Pure Love - Chapter 6






Suara jam beker membuat seorang gadis menggeliat panjang di atas tempat tidur. Seolah enggan untuk beranjak, sang gadis kembali bergelung di bawah selimutnya. Udara di awal musim panas itu sama sekali tidak mengganggunya karena AC dikamar membuatnya tetap nyaman.
"Nona Maya, sudah waktunya anda bangun." Sang menejer, Midori, mengguncang perlahan bahu Maya.
Sekali lagi Maya menggeliat panjang lalu turun dari tempat tidurnya.
"Bukankah saya sudah mengingatkan anda untuk istirahat lebih awal tadi malam?" Tanya Midori begitu melihat lingkaran hitam di mata Maya seusai mandi.
Maya tertawa mendengarnya, "Salahkan Koji kalau begitu."
"Tuan Sakurakoji? Dia datang menemui anda semalam?" Tanya Midori sembari sibuk menyiapkan sarapan untuk Maya.
"Ya begitulah, tapi tenang saja, semua selesai dengan baik meski aku tidak bisa tidur setelahnya."
Midori hanya bisa menggeleng geli dengan jawaban Maya.
"Nikmati sarapan anda, saya akan siapkan keperluan anda sebelum berangkat." Ucap Midori.
Maya mengangguk sambil menggigit roti bakarnya, "Terima kasih," jawabnya kemudian.

***
Gedung Theatre Daito, Kyoto.
Kilatan kamera, wawancara, pengguntingan pita dan kata sambutan, sungguh membuat Masumi menggerutu dalam hati. Pasalnya para wartawan itu juga menyelipkan pertanyaan seputar masalah perceraiannya alih-alih membahas masalah peresmian gedung. Tapi bukan Masumi namanya jika tidak bisa menghadapi serbuan tikus-tikus pencari berita itu. Sekesal apapun dirinya, topeng sang direktur utama tidak boleh sampai terlepas. Alhasil, beberapa wartawan yang lancang justru terlihat pucat saat Masumi menyatakan beberapa hal mengenai batas privasi dan konsekuensinya. Masumi menyeringai penuh kemenangan.
Masumi yang mulai menikmati jalannya pesta peresmian tampak terusik dengan getar handphone yang ada di dalam saku atas jasnya. Tapi nama yang muncul di layar membuat Masumi sedikit bersemangat.
"Ya Nona Midori?"
"Selamat siang Tuan. Sesuai permintaan anda, semuanya sudah saya siapkan."
Masumi menaikkan sedikit sudut bibirnya dan berjalan menjauh dari keramaian.
"Bagus. Bagaimana dengan jadwalnya hari ini?"
"Semua sudah saya koordinasikan."
Kali ini dewa keberuntungan berpihak pada Masumi. Setelah semalaman dia mengatur beberapa rencana sampai mengorbankan waktu tidurnya, sekarang semuanya berjalan lancar. Salahkan Koji yang membuatnya meradang semalaman. Jika bukan demi Maya, dia pasti sudah menghadiahi pemuda itu pukulan telak dari rahang bawah. Berani menyentuh apa yang menjadi milik seorang Masumi adalah kesalahan besar dan Masumi akan membalas semua itu hingga Koji akan berhenti bermimpi untuk bisa memiliki gadisnya.
"Pastikan semuanya siap tepat waktu. Aku tidak mau ada kesalahan." Kata Masumi kemudian sebelum mengakhiri teleponnya dan dijawab dengan mantap oleh Midori.
Maya, tidak akan ku biarkan pemuda itu menjadi penghalang diantara kita.

***
"Cut!" Teriak Tuan Himekawa, sang sutradara, "Maya!"
Pemilik nama itu berjengit entah untuk yang keberapa kalinya dalam siang itu. Lagi-lagi sang sutradara tampak kesal dan tidak puas dengan aktingnya.
"Maaf," kata Maya seraya membungkukkan badan meski tidak mengerti kesalahan apa yang sudah diperbuatnya hingga sutradara hebat itu terus saja meneriakkan namanya dengan nada tinggi.
"Sudah berapa kali ku katakan! Itu bukan ekspresi cinta! Kau harus lebih mendalami peranmu! Kau ini kekasihnya bukan ibunya jadi berhenti menatapnya seperti seorang ibu menatap anaknya!" Teriak Tuan Himekawa lagi.
Maya mengernyit lalu melirik sekilas pada Koji yang juga tampak tak mengerti dengan arahan sang sutradara. Maya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Kita ulang sekali lagi!" Perintah Tuan Himekawa disambut desahana lirih dari semua pemain dan kru.
Maya kembali mengucapkan dialognya namun belum habis satu kalimat keluar dari bibirnya, sang sutradara kembali berteriak.
"Kitajima!!! Kau diliburkan dua hari! Dalami peranmu dan jangan kembali sebelum kau mengerti apa yang aku inginkan!” Brak!
Maya membelalak terkejut mendengar instruksi Tuan Himekawa. Tak hanya dirinya, semua kru dan pemain juga tampak sama terkejutnya. Mereka hanya bisa diam melihat sang sutradara menggebrak meja dengan gulungan naskah kemudian pergi ke ruangannya.
"Break tiga puluh menit!" Seru pimpinan produksi. Para kru dan pemain segera membubarkan diri.
"Kau tidak apa-apa Maya?" Tanya Koji cemas.
Maya menghela napas lelah seraya menggeleng. Jelas saja dia tidak dalam kondisi baik. Memang siapa yang akan ‘baik-baik saja’ setelah mendapat omelan sepanjang hari.
Midori segera menghampiri Maya dan memintanya untuk duduk kemudian memberikan sebotol air mineral dingin.
“Ayahku memang keras tapi ku harap kau mengerti sisi perfeksionisnya sebagai sutradara.” Kata Ayumi yang tiba-tiba sudah berada di dekat kursi Maya bersama suaminya, Peter.
“Aku hanya tidak mengerti,” ucap Maya kemudian setelah menghabiskan setengah botol air mineralnya, “apa menurutmu ada yang salah dengan aktingku Ayumi?” Maya menyipitkan mata memandang sang sahabat yang kini justru terkekeh senang.
Ayumi mengendikkan bahu, “Kau akan tahu sendiri nanti dan jika saat itu tiba kau akan berterima kasih pada ayahku.” Ayumi mengerlingkan sebelah matanya, “Allons, Peter!” (Ayo kita pergi, Peter)
Peter ikut tersenyum pada Maya seraya melambai, “Enchanté Maya, au revoir.” (Senang bertemu denganmu Maya, sampai jumpa)
Maya hanya melambaikan tangannya tanpa mau peduli dengan apa yang dikatakan Peter. Ayumi tampak semakin geli melihat raut wajah sahabatnya namun tetap membiarkannya dan bergegas pergi dengan mengamit lengan Peter.
“Mereka aneh.” Gumam Koji kemudian.
Maya mengangguk setuju, “Ya, aneh.”
Midori hanya bisa menggeleng dan dengan cekatan membereskan barang-barang Maya.
“Eh? Kita mau kemana?” tanya Maya ketika perhatiannya teralihkan.
Midori menautkan alisnya menatap Maya, “Anda tidak dengar instruksi Tuan Himekawa tadi? Bukankah anda diliburkan selama dua hari?”
“I, iya aku dengar,” jawab Maya menahan rasa kesalnya karena masih saja tidak mengerti dimana letak kesalahannya, “tapi maksudku, kenapa kita harus pergi? Aku masih ingin disini dan melihat pengambilan gambar yang lain.”
“Benar, Maya kan masih bisa berada disini. Tuan Himekawa tidak menyuruhnya pergi.” Sahut Koji yang juga setuju dengan perkataan Maya. Oh ya, jangan lupakan modus di balik itu yang ingin terus melihat Maya dan jika beruntung berduaan dengannya.
Midori memandang kedua artis itu bergantian lalu menggeleng, “Tidak, anda harus pulang. Saya memiliki jadwal latihan khusus untuk anda.” Tegasnya kemudian.
“Latihan khusus?” tanya Koji dan Maya bersamaan.
Midori mengangguk tanpa menghentikan aktivitasnya memasukkan barang-barang Maya ke dalam tas. Terakhir, Maya hanya bisa menurut saat Midori membawanya pergi dengan sebelumnya mengucapkan salam pada Koji. Masato sudah menunggu mereka di tempat parkir.
“Semua sudah siap?” tanya Midori.
“Sudah,” jawab Masato mantap.
“Apanya yang sudah siap?” tanya Maya bingung seraya masuk ke dalam mobil saat Masato membuka pintu belakang.
“Latihan anda tentu saja, apalagi?” jawab Midori dan lagi-lagi Maya hanya bisa menggaruk kepalanya yang tidak gatal seraya menghela napas panjang.

***
Matahari masih begitu cerah menerangi langit sore musim panas. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore ketika sebuah sedan hitam berhenti di sebuah bangunan klasik di tepi jalan. Seorang dengan mengenakan setelan hitam rapi keluar dari pintu depan dan membukakan pintu belakang mobil, menampakkan dua sosok anggun dengan balutan gaun putih. Ya, dengan masih mengerutkan kening Maya berdiri di depan sebuah gedung yang dia kenali sebagai sebuah gereja, St Agnes' Episcopal Church, bersama Midori dan Masato. Bangunan bernuansa coklat bata itu tampak lengang.
“Silakan Nona,” Masato melambaikan tangannya dan Midori mengamit lengan kanan Maya tapi sang gadis justru bergeming di tempatnya, mempertahankan ekspresi ‘aku tidak mengerti dan tolong jelaskan padaku’.
Midori tersenyum, mengerti apa yang dirasakan nonanya saat ini, “Anda akan mengerti, nanti.”
Kerutan di kening Maya semakain dalam, masih gagal memahami perkataan menejernya. Entah demi apa sejak tadi dirinya menurut saja saat Midori menyuruhnya melakukan banyak hal yang menurutnya di luar logika. Maya mengamati dirinya sendiri. Berdiri dengan balutan gaun panjang berwarna putih dengan rambut yang dijalin dengan rapi, hiasan bunga di setiap jalinan rambutnya dan jangan lupakan buket bunga yang sekarang tengah di genggamnya. Maya tidak bodoh untuk tahu seperti apa rupanya saat ini. Hanya saja alasan yang dibuat Midori sungguh tidak masuk akal. Menyeretnya ke salon, meriasnya bak seorang pengantin lalu membawanya ke gereja, dengan alasan untuk latihan peran? Mendalami perasaan cinta pada kekasih? Demi Dewa di seluruh Jepang yang saat ini sedang melihatnya, apakah Midori sedang mengerjainya? Tapi melihat keseriusan di wajah Midori juga Masato yang juga turut andil dalam semua kejadian aneh itu, Maya menepis dugaannya. Bukankah mereka berdua adalah orang-orang yang professional dalam bidangnya? Rasanya aneh kalau mereka ingin mengerjai Maya.
“Nona? Ayo, kita hampir terlambat.” Ucap Midori yang membuyarkan perenungan Maya.
Sekali lagi Maya hanya bisa menuruti menejernya yang kini tengah berjalan disampingnya dan membantunya menaiki tangga gereja. Suasana di koridor gereja masih sama lengangnya, cahaya lampu berwarna jingga membuat suasana terlihat seperti temaram senja meski di luar matahari masih bersinar terang.
Midori dan Maya berhenti di depan sebuah pintu ganda besar berwarna coklat. Seorang pria yang muncul dari koridor samping menghampiri mereka dan sukses membuat Maya menganga.
“Lama tak bertemu Nona Maya,” sebuah senyum tersungging di wajah tampan sang pria.
“Kak Hijiri?!” Maya memekik perlahan. Sudah lebih dari satu bulan dirinya tidak bertemu dengan Hijiri dan sekarang sang pengawal itu muncul dengan setelan rapi berwarna biru tua di tengah semua keanehan yang masih membuat kepala Maya penuh dengan tanda tanya.
Tak ada jawaban dari Hijiri untuk menjelaskan pada Maya, dia justru mengulurkan tangannya untuk meminta tangan Maya yang di genggam oleh Midori. Dengan senyum, Midori menyerahkan tangan Maya yang terbalut sarung tangan putih kepada Hijiri.
“Eh? Apalagi ini?”
“Sstt,” Hijiri memberi kode dengan meletakkan telunjuk di bibirnya dan meminta Maya berdiri tegak di sampingnya.
Midori dan Masato membuka pintu ganda bersamaan dan pemandangan yang tersaji di depan Maya semakin sukses membuat gadis itu terbelalak dengan tidak anggunnya, lupakan dengan dirinya yang sudah mengenakan gaun cantik bak pengantin.
“A-apa ini?” Maya mendesis tak percaya begitu melihat wajah-wajah yang familiar menatapnya. Kaki Maya seakan tak bertulang, beruntung Hijiri segera mengamit pinggul rampingnya dan membantunya tetap tegak. Karpet ungu terbentang dari tempatnya berdiri sampai ke altar yang Maya duga sebagai, ahhh…altar pernikahan, Masumi-nya berdiri di sana, menatapnya. Dengan balutan tuxedo hitam yang menawan, sang direktur utama itu berdiri menunggu Maya dengan senyum ribuan gigawatt nya. Mimpikah? Maya merasa semua yang ada di hadapannya saat ini adalah mimpi, terlalu indah untuk menjadi kenyataan.
Dentingan piano menyadarkan Maya dari kekagumannya, reflek matanya menyapu seluruh ruangan. Di sebelah kanan altar berdiri Rei dengan gaun peach yang manis, Maya mengernyit, tidak biasanya. Lalu matanya menatap sosok lain yang taka sing, hhmm, Ayumi dan suaminya, lagi-lagi Maya mengernyit karena Tuan Himekawa dan istrinya Utako juga ada di sana.
Maya kemudian memandang sebelah kiri altar. Ada nona Mizuki yang juga berdandan cantik dengan gaun berwarna merah marun. Disebelahnya berdiri…oh tidak…Koji? Maya hampir menjerit. Pemuda itu tersenyum meski tampak begitu, dipaksakan. Tamu lain yang membuatnya heran adalah Tuan Kuronuma, disampingnya ada dua orang pria berpakaian rapi yang tidak Maya kenal.
Sekali lagi Maya mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Tidak ada yang mengganggunya, seolah semua orang mengerti dengan apa yang sedang di lakukan gadis itu, menikmati kejutan yang dibuat oleh calon suaminya. Siapa lagi kalau bukan Masumi Hayami. Ruangan yang dihias cantik dengan banyak rangkaian bunga mawar ungu itu membuat Maya tenggelam dalam kekagumannya.
Dentingan piano berhenti sesaat dan kembali mengalunkan nada-nada indah dengan lagu yang berbeda. Hijiri tahu itu sudah saatnya, Masumi tampak sudah tak sabar menunggu di altar.
“Nona, sudah waktunya,” bisiknya yang membuat Maya terkesiap dan merasa gugup saat tahu apa yang akan dihadapinya. Masumi, menunggu Maya di altar.
Perlahan Maya mengimbangi langkah Hijiri yang membimbingnya masuk ke dalam gereja. Semakin dekat langkahnya menuju altar, Maya merasa semakin takut, takut terbangun dari mimpi indahnya. Semua yang ada di hadapannya saat ini masih sulit dipercaya Maya sebagai sebuah kenyataan.
Masumi menuruni tiga anak tangga untuk menjemput Maya, tangannya terulur begitu Hijiri menyerahkan tangan mungil berbalut sarung tangan satin berwarna putih.
“Ma, Masumi,”
Masumi tersenyum dan Maya kembali hanya bisa menurut saat Masumi membawanya naik ke altar.
“I, ini bukan mimpi kan?” lirih Maya dengan suara bergetar. Lengan Masumi yang melingkar di pinggangnya membuat Maya semakin menyandarkan tubuhnya pada dada bidang Masumi.
“Kalaupun mimpi,aku tidak akan membangunkanmu. Kita akan bersama selamanya.” Bisik Masumi lembut.
Sekarang, Maya dan Masumi sudah berdiri di depan altar dan tanpa mereka sadari seorang pemuda tengah mengepalkan erat tangannya, menahan emosinya meledak. Kali ini dia harus benar-benar menyerah.
“Tuan Masumi Hayami, Nona Maya Kitajima, apa kalian sudah siap?” tanya sang pastor.
Maya menatap Masumi seraya menegakkan tubuhnya, membei sedikit jarak antara dirinya dan, yah, calon suaminya.
“Kami siap Pastor.” Masumi yang menjawab meski matanya masih menatap Maya.
“Baiklah.” Kata sang pastor yang akhirnya memulai sakramen pernikahan itu.
Acara berlangsung khidmat dan Maya sekuat tenaga menahan air matanya jatuh sementara Masumi terus menggenggam lembut tangan mungil calon istrinya. Hingga saatnya kedua mempelai mengucapkan janji pernikahan, Masumi dan Maya kembali saling berhadapan.
"Tuan Masumi Hayami, bersediakah anda, dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh sidang jemaat ini, berjanji untuk mencintai dan menghargai, baik dalam keadaan sakit maupun sehat, di dalam susah maupun senang, wanita di sebelah kanan anda yang sekarang sedang anda pegang? Bersedia untuk mengambil dia sebagai istri yang sah, selama masa hidup anda berdua? Apakah anda berjanji untuk menempatkan dia sebagai yang utama dari segala hal, menjadi suami yang baik dan beriman, menjadi tempat bergantung bagi dia, dan hanya bagi dia, selama-lamanya hingga akhir hidup anda? Bersediakah anda?"
Mata Masumi menatap Maya lembut, "Saya bersedia," jawabnya tanpa ragu.
Pastor mengulang pertanyaan yang sama pada Maya. Gadis itu masih tetap diam sampai pastor selesai bicara.
"Bersediakah anda?" Pastor mengulangi pertanyaannya.
Masumi meremas jemari Maya dengan khawatir. Maya masih tampak bingung tapi beberapa saat kemudian dia menghela napas panjang.
"Saya bersedia,"
Mata Masumi berkedip dan berbinar terang. Samar-samar terdengar desahan lega dari barisan jemaat.
Pastor kembali bertanya pada Masumi, "Saudara Masumi, apakah anda memiliki sesuatu yang anda bawa sebagai bukti kasih dan sayang anda untuk diberikan kepada pasangan anda, sebuah tanda bagi perjanjian yang kudus ini?"
"Ya saya membawa sebuah cincin," jawab Masumi tenang.
"Pada waktu yang suci ini, cincin sebuah simbol dari tindakan anda, sebuah kesetiaan yang tiada batas. Cincin ini berbentuk lingkaran, tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir; sehingga sampai masa tua anda, hingga kematian dan sampai selamanya anda harus mempertahankan janji yang tidak dapat digugat ini yang telah ditandai dan dimateraikan oleh sebuah cincin. Maka tempatkanlah cincin ini pada jari pasangan anda dan ucapkanlah janji setia anda."
Maya kembali menyadari sekelilingnya begitu melihat Hijiri dan Rei ternyata berdiri di dekat mereka dengan masing-masing membawa kotak kecil berwarna ungu.
Jantung Maya kembali berdegub kencang saat Masumi menatap jauh ke dalam matanya dengan cincin di tangannya. Masumi menyematkan cincin itu di jari manis Maya, mengucapkan janji pernikahannya.
"Aku, Masumi Hayami, mengambilmu, Maya Kitajima, sebagai istriku yang sah, untuk memiliki dan menjagamu dari hari ini hingga seterusnya. Baik dalam keadaan kaya maupun miskin, dalam kondisi susah maupun senang, untuk bergantung kepadamu dan hanya kepadamu, selama kita masih hidup. Dengan cincin ini aku menikahimu, dengan kasih yang setia, di dalam nama Tuhan, memberkati sampai selama-lamanya. Amin."
Pastor kembali bertanya hal yang sama pada Maya dan setelah Maya menjawab, Rei memberikan cincin milik Masumi. Tangan Maya gemetar saat memegang cincin platinum dengan ukiran indah di sekelilingnya dan ukiran nama mereka berdua di sisi bagian dalamnya, Masumi-Maya. Tidak hanya tangan Maya, suaranya juga bergetar ketika aku mengucapkan janji pernikahan.
"Aku...Maya Kitajima, menerimamu, Masumi Hayami...," Maya berhenti dan menatap Masumi yang tegang menunggu, kerutan dalam tergambar di dahinya. Tenggorokan Maya terasa panas, banyak hal tiba-tiba berputar di dalam kepalanya.
Apakah ini benar? Bisakah aku bersamanya? Bagaimana jika sesuatu terjadi padanya nanti?
"Nona Kitajima? Anda baik-baik saja?" Tanya Pastor pada Maya.
Maya segera tersadar, "I, iya Pastor," jawabnya terbata. Maya tersentak saat Masumi mengeratkan genggaman tangannya. Matanya berkata bahwa ‘semua akan baik-baik saja’.
Maya menghela napas panjang. Ya, tidak seharusnya aku berpikir berlebihan.
“aku mencintaimu Maya, percayalah.” Lirih Masumi yang langsung di sambut oleh senyum Maya.
Gadis itu mengangguk, matanya kembali fokus pada tangan Masumi yang menggenggamnya. Diapun memasangkan cincin di jari manis Masumi seraya mengucapkan janji pernikahannya.
"Aku, Maya Kitajima, menerimamu, Masumi Hayami, sebagai suamiku yang sah, untuk memiliki dan menjaga dari hari ini hingga seterusnya, baik dalam keadaan kaya maupun miskin, dalam kondisi susah maupun senang-," Maya mulai terisak atas apa yang diucapkannya, air mata jatuh satu persatu ke pipinya.
Masumi mengeratkan genggamannya seolah ingin mentransfer kekuatannya untukku bisa menyelesaikan semua ini. Maya kembali mengumpulkan kekuatan dan keberaniannya untuk mengucapkan janji pernikahannya.
"Untuk bergantung kepadamu dan hanya kepadamu, selama kita hidup berdua.... Dengan cincin ini aku menikahimu, dengan kasih yang setia, dalam nama Tuhan. Amin.”
Masumi sama sekali tidak bisa menutupi kebahagiaan yang kini terpancar di wajahnya.
Air mata masih berderai ketika Pastor kembali berbicara, "Dan sekarang, sebagai pastor dari jemaat yang terkasih ini. Dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh jemaat, saya mengumumkan anda sebagai suami dan istri, bukan lagi dua melainkan satu, satu dalam perhatian, dalam takdir, dalam kasih, dan dalam hidup, sampai selamanya."
Masumi bahkan sudah menyeka sudut matanya saat pastor selesai bicara. Maya tahu Masumi, pria yang kini resmi menjadi suaminya, hampir menangis. Menangis karena bahagia.
"Anda bisa mencium istri anda," lanjut Pastor.
Dan Maya merasakan jantungnya hampir tenggelam. Matanya menyipit memandang Masumi yang justru tampak, eh? Bersemangat? Entahlah, memang ini bukan ciuman pertamnya tapi Maya belum pernah melakukannya di depan umum dan sekarang? Ahhh, Maya merasa saat ini lebih baik berlari daripada harus…terlambat.
Sesuatu yang hangat sudah menyentuh bibir merahnya dan Maya menyadari apa yang terjadi saat ini. Masumi sudah menciumnya, sementara Maya membelalak terkejut. Maya bisa mendengar Rei dan Hijiri yang terkikik menahan tawa. Dengan segera Maya mendorong tubuh Masumi, segera saja suara tawa memenuhi ruangan itu. Suasana syahdu yang tadi tercipta segera berubah menjadi gelak tawa. Wajah Maya sudah semerah kepiting rebus dan Masumi dengan senang hati menyembunyikan wajah yang tampak menggemaskan itu ke dalam pelukannya.
“Aku akan membalasmu.” Ancam Maya dan Masumi ikut tergelak karenanya.
“Dengan senang hati sayang,” kata Masumi di sela tawanya.


***
Sebuah meja bulat besar tertata apik di bawah lampu kristal besar di private room, di sebuah restoran ternama di Kyoto. Sepasang pengantin duduk berdampingan dengan sepuluh orang tamu yang mengelilingi mereka. Siapa lagi kalau bukan pasangan Hayami yang berbahagia. Lupakan Maya yang sempat marah karena semua rencana Masumi. Kini dia benar-benar menikmati pesta mininya yang juga sudah diatur dengan luar biasa oleh Hijiri dan Mizuki. Makan malam yang hangat dengan hidangan lezat, diselingi dengan berbagai cerita mengenai rencana gila Masumi, sungguh membuat Maya bahagia dan tidak berhenti merona.
"Andai Tuan Masumi tadi melihat bagaimana wajah Nyonya Maya saat dimarahi Tuan Himekawa." Kata Midori di tengah percakapan mereka yang langsung di sambut oleh tawa semua orang kecuali Maya tentunya.
"Jika bukan karena Tuan Masumi yang memintaku sendiri, aku tidak akan mau melakukan hal konyol seperti itu. Maafkan aku Kitajima, ah, maaf Nyonya Hayami." Tuan Himekawa menimpali seraya mengangkat gelas anggurnya dan mengerlingkan matanya pada Maya. Kembali suara tawa memenuhi ruangan.
"Sudah ku katakan kalau kau akhirnya akan berterima kasih pada ayahku kan Maya." Goda Ayumi.
"Ah iya," Maya menunduk malu.
"Ini semua salahmu," Maya berbisik pada Masumi.
"Sudah ku bilang kalau aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Salahkan dirimu yang membuatku jadi gila seperti ini." Masumi balas berbisik sambil menahan kekehannya.
Ya, Masumi sudah menceritakan alasan kecemburuannya yang menyebabkan dirinya nekat untuk melakukan semua rencana pernikahan mendadak itu. Tentu saja hanya pada Maya, yang lain hanya tahu kalau sang duda Hayami itu sudah begitu tergila-gila pada sang Bidadari Merah hingga kehilangan akal sehatnya.
Lalu bagaimana dengan keterlibatan Tuan Himekawa dan istrinya, Utako? Ya, anggap saja Ayumi kali ini sedang terkena sindrom gosip tingkat akut yang membuatnya menceritakan rahasia rival abadinya itu. Dan kehadiran Koji adalah rencana utama dari semua ini. Menunjukkan bahwa Masumi Hayami keluar sebagai pemenang, tentu saja dengan dalih bahwa Koji adalah sahabat Maya, sama seperti Rei. Bukankah rencana seorang Masumi begitu sempurna? Jangan lupakan juga para petugas catatan sipil yang sudah siap di tempat untuk mencatatkan pernikahan mereka secara resmi. Maya bahkan tak sanggup berkomentar lagi saat dirinya menandatangani akta pernikahan dan menjadikan dirinya resmi menyandang status sebagai istri Hayami. Entah bagaimana Masumi dan Midori juga Mizuki serta Hijiri, ah, ditambah Masato menyiapkan semua ini. Maya hanya bisa berterima kasih dan menangis pada akhirnya.
Hijiri tiba-tiba mengangkat gelasnya saat semua orang sudah menghabiskan makanan yang tersaji di piring mereka.
"Sekali lagi. Untuk kebahagiaan Tuan dan Nyonya Hayami." Seru Hijiri dan semua orang segera meraih gelas kristal masing-masing, mengangkatnya tinggi-tinggi.
"Semoga bahagia." Ucap mereka serempak.
"Terima kasih," Maya mengucap penuh haru. Sungguh tak pernah terpikirkan hal ini akan terjadi padanya. Betatapun hal berat mungkin sudah menunggunya di depan sana tapi Maya bersyukur dia masih memiliki hari ini sebagai seorang istri Masumi bersama orang-orang yang menyayanginya.
Koji tersenyum seraya menyesap anggur dari gelas kristalnya.
"Ku harap kau menerima hal ini dengan besar hati Koji," bisik Rei yang duduk di sebelah Koji.
Pemuda itu terkekeh pelan dan menyesap lagi anggurnya, "Aku sudah kalah sejak awal Rei. Tidak ada alasan bagiku untuk sakit hati."
Giliran Rei yang terkekeh, "Ya, ada benarnya juga. Ku harap kau juga bisa menemukan kebahagiaan," Rei mengangkat gelasnya untuk Koji, "seperti mereka." Ucapnya dan saat Koji ikut mengangkat gelasnya, mendentingkan ke dua sisinya bersamaan, keduanya tertawa bersamaan.
Tanpa mereka sadari Maya memperhatikan interaksi kedua sahabatnya itu dan menyunggingkan senyum.
"Jangan bilang kau menyesal menikah denganku dan berpikir untuk bisa kembali pada Ko-, aww!" Masumi memekik pelan saat Maya mencubit lengannya karena ocehan tak bermakna. Ternyata Masumi juga tengah memperhatikan Maya yang tampak senang melihat Koji dan Rei. Jelas membuatnya bersemangat untuk menggoda istrinya.
"Bukan waktunya untuk cemburu Tuan Hayami. Dewasalah, kau ini." Gerutu Maya.
"Kalau begitu jangan membuatku cemburu dengan terus melihatnya. Setidaknya padanglah aku, suamimu." Balas Masumi.
Maya kembali mencibir sifat kekanakan Masumi -yang entah kenapa selalu naik intensitasnya jika bersama Maya- seraya mengambil sebutir anggur dari piringnya dan memasukkannya dengan paksa ke mulut suaminya. Masumi tersenyum geli melihatnya istrinya kesal, semakin menggemaskan saja.

***
"Aku doakan kau selalu bahagia. Jaga dirimu." Rei memberi Maya sebuah pelukan hangat sebelum berpisah dengan sahabatnya itu.
"Terima kasih Rei." Jawab Maya yang kembali mulai terisak.
"Hei, ini hari bahagiamu, jangan terus menerus menangis." Kata Rei seraya mengusap air mata di pipi Maya.
"Matamu bisa bengkak kalau terus menerus menangis Maya." Koji yang berdiri di samping Rei ikut menimpali dan Maya jadi tersenyum di buatnya.
Koji mengulurkan tangan, memberi ucapan bahagia dan salam perpisahan pada Masumi yang dibalas dengan cukup ramah oleh sang rival -ah, bagi Masumi predikat itu tidak akan pernah hilang-. Namun saat Koji mengulurkan tangannya pada Maya, gadis, err, Nyonya muda itu sudah menjatuhkan dirinya ke pelukan Koji. Mau tak mau Koji membalas pelukan itu dengan hangat, mengabaikan Masumi yang tampak tidak suka meski berusaha untuk tetap tenang.
"Semoga kau bahagia." Ucap Koji lirih seraya membelai lembut kepala Maya.
"Uhm, terima kasih." Balas Maya.
Sadar dirinya tak boleh berlama-lama memeluk milik orang lain, Koji pun segera menjauhkan dirinya dari Maya. Hampir saja tawa Koji meledak saat Masumi dengan cepat menarik Maya dan melingkarkan lengannya di pinggang mungil istrinya dengan begitu posesif. Bahkan seorang Masumi bisa begitu impulsif jika menyangkut Maya. Hijiri dan Mizuki hanya bisa menggeleng geli melihat sikap kekanakan Masumi. Pemandangan langka itu tentu saja membuat keluarga Himekawa ikut menahan tawa.
Akhirnya, satu persatu dari mereka mengucapkan salam perpisahan dan meninggalkan restoran. Hanya tinggal Mizuki dan Hijiri yang berdiri di dekat pintu setelah mengucapkan terima kasih dan meminta Midori juga Masato mengatar tamu pulang.
Kening Maya berkerut begitu suasana menjadi sepi dan otaknya menyadari sesuatu.
"Ada apa?" Tanya Masumi ketika menangkap kecemasan di wajah istrinya.
"Setelah ini apa?" Maya balik bertanya dengan polosnya.
Masumi menyeringai geli dengan pertanyaan istrinya, "Menurutmu?"
Maya menggeleng, tak mengerti. Matanya menatap bergantian pada Masumi juga pada Mizuki dan Hijiri yang tampak geli memandangnya.
Dengan satu sentakan Masumi menarik Maya hingga sang istri jatuh ke dalam pelukannya.
"Masumiii! Lepaskan aku!" Maya meronta karena Masumi justru melingkarkan kedua lengannya dengan erat di pinggangnya dan mengangkat tubuhnya, seolah dirinya adalah boneka mainan. Wajah Maya merona dan sesekali melirik pada Hijiri juga Mizuki.
"Kenapa Nyonya? Kenapa wajahmu memerah seperti itu?" Goda Masumi seraya menyandarkan keningnya di kening Maya hingga hidung mereka bersentuhan.
"Masumi kau membuatku malu." Lirih Maya dan matanya berkedip saat Masumi tampak kabur dalam jarak pandang sedekat itu.
"Kenapa malu? Kau istriku." Goda Masumi lagi.
Maya memukul bahu Masumi dengan kepalan tangan kecilnya, "Turunkan aku, kita pergi."
"Pergi?" Masumi menyeringai.
"Jangan menggodaku Masumi, setidaknya tidak disini." Ucap Maya kesal tapi semakin melirih di akhir
kalimat.
Masumi menurunkan istrinya dan tergelak sendiri melihat Maya.
"Baiklah, memang sudah saatnya kita pergi. Lagipula sepertinya hari ini aku sudah terlalu banyak memberi hiburan pada Hijiri dan Mizuki." Kata Masumi seraya melirik kedua anak buah kepercayaannya itu.
"Anda sudah terlalu banyak merepotkan kami Tuan Masumi. Sudah selayaknya anda memberi kami hiburan." Sanggah Mizuki seraya membenarkan letak kaca matanya.
"Ah ya, maaf soal itu. Terima kasih untuk semuanya dan sebaiknya aku pergi sekarang, sepertinya istriku sudah tidak sabar." Dan dengan sekali angkat, Maya sudah berada di atas ke dua lengan Masumi. Istrinya itu memekik keras karena terkejut.
"Ya, terlihat jelas siapa yang sudah tidak sabar Tuan." Ucap Hijiri seraya membukakan pintu. Mizuki mengikuti Hijiri dan Masumi berjalan di belakang mereka.
Maya panik, keluar dari ruangan berarti adalah.... Kepala Maya menggeleng keras.
"Masumi! Lepaskan aku! Kau bodoh ya, bagaimana kalau ada yang lihat!" Maya meronta dalam gendongan Masumi dan matanya dengan gelisah melihat sekeliling. Eh?!
"Kenapa sayang?" Goda Masumi seraya tersenyum.
Maya baru menyadari sekelilingnya. Mereka berjalan di koridor panjang yang...sepi. Hijiri berbelok di ujung koridor yang ternyata menuju pintu lift. Maya melihat pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam.
"Kita mau kemana?" Tanya Maya yang sudah tenang. Sekarang bahkan tangannya sudah melingkar di leher Masumi dan membiarkan saja suaminya itu membawanya.
"Kejutan," bisik Masumi di telinga Maya dan sukses membuat Maya cemberut.
Hijiri dan Mizuki tetap berdiri membelakangi Maya dan Masumi. Membiarkan saja sepasang pengantin yang tengah merasa bahagia itu. Angka lift menunjukkan lantai paling atas dan tak lama kemudian suara ping keras terdengar seiiring dengan pintu yang terbuka lebar. Mata Maya membulat seketika.
"Selamat berlibur Tuan, Nyonya!" Hijiri berteriak, suaranya bersaing dengan deru suara helikopter yang sudah siap lepas landas.
Tanpa sadar tangan Maya mengerat di leher Masumi, membuat sang suami menatapnya.
"Tenang sayang," bisik Masumi yang hanya terdengar samar di telinga Maya. Namun Masumi yang mengeratkan pelukannya di tubuh Maya mampu membuatnya sedikit lebih tenang.
Masumi menganggukkan kepala seraya meneriakkan kata terima kasih pada Hijiri dan Mizuki sedang Maya hanya bisa memberikan senyum terbaiknya dengan wajah merona. Dengan cekatan Masumi membawa Maya masuk ke dalam helikopter, mendudukkannya di kursi penumpang dan memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati.
"Kita berangkat." Perintah Masumi setelah dia selesai dengan sabuk pengamannya sendiri.
"Baik Tuan." Jawab sang pilot.
Maya terdiam mendengar semua itu dari headphone di kepalanya.
Deru mesin semakin keras terdengar seiring dengan suara pilot yang meminta ijin terbang menggunakan kode-kode yang tidak Maya mengerti. Perhatian Maya kemudian teralih saat merasakan tangan hangat yang menggenggamnya lembut.
"Aku mencintaimu."
Maya tersenyum membaca gerakan bibir Masumi dan helikopter terbang di antara langit malam penuh bintang.

***
>>Bersambung<<

**Bonus**
Mizuki memandang helikopter yang semakin mengecil, sebuah senyum simpul tersungging di bibirnya. Hal itu tentu saja tidak luput dari perhatian Hijiri, sang wakil direktur, yang sejak tadi berdiri di sebelahnya.
"Ah, ternyata kau memiliki senyum yang manis Saeko."
Deg! Pernyataan itu sontak membuat Mizuki tersentak.
"A, apa maksud anda Tuan Hijiri," jawab Mizuki tanpa melihat pada tuan yang diajaknya bicara. Entah kenapa berdua bersama Hijiri selalu sukses membuatnya tergagap dan mati kutu.
"Jangan begitu Saeko. Aku sudah mencoba mencairkan suasana dengan memanggil namamu, tidakkah seharusnya kau menanggalkan sikap formalmu itu? Setidaknya untuk saat ini, kita tidak sedang dikantor." Kata Hijiri dengan masih menatap sang sekretaris dan mengamati setiap lekuk wajah itu dari samping.
Mizuki memberanikan diri untuk menoleh, menatap Hijiri seraya membulatkan matanya, kesal.
"Jangan menggodaku." Desis Mizuki, benar-benar menanggalkan sikap formal seperti apa yang Hijiri perintahkan. Tubuh ramping semampai itu tiba-tiba berputar dan dengan langkah tergesa hendak meninggalkan Hijiri namun rupanya hal itu tak terjadi. Sebuah cekalan di pergelangan tangan Mizuki menghentikan langkahnya. Wanita cantik itu sontak merasa de javu dengan apa yang terjadi, terbayang sikap Hijiri ketika mereka tengah di kantor Masumi beberapa hari yang lalu.
"Lepaskan!" Kali ini Mizuki menyentakkan tangannya dan Hijiri segera melepaskannya, "Apa maksud anda Tuan Hijiri!" Bentak Mizuki lagi, kembali dengan bahasa formalnya, "Saya menghormati anda sebagai atasan saya dan saya mohon jangan permainkan saya seolah saya adalah-," Mizuki menelan ludahnya sendiri ketika melihat ekspresi keras lawan bicaranya.
Hening. Keduanya terdiam. Mizuki tak lagi berani menatap mata Hijiri dan lebih memilih untuk memandang sepatunya yang sepertinya lebih menarik dengan warna merah marun mengkilap.
"Apa aku membuatmu merasa tidak nyaman?" Hijiri bertanya dengan suara lembut.
"Hhmm," Mizuki hanya menggumam lirih. Anehnya rasa kesal yang tadi memenuhi hatinya kini hilang entah kemana, digantikan dengan debaran jantung yang tidak beraturan, membuatnya gelisah dan semakin tidak mau mengangkat kepalanya.
Namun ternyata pikiran pria yang ada dihadapannya itu tidak sejalan dengannya. Mizuki merasakan jemari panjang menyentuh dagunya dan mengangkat wajahnya perlahan. Kedua mata saling bertukar pandang dan jantung Mizuki seakan ingin mendesak keluar begitu dirinya melihat senyum manis di wajah Hijiri. Dalam jarak sedekat itu, Mizuki bisa melihat jelas ketampanan sang wakil direktur yang selama ini ternyata terlewatkan dari mata jelinya. Ah, tolong diingat bahwa Mizuki tidak suka mengamati pria tampan. Bekerja bersama Masumi selama belasan tahun membuatnya memiliki keyakinan bahwa lelaki tampan itu kebanyakan aneh, menyebalkan dan dalam kasus Masumi 'sering merepotkan'.
"Maaf."
Satu kata itu kembali menyadarkan Mizuki akan apa yang terjadi. Namun, belum sempat dirinya mengerti akan arti dari kata maaf itu, Mizuki merasakan sesuatu yang hangat menyentuh bibirnya. Mengirimkan getaran aneh ke sekujur tubuhnya. Lupakan tentang dramatisasi sengat listrik karena Mizuki belum pernah sekalipun tersengat listrik. Hanya sebuah rasa aneh yang sepertinya, ehm, menenggelamkannya dan Mizuki tidak tahu tahu lagi apa yang terjadi karena matanya kemudian terpejam ketika bibirnya merasakan kelembutan yang semakin memabukkan.
Mizuki sadar kehangatan menjauhi bibirnya dan perlahan matanya membuka seraya mengatur napasnya yang terasa semakin pendek.
"Aku jatuh cinta padamu,"
Desir angin bahkan terasa bagai badai untuk Mizuki saat ini. Ciuman pertamanya...di curi dan sekarang...pernyataan cinta yang bagai petir menggelegar di telinganya.

***
Saat yang sama di pelataran parkir restoran. Seorang gadis manis dengan gaun peach dan pemuda tampan dengan setelan resmi tampak berdiri menatap langit dengan tubuh bersandar pada mobil sedan. Tidak ada percakapan di antara mereka sampai objek yang mereka amati sejak tadi hilang sempurna dari pandangan mata keduanya, sebuah helikopter.
"Dia sudah pergi." Sang pemuda tampan berbicara namun lebih seperti bisikan yang tidak ingin di dengar oleh siapapun meski nyatanya sang gadis yang berdiri di sebelahnya bisa mendengar.
Sang gadis menoleh dan mengamati wajah pemuda tampan yang sudah lama di kenalnya itu. Yuu Sakurakoji, aktor papan atas yang digandrungi kebanyakan gadis Jepang. Entah kenapa kali ini sang gadis merasa begitu bodoh karena tidak menyadari pesona sang aktor meski mereka sudah lama saling kenal. Kedekatannya dengan Maya, sahabatnya, pastilah membuat dirinya enggan untuk mengenal sosok itu lebih jauh. Sebuah kerutan tercipta di kening ketika gadis itu memikirkan betapa beruntungnya Maya yang notabene gadis mungil dan ceroboh namun bisa membuat banyak kaum adam bertekuk lutut padanya. Sang gadis tanpa sadar tertawa dengan pemikirannya.
"Kau menertawakanku Rei?" Koji menatap sang gadis yang tertawa manis disebelahnya, tawa yang jarang sekali dilihatnya. Ya, Rei selalu bersikap seperti seorang ibu jika bersama Maya, alhasil Koji lebih sering mendengar petuah-petuah atau bahkan omelan dari gadis yang biasanya justru terlihat tampan itu.
"Tidak," jawab Rei seraya menggeleng dan menghentikan tawanya.
Koji terpaku saat mata almond Rei menatapnya, ini pertama kalinya dia melihat Rei dalam jarak sedekat ini. Terlebih melihat Rei dengan balutan gaun, itu...ehm, cukup membuat Koji terpesona dengan sosok manis dihadapannya itu.
"Kenapa? Apa kau tersinggung? Aku tidak menertawakanmu," jelas Rei kemudian yang merasa aneh dengan pandangan Koji padanya.
Koji tersenyum dan segera mengalihkan pandangannya, kembali menatap langit di atasnya, menguntai jejak dimana gadis yang dicintainya telah pergi untuk mendapatkan kebahagiaan sejatinya, tanpanya.
"Hei, mau sampai kapan kau memandangi langit? Ini sudah hampir tengah malam." Rei menepuk lembut bahu Koji.
Koji menghela napas panjang, "Ya kau benar Rei, sudah waktunya pulang." Diapun menoleh pada gadis yang masih berdiri di sebelahnya, "Maaf jadi membuatmu harus menunggui pemuda patah hati ini."
Rei langsung tergelak mendengarnya, pasalnya ekspresi Koji sama sekali tidak menunjukkan hal itu. Koji sepertinya sudah benar-benar merelakan Maya untuk bahagia bersama pilihannya.
Dengan senyum simpul Koji membukakan pintu mobil untuk Rei dan mempersilakan gadis itu masuk. Dengan segera dia berjalan memutari mobil dan duduk di belakang kemudi.
Rei mengamati Koji yang kini tengah menyalakan mesin mobil.
"Koji, apa kau suka kopi?" Tanya Rei tiba-tiba.
Kedua tangan Koji bersandar pada kemudi, diapun menoleh pada Rei, "Ya, aku suka, kenapa?"
Seketika Rei tersenyum, entah kenapa dia tiba-tiba memiliki ide ini, "Besok aku akan kembali ke Tokyo. Sebelum pulang bagaimana kalau kita minum kopi di cafe yang ada di depan hotel tempatku menginap? Ku dengar coffelatte di sana enak."
Sejenak Koji menatap bingung lawan bicaranya namun beberapa saat kemudian sudut bibirnya tertarik menjadi sebuah senyum, "Aku syuting pukul sebelas siang, aku rasa ada waktu untuk sejenak bersantai, denganmu." Koji menekan pedal gas dengan kakinya dan mobil mulai melaju, "dan...aku lebih suka expresso daripada coffelatte." Ucapnya tanpa menatap Rei dan entah kenapa keduanya kembali tersenyum bersamaan meski tak lagi saling pandang.
***

Post a Comment

27 Comments

  1. Met malam minggu MM Lover
    uda cepet kan ini apdetnya, hahahaha
    gimana kurang manis ga?
    kalo kurang manis tambahkan gula sendiri sesuai selera ya XD
    Bagian terrrrrmanisssss MM nya next chap ya, hayo siapa yang mau tebak...hehehe
    udah ah...happy reading semuanya
    jangan lupa komennya
    arigatoooooo
    big hug...muahhhhh

    ReplyDelete
  2. Manis ko endingnya. Suka banget. Tapi emang kurang adegan "the first night"nya. 💏 hehe..😆😆

    ReplyDelete
  3. Waah, bener-bener kejutan. Ga sabar nunggu kejutan berikutnya. Pasti lebih seruuuu hehehe. Akhirnya aa, happy ending.

    Bonusnya jg bikin penasaran, bikin cerita sendiri dong mbak Agnes.

    ReplyDelete
  4. Wahahaha.....seandainya di komik sebenarnya masumi seberani itu.

    ReplyDelete
  5. Waaaawwww....klw rencana nya kyk gini sih mauuu, oke masumi.....monggo lanjut mba....

    ReplyDelete
  6. Yang ngarepin first night di next chap ayo angkat tangan tinggi2...tapi...bukannya bulan depan uda puasa ya? Mau bikin yang iya-iya ga ya?...wkwkwwkkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ga masalah mba bulan puasa jg... mayoritas kan emak" disini... asal sudah lewat jam 6 di upload nya... syah..syah aja....wkwkwkwkwkwk

      Delete
    2. Lewat jam 6 sore mksdnya... setelah buka puasa....hahahahaaaa

      Delete
  7. akhirnya masumi berjuang untuk kebahagiannya
    kadang kala kebahagian memang harus dikejar karena dengan kebahagiannlah hidup itu lebih berarti
    merelakan sesuatu yang bukan untuk kita membuat penerimaan yang lebih dalam dengan rahasia kehidupan
    rin..

    ReplyDelete
  8. ☝ angkat tangan paling tinggi..... mau banget sista lanjutan nya.. first night... hijiri mizuki... rey koji... hmmm...

    ReplyDelete
  9. Btw, aq kenapa curiga konflik nya di belakang yaa???
    Asa ga mungkin sist agnes bikin cerita datar... umumnya qta di banting"....

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya kalau gitu siapkan diri untuk bantingannya ya...hahahaa

      Delete
  10. OMG.. ga nyangka ternyata manisssss bangettttt... kirain Masumi bakal melakukan sesuatu yg bikin Maya marah saking cemburu nya dia... kutunggu next chapter nya yaaaaaaa...

    ReplyDelete
  11. benar2bikin diabet dirimuh sist agnes.. co cweeeettt... terimakasih bnyk udah mengobati kerinduanku pada MM..

    ReplyDelete
  12. so sweet banget thor... love it 😍

    ReplyDelete
  13. Mksh mba agnes update an nya..so sweet bgt MM akhirnya sdh nikah..penasaran lanjutannya

    ReplyDelete
  14. Waaaaaa this is greatttt... sukaaakkkk mbak Agnes... ayo lanjut donk first night nya.. mau yg iya2 atau yang enggak2 boleh2 aja puasanya kan siang, malamnya kan enggak hehehe... ngarepdotkom 😄

    ReplyDelete
  15. Gw angkat tangan setinggi mungkin nih... I want First night...hehehe. Lanjutkan mba....

    ReplyDelete
  16. Wah jd deg2gan baca crita ne plus senyum2 ngk jelas. Berhubung akunya ngk puasa n udah cukup umur kok wlpn blom nikah bolehlah ya ikut tnjuk tngan, hehehe

    ReplyDelete
  17. Semoga berbahagia maya masumi.. ditunggu next chapter nya kak..hihihi

    ReplyDelete
  18. dipikir koji mau diapain sm masumi ngga taunya lgsg buru2 dimarried mayanya biar koji ngga bs berkutik lg....hihi top mba agnes

    ReplyDelete
  19. Love it. Sukses trus mba agnes 😊

    ReplyDelete
  20. Baguuusss... Hahaha slalu surprise yaaa weddingnnya. Perlu brp komen nih spy nx chapternya segera rilis?? Penghiburan banget baca FFTKnya mba agnes kalo mengingat komik aslinya dah brp thn ga lanjut2 :( jd ksh yg happy2 ajaa yaaa mba

    ReplyDelete
  21. Keren say... Cakep...!!! Bonusnya juga aduhai, especially for mizuki n hijiri. Thanks so much ya dear...

    ReplyDelete
  22. Mantap bikin diabet
    Hahaha....
    Keren mba agnes... bonusnya juga keren....
    Gak sabar nunggu lanjutnya
    Bonusny juga dilanjutin yaaaaa

    ReplyDelete
  23. Salam kenal Mba Agnes,

    aku baru mulai baca blog mba bulan lalu.. tp langsung addict, setiap hari dibaca :)

    sayaah ikut tunjuk tangan utk chapter "iya-iya ga-ga"..

    hahaha...

    ReplyDelete
  24. So sweet...ditunggu lanjutannya mba Agness, andai aku jadi Maya..hehehe

    ReplyDelete