Every Day I Love You - Chapter 5

Maya menatap heran suaminya yang masih mematung, "Ada apa Masumi? Apa terjadi sesuatu?"
Masumi menghela napas perlahan lalu membimbing istrinya ke meja.
"Ada apa?" Tanya Maya lagi. Sikap Masumi membuatnya semakin penasaran.
"Duduklah," kata Masumi lembut. Dan ketika Maya duduk dia berlutut di depan istrinya, menggenggam kedua tangannya.
"Masumi, katakan ada apa? Kau membuatku takut," kata Maya.
"Maya, Ibu Mayuko sore tadi mengalami serangan jantung dan...beliau baru saja meninggal," kata Masumi setenang mungkin meski begitu kedua tangannya semakin erat menggenggam Maya.
"Ti, tidak...mungkin...kau bohong kan?" Maya menggeleng keras dengan masih menatap tajam Masumi.
Masumi menelan ludah perlahan, terasa berat baginya melihat istrinya harus bersedih.
"Sayang, kuatkan hatimu-,"
"Tidak! Kau bohong!" Pekik Maya. Dia menarik tangannya dan menutup kedua telinganya, air matanya mulai berdesakan keluar.
"Maya...,"
"Tidak Masumi! Bu Mayuko tidak mungkin meninggal! Tidak!" Seru Maya parau di tengah isakannya yang semakin kencang.
Masumi hanya bisa diam melihat Maya menangis.
Malam itu juga Maya dan semua temannya termasuk Ayumi langsung pergi menuju kampung halaman Bidadari Merah. Masumi mengatur semua perjalanan menggunakan Shinkansen menuju Nara.
Maya masih menangis ketika mereka sudah setengah perjalanan di dalam Shinkansen. Masumi mengusap lembut bahu istrinya dan berusaha menenangkannya. Tidak hanya Maya, gurat kesedihan juga tergambar di wajah Rei dan semua temannya. Ayumi bahkan terlihat shock dan bersandar pada dada suaminya, Peter, meski dia tidak menangis seperti Maya. Ada satu orang lagi yang sedang meratap penuh kesedihan, Eisuke. Dia tidak mau ikut ke kampung halaman Bidadari Merah dan memilih meratapi kepergian kekasih hatinya di dalam kamarnya yang gelap. Inilah akhir penantiannya.
"Kau mau sesuatu? Minum?" Masumi menyela ketika tangisan Maya mereda. Maya menggeleng sambil menggosok matanya yang sembab.
Rei, Mina, Taiko dan Sayaka menatap sedih pada Maya. Mereka mengerti bagaimana kehilangannya Maya karena Mayuko sudah seperti ibu baginya sejak dia meninggalkan rumah. Maya memang memiliki hubungan paling dekat dengan Mayuko diantara muridnya yang lain, belum lagi Maya adalah penerus Bidadari Merah.
Masumi merengkuh bahu Maya dan mengusapnya lembut. Maya menyandarkan kepalanya di dada Masumi.
"Aku tidak percaya Bu Mayuko meninggalkanku secepat ini," gumam Maya.
"Sayang, kau harus kuat. Tuhan tahu ini adalah yang terbaik bagi Bu Mayuko," kata Masumi menenangkan istrinya.
Maya terdiam, suaminya benar. Gurunya itu sudah lama menahan sakitnya, mungkin memng sudah waktunya dia beristirahat.
"Istirahatlah sebentar, kita akan tiba di Nara tengah malam dan masih panjang perjalanan menuju kampung halaman Bidadari Merah. Aku tidak mau kau kelelahan," bisik Masumi.
Maya mengangguk. Namun nyatanya meski teman-temannya kemudian tertidur, Maya sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Masumi hanya bisa menghela napas melihat istrinya.
Pukul dua dini hari Maya, Ayumi juga semua anggota teater Niji tiba di rumah Mayuko. Genzo dengan wajah sendu bersimpuh di samping Sang Bidadari Merah yang sudah terbaring kaku. Maya dan Ayumi langsung berhambur memeluk jasad guru mereka. Semua langsung larut dalam kesedihan.

***
Air mata mengiringi upacara pemakaman keesokan harinya. Sesuai pesan Mayuko, dia dimakamkan di sebelah makam Ichiren Ozaki. Di tengah salju yang lebat prosesi pemakaman berlangsung hikmat. Ada beberapa wartawan yang juga datang dan meliput prosesi penuh kesedihan itu. Inilah akhir perjalanan Sang Legenda Bidadari Merah.
Maya dan Ayumi masih tinggal di makam setelah semuanya selesai. Rei dan teman-temannya sudah kembali ke rumah.
"Istirahatlah yang tenang Bu," gumam Maya. Dia bersimpuh seraya mengusap nisan yang kini bertuliskan nama gurunya.
"Bu Mayuko pasti sudah tenang di sana Maya," kata Ayumi. Peter dengan lembut merengkuh bahu istrinya yang meski terlihat tegar tapi pasti sedang menangis di dalam hatinya.
"Iya," jawab Maya lirih.
Peter mengajak Ayumi pulang karena salju semakin tebal, begitu juga Masumi. Merekapun akhirnya meninggalkan makam.
Maya dan Ayumi duduk di ruang tamu ditemani suami mereka, Genzo meminta keduanya berkumpul karena ada yang ingin disampaikannya.
"Surat ini ditulis Nyonya untuk anda berdua," Genzo meletakkan dua buah surat di meja. Maya dan Ayumi menerima surat itu dan membukanya. Keduanya membaca surat bersamaan dan air mata mereka kembali mengalir.
Mayuko memberikan mandat keduanya untuk terus berakting dan tidak melupakan apa yang selama ini telah mereka pelajari. Terlebih Maya sebagai penerus hak pementasan Bidadari Merah.
"Aku berjanji akan terus berakting dan menjaga Bidadari Merah," gumam Maya.
"Ya, kita akan terus berakting Maya," tambah Ayumi.
"Kau pasti bisa," Masumi menguatkan.
Untuk pertama kalinya sejak kemarin Maya tersenyum, Masumi terlihat lega.
"Senang melihatmu kembali tersenyum,"
"Sebaiknya Tuan dan Nyonya beristirahat lebih dulu."
"Terima kasih Genzo," ucap mereka semua sebelum kembali ke kamar masing-masing.
Maya memeluk dirinya sendiri ketika sudah berada di kamar yang sudah disiapkan untuknya.
"Kau kedinginan?" Masumi langsung duduk di sebelah Maya yang terlihat menggigil.
"Iya, dingin sekali," gumam Maya. Karena mereka jauh dari kota, maka semua fasilitas juga terbatas. Penghangat ruangan yang disediakan ternyata tidak cukup menghangatkan Maya.
Masumi mengulurkan tangannya ke dahi Maya, "Kau demam Maya," kata Masumi terkejut.
Maya menyentuh dahinya sendiri, "Mungkin karena udara terlalu dingin," jawab Maya.
Masumi berdiri dan segera merapikan futon untuk Maya.
"Ayo, berbaringlah," Masumi membantu Maya berdiri dan berbaring di atas futon.
"Aku tidak apa-apa," kata Maya pada Masumi yang terlihat begitu cemas.
"Tidak apa-apa? Kau tidak tidur semalam, tidak sarapan juga melewatkan makan siang. Seharian berada di pemakaman dengan udara dingin, tidak heran kau demam sekarang. Masih mau bilang tidak apa-apa?" Kata Masumi. Wajahnya mengeras tidak setuju pada perkataan Maya yang selalu meremehkan kesehatannya.
"Kenapa kelihatannya buruk sekali saat kau menjabarkannya seperti itu?" Komentar Maya.
"Memang buruk Maya. Kau selalu saja mengabaikan dirimu," jawab Masumi seraya membenahi selimut menutupi tubuh istrinya.
"Apa kau akan memarahiku sekarang?" Maya mencoba tersenyum untuk menggoda suaminya.
"Ya jika kau masih tidak mau menurut." Jawab Masumi seraya menggantung ke dua tangannya di pinggang. "Aku akan ambil makanan dan obat. Kau harus makan atau aku akan benar-benar marah," kata Masumi.
Maya tersenyum tipis, "Aku hanya ingin tidur Tuan Hayami," candanya.
Masumi menggeleng kesal tapi kemudian tatapannya melembut, "Makanlah dulu, ku mohon, kau harus minum obat sayang," Masumi mengiba.
"Baiklah," Maya setuju dan Masumi segera keluar untuk mengambilkan makanan juga meminta obat pada Genzo.
"Obat demam? Nyonya Maya sakit?" Tanya Genzo.
"Iya," jawab Masumi.
"Kasihan, Nyonya pasti shock," gumam Genzo.
Masumi menghela napas, "Dia juga kelelahan dan tidak makan dengan baik," keluhnya.
"Saya akan buatkan bubur untuk Nyonya," kata Genzo kemudian.
"Terima kasih, maaf merepotkan,"
Genzo hanya tersenyum lalu memberikan obat demam pada Masumi dan segera pergi ke dapur.
Maya sudah tertidur ketika Masumi kembali ke kamar. Masumi mengecek penghangat ruangan dan memastikan istrinya tetap hangat. Tak lama kemudian Genzo datang membawakan bubur untuk Maya.
"Anda bisa panggil saya kapan saja jika membutuhkan sesuatu Tuan Masumi,"
"Terima kasih Genzo,"
Masumi kembali duduk di sisi istrinya dan mengusap lembut kepala Maya.
"Sayang, bangun. Kau harus makan,"
Maya mengerjapkan matanya. "Hhmm, aku ingin tidur,"
"Hei, kau harus makan sebelum tidur. Duduklah, biar aku menyuapimu,"
Masumi membantu Maya duduk dan dengan sabar menyuapi istrinya.
"Kau memanjakanku seperti bayi," keluh Maya ketika suapan terakhir mengosongkan mangkuknya.
"Bayi? Aku tidak berpikir kau bayi," Masumi tersenyum, meletakkan mangkoknya lalu mencolek hidung istrinya, "Kau adalah istriku tersayang,"
Maya terkikik, "Kau pandai merayu,"
"Oh ya? Apa kau keberatan?"
Maya menggeleng cepat, "Tidak. Asal jangan merayu wanita lain,"
Masumi menatap lembut istrinya, "Dengar sayang. Hati, jiwa dan tubuhku ini hanya satu. Hanya untukmu, jadi aku tidak bisa mendua atau aku akan mati."
Mata Maya menghangat dan dia langsung menubrukkan dirinya kepelukan Masumi, membuat suaminya hampir jatuh terlentang.
"Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Jangan pernah tinggalkan aku atau aku juga akan mati tanpamu," ucap Maya yang mulai terisak di dada suaminya.
"Kau ini bicara apa, aku tidak akan pernah meninggalkanmu," Masumi mengusap lembut kepala istrinya, "Nah, sekarang istirahatlah. Perjalanan kita cukup panjang besok untuk kembali ke Tokyo dan aku tidak mau keadaanmu memburuk,"
Maya mengangguk dan menurut saja ketika Masumi memberinya obat. Masumi tersenyum lega melihat Maya akhirnya terlelap. Diapun keluar dari kamar untuk bicara dengan Genzo mengenai kepulangan mereka besok pagi.
"Tuan Masumi, Genzo mengatakan kalau Maya sakit, apa dia baik-baik saja?" Tanya Rei ketika Masumi melewati lorong kamarnya.
"Iya, dia baik-baik saja Nona Aoki. Maya sedang tidur sekarang," jawab Masumi.
"Ah, syukurlah kalau begitu." Rei mengelus dadanya dengan lega. "Saya kadang khawatir jika mendengar Maya sakit. Dia terkadang keras kepala dan tidak peduli dengan kesehatannya sendiri,"
Masumi menahan senyumnya melebar, "Dia menurut kali ini Nona Aoki,"
Rei terkikik, "Ya, sepertinya memang hanya anda yang sanggup menaklukkan sifat keras kepalanya,"
Masumi tertawa.
"Senang melihat anda dan Maya akhirnya bahagia," ucap Rei tulus.
"Terima kasih Nona Aoki." Ucap Masumi dengan penuh penghargaan. Gadis tampan itu juga telah banyak berjasa dalam menyatukan hubungan mereka berdua.
Keduanya akhirnya hanya saling mengangguk hormat. Masumi kembali mencari Genzo sementara Rei kembali ke kamarnya untuk memberitahukan kondisi Maya pada teman-temannya.
Keesokan paginya kondisi Maya sudah membaik, demamnya sudah turun dan mereka sudah bersiap meninggalkan kampung halaman Bidadari Merah. Sekali lagi air mata Maya dan semua temannya berderai ketika harus meninggalkan rumah Mayuko. Mobilpun mulai berjalan membawa mereka ke stasiun.
"Masumi kau ingat itu," di tengah perjalanan tiba-tiba Maya menunjuk sebuah padang rumput yang tertutup salju.
Masumi mengulum senyumnya, "Aku tidak akan pernah melupakannya," bisik Masumi. Mereka mengendarai mobil van sehingga tidak enak jika harus bernostalgia di depan semua orang. Tempat yang ditunjuk Maya adalah tempat biasa mereka melihat bintang.
"Andai tidak ada salju," lirih Maya.
Masumi mengusap lembut lengan Maya yang berada dalam dekapannya, "Kita bisa datang saat liburan musim panas,"
"Benarkah?!" Pekik Maya girang. Semua temannya langsung menoleh dan Maya tertunduk malu sementara Masumi hanya bisa tertawa. Rei dan yang lainnya jadi ikut merona malu melihat kemesraan keduanya.
"Kau membuatku malu," bisik Maya.
"Aku? Kau yang berteriak," jawab Masumi.
Maya mendesah panjang lalu kembali bersandar pada suaminya. Mengingat masa lalu membuatnya berpikir panjang, betapa mereka telah melalui banyak hal selama ini. Dalam hati Maya merapal doa semoga hubungannya dengan Masumi akan bahagia selamanya.
Perjalanan mereka cukup panjang. Maya dan Masumi terlihat lelah ketika tiba di rumah menjelang sore hari.
"Bagaimana keadaan ayah?" Tanya Maya.
"Tuan Besar sudah lebih baik. Beliau sedang pergi untuk terapi bersama Tuan Asa," jawab Harada.
"Oh,"
"Tidak apa-apa Maya, mungkin memang lebih baik kalau ayah keluar dan mencari udara segara," kata Masumi menenangkan istrinya.
Maya hanya mengangguk.
"Bibi Harada, tolong buatkan teh untuk kami berdua," pinta Masumi sebelum memasuki kamarnya.
"Baik Tuan," Bibi Harada segera menjalankan perintah tuannya.
Wajah Maya berubah sendu ketika melihat kotak berwarna ungu di atas nakasnya. Itu adalah tiket perjalanan bulan madu ke dua mereka.
"Apa yang kau pikirkan?" Masumi memeluk Maya dan membenamkan ciuman di rambut istrinya.
"Perjalanan bulan madu kedua kita," lirih Maya.
"Kenapa? Kau berubah pikiran?"
"Entahlah Masumi, aku hanya merasa...," Maya terdiam dan menghela napas panjang.
Masumi memutar tubuh Maya menghadapnya, "Maya, Ibu Mayuko sudah beristirahat dengan tenang. Kau jangan terus bersedih. Bukan ini yang beliau harapkan. Kau sendiri sudah membaca surat peninggalan beliau kan?"
"Iya," lirihnya.
"Sudah, ayo duduk. Kau pasti lelah jadi berpikir macam-macam,"
Maya langsung membaringkan dirinya di sofa panjang, "Kau mau mandi sayang?" Tanya Maya. Suaminya duduk di sofa sebelahnya dan seperti biasa sibuk memeriksa email di handphonenya. Pertanyaan Maya mengalihkan perhatiannya, diapun mengulum senyum dan memandang istrinya.
"Kenapa?" Tanya Maya bingung, dia memiringkan tubuhnya.
"Kelihatannya berendam bersama akan menyenangkan,"
Maya terkikik, "Ah, aku tahu apa yang kau pikirkan,"
"Aku akan memijatmu nanti,"
Maya tertawa lalu bangun dan berjalan ke kamar mandi, "Tawaran yang menggiurkan Tuan Hayami,"
Dan saat Bibi Harada datang mebawa teh mereka, keduanya sudah menghilang di dalam kamar mandi.

***
"Anda terlihat baik Nyonya," sapa Rose. Pagi itu Maya sudah kembali ke lokasi syuting. Dia dan Ayumi sudah ijin selama dua hari dan mereka harus mengejar ketertinggalan mengingat beberapa hari lagi adalah liburan tahun baru dan setelah itu mereka harus menjalani syuting di New York.
"Ya, semuanya berjalan dengan baik Rose." Jawab Maya.
"Saya turut berduka cita Nyonya," ucap Rose penuh simpati.
"Terima kasih Rose. Ini yang terbaik bagi Bu Mayuko. Dia pasti sudah bahagia disana bersama Tuan Ichiren,"
"Ya, kita hanya bisa mendoakan yang terbaik,"
Maya mengangguk dan tersenyum.
"Kita akan sibuk sekarang," kata Maya kemudian.
"Sangat," Rose menyeringai pada nyonyanya dan Maya mulai sibuk dengan syutingnya.
Sementara itu di gedung Daito.
"Bagaimana keadaan Nyonya?" Tanya Mizuki.
"Lebih baik. Aku berpikir Maya akan drop sekali dengan kejadian ini tapi ternyata dia cukup kuat. Hari ini dia sudah kembali syuting, semoga kesibukannya bisa mengalihkan kesedihannya." Jelas Masumi seraya meneguk kopi yang baru saja dibawa sekretarisnya.
"Senang mendengar semua baik-baik saja Tuan tapi karena anda sudah pergi selama dua hari maka ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum anda pergi berlibur nanti,"
Masumi mendesah panjang, dia sampai di pokok permasalahan.
"Aku tahu, siapkan semuanya."
"Baik,"

***
Istirahat makan siang di lokasi syuting Maya.
"Ada kiriman paket untuk Nyonya Maya Hayami," seru seorang kru dan seorang kurir datang menghampiri Maya yang sedang duduk di kursinya.
"Dari siapa?" Tanya Rose pada kurir.
"Dari Nona Takamiya," jawab kurir itu.
Rose dan Alex langsung waspada dan Maya langsung berdiri menghampiri kurir.
"Dari Nona Shiori?" Ulang Maya.
"Ya Nyonya, disini tertulis pengirim dari Nona Shiori Takamiya," jawab kurir seraya membaca catatan kecil yang dibawanya. Diapun menyerahkan kotak yang dibawanya pada Maya tapi tiba-tiba tangan Alex terulur.
"Maaf Nyonya, anda tidak bisa-,"
"Tidak apa-apa Alex," potong Maya cepat. Alex dan Rose saling berpandangan.
"Tapi Nyonya-,"
"Rose," potong Maya juga. Dengan kembali tersenyum Maya mengambil kotak dari tangan Alex lalu menandatangani resi pengiriman dan kurir itu pergi.
Maya kembali duduk di kursinya dan membuka kotaknya.
"Wah, cup cake!" Seru Maya senang. Diapun membaca sepucuk pesan yang tersemat di penutup kotak kuenya.

Untuk : Maya A. Hayami

Aku turut berduka cita atas meninggalnya gurumu. Maaf tidak bisa menemuimu secara langsung. Anggap saja cup cake ini pemberian dari teman untuk menghibur hatimu.

Dari : Shiori Takamiya

Maya tersenyum membaca pesannya.
"Nyonya, anda tidak boleh memakan kue itu," kata Alex.
Maya menatap pengawal pribadinya itu dengan alis berkerut.
"Jika dia ingin berbuat jahat padaku apa mungkin dia akan mencantumkan namanya di kartu ini?" Maya mengangkat kartu berwarna pink di tangannya.
"Tetap saja kita tidak boleh lengah Nyonya," Alex bersikeras.
"Sudahlah Alex, kau berlebihan," Maya mengibaskan tangannya.
"Nyonya, tidak ada salahnya jika kita waspada kan?" Kata Rose.
Maya mendengus kesal, "Kau juga Rose?"
"Nyonya, demi kebaikan anda, saya mohon jangan makan kuenya," jawab Rose.
Maya menatap sekotak kue yang ada di pangkuannya dan menghela napas panjang.
Mungkinkah Nona Shiori masih ingin melukaiku? Maya menyangsikan pendapat dua orang kepercayaannya itu. Tapi bagaimana jika kue ini memang berbahaya?
"Ah, kenapa sekotak kue jadi begitu membingungkan!" Keluh Maya seraya menutup kotak kue itu dan menempatkannya di meja.
Alex dan Rose mendesah lega melihatnya. Dengan cepat Alex mengambil kotak itu sebelum Maya berubah pikiran.
"Apa kau akan membuangnya?" Tanya Maya tidak rela, bukan karena kuenya tapi karena itu adalah pemberiaan Shiori.
"Tidak Nyonya, saya akan memeriksanya saja," jawab Alex.
"Setelah itu aku boleh memakannya?" Tanya Maya lagi.
"Nyonya!" Omel Rose.
"Aku hanya tanya Rose," Maya cemberut.
"Saya akan pastikan dulu ini aman," Alex mengangguk pada nyonyanya dan berbalik pergi.
Maya mengendikkan bahunya pada Rose yang masih menatap kesal padanya. Handphone Rose berdering, menejer cantik itu berhenti kesal dan segera menjawab panggilan teleponnya. Nama Masumi muncul di layar.
"Jika sampai Maya makan kue itu, kau akan aku pulangkan ke New York!" Teriakan Masumi membuat telinga Rose berdenging. Dia menjauhkan handphonenya beberapa senti dari telinga.
"Masumi?" Tebak Maya. Rose mengangguk dengan wajah berkerut.
"Aku baik-baik saja! Berhentilah memarahi orang di sekitarku! Aku bukan bayi!" Teriak Maya yang menarik handphone di tangan Rose dan berteriak di depannya. Tanpa menunggu jawaban Masumi, Maya langsung pergi dengan kesal karena sutradara memanggilnya.
"Hei, kenapa istriku?!" Tanya Masumi.
"Marah Tuan," jawab Rose santai.

***
"Lihatkan aku tidak mati," kata Maya kesal seraya memakan cup cake keduanya di depan Masumi. Keduanya tengah dalam perjalanan pulang malam itu.
"Aku tidak mengerti kenapa kau begitu kesal. Aku hanya berusaha melindungimu," jawab Masumi datar.
"Masumi tolong, berhentilah memperlakukan aku seperti bayi. Aku baik-baik saja, Nona Shiori tidak akan menyakitiku," kata Maya putus asa.
"Aku sudah bilang, aku tidak menganggapmu bayi. Aku menyayangimu," sanggah Masumi.
"Tapi aku merasa seperti bayi dengan semua aturan overprotectivemu itu," lirih Maya seraya mengerucutkan bibirnya. Maya menunduk dan menatap jemari di pangkuannya.
Dengan lembut Masumi meraih dagu Maya, membuat mata mereka saling menatap lalu mengecup lembut bibir istrinya. Dia tidak peduli ada Alex dan Fujiwara bersama mereka.
"Aku takut kehilanganmu," bisik Masumi di bibir Maya.
"Masumi, berhentilah berpikiran buruk. Lupakan masa lalu," pinta Maya.
Dengan wajah putus asa Masumi memeluk istrinya, "Maya, aku tidak percaya pada Shiori. Aku tahu catatan kesehatannya, dia masih labil. Membayangkan dia bisa menyakitimu membuatku gila," Masumi mengeratkan pelukannya seolah istrinya itu akan pergi meninggalkannya.
Maya juga mencengkram kemeja di punggung Masumi, meyakinkannya kalau dia masih baik-baik saja disisinya. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
Masumi melepaskan pelukannya dan kembali menatap istrinya.
"Ku pikir kita sudah sepakat mengenai hal ini? Kalau Nona Shiori-,"
"Sstt, aku hanya setuju jika kau bertemu dengannya, tentu dengan pengawasan Alex tapi tidak dengan menerima semua pemberiannya begitu saja. Terutama makanan," Masumi menekankan kalimat terakhirnya dengan jelas.
"Masumi, dia hanya-,"
"Sstt, jangan membantahku untuk yang satu ini, ku mohon," Masumi kembali tidak mengijinkan istrinya protes.
Maya mendesah panjang.
"Jika kau tidak menurut padaku untuk yang satu ini, aku bisa minta bantuan kakakmu,"
Mata Maya melebar, Oh tidak! "Christ?!"
Masumi mengangguk dengan ekspresi wajah serius.
"Kau-," Maya gagal memprotes suaminya. Dia tahu Masumi serius dan jika sampai Christ turun tangan dia semakin sulit bergerak. "Baiklah," Maya mengalah.
Sekali lagi Masumi menarik Maya kedalam pelukannya, "Percayalah aku hanya ingin kau aman,"
"Aku aman Masumi," lirih Maya.

***
"Hei Maya, ku dengar kau akan pergi berlibur saat tahun baru," David mengejutkan Maya. Dia sudah berdiri di belakang Maya yang baru saja keluar dari toilet.
"Ah i, iya," Maya tergagap karena terkejut.
"Kemana kau akan pergi?" David berjalan di sisi Maya menuju tempat Maya beristirahat.
"Kami akan ke Paris," jawab Maya yang langsung berbinar senang. Dua hari lagi dia akan pergi berlibur bersama suaminya.
"Wah, suamimu ternyata sangat romantis. Tahun baru di sana indah," kata David.
"Iya, kami pergi kesana saat bulan madu," jawab Maya dan wajahnya sedikit merona ketika mengingat kenangannya di Paris bersama Masumi.
"Oh," David mengulum senyumnya, "Ku lihat kau sangat bahagia bersama suamimu. Apa kau tidak berniat kembali ke New York? Karirmu akan semakin bersinar disana,"
Maya menggeleng.
"Kau sangat mencintai suamimu ya," David menekan bibirnya menjadi seringai tipis.
"Ya," Maya tersenyum malu menjawabnya.
"Apa tidak sayang kau meninggalkan kehidupanmu bersama keluarga Anderson di New York hanya demi...ya, maksudku apa semua ini sepadan?"
Senyum Maya menghilang, langkah kakinya terhenti dan dia menatap David penuh tanya, "Apa maksudmu?"
"Kau tahu apa maksudku Maya,"
"Tidak David, aku tidak mengerti. Apa maksudmu kau membandingkan suamiku dengan keluarga Anderson?"
"Apa aku salah mempertanyakan hal itu? Menurutku kau tidak layak disini. Kau bisa menjadi bintang besar dan mendapat segala yang kau inginkan di New York,"
Maya membelalak marah, "Aku menghargaimu sebagai seorang teman David tapi bukan berarti kau bisa dengan lancang memberi penilaian atas hidupku."
David tersentak, dia tidak mengira Maya akan bereaksi semarah itu. Sejujurnya dia belum pernah melihat Maya marah.
"Maaf. Ini hidupku dan jangan campuri itu. Permisi," Maya langsung melangkahkan kaki dan setengah berlari meninggalkan David.
"Sial!" David merutuk dengan kedua tangan mengepal kuat.
Maya kembali ke tempatnya beristirahat dan Rose menatap heran nyonyanya yang datang dengan wajah tidak bersahabat. Syuting telah selesai dan besok semua kegiatan sudah diliburkan menjelang tahun baru.
"Semua sudah selesai?" Tanya Maya.
"Sudah Nyonya. Anda kenapa?" Rose balik bertanya.
Maya menggeleng dan menghempaskan dirinya di kursi.
"Kiriman untuk Nyonya Maya,"
Maya menoleh, seorang kurir datang membawa kotak berwarna coklat mengkilat.
"Dari siapa?" Rose menyela. Kurir itu mengenakan seragam yang sama dengan kurir yang mengantar kue untuk Maya kemarin.
"Dari Nona Shiori Takamiya," jawab kurir itu.
"Lagi?" Rose berkerut tidak senang. "Apa nona Shiori Takamiya adalah langganan di toko kalian?"
"Rose," Maya menyela dengan nada memperingatkan.
"Benar, Nona Shiori Takamiya adalah langganan di toko kami," jawab kurir itu lagi.
"Sini," Maya menghentikan Rose yang sudah berniat membuka mulut untuk kembali mengintrogasi sang kurir. Maya dengan cepat menandatangani tanda terima dan membiarkan kurir itu pergi sebelum Rose kembali menyerangnya. Kebetulan Alex sedang membereskan beberapa barang Maya di mobil, jadi kurir itu lebih aman jika langsung pergi.
"Nyonya, kue itu harus diperiksa dulu," Rose memperingatkan ketika Maya membuka kotak kuenya. Tapi Maya mengabaikannya dengan membaca pesan di sudut kotak.

Untuk : Maya A. Hayami

Semoga kau menyukainya.

Dari : Shiori Takamiya


Pesan yang singkat. Maya mengendikkan bahunya membaca pesan itu dan menatap cheese cake yang sudah dipotong dan tersusun cantik dengan hiasan strawbery dan daun mint.
"Nyonya tidak akan memakannya kan?" Rose memastikan.
"Iya, iya. Alex akan memeriksanya." Jawab Maya. Dia ingat ancaman Masumi. Membayangkan Christ ikut campur dalam urusan pengamanan membuatnya bergidik. Rose terlihat lega, ketika Maya menutup kotak kue dan meletakkannya di meja. Sejenak tertegun menatap kotak kue, Maya hanya bisa mendesah panjang.
"Saya akan memanggil Alex," kata Rose.
Maya mengangguk, Rose setengah berlari menyusul Alex di tempat parkir. Maya tengah mengamati para kru yang terlihat sibuk membereskan semua peralatan. Ayumi dan Koji sudah pulang lebih dulu karena mereka memiliki janji dengan pasangan masing-masing.
Kruyuk! Maya mengerucutkan bibir sambil mengelus perutnya.
Ah, aku lapar.
Diapun melirik jam tangan.
Tidak biasanya Masumi terlambat.
Maya akhirnya melirik lagi kotak kue di meja. Diapun membukanya dan mengambil sepotong. Tidak berpikir lagi, Maya memakan potongan cheese cake di tangannya. Dia yakin Shiori tidak akan mencelakainya. Rose kembali bersama Masumi juga Alex tepat saat Maya sudah menghabiskan potongan kuenya.
Dengan senyum mengembang Maya menyambut suaminya.
Masumi tersenyum, "Kita pulang sekarang?"
"Ya," Maya memeluk lengan suaminya dan dengan riang mengikuti langkah Masumi. Namun baru saja Maya berjalan beberapa langkah, dia merasa pusing. Masumi merasakan tangan Maya melonggar di lengannya.
"Kau kenapa?" Masumi terkejut melihat Maya diam melepaskan tangannya dan mengeratkan mata.
"Uugghh!" Maya menekan perutnya yang tiba-tiba terasa sakit. Dia juga merasa mual.
"Ugh...aku mau muntah," lirih Maya yang sepertinya kesulitan menahan rasa mualnya. Kedua tangannya tertangkup di mulut.
"Nyonya!" Rose dan Alex juga langsung siaga.
Wajah Maya seketika memucat dan keringat dingin membasahi keningnya. Maya merintih kesakitan menekan perutnya. Beberapa kru juga mendekat karena melihat Maya kesakitan. Suasana menjadi kacau.
Rose menoleh pada kotak kue lalu berlari ke meja dan membukanya. Matanya langsung melebar. "Tuan! Nyonya memakan kuenya!" Seru Rose panik.
"Uugghh," Maya limbung.
"Maya!" Masumi dengan cepat menahan tubuh Maya yang oleng, "Cepat muntahkan kuenya Maya!" bentak Masumi begitu menyadari apa yang terjadi pada istrinya.
Tidak sanggup menahan lagi, Maya memuntahkan isi perutnya. Keringat dingin semakin deras membasahi keningnya.
Masumi mulai panik melihat Maya semakin lemas dalam pelukannya.
"Sa...kit...Masu...mi...perut...ku...arghh!"
"Oh tidak!" Masumi segera mengangkat Maya dalam lengannya dan mengabaikan para kru yang kebingungan melihat Maya. Dia dan Alex segera berlari ke mobil. Rose mengikuti di belakang mereka dengan membawa kotak kue. Beruntung tidak ada wartawan di lokasi syuting, sehingga Maya aman dari para kuli tinta yang selalu haus berita.
"Aarrgghh!" Air mata Maya mengalir menahan perutnya yang sakit, bahkan sekarang dia kesulitan bernapas.
"Fujiwara! Ke rumah sakit!" Teriak Masumi ketika memasuki mobil bersama Alex dan Rose. Maya meringkuk kesakitan dalam pelukannya.
"Maya, bertahanlah," lirih Masumi penuh kecemasan.
"Se...sak...ssa...kit...," Maya kembali merintih di ambang sadarnya.
"Ku mohon bertahanlah," Masumi mengeratkan pelukannya. Tapi Maya tidak kuat lagi menahan sakitnya, dia sudah tidak sadar ketika mobil sampai di rumah sakit.
"Sial!" Masumi menghantamkan tinju ke dinding. Maya masih berada di emergency room.
"Maaf Tuan," Rose dan Alex terlihat menyesal.
"Bukan salah kalian. Maya memang keras kepala dan terlalu percaya pada Shiori," jawab Masumi. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya.
"Shiori," desis Masumi marah. Kedua tangan Masumi mengepal kuat. Kemarahannya di sela oleh dokter yang keluar dari ruang emergency room.
"Tuan Masumi,"
"Bagaimana keadaan istri saya dokter Yamada?"
"Hasil laboratorium menunjukkan ada racun arsenik dalam kue yang dimakan Nyonya Maya. Beruntung jumlahnya tidak banyak dan sebagian sudah dimuntahkan. Kami sudah mengeluarkan sisa racun dari lambungnya." Jelas Yamada dengan wajah serius.
"Racun arsenik?" Masumi terlihat shock kali ini.
"Benar tapi Nyonya Maya ditangani tepat waktu, meski kondisinya masih lemah tapi secara garis besar semua organ vitalnya stabil. Racunnya belum menyebar ke liver dan ginjalnya, hanya saja kemungkinan besar akan berdampak pada lambung. Kami akan terus memantau perkembangannya," tambah dokter Yamada.
"Boleh saya melihatnya?" Kecemasan masih mewarnai wajah Masumi.
"Tentu, kami akan segera memindahkannya ke kamar rawat," Yamada mengangguk hormat lalu kembali masuk ke emergency room.
Masumi menghela napas berusaha menenangkan dirinya sendiri. Hatinya masih merutuki Shiori. Dengan gelisah Masumi menyisir rambut dengan jari panjangnya.
"Alex, temui Hijiri sekarang dan cari tahu mengenai semua ini. Temukan bukti yang kuat dan aku akan buat wanita itu membayar semuanya," tatapan tajam Masumi cukup menggaris bawahi betapa pentingnya tugas yang diberikan.
"Baik Tuan."

***
"Sudah malam, pulanglah Rose. Aku akan menjaga Maya,"
Rose menatap bosnya yang masih terlihat cemas duduk di tepi tempat tidur Maya.
"Baik, anda bisa hubungi saya kapan saja jika memerlukan bantuan Tuan,"
"Terima kasih Rose," Masumi menekan bibirnya menjadi garis tipis.
Rose mengangguk hormat sebelum pergi meninggalkan kamar Maya.
Masumi kembali hanya bisa menatap sedih istrinya yang masih belum sadar. Maya begitu pucat, selang infus tersemat di lengannya dan dia juga masih menggunakan bantuan selang oksigen. Dengan lembut Masumi mengusap punggung tangan istrinya, mengecupnya dan menggumamkan sebuah doa agar istrinya baik-baik saja.
Maafkan aku, lagi-lagi aku gagal melindungimu sayang
Masumi mengusap penuh sayang kepala Maya.
"Bangunlah sayang, aku tidak tahan melihatmu seperti ini," dan kalimat itu seperti sebuah mantra, Maya membuka matanya. Sepasang mata bulat itu memandang sendu.
"Syukurlah kau sudah sadar," Masumi mengecup kening istrinya, lega.
"Masu...mi,-"
"Sstt, jangan banyak bicara dulu. Aku akan panggil dokter," dengan cekatan Masumi menekan tombol panggil di atas tempat tidur Maya.
"Maaf," lirih Maya, air mata mulai menetes di sudut matanya. Dia menyesal tidak menghiraukan peringatan suaminya.
"Hei, jangan menangis," menyeka air mata dengan ibu jari, Masumi mengecup sudut mata Maya, "Aku lega melihatmu bangun," bisik Masumi.
Dokter Yamada dan perawat yang masuk mengalihkan perhatian keduanya. Masumi segera menyingkir dari sisi Maya dan memberi ruang untuk dokter memeriksa istrinya.
"Selamat malam Nyonya Maya." Sapa dokter ramah sebelum memeriksa kondisi Maya secara keseluruhan. Maya hanya tersenyum menjawabnya.
"Apa yang anda rasakan sekarang?" Tanya Yamada seraya menekan beberapa bagian perut Maya.
"Pusing, sakit, mual," jawab Maya lirih.
Yamada mengangguk dan mengatakan sesuatu pada perawat mengenai jenis obat atau semacamnya.
"Anda akan menjalani beberapa pemeriksaan besok jadi saya sarankan beristirahatlah dengan baik malam ini. Tolong panggil perawat jika perut anda sakit dan terus mual," Yamada tersenyum di ujung kalimatnya.
"Terima kasih," ucap Maya masih dengan suara lirihnya.
"Selamat malam, selamat beristirahat Tuan, Nyonya,"
"Terima kasih dokter," Masumi mengangguk ketika dokter meninggalkan ruangan. Diapun kembali duduk di tepi tempat tidur Maya, menggenggam tangannya.
"Istirahatlah,"
"Maaf...seharusnya aku...mendengarkanmu," kata Maya lagi dengan suara terputus-putus.
"Sstt, jangan pikirkan hal itu." Masumi menenangkan.
"Sungguh...aku menyesal," lirih Maya lagi.
Masumi menghela napas pajang, "Jadi lain kali kau akan mendengarkanku?"
Maya mengangguk.
"Bagus,"
"Tapi...bukan Nona Shiori...yang berniat mencelakaiku,"
Kening Masumi berkerut mendengar perkataan Maya. Istrinya itu masih saja membela Shiori.
"Jangan bicarakan hal itu sekarang. Kau harus istirahat. Kesehatanmu lebih penting," kata Masumi.
Maya menghela napas perlahan, "Aku...yakin," katanya, masih berusaha meyakinkan suaminya.
"Hei, kau bilang akan mendengarkanku sekarang?"
Maya terdiam. Masumi mengusap kening Maya.
"Jangan beritahu Christ...juga mama dan papa,"
Masumi tersenyum, "Tidurlah sayang,"

***
Untuk : Masumi

Tolong temui aku pukul satu siang di Hotel Tokyo kamar 25-15.

Dari : Shiori


Masumi meremas kertas memo ditangannya. Masih pukul tujuh pagi tapi Mizuki sudah datang ke rumah sakit karena sebuah memo yang baru saja di terimanya di kantor. Keduanya berbicara di koridor depan kamar Maya.
"Siapa yang mengirimkannya?"
"Seorang kurir,"
"Aku tidak mau menuduhnya tanpa bukti yang kuat tapi kenapa justru dia seperti menyerahkan diri," Masumi menggeleng kesal dengan semua teka-teki mengenai Shiori dan racun arsenik yang diberikan pada Maya.
"Apa anda akan datang?" Tanya Mizuki.
"Ya, aku ingin tahu apa yang diinginkannya. Rahasiakan hal ini dari Maya," dia membuang memo itu ke tempat sampah lalu kembali ke kamar diikuti oleh Mizuki.
Maya ternyata sudah bangun dan dia menatap heran Mizuki yang menurutnya datang terlalu pagi.
"Selamat pagi Nyonya, bagaimana keadaan anda?" Mizuki memberi salam.
"Baik...terima kasih...Nona Mizuki," jawab Maya lirih.
Maya melirik Masumi yang berdiri di sisi tempat tidurnya, wajah tegang suaminya membuat Maya curiga.
Masumi kemudian tersenyum menatap istrinya, "Bagaimana keadaanmu?" Masumi menoba mengalihkan perhatian Maya.
"Ada apa?" Maya mengabaikan pertanyaan Masumi.
Masumi menautkan alisnya.
"Apa terjadi...sesuatu?" Tanya Maya lagi.
"Tidak sayang, tidak ada apa-apa. Tidak ada yang perlu kau khawatirkan," Masumi membelai kepala istrinya. "Sekarang bagaimana keadaanmu?"
"Lebih baik," jawab Maya masih dengan suara lirihnya.
"Sebaiknya saya segera kembali ke kantor Tuan," Mizuki menyela percakapan keduanya.
"Terima kasih Mizuki, maaf merepotkanmu," ucap Masumi.
"Senang bisa membantu, Tuan." Jawab Mizuki. Dia beralih menatap Maya, "Semoga anda cepat sembuh Nyonya,"
"Terima kasih," Maya tersenyum dan Mizuki mengangguk hormat lalu pergi.
"Selamat pagi Tuan, Nyonya," seorang perawat masuk dan menyapa dengan ramah. Masumi bergeser dari sisi Maya, memberikan ruang untuk perawat yang memeriksa Maya. Dia mengukur suhu tubuh dan tekanan darah Maya. Dari sisi lain tempat tidur Masumi menggenggam tangan Maya dan mengusapnya lembut. Tiba-tiba tangan Maya meremas kuat tangan Masumi.
"Maya?" Masumi terkejut.
"Ada apa nyonya?" Tanya salah seorang perawat sambil melepas alat pengukur tekanan darah dari lengan Maya. "Apa perut anda sakit?"
Maya mengangguk.
"Apa mual juga?"
Maya mengangguk lagi.
"Saya akan panggil dokter," kata perawat itu sebelum pergi. Wajahnya terlihat serius.
Maya meremas lagi tangan Masumi ketika nyeri di perutnya kembali datang. Matanya mengerat menahan nyeri.
"Oh sayang," Masumi mengusap wajah Maya. Lebih sakit baginya melihat Maya kesakitan, andai bisa dia ingin bertukar tempat dengan istrinya. "Maafkan aku Maya,"
Maya membuka matanya lalu menggeleng pada Masumi, "Bukan salahmu...aku yang-,"
"Sstt, aku yang gagal melindungimu sampai kau terluka seperti ini," penyesalan tersirat dengan jelas di wajah Masumi.
Air mata Maya mulai menetes, bukan hanya karena nyeri di perutnya tapi juga karena hatinya sakit melihat suaminya sedih. Ibu jari Masumi menyeka air mata Maya.
"Ku mohon, jangan menangis," dengan lembut Masumi mengecup kedua mata Maya. Suara pintu terbuka membuat Masumi menarik dirinya. Dokter Yamada datang bersama perawat yang tadi memeriksa Maya.
Tidak basa-basi lagi dokter Yamada segera memeriksa Maya.
"Ugh," Maya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
"Muntahkan saja Nyonya," kata dokter.
Dibantu Masumi Maya memiringkan tubuhnya dan memuntahkan cairan kuning ke dalam sebuah wadah yang sudah disiapkan perawat. Masumi makin miris melihatnya. Maya terlihat lemas ketika selesai menguras isi perutnya.
"Dokter Yamada, kenapa Maya masih kesakitan seperti ini?" Tanya Masumi khawatir.
"Racunnya melukai lambung dan mengakibatkan luka. Akibatnya produksi asam lambung juga meningkat dan membuat lambung Nyonya sakit juga terus mual." Jelas dokter Yamada.
Maya hanya bisa diam mendengarnya. Rasa sakit yang dirasakannya tidak sebanding dengan penyesalannya karena tidak menghiraukan peringatan Masumi. Hal lain yang dikhawatirkannya adalah siapa yang berniat mencelakainya? Dia yakin bukan Shiori tapi siapa orang yang menggunakan nama Shiori? Orang itu pasti tahu semua tentang masa lalunya dengan Shiori dan hal itu sangat mengganggu Maya. Pikiran Maya kembali teralihkan ketika Masumi meremas tangannya, wajahnya mengeras penuh kekhawatiran.
"Aku baik-baik saja," lirih Maya diiringi sebuah senyum manis. Bukan Maya namanya jika dia tidak bisa menutupi rasa sakitnya dengan akting yang sempurna.
"Jangan berakting di depanku sayang," Masumi putus asa melihat keadaan istrinya.
"Nyonya akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut pagi ini," sela dokter Yamada.
"Lakukan semua yang terbaik untuk istri saya dokter,"
"Tentu Tuan Masumi," dokter memerintahkan perawat untuk mempersiapkan semuanya dan keduanya meninggalkan ruangan.
Sejenak Masumi teringat janjinya dengan Shiori dan dia membutuhkan bantuan Rose untuk menjaga Maya selama dia pergi. Dia juga belum memberitahu ayahnya mengenai kondisi Maya, tidak juga dengan Christ atau kedua orang tuanya.
"Masumi,"
"Ah, ya sayang?"
"Kenapa melamun?"
"Tidak apa-apa, aku hanya sedang mengkhawatirkanmu,"
"Aku baik-baik saja,"
Masumi langsung berwajah masam, "Kau dengar apa yang dikatakan dokter tadi? Apanya yang baik?"
"Aku akan minum obat dengan baik agar cepat sembuh," kata Maya menenangkan suaminya.
"Andai aku bisa menggantikan sakitmu,"
"Aku mohon...maafkan aku...karena bertindak ceroboh,"
Masumi menyimpulkan senyum dan mengusap lembut wajah Maya, "Berhentilah meminta maaf sayang. Aku tidak akan menyalahkanmu."
Maya tertegun, dia teringat sesuatu.
"Ada apa? Sakit?" Masumi kembali cemas.
Maya menggeleng, "Aku teringat sesuatu."
"Apa?"
"Bulan madu kedua kita...seharusnya kita pergi besok," lirih Maya sedih.
Ah iya! Masumi baru ingat akan rencana liburan bulan madu kedua mereka. Sakit Maya membuatnya melupakan semuanya.
"Kita bisa pergi setelah kau sembuh," sahut Masumi.
"Tapi setelah liburan tahun baru...aku harus ke New York...untuk syuting," jawab Maya masih dengan nada terputus-putus.
Nah itu juga yang aku khawatirkan. Apa iya Maya sudah sembuh saat harus syuting di New York?
"Masumi?"
"Sudah tidak usah terlalu dipikirkan. Sekarang yang terpenting adalah kesehatanmu,"
Maya menatap sendu pada suaminya.
"Selamat pagi. Maaf Tuan, bisa tolong tunggu di luar. Kami akan mengganti pakaian Nyonya untuk bersiap ke ruang pemeriksaan," dua orang perawat datang dan menghentikan obrolan keduanya.
"Kenapa aku harus di luar? Aku kan suaminya," Masumi terlihat keberatan meninggalkan istrinya.
"Masumi," kata Maya malu sementara kedua perawat itu menahan diri untuk tidak terkikik geli.
"Maaf Tuan, jika anda memang ingin menunggui Nyonya silakan saja tapi tolong beri kami ruang untuk membersihkan Nyonya," jawab salah seorang perawat.
"Tentu, aku akan menunggu di sini," Masumi bergeser beberapa langkah menjauh dari tempat tidur sementara seorang perawat lain menutup tirai di sekelilingnya. Masumi mengabaikan Maya yang terlihat tidak setuju, mengingat bahwa ada orang yang ingin mencelakai Maya membuat Masumi semakin protective pada istrinya.
Maya melirik suaminya ketika perawat membuka seluruh pakaiannya dan mulai membersihkan tubuhnya. Menelan ludah perlahan, Masumi tidak berpikir akan melihat istrinya polos. Diapun menghela napas perlahan, bukan waktunya memikirkan hal aneh sementara istrinya masih sakit, ya meski melihat tubuh Maya cukup menggodanya. Masumi pura-pura sibuk dengan handphonenya ketika Maya kembali meliriknya dengan wajah merona malu.

***
"Kenapa kau tidak bilang kalau Maya sakit?!" Seru Eisuke kesal ketika tiba di rumah sakit. Maya tengah istirahat setelah menjalani pemeriksaan, Masumi dan ayahnya bicara di ruang tamu kamar rawat Maya.
"Maya tidak ingin ayah khawatir," jawab Masumi.
"Apa maksudnya tidak ingin aku khawatir? Dia menantuku tentu saja aku khawatir dengan kesehatannya," kata Eisuke lagi.
"Tenanglah Ayah, Maya bisa terbangun kalau ayah marah-marah disini," Masumi menggeleng kesal melihat ayahnya yang makin hari makin senang mengomel. Mungkin karena faktor usia.
Eisuke memasang wajah masam meski berhenti mengomel, "Aku ingin melihat Maya," katanya kemudian.
Masumi membuka pintu kamar dan mempersilakan ayahnya masuk bersama Asa.
"Dia terlihat lemah sekali," komentar Eisuke melihat menantu kesayangannya terbaring di tempat tidur dengan selang infus dan oksigen yang terpasang.
"Dia belum bisa makan dan terus saja muntah sejak pagi tadi," jawab Masumi.
Eisuke mengeratkan rahang, "Apa kau sudah tahu siapa yang meletakkan racun di dalam makanan Maya?"
Masumi terkejut dan langsung menoleh pada ayahnya, "Ayah tahu?!" Desisnya.
"Tentu saja aku tahu. Kau pikir karena aku sudah tua, aku akan melewatkan semua informasi? Aku bahkan tahu Shiori sudah kembali dan kau melarangnya bertemu denganku juga Maya,"
"Jadi ayah masih memata-mataiku juga Maya?" Kata Masumi kesal.
"Tidak. Hanya tidak rela kau mengelabuiku dan berakting semua baik-baik saja," kilah Eisuke.
Masumi menghela napas panjang dan kembali menggeleng melihat ayahnya.
"Jadi kau belum tahu siapa yang meracuni Maya?" Eisuke mengulangi pertanyaannya.
"Hijiri dan Alex masih mencari tahu,"
Eisuke terlihat mengangguk-angguk, "Dalam hal ini tidak mungkin Shiori," celetuknya.
Masumi mengerutkan kening.
"Bukan membelanya tapi akan sangat bodoh baginya meracuni kue yang dikirim dengan namanya untuk melukai Maya," jelas Eisuke ketika melihat kerutan di wajah putranya.
"Ya, ayah memang benar tapi aku tidak akan mengabaikan kemungkinan sekecil apapun," jawab Eisuke.
"Ya, kita memang harus waspada,"
Keduanya kemudian terdiam dan menatap Maya yang tertidur.
"Baiklah aku pulang sekarang. Maya akan khawatir padaku kalau dia tahu aku datang."
"Ya ayah. Terima kasih sudah menjenguk Maya," ucap Masumi sopan.
Eisuke menyeringai tipis, "Jaga dia Masumi. Kalau saja kau bukan suaminya mungkin aku sudah marah besar sekarang karena membiarkan menantu kesayanganku sampai terluka,"
Mata Masumi membulat. Apa-apaan dia? Akukan anaknya.
"Iya, iya. Aku juga sama marahnya denganmu," celetuk Masumi dengan kesal.
Eisuke meninggalkan kamar Maya dan berpapasan dengan Rose di ruang tamu. Rose mengangguk hormat pada Eisuke.
"Selamat siang Tuan Masumi," sapa Rose.
"Siang Rose," balas Masumi.
"Bagaimana keadaan Nyonya?" Tanyanya seraya mengikuti Masumi berjalan masuk ke kamar Maya.
"Belum banyak perubahan. Lambungnya terluka dan dia terus saja muntah dan tidak bisa makan," Masumi berdiri bersebelahan dengan Rose di ujung tempat tidur Maya.
"Anda akan pergi?" Rose menoleh pada atasannya.
"Iya, ada urusan yang harus aku selesaikan. Aku butuh bantuanmu untuk menjaga Maya. Alex akan siaga di luar dan ingat tidak boleh ada wartawan atau tamu tidak di kenal menemui Maya," jelas Masumi.
"Tentu Tuan," jawab Rose meyakinkan.
Masumi berjalan ke sisi Maya dan melandaikan tubuhnya mengecup kening Maya. "Aku pergi sebentar sayang," bisik Masumi. Dia tahu Maya tidak mendengar karena dokter memberinya obat tidur agar Maya bisa beristirahat dengan lebih maksimal.
Rose tersenyum penuh haru melihat Masumi yang begitu mencintai istrinya.
"Apa yang harus saya katakan pada Nyonya mengenai kepergian anda?" Tanya Rose. Jelas Maya butuh alasan tepat nanti jika tidak melihat suami overprotectivenya.
Masumi tertegun sejenak saat mengambil jasnya, "Katakan aku pergi ke Daito karena ada urusan mendesak,"
Rose mengangguk, "Baik,"
Masumi juga membalas anggukan Rose dan segera pergi meninggalkan kamar. Berharap bisa segera kembali sebelum istrinya terbangun.

***
Mobil Masumi terparkir di basement Hotel Tokyo. Dia tidak datang sendiri. Hijiri menemaninya untuk mengantisipasi semua hal yang mungkin saja terjadi. Dia belum sepenuhnya percaya pada Shiori.
"Apa anda yakin akan menemui Nona Takamiya sendirian?" Hijiri terlihat khawatir dengan rencana tuannya itu.
"Ya, aku hanya ingin tahu apa sebenarnya maksud Shiori." Jawab Masumi tenang.
"Ini benar-benar aneh. Kami sudah mengecek nomor telepon masuk di toko kue. Kue itu memang jelas di pesan oleh Nona Takamiya tapi terasa ganjil jika kue itu sengaja diberi racun. Kami sendang menyelidiki chef dan kurir yang mungkin saja terlibat dalam teka-teki ini tapi sayangnya belum ada petunjuk apapun," Hijiri terlihat kesal karena belum menemukan petunjuk apapun mengenai tugasnya.
"Ayah juga sepertinya belum menemukan apapun mengenai hal ini,"
"Tuan besar?!" Hijiri terdengar terkejut mendengar Eisuke turun tangan dalam masalah ini.
Masumi menoleh pada Hijiri dan memberikan seringai tipis padanya, "Seperti biasa Hijiri, dia selalu mau tahu apa yang terjadi pada kami."
Hijiri tersenyum mendengarnya. "Tuan Besar sudah banyak berubah." Komentarnya.
"Ya berubah semakin menyebalkan jika menyangkut Maya. Orang tua itu lebih sayang pada Maya daripada denganku."
Hijiri tertawa.
"Menggelikan bukan? Sebuah ironi mengingat dulu dia berniat membunuh Maya demi sebuah hak pementasan," Masumi sempat bergidik mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
"Beliau juga merasa bersalah," kata Hijiri.
"Aku tahu,"
Keduanya terdiam untuk sesaat. Masumi seperti berpikir tentang sesuatu. Diapun melihat jam tangannya.
"Sudah waktunya, aku harus pergi sekarang," Masumi bersiap turun dari mobil.
"Hati-hati Tuan," kecemasan terselip dalam nada suara Hijiri.
Sejenak Masumi memandang ragu pengawal terbaiknya itu, "Jika dalam waktu satu jam aku tidak juga kembali tanpa kabar apapun, maka kau harus segera menyusulku ke atas," pesan Masumi kemudian.
"Baik Tuan." Hijiri mengangguk mantap.
Masumi segera ke luar dari mobil dan berjalan menuju lift. Mata Hijiri mengekor hingga tuannya itu tidak lagi terlihat.
Masumi berdiri dengan gamang di depan pintu sebuah kamar dengan tulisan 25-15. Memantapkan hatinya, Masumi akhirnya mengetuk pintu. Dua kali ketukan dan pintu tidak juga terbuka. Masumi kembali mengetuk pintu, tidak ada respon dan kening Masumi berkerut karenanya. Sekali lagi dia mengetuk pintu, hasilnya tetap sama. Akhirnya dikejar rasa penasaran Masumi memberanikan diri membuka pintu. Dia sempat tersentak ketika tahu pintu ternyata tidak dikunci. Masumi melangkah masuk.
Aneh? Kenapa kamarnya gelap?
Pintu di belakangnya tiba-tiba tertutup. Bug! Sebuah pukulan keras di tengkuk Masumi membuatnya tergeletak di lantai.

***
"Unghhh," Maya merintih ketika bangun dari tidurnya. Sontak saja Rose segera beranjak dari kursinya dan menghampiri nyonyanya.
"Anda baik-baik saja Nyonya?" Tanya Rose khawatir.
Maya mengerjap beberapa kali melihat Rose yang berdiri di sebelahnya, "Rose?" Tanyanya lirih namun bingung dengan keberadaan menejernya. "Kau disini?"
"Tuan meminta saya menjaga anda," jawab Rose.
"Masumi?" Kening Maya berkerut, tidak mengerti.
"Tuan ada urusan mendadak di kantor Daito. Beliau tidak mau membangunkan anda tadi makanya saya juga membiarkan anda istirahat," jelas Rose kemudian. Perkataannya mengurai kerutan di wajah Maya.
"Pasti ada sesuatu...yang terjadi," Maya terlihat begitu lesu.
"Sesuatu?" Sekarang giliran Rose yang tidak mengerti.
"Tadi...pagi-pagi sekali...Nona Mizuki datang," jelas Maya masih dengan suara terputus-putus.
"Saya yakin apapun itu Tuan akan menyelesaikannya dengan baik. Jadi Nyonya tidak perlu khawatir. Sekarang yang terpenting adalah kesehatan anda," Rose mencoba menenagkan Maya.
Maya bergeser tidak nyaman di tempat tidurnya dan menekan perutnya sambil mengeratkan mata.
"Anda baik-baik saja?" Rose kembali cemas.
Maya membuka matanya dan mengangguk lemah, "Rose...maaf," lirih Maya.
"Maaf?"
"Karena tidak...menuruti nasehatmu,"
Rose tersenyum. Dia tahu Maya sangat menyesal sekarang, "Nah, jadi lain kali anda akan lebih berhati-hati bukan?" Godanya.
"Aku merepotkanmu...dan Masumi karena ceroboh," keluh Maya pada dirinya sendiri.
"Anda tidak boleh berkata seperti itu. Tuan sangat mengkhawatirkan anda Nyonya, begitu juga saya. Jadi jangan beranggapan bahwa anda merepotkan." Rose mengusap lembut lengan Maya.
Senyum tipis mengembang di bibir pucat Maya. "Terima kasih," gumamnya.
Rose hanya tersenyum menjawabnya. Pintu kamar yang diketuk menyela keduanya. Alex masuk dan memberikan senyum pada Maya.
"Teman-teman anda dari teater Niji datang berkunjung." Lapornya.
Maya melirik Rose bingung, "Mereka tahu?"
"Rei menelepon saya pagi tadi dan bertanya kenapa handphone anda tidak bisa dihubungi. Dia hanya tahu anda sakit tapi tidak tahu sebabnya," jelas Rose. Meninggalnya Mayuko dan padatnya jadwal syuting tentu menjadi alasan masuk akal menurunnya kesehatan Maya sehingga bisa terbaring di tempat tidur rumah sakit.
"Oh,"
"Anda yakin cukup kuat untuk menemui mereka?"
Maya mengangguk.
Mereka pasti juga bisa menghibur Maya. "Alex, persilakan saja mereka masuk," kata Rose.
Alex mengangguk dan berbalik pergi. Senyum Maya mengembang ketika melihat Rei, Mina, Taiko dan Sayaka datang dengan membawa bunga dan parsel buah untuknya.

***
Empat puluh lima menit berlalu dan Hijiri terlihat cemas menunggu di dalam mobil. Sekali lagi melihat handphonenya, tidak juga ada kabar dari Masumi.
Tuan, apa anda baik-baik saja?
Mengingat bahwa Shiori pernah menembakkan dua peluru dan hampir saja menghilangkan nyawa Masumi membuat Hijiri makin cemas. Satu jam. Dia harus menunggu satu jam sesuai dengan instruksi Masumi. Hijiri pun memutuskan untuk menunggu sebentar lagi meski hatinya sudah tidak tenang.
Detik berlalu begitu lambat bagi Hijiri. Dia mengetukkan sepuluh jarinya dengan tidak sabar pada kemudi. Hatinya makin tidak tenang karena handphonenya juga menunjukkan kesunyian yang sama. Ketika tepat satu jam dia menunggu, Hijiri segera melompat keluar dari mobil dan tergesa menuju lift. Tidak juga ada kabar dari tuannya dan itu berarti sesuatu telah terjadi.
Kurang dari lima menit, Hijiri sudah berdiri di depan pintu kamar dengan nomor 25-15. Shiori pernah melihat dirinya ketika menyelamatkan Maya dulu sehingga kali ini dia tidak perlu repot menyamar. Hijiri mengetuk pintu dan keningnya berkerut dalam karena tidak ada respon. Yakin sesuatu hal telah terjadi, dia segera memutar handel pintu dan terkesiap ketika tahu pintu tidak dikunci. Hijiri masuk ke kamar hotel mewah itu dan terlihat waspada mengawasi sekeliling ruangan yang gelap. Senjata sudah siap di balik jasnya. Meraba dinding untuk menghidupkan saklar lampu, mata Hijiri melebar seketika saat lampu akhirnya menyala.
Tuan?!
Hijiri berlari ke tempat tidur dan terlihat gamang dengan apa yang ada di depan matanya. Masumi dan Shiori tidur dengan saling berpelukan di bawah selimut dan...tanpa pakaian. Menyapukan lima jari ke rambut panjang yang menutupi wajahnya, Hijiri bingung. Namun akhirnya dia mengulurkan tangannya dan mengguncang perlahan bahu Masumi.
"Tuan, tuan Masumi,"
Masumi bergeming dan Hijiri kembali mengguncang bahu Masumi dengan lebih keras. Alhasil kedua orang yang Hijiri tahu tidak berpakaian di bawah selimut itu terbangun.
"Ugh!" Keduanya melenguh bersamaan.
Hijiri berdiri disisi tempat tidur menatap penuh tanya pada dua orang yang entah bagaimana bisa dalam keadaan yang tidak pantas itu. Masumi dan Shiori yang mulai bangun saling menatap bingung. Mata Masumi melebar dan mengumpat dengan keras ketika menyadari apa yang terjadi. Shioripun segera beringsut menjauh dari Masumi dengan menarik selimut menutupi tubuh polosnya, membuat Masumi setengah telanjang dibuatnya.
Hijiri bergerak cepat mengambil jubah mandi dan memberikannya pada Masumi. Baju keduanya berserak di lantai.
"Apa-apaan ini?" Desis Masumi sarat amarah ketika sudah berpakaian. Otaknya mulai bekerja setelah kejutan hebat yang dialaminya ketika membuka mata.
Shiori duduk di kursi dengan pakaian lengkap terlihat sama bingungnya, air mata sudah membanjiri matanya.
"Jangan menangis Shiori! Katakan kalau ini memang rencanamu?!" Bentak Masumi kemudian.
"Ti, tidak Masumi. Sungguh, aku tidak tahu apa-apa," kata Shiori terbata.
Hijiri berdiri tidak jauh dari Masumi yang mondar mandir dalam ruangan dengan bingung. Dia menatap Shiori yang terduduk di kursi dengan ekspresi shock yang sama dengan tuannya. Meski begitu dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Masih terlalu dini untuk menyimpulkan semuanya.
"Sial!!" Rutuk Masumi lagi. Menghempaskan dirinya di kursi dengan keras, dia menarik rambutnya karena frustasi. "Apa yang sudah terjadi antara kita?" Desisnya dengan nada lirih yang berat.
"Entahlah, aku juga tidak tahu tapi sepertinya kita tidak melakukan apapun. Aku...sudah memeriksa diriku tadi," Shiori menunduk malu dan tampak mengeratkan kedua tangannya menggenggam sapu tangan di pangkuannya.
Masumi dan Hijiri saling bertatapan bingung.
"Apa sebenarnya rencanamu Shiori?" Tanya Masumi dengan nada tajam. Matanya menatap lurus ketika Shiori mengangkat wajahnya.
"Rencana? Tidak Masumi. Kau salah paham. Aku datang ke tempat ini karena menerima undangan darimu," jelas Shiori.
"Apa maksudmu? Aku tidak pernah mengundangmu!" Masumi kembali berdiri dengan marah, "Jangan mengarang cerita Shiori! Kau yang mengirim kue pada Maya untuk mencelakainya dan sekarang kau menjebakku di sini. Apa sebenarnya maumu?!" Raung Masumi penuh amarah. Kejadian yang baru saja menimpanya membuat logikanya mengabur.
Shiori terhenyak di kursinya. Air mata deras mengalir dari matanya. "Aku tidak pernah ingin melukai Maya. Aku mengiriminya kue karena aku tahu dia suka kue manis," Shiori menjelaskan maksudnya.
"Dan kue yang kau kirim itu beracun!" Bentak Masumi.
"Apa?! Beracun? Tidak...mungkin," Shiori langsung berdiri dari kursinya dan menggeleng keras pada Masumi.
"Jangan membodohiku! Sekarang Maya sedang terbaring di rumah sakit karena pendarahan lambung akibat racun arsenik dalam kue yang kau kirim," Masumi menatap marah wanita yang berdiri di hadapannya. "Dan sekarang kau menjebakku di tempat ini," desis Masumi lagi.
"Ti, tidak, sungguh...aku-," Shiori berkerut di bawah tatapan tajam Masumi.
"Ingat Shiori, aku masih diam sampai sekarang karena aku memandang Tuan Besar tapi jika kau terus berulah seperti ini maka aku tidak akan segan untuk bertindak tegas padamu,"
"Masumi aku-,"
"Aku tidak mau mendengar alasanmu. Aku akan menyelediki semua ini dan jika aku menemukan bukti keterlibatanmu maka aku tidak peduli meski Tuan Besar memohon padaku, aku tidak akan melepaskanmu,"
"Masumi kumohon, percayalah padaku. Aku sama sekali tidak tahu mengenai kue beracun untuk Maya dan hari ini aku juga sama bingungnya denganmu. Aku-,"
"Cukup Shiori," potong Masumi lagi. Kemarahannya benar-benar tidak memberikan waktu bagi Shiori untuk menjelaskan. "Aku tidak akan mendengarkan omong kosongmu. Mulai sekarang jangan pernah mendekati Maya lagi. Selamat tinggal." Masumi berbalik dengan raut wajah keras dan meninggalkan kamar hotel bersama Hijiri. Meninggalkan Shiori yang menangis di kursi meratapi semua hal yang baru saja terjadi.

***
Hijiri hanya bisa diam mengemudikan mobil sementara Masumi masih terlihat kacau duduk di sebelahnya.
"Anda baik-baik saja Tuan?" Akhirnya Hijiri bertanya ketika mobil berhenti di tempat parkir rumah sakit.
"Menurutmu?" Masumi memiringkan kepalanya melirik Hijiri. "Aku hampir gila sekarang."
"Saya akan mencari tahu, semua kejadian beruntun ini terasa sangat tidak masuk akal." Hijiri menatap Masumi penuh penyesalan, "Maaf Tuan, sampai saat ini saya belum menemukan petunjuk apapun,"
Masumi menggeleng frustasi, "Aku tidak mengerti Hijiri. Aku tahu aku tidak bisa menyalahkan Shiori begitu saja tapi semua kejadian ini membuatku benar-benar bingung. Aku pasti akan berhadapan dengan keluarga Takamiya jika menuntutnya secara terbuka,"
"Mohon bersabar Tuan. Jika anda gegabah menuntut Nona Takamiya maka ini juga akan menjadi perang besar antara keluarga Takamiya dengan keluarga Anderson,"
"Aku tahu. Tapi jika aku terus diam, aku takut Shiori akan kembali berulah. Dan jika itu menyangkut keselamatan Maya maka-," Masumi menggeleng untuk menyingkirkan pemikiran negatif di dalam kepalanya.
Hijiri hanya bisa diam kali ini. Dia juga belum menemukan petunjuk apapun mengenai semua kejadian yang menimpa Maya. Terlebih apa yang baru saja terjadi pada Masumi. 
Jika semua ini adalah jebakan, mungkinkah memang Shiori yang melakukannya? Tapi jika tidak, siapa? Sepertinya dia harus bekerja ekstra keras untuk menyelesaikan semua permasalahan ini sebelum keluarga Anderson tahu apa yang menimpa Maya.
Suara handphone Masumi memecah keheningan diantara keduanya.
"Ya Rose," jawab Masumi. "Apa?!" Pekik Masumi terkejut. "Baik, aku segera ke sana," Masumi menutup teleponnya dan kembali mengumpat keras.
"Ada apa Tuan? Apa terjadi sesuatu pada Nyonya?"
"Tidak. Yang kau takutkan menjadi kenyataan. Keluarga Anderson sudah berada di sini,"
"Hah?" Hijiri sama terkejutnya dengan Masumi. Dia tidak lagi bertanya ketika akhirnya Masumi keluar dari mobil.
Apa ini juga kebetulan? Hijiri semakin heran dengan semua kejadian beruntun yang menurutnya sangat aneh.
Sementara itu, Masumi tergesa menuju kamar Maya. Bayangan Shiori  tiba-tiba terlintas di kepalanya tepat ketika Masumi tiba di depan kamar.
Sial! Kenapa aku teringat wanita itu?! Rutuknya geram.
Diapun mengatur napas, menenangkan dirinya dan masuk ke kamar. Wajah masam Christ langsung menyambutnya. Dia berdiri bersandar pada ujung tempat tidur Maya sementara Clara dan Christ menemani Maya di sisi kanan dan kiri tempat tidur. Alex dan Rose segera keluar dari kamar begitu Masumi masuk.
"Christ," sapa Masumi setenang mungkin.
"Oh, kau masih ingat padaku rupanya," kata Christ diiringi seringai di bibirnya.
Masumi mengabaikan ejekan Christ dan segera menyapa Clara dan Michael. Wajah mereka juga sedikit tidak bersahabat.
"Maaf Ma, Pa. Aku tidak bermaksud menyembunyikan keadaan Maya. Hanya saja aku tidak mau membuat kalian semua khawatir," Masumi memberi alasan pada kedua orang tua Maya. Dilihatnya Maya yang terlihat bingung dan terkejut dengan kedatangan orang tuanya. Meski dirinya pernah mengancam Maya tapi sesungguhnya dia tidak pernah ingin keluarga Anderson tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Aku yang meminta Masumi...tidak memberitahukan pada kalian," bela Maya dengan suara lirihnya.
Clara langsung membungkuk dan mencium kening putri angkatnya seraya mengusap lembut kepala Maya.
"Apa yang kau pikirkan? Kami berhak tahu apa yang terjadi padamu. Apa kau tidak berpikir bagaimana sedihnya mama melihatmu seperti ini?" Kata Clara.
"Maaf," lirih Maya lagi.
"Sudah tidak usah terlalu dipikirkan. Yang terpenting sekarang adalah kesembuhanmu," tambah Michael. Dia berusaha menenangkan Maya yang terlihat begitu merasa bersalah.
"Maaf Ma, Pa, bagaimana kalian bisa tahu Maya sedang sakit?" Tanya Masumi heran. Dia tahu ini bukan sebuah kebetulan kalau keluarga Anderson sampai datang secara tiba-tiba.
"Sakit?!" Dengus Christ, "Dia hampir mati karena racun arsenik!"
"Aku tidak...hampir mati," kata Maya yang berusaha bersuara lebih kuat meski faktanya suaranya terdengar begitu lemah.
"Sstt, tenang Maya," kata Masumi lembut. Diapun beralih pada Christ, "Maaf,"
"Apa yang kau lakukan sampai adikku bisa seperti ini?" Bentak Christ kesal.
"Christ," sela Michael dengan nada memperingatkan, tatapannya melembut pada Masumi, "Kami segera terbang ke Tokyo ketika semalam ada surat kaleng yang ditujukan kerumah dan mengatakan sebuah ancaman untuk melukai Maya." Jelas Michael.
"Surat ancaman?" Masumi tersentak mendengarnya. Apalagi ini?
"Dan ku dengar wanita itu sudah kembali ke Tokyo? Benar?" Christ menyipit pada adik iparnya.
"Benar." Jawab Masumi singkat.
"Dan kau tidak memberitahuku? Apa kau memang menunggu dia meracuni adikku dan membuatnya sekarat baru kau akan memberitahuku?"
"Christ!" Kali ini Clara yang menyela.
"Hentikan omong kosongmu Christ. Mana mungkin aku membiarkan Maya sekarat," jelas Masumi.
"Dan apa ini?" Christ melambai pada Maya.
"Tidak...ini salahku...aku tidak-,"
"Jangan membela suamimu Maya. Jelas dia gagal melindungimu dari wanita itu. Dan kau sendiri kenapa bisa begitu bodoh memakan sesuatu yang tidak jelas seperti itu," omel Christ.
Masumi hanya menghela napas, dia cukup memahami kemarahan Christ padanya. Michael bergeser ke sebelah Christ dan menepuk bahunya, memintanya tenang. Sementara Masumi langsung mendekat pada istrinya. Mengusap lembut kepalanya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang?" Tanya Masumi lembut. Dia mengabaikan omelan Christ.
"Aku baik," lirih Maya. "Apa urusannya...sudah selesai?"
Masumi terdiam, berusaha tetap tenang meski hatinya begitu kacau sekarang. Bayangan Shiori kembali menari dalam angannya.
"Masumi? Ada apa?" Tanya Maya.
Masumi langsung menyunggingkan senyumnya, "Tidak ada apa-apa sayang. Semua sudah selesai. Kau tidak perlu khawatir,"
Maya tersenyum tipis mendengarnya.
"Masumi, apa kau belum menemukan siapa orang yang berusaha menyakiti Maya?" Tanya Michael.
Masumi menoleh pada ayah mertuanya, "Belum Pa."
"Jika memang terbukti wanita itu ada dibelakang semua ini maka kali ini aku tidak akan diam,"
Masumi mengangguk.
"Bukan...Nona Shiori," sela Maya dan ucapannya langsung dihadiahi empat pasang mata dengan penuh tanda tanya.
"Sayang, kenapa kau selalu membela wanita itu," kata Clara yang tidak mengerti dengan pemikiran putri angkatnya.
"Tapi memang bukan...dia Ma," jawab Maya lagi.
"Maya, aku masih menyelidiki semuanya dan jika memang Shiori terlibat maka aku setuju dengan papa," kata Masumi dengan serius.
Maya menggeleng, "Aku...yakin," jawabnya mantap meski napasnya semakin terengah. Tangannya menggenggam tangan Masumi sebagai tanda permohonan.
"Berhentilah jadi orang bodoh Maya. Wanita itu hampir saja membuatmu mati dan sekarang membuatmu seperti ini. Jangan bermimpi kami akan memaafkannya kali ini. Aku sudah minta Ryan membantu untuk menyelidiki semua ini," tanda Christ tegas.
"Tidak...aku...,"
"Jangan membantah lagi Maya!" Bentak Christ kesal pada adiknya, membuat Maya terkesiap. Tangan Maya meremas kuat tangan Masumi.
"Christ, ku mohon tenanglah." Kata Masumi yang tidak suka melihatnya memarahi Maya. Dia tahu Maya menahan sakitnya sekarang.
Christ mendengus, "Dengar Maya, kau selalu ceroboh mengenai keselamatanmu sendiri. Kau pikir kami bisa tenang melihatmu seperti ini? Jika kau masih keras kepala maka aku tidak segan membawamu ke New York untuk sementara waktu sampai dalang di balik semua ini ditemukan,"
"Apa?!" Seru Maya dan Masumi bersamaan dengan nada suara yang berbeda. Ternyata tidak hanya Maya dan Masumi, Clara dan Michael pun tampak terkejut.
"Aku tidak mau...ke-,"
"Tidak ada bantahan," Christ menaikkan jari telunjuknya pada bantahan Maya.
"Ugh!" Tangan Maya semakin mengerat.
"Maya!" Seru Masumi terkejut melihat istrinya kesakitan.
"Kenapa?" Clara dan Michael bahkan Christ sama terkejutnya.
"Perutnya pasti sakit lagi," Masumi dengan cepat menekan tombol panggil.
Mata Maya mengerat menahan sakit. Masumi masih menggenggam tangannya. "Bertahanlah, dokter segera datang," kata Masumi.
Benar yang dikatakan Masumi, Dokter Yamada segera datang bersama seorang perawat dan semua orang diminta keluar sementara Maya diperiksa.
"Sejauh mana kondisinya?" Tanya Clara cemas pada Masumi. Mereka menunggu di ruang tamu kamar rawat Maya.
"Racunnya menyebabkan pendarahan pada lambung. Dia masih lemah juga karena tidak bisa makan-"
"Tidak bisa makan?" Potong Michael.
"Luka di lambung membuat asam lambungnya meningkat. Hal itu membuat perutnya sakit dan terus mual bahkan memuntahkan apa saja yang dimakannya."
"Separah itu?" Gumam Christ cemas.
"Ku mohon jangan memarahinya dan membuatnya tertekan Christ. Dia sudah cukup merasa bersalah dengan semua kejadian ini. Stress bisa memicu asam lambungnya semakin meningkat." Jelas Masumi kemudian.
Christ mendesah kesal diapun berjalan ke arah pintu keluar.
"Kau mau ke mana?" Tanya Clara.
"Aku akan menghubungi Amanda. Dia juga menunggu kabar mengenai Maya," jawabnya dan sedetik kemudian dia kembali menatap lurus pada adik iparnya, "Masumi, aku serius akan membawa Maya ke New York jika memang Tokyo tidak aman baginya,"
Masumi terdiam. Christ keluar mengabaikan mata Clara yang melotot padanya.
"Tenang Masumi, kita akan cari jalan keluar dari semua masalah ini bersama-sama." Michael menepuk bahu menantunya.
"Ya Pa, terima kasih." Jawab Masumi tenang.
Maya, apa yang harus aku lakukan sekarang?

***
>>Bersambung<<
>>Every Day I Love You - Chapter 6<<

Post a Comment

6 Comments

  1. Ketemu lagi....
    Semoga suka dengan chapter ini ya
    Di tunggu komennya
    Arigatoooo.... :)

    ReplyDelete
  2. Aduhhhh kasihan maya kesakitan... belum lagi kalau tau ttg masumi ama shiori kyk gtu, ya mski jebakan ttep aja pasti kecewaaa... :(

    ReplyDelete
  3. ceritanya tambah seru sis.... hebat. blom bisa ngebayangin chapter besok kaya apa. mungkin akan ada "bom' yang bikin nambah seru..

    ReplyDelete
  4. Akhirnyaaa, lgsg 3 cerita sekaligus, hebaaat.. Lanjutannya jgn lama2 yah mba agnes ;) trus jgn sakit terus mayanya, kesian atuuh mba,,, bertahun tahun nunggu, akhirnya nikah, msh aja ada tragedi, hehehehehehe,, kesiaaann.., drama kehidupannya berat banget mbaa , mayanya dibwt lebih aktif n cerdas lg donk, jd ga masuminya terus yg semakin overprotective

    ReplyDelete
  5. Hebat mba agnes...update nya byk bgt...smpe marathon bacanya...

    ReplyDelete
  6. Nooo.....mb Agness, lanjutannya mana?? Sy baru ketemu blog ini dan legaaaa banget loh, bahkan pernah sy cm tidur 2 jam gegara nggak bs berhenti penasaran. Semua karakter sesuai bgt dgn versinya suzue miuchi, jd sy ngerasa relate banget. Jadi, apakah ini ada chapter 6 nya? Udh bertahun2 kan?

    ReplyDelete