Amortentia

Disclaimer       : JK Rowling
Setting             : Severus Snape dan Lily Evans di tahun ke lima Hogwarts, saat ujian OWL.



Aku tertegun menatap kuali yang bergolak. Uap berbentuk spiral yang khas keluar dari cairan yang berkilau seperti karang mutiara. Pikiranku melayang membayangkan serangkaian rencana yang berserakan di dalam kepalaku.

Haruskah aku melakukannya?

Dengan tangan gemetar aku menuang cairan itu ke dalam botol, beruntung tidak menumpahkannya. Biasanya tidak, ya tidak. Aku tidak akan seceroboh itu sampai menumpahkan ramuan di dalam kualiku tapi kali ini berbeda. Apa yang aku buat sesuatu yang tidak biasa aku lakukan. Bukan. Bukan, aku biasa membuat ramuan tapi sekarang...tujuan dari membuat ramuan inilah yang membuatnya berbeda. Gila. Ya, aku pasti sudah gila. Hanya saja aku tidak bisa memikirkan cara lain. Cara lain untuk mendapatkannya.

Aku menghela napas panjang. Ramuan itu sudah ada dalam genggamanku dan rencananya sudah ada di dalam kepalaku. Amortentia. Untuknya. Aku menggeleng keras untuk menyingkirkan pikiran yang merutuki diriku sendiri. Bergegas aku bangkit dari lantai dingin di ruang kebetuhan dan berjalan ke luar sebelum aku merubah lagi keputusanku.

Lorong panjang Hogwarts terlihat sepi, tentu saja, kebanyakan murid pasti sudah berada di depan perapian di ruang rekreasi mereka masing-masing. Juga mengingat sekarang masih dalam masa Ujian OWL, semua siswa kelas lima pasti sibuk tenggelam dalam buku, jelas hanya aku yang terlihat bodoh berkeliaran di lorong menjelang jam malam. Tapi kali ini dugaanku salah. Langkah kakiku berhenti tepat ketika seorang pemuda berdiri di ujung lorong menuju tangga bawah tanah asrama Slytherin.

"Hai Snivellus," sapanya. Dia bersandar santai pada dinding dengan kedua tangan menggantung di saku celananya.

Aku terdiam. Sama sekali tidak berniat membalas sapaannya yang jelas-jelas mengejekku. Dia berjalan menghampiriku yang masih bergeming.

"Aku tidak melihatmu di aula besar saat makan malam tadi. Apa kau sakit?" Sebuah senyuman dan tepukan di bahuku mengiringi pertanyaan dengan simpati palsu itu. Dengan cepat ku tepis tangannya dari bahuku.

"Itu bukan urusanmu Potter," tegasku. Segera ku selipkan botol kecil hasil eksperimenku tadi ke dalam saku jubah, memastikan dia tidak melihatnya apalagi mendapatkannya. Pemuda itu, yang namanya selalu ku kutuk di dalam hatiku, James Potter, terkekeh karena reaksiku.

"Tidakkah itu menggelikan? Kau menolak perhatian dari James Potter?" James menggelengkan kepalanya dengan ekspresi geli.

"Apa yang membuatmu begitu percaya diri sehingga semua orang harus menerima perhatian darimu? Kau dan semua ekormu itu tidak lebih dari sekedar hama pengganggu."

Alis James seketika melengkung tinggi tapi sesaat kemudian dia terbahak. "Apa kau baru saja mengataiku sebagai monster dengan ekor tiga?" katanya di sela-sela tawanya. Mata James menyiratkan kebanggan menjadi ketua dari kelompok Marauders, pembuat onar nomor satu di Hogwarts yang berisi kumpulan anak-anak bengal tanpa etika, Sirius Black, Remus Lupin dan Peter Pattigrew. Aku masih heran kenapa banyak anak-anak yang justru memuja mereka mengingat prestasi konyol mereka yang membuatku muak.

"Bagus kalau kau menyadari seperti apa kau sebenarnya." Rasanya aku ingin sekali melemparkan kutukan tak termaafkan pada pemuda yang kini terlihat begitu bahagia mentertawakan apapun itu yang dia anggap lucu. Karena bagiku tidak ada sesuatu yang bisa ditertawakan sekarang. Otaknya pasti sudah rusak hingga bisa terus tertawa seperti itu untuk sesuatu yang tidak jelas.

"Kau keterlaluan Snivellus," keluh James yang sepertinya tidak suka seiring dengan seringai licik yang sekarang menghiasi wajahnya.

Aku masih tidak habis pikir dengan Mr. Pembuat Onar sekaligus ketua dari Marauders bodoh. Alih-alih menggangguku bukankah lebih baik dia duduk di perpustakaan dan mengisi otaknya dengan sesuatu yang lebih berguna?

Baru kusadari James sudah berhenti tertawa. Sepasang mata coklat itu menatap bola mata hitamku. Kenapa aku jadi seperti golem yang sedang menunggu perintah?

"Hei Snivellus, ayo kita mengobrol."

***
"Lepaskan aku!" Aku meronta ketika tangan James mencengkram erat lenganku.

"Tidak disini, tidak disini," sahutnya santai tapi justru semakin mengeratkan cengkramannya.

Tubuhnya lebih besar daripadaku dan itu fakta yang sangat memuakkan bagiku. Terpikir untuk melontarkan kutukan padanya sekarang tapi perhatianku seratus persen teralihkan ketika dia membawaku menaiki tangga.

Bruk! Tubuhku menghantam dinding di depan menara burung hantu. Sialan! Pemikiran yang culas. Ya, tidak ada yang akan menemukan kami di sini. Para prefek tidak akan melakukan patroli sampai menara ini. Apalagi dengan udara malam yang cukup menusuk, aku yakin mereka enggan menaiki menara yang dihuni oleh dominasi burung hantu.

"Apa yang kau inginkan?" kataku lantang, jengah dengan perlakuan kasar James padaku.

Kenapa dia seolah berhak mempermainkanku sesuka hatinya? Hanya karena dia seorang Potter, Gryfindor tampan sekaligus seeker dalam Tim Quiddicth yang dikagumi bukan berarti dia bisa berbuat sesuka hatinya. Dia tidak berhak atasku. Aku merutuk dalam hati. Apa yang direncanakannya?

"Apa yang kau inginkan?" ulangku dengan nada yang lebih tenang. Aku tidak sudi terlihat takut di depannya.

"Bicara," desisnya di depan wajahku.

Bicara? Konyol! Sejak kapan dia mau bicara denganku?

Mata kami saling menatap tajam. Bertukar percikan kebencian. Satu langkah, dua langkah, dia mundur menjauh dariku meski tatapan matanya sama sekali tidak meninggalkanku.

"Ini tentang Evans," katanya kemudian memecah keheningan diantara kami. Dengan santai dia bersandar pada tiang pintu menara dan menautkan kedua ibu jarinya ke saku celana.

Sial! Tanpa sadar tanganku meraba saku jubah dimana aku menyimpan Amortentia-ku. Harapanku.

"Apa maksudmu tentang Lily?" tanyaku datar. Sedikit kebanggan terselip dalam hatiku mendengar James bahkan belum bisa menyebut nama depan gadis pujaanku.

Sinar rembulan yang masuk melalui celah jendela menara burung hantu menerangi wajah James yang sekarang tampak serius. Belum pernah aku melihatnya seserius ini.

"Snape."

Apa aku tidak salah dengar? Dia memanggil namaku? Dengan benar! Sialan! Aku merasa mual mendengarnya.

"Aku tahu kau tidak hanya menganggap Lily sebagai teman." James masih menatapku, kedua tangannya terlipat di depan dada. Setidaknya kami berjarak tiga kaki sekarang.

Jantungku berdegub. Apa dia tahu rencanaku?

"Kenapa diam Snape? Aku benar kan?" James tidak puas dengan kebisuanku.

"Apa? Jangan sok pintar di depanku Potter," jawabku datar.

Seringai tipis terurai di wajahnya. "Kau pikir dirimu pintar Snape?"

Kutarik sudut bibirku, membalas seringainya. "Setidaknya di dalam kepalaku masih ada organ yang bernama 'otak'."

Rahang James mengetat. Sepertinya aku sukses menyulut emosinya.

"Dan kau mengandalkan otak kecilmu itu untuk mendapatkan Evans?" James mendesis di sela-sela bibirnya.

"Aku masih tidak mengerti apa maksud ucapanmu Potter," jawabku dengan ketenangan yang masih terjaga.

"Jangan munafik Snape. Aku tahu kau mencintai Lily." James menatapku lekat dan aku bisa membaca kemarahan di matanya. "Kalau-kalau kau lupa, aku akan mengingatkanmu. Lily Evans adalah siswi Gryfindor dan itu berarti aku memiliki kesempatan lebih banyak untuk mendekatinya. Aku masih tidak habis pikir kalau dia bisa berteman dengan orang sepertimu tapi aku tetap yakin kalau Evans tidak akan memilihmu sebagai kekasihnya, seorang Slytherin, huh?" tegasnya kemudian.
Kedua tanganku mengepal kuat di dalam balutan lengan jubah hitamku. Sial! Perkataannya menamparku keras.

AKU TAHU! Kau pikir kenapa aku sampai memikirkan ide gila Amortentia kalau bukan karena itu!
Sayangnya, raungan itu hanya menggema di dalam kepalaku. Aku, Slytherin, tidak akan sudi menampakkan emosiku pada Gryfindor sombong sepertinya. Dia pasti akan menertawakan kemarahanku. Mungkin justru itulah tujuan sebenarnya, membuatku marah.

"Aku tidak peduli, lagipula apa yang akan kau lakukan padanya tidak ada hubungannya denganku." Aku menjawab pertanyaan itu tanpa berusaha menyelipkan emosi apapun. Dia tidak boleh tahu apa yang ada di dalam hatiku.

"Jelas ada hubungannya, kau mencintai gadis yang juga aku cintai," tegasnya lagi.

"Hubungan macam apa itu?" jawabku datar. Bodoh kau James.

Mata coklat James melebar padaku. Kali ini kakiku yang melangkah mendekat padanya.

"Perasaanmu padanya bukan urusanku," tegasku di depan wajahnya dan sekarang terlihat jelas rahangnya yang mengetat marah.

"Jauhi Lily," desisnya penuh emosi.

"Jadi inikah Potter yang sebenarnya?" Aku memberikan sebuah seringai tajam sebagai jawaban atas pernyataannya. Keningnya James berkerut dalam.

"Kalau tadi kau begitu membanggakan dirimu yang satu asrama dengannya dan percaya diri bisa mendapatkannya, kenapa kau harus takut kalau aku dekat dengannya? Apa kau merasa tersaingi olehku Potter?" Hatiku bersorak senang. Pernyataan Potter menjelaskan ketakutannya akan keberadaanku. Dia bergeming dengan tatapan tajam yang seolah siap mengiris setiap bagian tubuhku.
"Begitu Potter? Kau takut aku merebutnya darimu?" Aku balas mendesis di depannya.

Puas kunikmati ekspresi kekalahan di wajah James, ku langkahkan kaki meninggalkannya yang masih bergeming dan sepertinya sedang berusaha mencerna setiap kata yang sudah ku ucapkan.

Bodoh! Aku kembali memakinya dalam hati ketika kakiku menginjak anak tangga.

***
Berbaring, ku tutup semua tirai tempat tidur dan menikmati duniaku sendiri. Aku tahu ini sudah larut malam tapi mataku tidak juga bisa terpejam. Banyak hal berputar dalam kepalaku sekarang.

“Lily.” Bibirku menggumamkan namanya dengan syahdu. Nama yang sudah terukir dalam di hatiku. Nama yang selalu mengisi kepalaku dan selalu membuatku hampir gila karena memikirkannya.

Kuangkat botol kecil dalam genggamanku dan menatap cairan berkilau itu. Masih ada keraguan terselip dalam hatiku.

Akankah aku sanggup melakukan ini? Seorang Slytherin melakukan hal bodoh seperti ini?

Beragam kata makian muncul dalam kepalaku sekarang. Memaki diriku sendiri. Sejenak aku teringat akan ketakutan James tadi, bibirku menyunggingkan seringai penuh kebanggan.

Apakah dengan begitu aku memiliki harapan? Apa benar Lily memiliki perasaan yang sama denganku? Jika tidak, kenapa James takut akan keberadaanku di dekat Lily?

Ku letakkan botol kecil itu di depan dadaku. Menetralkan debaran jantung akibat semua adrenalin yang berlompatan karena rencana gilaku.

Aku tidak rela kehilangannya. Tidak akan pernah rela. Tapi ....

Ku hela napas dan ku rasakan keputus asaanku.

Apa aku layak untuknya? Aku? Aku?... Lily, aku mencintaimu.

Bisikan hati itu mengantarkanku ke alam lain dimana aku bebas memeluknya sebagai milikku. Mimpiku.

***

Pagi yang suram, menurutku, langit mendung dan salju turun cukup deras. Kurapatkan bagian depan jubahku untuk menghalau udara dingin dan mendekap lebih erat tumpukan buku dalam lenganku. Berjalan menyusuri tangga bawah tanah asrama Slytherin, aku mempercepat langkah menuju aula besar untuk sarapan.

Baru saja aku berbelok di koridor, suara tawa di belakangku membuat langkah kakiku seketika membeku. Tak perlu menoleh untuk tahu sumbernya karena suara itu bahkan sudah ku hapal di luar kepala. Suara yang bahkan sering bergema di gendang telingaku meski sang empunya tidak berada di depanku.

"Pagi Sev."

Sapaan itu meluruhkan es yang membekukan kakiku.

"Pagi," balasku tanpa menoleh padanya.

"Kau ini, tersenyumlah Sev. Pagi ini sudah cukup suram tanpa harus di tambah dengan wajahmu yang tertekuk itu," gerutunya.

Ekor mataku melihatnya cemberut dan aku tidak suka karena itu tidak sesuai dengan wajah cantiknya. Lily Evans, gadis dengan rambut merah gelap yang tergerai indah dan mata almond dengan warna jamrud yang berkilau. Tak ada yang sanggup menolak pesonanya. Termasuk aku. Entah sudah berapa tahun lamanya aku memendam rasa ini. Dia adalah alasan yang bisa membuatku dikirim ke St. Mungo karena tergila-gila padanya.

"Apa sekarang kau juga suka menjadikanku bahan lelucon Lily?" Aku menoleh padanya.

Mulutnya menganga tapi dengan cepat menutupnya kembali dan memberiku sebuah pukulan di lengan.

"Aku memintamu tersenyum bukannya mengolok-ngolokmu!" bentaknya kesal.

"Itu sama saja." Aku kembali melangkahkan kaki menuju aula besar. Kali ini aku menjaga kecepatan langkahku agar gadis di sebelahku ini bisa tetap berjalan di sisiku.

"Oh ya Sev, apa kau sudah memiliki rencana untuk liburan musim panas nanti?" tanyanya santai.

Aku mendengus dalam hati. "Kau tahu jawabannya," jawabku datar.

Dia mendesah pelan, sekali lagi ekor mataku melihat reaksinya.

"Tidak jawabannya kalau kau ingin aku bergabung denganmu dan yang aku asumsikan bersama kakakmu –muggle bodoh dalam pikiranku- untuk menghabiskan libur sekolah di musim panas," tegasku begitu Lily berusaha membuka mulutnya.

Dia mendengus kali ini dan aku tertawa dalam hati melihat wajahnya sekarang.

"Kapan kau akan merubah sifat menyebalkanmu itu?" katanya putus asa.

"Kau tahu jawabannya kan?" tegasku lagi.

"Keras kepala," dengusnya seraya melipat tangan di depan dada.

"Aku tahu."

Kami terus berjalan dan aku dengan senang hati mendengarnya bercerita tentang ujian OWL Ramuan kemarin dimana dia berhasil membuat Ramuan Tidur Tanpa Mimpi dengan sempurna dan mendapat pujian dari Profesor Slughron. Ya, dia memang ahli dalam hal itu. Salah satu alasan kenapa aku juga menyukai mata pelajaran Ramuan meski Profesor Slughron tidak pernah melirik bakatku karena…jelas aku tidak akan masuk ke dalam kriteria murid kesayangannya, aku tidak peduli.

Aku mengumpat dalam hati ketika akhirnya kami tiba di pintu aula besar. Bukan hanya karena sekarang aku harus berpisah dengan Lily karena meja makan kami terpisah tapi juga karena aku melihat ketua Marauders langsung menatapku tajam.

"Kita bertemu lagi sebelum makan siang. Oke? Sampai nanti."

Tak repot menunggu jawaban dariku, Lily mempercepat langkahnya menuju meja panjang Gryfindor dan duduk bersama teman-teman perempuannya. Segera ku putar kakiku menuju meja panjang Slytherin dan berusaha mengabaikan sepasang mata yang masih menatapku tajam.

Sekarang, selezat apapun makanan yang tersaji di hadapanku semuanya tetap terasa hambar. Tanpa rasa. Aku teringat sesuatu. Ku raba saku jubahku. Ada. Ya, masih ada di sana. Akankah aku melakukannya? Lagi-lagi batinku kembali bergelut.

Jengah melihat James yang terus menatapku sehingga membuat makananku semakin susah untuk di telan, akhirnya aku memilih untuk meninggalkan aula besar. Masih sempat ku lihat Lily melambaikan tangan padaku sebelum aku melewati pintu ganda raksasa dan menghilang di ujung koridor. Dengan masih mendekap buku-buku di dadaku, aku mempercepat langkah menuju ruang kelas.

***
Rumpun semak-semak, sungai yang disinari matahari, gemerlapan aliran air yang jernih. Bayangan yang ditimbulkan oleh pepohonan menciptakan naungan teduh dan hijau. Di bawahnya, sepasang anak laki-laki dan perempuan duduk bersila berhadapan di tanah. Berbagi cerita dan melupakan semua disekitarnya. Mereka dan dunianya.

Sudut bibirku tertarik begitu otakku selesai memutar memorinya. Tempat ini sepi sehingga aku tidak khawatir orang melihat ekspresi konyol karena senyum langka yang menghiasi wajahku. Sore itu, aku sedang duduk di halaman belakang kastil, di bawah pohon yang jauh dari keramaian. Siapa yang akan menggangguku sekarang? Ku rasa tidak ada bahkan juga kelompok Marauders menyebalkan itu. Aku tahu mereka sedang berada di tempat favorit mereka di dekat danau.

Baru saja aku membalik halaman buku di pangkuanku, suara langkah kaki mengganggu konsentrasiku. Sekali lagi aku tahu siapa yang datang hanya dari derap kaki riangnya. Semua tentangnya sudah terekam dengan baik oleh panca indraku.

"Sev, aku mencarimu sejak tadi," katanya dengan napas terengah.

Aku tidak mengalihkan perhatianku dari buku apalagi menatapnya meski aku yakin sekarang wajahnya memerah karena habis berlari.

"Hhmm." Aku hanya menggumam menjawabnya.

"Sev." Suaranya terdengar kesal dan batinku terkekeh membayangkan dia merajuk.

"Hhmm," gumamku lagi.

"Hei, apa buku itu lebih menarik daripada aku?" katanya yang jelas menunjukkan kekesalannya karena merasa diabaikan.

Aku tergelak dalam hati. Kau bercanda Lily? Sumpah demi apapun di dunia ini kalau kau sejuta kali lebih menarik dibanding dengan buku yang ada di pangkuanku. Aku hanya tidak sanggup melihat matamu.

"Sev, aku akan pergi kalau kau terus mengabaikanku," ancamnya dan itu membuatku langsung mengangkat wajah dan memandangnya. Otomatis, aku terperangkap dalam sepasang mata hijaunya. Jamrud indah yang berkilau, yang selalu sukses menghipnotisku dan membuatku bertekuk lutut dalam pesonanya.

"Aku tidak mengabaikanmu," jawabku datar. Menyembunyikan sejuta rasa dalam hatiku.

"Tapi kau terus membaca dan tidak mengacuhkanku," protesnya.

"Kalau-kalau kau lupa Lily, besok adalah Ujian OWL untuk Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam dan ku rasa ini lebih cocok disebut dengan belajar daripada mengabaikan."

Lily mendengus padaku, "Kau ini, memang selalu menyebalkan."

"Kau tahu itu."

"Ya aku tahu Severus ‘Menyebalkan’ Snape." Lily menghempaskan dirinya di sebelahku dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Masuklah. Angin cukup kencang di sini," kataku kemudian begitu melihatnya bergidik.

"Kau sendiri kenapa disini?" protesnya lagi.

“Mendinginkan kepala.”

Tawa renyahnya pecah dan hatiku tersenyum dengan lebarnya.

“Ya kau butuh itu kalau kepalamu tidak mau meledak sebelum ujian OWL berakhir,” katanya di sela tawanya yang sekarang menggetarkan jantungku.

“Apa kau sudah belajar?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.

“Tentu saja,” jawabnya singkat.

Kami terdiam. Lily membiarkanku membaca beberapa halaman sebelum akhirnya dia menghela napas panjang.

“Kau akan mati bosan kalau tetap disini.”

“Kau juga akan mati tercekik kesendirianmu kalau aku pergi.”

Hampir aku terbahak karenanya.

"Sev, tidak adakah teman yang baik dari asrama Slytherin-mu yang bisa kau ajak bicara?"

Pertanyaan Lily yang tiba-tiba itu membuatku mengerutkan kening dalam.

"Maksudmu dengan ‘teman yang baik’?" Akhirnya aku menutup buku di pangkuanku dan menoleh pada gadis cantik di sebelahku.

"Maksudku, aku tidak suka beberapa temanmu. Maafkan aku, tapi aku benci Avery dan Mulciber, mereka suka melakukan sihir hitam. Selain itu dengan memiliki teman baik kau tidak harus sendirian sepanjang waktu dan bisa memiliki teman untuk sekedar bicara atau mengerjakan tugas bersama," jelas Lily.

"Kau temanku. Bukan?"

"Tentu saja." Dia memukul lenganku. "Tapi maksudku bukan itu. Aku tidak satu asrama denganmu jadi aku tidak bisa selalu menemanimu. Kau perlu teman yang baik Sev, agar kau tidak tertular penyakit Avery dan Mulciber dan agar sifat kakumu itu tidak merubahmu menjadi batu."

Batu? Istilah yang bagus. "Aku tidak perlu itu Lily," kataku kemudian.

Lily kembali menghela napas panjang.

"Kenapa? Kau baik-baik saja?" Sekuat tenaga aku menyembunyikan kecemasan dalam nada suaraku karena melihat raut wajahnya yang mendadak muram.

"Aku baik-baik saja Sev, aku hanya mencemaskanmu."

Kembali keningku berkerut dengan pernyataannya, meski faktanya aku justru senang mendengarnya karena dia peduli padaku.

"Aku baik Lily, tidak sakit atau tertular penyakit seperti yang kau katakan, kalau itu yang kau cemaskan. Lagipula apa pentingnya mencari banyak teman, apa kau ingin aku membuat saingan Marauders?" jawabku sekenanya, mencoba merubah wajah muramnya.

Lily menggeleng seraya mendengus dan menggumamkan kekesalannya pada para Marauders yang menurutnya juga tidak beretika itu. Entah kenapa hatiku dijalari kelegaan ketika mendengarnya. Aku kembali merasa aneh melihat raut wajah Lily yang tidak seperti biasanya.

"Apa yang sebenarnya kau cemaskan Lily?" Aku melihat dia menyembunyikan sesuatu dariku, kecemasan, ketakutan, kepedulian atau entah apa itu, yang jelas jamrud yang tadi berkilau itu kini menampakkan gurat kesedihan. Herannya, tanda tanya dikepalaku justru membuat hatiku berbunga, seserius itukah dia memikirkanku? Reflek tanganku mengepal erat di bawah buku, teringat botol kecil yang masih terselip di dalam saku jubahku. Aku tidak harus menggunakannya jika dugaanku benar.

"Apa yang aku cemaskan?" Lily mengulangi pertanyaanku.

"Iya, apa yang kau cemaskan dariku?" tanyaku yang berharap akan mendapatkan kejelasan akan makna diriku di depannya, dihatinya, semoga.

“Aku takut kau terseret dengan kegelapan di tengah kesendirianmu.”

Aku mengerti maksudnya. Aku terdiam.

“Maaf,” gumamnya.

Ada perih tertoreh di hatiku. “Kau berpikir aku akan menjadi orang jahat Lily? Seorang Death Eater?” Kupalingkan wajahku darinya dengan kecewa.

Kami tertelan dalam keheningan yang menyesakkan.

Kau takut aku menjadi jahat atau kau tidak percaya kalau aku adalah orang yang baik?

“Apa artinya aku bagimu Lily?” Entah kegilaan apa yang sekarang merasukiku hingga pertanyaan itu meluncur dari bibirku.

“Kau sahabat baikku Sev, sahabat pertamaku yang mengenalkanku akan dunia sihir,” jawabnya cepat dengan kilau mata yang bisa membunuhku karena selalu membuatku lupa untuk bernapas.

“Sahabat.” Kuhempaskan napas panjang untuk mengisi paru-paruku yang menjerit. Lagi-lagi tanganku mengepal di bawah buku.

“Ya, dan aku peduli padamu,” tegasnya.

“Peduli sebagai sahabat,” lirihku dengan mata yang memandang kosong pada langit sore yang berpendar oranye. Bersandar pada batang pohon, kurebahkan semua rasa dalam keputus asaanku. Dia hanya menganggapku sahabat. Pedih itu kembali menghujam hatiku.

“Sev.” Lily mengusap lenganku dengan lembut. “Kau marah padaku?”

Aku menggeleng.

“Sev,” panggilnya lagi.

Suaranya merayu di gendang telingaku yang hampir meluruhkan segala akal sehatku. Ingin rasanya ku minumkan Amortentia di dalam sakuku ini padanya agar dia tahu apa yang aku rasakan saat ini. Merasakan kegilaan karena mencintainya dan sekarang terhempas dalam luka karena sampai saat ini aku hanya bernilai sebagai “sahabat” baginya.

“Kau tahu apa yang bisa membuat seseorang menjadi jahat Lily?” desahku di tengah keheningan dan keputus asaanku.

“Ya?”

Aku menoleh padanya, “Jika seseorang sudah tidak memiliki alasan lagi untuk berbuat baik.”

Sekali lagi keheningan menalan kami ketika bola mata jamrud itu hanya bisa menatapku sendu.

***
Aku berjalan menjauhi kastil dengan mata masih terpaku pada lembaran soal ujian OWL Pertahanan Terhadap Ilmu Hitam yang baru saja aku lalui. Mencoba menimbang semua jawabanku dan memprediksi nilai yang mungkin aku dapatkan.

Aku menahan diri untuk tidak tertawa saat mengerjakan soal nomor sepuluh tadi, berikan lima tanda untuk mengenali manusia serigala! Bercanda, aku jelas tahu, bahkan salah satu dari makhluk itu selalu mengerjaiku. Siapa lagi kalau bukan Remus Lupin, si Moony, salah satu dari Marauders pimpinan James Potter. Meski begitu si Moony tidak terlalu sering menggangguku. Aku bahkan sempat heran kenapa kutu buku seperti dia bisa bergabung dengan Sirius Black juga Peter Pattigrew menjadi anak buah Marauders yang prestasinya untuk membuat keonaran di Hogwarts sudah tidak perlu diragukan lagi.

“Baik-baik saja Snivellus?”

Sapaan yang kelewat bersemangat itu membuatku menyadari dimana aku sekarang.

Sial! Aku tidak memperhatikan jalan.

Aku berdiri tidak jauh dari pohon beech di dekat danau yang adalah ‘markas’ mereka. Segera aku memasukkan kertas ujianku ke dalam saku. Dan menatap ketua Marauders, James, juga anak buahnya, Sirius, yang sekarang memandang penuh kesenangan padaku.

 Apa lagi yang akan mereka lakukan? Tidak bosankah mereka menggangguku?

Ku jatuhkan tasku dan bersiap menyerangnya dengan tongkatku tapi seperti biasa, aku kalah cepat. Mantra Experlliarmus yang terlontar dari James sudah membuat tongkatku melayang sebelum bibirku melontarkan mantra kutukan padanya. Tawa girang keduanya memekakkan telinganku. Tentu saja hal itu menarik perhatian anak-anak di sekeliling kami. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya aku menjadi bahan olok-olokan mereka dan menjadi hiburan bagi anak lainnya.

Aku mencoba mengambil tongkatku tapi sebuah mantra membuatku kembali terhempas ke tanah dengan napas terengah. Impedimenta, Sirius sangat bersemangat memamerkan keahliannya. Aku memaki mereka dengan beragam makian dan mantra kutukan tapi jelas saja itu tidak akan berpengaruh karena tongkatku berada sepuluh kaki di depanku. Tubuhku seperti terikat dan aku tidak bisa berkutik.

“Tinggalkan dia SENDIRI!”

Hardikan itu hampir membuat jantungku lepas dari tempatnya. Sungguh aku lebih memilih mati sekarang daripada dia melihatku seperti ini. Dari sudut mata, ku lihat Lily berjalan dari danau menghampiriku.

Jangan lihat aku sekarang Lily! JANGAN!

“Baik-baik saja Evans?”

Suara James mendadak berubah dalam dan dewasa, seolah berusaha merayu Lily yang sekarang bahkan sedang memandang marah padanya.

“Tinggalkan dia sendiri,” Lily mengulangi perkataannya sementara aku masih berusaha lepas dari mantra perintang yang membuatku kesulitan bergerak.

Lily dan James terlibat adu mulut dan aku kembali mengutuk karena James mengajak Lily berkencan dengannya sebagai syarat untuk melepaskanku. Kesabaranku sudah sampai pada batasnya. Bersamaan dengan itu, mantranya melonggar dan aku berlari meraih tongkatku.

Gagal. Itulah yang terjadi. Sirius menyadari gerakanku sementara James masih sibuk beradu argumen dengan Lily. Entah bagaimana semua itu terjadi dan aku merutuk diriku sendiri yang karena kelemahanku, membuatku sekarang tergantung terbalik di udara dan menjadi sebuah tontonan paling memalukan sekaligus paling tidak manusiawi. Sekali lagi aku ingin mati sekarang ketika ku lihat mata Lily melebar padaku.  Semua anak tertawa kecuali Lily dan Remus yang bahkan masih tenggelam dalam bukunya meski kehebohan ini hanya berjarak beberapa kaki darinya.

“Turunkan dia!” Lily berteriak lantang untuk membelaku dan aku tidak tahu apa aku sanggup memandang lagi wajahnya saat aku lepas dari cengkraman para Marauders yang tidak berperi kemanusiaan ini.

Tanpa daya aku membiarkan Sirius melontarkan mantra Petrificus Totalus, yang sontak membuatku jatuh ke tanah dengan tubuh sekaku papan. Kali ini bukan hanya tubuhku yang terhempas tapi semua harga diriku juga ikut hancur dan luluh lantak di hadapan gadis pujaanku.

“TINGGALKAN DIA SENDIRI!” Lily kembali meraung membelaku dan kali ini dia menarik tongkatnya.

Adakah yang bisa membunuhku sekarang? Aku akan sangat berterima kasih kalau ada yang mengacungkan tongkatnya dan melontarkan mantra Ava Kadavra padaku saat ini juga. Sungguh aku tidak ingin hidup lagi. Dipermalukan dan di hancurkan harga dirinya di depan orang yang kau puja, adakah yang lebih buruk dari ini?

Teriakan Lily berikutnya membuat James merapal kontra kutukan dan melepaskanku. Aku bebas tapi apa yang harus aku lakukan sekarang? Malu, marah, apalagi yang tersisa dariku. Lily berusaha membantuku berdiri.

“Kau beruntung ada Evans disini, Snivellus,” ujar James dengan santainya.

Aku terbakar dengan perkataannya. Dia yang sudah meremukkan harga diriku di depan gadis pujaanku sekarang justru dengan santainya menyeringai padaku. Lily meraih tanganku tapi aku berada di luar kendaliku sekarang. Apa yang sudah dilakukan James dan Sirus sudah mengaburkan akal sehatku.

“Aku tidak butuh bantuan dari darah lumpur sepertinya!” raungan itu meluncur begitu saja dari bibirku ketika mata James menumbuk bola mata hitamku.

Seketika Lily tersentak dan melepaskanku. Aku tersadar, terjegil dengan apa yang baru saja aku katakan. Kilau jamrud itu kini menampakkan luka dan aku begitu tersayat karena faktanya akulah yang menorehkan luka itu tapi apa yang bisa aku lakukan sekarang?

“Baik.” Lily menatapku tenang dan aku bersumpah melihat kilat kemarahan yang sama sekali belum pernah tampak di jamrud indahnya. “Aku tidak akan mengganggumu lagi di kemudian hari dan aku akan mencuci celana dalamku kalau aku jadi kau Snivellus.”

Seketika duniaku hancur di bawah kakiku saat dia, satu-satunya orang di dunia ini yang aku sayang, pergi berbalik meninggalkanku dengan pandangan kebancian dan kalimat penghinaan. Sebuah seringai tipis menghiasi wajah James saat kemudian dia dan para Marauders meninggalkanku dalam lembah terdalam hidupku.

Ya, kau menang James. Kau menang dalam permainan ini. Aku tidak akan sanggup meninggalkan Lily sesuai apa yang kau inginkan tapi kau telah berhasil membuatnya meninggalkanku.

***
“Maafkan aku.”

“Aku tak tertarik.”

“Aku menyesal.”

“Percuma bicara.”

Aku terhenyak. Malam yang menyedihkan saat aku berdiri di depan lukisan Nyonya Gemuk, pintu masuk asrama Gryfindor, dan memohon sebuah pengampunan dari gadis yang memiliki seluruh hati dan hidupku.

“Aku tidak pernah bermaksud memanggilmu darah lumpur, itu hanya-,”

”Salah bicara?”

Sekali lagi hatiku tersayat ketika kulihat tidak ada kelembutan pada suara dan tatapan mata Lily padaku.

”Sudah terlambat,” katanya lagi. “Aku sudah bertahun-tahun mengabaikan pendapat teman-teman tentang kita, menganggapmu sahabatku. Tidak satupun temanku bisa memahami kenapa aku bisa bicara padamu. Tapi aku percaya padamu. Aku juga peduli padamu bahkan saat semua orang mengira kalau kau akan bergabung dengan kelompok Death Eater, aku masih mencoba percaya padamu. Sekarang bisakah aku percaya padamu? Setelah apa yang ku dengar? Setelah aku tahu bagaimana kau menilaiku?”

Gadis pujaanku tengah meluapkan semua emosinya sekarang. Salahku. Ya, salahku kalau sampai dia membenciku. Kebodohan dan kelemahanku. Aku hanya bisa menyerah sekarang. Menyerah pada kebenciannya padaku.

“Katakan sesuatu Sev?” bentaknya padaku.

Aku membuka mulutku tapi dengan cepat menutupnya kembali. Memang apa yang harus aku katakan sekarang? Tawaran menjadi Death Eater memang sudah diberikan padaku tapi aku belum mengambil keputusan. Malam ini aku datang dengan sebuah pengharapan, bahwa pengampunan darinya akan membuatku memilih jalan lain. Jangankan menolak tawaran menjadi Death Eater, aku bahkan rela menyerahkan hidupku di kakinya.

“Kenapa kau diam saja? Kau tidak menyangkal padaku? Atau bahkan sekarang kau sudah tidak sabar untuk bisa bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa?”

”Tidak!...dengar, aku tidak bermaksud-,”

”Sudahlah. Kau memilih jalanmu, aku memilih jalanku.”

Harapanku hancur ketika gadisku akhirnya memalingkan wajahnya dan dengan tatapan penuh luka memalingkan wajahnya dariku dan melangkah pergi meninggalkanku, menghilang di balik lukisan.
Inilah akhirnya…ya inilah akhirnya.

Ku raih botol kecil dari sakuku dan menatap hampa cairan berkilauan dalam tanganku.

Bahkan kalaupun sekarang aku meminumkan ini padanya, aku tidak yakin bisa merubah kebencian sebesar itu menjadi cinta.

Kueratkan genggaman tanganku. Cairan itu meleleh di sela-sela jariku dan warnanya sudah tak lagi berkilau seperti karang mutiara melainkan menjadi merah segar dan berbau anyir.

Dulu, sekarang dan selama jantung ini masih berdetak dalam ragaku, aku akan terus mencintaimu, Lily-ku. Tapi…kurasa sekarang aku sudah tidak memiliki alasan lagi untuk menjadi baik. Selamat tinggal.




***
-With love from Agnes-
Tribute for Alan Rickman
14 Januari 2016 - 21 Februari 2016

Follow me on :
Facebook Agnes FFTK
Wattpad @agneskristina

Post a Comment

2 Comments

  1. aku ga baca ulang yak? sebab kan kmrn udah baca. haiiiish di sini aku jadi beneran sebel ama Marauders, terutama James. Jangan2 si James begitu krn dia punya modus tersembunyi. Jangan2 dia yang sebenernya pengen ngedeketin Sev, iya kan? kan? kan? #digetokauthornya xDD

    WELCOME TO THE JUNGLE, NES... mudah2an ga di event ini aja kau ikutan nulis di fandom Harry Potter yak... #kecup2

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ku getok bener kalau sampai kau pairingkan mereka dua #lemparsandaljapit XD
      Ya semoga bisa terus lanjut say
      sempet nyesel juga kenapa ga dari dulu berani tulis fic ini, hahhahaa
      #edisiOverPD
      #gayatingkatdewa
      #termehek_mehek_lagi
      #cium_jauh_buatmu

      Delete