>>Bersambung<<
>>Pure Love - Chapter 1<<
>>Pure Love - Chapter 3<<
Setting : Maya (22 thn) dan Masumi (33 thn)
Hampa. Itulah yang sekarang dirasakan oleh seorang Masumi Hayami. Dua puluh empat jam sehari, tujuh hari dalam seminggu, semua waktu berlalu begitu saja tanpa rasa. Hari ini, tepat satu bulan dia menjalani pernikahannya dengan Shiori. Alih-alih berada di rumah untuk menghabiskan waktu bersama istrinya, Masumi justru menenggelamkan diri di antara tumpukan dokumen di kantornya padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Sebuah desahan panjang terdengar ketika Masumi membuka sebuah dokumen dalam map biru. Matanya kemudian terpaku pada selembar foto berukuran post card yang di jepit di bagian atas dokumen. Foto siapa? Siapa lagi yang bisa mengalihkan dunia seorang Masumi selain Maya. Ya, itu adalah foto Maya Kitajima yang di ajukan oleh bagian produksi sebagai pemeran utama dalam film layar lebar berjudul Aishiteru yang akan diproduksi oleh Daito bulan depan.
Terbesit perih di hati Masumi saat melihat senyum Maya yang terurai di dalam foto. Jarinya mengusap lembut garis wajah Maya, tersenyum getir. Ingin rasanya Masumi mengusap wujud asli sang gadis dengan jemarinya.
"Maafkan aku," dua kata itu lolos dari bibir Masumi dan dia tidak bisa menghalangi rasa penyesalan yang kembali merayapi hatinya.
Masumi tahu betapa dia telah menghancurkan hati Maya dengan memilih untuk menikahi Shiori tapi dia sama sekali tidak punya pilihan. Kegilaan Shiori yang nekat menyakiti dirinya sendiri membuatnya berdiri di jalan buntu. Maaf, hanya itu kata yang bisa dia ucapkan pada Maya untuk mengakhiri semua rasa yang terjalin di antara mereka. Meski sebenarnya, dalam hatinya, rasa itu masih utuh tersimpan, tak tergoyahkan namun tak dapat tersampaikan. Masumi menyerah pada suratan takdir yang tertulis untuknya. Takdir dimana dirinya menyandang nama Hayami.
Tapi terkadang, saat Masumi memikirkan segalanya lebih dalam lagi, patutkah dirinya menyalahkan nama keluarga yang tersandang di belakang namanya? Tidakkah semua itu karena kepengecutannya sebagai seorang laki-laki yang tidak berani mengambil resiko karena mencintai gadis yang berusia sebelas tahun lebih muda darinya? Tidakkah semua itu karena kebodohannya yang sejak awal memilih menerima perjodohan bodoh daripada memperjuangkan cintanya sendiri?
Sekali lagi senyum getir terulas di bibirnya. Ya, semua salahnya. Dialah yang sejak awal merusak takdirnya sendiri. Andai dia lebih berani mengungkapkan perasaannya, tidak bersembunyi di balik bayangan mawar ungu, tidak menerima perjodohan dan memberi harapan palsu pada Shiori, pasti semua kepahitan ini tidak akan terjadi. Tapi tidak ada satupun yang bisa dilakukannya untuk bisa memperbaiki semuanya. Waktu tidak bisa diputar kembali dan pernikahan yang sudah terjadi tidak bisa dibatalkan begitu saja.
Faktanya dirinya sekarang menjadi seorang pendosa yang menyakiti dua wanita, Shiori dan Maya. Penghakiman dari nuraninya sendiri membuat Masumi tidak tahu lagi harus berbuat apa. Yang pasti dia hanya bisa mengamati kekasih hatinya dari jauh dan berusaha tetap menjaganya -dengan caranya tentunya- lalu memerankan peran suami terbaik di depan ayahnya dan keluarga istrinya. Hidup Masumi kini tak ubahnya seperti panggung sandiwara.
Menghentikan pikirannya yang terus melayang, Masumi kini menorehkan sebuah tanda tangan di sudut bawah dokumen, menyetujui peran Maya dalam film itu. Tahu dirinya tidak akan bisa berhenti memikirkan Maya, Masumi akhirnya menutup dokumen Maya dan memutuskan itu sebagai dokumen terakhirnya. Meraih jas yang tersampir di lengan kursi kerjanya, Masumi melangkahkan kaki keluar dari kantornya.
***
"Kau ingat pulang juga,"
Kalimat ironi yang terlontar dengan nada manis langsung menyambut Masumi begitu dia membuka pintu kamarnya. Hanya seringai tipis yang terulas di bibir Masumi seraya menatap istrinya yang duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Wajah istrinya terlihat begitu kesal tapi Masumi sama sekali tidak berniat mengurai kekesalan itu. Dia berlalu begitu saja ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Shiori mendengus kesal dengan sikap dingin suaminya dan menghempaskan dirinya di tempat tidur. Jemari panjangnya meremas guling besar di sebelahnya, meluapkan kekesalannya. Dalam hati, Shiori terus merutuki Masumi yang sampai saat ini masih terus mengabaikannya. Jangankan menyentuhnya, memandangnya pun seolah dia enggan.
Meski begitu Shiori tidak juga menyesal dengan keputusan yang sudah diambilnya. Dia masih belum menyerah. Shiori yakin dia masih bisa menaklukkan hati Masumi. Tidak peduli berapa banyak waktu yang akan dihabiskannya, dia akan terus berusaha.
Suara pintu kamar mandi yang terbuka membuat Shiori memalingkan wajahnya, menatap suaminya yang kini sudah berbalut piyama satin. Menelan ludah pahit, Shiori hanya bisa memandang pria pujaannya itu dengan hasrat tertahan.
Dia wanita normal, bohong kalau dia bilang dia tidak ingin disentuh oleh suaminya. Dosakah jika dia menginginkan kelembutan dari suaminya sendiri? Lagi-lagi hanya perih yang dirasa Shiori ketika akhirnya Masumi berbaring di sisi lain tempat tidur, memunggunginya. Sebuah desahan lirih lolos dari bibir merah mudanya, menandakan kekecewaannya.
Akhirnya Shiori terpejam saat merasa keheningan di kamar semakin mencekiknya. Berharap, dia hanya berharap agar bisa bermimpi indah bersama Masumi, setidaknya di alam itu dia bisa berbahagia sebagai seorang istri meski hanya sesaat.
***
Masumi membuka mata keesokan paginya dan mendapati Shiori tengah duduk di depan meja rias. Memulas make up di wajah cantiknya. Dengan malas, Masumi bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur.
"Ini hari Sabtu, apa kau juga akan pergi ke kantor?" Tanya Shiori datar seraya menyapukan bedak di wajahnya. Matanya menatap Masumi melalui cermin.
"Kau lebih suka aku tidak ada kan?" Jawab Masumi dengan nada sama datarnya.
Shiori memutar tubuhnya dan menatap kesal suaminya, "Biasanya iya karena aku merasa seperti hantu saat berada di dekatmu yang tidak pernah menganggapku. Sayangnya hari ini ayah ingin datang berkunjung, jadi ku harap kau mau meluangkan waktumu."
Alis Masumi bertaut, "Ayah?"
"Ayahmu," tegas Shiori yang kemudian berdiri dan melenggang keluar dari kamar.
Masumi menghela napas panjang menatap pintu yang tertutup dan dengan malas beranjak dari tempat tidurnya.
"Selamat pagi Tuan," sapa Takigawa begitu Masumi menuruni tangga.
Memutar mata memeriksa sekelilingnya, Masumi mendapati rumahnya terlihat begitu sepi. Ya, rumah ini dibelinya dengan sengaja agar dia tidak harus tinggal di kediaman Hayami bersama ayahnya. Meski Takigawa, pengasuh Shiori, tetap ikut dengan nonanya dan menjadi kepala pelayan dia tidak ambil pusing. Takigawa jelas tahu bagaimana hubungan Masumi dan Shiori yang sebenarnya. Justru dengan begitu Masumi tidak terlalu merasa bersalah kalau harus terus mengabaikan istrinya karena bibi pengasuhnya pasti akan menghiburnya. Memang pemikiran yang egois tapi hati Masumi benar-benar tidak bisa menerima Shiori sebagai istrinya. Dia bahkan sudah rela kalau Tuhan akan menghukumnya karena keegoisan dan kekejamannya dalam memeperlakukan Shiori.
Melangkahkan kaki memasuki ruang makan, meja panjang berisi dua belas kursi itu tampak lengang karena hanya istrinya yang duduk di salah satu ujung meja. Tak perlu repot menyapa, Masumi menarik kursi di ujung lain meja dan duduk menikmati sarapannya. Para pelayan dan Takigawa tampak sibuk melayani tuan dan nyonyanya yang meski berada di bawah satu atap tapi seperti berada di dua dunia yang berbeda.
Masumi menyeka mulutnya dengan serbet putih dan menatap istrinya yang tengah berdiri untuk meninggalkan meja. Tak bertanya apapun, Masumi membiarkan istrinya pergi. Dia sendiri kemudian meninggalkan ruang makan dan berjalan menuju ruang kerjanya, setidaknya ada hal yang bisa dikerjakannya di sana.
Dua jam terpekur di antara tumpukan dokumen membuat Masumi melupakan sejenak kehidupan nyatanya. Pekerjaan selalu sukses mengalihkan pikirannya. Suara dering handphone akhirnya menarik Masumi untuk kembali ke alam nyata, nama istrinya tertera di layar. Menyedihkan memang, mereka tinggal bersama dengan status sebagai suami istri tapi justru menggunakan handphone sebagai alat komunikasi.
"Shiori?"
"Bisa kau ke taman belakang sebentar? Ada yang ingin aku bicarakan."
Masumi terdiam.
"Ini bukan tentang hubungan kita, kau tidak perlu berpikir panjang," jawab Shiori yang paham dengan arti kebisuan Masumi.
"Baiklah."
Menutup dokumennya, Masumi keluar dari ruang kerjanya untuk menemui Shiori. Di taman belakang, Masumi melihat istrinya sedang berbincang bersama Takigawa dan tukang kebun.
"Ada apa Shiori?" Tanya Masumi. Takigawa dan tukang kebunnya menganggukkan kepala, memberi hormat pada tuannya.
"Aku sedang berpikir untuk merombak taman belakang, apa kau keberatan?" Tanya Shiori tanpa basa basi.
Masumi melayangkan pandangannya ke seluruh taman. Banyak bunga bermekaran dengan indah. Untuk hal yang satu ini Masumi memang patut memuji istrinya, hobi ikebana istrinya itu sangat berimbas pada ketelitiaanya dalam merawat tanaman bunga.
"Kau keberatan Masumi?" Shiori mengulangi pertanyaannya.
"Tidak, terserah padamu. Kenapa kau tidak membangun rumah kaca seperti yang ada di rumahmu?"
"Aku memang sedang merencanakannya. Bagus kalau kau tidak keberatan." Jawab Shiori.
"Tentu saja tidak, lakukan apa yang kau suka."
"Baiklah, terima kasih Masumi,"
"Apa hanya itu?" Tanya Masumi karena Shiori kemudian asik berdiskusi dengan tukang kebun.
"Ya Masumi, hanya itu," jawab Shiori.
Masumi segera berbalik untuk kembali ke ruang kerjanya sementara Shiori masih sibuk berdiskusi dengan tukang kebunnya. Sebuah pertanyaan dari tukang kebun membuat Masumi menghentikan langkah kakinya di anak tangga teras belakang.
"Bunga apa saja yang Nyonya inginkan untuk rumah kaca nanti?"
Reflek Masumi menoleh pada istrinya yang kemudian menatapnya. Shiori segera memalingkan wajahnya.
"Apa saja selain mawar ungu," katanya sambil lalu dan Masumi hanya bisa diam menatap Shiori yang meninggalkannya dengan langkah kesal.
***
"Mau sampai kapan kau bersikap seperti ini?" Tegur Eisuke ketika siang itu dia datang berkunjung. Masumi bahkan masih berada di ruang kerjanya sementara Shiori masih juga asik dengan bunganya.
"Apa maksud Ayah?" Tanya Masumi dengan masih membaca dokumen di hadapannya.
"Kau tahu apa yang aku maksud Masumi." Tegas lelaki paruh baya itu.
Eisuke tahu hubungan Masumi dan Shiori semakin hari justru semakin jauh dari kata harmonis. Tentu para pelayan melapor padanya, bagaimana tuan dan nyonya muda itu tak pernah berinteraksi dengan jarak kurang dari dua meter. Selalu saja ada jarak diantara keduanya dan para pelayan juga yakin kalau di dalam kamarpun hal itu masih berlangsung.
"Tidak Ayah, aku tidak mengerti maksud ayah." Jawab Masumi dengan masih tidak mengacuhkan ayahnya yang duduk di kursi roda di depan meja kerjanya.
Eisuke menggeleng kesal dengan jawaban putranya. Masumi terlihat menjadi pribadi yang berbeda sejak menikah dengan Shiori.
"Kau dan istrimu." Tegasnya kemudian.
Menutup dokumen, Masumi segera menatap ayahnya, "Apa lagi yang Ayah inginkan dariku?"
"Cucu. Aku ingin kau memiliki keturunan dengan Shiori, sebagai pengikat antara keluarga Hayami dan Takamiya."
Tangan Masumi yang bertaut di atas meja mengerat, menahan marah. Tapi tiga detik kemudian Masumi terbahak, lebih tepatnya menertawakan dirinya yang sudah seperti boneka bagi ayahnya.
"Jadi itu alasan Ayah datang menemuiku? Meminta cucu?" Tanya Masumi di sela tawanya.
"Ini bukan lelucon Masumi. Aku menjodohkanmu dengan Shiori bukan untuk sebuah permainan. Aku tidak peduli kau mencintainya atau tidak, atau bagaimana kau memperlakukannya. Selama kau memberikanku cucu maka aku tidak akan mencampuri urusan rumah tanggamu."
Ayah dan anak itu saling memandang dengan tatapan tajam. Sesaat kemudian Masumi berdiri dari kursi kerjanya.
"Kalau begitu sebaiknya Ayah pulang sekarang."
Alis Eisuke bertaut bingung dengan kelancangan Masumi.
"Bagaimana aku bisa memenuhi permintaan Ayah kalau Ayah masih disini? Atau Ayah ingin melihatku melakukannya agar Ayah percaya?"
Eisuke membelalak marah, "Jaga ucapanmu Masumi! Jangan kurang ajar padaku!"
Masumi hanya menyeringai tipis mendengarnya, "Aku hanya memenuhi permintaanmu Ayah, apa salah?"
Dengan wajah merah padam, Eisuke keluar dari ruang kerja sementara Masumi kembali menghempaskan dirinya di kursi kerja seraya mengurut pelipisnya yang berdenyut.
***
Sepeninggal Eisuke, Masumi keluar untuk mendinginkan kepalanya. Rumah baginya selalu jauh dengan kata nyaman. Banyak hal yang justru membuatnya merasa sesak di rumah itu. Dan entah kegilaan apa yang merasuki Masumi saat ini, dia memarkirkan mobilnya di depan sebuah apartemen dan matanya tak berhenti mengamati sebuah balkon di lantai lima. Tentu saja itu apartemen Maya. Dalam hati dia berharap untuk bisa melihat wajah pujaan hatinya sehingga bisa sedikit mengurangi sesak yang menghimpit batinnya.
Kelihatannya konyol tapi begitulah kenyataannya, hanya dengan melihat Maya hati Masumi terasa begitu ringan, begitu bahagia. Tak lagi bisa menahan rindunya, Masumi meraih handphone dan menekan kombinasi nomor yang sudah dihapalnya di luar kepala sehingga tidak perlu lagi di simpan di dalam phone book handphonenya.
"Halo,"
Suara lembut menyapa gendang telinga Masumi dan seketika ekspresi tegang yang sedari tadi tergambar di wajahnya kini terurai. Senyum tipis terulas di bibir Masumi seiring dengan rasa hangat yang mulai menjalari hatinya akibat cinta dan rindu yang membuncah.
"Halo," balas Masumi sama lembutnya.
"Tuan Masumi?"
Masumi kembali tersenyum mendengar Maya memanggil namanya meski dia tahu dari suaranya kalau gadis itu pasti bingung dengan telepon yang diterimanya.
"Ya Maya."
"Ada apa? Apa ada yang penting sampai anda menelepon saya di hari libur?"
Masumi terkekeh, "Apa harus ada hal penting untuk bisa menghubungimu Maya?"
"Eh?!...hhmm, itu...," Maya tergagap dan terdengar bingung mau menjawab apa. Di sisi lain Masumi semakin merasa geli membayangkan ekspresi Maya yang pasti sangat menggemaskan itu.
"Apa anda hanya berniat mengganggu saya di hari libur?" Tanya Maya dengan nada kesal.
Masumi menggelengkan kepalanya. Gadisnya itu masih saja begitu polos. Betapa Masumi sudah begitu rindu dan Maya hanya menganggapnya sebagai sebuah gangguan.
"Ada baiknya kau punya kegiatan di hari libur Maya, daripada hanya berbaring di tempat tidur seharian." Goda Masumi.
"Siapa yang berbaring seharian?! Saya sedang menghapal naskah drama," dengus Maya masih dengan nada kesal.
Masumi tahu gadisnya berbohong. Kalau Maya sedang membaca naskah drama, dia pasti tidak akan mendengar handphonenya berdering.
"Oh ya? Sayang ya, padahal hari ini cuaca di luar begitu indah dan kau malah menghabiskan waktu di dalam apartemenmu membaca naskah."
Masumi memang benar. Cuaca di pertengahan musim semi itu memang bagus untuk melakukan kegiatan di luar. Matahari tidak begitu terik, semilir anginpun begitu menyegarkan. Rasanya sempurna jika menghabiskan waktu di taman kota dan menikmati bunga Sakura yang sedang mekar. Sayangnya, itu hanya sebatas angan bagi Masumi.
"Maya? Apa kau tertidur?" Goda Masumi karena Maya tak menanggapi ucapannya.
"Saya sedang malas keluar," gumam Maya kemudian tanpa menjawab pertanyaan Masumi.
Kening Masumi berkerut, dia menangkap kesedihan dalam nada suara Maya. Tapi kemudian Masumi terkejut ketika apa yang diharapkannya terkabul, pintu balkon kamar Maya terbuka dan gadisnya berdiri memandang langit dengan telepon masih menempel di telinga kanannya.
Rasa hangat kembali menjalari hati Masumi ketika melihat Maya. Meski hanya dari jauh, itu sudah cukup bagi Masumi.
"Tuan Masumi, kenapa anda menelepon saya?"
Pertanyaan lirih yang dilontarkan Maya terdengar seperti petir di telinga Masumi.
"Kenapa?" Masumi melontarkan kata tanya yang sebenarnya ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Ya kenapa? Tidak seharusnya anda menghubungi saya. Anda-," Maya terdiam dan tidak perlu bantuan cenayang untuk Masumi tahu apa yang akan diucapkan Maya.
Sesaat keduanya terdiam. Masumi ingin berkata jujur tapi rasanya terlalu berat dan dia tahu hal itu pasti akan menyakiti Maya. Betapa tidak, kalau dia mengatakan rindu dan cinta untuk Maya sedangkan jelas statusnya sudah berbeda, entah luka apalagi yang akan ditorehkannya di hati gadis itu.
"Tenang saja Maya, aku hanya ingin memberitahu kalau kau lolos menjadi pemeran utama dalam film layar lebar Aishiteru yang akan diproduksi oleh Daito bulan depan," terang Masumi dengan mata masih lekat mengamati sosok Maya di balkon kamarnya.
"Benarkah?" Seketika suara Maya bersemangat seiring dengan perubahan gerak tubuhnya yang samar tertangkap oleh mata Masumi.
"Apa mungkin Direktur Utama Daito berbohong?"
Maya terkikik, "Ah iya, maaf, terima kasih Tuan Masumi. Saya senang mendengarnya, saya berjanji akan membuat film ini sukses dipasaran dan tidak akan membuat anda, eh, maksud saya Daito kecewa,"
Masumi terkekeh senang, berbicara dan melihat Maya seperti obat manjur baginya.
"Aku berharap kau tidak membuatku rugi sehingga aku tidak menyesal sudah menyetujui kau menjadi pemeran utama,"
"Tuan Direktur yang terhormat, saya menjamin kali ini anda tidak akan rugi," jawab Maya seraya berkacak pinggang dan Masumi kembali tertawa melihat tingkah gadisnya.
Beberapa saat keduanya sangat menikmati komunikasi jarak jauh itu. Saling beradu mulut dan tertawa. Sampai saat mata Masumi menangkap sebuah objek yang sangat dikenalnya, seorang pemuda dengan motornya. Rasa cemburu langsung merayapi hatinya ketika melihat pemuda itu memasuki pelataran parkir apartemen Maya.
"Baiklah Maya, aku rasa maksudku sudah tersampaikan dengan jelas jadi aku tidak mau mengganggu hari liburmu lagi." Kata Masumi.
"Hhmm, terima kasih sudah menghubungi saya Tuan Masumi," jawab Maya.
Masumi menyungging seulas senyum seraya kembali mengamati Maya yang masih berdiri di balkon, mengabaikan pemuda yang bahkan sudah masuk ke dalam apartemen.
"Sampai jumpa," ucap Masumi lirih.
"Sampai jumpa," balas Maya sama lirihnya.
Jelas jika sebenarnya mereka enggan untuk memutus hubungan telepon itu tapi rasanya akan semakin menyakitkan bagi mereka jika terus bicara. Masumi masih terus menatap Maya dari kejauhan dan ketika Maya kembali masuk ke dalam apartemennya, dia segera memacu mobilnya. Tidak perlu bertanya-tanya apa yang selanjutnya terjadi di apartemen Maya karena dia tahu pasti siapa yang sedang bersamanya sekarang. Dengan begitu Masumi sudah bisa membayangkan kalau malam ini akan dihabiskannya dengan rasa gelisah yang teramat sangat.
Koji….
***
"Hai Maya," Koji melebarkan senyumnya begitu Maya membuka pintu apartemen.
"Koji," Maya cukup terkejut melihat pemuda yang berdiri di depan pintu.
Koji mengamati wajah Maya dengan hati-hati, "Kau...menangis ya?" Sekilas mata Maya memang tampak merah.
Dengan cepat Maya memalingkan wajahnya dan segera berbalik dengan sebelumnya mempersilahkan Koji masuk.
"Maya?" Tanya Koji lagi yang masih mengikuti Maya menuju ruang tamu.
"Ti, tidak Koji, aku tidak menangis, hanya mengantuk." Jawab Maya berbohong. Mana mungkin dia bisa jujur dengan perasaannya. Baru saja dia merasa terkejut, senang sekaligus sedih di saat yang bersamaan. Terkejut karena Masumi tiba-tiba meneleponnya, dia senang bahkan sangat senang tapi di saat yang bersamaan dia merasa begitu sedih karena kenyataan yang ada di depannya tak seindah angannya. Kekasih hatinya, mawar ungu tersayangnya, kini sudah menjadi milik orang lain.
"Nah, kau melamun sekarang," tegur Koji yang otomatis mengejutkan Maya. Sang Bidadari Merah itu terkekeh untuk mengalihkan keresahannya.
"Sudah ku katakan aku mengantuk Koji," kilah Maya.
"Jadi aku mengganggumu?" Memiringkan kepalanya, Koji menilai ekspresi gadis yang sekarang duduk dihadapannya.
Maya menggeleng, "Tidak," jawabnya mantap. Maya berdiri dan tersenyum pada Koji, "Mau teh?"
Koji mengangguk dan Maya segera menuju dapurnya. Tak lama kemudian Maya kembali dengan membawa dua cangkir teh.
"Oh ya Koji, ada apa kau datang menemuiku?" Tanya Maya sambil menikmati teh hangatnya.
"Tidak ada yang penting, aku hanya ingin menemanimu,"
"Menemani?"
Koji terkekeh saat Maya menatapnya heran.
"Entahlah Maya, aku merasa beberapa minggu terakhir ini kau selalu tampak sedih. Aku tanya pada Rei tapi dia bilang kau baik-baik saja. Aku hanya berpikir apa kau kesepian tinggal di apartemen barumu sendiri dan jauh dari teman-teman teatermu."
Sekarang giliran Maya yang terkekeh. Sebisa mungkin dia tidak ingin Koji tahu apa yang dirasakannya. Biarlah jika dia harus memakai topeng dalam kesehariannya, menyimpan luka untuknya sendiri. Dirinya hanya harus bertahan dan Maya percaya kalau dirinya mampu. Setidaknya dengan melihat Masumi bahagia maka dia juga akan merasa bahagia.
"Aku tidak apa-apa Koji. Mungkin kau melihatku saat aku sedang kelelahan. Kau sendiri kan tahu bagaimana padatnya jadwal pentas dan syuting kita selama satu bulan ini. Yah, aku senang akhirnya semua selesai dengan baik," Maya tersenyum di ujung kalimatnya dan sekali lagi meneguk tehnya.
Koji mengangguk-angguk tanda mengerti.
"Eh Maya, bagaimana kalau malam ini kita pergi?" Koji meletakkan cangkirnya di meja dan menatap Maya penuh harap.
"Pergi?" Maya ikut meletakkan cangkirnya.
"Makan malam di luar, jalan-jalan, hhmm, mencari udara segar di luar," terang Koji penuh semangat.
Sejenak Maya tertegun.
"Tenang saja Maya, ini bukan kencan. Aku mengajakmu sebagai teman." Kata Koji.
Maya tersenyum tipis. Tidak enak hati juga dia menolak ajakan Koji, Maya pun mengangguk tanda setuju.
***
Menutup pintu di belakangnya, bersandar pada pintu, Maya merosot ke lantai dan terisak memeluk lututnya.
Hampa. Hal yang sama dirasakan oleh Maya. Baru saja dia pergi bersama Koji. Makan malam di kedai ramen, jalan-jalan di taman kota di bawah temaram sinar bulan. Seharusnya hal itu menjadi masa yang menyenangkan untuknya tapi nyatanya justru luka menganga yang di dapatinya. Rasa cinta Koji yang jelas terlihat untuknya membuat Maya merasa semakin terluka.
Bukankah dirinya juga berada di posisi yang sama dengan Koji? Merasakan cinta yang tak berbalas. Bukankah seharusnya kehadiran Koji bisa menutup luka dan lubang menganga di hatinya? Maya menggeleng atas pemikirannya sendiri. Tidak! Tidak bisa! Bukan Koji yang diinginkannya bahkan sebesar apapun cinta yang ditawarkan pemuda itu, semuanya tidak akan cukup untuk mengganti bagian jiwanya yang hilang.
Nama Masumi Hayami masih terpatri di setiap bagian hatinya yang luka.
"Masumi...apa yang harus aku lakukan? Sekeras apapun aku mencoba...aku tidak pernah bisa melupakanmu." Lirih Maya di tengah isaknya.
Maya meremas bagian depan kemejanya, menahan sesak di dalam dadanya. Dengan berat dia mencoba untuk berdiri, berjalan tertatih ke dalam kamar dan menghempaskan diri ke atas tempat tidur tanpa repot membersihkan dirinya. Membenamkan wajah di atas bantal, Maya kembali terisak.
***
Wajah Masumi tak terbaca, matanya terpaku pada obyek yang tergeletak di atas meja kerjanya. Sebuah tablet yang sedang memutar slide foto, foto Maya dan Koji.
Bukan Masumi namanya jika dia melepaskan Maya dari pantauannya. Dia segera memerintahkan Hijiri untuk mengawasi Maya setelah dia meninggalkan apartemen. Namun ternyata, apa yang dilakukannya justru menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Foto Maya dan Koji yang tampak begitu bahagia membuatnya merasa begitu putus asa.
Sudah di katakan bahwa Masumi sangat tidak keberatan dengan predikat egois yang diterimanya. Masumi tidak rela melepaskan Maya bersama Koji. Rasanya lebih baik kalau dirinya mati daripada harus melihat Maya menjadi milik orang lain.
Betapa brengseknya aku ini. Meninggalkan gadis yang ku cintai demi sebuah sandiwara pernikahan. Melukainya dalam dan kini tidak rela melihatnya bahagia.
"Brengsek kau Masumi!" Desisnya marah pada dirinya sendiri, "Apa kau mencintainya Maya? Apa kau bahagia jika bersama Koji? Tidakkah ada cinta lagi untukku di hatimu?" Meremas rambut lebatnya dengan kesal, Masumi hanya bisa menahan emosinya.
Dari celah pintu sepasang mata tengah mengamati Masumi tanpa disadarinya. Jengah melihat wajah putus asa itu lebih lama, sosok yang adalah seorang wanita itu segera berbalik menuju kamarnya, merutuk dalam hati sikap pria yang adalah suaminya.
***
>>Bersambung<<
>>Pure Love - Chapter 1<<
>>Pure Love - Chapter 3<<
18 Comments
entah kenapa rasanya ada yang aneh dengan Fanfic yang satu ini.hehehe, ga tahu dimananya tapi rasanya kok putus asa banget ngrasainnya.
ReplyDeleteYa semoga suka lah, emang minim dialog sih, chap depan makin banyak dilema kayaknya.
Yang berkenan mohon tinggalkan reviewnya setelah baca
Arigatoooo
Ga aneh sis.. cm nyesekin kayanya kondisi keadaan maya dan masumi. Thanks sis untuk updatannya. Chapter berikytnya masumi maya biar jadi jalan2 aja supaya ga nyesek lg pas bacanya. :)
DeleteGa aneh sis.. cm nyesekin kayanya kondisi keadaan maya dan masumi. Thanks sis untuk updatannya. Chapter berikytnya masumi maya biar jadi jalan2 aja supaya ga nyesek lg pas bacanya. :)
DeleteIhhh sedih banget ya mbak... dadaku ikutan nyesek nih ngerasain lukanya Maya ��
ReplyDeleteIya sedih dan menyesakkan. Sperti ada batu besar jatuh di dada. Kasihan sekali sis.
ReplyDeleteHaaaaaaaaaaa......sesek banget
ReplyDeleteGak aneh kok mbak.. Cuma sedih aja hiikkss...
ReplyDeleteMungkin karena cerita di awal nyesek sama sedih, pembaca juga emosinya sama he3, tapi tandanya mbak agnes Makin Jago ngebuat cerita
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya ya :)
Bwt masukan aja nih mba agnes, mnrt sy ada bbrp kalimat detil yg ga perlu dimasukan yg tdk menunjang alur cerita, spt wkt masumi nelpon maya (ga perlu dijelaskan kalo nomornya ga perlu disimpan d phonebook soalnya kan uda dibilang hapal luar kepala), trus kalimat yg masumi sdh rela kalo Tuhan akan menghukumnya (mnrt sy sisi judgmental spt ini ga usah dimasukin selain tdk mendukung cerita jg, spy lbh umum sj bacaannya, namanya jg fiksi kan). Jadi kesannya bacaannya panjang tp terlalu bertele tele utk scene yg sdkt. Bukan ga suka siii, sy sih suka baca2 fanfic mba agnes ya, even tiap hari nunggu2 terus lanjutannya cuman kadang ya males aja kalo baca kepanjangan yg tdk mendukung ceritanya, pdhl tiap hr dah excited nunggu lanjutannya. Btw fanfic versi yg ada ryo ga dilanjutin niiih? Hehehe seneng klo baca bnyk yg ceria2 lucu2 gituuu
ReplyDeletethanks buat masukannya ya. aku emang kadang keasikan tulis diksi panjang2, suka aja si :)
DeleteUntuk cerita Ryo dilanjut kok, tapi itu kliatannya aku publish bulan agustus coz buat kado my beloved sister, hehheehee
Sebelum itu masih ada fanfic2 yang lain kok. thanks ya sist :)
Mba agnes jgn yg sedih2...kasian MM nya..
ReplyDeleteIkutan ngerasa sesak bacanya....seakan akan bisa merasakan kesedihan maya dan masumi
ReplyDeleteGa blh sad ending pokonya sist....terus jgn lama2 updateannya yah...baru baca udh ga sabar lagi nunggu lanjutannya
ReplyDeleteSyukur deh kalo temen2 ga ngerasa aneh. thanks yang uda baca n kasih komen ya. tambah semangat kan kalo ada yang kasih semangat, hahaa
ReplyDeleteJangan sad ending? hhmmm, #mikir
Tariik napas biar gak nagiiis.. mudah2an nanti happy ending kak...
ReplyDeletehoreeee akhirnya update juga.. tilimikici sist agnes..sukses mengaduk2 perasaan. MM jangan lama2 menderitanya ya sista, ga apa2 deh Eisuke pengen punya cucu tapi asal dari Maya yaa
ReplyDeleteklw aku sih sukaaaa, mau panjang apa pendek..krn penting jg nulis detil tentang situasi nya...aku suka dirimu yg ngedeskrip kelakuan masumi...gemes nya kesampean....ini ker3n mba...sedih nya gpp duluan...tp heppy end ya..
ReplyDeleteJangan sedih-sedih mbaaak hiks.
ReplyDelete