Every Day I Love You - Chapter 6


Maya terlelap di bawah pengaruh obat. Napasnya naik turun dengan teratur, terlihat tenang. Andai wajahnya tidak pucat mungkin Masumi akan mengira Maya sedang tidur pulas dan bermimpi indah. Akan tetapi tempat dimana dirinya berada sekarang membuatnya merasa begitu miris.
Seharusnya besok dia dan istrinya pergi ke Paris untuk menghabiskan liburan tahun baru tapi nyatanya Maya sekarang terbaring sakit.
"Masumi," Clara menyentuh lembut bahu Masumi. Terbuai lamunannya, Masumi sampai tidak menyadari kedatangan Clara dan Michael juga Christ.
"Ma," Masumi bangkit dari kursi. Sejak tadi dia menunggui Maya di sebelah tempat tidurnya, "Kalian mau pulang?" Tanya Masumi ketika melihat Clara sudah menyandang tasnya.
Clara mengangguk, wajahnya terlihat lelah. Tidak heran, mereka langsung ke rumah sakit begitu sampai di Tokyo siang tadi dan sama sekali belum beristirahat.
"Kami akan beristirahat di apartemen Christ. Besok pagi kami akan kembali," kata Michael, dia juga terlihat sama lelahnya.
"Istirahatlah, aku akan menjaga Maya," jawab Masumi menenangkan.
"Kau tidak sendiri Masumi," celetuk Christ.
Masumi menoleh pada Christ yang berdiri di sebelahnya. Dia mengerti sepenuhnya apa yang dimaksud oleh Christ. Kakak iparnya itu masih marah karena adik kesayangannya sakit.
"Aku tidak keberatan kau disini asal kau bisa menahan diri untuk tidak berdebat denganku," kata Masumi kemudian.
"Aku tahu. Tapi ingat aku masih belum memaafkanmu," dengus Christ.
Clara dan Michael menggeleng melihat dua pria dewasa yang justru terlihat seperti remaja karena terus saja bertengkar.
"Berhentilah bertengkar, kalian mengganggu Maya," lerai Clara.
Masumi kembali fokus pada Clara juga Michael, mengabaikan Christ.
"Kalian berdua juga sama kacaunya. Istirahatlah, kami pulang dulu," Michael menepuk bahu Masumi lalu merangkul Clara dan berjalan ke luar.
Masumi kembali duduk di kursinya sementara Christ duduk di ujung tempat tidur Maya.
"Aku akan buat siapapun yang sudah melukai Maya mendapat balasan yang setimpal." Kata Christ kemudian. Memecah keheningan diantara keduanya.
"Aku sama marahnya denganmu Christ tapi tolong jangan bicarakan masalah itu di depan Maya. Kau lihat sendiri kan keadaannya," omel Masumi.
Christ diam dan melipat tangan di dada. Masih segar dalam ingatannya kejadian siang tadi ketika Maya mengerang kesakitan.
"Aku menyesal lebih dari yang kau tahu Christ," kata Masumi yang melihat Christ masih terdiam.
"Sudah sepantasnya,"
Masumi mendongak melihat kakak iparnya lalu menghela napas panjang. Keduanya kembali terdiam.

***
Masumi tidur di atas tangannya yang terlipat di tepi tempat tidur Maya. Christ tidur di sofa panjang di ruang tamu.
Jam berdetak menunjukkan pukul dua dini hari. Keheningan malam itu terusik oleh suara rintihan. Masumi terbangun, mengangkat kepala dengan terkejut. Tidak perlu waktu lama baginya untuk menyadari apa yang terjadi, Maya terlihat gelisah dalam tidurnya.
"Nnghh," Maya kembali merintih. Keringat membasahi keningnya.
"Sayang...," Masumi berdiri dengan panik dan mengusap lembut kepala istrinya. 
Demam? Masumi semakin cemas ketika telapak tangannya menyentuh kening Maya yang terasa membara.
Menekan tombol panggil darurat di atas tempat tidur, Masumi berusaha menenangkan dirinya sendiri. Mengambil sapu tangan dari sakunya, suami Maya itu menyeka keringat dingin yang membanjiri kening istri tersayangnya.
"Ngghhh, Ma...su...mi...," lirih Maya.
Dengan cepat Masumi menggenggam tangan Maya, menunjukkan keberadaannya, "Aku disini sayang,"
Saat genggaman tangan Masumi mengerat, perlahan Maya membuka matanya.
"Masu...mi...maaf...," lirih Maya tiba-tiba.
Kening Masumi berkerut. Maaf?
"Ada apa? Kau kenapa? Katakan bagian mana yang sakit?" Alih-alih memikirkan permintaan maaf Maya, Masumi justru menyergah istrinya dengan daftar pertanyaan.
"Aku...tidak mau ke...New York," lirih Maya lagi.
Masumi tersentak. Rupanya Maya maracau karena demam tingginya. Sepertinya apa yang dikatakan Christ siang tadi menjadi beban baginya.
"Iya sayang, kau tidak akan pergi ke New York," Masumi berusaha menenangkan meski dia sendiri tidak yakin apakah Maya memahami apa yang dikatakannya.
Dokter dan perawat yang datang dengan tergesa membuat Masumi menyadari kalau Christ tengah berdiri mengamatinya dengan bersandar pada dinding di dekat pintu ruang tamu. Masumi menghampiri kakak iparnya sekaligus memberi ruang bagi dokter untuk memeriksa keadaan Maya.
"Dia demam?" Tanya Christ datar.
"Iya, apa yang kau katakan tadi-,"
"Aku tahu. Aku sudah mendengarnya," potong Christ cepat.
"Aku berjanji akan menemukan siapa dalang dibalik semua kekacauan ini tapi aku mohon jangan bawa Maya pergi," pinta Masumi.
"Sekalipun kau merengek padaku jika Tokyo memang membahayakan dirinya maka aku akan tetap membawanya ke New York, dengan atau tanpa persetujuanmu," tegas Christ. Apa yang sudah dikatakannya memang sulit untuk di tarik kembali.
"Aku juga mau Maya aman,"
"Kenyataannya berbanding terbalik dengan apa yang terjadi Masumi. Cukup sekali ku lihat dia meregang nyawa di hadapanku. Seumur hidup aku tidak ingin melihat hal itu lagi. Aku pernah satu kali kehilangan adikku dan sekarang...aku tidak ingin kehilangannya lagi,"
Membiarkan Masumi bergeming di tempatnya, Christ berbalik lalu keluar dan kembali menghempaskan dirinya di sofa. Frustasi. Sementara mata Masumi hanya menatap penuh sesal pada kakak iparnya.
Masumi berbalik dan memandang sendu istrinya yang sedang di periksa oleh dokter. Seketika itu juga bayangan Shiori berkelebat di dalam kepalanya.
Maya, maafkan aku.
"Aku harus segera menyelesaikan semua ini," gumamnya, kedua tangannya terkepal erat.

***
Maya terbangun keesokan paginya masih dengan demam tinggi. Masumi dan Christ masih dengan setia menungguinya di sisi tempat tidur.
Maya melempar senyum begitu melihat sosok Masumi di sebelahnya.
"Bagaimana perasaanmu? Apa ada yang sakit?" Tanya Masumi.
"Aku...haus," lirih Maya.
"Haus?" Masumi langsung menanggapi permintaan istrinya.
Dibantu suaminya untuk duduk, Maya meneguk habis air dalam gelas.
"Cukup?"
Maya mengangguk.
Masumi kembali membaringkan istrinya. Maya kembali tersenyum begitu menyadari keberadaan kakaknya di sisi lain tempat tidur.
"Bagaimana keadanmu?" Christ mengusap punggung tangan Maya.
"Aku baik-baik saja," lirih Maya seraya tersenyum tipis.
Wajah pucat adiknya jelas menandakan dia tidak baik-baik saja. Christ jadi teringat apa yang diresahkan Maya dini hari tadi. Melirik Masumi, suami Maya itu mengangguk pada kakak iparnya.
"Aku akan menemui Dokter Yamada," tersenyum pada Maya, Masumi meninggalkan kamar.
"Apa perutmu masih sakit?" Tanya Christ, mengalihkan perhatian Maya dari pintu dimana suaminya baru saja keluar.
Maya menggeleng, "Sudah lebih baik,"
"Syukurlah," Christ terlihat sedikit lega.
"Christ, jangan marah," pinta Maya tiba-tiba.
Christ terdiam. Dia tahu dirinya tak berhak mengatur hidup Maya yang sudah menjadi istri Masumi. Hanya saja, melihat adiknya terbaring lemah seperti itu membuat logikanya mengabur.
"Kak," Maya mengiba menggunakan senjata rahasianya.
Kemarahan Christ akhirnya luruh juga. Pertama kali sejak dia datang, Christ tersenyum. "Sstt, tenanglah. Aku tidak marah,"
"Kau tidak marah?" Maya memastikan. Suara lirih Maya membuat Christ merasa tidak nyaman. Dia ingat apa yang dikatakan Masumi.
"Tidak sayang, aku tidak marah. Sudah jangan pikirkan lagi. Asalkan kau berjanji untuk menurut dan menjaga diri dengan baik, aku tidak akan membawamu ke New York," kata Christ kemudian.
Mata Maya berbinar senang mendengarnya. Dia mengangguk, "Aku janji,"
Christ mengusap kepala Maya, "Aku hanya mau kau aman,"
"Aku tahu, Masumi sudah menjagaku dengan baik hanya saja...aku-,"
"Kau ceroboh, keras kepala dan seperti biasa tidak mau mendengarkan," potong Christ.
Maya cemberut, "Apa aku begitu?"
"Menurutmu?" Christ melengkungkan alis.
"Hhmm, aku merepotkan ya," lirih Maya lagi.
"Baru sadar?" Christ berkelakar.
Ekspresi Maya melembut kemudian tertawa pelan tapi seketika berhenti saat otot perutnya mengejang.
"Kau tidak apa-apa?" Christ terkejut melihat Maya mengeratkan mata tiba-tiba.
"Ya, tidak...apa-apa," jawab Maya terbata seraya membuka mata dan mengatur napasnya.
Suara pintu terbuka mengalihkan perhatian keduanya. Masumi masuk bersama dengan dua orang perawat.
"Permisi Tuan, kami mau membersihkan Nyonya," kata salah seorang perawat.
Christ mengangguk pada perawat lalu pergi keluar. Dia mendengar Masumi mengatakan sesuatu pada Maya. Tak lama kemudian Masumi menyusul Christ ke ruang tamu. Ryan dan Alex yang sedang duduk di sofa langsung keluar dan berjaga di di depan pintu kamar.
"Apa kata dokter?" Christ dan Masumi duduk berhadapan di sofa.
"Maya akan menjalani gastroscopy lagi siang ini untuk mengetahui perkembangan luka di lambungnya,"
Christ hanya menganggukkan kepala dengan ekspresi serius. Keduanya sekarang terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.
"Masumi, aku minta maaf,"
Masumi menatap heran pada Christ yang tiba-tiba minta maaf padanya.
"Untuk apa?"
"Tadi Maya memelas padaku untuk tidak membawanya ke New York. Kadang kemarahan mengaburkan logikaku. Aku lupa kalau sekarang Maya adalah istrimu,"
Masumi menyeringai tipis, "Aku mengerti. Kita sama-sama menginginkan yang terbaik untuk Maya,"
Christ mendesah panjang, bersandar lebih santai pada sofa dengan ke dua tangan terlipat di belakang kepala.
"Tadinya aku tidak mau membuat kalian semua khawatir. Terlebih kau sekarang punya Amanda juga Kevin yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja,"
"Maya juga pasti melarangmu untuk mengatakan pada kami kan?"
"Kau tahu sendiri kan bagaimana sifatnya,"
"Dan aku masih heran dengan sifat yang seperti itu justru banyak orang memusuhinya,"
Masumi tertegun sejenak, "Semua itu karena aku,"
"Ah iya juga ya. Wanita menyebalkan itu sakit hati pada Maya karena kau menolaknya. Dasar wanita gila," dengus Christ kesal.
Masumi mengendikkan bahu. "Masih terlalu dini untuk menuduh, kita tidak punya bukti yang kuat."
"Tidak adakah teman-teman Maya yang mencurigakan?"
"Tidak Christ, semua orang disekeliling Maya sudah aku selidiki,"
Christ kembali mendesah panjang dan merebahkan kepalanya pada kepala sofa.
Masumi kembali merenung. Banyak hal berkelebat dalam kepalanya sekarang. Shiori? Ah Shiori...bayangan Shiori yang memeluknya di kamar hotel kemarin kembali berkelebat dalam ingatannya. 
Kenapa semua seperti jalan buntu? Menyebalkan!
Perawat yang keluar dari kamar Maya menghentikan obrolan keduanya.
"Sudah selesai Tuan Hayami. Nyonya masih demam, sarapan Nyonya akan di antar sebelum dokter datang memeriksa. Kami permisi dulu," kata salah seorang perawat yang terlihat lebih senior.
"Terima kasih," ucap Masumi.
Masumi dan Christ segera masuk ke dalam kamar setelah kedua perawat itu pergi.
Maya yang masih berbaring langsung melempar senyumnya ketika melihat suami dan kakaknya.
"Lebih baik?" Masumi mengusap sisi wajah Maya dengan lembut.
Maya hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Masumi tersenyum. Dari ujung tempat tidur Christ melihat betapa Masumi begitu mengasihi istrinya.
"Masumi, Maya, aku akan kembali ke apartemen sebentar. Nanti aku datang lagi bersama Mama dan Papa,"
Maya memutar mata melihat kakaknya, begitu juga Masumi yang menoleh menatap Christ.
"Ya," Maya kembali tersenyum. Christ berjalan mendekat dan berdiri di sisi lain tempat tidur. Melandaikan tubuhnya lalu mengecup lembut kening Maya.
"Kau harus tepati janjimu," pesan Christ.
"Iya," jawab Maya seraya tersenyum.
"Masumi," Christ mengangguk pada adik iparnya.
"Terima kasih Christ," jawab Masumi.
Christ mengusap wajah adik kesayangannya sekali lagi lalu berlalu lagi.
Masumi mendesah panjang ketika kakak iparnya keluar.
"Kenapa?" Maya keheranan melihat suaminya.
"Aku tidak suka melihat Christ menciummu," kata Masumi yang mengerucutkan bibir sambil melipat tangan dan berakting kesal.
Maya terkekeh pelan, "Jangan bilang kau cemburu pada kakakku,"
Masumi tersenyum, senang melihat Maya sudah bisa tertawa karena aktingnya.
"Kakakmu itu bisa membuatku mati cemburu. Apa yang kau janjikan padanya?" Masumi mencolek hidung istrinya.
"Kau seperti tidak tahu saja. Christ pasti minta syarat kalau aku punya permintaan," jawab Maya yang masih mengulum senyum manis di bibir pucatnya.
"Hhmm, dan sepertinya kau lebih menurut padanya," Masumi kembali cemberut kali ini dengan menggelengkan kepala.
Maya tersenyum lebar, "Aku akan menurut...padamu juga."
"Aku meragukannya," Masumi mengusap dagunya dengan masih mengerucutkan bibirnya.
"Maaf, aku janji," Maya mengangkat tangannya yang tidak diinfus seraya membentuk dua jarinya membentuk huruf V.
Masumi menyunggingkan senyum dan melandaikan tubuh mengecup sudut bibir istrinya, "Berjanjilah kau akan cepat sembuh," bisik Masumi.
"Aku baik-baik saja," Maya menggumam lirih di depan bibir suaminya.
"Sudah ku bilang jangan berakting di depanku. Kau tahu? Aktingku bahkan lebih baik darimu kalau di luar panggung," Masumi menyelipkan rambut panjang Maya ke belakang telinga.
Maya tertawa lagi dan Masumi menatap istrinya penuh kasih.
"Cepatlah sembuh sayang, aku sudah sangat merindukan tawa ceriamu," bisiknya mesra yang hanya dibalas senyuman oleh Maya.

***
Siang itu Christ dan kedua orang tuanya tengah menunggu di kamar sementara Maya sedang menjalani pemeriksaan di temani oleh Masumi.
Tiba-tiba suara gaduh mengusik ketenangan mereka. Terdengar suara orang berdebat di depan pintu. Christ beranjak dari duduknya dan melihat apa yang terjadi di luar kamar Maya diikuti oleh kedua orang tuanya. Ekspresi terkejut langsung tergambar di wajah ketiganya begitu melihat siapa yang datang sehingga menimbulkan keributan.
"Apa yang kau lakukan disini?!" Bentak Christ marah.
Tamu wanita yang membawa sebuah buket bunga bersama bibi pengasuhnya, langsung berkerut di bawah tatapan keras Christ.
"Maaf Tuan, saya sudah melarangnya untuk masuk," Ryan dan Alex mengangguk hormat.
Christ bergeming dengan laporan anak buahnya. Matanya masih menatap tajam wanita yang berdiri di depannya.
"Saya-,"
"Pergilah Nona Takamiya," potong Michael yang masih menjaga kesopanannya dengan mempersilakan Shiori untuk pergi.
"Tidak Tuan Anderson, saya ingin menjenguk Maya," Shiori masih menguatkan dirinya untuk tetap bisa bertemu dengan Maya. Sejak tahu dari Masumi kalau Maya keracunan dia jadi begitu gelisah.
"JANGAN BERSANDIWARA!" Bentak Christ dengan suara lebih tinggi. "Kau pikir karena siapa Maya seperti ini?" Rahangnya mengetat marah dengan tangan terkepal. Andai Shiori bukan perempuan pasti kepalan tangan itu sudah melayang padanya.
"Christ tenanglah," Clara akhirnya ikut bicara, "Nona Takamiya, aku mohon dengan sangat agar kau pergi. Kami masih diam dan menahan diri sampai saat ini hanya karena Maya. Kami jelas tidak ingin kau bertemu dengan Maya sekarang," jelas Clara yang seperti suaminya juga masih berusaha untuk tenang.
Kepedihan menjalari hati Shiori. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan semuanya. Dia sama sekali tidak pernah berniat mencelakakan Maya.
"Sekali lagi maaf Nyonya Anderson tapi sungguh saya tidak pernah berniat mencelakakan Maya. Saya hanya-,"
"Cukup Shiori! Kedua orang tuaku ataupun Masumi mungkin masih bisa bersikap lembut padamu tapi tidak denganku. Pergi sekarang atau aku akan gunakan kekerasan untuk memaksamu pergi!"
Nada tinggi Christ membuat Shiori bergidik. Takigawa meraih lengan Shiori dan membujuknya pulang. Namun nonanya yang meski sudah disudutkan seperti itu tetap saja berkeras.
"Bukan aku yang meracuni Maya," kata Shiori kemudian. Dia tidak tahan lagi menerima semua tatapan mata menghakimi dari semua orang.
"Terserah apa katamu, pergi sekarang!" Christ menekankan kata terakhirnya dengan tegas. Tatapan mata tajamnya menyatakan kemarahannya.
"Nona, ayo kita pulang," Takigawa kembali membujuk nonanya.
"Tidak Bi. Aku harus menjelaskan kalau aku tidak pernah ingin melukai Maya," Shiori memberanikan diri membalas tatapan mata Christ.
"Tidak ada yang perlu di jelaskan. Ryan, tunjukkan pada Nona muda ini pintu keluarnya," tegas Christ lagi.
Shiori tidak berkutik lagi ketika Christ, Michael juga Clara kembali masuk ke dalam kamar dan Ryan memintanya pergi.

***
Penghujung tahun yang tidak pernah dibayangkan oleh Maya. Dirinya terbaring sakit di tempat tidur.
Maya terjaga tengah malam. Dilihatnya Masumi yang terlelap di atas sofa. Suaminya terlihat lelah. Dia bersyukur Christ tidak lagi marah pada Masumi. Sore tadi Maya berkeras agar keluarganya pulang. Kekhawatiran semua orang membuatnya tidak nyaman. Dia ingin sekali pulang.
Nyonya Maya masih harus di rawat secara insentif.
Perkataan dokter Yamada masih terngingang di telinga Maya. Perutnya memang masih terasa perih, rasa mualnya juga tidak kunjung hilang.
Masumi, maafkan aku. Andai saat itu aku mendengarkan apa yang kau katakan
Drrrttt! Drrrttt! Maya menoleh pada sumber suara yang mengusiknya. Handphonenya di atas nakas bergetar. Perlahan bangun dan duduk bersandar pada bantal, Maya meraih handphonenya.
Siapa yang menghubungiku tengah malam seperti ini?
Rasa penasaran Maya semakin berlipat ketika nomor tidak di kenal muncul di layar. Dengan ragu Maya menekan tombol dan mendekatkan handphone ke telinga.
"Selamat malam Nyonya Hayami," suara wanita menyambut sebelum Maya sempat mengucap salam.
Wanita? Maya terkejut, menggigit bibir bawahnya dengan gelisah. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak.
"Si, siapa ini?" Tanya Maya terbata. Dia menjaga nada suaranya agar tidak membangunkan Masumi.
Tiba-tiba wanita itu terkekeh senang. Maya menautkan alis dengan bingung.
"Siapa anda? Ada perlu apa sampai menelepon selarut ini?" Sergah Maya. Rasa tidak nyamannya semakin bertambah ketika mendengar kekehan wanita itu.
"Anda tidak mengenal saya tapi saya mengenal anda dengan baik Nyonya," kata wanita itu.
"Apa maksud anda?" Maya semakin bingung.
"Tenang Nyonya Hayami. Saya hanya ingin menyampaikan pesan."
"Katakan,"
Wanita itu terkekeh lagi mendengar perintah Maya.
"Anda tidak sabaran Nyonya tapi baiklah, saya juga tidak suka basa-basi," kata wanita itu.
Jantung Maya berdegub tidak beraturan.
"Tinggalkan Masumi Hayami maka anda akan selamat,"
"Apa?!" Maya menangkupkan telapak tangannya ke mulut ketika tanpa sadar memekik cukup keras. Memutar mata melihat suaminya, Masumi masih terlelap.
"A,apa maksud anda?" Menurunkan nada suaranya, Maya tergagap karena apa yang di dengarnya.
"Sederhana Nyonya. Tinggalkan Tuan Hayami atau saya tidak akan segan menyingkirkan anda dari sisinya. Apa yang anda alami sekarang hanyalah awal. Saya sanggup melakukan hal yang lebih besar lagi. Ingat itu!"
"Siapa-,"
Tuuuuttttt.
Nada panjang memotong perkataan Maya. Ancaman wanita itu membuat Maya bergidik. Dia kembali meletakkan handphone di tempatnya. Kedua tangannya bertaut di depan dada, gemetar.
Ketakutan membuat kepala Maya berdenyut tidak nyaman dan rasa mualnya kembali datang.
Siapa wanita itu?
Maya menarik napas untuk menenangkan diri dan meredakan mualnya. Namun emosinya yang sudah terlanjur bergejolak membuatnya sulit mengendalikan diri. Ketakutan merayapi hatinya. Maya mulai terisak, melepaskan emosinya. Sebuah isakan tertahan semakin membuat dada Maya sesak.
Duduk dengan memeluk lututnya, Maya membenamkan wajah di antara kedua kakinya. Menahan sakit dan ketakutannya.
Jadi memang ada yang berniat menyakitiku? Dia menginginkan suamiku?
Mata Maya menatap Masumi yang terlelap di sofa.
Masumi...aku takut...

***
Maya terbangun dan langsung disambut tatapan cemas Masumi.
"Syukurlah kau sudah sadar," Masumi mendesah lega seraya mencium kening dan pipi Maya.
"Kenapa?" Maya bingung dengan sikap suaminya.
"Sayang, kau demam tinggi lagi," jawab Masumi.
Demam? Maya terdiam. Semalam...ah?! Telepon itu...
"Ada apa?"
Maya menggeleng, "Aku baik-baik saja," lirih Maya.
"Kau demam empat puluh derajat dan masih bilang baik-baik saja?" Masumi menggeleng tidak percaya dengan perkataan istrinya.
"Empat puluh derajat?"
Masumi mengangguk, "Aku sangat khawatir," perkataan Masumi sepadan dengan ekspresi wajahnya.
Maya menatap suaminya lekat. Ketakutan karena telepon gelap malam tadi kembali merayapi hatinya.
"Masumi, jangan pergi," lirih Maya seraya meraih tangan Masumi dan mendekapnya di dada.
Masumi terdiam dengan tingkah istrinya. Sejak tadi dia merasa ada yang aneh. Demam tinggi membuat Maya terus mengigau, Jangan pergi...jangan tinggalkan aku...
Maya mengeratkan genggamannya, menyatakan ketakutannya.
"Apa yang kau katakan? Aku tidak akan pergi sayang," Masumi mencoba menenangkan Maya. Mengusap kepala Maya dengan tangannya yang bebas, melandaikan tubuhnya Masumi mengecup bibir istrinya.
"Jangan takut, aku disini," kata Masumi di depan bibir Maya.
Setetes air jatuh begitu saja dari sudut mata Maya tanpa bisa di tahan lagi. Masumi semakin heran.
"Sayang, katakan padaku, apa yang terjadi? Kenapa kau menangis?" Masumi menangkupkan tangannya di sisi wajah Maya. Membuat istrinya bersandar pada tangan lebar dan hangat itu. Maya menumpukan satu tangannya di atas telapak tangan Masumi sementara satu tangannya yang lain masih menggenggam erat tangan suaminya di depan dada.
"Aku takut," lirih Maya mengakui apa yang dirasakannya.
"Takut?"
Air mata Maya masih terus mengalir, apa aku harus mengatakannya? Tapi aku benar-benar takut...
"Maya, ada apa?" Masumi semakin yakin kalau sesuatu telah terjadi.
"Masumi, semalam....," Maya menelan ludah perlahan, ragu.
"Ada apa semalam Maya?" Rasa penasaran Masumi semakin berlipat ganda.
Maya menatap sendu suaminya, akhirnya dia menceritakan tentang apa yang terjadi semalam. Masumi berusaha tetap tenang ketika mendengar cerita istrinya. Tanda tanya besar semakin memenuhi otaknya sekarang. Tapi bagaimanapun juga Masumi harus menutupi kekhawatirannya, emosi Maya harus tetap stabil agar kondisinya bisa cepat pulih.
"Kenapa kau tidak mengatakannya padaku semalam?" Kata Masumi tenang setelah Maya selesai bercerita.
"Aku bingung," jawab Maya.
Masumi tersenyum, "Kau tidak perlu khawatir, semua akan baik-baik saja,"
Maya mengguk pelan.
"Dokter bilang kau tidak boleh banyak berpikir. Stres akan mempengaruhi asam lambungmu dan itu bisa berdampak buruk pada kesehatanmu,"
Maya kembali hanya mengangguk. Sulit rasanya untuk tidak memikirkan hal itu.
"Maya," seruan di pintu kamar membuat keduanya menoleh.
Christ yang datang bersama Clara dan Michael terlihat begitu cemas. Mereka bergegas pergi ke rumah sakit begitu menerima kabar dari Masumi kalau Maya demam lagi.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Clara dan Christ bersamaan. Keduanya berdiri di sisi lain tempat tidur sementara Michael berdiri di sebelah Masumi.
Maya akhirnya mengulum senyum tipis untuk meredakan kekhawatiran kakak dan kedua orang tua angkatnya.
"Sayang aku akan menemui dokter Yamada," kata Masumi.
Maya yang belum melepaskan tangan Masumi semakin mengeratkan genggamannya. Wajahnya terlihat gelisah.
"Hanya sebentar," bujuk Masumi menenangkan. Jujur sebenarnya dia juga enggan meninggalkan Maya tapi ada hal yang harus dilakukannya sekarang.
Masumi mengulum senyum, "Aku janji cepat kembali,"
Melihat reaksi Maya Christ tahu ada sesuatu yang tidak beres dengan adiknya.
"Tolong ya Ma," pinta Masumi.
"Tenang saja aku akan menjaganya," jawab Clara.
Masumi hanya mengangguk pada ayahnya dan menatap penuh arti pada kakak iparnya. Diapun bergegas meninggalkan kamar dengan sebelumnya mengambil handphone Maya.
"Ada apa?" Christ segera mengikuti Masumi keluar.
"Maaf Christ, aku belum bisa mengatakannya sekarang. Ada hal yang harus aku pastikan. Tolong jaga Maya. Jangan biarkan dia sendiri. Ku usahakan secepatnya kembali," kata Masumi.
"Satu lagi, jangan katakan pada Maya kalau aku pergi. Katakan saja seperti tadi kalau aku menemui dokter Yamada," tambah Masumi.
Christ akhirnya hanya bisa mengangguk mengiyakan permintaan Masumi sementara adik iparnya itu setengah berlari menuju lift.
Masumi mengeluarkan handphone dari sakunya. Memeriksa daftar panggilan masuk. Seperti apa yang dikatakan Maya, nomor tidak dikenal tertera di layar. Masumi mengirim nomor itu pada Hijiri dan menuliskan sebuah pesan padanya.

Masumi
Cari tahu nomor ini dan temui aku di tempat biasa. Sekarang!


***
"Nomor tersebut terdaftar dengan nama Shiori Takamiya dan baru diaktifkan kemarin." Lapor Hijiri ketika dia bertemu dengan Masumi di tempat yang sudah dijanjikan, sebuah cafe kecil di dekat gedung Daito.
"Shiori? Kau yakin?" Masumi mengetatkan rahang marah.
"Saya yakin Tuan. Hanya saja saya tidak yakin Nona Takamiya yang melakukannya."
"Maksudmu?"
"Saya rasa ini memang sebuah jebakan. Semua hal diarahkan pada Nona Takamiya,"
Masumi tercenung dengan penjelasan Hijiri. Dia mengambil handphone Maya dan kembali membuka kotak panggilan masuknya.
"Aku akan coba menghubunginya,"
"Sepertinya memang itu yang diharapkannya. Sampai saat ini nomornya masih aktif,"
Hijiri mengeluarkan laptop dari tas yang dibawanya. Keduanya saling berpandangan penuh arti dan Masumi menekan tombol panggil.
Masumi terkesiap ketika teleponnya di angkat dalam dua kali nada dering. Dugaan Hijiri tepat, teleponnya pasti sudah ditunggu.
Seorang wanita yang tertawa menyambut Masumi, "Respon anda cukup lambat untuk seorang Masumi Hayami. Apa istri anda terlambat melapor?" kata wanita itu.
Sial! Dia bahkan tahu aku yang menghubunginya! Suara wanita itu disamarkan. Masumi sama sekali tidak mengenalinya.
"Apa maumu?" Tanya Masumi.
Wanita itu kembali tertawa, "Wah, sangat tidak sabaran Tuan Hayami."
Tangan Masumi mengerat pada handphone yang digenggamnya, "Jangan basa-basi lagi. Katakan siapa kau dan apa maumu?"
"Hhmm, pasti anda sangat menyangi Nyonya Maya sampai bisa semarah ini. Tenang saja Tuan, racun arsenik itu tidak akan membunuhnya. Dia hanya akan kesakitan beberapa waktu saja,"
Sialan! Masumi terus memaki dalam hati. Tapi dia tidak boleh terpancing, dia harus terus bicara sampai Hijiri selesai dengan tugasnya.
"Kau tahu Nona. Aku sanggup melakukan apapun pada orang yang sudah melukai istriku," kata Masumi datar, menekan kemarahannya.
"Begitukah? Tapi reaksi anda terlalu lamban Tuan Hayami. Permainan ini menjadi kurang menyenangkan."
Wanita ini mengharapkan perlawanan dariku?
Hijiri menatap laptopnya dengan wajah tegang.
"Aku punya waktu dan cara sendiri untuk memainkan permainanku Nona."
Wanita itu terkekeh lagi. "Saya akan menunggunya Tuan Hayami. Saya ingin melihat apa kali ini anda bisa melindunginya."
Tuuuttttt!
Sial! Maksudnya.... Wajah Masumi sama tegangnya dengan Hijiri.
"Bahaya Tuan, lokasinya menunjukkan dia ada di sekitar rumah sakit," lapor Hijiri. Dia baru saja selesai melacak lokasi penelepon.
"Kita pergi sekarang!"
Keduanya beranjak dan bergegas pergi. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
"Christ!" Masumi menghubungi kakak iparnya.
"Masumi? Ada apa?" Dari nada suara Masumi dia sudah bisa menebak bahwa sesuatu telah terjadi.
"Dimana Maya? Jangan tinggalkan Maya sendiri!" Jelas Masumi tergesa.
"Maya sedang bersama Mama. Apa yang terjadi?"
"Tidak ada waktu menjelaskannya. Apa ada wanita yang mencurigakan di sekitar kamar Maya?"
"Wanita? Tidak,"
"Jangan ijinkan siapapun masuk ke kamar Maya. Aku dalam perjalanan ke rumah sakit sekarang,"
"Aku akan katakan pada Ryan dan Alex untuk lebih waspada,"
"Terima kasih Christ,"
Masumi mengakhiri teleponnya. Pikirannya penuh saat ini. Siapa yang berniat menyakiti istrinya? Orang ini jelas mengatur semuanya dengannya rapi dan mengarahkan semuanya pada Shiori.
Mobil berdecit keras ketika berhenti di basement parkir rumah sakit dan Masumi langsung melompat turun dari mobil diikuti Hijiri. Keduanya bergegas menuju kamar Maya.
Akh! Kenapa perasaanku tidak enak? Masumi mempercepat langkahnya tapi kemudian kakinya membeku ketika matanya tertumbuk pada seorang wanita yang tengah berjalan di koridor bersama seorang perawat dan Bibi pengasuhnya.
Shiori?
Hijiri menatap waspada ke sekelilingnya.
"Apalagi ini?" Masumi terlihat frustasi. Mungkinkah wanita misterius itu memang Shiori?
Melanjutkan langkah kakinya, Masumi dan Hijiri menghampiri Shiori. Wanita itu terkejut melihat Masumi.
"Apa yang kau lakukan disini?" Masumi langsung menyergah Shiori tanpa basa-basi.
"Maaf Tuan Hayami, Nona tidak berniat menemui Nyonya Hayami," sela bibi pengasuh, Takigawa.
"Bibi, tidak apa-apa Bi," kata Shiori menenangkan pengasuhnya yang terlihat panik.
"Tidak Nona. Saya tidak ingin anda dimarahi lagi seperti kemarin. Anda tidak bersalah," kata Takigawa lagi.
"Kemarin?" Masumi menatap kedua wanita itu bergantian.
"Kemarin Nona mengunjungi Nyonya Hayami tapi Tuan Anderson tidak mengijinkannya bahkan bersikap kasar pda Nona. Kondisi Nona jadi drop maka dari itu kami datang untuk melakukan check up hari ini. Sama sekali tidak berniat mengganggu Nyonya Hayami," jelas Takigawa panjang lebar.
Masumi terdiam, Christ tidak mengatakan apa-apa padaku?!
"Jika anda tidak percaya, anda boleh menanyakan kondisi Nona pada perawat Miura. Dia adalah perawat pribadi yang menjaga Nona," tambah Takigawa lagi. Tampaknya kejadian kemarin benar-benar membekas dalam ingatannya sampai dia menjelaskan semuanya dengan rinci. Tidak mau lagi nonanya dipersalahkan.
"Apa itu benar?" Masumi beralih menatap sang perawat yang sejak tadi bergeming.
"Benar Tuan," Miura mengangguk hormat pada Masumi.
"Maaf Masumi. Aku berjanji tidak akan mengganggu Maya. Kemarin aku datang hanya untuk menegaskan bahwa bukan aku yang meracuni kue yang di makan Maya," kata Shiori kemudian.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja? Kau juga menjebakku." Kata Masumi sinis.
Shiori tersentak. Wajahnya bersemu merah karena mengingat kejadian di hotel bersama Masumi. Menundukkan kepalanya, Shiori berusaha menenangkan dirinya. "Soal itu aku-,"
"Aku tidak perlu penjelasan darimu," potong Masumi. Dia merasa jengah kalau harus membicarakan hal itu.
Shiori kembali mengangkat wajahnya dan kedua matanya menatap sendu pada Masumi yang bersikap kasar padanya.
"Ingat Shiori. Jika aku menemukan bukti keterlibatanmu atas semua kejadian memuakkan ini maka aku tidak akan pernah melepaskanmu," tandas Masumi.
Shiori bergeming di bawah tatapan tajam Masumi.
"Ayo Hijiri," Masumi berbalik dan meninggalkan Shiori yang masih mematung.
Masumi, sampai kapan kau akan membenciku.... Mata Shiori memandang punggung Masumi yang semakin menghilang dengan hati pilu.
Sementara itu dari jauh dua pasang mata tengah mengamati semua hal yang terjadi.
"Batalkan rencananya."
"Batalkan?"
"Dia terlalu cepat kembali dan terlalu banyak orang yang menjaganya sekarang. Kita akan tunggu waktu yang tepat,"
Desahan napas berat mengakhiri percakapan keduanya.

***
"Sejak tadi Maya menanyakanmu," kata Christ ketika Masumi masuk ke ruang tamu kamar Maya.
"Apa dia baik-baik saja?" Tanya Masumi.
"Ya dia baik. Mama dan papa sedang menemaninya. Apa yang terjadi?" Christ balik bertanya melihat wajah kusut Masumi.
Menghela napas panjang, Masumi menghempaskan dirinya di sofa.
"Kau masih menahan diri untuk menuntut wanita itu meski semua bukti sudah mengarah padanya?" Christ berdecak kesal setelah Masumi menceritakan semuanya.
Masumi terdiam. Tanda tanya besar bersandar di kepalanya.
Masumi menggeleng, "Ada sesuatu yang salah Christ. Aku yakin itu."
"Wanita itu mengincarmu, apalagi?" Dengus Christ kesal.
"Tidak. Harus ada bukti lain yang lebih kuat. Lagipula kalau aku menuntutnya sekarang karena alasan masa lalu maka sama saja aku membongkar semua rahasia yang kita tutupi selama ini. Maya tidak akan setuju,"
Christ kembali berdecak kesal dengan penjelasan Masumi.
"Jangan gegabah Christ. Kalaupun Shiori pelakunya dia pasti tidak bekerja sendirian."
Jelas Masumi lagi.
"Kau terlalu banyak pertimbangan Tuan Hayami," jawab Christ kesal.
"Besar kemungkinan dia akan kembali berulah,"
Christ menatap tajam adik iparnya, "Aku akan benar-benar turun tangan kalau wanita itu berulah lagi. Dengan atau tanpa bukti!" ancam Christ.
Masumi hanya diam dan berhenti mendebat kakak iparnya yang lebih keras kepala daripada dirinya. Christ berdiri lalu berjalan ke pintu keluar.

***
"Kau dari mana? Kenapa lama sekali," keluh Maya ketika Masumi sudah kembali dan duduk di sebelah tempat tidurnya.
"Maaf sayang, tadi setelah bertemu dokter Yamada aku merasa lapar lalu pergi sebentar untuk makan siang," kata Masumi beralasan.
Ah, kenapa aku jadi berbohong pada istriku?
"Oh," Maya mengulum senyumnya.
"Bagaimana keadaanmu? Lebih baik? Apa perutmu masih sakit?" Tanya Masumi.
"Masih sedikit perih tapi tidak sesakit kemarin." jawab Maya.
"Syukurlah kalau begitu." Masumi mengulurkan tangan dan mengusap perlahan perut istrinya.
"Kenapa?"
Masumi menghela napas panjang, "Pasti sakit sekali,"
Maya menggeleng cepat, "Tidak, aku sudah lebih baik sekarang. Sungguh," Maya meyakinkan.
Masumi memaksakan senyumnya. Sejujurnya dia masih merasa tidak tenang. Hijiri, Alex dan Ryan sedang menyusuri rumah sakit untuk melihat sekiranya ada hal yang mencurigakan.
"Oh ya sayang, besok adalah malam tahun baru. Apa kau menginginkan sesuatu?" Masumi mengalihkan topik pembicaraan.
"Sesuatu?" Maya menggeleng. Tiba-tiba dia merasa sedih karena ingat seharusnya mereka berada di Paris.
"Hei, apa yang kau pikirkan," Masumi mengetuk-ngetukkan jarinya di kening Maya yang berkerut.
Maya menghela napas, "Aku hanya ingin tahun depan menjadi tahun yang lebih baik untuk kita," jawab Maya kemudian.
"Tentu sayang," Masumi mengaminkan harapan istrinya.
"Dan...," Maya berkedip menatap suaminya, wajahnya sedikit merona. Memberi warna pada kulitnya yang masih pucat.
"Dan?" Masumi melengkungkan alis menatap Maya.
"Dan kalau Tuhan berbaik hati...hhmm, aku ingin memiliki seorang anak," jawab Maya perlahan dan semakin lirih di akhir kalimatnya.
Masumi tersenyum lebar mendengar keinginan Maya. Dia juga mengharapkan hal itu.
Masumi tampak berpikir sambil mengusap dagunya, "Untuk yang satu itu aku rasa bukan hanya karena kebaikan Tuhan tapi juga karena usaha kita,"
Wajah Maya makin merona, "Masumi! Aku tidak sedang bercanda," Maya merajuk dan memukul lengan suaminya.
Masumi terkekeh. Bangkit dari kursi, Masumi melandaikan tubuhnya di atas Maya.
"A, apa yang kau lakukan?" Maya tergagap ketika tubuh Masumi merapat di atasnya.
"Memenuhi keinginanmu," bisik Masumi di depan bibir Maya. Matanya mengedip nakal.
"Masumi!" Pekik Maya dengan wajah benar-benar semerah kepiting rebus.
Belum lagi Maya sempat protes, Masumi sudah menekan lembut bibirnya. Mencium istrinya penuh kasih. Bibir Maya masih terasa panas karena demamnya, Masumi mengabaikannya. Hasratnya semakin terbakar ketika Maya akhirnya membalas ciumannya.
"Kau...gila...ini di rumah sakit," gerutu Maya yang terengah sambil melotot pada Masumi yang baru saja melepaskan bibirnya.
"Biarkan saja. Mama dan papa sedang keluar untuk makan." Jawab Masumi diiringi senyum nakalnya untuk menggoda Maya.
Masumi ingin kembali mencium Maya tapi istrinya itu menahan jari-jari mungilnya di bibir Masumi.
"Christ," Maya memutar mata menunjuk ke arah pintu.
Masumi menganggap perkataan Maya hanyalah usaha untuk mengalihkan perhatiannya,"Abaikan saja, dia tidak penting,"
"Siapa yang tidak penting, huh?!"
Sial! Masumi menarik dirinya, duduk tegak di samping Maya. Christ melipat tangan dengan kesal, bersandar pada pintu.
"Mengganggu saja," dengus Masumi yang kemudian turun dari tempat tidur Maya.
"Kau pikir ini hotel? Dasar, kau masih bisa bermesraan padahal adikku sedang sakit," omel Christ sambil berjalan ke sisi lain tempat tidur Maya.
"Itu terapi pengobatan juga," Masumi membela dirinya. "Lagipula dia istriku,"
Maya yang wajahnya masih semerah kepiting rebus tertawa karena perdebatan keduanya.

***
Kondisi Maya semakin membaik keesokan harinya. Hari terakhir di penghujung tahun.  Maya sedang menulis beberapa kartu pos tahun baru untuk dikirimkan kepada teman-temannya.
"Untuk apa kartu-kartu itu?" Tanya Christ pada adiknya yang tengah asik bersama Masumi menulis kartu tahun baru.
"Tentu saja untuk dikirimkan pada teman-temanku. Sudah tradisi di sini untuk saling bertukar kartu saat tahun baru," jawab Maya.
"Apa teman-temanmu tidak tahu kalau kau berada di rumah sakit?" Tanya Clara.
Maya melirik suaminya.
"Tidak Ma. Aku sengaja tidak memberitahu mereka, sekaligus untuk menghindari media. Lagipula mereka tahu aku dan Maya sebenarnya berencana liburan ke Paris," jelas Masumi.
Pintu kamar di ketuk dan Eisuke terlihat masuk bersama Asa dan Harada.
"Ayah," Maya tersenyum senang melihat Eisuke datang.
"Halo Maya, bagaimana keadaanmu?" Tanya Eisuke.
"Aku baik Ayah."
Eisuke hanya mengangguk seraya mengulum senyum lalu menyapa kedua orang tua Maya dan Christ.
"Nyonya, banyak kartu tahun baru datang untuk anda," Harada tersenyum melihat tumpukan kartu di depan Maya.
"Benarkah Bi? Senangnya," Maya menepuk tangannya senang.
Masumi dan yang lainnya terlihat lega melihat Maya sudah kembali ceria.
"Saya juga membawa mie soba," Harada meletakkan tempat makan bersusun di meja sebelah tempat tidur Maya. Sudah tradisi di Jepang saat malam tahun baru mereka akan makan mie soba. Mie yang panjang melambangkan pengharapan untuk panjang umur.
"Wah senangnya, terima kasih Bi," Maya kemudian mengedarkan pandangannya pada semua keluarga yang berkumpul di kamarnya.
"Maaf ya," lirih Maya kemudian.
"Maaf?" Masumi menatap istrinya bingung. Ekspresi yang sama juga di tunjukkan oleh semua orang.
"Seharusnya kita bisa merayakan tahun baru dengan berkumpul bersama di rumah tapi gara-gara aku jadi...,"
"Ssttt," sela Masumi, "tidak perlu pikirkan lagi masalah itu,"
Mata Maya menghangat ketika semua orang tersenyum padanya.
"Kami semua menyayangimu," ucap Clara yang langsung memeluk putrinya.
"Terima kasih," ucap Maya penuh haru.
Kamar Maya penuh kehangatan, seluruh keluarga berkumpul dan menghibur Maya di malam tahun baru itu.
"Sudah malam, sebaiknya ayah, mama juga papa pulang saja," Maya menyadari malam semakin larut dan seluruh keluarganya juga pasti sudah lelah menemaninya.
"Baiklah, sudah waktunya orang tua ini pulang. Cepatlah sehat Maya. Rumah terasa sepi tanpamu," kata Eisuke.
Christ berkerut mendengarnya. Dia tidak menyangka Eisuke bisa begitu menyayangi Maya setelah apa yang pernah dilakukannya dulu.
Maya tersenyum hangat pada ayah mertuanya, "Iya, terima kasih Ayah,"
"Tuan Anderson, Nyonya, juga Christ, aku permisi dulu. Sekiranya kalian ada waktu berkunjunglah ke rumah," tambah Eisuke.
"Kami pasti datang berkunjung Tuan Besar Hayami," jawab Michael sama ramahnya. Clara hanya mengangguk dan mengulum senyum.
Eisuke pergi meninggalkan kamar dan Masumi mengantarkannya sampai pintu depan.
"Apa kau masih belum menemukan petunjuk apapun?" Tanya Eisuke ketika keduanya sudah berada di luar kamar Maya.
"Belum ayah,"
"Pelakunya pasti sangat pintar sampai bisa menghilangkan semua bukti dan mengarahkannya pada Shiori," gumam Eisuke.
"Tenang saja Ayah. Hijiri dan yang lainnya sedang menyelediki semuanya." Jawab Masumi. Dia tidak menceritakan soal telepon gelap yang mengancam Maya. Masumi juga tidak mau ayahnya menkhawatirkan Maya sampai mengganggu kesehatannya.
Eisuke mengangguk, "Baiklah. Jaga Maya baik-baik Masumi. Asa, Harada, kita pulang,"
Merekapun pergi dan Masumi kembali ke kamar Maya. Clara dan Michael juga bersiap untuk pulang, Masumi terheran ketika melihat Christ juga memakai mantelnya.
"Kau tidak tinggal?"
Christ menoleh dan mencibir adik iparnya, "Untuk melihat kalian bermesraan di depanku?"
Masumi hanya tersenyum geli sementara Maya tersipu malu mendengar Christ menggodanya.
"Istirahatlah, kami pulang dulu," Michael mengecup kening putrinya, begitu juga Clara dan Christ.
"Akhirnya kita bisa berdua," desah Masumi lega sambil menutup pintu kamar.
Maya terkekeh mendengarnya, "Apa yang kau pikirkan Tuan Hayami?"
Masumi tertawa lalu duduk di tepi tempat tidur disebelah istrinya. Merentangkan kedua tangannya, dengan hati-hati menjaga selang infusnya tidak tersangkut Maya bersandar di dada bidang Masumi. Maya menghela napas panjang, merasakan kenyamanan dalam dekapan suaminya.
"Kau terlihat lelah sekali,"
"Hhmm, tapi aku senang sekali."
Masumi membenamkan sebuah kecupan di puncak kepala Maya, tangannya membelai lembut punggung istrinya.
"Aku juga senang hari ini melihatmu begitu gembira,"
"Aku beruntung," Maya mengangkat wajahnya, tangannya terulur dan mengusap sisi wajah Masumi dengan telapak mungilnya. "Aku beruntung punya suami juga keluarga yang begitu menyayangi dan memperhatikanku,"
"Kau layak untuk disayangi Maya. Akulah yang beruntung memilikimu. Kau merubah seluruh kehidupan gelapku menjadi penuh cahaya." Meraih pergelangan tangan Maya, Masumi memberikan sebuah kecupan di telapak tangan istrinya.
"Terima kasih," ucap Maya tulus.
"Terima kasih juga sayang." Balas Masumi.
Mata Maya menghangat dan setetes air turun dari sudut matanya.
"Hei, kenapa menangis?" Masumi mengusap pipi Maya dengan ibu jarinya.
"Jangan pernah tinggalkan aku. Aku tidak akan bisa hidup tanpamu," lirih Maya di tengah isakannya.
"Tidak sayang. Aku berjanji. Selama nyawa ini masih ada, aku tidak akan pernah meninggalkanmu," menangkupkan kedua tangan di wajah Maya, Masumi memberikan sebuah kecupan sayang di bibir mungil istrinya.
"Aku sangat mencintaimu Maya. Kaulah nyawaku," bisik Masumi yang kembali merengkuh Maya dalam dekapannya.
Kaulah nyawaku Masumi....

***
"Kondisi Nyonya Maya semakin membaik. Nyonya bisa pulang dan melakukan rawat jalan." Kata dokter Yamada.
Masumi mendesah lega mendengarnya, "Syukurlah,"
Maya tersenyum senang.
"Tapi anda harus ingat Nyonya, lambung anda belum sembuh seratus persen. Untuk itu anda harus tetap banyak istirahat, menjaga pola makan dan yang paling penting adalah mengkonsumsi obat dengan teratur." Pesan sang dokter.
"Saya akan pastikan Maya mematuhi semua aturan itu dokter," Masumi meyakinkan.
"Lihat Nyonya, semua dokter pasti akan tenang melepas pasiennya kalau banyak orang seperti Tuan Masumi," seloroh Yamada.
"Ya, mungkin anda bisa infokan lowongan dokter padanya. Siapa tahu suami saya ini berniat alih profesi," Maya menimpali gurauan Yamada.
Masumi mencolek hidung istrinya, "Aku anggap itu pujian sayang. Bersiaplah untuk menghadapi dokter pribadimu ini,"
Yamada tertawa melihat kemesraan suami istri itu. Setelah memberikan beberapa pesan tambahan terkait kesehatan Maya, Yamada akhirnya keluar meninggalkan keduanya. Seorang perawat sedang melepas infus di lengan Maya sementara seorang perawat lain menutup tirai di sekeliling tempat tidurnya.
"Biar aku yang membantunya," seru Masumi tepat ketika perawat akan melepas pakaian rumah sakit yang dikenakan Maya.
"Eh?!" Dua orang perawat itu menahan cekikikan mereka lalu mundur teratur keluar dari tirai, memberi ruang pada Masumi untuk menggantikan pakaian istrinya.
"Kau membuatku malu," keluh Maya dengan pipi merona.
Masumi tertawa, "Aku suka melihat pipi merahmu,"

***
Dua mobil berhenti di depan halaman rumah Hayami. Clara dan Michael juga Christ ikut mengantar Maya pulang.
Eisuke dan para pelayan menyambut Maya dengan sukacita. Mereka sekarang berkumpul di ruang keluarga.
Maya duduk bersandar pada suaminya dan mendengarkan obrolan kedua orang tuanya dengan Eisuke, juga sesekali menyimak obrolan Masumi dengan Christ yang lebih banyak membahas soal pekerjaan dan perkembangan dunia bisnis.
Hati Maya berbunga melihat keakraban keluarganya. Mereka tidak lagi menjaga jarak dengan Eisuke. Sebenarnya Maya merasa lelah tapi melihat kebersamaan itu rasanya tidak rela kalau dia harus meninggalkannya hanya untuk tidur. Namun rupanya kantuk Maya terlalu besar untuk dilawan, akhirnya dia tertidur juga.
Masumi merasakan tubuh Maya semakin bersandar padanya dan dia baru menyadari kalau istrinya itu tengah tertidur dalam pelukannya.
"Dasar, kenapa tidak bilang kalau sudah mengantuk," gumam Masumi.
Semua perbincangan berhenti sejenak. Semua perhatian tertuju pada Maya.
"Cepat bawa istrimu ke kamar. Dia pasti sudah lelah hanya terlalu keras kepala untuk mengatakannya," kata Christ.
Masumi mengangguk dan segera merengkuh Maya dengan kedua lengannya, "Maaf, permisi semuanya," dia mendengar perbincangan kembali berlanjut ketika menaiki tangga menuju kamarnya.
Dengan hati-hati Masumi membaringkan istrinya di tempat tidur. Maya terlihat sangat tenang, bibirnya bahkan tersenyum tipis dalam tidurnya.
Masumi duduk di sisi istrinya. Menatap wajah cantik yang tengah terlelap. Hatinya lega melihat kondisi Maya yang semakin membaik. Meski masalah wanita misterius itu masih mengganggunya.
Sayang, aku pasti akan selalu melindungimu. Tidak akan ku biarkan seorangpun menyakitimu lagi.
Menaikkan selimut menutupi tubuh Maya, Masumi bersiap kembali ke ruang kelurga. Tiba-tiba matanya tertarik pada tumpukan kartu yang terletak di atas nakas di sebelah tempat tidur. Meraih kartu itu dan membaca nama pengirimnya satu persatu. Beberapa dari relasi kerjanya tapi kebanyakan dari sahabat Maya. Tangannya berhenti pada sebuah amplop coklat yang ditujukan padanya tanpa nama pengirim. Masumi menautkan alis melihat amplop coklat yang terlihat tidak cocok sebagai sebuah kartu ucapan tahun baru. Meletakkan amplop yang lain, Masumi membukanya.
Seketika wajah Masumi menegang. Melihat sekilas wajah Maya yang masih damai dalam tidurnya, Masumi bergegas keluar dari kamar. Alih-alih kembali ke ruang keluarga, Masumi justru pergi ke ruang kerjanya.
Sial! Apa ini?
Dilemparkannya isi amplop coklat itu ke atas meja kerjanya. Kartu yang ternyata adalah lembaran foto itu sekarang berserak di atas meja. Matanya menatap marah pada tiap lembaran foto yang tercetak warna dan terlihat begitu menjinjikkan baginya. Sebuah memo tertulis di bagian belakang foto.

Aku tidak akan pernah melupakan semua kenangan indah di antara kita

Mencintaimu
Shiori


Merutuk dirinya sendiri, Masumi mengambil pemantik dan mulai membakar setiap lembar foto. Perlahan satu persatu gambar dirinya dan Shiori yang tengah berpelukan di tempat tidur itu terbakar api dan menjadi abu di tempat sampah.
Maya....maafkan aku...

***
>>Bersambung<<
>>Every Day I Love You - Chapter 5<<
>>Every Day I Love You - Chapter 7<<

Post a Comment

10 Comments

  1. Akhirnya bisa lanjut juga....hahhahaha
    sory ya kali ini aga lama
    moga suka ama chapter ini
    happy reading...:)

    ReplyDelete
  2. APANYA YANG HAPPY READING??? APANYAAA??? HUWEEE...
    Kaaaaan.... klo masih bersambung itu bacanya jadi nyuuuuutt gitu loh. Pengen bgt nampolin siapa aja yang ada di dekat maya atau masumi, grrrrh.... AKU GERAM, SIISST... GERAAAAM #gigitinmeja

    ReplyDelete
    Replies
    1. cup...cup...cup say...muahhhh...#dicium Masumi
      hahahhahaaaa

      Delete
    2. kan ceritanya aku lagi ngambek sama masumi, sist... apa coba maksudnya minta maaf gitu abis liat foto? #mewek

      Delete
  3. Mau dong dicium masumi juga.... aku juga geraaam... geraaammm.... *modus ngarep dicium

    ReplyDelete
  4. Aduuh deg deg an nih gmn klo maya tahu foto2 nya.. ka agnes mohon jangan biarka MM brpisah yaaa :'(

    ReplyDelete
  5. Kurang buanyaakkk.. Bagussss sis.. can't wait for next chapter ;)

    ReplyDelete
  6. Kurang banyak mb agnes.... bkin geregetan banget sih bcanya...
    Yg secret angel juga donk mb agnes... suka banget ama yg itu :D

    ReplyDelete
  7. Lanjutannya kapan niii ???

    ReplyDelete