Every Day I Love You - Chapter 7



Maya bergidik memeluk dirinya sendiri, bayangan hitam berkelebat menghantuinya.
Aku dimana?
Maya mengamati sekelilingnya. Dia ada di lorong-lorong panjang yang hanya diterangi temaram lampu.
Tiba-tiba sebuah tangan membekap mulutnya, membuatnya terkejut dan ketakutan.
Tolong! Tolong!
"Akkkhh!" Maya meronta dan tersadar. Bingung. Dengan wajah panik dia memutar mata. Sedetik kemudian ekspresinya melunak.
Aku dikamar? Ah...hanya mimpi buruk.
Brak! Pintu kamar terbuka dengan keras dan sepasang mata gelap penuh kecemasan menatap Maya yang terduduk di atas tempat tidur dengan kening berpeluh.
"Masumi." Kelegaan menjalari hati Maya ketika dia melihat suaminya.
Dengan langkah lebar Masumi bergegas menghampiri istrinya, "Ada apa sayang? Kenapa berteriak?"
"Aku mimpi buruk," Maya beringsut dari duduknya dan Masumi yang duduk di tepi tempat tidur segera mendekap Maya yang masih terlihat bingung.
"Sshh, tenang, hanya mimpi,"
Maya mengangguk di dada suaminya.
"Mau minum?" Masumi menunduk melihat Maya.
"Iya," Maya menarik dirinya dari dekapan Masumi dan membiarkan suaminya mengambil minum.
Maya merasa lebih tenang ketika air dingin membasahi kerongkongannya. Melihat jam di atas nakas, Maya mendesah panjang.
"Kenapa?" Tanya Masumi yang sudah kembali duduk di sisi istrinya.
"Mama dan Papa pasti sudah pulang. Aku tidur terlalu lama," keluh Maya pada dirinya sendiri. Waktu sudah hampir senja.
"Mereka sengaja tidak membangunkanmu karena tidak mau istirahatmu terganggu," jelas Masumi.
Maya bergeser dan duduk di tepi tempat tidur.
"Mau kemana?" Tanya Masumi bingung melihat Maya.
"Kamar mandi," jawab Maya datar.
Masumi hanya mengikuti Maya yang masuk ke kamar mandi dengan pandangan matanya. Mendesah pelan, Masumi menggosok kening dengan jemari panjangnya. Dia baru saja keluar dari ruang kerja ketika mendengar teriakan Maya. Banyak hal yang menjadi perenungannya saat ini. Masumi menghentikan lamunannya ketika Maya muncul dari kamar mandi.
"Ada apa?" Maya duduk di sebelah suaminya. Heran melihat Masumi tertegun.
Masumi menggeleng, menyembunyikan kekhawatirannya, "Hanya sedang memikirkanmu,"
"Aku?"
Masumi tersenyum, "Aku senang kau bisa kembali ke rumah,"
"Oh,"
Masumi menyandarkan lengannya ke bahu Maya, menghilangkan jarak keduanya.
"Kau sudah lapar?" Tanya Masumi. Tangannya mengusap lembut bahu Maya.
Maya menggeleng, tangannya mengusap perutnya.
"Kenapa? Masih sakit?"
"Hanya mual,"
"Aku sudah minta Misae menyiapkan bubur dan sup untukmu."
Maya mengangkat wajah menatap Masumi, "Terima kasih,"
Masumi kembali mengulum senyum, "Sudah seharusnya."
Maya membalas senyum suaminya, menyandarkan kepalanya ke dada bidang Masumi.
"Aku berterima kasih setiap waktu pada Tuhan karena memiliki suami sebaik dirimu,"
Hati Masumi bergolak, tidak yakin Maya akan tetap mempertahankan pendapatnya barusan kalau sampai melihat fotonya bersama Shiori.
"Aku juga bersyukur memilikimu sebagai istriku," Masumi mengecup puncak kepala istrinya.
"Meski aku sering merepotkan?" Maya mendongak menatap suaminya.
"Merepotkan?" Kening Masumi berkerut.
"Keras kepala? Manja?" Kata Maya lagi.
Masumi tertawa. Istrinya itu selalu saja bisa membuatnya tertawa. Sejenak beban di kepala Masumi terlupakan.
"Tidak sayang, kau tidak merepotkan, meski keras kepala. Aku suka memanjakanmu," jawab Masumi setelah selesai dengan tawanya.
Maya mengulum senyum, "Terima kasih,"

***
Eisuke sudah menunggu Maya di ruang makan. Makan malam juga sudah tersaji di meja, menu khusus untuk Maya.
"Selamat malam ayah," sapa Maya lembut. Dia dan Masumi duduk bersebelahan di meja makan sementara Eisuke duduk di ujung meja makan.
"Selamat malam Maya. Bagaimana keadaanmu?" Tanya ayah mertuanya itu dengan penuh simpati. Maya masih terlihat pucat.
"Sudah lebih baik," jawab Maya.
Maya mengalihkan pandangannya pada makanan di depannya. Perutnya langsung bergolak tidak nyaman.
"Kau tidak suka?" Tanya Masumi karena melihat istrinya hanya bergeming menatap mangkuk bubur.
"Aku suka," jawab Maya seraya mengembangkan senyumnya.
"Kalau begitu cepat dimakan sebelum dingin."
Maya mengangguk, segera menyantap bubur dan supnya. Baru setengah Maya menghabiskan isi mangkuk, perutnya kembali bergolak tidak nyaman. Maya meneguk air untuk mengurangi mualnya.
"Kenapa sayang?" Masumi heran melihat Maya berhenti makan.
"Cukup, perutku tidak bisa diisi lagi," kata Maya.
"Sakit?"
"Tidak, hanya...mual," Maya berbisik di akhir kalimatnya, tidak enak merusak makan malam suami dan ayah mertuanya.
"Apa kau ingin dibuatkan sesuatu yang lain Maya?" Tanya Eisuke yang sangat memahami keadaan menantunya.
"Tidak ayah, sudah cukup," jawab Maya.
Eisuke hanya mengangguk menanggapinya.
"Lanjutkan makanmu, aku tidak apa-apa," kata Maya karena melihat suaminya juga berhenti makan.
"Kau yakin tidak mau apapun?"
Maya menggeleng, "Tidak," tegasnya.
Masumi kembali melanjutnya makan malamnya dan Maya dengan tenang memperhatikan suaminya. Maya mengerucutkan bibir ketika menyadari kalau suaminya terlihat lebih kurus.
"Kau terlihat kurus," gerutu Maya yang tiba-tiba mengutarakan isi kepalanya. Sontak Masumi menoleh pada istrinya.
"Siapa?" Masumi mengernyit pada istrinya.
"Kau, terlihat kurus," ulang Maya.
Masumi mengamati dirinya sendiri lalu melempar senyum geli pada istrinya.
"Hanya perasaanmu saja, aku merasa tidak ada yang berbeda. Bukannya kau yang kurus sayang, lihat," Masumi meraih pergelangan tangan Maya dan melingkarinya dengan jarinya, "benarkan, pergelangan tanganmu semakin kecil,"
"Memang sejak kapan tanganku besar," elak Maya.
"Ya, setidaknya dulu tidak sekecil ini. Lihat pipimu juga jadi lebih tirus," Masumi melepas tangan Maya kemudian beralih mengusap pipi istrinya.
Maya menumpukan tangannya di atas tangan Masumi yang tengah membelainya.
"Tanganmu hangat," bisik Maya.
Masumi tersenyum.
"Ehem," Eisuke berdehem, menyela obrolan suami istri yang sepertinya lupa dengan keberadaannya. Maya menunduk malu dan Masumi dengan tenang kembali meneruskan makan malamnya.
"Aku selesai. Sudah malam sebaiknya aku segera beristirahat. Selamat malam Masumi, Maya," cukup menyadari situasi, Eisuke memilih untuk pergi dan membiarkan keduanya.
"Selamat malam ayah," sahut Masumi dan Maya bersamaan.
Maya terkekeh ketika sudah kembali ke kamar.
"Apa yang lucu?" Tanya Masumi ketika duduk di sofa, di sebelah istrinya.
"Ayah," jawab Maya, "aku lupa kalau tadi ada ayah di meja makan,"
Masumi tersenyum, dia juga sama malunya.
"Kau bilang tadi tanganku hangat,"
"Memang,"
Masumi menaikkan kedua kakinya ke sofa lalu merentangkan kedua tangannya, "Kemarilah,"
Maya dengan senang hati duduk diantara kaki Masumi, menyandarkan punggungnya di dada suaminya. Kedua tangan Masumi melingkari tubuh Maya.
"Hangat?" Bisiknya di telinga Maya yang tepat berada di sebelah wajahnya.
Maya mengangguk, "Kau memang selalu hangat,"
"Begitukah?"
Maya mengangguk lagi, "Tapi aku tetap berpendapat kau kurus. Pasti karena menemaniku di rumah sakit," memiringkan wajahnya, Maya menatap suaminya.
"Tidak, kenapa kau berpikir begitu? Bukankah bagus kalau aku kurus atau kau lebih suka suamimu gemuk?"
Maya terkikik, "Aku tidak bisa membayangkan Direktur Daito bertubuh tambun."
Masumi tertawa lalu membelai kepala Maya. Sesaat kemudian, Maya menguap.
"Mengantuk Nyonya?"
"Iya, obat yang ku minum tadi membuatku mengantuk," gerutu Maya.
"Kau kan memang masih harus banyak beristirahat. Ayo, aku akan membawamu ke tempat tidur," dan Masumi melakukan apa yang dikatakannya. Kedua lengannya langsung merengkuh Maya dan membaringkan istrinya di tempat tidur.
"Apa kau akan bekerja malam ini?" Tanya Maya saat Masumi menyelimutinya.
Masumi tertegun sejenak, "Tidak, aku akan tidur sekarang,"
Senyum Maya mengembang lebar saat suaminya kemudian berbaring di sebelahnya. Maya beringsut, merapatkan dirinya dan Masumi mendekap istrinya dengan lengannya, mengusap kepalanya perlahan.
"Tidurlah," bisik Masumi dan perintah itu langsung diresponi dengan baik oleh Maya. Tidak butuh waktu lama untuk istri mungilnya itu menyebrang ke alam bawah sadarnya. Maya terlelap.
Berbanding terbalik dengan Maya, Masumi masih terjaga dengan semua syaraf menegang di dalam kepalanya. Laporan Hijiri sore tadi sama sekali tidak memuaskannya. Dan alasan bagaimana foto itu bisa dikirim ke rumahnya masih merupakan tanda tanya. Masumi bergidik membayangkan Maya yang melihat foto itu, sekali lagi dipandanginya Maya yang terlelap. Dia sama sekali tidak ingin menyakiti istrinya. Menghela napas panjang, Masumi turun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar.

***
Pagi hari yang dingin, Masumi tersentak dari tidurnya karena mendengar suara di kamar mandi.
"Maya?" Menyadari istrinya tidak berbaring di sebelahnya, Masumi segera melompat turun dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi.
"Sayang?" Masumi langsung siaga melihat Maya dengan wajah pucatnya bersandar pada dinding di dekat wastafel.
"Masumi, ugh," Maya menekan perutnya yang kembali bergolak dan sekali lagi memuntahkan isi perutnya ke wastafel.
Masumi mendekap tubuh Maya dan menjaganya tetap tegak berdiri. Namun karena melihat Maya pucat dan berkeringat dingin, Masumi segera mengangkat tubuh Maya dan membawanya ke kamar.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Masumi setelah membaringkan istrinya di tempat tidur.
"Aku hanya mual," jawab Maya.
"Kenapa tidak membangunkanku?" Kata Masumi dengan wajah masam.
"Aku tidak apa-apa," jawab Maya meyakinkan.
Masumi menggelengkan kepala dan semakin mengerucutkan bibirnya.
"Apa masih sakit?" Tanyanya lagi sambil mengusap perut Maya.
Dengan cepat istrinya itu menggeleng, "Aku hanya mual, jangan khawatir,"
Masumi menghela napas dan menyerah dengan kata 'baik-baik saja' dari istrinya.
"Ng, Masumi...," Maya bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur, menatap Masumi dengan ragu.
"Ya?"
"Apa ada sesuatu yang kau sembunyikan dariku?"
Deg! Pertanyaan itu menohok Masumi dalam. Ketakutan berkelebat di dalam kepalanya. 
Apa Maya tahu?
"Tidak, kenapa kau bertanya seperti itu?" Tanya Masumi setenang mungkin.
Maya menggeleng pelan, "Entahlah, aku merasa kau menyembunyikan sesuatu. Semalam...," Maya menatap suaminya lekat, "kau terus mengigau,"
Masumi terhenyak. Sial! Apa yang aku katakan dalam tidur? Semalam aku bermimpi soal...akh! Apa yang Maya dengar?
"Oh ya? Apa yang aku katakan sayang? Apa aku bilang kalau aku mencintaimu?" Goda Masumi seraya mencolek hidung istrinya. Sekuat tenaga dia berusaha tidak terlihat panik.
"Hhmm...iya," Maya menunduk malu dan menautkan kedua tangan di pangkuannya.
"Apa kau terlalu mencemaskanku sampai terbawa mimpi?"
Masumi tertawa. Lega karena istrinya yang polos itu tidak bisa menebak apa yang dipikirkannya.
"Itu karena aku sangat mencintaimu," katanya kemudian.
"Oh ya? Apa yang kau mimpikan semalam?" Cibir Maya.
"Apa kau benar-benar ingin tahu?" Tanya Masumi dengan ekspresi geli.
Maya mengangguk, "Aku tidak mau kau terus mencemaskanku apalagi sampai terbawa ke dalam mimpi."
Masumi terkekeh, "Sepertinya tidak sayang. Semalam aku bermimpi tentang-," Masumi mencondongkan tubuhnya dan berbisik di telinga istrinya. Lima detik kemudian Maya berteriak dengan wajah merona.
"Masumi! Aku serius!"
Masumi terbahak, mencium puncak kepala Maya lalu beranjak dari sisinya.
"Kau mau ke mana?" Tanya Maya pada suaminya yang berjalan ke arah pintu.
"Ke bawah, mengambilkanmu teh untuk meredakan mualmu," jawab Masumi sambil lalu.
Maya terpaku di atas tempat tidur menatap punggung suaminya yang menghilang di balik pintu. Kedua tangannya meremas selimut yang menutupi kakinya.
Kenapa kau berbohong padaku Masumi? Apa yang terjadi sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan? Semalam kau terus menyebut namanya...Shiori.

***
"Kau mau pergi?" Maya menutup naskah film Winter Love yang sedang dibacanya dan memperhatikan Masumi yang baru saja keluar dari ruang ganti. Suaminya itu mengenakan kemeja putih panjang dibalut sweater rajut warna abu-abu.
Masumi tersenyum lalu duduk di sebelah Maya di sofa panjang.
"Ada beberapa urusan penting yang harus aku selesaikan. Tidak apa-apakan kalau aku tinggal sebentar? Aku janji tidak akan lama,"
"Urusan Daito?"
"Iya,"
"Tapi ini kan masih libur tahun baru. Apa urusannya tidak bisa ditunda?"
Kening Masumi berkerut dalam dengan pertanyaan Maya. Tidak biasanya istrinya itu melarangnya pergi untuk urusan pekerjaan.
"Kenapa sayang?" Masumi menarik Maya dalam pelukannya. Bersandar di dada bidangnya, Masumi mengusap lembut kepala istrinya.
Maya terdiam. Perasaannya tidak tenang sejak semalam dia mendengar Masumi mengigau memanggil nama Shiori.
Apa mungkin Masumi akan menemuinya?
"Maya? Kau kenapa? Apa ada yang sakit?" Masumi merenggangkan pelukannya dan menatap lekat wajah istrinya yang terlihat sendu.
"Tidak, aku tidak apa-apa," lirih Maya. Menundukkan kepala, Maya menghindari tatapan Masumi. Dia tidak pandai bersandiwara di depan suaminya.
"Hei, katakan ada apa? Aku tahu ada yang kau pikirkan. Apa kau tidak ingin aku pergi? Aku bisa-,"
"Ti, tidak. Tidak apa-apa. Pergilah," potong Maya kemudian.
Masumi diam mengamati ekpresi Maya yang terlihat bingung.
"Maya, ada apa?" Desak Masumi.
"Aku, aku hanya sedikit pusing. Tidak apa-apa, aku akan tidur selama kau pergi," jawab Maya kemudian, memaksakan tersenyum untuk meyakinkan Masumi.
"Pusing?" Kedua alis Masumi bertaut.
Maya mengangguk dan kembali melempar tatapan matanya ke tempat lain.
"Kalau begitu aku tidak akan pergi,"
"Eh?!"
"Kenapa? Istriku sakit, mana mungkin aku pergi,"
Maya semakin gugup dan bingung. Di satu sisi dia tidak ingin Masumi pergi tapi di sisi lain dia juga tidak ingin menghalangi Masumi menyelesaikan pekerjaannya hanya karena rasa cemburunya yang tidak beralasan. Selama ini Masumi sangat setia padanya, jadi mana mungkin Masumi akan menghianatinya. Apalagi dengan Shiori.
"Ti,tidak, jangan begitu. Pergilah. Aku...baik-baik saja," Maya melepaskan dirinya dari lengan Masumi yang bersandar di bahunya. Dia berjalan ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya.
Masumi tahu ada yang aneh dengan istrinya tapi percuma saja memaksa Maya bicara saat ini. Diapun berjalan ke tempat tidur dan duduk di tepinya dimana Maya berbaring memunggunginya.
"Maya, kau yakin tidak apa-apa sayang?" Mengusap lembut lengan istrinya, sekali lagi Masumi mencoba merayu Maya untuk bicara.
"Aku baik-baik saja. Pergilah," jawab Maya tanpa membalikkan tubuhnya.
Masumi menghela napas panjang, menarik selimut menutupi tubuh Maya.
"Istirahatlah, aku berangkat." Melandaikan tubuhnya, Masumi mengecup pelipis Maya.
"Hati-hati," lirih Maya. Air matanya menggenang dan langsung jatuh ketika Masumi keluar dari kamar. "Tidak, aku harus percaya padanya. Masumi mencintaiku." Maya membenamkan wajahnya ke bantal ketika isakannya tak tertahan lagi sampai akhirnya dia benar-benar jatuh tertidur.

***
Mobil melaju di tengah cuaca dingin kota Tokyo. Masumi mengemudikan sendiri mobilnya. Mengaktifkan handsfree, Masumi melakukan panggilan.
"Hijiri,"
"Tamu anda sudah datang Tuan,"
"Kau yakin dia tidak bersama siapapun?"
"Ya Tuan,"
"Bagus. Aku sampai sepuluh menit lagi. Awasi dia,"
"Baik,"
Memutuskan sambungan teleponnya, tangan Masumi mengerat kuat pada kemudi. Dia sudah bertekad menyelesaikan semuanya hari ini. Kesabarannya sudah sampai pada batas akhir.
Mobil berhenti di depan sebuah restoran. Masumi memberikan kunci mobil pada petugas valet dan bergegas masuk. Di salah satu sudut ruangan dia melihat Hijiri duduk mengawasi pintu private room. Keduanya hanya saling mengangguk.
"Masumi," seorang wanita yang terlihat gelisah langsung berdiri begitu melihat Masumi masuk.
"Shiori," balasnya dingin.
Keduanya duduk berhadapan.
"Ng, apa ada yang penting sampai kau mengundangku untuk bertemu empat mata?" Tanya Shiori hati-hati.
"Ya."
"Dan itu adalah?"
"Tidak usah basa-basi lagi, jangan menguji kesabaranku. Sampai saat ini aku diam karena masih memandang keluargamu. Aku tidak mau menuduhmu tanpa bukti tapi sekarang kau benar-benar keterlaluan dan aku tidak akan tinggal diam,"
"Apa maksudmu Masumi?" Shiori bergidik di bawah tatapan dingin Masumi.
"Aku punya cukup bukti untuk membawa semua kegilaanmu ke meja hukum."
"Apa?!"
"Tapi aku menawarkan perdamaian padamu."
"Masumi, aku sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kau bicarakan."
"Apa maksudmu kau tidak mengerti?" Suara Masumi begitu tenang tapi ekspresinya jelas menyiratkan kemarahan.
Shiori, menelan ludah perlahan. Tangannya bertaut gelisah di atas pangkuannya.
"A, aku sama sekali tidak mengerti Masumi. Sungguh." Katanya meyakinkan.
"Omong kosong! Kau kan yang mengirim foto kita berdua!" Nada suara Masumi meninggi karena kemarahannya.
Shiori menggigit bibirnya, takut melihat kemarahan Masumi.
"Aku juga menerima foto yang sama denganmu," lirihnya.
"Hentikan sandiwaramu Shiori! Kita hanya berdua di kamar itu dan foto itu tiba-tiba dikirimkan ke rumahku. Memangnya siapa yang melakukannya jika bukan kau?" Bentak Masumi.
"Masumi aku-,"
"Kue untuk Maya dikirim atas namamu, hotel tempat kita bertemu juga direservasi atas namamu, bahkan nomor telepon yang mengancam Maya tengah malam di rumah sakit juga terdaftar atas namamu! Kau mau bukti apalagi?"
Masumi sama sekali tidak memberikan kesempatan Shiori untuk menjelaskan. Shiori hanya terdiam dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.
"Dengar Shiori. Ini peringatan terakhirku. Tinggalkan Jepang dan jauhi kami, maka aku akan menyimpan dengan aman semua bukti kejahatanmu termasuk percobaanmu membunuh Maya satu tahun yang lalu. Waktumu satu minggu. Jika sampai akhir minggu ini aku masih melihatmu maka aku tidak akan segan lagi untuk meletakkan semua berkasmu di meja hukum."
Shiori tertunduk dalam. Mengeratkan mata, menahan isakannya. Sapu tangannya sudah kusut dalam genggamannya.
"Aku tidak akan tertipu dengan air matamu," desis Masumi sarat kemarahan. Berdiri dengan cepat, Masumi menatap tajam Shiori ketika wanita itu mengangakat wajahnya.
"Ingat! Waktumu hanya sampai akhir minggu ini," tegas Masumi. Setegas ucapannya, diapun segera berbalik dan meninggalkan Shiori yang semakin terisak.
Hijiri segera bangkit dari mejanya begitu melihat Masumi keluar dari private room. Berdiri di lobi, Masumi menunggu valet menyiapkan mobilnya. Hijiri melintas di depannya tanpa kata dan keluar dari restoran tepat ketika Masumi mengirim sebuah pesan.

Bawa semua bukti. Kita bertemu di apartemen Christ.

***
"Dia mengancammu?"
Shiori terdiam mendengar pertanyaan dari seberang telepon.
"Apa sekarang kau takut Nona Takamiya?" Tanya suara itu lagi.
"Tidak," jawab Shiori.
"Bagus," terdengar suara kekehan senang, "Kau ternyata lebih pandai berakting di banding aktris menyebalkan itu. Jadi apa kau siap melanjutkan semua rencana ini?"
"Asal kau tidak mengingkari perjanjian kita," tegas Shiori.
"Tentu saja Nona Takamiya. Aku pasti akan menepati janjiku. Tidak ku sangka ternyata kau mencintai Tuan Hayami sedalam ini,"
"Tutup mulutmu! Cepat selesaikan saja semuanya!" Bentak Shiori.
Suara tawa keras kembali terdengar, "Sangat tidak sabaran. Duduklah dengan tenang Nona dan aku akan memainkan semuanya dengan baik. Selamat menikmati,"
Tut! Telepon di putus. Shiori menggenggam erat telepon di tangannya.
Yurie...aku tidak akan kalah olehmu!
Menghapus sisa air mata dengan sapu tangan kusutnya, Shiori membenahi dirinya dan beranjak meninggalkan meja.
Di depan restoran sudah menunggu sebuah mobil sedan hitam berkaca gelap menjemputnya. Sejenak mengamati sekitar, Shiori masuk ke dalam mobil dan dengan segera meninggalkan restoran. Sementara sebuah mobil lain menunggu waktu yang tepat, melaju mengikutinya.

***
Maya terbangun dan merasakan kepalanya sakit.
Ahh, rasanya lelah sekali.
Maya memijit pelipisnya seraya bangun dan bersandar pada kepala tempat tidur. Melihat jam di atas nakas, pukul tiga, sudah tiga jam sejak Masumi pergi.
Kenapa Masumi belum pulang juga?
Maya bergeser untuk turun dari tempat tidur. Handphonenya berdenting, Maya kembali duduk.
Maya terhenyak melihat pesan masuk di handponenya. Sebuah foto.
"Tidak! Tidak mungkin! Ma...sumi...," tangan Maya gemetar memegang handphone. Matanya nanar menatap layar yang memperlihatkan foto suaminya dan Shiori yang sedang terlelap dan berpelukan di bawah balutan selimut.
Jantung Maya berdegub kencang. Sakit kepalanya semakin berlipat dihantam oleh kenyataan yang dilihatnya.
Nona Shiori? Aku percaya padamu...tapi kenapa...?
Air mata Maya berdesakan keluar. Hatinya sakit! Ingin rasanya dia tidak mempercayai apa yang dilihatnya.
Benarkah Masumi menghianatiku?
Maya meremas pakaian di depan dadanya. Sesak. Tubuhnya limbung dan jatuh ke tempat tidur seiring isakannya yang semakin menjadi. Handphone yang dipegangnya jatuh dan terhempas ke lantai.
Kenapa? Kenapa Masumi...Nona Shiori...?!
Maya bangun dan meraih handphonenya yang terjatuh, dengan gemetar dia menekan nomor tujuan panggilannya.
"Halo," sapanya dengan suara gemetar.
"Maya?" Shiori terdengar terkejut menerima telepon dari Maya.
"Nona Shiori, bisakah kita bertemu?" Maya berusaha menjaga suaranya tetap tenang.
"Ada apa Maya? Kau terdengar tidak baik. Apa kau baik-baik saja?"
"Tidak perlu mencemaskan saya. Bisakah kita bertemu sekarang? Ada yang ingin saya bicarakan,"
Sesaat Shiori diam.
"Nona Shiori?"
"Baiklah, katakan dimana kau ingin bertemu denganku,"
"Saya akan kirim pesan pada anda dimana kita bertemu. Satu jam lagi,"
"Baiklah,"
"Terima kasih,"
Maya menyusut air mata yang lolos dari sudut mata, mematikan teleponnya. Dengan langkah gontai Maya berjalan ke ruang ganti untuk bersiap pergi.
Sementara itu Shiori tertegun setelah menerima telepon dari Maya. Dia tengah berada di sebuah toko bunga setelah bertemu dengan Masumi di restoran.
Kenapa Maya ingin bertemu denganku? Sepertinya sesuatu telah terjadi. Apa Yurie sudah melakukan sesuatu padanya?
Handphone Shiori berbunyi. Sebuah pesan dari Maya. Tidak menunda waktu lagi, Shiori bergegas pergi setelah mengambil beberapa bunga pesanannya.

***
"Nyonya ingin pergi?" Harada terlihat begitu terkejut ketika melihat Maya keluar dari kamar dengan mengenakan pakaian rapi lengkap dengan mantel tebal tersampir di lengannya.
"Tolong panggil Alex Bi," jawab Maya tenang, mengabaikan kekhawatiran Harada.
"Tapi Nyonya-,"
"Tidak apa-apa Bi. Aku akan baik-baik saja. Oh ya, tolong jangan katakan apapun pada Tuan ataupun Tuan Besar. Aku akan kembali secepatnya,"
Harada tak lagi membantah. Dia mengangguk dan segera memanggil Alex. Sama halnya dengan Harada, Alex menautkan alis melihat Maya menuruni tangga. Nyonyanya itu masih terlihat pucat meski wajahnya tertutup make up dan dari cara jalannya Alex bisa menebak kalau kondisi Maya belum stabil.
"Anda ingin pergi?" Tanya Alex.
Maya mengangguk, "Tolong antar aku," pinta Maya.
Mengabaikan tatapan ketidaksetujuan Alex, Maya melewatinya dan berjalan ke pintu depan. Mau tidak mau Alex mengikuti Nyonyanya.
"Bagaimana dengan Tuan Masumi?" Tanya Alex ketika membukakan pintu belakang mobil untuk Maya.
"Aku akan memberitahunya. Nanti," tegas Maya.
Alex hanya diam melihat raut wajah Maya yang berubah keras. Dia belum pernah melihat Maya seperti itu. Meski dia yakin sesuatu telah terjadi tapi Alex tidak bisa berkomentar sekarang. Akhirnya dia menurut mengantar Maya dan tidak lagi bertanya.
Mobil berhenti di depan sebuah cafe keluarga. Maya turun dan bergegas masuk dengan Alex mengikutinya.
"Nyonya, anda ingin bertemu dengan Nona Takamiya?" Alex berbisik dan berusaha menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat Shiori duduk di salah satu sudut ruangan.
"Kau tunggu di sini," perintah Maya. Dia benar-benar mengabaikan kecemasan pengawalnya. Menahan kepalanya yang berdenyut dan perutnya yang mulai ikut bergolak seiring dengan bergolaknya emosi di dalam dirinya, Maya berjalan ke arah Shiori duduk.
Alex berdiri dengan gelisah mengamati Maya yang sekarang mengajak Shiori untuk pergi ke privat room. Dia tahu tidak bisa menghalangi Nyonyanya lagi. Dengan cepat dia mengambil keputusan, menekan tombol panggil nomor satu di handphonenya.
Di apartemen Christian, Masumi tengah berdiskusi dengan kakak iparnya mengenai semua hasil penyelidikannya bersama Hijiri juga Ryan. Sebuah panggilan menyelanya.
"Alex?" Gumam Masumi heran melihat nama yang muncul di layar handphonenya. Christ, Ryan dan Hijiri langsung fokus melihat Masumi.
"Halo," jawab Masumi, sesaat kemudian wajahnya menegang, rahangnya mengetat marah, "kenapa kau membiarkannya pergi?!" Raung Masumi. "Sial! Awasi dia! Aku akan kesana sekarang!" Masumi merutuk saat mematikan teleponnya.
"Ada apa?" Tanya Christ.
Masumi berdiri menatap kakak iparnya dengan sorot mata penuh kemarahan, "Maya pergi menemui Shiori,"
"APA?! Sial! Apa yang dipikirkan anak itu!" Rutuk Christ.
Keduanya sepakat tanpa kata dengan apa yang harus dilakukan. Christ dan Masumi segera meraih mantel mereka dan bergegas pergi diikuti Ryan dan Hijiri.
Situasi yang sama tegangnya juga dihadapi Maya bersama Shiori di private room.
"Terima kasih anda bersedia datang," sapa Maya dengan tetap menjaga kesopanan. Dia tidak berniat untuk menyulut pertengkaran, tujuannya hanya ingin mendapatkan penjelasan yang masuk akal.
"Dan apa alasanmu mengajakku bertemu? Sepertinya keadaanmu belum pulih Maya, kau masih terlihat pucat."
Maya menyeringai tipis. Dia mengeluarkan handphone dari tasnya. Sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Shiori mengenai kesehatannya.
"Bisa anda jelaskan pada saya, apa arti foto ini?" Maya meletakkan handphonenya di meja, mendorongnya lebih dekat ke arah Shiori.
"Ini-?!" Shiori terbelalak melihat foto di handphone Maya. 
Yurie?! Sialan, dia benar-benar ingin menjebakku.
"Maya, ini sama sekali tidak seperti yang kau pikirkan. Aku-," Shiori menelan ludah. Pahit. Apa yang harus aku katakan sekarang?
Maya bergeming menilai reaksi Shiori. Menguatkan hatinya untuk mendengar penjelasan Shiori.
"Maya, tolong dengarkan penjelasanku...,"
Mata Maya mengerat menahan pedih, air mata deras mengalir membasahi pipinya. Shiori selesai dengan penjelasannya dan semua yang di dengar Maya membuat dunianya bergoncang. Ketakutan merayapi hatinya. Haruskah dia percaya dengan mempertaruhkan semua cintanya.
"Aku mohon percayalah padaku," pinta Shiori memelas.
Maya menggeleng, "Entahlah Nona Shiori. Haruskah saya mempercayai semua itu? Saya tidak akan sanggup," lirihnya. Maya merasakan kekuatan dirinya semakin melemah. Tangannya gemetar di atas pangkuannya.
"Maya...,"
"Maaf, sebaiknya saya pulang sekarang," tubuh Maya bergoyang ketika dia berdiri. Dengan cepat dia berpegangan pada tepi meja.
"Biar aku membantumu," Shiori berdiri dan mencoba membantu Maya.
"Tidak perlu," Maya menarik diri ketika Shiori berusaha menyentuhnya.
Sekuat apapun Maya berusaha menahan amarahnya, disentuh oleh wanita yang sudah tidur dengan suaminya bukanlah sesuatu hal yang bisa ditoleransi dengan mudah.
Maya meninggalkan meja namun baru beberapa langkah dia berjalan, tubuhnya sudah tidak punya kekuatan lagi, kesadarannya hilang sempurna. Maya limbung dan tubuhnya terhempas ke lantai.
"Maya!" Seru Shiori panik. Berlutut di sebelah Maya, dia mengangkat kepala Maya dan meletakkannya di pangkuannya.
Dalam sekejap kepanikan Shiori berubah menjadi ketakutan ketika pintu terbuka. Masumi dan Christ menatapnya penuh amarah.
"Maya!" Masumi segera berlutut dan mengangkat Maya dengan kedua lengannya, "Apa yang akau lakukan padanya?" Desis Masumi geram.
"Aku-,"
"Sialan kau Shiori! Kalau sampai terjadi sesuatu dengan adikku, aku tidak akan memaafkanmu. Masumi cepat bawa Maya pergi!"
Tidak menunggu penjelasan Shiori, keduanya segera keluar. Maya begitu pucat dalam pelukan Masumi.
Tuhan...jangan biarkan sesuatu terjadi padanya, lirih Masumi dalam hati.
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.

***
Yamada keluar dari emergency room. Masumi dan Christ segera menyambutnya, kecemasan jelas tergambar di wajah keduanya.
"Bagaimana keadaan Maya dokter?" Tanya Masumi.
"Tekanan darahnya rendah sekali." Jelas Yamada.
"Dia sudah sadar?" Tanya Christ.
"Sudah, sekitar sepuluh menit yang lalu. Apa terjadi sesuatu? Nyonya Maya terlihat begitu gelisah," terang Yamada.
Masumi dan Christ saling bertukar pandang.
"Apa kami boleh melihatnya?"
Dokter menggeleng, "Kami masih melakukan pemeriksaan pada luka di lambungnya karena Nyonya Maya mengeluh merasa nyeri. Jika kondisinya tidak baik maka kami akan menyarankan untuk opname sampai kondisinya stabil tapi jika ternyata kondisinya memungkinkan, Nyonya Maya bisa pulang dan melakukan rawat jalan,"
Masumi dan Christ hanya mengangguk dalam diam ketika Yamada kembali masuk ke emergency room.
"Apa yang akan kau lakukan sekarang?" Christ menatap adik iparnya.
"Kita harus paksa mereka keluar." Tegas Masumi.
"Jadi kau akan bertindak sekarang?"
Masumi mengangguk, "Aku akan minta Hijiri mengurus semuanya. Jika semua hasil penyelidikan Hijiri benar maka bukan hanya aku dan Maya yang diincarnya tapi juga Daito dan keluarga Anderson,"
"Bagus. Kita akan lihat sejauh mana mereka bisa bertindak,"
Masumi segera mengambil handphonenya dan menghubungi Hijiri, "Lakukan sekarang," perintahnya singkat.
"Masumi, jangan biarkan Maya tahu tentang hal ini." Kata Christ kemudian.
"Tentu. Aku juga tidak mau dia terlibat lebih jauh dengan semua kegilaan ini," tegas Masumi.
"Aku akan menemui Ryan untuk mengatur semuanya. Kabari aku jika terjadi sesuatu pada Maya,"
"Baik,"
Christ meninggalkan Masumi. Entah apa yang kedua saudara ipar itu rencanakan, yang pasti sesuatu yang tidak baik sedang terjadi. Masumi kemudian menghampiri Alex yang berdiri tidak jauh darinya.
"Alex, apa terjadi sesuatu sebelum Maya berangkat menemui Shiori?"
"Saya tidak tahu Tuan. Nyonya istirahat di kamar dan sama sekali tidak keluar sejak anda pergi. Kemudian tiba-tiba saja Nyonya keluar dan meminta saya untuk mengantarnya," terang Alex.
Masumi tertegun memikirkan beberapa hal. Matanya kemudian tertuju pada tas Maya yang sejak tadi digenggam oleh Alex.
"Berikan tas Maya padaku,"
Alex memberikan tas itu dan Masumi duduk di kursi panjang di dekat pintu emergency room untuk memeriksa tas istrinya. Maya hanya membawa dompet dan handphone di dalam tasnya, tidak ada barang lain. Memeriksa dompet Maya, Masumi tidak menemukan hal yang aneh. Dia kemudian membuka handphone Maya. Memeriksa panggilan masuk dan keluar yang dilakukan Maya terakhir kali. Jantung Masumi serasa jatuh ketika memeriksa kotak masuk, fotonya bersama Shiori segera menyambutnya.
Sial!! Jadi inilah alasan Maya menemui Shiori!
Masumi mengutuki dirinya sendiri. Entah bagaimana dia akan menghadapi istrinya nanti. Masumi menceritakan semua kejadian aneh yang menimpanya pada Christ tapi tentu saja tidak dengan yang satu ini. Christ bisa membunuhnya kalau melihat fotonya bersama Shiori.
Masumi menghapus foto itu dari kotak masuk. Dokter Yamada yang keluar dari emergency room membuat Masumi segera merapikan kembali tas Maya dan memberikannya pada Alex.
"Bagaimana dokter?"
"Kami sudah memberikan obat pereda nyeri pada Nyonya Maya. Saat ini selain tekanan darahnya yang rendah, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Terima kasih dokter. Boleh saya menemuinya?"
"Silakan Tuan Masumi. Kami akan melihat efek obatnya dalam satu jam lagi. Jika semua berjalan baik maka Nyonya bisa pulang. Tapi sangat saya sarankan untuk lebih berhati-hati menjaga emosinya karena itu akan sangat berpengaruh pada produksi asam lambungnya. Sekarang, sementara menunggu anda bisa menemaninya."
Masumi mengangguk setuju meski hatinya ragu. Maya sudah melihat fotonya, bisakah istrinya itu stabil secara emosi? Masumi gelisah, meski begitu dia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Masumi masuk ke emergency room mengikuti Yamada.
Maya terbaring dengan wajah pucat di atas tempat tidur. Seorang perawat yang menjaganya langsung berdiri dan pergi begitu melihat Masumi.
Maya hanya diam saat melihat Masumi datang. Sadar Maya bersikap lain padanya Masumi berusaha menenangkan hatinya.
"Bagaimana perasaanmu sayang? Sudah merasa lebih baik?" Masumi berdiri di sisi Maya dan mengusap kepalanya.
Maya hanya mengangguk untuk menjawabnya. Diapun kemudian memalingkan wajahnya dari suaminya. Masumi terjegil melihat sikap Maya yang tak acuh padanya.
"Maya?"
Maya hanya diam dan kemudian memejamkan matanya. Masumi mencoba memahami sikap Maya. Bukan saat yang tepat untuk membahas semuanya dengan Maya sekarang. Diapun hanya duduk di sebelah istrinya tanpa mengatakan apapun.
Masumi lega ketika Yamada mengijinkan Maya pulang. Maya meski sama senangnya, tapi masih tetap diam. Christ yang sudah kembali merasa aneh melihat sikap adiknya.
"Kau kenapa Maya?" Tanya Christ pada Maya yang duduk di belakang mobil bersama Masumi. Dia duduk di depan bersama Ryan. Mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju kediaman Hayami.
"Aku tidak apa-apa," jawab Maya lirih tanpa menatap kakaknya, matanya melihat keluar jendela.
Christ kembali menoleh dan memberikan tatapan penuh tanya pada Masumi. Adik iparnya itu hanya mengendikkan bahu seraya menggeleng. Christ mendengus dan memutuskan untuk diam. Apapun yang terjadi dia percaya Masumi pasti bisa mengatasi Maya.
Tiba di halaman rumah Hayami, Maya segera turun tanpa menunggu seorangpun membukakan pintu untuknya. Maya berjalan sendiri meski langkah kakinya terlihat sempoyongan. Masumi dan Christ terpaku melihatnya dan segera menyusul Maya, takut kalau-kalau Maya terjatuh.
"Apa yang terjadi?" Mata tajam Christ menatap Masumi penuh selidik. Maya sudah istirahat di kamarnya.
"Aku juga tidak tahu. Maya diam sejak tadi dan tidak mengacuhkanku," jawab Masumi. Tidak mungkin juga baginya menceritakan mengenai foto itu pada Christ. Meski dia yakin karena itulah Maya diam.
"Apa Shiori mengatakan sesuatu yang membuatnya seperti ini?"
Masumi menggeleng, "Aku harap tidak,"
Christ mendesah kesal, "Baiklah, sebaiknya aku pulang. Mama dan Papa pasti bertanya-tanya kenapa kita pergi tiba-tiba tadi lagipula kami harus bersiap untuk pulang besok,"
"Sampaikan salamku untuk Mama dan Papa."
"Kami akan berkunjung nanti malam,"
Masumi mengangguk. Dia bergegas kembali ke kamar setelah Christ pergi. Dia harus meluruskan semuanya, jantungnya berdebar ketika membayangkan kalau Maya menganggapnya telah menghianatinya.
Maya duduk termenung di atas tempat tidurnya. Bersandar pada kepala tempat tidur, Maya melamun, pandangannya menerawang jauh. Masumi menghampiri istrinya dalam diam. Maya bahkan tidak bergeming ketika Masumi duduk di sebelahnya.
"Maya sayang," Masumi meraih tangan Maya dan menggenggamnya. Menyentakkan istrinya dari lamunannya.
"Masumi?"
"Ada apa? Sejak tadi kau hanya diam,"
Maya menarik tangannya dari genggaman Masumi, juga memalingkan wajahnya.
"Apa ini karena foto itu?" Tanya Masumi tanpa basa-basi lagi.
Sontak Maya mengalihkan perhatiannya. Matanya menatap Masumi penuh tanya.
"Aku memeriksa handphonemu tadi," kata Masumi menjawab pertanyaan tanpa kata dari istrinya, "apa itu alasannya kau pergi menemui Shiori?"
"Apa aku harus menjawab pertanyaan yang sudah kau tahu jawabannya?" Jawab Maya.
"Ijinkan aku menjelaskannya sayang," pinta Masumi.
"Aku ingin istirahat Masumi," Maya bergeser lalu berbaring memunggungi suaminya.
"Maya, itu tidak seperti yang kau pikirkan," bujuk Masumi lagi, tangannya mengusap lengan Maya.
Dengan cepat Maya menyingkirkan tangan Masumi dari lengannya, berbalik, Maya menatap suaminya.
"Aku melihat fotomu berpelukan dengan wanita lain dengan tidak mengenakan pakaian dan kau masih bilang itu tidak seperti yang aku pikirkan? Kau pikir aku anak kecil yang bisa kau bohongi?!" Kata Maya dengan suara tinggi. Emosinya tak terbendung lagi.
Masumi diam melihat kemarahan istrinya. Maya belum pernah marah seperti itu padanya. Dia tahu itu reaksi yang wajar tapi kondisi kesehatan Maya membuatnya tidak bisa tinggal diam membiarkan Maya meledak.
"Keluarlah Masumi, aku sedang ingin sendiri," kata Maya kemudian yang kembali tidur memunggungi Masumi.
"Aku tidak tahu apa yang dikatakan Shiori padamu tapi percayalah aku tidak pernah menghianatimu," bujuk Masumi lagi, kali ini dia tidak menyentuh Maya.
"Siapa yang tahu apa yang kalian lakukan sebenarnya. Akupun tidak bisa membaca isi hatimu Masumi," lirih Maya.
"Kau meragukanku?" Masumi tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Setelah apa yang sudah mereka lalui selama ini, dia tidak percaya Maya meragukan kesetiannya.
"Entahlah, yang jelas saat ini aku ingin sendiri. keluarlah Masumi," usir Maya.
"Ku mohon sayang, ijinkan aku menjelaskan kejadian yang sebenarnya," Masumi masih tidak menyerah membujuk Maya, "kau boleh marah padaku tapi tolong jangan ragukan cinta dan kesetianku. Tidak pernah sekalipun terbesit dalam pikiranku untuk menghianatimu,"
Maya merasakan matanya menghangat, dia tahu apa yang Masumi katakan itu benar. Dia percaya. Sangat percaya. Tidak pernah sekalipun juga dirinya meragukan kesetiaan Masumi. Hanya saja, apa yang sudah dibicarakannya dengan Shiori siang tadi membuat Maya tidak bisa berbuat apa-apa. Seluruh dunianya sedang berputar tak menentu sekarang. Maya bingung dengan apa yang harus dilakukannya.
Akhirnya Maya bangun dan kembali duduk menatap suaminya.
"Masumi, aku perlu waktu memikirkan semua ini. Dan aku sudah lelah dengan semua teka-teki omong kosong ini. Aku ingin tenang. Jadi-," Maya menelan ludah perlahan. Pahit. Apa yang akan dikatakannya begitu pahit terasa, "aku pikir aku tidak bisa tinggal di Tokyo untuk sementara waktu," katanya setenang mungkin.
Masumi tercekat mendengarnya. Mayanya sama sekali tidak pernah ingin pergi jauh darinya tapi sekarang.... Dunia Masumi serasa dihantam badai dengan kekuatan penuh.
"A,apa maksudmu sayang? Kau akan meninggalkanku?" Masumi bahkan tergagap karena kepanikannya.
"Ku rasa ini jalan terbaik untuk saat ini. Christ bilang tidak aman untukku tinggal di Tokyo. Kau juga belum menemukan siapa dalang di balik semua ini. Kue dan semua ancaman padaku itu...jujur aku takut," Maya tidak lagi bisa menahan tangisnya. Air mata berderai dari sudut matanya.
"Ditambah dengan...kau dan Nona Shiori...," Maya menghela napas.
"Kami tidak memiliki hubungan seperti yang kau pikir Maya!" Kali ini suara Masumi meninggi. Mendengar Maya ingin pergi membuat kontrol dirinya hancur berantakan.
"Apapun itu, aku tidak mau semua itu menggangguku. Aku lelah. Biarkan aku memiliki waktu tenangku untuk beristirahat. Memikirkan semuanya," kata Maya kemudian. Dia menyandarkan kepalanya pada kepala tempat tidur. Maya memang terlihat begitu kelelahan.
"Apa yang kau inginkan Maya?" Tanya Masumi kemudian. Melihat Maya sedih seperti itu membuat hatinya tercabik. Dia rela melakukan apapun asal istrinya itu bahagia, meski dia harus menelan kepahitan karenanya. Dia tidak pernah bisa membayangkan bagaimana dirinya bisa hidup tanpa Maya.
Maya memandang suaminya dengan mata penuh air mata, "Minggu depan syuting Winter Love akan di mulai di New York...jadi...aku pikir...," Maya berhenti. Ternyata bukan hal yang mudah juga baginya mengatakan sebuah perpisahan dengan Masumi.
"Kau ingin ikut kedua orang tuamu ke New York besok?" Masumi mencoba menebak jalan pikiran istrinya.
Maya mengangguk. Masumi mengeratkan mata, pedih. Sesaat kemudian dia menghela napas panjang.
"Apa kau akan merasa lebih baik kalau pergi?" Tanya Masumi kemudian.
"Entahlah. Semoga," lirih Maya. Tangannya menggenggan selimut dengan erat. Dia tidak percaya kalau dirinya mengambil keputusan untuk pergi, meski itu adalah hal yang terbaik untuk mereka...saat ini.
"Apa kau mau berjanji akan menjaga kesehatanmu disana?"
Sekali lagi Maya menatap nanar suaminya. Bahkan disaat seperti ini Masumi masih saja memikirkan dirinya.
"Ada Christ di sana," jawab Maya lirih. Kakaknya itu pasti akan membuatnya benar-benar istirahat selama di New York.
"Berjanjilah kau tidak akan bersedih," pinta Masumi lagi.
Mungkinkah? Maya menghela napas panjang.
"Aku tidak akan berjanji untuk sesuatu yang belum tentu bisa aku tepati." Jawab Maya.
"Apa kau akan kembali?" Tanya Masumi penuh harap.
"Setelah semuanya ini berakhir," lirih Maya kemudian.
Masumi meraih tangan Maya, mencium punggung tangannya.
"Jika berada di New York membuatmu lebih baik, aku akan mengijinkanmu pergi. Tapi ingat sayang, tidak sedikitpun aku pernah memimpikan untuk jauh darimu. Jadi ku mohon percayalah padaku. Aku akan menyelesaikan semua masalah ini dan aku akan menjemputmu untuk kembali ke rumah ini,"
Maya terdiam. Kesungguhan Masumi membuat lidahnya kelu. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Jauh dari Masumi adalah hal paling baik baginya...sekarang. Maya hanya bisa berharap dirinya memiliki kekuatan untuk bisa menghadapi kesendiriannya.
"Istirahatlah, aku akan minta Bibi Harada menyiapkan semua keperluanmu. Aku juga akan memberitahu Christ tentang hal ini," Masumi bangkit, mengecup kening istrinya. Maya terdiam menatap Masumi yang keluar dari kamar.
Maafkan aku...

***
Bandara Haneda.
Keluarga Anderson menggunakan pesawat jet pribadi mereka. Masumi mengantar Maya sampai istrinya itu duduk di pesawat. Masumi duduk di sebelah Maya, menggenggam tangan istrinya. Jelas terlihat dia enggan melepas Maya meski kemarin dia sudah mengatakan untuk mengijinkan Maya pergi.
"Jaga dirimu," bisik Masumi.
Maya mengangguk. Sesaat keduanya terdiam. Christ masih sibuk dengan pilot menanyakan semua kesiapan terbang sementara kedua orang tua Maya sedang sibuk memeriksa tas di kabin belakang.
"Maukah kau mengirim pesan atau email padaku?" Tanya Masumi.
Sekali lagi Maya hanya mengangguk.
Christ datang dengan wajah senang. Maya ikut dengannya, tentu saja itu hal yang luar biasa.
"Oke, kita siap berangkat," kata Christ seraya duduk di seatnya, di hadapan Maya. Clara dan Michael juga sudah duduk di seat mereka masing-masing. Masumi tahu sudah waktunya dia pergi.
Masumi melepas tangan Maya, membelai kepala istrinya. Sekali lagi memuaskan diri untuk memandang wajah cantik istrinya, yang meski masih pucat tapi tetap terlihat cantik baginya.
"Boleh aku menciummu?" Bisik Masumi kemudian.
Maya tampak terkejut. Sejenak melirik pada Christ yang tengah menyeringai padanya karena mendengar permintaan konyol Masumi.
Maya diam tapi kemudian dia tidak berkutik dan juga tidak bisa menolak ketika Masumi merapatkan bibirnya. Menciumnya dengan penuh kasih. Maya meleleh. Betapapun dia sangat marah tapi laki-laki ini adalah orang yang sangat dicintainya. Reflek Maya membalas ciuman Masumi. Menyatakan perasaannya tanpa kata. Lama Masumi mengulum lembut bibir Maya. Setetes air mata jatuh dan Masumi segera melepaskan bibir istrinya.
"Maaf," kata Masumi.
Maya menggeleng, menundukkan kepala sambil menyusut air matanya.
"Maaf," kata Maya juga, "aku harus pergi," lanjutnya.
"Aku pasti akan menjemputmu sayang." Sekali lagi Masumi mengusap kepala Maya. Meraih dagunya, Masumi membuat Maya menatapnya, "Aku mencintaimu," bisik Masumi lagi, sekali lagi dia mencium bibir Maya tapi kali ini segera melepasnya.
Masumi berdiri lalu memberi salam perpisahan pada kedua mertuanya. Christ mengantar Masumi sampai pintu depan kabin. Sedangkan Maya hanya bisa menelan kegetiran melihat suaminya pergi.
"Aku titipkan dia padamu," kata Masumi.
Christ mengangguk menyanggupinya. Masumi sekali lagi menoleh pada Maya yang masih memandangnya. Ciuman tadi membuat Masumi sedikit lega. Dia tahu Maya masih mencintainya. Dia tahu bahwa semua ini hanya karena sebuah kegilaan yang tidak bisa dijelaskan. Tapi dalam hati Masumi berjanji akan memberikan balasan setimpal untuk orang yang sudah membuat Maya memutuskan untuk pergi menjauh darinya. Dia tahu permainan sedang berlangsung tapi belum saatnya dia ikut bermain. Sekarang dengan perginya Maya, Masumi sudah bertekad menuntaskan semuanya.
"Sampai jumpa," Masumi menggerakkan bibirnya tanpa kata. Maya akhirnya tersenyum, tepat sebelum Masumi keluar dari kabin dan pintu tertutup.
Deru suara pesawat jet terdengar keras di telinga Masumi. Matanya menatap sendu pesawat yang semakin terlihat kecil di matanya. Mayanya sudah pergi.
Masumi berbalik menuju mobil yang sudah menunggunya dengan Hijiri duduk di belakang kemudi.
"Jadi apa rencana Tuan sekarang?" Tanya Hijiri, Masumi selesai memasang sabuk pengamannya.
"Seperti yang sudah kita rencanakan sebelumnya. Kali ini aku akan ikut bermain Hijiri."
Seringai tipis menghiasi wajah Masumi, Hijiri mengangguk tanda mengerti lalu menjalankan mobil meninggalkan bandara.
Sekali lagi Masumi menatap langit tokyo.
Aku pasti akan menjemputmu Maya...

***
>>Bersambung<<
>>Every Day I Love You - Chapter 6<<
>>Every Day I Love You - Chapter 8<<

Post a Comment

10 Comments

  1. Long time no see...
    Maaf kali ini lama banget bisa lanjutnya
    Maklumlah November n Desember sudah padat dengan persiapan acara natal
    Semoga suka dengan chapter ini...
    sabar juga untuk lanjutannya ya, mungkin baru bisa lanjut habis natal
    Happy reading.. :)

    ReplyDelete
  2. desember bulan penuh cinta dan kasih sayang....thanks dear...kok yah tambah gemesssiiin, gak tega masumi ditinggalin ama maya....cini cini...peluk,yg sabar yah ganteng....cepat selesein masalahnya,mba..aku suka konfliknya...good,lanjutiiin y

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya bener2 bulan penuh cinta...kumpul semua ampe susah bagi waktu
      konfliknya juga bikin pusing yang nulis tu
      sebisa mungkin ga pengin yang baca bingung
      haaa

      Delete
  3. Baguuuuuussss.... Duh bener2 nih nungguin lanjutannya, jgn lama2 yaaaah... lanjut stlh natal boleh asal jgn sampe ganti tahun ya mba agnes ... Hehehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasih da baca...sabar ya sista...diusahakan sebelum tahun baru aku apdet.. :)

      Delete
  4. Bagus bgt mba agnes...penasaran nunggu lanjutan nya mba...

    ReplyDelete
  5. Setelah lama nunggu akhirnya lanjut jugaaa... mksh mb agnes... mksh :D

    ReplyDelete
  6. Baru tau blog ini, langsung ngebut bacanya krn penasaran.

    Sukaaa sama alur ceritanya. Ga sabar pngen baca lanjutnya. Good job mbak Agnes. Apdetnya jgn lama-lama yah hehe.

    ReplyDelete
  7. Baru tau blog ini, langsung ngebut bacanya krn penasaran.

    Sukaaa sama alur ceritanya. Ga sabar pngen baca lanjutnya. Good job mbak Agnes. Apdetnya jgn lama-lama yah hehe.

    ReplyDelete
  8. Waduh ngapain nih masumi ikut main gimana yah dag dig dug deh.... vonny

    ReplyDelete