Rate : 20 thn +
Setting : Lanjutan dari Fifty Shades of Freed
Cerita ini hanya untuk hiburan semata. Thanks yang uda mau baca :)
Aku melompat turun dari Audi R8 dengan tergesa. Panik lebih tepatnya. Aku bahkan mengabaikan Sawyer yang tampak terkejut mematung di dekat pintu karena aku sudah berlari bahkan sebelum dia menyentuh pintu belakang Audi.
Beragam bayangan sudah melintas di kepalaku sejak aku menerima kabar melalui telepon dua jam yang lalu.
Miss Grey terjatuh dari tangga di sekolah
Aku bergidik ngeri mengingat berita itu. Berhenti di depan meja informasi dan sejenak mengatur napas.
"Dimana kamar Phobe Grey? Saya ibunya," Tanyaku, gagal meredakan kepanikanku.
Sementara menunggu perawat memeriksa daftar di monitornya, aku melihat dari sudut mataku kalau Sawyer sudah berdiri tidak jauh dariku. Tentu saja, itu hal bijak jika dia masih mau bekerja sebagai staf keamanan keluarga Grey. Christian pasti akan menempatkan pantatnya di trotoar jika dia berada jauh dariku. Terlebih sejak kejadian yang menimpaku terakhir kali.
Dewi batinku terbahak, itu sudah tujuh tahun yang lalu dan tidak ada yang berubah dengan pengamanan Christian padaku. Tanpa sadar aku menggeleng geli.
"Lantai lima Mrs. Grey, VVIP room nomor 15-B," kata perawat itu dengan sopan dan itu menempatkan kembali otakku pada tempatnya.
Aku segera pergi dengan sebelumnya menggumamkan terima kasih singkat. Dengan cepat Sawyer mendahuluiku untuk menekan tombol panggil lift dan segera bergeser, kembali menempatkan dirinya beberapa kaki di belakangku.
"Terima kasih Sawyer," gumamku dan dia mengangguk sopan dengan ekspresi tenang. Batinku tiba-tiba menggerutu, bagaimana dia bisa setenang itu? Tapi dengan cepat aku tersadar, tentu saja! Phoebe adalah anakku bukan anaknya.
Dentingan keras membuatku tersentak.
Ya Tuhan, kepanikan ini hampir membunuhku. Aku segera masuk ke dalam lift yang untungnya, kosong, kembali mencoba menenangkan diriku.
Miss Grey terjatuh dari tangga di sekolah
Kalimat dari pengasuh Phobe, Sarah Miller, kembali bergaung di kepalaku, menimbulkan sensasi berdenyut yang tidak nyaman.
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar, bingung.
"Ke arah sini Mrs Grey," dengan sopan Sawyer melambaikan tangan menunjukkan arah. Tahu kalau aku sedang mengalami disorientasi waktu dan tempat.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat membuka kamar dengan tulisan 15-B dipintu.
Phoebe berbaring di atas tempat tidur dan terpejam, aku meyakinkan diriku sendiri kalau dia sedang tidur. Tidak mau mengambil pemikiran lain yang bahkan aku rasa aku tidak akan sanggup untuk memikirkannya.
"Dia baik-baik saja Ana," suara lembut yang tidak asing menyadarkanku.
Grace tersenyum dan aku baru menyadari, banyak orang dalam ruangan itu. Otakku langsung mengabsen satu persatu, Grace, Mrs. Jones, Miss Miller, Miss Dorothy yang adalah salah satu guru kelas di sekolah Phoebe lalu seorang dokter wanita yang aku tidak tahu namanya, berdiri di sebelah tempat tidur putriku dan seperti sedang memeriksa sesuatu.
Aku tidak tahan lagi, menghampiri Grace dan dia memberiku pelukan hangat menenangkan, meski aku sendiri tidak yakin apa itu bisa menenangkanku. Aku butuh dosis obat penenang lebih tinggi sekarang. Menahan air mataku untuk jatuh dan tenggorokanku kering karenanya.
"Bagaimana dia?" Akhirnya suaraku keluar, parau.
Melepaskan pelukannya, Grace membimbingku mendekat kesisi sebelah kanan tempat tidur.
"Ini dokter Rose White, spesialis tulang yang akan menangani Phoebe. Rose ini Anastasia Grey," Grace memperkenalkan.
Dan aku menahan diriku untuk tidak tertawa saat mendengar nama dokter itu, sebuah ironi melintas di kepalaku karena pada kenyataannya dokter itu berpawakan tinggi dengan kulit gelap. Tapi semua ironi yang tidak pada tempatnya itu langsung lenyap saat aku menyadari keahlian dokter White.
"Spesialis tulang? Jadi Phoebe...,"
"Tenang Mrs. Grey, tidak ada yang patah, hanya memar di kaki dan lengannya. Selebihnya kondisinya baik. Dia hanya sedang tidur karena kami memberinya obat penenang," jelas dokter White ramah.
"Oh, Tuhan, terima kasih," ucapku penuh syukur dan Grace memberiku sebuah usapan menenangkan di bahu.
"Boleh aku menyentuhnya dokter?" Tanyaku seraya menyeka air mata kelegaanku.
"Tentu Mrs. Grey, tapi tolong tidak dengan tangan dan kakinya," jawabnya lembut.
"Ya, aku akan hati-hati," dan tubuhku dengan patuh melakukan apa yang aku katakan.
Dengan hati-hati aku menyentuh wajah cantik putriku, membelai kepalanya dan memberikan beberapa kecupan di wajah. Dengan pasti tanganku hanya bergerak sebatas bahu, tidak sanggup membayangkan rasa sakit yang mungkin dirasakannya jika aku menyentuh tangannya. Meski faktanya dia sedang tidak sadar di bawah pengaruh obat. Mataku menyipit saat menyadari dua memar besar di lengan dan tangan Phoebe.
Oh, gedung sekolah itu akan roboh jika Christian melihat ini.
"Christian!" Tanpa sadar aku memekik saat teringat suami over protective ku. Aku bahkan belum mengiriminya pesan.
"Tenang Ana, aku sudah meneleponnya. Dia masih di Portland dan akan segera tiba disini, semoga tidak lama." Kata Grace.
Aku mengangguk karena tidak tahu harus berkomentar apa. Kembali membelai kepala Phoebe, aku mengecup lagi keningnya sebelum akhirnya menjauhkan diriku darinya.
"Saya permisi dulu, perawat akan memeriksanya secara berkala. Dan sangat saya sarankan untuk membiarkannya beristirahat. Anda boleh tenang Mrs. Grey, kondisinya baik. Grace," Dokter White mengangguk sebelum akhirnya pergi.
Miss Dorothy beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke dalam ruangan, aku tersenyum.
"Kami sangat menyesal dengan kejadian ini Mrs. Grey. Anak-anak berlarian di tangga dan tanpa sengaja Miss Grey bertabrakan dengan teman sekelasnya. Maafkan kami," Miss Dorothy terlihat begitu menyesal.
"Saya mengerti Miss Dorothy, terima kasih anda sudah berada disini untuk Phoebe," ucapku tulus, aku merasakan penyesalannya bahkan mungkin aku menduga ketakutannya juga.
Seluruh staff sekolah tahu bagaimana Christian menjalankan prosedur ayah yang baik disekolah. Dia bahkan memberikan seperangkat alat keamanan tingkat tinggi untuk sekolah hanya agar setiap ruangan dapat dimonitor dengan sempurna. Bukan hanya karena dia dermawan tapi lebih kepada melindungi putrinya, sebuah prosedur keamanan tingkat tinggi untuk Phoebe.
Dewi batinku memberi peringatan untuk segera menyuruh Miss Dorothy pulang sebelum Christian datang. Dan aku tahu dia benar.
"Karena anda sudah disini, sara rasa saya bisa kembali ke sekolah. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan. Sekali lagi saya menyesal atas kejadian ini Mrs. Grey,"
Aku beruntung Miss Dorothy sepakat dengan dewi batinku sehingga aku tidak sungkan untuk menyuruhnya pulang, meski itu demi keselamatannya.
"Terima kasih sudah peduli Miss Dorothy. Semua akan baik-baik saja," kataku selembut mungkin.
Kami berjabat tangan dan aku memberi remasan meyakinkan dengan tanganku. Aku meyakinkan diriku kalau putriku akan baik-baik saja dan juga meyakinkan Miss Dorothy bahwa dia akan tetap memiliki pekerjaannya.
Miss Dorothy tersenyum sebelum akhirnya menyalami Grace dan berlalu pergi.
"Duduklah Ana, kau terlihat kacau," Grace mendorong lenganku ke arah sofa tamu dan aku menurut. Duduk dan menenangkan diriku.
"Anda ingin teh Mrs. Grey?" Mrs. Jones bertanya penuh simpati.
"Boleh, terima kasih Gail," ucapku tulus, ya secangkir teh akan sangat membantu.
Mrs. Jones keluar ruangan dan aku baru menyadari Miss Miller memandangku dengan kebingungan.
"Ada apa Sarah?" Tanyaku padanya.
"Hhmm, maafkan saya Mrs. Grey. Seharusnya saya segera membawa Miss Grey pulang dan tidak membiarkannya bermain. Saya juga lalai membiarkannya berlarian di tangga sekolah," akunya sedih.
Oh, terdakwa lainnya.
"Aku tahu bagaimana keras kepalanya putriku Sarah." Aku seperti dipukul dengan pernyataanku sendiri. Memang karena siapa Phobe keras kepala, dewi batinku mendongak kesal seolah sifatku yang satu itu adalah sebuah penyakit turunan yang menjijikkan. Aku mengabaikan kelancangan dewi batinku dan kembali fokus pada Miss Miller yang masih ketakutan.
"Kau tidak usah khawatir, semua sudah aman sekarang," kataku lagi.
"Ku pikir kau juga perlu menenangkan diri Sarah. Keluarlah, hiruplah udara segar. Aku dan Ana akan menjaga Phoebe disini," Grace dengan segala kepeduliannya, aku selalu sujud hormat padanya untuk hal yang satu ini.
"Kau tidak sibuk Mom?" Tanyaku setelah hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan. Dia jelas sedang bekerja karena masih mengenakan jas putihnya.
Grace tersenyum, "Aku baru saja selesai memeriksa pasienku saat aku mendengar Phoebe masuk ke emergency room. Jadwalku sedang kosong sekarang, kau tidak perlu khawatirkan itu. Lagipula aku juga ingin menjaga cucuku,"
"Oh Mom, terima kasih," dan tanpa ragu aku kembali memeluknya sebagai bentuk penghargaanku pada perhatian dan kasih sayangnya.
"Dia baik-baik saja Ana. Phoebe kuat sepertimu." Kata Grace saat aku menarik diriku menjauh.
"Lagipula," bibir Grace tersenyum geli, "Ini akan menjadi pelajaran berharga baginya untuk tidak terlalu keras kepala," lanjutnya.
Dan aku kembali menyalahkan diriku karena sudah menurunkan sifat itu padanya tapi kemudian aku mencari pembenaran, bukankah Christian lebih keras kepala daripadaku? Meski dia melakukannya dalam batas aman.
Akhirnya aku terkikik karena tidak tahu harus merespon seperti apa. Grace juga tersenyum lebar. Dan seketika cekikikanku berhenti saat mendengar pintu diketuk. Mrs. Jones datang membawakanku secangkir teh. Dengan bijak dia kembali keluar dan aku kembali mengobrol dengan Grace. Kehadirannya dan secangkir teh sungguh menenangkan. Entah berapa lama kami bicara. Obrolan kami langsung terhenti saat pintu tiba-tiba terbuka lebar.
Oh tidak, aku tegang melihatnya.
Wajah Christian sedingin es, tanpa ekspresi dan matanya tajam seperti belati yang siap mencincang daging dan menjadikannya makanan campuran untuk kucing atau anjing.
Aku segera berdiri dan menghampirinya, melingkarkan tanganku ke tubuhnya erat.
Oh inilah obat penenangku.
Christian membalas pelukanku dengan melingkarkan tangannya padaku, membenamkan wajahnya di rambutku. Strategiku berhasil, aku merasakan ketegangan Christian mereda dalam pelukanku dan itu juga berhasil bagiku. Nyatanya aroma khas Christian Grey membuatku begitu nyaman dan lebih lagi merasa aman.
"Dia baik-baik saja?"
Aku merasakan Christian melepaskanku dengan enggan, tapi kami tahu bahwa ada hal yang lebih penting untuk diurus saat ini.
"Dia baik, memar di tangan dan kakinya. Tapi tidak ada yang patah," aku mencoba mengingat apa yang dikatakan dokter White padaku. Setidaknya itu yang ku ingat selain dari fakta menggelikan tentang ironi antara nama dan warna kulitnya.
Christian menyipitkan mata padaku, berusaha mencerna apa yang aku katakan. Entah bagaimana aku mengatakannya tadi tapi aku merasa Christian sedikit jengkel. Kenapa? Dewi batinku bahkan menggeleng bingung dan tampak panik berlarian di aula besar.
"Aku ingin melihatnya," Christian berjalan menghampiri Grace, memberinya pelukan dan kecupan hangat di kedua pipinya. Ekspresinya kembali tegang saat Grace mengulagi apa yang aku katakan.
Nah apa yang salah sekarang? Aku bicara benar.
Tanpa kata Christian berjalan ke sisi tempat tidur. Mengamati putri kecilnya yang terlelap. Matanya langsung gelap melihat memar di lengan Phoebe.
"Jangan disentuh," kataku panik saat Christian mengulurkan tangannya tapi dengan cepat dia menariknya. Memberikan anggukan padaku.
Apa yang dia lakukan sama dengan apa yang ku lakukan tadi. Membelai kepala Phoebe dan memberinya kecupan sayang di beberapa sudut wajah. Aku merasakan mataku kembali menghangat. Berjalan mendekat ke sisi lain tempat tidur aku kembali mengusap putriku dan menciuminya.
"Oh, putri kecilku," gumamku lirih.
Christian membelai wajahku, ekspresinya melembut.
"Putri kecil kita," ralatnya dan aku memberikan senyuman konyol padanya. Tentu saja dia putri kami, memang bagaimana dia bisa ada didalam rahimku selama sembilan bulan?
"Ya, putri kita tersayang yang keras kepala," kataku.
Christian menyeringai, aku tahu dia menahan diri untuk melemparkan sebuah ironi padaku.
"Aku tidak menganggap Phoebe-ku seperti itu,"
Senyumku mengembang dan itu segera menular padanya.
"Christian, Ana, aku harus pergi sekarang." Grace menyela dan kami secara bersamaan memandangnya.
Christian menghampiri ibunya, "Terima kasih Mom," gumamnya disela pelukan hangat penuh tanda terima kasih.
"Jangan berterima kasih, Phoebe adalah cucuku," protes Grace dengan gaya khasnya yang lembut tapi juga tegas.
"Oke,"
"Aku akan kembali lagi nanti. Kalian berdua tenang saja, dia akan bangun dalam dua atau tiga jam lagi dan semua akan baik-baik saja,"
Grace kembali memberiku sebuah pelukan singkat sebelum dia keluar. Dan akhirnya aku hanya berdua dengan Christian, ya bertiga sebenarnya dengan putri kecilku yang masih terlelap.
"Jadi bagaimana kau tahu tentang Phoebe?" Tanyaku sambil menarik kursi di dekat tempat tidur dan duduk di sisi putriku.
Christian berjalan ke arahku dan duduk di tepi tempat tidur. Aku sedikit mengangkat wajahku dan mata kami saling menatap.
"Aku baru saja selesai rapat saat Mommy meneleponku. Dia hanya bilang kalau Phoebe jatuh dari tangga dan sedang berada di emergency room. Butuh waktu untuk menyiapkan Charlie Tanggo dan aku tidak punya pilihan selain kembali secepatnya dengan Audi. Aku beruntung memiliki Taylor," aku mendengar rasa hormat dan penghargaan dalam nada suaranya. Tapi aku jadi bergidik membayangkan bagaimana Taylor mengemudikan Audi agar cepat sampai di Seattle.
"Kenapa?" Christian bertanya atas reaksiku.
Aku mengendikkan bahu, "Hanya membayangkan kengerian Taylor saat membawa Audi melesat,"
"Oh, Ana, kau tidak tahu betapa gilanya aku tadi membayangkan apa yang mungkin terjadi pada putri kecil kita," Christian menyapukan tangannya dengan gelisah ke rambutnya yang sudah berantakan.
Dia pasti sangat frustasi tadi. Bukankah aku juga?
"Iya aku tahu, aku juga hampir mati karena panik," aku meraih tangan yang ada di atas pahanya, meremasnya.
"Nah, sekarang kau tahu bagaimana rasanya," sekali lagi sebuah kalimat ironi menamparku keras.
Ya, Christian merasakan hal ini setiap waktu. Mengkhawatirkanku, mengkhawatirkan Teddy dan Phoebe. Ya Tuhan, ternyata seperti ini rasanya. Aku memang belum pernah mengkhawatirkan Christian sampai sepanik ini, setidaknya aku tahu Taylor ataupun staf keamanan menjaganya dengan baik. Dan aku baru menyadari ternyata sebuah kekhawatiran bisa begitu mematikan. Kali ini aku menjadi terdakwa.
"Ya Mr. Grey, aku tahu rasanya dan aku juga baru tahu ternyata kau memiliki jantung yang kuat untuk menanggung semua kekhawatiran itu setiap menit di setiap harinya," kataku setengah menyeringai.
Christian balas menyeringai padaku, "Oh kau akan terkejut dengan caraku menjaga kesehatan jantung Mrs. Grey. Aku memiliki terapis pribadi dan sangat ahli dalam hal ini,"
Sial! Bagian bawah tubuhku menegang di saat yang tidak tepat, "Aku tidak terkejut dengan itu Mr. Grey. Ku rasa aku cukup mengenal terapis ahli itu," kataku tak acuh.
Christian memberikan senyum khas mematikannya yang bisa melelehkan semua hati gadis di seluruh benua Amerika, termasuk aku istrinya yang bahkan sudah bersamanya selama tujuh tahun.
Menarikku untuk berdiri, Christian melingkarkan tangannya ke pinggulku. Membuatku berdiri diantara kedua kakinya dan satu tangannya yang lain mengusap lembut sisi wajahku.
"Mulut cerdasmu selalu menggoda untuk dicumbui Mrs. Grey,"
"Ini di rumah sakit Christian," aku sedikit terkejut dengan perkataannya.
"Aku tahu," dan aku melihat bibirnya berkedut menahan geli. "Aku hanya ingin mencium istriku," katanya lagi dan dia segera melakukan apa yang dikatakannya. Aku gagal untuk protes apalagi menolak saat bibir lembut itu memujaku.
Ciuman lembut yang menenangkan. Ya, inilah yang kami butuhkan. Kami berdua sama-sama frustasi. Dan keintiman ini memberikan pembebasan pada emosi kami berdua.
Lidah Christian menari lembut di setiap sudut mulutku dan aku mengerang rendah di dalam mulutnya. Dia berhenti saat merasakan hasrat kami berdua memanas.
"Cukup," katanya saat bibirnya berhenti memujaku. Dewi batinku menendang ke udara dengan gaya kapoeranya karena hasrat tak tersampaikan tapi aku segera mengomelinya dan dengan patuh dia kembali duduk di kursi bacanya dengan memakai kaca mata dan memegang novel tebalnya.
Aku masih berusaha mengatur napasku saat Christian melepaskan tangannya dariku lalu kembali mengusap putri kecil kami.
"Cepatlah bangun sayang." Gumamnya sedih.
"Dia akan baik-baik saja," kataku sambil mengusap lengan kekarnya.
"Aku tahu," jawabnya dan sesaat kemudian wajahnya menegang.
"Ada apa?" Tanyaku, meraih dagunya dan aku memaksanya menatapku.
"Aku akan meminta pengacaraku menyiapkan tuntutan pada pihak sekolah," desisnya marah.
Jantungku seakan melompat ke tenggorokan. Ketakutanku yang lain kembali muncul dan bersinar bak sinar matahari pagi.
"Christian, ini kecelakaan," kataku putus asa.
Keningnya berkerut dalam dan aku tahu dia tidak setuju. Jujur aku juga tapi menuntut pihak sekolah? Aku menggeleng keras.
"Kau sendiri tahu bagaimana sukanya Phoebe berlari kesana kemari. Dia hanya anak-anak berusia lima tahun," kataku.
"Justru karena itu seharusnya hal ini tidak layak terjadi. Anak-anak sampai jatuh di sekolah dengan kualitas kelas satu yang membawa moto keamanan dan kenyamanan bagi siswanya. Kau pikir untuk apa para guru dan pengawas itu dibayar?"
Ya, dalam hati aku membenarkan tapi hanya dalam hati.
"Ana, kau tahu aku tadi sudah membayangkan hal terburuk terjadi pada putriku. Darah, kepala retak, tulang patah," Christian menutup matanya dan mengambil napas. Saat matanya terbuka dia menatapku tajam.
Oh, tidak heran dia terkejut dengan penjelasanku tadi. Bayangannya begitu buruk.
"Tapi nyatanya tidak seperti itu kan?" Aku kembali mencoba mengubah pendiriannya. Sebuah tuntutan? Aku merasa ngeri mendengarnya.
Christian menghela napas lagi dan kali ini menghempaskannya dengan kasar.
"Christian," aku memohon kali ini.
Dia diam, ku pikir dia akan mempertimbangkan keputusannya lagi.
"Dimana Miss Miller?" Tanyanya tiba-tiba.
Oh tidak, jangan Sarah!
"Mommy tadi memintanya keluar untuk menenangkan diri. Dia cukup...ya kau tahu, terkejut dan khawatir dengan semua ini," aku berusaha mendiskripsikan keadaannya dengan penuh simpati.
"Memang seharusnya begitu," tandasnya.
Firasatku tidak enak dengan nada bicaranya.
"Christian," aku kembali memohon.
"Tidak Ana, aku akan mengembalikannya ke Agency dan aku juga akan menuntut Agencynya,"
Napasku berhenti kali ini. Agency juga? Sial!!!
"Ya ampun Mr. Grey, apa kau akan memenuhi daftar pengadilan dengan tuntutan tidak masuk akalmu itu? Aku pikir kau tidak punya cukup waktu untuk datang ke pengadilan dan menjalani sidang," aku mulai habis kesabaran dengan kegilaan suamiku.
"Tidak masuk akal? Lihat Phoebe! Dan aku punya cukup uang untuk membayar pengacaraku. Dia akan duduk di ruang sidang menyelesaikan semua tuntutan itu,"
Otakku jungkir balik. Aku lupa memiliki suami yang super kaya, yang bisa membayar semua pengacara ternama untuk menjalankan keinginannya.
"Putri kita baik-baik saja sayang. Maksudku kau tidak bisa seenaknya menuntut hanya karena anakmu jatuh dan memar. Phoebe suka berlari dan baru berumur lima tahun, apa yang kau harapkan? Dia duduk tenang dikursinya mendengarkan semua perintah Miss Miller? Bahkan kau pun tidak bisa membuatnya duduk tenang selama lima menit," kataku.
Mulut Christian menganga tapi dengan cepat menutupnya. Ya kalimat terakhirku melakukan skak matt padanya.
Aku menghela napas lalu mengusap wajahnya.
"Putri kita baik-baik saja. Dan untuk lain kali kita akan lebih berhati-hati menjaganya. Bagaimana?" Tanyaku, mengajukan pendapatku sebagai sebuah proposisi atas tuntutannya.
Christian masih terlihat frustasi tapi tatapan matanya melembut sekarang dan masih diam. Aku tahu dia sedang mengolah dan mempertimbangkan perkataanku. Aku memutuskan untuk diam dan tidak mendebat lagi. Mendesaknya bukanlah tidakan bijak saat ini. Kami berdua sama-sama syok. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan dia tidak akan menandatangani surat tuntutan apapun. Tidak selama aku masih di sampingnya.
Tidakkah menggelikan jika hal ini muncul di media? Christian Grey, salah satu pengusaha paling berkuasa di AS menuntut sekolah dan agency baby sitter karena putrinya jatuh dari tangga dan memar.
Aku menahan diri untuk tidak tertawa pada pemikiranku. Faktanya aku bisa menahan tawaku karena aku merasa begitu lelah sekarang. Aku sedang rapat dengan Roach tadi saat menerima telepon dan langsung berlari ke rumah sakit saat rapat selesai.
Kepalaku melayang.
"Ana!" Christian menangkap tubuhku yang limbung. Turun dari tempat tidur, dengan lembut dia mengangkat tubuhku dan membaringkanku hati-hati di sofa panjang di sudut ruangan kamar.
"Kau kenapa?" Tatapan mata Christian sarat kecemasan, "Apa kau sudah makan?"
Sial!! Makan? Aku bahkan tidak ingat aku punya kewajiban itu. Aku diam dan kekesalan langsung terlihat di wajah Christian. Dia tahu aku tidak makan dan itu semacam pelanggaran hukum baginya. Diam-diam aku berpikir apakah dia akan menuntutku juga karena hal ini?
"Kau hanya sarapan granola pagi ini," sungutnya.
"Seingatku sih begitu," kataku.
Oh Tuhan, aku pusing dan lemas dengan semua kejadian ini dan aku tidak mau berdebat lagi dengan Christian soal makanan.
"Kau harus makan," katanya tegas.
"Oke," aku mengguman setuju, faktanya karena memang aku butuh makan.
"Kau keberatan kalau kita makan disini?" Tanya Christian hati-hati. Oh suamiku, kau pikir kita akan makan di restoran mewah sementara putriku sakit?
"Aku tidak mau meninggalkan Phoebe," kataku.
Ekspresi Christian melembut, "Bagus, aku juga tidak mau meninggalkannya,"
Ya, aku tahu. Aku bahkan tidak heran kalau kau bisa memindahkan Grey House ke sini demi untuk menunggui putrimu.
"Kau mau apa?" Tanyanya, tangannya sudah menggenggam blackberry.
"Apa saja," jawabku.
"Kau mau berjanji akan memakan apapun yang aku pesan?" Wajahnya kembali mengeras.
Nah itu masalahnya, apa aku bisa makan? "Tentu," jawabku singkat dan meyakinkan. Topik makanan tidak untuk diperdebatkan bagi Christian.
"Bagus," dan dia menekan tombol speed dial, "Taylor, Ana dan aku ingin chicken cream soup, risotto dengan jamur, roti putih, steak ikan kod....buah?"
Sial! Itu banyak sekali makanan. Christian menatapku. Aku tahu dia menanyakan soal buah dan aku mengangguk, "Anggur," bisikku.
"Ya, Ana ingin anggur. Terima kasih,"
Christian menatapku heran setelah mematikan teleponnya. Aku tahu kenapa.
"Phoebe suka anggur, sebentar lagi dia bangun," kataku.
Bibir Christian menyunggingkan senyum, "Kau memang ibu yang luar biasa Mrs. Grey,"
Dan Christian menghadiahiku sebuah kecupan manis di bibir.
"Kau juga suami dan ayah yang luar biasa Mr. Grey," pujiku.
Dan dia tersenyum malu-malu, senyum ala Christian Grey.
"Aku tersanjung,"
Dan aku terkikik karenanya tapi langsung berhenti karena kepalaku berdenyut. Sial!
Ekspresi Christian mengeras saat melihatku, "Aku akan memanggil dokter dan memesan kamar sebelah jika kau tidak makan dengan baik," ancamnya.
"Oke, oke Mr. Grey. Simpan ancamanmu untuk lain kali,"
Matanya melotot padaku, "Tidak ada lain kali Ana," tandasnya.
Oh ya, lain kali aku tidak akan lupa makan? Aku ragu.
"Ku usahakan," kataku kemudian saat matanya mendesak meminta jawaban dariku.
Christian menggeleng tapi aku tahu dia menahan rasa geli karena sikapku.
***
"Buka mulut sayang, ini terakhir," kataku dan Phoebe menurut. Mata bulatnya mengerjap senang saat melihat mangkoknya kosong.
"Selesai," katanya girang.
Aku tertawa dan Christian memandang penuh prihatin pada putri kami.
"Dia juga susah sekali makan seperti mommy-nya," gerutu Christian frustasi.
Aku tersenyum sambil membereskan sisa makanan di atas nampan. Mendorong kereta makan dan Miss Miller dengan cekatan menjauhkannya dari tempat tidur. Dia masih terlihat takut dengan Christian tapi aku sudah memastikan bahwa Miss Miller akan tetap menjadi pengasuh Phoebe.
Christian duduk di samping putrinya dan bercanda. Gerakannya terlihat kaku karena takut mengenai luka memar di tangan dan kaki Phoebe. Padahal putri kecil kami itu sekarang tergelak-gelak senang dan menggoyangkan tangannya dengan semangat saat dia memperagakan tarian kupu-kupunya dengan kedua lengan.
"Aku baru saja menelepon Teddy, dia sangat khawatir tapi aku melarangnya datang karena Phoebe sudah boleh pulang siang ini," kataku.
Christian mengangguk, dia setuju denganku kali ini.
"Aku harap Gail akan menjaganya dengan baik," Christian cemas juga dengan juniornya.
Aku juga, meski sebenarnya di rumah besar anak laki-lakiku tidak sendiri. Setidaknya ada tiga pembantu dan tiga staf keamanan yang selalu siaga di rumah, itu juga diluar Taylor, Sawyer dan Ryan. Terkadang aku masih tidak percaya kalau rumahku memiliki sistem keamanan ketat layaknya gedung putih. Tapi itulah Christian, dia akan menutup kemungkinan sekecil apapun untuk keluarganya berada dalam bahaya. Dan hasilnya memang terlihat, selama tujuh tahun kami tinggal di rumah besar tidak ada hal menakutkan yang mengancam kami.
"Kau baik-baik saja sayang?" Christian menyela renungan panjangku. Setelah semalam aku hampir pingsan, aku tahu Christian juga jadi mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja, hanya lelah.
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku,"
Wajah Christian masam, "Kau tahu itu tidak mungkin Ana," katanya kecewa atas pernyataanku.
Aku tersenyum, memang sebuah kemustahilan kalau suamiku, adonis tampanku, dewa yunaniku itu tidak mengkhawatirkan aku.
Aku duduk di samping phoebe dan bidadariku itu segera melompat ke pangkuanku. Mata Christian menatap ngeri dan aku terbahak.
"Nah, kau lihat kan, putrimu ini bahkan lupa kalau dia sedang sakit," kataku setelah berhenti tertawa.
"Aku tidak sakit," kata Phoebe yang mendongak padaku. Tatapannya mengisyaratkan sebuah protes.
"Iya, sayang, kau tidak sakit," kataku seraya mengusap lembut kepalanya. Christian menggeleng tak percaya atas sikap putrinya.
"Daddy, es krim," kata Phoebe girang, sekarang melompat kepangkuan Christian.
"Oh sayang, bisakah kau berhenti untuk melompat?" Christian hampir mati karena putus asa melihat putrinya dan Phoebe tanpa dosa memandangnya.
"Kenapa?" Tanyanya tidak mengerti dengan larangan ayahnya.
"Kau harus lebih hati-hati sekarang," kata Christian lagi dan aku menahan diri untuk tidak tertawa. Tidak yakin Phoebe mengerti instruksi ayahnya.
"Kenapa?" Tanya phoebe lagi bahkan kali ini dia memaksa berdiri. Phoebe menjulang di depan ayahnya dan mengalungkan kedua tangannya ke leher Christian.
"Aku mau es krim," katanya lagi mengabaikan larangan Christian yang dia tidak mengerti alasannya.
Aku tertawa dan Christian benar-benar putus asa.
"Dia keras kepala sepertimu," gerutu Christian dan aku tidak membantahnya. Kenyataannya memang begitu. Sekarang hal itu terdengar lucu meski kemarin hal itu seperti menampar wajahku.
"Es krim!" Phoebe mengerucutkan bibirnya lucu.
"Iya, sayang. Kita akan membeli es krim saat pulang nanti," Christian menenangkan dan langsung gagal karena sekarang Phoebe justru menangis keras karena keinginannya yang tertunda.
Dia melepaskan tangannya dari leher Christian dan berbalik memelukku. Aku tersenyum saat melihat kekecewaan di wajah suamiku.
Turun dari tempat tidur, aku menggendong Phoebe dan berjalan ke lemari pendingin. Aku ingat masih memiliki sesuatu di sana. Aku dan Phoebe duduk di sofa di sebelah lemari pendingin.
"Kalau Phoebe berhenti menangis, mommy akan memberimu hadiah," bujukku dan mendengar kata hadiah mata Phoebe yang berlinang air mata langsung berbinar cerah. Nah kali ini adalah sifat mercurial turunan ayahnya.
Phoebe mengangguk senang. Dengan satu tangan aku membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekotak anggur dari dalamnya. Phoebe memekik kegirangan.
Christian bergabung dengan kami. Dan semua tangisan phoebe terlupakan, kecemasan Christian juga meluntur.
***
"Phoebe!!" Pekik Teddy girang saat kami tiba di ruang tamu besar, dia bahkan berteriak saat masih setengah perjalanan menuruni tangga.
"Hati-hati Ted! Daddy tidak mau ada lagi yang masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga," Christian memperingatkan.
"Aku lebih kuat dari itu dad, tidakkah kau percaya?" Protes Teddy sambil melompat dari dua anak tangga terakhir dan mendarat dengan sempurna di lantai. Kedua tangannya terentang dan dia tersenyum bangga akan aksinya. Phoebe memekik sambil bertepuk tangan girang dalam gendongan Christian.
"Aku akan menghukummu jika kau mengajarkan hal itu pada adikmu," ancamku dengan mengacungkan telunjuk padanya.
"Aku tidak perlu mengajarinya Mom, dia bahkan lebih ahli dariku," Teddy menyeringai saat berjalan menghampiri adiknya dan Christian menyipitkan mata pada juniornya.
"Itu bukan lelucon Ted," kata Christian kesal, mengingat dia hampir mati karena khawatir kemarin.
"Sorry Dad," Ted kembali menyeringai dan mengendikkan bahunya. Gayanya sungguh di luar usianya. Theodore Raymond Grey baru genap berusia tujuh tahun beberapa bulan yang lalu dan dia bahkan sudah menjelma menjadi Christian Junior yang mempesona. Tubuhnya tinggi dan tegap, rambut tembaga, wajah tampan dan senyum mematikan. Aku bahkan masih ingat bagaimana hebohnya sekolah saat Teddy pertama kali menginjakkan kakiknya di sekolah dasar tahun pertamanya. Dia terlihat mencolok diantara teman seusianya dan kepercayaan diri yang jelas itu diturunkan oleh ayahnya, bukan olehku, membuatnya terlihat bak bintang cemerlang. Aku menghela napas panjang melihat putra kebanggaanku.
Phoebe sudah berlarian sekarang, Teddy mengejar adik kesayangannya. Ya, Phoebe selalu menjadi kesayangan baginya. Mungkin aku sedikit lega atau bahkan mungkin juga senang karena sifat over protective Christian tidak menurun pada kedua anakku. Setidaknya mereka merasa bebas melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya, aku menyeringai, terdengar sangat-aku-sekali.
"Apa ini?" Christian meraih daguku dan membuatku menatap matanya yang penuh tanda tanya.
Aku tersenyum, "Tidak, aku hanya sedang menikmati kebahagian ini. Lihatlah kedua anak kita yang ya...aku bahkan tidak percaya mereka sudah tumbuh secepat itu,"
Senyumku menular, "Aku juga merasakannya. Ini semua luar biasa Ana. Kebahagiaan yang luar biasa,"
Brukk!! Suara bedebum keras mengejutkan kami berdua dan Phoebe menangis keras. Christian langsung berlari begitu juga aku.
"Ada apa?" Tanya Christian bingung.
Kami berdua terpaku. Teddy terlentang di lantai dan Phoebe duduk di atas perutnya sambil menangis. Miss Miller berusaha menenangkannya tapi Christian langsung mengangkat putri kecil dalam gendongannya. Miss Miller membantu teddy untuk bangun dan berdiri, aku menghampirinya.
"Ada apa Sarah?"
"Miss Grey mengatakan ingin terbang seperti kupu-kupu. Saya dan Mr. Grey Junior melarangnya dan tiba-tiba dia menaiki meja lalu melompat turun. Beruntung Mr. Grey Junior berhasil menangkapnya," jelas Miss Miller dengan sedikit takut.
Perhatianku dan Christian beralih pada Teddy.
"Aku baik-baik saja," kata Teddy bahkan sebelum kami sempat bertanya, "Ternyata Phoebe cukup berat untuk membuatku terjatuh." Tambah Teddy dengan gaya tenangnya.
"Aku mau terbang," Phoebe merajuk dalam gendongan Christian dan aku mengulurkan tanganku.
"Mommy!" Sambutnya sambil menangis.
Christian menghela napas frustasi dan kembali menanyakan keadaan Teddy.
"Sudah, sudah. Cukup terbangnya hari ini. Kita ke kamar sekarang," kataku dan Phoebe cemberut tapi berhenti menangis.
Aku berjalan menuju kamar Phoebe dan Miss Miller mengikutiku dari belakang. Putri kecilku ini memang sering kali membuat kehebohan, bakat yang aku tidak tahu diturunkan dari mana. Tapi aku bersyukur Phoebe sangat mudah untuk tertidur, kali ini aku tahu itu karena dia putriku.
Melihatnya terlelap adalah hal yang luar biasa indah. Rambut coklat, wajah oval, mata bulat abu-abu, hidung mancung dan bibir mungil lucu, aku rela menyerahkan apapun milikku untuk kebahagiaan bidadari kecilku.
Aku meninggalkan putriku yang sudah bergelung dengan bonekanya. Di ruang tengah aku melihat Christian sedang mengobrol dengan Teddy. Keduanya tampak asyik. Aku menduga mereka sedang membicarakan tentang hobi laki-laki dan semacamnya, mereka sama-sama suka baseball. Aku tidak mau mengganggu, mereka berdua butuh privasi.
Memutuskan untuk membiarkan keduanya, aku memilih untuk kembali ke kamarku. Ingin sedikit berbaring. Tepatnya aku butuh berbaring.
Kenapa aku merasa lelah sekali? Memang apa yang aku lakukan?
Aku memang kurang tidur semalam tapi kenapa rasanya selelah ini. Kepalaku juga berdenyut tidak nyaman. Padahal aku ingat kalau aku sudah makan dengan baik sejak semalam, atas paksaan Christian tentunya.
Aku berbaring tanpa mengganti pakaianku dan entah kenapa aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak terpejam. Aku terlelap.
***
Aku membuka mata dengan panik, tiba-tiba teringat Phoebe. Terengah dan aku bangun dan duduk dengan cepat.
"Hei, ada apa Ana?" Christian menghampiriku dengan cemas. Dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang seksinya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Apa sih yang ku pikirkan? Aku menggerutu pada diriku sendiri sementara dewi batinku menggeliat dengan cara yang tidak sopan di atas sofanya.
"Ada apa?" Christian duduk disebelahku dan mengusap lembut wajahku.
"Phoebe?" Tanyaku bingung.
"Dia baik-baik saja, masih tidur. Bukankah tadi kau bersamanya?" Christian juga terlihat bingung dengan reaksiku. "Kenapa Ana? Kau baik-baik saja?"
"Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk," aku menyisirkan tangan ke rambut panjangku, menenangkan diriku sendiri dari bayangan mimpi buruk yang menggangguku.
"Hei, semua baik-baik saja." Kata Christian saat melihat aku masih frustasi dengan mimpi burukku.
"Kemarilah," Christian menarikku ke dalam pengkuannya, merengkuhku dalam pelukannya.
Pelukannya menenangkanku. Wajahku bersandar di bahunya, tersuruk di lehernya. Aroma tubuh Christian sehabis mandi menyegarkan dan sangat memabukkan. Dalam sekejap aku melupakan mimpu buruk dan sakit kepala yang membuat pelipisku berdenyut.
Tanpa sadar aku sudah mendapati diriku mencium leher suamiku. Bibir Christian berkedut geli saat melihatku.
"Kenapa Mrs. Grey?" Goda Christian. Dia tersenyum, senyum ribuan giga watt yang melelehkanku.
Aku tidak peduli dan mengabaikan sindirannya. Faktanya aku memang membutuhkan dia, membutuhkan suamiku. Setelah semua yang terjadi sejak kemarin, ya, aku menginginkannya.
Christian tidak protes saat aku kembali mencium lehernya. Oh, aku menyukai ini. Christian mengerang saat aku menyusuri garis rahangnya dengan mulutku.
Christian menjalankan tangannya di punggungku, perlahan dia membaringkan aku ke tempat tidur.
"Aku merindukanmu Mrs. Grey," bisiknya di depan bibirku.
Aku tersenyum dan itu hanya sesaat karena kemudian bibirnya dengan lembut bersandar pada bibirku. Mengulumnya, memujanya. Lidahnya mendesakku, menyentuh setiap inchi kenikmatan di dalam mulutku. Aku mengerang lirih di dalam mulutnya. Tangannya bergerak menyusuri setiap inchi tubuhku dan semua keintiman ini membuatku melupakan semua kelelahanku. Christian, suami tercintaku sudah membiusku. Aku melupakan dunia dan membuat gelembung kecil untuk kami berdua.
Hasrat dalam diriku terbakar saat Christian mulai menanggalkan satu persatu pakaianku. Memuja setiap inchi kulit di tubuhku. Akankah aku pernah puas dengan pemujaan suamiku terhadapku? Aku tahu jawabannya adalah tidak. Saat akhirnya Christian memberikan dirinya untukku, aku benar-benar melupakan dunia.
***
Aku tersadar, Christian sedang tersenyum menatapku, membelai wajahku.
"Lebih baik Mrs. Grey?" Tanyanya lembut. Kami berbaring dan dia melilitku dalam pelukannya.
"Hhmm,"
"Kenapa Ana? Masih belum di bumi?" Godanya.
"Kau mengirimku terlalu jauh Mr. Grey," kataku.
"Aku senang bisa melakukannya untukmu Mrs. Grey,"
Aku tertawa, "Kau selalu melakukannya Christian," dan dia juga tertawa.
Aku berhenti dengan tawaku saat pelipisku kembali berdenyut.
"Ada apa?" Christian terkejut melihatku mengeratkan mata. Dia bangun dan menyangga tubuhnya dengan siku disisiku.
Aku menggeleng perlahan.
"Katakan apa yang kau rasakan Ana. Aku tahu kau tidak baik-baik saja," desak Christian.
Aku terdiam, menatap kecemasan di wajahnya. Dia selalu khawatir, ya, dia akan mati cepat karena semua kekhawatiran itu. Dewi batinku mengomel dan aku bergidik membayangkannya. Christian mati karena khawatir padaku? Aku akan memindahkan benua untuk menghindarkan hal itu.
"Ana!" Desaknya lagi.
"Entahlah Christian, aku hanya merasa lelah dan kepalaku sakit sejak kemarin," akhirnya aku mengaku. Aku tidak mau Christian khawatir berlebihan.
Christian turun dari tempat tidur tanpa berkata sepatah katapun. Aku mencoba bangun dan mengabaikan kepalaku yang berdenyut.
Dengan cepat Christian menghilang ke kamar mandi. Aku mendengar suara kran terbuka dan aku tahu apa yang sedang dilakukannya. Menyiapkan air mandi untukku.
Dugaanku tepat, Christian keluar dan menghampiriku. Mengulurkan tangannya padaku untuk turun dari tempat tidur.
"Mari bersihkan dirimu dan kau harus segera beristirahat," katanya.
Keningku berkerut atas perintahnya tapi aku tidak berniat untuk protes. Kami berdua berjalan menuju kamar mandi dan dia memanjakanku di sana. Berendam bersamanya takkan pernah membosankan.
Dengan cepat Christian mengambil celananya dan segera mengenakannya. Mengambil salah satu T-shirt dari dalam laci dan sekarang dia tertutup sempurna, meski tetap seksi.
Aku hanya diam mengamatinya melalui cermin, duduk di depan meja riasku sambil mengeringkan rambut.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Christian, dia mengalungkan lengannya melalui bahuku, mencium puncak kepalaku dan menatapku penuh sayang melalui cermin.
"Aku baik-baik saja Christian,"
"Aku harap kau berkata jujur,"
Aku memutar mataku padanya karena tidak percaya pada ucapanku. Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing, tidak lebih.
"Kau memutar matamu Mrs. Grey?"
"Ya, Mr. Grey, karena aku memiliki suami yang menyebalkan,"
"Menyebalkan? Seberapa menyebalkan jika suamimu memukul pantatmu karena memutar mata padanya?" Kata Christian, aku tahu dia sedang mengajakku bercanda.
Sial! Kalimat provokatifnya langsung terhubung dengan bagian pusat di bawah perutku.
"Kenapa Mrs. Grey?"
Dia tahu aku sangat mudah digoda dan aku menduga dia tahu apa isi otakku sekarang.
"Kau tahu bahwa ancaman yang sudah terlalu sering diucapkan akan mengurangi efeknya?" Kataku.
Bibirnya berkedut geli saat dia membenamkan ciuman di belakang kepalaku.
"Aku tahu itu tidak berlaku bagimu Mrs. Grey. Tapi kau beruntung karena kita sedang jauh dari Escala sekarang," godanya lagi.
Escala? Alam bawah sadarku langsung sadar dengan tingkat kewaspadaan seribu persen dan dewi batinku melakukan tarian hula-hula dengan rumbai yang berlebihan. Sudah dua minggu kami tidak ke sana. Red Room of Pain kami. Dia menggodaku disaat yang tidak tepat. Phoebe baru saja keluar dari rumah sakit dan pastinya kami harus menunda semua kesenangan itu untuk sementara. Alam bawah sadarku kembali terpekur karena pemikiranku dan dewi batinku merajuk dan bersembunyi di balik sofanya, tidak mau menatapku.
"Hentikan memikirkan tentang Escala atau itu akan membuatmu semakin sakit," bisik Christian.
Bagaimana dia tahu? Yah, dia memang selalu tahu.
"Aku hanya sedikit merindukannya," lirihku seraya mengendikkan bahu.
Christian tersenyum, "Aku juga tapi ada hal penting lain yang harus aku pikirkan sekarang selain mengenai kesenangan kita yang akan membuatku melupakan dunia karenamu,"
Aku memutar kepalaku dan menatapnya secara langsung.
"Kau bisa istirahat sebentar, aku akan ke bawah dan melihat apa semuanya sudah siap," kata Christian dan aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
"Untuk?" Tanyaku bingung.
"Mom, Daddy juga Elliot dan Kate akan datang malam ini. Mungkin Mia dan Ethan juga, aku tidak yakin dengan mereka berdua,"
Aku melotot padanya karena tidak memberitahukan hal ini padaku.
"Kau sedang tidur saat Mommy menelepon dan mengatakan akan datang berkunjung untuk melihat Phoebe," jelas Christian.
Aku menghela napas dan beranjak dari kursiku. Melihat ke jam digital di atas nakas, pukul enam petang. Aku masih punya waktu untuk menyiapkan semuanya.
"Hei, kau sedang tidak enak badan sayang. Istirahatlah, Gail dan semua pelayan akan menyelesaikan semuanya,"
Christian menarikku dalam pelukannya.
"Jangan begitu, aku baik-baik saja. Keluargaku akan datang dan aku tidak mungkin hanya duduk tenang di tempat tidur melihat para pelayan menyelesaikan semuanya," kataku.
Melepaskan pelukannya, Christian menatap lembut padaku.
"Itulah kenapa aku sangat mencintaimu Mrs. Grey. Kau sangat lembut dan perhatian," pujinya dan dia menghadiahiku sebuah kecupan manis di sudut bibirku.
"Aku lembut hanya dalam beberapa hal Mr. Grey. Jadi sebaiknya hentikan rayuanmu dan biarkan aku menyiapkan jamuan untuk keluargaku atau aku akan menunjukkan sisi lain dari kelembutan seorang istri," ancamku.
Christian tertawa.
"Seperti biasa, kau selalu punya poin bagus untuk diutarakan Ana," katanya senang.
Dan aku lebih senang lagi karena akhirnya dia membiarkanku keluar dari kamar dan menemui Gail yang ternyata... ya ampun, semua sibuk di dapur.
***
Aku puas saat semuanya selesai menjelang makan malam. Tepat saat aku meletakkan piring terakhir di meja makan bersama dengan Gail, Kate muncul di ruang makan besar.
"Sepertinya Mrs. Grey sedang sibuk," katanya dengan senyum khas Kathrine Kavanagh. Dia merentangkan tangannya dan kami berpelukan.
"Bagaimana kabarmu Kate?" Tanyaku seraya mengecup kedua pipinya.
"Baik dan kau?" Dia melepaskan pelukannya dan menjagaku sejangkauan lengannya, mengamatiku. "Sempurna," katanya.
Aku tertawa, "Berhenti menggodaku dan dimana Ava dan Tommy?"
Aku juga merindukan dua ponakanku. Ava berusia sama dengan Phoebe sementara Tommy baru berusia tiga tahun.
"Di depan bersama yang lain tapi kau tahu mereka akan langsung pergi ke ruang bermain nanti." Kata Kate.
Ya benar. Christian membuat ruang bermain khusus dan itu bagai surga bagi mereka untuk berkumpul dan bermain di sana. Setidaknya dengan begitu kami para orang tua bisa mengobrol dengan tenang, untuk sementara waktu, sebelum Phoebe ataupun Ava menangis karena berebut boneka ataupun mainan lainnya.
"Aku senang Phoebe terlihat baik. Aku khawatir kemarin," kata Kate penuh simpati saat kami berdua berjalan menuju ruang tengah.
"Oh, kau tidak akan percaya Kate. Dia bahkan sudah mau terbang seperti kupu-kupu siang tadi dan membuat Teddy terjatuh karenanya."
Kate tertawa.
Saat kami tiba di ruang tengah aku melihat Phoebe dalam gendongan Carrick dan sedang bercanda dengannya. Ava duduk di sebebelah Christian dan entah mengoceh apa sehingga membuat kening Christian berkerut-kerut. Ava sangat menyukai Christian dan dia selalu membuat suamiku itu tidak berdaya dengan cerita panjangnya.
Teddy tampak sedang bercerita hal serius pada Elliot, dalam hati aku khawatir Elliot akan mengajari hal nakal padanya tapi kemudian aku menyingkirkan pikiran itu. Elliot ayah yang baik. Grace terseyum padaku sambil menggendong Tommy.
Hatiku berbunga melihat semua pemandangan indah ini. Keluarga besarku, keluarga besar yang hangat, saling mencintai dan mengasihi, sempurna. Aku merasakan surga di rumah besarku.
Tapi tiba-tiba semua pemandangan indah itu mengabur, dadaku terasa sesak dan kepalaku berdenyut kencang. Seluruh tubuhku terasa begitu lemah. Aku melihat lantai mendekat ke wajahku dan aku mendengar sebuah teriakan sarat ketakutan. Suara Christian.
"ANA!!"
***
Kasak kasuk terdengar lirih di telingaku. Menarikku dari alam bawah sadarku. Aku mendengar suara Christian tapi tidak tahu apa yang diucapkannya. Saat aku merasakan tangan yang hangat menggenggam tanganku, mataku terbuka.
Sejenak silau oleh lampu, mengerjap dan mataku dengan cepat menyesuaikan diri.
"Oh, Ana," Christian berdiri di sampingku dengan wajah penuh kecemasan.
Ya ampun, aku dimana? Kenapa?
Kepalaku berdenyut saat mengingat apa yang terjadi.
"Hai," hanya itu yang keluar dari mulutku.
Christian mencium keningku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Kecemasannya telah berubah menjadi binar kebahagiaan. Oh, suami mercurialku, tapi kenapa?
"Aku senang melihatmu sayang," bisik Christian, dia masih menggenggam tanganku.
Aku terkejut saat menyadari keadaan di sekitarku. Aku tidak dirumah?
Grace, Carrick, Kate, Elliot, juga...ya ampun Mia yang tengah hamil besar juga Ethan? Semua berdiri di sekekeliling tempat tidurku. Memandangku sambil tersenyum lega. Christian duduk di sebelahku.
"Ada apa? Aku dimana?" Akhirnya mulutku berhasil mengatakan sesuatu.
"Kau pingsan sayang," jelas Christian.
Pingsan? Ah ya, aku ingat aku sedang berada di ruang tengah setelah mempersiapkan jamuan makan malam untuk kami semua.
"Makan malamnya?" Aku memekik.
Semua tertawa bahkan Christian juga. Apa yang lucu?
"Apa yang lucu?" Aku menyuarakan isi kepalaku.
"Lupakan tentang makan malam Ana," kata Grace.
Aku menatapnya bingung.
"Kita akan merayakan itu nanti, setelah kau bisa berdiri tegak," kata Kate.
"Merayakan?"
Aku mengalihkan pandanganku pada Christian yang masih terlihat berbinar bahagia. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik.
"Phoebe akan memiliki seorang adik," bisiknya.
Hah?! Aku seperti disengat listrik ribuan watt, terkejut. Aku melirik pada Mia yang tengah hamil besar tapi kemudian aku sadar pasti bukan itu yang dimaksud Christian.
Tanpa sadar aku mengusap perutku dan menatap Christian. Suami tampanku mengulum senyum lebar lalu mengangguk.
Oh? Aku hamil?! Aku akan punya bayi lagi?
Itu menjelaskan banyak tentang kelelahanku akhir-akhir ini.
Christian menciumku sekali lagi dan air mataku meleleh. Mencair karena semua kebahagiaan ini.
"Terima kasih. Aku mencintaimu Ana,"
"Aku juga mencintamu Christian,"
Dan kami merasakan kebahagian besar bersama keluarga besar kami yang sebentar lagi akan bertambah besar dengan kelahiran baby Mia juga babyku...
Terima kasih Tuhan...aku bahagia dan bersyukur.
***
-Selesai-
*With love from Agnes*
Setting : Lanjutan dari Fifty Shades of Freed
Cerita ini hanya untuk hiburan semata. Thanks yang uda mau baca :)
Aku melompat turun dari Audi R8 dengan tergesa. Panik lebih tepatnya. Aku bahkan mengabaikan Sawyer yang tampak terkejut mematung di dekat pintu karena aku sudah berlari bahkan sebelum dia menyentuh pintu belakang Audi.
Beragam bayangan sudah melintas di kepalaku sejak aku menerima kabar melalui telepon dua jam yang lalu.
Miss Grey terjatuh dari tangga di sekolah
Aku bergidik ngeri mengingat berita itu. Berhenti di depan meja informasi dan sejenak mengatur napas.
"Dimana kamar Phobe Grey? Saya ibunya," Tanyaku, gagal meredakan kepanikanku.
Sementara menunggu perawat memeriksa daftar di monitornya, aku melihat dari sudut mataku kalau Sawyer sudah berdiri tidak jauh dariku. Tentu saja, itu hal bijak jika dia masih mau bekerja sebagai staf keamanan keluarga Grey. Christian pasti akan menempatkan pantatnya di trotoar jika dia berada jauh dariku. Terlebih sejak kejadian yang menimpaku terakhir kali.
Dewi batinku terbahak, itu sudah tujuh tahun yang lalu dan tidak ada yang berubah dengan pengamanan Christian padaku. Tanpa sadar aku menggeleng geli.
"Lantai lima Mrs. Grey, VVIP room nomor 15-B," kata perawat itu dengan sopan dan itu menempatkan kembali otakku pada tempatnya.
Aku segera pergi dengan sebelumnya menggumamkan terima kasih singkat. Dengan cepat Sawyer mendahuluiku untuk menekan tombol panggil lift dan segera bergeser, kembali menempatkan dirinya beberapa kaki di belakangku.
"Terima kasih Sawyer," gumamku dan dia mengangguk sopan dengan ekspresi tenang. Batinku tiba-tiba menggerutu, bagaimana dia bisa setenang itu? Tapi dengan cepat aku tersadar, tentu saja! Phoebe adalah anakku bukan anaknya.
Dentingan keras membuatku tersentak.
Ya Tuhan, kepanikan ini hampir membunuhku. Aku segera masuk ke dalam lift yang untungnya, kosong, kembali mencoba menenangkan diriku.
Miss Grey terjatuh dari tangga di sekolah
Kalimat dari pengasuh Phobe, Sarah Miller, kembali bergaung di kepalaku, menimbulkan sensasi berdenyut yang tidak nyaman.
Pintu lift terbuka dan aku segera keluar, bingung.
"Ke arah sini Mrs Grey," dengan sopan Sawyer melambaikan tangan menunjukkan arah. Tahu kalau aku sedang mengalami disorientasi waktu dan tempat.
Jantungku serasa berhenti berdetak saat membuka kamar dengan tulisan 15-B dipintu.
Phoebe berbaring di atas tempat tidur dan terpejam, aku meyakinkan diriku sendiri kalau dia sedang tidur. Tidak mau mengambil pemikiran lain yang bahkan aku rasa aku tidak akan sanggup untuk memikirkannya.
"Dia baik-baik saja Ana," suara lembut yang tidak asing menyadarkanku.
Grace tersenyum dan aku baru menyadari, banyak orang dalam ruangan itu. Otakku langsung mengabsen satu persatu, Grace, Mrs. Jones, Miss Miller, Miss Dorothy yang adalah salah satu guru kelas di sekolah Phoebe lalu seorang dokter wanita yang aku tidak tahu namanya, berdiri di sebelah tempat tidur putriku dan seperti sedang memeriksa sesuatu.
Aku tidak tahan lagi, menghampiri Grace dan dia memberiku pelukan hangat menenangkan, meski aku sendiri tidak yakin apa itu bisa menenangkanku. Aku butuh dosis obat penenang lebih tinggi sekarang. Menahan air mataku untuk jatuh dan tenggorokanku kering karenanya.
"Bagaimana dia?" Akhirnya suaraku keluar, parau.
Melepaskan pelukannya, Grace membimbingku mendekat kesisi sebelah kanan tempat tidur.
"Ini dokter Rose White, spesialis tulang yang akan menangani Phoebe. Rose ini Anastasia Grey," Grace memperkenalkan.
Dan aku menahan diriku untuk tidak tertawa saat mendengar nama dokter itu, sebuah ironi melintas di kepalaku karena pada kenyataannya dokter itu berpawakan tinggi dengan kulit gelap. Tapi semua ironi yang tidak pada tempatnya itu langsung lenyap saat aku menyadari keahlian dokter White.
"Spesialis tulang? Jadi Phoebe...,"
"Tenang Mrs. Grey, tidak ada yang patah, hanya memar di kaki dan lengannya. Selebihnya kondisinya baik. Dia hanya sedang tidur karena kami memberinya obat penenang," jelas dokter White ramah.
"Oh, Tuhan, terima kasih," ucapku penuh syukur dan Grace memberiku sebuah usapan menenangkan di bahu.
"Boleh aku menyentuhnya dokter?" Tanyaku seraya menyeka air mata kelegaanku.
"Tentu Mrs. Grey, tapi tolong tidak dengan tangan dan kakinya," jawabnya lembut.
"Ya, aku akan hati-hati," dan tubuhku dengan patuh melakukan apa yang aku katakan.
Dengan hati-hati aku menyentuh wajah cantik putriku, membelai kepalanya dan memberikan beberapa kecupan di wajah. Dengan pasti tanganku hanya bergerak sebatas bahu, tidak sanggup membayangkan rasa sakit yang mungkin dirasakannya jika aku menyentuh tangannya. Meski faktanya dia sedang tidak sadar di bawah pengaruh obat. Mataku menyipit saat menyadari dua memar besar di lengan dan tangan Phoebe.
Oh, gedung sekolah itu akan roboh jika Christian melihat ini.
"Christian!" Tanpa sadar aku memekik saat teringat suami over protective ku. Aku bahkan belum mengiriminya pesan.
"Tenang Ana, aku sudah meneleponnya. Dia masih di Portland dan akan segera tiba disini, semoga tidak lama." Kata Grace.
Aku mengangguk karena tidak tahu harus berkomentar apa. Kembali membelai kepala Phoebe, aku mengecup lagi keningnya sebelum akhirnya menjauhkan diriku darinya.
"Saya permisi dulu, perawat akan memeriksanya secara berkala. Dan sangat saya sarankan untuk membiarkannya beristirahat. Anda boleh tenang Mrs. Grey, kondisinya baik. Grace," Dokter White mengangguk sebelum akhirnya pergi.
Miss Dorothy beranjak dari duduknya dan menghampiriku. Untuk pertama kalinya sejak masuk ke dalam ruangan, aku tersenyum.
"Kami sangat menyesal dengan kejadian ini Mrs. Grey. Anak-anak berlarian di tangga dan tanpa sengaja Miss Grey bertabrakan dengan teman sekelasnya. Maafkan kami," Miss Dorothy terlihat begitu menyesal.
"Saya mengerti Miss Dorothy, terima kasih anda sudah berada disini untuk Phoebe," ucapku tulus, aku merasakan penyesalannya bahkan mungkin aku menduga ketakutannya juga.
Seluruh staff sekolah tahu bagaimana Christian menjalankan prosedur ayah yang baik disekolah. Dia bahkan memberikan seperangkat alat keamanan tingkat tinggi untuk sekolah hanya agar setiap ruangan dapat dimonitor dengan sempurna. Bukan hanya karena dia dermawan tapi lebih kepada melindungi putrinya, sebuah prosedur keamanan tingkat tinggi untuk Phoebe.
Dewi batinku memberi peringatan untuk segera menyuruh Miss Dorothy pulang sebelum Christian datang. Dan aku tahu dia benar.
"Karena anda sudah disini, sara rasa saya bisa kembali ke sekolah. Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan. Sekali lagi saya menyesal atas kejadian ini Mrs. Grey,"
Aku beruntung Miss Dorothy sepakat dengan dewi batinku sehingga aku tidak sungkan untuk menyuruhnya pulang, meski itu demi keselamatannya.
"Terima kasih sudah peduli Miss Dorothy. Semua akan baik-baik saja," kataku selembut mungkin.
Kami berjabat tangan dan aku memberi remasan meyakinkan dengan tanganku. Aku meyakinkan diriku kalau putriku akan baik-baik saja dan juga meyakinkan Miss Dorothy bahwa dia akan tetap memiliki pekerjaannya.
Miss Dorothy tersenyum sebelum akhirnya menyalami Grace dan berlalu pergi.
"Duduklah Ana, kau terlihat kacau," Grace mendorong lenganku ke arah sofa tamu dan aku menurut. Duduk dan menenangkan diriku.
"Anda ingin teh Mrs. Grey?" Mrs. Jones bertanya penuh simpati.
"Boleh, terima kasih Gail," ucapku tulus, ya secangkir teh akan sangat membantu.
Mrs. Jones keluar ruangan dan aku baru menyadari Miss Miller memandangku dengan kebingungan.
"Ada apa Sarah?" Tanyaku padanya.
"Hhmm, maafkan saya Mrs. Grey. Seharusnya saya segera membawa Miss Grey pulang dan tidak membiarkannya bermain. Saya juga lalai membiarkannya berlarian di tangga sekolah," akunya sedih.
Oh, terdakwa lainnya.
"Aku tahu bagaimana keras kepalanya putriku Sarah." Aku seperti dipukul dengan pernyataanku sendiri. Memang karena siapa Phobe keras kepala, dewi batinku mendongak kesal seolah sifatku yang satu itu adalah sebuah penyakit turunan yang menjijikkan. Aku mengabaikan kelancangan dewi batinku dan kembali fokus pada Miss Miller yang masih ketakutan.
"Kau tidak usah khawatir, semua sudah aman sekarang," kataku lagi.
"Ku pikir kau juga perlu menenangkan diri Sarah. Keluarlah, hiruplah udara segar. Aku dan Ana akan menjaga Phoebe disini," Grace dengan segala kepeduliannya, aku selalu sujud hormat padanya untuk hal yang satu ini.
"Kau tidak sibuk Mom?" Tanyaku setelah hanya tinggal kami berdua di dalam ruangan. Dia jelas sedang bekerja karena masih mengenakan jas putihnya.
Grace tersenyum, "Aku baru saja selesai memeriksa pasienku saat aku mendengar Phoebe masuk ke emergency room. Jadwalku sedang kosong sekarang, kau tidak perlu khawatirkan itu. Lagipula aku juga ingin menjaga cucuku,"
"Oh Mom, terima kasih," dan tanpa ragu aku kembali memeluknya sebagai bentuk penghargaanku pada perhatian dan kasih sayangnya.
"Dia baik-baik saja Ana. Phoebe kuat sepertimu." Kata Grace saat aku menarik diriku menjauh.
"Lagipula," bibir Grace tersenyum geli, "Ini akan menjadi pelajaran berharga baginya untuk tidak terlalu keras kepala," lanjutnya.
Dan aku kembali menyalahkan diriku karena sudah menurunkan sifat itu padanya tapi kemudian aku mencari pembenaran, bukankah Christian lebih keras kepala daripadaku? Meski dia melakukannya dalam batas aman.
Akhirnya aku terkikik karena tidak tahu harus merespon seperti apa. Grace juga tersenyum lebar. Dan seketika cekikikanku berhenti saat mendengar pintu diketuk. Mrs. Jones datang membawakanku secangkir teh. Dengan bijak dia kembali keluar dan aku kembali mengobrol dengan Grace. Kehadirannya dan secangkir teh sungguh menenangkan. Entah berapa lama kami bicara. Obrolan kami langsung terhenti saat pintu tiba-tiba terbuka lebar.
Oh tidak, aku tegang melihatnya.
Wajah Christian sedingin es, tanpa ekspresi dan matanya tajam seperti belati yang siap mencincang daging dan menjadikannya makanan campuran untuk kucing atau anjing.
Aku segera berdiri dan menghampirinya, melingkarkan tanganku ke tubuhnya erat.
Oh inilah obat penenangku.
Christian membalas pelukanku dengan melingkarkan tangannya padaku, membenamkan wajahnya di rambutku. Strategiku berhasil, aku merasakan ketegangan Christian mereda dalam pelukanku dan itu juga berhasil bagiku. Nyatanya aroma khas Christian Grey membuatku begitu nyaman dan lebih lagi merasa aman.
"Dia baik-baik saja?"
Aku merasakan Christian melepaskanku dengan enggan, tapi kami tahu bahwa ada hal yang lebih penting untuk diurus saat ini.
"Dia baik, memar di tangan dan kakinya. Tapi tidak ada yang patah," aku mencoba mengingat apa yang dikatakan dokter White padaku. Setidaknya itu yang ku ingat selain dari fakta menggelikan tentang ironi antara nama dan warna kulitnya.
Christian menyipitkan mata padaku, berusaha mencerna apa yang aku katakan. Entah bagaimana aku mengatakannya tadi tapi aku merasa Christian sedikit jengkel. Kenapa? Dewi batinku bahkan menggeleng bingung dan tampak panik berlarian di aula besar.
"Aku ingin melihatnya," Christian berjalan menghampiri Grace, memberinya pelukan dan kecupan hangat di kedua pipinya. Ekspresinya kembali tegang saat Grace mengulagi apa yang aku katakan.
Nah apa yang salah sekarang? Aku bicara benar.
Tanpa kata Christian berjalan ke sisi tempat tidur. Mengamati putri kecilnya yang terlelap. Matanya langsung gelap melihat memar di lengan Phoebe.
"Jangan disentuh," kataku panik saat Christian mengulurkan tangannya tapi dengan cepat dia menariknya. Memberikan anggukan padaku.
Apa yang dia lakukan sama dengan apa yang ku lakukan tadi. Membelai kepala Phoebe dan memberinya kecupan sayang di beberapa sudut wajah. Aku merasakan mataku kembali menghangat. Berjalan mendekat ke sisi lain tempat tidur aku kembali mengusap putriku dan menciuminya.
"Oh, putri kecilku," gumamku lirih.
Christian membelai wajahku, ekspresinya melembut.
"Putri kecil kita," ralatnya dan aku memberikan senyuman konyol padanya. Tentu saja dia putri kami, memang bagaimana dia bisa ada didalam rahimku selama sembilan bulan?
"Ya, putri kita tersayang yang keras kepala," kataku.
Christian menyeringai, aku tahu dia menahan diri untuk melemparkan sebuah ironi padaku.
"Aku tidak menganggap Phoebe-ku seperti itu,"
Senyumku mengembang dan itu segera menular padanya.
"Christian, Ana, aku harus pergi sekarang." Grace menyela dan kami secara bersamaan memandangnya.
Christian menghampiri ibunya, "Terima kasih Mom," gumamnya disela pelukan hangat penuh tanda terima kasih.
"Jangan berterima kasih, Phoebe adalah cucuku," protes Grace dengan gaya khasnya yang lembut tapi juga tegas.
"Oke,"
"Aku akan kembali lagi nanti. Kalian berdua tenang saja, dia akan bangun dalam dua atau tiga jam lagi dan semua akan baik-baik saja,"
Grace kembali memberiku sebuah pelukan singkat sebelum dia keluar. Dan akhirnya aku hanya berdua dengan Christian, ya bertiga sebenarnya dengan putri kecilku yang masih terlelap.
"Jadi bagaimana kau tahu tentang Phoebe?" Tanyaku sambil menarik kursi di dekat tempat tidur dan duduk di sisi putriku.
Christian berjalan ke arahku dan duduk di tepi tempat tidur. Aku sedikit mengangkat wajahku dan mata kami saling menatap.
"Aku baru saja selesai rapat saat Mommy meneleponku. Dia hanya bilang kalau Phoebe jatuh dari tangga dan sedang berada di emergency room. Butuh waktu untuk menyiapkan Charlie Tanggo dan aku tidak punya pilihan selain kembali secepatnya dengan Audi. Aku beruntung memiliki Taylor," aku mendengar rasa hormat dan penghargaan dalam nada suaranya. Tapi aku jadi bergidik membayangkan bagaimana Taylor mengemudikan Audi agar cepat sampai di Seattle.
"Kenapa?" Christian bertanya atas reaksiku.
Aku mengendikkan bahu, "Hanya membayangkan kengerian Taylor saat membawa Audi melesat,"
"Oh, Ana, kau tidak tahu betapa gilanya aku tadi membayangkan apa yang mungkin terjadi pada putri kecil kita," Christian menyapukan tangannya dengan gelisah ke rambutnya yang sudah berantakan.
Dia pasti sangat frustasi tadi. Bukankah aku juga?
"Iya aku tahu, aku juga hampir mati karena panik," aku meraih tangan yang ada di atas pahanya, meremasnya.
"Nah, sekarang kau tahu bagaimana rasanya," sekali lagi sebuah kalimat ironi menamparku keras.
Ya, Christian merasakan hal ini setiap waktu. Mengkhawatirkanku, mengkhawatirkan Teddy dan Phoebe. Ya Tuhan, ternyata seperti ini rasanya. Aku memang belum pernah mengkhawatirkan Christian sampai sepanik ini, setidaknya aku tahu Taylor ataupun staf keamanan menjaganya dengan baik. Dan aku baru menyadari ternyata sebuah kekhawatiran bisa begitu mematikan. Kali ini aku menjadi terdakwa.
"Ya Mr. Grey, aku tahu rasanya dan aku juga baru tahu ternyata kau memiliki jantung yang kuat untuk menanggung semua kekhawatiran itu setiap menit di setiap harinya," kataku setengah menyeringai.
Christian balas menyeringai padaku, "Oh kau akan terkejut dengan caraku menjaga kesehatan jantung Mrs. Grey. Aku memiliki terapis pribadi dan sangat ahli dalam hal ini,"
Sial! Bagian bawah tubuhku menegang di saat yang tidak tepat, "Aku tidak terkejut dengan itu Mr. Grey. Ku rasa aku cukup mengenal terapis ahli itu," kataku tak acuh.
Christian memberikan senyum khas mematikannya yang bisa melelehkan semua hati gadis di seluruh benua Amerika, termasuk aku istrinya yang bahkan sudah bersamanya selama tujuh tahun.
Menarikku untuk berdiri, Christian melingkarkan tangannya ke pinggulku. Membuatku berdiri diantara kedua kakinya dan satu tangannya yang lain mengusap lembut sisi wajahku.
"Mulut cerdasmu selalu menggoda untuk dicumbui Mrs. Grey,"
"Ini di rumah sakit Christian," aku sedikit terkejut dengan perkataannya.
"Aku tahu," dan aku melihat bibirnya berkedut menahan geli. "Aku hanya ingin mencium istriku," katanya lagi dan dia segera melakukan apa yang dikatakannya. Aku gagal untuk protes apalagi menolak saat bibir lembut itu memujaku.
Ciuman lembut yang menenangkan. Ya, inilah yang kami butuhkan. Kami berdua sama-sama frustasi. Dan keintiman ini memberikan pembebasan pada emosi kami berdua.
Lidah Christian menari lembut di setiap sudut mulutku dan aku mengerang rendah di dalam mulutnya. Dia berhenti saat merasakan hasrat kami berdua memanas.
"Cukup," katanya saat bibirnya berhenti memujaku. Dewi batinku menendang ke udara dengan gaya kapoeranya karena hasrat tak tersampaikan tapi aku segera mengomelinya dan dengan patuh dia kembali duduk di kursi bacanya dengan memakai kaca mata dan memegang novel tebalnya.
Aku masih berusaha mengatur napasku saat Christian melepaskan tangannya dariku lalu kembali mengusap putri kecil kami.
"Cepatlah bangun sayang." Gumamnya sedih.
"Dia akan baik-baik saja," kataku sambil mengusap lengan kekarnya.
"Aku tahu," jawabnya dan sesaat kemudian wajahnya menegang.
"Ada apa?" Tanyaku, meraih dagunya dan aku memaksanya menatapku.
"Aku akan meminta pengacaraku menyiapkan tuntutan pada pihak sekolah," desisnya marah.
Jantungku seakan melompat ke tenggorokan. Ketakutanku yang lain kembali muncul dan bersinar bak sinar matahari pagi.
"Christian, ini kecelakaan," kataku putus asa.
Keningnya berkerut dalam dan aku tahu dia tidak setuju. Jujur aku juga tapi menuntut pihak sekolah? Aku menggeleng keras.
"Kau sendiri tahu bagaimana sukanya Phoebe berlari kesana kemari. Dia hanya anak-anak berusia lima tahun," kataku.
"Justru karena itu seharusnya hal ini tidak layak terjadi. Anak-anak sampai jatuh di sekolah dengan kualitas kelas satu yang membawa moto keamanan dan kenyamanan bagi siswanya. Kau pikir untuk apa para guru dan pengawas itu dibayar?"
Ya, dalam hati aku membenarkan tapi hanya dalam hati.
"Ana, kau tahu aku tadi sudah membayangkan hal terburuk terjadi pada putriku. Darah, kepala retak, tulang patah," Christian menutup matanya dan mengambil napas. Saat matanya terbuka dia menatapku tajam.
Oh, tidak heran dia terkejut dengan penjelasanku tadi. Bayangannya begitu buruk.
"Tapi nyatanya tidak seperti itu kan?" Aku kembali mencoba mengubah pendiriannya. Sebuah tuntutan? Aku merasa ngeri mendengarnya.
Christian menghela napas lagi dan kali ini menghempaskannya dengan kasar.
"Christian," aku memohon kali ini.
Dia diam, ku pikir dia akan mempertimbangkan keputusannya lagi.
"Dimana Miss Miller?" Tanyanya tiba-tiba.
Oh tidak, jangan Sarah!
"Mommy tadi memintanya keluar untuk menenangkan diri. Dia cukup...ya kau tahu, terkejut dan khawatir dengan semua ini," aku berusaha mendiskripsikan keadaannya dengan penuh simpati.
"Memang seharusnya begitu," tandasnya.
Firasatku tidak enak dengan nada bicaranya.
"Christian," aku kembali memohon.
"Tidak Ana, aku akan mengembalikannya ke Agency dan aku juga akan menuntut Agencynya,"
Napasku berhenti kali ini. Agency juga? Sial!!!
"Ya ampun Mr. Grey, apa kau akan memenuhi daftar pengadilan dengan tuntutan tidak masuk akalmu itu? Aku pikir kau tidak punya cukup waktu untuk datang ke pengadilan dan menjalani sidang," aku mulai habis kesabaran dengan kegilaan suamiku.
"Tidak masuk akal? Lihat Phoebe! Dan aku punya cukup uang untuk membayar pengacaraku. Dia akan duduk di ruang sidang menyelesaikan semua tuntutan itu,"
Otakku jungkir balik. Aku lupa memiliki suami yang super kaya, yang bisa membayar semua pengacara ternama untuk menjalankan keinginannya.
"Putri kita baik-baik saja sayang. Maksudku kau tidak bisa seenaknya menuntut hanya karena anakmu jatuh dan memar. Phoebe suka berlari dan baru berumur lima tahun, apa yang kau harapkan? Dia duduk tenang dikursinya mendengarkan semua perintah Miss Miller? Bahkan kau pun tidak bisa membuatnya duduk tenang selama lima menit," kataku.
Mulut Christian menganga tapi dengan cepat menutupnya. Ya kalimat terakhirku melakukan skak matt padanya.
Aku menghela napas lalu mengusap wajahnya.
"Putri kita baik-baik saja. Dan untuk lain kali kita akan lebih berhati-hati menjaganya. Bagaimana?" Tanyaku, mengajukan pendapatku sebagai sebuah proposisi atas tuntutannya.
Christian masih terlihat frustasi tapi tatapan matanya melembut sekarang dan masih diam. Aku tahu dia sedang mengolah dan mempertimbangkan perkataanku. Aku memutuskan untuk diam dan tidak mendebat lagi. Mendesaknya bukanlah tidakan bijak saat ini. Kami berdua sama-sama syok. Setidaknya untuk beberapa jam kedepan dia tidak akan menandatangani surat tuntutan apapun. Tidak selama aku masih di sampingnya.
Tidakkah menggelikan jika hal ini muncul di media? Christian Grey, salah satu pengusaha paling berkuasa di AS menuntut sekolah dan agency baby sitter karena putrinya jatuh dari tangga dan memar.
Aku menahan diri untuk tidak tertawa pada pemikiranku. Faktanya aku bisa menahan tawaku karena aku merasa begitu lelah sekarang. Aku sedang rapat dengan Roach tadi saat menerima telepon dan langsung berlari ke rumah sakit saat rapat selesai.
Kepalaku melayang.
"Ana!" Christian menangkap tubuhku yang limbung. Turun dari tempat tidur, dengan lembut dia mengangkat tubuhku dan membaringkanku hati-hati di sofa panjang di sudut ruangan kamar.
"Kau kenapa?" Tatapan mata Christian sarat kecemasan, "Apa kau sudah makan?"
Sial!! Makan? Aku bahkan tidak ingat aku punya kewajiban itu. Aku diam dan kekesalan langsung terlihat di wajah Christian. Dia tahu aku tidak makan dan itu semacam pelanggaran hukum baginya. Diam-diam aku berpikir apakah dia akan menuntutku juga karena hal ini?
"Kau hanya sarapan granola pagi ini," sungutnya.
"Seingatku sih begitu," kataku.
Oh Tuhan, aku pusing dan lemas dengan semua kejadian ini dan aku tidak mau berdebat lagi dengan Christian soal makanan.
"Kau harus makan," katanya tegas.
"Oke," aku mengguman setuju, faktanya karena memang aku butuh makan.
"Kau keberatan kalau kita makan disini?" Tanya Christian hati-hati. Oh suamiku, kau pikir kita akan makan di restoran mewah sementara putriku sakit?
"Aku tidak mau meninggalkan Phoebe," kataku.
Ekspresi Christian melembut, "Bagus, aku juga tidak mau meninggalkannya,"
Ya, aku tahu. Aku bahkan tidak heran kalau kau bisa memindahkan Grey House ke sini demi untuk menunggui putrimu.
"Kau mau apa?" Tanyanya, tangannya sudah menggenggam blackberry.
"Apa saja," jawabku.
"Kau mau berjanji akan memakan apapun yang aku pesan?" Wajahnya kembali mengeras.
Nah itu masalahnya, apa aku bisa makan? "Tentu," jawabku singkat dan meyakinkan. Topik makanan tidak untuk diperdebatkan bagi Christian.
"Bagus," dan dia menekan tombol speed dial, "Taylor, Ana dan aku ingin chicken cream soup, risotto dengan jamur, roti putih, steak ikan kod....buah?"
Sial! Itu banyak sekali makanan. Christian menatapku. Aku tahu dia menanyakan soal buah dan aku mengangguk, "Anggur," bisikku.
"Ya, Ana ingin anggur. Terima kasih,"
Christian menatapku heran setelah mematikan teleponnya. Aku tahu kenapa.
"Phoebe suka anggur, sebentar lagi dia bangun," kataku.
Bibir Christian menyunggingkan senyum, "Kau memang ibu yang luar biasa Mrs. Grey,"
Dan Christian menghadiahiku sebuah kecupan manis di bibir.
"Kau juga suami dan ayah yang luar biasa Mr. Grey," pujiku.
Dan dia tersenyum malu-malu, senyum ala Christian Grey.
"Aku tersanjung,"
Dan aku terkikik karenanya tapi langsung berhenti karena kepalaku berdenyut. Sial!
Ekspresi Christian mengeras saat melihatku, "Aku akan memanggil dokter dan memesan kamar sebelah jika kau tidak makan dengan baik," ancamnya.
"Oke, oke Mr. Grey. Simpan ancamanmu untuk lain kali,"
Matanya melotot padaku, "Tidak ada lain kali Ana," tandasnya.
Oh ya, lain kali aku tidak akan lupa makan? Aku ragu.
"Ku usahakan," kataku kemudian saat matanya mendesak meminta jawaban dariku.
Christian menggeleng tapi aku tahu dia menahan rasa geli karena sikapku.
***
"Buka mulut sayang, ini terakhir," kataku dan Phoebe menurut. Mata bulatnya mengerjap senang saat melihat mangkoknya kosong.
"Selesai," katanya girang.
Aku tertawa dan Christian memandang penuh prihatin pada putri kami.
"Dia juga susah sekali makan seperti mommy-nya," gerutu Christian frustasi.
Aku tersenyum sambil membereskan sisa makanan di atas nampan. Mendorong kereta makan dan Miss Miller dengan cekatan menjauhkannya dari tempat tidur. Dia masih terlihat takut dengan Christian tapi aku sudah memastikan bahwa Miss Miller akan tetap menjadi pengasuh Phoebe.
Christian duduk di samping putrinya dan bercanda. Gerakannya terlihat kaku karena takut mengenai luka memar di tangan dan kaki Phoebe. Padahal putri kecil kami itu sekarang tergelak-gelak senang dan menggoyangkan tangannya dengan semangat saat dia memperagakan tarian kupu-kupunya dengan kedua lengan.
"Aku baru saja menelepon Teddy, dia sangat khawatir tapi aku melarangnya datang karena Phoebe sudah boleh pulang siang ini," kataku.
Christian mengangguk, dia setuju denganku kali ini.
"Aku harap Gail akan menjaganya dengan baik," Christian cemas juga dengan juniornya.
Aku juga, meski sebenarnya di rumah besar anak laki-lakiku tidak sendiri. Setidaknya ada tiga pembantu dan tiga staf keamanan yang selalu siaga di rumah, itu juga diluar Taylor, Sawyer dan Ryan. Terkadang aku masih tidak percaya kalau rumahku memiliki sistem keamanan ketat layaknya gedung putih. Tapi itulah Christian, dia akan menutup kemungkinan sekecil apapun untuk keluarganya berada dalam bahaya. Dan hasilnya memang terlihat, selama tujuh tahun kami tinggal di rumah besar tidak ada hal menakutkan yang mengancam kami.
"Kau baik-baik saja sayang?" Christian menyela renungan panjangku. Setelah semalam aku hampir pingsan, aku tahu Christian juga jadi mengkhawatirkanku. Tapi aku baik-baik saja, hanya lelah.
"Aku baik-baik saja. Jangan khawatirkan aku,"
Wajah Christian masam, "Kau tahu itu tidak mungkin Ana," katanya kecewa atas pernyataanku.
Aku tersenyum, memang sebuah kemustahilan kalau suamiku, adonis tampanku, dewa yunaniku itu tidak mengkhawatirkan aku.
Aku duduk di samping phoebe dan bidadariku itu segera melompat ke pangkuanku. Mata Christian menatap ngeri dan aku terbahak.
"Nah, kau lihat kan, putrimu ini bahkan lupa kalau dia sedang sakit," kataku setelah berhenti tertawa.
"Aku tidak sakit," kata Phoebe yang mendongak padaku. Tatapannya mengisyaratkan sebuah protes.
"Iya, sayang, kau tidak sakit," kataku seraya mengusap lembut kepalanya. Christian menggeleng tak percaya atas sikap putrinya.
"Daddy, es krim," kata Phoebe girang, sekarang melompat kepangkuan Christian.
"Oh sayang, bisakah kau berhenti untuk melompat?" Christian hampir mati karena putus asa melihat putrinya dan Phoebe tanpa dosa memandangnya.
"Kenapa?" Tanyanya tidak mengerti dengan larangan ayahnya.
"Kau harus lebih hati-hati sekarang," kata Christian lagi dan aku menahan diri untuk tidak tertawa. Tidak yakin Phoebe mengerti instruksi ayahnya.
"Kenapa?" Tanya phoebe lagi bahkan kali ini dia memaksa berdiri. Phoebe menjulang di depan ayahnya dan mengalungkan kedua tangannya ke leher Christian.
"Aku mau es krim," katanya lagi mengabaikan larangan Christian yang dia tidak mengerti alasannya.
Aku tertawa dan Christian benar-benar putus asa.
"Dia keras kepala sepertimu," gerutu Christian dan aku tidak membantahnya. Kenyataannya memang begitu. Sekarang hal itu terdengar lucu meski kemarin hal itu seperti menampar wajahku.
"Es krim!" Phoebe mengerucutkan bibirnya lucu.
"Iya, sayang. Kita akan membeli es krim saat pulang nanti," Christian menenangkan dan langsung gagal karena sekarang Phoebe justru menangis keras karena keinginannya yang tertunda.
Dia melepaskan tangannya dari leher Christian dan berbalik memelukku. Aku tersenyum saat melihat kekecewaan di wajah suamiku.
Turun dari tempat tidur, aku menggendong Phoebe dan berjalan ke lemari pendingin. Aku ingat masih memiliki sesuatu di sana. Aku dan Phoebe duduk di sofa di sebelah lemari pendingin.
"Kalau Phoebe berhenti menangis, mommy akan memberimu hadiah," bujukku dan mendengar kata hadiah mata Phoebe yang berlinang air mata langsung berbinar cerah. Nah kali ini adalah sifat mercurial turunan ayahnya.
Phoebe mengangguk senang. Dengan satu tangan aku membuka lemari pendingin dan mengeluarkan sekotak anggur dari dalamnya. Phoebe memekik kegirangan.
Christian bergabung dengan kami. Dan semua tangisan phoebe terlupakan, kecemasan Christian juga meluntur.
***
"Phoebe!!" Pekik Teddy girang saat kami tiba di ruang tamu besar, dia bahkan berteriak saat masih setengah perjalanan menuruni tangga.
"Hati-hati Ted! Daddy tidak mau ada lagi yang masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga," Christian memperingatkan.
"Aku lebih kuat dari itu dad, tidakkah kau percaya?" Protes Teddy sambil melompat dari dua anak tangga terakhir dan mendarat dengan sempurna di lantai. Kedua tangannya terentang dan dia tersenyum bangga akan aksinya. Phoebe memekik sambil bertepuk tangan girang dalam gendongan Christian.
"Aku akan menghukummu jika kau mengajarkan hal itu pada adikmu," ancamku dengan mengacungkan telunjuk padanya.
"Aku tidak perlu mengajarinya Mom, dia bahkan lebih ahli dariku," Teddy menyeringai saat berjalan menghampiri adiknya dan Christian menyipitkan mata pada juniornya.
"Itu bukan lelucon Ted," kata Christian kesal, mengingat dia hampir mati karena khawatir kemarin.
"Sorry Dad," Ted kembali menyeringai dan mengendikkan bahunya. Gayanya sungguh di luar usianya. Theodore Raymond Grey baru genap berusia tujuh tahun beberapa bulan yang lalu dan dia bahkan sudah menjelma menjadi Christian Junior yang mempesona. Tubuhnya tinggi dan tegap, rambut tembaga, wajah tampan dan senyum mematikan. Aku bahkan masih ingat bagaimana hebohnya sekolah saat Teddy pertama kali menginjakkan kakiknya di sekolah dasar tahun pertamanya. Dia terlihat mencolok diantara teman seusianya dan kepercayaan diri yang jelas itu diturunkan oleh ayahnya, bukan olehku, membuatnya terlihat bak bintang cemerlang. Aku menghela napas panjang melihat putra kebanggaanku.
Phoebe sudah berlarian sekarang, Teddy mengejar adik kesayangannya. Ya, Phoebe selalu menjadi kesayangan baginya. Mungkin aku sedikit lega atau bahkan mungkin juga senang karena sifat over protective Christian tidak menurun pada kedua anakku. Setidaknya mereka merasa bebas melakukan segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya, aku menyeringai, terdengar sangat-aku-sekali.
"Apa ini?" Christian meraih daguku dan membuatku menatap matanya yang penuh tanda tanya.
Aku tersenyum, "Tidak, aku hanya sedang menikmati kebahagian ini. Lihatlah kedua anak kita yang ya...aku bahkan tidak percaya mereka sudah tumbuh secepat itu,"
Senyumku menular, "Aku juga merasakannya. Ini semua luar biasa Ana. Kebahagiaan yang luar biasa,"
Brukk!! Suara bedebum keras mengejutkan kami berdua dan Phoebe menangis keras. Christian langsung berlari begitu juga aku.
"Ada apa?" Tanya Christian bingung.
Kami berdua terpaku. Teddy terlentang di lantai dan Phoebe duduk di atas perutnya sambil menangis. Miss Miller berusaha menenangkannya tapi Christian langsung mengangkat putri kecil dalam gendongannya. Miss Miller membantu teddy untuk bangun dan berdiri, aku menghampirinya.
"Ada apa Sarah?"
"Miss Grey mengatakan ingin terbang seperti kupu-kupu. Saya dan Mr. Grey Junior melarangnya dan tiba-tiba dia menaiki meja lalu melompat turun. Beruntung Mr. Grey Junior berhasil menangkapnya," jelas Miss Miller dengan sedikit takut.
Perhatianku dan Christian beralih pada Teddy.
"Aku baik-baik saja," kata Teddy bahkan sebelum kami sempat bertanya, "Ternyata Phoebe cukup berat untuk membuatku terjatuh." Tambah Teddy dengan gaya tenangnya.
"Aku mau terbang," Phoebe merajuk dalam gendongan Christian dan aku mengulurkan tanganku.
"Mommy!" Sambutnya sambil menangis.
Christian menghela napas frustasi dan kembali menanyakan keadaan Teddy.
"Sudah, sudah. Cukup terbangnya hari ini. Kita ke kamar sekarang," kataku dan Phoebe cemberut tapi berhenti menangis.
Aku berjalan menuju kamar Phoebe dan Miss Miller mengikutiku dari belakang. Putri kecilku ini memang sering kali membuat kehebohan, bakat yang aku tidak tahu diturunkan dari mana. Tapi aku bersyukur Phoebe sangat mudah untuk tertidur, kali ini aku tahu itu karena dia putriku.
Melihatnya terlelap adalah hal yang luar biasa indah. Rambut coklat, wajah oval, mata bulat abu-abu, hidung mancung dan bibir mungil lucu, aku rela menyerahkan apapun milikku untuk kebahagiaan bidadari kecilku.
Aku meninggalkan putriku yang sudah bergelung dengan bonekanya. Di ruang tengah aku melihat Christian sedang mengobrol dengan Teddy. Keduanya tampak asyik. Aku menduga mereka sedang membicarakan tentang hobi laki-laki dan semacamnya, mereka sama-sama suka baseball. Aku tidak mau mengganggu, mereka berdua butuh privasi.
Memutuskan untuk membiarkan keduanya, aku memilih untuk kembali ke kamarku. Ingin sedikit berbaring. Tepatnya aku butuh berbaring.
Kenapa aku merasa lelah sekali? Memang apa yang aku lakukan?
Aku memang kurang tidur semalam tapi kenapa rasanya selelah ini. Kepalaku juga berdenyut tidak nyaman. Padahal aku ingat kalau aku sudah makan dengan baik sejak semalam, atas paksaan Christian tentunya.
Aku berbaring tanpa mengganti pakaianku dan entah kenapa aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak terpejam. Aku terlelap.
***
Aku membuka mata dengan panik, tiba-tiba teringat Phoebe. Terengah dan aku bangun dan duduk dengan cepat.
"Hei, ada apa Ana?" Christian menghampiriku dengan cemas. Dia bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang melilit pinggang seksinya. Tanpa sadar aku menelan ludah. Apa sih yang ku pikirkan? Aku menggerutu pada diriku sendiri sementara dewi batinku menggeliat dengan cara yang tidak sopan di atas sofanya.
"Ada apa?" Christian duduk disebelahku dan mengusap lembut wajahku.
"Phoebe?" Tanyaku bingung.
"Dia baik-baik saja, masih tidur. Bukankah tadi kau bersamanya?" Christian juga terlihat bingung dengan reaksiku. "Kenapa Ana? Kau baik-baik saja?"
"Tidak, aku tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk," aku menyisirkan tangan ke rambut panjangku, menenangkan diriku sendiri dari bayangan mimpi buruk yang menggangguku.
"Hei, semua baik-baik saja." Kata Christian saat melihat aku masih frustasi dengan mimpi burukku.
"Kemarilah," Christian menarikku ke dalam pengkuannya, merengkuhku dalam pelukannya.
Pelukannya menenangkanku. Wajahku bersandar di bahunya, tersuruk di lehernya. Aroma tubuh Christian sehabis mandi menyegarkan dan sangat memabukkan. Dalam sekejap aku melupakan mimpu buruk dan sakit kepala yang membuat pelipisku berdenyut.
Tanpa sadar aku sudah mendapati diriku mencium leher suamiku. Bibir Christian berkedut geli saat melihatku.
"Kenapa Mrs. Grey?" Goda Christian. Dia tersenyum, senyum ribuan giga watt yang melelehkanku.
Aku tidak peduli dan mengabaikan sindirannya. Faktanya aku memang membutuhkan dia, membutuhkan suamiku. Setelah semua yang terjadi sejak kemarin, ya, aku menginginkannya.
Christian tidak protes saat aku kembali mencium lehernya. Oh, aku menyukai ini. Christian mengerang saat aku menyusuri garis rahangnya dengan mulutku.
Christian menjalankan tangannya di punggungku, perlahan dia membaringkan aku ke tempat tidur.
"Aku merindukanmu Mrs. Grey," bisiknya di depan bibirku.
Aku tersenyum dan itu hanya sesaat karena kemudian bibirnya dengan lembut bersandar pada bibirku. Mengulumnya, memujanya. Lidahnya mendesakku, menyentuh setiap inchi kenikmatan di dalam mulutku. Aku mengerang lirih di dalam mulutnya. Tangannya bergerak menyusuri setiap inchi tubuhku dan semua keintiman ini membuatku melupakan semua kelelahanku. Christian, suami tercintaku sudah membiusku. Aku melupakan dunia dan membuat gelembung kecil untuk kami berdua.
Hasrat dalam diriku terbakar saat Christian mulai menanggalkan satu persatu pakaianku. Memuja setiap inchi kulit di tubuhku. Akankah aku pernah puas dengan pemujaan suamiku terhadapku? Aku tahu jawabannya adalah tidak. Saat akhirnya Christian memberikan dirinya untukku, aku benar-benar melupakan dunia.
***
Aku tersadar, Christian sedang tersenyum menatapku, membelai wajahku.
"Lebih baik Mrs. Grey?" Tanyanya lembut. Kami berbaring dan dia melilitku dalam pelukannya.
"Hhmm,"
"Kenapa Ana? Masih belum di bumi?" Godanya.
"Kau mengirimku terlalu jauh Mr. Grey," kataku.
"Aku senang bisa melakukannya untukmu Mrs. Grey,"
Aku tertawa, "Kau selalu melakukannya Christian," dan dia juga tertawa.
Aku berhenti dengan tawaku saat pelipisku kembali berdenyut.
"Ada apa?" Christian terkejut melihatku mengeratkan mata. Dia bangun dan menyangga tubuhnya dengan siku disisiku.
Aku menggeleng perlahan.
"Katakan apa yang kau rasakan Ana. Aku tahu kau tidak baik-baik saja," desak Christian.
Aku terdiam, menatap kecemasan di wajahnya. Dia selalu khawatir, ya, dia akan mati cepat karena semua kekhawatiran itu. Dewi batinku mengomel dan aku bergidik membayangkannya. Christian mati karena khawatir padaku? Aku akan memindahkan benua untuk menghindarkan hal itu.
"Ana!" Desaknya lagi.
"Entahlah Christian, aku hanya merasa lelah dan kepalaku sakit sejak kemarin," akhirnya aku mengaku. Aku tidak mau Christian khawatir berlebihan.
Christian turun dari tempat tidur tanpa berkata sepatah katapun. Aku mencoba bangun dan mengabaikan kepalaku yang berdenyut.
Dengan cepat Christian menghilang ke kamar mandi. Aku mendengar suara kran terbuka dan aku tahu apa yang sedang dilakukannya. Menyiapkan air mandi untukku.
Dugaanku tepat, Christian keluar dan menghampiriku. Mengulurkan tangannya padaku untuk turun dari tempat tidur.
"Mari bersihkan dirimu dan kau harus segera beristirahat," katanya.
Keningku berkerut atas perintahnya tapi aku tidak berniat untuk protes. Kami berdua berjalan menuju kamar mandi dan dia memanjakanku di sana. Berendam bersamanya takkan pernah membosankan.
Dengan cepat Christian mengambil celananya dan segera mengenakannya. Mengambil salah satu T-shirt dari dalam laci dan sekarang dia tertutup sempurna, meski tetap seksi.
Aku hanya diam mengamatinya melalui cermin, duduk di depan meja riasku sambil mengeringkan rambut.
"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Christian, dia mengalungkan lengannya melalui bahuku, mencium puncak kepalaku dan menatapku penuh sayang melalui cermin.
"Aku baik-baik saja Christian,"
"Aku harap kau berkata jujur,"
Aku memutar mataku padanya karena tidak percaya pada ucapanku. Aku baik-baik saja, hanya sedikit pusing, tidak lebih.
"Kau memutar matamu Mrs. Grey?"
"Ya, Mr. Grey, karena aku memiliki suami yang menyebalkan,"
"Menyebalkan? Seberapa menyebalkan jika suamimu memukul pantatmu karena memutar mata padanya?" Kata Christian, aku tahu dia sedang mengajakku bercanda.
Sial! Kalimat provokatifnya langsung terhubung dengan bagian pusat di bawah perutku.
"Kenapa Mrs. Grey?"
Dia tahu aku sangat mudah digoda dan aku menduga dia tahu apa isi otakku sekarang.
"Kau tahu bahwa ancaman yang sudah terlalu sering diucapkan akan mengurangi efeknya?" Kataku.
Bibirnya berkedut geli saat dia membenamkan ciuman di belakang kepalaku.
"Aku tahu itu tidak berlaku bagimu Mrs. Grey. Tapi kau beruntung karena kita sedang jauh dari Escala sekarang," godanya lagi.
Escala? Alam bawah sadarku langsung sadar dengan tingkat kewaspadaan seribu persen dan dewi batinku melakukan tarian hula-hula dengan rumbai yang berlebihan. Sudah dua minggu kami tidak ke sana. Red Room of Pain kami. Dia menggodaku disaat yang tidak tepat. Phoebe baru saja keluar dari rumah sakit dan pastinya kami harus menunda semua kesenangan itu untuk sementara. Alam bawah sadarku kembali terpekur karena pemikiranku dan dewi batinku merajuk dan bersembunyi di balik sofanya, tidak mau menatapku.
"Hentikan memikirkan tentang Escala atau itu akan membuatmu semakin sakit," bisik Christian.
Bagaimana dia tahu? Yah, dia memang selalu tahu.
"Aku hanya sedikit merindukannya," lirihku seraya mengendikkan bahu.
Christian tersenyum, "Aku juga tapi ada hal penting lain yang harus aku pikirkan sekarang selain mengenai kesenangan kita yang akan membuatku melupakan dunia karenamu,"
Aku memutar kepalaku dan menatapnya secara langsung.
"Kau bisa istirahat sebentar, aku akan ke bawah dan melihat apa semuanya sudah siap," kata Christian dan aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
"Untuk?" Tanyaku bingung.
"Mom, Daddy juga Elliot dan Kate akan datang malam ini. Mungkin Mia dan Ethan juga, aku tidak yakin dengan mereka berdua,"
Aku melotot padanya karena tidak memberitahukan hal ini padaku.
"Kau sedang tidur saat Mommy menelepon dan mengatakan akan datang berkunjung untuk melihat Phoebe," jelas Christian.
Aku menghela napas dan beranjak dari kursiku. Melihat ke jam digital di atas nakas, pukul enam petang. Aku masih punya waktu untuk menyiapkan semuanya.
"Hei, kau sedang tidak enak badan sayang. Istirahatlah, Gail dan semua pelayan akan menyelesaikan semuanya,"
Christian menarikku dalam pelukannya.
"Jangan begitu, aku baik-baik saja. Keluargaku akan datang dan aku tidak mungkin hanya duduk tenang di tempat tidur melihat para pelayan menyelesaikan semuanya," kataku.
Melepaskan pelukannya, Christian menatap lembut padaku.
"Itulah kenapa aku sangat mencintaimu Mrs. Grey. Kau sangat lembut dan perhatian," pujinya dan dia menghadiahiku sebuah kecupan manis di sudut bibirku.
"Aku lembut hanya dalam beberapa hal Mr. Grey. Jadi sebaiknya hentikan rayuanmu dan biarkan aku menyiapkan jamuan untuk keluargaku atau aku akan menunjukkan sisi lain dari kelembutan seorang istri," ancamku.
Christian tertawa.
"Seperti biasa, kau selalu punya poin bagus untuk diutarakan Ana," katanya senang.
Dan aku lebih senang lagi karena akhirnya dia membiarkanku keluar dari kamar dan menemui Gail yang ternyata... ya ampun, semua sibuk di dapur.
***
Aku puas saat semuanya selesai menjelang makan malam. Tepat saat aku meletakkan piring terakhir di meja makan bersama dengan Gail, Kate muncul di ruang makan besar.
"Sepertinya Mrs. Grey sedang sibuk," katanya dengan senyum khas Kathrine Kavanagh. Dia merentangkan tangannya dan kami berpelukan.
"Bagaimana kabarmu Kate?" Tanyaku seraya mengecup kedua pipinya.
"Baik dan kau?" Dia melepaskan pelukannya dan menjagaku sejangkauan lengannya, mengamatiku. "Sempurna," katanya.
Aku tertawa, "Berhenti menggodaku dan dimana Ava dan Tommy?"
Aku juga merindukan dua ponakanku. Ava berusia sama dengan Phoebe sementara Tommy baru berusia tiga tahun.
"Di depan bersama yang lain tapi kau tahu mereka akan langsung pergi ke ruang bermain nanti." Kata Kate.
Ya benar. Christian membuat ruang bermain khusus dan itu bagai surga bagi mereka untuk berkumpul dan bermain di sana. Setidaknya dengan begitu kami para orang tua bisa mengobrol dengan tenang, untuk sementara waktu, sebelum Phoebe ataupun Ava menangis karena berebut boneka ataupun mainan lainnya.
"Aku senang Phoebe terlihat baik. Aku khawatir kemarin," kata Kate penuh simpati saat kami berdua berjalan menuju ruang tengah.
"Oh, kau tidak akan percaya Kate. Dia bahkan sudah mau terbang seperti kupu-kupu siang tadi dan membuat Teddy terjatuh karenanya."
Kate tertawa.
Saat kami tiba di ruang tengah aku melihat Phoebe dalam gendongan Carrick dan sedang bercanda dengannya. Ava duduk di sebebelah Christian dan entah mengoceh apa sehingga membuat kening Christian berkerut-kerut. Ava sangat menyukai Christian dan dia selalu membuat suamiku itu tidak berdaya dengan cerita panjangnya.
Teddy tampak sedang bercerita hal serius pada Elliot, dalam hati aku khawatir Elliot akan mengajari hal nakal padanya tapi kemudian aku menyingkirkan pikiran itu. Elliot ayah yang baik. Grace terseyum padaku sambil menggendong Tommy.
Hatiku berbunga melihat semua pemandangan indah ini. Keluarga besarku, keluarga besar yang hangat, saling mencintai dan mengasihi, sempurna. Aku merasakan surga di rumah besarku.
Tapi tiba-tiba semua pemandangan indah itu mengabur, dadaku terasa sesak dan kepalaku berdenyut kencang. Seluruh tubuhku terasa begitu lemah. Aku melihat lantai mendekat ke wajahku dan aku mendengar sebuah teriakan sarat ketakutan. Suara Christian.
"ANA!!"
***
Kasak kasuk terdengar lirih di telingaku. Menarikku dari alam bawah sadarku. Aku mendengar suara Christian tapi tidak tahu apa yang diucapkannya. Saat aku merasakan tangan yang hangat menggenggam tanganku, mataku terbuka.
Sejenak silau oleh lampu, mengerjap dan mataku dengan cepat menyesuaikan diri.
"Oh, Ana," Christian berdiri di sampingku dengan wajah penuh kecemasan.
Ya ampun, aku dimana? Kenapa?
Kepalaku berdenyut saat mengingat apa yang terjadi.
"Hai," hanya itu yang keluar dari mulutku.
Christian mencium keningku dan mengusap kepalaku dengan lembut. Kecemasannya telah berubah menjadi binar kebahagiaan. Oh, suami mercurialku, tapi kenapa?
"Aku senang melihatmu sayang," bisik Christian, dia masih menggenggam tanganku.
Aku terkejut saat menyadari keadaan di sekitarku. Aku tidak dirumah?
Grace, Carrick, Kate, Elliot, juga...ya ampun Mia yang tengah hamil besar juga Ethan? Semua berdiri di sekekeliling tempat tidurku. Memandangku sambil tersenyum lega. Christian duduk di sebelahku.
"Ada apa? Aku dimana?" Akhirnya mulutku berhasil mengatakan sesuatu.
"Kau pingsan sayang," jelas Christian.
Pingsan? Ah ya, aku ingat aku sedang berada di ruang tengah setelah mempersiapkan jamuan makan malam untuk kami semua.
"Makan malamnya?" Aku memekik.
Semua tertawa bahkan Christian juga. Apa yang lucu?
"Apa yang lucu?" Aku menyuarakan isi kepalaku.
"Lupakan tentang makan malam Ana," kata Grace.
Aku menatapnya bingung.
"Kita akan merayakan itu nanti, setelah kau bisa berdiri tegak," kata Kate.
"Merayakan?"
Aku mengalihkan pandanganku pada Christian yang masih terlihat berbinar bahagia. Dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik.
"Phoebe akan memiliki seorang adik," bisiknya.
Hah?! Aku seperti disengat listrik ribuan watt, terkejut. Aku melirik pada Mia yang tengah hamil besar tapi kemudian aku sadar pasti bukan itu yang dimaksud Christian.
Tanpa sadar aku mengusap perutku dan menatap Christian. Suami tampanku mengulum senyum lebar lalu mengangguk.
Oh? Aku hamil?! Aku akan punya bayi lagi?
Itu menjelaskan banyak tentang kelelahanku akhir-akhir ini.
Christian menciumku sekali lagi dan air mataku meleleh. Mencair karena semua kebahagiaan ini.
"Terima kasih. Aku mencintaimu Ana,"
"Aku juga mencintamu Christian,"
Dan kami merasakan kebahagian besar bersama keluarga besar kami yang sebentar lagi akan bertambah besar dengan kelahiran baby Mia juga babyku...
Terima kasih Tuhan...aku bahagia dan bersyukur.
***
-Selesai-
*With love from Agnes*
3 Comments
Senengnyaaa.... makasih mba Agnes sukaaaa....bacanya
ReplyDeleteMb agnes,ma kasih ya udah tulis cerita yg bagus.. :-)
ReplyDeleteTapi maaf mb, fifty shades of freed ada ga ? Belum saya baca kisah ana n grey yg itu.. ma kasih sebelumnya ya mb n sukses selalu untuk mb Agnes.. chayo ! :D
makasih uda baca ya mba. saya mau kirim e-book nya tapi saya ga tahu alamat emailnya
Delete