Disclaimer : JK Rowling
Setting : Setelah perang.
Penyesalan selalu
datang terlambat. Ya, pepatah itu tidak salah. Benar. Penyesalan selalu datang
terlambat dan manusia selalu berandai-andai untuk bisa mengulang waktu yang sudah
berlalu. Bisakah? Tentu saja tidak. Tidak ada yang bisa mengulang waktu dan
mengubah sejarah masa lalu.
Adalah Harry Potter,
salah satu dari sekian banyak manusia yang mengharapkan sebuah keajaiban waktu.
Keajaiban dimana dia bisa mengulang dan memperbaiki semua sikap bodoh dan
kebencian yang pernah dicurahkannya untuk seseorang yang justru mengorbankan
seluruh hidupnya demi keselamatannya. Malaikat penjaga yang tidak pernah dia
tahu karena bersembunyi dalam bayang hitam yang selalu mengelabuinya. Siapa
lagi kalau buka Severus Snape. Guru Ramuannya yang menyeramkan, dulu, karena sekarang
Harry melihatnya sebagai malaikat.
Duduk di salah satu
kamar khusus di St. Mungo, pemuda dengan kaca mata bulat, rambut hitam tak
tertata dan tanda sambaran kilat yang khas di keningnya, Harry Potter, The-Boy-Who-Lived yang kini sudah
berganti gelar menjadi The-Boy-Who-Win,
menanti sebuah keajaiban untuk malaikat penjaganya.
Di hadapannya, Severus,
terbaring tanpa daya. Mata hitam yang dulu menampakkan kilat keangkuhan kini
terpejam dalam damai. Wajah yang dulu selalu menunjukkan ekspresi tidak
bersahabat kini pucat pasi tanpa cahaya. Bahkan bibir tipis yang dulu sering
melontarkan sindiran pedas menyakitkan hati kini terkatup rapat tanpa suara.
Harry tidak keberatan, ya, dia tidak keberatan andai semua itu terulang lagi.
Mata angkuh, wajah garang dan ucapan pedas, dia sama sekali tidak keberatan.
Karena yang diinginkannya sekarang adalah Severus yang hidup, benar-benar
hidup, bukan seperti sekarang, tergolek tak berdaya antara ada dan tiada.
Kejadian yang
menyebabkan semua ini terjadi masih terekam jelas dalam ingatannya. Dimana
Severus menjadi korban dari ambisi Voldermort, meregang nyawa di tangan Nagini,
sang ular peliharaan tuannya. Ya, itu sudah beberapa bulan yang lalu, tiga
bulan tepatnya.
Setelah perang usai dengan kemenangan telak karena kehancuran
sempurna dari Pangeran Kegelapan, Harry bergegas mencari Severus. Beruntung,
dengan sedikit keajaiban, pria Slytherin
yang selalu dibencinya itu masih hidup. Kesaksian yang diberikan Harry dengan
bukti memori Severus membuat pria yang menjabat sebagai kepala sekolah Hogwarts itu di bebaskan dari semua
tuduhan dan hukuman bahkan mendapat penghargaan Orde of Merlin kelas satu. Perawatan terbaik diberikan untuk tetap
membuat sang pahlawan itu tetap hidup.
Kalau sebuah keajaiban
pernah menyelamatkan Severus dari kematian maka sekarang dia berharap sebuah
keajaiban juga terjadi agar Severus bisa membuka matanya.
"Kau tidak
beristirahat Harry? Biar aku yang menjaganya."
Berta Miller, atau
lebih akrab disapa Madam Miller, seorang healer
St. Mungo yang khusus ditugaskan
untuk merawat Severus, menyela ketenangan Harry yang sedang memutar memori masa
lalunya.
"Tidak Madam, aku
akan menjaganya hari ini." Jawab Harry seraya melempar senyum manis pada healer yang kini sudah sangat akrab
dengannya karena intensitas kunjungannya yang hampir setiap hari selama tiga
bulan terakhir.
Tahu kalau pemuda di
hadapannya tidak bisa dibantah, Madam Miller pun meninggalkannya sendiri. Sepeninggal
Madam Miller, Harry meraih tangan Severus yang putih pucat dan sedingin es.
"Bangunlah dan
ijinkan aku memperbaiki segalanya." Lirihnya penuh harap.
***
Hari demi hari berlalu,
bulan demi bulan terlewati, bahkan tahun sudah berganti tahun. Ya, tiga tahun
sudah berlalu dan banyak hal sudah berubah. Dunia sihir hidup dalam damai di
bawah otoritas kementerian yang kini dipimpin oleh Kingsley Shacklebolt.
Harry sudah berusia dua
puluh tahun, hampir dua puluh satu. Dia sudah menjadi auror yang tergabung
dalam pasukan elit kementrian. Satu hal yang sampai saat ini belum berubah
adalah keadaan Severus. Pria itu masih saja tidur dengan tenangnya tanpa
berniat membuka mata. Tapi bukan Harry namanya jika dia sampai menyerah. Sang
Pahlawan itu tidak pernah berhenti untuk berharap.
Setiap pagi, sebelum
berangkat menjalankan tugasnya, Harry selalu mengunjungi malaikat penjaganya
itu. Sekedar memberikan salam dan meletakkan setangkai bunga lili di samping
tempat tidurnya. Di akhir pekan, Harry akan menjaganya sampai tengah hari.
Tidak hanya itu, Harry bahkan menceritakan semua kegiatannya pada guru yang
dulu selalu dibencinya. Harry tidak peduli apakah Severus mendengarnya atau
tidak, dia hanya ingin membagikan semua kisah kehidupannya.
Seperti pagi ini. Pagi
yang cerah di awal musim panas. Akhir pekan yang sempurna untuk datang
berkunjung. Harry menyapa setiap orang yang bertemu dengannya di koridor St. Mungo. Ya, dia sudah menjadi
pengunjung tetap selama tiga tahun terakhir dan sepertinya tidak ada yang
keberatan dengan itu. Kisah hidup Severus yang sudah diketahui bahkan oleh
seluruh warga dunia sihir membuat mereka juga mendukung Harry, menyisipkan
harapan dan berdoa sang malaikat penjaga itu segera membuka mata.
"Pagi Madam Miller,"
senyum Harry terkembang begitu membuka pintu kamar.
"Pagi,
Harry," sang healer juga
memberikan senyumnya sebelum kembali melanjutkan aktivitas rutinnya, memeriksa
keadaan Severus dengan tongkatnya.
Harry berjalan ke sisi
lain tempat tidur dan mengganti bunga lili yang layu di dalam vas dengan bunga
lili segar yang dibawanya. Diapun duduk di kursi yang selalu tersedia untuknya
di sebelah tempat tidur.
"Bagaimana
perkembangannya?" Tanya Harry setelah melihat Madam Miller selesai dengan
rangkaian pemeriksaan tongkatnya.
"Belum ada yang
berubah. Seluruh racun dari Nagini sudah berhasil di netralkan tapi sepertinya
pahlawan kita ini memang masih ingin tidur."
Harry tertawa dengan
candaan Madam Miller yang selalu menghiburnya, seolah Severus memang sedang
tidur dan merasa malas untuk bangun.
"Bagaimana tugasmu
di Amerika Harry? Semua lancar?" Tanya Madam Miller.
Harry selalu
menceritakan semua kegiatannya pada Severus, jadi mau tidak mau Madam Miller
juga tahu semua yang dilakukan Harry dalam kesehariannya. Sudah dua minggu
pemuda itu tidak datang berkunjung karena menjalankan tugas aurornya di Amerika
untuk mengawal konferensi para pemimpin negara. Pihak keamanan muggle memang selalu bekerja sama dengan
kementrian sihir yang dianggap lebih sempurna dalam hal pengawalan.
"Semua lancar Madam
Miller. Ada beberapa pengacau tapi beruntung semua teratasi dengan baik."
Jawab Harry.
"Baguslah kalau
begitu," Madam Miller tersenyum sambil membenahi selimut Severus, "Daddy
mu pasti senang mendengar ceritamu hari ini."
Sekali lagi Harry
tertawa, ya, dia memang berencana menceritakan tentang pengalamannya di Amerika
selama dua minggu.
"Hai Dad,
bagaimana kabarmu?" Sapa Harry setelah Madam Miller meninggalkannya untuk
menikmati waktu bersama Severus, daddy Severus lebih tepatnya. Ya, tiga tahun
selalu bersama membuat rasa lain tumbuh dalam hati Harry. Bukan hanya sebuah
rasa hormat tapi juga rasa sayang. Rasa yang akhirnya membuat Harry menjadikan
sang malaikat penjaganya itu sebagai father
figure, bahkan memanggilnya dengan sebutan daddy sejak satu tahun yang
lalu.
Harry tahu saat sadar
nanti, mungkin Severus tidak akan suka tapi sekarang Harry tidak bisa
membendung rasa dalam hatinya dan membiarkan dirinya mencurahkan kasih sayang
juga perhatian sebagai seorang anak pada ayahnya. Toh, selama ini Severus
memang menjalankan peran seorang ayah yang menjaganya meski dengan cara yang
berbeda.
Harry meraih tangan
Severus, menggenggamnya lembut dan mulai bercerita. Mata hijau terangnya terus
memandang wajah tenang yang terlelap di hadapannya, berharap dengan interaksi
yang dia buat, mata itu akan terbuka. Harry sesekali tersenyum atau bahkan
tertawa sendiri di sela-sela ceritanya.
"Dad, apa kau bisa
mendengarku?" Lirih Harry ketika dia selesai dengan ceritanya.
Desahan napas panjang
menandakan kesedihan pemuda itu meski senyum tipis masih menghiasi wajah
tampannya. Melirik jam tangan platinum yang melingkar di pergelangan tangannya,
Harry kembali menghela napas panjang.
"Dad, aku harus
pergi sekarang. Siang ini aku ada janji dengan Ron dan Hermione. Oh ya, besok
aku tidak bisa datang karena aku akan pergi dengan Ginny. Kalau ada waktu akan
aku ajak Ginny menemuimu."
Sekali lagi Harry
memberikan usapan lembut di punggung tangan Severus lalu beranjak dari
duduknya. Merapikan selimut dan memastikan daddy-nya nyaman, diapun pun keluar
meninggalkan kamar. Harry tak lagi melihat ketika tepat dia menutup pintu,
setetes kristal bening jatuh dari sudut mata yang masih tetap terpejam dalam
damai.
***
"Hai Harry!"
Ron melambai dengan semangat pada sahabatnya ketika Harry masuk ke Leaky
Cauldron. Tentu saja hal itu membuat hampir seluruh pengunjung mengalihkan
pandangannya pada Harry. Segera saja, situasi menjadi 'sedikit' tidak
terkendali ketika beberapa orang sibuk menyapa 'sang pahlawan' dan berbasa-basi
dengan menanyakan kabar.
"Terima kasih
banyak Ron," kata Harry yang akhirnya selamat di meja kedua sahabatnya
baiknya dengan wajah masam.
Ron meringis lebar,
"Sorry."
"Abaikan Mr. Tidak
Pernah Berpikir ini Harry. Sekarang katakan, bagaimana kabarmu? Aku
merindukanmu," kata Hermione setelah memberikan pelukan untuk Harry dan
sebuah pelototan pada Ron, kekasihnya.
"Baik Hermione,
aku juga merindukanmu. Bagaimana konferensinya?" Harry melempar senyum
pada sahabat perempuan yang sudah seperti kakaknya itu. Hermione yang sekarang
bekerja di kementrian sebagai Wakil Kepala Divisi Hubungan Sihir Internasional
baru saja kembali dari sebuah konferensi di Perancis.
"Luar biasa Harry.
Aku bertemu banyak orang hebat disana." Jawab Hermione dengan penuh
semangat.
Harry tersenyum lebar
menanggapi semangat Hermione, melirik Ron yang sibuk dengan butterbeer-nya Harry jadi ingin
mengerjai sahabat baiknya, lumayan untuk membalas kehebohan yang dibuatnya
tadi.
"Ah, ku dengar
dari Draco kemarin kalau kau membuat semua orang disana terpesona, Hermione.
Bahkan katanya staf divisi luar negeri Perancis, hmm, Mr. William, kalau aku
tidak salah, mengajakmu kencan,"
Sukses! Ron tersedak butterbeer sambil membelalakkan mata,
shock. Hermione hanya menggeleng melihat reaksi Ron yang menurutnya berlebihan
sedangkan Harry menahan tawanya meledak.
"A, apa maksudnya honey?" Tanya Ron dengan wajah
panik.
"Oh ayolah Ron,
dewasalah, Harry hanya mengerjaimu," jawab Hermione santai.
"Benar mate?" Mata Ron semakin membulat
ketika menatap Harry yang terlihat begitu senang dengan reaksi sahabatnya.
"Tidak juga,"
Harry meneguk buteerbeer-nya yang
baru saja datang dan mengerlingkan sebelah mata pada Hermione.
"Apa maksudnya
tidak juga? Honey kau tidak berkencan
dengan William-Perancis itu kan?"
"Sudah hentikan
Harry." Kali ini Hermione melotot pada Harry, "Aku memang pergi makan
malam dengannya Ron tapi tidak sendiri, aku bersama dengan Draco,"
tambahnya.
Hermione dan Draco
memang bekerja di satu divisi. Setelah perang selesai semua dendam masa lalu
itu terhapuskan dan sekarang mereka justru menjalin persahabatan selain juga
sebagai patner kerja. Ya, meski lagi-lagi Ron, masih sulit atau bahkan sangat
sulit untuk bisa menerima kehadiran Malfoy Junior itu di tengah-tengah mereka.
"Kenapa kau tidak
cerita padaku sejak kemarin?" Dengus Ron kesal.
"Dan melihat
reaksimu yang kekanakan seperti ini?" Hermione kembali menggeleng geli, disambut
tawa Harry sementara Ron kembali meneguk minumannya.
"Kau kan
tunanganku," gerutu Ron lirih meski masih bisa di dengar Hermione dan
Harry dengan sangat jelas.
Mengabaikan kekasihnya
yang masih merajuk, Hermione kembali fokus pada Harry.
"Oh ya, kau dari St. Mungo tadi?"
Harry mengangguk.
"Bagaimana kabar
Profesor-,"
"Dia sudah bukan
profesor lagi honey," potong Ron
yang langsung mendapat hadiah sebuah pukulan di lengan karena menyela pertanyaan
Hermione.
"Dia tetap profesor
bagiku. Apa kau tidak ingat apa yang sudah dilakukannya untuk kita?"
Tegasnya.
"Oke dia
pahlawan." Jawab Ron kemudian yang tidak mau membuat kekasihnya marah,
melirik pada Harry, Ron jadi merasa bersalah, "Sorry Harry, aku hanya bercanda,"
Harry hanya tersenyum
tipis menanggapi gurauan Ron yang sangat tidak lucu baginya. Meski begitu dia
tidak bisa marah pada sahabat baiknya itu karena memang Severus dulu tidak
pernah bersikap manis pada Ron. Kenyataan bahwa Severus adalah pahlawan yang
sebenarnya juga belum bisa merubah perspektif negatif Ron pada orang yang
bahkan sekarang di panggil daddy oleh Harry itu.
"Bagaimana
perkembangannya Harry?" Hermione kembali bertanya.
"Madam Miller
mengatakan semuanya baik-baik saja. Hanya menunggu waktu yang tepat untuk dia
siap, kau tahu...membuka mata," jelas Harry.
Hermione
mengangguk-angguk mendengarnya. Meraih tangan Harry dan mengusapnya lembut,
Hermione mencoba memberi semangat pada sahabat baik yang juga sudah dianggap
sebagai adiknya itu.
"Dia pasti akan
bangun," kata Hermione.
"Ya, semoga tak
lama lagi," jawab Harry sekaligus sebagai doa untuk daddy-nya.
"Dia akan bangun
Harry, aku bahkan merindukan detensi darinya," Ron mencoba berkelakar lagi
untuk mengurai raut wajah sedih Harry yang selalu muncul tiap kali mereka
memasukkan Severus dalam topik pembicaraan mereka. Harry memaksakan dirinya
tersenyum menanggapi Ron yang mencoba menghibur dengan cara khasnya.
Harry pun mengalihkan
topik pembicaraan mereka seputar pengalaman Hermione selama di Perancis, meski
Harry sudah dengar sebagian dari Draco yang sudah menemuinya di Grimmauld Place
semalam. Slytherin pirang itu memang begitu akrab dengan Harry sekarang.
Pertemuan tiga sahabat itu mungkin akan berlangsung sampai malam.
***
"Boleh Kreacher siapkan
makan malam sekarang, sir?"
Pertanyaan Kreacher
membuat Harry mengalihkan perhatian dari perkamen yang sedang dibacanya. Dia
sedang duduk di ruang kerjanya di Grimmauld Place, memeriksa ulang laporan yang
akan diserahkannya hari Senin nanti pada Kepala Auror atas tugasnya di Amerika
kemarin.
"Tidak, terima
kasih Kreacher. Sebelum pulang tadi aku sudah makan bersama Ron dan Hermione.
Kau istirahatlah," jawab Harry yang kemudian kembali membaca laporannya.
"Baik Sir. Anda
bisa panggil Kreacher kapan saja jika membutuhkan bantuan," membungkukkan
badannya, Kreacher berjalan keluar ruang kerja dan menghilang dengan punyi
'plop' keras setelah menutup pintu.
Harry resmi tinggal di Grimmauld
Place nomor dua belas setelah perang selesai dan sikap Kreacher sudah berubah
seiring berjalannya waktu. Dia tidak lagi menjadi peri rumah 'penggerutu'.
Melihat sikap Harry yang selalu baik padanya, diapun akhirnya dengan sukarela
menyerahkan kesetiaan dan pengabdiannya pada tuannya yang baru itu.
Harry kembali
menggulung perkamennya setelah yakin laporannya sempurna. Menggeliat panjang di
kursi kerjanya, Harry merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Diapun mengamati
seputar ruang kerjanya yang selalu tertata rapi tapi terlihat begitu sunyi itu.
"Kalau Dad sudah
sadar, aku ingin dia tinggal di sini." Gumamnya pada diri sendiri, tapi
tiga detik kemudian dia menarik napas panjang seraya menyunggingkan seringai
tipis, "tapi apa Dad mau ya? Jangan-jangan dia justru kembali koma kalau
tahu aku memanggilnya daddy dan memintanya tinggal di sini."
Mengusap kening dengan
jemarinya, Harry berusaha menyingkirkan pikiran tidak enak dalam kepalanya.
"Sebaiknya aku
tidur, sebelum otakku memikirkan hal buruk lainnya." Gumamnya lagi pada
dirinya sendiri. Diapun beranjak dari kursi kerjanya.
Harry menghempaskan
dirinya di tempat tidur besar di kamar setelah melepas kacamatanya. Tubuhnya
masih merasakan sisa-sisa lelah dari tugas panjangnya di Amerika dan itu
membuatnya cepat terlelap, menyebrang ke alam mimpinya dengan damai.
***
Pagi yang cerah di hari
Minggu. Harry sudah siap dengan pakaian casualnya untuk pergi menjemput Ginny
di The Burrows. Hari ini mereka berencana untuk berjalan-jalan menghabiskan
hari libur. Kebetulan Ginny yang sekarang menjadi atlit profesional Quiddicth
dengan posisi sebagai chaser juga
sedang libur setelah turnamen panjang piala Eropa yang selesai bulan lalu. Kreacher
sudah menyiapkan sarapan begitu Harry keluar dari kamarnya.
"Terima kasih Kreacher,"
ucap Harry ketika dia sudah duduk di meja makan.
Kreacher membungkuk
dalam sebelum akhirnya pergi meninggalkan ruang makan dan menghilang di koridor
dengan bunyi 'plop' cukup keras. Dia memang tidak pernah datang dan pergi
tiba-tiba di depan Harry untuk menghormati tuannya itu.
Setelah sarapan, Harry
menuju perapian untuk pergi ke The Burrows menggunakan jaringan flo. Diapun
berpesan pada Kreacher untuk tidak perlu menyiapkan makan siang karena pasti
dia akan pergi sampai malam. Selesai dengan pesannya, Harry mengambil segenggam
bubuk flo yang diulurkan Kreacher padanya dan menghilang dalam kilatan cahaya
hijau setelah dengan lantang menyerukan 'The Burrows'.
Muncul di perapian
ruang keluarga Weasley, Harry langsung disambut dengan pelukan hangat Mr. Dan
Mrs. Weasley, ya, Arthur dan Molly. Sepertinya kedua calon mertuanya itu memang
telah menunggunya. Tidak seperti dulu, The Burrows terkesan tenang bahkan
cenderung sepi. Jelas saja, mereka hanya tinggal bertiga dengan Ginny sekarang.
Weasley brother sudah memiliki kehidupan masing-masing di luar The Burrows. Charlie,
Billy juga Percy sudah tinggal bersama keluarga baru mereka. George? Ya,
sepeninggal Fred dia lebih sering menghabiskan waktu di tokonya yang makin hari
makin ramai saja, Weasleys Wizard Wheezes. Dan Ron, hhmm, dia bahkan sudah
memiliki sebuah flat di kota yang akan ditinggalinya bersama Hermione setelah
mereka menikah nanti, ya, meski sekarang mereka juga sudah seringkali tinggal
bersama jika jadwal libur mereka kebetulan sama atau lebih tepatnya disamakan.
"Senang melihatmu,
son. Bagaimana kabarmu?" Molly langsung menyediakan minuman dan cookies
coklat kesukaan Harry di meja, dengan sebuah lambaian tangan semuanya tersedia
hanya dalam sebuah kedipan mata.
"Baik Mom. Dimana
Ginny?" Tanya Harry yang langsung meneguk minumannya. Sejak bertunangan
dengan Ginny dia memang sudah membiasakan diri untuk memanggil calon mertuanya
dengan sebutan Mommy n Daddy.
"Kau tahu kalau
seorang gadis sedang berdandan kan, Harry? Mungkin cermin itu akan mengeluh
kalau saja mereka bisa bicara." Jawab Arthur disambut tawa renyah Harry.
"Itulah gadis
jaman sekarang. Pergilah ke atas Harry, sebelum cermin di kamarnya benar-benar
berteriak." Kata Molly yang setuju dengan perkataan suaminya dan hanya
bisa menggeleng geli mengingat putri tunggalnya itu belum keluar sejak pagi
bahkan melewatkan waktu sarapannya.
"Baiklah Mom, Dad,
aku akan ke atas untuk menyelamatkan kacanya dari kehancuran."
Suara tawa Arthur dan Molly masih terdengar ketika Harry menaiki tangga menuju
kamar tunangannya.
"Kau sudah cantik
Ginny."
Ginny terkejut begitu
melihat pantulan Harry di cermin. Kekasihnya itu sudah berdiri di ambang pintu
kamar.
"Hei, tidak sopan
masuk ke kamar seorang gadis tanpa ijin," Ginny berbalik dan berjalan
menghampiri tunangannya. Memberikan sebuah kecupan singkat di bibir dan
mengulas sebuah senyum manis sebagai ucapan selamat datang.
"Salahkan Mom dan
Dad kalau begitu. Mereka terlalu khawatir kau menyiksa cermin di kamarmu dan
memintaku menyelamatkannya," Harry melingkarkan tangannya di pinggul Ginny
dan membuat kekasihnya itu merapat. Dengan lembut dia juga memberikan sebuah
kecupan di bibir Ginny, hanya saja tidak singkat, sedikit lama dan, hhmm,
dalam, "Miss you, honey," bisik Harry setelah
melepaskan bibir merah muda kekasihnya.
"Miss you too, my hero." Semburat di
wajah Ginny hampir sewarna dengan rambutnya.
"Sebaiknya kita
pergi sekarang sebelum kita menghabiskan hari ini dengan agenda lain diluar
rencana kita." Ginny melepaskan diri dari lengan Harry.
Harry memberikan senyum
lebar seraya menggelengkan kepalanya. "Tidak pernah ku pikirkan agenda itu
di sini, honey. Grimmauld Place masih
merupakan pilihan, setidaknya Kreacher tidak akan menggedor pintu
kamarku."
Ginny tertawa mendengar
gurauan kekasihnya. Siapa sangka kalau Harry Potter Sang Pahlawan Dunia Sihir
itu adalah seorang perayu. Tapi Ginny tidak pernah keberatan dengan itu karena
dia tahu Harry hanya merayunya meski banyak sekali wanita di luar sana yang
bahkan rela memberikan apa saja untuk bisa mendapatkan hati Harry. Dia merasa
sangat beruntung untuk hal yang satu ini. Pahlawan, Anggota elite pasukan Auror
dan yang terpenting adalah...miliknya. Tidak ada satu alasan pun untuk
menggerutu.
Dengan raut wajah
bahagia, Harry dan Ginny, pergi meninggalkan The Burrows dan pergi ke Diagon
Alley untuk menghabiskan waktu bersama.
***
Harry dan Ginny sedang
makan siang di salah satu restoran di Diagon Alley setelah puas berjalan-jalan.
Hari itu Harry menyenangkan Ginny dengan membelikan beberapa hadiah. Mereka
memang jarang menghabiskan waktu seperti ini, mengingat keduanya sama-sama
sibuk.
"Hai Harry,
Ginny."
Sebuah sapaan membuat
Harry dan Ginny menoleh bersamaan. Seorang pemuda berambut pirang dengan
tatanan rapi dan gaya busana formal berdiri di sebelah meja bersama seorang
gadis cantik yang tengah bergelayut manja di lengannya.
"Draco,
Astoria," Harry terlihat begitu senang bertemu 'mantan rivalnya' bersama
tunangannya.
Tiga tahun lalu pemandangan seperti ini pasti akan terlihat sangat
aneh tapi tidak bagi Harry sekarang. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana saat
semua keluarga Malfoy, Lucius, Narcissa juga Draco, yang memeluknya usai sidang
Wizengamot. Mereka meminta maaf dan berterima kasih karena Harry telah membantu
dengan memberi kesaksian kalau Draco dan Narcissa pernah menyelamatkannya.
Alhasil
keluarga Malfoy tidak harus dikirim ke Azkaban melainkan menjadi tahanan kota
selama dua tahun. Sekarang hukuman itu telah berakhir dan semua sudah kembali
seperti semula. Bahkan hubungan Harry dan Lucius juga Narcissa terjalin dengan
baik. Lucius yang juga adalah teman Severus juga sering berkunjung ke St Mungo
dan bertemu dengan Harry.
"Menghabiskan
liburan?" Tanya Draco setelah ritual saling sapa dengan pelukan singkat.
"Begitulah,
bergabunglah dengan kami." Harry menawarkan.
"Ah tidak Harry,
kami tidak akan mengganggu kalian. Kami hanya datang untuk menyapa." Jawab
Astoria sungkan.
"Apanya yang
mengganggu Astoria? Duduklah, kami justru senang kalau semakin ramai."
Jawab Ginny.
"Benar kami tidak akan
mengganggu?" Draco mengkungkan alis menatap kedua sahabatnya.
"Tentu saja. Kami
tidak akan duduk di sini kalau benar-benar tidak ingin di ganggu. Kau lupa
siapa aku, huh?" Komentar Harry kemudian.
Semuanya langsung
tertawa.
"Ya, kau selebitis
sepanjang jaman," celetuk Draco seraya menarik kursi untuk kekasihnya.
Tak lama merekapun
larut dalam obrolan yang menyenangkan sambil menikmati makan siang.
"Oh ya, Harry,
bagaimana kabar Severus?" Tanya Draco di sela obrolan mereka.
"Belum banyak
perkembangan. Bulan lalu aku bertemu dengan uncle Lucius saat
menemaninya," jawab Harry.
"Ya, dad
menceritakannya padaku." Draco melihat ada kilat kesedihan di mata Harry,
"Ngg, Harry-,"
"Ya?" Harry
menatap Draco penuh tanya karena tiba-tiba berhenti bicara.
Ginny dan Astoria pun
jadi ikut mengalihkan perhatiannya pada Draco dan menghentikan obrolan mereka
tentang fashion terbaru musim panas. Menyadari kalau semua penasaran, Draco pun
melanjutkan pertanyaannya, "Hhmm, maaf, ini soal biaya rumah sakit
Severus, dia-,"
"Sudah ku katakan
berulang kali padamu dan uncle Lucius. Tidak usah bicarakan masalah itu."
Harry langsung menyela dengan cepat ucapan Draco.
"Tapi dia ayah
baptisku."
"Aku tahu. Dan
sekarangpun aku sudah menganggapnya ayahku."
Draco menghela napas
panjang. Ya, bukan sekali ini saja keduanya berselisih paham soal biaya rumah
sakit Severus yang ditanggung oleh Harry. Jelas bukan biaya yang murah
mengingat Severus di rawat di St. Mungo dengan fasilitas kelas satu dan
perawatan khusus. Memang kementrian membantu masalah itu tapi tetap saja
sebagian besar biaya tetap Harry yang menanggungnya.
Harry tidak peduli
kalaupun biaya pengobatan untuk Severus akan menghabiskan seluruh emasnya di Gringots,
meski itu tidak mungkin. Karena dengan status Pahlawan, Orde of Merlin kelas
satu, kementrian bahkan memberinya penghargaan berupa harta yang tidak akan
pernah habis di pakainya dan tersimpan rapi di dalam brangkas Gringots-nya yang
sudah diperbesar tiga kali lipat dari ukuran aslinya. Bagi Harry sekarang, yang
terpenting adalah melihat 'daddy' nya bangun dan memberinya kesempatan kedua
untuk memperbaiki segalanya.
Sadar sepenuhnya kalau
Harry tak lagi bisa di debat, Draco pun memutuskan untuk tidak membahas hal itu
lagi.
"Dia pasti bahagia
kalau tahu kau begitu menyayanginya alih-alih membencinya." Kata Draco
kemudian.
"Semoga. Lagipula
sekarang aku tidak punya alasan untuk membencinya." Jawab Harry.
Draco hanya tersenyum
dan percakapan mereka kembali menyenangkan setelah Ginny meminta Astoria
menceritakan persiapan pernikahannya bulan depan.
Plop!
Harry terkejut dan
hampir saja tersedak minumannya saat Kreacher tiba-tiba muncul di sebelahnya.
Hal yang sama juga terjadi pada semua yang duduk semeja dengannya.
"Maaf mengejutkan
anda, Mr. Harry Potter, Sir. Ada surat penting datang ke Grimmauld Place dari
St. Mungo yang harus segera di sampaikan untuk anda, Sir." Kreacher
langsung mengulurkan sebuah amplop sebelum Harry sempat bertanya apa-apa.
Mendengar kata St.
Mungo, Harry segera membuka amplop berwarna biru muda yang diberikan padanya.
Seketika jantungnya terasa tenggelam begitu membaca pesan singkat yang tertulis
pada secarik perkarmen dengan tanda tangan Madam Miller.
"Honey? Ada
apa?" Ginny tampak cemas melihat reaksi Harry yang mendadak berubah pucat.
"Terima kasih, Kreacher.
Kembalilah ke Grimmauld Place. Ginny, kita ke St. Mungo sekarang!"
Tak menjelaskan apapun pada tatapan bingung Ginny, Draco juga Astoria, Harry
segera meraih tangan Ginny dan membawanya keluar.
"Maaf Draco, kami
harus pergi. Tolong kau urus tagihannya." Kata Harry sambil berlari dengan
wajah panik.
Kreacher yang sudah
pergi juga membuat Draco tidak bisa bertanya apa-apa. Dia dan Astoria hanya
bisa memandang Harry dan Ginny yang menghilang di balik pintu dan yang dia duga
segera -berapparate- ke St. Mungo.
Pasti
terjadi sesuatu pada Severus.
Segera membereskan
masalah tagihan makan mereka, Draco juga segera mengajak Astoria untuk segera
-berapparate- menyusul sahabatnya ke St. Mungo.
***
Jantungnya
tiba-tiba berhenti berdetak.
Kalimat itu terngiang
terus di telinga Harry sejak satu jam yang lalu. Dalam suratnya Madam Miller
menyatakan kondisi Severus kritis dan meminta Harry segera datang. Begitu dalam
hitungan menit dia sampai di St. Mungo kalimat tidak mengenakkan itulah yang meluncur
dari bibir sang healer.
Sekarang mau tak mau
Harry hanya bisa menunggu di depan kamar Severus. Gelisah. Takut.
Ginny sejak tadi mencoba menenangkan kekasihnya tapi sepertinya itu sia-sia.
Bahkan Hermione dan Ron, yang datang karena informasi dari Draco hanya bisa
menatap Harry dalam diam. Di sudut lain berdiri Astroria dan Draco lengkap
dengan kedua orang tuanya. Semua orang menampakkan ekspresi yang seragam.
Cemas. Satu jam yang mereka lalui sungguh terasa begitu menyiksa, terlebih
melihat Harry yang tampak begitu shock dengan kejadian tak terduga ini.
Entah bagaimana semua
orang itu bisa mengurangi beban di hati Harry. Dia menyayangi orang yang dulu
sangat di bencinya. Rasa bersalah dalam diri Harry, membuatnya tidak bisa
menerima keadaan ini begitu saja. Tentunya dia ingin Severus selamat untuk bisa
meluruskan segala sesuatu yang terlanjur rumit diantara mereka. Sang Malaikat
Penjaga yang bahkan sudah diakuinya sebagai ayah itu sekarang sudah memiliki
tempat istimewa dan bertahta tinggi di hati Harry. Dengan semua itu bagaimana
mungkin dia bisa menerima kalau semuanya akan berakhir pahit seperti ini.
"Mom, jangan bawa
dia pergi." Tanpa sadar Harry melirih bersamaan dengan setetes kristal
bening yang lolos dari sudut matanya. Tanda bahwa dia sudah tidak berdaya dan
tidak pernah rela dengan apa yang terjadi di depan matanya. Kembali, semua hanya
bisa menatap dalam diam.
***
Pintu kamar Severus
terbuka. Harry langsung berdiri dan menghampiri Madam Miller bersama dua
rekannya yang Harry sedang tidak ingin tahu namanya. Yang dia perlukan saat ini
adalah kejelasan tentang kondisi Severus, Malaikat Penjaganya, Ayahnya.
"Bagaima-,"
"Tenang
Harry." Madam Miller langsung menepuk bahu Harry, menenangkan pemuda itu
bahkan sebelum dia selesai mengucapkan kata pertamanya.
Tidak hanya Harry,
semua yang menunggu di depan kamar Severus juga memberikan tatapan penuh tanya
pada healer wanita paruh baya yang sekarang tampak cukup kelelahan setelah dua
jam mengerahkan usaha terbaiknya untuk menyelamatkan sang pahlawan.
"Dia sudah bangun
Harry,"
"Di,
dia...bangun?" Harry tidak percaya dengan apa yang di dengarnya.
Madam Miller memberikan
Harry sebuah anggukan. Desahan napas lega terdengar serentak dari semua orang
yang sejak tadi hampir mati tercekik kecemasan. Narsisca bahkan langsung
menangis dan memeluk suaminya, begitu juga Hermione yang langsung berpelukan
dengan Ginny.
"Boleh aku
melihatnya?" Jantung Harry berdegub kencang begitu membayangkan bisa
melihat lagi sang Malaikat penjaganya.
Mendadak raut wajah Madam
Miller berubah sendu, kedua rekannya membisikkan sesuatu lalu mereka
menghampiri keluarga Malfoy. Madam Miller menarik tangan Harry dan memintanya
duduk di bangku panjang koridor sementara dua rekannya kembali masuk ke dalam
kamar bersama dengan keluarga Malfoy, Lucius, Narsisca dan Draco. Ketiganya
sempat melempar pandang pada Harry tapi kemudian berlalu tanpa kata dan
menghilang di balik pintu yang tertutup. Astoria masih bergeming, sepertinya
dia juga tidak diijinkan masuk. Jelas hal itu membuat semua orang bertanya-tanya.
Terlebih lagi Harry. Sekarang mata hijau pemuda itu menatap tajam Madam Miller,
menuntut penjelasan.
"Profesor Snape
hanya ingin bertemu dengan keluarga Malfoy, Harry." Jelasnya kemudian.
Harry terhenyak. Ginny
yang kini duduk di sebelahnya hanya bisa menggenggam tangan Harry yang sekarang
masih tampak kebingungan. Rasa sakit dan pikiran buruk berkelebat di dalam
kepalanya.
"Ya aku
mengerti." Kata Harry kemudian seraya menundukkan kepala. Dia mencoba
memahami apa yang terjadi. Terlalu naif jika dia berharap Severus akan langsung
menanyakan dirinya begitu bangun dari tidur panjangnya. "Tapi dia
baik-baik saja kan?" Harry kembali menatap Madam Miller dan terlihat jelas
gurat luka di bola mata hijaunya.
"Ya, dia baik-baik saja. Rasanya tadi hampir mustahil dia bisa bangun
setelah jantungnya berhenti dan dia sama sekali tidak merespon mantra
penyembuhan yang diarahkan padanya. Sebuah keajaiban saat detak jantungnya
kemudian kembali dan tubuhnya merespon dengan baik semua usaha kami, bahkan
tubuhnya langsung bisa menerima ramuan yang kami berikan. Aku berani pastikan
kalau kondisinya baik sekarang." Jelas Madam Miller.
Harry mengangguk dalam
diam. Kelegaan menyusup di tengah keresahannya. Setidaknya Severus sudah bangun,
itu sudah cukup baginya.
"Jangan bersedih
seperti itu Harry. Dia hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri setelah tidur
panjangnya. Setelah dia siap, dia pasti akan menemuimu." Madam Miller
berusaha menghibur Harry yang jelas terlihat sedih.
Harry menggeleng,
"Tidak apa-apa Madam. Dia sudah bangun dan baik-baik saja, itu sudah
membuatku merasa lega. Lagipula mengingat hubungan kami dulu kurasa-,"
"Harry,"
Hermione mencoba memotong perkataan Harry tapi Madam Miller segera mengangkat
tangannya dan dengan sopan meminta gadis itu untuk diam.
"Kau salah
Harry." Kata Madam Miller kemudian.
Harry kembali menatap
sang healer dan kali ini keningnya berkerut.
"Entah dia
menyadarinya atau tidak, tapi ketika sadar tadi hal pertama yang diucapkannya
adalah namamu."
Harry tertegun
mendengar penuturan sang healer yang kini kembali beranjak dan masuk ke kamar
Severus dengan sebelumnya sekali lagi memberikan sebuah usapan lembut di bahu
Harry, menguatkannya. Tiga tahun melihat Harry membuat Madam Miller tahu
sedalam apa perasaan pemuda itu pada Severus.
Hermione langsung duduk
menggantikan tempat Madam Miller di sebelah Harry sementara Ginny masih
menggenggam tangan Harry di sisi lainnya, Ron berdiri di depannya dengan
tatapan sendu. Hanya Astroria yang masih bergeming di tempatnya, tahu itu bukan
bagiannya.
"Aku senang
akhirnya dia bangun," kata Harry pada semua orang di sekelilingnya.
"Percayalah kami juga
senang mendengarnya, mate."
Harry tersenyum lebar
saat mengangkat wajahnya dan melihat Ron yang juga tengah tersenyum padanya.
Siapa sangka kalau kalimat itu terlontar dari bibir seorang Ron Weasley.
"Terima kasih
Ron," ucap Harry penuh haru.
***
Seorang wanita cantik
berambut merah gelap tengah duduk di bawah pohon beech, bersandar dengan mata
terpejam. Dia tidak sedang tidur karena bibirnya yang merah muda melantunkan
bait indah berupa lagu. Sementara itu di sebelahnya duduk seorang pria dengan
rambut hitam sekelam malam, matanya berbinar terang membaca buku yang terbuka
di pangkuannya. Keduanya menikmati ketenangan yang luar biasa damai itu tanpa
kata. Hanya gemericik air yang menjadi pengiring untuk setiap bait syahdu yang
terdengar semakin merdu.
Entah sudah berapa lama
mereka tenggelam dalam lambatnya waktu yang berputar. Kelihatannya tidak
satupun dari keduanya berniat mengakhiri ketenangan itu. Mereka jelas menikmati
kedamaian yang mereka rasa. Sampai akhirnya sebuah bisikan menyapa dan sang
wanita membuka mata seraya menyunggingkan senyumnya.
Mom,
jangan bawa dia pergi.
Mendengar sang wanita
berhenti bernyanyi, sang priapun menghentikan keasikan membacanya dan ketika
dia menoleh, seulas senyum manis menyapanya.
"Dia memanggilmu,
lagi." Kata sang wanita lirih.
Sang pria terdiam, mata
kristal hitamnya menatap kilau hijau dihadapannya dengan pandangan penuh tanya.
"Kau harus
kembali, Sev," kata sang wanita lagi menjawab pertanyaan tanpa kata yang
tersirat dari kedua mata hitam di hadapannya.
"Apakah aku layak
Lily?" Kali ini sebuah pertanyaan terucap dari sang pria.
Keheningan kembali
menjadi jeda bagi keduanya. Severus dan Lily terdiam. Ya, pria dan wanita itu
adalah Severus Snape dan Lily Evans, lebih tepatnya Lily Evans-Potter.
Mimpikah? Melihat keduanya duduk bersama di tempat mereka dulu biasa menghabiskan
waktu berdua semasa kecil.
"Sudah waktunya kau
kembali Sev." Lirih Lily kemudian.
"Tapi aku masih
ingin di sini, bersamamu." sekali lagi kristal hitam Severus menatap ke
dalam mata hijau indah milik wanita pujaannya, menyangkal sirat penolakan
disana.
Lily menggeleng,
"Aku disini hanya sampai kau siap untuk kembali Sev. Masih banyak yang
mengharapkanmu, bahkan sekarang dia membutuhkanmu."
"Aku sudah menyakitinya
Lily," jawab Severus.
"Tidak. Dia sudah
mengerti dan sekarang dia membutuhkanmu. Dialah yang paling terluka dengan
selesainya perang ini. Tidak ada lagi yang hidup untuk bisa memberinya
kekuatan. Hanya kau Sev. Sekarang hanya kau yang bisa memberinya kekuatan.
Kalau sampai kau juga pergi maka itu akan menghancurkannya. Aku yang akan
terluka Sev."
"Tidak, Lily,
tidak, aku tidak akan biarkan kau terluka." Segera Severus meraih tangan
Lily dan mengenggamnya.
"Tidak hanya
aku?" Lily memiringkan kepalanya menatap Severus dalam.
"Ya, ya, dia juga.
Aku tidak ingin dia terluka." Jawab Severus cepat.
"Kau menyayanginya
kan? Putraku?" Lirih Lily kemudian.
Sejenak Severus
terdiam, genggamannya mengerat di jemari Lily.
"Sev?"
"Ya Lily, aku
menyayanginya, sejak pertama dan selalu."
Lily tersenyum hangat
menatap sahabat baiknya.
"Kau sahabat
terbaikku Sev. Aku tidak pernah menyesali pertemuan pertama kita dulu,
disini."
Sudut bibir Severus
tertarik menyerupai senyum. Dulu, ya dulu dia pasti sakit mendengar perkataan
Lily tapi sekarang hal itu tidak masalah baginya. Memang sudah seharusnya
seperti itu. Sahabat. Setidaknya setelah sekian lama dia telah menunjukkan pada
Lily-nya kalau dirinya memanglah sahabat terbaik. Biarlah cintanya tetap
bertahta dalam hati saja, jikalau dengan menjadi seorang sahabat bisa membuat
seorang Lily bahagia maka dia tidak pernah keberatan.
"Waktumu sudah
tiba Sev. Aku titipkan dia padamu. Maukah kau menjaganya untukku? Sekali
lagi."
Dengan berat hati
Severus melepas jemari Lily dari genggamannya. "Ya." Lirih
Severus.
Sebuah pelukan
mendamaikan hati Severus sebelum akhirnya wanita itu berdiri dan berjalan
menjauh darinya. Seorang pria yang entah dari mana sudah menunggunya di
seberang sungai. Lily berhenti tepat di tepi sungai, matanya kembali menatap
sahabat terbaiknya.
Tanpa kata Severus
melambaikan tangannya dan seketika sebuah jembatan kayu putih berhiaskan
rangkaian bunga lili terbentang dari tempatnya berdiri hingga ke seberang
sungai di mana James, suaminya, sudah menunggu. Lily menyeberangi jembatan
menuju ke tempat dimana seharusnya dia berada. Sepasang suami istri itu
sekarang menatap penuh hormat pada Severus yang berdiri di sisi lain sungai.
"Terima kasih
Snape." Kalimat itu terucap dari bibir James dan hanya berbalaskan sebuah
anggukan dari Severus. Tidak ada lagi benci dalam hati Severus untuk orang yang
dulu telah menorehkan luka dalam di hatinya.
Sekali lagi Lily mengembangkan
senyumnya untuk sahabat terbaiknya dan untuk pertama kali dalam hidupnya,
Severus, tersenyum.
"Terima kasih
sudah mencintaiku sedalam ini." Kalimat itu terucap tepat sebelum Lily
menghilang di balik cahaya putih berkilauan.
Tempat itu kembali hening.
Tenang. Hanya gemericik air dan hembusan angin menjadi musik pengiring dalam
hymne damai.
"Always Lily,
always."
***
"Harry,
masuklah."
Harry yang masih duduk
dengan dikelilingi para sahabatnya tampak terkejut ketika Draco memanggilnya.
Matanya kemudian beralih memandang Lucius dan Narcissa, keduanya mengangguk.
“Dia ingin bertemu
denganmu.” Lucius menambahkan.
Harry menatap Ginny
yang kemudian melepaskan genggaman tangannya. Hermione pun hanya tersenyum
seraya menganggukkan kepalanya. Memantapkan langkah kakinya, Harry masuk ke
dalam kamar. Banyak hal berkecamuk di dalam pikirannya.
Apa
yang harus aku katakan?
Jantung Harry hampir
tenggelam begitu pintu di belakangnya tertutup.
"Er, se, senang
melihat anda kembali Sir," Harry gagal menyembunyikan kegugupannya.
"Duduklah,"
jawab Severus datar, sedatar ekpresinya yang meminta Harry duduk di kursi kayu
di sebelah tempat tidurnya.
Tanpa kata, Harry hanya
mengangguk dan melakukan perintah Severus. Meski dalam hati Harry begitu heran
melihat Severus yang baru sadar setelah koma selama tiga tahun sudah bisa duduk
dengan tegak sempurna bersandar pada kepala tempat tidur, tapi sekuat tenaga
dia menahan dirinya untuk tidak bertanya. Keduanya terdiam. Harry bahkan hanya
bisa menunduk dan menatap jari-jarinya yang bertaut gelisah, menghindari mata
hitam Severus yang dia yakin tengah menatapnya lekat sekarang.
“Kemana suaramu?
Biasanya kau berisik dan tidak berhenti menggangguku.”
Kalimat bernada datar
itu otomatis menyentakkan Harry. Segera kepalanya terangkat dan mata hijaunya
menatap penuh heran pada Severus, daddy-nya, yang sekarang entah kenapa dia tidak
berani memanggilnya seperti itu.
“Anda-?” Kalimat Harry
kembali tercekat di tenggorokannya. Apakah
dia mendengarku selama ini? Beragam pikiran kembali berkecamuk di dalam
kepalanya sekarang.
“Kenapa kau melarangku
pergi?”
Lagi-lagi Harry hanya
bisa membisu ketika Severus bicara. Kali ini pria itu melemparkan pandangannya
ke luar jendela yang menampakkan cahaya senja yang berpendar oranye.
“Anda mendengar…saya…?”
tanya Harry yang akhirnya berani bertanya meski ragu.
Severus kembali
memandang Harry. Tidak ada ekspresi yang bisa terbaca di wajahnya, datar. Mata
hitam Severus beradu pandang dengan mata hijau Harry.
“Kau tidak menjawab pertanyaanku,”
kata Severus kemudian, mengabaikan keheranan Harry.
“Anda ingin…,” Harry
menelan ludahnya perlahan, pahit, “pergi?” Perih. Entah kenapa hatinya terasa
perih saat mengatakan hal itu. Harry sama sekali tidak ingin kehilangan
satu-satunya father figure terakhir
yang dia miliki. Egoiskah? Sementara Severus justru ingin segera pergi ke alam
damainya.
“Tidak ada alasan
bagiku untuk tinggal.” Jawab Severus datar.
Harry terdiam.
Benarkah? Tidak ada alasan? Tidak bisakah dirinya menjadi alasan?
“Saya…,” Harry kembali
terdiam. Seribu pertanyaan memenuhi kepalanya tapi tak satupun bisa
dikeluarkannya. Kepalanya kembali tertunduk.
“Kau ingin menjadi
alasan agar aku tetap tinggal?”
Harry menautkan jemarinya
kuat, menahan gejolak emosi yang dia sendiri tidak tahu bagaimana mengungkapkan
dan melampiaskannya. Aneh. Dia tidak pernah membayangkan sebuah percakapan
tentang kematian bisa berlangsung seperti ini. Harry memberanikan dirinya untuk
sekali lagi menatap mata hitam Severus. Dia tertegun, berbanding terbalik
dengan kelimat dingin yang dilontarkan Severus, mata hitam itu sekarang justru
memancarkan sebuah kehangatan yang…dia rindukan.
“Ya,” jawab Harry tanpa
ragu.
Severus terpaku pada
keteguhan pemuda dihadapannya.
“Sir…,” akhirnya Harry mencoba untuk mengutarakan
apa yang dirasakannya. Terlepas apakah Severus memang mendengar semua yang pernah
dia katakan selama ini atau tidak, Harry hanya ingin memastikan bahwa malaikat
penjaganya ini tahu betapa berartinya dia bagi Harry sekarang. Severus hanya
diam memandang Harry yang sekarang terlihat lebih tenang.
“Saya minta maaf atas
semua kelancangan yang pernah saya lakukan, sungguh saya menyesal. Saya tahu,
apapun yang saya lakukan sekarang tidak akan bisa membalas semua kebaikan yang
anda lakukan untuk saya tapi-,” Harry menghela napas perlahan, “ijinkan saya
untuk bisa sedikit membalasnya. Melakukan sesuatu untuk anda, menebus semua
kesalahan saya. Ijinkan saya,” pintanya.
“Harry,”
Mendadak kehangatan
menjalari hati Harry. Ini pertama kalinya dia mendengar Severus memanggil
namanya.
“Apa aku sebaik itu
dimatamu? Aku yang menyebabkan kedua orang tuamu terbunuh.”
“Tapi anda yang
melindungi saya sampai saat ini-,” potong Harry cepat, “tanpa saya tahu.”
“Sudah seharusnya.”
Severus masih menatap Harry, seolah berusaha meyakinkan pemuda itu bahwa yang
dilakukannya bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
Harry memutar otaknya,
“Kalau begitu ijinkan saya juga melakukan sesuatu yang seharusnya saya lakukan
untuk anda.”
"Kau tidak punya
keharusan apapun." Severus masih berkeras dengan pendiriannya.
"Tidak Profesor,
saya-,"
"Harry,"
potong Severus.
Harry terdiam.
"Apa kau ingin aku
tinggal hanya agar kau bisa menebus semua yang sudah terjadi? Membebaskanmu
dari rasa bersalah karena tidak pernah tahu kebenarannya?" Sebenarnya
Severus tahu apa yang diinginkan Harry darinya, semua cerita Harry terekam
sempurna di dalam kepalanya. Hanya saja Severus masih belum siap menerima rasa
sayang Harry untuknya. Sudah terlalu lama dirinya hidup dalam selubung
kebencian dan kehangatan sebuah cinta adalah hal aneh baginya. Dia memang sudah
berjanji pada Lily untuk tetap melindungi Harry tapi Severus yakin dia bisa
melakukannya dengan caranya sendiri. Sama seperti sebelumnya.
Kening pemuda bermata
hijau itu berkerut dalam ketika mencoba mencerna perkataan Severus. Apakah
begitu? Apa dia menginginkan Severus hanya karena dia tidak ingin tersiksa oleh
rasa bersalah? Tanpa sadar Harry menggeleng keras. Tidak! Dia yakin tidak.
Hatinya benar-benar sudah merasa sayang pada malaikat penjaganya itu.
"Tidak."
Tegas Harry kemudian.
"Tidak?"
Severus mempertanyakan jawaban Harry.
"Saya ingin anda
tinggal bukan hanya karena saya ingin menebus semua rasa bersalah saya tapi karena
saya...menyayangi anda."
Giliran Severus yang
diam seribu bahasa. Dia bisa melihat kesungguhan yang terpancar di mata hijau
yang sekarang tengah menatapnya lurus, menuntut sebuah jawaban. Sebenarnya
tanpa Harry mengatakannya Severus juga tahu betapa pemuda di hadapannya
sekarang ini begitu menyayanginya. Kalau saja Severus mau jujur, dia juga
merasakan hal yang sama.
Harry menghela napas
perlahan, mengumpulkan keberaniannya sekali lagi. Dia sungguh tidak ingin
kehilangan Severus. Sudah terlalu banyak rasa sakit yang dirasakannya akibat
kehilangan begitu banyak orang yang dikasihinya dan Harry sama sekali tidak
ingin merasakannya lagi.
"Dad," lirih
Harry, matanya masih terpaku pada sepasang manik hitam di hadapannya yang memandangnya
tanpa ekspresi. Harry memberanikan diri meraih tangan Severus dan
menggenggamnya.
"Dad,"
ulangnya dengan suara yang lebih keras, "ijinkan aku menyayangimu. Ijinkan
aku menjadi putramu."
Severus menghela napas
panjang, kali ini dia merasa kalah. Dia merasa tidak bisa menolak apa yang
menjadi permintaan Harry yang sebenarnya juga menjadi keinginannya, jauh di
dasar hatinya. Setahun belakangan ini dia mendengar Harry memanggilnya Daddy
dan dia sama sekali tidak bisa menolak rasa sayang yang semakin tumbuh
dihatinya untuk Harry. Sekuat apapun dia berusaha menutupinya hal itu sia-sia,
apalagi untuk menghilangkannya, itu lebih menyakitkan lagi baginya.
Lalu,
apakah sekarang dia harus menerima ini semua? Memulai segalanya dari awal lagi?
Mulai hidupnya yang baru bersama Harry? Sebuah helaan napas kembali terdengar
lirih, Severus menyerah.
Sumpah demi apapun di dunia
ini, Harry baru saja melihat senyum tipis di bibir Severus. Dia bahkan
mengedipkan matanya beberapa kali untuk memastikan bahwa apa yang dilihatnya
bukanlah mimpi.
Severus menarik
tangannya dari genggaman tangan Harry lalu merentangkan keduanya, membuat Harry
membelalak tak percaya.
"Aku harap kau
tidak akan menyesali keputusanmu, Son, aku bukan ayah yang lembut." Kata
Severus.
Tidak membuang waktu
lagi, Harry segera menjatuhkan dirinya dalam pelukan Severus, takut daddynya
itu akan berubah pikiran.
"Tidak, tidak, aku
tidak akan menyesali semuanya. Terima kasih, Dad," Harry melampiaskan
semuanya di dada bidang ayahnya yang sekarang mendekapnya erat, memberinya
kehangatan nyata yang selama ini diimpikan Harry.
"Terima kasih juga
mau menerimaku, son," bisik Severus seraya mengusap lembut punggung
putranya yang bergetar.
***
"Jadi Dad
mendengar semua yang aku ceritakan selama ini?" Harry masih tidak percaya
dengan apa yang didengarnya setelah Severus menceritakan semua kisah tidur
panjangnya.
Semua orang sudah
pulang setelah tahu Severus baik-baik saja. Mereka terlihat lega meski Ron
masih terlihat canggung ketika menyapa Severus tapi Hermione justru sempat
menangis mendengar 'sang profesor' membalas sapaannya. Harry bersikeras untuk
tetap menemani daddy nya dan tidak mau pulang. Severus menyerah untuk berdebat
dengan pemuda yang sekarang sudah dipanggilnya anak itu dan alih-alih
mengusirnya, dia justru menceritakan semua kisahnya pada Harry.
"Ya." Jawab
Severus singkat yang masih duduk bersandar pada kepala tempat tidurnya dengan
tangan menggenggam secangkir teh hangat yang sudah dicampur dengan ramuan
'entah apa' yang diberikan oleh Madam Miller. Katanya itu untuk memulihkan
tenaga Severus, meski Harry tak yakin apakah itu perlu karena ayahnya terlihat
begitu segar setelah bangun dari tidur panjangnya.
"Dan selama ini
Dad tetap diam dan tidak mau bangun?" Harry menggeleng tak percaya. Kesal,
tentu saja, tiga tahun bukan waktu yang singkat untuk menunggu.
"Sudah ku katakan
aku tidak menemukan alasan untuk tetap tinggal." Kilah Severus datar.
Harry mendengus,
"Dan lebih memiliki alasan untuk mendengarkan ocehanku bersama Mom di alam
yang tidak aku tahu." Gerutunya.
Sudut bibir Severus
tertarik, menyerupai sebuah senyum yang segera ditutupinya dengan meneguk teh
dari cangkir yang masih digenggamnya. Ya, tiga tahun masih terlalu singkat
karena dia melewatinya bersama Lily, meski hanya sebagai sahabat.
Dasar
Slytherin, dengus Harry dalam hatinya.
"Aku tahu apa yang
kau pikirkan, son." Tegur Severus ketika menatap mata hijau Harry.
Harry meringis lebar,
bagaimana dia bisa lupa kalau ayahnya ini adalah ahli Ligilimency. Mengingat
bahwa dirinya tak pernah sempurna dalam Oclumency maka tak heran kalau ayahnya
itu bisa membaca pikirannya dengan mudah.
"Ternyata menjadi
pahlawan dan Auror di pasukan elit kementrian tetap tak banyak merubah sifat
cerobohmu." Gerutu Severus.
Harry menggaruk
kepalanya yang tidak gatal, "Tidak separah dulu Dad, percayalah,"
katanya mencoba meyakinkan.
Severus hanya
menyeringai tipis menanggapi pembelaan diri Harry. Suasana hening sejenak.
Keduanya seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Hhmm, setelah
ini...apa Dad mau tinggal bersamaku?" Kata Harry memecah keheningan
diantara mereka.
Severus meletakkan
cangkir tehnya yang sudah kosong di meja sebelah tempat tidurnya lalu memandang
Harry.
"Grimmauld
Place?" Tanyanya.
Harry mengangguk.
"Tidak."
Jawab Severus tegas.
Harry melengkungkan alisnya
tinggi.
"Jangan
merendahkanku untuk tinggal di rumah si Padfoot itu. Kalau-kalau kau lupa, akan
ingatkan, aku masih punya rumah di Spinner End meski tidak semegah rumah
peninggalan Black."
Harry mendesah pelan,
ya, dia sudah menduga kalau Severus pasti akan menolaknya.
"Rumah itu bisa
kau tempati bersama Miss Weasley setelah kau menikah nanti." Lanjut
Severus.
Harry membelalakkan matanya karena terkejut. Setelah menikah? Berarti sebelum menikah....
"Aku boleh tinggal
bersama dengan Dad?"
"Spinner End kalau
kau mau. Tidak ada peri rumah dan yang lainnya."
Senyum lebar mengembang
di wajah Harry.
"Tentu saja aku
mau," jawab Harry bersemangat.
"Bagus kalau
begitu." Severus menggeser posisi duduknya dan mulai berbaring,
mengabaikan kegirangan Harry, "sebaiknya kau bujuk Miller untuk
memulangkanku besok atau aku akan berapparete ke Spinner End sebelum dia
memberiku teh rasa telur busuk lagi." Kata Severus sambil menutupi
tubuhnya sebatas dada dengan selimut dan bersiap memejamkan mata.
Harry tertawa kali ini,
tidak takut ayahnya itu akan memberinya detensi selain hanya pelototan mata
yang justru membuat Harry semakin tergelak.
"Good night, Dad,"
ucap Harry di sela tawanya.
"Good night,
Son."
***
Harry berjalan di
lorong St. Mungo menuju ruangan Madam Miller untuk memenuhi permintaan ayahnya.
Senyum lebar masih menghiasi wajah tampannya dan sejuta harapan memenuhi
hatinya. Besok, sebuah awal baru akan dimulai besok.
Terima
kasih Mom, kau sudah mengembalikannya padaku. Sekarang aku yang akan menjaganya.
Harry mempercepat
langkahnya, seolah tak sabar lagi untuk menyongsong matahari pagi, menuju awal
hidup barunya. Hidup bersama Severus, ayahnya.
***
-With Love from Agnes-
Tribute for Alan Rickman
14 Januari 2016 - 21 Februari 2016
Satu lagi untuk Daddy SevThanks for my beloved sister Shanty yang selalu ku repotkan hanya demi sebuah fanfic. Love u sister
Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina
1 Comments
waaaah...... seruuuu........ suka banget ceritanya mba
ReplyDelete