Disclaimer Garasu no Kamen by Suzue Miuchi
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Setelah Maya berhasil memperoleh hak pementasan Bidadari Merah dan bersiap melakukan Pementasan ke dua.
"Eh? Penikahan?" Seruku terkejut.
Rei dan Mina langsung mengalihkan pandangannya padaku. Mina meletakkan surat kabar pagi yang tadi dibacanya bersama Rei ke meja ruang tamu. Alisnya bertaut menatapku.
"Ada apa Maya?" Tanya Mina.
"Ah, tidak," aku terkekeh sambil menggeleng. Sekali lagi mengeluarkan keahlianku berakting. Meski faktanya jantungku ingin melompat ke luar tapi aku harus bersikap biasa.
"Kenapa kau terlihat terkejut? Bukankah kau sudah tahu kalau Tuan Masumi dan Nona Shiori memang akan menikah," kata Rei. Sahabat yang paling dekat denganku ini memang sedikit sulit dikelabui.
"Aku hanya tidak menyangka pernikahannya secepat ini." Kataku santai sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Meringis, aku beranjak dari sofa, "Kasihan sekali Nona Shiori itu harus menikah dengan orang menyebalkan dan gila kerja seperti Tuan Masumi," selorohku mengejek.
"Kau ini bicara apa?" Rei mengikuti gerakanku yang berdiri dengan matanya, begitu juga Mina. Keduanya mendongak dan menatapku bingung.
"Ya kalian kan tahu sendiri bagaimana menyebalkannya Tuan Masumi itu." Jawabku santai.
"Setahuku dia hanya bertengkar denganmu Maya. Mungkin dia orang yang lembut jika bersama tunangannya." Kata Mina menanggapi perkataanku.
Ya, aku tahu dia lembut
Ugh! Hatiku sakit tapi aku justru tertawa. "Mana mungkin orang itu bisa bersikap lembut," aku menepiskan tangan di udara dan dengan cepat berbalik untuk pergi. Mataku mulai menghangat dan aku mungkin tidak bisa berakting lagi. Kedua sahabatku itu tidak boleh tahu yang sebenarnya.
"Kau mau kemana?" Tanya Rei ketika aku mulai melangkah.
"Keluar sebentar. Ada yang ingin aku beli di toko swalayan depan. Kalian mau titip sesuatu?" Tanyaku yang hanya memiringkan kepala melirik kedua sahabatku yang masih duduk di sofa ruang tamu.
"Tidak," sahut keduanya bersamaan.
"Baiklah, aku pergi," kataku seraya mempercepat langkahku.
"Hati-hati," kata Mina.
Aku masih mendengar seruan Rei padaku ketika aku sudah berada di genkan -bagian depan rumah, tempat melepas sepatu-.
Ku hirup udara pagi musim semi ketika keluar dari pintu apartemen baruku. Udara begitu sejuk, berbanding terbalik dengan hatiku yang panas.
Masumi, akhirnya kau akan menikah juga
Aku menghela napas panjang, kakiku melangkah tanpa tujuan. Berat menerima kenyataan meski aku tahu semua ini pasti terjadi.
Rasanya baru kemarin aku bersama dengannya di Astoria. Malam indah yang singkat namun begitu membahagiakan dan pelukannya yang masih bisa aku rasakan, di geladak kapal ketika kami melihat matahari terbit.
Ah, andai semua itu bisa terulang lagi
Terkadang aku berpikir, apakah aku terlalu serakah? Mencintai seorang Masumi, direktur utama Daito, pengusaha tampan incaran banyak wanita kelas atas. Melihat diriku sendiri aku jadi merasa bodoh.
Memang siapa aku? Aku hanyalah gadis kecil yang tidak punya apa-apa. Selain akting, apa yang bisa ku banggakan? Meski sekarang aku telah resmi memiliki hak pementasan Bidadari Merah, aku tetap tidak bisa bersaing dengan tunangannya, Nona Shiori.
Wanita itu begitu cantik dan anggun, elegan dan mempesona. Dia berasal dari keluarga kaya yang memang pantas menjadi pendamping Masumi.
Tak terasa langkah kakiku sudah jauh meninggalkan apartemen. Pergi ke swalayan hanyalah alasan bagiku untuk menghindari Rei dan Mina. Aku butuh waktu sendiri. Dan disinilah aku, berdiri di trotoar jalan tanpa tujuan. Ku layangkan mataku ke sekitar tempatku berdiri. Banyak orang tapi aku merasa sendiri.
Ah, sekali lagi aku menghela napas panjang. Mungkin memang inilah akhir dari perjalanan cintaku. Takdir tidak berpihak pada kami. Biarlah aku merelakannya, asal dia bahagia aku juga pasti akan merasa bahagia.
Aku rela menahan semua sakit dan aku bisa memakai topeng untuk menutupi kepedihanku.
Berbahagialah Masumi...hanya dalam mimpi aku bisa memanggil namamu sebagai kekasihku.
Ku lanjutkan perjalananku tapi sebuah panggilan menghentikan langkahku. Aku menoleh mencari sumber suara yang memanggilku.
"Koji?" Keningku berkerut melihat pemuda tampan itu setengah berlari menghampiriku.
Koji terengah-engah ketika berhenti di depanku. Dia membungkuk mengatur napas dengan kedua tangan menyangga di lutut, seolah baru saja melakukan lari maraton.
"Akhirnya, aku menemukanmu," katanya dengan masih terengah.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku heran. Setahuku dia sedang pergi bersama keluarganya untuk menghabiskan liburan musim semi di sela libur latihan kami.
Koji menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan mata berbinar, "Aku mencarimu sejak tadi," jawabnya, kali ini napasnya sudah tenang dan teratur.
"Mencariku?" Mataku menyipit padanya.
"Iya, tadi aku ke apartemenmu tapi Rei bilang kau pergi ke swalayan. Aku mencarimu ke sana tapi kau tidak ada. Ternyata kau jauh sekali sampai disini. Kau mau kemana?"
"Iya, tadi aku memang ingin ke swalayan tapi ku pikir cuaca cukup bagus untuk berjalan-jalan sebentar," aku tersenyum sembari beralasan.
"Oh, kalau begitu pergilah jalan-jalan denganku,"
"Eh?!" Aku terkejut. Jujur sebenarnya aku sedang ingin sendiri.
"Iya, ayo kita pergi ke taman bermain. Kakiku sudah pulih jadi kita bisa main apa saja disana," kata Koji.
Taman bermain? Nah itu kelihatannya menyenangkan.
"Baiklah, tapi aku harus pulang dulu untuk mengambil tas," jawabku. Aku bahkan tidak membawa dompet juga handphone, hanya membawa sedikit uang disaku
"Tidak perlu, bukankah ada aku," Koji tersenyum lebar dan aku tidak bisa menolak lagi saat dia meraih tanganku, membawaku pergi.
***
Aku masih tertawa lepas ketika turun dari roller coaster bersama Koji. Yah, ternyata pergi ke taman bermain memang bisa memperbaiki sedikit suasana hatiku yang sedang kacau.
Ku lirik Koji yang tengah tersenyum senang. Dia pemuda yang baik, bahkan sangat baik. Tapi entah kenapa semua kebaikan itu tidak juga bisa menyentuh hatiku hingga ke taraf cinta. Bagiku dia memang hanya sekedar teman, hhmmm, sahabat. Tidak lebih.
Sejenak aku berpikir, apakah pergi dengannya seperti ini tidak akan membuat dia berharap lebih padaku? Ah sulit rasanya. Aku sudah mengembalikan kalung liontin lumba-lumbanya setelah uji coba pementasan Bidadari Merah tapi sepertinya dia belum menyerah juga mengenai perasaannya. Dia sempat marah padaku setelah kecelakaan yang menimpanya, aku masih tidak tahu kenapa tapi sekarang hubungan kami semakin membaik. Meski begitu aku sama sekali tidak berniat merubah status hubungan kami dari sahabat menjadi kekasih. Tidak. Aku tidak akan bisa. Hatiku hanya satu dan itu adalah milik Masumi. Bagaimana mungkin aku bisa membaginya? Aku bisa mati.
"Maya?"
Aku tersentak, Koji mengusap lembut bahuku.
"Ah iya, maaf,"
"Kau melamun?" Koji sedikit cemberut melihatku.
Aku meringis melihatnya, "Ada sesuatu yang sedang ku pikirkan," kataku jujur. Yah meski aku tidak bisa bilang apa yang aku pikirkan setidaknya aku tidak bohong.
Sedetik kulihat wajah Koji berubah sendu sebelum kemudian dia tersenyum dan tatapannya melembut padaku. Dia kembali meraih tanganku.
"Ayo, kita cari makan siang," katanya dan lagi-lagi aku gagal menolak ketika dia membawaku pergi.
Kami berdua duduk di sebuah cafe yang ada di dalam lokasi taman bermain. Aku memesan pancake dan aku senang Koji tahu apa yang kusuka, segelas besar ice cream dengan toping buah dan coklat.
"Apa yang kau rencanakan setelah ini Maya?" Tanya Koji tiba-tiba saat aku menyuap sesendok ice cream ke dalam mulutku.
"Setelah ini?"
"Maksudku setelah pementasan Bidadari Merah selesai," Koji memperjelas maksud pertanyaannya.
Aku tertawa. Kami akan menyelenggarakan pentas Bidadari Merah yang kedua tiga bulan lagi dan begitu banyak persiapan yang harus aku lakukan.
"Kenapa kau tertawa?" Koji menautkan dua alisnya.
"Kau kan tahu bagaimana aku Koji. Mana mungkin aku tahu apa yang akan aku lakukan setelah pementasan nanti. Bahkan untuk pementasan ini saja aku masih bingung apa yang harus aku lakukan," kataku sambil cekikikan geli. Itulah aku, hidup mengalir bagai air.
Koji mengangguk-angguk dengan masih menatapku, "Kau pasti akan sibuk sekali,"
"Kita," tandasku.
"Eh?!" Koji terkejut.
"Kau tidak berpikir Akoya akan sendirian di atas panggung tanpa Isshin kan?"
Koji tertawa, "Aku kan hanya berperan sebagai Isshin, sedangkan kau harus menyiapkan keseluruhan pentas itu. Kau pasti akan lebih sibuk,"
Koji benar. Aku kembali menghela napas panjang. Sama sekali tidak terlintas dipikiranku sebelumnya kalau aku akan melakukan semua ini sendiri. Aku menunduk dalam, menatap gelas besar ice creamku yang sudah mulai meleleh meski aku belum banyak memakannya.
"Kenapa?" Tanya Koji.
"Andai Bu Mayuko masih ada, mungkin aku tidak akan kesulitan seperti sekarang," lirihku.
Mengingat kepergian Bu Mayuko membuat dadaku sesak. Beliau meninggal setelah memberikan hak pementasan Bidadari Merah padaku dan melihat pementasan perdana lima bulan yang lalu.
Aku terkesiap, Koji tiba-tiba meletakkan tangannya di atas tanganku dan meremasnya dengan lembut. Ku angkat wajahku dan sepasang mata penuh kasih tengah menatapku.
"Kau pasti bisa Maya. Kau gadis yang luar biasa, kuat dan hebat." Koji menguatkanku.
Begitukah? Aku tidak merasa seperti itu.
"Lagipula pihak Daito sebagai penyelenggara pementasan pasti akan bekerja dengan maksimal. Pentas perdana kita sukses besar dibuatnya," tambah Koji.
Daito?! Ah, kau membuatku kembali teringat pada Masumi.
Sepertinya Koji menyadari perubahan ekspresi wajahku.
"Ada apa?" Tanyanya seraya memiringkan kepala mencari wajahku yang tertunduk melihat es krim di gelasku yang semakin mencair.
"Ah, tidak apa-apa," kataku yang dengan cepat mengulum senyum untuk mengelabuinya.
Sesaat aku lihat wajah Koji berubah. "Ada apa?" Aku balik bertanya padanya.
"Maya, sebenarnya aku sudah lama ingin menanyakan hal ini padamu," nada suara Koji terdengar ragu.
"Menanyakan apa?"
"Sebenarnya ada hubungan apa antara kau dan Tuan Masumi?" Mata Koji menatap jauh kedalamku, seolah ingin menyelami apa yang aku rahasiakan di dalam hatiku.
Aku terhenyak. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apa dia tahu?
"Ke, kenapa kau bertanya seperti itu?" Aku tergagap karena kegugupanku sendiri.
"Sebenarnya waktu aku menjemputmu di pelabuhan setelah kau berlayar di Astoria, aku melihatmu...," ku lihat Koji menelan ludah perlahan, "kau berpelukan dengan Tuan Masumi."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Koji melihat kami? Jangan-jangan kecelakaan itu....
Hatiku beringsut tak nyaman. Sebuah kata maaf tercekat di tenggorokanku. Akulah penyebab kecelakaan Koji.
"Maya maaf," Koji kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, "waktu itu aku sangat marah melihatnya. Aku menemui Tuan Masumi dan dia juga tidak mengatakan apa-apa padaku, bahkan dia bilang aku boleh memilikimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kau juga mengembalikan kalungku tapi sampai sekarang aku tidak melihatmu bertemu dengannya. Terlebih sekarang dengan berita mengenai pernikahan...,"
"Cukup!" Tanpa sadar suaraku meninggi dan membuat Koji tersentak. Aku tidak mau dia membahas mengenai berita pernikahan itu. Setengah mati aku berusaha menyingkirkannya dari kepalaku. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
"Maya...," lirih Koji.
"Ma, maaf, tapi tolong jangan bicarakan hal itu sekarang." Aku dengan cepat memperbaiki situasi atas kekesalan tak beralasanku pada Koji, "Maaf jika gara-gara aku kau jadi mengalami kecelakaan. Tapi apa yang terjadi antara aku dan Tuan Masumi adalah urusan pribadiku,"
"Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu," mata Koji masih lekat menatapku.
Oh, tidak! Aku bisa menangis.
"Koji, bisa kita pulang sekarang? Rei dan Mina pasti akan khawatir karena aku pergi terlalu lama tanpa memberitahu mereka," kataku kemudian. Aku tidak mau Koji melihatku menangis.
Aku lega waktu Koji langsung beranjak dari kursinya.
"Ayo," katanya.
Aku mengangguk dan mengikutinya.
***
"Kau dari mana saja?!" Omel Rei sambil berkacak pinggang begitu aku sampai di apartemen.
"Maaf," gumamku.
"Maaf Rei, aku yang mengajaknya pergi," bela Koji.
"Kenapa kau tidak kirim pesan kalau Maya bersamamu? Apa kau lupa kalau Maya sekarang tidak boleh berkeliaran seenaknya,"
Koji menggaruk kepalanya, "Iya, aku lupa."
Rei mendengus kesal.
"Lain kali kalian harus hati-hati. Bagaimana kalau ada wartawan nakal membuat gosip tentang kalian berdua? Kalian sekarang sudah menjadi aktris kelas satu. Jangan sembarangan keluar," tambah Mina.
"Kami hanya pergi ke taman bermain di dekat sini," Koji masih berusaha membela diri.
Rei dan Mina menggeleng bersamaan.
Ah, aku jengah dengan semua ini. Aku suka sekali akting tapi bukan seperti ini yang aku inginkan.
Sejak menjadi Bidadari Merah rasanya ruang lingkupku semakin sempit. Aku seperti bukan diriku saja. Apalagi setelah aku pindah ke apartemen baru yang disediakan Daito untukku. Semua rasanya semakin sesak. Rei dan Mina hanya mengunjungiku atau menginap saat mereka libur atau tidak ada jadwal pementasan, seperti sekarang. Sepi rasanya. Jadwalku selalu padat dengan syuting, wawancara dan latihan.
"Maya,"
Aku tersentak. Rei, Mina dan Koji tengah menatapku. Aku melamun terlalu lama.
"Kau kenapa?" Tanya Rei.
"Aku mengantuk," kilahku seraya meringis lebar.
Koji melirik padaku dan aku mengabaikan ekspresi bingung semua orang yang melihat keanehanku.
"Koji, terima kasih untuk hari ini."
Koji hanya tersenyum padaku, "Sebaiknya aku pulang agar kau bisa istirahat,"
Sekali lagi aku lega karena kepergian Koji. Akupun segera masuk ke kamar tidur. Masih ku dengar gerutuan Rei sebelum pintu kamarku tertutup sempurna. Seketika aku terduduk di lantai, bersandar pada pintu dan memeluk kakiku. Setetes air mata langsung jatuh dari sudut mataku. Rasa perih ini tidak bisa kutahan lagi. Sakit.
Masumi...beri aku kekuatan untuk menjalani semua ini. Kau pasti juga merasakan hal yang sama denganku kan? Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis....maafkan aku...
***
Kampung halaman Bidadari Merah, Pemakaman Mayuko 5 bulan yang lalu.
Air mataku belum kering menatap nisan yang sekarang bertuliskan nama guruku, Mayuko Chigusa. Sekali lagi orang yang paling berharga dalam hidupku pergi meninggalkanku.
Setidaknya kali ini Bu Mayuko pergi dengan tenang. Beliau meninggal dengan tersenyum setelah memuji penampilanku di pentas perdana Bidadari Merah. Dia pasti sudah tenang bersama Tuan Ichiren di alam sana.
"Maya,"
Sebuah penggilan menyentakkanku. Air mata yang hampir surut kembali menganak sungai begitu ku lihat siapa yang memanggilku. Masumi Hayami.
"Sudah terlalu lama kau di sini. Ayo, pulang. Semua orang mengkhawatirkanmu," Bujuknya.
Aku menggeleng dengan kepala tertunduk.
"Maya, kau bisa sakit kalau seperti ini,"
Pria itu berlutut di sebelahku. Sepertinya dia tidak peduli itu akan mengotori pakaian mahalnya.
Aku terkesiap ketika dia menyentuh bahuku.
"Pulanglah," bujuknya penuh simpati.
Aku menyeka air mata yang tidak mau berhenti mengalir.
"Maya,"
Masumi meraih daguku dan memaksaku menatapnya.
"Jangan siksa dirimu. Ini juga menyiksaku," lirihnya putus asa.
Aku terhenyak dengan perkataannya. Apa maksudnya?
"A, apa maksud anda?" Tanyaku terbata.
"Maya, kau tahu apa maksudku," katanya tanpa melepaskan jarinya dari daguku dan tatapannya dari mataku.
"Apa peduli anda Tuan Masumi?" menyentakkan wajahku, aku berpaling darinya. Air mataku kembali mengalir.
"Maafkan aku," lirihnya kemudian.
"Untuk apa anda minta maaf?" Jawabku datar. Faktanya hatiku tidak sedatar itu. Andai dia tahu gemuruh sedang melanda jiwaku saat ini. Bukan hanya karena meninggalnya Bu Mayuko tapi juga karena....
"Maafkan aku tidak bisa memilihmu. Tidak bisa menepati janjiku untuk menunggumu,"
Ah! Sakit hatiku mendengarnya.
Aku menggeleng lemah, "Bukan salah anda Tuan Masumi. Saya mencoba untuk mengerti," aku kembali menunduk dalam.
Hah?! Aku tersentak ketika tiba-tiba Masumi memelukku erat.
Gawat! Bagaimana kalau sampai ada yang melihat? Aku takut meski sebenarnya pemakaman terlihat sepi.
"Tuan Masumi, hentikan. Bagaimana kalau nanti ada yang melihat," gumamku keberatan di dadanya. Tubuhku terkukung dalam dekapan lengan kokohnya.
"Ku mohon, sebentar saja. Biarkan aku memelukmu seperti ini," bisiknya di sela-sela rambutku.
Aku bergeming, bukan karena tak kuasa untuk melepaskan diri tapi karena aku juga menginginkan ini. Berada dalam dekapannya.
Hatiku sakit ketika dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
"Kita pulang?" Tanyanya.
Bisakah aku menolak perintahnya?
"Maya," lirihnya lagi.
Aku mengangguk. Tangan hangatnya meraih pergelangan tanganku dan membantuku berdiri.
Aduh! Aku mengernyit ketika kakiku terasa sakit.
"Kenapa?"
"Kakiku kram,"
Jelas saja, entah sudah berapa jam aku bersimpuh di tanah tanpa bergeser sedikitpun.
"Kyaaa!" Aku memekik terkejut ketika tiba-tiba Masumi mengangkatku dengan kedua lengannya.
"Tu, Tuan Masumi! Turunkan saya! Saya masih bisa jalan," rengekku. Tapi alih-alih menurunkanku dia justru mengeratkan kedua lengannya di tubuhku.
Akhirnya aku hanya bisa diam, membeku dalam dekapannya. Diapun sama sekali tidak menatapku. Ekspresi dinginnya menatap lurus ke depan seolah dia hanya membawa sebuah kardus kosong dan bukannya...aku.
Dia menurunkanku tepat di sebelah mobilnya. Kramku sudah berkurang dan aku sukses berdiri di atas kedua kakiku.
"Bisa berdiri?"
Aku hanya mengangguk. Yakin sekarang wajahku semerah udang rebus. Membuka pintu mobil, dia mendorong lembut bahuku dan memintaku masuk.
Ku ikuti setiap gerakannya yang dengan anggun memutari bagian depan mobil hingga dia duduk di belakang kemudi. Di sebelahku.
"Pakai sabuk pengamanmu Maya," perintahnya tanpa menatapku dan aku melakukan perintahnya tanpa menjawab sepatah katapun.
Makam Bu Mayuko berada di sebuah bukit sehingga kami harus melewati jalan menurun. Tanganku mencengkram erat jok yang aku duduki saat kami melewati turunan tajam.
"Tenang Maya. Aku sudah lancar mengemudi sejak usiaku delapan belas."
Aku melirik pada Masumi dan terlihat jelas dia menahan senyum geli karena sikapku. Suasana dingin diantara kami sudah mencair.
"Justru itu yang saya takutkan! Anda sudah tidak muda lagi sekarang dan jalanan di sini tidak seperti di Tokyo," dengusku kesal.
Masumi tertawa mendengar ejekanku.
"Aku tidak setua itu Maya," sanggahnya sambil menggelengkan kepala. Matanya tetap fokus menatap ke jalan. Aku senang karena dengan begitu aku bisa bebas menatapnya.
Masumi menghentikan mobil di tepi padang rumput. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kenapa kita berhenti di sini?" Tanyaku bingung.
Masumi menoleh padaku, "Kau tidak ingat tempat ini?"
Sekali lagi aku melayangkan pandangan keluar jendela. Jantungku berdebar begitu menyadari dimana aku berada.
Ini..."Mau berjalan-jalan sebentar Maya?" Masumi memiringkan kepala menatapku.
Aku terdiam. Jariku bertaut erat di atas pangkuanku.
"Maaf, aku hanya ingin bicara denganmu. Jika kita pulang sekarang maka aku tidak akan punya kesempatan untuk bicara empat mata denganmu," jelasnya.
Ya, dia benar. Teman-teman pasti akan bertanya-tanya kalau sampai melihatku berdua bersama Masumi.
"Kau mau?"
Aku mengangguk meski ragu. Bukan ragu karenanya tapi ragu pada diriku sendiri. Aku takut tidak bisa mengendalikan diriku saat bersamanya.
Kami berjalan di atas padang rumput. Suasananya sangat berbeda dengan saat pertama kali kami melihat bintang. Malam itu akan terus aku ingat dan siang ini...ah, betapa sungguh menyakitkan mengingat banyak hal indah bersamanya.
Masumi berhenti lalu duduk di hamparan rumput, sekali lagi aku melihat direktur dingin itu melepas topengnya. Dengan canggung aku mengambil tempat di sebelahnya.
Kami berdua terdiam. Dia duduk dengan pandangan menerawang menatap alam luas yang terhampar dengan kedua tangan bersandar pada lututnya. Sementara aku sibuk mengamatinya, mencoba menyelami pikirannya.
Apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu Masumi?
Ingin rasanya aku menanyakan hal itu. Tatapan mata dinginnya di depan semua orang hanyalah akting. Sekarang aku melihat seorang Masumi yang terlihat begitu rapuh dan kesepian.
Andai aku bisa melepaskan semua beban yang sepertinya begitu berat untuk kau pikul itu...aku rela. Berbagilah denganku Masumi...
Masumi selalu lebih hebat melakukan peran dalam drama kehidupan ini dibandingkan denganku. Aku selalu bisa menangis, tertawa, marah ataupun merajuk sesuka hatiku. Tapi dia? Entah bagaimana dia bisa terus memakai topeng es itu untuk menutupi kerapuhannya.
"Maya," tiba-tiba dia menoleh padaku. Aku terkesiap ketika mata kami bertemu.
"Y, ya," aku memalingkan wajah dengan cepat meski itu bodoh. Dia jelas tahu daritadi aku mengamatinya.
"Apa kau bisa memaafkanku?"
"Eh?!" Sontak aku kembali menatapnya, "Apa maksud anda?"
"Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apa kau bisa memaafkan semua kesalahanku itu?"
Aku mengerti maksudnya.
"Anda...anda tidak bersalah Tuan Masumi,"
"Setelah apa yang aku lakukan padamu?" Masumi menggeleng, "Aku membunuh ibumu hingga menghancurkan karirmu. Aku juga sering memperlakukanmu dengan buruk. Dan terakhir...saat kau memintaku untuk menunggumu, aku bahkan memilih wanita lain,"
Aku tersayat mendengar kalimat terakhirnya.
"Tidak, tidak, bukan seperti itu. Bukan salah anda," aku mengulangi lagi perkataanku, "Salah saya yang terlambat menyadari semua kebaikan hati anda,"
Ah...mataku mulai menghangat.
"Aku tahu semua ini sudah terlambat. Aku sudah memutuskan semuanya tapi aku hanya ingin kau tahu satu hal...kalau...,"
Aku tertegun, Masumi tiba-tiba diam. Mata gelapnya sendu menatapku. Ingin rasanya aku menghambur memeluknya, tidak peduli akan keputusannya yang sudah memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Aku hanya ingin dia tahu betapa aku sangat mencintainya. Aku yakin dia merasakan hal yang sama, sesuatu yang barusan ingin dikatakannya tapi entah tercekat oleh apa.
Aku mengeratkan tanganku di depan dada. Mencegahnya bergerak untuk memeluk belahan jiwaku. Tapi rasanya hasrat ini tidak terbendung lagi.
Aku akan mengatakannya! Sekali ini saja! Sekarang atau tidak sama sekali!
"Saya mencintai anda," kataku setenang mungkin. Mata kami masih saling bertaut dan aku tahu sekarang dia sangat terkejut dengan apa yang aku katakan.
"Meski semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki tapi saya percaya cinta saya tidak terlambat. Setidaknya saya mengungkapkan apa yang saya rasakan sebelum anda menjadi milik orang lain."
Mataku berkabut. Aku pasti menangis! Aku pasti menangis! Aku tidak bisa akting di luar panggung apalagi di hadapan Masumi.
Kami masih terdiam dan hanya saling menatap. Meski kami sudah tahu perasaan masing-masing tapi ini adalah pernyataan cintaku yang pertama. Aku pernah merasakan perasaan lain pada Koji atau juga pada Satomi tapi itu hanyalah perasaan suka yang muncul karena simpati mereka. Tapi tidak jika dengan dirinya. Aku sadar sepenuhnya kalau aku mencintainya. Mencintainya dengan sangat.
Ah...aku tidak bisa menahan ini lebih lama lagi.
Bruk! Aku menabrakkkan diriku padanya. Membuatnya jatuh terlentang di padang rumput dengan aku bergelung di atasnya. Mendekapnya erat. Terisak di dadanya. Melampiaskan rinduku. Melampiaskan rasaku. Sebelum benar-benar terlambat nanti....
"Maya...,"
Aku mendengar dia mendesahkan namaku. Tidak berusaha bangun apalagi menyingkirkanku dari atasnya, Masumi justru memeluk tubuh mungilku dengan kedua lengannya. Sama dengan apa yang dilakukannya di depan makam Bu Mayuko tadi, hanya saja lebih erat.
Sebuah helaan napas panjang terdengar, "Aku juga mencintaimu Kitajima, dulu, sekarang dan selamanya," bisiknya di sela-sela puncak kepalaku dan aku merasakan sebuah kecupan hangat di sana.
Ah Tuhan! Kenapa kau buat takdir kami begitu kejam. Tidakkah kau sanggup mengubahkan segalanya? Apa hanya karena usia atau status sosial maka kami tidak layak bersama?
Tidak ada lagi yang kami katakan. Kami sudah cukup bahagia dengan deklarasi cinta yang kami buat dan kami berdua sadar kami tidak bisa saling memiliki. Secara fisik. Karena faktanya hati kami bersatu. Jiwa kami seakan satu. Aku merasakan kepedihannya dan dia merasakan kegetiranku.
Masumi...andai waktu dapat diputar kembali maka aku akan menyatakan semuanya lebih awal....
***
Sebuah ketukan di pintu kamar menyadarkanku akan mimpi panjang. Tepat ketika ku lihat jam di dinding kamarku, pintu terbuka. Pukul lima sore. Rei muncul dari balik pintu.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Aku menggeliat di atas tempat tidur lalu kembali bergelung dengan gulingku.
"Iya Rei, aku tidak apa-apa," kataku dengan senyum lebar.
Mata Rei waspada mengamati reaksiku.
"Sudah sore,"
Aku cemberut. Itu sebuah kode. Aku bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
"Apa kalian tidak bisa menginap lagi?" Aku memohon. Rei bergeming dengan bersandar pada tiang pintu.
"Besok pagi kami harus mulai latihan untuk pementasan di Teater Orin."
Aku mendesah panjang, "Boleh aku ikut menginap di apartemen kalian?"
Rei menggeleng, "Kau hanya libur tiga hari. Sebelum latihan kau harus mengurus banyak hal di persatuan drama nasional. Jadi gunakan waktumu untuk istirahat Maya."
"Aku bosan diam di rumah,"
"Dengan keadaan kacau seperti itu kau mau pergi keluar?"
"Eh?!"
"Siapa yang mau kau bohongi Maya? Aku sangat mengenalmu. Lihat dirimu, mata sembab, wajah kuyu, kau pasti sedang memikirkan sesuatu kan?"
"Ah tidak," sanggahku cepat.
Rei mendesah panjang, "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dari kami?"
Aku meringis.
"Jangan berakting,"
Aku tertawa.
"Terserah kalau kau masih belum mau menceritakannya pada kami. Tapi kau harus ingat Maya, kapanpun kau perlu bantuan, datanglah,"
"Kau ini bicara apa Rei. Aku baik-baik saja,"
Rei sekali lagi menggelengkan kepala lalu berlalu dari ambang pintu.
Entah sampai kapan aku harus bersandiwara.
***
Pagi ini terasa begitu dingin. Aku tengah bersiap berangkat ke Gedung Persatuan Drama Nasional untuk rapat mengenai pementasan Bidadari Merah.
Hatiku berkerut tidak nyaman. Aku pasti bertemu dengannya...Masumi. Setelah kemarin aku mendengar berita rencana pernikahan mereka, hatiku semakin tidak nyaman.
Nona Shiori pasti sudah sembuh dari depresi pasca percobaan bunuh dirinya. Harusnya aku senang karena itu. Masumi tidak lagi harus menanggung rasa bersalah. Tapi sekarang? Bebanku justru semakin berat karena harus melihat mereka menikah.
Bukankah aku sudah merelakannya?
Aku menggeleng.
Mulutku saja yang berkata seperti itu. Hatiku jelas berkata tidak.
Sadar kalau perenungan panjangku bisa membuatku terlambat, aku pun bergegas kembali bersiap.
Tiba-tiba bel pintu apartemenku berbunyi.
Siapa yang datang pagi-pagi seperti ini?
Aku berjalan ke pintu.
"Selamat pagi Maya,"
Jantungku serasa jatuh dari tempatnya.
"No, Nona Shiori?"
Wanita itu mengulum sebuah senyum padaku.
"Boleh aku masuk?" Tanyanya seraya memiringkan kepalanya.
"Ah, iya, silakan," aku melambaikan tangan padanya.
Tanganku bergetar ketika kembali menutup pintu. Ku tarik napas panjang. Kami berjalan ke ruang tamu.
"Anda mau minum teh?" Tanyaku sopan ketika dia sudah duduk di sofa ruang tamuku.
"Tidak perlu Maya. Aku hanya sebentar," katanya.
Aku mengangguk. Dengan canggung aku duduk di sofa di hadapannya.
"Ada perlu apa Nona Shiori datang menemuiku sepagi ini?"
Aku berkerut ketika melihatnya menyeringai.
"Kau pasti tahu dengan pasti apa tujuanku datang,"
Aku menggeleng, "Saya tidak mengerti maksud anda,"
Nona Shiori terkekeh, "Jangan pura-pura lugu Maya. Kau sudah menjerat tunanganku dan sekarang kau pura-pura tidak tahu maksud kedatanganku?"
"Apa maksud anda Nona? Saya-,"
"Cukup Maya!"
Aku berjenggit mendengar suara tingginya. Mata Nona Shiori berkilat marah menatapku. Aku melihat tubuhnya menegang.
"Aku datang hanya untuk memperingatkanmu. Jauhi Masumi!" Tegasnya.
Dia tahu?! Dia tahu aku dan Masumi saling mencintai?
Entah mendapat keberanian dari mana, aku menggelengkan kepala.
"Apa?!" Dia mendesis marah.
Aku menatap kedua bola matanya, "Jadi anda tahu kalau saya dan Pak Masumi saling mencintai?"
Mata Nona Shiori semakin melebar, "Tutup mulutmu! Masumi tidak mencintaimu! Kau yang menjeratnya!" Hardiknya marah. Keanggunan dan kelembutannya hilang sempurna di mataku.
Jadi inikah Nona Shiori yang sebenarnya? Relakah aku melepaskan Masumi pada wanita ini? Wanita egois yang mendapatkan cinta dengan cara memaksa?
Aku tersenyum. Entah kenapa hatiku tiba-tiba merasa lega.
Nona Shiori berdiri dari kursinya dan menatapku marah. Tangannya terkepal menggenggam tas tangan dengan erat. Sepertinya senyumku semakin memicu kemarahannya.
"Maya! Aku tidak peduli kalaupun dirimu adalah Bidadari Merah. Jika kau masih saja mendekati Masumi maka aku tidak akan segan untuk bertindak," ancamnya.
"Apa yang akan anda lakukan Nona? Melakukan percobaan bunuh diri lagi? Atau membunuhku?"
Nona Shiori menganga mendengar perkataanku. Pasti dia terkejut karena aku tahu apa yang terjadi padanya.
"Ya, Nona Shiori, saya tahu kalau anda mencoba bunuh diri ketika Tuan Masumi ingin membatalkan pertunangan kalian. Tuan Masumi mengatakannya padaku. Karena itulah dia memilih anda." Jelasku.
Nona Shiori bergeming menatapku dalam kemarahannya.
"Kami setuju untuk berpisah. Saya tidak tega melihat Tuan Masumi berkubang dalam rasa penyesalan karena melihat kondisi anda. Tapi sekarang?" Aku menggeleng. "Melihat anda seperti ini, saya jadi berubah pikiran. Anda tidak mencintai Tuan Masumi, bagaimana mungkin saya bisa melepaskannya? Saya berharap anda bisa membahagiakannya tapi saya rasa hal itu tidak akan terjadi. Bagaimana mungkin orang seegois anda-,"
"CUKUP!"
Aku terlambat menghindar saat tas tangan Shiori menampar wajahku. Blug! Seketika aku jatuh dari sofa dan keningku membentur pelipis meja sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Ugh! Kepalaku berdenyut ketika membentur lantai keras.
Aku kembali bangkit dengan memegang sisi wajahku. Sakit.
"Ingat Maya! Ini adalah peringatan. Selanjutnya hanya akan ada tindakan."
Dengan kemarahannya, Nona Shiori pergi meninggalkan apartemenku.
Aku mendesah panjang lalu berjalan ke kamar. Ku perhatikan pantulan wajahku di cermin meja rias.
"Ah, berdarah," gumamku kesal. Pelipisku tergores. Keningku berkerut ketika melihat pipiku memerah.
Gawat! Aku melihat jam dinding di kamar. Sudah tidak sempat lagi untuk mengompres pipiku yang merah. Aku mengambil kotak P3K dari dalam laci lalu mengoleskan obat dan menutup lukaku dengan kain kassa secepat kilat. Kusambar tasku dan aku segera berlari keluar. Tidak lagi peduli dengan wajahku yang merah.
***
Taksi berhenti di depan Gedung Persatuan Drama Nasional. Aku berlari. Nona Mizuki sudah menungguku di lobi.
"Kau kenapa Maya?" Nona Mizuki terheran begitu melihatku.
Kain kassa di pelipis dan sebelah pipi memerah pasti cukup membuat Nona Mizuki menyimpan berbagai pertanyaan di dalam otaknya. Sekretaris Masumi yang sekarang menjadi manajerku ini memang selalu jeli mengamatiku.
"Aku jatuh dan terbentur meja," jawabku sambil meringis.
Nona Mizuki menggeleng kesal, "Kau ini aktris Maya, tidakkah kau bisa lebih berhati-hati?"
Aku terkekeh sambil mengangkat kedua jariku membentuk huruf V. Membenahi poni, aku mencoba menutupi kain kassa dengan rambutku.
"Kau yakin baik-baik saja?" Dia memastikan lagi.
Aku mengangguk mantap. Sebenarnya kepalaku sedikit pusing karena terbentur cukup keras tapi sekarang bukan saatnya untuk bermanja-manja.
"Ayo, Tuan Yamagishi dan Tuan Masumi sudah menunggumu," Mizuki berbalik dan mulai berjalan.
"Eh?! Tuan Masumi sudah datang?" Tanyaku seraya mengikutinya. Jantungku mulai berlompatan tidak karuan.
"Tentu saja sudah. Ini rapat mengenai Bidadari Merah, mana mungkin Tuan Masumi terlambat," jawab Mizuki datar.
Ah iya, Bidadari Merah adalah hal yang sangat penting bagi Daito.
Mizuki mengetuk dua kali lalu membuka pintu ganda dan beberapa orang yang duduk mengelilingi meja besar langsung menatap kami. Aku membungkuk hormat pada semuanya seraya memberi salam.
Deg! Jantungku berhenti sedetik ketika sepasang mata gelap menatapku tajam. Aku tahu arti tatapan mata itu...kenapa-keningmu?
Menyingkirkan perasaanku sejenak, aku mengulum senyum padanya. Berusaha menjawab pertanyaannya tanpa kata...aku-baik-baik-saja.
Segera saja kualihkan perhatianku darinya. Tuan Kuronuma yang ternyata juga sudah datang langsung menggeleng begitu melihatku. Dia pasti sudah bisa menebak kenapa aku memakai hiasan di pelipis hari ini. Bukan sekali dua kali dia melihatku terjatuh karena tersandung kakiku sendiri.
"Terjatuh dan membentur sesuatu?" Tanyanya begitu aku duduk di kursi kosong disebelahnya.
Aku yakin pipiku semakin memerah sekarang sementara Tuan Yamagishi terkekeh mendengarnya. Hanya satu orang yang tetap berwajah datar yang aku artikan sebagai sebuah topeng untuk menutupi kekhawatirannya padaku.
Benarkah? Hatiku berbunga jika memang seperti itu adanya.
Di sudut hatiku terdalam memang masih tersimpan sebuah harapan. Dan kejadian hari ini...aku mendesah pelan. Haruskah aku memperjuangkan harapan itu. Hatiku masih sangat percaya kalau Masumi masih mencintaiku. Meski tidak ada lagi kiriman mawar ungu untukku. Meski kami hanya bertemu untuk urusan pekerjaan. Meski aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
"Kitajima,"
Aku tersentak, "Ah, i, iya, maaf," baru kusadari semua mata tengah menatapku.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Tuan Yamagishi.
"Iya, saya baik-baik saja,"
Aku melirik Masumi, dia masih menatapku lekat. Ku mohon hentikan...batinku melirih. Aku bisa melompat ke pangkuanmu kalau kau menatapku seperti itu.
"Baiklah kita mulai rapatnya,"
Aku mendesah lega. Tuan Yamagishi sukses mengalihkan perhatiannya dan aku mulai fokus pada rapat.
***
Rapat berjalan lebih lama dari perkiraanku. Empat jam kami membahas berbagai hal tanpa istirahat. Aku beruntung besok masih libur latihan. Kepalaku sakit sekarang.
Tuan Yamagishi baru saja pergi dengan Tuan Kuronuma. Aku masih bergeming di kursiku. Sementara Nona Mizuki tengah berbicara dengan Masumi. Sepertinya masalah serius. Bagi Masumi, Nona Mizuki masih sebagai sekretaris andalannya meski sekarang ada sekretaris baru yang mendampinginya. Beberapa masalah penting masih ditangani khusus oleh Nona Mizuki.
Aku masih duduk dengan kepala tertunduk karena tidak mau melihat keduanya yang sedang berdiskusi. Lebih tepatnya aku tidak mau menatap Masumi. Kalau saja Nona Mizuki tidak berkeras memintaku menunggu untuk mengantarku pulang, aku pasti sudah pergi sejak tadi.
Ugh! Kepalaku berdenyut sakit.
"Maya, ayo kita pulang."
Keningku berkerut ketika melihat Nona Mizuki, pandanganku mengabur. Meski begitu aku tetap berdiri sambil meraih tasku. Baru saja ku langkahkan kaki, kepalaku berputar.
"MAYA!"
Kurasakan lengan kokoh yang mendekapku erat sebelum tubuhku terhempas ke lantai.
Ah, aku merindukan pelukannya...tapi....
Dengan cepat aku menarik diriku.
"Maaf," lirihku.
"Kau baik-baik saja?" Suara itu sarat kecemasan. Dalam hati aku senang dia masih mencemaskanku.
"Saya baik-baik saja Tuan Masumi," jawabku seraya bersandar pada kursi untuk memulihkan keseimbangan tubuhku.
"Maya, wajahmu pucat. Kau sakit?" Tanya Nona Mizuki sama cemasnya.
Aku terkesiap ketika tangan Pak Masumi terulur dan menyibakkan poniku.
"Ini, kenapa?" Tanyanya lembut.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, bersyukur kami berada di ruangan tertutup.
"Sa, saya terjatuh pagi tadi," kataku gugup.
"Ugh," aku membekap mulutku.
"Kenapa?" Pak Masumi kembali meraih ke dua lenganku.
Aku menggeleng, berusaha menekan rasa mualku.
"Apa bagian belakang kepalamu juga terbentur?" Tanya Pak Masumi lagi.
Eh?! Aku mengangguk.
Ku lihat ekspresi Pak Masumi yang tiba-tiba mengeras.
"Mizuki, kita ke rumah sakit sekarang," tegasnya disambut anggukan kepala Nona Mizuki.
"Saya akan siapkan mobil anda," Nona Mizuki berlalu pergi dan meninggalkan kami berdua.
Ah! Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Saya baik-baik saja Tuan Masumi," kataku seraya menarik kursi lalu duduk sebelum tubuhku kembali oleng. Rasa mualku sudah berkurang.
"Tidak Maya, kau tidak baik-baik saja," jawab Masumi.
Tiba-tiba pria tampan itu berlutut di depanku lalu meraih ke dua bahuku. Mencengkramnya lembut dengan kedua tangan lebarnya.
"Sakit? Pusing?" Tanyanya.
Aku bingung. Apa yang harus aku katakan? Masih bisakah aku mengeluh padanya? Mengatakan apa yang aku rasakan. Aku ingin dia kembali padaku....
"Maya?" Masumi menautkan alis atas kebisuanku.
Aku menggeleng. Tidak mau membuatnya khawatir meski mungkin itu sia-sia. Aku baru saja hampir pingsan di depannya. Bagaimana aku bisa menyangkal keadaanku?
"Saya tidak apa-apa Tuan Masumi. Anda pasti masih banyak pekerjaan, pergilah. Saya tidak mau mengganggu semua pekerjaan penting anda."
"Dengar Maya. Aku diam bukan berarti aku tidak peduli padamu. Segala sesuatu tentang dirimu adalah penting bagiku," tegasnya.
Ku beranikan diri menatap sepasang mata gelapnya. Ada kesungguhan di sana yang tidak bisa ku sangkal.
Oh tidak! Mataku menghangat.
"Maaf," katanya kemudian.
"Maaf?" Tanyaku serak karena menahan isakanku keluar.
"Aku memang pengecut Maya. Hanya bisa membuatmu bersedih. Hanya bisa melindungimu dari balik bayangan," katanya putus asa. Melepaskan ke dua tanganku, Pak Masumi memalingkan wajahnya menghindari tatapan mataku.
Hatiku miris mendengarnya. Mengingat apa yang terjadi pagi tadi rasanya aku semakin tidak rela melepaskannya. Bisakah aku memintanya kembali.
"Tuan Masumi...,"
Tuan Masumi kembali menatapku.
"Jika...saya meminta anda memilih saya, apa yang akan terjadi?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Selama ini aku tidak pernah memintanya untuk memilih. Hanya bisa merelakan keputusannya. Demi Nona Shiori yang sakit. Tapi sekarang...aku rasa wanita itu tidak layak mendapat pengorbanan Masumi. Pengorbananku. Pengorbanan cinta kami. Kalau dia bisa begitu egois demi dirinya, kenapa aku tidak?
"Apa maksudmu Maya? Kau ingin aku memilihmu?" Tanyanya bingung seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Aku mengangguk. Tuan Masumi menggeleng keras. Hatiku tercekat. Dia tidak mau?
"Kenapa?"
"Maya...aku...,"
"Anda tidak mencintaiku?"
Matanya melebar, "Itu tidak mungkin,"
Dia masih mencintaiku? Tentu saja! Kenapa aku harus ragu?
"Lalu kenapa?"
"Maya, aku tidak mau melibatkanmu dalam masalah. Bahaya bagimu kalau keluarga Takamiya tahu,"
Aku berjenggit. Jadi pilihan itu juga untuk melindungiku?
"Tuan Masumi, aku-," Ugh! Kepalaku sakit.
"Maya?"
Tiba-tiba semua disekitarku menjadi gelap.
***
Di mana aku?
Aku memutar mata mengamati sekelilingku. Ini kamar rumah sakit.
Masumi?
"Jangan bergerak dulu," Tuan Masumi menahan kedua bahuku ketika aku bergerak untuk bangun.
Alisku bertaut menatapnya. Nona Mizuki berdiri di sebelahnya.
"Kata dokter kau mengalami gegar otak ringan. Istirahatlah dulu." Jelas Nona Mizuki seolah bisa membaca tanda tanya di kepalaku.
Gegar otak?!
"Mizuki, tolong tinggalkan kami berdua," pinta Masumi. Wajahnya terlihat tegang.
"Baik Pak," jawabnya yang langsung berbalik pergi.
Ku amati wajah Masumi yang terlihat tegang.
Ada apa?
"Maya, aku mohon kau jujur padaku,"
Aku menyipitkan mata atas pertanyaanya.
"Jujur?" Tanyaku bingung.
"Apa Shiori yang melukaimu?"
Aku terhenyak. Dari mana dia tahu?
"Hijiri baru saja meneleponku dan mengatakan kalau Shiori datang ke apartemenmu tadi pagi,"
Apa yang harus aku katakan sekarang?
"Maya," Masumi duduk di tepi tempat tidur, meraih tanganku, menggenggamnya erat lalu mencium punggung tanganku.
"Saya tidak takut," kataku setelah ku ingat dengan sempurna percakapan terakhir kami sebelum aku kehilangan kesadaranku.
Masumi menatapku heran.
"Saya tidak takut dengan Nona Shiori, keluarga Takamiya atau apapun itu. Saya hanya ingin bersama anda. Bisakah?"
Genggaman tangan Masumi mengerat. Matanya menatapku lekat, seolah mencari celah keraguan disana. Aku yakin dia tidak akan menemukannya.
"Saya mohon! Saya sangat mencintai anda,"
"Maya...aku tidak sanggup mempertaruhkan keselamatanmu,"
"Asalkan bersama anda, saya rela hadapi semuanya,"
Ku lihat pandangan mata tajamnya melunak. Perkataanku melunturkan pertahanan dirinya. Dia juga ingin bersamaku.
Masumi menghela napas panjang, "Bagaimana kau bisa sekuat ini Maya?" Katanya kemudian. Tangannya yang bebas mengusap wajahku.
"Karena anda." Jawabku lirih, "Anda selalu memberi saya kekuatan,"
Masumi tersenyum.
Oh Tuhan...aku merindukan senyum itu. Sudah terlalu lama aku tidak melihat senyum indahnya.
"Kenapa Maya? Setelah apa yang telah aku lakukan padamu, kepengecutanku, kau masih mengharapkanku? Menungguku?"
Aku menggeleng pelan, "Tidak. Anda sudah banyak melakukan hal baik untuk saya. Anda tidak pengecut karena semua itu hanya untuk melindungi saya dan Nona Shiori. Justru kami inilah yang egois. Wanita yang mengharapkan cintanya terbalas dan memilikinya seutuhnya. Saya egois Tuan Masumi...saya benar-benar ingin bersama anda. Salahkah?" Butiran air mata mulai lolos dari mataku.
Dengan masih menggenggam erat tanganku, Masumi melandaikan tubuhnya. Mengecup keningku.
"Aku mencintaimu Maya Kitajima. Terima kasih karena telah mencintaiku," bisiknya lembut.
Dan aku tidak bisa menahan air mataku menderas ketika dia mendekapku penuh kasih.
Aku mencintaimu...Masumi.
***
Aku tidak mau menginap di rumah sakit dan bersikeras untuk pulang. Rasanya akan lebih nyaman kalau aku beristirahat di apartemen. Masumi dan Nona Mizuki akhirnya menyerah.
Dia memaksa untuk mengantarku dan meminta Nona Mizuki pulang. Setelah apa yang sudah terjadi, bisakah aku menolak perintahnya?
"Bagaimana rasanya? Apa masih sakit?"
Hari sudah lewat senja ketika kami sampai di apartemen dan Masumi membantuku duduk di sofa ruang tamu.
"Tidak. Sudah lebih baik," jawabku seraya tersenyum.
Masumi duduk di sebelahku, merengkuh bahuku dan membiarkanku bersandar padanya. Nyaman.
"Maya, bersabarlah sebentar lagi. Aku akan menemui Shiori dan menjelaskan semuanya. Aku tidak mau kau dikambing hitamkan dalam masalah ini, jadi ku mohon bersabarlah sebentar lagi,"
Jari-jari panjang Masumi memainkan rambut hitamku yang tergerai di bahu.
"Saya akan menunggu," jawabku.
Masumi mencium puncak kepalaku, "Terima kasih. Aku akan pastikan kau aman dan kita bisa bersama," bisiknya di dekat telingaku.
Aku tersenyum. Hatiku berbunga.
"Hhmm, bagaimana dengan publik nanti? Berita pernikahan anda sudah disiarkan ke seluruh Jepang," Aku menegakkan tubuhku dan menatapnya.
Dia tersenyum tenang, "Aku yang akan mengurusnya."
"Nona Shiori...?"
"Aku berjanji menikahinya hanya agar kau aman tapi sekarang dia malah menyakitimu. Ku pikir tidak ada gunanya. Aku ingin mengakhiri semua sandiwara ini. Aku tidak peduli lagi, asal bisa bersamamu." Matanya lembut menatapku. Aku mengangguk senang.
"Kenapa kau tidak memohon lebih awal? Saat di kampung halaman Bidadari Merah kau bahkan merelakanku begitu saja,"
"Waktu itu...saya pikir Nona Shiori lebih membutuhkan anda. Saya juga tidak mau melihat anda dihantui penyesalan dan...saya pikir Nona Shiori bisa lebih membahagiakan anda daripada saya." Aku menunduk, tidak berani menatapnya.
"Jadi itu yang kau pikirkan?" Tanyanya.
Aku mengangguk lemah tanpa menatapnya.
"Lihat aku Maya," pintanya.
Sontak aku mengangkat wajah, menatapnya.
"Tidak ada wanita lain yang bisa membuatku bahagia selain kau Maya," ucapnya.
Ah...aku meleleh mendengar perkataannya.
Perlahan Masumi mendekatkan wajahnya padaku. Berhenti tepat ketika bibirnya ada di depan bibirku.
"Bolehkah?" Pintanya lirih.
Wajahku menghangat. Alih-alih menjawab, aku justru memejamkan mata. Ku rasakan bibir lembut itu menekan bibirku. Pak Masumi merengkuhku dalam pelukannya. Satu tangannya di tengkukku, menahan kepalaku tetap di tempatnya sementara tangannya yang lain melingkari pinggulku, menjaga tubuhku tidak bergerak.
Hangat...perasaan ini belum pernah ku rasakan sebelumnya. Hatiku membuncah penuh kebahagiaan. Ini adalah ciuman pertama kami.
"Maya...," hanya sepanjang mendesahkan namaku Masumi melepaskan bibirku. Dia kembali menekan bibir hangatnya padaku. Membuatku semakin melupakan dunia di sekitarku.
Ah...aku mendesah lirih saat lidahnya memasuki mulutku. Menyapukan setiap cinta dalam cumbuannya. Aku mengikuti naluriku, bergerak mengikutinya. Ciuman Masumi semakin memanas, melepaskan hasrat kerinduan yang selama ini kami pendam.
Tubuhku menegang ketika tangan lebar Masumi mulai membelai tubuhku.
Ah...aku tidak bisa menahannya...aku benar-benar menginginkan menjadi milik pria ini seutuhnya. Salahkah?
Cumbuan kami semakin tak terkendali. Melepas bibirku, Masumi menciumi sepanjang garis wajahku, perlahan menuruni leherku. Membuatku merintih hilang kendali. Setiap sentuhan bibirnya di kuliku semakin membuatku terhilang. Tenggelam dalam cintanya.
"Masu...mi...," tanpa sadar aku mendesahkan namanya dan aku merasakan dia tersenyum di leherku. Ini pertama kalinya aku memanggil namanya.
"Panggil namaku lagi Maya," pintanya. Lidahnya menggelitik leherku.
"Masumi," ucapku lagi dengan napas tertahan karena perbuatannya.
"Ijinkan aku memilikimu," lirihnya seraya menyapukan kecupan hangat di leher dan sepanjang bahuku yang sudah tersingkap.
"Aku milikmu," jawabku sama lirihnya. Entah mendapat keberanian darimana sehingga aku bisa mengatakan hal itu. Sakit kepalaku bahkan sudah hilang sempurna...atau mungkin hanya terlupakan karena aku terlalu terhanyut dalam kelembutannya. Aku sudah lupa kalau dia adalah atasanku. Sekarang aku adalah kekasihnya. Belahan jiwanya. Miliknya.
Tidak peduli kami masih berada di ruang tamu, Masumi terus membuaiku. Aku terus memanggil namanya di dalam kepalaku. Masumi...Masumi...Masumi... duniaku teralihkan.
"Ahh...," Masumi terus mencumbui bahuku. Mengirimkan getaran luar biasa ke seluruh tubuhku.
"Mayaku...," satu tangannya kembali menyelinap di balik tengkukku saat bibirnya kembali menekan bibirku. Mendesakkan lidahnya padaku. Lidah kami saling bertaut. Membuatku kehabisan napas. Aku terengah ketika bibir kami terlepas.
"Kau cantik sekali," pujinya. Entah seperti apa wajahku sekarang di bawah tatapannya. Kami masih duduk bersebelahan di sofa dan untungnya masih berpakaian utuh meski sedikit...berantakan.
Kembali mendekatkan wajahnya, Masumi kembali mencium bibirku.
Brakk!!
Suara keras menyentakkan kami berdua. Dengan terkejut, kami menatap ke arah sumber suara. Kami lupa kalau pintu tidak terkunci.
Jantungku berpacu dan Masumi segera merengkuhku dalam pelukannya. Tatapan penuh amarah terpancar dari sosok yang muncul sebagai tamu tak diundang di pintu apartemenku.
Brakk!! Dia membanting pintu di belakangnya, "BERANINYA KAU!!" Hardiknya keras.
Bangkit dari sofa dengan masih memelukku Masumi menatap tajam wanita yang masih bergeming di tempatnya.
"Apa maumu Shiori?" Tanya Masumi tenang. Entah bagaimana dia bisa setenang itu.
"Mauku? Kau masih tanya mauku? Kau tahu apa mauku Masumi! Kenapa kau ada di sini bersamanya?!" Serunya lagi.
"Aku mencintainya," jawab Masumi.
"Kau tunanganku! Apa kau berniat mencampakkanku?" Bentaknya.
"Kita tidak akan bahagia jika kau terus memaksakan hubungan kita."
Kilat kemarahan semakin terlihat di mata Nona Shiori. Tak melepaskan pandangannya dari kami, Nona Shiori membuka tas tangannya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Melempar tasnya ke lantai, tangan Nona Shiori teracung ke arah kami.
"Shiori! Kau gila!" Masumi menegang. Tubuhku gemetar. Tangan Masumi mengerat menahan tubuhku yang terasa lemas. Senjata api yang ada di depanku membuat kepalaku berdenyut keras.
"Ya aku gila! Gila karenamu! Kalau aku tidak bisa memilikimu maka dia juga tidak!" Teriaknya histeris. Air mata deras mengalir di sudut matanya.
"Masumi...," suaraku bergetar ketakutan.
"Tenang Maya," bisiknya.
Kesabaran Nona Shiori mencapai limitnya. Dor! Sebuah tembakan terlepas. Masumi menjatuhkan diri dengan memelukku. Kami meringkuk di sofa.
"Kau baik-baik saja?" Masumi panik mengamatiku.
Aku mengagguk, "Kau?"
Dia mengangguk. Bersyukur tembakannya meleset. Kami kembali menatap Nona Shiori dengan waspada.
Masumi bangkit dan berdiri di depanku.
"Hentikan Shiori, melukai Maya tidak akan membuatku mencintaimu,"
"Setidaknya aku puas karena sudah membunuh wanita murahan itu," desisnya marah.
"Dia tidak bersalah Shiori. Akulah penyebab semua kekacauan ini,"
Masumi melangkah maju, mendekati Nona Shiori.
"Masumi...," lirihku cemas.
Tanpa menatapku, Masumi mengangkat tangannya. Memintaku diam. Aku bangkit dari sofa, berdiri dengan cemas memandang punggungnya yang semakin menjauh.
"Jangan mendekat Masumi," bentak Nona Shiori.
"Aku akan menembakmu!" Ancamnya.
Seluruh tubuhku bergidik. Kepalaku semakin sakit. Masumi masih tenang melangkah mendekati Nona Shiori. Hatiku berdebar tidak karuan.
Aku terkesiap ketika melihat pintu perlahan terbuka. Kak Hijiri! Dia pasti mengawasi apartemenku.
Aku menatapnya dengan tegang sementara dia mengendap-ngendap di belakang Nona Shiori. Masumi langsung berhenti melangkah ketika melihat Hijiri. Kedua pria itu pasti sudah memiliki rencana dalam kepala masing-masing.
Oh Tuhan...kakiku lemas...kepalaku sakit...tubuhku semakin gemetar...
Blug! Aku tersungkur ke lantai. Kakiku tidak sanggup lagi menyangga tubuhku.
"Maya!" Masumi memekik terkejut dan langsung berbalik ke arahku.
Aku duduk di lantai dengan napas terengah. Dadaku sesak. Perutku bergejolak...mual.
Aku melihat Nona Shiori mengarahkan senjata padaku dan pandanganku terhalang tubuh Masumi.
Tidak!! Aku berteriak dalam hati, Peluru itu akan mengenai Masumi....
"Tuan!" Ku dengar Kak Hijiri berteriak.
Reflek tubuhku bergerak. Dengan sisa kekuatanku, aku bangkit dan mendorong tubuh Masumi menjauh dari garis pandangku.
Aku masih bisa melihat semuanya dalam gerakan lambat. Masumi terjatuh ke samping dan Hijiri memeluk Nona Shiori dari belakang, berusaha menjatuhkan senjatanya. Tapi sepertinya terlambat.
Dor! Aku mendengar sebuah tembakan dan tubuhku terasa kehilangan semua daya.
"MAYA!!" Suara Masumi penuh ketakutan.
Rasa panas menjalari sepanjang bahu kananku. Pedih.
Brug! Kesadaranku menurun. Aku merasakan tangan kokoh mendekapku tapi mataku terlalu berkabut dan tidak bisa melihat.
Aku tahu...aku tahu itu Masumi.
"Maya...Maya...," katanya dengan suara serak.
Masumi...jangan menangis....
Semua gelap, aku tidak bisa melihat tapi aku bisa mendengar.
Suara tawa keras memekakkan telingaku.
Wanita itu? Shiori?
Dor! Sebuah tembakan kembali terdengar.
Masumi....
"Hijiri! Bawa Maya pergi....bawa...Maya pergi...."
Tidak!! Aku tidak mau meninggalkan Masumiku....Masu...mi...
Kesadaranku hilang sempurna.
***
Satu tahun kemudian.
Aku duduk termenung di tepi pantai. Manatap senja yang berpendar di batas cakrawala.
Aku merindukannya...Masumiku...
Tidak pernah ku bayangkan semuanya akan berakhir seperti ini. Air mataku sudah kering. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua kepedihan itu membuat jiwaku rapuh. Aku tenggelam dalam kesendirianku.
Ku baringkan tubuhku di atas pasir. Tanganku terentang. Menatap luasnya langit dan arakan awan putih.
Langit menggelap, bintang mulai menampakkan kilaunya.
Masumi...lihatlah hamparan bintang itu....
Kau suka sekali kan dengan bintang...
Kau berjanji mengajakku ke Izu...tapi sekarang...aku disini tanpamu....
Aku mendesah panjang. Menutup mata dengan lenganku. Membayangkan dia ada disisiku dan memelukku.
"Nona Maya, sudah malam."
Ku buka mataku. Kak Hijiri sudah berlutut di sebelahku dengan membawa jaket.
"Anda bisa sakit kalau keluar dengan pakaian seperti ini," katanya penuh simpati sambil membantuku mengenakan jaket.
Aku hanya tersenyum tipis. Selama setahun ini Kak Hijiri merawatku dengan baik. Mungkin aku sudah mati jika tidak ada dirinya. Dialah yang selalu menguatkanku, menyemangatiku untuk tetap bertahan. Bahkan merawatku di kala sakit. Hidup dalam keterasingan memanglah tidak mudah.
Kami berjalan ke vila dalam diam. Jaket yang ku kenakan ternyata tidak cukup menghangatkanku. Aku benar-benar merindukannya.
"Nona, anda belum makan malam," kata Kak Hijiri saat aku melangkah masuk ke dalam vila. Dia menutup pintu depan dan menguncinya.
"Aku tidak lapar," jawabku datar.
"Anda tidak enak badan?" Tanya Kak Hijiri.
Aku menggeleng, "Aku mengantuk."
Kak Hijiri tidak lagi bertanya ketika aku masuk ke dalam kamar. Kamar utama yang besar. Terlalu besar untuk kutempati sendirian.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian tidur, aku berbaring menatap langit-langit kamar.
Sunyi. Sekali lagi aku ditelan kesendirianku. Karena tragedi itu aku harus berpisah dengan teman-temanku. Semua pementasan Bidadari Merah dibatalkan dengan alasan aku mengalami kecelakaan. Aku diasingkan dari Tokyo dengan alasan pemulihan demi keselamatanku.
Lelah...aku lelah...entah kapan ini semua akan berakhir....
Masumi...beri aku kekuatan untuk bertahan.
***
"Kyaa!" Aku memekik girang ketika air laut memercik ke wajahku, "Hentikan Masumi!" Seruku lagi.
Masumi tertawa, dia berhenti memercikkan air ke arahku. Aku berlari dan dia mengejarku.
"Aku pasti mendapatkanmu sayang," seru Masumi santai sementara aku mempercepat langkah kakiku di atas pasir.
"Kyaa!" Masumi menangkap pinggulku dan memutarku di udara.
Aku tergelak ketika dia berhenti berputar dan membiarkanku berdiri di atas kakiku.
"Sudah, aku lelah," kataku ketika kami berhenti tertawa.
Masumi memutar tubuhku menghadapnya. Tangannya masih melingkar di pinggulku.
"Kau merindukanku Maya?"
Aku tersenyum, memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
"Jangan tinggalkan aku,"
Masumi membelai kepalaku, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sayang. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu menjagamu?"
Aku tersenyum senang ketika dia membenamkan sebuah kecupan di puncak kepalaku. Kami berdiri di tepi pantai. Menikmati indahnya dunia kami.
Suara deburan ombak menarikku dari alam damai. Ku buka mata dan tersadar, aku masih terbaring di kamar.
Ah...hanya mimpi.
Aku tersenyum kecut. Hanya di dalam mimpi aku bisa bertemu dengannya.
Masumi....
Dengan malas aku bangun dan berjalan menuju kamar mandi.
Kak Hijiri tersenyum ketika aku keluar dari kamar.
"Sarapan anda sudah siap Nona," katanya lembut.
"Terima kasih," akhirnya aku tersenyum padanya. Beberapa hari terakhir ini aku murung dan aku tidak mau membuat Kak Hijiri khawatir. Dia sudah begitu rela menghabiskan waktunya untuk menjagaku, melayani semua kebutuhanku, menjadi satu-satunya temanku di vila terasing ini.
Aku duduk di meja makan. Kak Hijiri meletakkan piring berisi sarapanku juga segelas susu di hadapanku.
"Sudah merasa lebih baik Nona?" Tanyanya kemudian.
Aku meringis padanya, "Maaf, beberapa hari ini pasti aku membuat Kak Hijiri khawatir,"
Dia membalas senyumku. Lega dengan jawabanku.
"Apa yang ingin Nona lakukan hari ini?"
Aku tertegun sejenak. Tidak banyak yang bisa aku lakukan di sini. Duduk menonton drama, membaca buku, bermain di pantai atau sesekali berjalan-jalan mengelilingi pulau. Begitulah kegiatanku selama setahun terakhir ini.
"Mungkin aku akan jalan-jalan di pantai lagi," jawabku seraya menyuap makanan ke mulutku.
Kak Hijiri hanya mengangguk menanggapinya. Kami menghabiskan waktu sarapan dengan tenang.
"Angin cukup kencang hari ini, sebaiknya Nona memakai baju hangat," pesan Kak Hijiri.
"Iya," aku masuk ke kamar dan keluar dengan sudah mengenakan pakaian hangat.
"Mau saya temani?"
Aku menggeleng. Dia hanya tersenyum dan membiarkanku pergi.
Kakiku melangkah menyusuri jalanan menuju pantai. Hembusan angin kencang langsung menyambutku ketika aku menapakkan kaki di atas pasir.
Terbesit ingatan akan mimpiku semalam. Bayangan Masumi yang berlari di pantai mengejar dan memelukku membuatku kembali mengulum senyum. Entah kapan terakhir kali aku merasa sebahagia itu, tertawa selepas itu. Aku tidak ingat.
Aku berjalan mendekati air, membiarkan riak ombak membasahi kakiku. Dinginnya air laut sedikit memberiku kesegaran. Ada rasa damai ketika aku menatap luasnya lautan di bawah langit biru.
Masumi...sekali lagi hatiku memanggil namanya. Berharap dia bisa mendengar kerinduanku.
"Maya,"
Aku terkesiap. Suara itu...?
Membalikkan tubuhku perlahan, tidak mau kecewa karena takut itu hanyalah hayalan, jantungku berdegub kencang.
Dia...
Kakiku melangkah dan tanpa sadar aku sudah berlari. Melompat dan memeluknya.
"Masumi!" Raungku. Aku menangis. Kali ini aku menangis. Air mata berderai di setiap sudut mataku.
Kedua lengan kokoh yang kurindukan mendekapku erat. Membuat kakiku melayang dalam pelukannya. Dia membenamkan wajahnya di rambutku dan membiarkanku menangis di bahunya. Kedua tanganku melingkar erat di lehernya.
"Maaf membuatmu menunggu terlalu lama," bisiknya di sela-sela rambutku.
Penantianku terbayarkan....
***
Masumi duduk di atas pasir dengan aku meringkuk di atas pangkuannya. Kedua tangannya masih erat mendekapku dan tanganku masih melingkar di lehernya dengan posesif. Seolah dia akan pergi kalau aku melepaskannya.
Isakanku sudah berhenti. Kelegaan memenuhi setiap relung hatiku. Menyingkirkan kesepian yang menggelayut karena penantian panjang.
"Aku merindukanmu," bisiknya.
"Hhmm," gumamku lirih.
Masumi mengecup keningku, mengirimkan getaran yang menghidupkan setiap sel ditubuhku yang mati suri setahun belakangan ini.
"Aku merindukan senyummu," katanya lagi.
"Hhmm," sekali lagi aku hanya bergumam.
"Aku merindukan tawamu,"
Aku diam. Sudah lama aku tidak tertawa.
"Aku merindukan kau memanggil namaku,"
Aku diam. Setiap hari aku memanggil namamu.
"Masumi...," lirihku.
Masumi tersenyum, "Terima kasih untuk setia menungguku Maya. Aku harap kali ini aku tidak terlambat untuk memulai segalanya dari awal." Masumi mencium keningku lagi, "Bersamamu," bisiknya lirih.
Aku mengangguk. Menegakkan tubuhku, aku menatap Masumi. Wajah yang selalu kurindukan.
"Apa semua baik-baik saja?"
Masumi tersenyum lalu mengangguk, "Semuanya sudah selesai,"
"Nona Shiori?" Tanyaku ragu.
"Dia sudah pulih. Pernikahan kami sudah dibatalkan enam bulan yang lalu," jawab Masumi tenang.
Nona Shiori menembak dirinya sendiri setelah menembak anda. Dia mengalami depresi berat. Pak Masumi tidak ingin anda terlibat dalam masalah ini dan meminta saya menyembunyikan Nona sampai semua keadaan aman dan tidak ada ancaman dari keluarga Takamiya. Publik tidak boleh tahu Nona Shiori berusaha membunuh anda. Semua harus disembunyikan. Jadi saya mohon Nona untuk bersabar.
Aku bergidik mengingat perkataan Kak Hijiri saat aku baru saja sadar setelah melewati masa kritis.
"Jangan takut," bisikan Masumi mengalihkan perhatianku, sepertinya dia bisa membaca apa yang aku pikirkan, "kali ini aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," lanjutnya.
Ada haru menyeruak dalam dadaku mendengar perkataan Masumi.
"Kau pasti sangat menderita setahun ini. Aku bahkan tidak bisa menemanimu saat kau kritis di rumah sakit,"
Aku menyandarkan lagi kepalaku di dadanya, "Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi,"
"Aku hanya ingin kau aman,"
"Aku tahu,"
Masumi sedikit memiringkan tubuhnya dan menjagaku tetap aman dengan sebelah lengannya sementara satu tangannya yang lain mengambil sesuatu dari dalam saku jaketnya.
Dia membuka kotak kecil yang baru saja diambilnya, sebuah cincin tersemat di dalamnya. Tanpa berkata apapun dia meraih jemariku dan menyematkan cincin itu di jari manisku.
"Jadilah milikku," bisiknya di telingaku.
"Aku milikmu," jawabku lirih dan kurasakan wajahku menghangat saat Masumi mencium cincin indah bertahtakan batu berlian.
Masumi merengkuhku dengan kedua lengannya dan dengan mudah dia bangkit lalu berjalan arah ke vila.
"Kita harus segera bersiap," katanya.
Keningku berkerut. Bersiap?
"Untuk apa?"
Masumi menyeringai tipis, "Pernikahan. Apalagi?"
"Heh, sekarang?" Seruku terkejut.
"Sekarang Mayaku,"
Dia tertawa ketika aku menganga menatapnya.
***
Masumi memberhentikan mobil di depan sebuah kuil. Kuil ini terletak di sebelah utara pulau Izu. Cukup jauh dari vila rahasia milik Masumi yang berada di sebelah selatan pulau.
"Masumi, kau bercanda kan? Bagaimana mungkin aku menikah seperti ini?" Aku melambaikan tangan pada diriku sendiri yang masih mengenakan dress selutut yang bahkan sudah kotor terkena pasir pantai.
Masumi hanya mengulum sebuah senyum sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia berputar lalu membukakan pintu bagiku.
"Ayo,"
Senyum penuh teka-tekinya semakin membuatku penasaran. Meski begitu, aku menurut ketika dia mengulurkan tangannya dan membawaku ke sebuah bangunan di dekat kuil utama.
Mataku mengamati sekitar. Kuil itu tidak besar. Terlihat sepi. Sedikit aneh karena aku melihat deretan mobil di tempat parkir tadi.
"Ayo sayang," kata Masumi lembut. Dengan masih menggenggam tanganku, dia membawaku masuk ke dalam bangunan itu.
"Kak Hijiri? Nona Mizuki?"
Aku langsung menoleh pada Masumi.
"Hijiri sudah menyiapkan semuanya. Mizuki akan membantumu,"
Keningku berkerut. Dua orang kepercayaan Masumi itu mengangguk hormat padaku.
"Mari Nyonya Maya, penata riasnya sudah siap," sela Nona Mizuki yang tersenyum menggodaku.
"Nyonya?!" Aku merona.
Masumi tersenyum lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, "Kau akan menjadi nyonyaku malam ini,"
Wajahku benar-benar panas. Aku yakin warnanya merah sekarang. Ketiganya tertawa melihatku.
Masumi keluar bersama dengan Kak Hijiri dan Nona Mizuki langsung membawaku ke sebuah kamar besar. Mataku melebar melihat kimono pengantin dan semua perlengkapannya. Seorang wanita, yang kemungkinan penata riasnya, membungkuk hormat begitu melihatku. Aku tersenyum dan hanya mengangguk padanya.
Nona Mizuki menyerahkan perlengkapan mandi padaku.
"Sebaiknya anda membersihkan diri dulu," katanya sopan. Cara bicaranya padaku berubah.
Apa karena aku akan menikah dengan Masumi?
Tiba-tiba lututku gemetar dan aku terduduk di lantai.
"Nyonya!" Seru Nona Mizuki terkejut.
Aku menangis. Entah kenapa tiba-tiba air mata ini tak terbendung lagi.
"Anda baik-baik saja?" Tanyanya seraya mengusap kedua lenganku.
Aku mengangguk. Aku baik-baik saja...hanya saja semua kejutan ini membuatku seperti tertabrak kereta barang dengan muatan penuh.
"Aku...hanya...bingung... seperti mimpi," kataku jujur seraya menyusut air mataku.
Nona Mizuki tersenyum, "Selamat ya Nyonya. Tuan Masumi sudah menyiapkan semua ini sejak lama hanya untuk anda,"
Aku menatapnya penuh haru. Dia jelas tahu bagaimana sulitnya perjalanan panjang cinta kami. Kak Hijiri banyak bercerita kalau Nona Mizuki lah yang banyak membantu menyiapkan semua keperluanku selama tinggal di Izu. Sepertinya mereka punya hubungan dekat. Entahlah. Yang aku tahu keduanya adalah orang kepercayaan Masumi.
"Ayo, anda harus segera bersiap," Nona Mizuki membantuku berdiri lalu memintaku segera bersiap.
Aku terpaku menatap diriku sendiri di cermin. Rasanya masih seperti mimpi aku bisa mengenakan shiramuku -kimono putih pernikahan- dan tudung kepala tsuni kakushi. Terlebih kalau mengingat pria yang menungguku di luar sana adalah Masumi. Setetes air mata jatuh tanpa bisa aku tahan lagi. Dengan cepat aku menyekanya, tidak ingin merusak riasanku.
"Nyonya, sudah waktunya," aku berbalik ketika mendengar suara Nona Mizuki. Senyumku mengembang melihatnya mengenakan kimono, rambutnya di gelung rapi.
"Kau terlihat cantik Nona Mizuki," aku melempar senyum padanya dan alisnya justru bertaut karena pujianku.
"Sayalah yang seharusnya mengatakan hal itu pada anda," protesnya tidak setuju.
Aku menahan tawaku melihat ekspresinya. Dia dengan anggun berjalan menghampiriku dan mengajakku keluar. Jantungku berdebar.
Keluar dari kamar aku melihat Masumi sudah mengenakan montsuki haori hakama -kimono hitam untuk pengantin laki-laki-. Debar jantungku semakin keras. Dia begitu tampan. Mempesona. Satu tahun aku tidak bertemu dengannya sama sekali. Lalu dia datang dengan tiba-tiba pagi ini dan sekarang...dia akan menjadi suamiku. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung hari ini. Tuhan begitu baik telah mempersatukan kami.
Senyum Masumi mengembang melihatku. Wajahku menghangat.
"Kau cantik sekali," pujinya.
Lidahku kelu dan hanya bisa tertunduk malu. Dia membawaku keluar menuju kuil utama. Iring-iringan pengantin sudah siap.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas di kepalaku. Siapa yang menjadi wakil dari keluargaku? Dan pertanyaan itu segera terjawab ketika kami masuk ke kuil utama. Altar suci dan ruang pernikahan telah siap. Aku melihat Tuan Kuronuma memakai kimono duduk bersebelahan dengan istrinya. Aku menahan diri untuk tidak memekik keras melihat Rei dan Mina, juga...Koji? Hal lain yang tidak kalah mengejutkannya adalah pria yang duduk di pihak keluarga Masumi. Paman es krim?
Tidak ada waktu mempertanyakan semuanya. Tuan Kuronuma dan teman-temanku juga Paman es krim tersenyum menatapku. Koji menganggukkan kepalanya seraya mengulum senyum tulus.
Aku melirik pada Masumi. Dia juga hanya mengangguk padaku sambil tersenyum.
Ah, Masumi,teri ma kasih
Pendeta Shinto memulai upacara pernikahan dan semua rasa membuncah dalam hatiku. Bahagia. Ribuan syukur dan doa terucap dalam hatiku.
***
Kami senang kau terlihat sehat, semoga bahagia Maya.
Pak Kuronuma sebagai waliku juga Rei dan Mina mengiringi pernikahanku dengan doa. Sebuah doa lain terbesit dalam ingatannku. Koji.
Selamat Maya, aku berdoa kau selalu bahagia.
Aku tersenyum. Dia sudah merelakanku.
Dan sesuatu yang mengejutkanku adalah fakta bahwa paman es krim adalah ayah Masumi. Kami sempat bicara empat mata setelah upacara pernikahan. Aku senang dia menerimaku sebagai menantunya. Bahkan dia berterima kasih padaku karena bersedia menjadi istri Masumi dan membahagiakannya. Tuan Besar Hayami...dia tidak seseram apa yang dikatakan orang.
Rasanya masih tidak percaya semua hal ini terjadi padaku hanya dalam satu hari. Semalam aku masih meringkuk sendirian dan kesepian di kamar ini tapi sekarang? Aku mengamati diriku sendiri.
Ah, ini adalah malam pertama kami sebagai suami istri.
Aku mengenakan gaun tidur satin panjang tanpa lengan berwarna violet.
Apa aku sudah cantik? Aku ragu.
"Apa yang sedang kau pikirkan Nyonya Hayami,"
Aku tersentak dari lamunanku. Mataku berputar mengelilingi kamar tidur. Masumi berdiri di ambang pintu dan tersenyum menatapku. Dengan anggun dia berjalan menghampiriku.
"Kau sudah selesai mandi?" Tanyaku saat mengamati rambut basahnya. Aku tidak menyadari dia keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian menjadi piyama.
"Kau melamun lama sekali," tegurnya. Dia duduk di sebelahku di tepi tempat tidur.
"Kau membuat banyak kejutan hari ini. Bagaimana aku tidak banyak berpikir?" Protesku membela diri. Dialah penyebab aku melamunkan banyak hal.
"Untuk apa kau pikirkan? Apa kau menyesal sudah menikah denganku?" Katanya seraya mengendikkan bahu seolah perbuatanku itu sia-sia.
Hhmmm, tapi dia benar, memang tidak ada gunanya memikirkan semua yang sudah berlalu. Kalaupun aku menyesal, itupun sudah terlambat.
"Berapa lama kau mempersiapkan semua ini?" Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Satu bulan yang lalu,"
Aku cemberut, "Satu bulan yang lalu dan kau sama sekali tidak menemuiku?"
"Keadaannya belum memungkinkan saat itu sayang,"
Aku mendengus, memalingkan wajah, melipat tangan di depan dada dan bergeser dari sebelahnya. Masumi tertegun melihatku merajuk.
"Aku harus memastikan semuanya aman sebelum bertemu denganmu. Menjelaskan semuanya pada Tuan Kuronuma, Rei dan Mina bukanlah hal mudah. Apalagi Koji,"
Dengan masih cemberut aku menoleh padanya, "Kenapa kau memintanya datang? Bukankah kau selalu cemburu padanya?" Jujur, aku tidak mengerti dengan pemikirannya.
Masumi menyeringai tipis, "Itu adalah salah satu cara untuk menyatakan bahwa kau adalah milikku,"
Aku menganga menatapnya dan dengan cepat menutup mulutku kembali. Alasan apa itu?
"Selain itu-," dia menatapku intens, mendesah pelan, dia terlihat tidak suka, "Aku tahu dia adalah salah satu sahabatmu yang berharga,"
Oh, dia memikirkan hal itu juga?
"Maaf," ucapnya ketika aku hanya diam dan tidak meresponnya.
"Maaf?" Alisku bertaut.
"Karena tidak mendiskusikan semua ini denganmu. Aku memang egois, aku tidak mau kehilanganmu. Tidak rela kalau sampai akhirnya kau berubah pikiran dan ingin pergi meninggalkanku," jawabnya putus asa.
Aku menggeleng lalu menunduk, "Aku hanya bingung. Terkejut dengan semua hal yang mendadak ini tapi aku sama sekali tidak berniat meninggalkanmu."
"Jadi kau tidak menyesal menikah denganku?" Masumi memiringkan kepalanya mencari wajahku.
"Tentu saja tidak," jawabku dengan masih tertunduk, menghindari tatapan matanya.
Memang apa yang dipikirkannya? Bagaimana mungkin aku menyesali sesuatu yang sangat ku harapkan?
"Jadi-," Masumi berdehem.
Aku mengangkat kepala, bingung dengan maksudnya, "Jadi?"
"Jadi kenapa kau harus duduk sejauh itu dariku?"
Eh?! Kembali menunduk, aku bergeser, sedikit mendekat padanya.
"Masih terlalu jauh sayang."
Ah, dia menggodaku! Kenapa aku menjadi semalu ini?
Aku tahu dia menahan diri untuk tidak mentertawakanku. Aku sedikit memutar mata, jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal saja dan dia bergeming di tempatnya.
"Maya?"
Aku menoleh dan reflek tubuhku bergerak, menghambur memeluknya.
Sejenak aku merasa Masumi terkejut tapi kemudian dia membalas pelukanku dengan mendekap erat tubuh mungilku. Mengecup puncak kepalaku.
Malam ini aku tidak mau bersedih. Sudah cukup kesedihan untuk kami berdua.
Aku mulai terisak dan Masumi menarikku.
"Sayang, kenapa kau menangis?" Masumi menangkupkan kedua tangan di wajahku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya.
"Jangan tinggalkan aku lagi," aku mengiba.
Masumi menggeleng, "Tidak sayang, tidak akan. Kita akan selalu bersama. Aku berjanji,"
Masumi mencium kedua sudut mataku yang basah. Kesedihanku teralihkan.
"Aku akan menebus semua air matamu dengan tawa dan kebahagian," bisiknya penuh janji di depan wajahku. Menyentuhkan hidungnya ke hidungku, kedua mata kami bertaut.
"Masumi...," aku menggumam lirih. Terhipnotis oleh tatapan mata gelapnya.
"Mulai malam ini-," Masumi menggeser telapak tangan kirinya ke belakang telinga hingga mencengkram lembut tengkukku, "Kau adalah milikku seutuhnya. Istriku. Belahan jiwaku." Tangan kanan Masumi menyusuri garis wajahku dengan jarinya. Kuliku meremang di bawah sentuhannya.
"Kenapa kau diam?" Bisiknya lagi, bibirnya menekan menjadi garis tipis menawan.
"Apa yang harus aku katakan?" Lirihku tak berdaya, "Aku begitu merindukanmu sampai tidak tahu lagi harus berkata apa."
Masumi melingkarkan tangan kananya di pinggulku, membuat tubuh kami merapat. Tidak berkata apa-apa lagi, Masumi mendekatkan wajahnya padaku, "Aku mencintaimu Maya," desahnya halus di depan bibirku.
"Aku juga mencintaimu Masumi. Terima kasih untuk segalanya," bisikku lirih.
Masumi tersenyum dan sedetik kemudian bibirnya memiliki bibirku. Sebuah ciuman yang mengawali segalanya. Menyatukan jiwa kami. Meski aku pernah terlambat menyadari cintanya tapi aku tahu cinta kami tidak terlambat untuk dipersatukan. Sekarang dan selamanya, aku hanya ingin menjadi miliknya.
Masumi-ku...belahan jiwaku...aku mencintaimu...
***
-End-
With love from Agnes
Thank you
Fanfiction by Agnes Kristi
Setting : Setelah Maya berhasil memperoleh hak pementasan Bidadari Merah dan bersiap melakukan Pementasan ke dua.
"Eh? Penikahan?" Seruku terkejut.
Rei dan Mina langsung mengalihkan pandangannya padaku. Mina meletakkan surat kabar pagi yang tadi dibacanya bersama Rei ke meja ruang tamu. Alisnya bertaut menatapku.
"Ada apa Maya?" Tanya Mina.
"Ah, tidak," aku terkekeh sambil menggeleng. Sekali lagi mengeluarkan keahlianku berakting. Meski faktanya jantungku ingin melompat ke luar tapi aku harus bersikap biasa.
"Kenapa kau terlihat terkejut? Bukankah kau sudah tahu kalau Tuan Masumi dan Nona Shiori memang akan menikah," kata Rei. Sahabat yang paling dekat denganku ini memang sedikit sulit dikelabui.
"Aku hanya tidak menyangka pernikahannya secepat ini." Kataku santai sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Meringis, aku beranjak dari sofa, "Kasihan sekali Nona Shiori itu harus menikah dengan orang menyebalkan dan gila kerja seperti Tuan Masumi," selorohku mengejek.
"Kau ini bicara apa?" Rei mengikuti gerakanku yang berdiri dengan matanya, begitu juga Mina. Keduanya mendongak dan menatapku bingung.
"Ya kalian kan tahu sendiri bagaimana menyebalkannya Tuan Masumi itu." Jawabku santai.
"Setahuku dia hanya bertengkar denganmu Maya. Mungkin dia orang yang lembut jika bersama tunangannya." Kata Mina menanggapi perkataanku.
Ya, aku tahu dia lembut
Ugh! Hatiku sakit tapi aku justru tertawa. "Mana mungkin orang itu bisa bersikap lembut," aku menepiskan tangan di udara dan dengan cepat berbalik untuk pergi. Mataku mulai menghangat dan aku mungkin tidak bisa berakting lagi. Kedua sahabatku itu tidak boleh tahu yang sebenarnya.
"Kau mau kemana?" Tanya Rei ketika aku mulai melangkah.
"Keluar sebentar. Ada yang ingin aku beli di toko swalayan depan. Kalian mau titip sesuatu?" Tanyaku yang hanya memiringkan kepala melirik kedua sahabatku yang masih duduk di sofa ruang tamu.
"Tidak," sahut keduanya bersamaan.
"Baiklah, aku pergi," kataku seraya mempercepat langkahku.
"Hati-hati," kata Mina.
Aku masih mendengar seruan Rei padaku ketika aku sudah berada di genkan -bagian depan rumah, tempat melepas sepatu-.
Ku hirup udara pagi musim semi ketika keluar dari pintu apartemen baruku. Udara begitu sejuk, berbanding terbalik dengan hatiku yang panas.
Masumi, akhirnya kau akan menikah juga
Aku menghela napas panjang, kakiku melangkah tanpa tujuan. Berat menerima kenyataan meski aku tahu semua ini pasti terjadi.
Rasanya baru kemarin aku bersama dengannya di Astoria. Malam indah yang singkat namun begitu membahagiakan dan pelukannya yang masih bisa aku rasakan, di geladak kapal ketika kami melihat matahari terbit.
Ah, andai semua itu bisa terulang lagi
Terkadang aku berpikir, apakah aku terlalu serakah? Mencintai seorang Masumi, direktur utama Daito, pengusaha tampan incaran banyak wanita kelas atas. Melihat diriku sendiri aku jadi merasa bodoh.
Memang siapa aku? Aku hanyalah gadis kecil yang tidak punya apa-apa. Selain akting, apa yang bisa ku banggakan? Meski sekarang aku telah resmi memiliki hak pementasan Bidadari Merah, aku tetap tidak bisa bersaing dengan tunangannya, Nona Shiori.
Wanita itu begitu cantik dan anggun, elegan dan mempesona. Dia berasal dari keluarga kaya yang memang pantas menjadi pendamping Masumi.
Tak terasa langkah kakiku sudah jauh meninggalkan apartemen. Pergi ke swalayan hanyalah alasan bagiku untuk menghindari Rei dan Mina. Aku butuh waktu sendiri. Dan disinilah aku, berdiri di trotoar jalan tanpa tujuan. Ku layangkan mataku ke sekitar tempatku berdiri. Banyak orang tapi aku merasa sendiri.
Ah, sekali lagi aku menghela napas panjang. Mungkin memang inilah akhir dari perjalanan cintaku. Takdir tidak berpihak pada kami. Biarlah aku merelakannya, asal dia bahagia aku juga pasti akan merasa bahagia.
Aku rela menahan semua sakit dan aku bisa memakai topeng untuk menutupi kepedihanku.
Berbahagialah Masumi...hanya dalam mimpi aku bisa memanggil namamu sebagai kekasihku.
Ku lanjutkan perjalananku tapi sebuah panggilan menghentikan langkahku. Aku menoleh mencari sumber suara yang memanggilku.
"Koji?" Keningku berkerut melihat pemuda tampan itu setengah berlari menghampiriku.
Koji terengah-engah ketika berhenti di depanku. Dia membungkuk mengatur napas dengan kedua tangan menyangga di lutut, seolah baru saja melakukan lari maraton.
"Akhirnya, aku menemukanmu," katanya dengan masih terengah.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku heran. Setahuku dia sedang pergi bersama keluarganya untuk menghabiskan liburan musim semi di sela libur latihan kami.
Koji menegakkan tubuhnya dan menatapku dengan mata berbinar, "Aku mencarimu sejak tadi," jawabnya, kali ini napasnya sudah tenang dan teratur.
"Mencariku?" Mataku menyipit padanya.
"Iya, tadi aku ke apartemenmu tapi Rei bilang kau pergi ke swalayan. Aku mencarimu ke sana tapi kau tidak ada. Ternyata kau jauh sekali sampai disini. Kau mau kemana?"
"Iya, tadi aku memang ingin ke swalayan tapi ku pikir cuaca cukup bagus untuk berjalan-jalan sebentar," aku tersenyum sembari beralasan.
"Oh, kalau begitu pergilah jalan-jalan denganku,"
"Eh?!" Aku terkejut. Jujur sebenarnya aku sedang ingin sendiri.
"Iya, ayo kita pergi ke taman bermain. Kakiku sudah pulih jadi kita bisa main apa saja disana," kata Koji.
Taman bermain? Nah itu kelihatannya menyenangkan.
"Baiklah, tapi aku harus pulang dulu untuk mengambil tas," jawabku. Aku bahkan tidak membawa dompet juga handphone, hanya membawa sedikit uang disaku
"Tidak perlu, bukankah ada aku," Koji tersenyum lebar dan aku tidak bisa menolak lagi saat dia meraih tanganku, membawaku pergi.
***
Aku masih tertawa lepas ketika turun dari roller coaster bersama Koji. Yah, ternyata pergi ke taman bermain memang bisa memperbaiki sedikit suasana hatiku yang sedang kacau.
Ku lirik Koji yang tengah tersenyum senang. Dia pemuda yang baik, bahkan sangat baik. Tapi entah kenapa semua kebaikan itu tidak juga bisa menyentuh hatiku hingga ke taraf cinta. Bagiku dia memang hanya sekedar teman, hhmmm, sahabat. Tidak lebih.
Sejenak aku berpikir, apakah pergi dengannya seperti ini tidak akan membuat dia berharap lebih padaku? Ah sulit rasanya. Aku sudah mengembalikan kalung liontin lumba-lumbanya setelah uji coba pementasan Bidadari Merah tapi sepertinya dia belum menyerah juga mengenai perasaannya. Dia sempat marah padaku setelah kecelakaan yang menimpanya, aku masih tidak tahu kenapa tapi sekarang hubungan kami semakin membaik. Meski begitu aku sama sekali tidak berniat merubah status hubungan kami dari sahabat menjadi kekasih. Tidak. Aku tidak akan bisa. Hatiku hanya satu dan itu adalah milik Masumi. Bagaimana mungkin aku bisa membaginya? Aku bisa mati.
"Maya?"
Aku tersentak, Koji mengusap lembut bahuku.
"Ah iya, maaf,"
"Kau melamun?" Koji sedikit cemberut melihatku.
Aku meringis melihatnya, "Ada sesuatu yang sedang ku pikirkan," kataku jujur. Yah meski aku tidak bisa bilang apa yang aku pikirkan setidaknya aku tidak bohong.
Sedetik kulihat wajah Koji berubah sendu sebelum kemudian dia tersenyum dan tatapannya melembut padaku. Dia kembali meraih tanganku.
"Ayo, kita cari makan siang," katanya dan lagi-lagi aku gagal menolak ketika dia membawaku pergi.
Kami berdua duduk di sebuah cafe yang ada di dalam lokasi taman bermain. Aku memesan pancake dan aku senang Koji tahu apa yang kusuka, segelas besar ice cream dengan toping buah dan coklat.
"Apa yang kau rencanakan setelah ini Maya?" Tanya Koji tiba-tiba saat aku menyuap sesendok ice cream ke dalam mulutku.
"Setelah ini?"
"Maksudku setelah pementasan Bidadari Merah selesai," Koji memperjelas maksud pertanyaannya.
Aku tertawa. Kami akan menyelenggarakan pentas Bidadari Merah yang kedua tiga bulan lagi dan begitu banyak persiapan yang harus aku lakukan.
"Kenapa kau tertawa?" Koji menautkan dua alisnya.
"Kau kan tahu bagaimana aku Koji. Mana mungkin aku tahu apa yang akan aku lakukan setelah pementasan nanti. Bahkan untuk pementasan ini saja aku masih bingung apa yang harus aku lakukan," kataku sambil cekikikan geli. Itulah aku, hidup mengalir bagai air.
Koji mengangguk-angguk dengan masih menatapku, "Kau pasti akan sibuk sekali,"
"Kita," tandasku.
"Eh?!" Koji terkejut.
"Kau tidak berpikir Akoya akan sendirian di atas panggung tanpa Isshin kan?"
Koji tertawa, "Aku kan hanya berperan sebagai Isshin, sedangkan kau harus menyiapkan keseluruhan pentas itu. Kau pasti akan lebih sibuk,"
Koji benar. Aku kembali menghela napas panjang. Sama sekali tidak terlintas dipikiranku sebelumnya kalau aku akan melakukan semua ini sendiri. Aku menunduk dalam, menatap gelas besar ice creamku yang sudah mulai meleleh meski aku belum banyak memakannya.
"Kenapa?" Tanya Koji.
"Andai Bu Mayuko masih ada, mungkin aku tidak akan kesulitan seperti sekarang," lirihku.
Mengingat kepergian Bu Mayuko membuat dadaku sesak. Beliau meninggal setelah memberikan hak pementasan Bidadari Merah padaku dan melihat pementasan perdana lima bulan yang lalu.
Aku terkesiap, Koji tiba-tiba meletakkan tangannya di atas tanganku dan meremasnya dengan lembut. Ku angkat wajahku dan sepasang mata penuh kasih tengah menatapku.
"Kau pasti bisa Maya. Kau gadis yang luar biasa, kuat dan hebat." Koji menguatkanku.
Begitukah? Aku tidak merasa seperti itu.
"Lagipula pihak Daito sebagai penyelenggara pementasan pasti akan bekerja dengan maksimal. Pentas perdana kita sukses besar dibuatnya," tambah Koji.
Daito?! Ah, kau membuatku kembali teringat pada Masumi.
Sepertinya Koji menyadari perubahan ekspresi wajahku.
"Ada apa?" Tanyanya seraya memiringkan kepala mencari wajahku yang tertunduk melihat es krim di gelasku yang semakin mencair.
"Ah, tidak apa-apa," kataku yang dengan cepat mengulum senyum untuk mengelabuinya.
Sesaat aku lihat wajah Koji berubah. "Ada apa?" Aku balik bertanya padanya.
"Maya, sebenarnya aku sudah lama ingin menanyakan hal ini padamu," nada suara Koji terdengar ragu.
"Menanyakan apa?"
"Sebenarnya ada hubungan apa antara kau dan Tuan Masumi?" Mata Koji menatap jauh kedalamku, seolah ingin menyelami apa yang aku rahasiakan di dalam hatiku.
Aku terhenyak. Kenapa dia menanyakan hal itu? Apa dia tahu?
"Ke, kenapa kau bertanya seperti itu?" Aku tergagap karena kegugupanku sendiri.
"Sebenarnya waktu aku menjemputmu di pelabuhan setelah kau berlayar di Astoria, aku melihatmu...," ku lihat Koji menelan ludah perlahan, "kau berpelukan dengan Tuan Masumi."
Jantungku serasa berhenti berdetak. Koji melihat kami? Jangan-jangan kecelakaan itu....
Hatiku beringsut tak nyaman. Sebuah kata maaf tercekat di tenggorokanku. Akulah penyebab kecelakaan Koji.
"Maya maaf," Koji kembali meraih tanganku dan menggenggamnya, "waktu itu aku sangat marah melihatnya. Aku menemui Tuan Masumi dan dia juga tidak mengatakan apa-apa padaku, bahkan dia bilang aku boleh memilikimu. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Kau juga mengembalikan kalungku tapi sampai sekarang aku tidak melihatmu bertemu dengannya. Terlebih sekarang dengan berita mengenai pernikahan...,"
"Cukup!" Tanpa sadar suaraku meninggi dan membuat Koji tersentak. Aku tidak mau dia membahas mengenai berita pernikahan itu. Setengah mati aku berusaha menyingkirkannya dari kepalaku. Aku menarik tanganku dari genggamannya.
"Maya...," lirih Koji.
"Ma, maaf, tapi tolong jangan bicarakan hal itu sekarang." Aku dengan cepat memperbaiki situasi atas kekesalan tak beralasanku pada Koji, "Maaf jika gara-gara aku kau jadi mengalami kecelakaan. Tapi apa yang terjadi antara aku dan Tuan Masumi adalah urusan pribadiku,"
"Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri urusan pribadimu," mata Koji masih lekat menatapku.
Oh, tidak! Aku bisa menangis.
"Koji, bisa kita pulang sekarang? Rei dan Mina pasti akan khawatir karena aku pergi terlalu lama tanpa memberitahu mereka," kataku kemudian. Aku tidak mau Koji melihatku menangis.
Aku lega waktu Koji langsung beranjak dari kursinya.
"Ayo," katanya.
Aku mengangguk dan mengikutinya.
***
"Kau dari mana saja?!" Omel Rei sambil berkacak pinggang begitu aku sampai di apartemen.
"Maaf," gumamku.
"Maaf Rei, aku yang mengajaknya pergi," bela Koji.
"Kenapa kau tidak kirim pesan kalau Maya bersamamu? Apa kau lupa kalau Maya sekarang tidak boleh berkeliaran seenaknya,"
Koji menggaruk kepalanya, "Iya, aku lupa."
Rei mendengus kesal.
"Lain kali kalian harus hati-hati. Bagaimana kalau ada wartawan nakal membuat gosip tentang kalian berdua? Kalian sekarang sudah menjadi aktris kelas satu. Jangan sembarangan keluar," tambah Mina.
"Kami hanya pergi ke taman bermain di dekat sini," Koji masih berusaha membela diri.
Rei dan Mina menggeleng bersamaan.
Ah, aku jengah dengan semua ini. Aku suka sekali akting tapi bukan seperti ini yang aku inginkan.
Sejak menjadi Bidadari Merah rasanya ruang lingkupku semakin sempit. Aku seperti bukan diriku saja. Apalagi setelah aku pindah ke apartemen baru yang disediakan Daito untukku. Semua rasanya semakin sesak. Rei dan Mina hanya mengunjungiku atau menginap saat mereka libur atau tidak ada jadwal pementasan, seperti sekarang. Sepi rasanya. Jadwalku selalu padat dengan syuting, wawancara dan latihan.
"Maya,"
Aku tersentak. Rei, Mina dan Koji tengah menatapku. Aku melamun terlalu lama.
"Kau kenapa?" Tanya Rei.
"Aku mengantuk," kilahku seraya meringis lebar.
Koji melirik padaku dan aku mengabaikan ekspresi bingung semua orang yang melihat keanehanku.
"Koji, terima kasih untuk hari ini."
Koji hanya tersenyum padaku, "Sebaiknya aku pulang agar kau bisa istirahat,"
Sekali lagi aku lega karena kepergian Koji. Akupun segera masuk ke kamar tidur. Masih ku dengar gerutuan Rei sebelum pintu kamarku tertutup sempurna. Seketika aku terduduk di lantai, bersandar pada pintu dan memeluk kakiku. Setetes air mata langsung jatuh dari sudut mataku. Rasa perih ini tidak bisa kutahan lagi. Sakit.
Masumi...beri aku kekuatan untuk menjalani semua ini. Kau pasti juga merasakan hal yang sama denganku kan? Padahal aku sudah berjanji untuk tidak menangis....maafkan aku...
***
Kampung halaman Bidadari Merah, Pemakaman Mayuko 5 bulan yang lalu.
Air mataku belum kering menatap nisan yang sekarang bertuliskan nama guruku, Mayuko Chigusa. Sekali lagi orang yang paling berharga dalam hidupku pergi meninggalkanku.
Setidaknya kali ini Bu Mayuko pergi dengan tenang. Beliau meninggal dengan tersenyum setelah memuji penampilanku di pentas perdana Bidadari Merah. Dia pasti sudah tenang bersama Tuan Ichiren di alam sana.
"Maya,"
Sebuah penggilan menyentakkanku. Air mata yang hampir surut kembali menganak sungai begitu ku lihat siapa yang memanggilku. Masumi Hayami.
"Sudah terlalu lama kau di sini. Ayo, pulang. Semua orang mengkhawatirkanmu," Bujuknya.
Aku menggeleng dengan kepala tertunduk.
"Maya, kau bisa sakit kalau seperti ini,"
Pria itu berlutut di sebelahku. Sepertinya dia tidak peduli itu akan mengotori pakaian mahalnya.
Aku terkesiap ketika dia menyentuh bahuku.
"Pulanglah," bujuknya penuh simpati.
Aku menyeka air mata yang tidak mau berhenti mengalir.
"Maya,"
Masumi meraih daguku dan memaksaku menatapnya.
"Jangan siksa dirimu. Ini juga menyiksaku," lirihnya putus asa.
Aku terhenyak dengan perkataannya. Apa maksudnya?
"A, apa maksud anda?" Tanyaku terbata.
"Maya, kau tahu apa maksudku," katanya tanpa melepaskan jarinya dari daguku dan tatapannya dari mataku.
"Apa peduli anda Tuan Masumi?" menyentakkan wajahku, aku berpaling darinya. Air mataku kembali mengalir.
"Maafkan aku," lirihnya kemudian.
"Untuk apa anda minta maaf?" Jawabku datar. Faktanya hatiku tidak sedatar itu. Andai dia tahu gemuruh sedang melanda jiwaku saat ini. Bukan hanya karena meninggalnya Bu Mayuko tapi juga karena....
"Maafkan aku tidak bisa memilihmu. Tidak bisa menepati janjiku untuk menunggumu,"
Ah! Sakit hatiku mendengarnya.
Aku menggeleng lemah, "Bukan salah anda Tuan Masumi. Saya mencoba untuk mengerti," aku kembali menunduk dalam.
Hah?! Aku tersentak ketika tiba-tiba Masumi memelukku erat.
Gawat! Bagaimana kalau sampai ada yang melihat? Aku takut meski sebenarnya pemakaman terlihat sepi.
"Tuan Masumi, hentikan. Bagaimana kalau nanti ada yang melihat," gumamku keberatan di dadanya. Tubuhku terkukung dalam dekapan lengan kokohnya.
"Ku mohon, sebentar saja. Biarkan aku memelukmu seperti ini," bisiknya di sela-sela rambutku.
Aku bergeming, bukan karena tak kuasa untuk melepaskan diri tapi karena aku juga menginginkan ini. Berada dalam dekapannya.
Hatiku sakit ketika dia melepaskan pelukannya dan menjauhkan tubuhnya.
"Kita pulang?" Tanyanya.
Bisakah aku menolak perintahnya?
"Maya," lirihnya lagi.
Aku mengangguk. Tangan hangatnya meraih pergelangan tanganku dan membantuku berdiri.
Aduh! Aku mengernyit ketika kakiku terasa sakit.
"Kenapa?"
"Kakiku kram,"
Jelas saja, entah sudah berapa jam aku bersimpuh di tanah tanpa bergeser sedikitpun.
"Kyaaa!" Aku memekik terkejut ketika tiba-tiba Masumi mengangkatku dengan kedua lengannya.
"Tu, Tuan Masumi! Turunkan saya! Saya masih bisa jalan," rengekku. Tapi alih-alih menurunkanku dia justru mengeratkan kedua lengannya di tubuhku.
Akhirnya aku hanya bisa diam, membeku dalam dekapannya. Diapun sama sekali tidak menatapku. Ekspresi dinginnya menatap lurus ke depan seolah dia hanya membawa sebuah kardus kosong dan bukannya...aku.
Dia menurunkanku tepat di sebelah mobilnya. Kramku sudah berkurang dan aku sukses berdiri di atas kedua kakiku.
"Bisa berdiri?"
Aku hanya mengangguk. Yakin sekarang wajahku semerah udang rebus. Membuka pintu mobil, dia mendorong lembut bahuku dan memintaku masuk.
Ku ikuti setiap gerakannya yang dengan anggun memutari bagian depan mobil hingga dia duduk di belakang kemudi. Di sebelahku.
"Pakai sabuk pengamanmu Maya," perintahnya tanpa menatapku dan aku melakukan perintahnya tanpa menjawab sepatah katapun.
Makam Bu Mayuko berada di sebuah bukit sehingga kami harus melewati jalan menurun. Tanganku mencengkram erat jok yang aku duduki saat kami melewati turunan tajam.
"Tenang Maya. Aku sudah lancar mengemudi sejak usiaku delapan belas."
Aku melirik pada Masumi dan terlihat jelas dia menahan senyum geli karena sikapku. Suasana dingin diantara kami sudah mencair.
"Justru itu yang saya takutkan! Anda sudah tidak muda lagi sekarang dan jalanan di sini tidak seperti di Tokyo," dengusku kesal.
Masumi tertawa mendengar ejekanku.
"Aku tidak setua itu Maya," sanggahnya sambil menggelengkan kepala. Matanya tetap fokus menatap ke jalan. Aku senang karena dengan begitu aku bisa bebas menatapnya.
Masumi menghentikan mobil di tepi padang rumput. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kenapa kita berhenti di sini?" Tanyaku bingung.
Masumi menoleh padaku, "Kau tidak ingat tempat ini?"
Sekali lagi aku melayangkan pandangan keluar jendela. Jantungku berdebar begitu menyadari dimana aku berada.
Ini..."Mau berjalan-jalan sebentar Maya?" Masumi memiringkan kepala menatapku.
Aku terdiam. Jariku bertaut erat di atas pangkuanku.
"Maaf, aku hanya ingin bicara denganmu. Jika kita pulang sekarang maka aku tidak akan punya kesempatan untuk bicara empat mata denganmu," jelasnya.
Ya, dia benar. Teman-teman pasti akan bertanya-tanya kalau sampai melihatku berdua bersama Masumi.
"Kau mau?"
Aku mengangguk meski ragu. Bukan ragu karenanya tapi ragu pada diriku sendiri. Aku takut tidak bisa mengendalikan diriku saat bersamanya.
Kami berjalan di atas padang rumput. Suasananya sangat berbeda dengan saat pertama kali kami melihat bintang. Malam itu akan terus aku ingat dan siang ini...ah, betapa sungguh menyakitkan mengingat banyak hal indah bersamanya.
Masumi berhenti lalu duduk di hamparan rumput, sekali lagi aku melihat direktur dingin itu melepas topengnya. Dengan canggung aku mengambil tempat di sebelahnya.
Kami berdua terdiam. Dia duduk dengan pandangan menerawang menatap alam luas yang terhampar dengan kedua tangan bersandar pada lututnya. Sementara aku sibuk mengamatinya, mencoba menyelami pikirannya.
Apa yang sebenarnya ada di dalam hatimu Masumi?
Ingin rasanya aku menanyakan hal itu. Tatapan mata dinginnya di depan semua orang hanyalah akting. Sekarang aku melihat seorang Masumi yang terlihat begitu rapuh dan kesepian.
Andai aku bisa melepaskan semua beban yang sepertinya begitu berat untuk kau pikul itu...aku rela. Berbagilah denganku Masumi...
Masumi selalu lebih hebat melakukan peran dalam drama kehidupan ini dibandingkan denganku. Aku selalu bisa menangis, tertawa, marah ataupun merajuk sesuka hatiku. Tapi dia? Entah bagaimana dia bisa terus memakai topeng es itu untuk menutupi kerapuhannya.
"Maya," tiba-tiba dia menoleh padaku. Aku terkesiap ketika mata kami bertemu.
"Y, ya," aku memalingkan wajah dengan cepat meski itu bodoh. Dia jelas tahu daritadi aku mengamatinya.
"Apa kau bisa memaafkanku?"
"Eh?!" Sontak aku kembali menatapnya, "Apa maksud anda?"
"Aku sudah terlalu banyak menyakitimu, apa kau bisa memaafkan semua kesalahanku itu?"
Aku mengerti maksudnya.
"Anda...anda tidak bersalah Tuan Masumi,"
"Setelah apa yang aku lakukan padamu?" Masumi menggeleng, "Aku membunuh ibumu hingga menghancurkan karirmu. Aku juga sering memperlakukanmu dengan buruk. Dan terakhir...saat kau memintaku untuk menunggumu, aku bahkan memilih wanita lain,"
Aku tersayat mendengar kalimat terakhirnya.
"Tidak, tidak, bukan seperti itu. Bukan salah anda," aku mengulangi lagi perkataanku, "Salah saya yang terlambat menyadari semua kebaikan hati anda,"
Ah...mataku mulai menghangat.
"Aku tahu semua ini sudah terlambat. Aku sudah memutuskan semuanya tapi aku hanya ingin kau tahu satu hal...kalau...,"
Aku tertegun, Masumi tiba-tiba diam. Mata gelapnya sendu menatapku. Ingin rasanya aku menghambur memeluknya, tidak peduli akan keputusannya yang sudah memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya. Aku hanya ingin dia tahu betapa aku sangat mencintainya. Aku yakin dia merasakan hal yang sama, sesuatu yang barusan ingin dikatakannya tapi entah tercekat oleh apa.
Aku mengeratkan tanganku di depan dada. Mencegahnya bergerak untuk memeluk belahan jiwaku. Tapi rasanya hasrat ini tidak terbendung lagi.
Aku akan mengatakannya! Sekali ini saja! Sekarang atau tidak sama sekali!
"Saya mencintai anda," kataku setenang mungkin. Mata kami masih saling bertaut dan aku tahu sekarang dia sangat terkejut dengan apa yang aku katakan.
"Meski semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki tapi saya percaya cinta saya tidak terlambat. Setidaknya saya mengungkapkan apa yang saya rasakan sebelum anda menjadi milik orang lain."
Mataku berkabut. Aku pasti menangis! Aku pasti menangis! Aku tidak bisa akting di luar panggung apalagi di hadapan Masumi.
Kami masih terdiam dan hanya saling menatap. Meski kami sudah tahu perasaan masing-masing tapi ini adalah pernyataan cintaku yang pertama. Aku pernah merasakan perasaan lain pada Koji atau juga pada Satomi tapi itu hanyalah perasaan suka yang muncul karena simpati mereka. Tapi tidak jika dengan dirinya. Aku sadar sepenuhnya kalau aku mencintainya. Mencintainya dengan sangat.
Ah...aku tidak bisa menahan ini lebih lama lagi.
Bruk! Aku menabrakkkan diriku padanya. Membuatnya jatuh terlentang di padang rumput dengan aku bergelung di atasnya. Mendekapnya erat. Terisak di dadanya. Melampiaskan rinduku. Melampiaskan rasaku. Sebelum benar-benar terlambat nanti....
"Maya...,"
Aku mendengar dia mendesahkan namaku. Tidak berusaha bangun apalagi menyingkirkanku dari atasnya, Masumi justru memeluk tubuh mungilku dengan kedua lengannya. Sama dengan apa yang dilakukannya di depan makam Bu Mayuko tadi, hanya saja lebih erat.
Sebuah helaan napas panjang terdengar, "Aku juga mencintaimu Kitajima, dulu, sekarang dan selamanya," bisiknya di sela-sela puncak kepalaku dan aku merasakan sebuah kecupan hangat di sana.
Ah Tuhan! Kenapa kau buat takdir kami begitu kejam. Tidakkah kau sanggup mengubahkan segalanya? Apa hanya karena usia atau status sosial maka kami tidak layak bersama?
Tidak ada lagi yang kami katakan. Kami sudah cukup bahagia dengan deklarasi cinta yang kami buat dan kami berdua sadar kami tidak bisa saling memiliki. Secara fisik. Karena faktanya hati kami bersatu. Jiwa kami seakan satu. Aku merasakan kepedihannya dan dia merasakan kegetiranku.
Masumi...andai waktu dapat diputar kembali maka aku akan menyatakan semuanya lebih awal....
***
Sebuah ketukan di pintu kamar menyadarkanku akan mimpi panjang. Tepat ketika ku lihat jam di dinding kamarku, pintu terbuka. Pukul lima sore. Rei muncul dari balik pintu.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Aku menggeliat di atas tempat tidur lalu kembali bergelung dengan gulingku.
"Iya Rei, aku tidak apa-apa," kataku dengan senyum lebar.
Mata Rei waspada mengamati reaksiku.
"Sudah sore,"
Aku cemberut. Itu sebuah kode. Aku bangun dan duduk di tepi tempat tidur.
"Apa kalian tidak bisa menginap lagi?" Aku memohon. Rei bergeming dengan bersandar pada tiang pintu.
"Besok pagi kami harus mulai latihan untuk pementasan di Teater Orin."
Aku mendesah panjang, "Boleh aku ikut menginap di apartemen kalian?"
Rei menggeleng, "Kau hanya libur tiga hari. Sebelum latihan kau harus mengurus banyak hal di persatuan drama nasional. Jadi gunakan waktumu untuk istirahat Maya."
"Aku bosan diam di rumah,"
"Dengan keadaan kacau seperti itu kau mau pergi keluar?"
"Eh?!"
"Siapa yang mau kau bohongi Maya? Aku sangat mengenalmu. Lihat dirimu, mata sembab, wajah kuyu, kau pasti sedang memikirkan sesuatu kan?"
"Ah tidak," sanggahku cepat.
Rei mendesah panjang, "Apa yang sebenarnya kau sembunyikan dari kami?"
Aku meringis.
"Jangan berakting,"
Aku tertawa.
"Terserah kalau kau masih belum mau menceritakannya pada kami. Tapi kau harus ingat Maya, kapanpun kau perlu bantuan, datanglah,"
"Kau ini bicara apa Rei. Aku baik-baik saja,"
Rei sekali lagi menggelengkan kepala lalu berlalu dari ambang pintu.
Entah sampai kapan aku harus bersandiwara.
***
Pagi ini terasa begitu dingin. Aku tengah bersiap berangkat ke Gedung Persatuan Drama Nasional untuk rapat mengenai pementasan Bidadari Merah.
Hatiku berkerut tidak nyaman. Aku pasti bertemu dengannya...Masumi. Setelah kemarin aku mendengar berita rencana pernikahan mereka, hatiku semakin tidak nyaman.
Nona Shiori pasti sudah sembuh dari depresi pasca percobaan bunuh dirinya. Harusnya aku senang karena itu. Masumi tidak lagi harus menanggung rasa bersalah. Tapi sekarang? Bebanku justru semakin berat karena harus melihat mereka menikah.
Bukankah aku sudah merelakannya?
Aku menggeleng.
Mulutku saja yang berkata seperti itu. Hatiku jelas berkata tidak.
Sadar kalau perenungan panjangku bisa membuatku terlambat, aku pun bergegas kembali bersiap.
Tiba-tiba bel pintu apartemenku berbunyi.
Siapa yang datang pagi-pagi seperti ini?
Aku berjalan ke pintu.
"Selamat pagi Maya,"
Jantungku serasa jatuh dari tempatnya.
"No, Nona Shiori?"
Wanita itu mengulum sebuah senyum padaku.
"Boleh aku masuk?" Tanyanya seraya memiringkan kepalanya.
"Ah, iya, silakan," aku melambaikan tangan padanya.
Tanganku bergetar ketika kembali menutup pintu. Ku tarik napas panjang. Kami berjalan ke ruang tamu.
"Anda mau minum teh?" Tanyaku sopan ketika dia sudah duduk di sofa ruang tamuku.
"Tidak perlu Maya. Aku hanya sebentar," katanya.
Aku mengangguk. Dengan canggung aku duduk di sofa di hadapannya.
"Ada perlu apa Nona Shiori datang menemuiku sepagi ini?"
Aku berkerut ketika melihatnya menyeringai.
"Kau pasti tahu dengan pasti apa tujuanku datang,"
Aku menggeleng, "Saya tidak mengerti maksud anda,"
Nona Shiori terkekeh, "Jangan pura-pura lugu Maya. Kau sudah menjerat tunanganku dan sekarang kau pura-pura tidak tahu maksud kedatanganku?"
"Apa maksud anda Nona? Saya-,"
"Cukup Maya!"
Aku berjenggit mendengar suara tingginya. Mata Nona Shiori berkilat marah menatapku. Aku melihat tubuhnya menegang.
"Aku datang hanya untuk memperingatkanmu. Jauhi Masumi!" Tegasnya.
Dia tahu?! Dia tahu aku dan Masumi saling mencintai?
Entah mendapat keberanian dari mana, aku menggelengkan kepala.
"Apa?!" Dia mendesis marah.
Aku menatap kedua bola matanya, "Jadi anda tahu kalau saya dan Pak Masumi saling mencintai?"
Mata Nona Shiori semakin melebar, "Tutup mulutmu! Masumi tidak mencintaimu! Kau yang menjeratnya!" Hardiknya marah. Keanggunan dan kelembutannya hilang sempurna di mataku.
Jadi inikah Nona Shiori yang sebenarnya? Relakah aku melepaskan Masumi pada wanita ini? Wanita egois yang mendapatkan cinta dengan cara memaksa?
Aku tersenyum. Entah kenapa hatiku tiba-tiba merasa lega.
Nona Shiori berdiri dari kursinya dan menatapku marah. Tangannya terkepal menggenggam tas tangan dengan erat. Sepertinya senyumku semakin memicu kemarahannya.
"Maya! Aku tidak peduli kalaupun dirimu adalah Bidadari Merah. Jika kau masih saja mendekati Masumi maka aku tidak akan segan untuk bertindak," ancamnya.
"Apa yang akan anda lakukan Nona? Melakukan percobaan bunuh diri lagi? Atau membunuhku?"
Nona Shiori menganga mendengar perkataanku. Pasti dia terkejut karena aku tahu apa yang terjadi padanya.
"Ya, Nona Shiori, saya tahu kalau anda mencoba bunuh diri ketika Tuan Masumi ingin membatalkan pertunangan kalian. Tuan Masumi mengatakannya padaku. Karena itulah dia memilih anda." Jelasku.
Nona Shiori bergeming menatapku dalam kemarahannya.
"Kami setuju untuk berpisah. Saya tidak tega melihat Tuan Masumi berkubang dalam rasa penyesalan karena melihat kondisi anda. Tapi sekarang?" Aku menggeleng. "Melihat anda seperti ini, saya jadi berubah pikiran. Anda tidak mencintai Tuan Masumi, bagaimana mungkin saya bisa melepaskannya? Saya berharap anda bisa membahagiakannya tapi saya rasa hal itu tidak akan terjadi. Bagaimana mungkin orang seegois anda-,"
"CUKUP!"
Aku terlambat menghindar saat tas tangan Shiori menampar wajahku. Blug! Seketika aku jatuh dari sofa dan keningku membentur pelipis meja sebelum akhirnya jatuh ke lantai. Ugh! Kepalaku berdenyut ketika membentur lantai keras.
Aku kembali bangkit dengan memegang sisi wajahku. Sakit.
"Ingat Maya! Ini adalah peringatan. Selanjutnya hanya akan ada tindakan."
Dengan kemarahannya, Nona Shiori pergi meninggalkan apartemenku.
Aku mendesah panjang lalu berjalan ke kamar. Ku perhatikan pantulan wajahku di cermin meja rias.
"Ah, berdarah," gumamku kesal. Pelipisku tergores. Keningku berkerut ketika melihat pipiku memerah.
Gawat! Aku melihat jam dinding di kamar. Sudah tidak sempat lagi untuk mengompres pipiku yang merah. Aku mengambil kotak P3K dari dalam laci lalu mengoleskan obat dan menutup lukaku dengan kain kassa secepat kilat. Kusambar tasku dan aku segera berlari keluar. Tidak lagi peduli dengan wajahku yang merah.
***
Taksi berhenti di depan Gedung Persatuan Drama Nasional. Aku berlari. Nona Mizuki sudah menungguku di lobi.
"Kau kenapa Maya?" Nona Mizuki terheran begitu melihatku.
Kain kassa di pelipis dan sebelah pipi memerah pasti cukup membuat Nona Mizuki menyimpan berbagai pertanyaan di dalam otaknya. Sekretaris Masumi yang sekarang menjadi manajerku ini memang selalu jeli mengamatiku.
"Aku jatuh dan terbentur meja," jawabku sambil meringis.
Nona Mizuki menggeleng kesal, "Kau ini aktris Maya, tidakkah kau bisa lebih berhati-hati?"
Aku terkekeh sambil mengangkat kedua jariku membentuk huruf V. Membenahi poni, aku mencoba menutupi kain kassa dengan rambutku.
"Kau yakin baik-baik saja?" Dia memastikan lagi.
Aku mengangguk mantap. Sebenarnya kepalaku sedikit pusing karena terbentur cukup keras tapi sekarang bukan saatnya untuk bermanja-manja.
"Ayo, Tuan Yamagishi dan Tuan Masumi sudah menunggumu," Mizuki berbalik dan mulai berjalan.
"Eh?! Tuan Masumi sudah datang?" Tanyaku seraya mengikutinya. Jantungku mulai berlompatan tidak karuan.
"Tentu saja sudah. Ini rapat mengenai Bidadari Merah, mana mungkin Tuan Masumi terlambat," jawab Mizuki datar.
Ah iya, Bidadari Merah adalah hal yang sangat penting bagi Daito.
Mizuki mengetuk dua kali lalu membuka pintu ganda dan beberapa orang yang duduk mengelilingi meja besar langsung menatap kami. Aku membungkuk hormat pada semuanya seraya memberi salam.
Deg! Jantungku berhenti sedetik ketika sepasang mata gelap menatapku tajam. Aku tahu arti tatapan mata itu...kenapa-keningmu?
Menyingkirkan perasaanku sejenak, aku mengulum senyum padanya. Berusaha menjawab pertanyaannya tanpa kata...aku-baik-baik-saja.
Segera saja kualihkan perhatianku darinya. Tuan Kuronuma yang ternyata juga sudah datang langsung menggeleng begitu melihatku. Dia pasti sudah bisa menebak kenapa aku memakai hiasan di pelipis hari ini. Bukan sekali dua kali dia melihatku terjatuh karena tersandung kakiku sendiri.
"Terjatuh dan membentur sesuatu?" Tanyanya begitu aku duduk di kursi kosong disebelahnya.
Aku yakin pipiku semakin memerah sekarang sementara Tuan Yamagishi terkekeh mendengarnya. Hanya satu orang yang tetap berwajah datar yang aku artikan sebagai sebuah topeng untuk menutupi kekhawatirannya padaku.
Benarkah? Hatiku berbunga jika memang seperti itu adanya.
Di sudut hatiku terdalam memang masih tersimpan sebuah harapan. Dan kejadian hari ini...aku mendesah pelan. Haruskah aku memperjuangkan harapan itu. Hatiku masih sangat percaya kalau Masumi masih mencintaiku. Meski tidak ada lagi kiriman mawar ungu untukku. Meski kami hanya bertemu untuk urusan pekerjaan. Meski aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan.
"Kitajima,"
Aku tersentak, "Ah, i, iya, maaf," baru kusadari semua mata tengah menatapku.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Tuan Yamagishi.
"Iya, saya baik-baik saja,"
Aku melirik Masumi, dia masih menatapku lekat. Ku mohon hentikan...batinku melirih. Aku bisa melompat ke pangkuanmu kalau kau menatapku seperti itu.
"Baiklah kita mulai rapatnya,"
Aku mendesah lega. Tuan Yamagishi sukses mengalihkan perhatiannya dan aku mulai fokus pada rapat.
***
Rapat berjalan lebih lama dari perkiraanku. Empat jam kami membahas berbagai hal tanpa istirahat. Aku beruntung besok masih libur latihan. Kepalaku sakit sekarang.
Tuan Yamagishi baru saja pergi dengan Tuan Kuronuma. Aku masih bergeming di kursiku. Sementara Nona Mizuki tengah berbicara dengan Masumi. Sepertinya masalah serius. Bagi Masumi, Nona Mizuki masih sebagai sekretaris andalannya meski sekarang ada sekretaris baru yang mendampinginya. Beberapa masalah penting masih ditangani khusus oleh Nona Mizuki.
Aku masih duduk dengan kepala tertunduk karena tidak mau melihat keduanya yang sedang berdiskusi. Lebih tepatnya aku tidak mau menatap Masumi. Kalau saja Nona Mizuki tidak berkeras memintaku menunggu untuk mengantarku pulang, aku pasti sudah pergi sejak tadi.
Ugh! Kepalaku berdenyut sakit.
"Maya, ayo kita pulang."
Keningku berkerut ketika melihat Nona Mizuki, pandanganku mengabur. Meski begitu aku tetap berdiri sambil meraih tasku. Baru saja ku langkahkan kaki, kepalaku berputar.
"MAYA!"
Kurasakan lengan kokoh yang mendekapku erat sebelum tubuhku terhempas ke lantai.
Ah, aku merindukan pelukannya...tapi....
Dengan cepat aku menarik diriku.
"Maaf," lirihku.
"Kau baik-baik saja?" Suara itu sarat kecemasan. Dalam hati aku senang dia masih mencemaskanku.
"Saya baik-baik saja Tuan Masumi," jawabku seraya bersandar pada kursi untuk memulihkan keseimbangan tubuhku.
"Maya, wajahmu pucat. Kau sakit?" Tanya Nona Mizuki sama cemasnya.
Aku terkesiap ketika tangan Pak Masumi terulur dan menyibakkan poniku.
"Ini, kenapa?" Tanyanya lembut.
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, bersyukur kami berada di ruangan tertutup.
"Sa, saya terjatuh pagi tadi," kataku gugup.
"Ugh," aku membekap mulutku.
"Kenapa?" Pak Masumi kembali meraih ke dua lenganku.
Aku menggeleng, berusaha menekan rasa mualku.
"Apa bagian belakang kepalamu juga terbentur?" Tanya Pak Masumi lagi.
Eh?! Aku mengangguk.
Ku lihat ekspresi Pak Masumi yang tiba-tiba mengeras.
"Mizuki, kita ke rumah sakit sekarang," tegasnya disambut anggukan kepala Nona Mizuki.
"Saya akan siapkan mobil anda," Nona Mizuki berlalu pergi dan meninggalkan kami berdua.
Ah! Apa yang harus aku lakukan sekarang?
"Saya baik-baik saja Tuan Masumi," kataku seraya menarik kursi lalu duduk sebelum tubuhku kembali oleng. Rasa mualku sudah berkurang.
"Tidak Maya, kau tidak baik-baik saja," jawab Masumi.
Tiba-tiba pria tampan itu berlutut di depanku lalu meraih ke dua bahuku. Mencengkramnya lembut dengan kedua tangan lebarnya.
"Sakit? Pusing?" Tanyanya.
Aku bingung. Apa yang harus aku katakan? Masih bisakah aku mengeluh padanya? Mengatakan apa yang aku rasakan. Aku ingin dia kembali padaku....
"Maya?" Masumi menautkan alis atas kebisuanku.
Aku menggeleng. Tidak mau membuatnya khawatir meski mungkin itu sia-sia. Aku baru saja hampir pingsan di depannya. Bagaimana aku bisa menyangkal keadaanku?
"Saya tidak apa-apa Tuan Masumi. Anda pasti masih banyak pekerjaan, pergilah. Saya tidak mau mengganggu semua pekerjaan penting anda."
"Dengar Maya. Aku diam bukan berarti aku tidak peduli padamu. Segala sesuatu tentang dirimu adalah penting bagiku," tegasnya.
Ku beranikan diri menatap sepasang mata gelapnya. Ada kesungguhan di sana yang tidak bisa ku sangkal.
Oh tidak! Mataku menghangat.
"Maaf," katanya kemudian.
"Maaf?" Tanyaku serak karena menahan isakanku keluar.
"Aku memang pengecut Maya. Hanya bisa membuatmu bersedih. Hanya bisa melindungimu dari balik bayangan," katanya putus asa. Melepaskan ke dua tanganku, Pak Masumi memalingkan wajahnya menghindari tatapan mataku.
Hatiku miris mendengarnya. Mengingat apa yang terjadi pagi tadi rasanya aku semakin tidak rela melepaskannya. Bisakah aku memintanya kembali.
"Tuan Masumi...,"
Tuan Masumi kembali menatapku.
"Jika...saya meminta anda memilih saya, apa yang akan terjadi?" Akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Selama ini aku tidak pernah memintanya untuk memilih. Hanya bisa merelakan keputusannya. Demi Nona Shiori yang sakit. Tapi sekarang...aku rasa wanita itu tidak layak mendapat pengorbanan Masumi. Pengorbananku. Pengorbanan cinta kami. Kalau dia bisa begitu egois demi dirinya, kenapa aku tidak?
"Apa maksudmu Maya? Kau ingin aku memilihmu?" Tanyanya bingung seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.
Aku mengangguk. Tuan Masumi menggeleng keras. Hatiku tercekat. Dia tidak mau?
"Kenapa?"
"Maya...aku...,"
"Anda tidak mencintaiku?"
Matanya melebar, "Itu tidak mungkin,"
Dia masih mencintaiku? Tentu saja! Kenapa aku harus ragu?
"Lalu kenapa?"
"Maya, aku tidak mau melibatkanmu dalam masalah. Bahaya bagimu kalau keluarga Takamiya tahu,"
Aku berjenggit. Jadi pilihan itu juga untuk melindungiku?
"Tuan Masumi, aku-," Ugh! Kepalaku sakit.
"Maya?"
Tiba-tiba semua disekitarku menjadi gelap.
***
Di mana aku?
Aku memutar mata mengamati sekelilingku. Ini kamar rumah sakit.
Masumi?
"Jangan bergerak dulu," Tuan Masumi menahan kedua bahuku ketika aku bergerak untuk bangun.
Alisku bertaut menatapnya. Nona Mizuki berdiri di sebelahnya.
"Kata dokter kau mengalami gegar otak ringan. Istirahatlah dulu." Jelas Nona Mizuki seolah bisa membaca tanda tanya di kepalaku.
Gegar otak?!
"Mizuki, tolong tinggalkan kami berdua," pinta Masumi. Wajahnya terlihat tegang.
"Baik Pak," jawabnya yang langsung berbalik pergi.
Ku amati wajah Masumi yang terlihat tegang.
Ada apa?
"Maya, aku mohon kau jujur padaku,"
Aku menyipitkan mata atas pertanyaanya.
"Jujur?" Tanyaku bingung.
"Apa Shiori yang melukaimu?"
Aku terhenyak. Dari mana dia tahu?
"Hijiri baru saja meneleponku dan mengatakan kalau Shiori datang ke apartemenmu tadi pagi,"
Apa yang harus aku katakan sekarang?
"Maya," Masumi duduk di tepi tempat tidur, meraih tanganku, menggenggamnya erat lalu mencium punggung tanganku.
"Saya tidak takut," kataku setelah ku ingat dengan sempurna percakapan terakhir kami sebelum aku kehilangan kesadaranku.
Masumi menatapku heran.
"Saya tidak takut dengan Nona Shiori, keluarga Takamiya atau apapun itu. Saya hanya ingin bersama anda. Bisakah?"
Genggaman tangan Masumi mengerat. Matanya menatapku lekat, seolah mencari celah keraguan disana. Aku yakin dia tidak akan menemukannya.
"Saya mohon! Saya sangat mencintai anda,"
"Maya...aku tidak sanggup mempertaruhkan keselamatanmu,"
"Asalkan bersama anda, saya rela hadapi semuanya,"
Ku lihat pandangan mata tajamnya melunak. Perkataanku melunturkan pertahanan dirinya. Dia juga ingin bersamaku.
Masumi menghela napas panjang, "Bagaimana kau bisa sekuat ini Maya?" Katanya kemudian. Tangannya yang bebas mengusap wajahku.
"Karena anda." Jawabku lirih, "Anda selalu memberi saya kekuatan,"
Masumi tersenyum.
Oh Tuhan...aku merindukan senyum itu. Sudah terlalu lama aku tidak melihat senyum indahnya.
"Kenapa Maya? Setelah apa yang telah aku lakukan padamu, kepengecutanku, kau masih mengharapkanku? Menungguku?"
Aku menggeleng pelan, "Tidak. Anda sudah banyak melakukan hal baik untuk saya. Anda tidak pengecut karena semua itu hanya untuk melindungi saya dan Nona Shiori. Justru kami inilah yang egois. Wanita yang mengharapkan cintanya terbalas dan memilikinya seutuhnya. Saya egois Tuan Masumi...saya benar-benar ingin bersama anda. Salahkah?" Butiran air mata mulai lolos dari mataku.
Dengan masih menggenggam erat tanganku, Masumi melandaikan tubuhnya. Mengecup keningku.
"Aku mencintaimu Maya Kitajima. Terima kasih karena telah mencintaiku," bisiknya lembut.
Dan aku tidak bisa menahan air mataku menderas ketika dia mendekapku penuh kasih.
Aku mencintaimu...Masumi.
***
Aku tidak mau menginap di rumah sakit dan bersikeras untuk pulang. Rasanya akan lebih nyaman kalau aku beristirahat di apartemen. Masumi dan Nona Mizuki akhirnya menyerah.
Dia memaksa untuk mengantarku dan meminta Nona Mizuki pulang. Setelah apa yang sudah terjadi, bisakah aku menolak perintahnya?
"Bagaimana rasanya? Apa masih sakit?"
Hari sudah lewat senja ketika kami sampai di apartemen dan Masumi membantuku duduk di sofa ruang tamu.
"Tidak. Sudah lebih baik," jawabku seraya tersenyum.
Masumi duduk di sebelahku, merengkuh bahuku dan membiarkanku bersandar padanya. Nyaman.
"Maya, bersabarlah sebentar lagi. Aku akan menemui Shiori dan menjelaskan semuanya. Aku tidak mau kau dikambing hitamkan dalam masalah ini, jadi ku mohon bersabarlah sebentar lagi,"
Jari-jari panjang Masumi memainkan rambut hitamku yang tergerai di bahu.
"Saya akan menunggu," jawabku.
Masumi mencium puncak kepalaku, "Terima kasih. Aku akan pastikan kau aman dan kita bisa bersama," bisiknya di dekat telingaku.
Aku tersenyum. Hatiku berbunga.
"Hhmm, bagaimana dengan publik nanti? Berita pernikahan anda sudah disiarkan ke seluruh Jepang," Aku menegakkan tubuhku dan menatapnya.
Dia tersenyum tenang, "Aku yang akan mengurusnya."
"Nona Shiori...?"
"Aku berjanji menikahinya hanya agar kau aman tapi sekarang dia malah menyakitimu. Ku pikir tidak ada gunanya. Aku ingin mengakhiri semua sandiwara ini. Aku tidak peduli lagi, asal bisa bersamamu." Matanya lembut menatapku. Aku mengangguk senang.
"Kenapa kau tidak memohon lebih awal? Saat di kampung halaman Bidadari Merah kau bahkan merelakanku begitu saja,"
"Waktu itu...saya pikir Nona Shiori lebih membutuhkan anda. Saya juga tidak mau melihat anda dihantui penyesalan dan...saya pikir Nona Shiori bisa lebih membahagiakan anda daripada saya." Aku menunduk, tidak berani menatapnya.
"Jadi itu yang kau pikirkan?" Tanyanya.
Aku mengangguk lemah tanpa menatapnya.
"Lihat aku Maya," pintanya.
Sontak aku mengangkat wajah, menatapnya.
"Tidak ada wanita lain yang bisa membuatku bahagia selain kau Maya," ucapnya.
Ah...aku meleleh mendengar perkataannya.
Perlahan Masumi mendekatkan wajahnya padaku. Berhenti tepat ketika bibirnya ada di depan bibirku.
"Bolehkah?" Pintanya lirih.
Wajahku menghangat. Alih-alih menjawab, aku justru memejamkan mata. Ku rasakan bibir lembut itu menekan bibirku. Pak Masumi merengkuhku dalam pelukannya. Satu tangannya di tengkukku, menahan kepalaku tetap di tempatnya sementara tangannya yang lain melingkari pinggulku, menjaga tubuhku tidak bergerak.
Hangat...perasaan ini belum pernah ku rasakan sebelumnya. Hatiku membuncah penuh kebahagiaan. Ini adalah ciuman pertama kami.
"Maya...," hanya sepanjang mendesahkan namaku Masumi melepaskan bibirku. Dia kembali menekan bibir hangatnya padaku. Membuatku semakin melupakan dunia di sekitarku.
Ah...aku mendesah lirih saat lidahnya memasuki mulutku. Menyapukan setiap cinta dalam cumbuannya. Aku mengikuti naluriku, bergerak mengikutinya. Ciuman Masumi semakin memanas, melepaskan hasrat kerinduan yang selama ini kami pendam.
Tubuhku menegang ketika tangan lebar Masumi mulai membelai tubuhku.
Ah...aku tidak bisa menahannya...aku benar-benar menginginkan menjadi milik pria ini seutuhnya. Salahkah?
Cumbuan kami semakin tak terkendali. Melepas bibirku, Masumi menciumi sepanjang garis wajahku, perlahan menuruni leherku. Membuatku merintih hilang kendali. Setiap sentuhan bibirnya di kuliku semakin membuatku terhilang. Tenggelam dalam cintanya.
"Masu...mi...," tanpa sadar aku mendesahkan namanya dan aku merasakan dia tersenyum di leherku. Ini pertama kalinya aku memanggil namanya.
"Panggil namaku lagi Maya," pintanya. Lidahnya menggelitik leherku.
"Masumi," ucapku lagi dengan napas tertahan karena perbuatannya.
"Ijinkan aku memilikimu," lirihnya seraya menyapukan kecupan hangat di leher dan sepanjang bahuku yang sudah tersingkap.
"Aku milikmu," jawabku sama lirihnya. Entah mendapat keberanian darimana sehingga aku bisa mengatakan hal itu. Sakit kepalaku bahkan sudah hilang sempurna...atau mungkin hanya terlupakan karena aku terlalu terhanyut dalam kelembutannya. Aku sudah lupa kalau dia adalah atasanku. Sekarang aku adalah kekasihnya. Belahan jiwanya. Miliknya.
Tidak peduli kami masih berada di ruang tamu, Masumi terus membuaiku. Aku terus memanggil namanya di dalam kepalaku. Masumi...Masumi...Masumi...
"Ahh...," Masumi terus mencumbui bahuku. Mengirimkan getaran luar biasa ke seluruh tubuhku.
"Mayaku...," satu tangannya kembali menyelinap di balik tengkukku saat bibirnya kembali menekan bibirku. Mendesakkan lidahnya padaku. Lidah kami saling bertaut. Membuatku kehabisan napas. Aku terengah ketika bibir kami terlepas.
"Kau cantik sekali," pujinya. Entah seperti apa wajahku sekarang di bawah tatapannya. Kami masih duduk bersebelahan di sofa dan untungnya masih berpakaian utuh meski sedikit...berantakan.
Kembali mendekatkan wajahnya, Masumi kembali mencium bibirku.
Brakk!!
Suara keras menyentakkan kami berdua. Dengan terkejut, kami menatap ke arah sumber suara. Kami lupa kalau pintu tidak terkunci.
Jantungku berpacu dan Masumi segera merengkuhku dalam pelukannya. Tatapan penuh amarah terpancar dari sosok yang muncul sebagai tamu tak diundang di pintu apartemenku.
Brakk!! Dia membanting pintu di belakangnya, "BERANINYA KAU!!" Hardiknya keras.
Bangkit dari sofa dengan masih memelukku Masumi menatap tajam wanita yang masih bergeming di tempatnya.
"Apa maumu Shiori?" Tanya Masumi tenang. Entah bagaimana dia bisa setenang itu.
"Mauku? Kau masih tanya mauku? Kau tahu apa mauku Masumi! Kenapa kau ada di sini bersamanya?!" Serunya lagi.
"Aku mencintainya," jawab Masumi.
"Kau tunanganku! Apa kau berniat mencampakkanku?" Bentaknya.
"Kita tidak akan bahagia jika kau terus memaksakan hubungan kita."
Kilat kemarahan semakin terlihat di mata Nona Shiori. Tak melepaskan pandangannya dari kami, Nona Shiori membuka tas tangannya dan mengambil sesuatu dari dalamnya. Melempar tasnya ke lantai, tangan Nona Shiori teracung ke arah kami.
"Shiori! Kau gila!" Masumi menegang. Tubuhku gemetar. Tangan Masumi mengerat menahan tubuhku yang terasa lemas. Senjata api yang ada di depanku membuat kepalaku berdenyut keras.
"Ya aku gila! Gila karenamu! Kalau aku tidak bisa memilikimu maka dia juga tidak!" Teriaknya histeris. Air mata deras mengalir di sudut matanya.
"Masumi...," suaraku bergetar ketakutan.
"Tenang Maya," bisiknya.
Kesabaran Nona Shiori mencapai limitnya. Dor! Sebuah tembakan terlepas. Masumi menjatuhkan diri dengan memelukku. Kami meringkuk di sofa.
"Kau baik-baik saja?" Masumi panik mengamatiku.
Aku mengagguk, "Kau?"
Dia mengangguk. Bersyukur tembakannya meleset. Kami kembali menatap Nona Shiori dengan waspada.
Masumi bangkit dan berdiri di depanku.
"Hentikan Shiori, melukai Maya tidak akan membuatku mencintaimu,"
"Setidaknya aku puas karena sudah membunuh wanita murahan itu," desisnya marah.
"Dia tidak bersalah Shiori. Akulah penyebab semua kekacauan ini,"
Masumi melangkah maju, mendekati Nona Shiori.
"Masumi...," lirihku cemas.
Tanpa menatapku, Masumi mengangkat tangannya. Memintaku diam. Aku bangkit dari sofa, berdiri dengan cemas memandang punggungnya yang semakin menjauh.
"Jangan mendekat Masumi," bentak Nona Shiori.
"Aku akan menembakmu!" Ancamnya.
Seluruh tubuhku bergidik. Kepalaku semakin sakit. Masumi masih tenang melangkah mendekati Nona Shiori. Hatiku berdebar tidak karuan.
Aku terkesiap ketika melihat pintu perlahan terbuka. Kak Hijiri! Dia pasti mengawasi apartemenku.
Aku menatapnya dengan tegang sementara dia mengendap-ngendap di belakang Nona Shiori. Masumi langsung berhenti melangkah ketika melihat Hijiri. Kedua pria itu pasti sudah memiliki rencana dalam kepala masing-masing.
Oh Tuhan...kakiku lemas...kepalaku sakit...tubuhku semakin gemetar...
Blug! Aku tersungkur ke lantai. Kakiku tidak sanggup lagi menyangga tubuhku.
"Maya!" Masumi memekik terkejut dan langsung berbalik ke arahku.
Aku duduk di lantai dengan napas terengah. Dadaku sesak. Perutku bergejolak...mual.
Aku melihat Nona Shiori mengarahkan senjata padaku dan pandanganku terhalang tubuh Masumi.
Tidak!! Aku berteriak dalam hati, Peluru itu akan mengenai Masumi....
"Tuan!" Ku dengar Kak Hijiri berteriak.
Reflek tubuhku bergerak. Dengan sisa kekuatanku, aku bangkit dan mendorong tubuh Masumi menjauh dari garis pandangku.
Aku masih bisa melihat semuanya dalam gerakan lambat. Masumi terjatuh ke samping dan Hijiri memeluk Nona Shiori dari belakang, berusaha menjatuhkan senjatanya. Tapi sepertinya terlambat.
Dor! Aku mendengar sebuah tembakan dan tubuhku terasa kehilangan semua daya.
"MAYA!!" Suara Masumi penuh ketakutan.
Rasa panas menjalari sepanjang bahu kananku. Pedih.
Brug! Kesadaranku menurun. Aku merasakan tangan kokoh mendekapku tapi mataku terlalu berkabut dan tidak bisa melihat.
Aku tahu...aku tahu itu Masumi.
"Maya...Maya...," katanya dengan suara serak.
Masumi...jangan menangis....
Semua gelap, aku tidak bisa melihat tapi aku bisa mendengar.
Suara tawa keras memekakkan telingaku.
Wanita itu? Shiori?
Dor! Sebuah tembakan kembali terdengar.
Masumi....
"Hijiri! Bawa Maya pergi....bawa...Maya pergi...."
Tidak!! Aku tidak mau meninggalkan Masumiku....Masu...mi...
Kesadaranku hilang sempurna.
***
Satu tahun kemudian.
Aku duduk termenung di tepi pantai. Manatap senja yang berpendar di batas cakrawala.
Aku merindukannya...Masumiku...
Tidak pernah ku bayangkan semuanya akan berakhir seperti ini. Air mataku sudah kering. Tidak ada lagi yang tersisa. Semua kepedihan itu membuat jiwaku rapuh. Aku tenggelam dalam kesendirianku.
Ku baringkan tubuhku di atas pasir. Tanganku terentang. Menatap luasnya langit dan arakan awan putih.
Langit menggelap, bintang mulai menampakkan kilaunya.
Masumi...lihatlah hamparan bintang itu....
Kau suka sekali kan dengan bintang...
Kau berjanji mengajakku ke Izu...tapi sekarang...aku disini tanpamu....
Aku mendesah panjang. Menutup mata dengan lenganku. Membayangkan dia ada disisiku dan memelukku.
"Nona Maya, sudah malam."
Ku buka mataku. Kak Hijiri sudah berlutut di sebelahku dengan membawa jaket.
"Anda bisa sakit kalau keluar dengan pakaian seperti ini," katanya penuh simpati sambil membantuku mengenakan jaket.
Aku hanya tersenyum tipis. Selama setahun ini Kak Hijiri merawatku dengan baik. Mungkin aku sudah mati jika tidak ada dirinya. Dialah yang selalu menguatkanku, menyemangatiku untuk tetap bertahan. Bahkan merawatku di kala sakit. Hidup dalam keterasingan memanglah tidak mudah.
Kami berjalan ke vila dalam diam. Jaket yang ku kenakan ternyata tidak cukup menghangatkanku. Aku benar-benar merindukannya.
"Nona, anda belum makan malam," kata Kak Hijiri saat aku melangkah masuk ke dalam vila. Dia menutup pintu depan dan menguncinya.
"Aku tidak lapar," jawabku datar.
"Anda tidak enak badan?" Tanya Kak Hijiri.
Aku menggeleng, "Aku mengantuk."
Kak Hijiri tidak lagi bertanya ketika aku masuk ke dalam kamar. Kamar utama yang besar. Terlalu besar untuk kutempati sendirian.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian tidur, aku berbaring menatap langit-langit kamar.
Sunyi. Sekali lagi aku ditelan kesendirianku. Karena tragedi itu aku harus berpisah dengan teman-temanku. Semua pementasan Bidadari Merah dibatalkan dengan alasan aku mengalami kecelakaan. Aku diasingkan dari Tokyo dengan alasan pemulihan demi keselamatanku.
Lelah...aku lelah...entah kapan ini semua akan berakhir....
Masumi...beri aku kekuatan untuk bertahan.
***
"Kyaa!" Aku memekik girang ketika air laut memercik ke wajahku, "Hentikan Masumi!" Seruku lagi.
Masumi tertawa, dia berhenti memercikkan air ke arahku. Aku berlari dan dia mengejarku.
"Aku pasti mendapatkanmu sayang," seru Masumi santai sementara aku mempercepat langkah kakiku di atas pasir.
"Kyaa!" Masumi menangkap pinggulku dan memutarku di udara.
Aku tergelak ketika dia berhenti berputar dan membiarkanku berdiri di atas kakiku.
"Sudah, aku lelah," kataku ketika kami berhenti tertawa.
Masumi memutar tubuhku menghadapnya. Tangannya masih melingkar di pinggulku.
"Kau merindukanku Maya?"
Aku tersenyum, memeluk tubuhnya dan menyandarkan kepalaku di dada bidangnya.
"Jangan tinggalkan aku,"
Masumi membelai kepalaku, "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu sayang. Bukankah aku sudah berjanji akan selalu menjagamu?"
Aku tersenyum senang ketika dia membenamkan sebuah kecupan di puncak kepalaku. Kami berdiri di tepi pantai. Menikmati indahnya dunia kami.
Suara deburan ombak menarikku dari alam damai. Ku buka mata dan tersadar, aku masih terbaring di kamar.
Ah...hanya mimpi.
Aku tersenyum kecut. Hanya di dalam mimpi aku bisa bertemu dengannya.
Masumi....
Dengan malas aku bangun dan berjalan menuju kamar mandi.
Kak Hijiri tersenyum ketika aku keluar dari kamar.
"Sarapan anda sudah siap Nona," katanya lembut.
"Terima kasih," akhirnya aku tersenyum padanya. Beberapa hari terakhir ini aku murung dan aku tidak mau membuat Kak Hijiri khawatir. Dia sudah begitu rela menghabiskan waktunya untuk menjagaku, melayani semua kebutuhanku, menjadi satu-satunya temanku di vila terasing ini.
Aku duduk di meja makan. Kak Hijiri meletakkan piring berisi sarapanku juga segelas susu di hadapanku.
"Sudah merasa lebih baik Nona?" Tanyanya kemudian.
Aku meringis padanya, "Maaf, beberapa hari ini pasti aku membuat Kak Hijiri khawatir,"
Dia membalas senyumku. Lega dengan jawabanku.
"Apa yang ingin Nona lakukan hari ini?"
Aku tertegun sejenak. Tidak banyak yang bisa aku lakukan di sini. Duduk menonton drama, membaca buku, bermain di pantai atau sesekali berjalan-jalan mengelilingi pulau. Begitulah kegiatanku selama setahun terakhir ini.
"Mungkin aku akan jalan-jalan di pantai lagi," jawabku seraya menyuap makanan ke mulutku.
Kak Hijiri hanya mengangguk menanggapinya. Kami menghabiskan waktu sarapan dengan tenang.
"Angin cukup kencang hari ini, sebaiknya Nona memakai baju hangat," pesan Kak Hijiri.
"Iya," aku masuk ke kamar dan keluar dengan sudah mengenakan pakaian hangat.
"Mau saya temani?"
Aku menggeleng. Dia hanya tersenyum dan membiarkanku pergi.
Kakiku melangkah menyusuri jalanan menuju pantai. Hembusan angin kencang langsung menyambutku ketika aku menapakkan kaki di atas pasir.
Terbesit ingatan akan mimpiku semalam. Bayangan Masumi yang berlari di pantai mengejar dan memelukku membuatku kembali mengulum senyum. Entah kapan terakhir kali aku merasa sebahagia itu, tertawa selepas itu. Aku tidak ingat.
Aku berjalan mendekati air, membiarkan riak ombak membasahi kakiku. Dinginnya air laut sedikit memberiku kesegaran. Ada rasa damai ketika aku menatap luasnya lautan di bawah langit biru.
Masumi...sekali lagi hatiku memanggil namanya. Berharap dia bisa mendengar kerinduanku.
"Maya,"
Aku terkesiap. Suara itu...?
Membalikkan tubuhku perlahan, tidak mau kecewa karena takut itu hanyalah hayalan, jantungku berdegub kencang.
Dia...
Kakiku melangkah dan tanpa sadar aku sudah berlari. Melompat dan memeluknya.
"Masumi!" Raungku. Aku menangis. Kali ini aku menangis. Air mata berderai di setiap sudut mataku.
Kedua lengan kokoh yang kurindukan mendekapku erat. Membuat kakiku melayang dalam pelukannya. Dia membenamkan wajahnya di rambutku dan membiarkanku menangis di bahunya. Kedua tanganku melingkar erat di lehernya.
"Maaf membuatmu menunggu terlalu lama," bisiknya di sela-sela rambutku.
Penantianku terbayarkan....
***
Masumi duduk di atas pasir dengan aku meringkuk di atas pangkuannya. Kedua tangannya masih erat mendekapku dan tanganku masih melingkar di lehernya dengan posesif. Seolah dia akan pergi kalau aku melepaskannya.
Isakanku sudah berhenti. Kelegaan memenuhi setiap relung hatiku. Menyingkirkan kesepian yang menggelayut karena penantian panjang.
"Aku merindukanmu," bisiknya.
"Hhmm," gumamku lirih.
Masumi mengecup keningku, mengirimkan getaran yang menghidupkan setiap sel ditubuhku yang mati suri setahun belakangan ini.
"Aku merindukan senyummu," katanya lagi.
"Hhmm," sekali lagi aku hanya bergumam.
"Aku merindukan tawamu,"
Aku diam. Sudah lama aku tidak tertawa.
"Aku merindukan kau memanggil namaku,"
Aku diam. Setiap hari aku memanggil namamu.
"Masumi...," lirihku.
Masumi tersenyum, "Terima kasih untuk setia menungguku Maya. Aku harap kali ini aku tidak terlambat untuk memulai segalanya dari awal." Masumi mencium keningku lagi, "Bersamamu," bisiknya lirih.
Aku mengangguk. Menegakkan tubuhku, aku menatap Masumi. Wajah yang selalu kurindukan.
"Apa semua baik-baik saja?"
Masumi tersenyum lalu mengangguk, "Semuanya sudah selesai,"
"Nona Shiori?" Tanyaku ragu.
"Dia sudah pulih. Pernikahan kami sudah dibatalkan enam bulan yang lalu," jawab Masumi tenang.
Nona Shiori menembak dirinya sendiri setelah menembak anda. Dia mengalami depresi berat. Pak Masumi tidak ingin anda terlibat dalam masalah ini dan meminta saya menyembunyikan Nona sampai semua keadaan aman dan tidak ada ancaman dari keluarga Takamiya. Publik tidak boleh tahu Nona Shiori berusaha membunuh anda. Semua harus disembunyikan. Jadi saya mohon Nona untuk bersabar.
Aku bergidik mengingat perkataan Kak Hijiri saat aku baru saja sadar setelah melewati masa kritis.
"Jangan takut," bisikan Masumi mengalihkan perhatianku, sepertinya dia bisa membaca apa yang aku pikirkan, "kali ini aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," lanjutnya.
Ada haru menyeruak dalam dadaku mendengar perkataan Masumi.
"Kau pasti sangat menderita setahun ini. Aku bahkan tidak bisa menemanimu saat kau kritis di rumah sakit,"
Aku menyandarkan lagi kepalaku di dadanya, "Aku takut tidak bisa bertemu denganmu lagi,"
"Aku hanya ingin kau aman,"
"Aku tahu,"
Masumi sedikit memiringkan tubuhnya dan menjagaku tetap aman dengan sebelah lengannya sementara satu tangannya yang lain mengambil sesuatu dari dalam saku jaketnya.
Dia membuka kotak kecil yang baru saja diambilnya, sebuah cincin tersemat di dalamnya. Tanpa berkata apapun dia meraih jemariku dan menyematkan cincin itu di jari manisku.
"Jadilah milikku," bisiknya di telingaku.
"Aku milikmu," jawabku lirih dan kurasakan wajahku menghangat saat Masumi mencium cincin indah bertahtakan batu berlian.
Masumi merengkuhku dengan kedua lengannya dan dengan mudah dia bangkit lalu berjalan arah ke vila.
"Kita harus segera bersiap," katanya.
Keningku berkerut. Bersiap?
"Untuk apa?"
Masumi menyeringai tipis, "Pernikahan. Apalagi?"
"Heh, sekarang?" Seruku terkejut.
"Sekarang Mayaku,"
Dia tertawa ketika aku menganga menatapnya.
***
Masumi memberhentikan mobil di depan sebuah kuil. Kuil ini terletak di sebelah utara pulau Izu. Cukup jauh dari vila rahasia milik Masumi yang berada di sebelah selatan pulau.
"Masumi, kau bercanda kan? Bagaimana mungkin aku menikah seperti ini?" Aku melambaikan tangan pada diriku sendiri yang masih mengenakan dress selutut yang bahkan sudah kotor terkena pasir pantai.
Masumi hanya mengulum sebuah senyum sebelum akhirnya keluar dari mobil. Dia berputar lalu membukakan pintu bagiku.
"Ayo,"
Senyum penuh teka-tekinya semakin membuatku penasaran. Meski begitu, aku menurut ketika dia mengulurkan tangannya dan membawaku ke sebuah bangunan di dekat kuil utama.
Mataku mengamati sekitar. Kuil itu tidak besar. Terlihat sepi. Sedikit aneh karena aku melihat deretan mobil di tempat parkir tadi.
"Ayo sayang," kata Masumi lembut. Dengan masih menggenggam tanganku, dia membawaku masuk ke dalam bangunan itu.
"Kak Hijiri? Nona Mizuki?"
Aku langsung menoleh pada Masumi.
"Hijiri sudah menyiapkan semuanya. Mizuki akan membantumu,"
Keningku berkerut. Dua orang kepercayaan Masumi itu mengangguk hormat padaku.
"Mari Nyonya Maya, penata riasnya sudah siap," sela Nona Mizuki yang tersenyum menggodaku.
"Nyonya?!" Aku merona.
Masumi tersenyum lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, "Kau akan menjadi nyonyaku malam ini,"
Wajahku benar-benar panas. Aku yakin warnanya merah sekarang. Ketiganya tertawa melihatku.
Masumi keluar bersama dengan Kak Hijiri dan Nona Mizuki langsung membawaku ke sebuah kamar besar. Mataku melebar melihat kimono pengantin dan semua perlengkapannya. Seorang wanita, yang kemungkinan penata riasnya, membungkuk hormat begitu melihatku. Aku tersenyum dan hanya mengangguk padanya.
Nona Mizuki menyerahkan perlengkapan mandi padaku.
"Sebaiknya anda membersihkan diri dulu," katanya sopan. Cara bicaranya padaku berubah.
Apa karena aku akan menikah dengan Masumi?
Tiba-tiba lututku gemetar dan aku terduduk di lantai.
"Nyonya!" Seru Nona Mizuki terkejut.
Aku menangis. Entah kenapa tiba-tiba air mata ini tak terbendung lagi.
"Anda baik-baik saja?" Tanyanya seraya mengusap kedua lenganku.
Aku mengangguk. Aku baik-baik saja...hanya saja semua kejutan ini membuatku seperti tertabrak kereta barang dengan muatan penuh.
"Aku...hanya...bingung...
Nona Mizuki tersenyum, "Selamat ya Nyonya. Tuan Masumi sudah menyiapkan semua ini sejak lama hanya untuk anda,"
Aku menatapnya penuh haru. Dia jelas tahu bagaimana sulitnya perjalanan panjang cinta kami. Kak Hijiri banyak bercerita kalau Nona Mizuki lah yang banyak membantu menyiapkan semua keperluanku selama tinggal di Izu. Sepertinya mereka punya hubungan dekat. Entahlah. Yang aku tahu keduanya adalah orang kepercayaan Masumi.
"Ayo, anda harus segera bersiap," Nona Mizuki membantuku berdiri lalu memintaku segera bersiap.
Aku terpaku menatap diriku sendiri di cermin. Rasanya masih seperti mimpi aku bisa mengenakan shiramuku -kimono putih pernikahan- dan tudung kepala tsuni kakushi. Terlebih kalau mengingat pria yang menungguku di luar sana adalah Masumi. Setetes air mata jatuh tanpa bisa aku tahan lagi. Dengan cepat aku menyekanya, tidak ingin merusak riasanku.
"Nyonya, sudah waktunya," aku berbalik ketika mendengar suara Nona Mizuki. Senyumku mengembang melihatnya mengenakan kimono, rambutnya di gelung rapi.
"Kau terlihat cantik Nona Mizuki," aku melempar senyum padanya dan alisnya justru bertaut karena pujianku.
"Sayalah yang seharusnya mengatakan hal itu pada anda," protesnya tidak setuju.
Aku menahan tawaku melihat ekspresinya. Dia dengan anggun berjalan menghampiriku dan mengajakku keluar. Jantungku berdebar.
Keluar dari kamar aku melihat Masumi sudah mengenakan montsuki haori hakama -kimono hitam untuk pengantin laki-laki-. Debar jantungku semakin keras. Dia begitu tampan. Mempesona. Satu tahun aku tidak bertemu dengannya sama sekali. Lalu dia datang dengan tiba-tiba pagi ini dan sekarang...dia akan menjadi suamiku. Aku merasa menjadi wanita paling beruntung hari ini. Tuhan begitu baik telah mempersatukan kami.
Senyum Masumi mengembang melihatku. Wajahku menghangat.
"Kau cantik sekali," pujinya.
Lidahku kelu dan hanya bisa tertunduk malu. Dia membawaku keluar menuju kuil utama. Iring-iringan pengantin sudah siap.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba terlintas di kepalaku. Siapa yang menjadi wakil dari keluargaku? Dan pertanyaan itu segera terjawab ketika kami masuk ke kuil utama. Altar suci dan ruang pernikahan telah siap. Aku melihat Tuan Kuronuma memakai kimono duduk bersebelahan dengan istrinya. Aku menahan diri untuk tidak memekik keras melihat Rei dan Mina, juga...Koji? Hal lain yang tidak kalah mengejutkannya adalah pria yang duduk di pihak keluarga Masumi. Paman es krim?
Tidak ada waktu mempertanyakan semuanya. Tuan Kuronuma dan teman-temanku juga Paman es krim tersenyum menatapku. Koji menganggukkan kepalanya seraya mengulum senyum tulus.
Aku melirik pada Masumi. Dia juga hanya mengangguk padaku sambil tersenyum.
Ah, Masumi,teri ma kasih
Pendeta Shinto memulai upacara pernikahan dan semua rasa membuncah dalam hatiku. Bahagia. Ribuan syukur dan doa terucap dalam hatiku.
***
Kami senang kau terlihat sehat, semoga bahagia Maya.
Pak Kuronuma sebagai waliku juga Rei dan Mina mengiringi pernikahanku dengan doa. Sebuah doa lain terbesit dalam ingatannku. Koji.
Selamat Maya, aku berdoa kau selalu bahagia.
Aku tersenyum. Dia sudah merelakanku.
Dan sesuatu yang mengejutkanku adalah fakta bahwa paman es krim adalah ayah Masumi. Kami sempat bicara empat mata setelah upacara pernikahan. Aku senang dia menerimaku sebagai menantunya. Bahkan dia berterima kasih padaku karena bersedia menjadi istri Masumi dan membahagiakannya. Tuan Besar Hayami...dia tidak seseram apa yang dikatakan orang.
Rasanya masih tidak percaya semua hal ini terjadi padaku hanya dalam satu hari. Semalam aku masih meringkuk sendirian dan kesepian di kamar ini tapi sekarang? Aku mengamati diriku sendiri.
Ah, ini adalah malam pertama kami sebagai suami istri.
Aku mengenakan gaun tidur satin panjang tanpa lengan berwarna violet.
Apa aku sudah cantik? Aku ragu.
"Apa yang sedang kau pikirkan Nyonya Hayami,"
Aku tersentak dari lamunanku. Mataku berputar mengelilingi kamar tidur. Masumi berdiri di ambang pintu dan tersenyum menatapku. Dengan anggun dia berjalan menghampiriku.
"Kau sudah selesai mandi?" Tanyaku saat mengamati rambut basahnya. Aku tidak menyadari dia keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian menjadi piyama.
"Kau melamun lama sekali," tegurnya. Dia duduk di sebelahku di tepi tempat tidur.
"Kau membuat banyak kejutan hari ini. Bagaimana aku tidak banyak berpikir?" Protesku membela diri. Dialah penyebab aku melamunkan banyak hal.
"Untuk apa kau pikirkan? Apa kau menyesal sudah menikah denganku?" Katanya seraya mengendikkan bahu seolah perbuatanku itu sia-sia.
Hhmmm, tapi dia benar, memang tidak ada gunanya memikirkan semua yang sudah berlalu. Kalaupun aku menyesal, itupun sudah terlambat.
"Berapa lama kau mempersiapkan semua ini?" Tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
"Satu bulan yang lalu,"
Aku cemberut, "Satu bulan yang lalu dan kau sama sekali tidak menemuiku?"
"Keadaannya belum memungkinkan saat itu sayang,"
Aku mendengus, memalingkan wajah, melipat tangan di depan dada dan bergeser dari sebelahnya. Masumi tertegun melihatku merajuk.
"Aku harus memastikan semuanya aman sebelum bertemu denganmu. Menjelaskan semuanya pada Tuan Kuronuma, Rei dan Mina bukanlah hal mudah. Apalagi Koji,"
Dengan masih cemberut aku menoleh padanya, "Kenapa kau memintanya datang? Bukankah kau selalu cemburu padanya?" Jujur, aku tidak mengerti dengan pemikirannya.
Masumi menyeringai tipis, "Itu adalah salah satu cara untuk menyatakan bahwa kau adalah milikku,"
Aku menganga menatapnya dan dengan cepat menutup mulutku kembali. Alasan apa itu?
"Selain itu-," dia menatapku intens, mendesah pelan, dia terlihat tidak suka, "Aku tahu dia adalah salah satu sahabatmu yang berharga,"
Oh, dia memikirkan hal itu juga?
"Maaf," ucapnya ketika aku hanya diam dan tidak meresponnya.
"Maaf?" Alisku bertaut.
"Karena tidak mendiskusikan semua ini denganmu. Aku memang egois, aku tidak mau kehilanganmu. Tidak rela kalau sampai akhirnya kau berubah pikiran dan ingin pergi meninggalkanku," jawabnya putus asa.
Aku menggeleng lalu menunduk, "Aku hanya bingung. Terkejut dengan semua hal yang mendadak ini tapi aku sama sekali tidak berniat meninggalkanmu."
"Jadi kau tidak menyesal menikah denganku?" Masumi memiringkan kepalanya mencari wajahku.
"Tentu saja tidak," jawabku dengan masih tertunduk, menghindari tatapan matanya.
Memang apa yang dipikirkannya? Bagaimana mungkin aku menyesali sesuatu yang sangat ku harapkan?
"Jadi-," Masumi berdehem.
Aku mengangkat kepala, bingung dengan maksudnya, "Jadi?"
"Jadi kenapa kau harus duduk sejauh itu dariku?"
Eh?! Kembali menunduk, aku bergeser, sedikit mendekat padanya.
"Masih terlalu jauh sayang."
Ah, dia menggodaku! Kenapa aku menjadi semalu ini?
Aku tahu dia menahan diri untuk tidak mentertawakanku. Aku sedikit memutar mata, jarak kami hanya tinggal beberapa jengkal saja dan dia bergeming di tempatnya.
"Maya?"
Aku menoleh dan reflek tubuhku bergerak, menghambur memeluknya.
Sejenak aku merasa Masumi terkejut tapi kemudian dia membalas pelukanku dengan mendekap erat tubuh mungilku. Mengecup puncak kepalaku.
Malam ini aku tidak mau bersedih. Sudah cukup kesedihan untuk kami berdua.
Aku mulai terisak dan Masumi menarikku.
"Sayang, kenapa kau menangis?" Masumi menangkupkan kedua tangan di wajahku dan menyeka air mataku dengan ibu jarinya.
"Jangan tinggalkan aku lagi," aku mengiba.
Masumi menggeleng, "Tidak sayang, tidak akan. Kita akan selalu bersama. Aku berjanji,"
Masumi mencium kedua sudut mataku yang basah. Kesedihanku teralihkan.
"Aku akan menebus semua air matamu dengan tawa dan kebahagian," bisiknya penuh janji di depan wajahku. Menyentuhkan hidungnya ke hidungku, kedua mata kami bertaut.
"Masumi...," aku menggumam lirih. Terhipnotis oleh tatapan mata gelapnya.
"Mulai malam ini-," Masumi menggeser telapak tangan kirinya ke belakang telinga hingga mencengkram lembut tengkukku, "Kau adalah milikku seutuhnya. Istriku. Belahan jiwaku." Tangan kanan Masumi menyusuri garis wajahku dengan jarinya. Kuliku meremang di bawah sentuhannya.
"Kenapa kau diam?" Bisiknya lagi, bibirnya menekan menjadi garis tipis menawan.
"Apa yang harus aku katakan?" Lirihku tak berdaya, "Aku begitu merindukanmu sampai tidak tahu lagi harus berkata apa."
Masumi melingkarkan tangan kananya di pinggulku, membuat tubuh kami merapat. Tidak berkata apa-apa lagi, Masumi mendekatkan wajahnya padaku, "Aku mencintaimu Maya," desahnya halus di depan bibirku.
"Aku juga mencintaimu Masumi. Terima kasih untuk segalanya," bisikku lirih.
Masumi tersenyum dan sedetik kemudian bibirnya memiliki bibirku. Sebuah ciuman yang mengawali segalanya. Menyatukan jiwa kami. Meski aku pernah terlambat menyadari cintanya tapi aku tahu cinta kami tidak terlambat untuk dipersatukan. Sekarang dan selamanya, aku hanya ingin menjadi miliknya.
Masumi-ku...belahan jiwaku...aku mencintaimu...
***
-End-
With love from Agnes
Thank you
12 Comments
Ketemu lagi deh...
ReplyDeleteIseng nunggu hujan sebelum pulang kerja eh jadilah cerita lain dari MM
Semoga suka ya. Happy reading
Ditunggu komennya... :)
Aduh neng... aku padamu pokoknya #ketjup2
ReplyDeleteTipe2 perempuan model Shiori itu emang selalu sukses bikin darah tinggi ya? Kenapa sih makhluk semodel itu harus muncul di cerita cakep begini?
Ah pokoknya kece lah, berapa lama ngetiknya, neng? ga keriting itu jari?
LAGIIIIIIIIII.... ADEGAN TIMUNNYA BELOM JADI MAS #EEEH
padamu juga cinta.....wkwkkwkw
Deleteslow slow ni....dua hari aja nulisnya
timun masnya di simpen dulu lah, hahhaha
thanks da baca ya... :)
Aaahhh kak agnes aku udah sempet semaput kirain masuminya beneran ninggain maya selamanya...eeehhh gak tahunya hihihihihihi kereeeeeeeen pokonya.. jangan lupa bikin lagi teruuuuss ya kak ceritanyee
ReplyDeletekalo semaput nanti tak panggilin Masumi biar di tiup2 supaya bangun, hahhahaaa
Deletethanks sist Eli :)
Keren bgt mba agnes...makin byk karya nya yach....
ReplyDeleteAduh sista aku sempet klepek2 dikira jadi maya beneran...bagus bingit ceritanya..dtunggu versi yang lainnya yaa
ReplyDeleteSamaaaa.. aku uda mewek mewek pasrah ngikutin kemauan mba Agnez meniadakan Kang Masumi eh ternyata hepi end... the best lah pengantar tidur nyenyak dingin2 empuk malam ini nih *apaan sih ga jelas hahahaha
ReplyDeleteHehehe, makasih ya semuanya yang uda baca
ReplyDeletesampai ketemu di cerita lainnya :)
Selalu dg cerita lain tapi selalu menarik buat dibaca, mksh mb agnes yg udh ngobatin kangen ku ama TK :)
ReplyDeleteKereeen....kirain SE tadi...udh mharu biru bacanya....
ReplyDeleteKereeen....kirain SE tadi...udh mharu biru bacanya....
ReplyDelete