Bug!
Alex tersungkur ke lantai begitu tinju Christian menghantam wajahnya. Rose memekik dan langsung menutup mulutnya. Michael berdiri dengan wajah tegang dan sama sekali tidak menghentikan Christ. Ryan pun hanya bergeming di belakang bosnya. Sementara Amanda menenangkan Clara yang masih terisak di sofa.
"Ryan! Kerahkan semua anak buahmu. Temukan Maya!" Perintah Michael.
"Baik Tuan!" Ryan segera meninggalkan ruang keluarga dengan sebelumnya menarik Alex untuk berdiri dan membawanya pergi.
"BRENGSEK!" Christ merutuk keras.
"Maya tidak salah, ini masalah lama keluarga Anderson kenapa harus dia yang jadi korban." Kata Clara di tengah isakannya.
"Tenang Ma. Ryan pasti akan menemukan Maya." Amanda mencoba menenangkan.
"Maaf, kami lalai menjaga Nyonya Maya," kata Rose penuh penyesalan.
"Alex saja bisa dikelabui apalagi kau," dengus Christ.
"Christ." Michael memperingatkan putranya. Rose hanya tertunduk diam. "Pulanglah Rose, kau juga perlu menenangkan diri. Istirahatlah." Lanjut Michael.
Tidak berani membantah, Rose hanya diam dan mengangguk hormat sebelum pergi.
"Kapan pesawat Masumi mendarat?" Tanya Michael.
"Seharusnya tiga jam lagi." Jawab Christ datar.
Michael diam dengan kening berkerut dalam, membayangkan kepanikan Masumi kalau mendengar kabar ini. Sudah dua jam sejak Maya menghilang.
"Ayo Christ, Ryan pasti sudah menyusun rencana." Michael berjalan keluar.
"Michael," Clara melirih sedih.
"Tenang saja Clara. Aku akan membawa putri kecil kita kembali ke rumah ini. Dengan selamat." Tegasnya sambil lalu diikuti Christ.
Sementara itu di sudut lain kota New York, di sebuah rumah kecil di pinggir kota. Seorang pria tengah duduk termenung di sebuah kursi kayu tua mengamati wajah damai seorang wanita yang sedang terlelap di atas tempat tidur yang juga sama tuanya. David dan Maya.
"Aku tahu waktuku tidak banyak. Dengan kekuasaan yang mereka miliki, aku pasti akan habis saat mereka mendapatkanku tapi sebelum aku mati setidaknya aku ingin membalaskan dendam keluargaku." David meneguk brandy dari gelas kristal yang sejak tadi digenggamnya.
"Ugh!" Maya melenguh ketika matanya mengerjap, obat bius membuat kepalanya pusing. Mata Maya melebar saat melihat David duduk di ujung tempat tidur.
"Da, David?!" Maya bangun, memeluk dirinya sendiri dengan takut. Dia beringsut, melipat kakinya dan merapat pada kepala tempat tidur.
Seringai tipis menghiasi wajah David. Pria itu berdiri dari kursi tuanya dan berjalan menghampiri Maya.
"Maya Anderson Hayami. Nama yang indah, tapi sayang kau harus terima konsekuensi yang berat karena nama itu." David meneguk lagi minumannya dan meletakkan gelas kosongnya di atas nakas, di sebelah tempat tidur Maya. Bola mata Maya mengikuti setiap gerakan David dengan waspada.
"A, apa-apaan ini? Aku dimana?" Tanya Maya.
"Mau dengar sebuah cerita Maya?" Tanya David yang mengabaikan pertanyaan Maya. Dia masih berdiri di sebelah tidur.
"Cerita?" Maya menautkan kedua tangannya dengan gelisah di depan dada.
David berbalik, berjalan lagi ke ujung tempat tidur dan berhenti di depan sebuah lukisan keluarga besar yang tergantung di dinding.
"Dua puluh tahun yang lalu, ada sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan seorang anak laki-laki mereka yang berusia tujuh tahun. Mereka hidup bahagia sebagai keluarga pengusaha sukses. Sampai pada akhirnya perusahaan besar yang didirikan sang ayah mengalami kemunduran karena dampak keluarga konglomerat, dia kalah bersaing. Bisnis yang dibangun dengan susah payah hancur dalam sekejap di depan mata. Rumah besar, harta dan kemewahan semuanya hilang. Keluarga kecil itu pindah ke tempat ini. Rumah kecil di pinggir kota dengan perabot tua yang usang." David membalikkan tubuhnya, menatap Maya yang tampak ketakutan.
"Kau tahu Maya, karena depresi sang ayah menjadi hilang akal dan berniat mengirim semua keluarganya ke surga. Sang ibu meninggal karena minuman yang diberi racun dan sang ayah menggantung dirinya di lampu itu." David menunjuk sebuah lampu gantung baja di langit-langit kamar.
Jantung Maya berdegub kencang. Ketakutan merayapi setiap sel tubuhnya. Tangan Maya gemetar di bawah tatapan mata tajam David. Maya tahu apa yang diceritakan David adalah masa lalunya.
"Kenapa Maya? Apa kau ketakutan sekarang? Kau tahu apa hal paling menakutkan di dunia ini?" David kembali menunjukkan seringainya, "Melihat orang yang paling dicintai terluka dan disakiti bahkan meregang nyawa di depan mata. Itu adalah hal paling menakutkan Maya. Hari itu, aku melihat kedua orang tuaku meninggal di depan mataku. Semua orang bilang aku beruntung karena tidak mati meski sudah meminum racun tapi ku pikir itu tidak benar. Mungkin lebih baik aku mati saat itu daripada sekarang-," David melambaikan tangan pada dirinya sendiri. "aku hidup dengan racun di dalam tubuhku. Kepahitan dan kebencian pada orang yang membuat orang tuaku depresi. ACA grup milik Michael Anderson."
Maya terhenyak. "Papa?" Gumamnya tak percaya.
"Ya Maya, Papa angkatmu. Maaf melibatkanmu dalam dendam masa lalu tapi mengingat betapa berharganya kau bagi keluarga Anderson maka aku terpaksa menggunakanmu."
"A, apa yang akan kau lakukan padaku?" Tanya Maya tergagap, "A, apa, k, kau akan membunuhku?"
David tertawa, "Tidak Maya cantik, aku tidak akan membunuhmu. Setidaknya tidak sekarang, kau akan jadi umpan sempurna."
Mata Maya berkedip beberapa kali, menyingkirkan genangan air mata yang sekarang tumpah ke pipinya.
"Apa sekarang kau siap bermain Maya?" David tertawa.
***
Air mata Maya mengalir tanpa terbendung lagi. Maya berdiri di atas sebuah meja berkaki tiga yang bisa jatuh kapan saja jika dia tidak tepat berdiri di tengah dan mempertahankan keseimbangannya. Kedua tangannya diikat di belakang punggung dan sebuah tali yang tergantung pada lampu baja melingkar di lehernya.
David tersenyum dengan tatapan mata gelap tanpa belas kasihan, "Jadi ini wajah asli aktris kelas satu Maya Anderson Hayami? Aku beruntung sekali bisa melihatnya. Kau juga sama beruntungnya bisa melihat wajah asli aktor kelas satu David Weasley, ah salah, David Tunner, putra tunggal dari pendiri Tunner Globe."
"David...ku mohon, lepaskan aku," suara Maya bergetar parau karena isakannya. Dia bahkan tidak berani bergerak karena kalau sampai dia jatuh maka semuanya berakhir.
David tertawa, "Tidak Maya sayang. Peranmu belum selesai."
Membuka sebuah lemari, David mengambil kamera dan three pot lalu memasangnya tepat di depan Maya. Lampu merah kamera menyala dalam mode video, merekam sempurna ketakutan Maya dalam bingkai kaca.
"Kau memang cantik di layar kaca Maya," puji David. Dia berjalan menghampiri Maya, memutari meja dan menggoyangnya perlahan. Membuat Maya menjerit dihimpit ketakutannya, tali di leher Maya mengerat begitu kakinya mulai lemas. Sekuat tenaga Maya mempertahankan tubuhnya tetap tegak berdiri.
"David, ku mohon, lepaskan aku," Maya kewalahan dengan ketidak berdayaannya. Berbagai pikiran buruk melintas di dalam kepalanya. Seketika itu juga dia teringat Masumi dan seluruh keluarganya.
Maya serasa dicekik ketakutan ketika membayangkan kalau dirinya akan digunakan sebagai alat oleh David untuk menyakiti keluarganya. Otak Maya mulai berputar dan mencari cara melindungi keluarganya. Memutar matanya, Maya mengamati setiap gerakan David yang masih berputar-putar di sekeliling meja.
Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Menelan ludah pahit, otak Maya menemukan sebuah jalan pintas. Jalan dimana dia bisa mengakhiri semua permainan David tanpa harus melibatkan keluarganya. Mata Maya menatap nanar pada kamera di depannya.
"Masumi...Christ...Papa...
"Aku sudah menduga kau akan melakukannya Maya. Kalian lihat kan? Putri cantik ini rela mengorbankan nyawanya. Apa kalian tega membiarkannya? Tuan Anderson, datanglah, jemput putri kesayanganmu. Jangan ada polisi. Datanglah sendiri atau Maya hanya tinggal nama."
Suara tawa David menggema, mengakhiri rekaman video itu bersamaan dengan Maya yang kehilangan kesadarannya.
***
Prangg!!
Masumi membanting gelas di tangannya begitu Ryan selesai memutar video rekaman yang dikirim David. Dia baru saja tiba dari bandara ketika paket video itu datang. Kedua tangannya mengepal kuat, rahangnya mengerat menahan marah. "BRENGSEK!" Makinya keras.
Ekspresi yang sama di tunjukkan Christ dan Michael. Clara dan Amanda sekarang pucat pasi. Melihat Maya dijadikan mainan oleh David membuat keduanya diam seribu bahasa. Suasana ruang kerja menjadi begitu tegang.
Masumi beranjak dari kursinya dan berjalan keluar.
"Kau mau kemana?" Tanya Christ yang segera berdiri melihat Masumi.
"Menyelamatkan Maya, apalagi?" Jawab Masumi tanpa menatap kakak iparnya.
"Bukan kau yang diminta David untuk datang," tegas Christ.
Masumi mengeratkan kedua tangan, memutar tubuhnya, menatap Christ.
"Lalu apa yang kau harapkan untuk ku lakukan huh? Duduk manis disini? Menonton video dimana istriku hampir mati menggantung dirinya sendiri?" Bentak Masumi.
"Dia bukan hanya istrimu tapi dia juga adikku!" Balas Christ.
"Adik?! Aku menitipkannya padamu tapi lihat apa yang terjadi sekarang?" Suara Masumi semakin meninggi. "Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, seumur hidup aku tidak akan pernah memaafkanmu!"
"Masumi!"
"Apa?! Aku akan menyelamatkan istriku, suka atau tidak terserah padamu!"
"Tunggu Masumi!" Sekali lagi sebuah seruan menghentikan langkah kaki Masumi. "Dinginkan kepalamu. Sepenuhnya ini adalah tanggung jawabku, kita akan pikirkan cara terbaik untuk menyelamatkan Maya."
"Tapi Pa-,"
"Kau hanya akan membahayakan Maya kalau bertindak gegabah," Michael menatap tajam menantunya.
Masumi bergeming.
"Amanda bawa Clara untuk beristirahat di kamar." Perintah Michael. Amanda dan Clara hanya bisa menurut, lagipula tidak ada yang bisa mereka lakukan sekarang selain menunggu dan berdoa Maya akan baik-baik saja.
"Christ, hubungi kepala polisi. Minta dia menemuiku sekarang. Ryan! Kumpulkan anak buahmu, minta mereka berjaga di sekitar rumah Tunner. Masumi, duduklah, kita akan susun rencana untuk membawa kembali Maya. Putriku dan istrimu," tegas Michael.
Menurunkan emosinya, Masumi akhirnya kembali duduk di sebelah Christ.
***
"Kau sudah bangun cantik?" David mengusap wajah Maya.
"Masumi...," Maya melirih di ambang sadarnya.
David tersenyum, "Jadi kau merindukan suamimu? Kau beruntung Maya, begitu banyak orang yang mencintaimu. Kau membuatku iri." Jemarinya masih menyusuri garis wajah Maya yang belum sepenuhnya sadar.
Maya terbaring di tempat tidur dengan tangan masih terikat. Gurat merah mewarnai kulit lehernya, terlihat begitu kontras dengan kulit putihnya.
"Terima kasih kau sudah membuat videoku menjadi tontonan yang sangat menarik. Sebentar lagi, mereka pasti datang untuk menyelamatkanmu dan giliranku menikmati pertunjukan."
Perkataan David menarik kesadaran Maya. Mata bulatnya terbuka dan menatap marah David yang tengah tersenyum padanya.
"Jangan menantangku Maya. Sejauh ini aku belum menyakitimu selain karena kau mencoba menggantung dirimu sendiri. Bukan karena aku tidak bisa tapi belum saatnya. Aku bisa lembut tapi juga bisa begitu kasar. Jadi jangan coba melawanku. Kau dan mata bulatmu yang melotot ini." David mengelilingi mata Maya dengan telunjuknya.
"Apa yang kau dapatkan dengan melakukan semua ini?" Tanya Maya.
Sekuat tenaga dia berusaha tegar, menjaga suaranya tidak bergetar. Tadi dia sudah berniat mati untuk mengakhiri kegilaan David tapi karena sekarang dia masih hidup, Maya jadi marah dengan dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk tetap bertahan, tetap kuat menunggu keluarganya datang. Bukan satu kali Christ datang menyelamatkannya dan kali ini dia yakin Christ pasti akan menyelamatkannya lagi. Meski berharap Masumi juga datang tapi dia bahkan tak yakin Masumi tahu keadaannya. Hatinya berdenyut sakit kalau mengingat suaminya. Banyak hal yang ingin dikatakannya tapi dia sendiri ragu, apakah masih memiliki waktu atau kesempatan bertemu Masumi.
Masumi, maafkan aku...aku mencintaimu....
Jemari David yang menyentuh bibir Maya menyentakkannya dari renungan singkat.
"Kepuasan Maya. Hanya itu yang ku inginkan. Aku ingin bisa merasa puas kalau sudah membalaskan sakit hatiku,"
Maya menyeringai, "Kalau begitu percuma, kau tidak akan mendapatkannya,"
Wajah David berubah seketika, rahangnya mengerat marah. "Sudah ku katakan jangan menantangku."
"Balas dendam tidak akan pernah membuatmu puas David. Itu hanya akan merusak jiwamu. Bahkan setelah tujuanmu tercapai sekalipun, hatimu akan tetap kosong dan merasakan kehampa-,"
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Maya, menghentikan ucapannya. Darah segar mengalir di sudut bibirnya.
"Jangan menceramahiku," desis David marah seraya mencengram rahang Maya.
"Aku hanya...mengatakan yang sebenarnya," kata Maya terbata.
"Tutup mulutmu," David melepaskan tangannya lalu menarik Maya, memaksanya bangun. "Kau tahu, mulut besarmu itu bisa membuatmu kehilangan nyawa,"
"Lakukan apa yang kau inginkan dan kau akan buktikan sendiri ucapanku," kata Maya.
"Sial!" David marah dan menghempaskan Maya ke lantai.
Bruk!! "Akh!" Maya merintih ketika dada dan wajahnya membentur lantai dengan keras. Tangannya yang terikat di belakang punggung membuatnya kesulitan bergerak. David menarik lengan Maya lagi, membuatnya duduk bersimpuh pada kedua lututnya yang terlihat merah karena benturan.
"Kau tahu Maya, Yurie pasti senang sekali kalau kau mati. Dia menyuruhku untuk menyingkirkanmu agar kau tidak bisa kembali ke Jepang." Kata David di depan wajah Maya.
"Yu, Yurie?!" Maya tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
David terkekeh, "Ya, dia sudah berhasil mendapatkan suami yang kau rindukan itu. Mungkin saat ini dia sedang bersenang-senang dengannya."
"Tidak!" Protes Maya keras, matanya membulat karena marah. David tertawa senang melihat reaksi Maya.
"Kenapa Maya? Kau terlihat tidak suka, apa kau marah?"
"Tidak! Masumiku tidak mungkin melakukan hal itu! Dia tidak akan menghianatiku!" Teriak Maya.
"Oh ya?! Pria tetaplah pria Maya. Pesona Yurie terlalu kuat untuk bisa di tolak. Dibandingkan denganmu, hhmm, kau si kecil yang manis sedangkan Yurie adalah setan penggoda yang nikmat."
Mata Maya mengerat menahan perih di hatinya. Bayangan Masumi dan Yurie berkelebat di dalam kepalanya.
"Jadi kau yang bekerja sama dengan Yurie untuk meracuniku, mengincar suamiku dan Daito?" Kata Maya setelah kembali mengumpulkan keberaniannya.
"Ya, semua itu ide Yurie tapi aku tidak mengincar Daito, itu bagiannya termasuk suamimu. Bagianku adalah kau dan keluarga Anderson."
"Kalian jahat!" Maki Maya keras.
David langsung terbahak dengan katarsis, "Sudah lima jam kau bersamaku dan baru sekarang kau memakiku?" Diapun mendorong Maya lagi, membuatnya punggungnya terhempas ke lantai.
"Ugh!" Tanganku sakit.
Tiba-tiba David berada di atas Maya dengan kedua lengan menyangga tubuhnya di sisi kepala Maya. "Bagaimana kalau kita melakukan hal yang sama? Sambil menunggu keluargamu datang, aku akan bersenang-senang. Kau cukup menggairahkan,"
Mata Maya melebar, jantungnya serasa berhenti berdetak, "Jangan sentuh aku!" Raung Maya dengan suara keras bergetar.
David menyeringa tipis, melandaikan tubuhnya, dia mendaratkan sebuah ciuman di lekuk leher Maya yang dihiasi gurat luka warna merah.
"David! Hentikan!" Raung Maya.
Tapi David melakukan sebaliknya, dia justru membuka kancing blouse Maya.
"David! Hentikan! Ku mohon hentikan!" Maya mencoba meronta tapi tubuh David terlalu kuat menindihnya. Bibir David menyusuri sepanjang garis bahu Maya dengan tamak. Ketakutan Maya berubah menjadi isakan keras dan air mata.
"Hentikan David! Ku mohon...," Maya kembali meminta belas kasihan ketika David sama sekali tidak berhenti menciumi tubuhnya. Maya kewalahan dengan ketakutannya. Tiba-tiba Maya merasakan sesuatu menekan pangkal pahanya. Bayangan buruk memenuhi kepalanya.
Tidak! Tidak! Dia tidak boleh melakukannya!
Maya mengumpulkan kekuatannya, menyentakkan lututnya ke pangkal paha David dengan keras. Seketika itu juga David berguling ke sebelah Maya, mengerang kesakitan.
Maya menyadari dia punya kesempatan sekarang. Maya bangun dan dengan sisa kekuatannya dia berlari ke luar kamar. Menahan sakit di sekujur tubuh, Maya terus melangkahkan kakinya. Masih di dengarnya David mengumpat keras dari kamar.
Maya melintasi sebuah lorong lalu menuruni tangga. Pandangan Maya mengabur karena kepalanya berdenyut sakit. Tiga anak tangga terakhir, Maya terpeleset. Suara keras mengiringi tubuhnya yang terhempas di lantai kayu. Maya meringis menahan sakit dan hawa dingin yang menusuk kulitnya.
Baru saja Maya membuka mata, David sudah berdiri di ujung tangga. Dia berusaha untuk kembali bangun.
"Akh!" Kakiku? Maya merasakan nyeri pada kakinya, membuatnya tidak bisa berdiri.
Dengan wajah marah, David menuruni tangga.
"Beraninya kau!" Plak! Lagi-lagi David menampar wajah Maya, kembali darah segar mengalir di sudut bibirnya.
"Ikut aku! Kita akan menyambut tamu." David menarik lengan Maya, memaksanya berdiri.
"Akhh!" Maya menjerit keras ketika kakinya memprotes dengan sakit yang sangat.
"Ah, itu lebih baik. Setidaknya kau tidak bisa lari." David menyadari keadaan Maya. Dia segera mengangkat tubuh Maya ke atas bahunya. Keduanya berjalan ke ruang tamu, David mendudukkan Maya di sofa panjang tua berwarna hitam.
"Duduk di sini dan jangan berulah!" David memperingatkan. Dia sendiri berbalik dan berjalan ke arah jendela, mengamati sekitar rumahnya. Maya terhenyak ketika menyadari sesuatu terselip di belakang punggung David, sebuah pistol. Maya bergidik, bukan hanya karena hawa dingin tapi juga karena kengerian yang dirasakannya.
"Dia datang," kata David.
Dia? Siapa? Tidak! Tidak! David bisa menyakitinya. Siapapun itu yang datang Maya merasa takut akan ada tragedi yang terjadi.
David kembali berjalan menghampiri Maya, menariknya dan membuat Maya berdiri di depannya. Lengan David melingkar di leher Maya, membantunya tetap tegak berdiri. Daun pintu terbuka, mengirimkan hembusan angin musim dingin.
"Papa," lirih Maya.
Michael membelalak terkejut melihat kondisi putrinya. Wajah Maya merah dengan darah di sudut bibirnya, bajunya berantakan bahkan beberapa kancing bagian atasnya terbuka, memperlihatkan bagian atas tubuhnya dengan tidak layak. Siku dan lututnya juga berdarah dan merah di beberapa bagian.
"Kurang ajar! Apa yang kau lakukan pada putriku? Lepaskan dia!" Seru Michael. Amarahnya langsung terbakar melihat kondisi Maya yang menyedihkan.
David menyeringai, "Itu bukan cara yang sopan untuk memberi salam ketika memasuki rumah seseorang untuk pertama kalinya Tuan Anderson,"
"Hentikan basa-basinya. Katakan apa yang kau inginkan? Aku sudah di sini, lepaskan putriku,"
"Oh Tuan Anderson, apa kau pikir akan semudah itu? Aku ingin menikmati pertunjukan sekarang,"
"Papa," Maya kembali melirih.
Hati Michael miris melihat Maya, "Tenang sayang, papa pasti akan menyelamatkanmu,"
David tertawa, "Oh ya? Apa kau bisa menyelamatkannya dari ini?"
Michael terhenyak melihat David mengeluarkan pistol dari belakang punggungnya. Reflek kaki Michael melangkah maju.
"Berhenti! Atau aku akan menembak kepalanya,"
Sontak Michael menghentikan langkah kakinya ketika ujung pistol menempel di pelipis Maya.
David terkekeh, "Ternyata Tuan Besar Anderson penurut juga." Katanya mengejek, "Aku tahu waktuku tidak banyak. Pasti di sekitar rumah ini sudah tersebar anak buahmu kan? Mereka bisa menembakku kapan saja."
Michael diam dengan mata menyala penuh kemarahan. Maya bergidik melihatnya, dia belum pernah melihat papanya seperti itu. Michael selalu bersikap lembut di depan Maya.
"Aku akan menikmati pertunjukan," David mengarahkan senjata lurus ke depan.
Dorr! Sebuah tembakan terlepas tapi Michael melompat ke kanan dan berlindung di belakang sofa single.
"Pengecut! Keluar!" Maki David, "Hanya satu tembakan untuk mengakhiri nyawamu dan semua ini akan berakhir."
Michael merutuk dalam hati di balik sofa. Sial! Terlalu beresiko menyerangnya sekarang, dia menggunakan Maya sebagai tameng. Michael mengambil pistol dari balik jasnya.
Dorr! "Keluar!" David menembakkan senjata ke udara.
"PAPA JANGAN KELUAR!" Maya berteriak.
"Tutup mulutmu!" David mengeratkan lengannya di leher Maya, membuatnya tercekik.
"Ugh!" Maya kesulitan bernapas.
"Keluar! Atau aku akan menembak putri kesayanganmu!" Ancam David.
Mendengar erangan Maya, Michael berdiri, menyimpan kembali pistolnya di belakang jas. Dia terkejut melihat David menempelkan pistol di lengan Maya.
"APA YANG KAU-,"
Dorr! Teriakan Michael kalah cepat dengan peluru yang sekarang sudah menembus lengan Maya. Maya sendiri sudah tidak punya kekuatan untuk berteriak, rasa sakit sudah merenggut semuanya.
"BERANINYA KAU!" Michael berlari maju.
Dorr! Dorr! Dorr! Tiga kali tembakan terdengar bersamaan. Michael terduduk di lantai dengan darah segar mengalir dari pahanya.
Maya merasakan lengan David melonggar di lehernya, tubuhnya terbawa jatuh ke lantai. Maya mendengar David merintih di belakangnya tapi dia sendiri juga merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
"Tangkap tersangkanya! Panggil Ambulance!"
Maya mendengar suara berisik di dalam ruang tamu, kaki-kaki berderap di lantai kayu, suara erangan juga teriakan. Pandangannya mengabur, dingin, sakit, hanya itu yang dirasakannya.
"Maya!" Sebuah seruan menyentakkan Maya.
Suara itu?
Maya belum bisa melihat apapun tapi dia merasakan tubuhnya melayang dan kehangatan melingkupinya. Dia tahu, dia tahu siapa yang memeluknya.
"Ma...sumi...," lirih Maya diambang kesadarannya.
"Iya sayang ini aku, bertahanlah," suara Masumi terdengar penuh kesakitan. Maya berkedip beberapa kali untuk memperjelas penglihatannya. Dia berada di pangkuan Masumi, dalam dekapannya. Dia juga merasakan lengannya diikat oleh sesuatu.
"Bagaimana?" Tanya Masumi penuh kecemasan.
"Ini akan mengurangi pendarahannya,"
Suara itu?
"Christ...Masumi...kalian datang?" Maya mengenali kedua pria yang bersamanya.
"Bodoh! Tentu saja kami datang," Christ membelai wajah Maya, wajahnya juga dihiasi dengan kekhawatiran, "Bawa dia, aku akan mengurus bajingan itu," katanya kemudian.
Masumi mengangguk, mengangkat tubuh istrinya dengan hati-hati. Ketakutan Maya menguap dengan cepat. Dia bahkan tidak lagi merasakan sakit, yang ada hanya kehangatan pelukan Masumi, suami yang sangat dicintainya. Michael, Christ dan Masumi datang menyelamatkannya, Maya mengucap syukur dalam hati.
"Masumi...aku merindukanmu," lirih Maya.
Masumi tersentak, dia berhenti berjalan dan melihat Maya tersenyum dalam dekapannya.
"Aku juga merindukanmu sayang," Masumi mengeratkan pelukannya, mencium bibir mungil istrinya. Rasa anyir darah terasa di bibirnya, Masumi merutuk dalam hati. Dia sudah hampir membunuh David tadi kalau saja polisi tidak membawanya.
Air mata mengalir di sudut mata Maya, sekali lagi dia tersenyum bahagia.
"Maya?" Ketakutan merayapi hati Masumi ketika Maya akhirnya terpejam. "Maya!"
Suara ambulance membuat Masumi bergegas melangkah.
Maya, bertahanlah. Jangan tinggalkan aku.
***
Masumi dan Christ menunggu dengan gelisah di depan ruang operasi. Michael dan Maya sedang menjalani operasi untuk mengeluarkan peluru yang di tembakkan David.
Masumi duduk dengan kedua tangan bertaut gelisah di atas lututnya. Sementara Christ berdiri di sebelahnya dengan mata tak lepas dari pintu ruang operasi. Tak jauh dari tempat mereka, berdiri Ryan dan Alex.
Keheningan itu terpecah ketika terdengar suara hentakan sepatu high heels di lorong.
"Bagaimana keadaan mereka?" Clara datang menyerbu dengan kepanikannya, memeluk Masumi. Amanda yang berwajah sama paniknya langsung memeluk Christ.
"Operasinya belum selesai Ma," jawab Masumi. Dia tidak bisa meredakan kepanikan Clara karena sekarang dia juga sama takutnya.
Kondisi Michael tidak begitu buruk, dia bahkan masih sadar ketika dibawa dengan ambulance tapi tidak dengan Maya. Istrinya itu mengeluarkan banyak darah, ditambah luka disekujur tubuhnya. Dia tidak sadar ketika ambulance datang bahkan denyut jantungnya melemah selama perjalanan menuju rumah sakit. Masumi tidak dapat membayangkan tubuh mungil Maya menanggung semua rasa sakit itu.
Pintu ruang operasi terbuka, mengalihkan perhatian semuanya.
"Keluarga Anderson," panggil dokter berseragam hijau yang baru saja keluar.
"Kami keluarganya," seru Clara, "Bagaimana keadaan suami dan putri saya dokter?"
"Operasi Tuan Anderson sudah selesai, kondisinya stabil. Sebentar lagi kami akan memindahkannya ke kamar." Jawab dokter.
"Bagaimana keadaan Maya?" Tanya masumi tidak sabar.
"Nyonya Hayami?"
"Saya suaminya," tegas Masumi.
"Kami keluarganya," tambah Christ.
"Maaf, rekan saya yang menangani istri anda, operasinya belum selesai." Jawab dokter.
Seorang perawat datang memanggil dokter untuk kembali masuk. Dokter itupun permisi dan kembali menjalankan tugasnya.
"Apa yang terjadi? Kenapa operasi Maya lama sekali?" Gumam Masumi cemas.
Christ menepuk bahu Masumi, "Kita doakan yang terbaik. Maya kuat, dia pasti bisa bertahan,"
Masumi menghela napas panjang, "Ya, Mayaku kuat. Dia pasti baik-baik saja."
***
"Masumi, makanlah dulu," Clara dan Christ datang menyela Masumi yang sedang membaca buku di depan ruangan dengan label ICU tertera di atas pintu.
"Aku tidak lapar Ma," jawab Masumi seraya tersenyum tipis menghargai perhatian mamanya.
"Ini," Christ mengulurukan segelas kopi panas pada Masumi.
"Terima kasih," Masumi menutup bukunya dan menerima kopi dari kakak iparnya, satu tegukan menghangatkan tenggorokannya, "bagaimana Papa?" Tanyanya kemudian.
"Baik. Papa pulang sore ini." Jawab Christ, dia duduk di sebelah Masumi dan meneguk kopinya.
"Sudah dua hari, kenapa belum sadar juga," Clara melayangkan pandangannya melalui jendela kaca besar ke dalam ruang ICU. Maya tengah terbaring di sana dengan wajah damai, seolah menikmati tidur panjangnya.
"Dokter bilang kondisinya membaik pagi ini, detak jantungnya mulai stabil meski tekanan darahnya masih di bawah normal." Terang Masumi yang kembali meneguk kopinya.
Meski wajah Masumi tenang, setenang nada bicaranya tapi itu tidak selaras dengan hatinya. Siang malam dia menunggu Maya sadar dengan hati perih, berharap istrinya segera membuka mata. Operasi memang berjalan lancar tapi Maya masih juga belum sadar dari tidur panjangnya.
Clara akhirnya meninggalkan Christ berdua dengan Masumi karena dia harus menunggui suaminya. Kedua saudara ipar itu duduk bersebelahan dengan mata menerawang jauh. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Masumi."
"Ya."
"Aku minta maaf padamu."
Masumi menyeringai, "Tidak perlu. Bukan sepenuhnya salahmu. Maafkan aku juga karena berkata kasar padamu."
Christ menghela napas panjang, "Aku kesal pada diriku sendiri. Selalu saja gagal melindunginya."
"Begitu juga aku." Masumi juga menghela napas panjang.
"Apa setelah ini kau akan tetap membiarkannya menjadi aktris?"
Masumi menoleh pada kakak iparnya, "Tentu saja. Kenapa tidak?"
"Rasanya anak itu selalu menjadi magnet untuk setiap masalah mendekat padanya. Apa tidak lebih aman menghindarkannya dari semua itu?"
"Apa itu bisa menjamin? Aku yakin dia akan terus berada dalam bahaya selama dia menyandang nama Anderson dan Hayami."
Christ tertawa datar, "Ah ya, kau benar. Kitalah yang jahat, selalu menyeretnya dalam bahaya karena tindakan arogan kita. Ternyata kita sudah banyak menciptakan musuh."
"Seperti itulah kita dibesarkan."
Keduanya tertawa. Sejenak menyingkirkan kekhawatiran yang terus saja menggelayut.
"Berarti setelah ini kita harus melipat gandakan usaha untuk melindunginya. Siapa tahu besok akan ada lagi penggemar gilamu atau juga pengusaha bangkrut lainnya yang datang. Apa kau pikir dia akan mengalami trauma?" Christ menoleh dan menatap Masumi.
"Maya trauma?" Masumi tersenyum geli, "Aku yakin setelah bangun nanti dia sudah melupakan semua ini. Bersimpati pada kondisi David atau bahkan memintaku untuk melepaskan Yurie dari penjara dan mengembalikan TV Eiji pada keluarga Ono."
Christ terkikik, "Ya, kau benar juga. Dia bahkan satu-satunya orang yang percaya pada Shiori."
"Ya, seperti itulah dia, Mayaku." Gumam Masumi senang, bangga pada istrinya.
"Mayamu?" Christ menaikkan alis pada Masumi.
"Tentu saja, dia istriku," Masumi berkeras.
"Dia juga adikku," bantah Christ.
"Tetap saja dia milikku seutuhnya. Terimalah." Tegas Masumi.
Keduanya seperti anak kecil yang sedang berebut permen.
"Ya, berdoalah setelah bangun dia tidak akan mengalami amnesia dan melupakanmu. Aku lebih suka dia tinggal di New York, Kevin juga menyukainya," seloroh Christ santai. Dia paling tahu cara mengalahkan Masumi.
Masumi melotot, "Langkahi dulu mayatku," gumamnya kesal disambut tawa Christ.
"Tuan Hayami, Tuan Anderson, Nyonya Hayami sudah sadar." Kata seorang perawat yang tanpa mereka sadari sudah berdiri di sebelah mereka.
"Eh?"
Tak membuang waktu lagi, keduanya berlari masuk ke ruang ICU.
"Maya...," gumam Masumi tak percaya.
Mata bulat istrinya sudah terbuka, menatapnya lekat dengan senyum menghiasi wajahnya.
"Selamat datang kembali, Maya." Sambut Masumi dan Christ bersamaan.
***
Dua hari berlalu. Kondisi Maya semakin membaik meski dia belum diijinkan untuk turun dari tempat tidur. Selain karena kondisinya belum pulih juga karena kakinya yang terkilir masih belum boleh digunakan untuk berjalan.
Christ dan Masumi benar-benar melakukan apa yang mereka katakan. Penjagaan atas Maya menjadi lebih ketat, bahkan sejak sadar tidak sedetikpun Maya dibiarkan sendiri. Dan seperti kata Masumi, Maya sudah melupakan semua kejadian yang menimpanya.
"Cukup," kata Maya, menolak suapan Masumi.
"Sudah kenyang?"
Maya mengangguk. Masumi meletakkan mangkuk ke atas kereta makan dan mendorongnya menjauh dari tempat tidur. Diapun mengambil sebuah cawan yang berisi obat Maya.
"Minum lalu tidur," perintah Masumi.
Maya cemberut tapi menurut dan segera meminum obatnya. Maya bersandar pada bantalnya, mengulas sebuah senyum manis untuk suaminya.
"Terima kasih," ucap Maya.
Masumi duduk di tepi tempat tidur, mengusap wajah Maya yang masih pucat. "Jangan berterima kasih. Aku suamimu, sudah seharusnya aku menjagamu."
Maya meringis tapi kemudian wajahnya berubah sedih.
"Kenapa? Ada yang sakit?"
Maya menggeleng, "Aku belum sempat minta maaf padamu."
"Minta maaf? Untuk apa?" Masumi tidak mengerti dengan maksud istrinya.
"Karena aku pergi tanpa menjelaskan apapun." Jawab Maya.
"Oh, masalah itu. Aku tahu." Masumi tersenyum.
"Kau tahu?"
"Iya, kau pergi karena Shiori yang memintamu tapi kau marah padaku juga padanya karena foto itu."
Maya terlihat tidak senang. Sejak sadar dia memang belum mendengar cerita apapun. Setiap di tanya Masumi hanya akan menjawab semua baik-baik saja. Maya hanya tahu kalau Yurie sudah di tangkap dengan tuduhan pemerasan pada keluarga Takamiya. Hal yang masih mengganggu Maya adalah masalah foto itu.
"Apa sekarang kau jadi ingat kalau seharusnya kau masih marah padaku?" Goda Masumi sambil mencolek ujung hidung Maya.
Maya mendesah kesal, "Walaupun itu jebakan tetap saja aku kesal. Kau dan Nona Shiori...," Maya mendesah lagi.
"Kami tidak melakukan apapun. Kami sama-sama tidak sadar waktu itu." Jelas Masumi.
"Tapi kau memeluknya dan dia...," Maya mendesah lagi. Membayangkan Masumi memeluk tubuh Shiori yang polos membuatnya kesal.
Tiba-tiba Masumi berbaring di sebelah Maya dan memeluknya.
"Bagaimana caranya agar aku di maafkan?" Bisik Masumi di telinga istrinya.
Maya menggeleng, "Sebenarnya memang bukan salahmu tapi aku kesal sekali." Gerutu Maya lirih. Dia menyandarkan wajahnya pada dada bidang Masumi.
"Kau cemburu?" Bisik Masumi lagi. Dia mengeratkan lengannya yang memeluk pinggul Maya.
"Tentu saja!" Pekik Maya dengan suara meninggi.
Masumi tertawa lalu bangun dan kembali duduk menatap istrinya yang terlihat kesal.
"Jadi, bagaimana agar aku bisa dimaafkan?"
"Ceritakan semuanya padaku dan jangan lagi menyembunyikan apapun dariku."
Masumi memasang wajah tidak setuju, "Kalau soal itu-,"
"Masumi!"
"Baiklah." Masumi menyerah dan akhirnya menceritakan semua yang terjadi di Tokyo selama Maya pergi.
Air mata menggenang di pelupuk mata Maya begitu Masumi selesai dengan ceritanya.
"Kasihan Nona Ono. Masumi, apa tidak sebaiknya kau kembalikan TV Eiji pada Tuan Ono. Aku rasa masuknya Nona Ono ke dalam penjara sudah cukup membuat keluarga mereka malu."
Masumi menutup mata dengan telapak tangan seraya menghela napas, "Sudah ku duga," gumamnya.
Maya tertegun melihat reaksi suaminya, "Jangan terlalu kejam Masumi," bujuk Maya.
Masumi menatap kesal istrinya yang berhati lembut itu, "Maya, mereka layak menerimanya. Kali ini aku tidak akan menuruti keinginanmu."
Maya terdiam. Dia tahu Masumi tidak akan melepaskan siapapun yang sudah menyakitinya.
"Baiklah, kembali pada pokok permasalahan. Apa aku sudah dimaafkan?" Tanya Masumi.
"Sejak awal aku sudah memaafkanmu. Aku hanya butuh waktu menenangkan diriku sendiri." Jawab Maya lirih.
"Terima kasih," Masumi mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Maya untuk mempertegas ucapan terima kasihnya.
Maya tersenyum.
"Kau lebih cantik kalau tersenyum seperti ini. Aku bahkan rela membayar untuk bisa melihatnya," kata Masumi.
Maya tertawa, "Kalau begitu aku akan pasang tarif mahal,"
Masumi terkekeh dengan candaan istrinya.
Sebuah ketukan membuat keduanya berhenti tertawa. Masumi berjalan ke pintu.
"Selamat siang," seorang pria dan wanita menyapa Masumi dengan ramah.
"Selamat siang. Kau di sini Shiori?" Masumi terkejut dengan kedatangan Shiori yang tiba-tiba.
"Iya, aku ingin menjenguk Maya sebelum kembali ke Kanada," jawabnya.
Masumi segera mempersilakan Shiori dan temannya masuk.
"Halo Maya, bagaimana keadaanmu?"
"Ah, baik, terima kasih." Maya sedikit canggung dengan kedatangan Shiori. Bukankah kami baru saja membicarakannya? Kenapa tiba-tiba dia ada di sini?
Shiori tersenyum melihat reaksi Maya, dia mengerti kenapa.
"Oh ya, Masumi, Maya, kenalkan ini Shin Yamamoto. Dia adalah dokter yang merawatku selama aku di Kanada dan dia juga tunanganku." Terang Shiori.
"Tunangan?!" Seru Maya dan Masumi bersamaan. Sadar akan ketidak sopanan mereka, keduanya segera minta maaf. Shin dan Shiori tertawa.
"Saya Shin Yamamoto, salam kenal Tuan dan Nyonya Hayami." sapa Shin kemudian.
Maya dan Masumi juga memperkenalkan diri dengan sopan.
"Jadi anda akan kembali ke Kanada?" Tanya Maya setelah dirinya dan Shiori berbincang beberapa lama. Masumi juga terlihat menikmati obrolannya dengan Shin di sofa ruang tamu kamar rawat Maya.
"Iya Maya. Mungkin memang lebih baik aku disana. Oh ya, kalian harus datang saat pernikahanku nanti ya," kata Shiori.
"Tentu, kami pasti datang," jawab Maya senang. Ada kelegaan tersendiri di hati Maya begitu mendengar Shiori akan menikah.
"Aku rasa sebaiknya aku pulang, kau terlihat sudah lelah," kata Shiori.
Maya hanya tersenyum, Shiori benar, Maya memang merasa lelah dan mengantuk. Jam tidurnya sudah terlewat karena obrolan mereka.
"Oh ya Maya, aku ada sesuatu untukmu," Shiori mengeluarkan sebuah amplop putih.
"Apa ini?" Tanya Maya.
"Bukalah nanti," tiba-tiba Shiori mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga Maya, "Jangan ragukan suamimu."
Maya terlihat bingung tapi tidak lagi bertanya karena kemudian Shiori mengajak Shin untuk pulang.
"Terima kasih," ucap Masumi pada keduanya.
"Cepat sehat Maya, kakek, ayah dan ibuku juga mencemaskanmu," kata Shiori.
"Terima kasih Nona Shiori," jawab Maya.
Shiori memberikan sebuah pelukan untuk Maya.
"Uhk!" Maya meringis ketika Shiori menekan lengannya.
"Oh maaf," Shiori segera melepaskan pelukannya. Maya tersenyum.
"Sampai jumpa."
"Sampai jumpa."
Masumi mengantar Shin dan Shiori ke luar. Maya segera membuka amplopnya begitu Shiori pergi. Mulut Maya menganga saat membaca isi amplop.
"Tes keperawanan?" Maya menggumam tak percaya. Dia kemudian ingat perkataan Shiori.
Jangan ragukan suamimu.
Maya mengulum senyum. Tiba-tiba merasa begitu bodoh. Dia tahu kalau Masumi tidak akan pernah menghianatinya tapi dengan begini hatinya semakin lega. Maya segera merobek kertas itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop, menyelipkannya ke bawah bantal. Maya menguap lebar ketika Masumi masuk ke kamar.
"Sepertinya istriku sudah kelelahan," Masumi menghampiri Maya dengan senyumnya.
"Hanya mengantuk," jawab Maya, sekali lagi dia menguap.
Maya membaringkan dirinya, Masumi menaikkan selimut lebih tinggi, mengusap kepala Maya.
"Kau akan pergi?" Tanya Maya dengan mata setengah terpejam.
Masumi cemberut, "Jangan pikir aku akan meninggalkanmu."
Maya meringis, "Kau, overpro...tective," Maya terlelap.
Masumi tersenyum geli melihat istrinya, mengecup kening Maya, "Mimpi indah sayang,"
***
"Selamat datang!!!"
Sore itu Clara, Michael, Christ dan Amanda juga Kevin menyambut Maya dengan meriah. Setelah lima hari di rawat akhirnya Maya diijinkan pulang.
"Terima kasih semuanya," Maya menyeka air mata harunya. Masumi tersenyum melihat istrinya yang begitu bahagia.
"Auunttyy," Kevin berjalan tertatih menghampiri Maya.
"Ah, Kevin sayang," Maya segera meraih tubuh mungil keponakannya.
"Maya jangan!" Seru semuanya bersamaan tapi terlambat.
"Akh!" Maya mengernyit kesakitan. Masumi segera mengambil Kevin dari gendongan Maya.
"Kau tidak apa-apa sayang?" Masumi terlihat cemas.
"Auuntyyy!" Kevin meronta dalam gendongan Masumi, dia ingin di gendong Maya.
"Aku tidak apa-apa," Maya meringis, "Sorry little boy," Maya mengusap kepala dan mencium pipi Kevin untuk menenangkannya.
"Kau ini, lenganmu itu belum sembuh!" Christ langsung mengomel. Sementara Amanda mengambil Kevin dari Masumi.
"Iya maaf," sahut Maya.
Clara dan Michael tertawa, Maya memang selalu mampu membawa kecerian di rumah apapun kondisinya.
Mereka berkumpul di ruang keluarga, menikmati kebersamaan mereka sambil menunggu jam makan malam.
"Bagaimana luka papa?" Tanya Maya. Kali ini dia duduk di sebelah Michael. Masumi duduk bersebelahan dengan Christ.
"Papa baik-baik saja jangan khawatir." Michael mengusap lembut kepala Maya, "Maaf sayang, kau jadi harus terluka gara-gara Papa. Semoga kau tidak menyesal menyandang nama keluarga Anderson," kata Michael.
"Mana mungkin begitu! Justru aku yang seharusnya berterima kasih karena sudah diijinkan menjadi bagian dari keluarga ini." Sahut Maya.
Semuanya tersenyum. Clara memberikan sebuah pelukan untuk Maya, "Kami menyayangimu Maya,"
"Aku juga juga sayang Mama, sayang semuanya," jawab Maya tulus.
Pelayan datang membawa minuman untuk mereka semua, lima gelas tinggi anggur dan satu jus untuk Maya. Sampai saat ini dia masih belum bisa menyentuh minuman beralkohol.
"Mari kita bersulang," Christ mengangkat gelasnya setelah semua anggota keluarga mengambil masing-masing gelas mereka.
"Untuk kesembuhan Papa dan Maya, " Clara mengangkat tinggi gelasnya.
"Untuk akhir yang bahagia," Maya ikut mengangkat gelasnya dan berseru dengan lantang.
Semuanya tersenyum.
"Untuk akhir yang bahagia," seru semuanya bersamaan.
"Jadi, apa kau akan tetap tinggal di sini Maya?" Celetuk Christ.
Masumi berdehem keras, "Christ!"
Semuanya tertawa.
Maya menguap lebar ketika Masumi merangkak naik ke tempat tidur. Pesta penyambutan dan makan malam juga obrolan panjang bersama seluruh keluarga sudah membuatnya kelelahan.
"Obatnya selalu membuatku mengantuk," gerutu Maya.
Masumi tertawa, "Kau kan memang masih harus banyak istirahat, lagipula ini memang sudah malam. Kemarilah," Masumi merentangkan tangannya dan Maya segera menjatuhkan diri dalam pelukan suaminya.
"Maya," bisik Masumi di puncak kepala Maya.
"Ya?" Gumam Maya di dada Masumi.
"Hari ini aku sangat bersyukur masih bisa memelukmu seperti ini. Masih bisa melihat senyummu dan mendengar tawamu." Tangan Masumi membelai lembut rambut panjang Maya yang tergerai sampai punggungnya.
"Aku merasa aku juga akan mati saat melihat rekaman videomu."
Maya tersenyum, mengerti maksud Masumi. Dia hampir saja mengorbankan nyawanya sendiri.
"Lain kali," Masumi meraih dagu Maya dengan jemari panjangnya, meminta istrinya menatapnya, "kau tidak boleh berpikir untuk melukai dirimu sendiri demi apapun itu. Kalau-kalau kau sudah lupa, aku akan mengingatkanmu. Kau sudah berjanji di kampung halaman Bidadari Merah untuk tidak akan pernah mempertaruhkan nyawamu lagi."
Maya tersenyum, ya, dia pernah menjanjikan itu.
"Maaf," gumam Maya.
Masumi melihat gurat di leher Maya yang sekarang sudah mengabur. Dia mencium gurat merah jambu itu dengan lembut.
"Jangan tinggalkan aku Maya." Lirih Masumi. Dia memeluk tubuh Maya dengan posesif.
Maya menangis. Kemarin dia sama sekali tidak berpikir kalau tindakannya itu bisa menghancurkan hidup Masumi bahkan juga seluruh keluarganya.
"Maafkan aku Masumi,"
Masumi mengecup kedua mata Maya yang basah, "Maafkan aku juga yang tidak bisa melindungimu,"
"Tidak, apa yang terjadi semuanya di luar kendali kita."
"Aku berjanji akan melindungimu lebih baik lagi,"
Maya mengangguk, "Kau selalu melakukannya Masumi. Kau selalu melindungiku."
Masumi kembali merengkuh Maya dalam pelukannya. Bersandar pada kepala tempat tidur, Masumi membiarkan Maya berbaring di dadanya.
"Tidurlah, sudah malam," bisik Masumi sambil membelai punggung Maya.
"Aku mencintaimu," lirih Maya.
"Aku juga mencintaimu," jawab Masumi lembut.
***
Bandara JFK, New York. Keluarga Anderson mengantar kepulangan Maya di landasan khusus dimana pesawat jet pribadi sudah siap menunggu. Sudah satu minggu sejak Maya keluar dari rumah sakit. Kondisinya sudah pulih, Maya dan Masumi memutuskan untuk kembali ke Tokyo.
"Kami pasti akan merindukanmu," Clara mencium kedua pipi Maya dan memeluknya erat.
"Aku juga pasti akan merindukan Mama dan semuanya," jawab Maya.
Amanda memeluk Maya dan memberikan salam perpisahannya, juga Michael dan Christ. Kevin melompat-lompat dan terus merengek ingin ikut dengan Maya dan baru diam setelah Amanda menggendongnya. Maya tertawa melihat tingkah keponakannya.
"Hati-hati, jaga putriku dengan baik." Pesan Michael pada menantunya.
"Tentu Pa," jawab Masumi diiringi pelukan singkat keduanya.
"Ingat Nyonya, kau harus lebih hati-hati sekarang. Kalau kau bertengkar dengan suamimu kau bisa bilang padaku dan aku akan langsung menjemputmu,"
"Christ." Seru Amanda, Clara dan Michael bersamaan.
Christ tertawa bersama Maya tapi Masumi mendengus kesal karenanya. Kakak iparnya itu selalu saja sukses membuatnya kesal.
"Jaga dia." Bisik Christ ketika sebuah pelukan singkat mengakhiri salam perpisahan dengan adik iparnya. Masumi mengangguk mantap untuk menjawabnya.
Maya melambaikan tangan ketika menaiki tangga dengan Masumi berjalan di sisinya. Pesawat jet akhirnya melesat, membawa keduanya kembali ke Tokyo.
"Aku senang kita bisa pulang." Kata Masumi. Mereka sudah mengudara selama dua jam.
Maya memiringkan kepala melihat ekspresi senang suaminya, "Aku juga. Aku lega semua sudah selesai."
Masumi tersenyum, mencondongkan tubuhnya dan mengecup bibir Maya, "Aku juga senang karena bisa jauh dari kakakmu dan memilikimu untukku sendiri."
Maya tertawa, "Kalian berdua memang tidak pernah berubah."
"Kakakmu itu pengganggu Maya." Gerutu Masumi.
"Ya, aku akui itu. Selain pengganggu dia juga cukup menyebalkan. Bukan begitu Tuan Hayami?" Goda Maya.
Masumi menarik sudut bibirnya menjadi seringai kecil karena candaan Maya, "Kau semakin pintar saja."
Keduanya tertawa. Maya dan Masumi sangat menikmati penerbangan mereka. Tanpa terasa keduanya sudah empat jam berada di udara.
Maya yang lelah bercerita dan tertawa akhirnya tertidur. Masumi tersenyum melihat istri mungilnya terlelap. Diapun melepaskan sabuk pengaman Maya dan membawa istrinya itu ke kamar.
Setelah membaringkan Maya di tempat tidur, Masumi duduk di dekat jendela dengan sudah membawa segelas anggur di tangannya. Mengamati luasnya langit yang mereka seberangi. Masumi menghela napas panjang. Betapa perjalanannya dengan Maya sudah sejauh ini. Banyak hal sudah mereka lewati dan Masumi bersyukur kalau sampai saat ini mereka masih bersama.
Menolehkan kepala dan memandang istrinya yang terlelap. Masumi mengulum senyumnya. Di dalam tubuh mungil istrinya itu terdapat keberanian luar biasa yang tidak pernah bisa dikalahkannya. Maya tidak pernah takut menghadapi apapun dan dia terus bertahan berada di sisinya tanpa pernah mengeluh sedikitpun meski banyak hal berat yang harus dilalui.
Masumi jujur dengan dirinya sendiri, sebenarnya Maya lah yang selama ini memberi kekuatan untuknya. Mungkin sudah lama dia menyerah untuk memperjuangkan hidupnya sendiri kalau saja dia tidak bertemu Maya. Tujuh tahun cintanya terpendam dan sekarang sudah hampir dua tahun mereka bersama sebagai suami istri. Rasa haru menyeruak dalam hatinya.
"Mayaku...," bibirnya mendesahkan nama itu dengan syahdu. Bahkan hanya dengan melihatnya tertidur lelap seperti itu sudah membuatnya begitu bahagia.
Masumi kembali berjalan ke tempat tidur lalu membaringkan dirinya di sebelah Maya. Mengusap lembut wajah cantik itu dengan jemarinya dan mendaratkan sebuah ciuman hangat di bibir mungilnya.
Dulu, sekarang dan selamanya, cintaku padamu tidak akan pernah berubah. Kaulah Bidadariku, satu-satunya dalam hidupku.
Milikku.
Janjiku, selama nyawa ini masih berada di dalam ragaku, aku akan terus menjagamu. Setiap hari dalam hembusan nafasku, hanya ada cinta untukmu. Mayaku.
***
Sebuah kecupan di kening memaksa Maya membuka mata.
"Selamat pagi sayang," senyum Masumi mengembang menyambut istrinya.
"Selamat pagi," Maya beringsut, memeluk Masumi dengan manja.
"Hei, kau tidak mau bangun? Ayah akan bertanya-tanya kalau tidak melihat kita di meja makan untuk sarapan." Kata Masumi.
"Baru semalam kau pulang lagipula ini hari sabtu, aku masih ingin memelukmu lebih lama lagi. Sudah tiga hari kau meninggalkanku, apa kau tidak merindukanku?" Maya menggerutu dalam pelukan suaminya.
Sudah dua bulan sejak Maya dan Masumi kembali dari New York. Mereka sudah kembali pada rutinitas aktris dan direktur utama.
Masumi tertawa, "Jadi kau merindukanku Nyonya?"
Maya menarik dirinya dan cemberut mendengar tawa Masumi. Matanya membulat ketika menatap suaminya.
"Ah iya aku lupa. Festival Drama Musim Semi di Kyoto pastinya di banjiri oleh aktris-aktris cantik. Mana mungkin kau ingat padaku," Maya memutar tubuhnya, memunggungi Masumi. Dia langsung memeluk guling besarnya yang selama tiga hari belakangan selalu setia menemaninya karena Masumi pergi ke Kyoto dalam rangkaian acara Festival Drama Musim semi.
Masumi langsung memeluk Maya yang sedang merajuk.
"Di Kyoto memang banyak aktris cantik tapi istriku yang tercantik," bisik Masumi. Jemari panjangnya menyingkirkan helaian rambut di sisi wajah Maya dan menyelipkannya ke belakang telinga. Mencium pelipisnya.
"Jangan merayuku," gerutu Maya lagi. Dia masih bergeming memeluk gulingnya.
"Aku tidak merayu. Kau yang paling cantik sayang, aku merindukanmu," kata Masumi disertai kecupan hangat di setiap jengkal wajah istrinya.
Maya telentang dan masih menatap kesal Masumi.
"Jangan cemberut."
"Kau menyebalkan."
"Aku? Bukankah memang sejak dulu? Kau selalu menyebutku kecoa menyebalkan," goda Masumi.
Maya menahan dirinya untuk tidak tertawa.
"Tapi faktanya kau mencintai kecoa menyebalkan ini kan?"
"Tidak,"
"Oh ya?"
Masumi mencium kening Maya, "Apa sekarang kau sudah mencintaiku?"
"Tidak," sahut Maya lagi. Dia menggigit bibirnya agar tidak tertawa.
Masumi mencium kedua mata Maya, "Kalau sekarang?"
"Tidak," Maya memalingkan wajahnya tapi Masumi meraih dagu Maya lalu mencium hidung mungil istrinya.
"Sekarang?"
"Ti-dak," Maya berkedip. Masumi menyentuhkan hidungnya pada hidung Maya.
"Sekarang?" Bisik Masumi di depan bibir Maya.
"Apa?" Bisik Maya.
"Apa kau mencintaiku Nyonya?"
"Ti-,"
Maya gagal menjawab karena Masumi sudah menenggelamkan bibir mungil itu ke dalam bibirnya. Memetakan setiap inchinya dan mengklaimnya sebagai miliknya seorang.
"Masu...mi...berhenti...," Maya mencoba mendorong Masumi ketika suaminya itu justru menjalankan bibirnya menuruni lehernya.
"Aku tidak akan berhenti sampai kau mengatakannya,"
"Aahh...Masumi...,"
Masumi tersenyum di leher Maya.
"Jadi?" Tanya Masumi diiringi sebuah gigitan kecil di dagu Maya.
"Hhmm," Maya hanya menggumam seraya memejamkan mata.
"Masumi...," Maya mendesahkan nama suaminya ketika Masumi menciumi garis rahangnya dengan lembut.
"Katakan sayang," rengek Masumi tanpa menghentikan rayuannya.
Maya tersenyum tipis.
"Senyummu manis Nyonya, aku jadi ingin mencicipinya," dan seperti apa yang dikatakannya, Masumi kembali memagut bibir istrinya.
Maya menyerah, "Aku mencintaimu...," desahnya begitu Masumi melepaskan bibirnya.
Senyum penuh kemenangan menghiasi wajah Masumi.
"Aku juga mencintaimu,"
Maya kembali mengulum senyumnya. Ibu jari Masumi mengusap lembut bibir mungil Maya.
"Aku sangat merindukanmu sayang," mendekatkan wajahnya, Masumi menyentuhkan lagi hidungnya pada hidung Maya. Mata mereka saling memandang dalam jarak yang sangat dekat.
"Masumi. Sarapan?" Maya berbisik.
"Lupakan. Kau sarapanku."
***
>>END<<
>>Every Day I Love You 8<<
>>Special Chapter : Every Day I Love You<<
17 Comments
Akhirnya sampai juga di last chapter
ReplyDeleteTerima kasih untuk semua TK lover yang sudah setia membaca dan selalu memberi semangat
Sampai ketemu di cerita lainnya ya :)
Ecieeeeee.... tamat nih yeeee #tepuktangan.
ReplyDeletetapi tapi tapi.... kok ga pake timun mas? Berarti bakal ada chapter selanjutnya dong ya? #kedip2.
Seperti biasa, sist... setelah konflik yang tegang dan menyebalkan lalu berakhir dengan manis #pelukMasumi #seretkekamar.
Makasih buat ficnya ya, kuharap bakal ada fic2 MM selanjutnya... dan secepatnya #eh xDD
Mksh mba agnes...ahh akhir yg bahagia...suka bgt..dtggu cerita2 selanjutnya mba
ReplyDeleteAaahh koq dipotong lg seruu2nya kaak.. hehehe aku juga mau dong jadi sarapannya masumi xixixi mantaap kak cerita nya ada special chapter nya ditunggu ya kaak...
ReplyDeleteAkhirnya tamat....
ReplyDeleteSweeetttt.... Bikin lanjutan nya lg dog sis. Ampe py anak dll. Hahaha
ReplyDeleteSweeetttt.... Bikin lanjutan nya lg dog sis. Ampe py anak dll. Hahaha
ReplyDeleteWaaaaww.. endingnya swiiit banget seperti biasa.. suami mana suami hahahaha.. makasih ya mbaa.. bikin fftk lagi yaa
ReplyDeleteJangan salah peluk tetangga ya sist..:D hahahaa
DeleteWaaaaww.. endingnya swiiit banget seperti biasa.. suami mana suami hahahaha.. makasih ya mbaa.. bikin fftk lagi yaa
ReplyDeleteBaguuuss buangeeettyy, seruuuu... Endingnya bagus, pas banget panjang alur ceritanya. Cuman kurang cerita di bgn yg pas davidnya kalah itu yaah.. Ga jelas siapa nembak siapa n kena mananyaa. Yang pasti maya masumi happy ending deh yaa... Setuju banget dgn christ yg bilang hrs kerja xtra bwt banyakin keuntungan, just in case maya perlu diselametin lagi hhaahaha. Mantap mba agnes (penghibur bngt baca seri fftk inii, sampe lupa komik aslinya msh belom tamat jg - ini termasuk wish list new year nii) Seri ms rei ditunggu jg lanjutannya.
ReplyDeletethank u sista
Deletekalo bagian siapa yang nembak david itu emang aku bebasin sista
ada 3 kalimat bermakna ambigu disana, perkataan polisi, Christ yang bilang mau beresin sama Masumi yang hampir mau bunuh David. Nah jadi terserah pembaca mau pilih siapa yang nembak. tergantung imajinasi masing2 :)
Seri Miss Rei bentar lagi juga selesai
thank uda baca n share komen juga :)
Huaaahhh maniissss banget mbakkk... endingnya passs motong di saat yang tepat.. makasih mbak udah bikin cerita yang super kereennn.. lanjutkan ya mbak buat karya keren yang lain.. sangat seneng bisa jadi penghibur dikala sepi... top :)
ReplyDeletepaling telat baca,, tapi paling sering ngulang soalnya baca ceritanya nagihh..wkwkwkwk plus jadi kangen muku sama suami...hahahha.. makasih mba agness,, love you
ReplyDeleteampunnn ini kl d film kan seru lohhh TOP wkwkwkw
ReplyDeleteDah dibaca berkali kalipun tetep meleleh lihat mm mesra ,moga ending komiknya kayak gini,love Agnes lanjut heartnya ya😊😊
ReplyDeleteDah dibaca berkali kalipun tetep meleleh lihat mm mesra ,moga ending komiknya kayak gini,love Agnes lanjut heartnya ya😊😊
ReplyDelete